Perawan Lembah Wilis Jilid 45 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 45

KEMUDIAN ia menambahkan untuk membujuk hati kakek itu, "Justeru karena ayah bunda beliau berada di Panjalu dan akan berpihak kepada musuh maka gusti ratu ingin bekerja sama dengan Sang Wasi. Gust puteri sanggup menghadapi dan mengalahkan siapapun juga, termasuk Bagus Seta kakaknya sendiri. Akan tetapi untuk menghadapi rama ibunya, tentu saja merasa tidak enak dan menyerahkan hal itu kepada Sang Wasi. Dengan kerja sama antara Sang Wasi berdua berikut semua pembantu Sang Wasi yang sakti mandraguna dengan gusti ratu yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, saya yakin bahwa Jenggala dan Panjalu akan mudah ditaklukkan."

"Kalau sudah berhasil, bagaimana?" Wasi Bagaspati memandang tajam, akan tetapi dalam hal kecerdikan menggunakan akal dan tipu muslihat, kiranya Adiwijaya tidak akan kalah terhadap kakek sakti Itu.

"Kalau sudah berhasil? Tentu saja berarti Kerajaan Cola akan menjadi kerajaan sahabat dan gusti puteri tentu akan memberi kebebasan kepada Sang Wasi untuk menyebarkan agama dan kepada Kerajaan Cola untuk menikmati hasil bumi Nusa Jawa..."

"Uuhhh....! Kerajaan kami yang besar bersahabat dengan kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu perawan belasan tahun? Betapa memalukan!" kata Sang Wasi Bagaspati sambil memandang tajam.

Adiwijaya maklum akan isi hati kakek itu yang mencobanya, maka ia pun balas memandang dan berkata, "Kalau Sang Wasi berpendirian seperti itu dan andaikata akan lebih suka kalau kerajaan di sini dipimpin oleh seorang pria yang mempunyai minat yang sama, umpamanya seorang pria seperti.... eh, saya sendiri, hemmm.... apa sukarnya mengenyahkan seorang dara yang belum berpengalaman? Serahkan saja kepada saya, karena saya sendiri pun tidak begitu bangga menjadi patih dari seorang ratu wanita yang amat muda. Merendahkan sekali namanya! Dan beliau amat percaya kepada saya, maka hal itu kelak akan dapat kita bicarakan lagi, Sang Wasi."

"Ha-ha-ha-ha! Andika memang seorang yang amat cerdik dan aku suka sekali bersekutu dengan Andika, wahai Ki Patih Adiwijaya! Kapankah ratumu itu akan mengunjungi kami di sini?"

"Maaf, Sang Wasi. Gusti ratu minta dengan hormat agar Sang Wasi yang datang mengunjunginya di Wilis." Adiwijaya bersikap cerdik tidak menggunakan kata-kata minta kakek itu datang menghadap ratunya. Akan tetapi UNDANGAN yang sudah diperlunaknya ini masih membuat wajah yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi.

"Apa? Kerajaan kecil Wilis itu minta aku yang datang berkunjung? Aku utusan Kerajaan Cola yang besar? Dan ratu bocah itu? Tuanya masih tua aku, saktinya masih sakti aku, tingginya kedudukan masih tinggi aku!"

"Ratu perawan cilik itu sombong amat!" kata pula Wasi Bagaskolo geram.

Hemm, kalian ini dua orang kakek yang sombong tak tahu diri, di dalam hatinya Adiwijaya memaki, akan tetapi wajahnya tersenyum dan suaranya halus ketika berkata, "Harap Sang Wasi berdua yang mulia sudi bersabar dan memikirkan secara mendalam. Ratu Wilis adalah seorang wanita yang masih muda, tentu saja bersikap manja, apalagi memang sakti mandraguna. Kita saling membutuhkan, Kerajaan Wilis membutuhkan bantuan Sang Wasi, sebaliknya Sang Wasi juga membutuhkan bantuan Wilis, kalau yang tua dan yang bijaksana tidak sudi mengalah, bagaimana jadinya? Mengalah bukan berarti kalah dan kalau kelak sudah tercapai cita-cita, masih banyak kesempatan untuk membalas kesombongan itu, bukan?"

Sang Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, kembali kepanasan hatinya menjadi dingin dan kemarahannya mereda oleh ucapan Adiwijaya ini. "Baiklah, memang akal kadang-kadang lebih penting dipergunakan daripada okol (kekerasan). Andika pulanglah, Patih Adiwijaya dan sampaikan kepada ratumu bahwa sebulan lagi kami akan datang berkunjung ke Wilis."

Girang bukan main hati Adiwijaya. Tugasnya berhasil baik dan demi tercapainya cita-cita yang terkandung dalam hati ratu gustinya, betapapun sulitnya cita-cita itu, ia siap sedia untuk melakukan apa juga. Dan dengan bantuan dua orang kakek itu dan ditambah pembantu-pembantu mereka yang sakti seperti Ni Dewi Nilamanik, ia merasa yakin bahwa cita-cita ratu gustinya pasti akan tercapai. Adapun untuk dia sendiri, sungguh aneh sekali dan ia merasa heran sendiri. Dia tidak mencita-citakan sesuatu, tidak seperti dulu lagi, tidak menginginkan wanita cantik, tidak menghendaki kedudukan tinggi, maupun harta benda dan kemuliaan. Baginya, kalau ia dapat melihat Retna Wilis berbahagia, dapat mengabdi kepada dara itu, dapat selalu memandang wajahnya, melihat dara itu tersenyum bahagia, ia sudah merasa cukup bahagia hidupnya!

Dengan dada lapang dan hati gembira Adiwijaya lalu kembali ke Wilis dan setelah menghadap Ratu Wilis, ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Wasi Bagaspati dan menutup penuturannya dengan kata-kata menasehati,

"Harap Paduka berhati-hati menghadapi Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo. Selain mereka itu memiliki kesaktian yang luar biasa, ahli ilmu hitam, juga Wasi Bagaspati amat cerdik dan palsu sedangkan hamba lihat Wasi Bagaskolo amat keras hati dan kejam. Tentu saja hamba yakin bahwa Paduka lebih sakti daripada mereka, akan tetapi di samping Paduka semestinya menahan harga diri sebagai Ratu Kerajaan Wilis yang jaya dan tidaklah sangat mengharapkan bantuan mereka, namun hendaknya Paduka tidak menyinggung mereka sehingga mereka mengundurkan diri kembali. Betapapun juga, bantuan mereka selain amat perlu untuk menghadapi anggota keluarga yang mendatangkan rasa hati tidak nyaman apabila paduka sendiri yang maju, juga agar mereka itu tidak menaruh curiga dan kelak lebih mudah bagi Paduka untuk mengenyahkan mereka setelah kita tidak memerlukan lagi tenaga mereka."

