Sepasang Garuda Putih Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Sepasang Garuda Putih Jilid 14

JAYAWIJAYA memegang kedua tangan gadis itu, mengangkat kedua tangan itu mendekatkan kepada mukanya dan mencium jari-jari tangan itu.

"Jangan rikuh atau malu, diajeng karena keadaan hati kita sama. Akupun mencintamu sejak pertama kali kita berjumpa. Hatiku melekat kepadamu. Semoga Sang Hyang Widhi memperkenankan dan memberkahi hati kita yang saling mencinta."

"Kakang....!" Retno Wilis mendesah dan selama hidupnya belum pernah ia merasakan kebahagiaan seperti saat itu.

Tubuhnya menjadi lemas dan seolah ia tidak kuat menyangga kepalanya dan menyandarkan kepalanya didada Jayawijaya yang segera mendekapnya. Dalam dekapan kedua lengan pemuda itu, Retno Wilis merasa seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, begitu aman tenteram dan bahagia! Ia memejamkan kedua matanya dan merasa seperti diayun-ayun.

Sesungguhnyalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada dua hati yang saling mencinta bertemu. Demikian asyik dan masyuk. Gamelan di Lokananta bagaikan berbunyi merdu selaras dengan nyanyian hati mereka. Desah angin diantara daun-daun pohon seperti berbisik-bisik merdu merayu. Gemercik air di anak sungai seperti sekumpulan bidadari menyanyikan lagu puji-pujian. Sinar matahari tampak lebih cerah dan indah dari pada biasanya. Awan-awan yang berarak di angkasa membentuk lukisan-lukisan yang indah menakjubkan. Andaikata dunia kiamat di saat itu, mereka berdua tidak akan merasakannya dan mati terselubung kebahagiaan yang terasa sampai di tulang sumsum itu.

Mereka tenggelam dalam lautan asmara, telinga mereka penuh dengan sajak-sajak dan nyanyian cinta yang serba indah, tidak mendengarkan apa-apa yang lain lagi. Cinta asmara memang memiliki kekuasaan yang amat dahsyat. Jayawijaya yang biasanya selalu waspada itu, sekali inipun terlena. Mendekap kepala Retno Wilis baginya seolah dia telah mendekap alam semesta, telah mendapatkan segala-galanya. Dia sampai lupa diri dan memejamkan mata, hanyut terbawa nyanyian asmara yang mengayun kalbunya.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya kalian berdua saling mencinta! Bagus sekali! Kami akan menyempurnakan kebahagiaan kalian dengan keduanya mati bersama!" tiba-tiba terdengar seruan itu yang bagaikan geledek telah menarik kedua orang muda keluar dari alam kahyangan Sang Hyang Komajaya dan Komaratih!

Mereka kembali ke dunia yang banyak halangan dan cobaan, dan menghadapi Wasi Shiwamurti yang muncul lengkap dengan Wasi Karangwolo, Ni Dewi Durgomala, Ki Shiwananda, kedua senopati Rajah Beling dan Kurdolangit bersama belasan orang anak buah mereka! Seketika maklumlah Retno Wilis bahwa keadaan mereka dalam bahaya maut. Gertakan Wasi Shiwamurti bukan gertakan kosong belaka. Kalau mereka semua itu menyerang, ia tidak akan mampu melindungi Jayawijaya atau bahkan dirinya sendiri. Ia dan kekasihnya akan mati bersama! Pikiran ini menenangkan hatinya. Mati bersama! Alangkah membahagiakan itu. Maka sedikitpun ia tidak menjadi jerih.

"Wasi Shiwamurti, kenapa kalian masih saja mengejar-ngejar kami? mengapa kalian memusuhi kami, padahal kami tidak memusuhi kalian? hentikanlah pengejaran ini dan biarkan kami pergi dengan aman," kata Jayawijaya, sementara itu Retno Wilis sudah bersiap siaga untuk mempertahankan diri dan melindungi Jayawijaya dengan sekuat tenaga sampai saat terakhir.

"Jayawijaya, sekarang juga andika boleh pergi, kami tidak akan mengganggu, kami tidak mempunyai urusan apapun denganmu. Akan tetapi, kami tidak akan membebaskan Retno Wilis. Kami harus menangkapnya, hidup atau mati!"

Mendengar ini, Retno Wilis yang sudah nekat lalu melangkah maju menghadapi Wasi Shiwamurti dan berkata dengan lantang.

"Wasi Shiwamurti, beginikah sikap seorang wasi yang mengaku sebagai kepala agama baru dan menjadi utusan negara Cola? Engkau maju bersama banyak kawan hendak mengeroyok aku? Majulah, keroyoklah, aku lidak takut mati. Lebih baik mati dengan gagah dari pada hidup sebagai manusia curang dan licik macam engkau yang hanya berani melakukan pengeroyokan terhadap seorang wanita muda!"

Ucapan Retno Wilis ini tajam sekali dan menusuk perasaan dan harga diri Wasi Shiwamurti yang menjadi merah mukanya saking marah dan malunya.

"Babo-babo, Retno Wilis!" bentak Wasi Shiwamurti dengan suara menggeledek. "Sumbarmu seperti menyambarnya halilintar dimusim hujan! Kaukira kami takut kepadamu untuk bertanding satu lawan satu? Hayo majulah, aku tidak akan mengeroyokmu, aku akan maju seorang diri untuk melawanmu satu lawan satu!"

Pada saat itu, tampak dua bayangan orang berkelebat dan terdengar suara lantang, "Diajeng Retno Wilis, jangan takut aku datang membantumu!"

Retno Wilis cepat menengok dan melihat seorang pemuda yang tampan bertubuh tegap dan bersikap gagah, ia girang karena mengenal bahwa pemuda itu adalah Harjadenta, pemuda perkasa dari Gunung Raung itu. Akan tetapi lebih girang lagi hatinya melihat Bagus Seto bersama pemuda itu. Kalau hanya Harjadenta yang datang membantu, ia masih meragukan apakah ia dan Harjadenta mampu menghadapi banyak lawan itu. Akan tetapi dengan munculnya Bagus Seto, ia merasa tenang.

"Kakangmas Harjadenta! Kakang Bagus Seto! Bagaimana kalian dapat datang bersama?"

"Kami saling berjumpa dalam perjalanan lalu bersama-sama menuju ke Blambangan," kata Harjadenta dengan girang. Dia tidak mengenal orang-orang tua berpakaian pendeta itu, maka dia memandang rendah. Dengan adanya Retno Wilis dan Bagus Seto di situ, dia tidak merasa takut menghadapi siapa juga. Akan tetapi ketika melihat Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, dia lalu teringat akan mereka yang memimpin agama baru yang menyesatkan itu. Dia mengerutkan alisnya, maklum bahwa dia berhadapan dengan musuh-musuh yang sakti.

Sementara itu, Bagus Seto yang mengamati Wasi Shiwamurti, dapat melihat bahwa Kakek itu memiliki wibawa yang teramat kuat. Dia khawatir kalau adiknya tidak akan mampu menandingi wasi itu, maka dia lalu menghampiri adiknya dan berkata,

"Retno, apa yang sedang terjadi di sini?" dia juga menoleh kepada Jayawijaya yang berdiri di samping Retno dan terkejutlah Bagus Seto melihat sinar mata yang terang dan jernih dari pemuda yang sikapnya amat tenang itu. Dia kaget karena dapat menduga bahwa pemuda ini tentu memiliki kekuatan yang dahsyat di balik kelembutannya.

"Kakang Bagus Seto, ini adalah Wasi Shiwamurti, pendiri dari agama baru yang dibantu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda yang sudah kakang kenal. Yang lain-lain itu adalah para senopati Blambangan dan anak buahnya. Mereka itu hendak menangkap aku dan kakang Jayawijaya ini. Oya, perkenalkan, kakang. Ini adalah kakang Jayawijaya yang melakukan perjalanan bersamaku. Kakang Jaya, ini kakakku bernama Bagus Seto dan yang itu adalah kakangmas Harjadenta dari Gunung Raung."

Melihat sikap dan pandang mata adiknya terhadap pemuda yang lembut itu, dan melihat cara pemuda itu memandang adiknya, Bagus Seto segera tahu bahwa ada hubungan batin yang istimewa di antara keduanya. Sejenak dia bertukar pandang dengan Jayawijaya dan dalam waktu beberapa detik itu seolah keduanya saling dapat menyelami isi hati masing-masing dan kembali Bagus Seto merasa terkejut dan kagum. Dia tahu bahwa pemuda ini bukan seorang pemuda biasa saja, sebaliknya Jayawijaya juga merasa betapa kuatnya pancaran sinar mata Bagus Seto.

"Akan tetapi kenapa mereka itu hendak menangkap kalian, Retno?"

"Mereka itu hendak menawan aku dengan tuduhan menjadi telik sandi, kakang dan hendak membebaskan kakang Jayawijaya. Akan tetapi kakang Jayawijaya tidak mau dibebaskan seorang diri saja dan menuntut agar aku dibebaskan pula. Mereka hendak memaksa aku menyerah dan aku menentang untuk bertanding satu lawan satu kalau mereka itu bukan pengecut yang curang dan suka main keroyokan."

Melihat Retno Wilis bercakap-cakap dengan pemuda berpakaian serba putih yang baru muncul bersama seorang pemuda lain, bicara dan mengobrol tanpa memperdulikan dia dan kawan-kawannya, Wasi Shiwamurti menjadi marah.

"Retno Wilis, siapa hendak mengeroyokmu? Aku terima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu! Hayo majulah, siapa hendak melawanku?" Wasi Shiwamurti menantang.

Tiba-tiba Retno Wilis mendapat sebuah pikiran yang dianggap baik dan menguntungkan. "Begini saja, Wasi Shiwamurti. Sekarang telah datang kakang Bagus Seto dan kakangmas Harjadenta, jadi kami ada bertiga. Nah, kalian boleh mengajukan tiga orang jagoan kalian untuk dipertandingkan dengan kami bertiga, maju satu demi satu. Kalau pihakku menang dua, berarti aku menang dan engkau harus membebaskan kami. Sebaliknya kalau pihak kalian yang menang dua, kalian boleh menawanku. Bagaimana, beranikah engkau menerima tantanganku ini?"

Wasi Shiwamurti tertawa mengejek. Dia mengandalkan dua orang pembantu utamanya, yaitu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. "Ha-ha-ha, bagus! Coba sekarang kau ajukan jagomu untuk melawan jago kami. Ki Shiwananda, majulah! Nah, siapa yang akan maju melawan Ki Shiwananda?".

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring suara wanita. "Siapa berani menggangu anak-anakku?"

Dua sosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri Endang Patibroto dan seorang pemuda gagah yang bukan lain adalah Jarot. Putera Adipati Kertajaya dari Pasisiran ini melakukan perjalanan merantau dan memang dia ingin sekali menyusul Endang Patibroto yang pernah menolongnya dari tangan kedua orang kakaknya, Lembu Alun dan Lembu Tirta, yang bermaksud membunuhnya dengan bantuan guru mereka, yaitu Wasi Surengpati. Karena Adipati Kertajaya adalah seorang Adipati yang setia terhadap Jenggala dan Panjalu, maka dia merasa khawatir terhadap keselamatan Endang Patibroto yang hendak menyelidiki keadaan Nusabarung dan Blambangan.

Maka dia tidak mencegah, bahkan menyetujui ketika puteranya, Jarot menyatakan keinginannya untuk merantau dan menyusul Endang Patibroto ke kedua kadipaten itu, dan kalau perlu membantunya. Demikianlah, ketika tiba di luar perbatasan Blambangan, Jarot bertemu dengan Endang Patibroto dan mereka melanjutkan perjalanan bersama memasuki daerah Blambangan. Kebetulan sekali mereka melihat Retno Wilis, Bagus Seto, Jayawijaya dan Harjadenta sedang berhadapan dengan banyak orang yang sikapnya mengancam, maka Endang Patibroto lalu membentak marah.

"Retno, apa yang terjadi di sini? Siapa orang-orang menjemukan ini?" bentak Endang Patibroto galak kepada puterinya.

"Kanjeng ibu, mereka adalah Wasi Shiwamurti, pendiri agama baru dan kawan-kawannya. Dia hendak menawanku, dan aku mengajukan usul untuk bertanding satu lawan satu."

"Babo-babo! Siapa hendak menandingi puteriku, akulah lawannya! Engkaukah, pendeta palsu, yang hendak maju? Nah, akulah lawanmu!" kata Endang Patibroto sambil menghadapi Wasi Shiwamurti.

Sang wasi dan kawan-kawannya terkejut dan gentar menghadapi wanita setengah tua yang gagah perkasa dan galak bukan main itu. Wasi Shiwamurti sudah mendengar banyak tentang Endang Patibroto, wanita yang sakti itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak takut karena banyak kawan dan anak buahnya.

"Bagus, kiranya engkau sendiri yang datang, Endang Patibroto. Sudah lama karni mendengar akan namamu dan kebetulan sekali sekarang engkau datang mengantarkan nyawa!"

"Wasi Shiwamurti, keadaan sekarang berubah. Ibuku telah datang, maka dipihak kami bertambah seorang lagi, menjadi empat orang yang akan maju sebagai jago kami!"

"Bukan empat, melainkan lima!" Endang Patibroto berseru dan ia menuding ke arah Jarot. "Pemuda inipun dapat menjadi jago kita, Retno. Kenalkan, dia bernama Jarot, putera Adipati di Pasisiran."

Jarot mengangguk kepada Retno Wilis, Bagus Seto, Harjadenta dan Jayawijaya. Retno segera memperkenalkan dua orang pemuda yang sejak tadi diam saja itu kepada ibunya.

"Ibu, ini adalah kakangmas Harjadenta yang juga menjadi jago kita. Dan yang ini adalah kakang Jayawijaya yang bersama aku dijadikan tawanan oleh orang-orang Blambangan."

Endang Patibroto tersenyum kepada puterinya. "Aku sudah mengenal anakmas Jayawijaya, Retno. Anakmas Jayawijaya, bagaimana andika dapat bersama anakku menjadi tawanan orang-orang Blambangngan?"

Jayawijaya memberi hormat kepada Endang Patibroto. "Bibi, kebetulan sekali saya bertemu dengan diajeng Retno Wilis dan melakukan perjalanan bersama."

Diam-diam Endang Patibroto merasa girang sekali. Ia sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan Retno Wilis dengan pemuda yang aneh luar biasa ini, dan tahu-tahu mereka sudah bertemu bahkan melakukan perjalanan bersama.

"Ah, begitukah? Retno, mari kita berlima maju dan membasmi orang-orang jahat ini!"

Retno Wilis menghadapi Wasi Shiwamurti. "Wasi Shiwamurti, di pihak kami ada lima orang jago. Mari kita bertanding satu lawan satu!"

"Paman Wasi, biar aku yang maju sebagai jago pertama!" terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki tinggi besar melompat keluar. Usianya kurang lebih limapuluh tahun dan tubuhnya gagah dan tampak kokoh kuat. "Aku adalah, senopati Blambangan bernama Rajah Beling. Siapa berani melawan aku?" katanya sambil membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.

"Diajeng Retno Wilis, biar aku yang menandinginya!" kata Harjadenta dan Retno Wilis yang maklum akan kepandaian pemuda dari Gunung Raung ini mengangguk. Ia belum tahu. bagaimana tingkat kepandaian Jarot, pemuda yang datang bersama ibunya, maka tentu saja ia tidak berani mengajukan pemuda itu.

Dengan gagah Harjadenta melangkah maju menghadapi Senopati Rajah Beling yang memandang kepadanya dengan matanya yang tebar itu terbelalak menyeramkan. Harjadenta tersenyum, sikapnya tenang saja.

"Orang muda, sebutkanlah namamu agar engkau tidak mati tanpa nama!" bentak Senopati Rajah Beling dengan suara menggelegar.

"Aku Harjadenta dari Gunung Raung. Guruku adalah Eyang Empu Gandawijaya kalau engkau ingin tahu," jawab harjadenta dengan sikap tenang. Dia adalah seorang yang jujur, maka tanpa ditanya dia sudah memperkenalkan gurunya.

"Hemm, murid Empu Gandawijaya? Orang muda, karena kami sudah mengenal Empu Gandawijaya dan pernah memesan keris buatannya, maka kunasihatkan agar engkau pulang ke Gunung Raung dan jangan mencampuri urusan ini. Aku memberi kesempatan kepadamu untuk hidup demi gurumu."

"Senopati Rajah Beling, kita telah memilih pihak masing-masing dan kita berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu engkau menyinggung-nyinggung nama guruku. Kita telah menjadi jago dari masing-masing pihak. Majulah, aku siap menandingimu!"

"Orang muda keras kepala, tidak tahu di sayang orang. Sekarang engkau akan mati!" Berkata demikian, senopati yang tinggi besar itu sudah menerjang maju dengan tangan kanan dikepal sebesar kepala orang dan menyambar ke arah kepala Harjadenta, sedangkan tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah dada pemuda itu. Gerakannya mendatangkan angin, pertanda bahwa gerakan itu mengandung tenaga yang besar, juga datangnya amat cepatnya.

Namun Harjadenta adalah seorang pemuda yang tangkas dan gesit. Menghadapi serangan itu dia tidak menjadi gugup, cepat miringkan tubuhnya dan menarik kepalanya ke belakang sehingga pukulan dan cengkraman lawan itu hanya mengenai angin kosong belaka. Rajah Beling menjadi penasaran dan cepat kakinya menyusul dengan tendangan yang mencuat secepat ular mematuk. Kaki yang besar dan panjang itu menyambar ke arah dada Harjadenta. Namun pemuda ini sudah siap siaga.

"Wuuuuuuuuttt.... dukkkk!!" Lengan kanan Harjadenta sudah menangkis kaki kiri lawan yang menyambar dengan tendangan itu dan ternyata tenaga pemuda ini tidak kalah oleh tenaga tendangan lawan. Buktinya kaki yang tertangkis itu terpental dan membuat tubuh Rajah Beling menjadi doyong. Kesempatan ini dipergunakan oleh Harjadenta untuk membalas. Selagi tubuh lawannya condong ke kanan, dia memapakinya dengan tamparan tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang ditujukan ke arah leher lawan.

"Syuuuuuttt......!" Tamparan yang kuat ke itu juga tidak mengenai sasaran karena biarpun tubuhnya condong ke kanan, senopati yang banyak pengalaman bertanding itu sudah menjatuhkan tubuhnya ke belakang, lalu menggelinding dan meloncat bangun kembali.

Mereka sudah berhadapan lagi seperti dua ekor ayam jago sedang berlaga. Keduanya memasang kuda-kuda. Rajah Beling memasang kuda-kuda atau pasangan yang disebut Mahesa Mungkur, yaitu tubuhnya membelakangi lawan, akan tetapi lehernya menoleh ke belakang dan matanya memandang penuh kewaspadaan, kedua kakinya siap untuk membalik dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka terpasang di depan dada, seolah-olah seekor harimau yang sedang marah dan siap untuk menerkam musuhnya.

"Haiiiit....!" Rajah Beling tiba-tiba memutar kedua kakinya dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan menggunting ke arah tubuh Harjadenta..

"Yaaaaahhhh....!" Harjadenta juga mengeluarkan pekik dan kedua tangan yang membentuk cakar itu berkembang ke kanan kiri menangkis dua pukulan yang menggunting dari lawan, kemudian kaki kanannya menyambar ke arah perut Rajah Beling.

"Wuuuttt... desss...." Rajah Beling tidak sempat mengelak, maka diapun menggerakkan kaki kirinya menyambut tendangan itu sehingga kedua tulang kering kaki mereka bertemu dengan kerasnya.

Keduanya terpelanting dan terhuyung ke belakang. Jebol kuda-kuda mereka ketika kedua kaki mereka saling bertemu itu dan ternyata tenaga mereka seimbang sehingga keduanya terpelanting dan hampir roboh!

"Babo-baba, keparat! Ada juga isinya bocah ini!" kata Rajah Beling marah.

"Senopati Rajah Beling, keluarkan semua kedigdayaan dan aji kesaktianmu!" tantang Harjadenta.

"Keparat! Sambutlah pusakaku ini kalau engkau mampu!" Rajah Beling mencabut sebatang pedang dari pinggangnya.

"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka! Apa engkau kira hanya engkau yang memiliki pusaka? Akupun memiliki sebatang pusaka ampuh yang akan menandingi pusakamu!" Berkata demikian, Harjadenta mencabut kerisnya, yaitu Ki Mengeng, sebatang keris buatan Empu Gandawijaya.

"Maju dan sambutlah pusakaku ini yang akan mengantarmu ke alam baka!" bentak Rajah Beling dengan suara garang, dan dia sudah menerjang ke depan, pedangnya melayang dan membacok ke arah kepala harjadenta.

Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia cepat menggeser kakinya dan mengelak ke samping kiri. Ketika pedang yang berkilauan saking tajamnya itu meluncur lewat, cepat diapun memasukkan kerisnya menusuk ke arah lambung lawan. Rajah Beling cukup gesit dan melihat dirinya terancam maut di ujung keris lawan, diapun melompat ke belakang dan luput dari serangan itu. kemudian dia menerjang lagi, memutar pedangnya sehingga tampak gulungan sinar pedang yang seolah berubah menjadi banyak itu. Dari gulungan sinar itu mencuat sinar pedang menusuk ke arah dada Harjadenta. Pemuda ini cepat memutar pergelangan tangan kanannya yang memegang keris, kerisnya berputar menangkis pedang lawan. Karena maklufn bahwa lawannya memiliki tenaga besar, ketika menangkis Harjadenta mengerahkan tenaganya.

"Cring.... tranggg.....!!" Dua kali pedang bertemu keris dan tampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang senjata itu bertemu di udara dengan kuatnya.

Keduanya lalu melangkah ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing. Setelah mendapat kenyataan bahwa senjata mereka tidak rusak, keduanya maju lagi dan saling serang dengan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian kedua orang ini berimbang sehingga pertandingan itu berlangsung seru dan sukar untuk diramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Sebetulnya Harjadenta masih menang sedikit dalam hal kecepatan, sedangkan tenaga mereka seimbang. Akan tetapi Rajah Beling menutup kekalahannya itu dengan kemenangan dalam pengalaman bertanding. Gerakannya lebih matang dibandingkan Harjadenta, jurus-jurus silatnya dapat dikembangkan dengan berbagai gerakan yang cepat tidak terduga, sehingga kadang-kadang Harjadenta dibuat kaget.

Ada seperempat jam mereka bertanding dan keadaannya masih seimbang sehingga para penonton kedua pihak merasa tegang sekali. Jayawijaya yang ikut juga menjadi penonton, mengerutkan alisnya. Dalam hatinya dia sama sekali tidak senang menyaksikan pertandingan ini karena maklum bahwa seorang di antara mereka yang bertanding tentu akan tewas atau setidaknya terluka. Dia menganggap bahwa pertandingan itu bukan merupakan cara penyelesaian yang baik dan sehat. Akan tetapi diapun tahu bahwa dia tidak dapat mencegah karena kedua pihak sudah setuju untuk menyelesaikan persoalan dengan adu kepandaian silat. Tentu saja dia berpihakkepada rombongan Retno Wilis kareni pihak gadis itulah yang benar sedangkan pihak Blambangan salah akan tetapi dia tidak menghendaki cara kekerasan seperti itu.

"Hauuuppppp......!" Kembali Rajah Beling mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah merendahkan tubuh sampai berjongkok dan pedangnya menyerampang ke arah kedua kaki Harjadenta. Pemuda ini melompat ke atas belakang, akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, Rajah Beling sudah melompat ke atas dan menyerang dari atas dengan pedangnya, gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya.

Harjadenta terkejut bukan main. Serangan lawannya itu sedemikian cepatnya dan tahu-tahu pedang itu telah menyambar ke arah lehernya dari atas! Dia mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuh atasnya, akan tetapi pedang itu masih saja dapat menyerempet pundak kirinya. Baju di bagian pundak kirinya robek berikut kulit pundaknya, terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Harjadenta cepat menusukkan kerisnya ke arah tubuh yang masih melayang di atas itu. Rajah Beling menarik kakinya, akan tetapi tetap saja keris itu masih melukai pahanya sehingga mengucurkan darah.

Keduanya berlompatan ke belakang, Harjadenta berdarah pada pundak kirinya dan Rajah beling berdarah pula paha kanannya. Kawan-kawan dari kedua pihak cepat maju menolong teman masing-masing. Retno Wilis merasa lega setelah melihat bahwa luka di pundak Harjadenta tidak parah walaupun tentu saja kurang baik kalau pemuda itu melanjutkan pertandingan karena lukanya itu akan membuat gerakannya menjadi kurang leluasa dan lambat.

"Retno Wilis, jagomu telah terlukai" kata Wasi Shiwamurti lantang.

Retno Wilis bertolak pinggang menghadapi sang wasi itu. "Akan tetapi jagomu juga terluka lebih parah pada pahanya! Jagoku tidak dapat dikatakan kalah?"

Wasi Shiwamurti melihat betapa luka di paha Rajah Beling tidak memungkinkan bagi senopati Blambangan itu untuk melanjutkan perkelahian, maka diapun segera berkata lantang, "Retno Wilis! Karena jago kita masing-masing sudah terluka, maka keadaan mereka berimbang, tidak ada yang menang atau kalah. Pertandingan pertama ini kita anggap seri tanpa ada yang menang. Mari kita lanjutkan dengan pertandingan ke dua!"

"Kakang Wasi Shiwamurti, biarkan aku yang maju sekarang!" terdengar teriakan dan Wasi Karangwolo sudah melangkah maju, menghadapi pihak Retno Wilis sambil berkata, "Hayo siapa akan berani menandingi Wasi Karangwolo, penasihat Sang Adipati di Blambangan!"

Retno Wilis yang sudah tahu akan kehebatan ilmu kanuragan maupun ilmu sihir yang dimiliki Wasi Karangwolo, menjadi ragu. Kalau ia sendiri yang maju, bagaimana nanti kalau menandingi Wasi Shiwamurti dan kedua pembantunya yang sakti, yaitu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda? Mereka bertiga itu akan ia hadapi bertiga bersama ibunya dan kakaknya.

Satu-satunya jago yang ada padanya hanya pemuda yang bernama Jarot itu, akan tetapi karena ia belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu, ia tidak berani menyuruhnya maju. Kalau tingkatnya hanya setingkat kepandaian Harjadenta, tentu akan kalah menandingi Wasi Karangwolo. Ia hanya memandang ke arah pemuda itu dan kepada ibunya. la melihat ibunya mengangguk, dan Jarot agaknya maklum bahwa dia diharapkan untuk mewakili pihak Retno Wilis.

Sejak tadi Jarot memperhatikan Retno Wilis dan dia menjadi kagum bukan main, bahkan terpesona. Selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang dara yang bukan saja cantik jelita, namun juga pemberani dan gagah perkasa. Seperti dara inilah kiranya tokoh Maha Bharata yang bernama Srikandi itu! Akan tetapi karena baru saja dia diperkenalkan dengan Retno Wilis dan dia merasa rikuh untuk bicara kepada dara itu, maka dia berkata yang ditujukan kepada Endang Patibroto.

"Kanjeng Bibi Endang Patibroto! Perkenankan saya maju sebagai jago nomor dua pihak kanjeng bibi!"

Endang Patibroto tersenyum dan mengangguk. "Akan tetapi berhati-hatilah, anak-mas Jarot. Aku pernah bertanding dengan wasi busuk ini, dia cukup tangguh dan memiliki ilmu sihir, banyak akalnya yang licik!"

Jarot tersenyum. "Saya akan berhati-hati, kanjeng bibi." Dia lalu melangkah maju menghadapi Wasi Karangwolo dan berkata, "Sang Wasi, akulah tandingmu dan majulah, aku sudah siap!"

Wasi Karangwolo marah mendengar ucapan Endang Patibroto tadi. Dia dikatakan sebagai seorang wasi busuk yang licik! Dengan muka berubah merah saking marahnya dia sudah mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya, mengamangkan kerisnya kepada Jarot dan membentak, "Orang muda, siapakah andika yang berani menghadapi Wasi Karangwolo?"

"Namaku Jarot, aku putera Adipati Kertajaya dari Pasisiran, dan aku adalah murid Sang Bhagawan Dewondaru dari Gunung Semeru," kata jarot dan melihat lawannya memegang sebatang keris panjang, diapun mencabut keris yang terselip di pinggangnya, sebatang keris berluk tujuh yang berwarna hitam. Itulah keris Nogo Ireng pemberian gurunya, sebatang keris pusaka yang ampuh. Mendengar bahwa pemuda itu murid Sang Bhagawan Dewondaru yang telah dia kenal namanya sebagai seorang bhagawan yang sakti, Wasi Karangwolo tidak berani memandang rendah lawannya yang masih muda.

"Jarot, engkau bocah kemarin sore yang masih amat muda berani menandingi aku yang pantas untuk menjadi kakekmu? Hayo berlutut dan mengaku kalah, agar engkau tidak perlu mampus di tanganku. Berlututlah kau!" Sambil berkata demikian, Wasi Karangwolo mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi pemuda itu.

Endang Patibroto terkejut melihat ini, khawatir kalau-kalau pemuda itu akan tersihir. Betapapun juga, ia tidak berani menggunakan kekuatan sihirnya untuk menolong, karena dalam pertandingan yang diadakan satu lawan satu itu tentu saja tidak boleh ada yang turun tangan menolong. Maka ia hanya menonton dengan hati tegang, demikian pula Retno Wilis. Bagus Seto yang melihat ini, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut namun tajam mencorong itu.

Jarot telah menerima gemblengan dari Bhagawan Dewondaru dan sudah dibekali ke kuatan batin yang hebat. Namun menghadapi kekuatan sihir Wasi Karangwolo, pertahanan batinnya kurang kuat dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut karena perintah itu demikian berpengaruh dan mengandung wibawa yang amat kuat, hampir tidak dapat dia menahannya. Akan tetapi tiba-tiba pengaruh itu lenyap dan dorongan untuk berlutut lenyap pula. Dia tersenyum, tidak tahu bahwa diam-diam kekuatan pandang mata Bagus Seto yang membantunya. Dia hanya mengira bahwa lawannya itu tidak kuat mempengaruhinya!

"Sudahlah, Wasi Karangwolo, tidak ada gunanya bermain-main dengan kata-kata. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Jarot sambil memegang kerisnya menempel di pinggang kanan dan tangan kirinya melintang di depan dada dengan jari-jari tangan
terbuka.

Melihat betapa kekuatan sihirnya tidak mampu memaksa pemuda yang menjadi lawannya itu berlutut, Wasi Karangwolo maklum bahwa dia tidak akan menang menggunakan sihir. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan menerjang ke depan, menusukkan kerisnya ke arah dada Jarot. Pemuda itu mengelak dengan cepat sambil melangkah mundur. Akan tetapi dengan ganasnya Wasi Karangwolo sudah-menyerangkan kerisnya lagi, sekali ini menusuk ke arah perut. Karena serangan itu di lakukan dari dekat dan cepat datangnya, Jarot tidak keburu mengelak dan diapun menggerakkan kerisnya untuk menangkis.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Trik-trikk....!!" Dua kali keris bertemu dan Wasi Karangwolo merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar. Akan tetapi Jarot juga merasakan getaran hebat pada lengannya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Diapun cepat membalas dengan tusukan kerisnya ke arah lambung lawan, namun Wasi Karangwolo juga dapat mengelak dengan cepatnya. Terjadilah perkelahian yang seru, saling tusuk dan saling elak, kadang-kadang saling beradu keris.

"Mampus kau!" terdengar sang wasi membentak dan dia menubruk lagi ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawannya.

"Wuuuuutttt....!" Tusukan itu luput karena Jarot mengelak ke belakang.

"Wirrr.....!!" Kaki Wasi Karangwolo menyambar dengan sebuah tendangan kilat. Tak mengira bahwa lawannya akan mengirim tendangan yang dahsyat itu, Jarot hanya dapat menggunakan tangan kirinya untuk menangkis.

"Dukkk...!" Lengan kiri Jarot bertemu dengan kaki wasi Karangwolo. Tendangan itu demikian kuatnya sehingga membuat tubuh Jarot terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan sang wasi untuk mendesak dan mengejar dengan tusukan-tusukan kerisnya. Jarot yang terdesak hebat itu tiba-tiba melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik tiga kali, barulah dia terhindar dari desakan dan kini sudah siap lagi menghadapi lawan! Gerakannya ini bagus sekali, membuat Retno Wilis mengangguk-angguk. Pemuda itu memang cukup tangkas, akan tetapi ia tetap khawatir karena Wasi Karangwolo memang benar-benar digdaya.

Kembali mereka bertanding. Jarot membalas pula dengan tusukan-tusukan, diselingi dengan tamparan tangan kirinya dan tendangan kakinya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh lawan dengan elakan maupun tangkisan, bahkan sang wasi membalas dengan tidak kalah hebat dan gencarnya, membuat Jarot kadang terdesak dan mundur.

Sebetulnya dari Bhagawan Dewondaru Jarot sudah menerima gemblengan yang hebat, mempelajari aji-aji kesaktian yang ampuh. Akan tetapi dia masih muda dan masih kurang pengalaman, jarang mempergunakan kesaktiannya untuk bertanding. Oleh karena itu, kini menghadapi seorang tokoh wasi yang berilmu tinggi dan banyak sekali pengalamannya, tentu saja dia mulai terdesak.

Ketika dia mundur-mundur terdesak dan keris lawan berkelebatan seperti tangan maut mencari mangsa, Jarot menarik tubuh atas ke belakang. Setelah keris meluncur lewat, tubuh atasnya condong lagi ke depan dan dia melancarkan pukulan yang dahsyat ke arah dada lawannya. Akan tetapi agaknya ini yang dinanti-nanti oleh Wasi Karangwolo.