Retna Wilis yang mendengarkan penuh perhatian, mengangguk-angguk. "Baik Paman. Akan kuingat dan kulaksanakan pesanmu, dan aku girang sekali bahwa Paman telah berhasil menghubungi mereka."

"Kalau mereka datang menghadap nanti, sebaiknya Paduka menerima mereka di ruangan besar seorang diri agar percakapan di antara Paduka dan mereka tidak sampai bocor keluar. Hamba sendiri dengan diam-diam akan mengerahkan tenaga-tenaga pilihan untuk memasang baris pendem sehingga kalau terlihat gejala tidak baik, dengan mudah dan cepat hamba akan dapat mengerahkan pasukan menyergap mereka."

"Ah, mengapa demikian, Paman? Aku sendiri tidak takut menghadapi mereka dan tidak memerlukan bantuan barisan pendam."

"Paduka adalah seorang ratu, tidak semestinya turun tangan sendiri kalau masih ada pasukan pengawal. Biarpun hamba yakin Paduka tidak memerlukan bantuan, namun kalau ada marabahaya lalu pasukan pengawal muncul, hal ini akan menambah wibawa dan keangkeran Kerajaan Wilis sebagai kerajaan yang besar."

Kembali Retna Wilis mengangguk-angguk dan ia merasa bersyukur dan girang sekali bahwa dia mendapatkan seorang patih yang begini pandai dan yang agaknya mengerti akan seluk-beluk kerajaan. Seorang pembantu yang tidak saja pandai, akan tetapi juga setia dan boleh dipercaya.

Sebulan kemudian, sepasukan kecil terdiri dari tujuh orang wanita cantik anak buah Ni Dewi Nilamanik mendaki puncak Wilis dan menyampaikan berita bahwa Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo datang berkunjung dan minta berjumpa dengan Ratu Wilis. Mendengar berita ini, Adiwijaya lalu mempersiapkan pasukan yang menyambut tujuh orang wanita cantik itu, menerima mereka di paseban luar dan menjamu mereka, sedangkan Retna Wilis sudah siap duduk di atas kursi gading berukir yang berada di ruangan besar sebelah dalam.

Ratu muda belia ini duduk sendiri tanpa pengawal dan tanpa abdi, sengaja menanti kedatangan dua orang tamu agung itu. Di luar, pasukan penghormatan sudah siap menyambut kedatangan dua orang kakek itu. Akan tetapi sampai lama, yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Ketika Adiwijaya bertanya kepada pasukan wanita itu, mereka hanya tersenyum penuh rahasia dan menjawab bahwa mereka hanya bertugas menyampaikan berita akan kedatangan dua orang kakek itu, adapun cara mereka datang bagaimana, pasukan wanita itu menyatakan tidak tahu.

Mendengar ini, Adiwijaya menjadi waspada dan cepat ia memberi tanda rahasia kepada pasukan pendam agar siap dan waspada, dan dia sendiri pun lalu bersembunyi tak jauh dari ruangan besar sebelah dalam, siap membela junjungannya yang duduk sendirian kalau-kalau terancam marabahaya.

Para pasukan pengawal yang menjadi barisan rahasia itu tidak ada yang dapat melihat ruangan itu, mereka hanya bersembunyi dan menanti isyarat dari Ki Patih Adiwijaya. Yang dapat mengintai ke ruangan itu dan mendengarkan semua yang akan dipercakapkan hanyalah Adiwijaya sendiri.

Tiba-tiba mata Adiwijaya terbelalak penuh keheranan ketika ia mendengar suara Wasi Bagaspati yang terdengar dekat sekali, terdengar dari dalam ruangan, padahal orangnya tidak tampak!

"Ha-ha-ha! Sang Ratu yang muda belia, cantik jelita dan sakti mandraguna. Kami telah datang berkunjung, apakah Paduka belum mengetahui?"

Ki Patih Adiwijaya membelalakkan mata, jelilatan memandang ke sana ke mari, dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena ia sungguh tidak melihat di mana adanya kakek yang suaranya amat dikenalnya itu. ia lalu memandang kepada ratunya penuh harapan, dan melihat betapa Retna Wilis duduk dengan sikap angkuh dan tenang, kemudian ratu muda belia itu tanpa menggerakkan tubuh, tanpa menoleh, menjawab, suaranya lantang dan halus, namun penuh wibawa seorang ratu besar,

"Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Permainan kanak-kanak yang kalian perlihatkan ini tidak ada artinya bagiku. Sudah sejak tadi kalian berdiri di dekat tiang di sebelah kanan itu, siapakah yang tidak melihatnya? Sang Wasi Bagaspati, Andika mengangkat tinggi-tinggi tongkat Andika sehingga gelang emas tangan kanan Andika turun sampai ke siku, mau apakah? Dan mengapa Andika meraba-raba jenggot Andika yang sudah putih? Wasi Bagaskolo, mengapa Andika menggunakan tusuk konde untuk menghias kepala? Tusuk konde Andika itu dari emas, apakah Andika masih suka bersolek? Biarpun pesolek kalau pikun sehingga tidak merasa betapa baju Andika di pundak kiri robek sedikit tidak dijahit, apa artinya?"

Ucapan Retna Wilis itu tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati Adiwijaya yang kini mengejap-ngejapkan mata dan terbelalak memandang ke arah tiang yang disebut oleh ratu gustinya, akan tetapi tidak melihat apa-apa! Yang lebih kaget lagi adalah dua orang kakek yang mengerahkan aji kesaktian. Ternyata ratu yang begitu muda itu hebat, dapat melihat mereka dengan jelas tanpa menengok sehingga dapat mengikuti gerak-gerik mereka dan melihat keadaan mereka dengan sejelasnya!

Sambil menarik napas panjang penuh kagum mereka lalu melepaskan aji panglimuman sehingga kini Adiwijaya dapat pula melihat mereka. Berdiri bulu tengkuk ki patih ini dan ia pun menghela napas. Semua kesaktian yang pernah ia pelajari, kalau dibandingkan dengan kedua orang kakek ini sungguh tidak ada artinya! Namun, dengan hati bangga ia memandang ratunya yang biarpun masih begitu muda belia, ternyata tidak kalah saktinya oleh kedua kakek itu sehingga biarpun kedua orang kakek itu seperti siluman dapat menghilang, Retna Wilis dapat melihat mereka!

"Heh-heh, benar-benar awas sekali pandanganmu, Sang Ratu yang muda belia!" kata Wasi Bagaspati yang kini sudah tampak dan di belakang kakek ini Wasi Bagaskolo memandang kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak penuh keheranan.

"Sebelum kita berkenalan dan bicara lebih lanjut, ingin aku menguji sampai di mana kesaktianmu, Sang Ratu," kata pula Wasi Bagaspati.

"Terserah kepadamu, Sang Wasi Bagaspati. Aku adalah pemilik rumah dan lebih muda, sedangkan Andika adalah tamu dan lebih tua. Aku siap melayani segala kehendakmu," jawab Retna Wilis tanpa menoleh, masih duduk dengan tegak di atas kursinya.

Akan tetapi sebelum Wasi Bagaspati bergerak, lengan kirinya disentuh Wasi Bagaskolo, "Biarkan aku mengujinya, Kakang Wasi," bisiknya.

Kemudian, setelah kakak seperguruannya mengangguk, ia melangkah maju dan memutar, menghadapi ratu yang muda belia itu. Sejenak mereka bertemu pandang dan jantung Wasi Bagaskolo berdebar ketika sinar mata Retna Wilis seolah-olah menembus dadanya dan menjenguk hatinya, apalagi kalau ia teringat bahwa dara perkasa ini adalah murid tunggal Nini Bumigarba yang amat ditakutinya.

"Sang Ratu, sebagai tamu, perkenankanlah aku menghadiahkan tusuk konde yang kau sebut tadi kepadamu, harap Paduka suka menerimanya!" Sambil berkata demikian, Wasi Bagaskolo mencabut tusuk kondenya sehingga rambutnya yang hanya sedikit dan digelung di atas kepala menjadi gelung kecil itu terurai. Sejenak ia memandang tusuk konde kecil itu, kemudian membuka kepalan tangannya dengan telapak tangan di atas. Tusuk konde yang terletak di atas telapak tangannya itu tiba-tiba saja bergerak dan terbang ke atas!

Melihat ini, dari tempat persembunyiannya, Ki Patih Adiwijaya memandang terbelalak penuh keheranan. Pandang matanya mengikuti gerakan tusuk konde itu yang mengeluarkan sinar cemerlang dan yang kini terbang ke atas berputar-putaran, makin lama makin cepat dan berputaran di seluruh ruangan itu, mengeluarkan bunyi mengaung seolah-olah seekor burung beterbangan. Dengan bibir tersenyum akan tetapi matanya tetap dingin, Retna Wilis melirik ke atas, kemudian menggapai dengan tangan kirinya ke arah benda kecil yang beterbangan itu.

"Cringggg" Tusuk konde yang tadinya beterbangan itu tiba-tiba saja runtuh di atas lantai, mengeluarkan bunyi berkerincing, jatuh ke depan kaki Wasi Bagaskolo yang memandang dengan muka merah.

"Wasi Bagaskolo, biarpun Andika jauh lebih tua daripada aku, patutkah kalau seorang tamu menghaturkan persembahan dengan menaruh benda itu di atas lantai?"

Wajah Wasi Bagaskolo menjadi makin merah. Ucapan itu halus, akan tetapi selain mengandung suara dingin sekali, juga jelas merendahkannya, menyebut bahwa dia menghaturkan persembahan! Ia telah memperlihatkan kesaktiannya yang berdasarkan tenaga batin, namun ternyata ratu muda belia itu dapat mengatasinya, maka kini ia ingin menguji kedigdayaan atau ketangkasannya.

"Maaf, Sang Ratu, kalau tadi saya bersikap kurang hormat," katanya sambil membungkuk dan karena tusuk konde itu berada di lantai depan kaki Retna Wilis, maka ketika membungkuk untuk mengambil benda itu seolah-olah ia menghaturkan sembah kepada ratu muda itu. Retna Wilis menggerakkan lengan kanan dengan sikap seorang ratu menerima dan membalas. penghormatan itu.

"Sang Ratu Wilis, terimalah persembahanku Tiba-tiba Wasi Bagaskolo menggerakkan jari telunjuk kanannya yang menyepit tusuk konde dan tusuk konde itu meluncur ke depan, ke arah tenggorakan Retna Wilis secepat melesatnya anak panah dari busurnya. Jarak antara mereka hanya lima meter kurang lebih, maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya serangan ini!

Patih Adiwijaya yang menyaksikan serangan ini hampir saja mengeluarkan seruan kaget kalau saja ia tidak cepat menahan hatinya dengan penuh kepercayaan akan kesaktian Ratu Wilis. Akan tetapi betapa kecut dan gelisah rasa hatinya ketika ia melihat betapa Retna Wilis sama sekali tidak menggerakkan tangan untuk menangkis atau menggerakkan tubuh untuk mengelak. Tusuk konde yang berubah menjadi sinar cemerlang itu seolah-olah tak dapat dihindarkan lagi akan menancap di kerongkongannya!

Setelah sinar itu datang dekat sekali, hanya satu jengkal lagi jauhnya, bibir yang merah dan berbentuk indah itu tiba-tiba diruncingkan dan ditiupkan. Sinar menyilaukan dari tusuk konde itu tiba-tiba membalik dan kini menyambar ke arah pemiliknya, ke arah tenggorokan Wasi Bagaskolo sendiri!