Tadi sudah-beberapa kali mereka mengadu tenaga lewat keris mereka dan sang wasi maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih menang sedikit. Maka dia mengharapkan untuk dapat mengadu tenaga sakti melalui pukulan tangan kiri. Ketika melihat Darot memukulnya dengan telapak tangan dan jarijarinya terbuka, diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kirinya pula sam bil menggeser kaki sehingga kedua tangan kiri itu dengan tepat bertemu di udara.

"Dessss..." Hebat bukan main pertemuan kedua tangan yang didorong oleh tenaga sakti itu.

Wasi Karangwolo sudah mengerahkan seluruh tenaganya, maka ketika benturan dahsyat terjadi, tubuh Jarot melayang ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan dia jatuh terpelanting! Biarpun dia tidak terluka parah, namun dia menjadi pucat dan napasnya agak terengah. Endang Patibroto sudah meloncat dan menyambar pundaknya, membantunya bangkit berdiri.

"Engkau tidak apa-apa, anakmas Jarot?" tanya wanita perkasa itu.

Jarot menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Tidak apa-apa, kanjeng bibi. Maafkan bahwa saya telah kalah."

"Ha-ha-ha-ha, jagomu yang kedua sudah mengaku kalah, Retno Wilis.'? Kedudukan kita sekarang menjadi dua satu untuk kemenangan pihak kami!" Wasi Shiwamurti tertawa dan mengejek.

Endang Patibroto menjadi marah sekali dan ia sudah melompat ke depan Wasi Shiwamurti sambil membusungkan dadanya

"Akulah jago ke tiga dari pihak kami, wasi siluman. Hayo siapa yang berani melawan aku!" Bentak Endang Patibroto, sikapnya amat gagah perkasa, menimbulkan rasa gentar di hati musuh. Terutama sekali Wasi Karangwolo yang tadi menangkan pertandingan melawan Jarot, dia merasa jerih karena dia pernah bertanding dengan wanita perkasa ini dan harus diakuinya bahwa dia tidak mampu menandingi Endang Patibroto.

Di pihak Blambangan, Ni Dewi Durgomala membuat perhitungan yang cerdik. Ia sudah pernah bertanding melawan Retno Wilis dan harus diakuinya bahwa ia tidak mampu mengalahkan dara perkasa itu. Juga ia tahu Bahwa Bagus Seto adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian hebat sekali. Jelas ia tidak akan mampu mengalahkan Retno Wilis ataupun Bagus Seto. Maka kini melihat Endang Patibroto maju, ia memilih wanita itu sebagai lawannya.

Biarlah Retno Wilis dan Bagus Seto nanti dihadapi oleh Ki Shiwananda dan Wasi Shiwamurti! Dengan ringan ia meloncat ke depan menghadapi Endang Patibroto sambil mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang kebutan. Tampaknya saja hanya kebutan, namun benda itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya. Setiap ujung bulu kebutan itu mengandung racun yang berbahaya sekali dan Ni Dewi Durgomala dapat memainkan kebutan itu dengan dahsyatnya.

"Endang Patibroto, akulah lawanmu, sudah lama aku mendengar akan namamu, hendak kulihat apakah itu hanya nama kosong belaka! Aku adalah Ni Dewi Durgomala dari Negeri Cola."

Endang Patibroto tersenyum mengejek dan menatap wajah Ni Dewi Durgomala dengan sinar mata tajam menusuk.

"Hemm, andika tentu perempuan yang menganggap diri nya penitisan Sang Batari Durgo! Akan tetapi sayang, yang kauwarisi sama sekali bukan kekuasaan dan kebaikannya, melainkan sifat sifat buruknya sehingga engkau menjadi seorang yang keji dan jahat. Karena itu, sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia iblis macam andika ini!"

Wajah Ni Dewi Durgomala menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali, matanya melotot sampai seperti akan meloncat keluar dari rongga matanya ketika ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Endang Patibroto.

"Keparat engkau Endang Patibroto! Berani engkau menghinaku seperti itu! Aku bersumpah untuk membunuhmu, memenggal kepalamu, mencabik-cabik dada mu dan mengeluarkan jantungmu!" Kebutan itu diputar-putarnya di atas kepalanya sehingga terdengar bunyi bersuitan.

"Tahan dulu....!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Jayawijaya berlari ke arah Endang Patibroto, tangannya membawa sebatang kayu yang panjangnya satu meter dan besarnya seibu-jari kaki. "Kanjeng Bibi Endang Patibroto, ini namanya tidak adil sama sekali! Lawanmu memegang senjata sedangkan bibi tidak membawa senjata apapun. Kalau kanjeng bibi tidak membawa senjata, maka pergunakanlah sepotong kayu ini untuk senjata!" Setelah berkata demikian dia mengulurkan tangannya menyerahkan sebatang kayu itu kepada Endang Patibroto. Endang Patibroto tersenyum dan menerima sepotong kayu itu.

"Terima kasih, anakmas Jayawijaya dan berdirilah engkau menjauh di sana."

Jayawijaya kembali ke tempat dia berdiri semula. Endang Patibroto menggerak-gerakkan sepotong kayu itu dan terasa enak di tangannya. Sebagai seorang sakti, benda apapun kalau berada di tangannya dapat menjadi senjata dan memegang sepotong kayu itu ia merasa seperti memegang sebatang pedang! Biarpun ia tidak gentar menghadapi kebutan Ni Dewi Durgomala dengan tangan kosong saja, akan tetapi menghadapi senjata beracun memang lebih baik kalau ia menggunakan sepotong kayu itu.

"Durgomala, mari kerahkan seluruh tenagamu dan keluarkan semua ilmumu! Aku sudah siap untuk menandingi dan menghajarmu!" kata Endang Patibroto sambil memalangkan sepotong kayu itu di depan dadanya.

Ni Dewi Durgomala yang sudah marah sekali itu berteriak, "Endang Patibroto, engkau mampus di tanganku!" Dan secepat kilat iapun menggerakkan kebutannya melakukan serangan yang dahsyat.

Kebutan itu berputaran di atas kepala, lalu menukik dan menyambar ke arah kepala Endang Patibroto, didahului angin pukulan yang menderu. Namun, sikap dan gerakan Endang Patibroto tenang dan mantap sekali. Ia mengelak dengan melangkahkan kaki kanan ke kanan dan menggeser kedudukannya sehingga kebutan itu hanya mengenai tempat kosong saja. Namun dengan menggerakkan pergelangan tangannya, Ni Dewi Durgomala telah dapat membuat kebutannya itu menyambar balik dan kini berubah menjadi kaku seperti baja dan kebutan yang sudah menjadi kaku itu menusuk ke arah dada Endang Patibroto seperti sebatang pedang!

Endang tidak menjadi terkejut melihat betapa bulu-bulu kebutan yang lemas itu kini berubah menjadi kaku seperti kawat baja dan dengan masih tenang namun tangkas ia menggerakkan tongkat kayunya untuk menangkis tusukan itu.

"Trakk....!" Kebutan yang menjadi kaku itu terpental ketika bertemu tongkat dan Ni Dewi Durgomala merasa betapa tangannya yang memegang gagang kebutan menjadi tergetar hebat. Diam-diam ia terkejut setengah mati. Kiranya wanita yang kondang saktinya ini benar-benar memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Ni Dewi Durgomala menjadi penasaran sekali dan ia mengeluarkan suara melengking panjang, lalu kebutannya bergerak cepat, berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika ia menyerang secara bertubi-tubi. Namun, Endang Patibroto berkelebatan cepat dan kadang ia lenyap dari pandang mata lawannya. Ni Dewi Durgomala menjadi terkejut sekali. Itulah Aji Bayu Tantra dari Endang Patibroto yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali dan gerakannya cepat seperti kilat. Biarpun Ni Dewi Durgomala mengejar dan menyerang bayangan yang berkelebatan itu, namun kebutannya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Endang Patibroto!

Karena penasaran, Ni Dewi Durgomala menambah serangan kebutannya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya. Tangan kiri ne nek ini berbahaya sekali karena setiap kuku jarinya mengandung racun yang amat berbahaya. Ia bukan hanya memukul dan menampar, akan tetapi juga mencengkeram.

"Yaaaaaaattttttt.....!" Ni Durgomala berkali-kali mengeluarkan teriakan melengking.

"Haiiiiiitttt....!" Endang Patibroto juga berteriak-teriak melengking dan tiba-tiba mulut wanita perkasa ini mengeluarkan pekik yang dahsyat sekali dan tiba-tiba mendengar pekik ini, tubuh Ni Dewi Durgomala menjadi gemetar dan jantungnya terguncang.

Itulah pekik yang disebut Aji Sardulo Bairawa yang memiliki pengaruh seperti auman seekor harimau yang dapat membuat calon korbannya menjadi lemas. Dalam keadaan seperti itu, tangan kiri Endang Patibroto menyambar ke arah kepala lawan dan pukulan tangan kosong itu adalah aji yang teramat ampuh, yaitu Aji Pethit Naga! Angin yang kencang menyambar panas ke muka Ni Dewi Durgomala. Wanita ini maklum bahwa pukulan itu amat ampuh maka ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah! Ketika Endang Patibroto mengejarnya untuk menyusulkan serangan, Ni Dewi Durgomala melompat bangun dan mengelebatkan kebutannya untuk memukul ke arah muka lawan.

"Hemm......!" Endang Patibroto menggerakkan tongkat kayunya untuk menangkis.

"Plakk!" Bulu-bulu itu membelit tongkat seperti seekor ular!

Endang Patibroto mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tertahan oleh libatan kebutan yang melilit amat kuatnya. Dengan marah Endang Patibroto mencuatkan kaki kirinya menendang ke arah tangan kanan lawan yang memegang kebutan. Melihat tendangan kilat ini, Ni Dewi Durgomala terpaksa melepaskan lilitan kebutannya. Begitu terbebas dari lilitan, Endang Patibroto mengamuk. Tongkat kayunya menyambar-nyambar dengan ganasnya dan biarpun Ni Dewi Durgomala berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tongkat kayu itu beberapa kali mengenai tubuhnya dengan bertubi-tubi.

"Plak! Plak! Plak!" Tongkat itu melecut ke berbagai penjuru dan selalu mengenai tubuh Ni Dewi Durgomala.

Robek-robeklah baju nenek itu dan biarpun tongkat itu tidak mendatangkan luka parah, namun kulit tumbuhnya menjadi matang biru dan berbilur-bilur, nyeri dan pedih! Ia mundur-mundur terus dan dikejar oleh Endang Patibroto yang agaknya ingin memukuli lawan sampai mati! Terpaksa Ni Dewi Durgomala lari melompat ke belakang Wasi Shiwamurti dan pendeta ini menggerakkan tongkatnya yang berkepala naga untuk menangkis sambaran tongkat kayu di tangan Endang Patibroto.

"Takkk!" Tongkat di tangan Endang Patibroto terpental. Akan Tetapi wanita perkasa itu tidak takut dan ia menghadapi Wasi Shiwamurti dengan penuh tantangan.

"Andika hendak membelanya? Majulah sekalian!" bentak Endang Patibroto. Akan tetapi Retno Wilis sudah melompat dan menyentuh lengan ibunya.

"Kanjeng Ibu, persilakan mundur. Ibu sudah menang dalam pertandingan tadi!" katanya.

Baru sadarlah Endang Patibroto bahwa ia bertanding untuk mencari kemenangan di pihak puterinya, bukan untuk berkelahi mati-matian. Ia lalu mundur.

"Nah, Wasi Shiwamurti. Kini pihakku menang dalam pertandingan ke tiga!" kata Retno Wilis dengan girang.

"Hemm, keadaan kita baru dua lawan dua, Retno Wilis. Kami masih belum kalah dan masih ada dua pertandingan lagi. Ki Shiwananda, majulah sebagai jago ke empat!" katanya kepada Ki Shiwananda yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah dan kuat sekali.

Ki Shiwananda lalu melangkah lebar ke depan. Tangan kanannya meraih ke belakang punggung dan dia sudah melolos senjatanya yang hebat, yaitu sebuah ruyung besar bergigi. Dahsyat dan mengerikan tampaknya senjata ini, kuat keras dan berat. Hanya orang yang bertenaga gajah saja mampu memainkan ruyung seberat itu. Retno Wilis mendekati Bagus Seto dan ia berkata, "Kakang Bagus Seto, yang ini akan kuhadapi. Engkau menghadapi jago mereka yang terakhir yang tentu adalah Wasi Shiwamurti sendiri."

Bagus Seto mengangguk. "Berhati-hatilah, Retno. Lawanmu ini bertenaga gajah. Akan tetapi engkau dapat mengatasinya kalau mempergunakan kecepatan gerakanmu," kata Bagus Seto dengan tenang. Kemudian dia memandang ke arah Jayawijaya dan merasa heran mengapa pemuda itu tenang-tenang dan diam-diam saja, tidak mengajukan diri untuk menjadi jago.

Endang Patibroto berkata kepada puterinya, "Retno Wilis, engkau harus dapat mengalahkan raksasa itu. Jangan beri ampun, hajar saja dan kalau perlu binasakan dia!"

Retno Wilis tersenyum kepada ibunya. Dulu ia bahkan lebih ganas dan galak dari pada ibunya. Akan tetapi setelah melakukan perjalanan bersama Bagus Seto, ia sudah banyak berubah. Tidak haus darah seperti dulu lagi. Apa lagi setelah ia bertemu dan berkenalan dengan Jayawijaya. Dengan sikap tenang ia lalu menghadapi Ki Shiwananda yang memegang ruyung dan yang memandang dengan sepasang matanya yang besar.

"Ki Shiwananda, akulah yang menjadi lawanmu!" kata Retno Wilis.

Ki Shiwananda adalah seorang laki-laki yang terlalu mengandalkan kekuatan sendiri dan memandang rendah orang lain. Juga dia seorang mata keranjang dan entah sudah berapa ratus atau ribu wanita yang menjadi permainannya ketika para wanita itu terjatuh ke dalam cengkeramannya melalui sihir. Akan tetapi selama hidupnya, belum pernah dia mendapatkan seorang wanita seperti Retno Wilis yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan sakti mandraguna. Dia mengamati Retno Wilis dari kepala sampai ke kaki, lalu berkata dengan suaranya yang berat dan besar.

"Hemm, Retno Wilis. Lebih baik kalau kita berdamai saja. Eman-eman ayumu kalau engkau bertanding denganku dan sampai terluka atau lecet-lecet kulitmu yang halus dan putih mulus tanpa cacat itu. Lebih baik engkau menjadi isteriku dari pada menjadi musuhku!"

Retno Wilis tersenyum. Tidak terpancing kemarahannya karena ia maklum bahwa ucapan itu bukan hanya dikeluarkan karena Ki Shiwananda seorang yang mata keranjang, akan tetapi juga merupakan siasat sebelum bertanding untuk membuatnya marah. Kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan dan inilah yang dikehendaki Ki Shiwananda. Maka ia tidak menjadi marah bahkan tersenyum dan begitu tangannya meraih ke belakang, ia sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Itulah pedang pusaka Sapudenta!

"Ki Shiwananda, tidak perlu banyak membuka mulutmu yang lebar dan berbau bangkai itu. Mari tandingi aku kalau engkau memang memiliki kepandaian!" tantang Retno Wilis.

"Keparat, tidak dapat dieman! Kalau begitu aku akan membunuhmu! Tubuhmu akan kulumatkan dengan ruyung ini. Haiiiiittt...!"

Raksasa itu menerjang, ruyungnya menyambar dahsyat sampai mengeluarkan bunyi mengaung saking kerasnya. Retno Wilis mengelak, bergerak seperti seekor burung srikatan sehingga sambaran ruyung hanya mengenai angin belaka. Sambil mengelak ke kiri, Retno Wilis menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah perut yang gendut itu. Namun, Ki Shiwananda juga cukup tangkas. Dia sudah memutar ruyungnya dan kini senjata itu menangkis pedang yang menusuk perutnya.

"Trangggg.....!" Bunga api berpijar ketika ruyung bertemu pedang, dan Retno Wilis merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat. Ia harus mengakui kebenaran peringatan kakaknya tadi bahwa lawannya ini memiliki tenaga gajah!

Pada saat itu, ruyung kembali menyambar ke arah kepala Retno Wilis. Ruyung yang mengerikan itu kalau mengenai kepala, tentu akan melumatkan kepala itu. Akan tetapi kembali senjata itu hanya mengenai tempat kosong karena Retno Wilis sudah mengelak dan merendahkan diri sehingga ruyung lewat di atas kepalanya. Menggunakan kecepatan gerakannya, dengan tubuh agak merendah Retno Wilis sudah menyerang ke arah kedua kaki lawan dengan pedangnya. Dibabat pedang secara bertubi-tubi ke arah kedua kakinya itu membuat Ki Shiwananda menjadi kerepotan. Dia meloncat-loncat ke belakang, kemudian setelah ia memutar ruyungnya melindungi kedua kakinya, barulah desakan Retno Wilis dapat dihentikan.