"Hebat...." Wasi Bagaskolo berseru kaget dan cepat ia menggunakan jari tangannya untuk menyentil tusuk konde yang akan menjadi senjata makan tuan. Terpaksa ia harus mengirim kembali tusuk konde itu karena kalau ia menerimanya, sama artinya dengan tidak rela mempersembahkan benda itu kepada sang ratu!

"Tringgg....!" Hebat sekali sentilan jari tangan kakek ini karena tusuk konde itu melesat kembali ke arah Retna Wilis.

"Andika memaksa menghaturkan persembahan, sungguh sungkan sekali, Wasi Bagaskolo. Biarlah aku menerimanya!" kata Retna Wilis, tangan kirinya diangkat dan tusuk konde itu menancap ke tangannya sampai tembus di punggung tangan!

Adiwijaya hampir berteriak kaget, akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa benda kecil runcing itu bukan menancap di telapak tangan, melainkan terselip dan terjepit di antara dua buah jari tangan yang kecil mungil! Diam-diam ia menjulurkan lidah. Kakek itu hebat, akan tetapi ratunya lebih hebat lagi. Siapa orangnya berani menerima serangan tusuk konde seperti itu? Meleset sedikit saja tentu tangan yang berkulit putih halus itu akan terluka!

Retna Wilis sudah menancapkan tusuk konde di lengan kursinya dan ia sudah duduk tegak dengan sikap angkuh dan berwibawa, menghadapi Wasi Bagaspati yang kini berdiri di hadapannya, menggantikan Wasi Bagaskolo yang agaknya sudah puas menguji kesaktian murid tunggal Nini Bumigarba itu.

"Ternyata Paduka tidak mengecewakan sebagai murid Nini Bumigarba, Sang Ratu. Akan tetapi hati saya tidak akan puas kalau tidak menguji sendiri. Sekutu tidak hanya harus mengenal kekuatan lawan, akan tetapi juga perlu sekali mengenal kekuatan kawan sehingga dapat sama-sama mengatur sepak terjang dan siasat dalam menghadapi lawan."

"Silahkan, Sang Wasi," jawab Retna Wilis dengan suara tenang, akan tetapi kini ratu muda ini turun dari kursinya dan berdiri tegak menghadapi Wasi Bagaspati.

Agaknya Retna Wilis maklum bahwa ilmu kesaktian kakek ini tentu jauh lebih hebat daripada kesaktian Wasi Bagaskolo, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan siap untuk menghadapi musuh asing yang hendak ditarik menjadi sekutu sementara ini.

Seperti juga ketika berhadapan dengan Wasi Bagaskolo tadi, kini Retna Wilis beradu pandang mata dengan Wasi Bagaspati. Kakek itu mengerahkan tenaga yang timbul dari dasar batin, dari kemauan dan ciptanya, sehingga sepasang matanya seolah-olah memancarkan cahaya berapi-api yang panas membakar, juga mengandung daya yang menggetarkan. Baru pandang mata ini saja tentu akan dapat melumpuhkan lawan dan memang kakek ini hendak menguji ratu muda belia itu, karena musuh yang hendak mereka hadapi adalah musuh berat di mana terdapat banyak sekali manusia-manusia sakti.

Akan tetapi, dara remaja yang sakti mandraguna ini menghadapi pandang mata kakek itu dengan tenang dan dingin, seperti air telaga yang amat dalam, sedikit pun tidak terpengaruh, bahkan kekuatan mujijat yang terpancar keluar dari sepasang mata kakek itu seolah-olah tenggelam dalam sinar mata dara ini!

"Sang Ratu, bagaimana Paduka akan menghadapi tongkat ularku ini?" Wasi Bagaspati melepaskan tongkatnya ke atas lantai dan tongkat itu berubah menjadi seekor ular cobra yang berkulit hitam, yang berdiri di atas perutnya dan mendesis-desis mengembangkan leher amat menyeramkan. Adiwijaya terbelalak penuh kekhawatiran menyaksikan peristiwa ini. Biarpun ia maklum bahwa bantuannya tidak akan ada artinya, namun ia sudah siap-siap untuk mengerahkan barisan pasukan pengawal, dan kalau perlu seluruh bala tentara Wilis untuk melindungi junjungannya.

Retna Wilis menunduk, memandang tongkat yang telah berubah menjadi seekor ular itu dengan tenang dan bibir tersenyum, kemudian ia berkata, "Sang Wasi, permainanmu ini baik sekali. Kalau dia ini benar seekor ular, seharusnya kuinjak hancur kepalanya dengan tumit kakiku, akan tetapi ular ini berasal dari tongkat maka kembalilah menjadi tongkat!" Ucapan ini dibarengi dengan gerakan kaki kirinya menyambar ke arah ular itu.

Ular Cobra yang kelihatan buas dan galak itu menyambut kaki Retna Wilis dengan gigitan, akan tetapi gerakan ular kalah cepat dan kaki itu sudah mengelak lalu menginjak kepala ular dari atas. Begitu kepala ular itu kena diinjak, seketika berubah lagi menjadi sebatang tongkat!

Menyaksikan pertandingan ilmu yang seperti sihir atau sulap ini, hampir saja Adiwijaya bersorak girang. Mampus kau, kakek yang sombong, makinya di dalam hati sambil mengintai dan memandang wajah Wasi Bagaspati yang mengerutkan kening dan matanya menjadi merah. Ketika patih ini mengalihkan pandangnya kepada wajah Retna Wilis, pandang matanya berubah penuh kagum dan taat, seolah-olah ia melihat seorang Dewi dari Kahyangan.

"Terimalah kembali tongkat Andika, Sang Wasi Bagaspati!" Retna Wilis berkata dan jari kakinya yang menginjak tongkat bergerak menyentil tongkat itu yang meluncur ke arah pemiliknya. Akan tetapi Wasi Bagaspati sudah mendorongkan tangan kanannya dengan telapak tangan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat sekali menyambar ke depan ke arah tongkatnya yang terhenti luncurannya, bahkan membalik dan meluncur ke arah Retna Wilis.