Pertandingan berlangsung seru dan mati-matian. Karena Ki Shiwananda mengandalkan kebesaran tenaganya dan Retno Wilis mengandalkan kecepatannya, maka pertandingan berjalan seru sekali, lebih menegangkan daripada pertandingan-pertandingan sebelumnya. Ki Shiwananda mengeluarkan semua ilmu dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, tidak pernah ruyungnya dapat menyentuh tubuh lawan, bahkan sebaliknya pedang Retno Wilis yang bergerak sangat cepat itu kadang-kadang membuatnya kewalahan untuk mengelak dan menangkis.

"Terimalah Aji Kaladahana!" Tiba-tiba Ki Shiwananda memekik dan tubuhnya merendah dengan kedua lutut ditekuk, dan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, mulutnya ternganga mengeluarkan hawa. Dari tangan yang didorongkan itu keluar uap dan telapak tangannya berubah kemerahan seperti mengandung api. Uap yang menyambar ke arah Retno Wilis itu membawa hawa yang panas sekali.

Maklum bahwa lawan menggunakan ilmu pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga sakti, Retno Wilis tidak kehilangan akal. Iapun merendahkan tubuhnya dan mendorongkan tangan kirinya, untuk menyambut serangan lawan. Itulah Aji Wisolangking. Gelombang hawa yang dingin menyambar ke depan dan ketika dua tenaga sakti itu bertumbuk di udara, keduanya terdorong mundur sampai dua langkah! Akan tetapi gerakan Retno Wilis memang cepat sekali. Begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tubuhnya sudah melesat ke depan dan pedangnya menyambar-nyambar dengan amat ganasnya!

Ki Shiwananda terkejut. Bukan saja ajinya Kaladahana dapat dipunahkan lawan, akan tetapi terutama sekali serangan dara itu membuatnya repot. Dia berusaha untuk menangkis dan mengadu senjata karena dia menang kuat dalam adu tenaga kasar. Akan tetapi Retno Wilis tidak memberi kesempatan dia mengadu tenaga. Pedang itu mengelak setiap kali ditangkis dan sudah menusuk lagi atau membacok dengan cepatnya. Didesak demikian, Ki Shiwananda terpaksa mempertahankan diri sambil mundur terus.

Tiba-tiba Ki Shiwananda menjadi nekat dan agaknya dia hendak mengadu nyawa, membiarkan diri terancam asal dia dapat berbalik mengancam lawan. Dia memutar ruyungnya dan menerjang ke depan. Dia membiarkan dirinya terbuka terhadap pedang lawan, akan tetapi kalau pedang lawan mengenai tubuhnya, ruyungnya berbareng juga akan mengenai tubuh lawan.

Menghadapi serangan nekat ini tentu saja Retno Wilis terkejut dan ia tidak sudi mengorbankan diri untuk sama-sama terluka. Ia mengelak dan ketika lawan terus mendesak dengan sambaran ruyungnya, ia menjatuhkan diri ke belakang, berjungkir balik di atas tanah dan ketika tangan kirinya menyentuh tanah, diam-diam ia mengambil segenggarn tanah dengan tangan kirinya.

Ketika ia berdiri lagi dan melihat lawan masih terus maju menerjang, tiba-tiba ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak menyambitkan tanah yang digenggamnya ke arah dada Ki Shiwananda. Jarak di antara mereka dekat sekali dan sambitan itu dilakukan tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Ki Shiwananda. Ketika ada sinar hitam menyambar ke arah dadanya, dia tidak sempat mengelak dan terpaksa dia mengerahkan aji kekebalannya untuk melindungi dada itu.

"Prattt....!!" Dada itu kena disambar tanah berpasir yang disambitkan dengan Aji Pancaroba, semacam aji melempar pasir biasa menjadi pasir sakti yang berbahaya.

Karena dada itu telah dilindungi aji kekebalan, maka pasir itu tidak dapat menembus kulit. Akan tetapi tetap saja terasa nyeri pada kulit dada dan membuat Ki Shiwananda terhuyung ke belakang. Saat itu, sinar pedang Sapudenta menyambar ke arah lehernya. Ki Shiwananda menggerakkan ruyungnya menangkis.

"Tranggg.... bukkk!" Pedang tertangkis akan tetapi pada saat itu Retno Wilis sudah menendang dan mengenai perut Ki Shiwananda, membuat tubuh raksasa itu terjengkang dan terbanting keras. Untuk menyelamatkan dirinya, Ki Shiwananda menggulingkan tubuhnya ke arah Wasi Shiwamurti. Akan tetapi Retno Wilis yang sudah merasa memperoleh kemenangan tidak melakukan pengejaran, melainkan memandang kepada Wasi Shiwamurti dengan senyum mengejek.

"Wasi Shiwamurti, jagomu yang ke empat sudah keok! Kedudukan kita kini menjadi tiga lawan dua untuk kemenangan pihakku. Sebaiknya kalian minggat dari sini dan jangan ganggu kami lagi karena kalau engkau berani menghadapi pertandingan terakhir, engkau tentu akan kalah pula."

Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah. "Masih ada sebuah pertandingan lagi, yang ke lima dan aku sendiri yang akan maju! Hayo ajukanlah jagomu, Retno Wilis! Jagomu pasti akan kalah olehku dan kedudukan kita akan menjadi tiga sama dan seri sehingga kalian semua akan tetap menjadi tawanan kami untuk dihadapkan kepada Sang Adipati Blambangan sebagai telik sandi dan pengacau."

"Hei, Wasi Shiwamurti, dengarkanlah omonganku ini!" terdengar suara nyaring dan semua orang menoleh dan memandang kepada Jayawijaya yang mengeluarkan suara itu.

"Sadarlah bahwa engkau sebagai seorang wasi, seorang pendeta yang bijaksana, sedang melakukan hal yang sama sekali menyimpang dari kebenaran!"

"Jayawijaya, engkau ini orang lemah tidak tahu apa-apa bicara tentang kebenaran. Ketahuilah bahwa semua yang kami lakukan ini adalah benar belaka!"

"Kebenaran menurut pendapatmu sendiri! Akan tetapi ada kebenaran umum, kebenaran yang dapat ditelusuri dan dipertimbangkan akal sehat, Wasi Shiwamurti. Ada dua hal yang membuat engkau ingin menahan dan menangkap diajeng Retno Wilis dan pihaknya, yaitu pertama karena mereka engkau tuduh sebagai telik sandi dan kedua karena mereka pengacau. Tuduhan pertama itu, kalau benar bahwa mereka telik sandi, mengapa mereka melakukan itu? Bukan lain karena Blambangan bersikap memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala, sehingga sepantasnyalah kalau diajeng Retno Wilis sebagai kawula Panjalu yang setia menyelidiki keadaan Blambangan yang memberontak. Kedua, tuduhan bahwa ia mengacau itupun ada sebabnya, yaitu karena engkau dan kawan-kawanmu menyebarluaskan agama baru yang menyimpang dari kesusilaan. Karena itu, mawas dirilah engkau, Wasi Shiwamurti sebelum terlambat karena bagaimanapun juga, yang salah akhirnya akan kalah dan yang benar akan menang."

"Orang muda cerewet! Diam engkau atau aku akan merobek mulutmu! Hayo maju kalau engkau berani, bertanding melawanku, bukan hanya bicara seperti seorang nenek bawel!"

Bagus Seto melangkah maju menghadapi Wasi Shiwamurti. "Paman Wasi Shiwamurti! Sepatutnya andika berterima kasih karena ada orang yang mau mengingatkanmu. Akan tetapi andika malah marah-marah, ini sesungguhnya bukan sikap seorang pendeta dan pertapa. Kalau andika menghendaki kekerasan dan menantang tanding, nah, akulah yang akan menandingi-mu!"

Dengan sepasang matanya yang mencorong Wasi Shiwamurti mengamati pemuda berpakaian putih itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang usianya sekitar tigapuluh tahun, wajahnya lembut dan matanya juga bersinar lembut, gerak-geriknya tenang namun dibalik semua ketenangan itu dia dapat merasakan tenaga yang amat dahsyat bersembunyi. Dia tahu bahwa pemuda ini tentu seorang yang memiliki kesaktian tinggi, dan diapun sudah mendengar laporan mengenai pemuda ini. Maka, diam-diam dia lalu mengerahkan segenap tenaga batinnya dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada, mulutnya kemak-kemik dan matanya terpejam mempersatukan segala daya alam pikirannya. Kemudian dia membuka mata, memandang ke arah kedua mata Bagus Seto dan terdengar suaranya yang bergema seperti bukan suara manusia lagi.

"Bagus Seto, lihat, nagaku akan memangsamu!" Dia mengembangkan kedua lengannya dan terdengar halilintar pada saat tengah hari terang benderang itu. Dia melontarkan tongkat kepala naganya ke udara dan tongkat itu lenyap berubah menjadi seekor naga hitam yang besar badannya sama dengan pohon kelapa! Moncongnya terbuka lebar, matanya berapi-api menyeramkan sekali sehingga semua orang yang melihatnya menjadi terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

Akan tetapi, walaupun naga itu menghadapinya dan moncongnya ternganga siap menelannya dan sepasang kaki depan dengan kuku-kuku melengkung runcing siap menerkamnya, Bagus Seto tetap tenang saja. Dari rambut kepalanya dia mengambil sesuatu dan ternyata setangkai bunga cempaka putih sudah berada di tangannya. Dengan mata mencorong menatap naga jadi-jadian itu dia menyambitkan bunga cempaka putih itu ke arah naga.

"Segala sesuatu harus kembali ke asalnya!" katanya dan bunga itu berubah menjadi sinar putih seperti kilat yang menyambar ke arah naga.

Terdengar suara menggelegar dan naga hitam itu mengeluarkan asap dan jatuh ke atas tanah, begitu menyentuh tanah berubah menjadi tongkat kembali. Bunga cempaka putih itu melayang turun kembali ke tangan Bagus Seto. Wasi Shiwamurti dengan muka merah karena marah menyambar tongkat kepala naganya lagi, lalu mengetuk-ngetukkan ujung tongkat itu ke atas tanah. Makin lama ketukan itu semakin kuat dan dari bawah tongkat itu mengepul debu tebal berikut pasir dan kerikil menerjang ke arah Bagus Seto! Serangan ini dahsyat sekali sehingga menegangkan hati Retno Wilis.

Namun Bagus Seto tetap tenang. Dia menanggalkan kain putih yang menjadi pengikat rambutnya dan menggunakan kain yang cukup lebar itu untuk mengebut ke depan. Sungguh aneh! Biarpun yang dikebut-kebutkan itu hanya sehelai kain putih, akan tetapi ketika debu tebal berikut pasir dan kerikil itu terkena kebutan itu, terpental kembali, bahkan menyerang balik ke arah Wasi Shiwamurti. Sang wasi menjadi marah dan memutar tongkatnya. Semua pasir dan kerikil runtuh ke atas tanah.

"Paman Wasi Shiwamurti, andika hendak mengadu ilmu ataukah hendak main-main? Segala macam permainan untuk menakut-nakuti anak kecil ini tidak perlu andika keluarkan!" kata Bagus Seto, bukan mengejek melainkan dengan suara bersungguh-sungguh.

Wajah sang wasi menjadi pucat, lalu merah kembali dan untuk menutup malunya dia berkata dengan congkak. "Babo-babo, Bagus Seto! Aku sudah siap dengan senjata tongkat wasiatku, sekarang keluarkanlah senjatamu. Pilihlah senjata yang paling keras dan ampuh untuk diadu dengan tongkat kepala nagaku!"

Mempersilakan lawan memilih senjata adalah sikap yang gagah dan ini diperlihatkan Wasi Shiwamurti untuk menutupi rasa malunya karena dua kali serangan ilmu sihirnya dapat digagalkan lawan. Akan tetapi sekali inipun dia kecelik karena Bagus Seto tersenyum dan berkata dengan sikap tenang dan lembut.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Paman Wasi Shiwamurti, sejak tadi aku sudah memegang senjataku. Inilah senjataku!" Dia memperlihatkan kain pengikat rambut di tangan kanan kanan dan bunga cempaka putih di tangan kiri.

Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah sekali sampai ke lehernya. Diam-diam dia merasa terkejut dan juga penasaran. Terkejut karena dia maklum bahwa kalau orang berani bersenjatakan benda-benda lemah seperti kain dan bunga cempaka, orang itu pasti memiliki kesaktian tinggi, dan dia merasa penasaran karena dengan memegang senjata remeh macam itu, pemuda itu seolah memandang rendah kepadanya! Akan tetapi kemarahan lebih menguasai hatinya dan dia segera memutar tongkatnya sehingga tongkat itu melintang di depan dadanya.

"Bagus! Sambutlah keampuhan tongkat kepala nagaku!"

Dan dia sudah menyerang dengan dahsyat sekali. Retno Wilis sendiri sampai mengerutkan alisnya karena darisam baran angin serangan itu saja maklumlah dara perkasa ini betapa sakti orang itu dan betapa dahsyat dan berbahaya tongkatnya. Namun Bagus Seto bergerak sedemikian ringannya seolah tubuhnya berubah menjadi asap dan sambaran tongkat yang bertubi-tubi itu tidak pernah dapat mengenai tubuhnya. Ketika Retno Wilis sedang memandang dengan mata tidak pernah berkedip dan dengan hati tegang, tiba-tiba terdengar orang bicara di dekatnya.

"Diajeng Retno Wilis, kakakmu ini sungguh seorang yang sakti mandraguna. Juga seorang yang bijaksana. Aku kagum sekali kepadanya."

Senang hati Retno Wilis mendengar pujian itu dan merasa bangga, walaupun kekhawatiran masih menyelinap di hatinya karena ia maklum benar bahwa sekali ini kakaknya menghadapi seorang lawan yang teramat sakti.

"Akan tetapi lawannya juga seorang yang sakti mandraguna, kakang. Aku khawatir...."

"Ingat, diajeng. Kita harus pasrah kepada kekuasaan Hyang Widhi. Aku yakin, karena kakangmas Bagus Seto berada di pihak benar, maka dia tidak akan terancam bahaya. Soal kalah menang bukan yang terpenting, akan tetapi yang lebih baik dia selalu berada daiam lindungan kekuasaan Sang Hyang Widhi."

Entah mengapa, setelah mendengar suara dan kata-kata Jayawijaya ini, hati Retno Wilis menjadi tenteram dan timbul pula keyakinan dalam hatinya bahwa kakaknya akan terlindung kekuasaan Hyang Widhi seperti yang dikatakan Jayawijaya.

Sementara itu, pertarungan antara Wasi Shiwamurti dan Bagus Seto masih berlangsung dengan serunya. Tampak sekali perbedaan dalam sepak terjang kedua orang sakti mandraguna itu. Kalau tongkat kepala naga di tangan Wasi Shiwamurti menyambar-nyambar ganas dan merupakan tangan maut yang haus darah, setiap serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Bagus Seto hanya berusaha menghindarkan diri dan kalau sewaktu-waktu kain pengikat rambutnya membalas serangan, maka serangan itu hanya untuk menotok jalan darah dan untuk melumpuhkan saja, tidak ada niat untuk membunuh.

Akan tetapi sikap mengalah dari Bagus Seto ini merugikan dirinya sendiri dan dengan sendirinya gerakan tongkat Wasi Shiwamurti menjadi semakin ganas sehingga Bagus Seto terdesak hebat. Tiba-tiba Shiwamurti mengeluarkan suara gerengan panjang. Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung mereka yang menonton dan mereka cepat-cepat mengerahkan tenaga batin untuk menahan jantung mereka dari guncangan yang akan mendatangkan luka dalam. Akan tetapi, bersamaan dengan getaran hebat itu, gerakan tongkat sang wasi menjadi semakin hebat pula. Ujung tongkatnya tergetar-getar menjadi banyak dan ujung tongkat itu menyerang secara bertubi-tubi ke arah tubuh Bagus Seto.

Menghadapi serangan dahsyat dan ganas ini, tiba-tiba tubuh Bagus Seto mumbul ke atas. Tongkat itu mengejarnya pada saat tubuh pemuda itu masih berada di atas, akan tetapi sungguh hebat. Tubuh itu dapat mengelak seolah burung yang sedang terbang saja, atau tubuh itu seolah telah menjadi asap atau uap. Inilah aji kesaktian yang disebut Mego Gemulung, yang membuat tubuh Bagus Seto laksana awan mendung yang berarak di angkasa, serangan tongkat yang bertubi-tubi tidak pernah dapat menyentuhnya. Dengan sedikit elakan saja semua serangan itu luput dan kadang-kadang ujung tongkat dikebut kain pengikat rambut sehingga menyeleweng tusukannya. Tubuh Bagus seto bergerak-gerak di udara seperti seekor kupu-kupu!

SEPASANG GARUDA PUTIH JILID 15

Sepasang Garuda Putih Jilid 14

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Sepasang Garuda Putih Jilid 14

JAYAWIJAYA memegang kedua tangan gadis itu, mengangkat kedua tangan itu mendekatkan kepada mukanya dan mencium jari-jari tangan itu.

"Jangan rikuh atau malu, diajeng karena keadaan hati kita sama. Akupun mencintamu sejak pertama kali kita berjumpa. Hatiku melekat kepadamu. Semoga Sang Hyang Widhi memperkenankan dan memberkahi hati kita yang saling mencinta."

"Kakang....!" Retno Wilis mendesah dan selama hidupnya belum pernah ia merasakan kebahagiaan seperti saat itu.

Tubuhnya menjadi lemas dan seolah ia tidak kuat menyangga kepalanya dan menyandarkan kepalanya didada Jayawijaya yang segera mendekapnya. Dalam dekapan kedua lengan pemuda itu, Retno Wilis merasa seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, begitu aman tenteram dan bahagia! Ia memejamkan kedua matanya dan merasa seperti diayun-ayun.

Sesungguhnyalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada dua hati yang saling mencinta bertemu. Demikian asyik dan masyuk. Gamelan di Lokananta bagaikan berbunyi merdu selaras dengan nyanyian hati mereka. Desah angin diantara daun-daun pohon seperti berbisik-bisik merdu merayu. Gemercik air di anak sungai seperti sekumpulan bidadari menyanyikan lagu puji-pujian. Sinar matahari tampak lebih cerah dan indah dari pada biasanya. Awan-awan yang berarak di angkasa membentuk lukisan-lukisan yang indah menakjubkan. Andaikata dunia kiamat di saat itu, mereka berdua tidak akan merasakannya dan mati terselubung kebahagiaan yang terasa sampai di tulang sumsum itu.

Mereka tenggelam dalam lautan asmara, telinga mereka penuh dengan sajak-sajak dan nyanyian cinta yang serba indah, tidak mendengarkan apa-apa yang lain lagi. Cinta asmara memang memiliki kekuasaan yang amat dahsyat. Jayawijaya yang biasanya selalu waspada itu, sekali inipun terlena. Mendekap kepala Retno Wilis baginya seolah dia telah mendekap alam semesta, telah mendapatkan segala-galanya. Dia sampai lupa diri dan memejamkan mata, hanyut terbawa nyanyian asmara yang mengayun kalbunya.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya kalian berdua saling mencinta! Bagus sekali! Kami akan menyempurnakan kebahagiaan kalian dengan keduanya mati bersama!" tiba-tiba terdengar seruan itu yang bagaikan geledek telah menarik kedua orang muda keluar dari alam kahyangan Sang Hyang Komajaya dan Komaratih!

Mereka kembali ke dunia yang banyak halangan dan cobaan, dan menghadapi Wasi Shiwamurti yang muncul lengkap dengan Wasi Karangwolo, Ni Dewi Durgomala, Ki Shiwananda, kedua senopati Rajah Beling dan Kurdolangit bersama belasan orang anak buah mereka! Seketika maklumlah Retno Wilis bahwa keadaan mereka dalam bahaya maut. Gertakan Wasi Shiwamurti bukan gertakan kosong belaka. Kalau mereka semua itu menyerang, ia tidak akan mampu melindungi Jayawijaya atau bahkan dirinya sendiri. Ia dan kekasihnya akan mati bersama! Pikiran ini menenangkan hatinya. Mati bersama! Alangkah membahagiakan itu. Maka sedikitpun ia tidak menjadi jerih.

"Wasi Shiwamurti, kenapa kalian masih saja mengejar-ngejar kami? mengapa kalian memusuhi kami, padahal kami tidak memusuhi kalian? hentikanlah pengejaran ini dan biarkan kami pergi dengan aman," kata Jayawijaya, sementara itu Retno Wilis sudah bersiap siaga untuk mempertahankan diri dan melindungi Jayawijaya dengan sekuat tenaga sampai saat terakhir.

"Jayawijaya, sekarang juga andika boleh pergi, kami tidak akan mengganggu, kami tidak mempunyai urusan apapun denganmu. Akan tetapi, kami tidak akan membebaskan Retno Wilis. Kami harus menangkapnya, hidup atau mati!"

Mendengar ini, Retno Wilis yang sudah nekat lalu melangkah maju menghadapi Wasi Shiwamurti dan berkata dengan lantang.

"Wasi Shiwamurti, beginikah sikap seorang wasi yang mengaku sebagai kepala agama baru dan menjadi utusan negara Cola? Engkau maju bersama banyak kawan hendak mengeroyok aku? Majulah, keroyoklah, aku lidak takut mati. Lebih baik mati dengan gagah dari pada hidup sebagai manusia curang dan licik macam engkau yang hanya berani melakukan pengeroyokan terhadap seorang wanita muda!"

Ucapan Retno Wilis ini tajam sekali dan menusuk perasaan dan harga diri Wasi Shiwamurti yang menjadi merah mukanya saking marah dan malunya.

"Babo-babo, Retno Wilis!" bentak Wasi Shiwamurti dengan suara menggeledek. "Sumbarmu seperti menyambarnya halilintar dimusim hujan! Kaukira kami takut kepadamu untuk bertanding satu lawan satu? Hayo majulah, aku tidak akan mengeroyokmu, aku akan maju seorang diri untuk melawanmu satu lawan satu!"

Pada saat itu, tampak dua bayangan orang berkelebat dan terdengar suara lantang, "Diajeng Retno Wilis, jangan takut aku datang membantumu!"

Retno Wilis cepat menengok dan melihat seorang pemuda yang tampan bertubuh tegap dan bersikap gagah, ia girang karena mengenal bahwa pemuda itu adalah Harjadenta, pemuda perkasa dari Gunung Raung itu. Akan tetapi lebih girang lagi hatinya melihat Bagus Seto bersama pemuda itu. Kalau hanya Harjadenta yang datang membantu, ia masih meragukan apakah ia dan Harjadenta mampu menghadapi banyak lawan itu. Akan tetapi dengan munculnya Bagus Seto, ia merasa tenang.

"Kakangmas Harjadenta! Kakang Bagus Seto! Bagaimana kalian dapat datang bersama?"

"Kami saling berjumpa dalam perjalanan lalu bersama-sama menuju ke Blambangan," kata Harjadenta dengan girang. Dia tidak mengenal orang-orang tua berpakaian pendeta itu, maka dia memandang rendah. Dengan adanya Retno Wilis dan Bagus Seto di situ, dia tidak merasa takut menghadapi siapa juga. Akan tetapi ketika melihat Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, dia lalu teringat akan mereka yang memimpin agama baru yang menyesatkan itu. Dia mengerutkan alisnya, maklum bahwa dia berhadapan dengan musuh-musuh yang sakti.

Sementara itu, Bagus Seto yang mengamati Wasi Shiwamurti, dapat melihat bahwa Kakek itu memiliki wibawa yang teramat kuat. Dia khawatir kalau adiknya tidak akan mampu menandingi wasi itu, maka dia lalu menghampiri adiknya dan berkata,

"Retno, apa yang sedang terjadi di sini?" dia juga menoleh kepada Jayawijaya yang berdiri di samping Retno dan terkejutlah Bagus Seto melihat sinar mata yang terang dan jernih dari pemuda yang sikapnya amat tenang itu. Dia kaget karena dapat menduga bahwa pemuda ini tentu memiliki kekuatan yang dahsyat di balik kelembutannya.

"Kakang Bagus Seto, ini adalah Wasi Shiwamurti, pendiri dari agama baru yang dibantu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda yang sudah kakang kenal. Yang lain-lain itu adalah para senopati Blambangan dan anak buahnya. Mereka itu hendak menangkap aku dan kakang Jayawijaya ini. Oya, perkenalkan, kakang. Ini adalah kakang Jayawijaya yang melakukan perjalanan bersamaku. Kakang Jaya, ini kakakku bernama Bagus Seto dan yang itu adalah kakangmas Harjadenta dari Gunung Raung."

Melihat sikap dan pandang mata adiknya terhadap pemuda yang lembut itu, dan melihat cara pemuda itu memandang adiknya, Bagus Seto segera tahu bahwa ada hubungan batin yang istimewa di antara keduanya. Sejenak dia bertukar pandang dengan Jayawijaya dan dalam waktu beberapa detik itu seolah keduanya saling dapat menyelami isi hati masing-masing dan kembali Bagus Seto merasa terkejut dan kagum. Dia tahu bahwa pemuda ini bukan seorang pemuda biasa saja, sebaliknya Jayawijaya juga merasa betapa kuatnya pancaran sinar mata Bagus Seto.

"Akan tetapi kenapa mereka itu hendak menangkap kalian, Retno?"

"Mereka itu hendak menawan aku dengan tuduhan menjadi telik sandi, kakang dan hendak membebaskan kakang Jayawijaya. Akan tetapi kakang Jayawijaya tidak mau dibebaskan seorang diri saja dan menuntut agar aku dibebaskan pula. Mereka hendak memaksa aku menyerah dan aku menentang untuk bertanding satu lawan satu kalau mereka itu bukan pengecut yang curang dan suka main keroyokan."

Melihat Retno Wilis bercakap-cakap dengan pemuda berpakaian serba putih yang baru muncul bersama seorang pemuda lain, bicara dan mengobrol tanpa memperdulikan dia dan kawan-kawannya, Wasi Shiwamurti menjadi marah.

"Retno Wilis, siapa hendak mengeroyokmu? Aku terima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu! Hayo majulah, siapa hendak melawanku?" Wasi Shiwamurti menantang.

Tiba-tiba Retno Wilis mendapat sebuah pikiran yang dianggap baik dan menguntungkan. "Begini saja, Wasi Shiwamurti. Sekarang telah datang kakang Bagus Seto dan kakangmas Harjadenta, jadi kami ada bertiga. Nah, kalian boleh mengajukan tiga orang jagoan kalian untuk dipertandingkan dengan kami bertiga, maju satu demi satu. Kalau pihakku menang dua, berarti aku menang dan engkau harus membebaskan kami. Sebaliknya kalau pihak kalian yang menang dua, kalian boleh menawanku. Bagaimana, beranikah engkau menerima tantanganku ini?"

Wasi Shiwamurti tertawa mengejek. Dia mengandalkan dua orang pembantu utamanya, yaitu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. "Ha-ha-ha, bagus! Coba sekarang kau ajukan jagomu untuk melawan jago kami. Ki Shiwananda, majulah! Nah, siapa yang akan maju melawan Ki Shiwananda?".

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring suara wanita. "Siapa berani menggangu anak-anakku?"

Dua sosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri Endang Patibroto dan seorang pemuda gagah yang bukan lain adalah Jarot. Putera Adipati Kertajaya dari Pasisiran ini melakukan perjalanan merantau dan memang dia ingin sekali menyusul Endang Patibroto yang pernah menolongnya dari tangan kedua orang kakaknya, Lembu Alun dan Lembu Tirta, yang bermaksud membunuhnya dengan bantuan guru mereka, yaitu Wasi Surengpati. Karena Adipati Kertajaya adalah seorang Adipati yang setia terhadap Jenggala dan Panjalu, maka dia merasa khawatir terhadap keselamatan Endang Patibroto yang hendak menyelidiki keadaan Nusabarung dan Blambangan.

Maka dia tidak mencegah, bahkan menyetujui ketika puteranya, Jarot menyatakan keinginannya untuk merantau dan menyusul Endang Patibroto ke kedua kadipaten itu, dan kalau perlu membantunya. Demikianlah, ketika tiba di luar perbatasan Blambangan, Jarot bertemu dengan Endang Patibroto dan mereka melanjutkan perjalanan bersama memasuki daerah Blambangan. Kebetulan sekali mereka melihat Retno Wilis, Bagus Seto, Jayawijaya dan Harjadenta sedang berhadapan dengan banyak orang yang sikapnya mengancam, maka Endang Patibroto lalu membentak marah.

"Retno, apa yang terjadi di sini? Siapa orang-orang menjemukan ini?" bentak Endang Patibroto galak kepada puterinya.

"Kanjeng ibu, mereka adalah Wasi Shiwamurti, pendiri agama baru dan kawan-kawannya. Dia hendak menawanku, dan aku mengajukan usul untuk bertanding satu lawan satu."

"Babo-babo! Siapa hendak menandingi puteriku, akulah lawannya! Engkaukah, pendeta palsu, yang hendak maju? Nah, akulah lawanmu!" kata Endang Patibroto sambil menghadapi Wasi Shiwamurti.

Sang wasi dan kawan-kawannya terkejut dan gentar menghadapi wanita setengah tua yang gagah perkasa dan galak bukan main itu. Wasi Shiwamurti sudah mendengar banyak tentang Endang Patibroto, wanita yang sakti itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak takut karena banyak kawan dan anak buahnya.

"Bagus, kiranya engkau sendiri yang datang, Endang Patibroto. Sudah lama karni mendengar akan namamu dan kebetulan sekali sekarang engkau datang mengantarkan nyawa!"

"Wasi Shiwamurti, keadaan sekarang berubah. Ibuku telah datang, maka dipihak kami bertambah seorang lagi, menjadi empat orang yang akan maju sebagai jago kami!"

"Bukan empat, melainkan lima!" Endang Patibroto berseru dan ia menuding ke arah Jarot. "Pemuda inipun dapat menjadi jago kita, Retno. Kenalkan, dia bernama Jarot, putera Adipati di Pasisiran."

Jarot mengangguk kepada Retno Wilis, Bagus Seto, Harjadenta dan Jayawijaya. Retno segera memperkenalkan dua orang pemuda yang sejak tadi diam saja itu kepada ibunya.

"Ibu, ini adalah kakangmas Harjadenta yang juga menjadi jago kita. Dan yang ini adalah kakang Jayawijaya yang bersama aku dijadikan tawanan oleh orang-orang Blambangan."

Endang Patibroto tersenyum kepada puterinya. "Aku sudah mengenal anakmas Jayawijaya, Retno. Anakmas Jayawijaya, bagaimana andika dapat bersama anakku menjadi tawanan orang-orang Blambangngan?"

Jayawijaya memberi hormat kepada Endang Patibroto. "Bibi, kebetulan sekali saya bertemu dengan diajeng Retno Wilis dan melakukan perjalanan bersama."

Diam-diam Endang Patibroto merasa girang sekali. Ia sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan Retno Wilis dengan pemuda yang aneh luar biasa ini, dan tahu-tahu mereka sudah bertemu bahkan melakukan perjalanan bersama.

"Ah, begitukah? Retno, mari kita berlima maju dan membasmi orang-orang jahat ini!"

Retno Wilis menghadapi Wasi Shiwamurti. "Wasi Shiwamurti, di pihak kami ada lima orang jago. Mari kita bertanding satu lawan satu!"

"Paman Wasi, biar aku yang maju sebagai jago pertama!" terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki tinggi besar melompat keluar. Usianya kurang lebih limapuluh tahun dan tubuhnya gagah dan tampak kokoh kuat. "Aku adalah, senopati Blambangan bernama Rajah Beling. Siapa berani melawan aku?" katanya sambil membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.

"Diajeng Retno Wilis, biar aku yang menandinginya!" kata Harjadenta dan Retno Wilis yang maklum akan kepandaian pemuda dari Gunung Raung ini mengangguk. Ia belum tahu. bagaimana tingkat kepandaian Jarot, pemuda yang datang bersama ibunya, maka tentu saja ia tidak berani mengajukan pemuda itu.

Dengan gagah Harjadenta melangkah maju menghadapi Senopati Rajah Beling yang memandang kepadanya dengan matanya yang tebar itu terbelalak menyeramkan. Harjadenta tersenyum, sikapnya tenang saja.

"Orang muda, sebutkanlah namamu agar engkau tidak mati tanpa nama!" bentak Senopati Rajah Beling dengan suara menggelegar.

"Aku Harjadenta dari Gunung Raung. Guruku adalah Eyang Empu Gandawijaya kalau engkau ingin tahu," jawab harjadenta dengan sikap tenang. Dia adalah seorang yang jujur, maka tanpa ditanya dia sudah memperkenalkan gurunya.

"Hemm, murid Empu Gandawijaya? Orang muda, karena kami sudah mengenal Empu Gandawijaya dan pernah memesan keris buatannya, maka kunasihatkan agar engkau pulang ke Gunung Raung dan jangan mencampuri urusan ini. Aku memberi kesempatan kepadamu untuk hidup demi gurumu."

"Senopati Rajah Beling, kita telah memilih pihak masing-masing dan kita berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu engkau menyinggung-nyinggung nama guruku. Kita telah menjadi jago dari masing-masing pihak. Majulah, aku siap menandingimu!"

"Orang muda keras kepala, tidak tahu di sayang orang. Sekarang engkau akan mati!" Berkata demikian, senopati yang tinggi besar itu sudah menerjang maju dengan tangan kanan dikepal sebesar kepala orang dan menyambar ke arah kepala Harjadenta, sedangkan tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah dada pemuda itu. Gerakannya mendatangkan angin, pertanda bahwa gerakan itu mengandung tenaga yang besar, juga datangnya amat cepatnya.