"Paduka telah menundukkan ularku, harap tangkis tongkatku, Sang Ratu!" kakek itu berkata nyaring.

cerita silat online karya kho ping hoo

Retna Wilis tiba-tiba mendorongkan tangan kanannya pula ke depan seperti yang dilakukan Wasi Bagaspati dan serangkum tenaga yang halus meniup ke depan, ke arah tongkat. Seketika tongkat itu berhenti di tengah udara, di antara kedua orang sakti yang mendorongkan lengan ke depan itu. Tongkat itu tidak bergerak seperti terjepit oleh tenaga yang tak tampak, terhimpit di tengah-tengah dan kalau diperhatikan betul, baru tampak betapa tongkat itu kadang-kadang menggeser ke kanan kadang-kadang ke kiri, dan barulah diketahui bahwa sesungguhnya memang ada dua tenaga sakti yang saling mendorong sehingga tongkat yang berada di tengah itu terhimpit! Dalam pertandingan mengadu kekuatan tenaga sakti ini, kedua pihak diam-diam menjadi kagum dan tahu bahwa lawan memiliki kesaktian yang hebat dan merupakan lawan yang kuat akan tetapi merupakan kawan yang boleh diandalkan. Betapapun juga, keduanya memiliki kekerasan hati dan tidak mau mengalah, merasa penasaran, maka mereka mengerahkan tenaga sehebatnya pada saat yang berbareng.

"Krekk! Krekk!" Tongkat itu hancur berkeping-keping dan keduanya lalu menurunkan lengan tangan masing-masing. Satu-satunya tanda bahwa mereka tadi telah mengerahkan tenaga hanya tampak pada kulit muka Retna Wilis yang menjadi kemerahan dan beberapa titik keringat yang membasahi dahi Wasi Bagaspati.

"Maaf, Sang Wasi. Aku telah membikin rusak tongkatmu," Retna Wilis berkata, teringat bahwa ia harus bersikap baik terhadap dua orang kakek yang akan dijadikan sekutu itu.

Wasi Bagaspati menyeringai dan memandang tongkatnya yang sudah hancur dan berserakan di atas lantai. "Bukan kesalahan Paduka, Sang Ratu. Pula, mudah saja membuat tongkat pengganti yang rusak dan senjata saya bukanlah tongkat itu, melainkan ini!" Sambil berkata demikian, Wasi Bagaspati meraba di balik jubahnya dan tiba-tiba tampak sinar menyilaukan ketika tangannya sudah memegang sebuah senjata yang bentuknya seperti Cakra.

Mata Adiwijaya menjadi silau dan kedua kakinya gemetar. Demikian hebat pengaruh mujijat yang keluar dari senjata di tangan kanan kakek itu!

"Senjatamu ampuh sekali, Sang Wasi. Akan tetapi aku pun mempunyai sebuah pusaka yang patut kuperlihatkan kepada orang-orang sakti seperti Andika berdua. Inilah pusakaku Pedang Sapudenta!"

Adiwijaya tak dapat mengikuti gerak tangan Retna Wilis karena tangan kanan ratu itu demikian cepatnya bergerak sehingga tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya berkilauan. Adiwijaya sampai memejamkan mata karena sinar yang amat terang seperti menusuk matanya. Ketika ia membuka matanya kembali, kakinya menggigil. Pedang pusaka di tangan ratunya itu benar-benar amat ampuh dan mengeluarkan hawa mujijat.

Kini ruangan itu penuh dengan hawa mujijat yang keluar dari kedua buah senjata pusaka ampuh itu. Biarpun kedua kakinya menggigil dan wajahnya pucat terkena perbawa (pengaruh) kedua senjata mujijat itu, Ki Patih Adiwijaya memaksa diri dan memberanikan hatinya untuk keluar dari tempat sembunyi, memasuki ruangan itu dan langsung menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan ratunya sambil berkata,

"Mohon ampun atas kelancangan hamba. Akan tetapi kini bukan saatnya senjata pusaka ampuh dilolos keluar dari warangka (sarung). Dengan sepasang pusaka yang amat ampuh ini hamba yakin kelak semua musuh dapat ditundukkan!"

"Ha-ha-ha-ha! Andika terlalu curiga, Ki Patih Adiwijaya!" Wasi Bagaspati berkata. "Kesaktian dan senjata ratu gustimu benar-benar hebat, hatiku puas sekali!" Tiba-tiba hawa panas dingin yang menyeramkan lenyap dari ruangan itu dan sukar dikatakan siapa yang lebih cepat menyimpan kembali kedua pusaka itu karena tiba-tiba saja kedua pusaka itu lenyap dari tangan masing-masing.

"Sang Wasi berdua, silahkan duduk!" kata Retna Wilis, menunjuk ke arah kedua buah kursi yang memang sudah disediakan di ruangan itu.

Dua orang kakek itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan Ratu Wilis, sedangkan Ki Patih Adiwijaya tetap duduk bersila penuh hormat. Dimulailah perundingan antara Retna Wilis dan Wasi Bagaspati dan dengan terus terang Retna Wilis menceritakan cita-citanya untuk menaklukkan seluruh kerajaan dengan janji bahwa jika Wasi Bagaspati sebagai utusan Negeri Cola suka membantunya sehingga cita-citanya berhasil, kelak ia akan menganggap Kerajaan Cola sebagai negara sahabat dan memberi kebebasan kepada Wasi Bagaspati untuk menyebarkan agamanya.

Sebaliknya Wasi Bagaspati juga menyatakan bahwa sesungguhnya tugasnya hanya
memperkembangkan agama, akan tetapi karena selalu menghadapi tentangan, terpaksa ia mempergunakan kekerasan, dan betapa sampai kini ia selalu mengalami kegagalan.

"Mengapa utusan Sriwijaya tidak ikut datang berkunjung?" Patih Adiwijaya bertanya. "Bukankah Sriwijaya juga mempunyai utusan yang dipimpin oleh Sang Biku Janapati? Kalau kekuatan kita semua digabung, tentu akan lebih mudah menundukkan Jenggala dan Panjalu yang terkenal kuat."

"Hemm, pendeta gundul itu sungguh menjemukan!" Wasi Bagaspati mengepal tinju dan giginya berkerot. "Dari seberang lautan kami datang sebagai sekutu, akan tetapi setelah tiba di sini, dia menyeleweng. Sesungguhnya semua kegagalan kami adalah karena si gundul itu! Kalau dia membantu, tentu sudah berhasil usaha kami."