Namun Harjadenta adalah seorang pemuda yang tangkas dan gesit. Menghadapi serangan itu dia tidak menjadi gugup, cepat miringkan tubuhnya dan menarik kepalanya ke belakang sehingga pukulan dan cengkraman lawan itu hanya mengenai angin kosong belaka. Rajah Beling menjadi penasaran dan cepat kakinya menyusul dengan tendangan yang mencuat secepat ular mematuk. Kaki yang besar dan panjang itu menyambar ke arah dada Harjadenta. Namun pemuda ini sudah siap siaga.

"Wuuuuuuuuttt.... dukkkk!!" Lengan kanan Harjadenta sudah menangkis kaki kiri lawan yang menyambar dengan tendangan itu dan ternyata tenaga pemuda ini tidak kalah oleh tenaga tendangan lawan. Buktinya kaki yang tertangkis itu terpental dan membuat tubuh Rajah Beling menjadi doyong. Kesempatan ini dipergunakan oleh Harjadenta untuk membalas. Selagi tubuh lawannya condong ke kanan, dia memapakinya dengan tamparan tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang ditujukan ke arah leher lawan.

"Syuuuuuttt......!" Tamparan yang kuat ke itu juga tidak mengenai sasaran karena biarpun tubuhnya condong ke kanan, senopati yang banyak pengalaman bertanding itu sudah menjatuhkan tubuhnya ke belakang, lalu menggelinding dan meloncat bangun kembali.

Mereka sudah berhadapan lagi seperti dua ekor ayam jago sedang berlaga. Keduanya memasang kuda-kuda. Rajah Beling memasang kuda-kuda atau pasangan yang disebut Mahesa Mungkur, yaitu tubuhnya membelakangi lawan, akan tetapi lehernya menoleh ke belakang dan matanya memandang penuh kewaspadaan, kedua kakinya siap untuk membalik dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka terpasang di depan dada, seolah-olah seekor harimau yang sedang marah dan siap untuk menerkam musuhnya.

"Haiiiit....!" Rajah Beling tiba-tiba memutar kedua kakinya dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan menggunting ke arah tubuh Harjadenta..

"Yaaaaahhhh....!" Harjadenta juga mengeluarkan pekik dan kedua tangan yang membentuk cakar itu berkembang ke kanan kiri menangkis dua pukulan yang menggunting dari lawan, kemudian kaki kanannya menyambar ke arah perut Rajah Beling.

"Wuuuttt... desss...." Rajah Beling tidak sempat mengelak, maka diapun menggerakkan kaki kirinya menyambut tendangan itu sehingga kedua tulang kering kaki mereka bertemu dengan kerasnya.

Keduanya terpelanting dan terhuyung ke belakang. Jebol kuda-kuda mereka ketika kedua kaki mereka saling bertemu itu dan ternyata tenaga mereka seimbang sehingga keduanya terpelanting dan hampir roboh!

"Babo-baba, keparat! Ada juga isinya bocah ini!" kata Rajah Beling marah.

"Senopati Rajah Beling, keluarkan semua kedigdayaan dan aji kesaktianmu!" tantang Harjadenta.

"Keparat! Sambutlah pusakaku ini kalau engkau mampu!" Rajah Beling mencabut sebatang pedang dari pinggangnya.

"Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka! Apa engkau kira hanya engkau yang memiliki pusaka? Akupun memiliki sebatang pusaka ampuh yang akan menandingi pusakamu!" Berkata demikian, Harjadenta mencabut kerisnya, yaitu Ki Mengeng, sebatang keris buatan Empu Gandawijaya.

"Maju dan sambutlah pusakaku ini yang akan mengantarmu ke alam baka!" bentak Rajah Beling dengan suara garang, dan dia sudah menerjang ke depan, pedangnya melayang dan membacok ke arah kepala harjadenta.

Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia cepat menggeser kakinya dan mengelak ke samping kiri. Ketika pedang yang berkilauan saking tajamnya itu meluncur lewat, cepat diapun memasukkan kerisnya menusuk ke arah lambung lawan. Rajah Beling cukup gesit dan melihat dirinya terancam maut di ujung keris lawan, diapun melompat ke belakang dan luput dari serangan itu. kemudian dia menerjang lagi, memutar pedangnya sehingga tampak gulungan sinar pedang yang seolah berubah menjadi banyak itu. Dari gulungan sinar itu mencuat sinar pedang menusuk ke arah dada Harjadenta. Pemuda ini cepat memutar pergelangan tangan kanannya yang memegang keris, kerisnya berputar menangkis pedang lawan. Karena maklufn bahwa lawannya memiliki tenaga besar, ketika menangkis Harjadenta mengerahkan tenaganya.

"Cring.... tranggg.....!!" Dua kali pedang bertemu keris dan tampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang senjata itu bertemu di udara dengan kuatnya.

Keduanya lalu melangkah ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing. Setelah mendapat kenyataan bahwa senjata mereka tidak rusak, keduanya maju lagi dan saling serang dengan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian kedua orang ini berimbang sehingga pertandingan itu berlangsung seru dan sukar untuk diramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Sebetulnya Harjadenta masih menang sedikit dalam hal kecepatan, sedangkan tenaga mereka seimbang. Akan tetapi Rajah Beling menutup kekalahannya itu dengan kemenangan dalam pengalaman bertanding. Gerakannya lebih matang dibandingkan Harjadenta, jurus-jurus silatnya dapat dikembangkan dengan berbagai gerakan yang cepat tidak terduga, sehingga kadang-kadang Harjadenta dibuat kaget.

Ada seperempat jam mereka bertanding dan keadaannya masih seimbang sehingga para penonton kedua pihak merasa tegang sekali. Jayawijaya yang ikut juga menjadi penonton, mengerutkan alisnya. Dalam hatinya dia sama sekali tidak senang menyaksikan pertandingan ini karena maklum bahwa seorang di antara mereka yang bertanding tentu akan tewas atau setidaknya terluka. Dia menganggap bahwa pertandingan itu bukan merupakan cara penyelesaian yang baik dan sehat. Akan tetapi diapun tahu bahwa dia tidak dapat mencegah karena kedua pihak sudah setuju untuk menyelesaikan persoalan dengan adu kepandaian silat. Tentu saja dia berpihakkepada rombongan Retno Wilis kareni pihak gadis itulah yang benar sedangkan pihak Blambangan salah akan tetapi dia tidak menghendaki cara kekerasan seperti itu.

"Hauuuppppp......!" Kembali Rajah Beling mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah merendahkan tubuh sampai berjongkok dan pedangnya menyerampang ke arah kedua kaki Harjadenta. Pemuda ini melompat ke atas belakang, akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, Rajah Beling sudah melompat ke atas dan menyerang dari atas dengan pedangnya, gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya.

Harjadenta terkejut bukan main. Serangan lawannya itu sedemikian cepatnya dan tahu-tahu pedang itu telah menyambar ke arah lehernya dari atas! Dia mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuh atasnya, akan tetapi pedang itu masih saja dapat menyerempet pundak kirinya. Baju di bagian pundak kirinya robek berikut kulit pundaknya, terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Harjadenta cepat menusukkan kerisnya ke arah tubuh yang masih melayang di atas itu. Rajah Beling menarik kakinya, akan tetapi tetap saja keris itu masih melukai pahanya sehingga mengucurkan darah.

Keduanya berlompatan ke belakang, Harjadenta berdarah pada pundak kirinya dan Rajah beling berdarah pula paha kanannya. Kawan-kawan dari kedua pihak cepat maju menolong teman masing-masing. Retno Wilis merasa lega setelah melihat bahwa luka di pundak Harjadenta tidak parah walaupun tentu saja kurang baik kalau pemuda itu melanjutkan pertandingan karena lukanya itu akan membuat gerakannya menjadi kurang leluasa dan lambat.

"Retno Wilis, jagomu telah terlukai" kata Wasi Shiwamurti lantang.

Retno Wilis bertolak pinggang menghadapi sang wasi itu. "Akan tetapi jagomu juga terluka lebih parah pada pahanya! Jagoku tidak dapat dikatakan kalah?"

Wasi Shiwamurti melihat betapa luka di paha Rajah Beling tidak memungkinkan bagi senopati Blambangan itu untuk melanjutkan perkelahian, maka diapun segera berkata lantang, "Retno Wilis! Karena jago kita masing-masing sudah terluka, maka keadaan mereka berimbang, tidak ada yang menang atau kalah. Pertandingan pertama ini kita anggap seri tanpa ada yang menang. Mari kita lanjutkan dengan pertandingan ke dua!"

"Kakang Wasi Shiwamurti, biarkan aku yang maju sekarang!" terdengar teriakan dan Wasi Karangwolo sudah melangkah maju, menghadapi pihak Retno Wilis sambil berkata, "Hayo siapa akan berani menandingi Wasi Karangwolo, penasihat Sang Adipati di Blambangan!"

Retno Wilis yang sudah tahu akan kehebatan ilmu kanuragan maupun ilmu sihir yang dimiliki Wasi Karangwolo, menjadi ragu. Kalau ia sendiri yang maju, bagaimana nanti kalau menandingi Wasi Shiwamurti dan kedua pembantunya yang sakti, yaitu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda? Mereka bertiga itu akan ia hadapi bertiga bersama ibunya dan kakaknya.

Satu-satunya jago yang ada padanya hanya pemuda yang bernama Jarot itu, akan tetapi karena ia belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu, ia tidak berani menyuruhnya maju. Kalau tingkatnya hanya setingkat kepandaian Harjadenta, tentu akan kalah menandingi Wasi Karangwolo. Ia hanya memandang ke arah pemuda itu dan kepada ibunya. la melihat ibunya mengangguk, dan Jarot agaknya maklum bahwa dia diharapkan untuk mewakili pihak Retno Wilis.

Sejak tadi Jarot memperhatikan Retno Wilis dan dia menjadi kagum bukan main, bahkan terpesona. Selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang dara yang bukan saja cantik jelita, namun juga pemberani dan gagah perkasa. Seperti dara inilah kiranya tokoh Maha Bharata yang bernama Srikandi itu! Akan tetapi karena baru saja dia diperkenalkan dengan Retno Wilis dan dia merasa rikuh untuk bicara kepada dara itu, maka dia berkata yang ditujukan kepada Endang Patibroto.

"Kanjeng Bibi Endang Patibroto! Perkenankan saya maju sebagai jago nomor dua pihak kanjeng bibi!"

Endang Patibroto tersenyum dan mengangguk. "Akan tetapi berhati-hatilah, anak-mas Jarot. Aku pernah bertanding dengan wasi busuk ini, dia cukup tangguh dan memiliki ilmu sihir, banyak akalnya yang licik!"

Jarot tersenyum. "Saya akan berhati-hati, kanjeng bibi." Dia lalu melangkah maju menghadapi Wasi Karangwolo dan berkata, "Sang Wasi, akulah tandingmu dan majulah, aku sudah siap!"

Wasi Karangwolo marah mendengar ucapan Endang Patibroto tadi. Dia dikatakan sebagai seorang wasi busuk yang licik! Dengan muka berubah merah saking marahnya dia sudah mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya, mengamangkan kerisnya kepada Jarot dan membentak, "Orang muda, siapakah andika yang berani menghadapi Wasi Karangwolo?"

"Namaku Jarot, aku putera Adipati Kertajaya dari Pasisiran, dan aku adalah murid Sang Bhagawan Dewondaru dari Gunung Semeru," kata jarot dan melihat lawannya memegang sebatang keris panjang, diapun mencabut keris yang terselip di pinggangnya, sebatang keris berluk tujuh yang berwarna hitam. Itulah keris Nogo Ireng pemberian gurunya, sebatang keris pusaka yang ampuh. Mendengar bahwa pemuda itu murid Sang Bhagawan Dewondaru yang telah dia kenal namanya sebagai seorang bhagawan yang sakti, Wasi Karangwolo tidak berani memandang rendah lawannya yang masih muda.

"Jarot, engkau bocah kemarin sore yang masih amat muda berani menandingi aku yang pantas untuk menjadi kakekmu? Hayo berlutut dan mengaku kalah, agar engkau tidak perlu mampus di tanganku. Berlututlah kau!" Sambil berkata demikian, Wasi Karangwolo mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi pemuda itu.

Endang Patibroto terkejut melihat ini, khawatir kalau-kalau pemuda itu akan tersihir. Betapapun juga, ia tidak berani menggunakan kekuatan sihirnya untuk menolong, karena dalam pertandingan yang diadakan satu lawan satu itu tentu saja tidak boleh ada yang turun tangan menolong. Maka ia hanya menonton dengan hati tegang, demikian pula Retno Wilis. Bagus Seto yang melihat ini, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut namun tajam mencorong itu.

Jarot telah menerima gemblengan dari Bhagawan Dewondaru dan sudah dibekali ke kuatan batin yang hebat. Namun menghadapi kekuatan sihir Wasi Karangwolo, pertahanan batinnya kurang kuat dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut karena perintah itu demikian berpengaruh dan mengandung wibawa yang amat kuat, hampir tidak dapat dia menahannya. Akan tetapi tiba-tiba pengaruh itu lenyap dan dorongan untuk berlutut lenyap pula. Dia tersenyum, tidak tahu bahwa diam-diam kekuatan pandang mata Bagus Seto yang membantunya. Dia hanya mengira bahwa lawannya itu tidak kuat mempengaruhinya!

"Sudahlah, Wasi Karangwolo, tidak ada gunanya bermain-main dengan kata-kata. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" kata Jarot sambil memegang kerisnya menempel di pinggang kanan dan tangan kirinya melintang di depan dada dengan jari-jari tangan
terbuka.

Melihat betapa kekuatan sihirnya tidak mampu memaksa pemuda yang menjadi lawannya itu berlutut, Wasi Karangwolo maklum bahwa dia tidak akan menang menggunakan sihir. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan menerjang ke depan, menusukkan kerisnya ke arah dada Jarot. Pemuda itu mengelak dengan cepat sambil melangkah mundur. Akan tetapi dengan ganasnya Wasi Karangwolo sudah-menyerangkan kerisnya lagi, sekali ini menusuk ke arah perut. Karena serangan itu di lakukan dari dekat dan cepat datangnya, Jarot tidak keburu mengelak dan diapun menggerakkan kerisnya untuk menangkis.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Trik-trikk....!!" Dua kali keris bertemu dan Wasi Karangwolo merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar. Akan tetapi Jarot juga merasakan getaran hebat pada lengannya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Diapun cepat membalas dengan tusukan kerisnya ke arah lambung lawan, namun Wasi Karangwolo juga dapat mengelak dengan cepatnya. Terjadilah perkelahian yang seru, saling tusuk dan saling elak, kadang-kadang saling beradu keris.

"Mampus kau!" terdengar sang wasi membentak dan dia menubruk lagi ke depan sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawannya.

"Wuuuuutttt....!" Tusukan itu luput karena Jarot mengelak ke belakang.

"Wirrr.....!!" Kaki Wasi Karangwolo menyambar dengan sebuah tendangan kilat. Tak mengira bahwa lawannya akan mengirim tendangan yang dahsyat itu, Jarot hanya dapat menggunakan tangan kirinya untuk menangkis.

"Dukkk...!" Lengan kiri Jarot bertemu dengan kaki wasi Karangwolo. Tendangan itu demikian kuatnya sehingga membuat tubuh Jarot terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan sang wasi untuk mendesak dan mengejar dengan tusukan-tusukan kerisnya. Jarot yang terdesak hebat itu tiba-tiba melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik tiga kali, barulah dia terhindar dari desakan dan kini sudah siap lagi menghadapi lawan! Gerakannya ini bagus sekali, membuat Retno Wilis mengangguk-angguk. Pemuda itu memang cukup tangkas, akan tetapi ia tetap khawatir karena Wasi Karangwolo memang benar-benar digdaya.

Kembali mereka bertanding. Jarot membalas pula dengan tusukan-tusukan, diselingi dengan tamparan tangan kirinya dan tendangan kakinya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh lawan dengan elakan maupun tangkisan, bahkan sang wasi membalas dengan tidak kalah hebat dan gencarnya, membuat Jarot kadang terdesak dan mundur.

Sebetulnya dari Bhagawan Dewondaru Jarot sudah menerima gemblengan yang hebat, mempelajari aji-aji kesaktian yang ampuh. Akan tetapi dia masih muda dan masih kurang pengalaman, jarang mempergunakan kesaktiannya untuk bertanding. Oleh karena itu, kini menghadapi seorang tokoh wasi yang berilmu tinggi dan banyak sekali pengalamannya, tentu saja dia mulai terdesak.

Ketika dia mundur-mundur terdesak dan keris lawan berkelebatan seperti tangan maut mencari mangsa, Jarot menarik tubuh atas ke belakang. Setelah keris meluncur lewat, tubuh atasnya condong lagi ke depan dan dia melancarkan pukulan yang dahsyat ke arah dada lawannya. Akan tetapi agaknya ini yang dinanti-nanti oleh Wasi Karangwolo.