"Sriwijaya adalah negara yang besar dan kuat, sejak lama menaruh dendam permusuhan dengan Mataram dan hanya berhenti sebentar karena mendiang Gusti Sinuwun Airlangga menikah dengan Puteri Sriwijaya. Akan tetapi dendam lama masih ada, mengapa sekarang utusan Sriwijaya tidak membantu Sang Wasi dalam menghadapi Jenggala dan Panjalu yang menjadi pecahan dari Kerajaan Mataram lama?" tanya Ki Patih Adiwijaya yang dalam perundingan ini mewakili gustinya karena dialah yang lebih tahu akan persoalan kerajaan.

"Si kakek gundul menjemukan itu memang tidak tahu diri. Mereka mengira bahwa Sriwijaya amat besar dan kuat, lupa betapa dahulu Raja Sriwijaya, Sinuwun Tunggawarman pernah dikalahkan dan ditawan oleh raja kami, Sinuwun Rajendracola. Setelah tiba di sini, pendeta gundul itu hanya bergerak memperkembangkan agamanya secara diam-diam, bahkan kini merantau ke ujung Nusa Jawa, ke pantai timur dan menyeberang ke Bali dwipa. Menjemukan sekali!"

Retna Wilis tersenyum, memandang rendah menyaksikan betapa kakek sakti ini masih mudah dikuasai nafsu amarah. "Sang Wasi, mengapa mengharapkan bantuan orang yang tidak suka bersekutu? Kurasa, dengan kesaktian yang dimiliki oleh Andika berdua, sudah cukup untuk menundukkan musuh yang bagaimanapun juga."

Kesempatan ini ditunggu-tunggu oleh Sang Wasi Bagaspati, maka ia segera mempergunakannya untuk membakar hati Retna Wilis. ia menarik napas panjang dan berkata, "Ahh, kalau menghadapi orang-orang sakti yang manapun juga di seluruh Panjalu dan Jenggala, saya sanggup mengalahkannya. Akan tetapi.... ah, usaha kita akan gagal kalau tidak ada yang dapat melawan Bagus Seta!"

Retna Wilis mengerutkan kening. "Bagus Seta?" ia teringat akan cerita ibunya bahwa ramandanya masih mempunyai seorang putera yang bernama Bagus Seta.

"Tentu Paduka mengenal nama itu karena dia adalah rakanda Paduka sendiri. Terus terang saja, kesaktian Bagus Seta amat hebat, tidak ada manusia yang akan mampu menandinginya."

"Apakah Andika sudah kalah olehnya, Sang Wasi?"

Merah wajah Wasi Bagaspati, akan tetapi karena ia cerdik, ia menunduk dan menjawab, "Pernah kami bertanding dan saya tidak mampu mengatasinya. Saya mendatangkan adik seperguruan saya, Wasi Bagaskolo ini, akan tetapi masih saya ragukan apakah tenaga kami berdua akan mampu menandinginya. Bahkan Paduka yang memiliki kesaktian tinggi, kiranya belum tentu akan dapat menang..."

"Apa....? Sang Wasi, seorang yang memiliki kesaktian seperti Andika, mengapa berhati begini kecil? Aku akan menandingi Bagus Seta!"

Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, menekan hatinya yang merasa girang akan hasil pembakarannya, dan ia berkata lesu, "Saya percaya akan kesaktian Paduka, akan tetapi masih saya ragukan apakah paduka akan dapat menangkan murid Bhagawan Ekadenta itu!"

Tiba-tiba Retna Wilis tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi menyeramkan sehingga Adiwijaya berdongak memandang dengan bulu tengkuk meremang.

"Hi-hi-hik! Murid Ekadenta? Sang Wasi, tahukan Andika bahwa pusakaku Sapudenta ini khusus untuk menandingi Bhagawan Ekadenta? Kalau dia tidak ada dan yang muncul adalah muridnya, aku yang akan menandingi dan menyapunya dari permukaan bumi!"

Adiwijaya bergidik dan diam-diam merasa prihatin sekali mendengar betapa orang yang dijunjungnya, yang dikasihinya, kini mengancam kepada kakaknya sendiri, kakak seayah!

"Bagus! Kalau begitu, ada sedikit harapan di hati saya. Dengan majunya kita bertiga, biarpun Ekadenta sendiri muncul, akan dapat kita hancurkan! Jangan khawatir, Sang Ratu. Biarpun sekarang pasukanku hanya tinggal seribu orang yang sudah digembleng oleh muridku, Cekel Wisangkoro, akan tetapi tanpa adanya Bagus Seta, kita akan dapat mudah menaklukkan Jenggala dan Panjalu sekalipun! Senopati-senopati sakti mereka, serahkan saja kepada kami berdua, akan kami binasakan semua!"

Perundingan dilanjutkan dan rencana penyerbuan ke Jenggala dibicarakan. Penyerbuan akan dilakukan dalam waktu singkat setelah persiapan-persiapan dibuat dan Wasi Bagaspati menyanggupi untuk menggabungkan pasukannya ke Wilis dalam waktu dekat. Kemudian, setelah kedua orang kakek itu menikmati hidangan yang disajikan, mereka kembali ke gunung Arjuna diiringkan tujuh orang perajurit wanita.

Malam itu bulan purnama siddhi menerangi permukaan bumi di pegunungan Wilis, menciptakan pemandangan yang amat indah dan menyejukkan. Namun, keindahan saat itu tidak tampak oleh Retna Wilis yang sedang duduk termenung seorang diri di dalam taman bunga di belakang istananya dengan hati yang sama sekali tidak sejuk.

Ratu muda belia yang gagah perkasa ini sedang duduk dan gelisah memikirkan keadaan keluarganya. Betapapun ia telah mewarisi watak gurunya, akan tetapi dia tetap manusia dan kalau ia mengenangkan ibunya, hatinya tergerak dan menggetar juga. Dan kini dia sedang mempersiapkan pasukan untuk menggempur Jenggala, untuk berhadapan sebagai musuh ayah bundanya, para bibinya, dan bahkan ia telah mengambil keputusan untuk menandingi Bagus Seta, kakaknya!

Semua ini tidak menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia teringat akan ibunya, hatinya trenyuh juga sungguhpun tidak begitu mendalam karena tertutup oleh sifatnya yang dingin seperti dasar laut kidul. Ia tidak perduli kalau harus bermusuh dengan ayahnya. Dia tidak suka kepada Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungnya yang belum pernah dilihatnya karena dia menganggap bahwa Tejolaksono telah menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya terlunta-lunta sampai ke Wilis. Ia tidak perduli akan Bagus Seta karena pemuda itu adalah putera Tejolaksono dari lain ibu.

Bahkan ia harus memperlihatkan bahwa sebagai putera Endang Patibroto, dia tidak akan kalah oleh putera Ayu Candra! Apalagi kalau ia ingat bahwa Bagus Seta adalah murid Bhagawan Ekadenta, hal ini justeru mendorongnya untuk mengalahkan pemuda itu. Ia tidak memperdulikan pula bermusuh dengan para bibinya Setyaningsih dan Pusporini karena kalau mereka itu menentangnya, menghalangi cita-citanya, berarti mereka pun musuh. Akan tetapi, bagaimana ia akan dapat memusuhi ibu kandungnya?

Dengan pikiran melayang-layang dalam renungan, Retna Wilis memandang bulan yang tampaknya bergerak perlahan, berenang di antara ombak-ombak mega putih di lautan langit biru. Kadang-kadang bulan yang bundar cemerlang itu bersembunyi di balik awan hitam tipis sehingga tampak seperti wajah puteri jelita bersembunyi di balik tirai sutera hitam, kemudian tirai itu terbuka lagi dan tampaklah senyum yang cerah.

Namun Retna Wilis tidak melihat bulan, melainkan melihat wajah ibunya menggantikan Sang Dewi Candra. Kemudian sejalan dengan pikirannya yang mengenangkan wajah-wajah keluarganya, bulan itu berubah menjadi wajah ibunya, Setyaningsih yang tersenyum-senyum dan membelainya di waktu ia masih kecil. Ia cepat mengusir kenangan ini dan membayangkan wajah keluarganya yang belum pernah ia lihat, bibi Pusporini dan terutama wajah ramandanya. Seperti apakah wajah ayahnya, Ki Patih Tejolaksono yang terkenal seorang pria yang tampan dan gagah perkasa itu? Sukar baginya untuk membayangkan wajah ayahnya.

Tiba-tiba bulan yang ia bayangkan sebagai wajah seorang pria yang direka-rekanya patut menjadi wajah ayahnya itu berubah menjadi wajah seorang pria muda yang tampan, yang tersenyum bibirnya akan tetapi yang memandang dengan sinar mata tajam menembus jantung. ia terkejut sekali ketika wajah itu dapat bergerak, mata itu hidup.

"Ahhhh...." Retna Wilis sadar dari lamunannya dan ketika ia meloncat bangun dari bangku yang didudukinya dan berdiri memandang, kiranya di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang sikapnya tenang dan sabar sekali, berpakaian serba putih yang amat sederhana.

Pemuda yang memandangnya dengan sinar mata lemah lembut namun amat tajam menjenguk isi hatinya! Kiranya wajah yang dilihatnya menggantikan bulan itu adalah wajah pemuda inilah!

Dalam kagetnya, Retna Wilis merasa marah dan penasaran sekali, rasa penasaran yang timbul dari rasa malu betapa dia seorang yang memiliki aji kesaktian tinggi dan yang memiliki penglihatan dan pendengaran lebih tajam daripada manusia biasa, sampai tidak tahu, tidak melihat maupun mendengar akan kedatangan seorang pemuda di depannya!

"Si keparat kurang ajar berani engkau datang tanpa dipanggil dan bersikap begini tak tahu aturan dan lancang?"

Ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang di antara kawula Wilis, akan tetapi siapa pun juga, termasuk patihnya sendiri, kalau datang menghadap tentu berlutut dan menyembah, tidak seperti pemuda ini yang berdiri seperti arca, sama sekali tidak ada tampak sikapnya menghormat!

"Aku bernama Bagus Seta dan kalau aku tidak salah menduga, Andika tentulah adikku Retna Wilis, puteri kanjeng rama dan kanjeng ibu Endang Patibroto. Benarkah dugaanku?"

Retna Wilis terkejut sekali dan beberapa detik pandang matanya menjelajahi wajah dan tubuh pemuda itu penuh selidik. Jantungnya berdebar, akan tetapi suaranya terdengar dingin ketika ia menjawab,

"Benar, aku Retna Wilis, Ratu Kerajaan Wilis! Jadi engkau inilah yang bernama Bagus Seta, putera Tejolaksono dan Ayu Candra? Hemmm...."

Bagus Seta mengerutkan keningnya, akan tetapi sikapnya masih tenang dan ia berkata halus, "Adinda Retna Wilis, aku rakandamu, kita saudara seayah...."

"Aku tidak perduli akan hal itu! Bagus Seta, engkau datang seperti siluman mau apakah?"

"Adikku sayang Retna Wilis. Aku sengaja datang mejumpaimu dengan maksud ingin mengingatkanmu akan kesalahan langkah hidup yang kautempuh. Engkau telah salah melangkah, Adikku, dan kini masih belum terlambat. Sadarlah bahwa apa yang sedang kaurencanakan bersama Wasi Bagaspati bukanlah hal yang benar, Adikku."

"Huh! Ke manapun juga aku melangkahkan kaki, apapun juga yang akan kuperbuat, ada sangkut-pautnya apakah dengan engkau? Segala langkah dan perbuatanku ditentukan oleh aku sendiri dan segala akibatnya pun akan kutanggungkan sendiri. Aku tidak membutuhkan peringatanmu!"

"Benar sekali, Retna Wilis. Memang seharusnya demikianlah, setiap perbuatan ditentukan oleh diri pribadi dan ditanggungkan akibatnya oleh diri sendiri pula. Aku pun tidak ingin mempengaruhi, apalagi memaksamu. Akan tetapi manusia telah dianugerahi akal budi dan pertimbangan yang menciptakan kewaspadaan dan kebijaksanaan, maka sudah sepatutnya pula kalau manusia berpikir dan mempertimbangkan lebih dulu sebelum melangkah sehingga setiap perbuatannya tidak terdorong oleh nafsu semata."