Tadi sudah-beberapa kali mereka mengadu tenaga lewat keris mereka dan sang wasi maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih menang sedikit. Maka dia mengharapkan untuk dapat mengadu tenaga sakti melalui pukulan tangan kiri. Ketika melihat Darot memukulnya dengan telapak tangan dan jarijarinya terbuka, diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kirinya pula sam bil menggeser kaki sehingga kedua tangan kiri itu dengan tepat bertemu di udara.

"Dessss..." Hebat bukan main pertemuan kedua tangan yang didorong oleh tenaga sakti itu.

Wasi Karangwolo sudah mengerahkan seluruh tenaganya, maka ketika benturan dahsyat terjadi, tubuh Jarot melayang ke belakang seperti daun kering tertiup angin dan dia jatuh terpelanting! Biarpun dia tidak terluka parah, namun dia menjadi pucat dan napasnya agak terengah. Endang Patibroto sudah meloncat dan menyambar pundaknya, membantunya bangkit berdiri.

"Engkau tidak apa-apa, anakmas Jarot?" tanya wanita perkasa itu.

Jarot menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Tidak apa-apa, kanjeng bibi. Maafkan bahwa saya telah kalah."

"Ha-ha-ha-ha, jagomu yang kedua sudah mengaku kalah, Retno Wilis.'? Kedudukan kita sekarang menjadi dua satu untuk kemenangan pihak kami!" Wasi Shiwamurti tertawa dan mengejek.

Endang Patibroto menjadi marah sekali dan ia sudah melompat ke depan Wasi Shiwamurti sambil membusungkan dadanya

"Akulah jago ke tiga dari pihak kami, wasi siluman. Hayo siapa yang berani melawan aku!" Bentak Endang Patibroto, sikapnya amat gagah perkasa, menimbulkan rasa gentar di hati musuh. Terutama sekali Wasi Karangwolo yang tadi menangkan pertandingan melawan Jarot, dia merasa jerih karena dia pernah bertanding dengan wanita perkasa ini dan harus diakuinya bahwa dia tidak mampu menandingi Endang Patibroto.

Di pihak Blambangan, Ni Dewi Durgomala membuat perhitungan yang cerdik. Ia sudah pernah bertanding melawan Retno Wilis dan harus diakuinya bahwa ia tidak mampu mengalahkan dara perkasa itu. Juga ia tahu Bahwa Bagus Seto adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian hebat sekali. Jelas ia tidak akan mampu mengalahkan Retno Wilis ataupun Bagus Seto. Maka kini melihat Endang Patibroto maju, ia memilih wanita itu sebagai lawannya.

Biarlah Retno Wilis dan Bagus Seto nanti dihadapi oleh Ki Shiwananda dan Wasi Shiwamurti! Dengan ringan ia meloncat ke depan menghadapi Endang Patibroto sambil mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang kebutan. Tampaknya saja hanya kebutan, namun benda itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya. Setiap ujung bulu kebutan itu mengandung racun yang berbahaya sekali dan Ni Dewi Durgomala dapat memainkan kebutan itu dengan dahsyatnya.

"Endang Patibroto, akulah lawanmu, sudah lama aku mendengar akan namamu, hendak kulihat apakah itu hanya nama kosong belaka! Aku adalah Ni Dewi Durgomala dari Negeri Cola."

Endang Patibroto tersenyum mengejek dan menatap wajah Ni Dewi Durgomala dengan sinar mata tajam menusuk.

"Hemm, andika tentu perempuan yang menganggap diri nya penitisan Sang Batari Durgo! Akan tetapi sayang, yang kauwarisi sama sekali bukan kekuasaan dan kebaikannya, melainkan sifat sifat buruknya sehingga engkau menjadi seorang yang keji dan jahat. Karena itu, sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia iblis macam andika ini!"

Wajah Ni Dewi Durgomala menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali, matanya melotot sampai seperti akan meloncat keluar dari rongga matanya ketika ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Endang Patibroto.

"Keparat engkau Endang Patibroto! Berani engkau menghinaku seperti itu! Aku bersumpah untuk membunuhmu, memenggal kepalamu, mencabik-cabik dada mu dan mengeluarkan jantungmu!" Kebutan itu diputar-putarnya di atas kepalanya sehingga terdengar bunyi bersuitan.

"Tahan dulu....!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Jayawijaya berlari ke arah Endang Patibroto, tangannya membawa sebatang kayu yang panjangnya satu meter dan besarnya seibu-jari kaki. "Kanjeng Bibi Endang Patibroto, ini namanya tidak adil sama sekali! Lawanmu memegang senjata sedangkan bibi tidak membawa senjata apapun. Kalau kanjeng bibi tidak membawa senjata, maka pergunakanlah sepotong kayu ini untuk senjata!" Setelah berkata demikian dia mengulurkan tangannya menyerahkan sebatang kayu itu kepada Endang Patibroto. Endang Patibroto tersenyum dan menerima sepotong kayu itu.

"Terima kasih, anakmas Jayawijaya dan berdirilah engkau menjauh di sana."

Jayawijaya kembali ke tempat dia berdiri semula. Endang Patibroto menggerak-gerakkan sepotong kayu itu dan terasa enak di tangannya. Sebagai seorang sakti, benda apapun kalau berada di tangannya dapat menjadi senjata dan memegang sepotong kayu itu ia merasa seperti memegang sebatang pedang! Biarpun ia tidak gentar menghadapi kebutan Ni Dewi Durgomala dengan tangan kosong saja, akan tetapi menghadapi senjata beracun memang lebih baik kalau ia menggunakan sepotong kayu itu.

"Durgomala, mari kerahkan seluruh tenagamu dan keluarkan semua ilmumu! Aku sudah siap untuk menandingi dan menghajarmu!" kata Endang Patibroto sambil memalangkan sepotong kayu itu di depan dadanya.

Ni Dewi Durgomala yang sudah marah sekali itu berteriak, "Endang Patibroto, engkau mampus di tanganku!" Dan secepat kilat iapun menggerakkan kebutannya melakukan serangan yang dahsyat.

Kebutan itu berputaran di atas kepala, lalu menukik dan menyambar ke arah kepala Endang Patibroto, didahului angin pukulan yang menderu. Namun, sikap dan gerakan Endang Patibroto tenang dan mantap sekali. Ia mengelak dengan melangkahkan kaki kanan ke kanan dan menggeser kedudukannya sehingga kebutan itu hanya mengenai tempat kosong saja. Namun dengan menggerakkan pergelangan tangannya, Ni Dewi Durgomala telah dapat membuat kebutannya itu menyambar balik dan kini berubah menjadi kaku seperti baja dan kebutan yang sudah menjadi kaku itu menusuk ke arah dada Endang Patibroto seperti sebatang pedang!

Endang tidak menjadi terkejut melihat betapa bulu-bulu kebutan yang lemas itu kini berubah menjadi kaku seperti kawat baja dan dengan masih tenang namun tangkas ia menggerakkan tongkat kayunya untuk menangkis tusukan itu.

"Trakk....!" Kebutan yang menjadi kaku itu terpental ketika bertemu tongkat dan Ni Dewi Durgomala merasa betapa tangannya yang memegang gagang kebutan menjadi tergetar hebat. Diam-diam ia terkejut setengah mati. Kiranya wanita yang kondang saktinya ini benar-benar memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Ni Dewi Durgomala menjadi penasaran sekali dan ia mengeluarkan suara melengking panjang, lalu kebutannya bergerak cepat, berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika ia menyerang secara bertubi-tubi. Namun, Endang Patibroto berkelebatan cepat dan kadang ia lenyap dari pandang mata lawannya. Ni Dewi Durgomala menjadi terkejut sekali. Itulah Aji Bayu Tantra dari Endang Patibroto yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali dan gerakannya cepat seperti kilat. Biarpun Ni Dewi Durgomala mengejar dan menyerang bayangan yang berkelebatan itu, namun kebutannya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Endang Patibroto!

Karena penasaran, Ni Dewi Durgomala menambah serangan kebutannya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya. Tangan kiri ne nek ini berbahaya sekali karena setiap kuku jarinya mengandung racun yang amat berbahaya. Ia bukan hanya memukul dan menampar, akan tetapi juga mencengkeram.

"Yaaaaaaattttttt.....!" Ni Durgomala berkali-kali mengeluarkan teriakan melengking.

"Haiiiiiitttt....!" Endang Patibroto juga berteriak-teriak melengking dan tiba-tiba mulut wanita perkasa ini mengeluarkan pekik yang dahsyat sekali dan tiba-tiba mendengar pekik ini, tubuh Ni Dewi Durgomala menjadi gemetar dan jantungnya terguncang.

Itulah pekik yang disebut Aji Sardulo Bairawa yang memiliki pengaruh seperti auman seekor harimau yang dapat membuat calon korbannya menjadi lemas. Dalam keadaan seperti itu, tangan kiri Endang Patibroto menyambar ke arah kepala lawan dan pukulan tangan kosong itu adalah aji yang teramat ampuh, yaitu Aji Pethit Naga! Angin yang kencang menyambar panas ke muka Ni Dewi Durgomala. Wanita ini maklum bahwa pukulan itu amat ampuh maka ia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah! Ketika Endang Patibroto mengejarnya untuk menyusulkan serangan, Ni Dewi Durgomala melompat bangun dan mengelebatkan kebutannya untuk memukul ke arah muka lawan.

"Hemm......!" Endang Patibroto menggerakkan tongkat kayunya untuk menangkis.

"Plakk!" Bulu-bulu itu membelit tongkat seperti seekor ular!

Endang Patibroto mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tertahan oleh libatan kebutan yang melilit amat kuatnya. Dengan marah Endang Patibroto mencuatkan kaki kirinya menendang ke arah tangan kanan lawan yang memegang kebutan. Melihat tendangan kilat ini, Ni Dewi Durgomala terpaksa melepaskan lilitan kebutannya. Begitu terbebas dari lilitan, Endang Patibroto mengamuk. Tongkat kayunya menyambar-nyambar dengan ganasnya dan biarpun Ni Dewi Durgomala berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tongkat kayu itu beberapa kali mengenai tubuhnya dengan bertubi-tubi.

"Plak! Plak! Plak!" Tongkat itu melecut ke berbagai penjuru dan selalu mengenai tubuh Ni Dewi Durgomala.

Robek-robeklah baju nenek itu dan biarpun tongkat itu tidak mendatangkan luka parah, namun kulit tumbuhnya menjadi matang biru dan berbilur-bilur, nyeri dan pedih! Ia mundur-mundur terus dan dikejar oleh Endang Patibroto yang agaknya ingin memukuli lawan sampai mati! Terpaksa Ni Dewi Durgomala lari melompat ke belakang Wasi Shiwamurti dan pendeta ini menggerakkan tongkatnya yang berkepala naga untuk menangkis sambaran tongkat kayu di tangan Endang Patibroto.

"Takkk!" Tongkat di tangan Endang Patibroto terpental. Akan Tetapi wanita perkasa itu tidak takut dan ia menghadapi Wasi Shiwamurti dengan penuh tantangan.

"Andika hendak membelanya? Majulah sekalian!" bentak Endang Patibroto. Akan tetapi Retno Wilis sudah melompat dan menyentuh lengan ibunya.

"Kanjeng Ibu, persilakan mundur. Ibu sudah menang dalam pertandingan tadi!" katanya.

Baru sadarlah Endang Patibroto bahwa ia bertanding untuk mencari kemenangan di pihak puterinya, bukan untuk berkelahi mati-matian. Ia lalu mundur.

"Nah, Wasi Shiwamurti. Kini pihakku menang dalam pertandingan ke tiga!" kata Retno Wilis dengan girang.

"Hemm, keadaan kita baru dua lawan dua, Retno Wilis. Kami masih belum kalah dan masih ada dua pertandingan lagi. Ki Shiwananda, majulah sebagai jago ke empat!" katanya kepada Ki Shiwananda yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah dan kuat sekali.

Ki Shiwananda lalu melangkah lebar ke depan. Tangan kanannya meraih ke belakang punggung dan dia sudah melolos senjatanya yang hebat, yaitu sebuah ruyung besar bergigi. Dahsyat dan mengerikan tampaknya senjata ini, kuat keras dan berat. Hanya orang yang bertenaga gajah saja mampu memainkan ruyung seberat itu. Retno Wilis mendekati Bagus Seto dan ia berkata, "Kakang Bagus Seto, yang ini akan kuhadapi. Engkau menghadapi jago mereka yang terakhir yang tentu adalah Wasi Shiwamurti sendiri."

Bagus Seto mengangguk. "Berhati-hatilah, Retno. Lawanmu ini bertenaga gajah. Akan tetapi engkau dapat mengatasinya kalau mempergunakan kecepatan gerakanmu," kata Bagus Seto dengan tenang. Kemudian dia memandang ke arah Jayawijaya dan merasa heran mengapa pemuda itu tenang-tenang dan diam-diam saja, tidak mengajukan diri untuk menjadi jago.

Endang Patibroto berkata kepada puterinya, "Retno Wilis, engkau harus dapat mengalahkan raksasa itu. Jangan beri ampun, hajar saja dan kalau perlu binasakan dia!"

Retno Wilis tersenyum kepada ibunya. Dulu ia bahkan lebih ganas dan galak dari pada ibunya. Akan tetapi setelah melakukan perjalanan bersama Bagus Seto, ia sudah banyak berubah. Tidak haus darah seperti dulu lagi. Apa lagi setelah ia bertemu dan berkenalan dengan Jayawijaya. Dengan sikap tenang ia lalu menghadapi Ki Shiwananda yang memegang ruyung dan yang memandang dengan sepasang matanya yang besar.

"Ki Shiwananda, akulah yang menjadi lawanmu!" kata Retno Wilis.

Ki Shiwananda adalah seorang laki-laki yang terlalu mengandalkan kekuatan sendiri dan memandang rendah orang lain. Juga dia seorang mata keranjang dan entah sudah berapa ratus atau ribu wanita yang menjadi permainannya ketika para wanita itu terjatuh ke dalam cengkeramannya melalui sihir. Akan tetapi selama hidupnya, belum pernah dia mendapatkan seorang wanita seperti Retno Wilis yang selain cantik jelita juga gagah perkasa dan sakti mandraguna. Dia mengamati Retno Wilis dari kepala sampai ke kaki, lalu berkata dengan suaranya yang berat dan besar.

"Hemm, Retno Wilis. Lebih baik kalau kita berdamai saja. Eman-eman ayumu kalau engkau bertanding denganku dan sampai terluka atau lecet-lecet kulitmu yang halus dan putih mulus tanpa cacat itu. Lebih baik engkau menjadi isteriku dari pada menjadi musuhku!"

Retno Wilis tersenyum. Tidak terpancing kemarahannya karena ia maklum bahwa ucapan itu bukan hanya dikeluarkan karena Ki Shiwananda seorang yang mata keranjang, akan tetapi juga merupakan siasat sebelum bertanding untuk membuatnya marah. Kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan dan inilah yang dikehendaki Ki Shiwananda. Maka ia tidak menjadi marah bahkan tersenyum dan begitu tangannya meraih ke belakang, ia sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Itulah pedang pusaka Sapudenta!

"Ki Shiwananda, tidak perlu banyak membuka mulutmu yang lebar dan berbau bangkai itu. Mari tandingi aku kalau engkau memang memiliki kepandaian!" tantang Retno Wilis.

"Keparat, tidak dapat dieman! Kalau begitu aku akan membunuhmu! Tubuhmu akan kulumatkan dengan ruyung ini. Haiiiiittt...!"

Raksasa itu menerjang, ruyungnya menyambar dahsyat sampai mengeluarkan bunyi mengaung saking kerasnya. Retno Wilis mengelak, bergerak seperti seekor burung srikatan sehingga sambaran ruyung hanya mengenai angin belaka. Sambil mengelak ke kiri, Retno Wilis menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah perut yang gendut itu. Namun, Ki Shiwananda juga cukup tangkas. Dia sudah memutar ruyungnya dan kini senjata itu menangkis pedang yang menusuk perutnya.

"Trangggg.....!" Bunga api berpijar ketika ruyung bertemu pedang, dan Retno Wilis merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat. Ia harus mengakui kebenaran peringatan kakaknya tadi bahwa lawannya ini memiliki tenaga gajah!

Pada saat itu, ruyung kembali menyambar ke arah kepala Retno Wilis. Ruyung yang mengerikan itu kalau mengenai kepala, tentu akan melumatkan kepala itu. Akan tetapi kembali senjata itu hanya mengenai tempat kosong karena Retno Wilis sudah mengelak dan merendahkan diri sehingga ruyung lewat di atas kepalanya. Menggunakan kecepatan gerakannya, dengan tubuh agak merendah Retno Wilis sudah menyerang ke arah kedua kaki lawan dengan pedangnya. Dibabat pedang secara bertubi-tubi ke arah kedua kakinya itu membuat Ki Shiwananda menjadi kerepotan. Dia meloncat-loncat ke belakang, kemudian setelah ia memutar ruyungnya melindungi kedua kakinya, barulah desakan Retno Wilis dapat dihentikan.

Pertandingan berlangsung seru dan mati-matian. Karena Ki Shiwananda mengandalkan kebesaran tenaganya dan Retno Wilis mengandalkan kecepatannya, maka pertandingan berjalan seru sekali, lebih menegangkan daripada pertandingan-pertandingan sebelumnya. Ki Shiwananda mengeluarkan semua ilmu dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, tidak pernah ruyungnya dapat menyentuh tubuh lawan, bahkan sebaliknya pedang Retno Wilis yang bergerak sangat cepat itu kadang-kadang membuatnya kewalahan untuk mengelak dan menangkis.

"Terimalah Aji Kaladahana!" Tiba-tiba Ki Shiwananda memekik dan tubuhnya merendah dengan kedua lutut ditekuk, dan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, mulutnya ternganga mengeluarkan hawa. Dari tangan yang didorongkan itu keluar uap dan telapak tangannya berubah kemerahan seperti mengandung api. Uap yang menyambar ke arah Retno Wilis itu membawa hawa yang panas sekali.

Maklum bahwa lawan menggunakan ilmu pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga sakti, Retno Wilis tidak kehilangan akal. Iapun merendahkan tubuhnya dan mendorongkan tangan kirinya, untuk menyambut serangan lawan. Itulah Aji Wisolangking. Gelombang hawa yang dingin menyambar ke depan dan ketika dua tenaga sakti itu bertumbuk di udara, keduanya terdorong mundur sampai dua langkah! Akan tetapi gerakan Retno Wilis memang cepat sekali. Begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tubuhnya sudah melesat ke depan dan pedangnya menyambar-nyambar dengan amat ganasnya!

Ki Shiwananda terkejut. Bukan saja ajinya Kaladahana dapat dipunahkan lawan, akan tetapi terutama sekali serangan dara itu membuatnya repot. Dia berusaha untuk menangkis dan mengadu senjata karena dia menang kuat dalam adu tenaga kasar. Akan tetapi Retno Wilis tidak memberi kesempatan dia mengadu tenaga. Pedang itu mengelak setiap kali ditangkis dan sudah menusuk lagi atau membacok dengan cepatnya. Didesak demikian, Ki Shiwananda terpaksa mempertahankan diri sambil mundur terus.

Tiba-tiba Ki Shiwananda menjadi nekat dan agaknya dia hendak mengadu nyawa, membiarkan diri terancam asal dia dapat berbalik mengancam lawan. Dia memutar ruyungnya dan menerjang ke depan. Dia membiarkan dirinya terbuka terhadap pedang lawan, akan tetapi kalau pedang lawan mengenai tubuhnya, ruyungnya berbareng juga akan mengenai tubuh lawan.

Menghadapi serangan nekat ini tentu saja Retno Wilis terkejut dan ia tidak sudi mengorbankan diri untuk sama-sama terluka. Ia mengelak dan ketika lawan terus mendesak dengan sambaran ruyungnya, ia menjatuhkan diri ke belakang, berjungkir balik di atas tanah dan ketika tangan kirinya menyentuh tanah, diam-diam ia mengambil segenggarn tanah dengan tangan kirinya.

Ketika ia berdiri lagi dan melihat lawan masih terus maju menerjang, tiba-tiba ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak menyambitkan tanah yang digenggamnya ke arah dada Ki Shiwananda. Jarak di antara mereka dekat sekali dan sambitan itu dilakukan tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Ki Shiwananda. Ketika ada sinar hitam menyambar ke arah dadanya, dia tidak sempat mengelak dan terpaksa dia mengerahkan aji kekebalannya untuk melindungi dada itu.

"Prattt....!!" Dada itu kena disambar tanah berpasir yang disambitkan dengan Aji Pancaroba, semacam aji melempar pasir biasa menjadi pasir sakti yang berbahaya.

Karena dada itu telah dilindungi aji kekebalan, maka pasir itu tidak dapat menembus kulit. Akan tetapi tetap saja terasa nyeri pada kulit dada dan membuat Ki Shiwananda terhuyung ke belakang. Saat itu, sinar pedang Sapudenta menyambar ke arah lehernya. Ki Shiwananda menggerakkan ruyungnya menangkis.

"Tranggg.... bukkk!" Pedang tertangkis akan tetapi pada saat itu Retno Wilis sudah menendang dan mengenai perut Ki Shiwananda, membuat tubuh raksasa itu terjengkang dan terbanting keras. Untuk menyelamatkan dirinya, Ki Shiwananda menggulingkan tubuhnya ke arah Wasi Shiwamurti. Akan tetapi Retno Wilis yang sudah merasa memperoleh kemenangan tidak melakukan pengejaran, melainkan memandang kepada Wasi Shiwamurti dengan senyum mengejek.

"Wasi Shiwamurti, jagomu yang ke empat sudah keok! Kedudukan kita kini menjadi tiga lawan dua untuk kemenangan pihakku. Sebaiknya kalian minggat dari sini dan jangan ganggu kami lagi karena kalau engkau berani menghadapi pertandingan terakhir, engkau tentu akan kalah pula."

Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah. "Masih ada sebuah pertandingan lagi, yang ke lima dan aku sendiri yang akan maju! Hayo ajukanlah jagomu, Retno Wilis! Jagomu pasti akan kalah olehku dan kedudukan kita akan menjadi tiga sama dan seri sehingga kalian semua akan tetap menjadi tawanan kami untuk dihadapkan kepada Sang Adipati Blambangan sebagai telik sandi dan pengacau."

"Hei, Wasi Shiwamurti, dengarkanlah omonganku ini!" terdengar suara nyaring dan semua orang menoleh dan memandang kepada Jayawijaya yang mengeluarkan suara itu.

"Sadarlah bahwa engkau sebagai seorang wasi, seorang pendeta yang bijaksana, sedang melakukan hal yang sama sekali menyimpang dari kebenaran!"

"Jayawijaya, engkau ini orang lemah tidak tahu apa-apa bicara tentang kebenaran. Ketahuilah bahwa semua yang kami lakukan ini adalah benar belaka!"

"Kebenaran menurut pendapatmu sendiri! Akan tetapi ada kebenaran umum, kebenaran yang dapat ditelusuri dan dipertimbangkan akal sehat, Wasi Shiwamurti. Ada dua hal yang membuat engkau ingin menahan dan menangkap diajeng Retno Wilis dan pihaknya, yaitu pertama karena mereka engkau tuduh sebagai telik sandi dan kedua karena mereka pengacau. Tuduhan pertama itu, kalau benar bahwa mereka telik sandi, mengapa mereka melakukan itu? Bukan lain karena Blambangan bersikap memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala, sehingga sepantasnyalah kalau diajeng Retno Wilis sebagai kawula Panjalu yang setia menyelidiki keadaan Blambangan yang memberontak. Kedua, tuduhan bahwa ia mengacau itupun ada sebabnya, yaitu karena engkau dan kawan-kawanmu menyebarluaskan agama baru yang menyimpang dari kesusilaan. Karena itu, mawas dirilah engkau, Wasi Shiwamurti sebelum terlambat karena bagaimanapun juga, yang salah akhirnya akan kalah dan yang benar akan menang."

"Orang muda cerewet! Diam engkau atau aku akan merobek mulutmu! Hayo maju kalau engkau berani, bertanding melawanku, bukan hanya bicara seperti seorang nenek bawel!"

Bagus Seto melangkah maju menghadapi Wasi Shiwamurti. "Paman Wasi Shiwamurti! Sepatutnya andika berterima kasih karena ada orang yang mau mengingatkanmu. Akan tetapi andika malah marah-marah, ini sesungguhnya bukan sikap seorang pendeta dan pertapa. Kalau andika menghendaki kekerasan dan menantang tanding, nah, akulah yang akan menandingi-mu!"

Dengan sepasang matanya yang mencorong Wasi Shiwamurti mengamati pemuda berpakaian putih itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang usianya sekitar tigapuluh tahun, wajahnya lembut dan matanya juga bersinar lembut, gerak-geriknya tenang namun dibalik semua ketenangan itu dia dapat merasakan tenaga yang amat dahsyat bersembunyi. Dia tahu bahwa pemuda ini tentu seorang yang memiliki kesaktian tinggi, dan diapun sudah mendengar laporan mengenai pemuda ini. Maka, diam-diam dia lalu mengerahkan segenap tenaga batinnya dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada, mulutnya kemak-kemik dan matanya terpejam mempersatukan segala daya alam pikirannya. Kemudian dia membuka mata, memandang ke arah kedua mata Bagus Seto dan terdengar suaranya yang bergema seperti bukan suara manusia lagi.

"Bagus Seto, lihat, nagaku akan memangsamu!" Dia mengembangkan kedua lengannya dan terdengar halilintar pada saat tengah hari terang benderang itu. Dia melontarkan tongkat kepala naganya ke udara dan tongkat itu lenyap berubah menjadi seekor naga hitam yang besar badannya sama dengan pohon kelapa! Moncongnya terbuka lebar, matanya berapi-api menyeramkan sekali sehingga semua orang yang melihatnya menjadi terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

Akan tetapi, walaupun naga itu menghadapinya dan moncongnya ternganga siap menelannya dan sepasang kaki depan dengan kuku-kuku melengkung runcing siap menerkamnya, Bagus Seto tetap tenang saja. Dari rambut kepalanya dia mengambil sesuatu dan ternyata setangkai bunga cempaka putih sudah berada di tangannya. Dengan mata mencorong menatap naga jadi-jadian itu dia menyambitkan bunga cempaka putih itu ke arah naga.

"Segala sesuatu harus kembali ke asalnya!" katanya dan bunga itu berubah menjadi sinar putih seperti kilat yang menyambar ke arah naga.

Terdengar suara menggelegar dan naga hitam itu mengeluarkan asap dan jatuh ke atas tanah, begitu menyentuh tanah berubah menjadi tongkat kembali. Bunga cempaka putih itu melayang turun kembali ke tangan Bagus Seto. Wasi Shiwamurti dengan muka merah karena marah menyambar tongkat kepala naganya lagi, lalu mengetuk-ngetukkan ujung tongkat itu ke atas tanah. Makin lama ketukan itu semakin kuat dan dari bawah tongkat itu mengepul debu tebal berikut pasir dan kerikil menerjang ke arah Bagus Seto! Serangan ini dahsyat sekali sehingga menegangkan hati Retno Wilis.

Namun Bagus Seto tetap tenang. Dia menanggalkan kain putih yang menjadi pengikat rambutnya dan menggunakan kain yang cukup lebar itu untuk mengebut ke depan. Sungguh aneh! Biarpun yang dikebut-kebutkan itu hanya sehelai kain putih, akan tetapi ketika debu tebal berikut pasir dan kerikil itu terkena kebutan itu, terpental kembali, bahkan menyerang balik ke arah Wasi Shiwamurti. Sang wasi menjadi marah dan memutar tongkatnya. Semua pasir dan kerikil runtuh ke atas tanah.

"Paman Wasi Shiwamurti, andika hendak mengadu ilmu ataukah hendak main-main? Segala macam permainan untuk menakut-nakuti anak kecil ini tidak perlu andika keluarkan!" kata Bagus Seto, bukan mengejek melainkan dengan suara bersungguh-sungguh.

Wajah sang wasi menjadi pucat, lalu merah kembali dan untuk menutup malunya dia berkata dengan congkak. "Babo-babo, Bagus Seto! Aku sudah siap dengan senjata tongkat wasiatku, sekarang keluarkanlah senjatamu. Pilihlah senjata yang paling keras dan ampuh untuk diadu dengan tongkat kepala nagaku!"

Mempersilakan lawan memilih senjata adalah sikap yang gagah dan ini diperlihatkan Wasi Shiwamurti untuk menutupi rasa malunya karena dua kali serangan ilmu sihirnya dapat digagalkan lawan. Akan tetapi sekali inipun dia kecelik karena Bagus Seto tersenyum dan berkata dengan sikap tenang dan lembut.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Paman Wasi Shiwamurti, sejak tadi aku sudah memegang senjataku. Inilah senjataku!" Dia memperlihatkan kain pengikat rambut di tangan kanan kanan dan bunga cempaka putih di tangan kiri.

Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah sekali sampai ke lehernya. Diam-diam dia merasa terkejut dan juga penasaran. Terkejut karena dia maklum bahwa kalau orang berani bersenjatakan benda-benda lemah seperti kain dan bunga cempaka, orang itu pasti memiliki kesaktian tinggi, dan dia merasa penasaran karena dengan memegang senjata remeh macam itu, pemuda itu seolah memandang rendah kepadanya! Akan tetapi kemarahan lebih menguasai hatinya dan dia segera memutar tongkatnya sehingga tongkat itu melintang di depan dadanya.

"Bagus! Sambutlah keampuhan tongkat kepala nagaku!"

Dan dia sudah menyerang dengan dahsyat sekali. Retno Wilis sendiri sampai mengerutkan alisnya karena darisam baran angin serangan itu saja maklumlah dara perkasa ini betapa sakti orang itu dan betapa dahsyat dan berbahaya tongkatnya. Namun Bagus Seto bergerak sedemikian ringannya seolah tubuhnya berubah menjadi asap dan sambaran tongkat yang bertubi-tubi itu tidak pernah dapat mengenai tubuhnya. Ketika Retno Wilis sedang memandang dengan mata tidak pernah berkedip dan dengan hati tegang, tiba-tiba terdengar orang bicara di dekatnya.

"Diajeng Retno Wilis, kakakmu ini sungguh seorang yang sakti mandraguna. Juga seorang yang bijaksana. Aku kagum sekali kepadanya."

Senang hati Retno Wilis mendengar pujian itu dan merasa bangga, walaupun kekhawatiran masih menyelinap di hatinya karena ia maklum benar bahwa sekali ini kakaknya menghadapi seorang lawan yang teramat sakti.

"Akan tetapi lawannya juga seorang yang sakti mandraguna, kakang. Aku khawatir...."

"Ingat, diajeng. Kita harus pasrah kepada kekuasaan Hyang Widhi. Aku yakin, karena kakangmas Bagus Seto berada di pihak benar, maka dia tidak akan terancam bahaya. Soal kalah menang bukan yang terpenting, akan tetapi yang lebih baik dia selalu berada daiam lindungan kekuasaan Sang Hyang Widhi."

Entah mengapa, setelah mendengar suara dan kata-kata Jayawijaya ini, hati Retno Wilis menjadi tenteram dan timbul pula keyakinan dalam hatinya bahwa kakaknya akan terlindung kekuasaan Hyang Widhi seperti yang dikatakan Jayawijaya.

Sementara itu, pertarungan antara Wasi Shiwamurti dan Bagus Seto masih berlangsung dengan serunya. Tampak sekali perbedaan dalam sepak terjang kedua orang sakti mandraguna itu. Kalau tongkat kepala naga di tangan Wasi Shiwamurti menyambar-nyambar ganas dan merupakan tangan maut yang haus darah, setiap serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Bagus Seto hanya berusaha menghindarkan diri dan kalau sewaktu-waktu kain pengikat rambutnya membalas serangan, maka serangan itu hanya untuk menotok jalan darah dan untuk melumpuhkan saja, tidak ada niat untuk membunuh.

Akan tetapi sikap mengalah dari Bagus Seto ini merugikan dirinya sendiri dan dengan sendirinya gerakan tongkat Wasi Shiwamurti menjadi semakin ganas sehingga Bagus Seto terdesak hebat. Tiba-tiba Shiwamurti mengeluarkan suara gerengan panjang. Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung mereka yang menonton dan mereka cepat-cepat mengerahkan tenaga batin untuk menahan jantung mereka dari guncangan yang akan mendatangkan luka dalam. Akan tetapi, bersamaan dengan getaran hebat itu, gerakan tongkat sang wasi menjadi semakin hebat pula. Ujung tongkatnya tergetar-getar menjadi banyak dan ujung tongkat itu menyerang secara bertubi-tubi ke arah tubuh Bagus Seto.

Menghadapi serangan dahsyat dan ganas ini, tiba-tiba tubuh Bagus Seto mumbul ke atas. Tongkat itu mengejarnya pada saat tubuh pemuda itu masih berada di atas, akan tetapi sungguh hebat. Tubuh itu dapat mengelak seolah burung yang sedang terbang saja, atau tubuh itu seolah telah menjadi asap atau uap. Inilah aji kesaktian yang disebut Mego Gemulung, yang membuat tubuh Bagus Seto laksana awan mendung yang berarak di angkasa, serangan tongkat yang bertubi-tubi tidak pernah dapat menyentuhnya. Dengan sedikit elakan saja semua serangan itu luput dan kadang-kadang ujung tongkat dikebut kain pengikat rambut sehingga menyeleweng tusukannya. Tubuh Bagus seto bergerak-gerak di udara seperti seekor kupu-kupu!

SEPASANG GARUDA PUTIH JILID 15