Segala kata-kata yang keras dan kasar dan sudah berkumpul di ujung lidah Retna Wilis tertahan saking herannya melihat keadaan kakaknya ini. Dia mendengar bahwa kakaknya yang bernama Bagus Seta ini adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka tadinya ia menggambarkan bahwa kakaknya tentu seorang pria yang gagah dan tampak gagah dan kuat. Akan tetapi kini ia berhadapan dengan seorang pemuda lemah lembut sikapnya, halus tutur sapanya, bahkan yang mengeluarkan ucapan mengandung penuh kesabaran dan ketenangan, sikap yang sepantasnya hanya dimiliki oleh kaum pendeta atau pertapa yang sudah tua renta dan pikun! Saking herannya, ia hanya dapat memandang dan mendengarkan pemuda itu bicara terus tanpa dapat mencela atau menjawab.

"Retna Wilis, Adikku sayang. Apakah sesungguhnya yang kau cari? Apakah yang kaucita-cita dan idamkan? Apa yang tersembunyi di dalam usahamu menghimpun tentara, menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan ini? Apakah engkau mengejar kedudukan sebagai seorang ratu besar yang oleh manusia dianggap kemuliaan? Itukah kemuliaan? Ah, engkau akan kecewa, Adikku, apa pun hasilnya daripada kekerasan yang hendak kau lakukan. Bukan di sanalah letak kebahagiaan, Adikku. Selama engkau menuruti hasrat dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan, engkau takkan pernah merasakan kepuasan. Nafsu mengejar kesenangan untuk dinikmati merupakan kehausan manusia, dan hal ini adalah manusiawi dan menjadi hak manusia pula untuk memuaskan dahaga mereka. Akan tetapi, dahaga tidak akan lenyap dan puas apabila diminumi air yang terlalu manis, bahkan makin banyak diberi yang manis-manis akan menjadi makin haus. Demikian pula dengan nafsu. Makin dituruti tanpa dikendalikan sampai berlebihan, akan menjadi makin besar membakar seperti api diberi umpan kayu kering. Adikku, insyaflah dan jangan menurutkan kata hati yang dikuasai nafsu."

Retna Wilis sudah dapat mengatasi keheranannya dan ia marah sekali. "Bagus Seta! Kiranya engkau yang disohorkan orang memiliki kesaktian yang hebat ternyata hanya memiliki lidah yang pandai bergoyang! Aku tahu mengapa engkau berpidato sepanjang itu. Engkau tentu diutus Panjalu yang gentar menghadapi ancaman penyerbuanku, untuk membujuk aku karena kalian menganggap aku ini adikmu yang sepatutnya tunduk dan taat kepada engkau yang merasa sebagai kakakku! Engkau kecelik, Bagus Seta. Tentu saja engkau berpihak kepada Jenggala dan Panjalu karena seluruh keluargamu menghamba di sana, bahkan ayahmu menjadi Patih Panjalu, dan mereka yang duduk di kursi pimpinan Jenggala juga keluargamu. Akan tetapi, aku tidak akan tunduk oleh obrolanmu yang kosong! Nah, engkau mau apa sekarang? Mau menggunakan kesaktian yang kata orang kau miliki itu? Keluarkanlah semua kesaktianmu, aku tidak takut!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagus Seta tetap tenang sungguhpun senyumnya mengandung keprihatinan. "Adikku, keliru pendapatmu bahwa aku datang sebagai pembela keluarga maupun Kerajaan Panjalu dan Jenggala, sungguhpun tidak kusangkal bahwa aku memang membujukmu agar engkau sadar. Ini menjadi kewajibanku. Ketahuilah bahwa aku hanya membela kebenaran, Adikku. Biar keluarga sendiri, biar Panjalu maupun Jenggala, kalau tindakannya menyeleweng daripada kebenaran, adalah menjadi kewajibanku untuk menentang, karena aku bukanlah seorang punggawa kerajaan mana pun. Berbeda dengan kanjeng rama, kanjeng ibu atau para kanjeng paman dan bibi, mereka terikat oleh tugas kewajiban sebagai punggawa, sebagai perajurit sehingga yang dikenal hanyalah melaksanakan tugas tanpa pamrih berdasarkan kesetiaan terhadap kerajaan sebagai sifat satria. Engkau telah bersekutu dengan Wasi Bagaspati, Adikku, dalam hal ini saja sudah tidak benar. Wasi Bagaspati adalah seorang manusia yang menyeleweng daripada kebenaran, bahkan menentang kebenaran demi nafsu-nafsunya. Sekarang engkau bersekutu dengan dia untuk menaklukkan jenggala dan Panjalu, hal ini merupakan penyelewengan hidup yang amat besar, apalagi kalau diingat engkau adalah puteri Patih Panjalu, sedangkan kanjeng ibu Endang Patibroto seorang tokoh yang amat dihormati dan disegani di Panjalu dan Jenggala. Sadar dan insyaflah sebelum terlambat, Retna Wilis adikku."

"Heh si keparat Bagus Seta! Tak perlu banyak cakap lagi karena aku tidak sudi mendengarnya! Ketahuilah bahwa aku adalah murid tunggal Nini Bumigarba dan engkau adalah murid Bhagawan Ekadenta! Aku telah berjanji kepada guruku untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta dan Sekarang biarlah engkau menjadi wakilnya. Hayo kerahkan semua aji kesaktianmu dan lawanlah aku, Retna Wilis yang juga menjadi Ratu Wilis, aku hanya Perawan Lembah Wilis bocah gunung, tidak seperti engkau putera Patih Jenggala, seorang priyayi, seorang bangsawan agung. Hayo kita mengadu aji kesaktian!"

Melihat Retna Wilis bertolak pinggang dan menggerak-gerakkan lengan kanan menantangnya, wajah tampan Bagus Seta menyuram, akan tetapi sikapnya masih sabar. "Tugasku bukan menentang Nini Bumigarba atau Retna Wilis melainkan menentang kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan kepada manusia, Adikku. Aku tidak berniat untuk bertanding melawanmu."

"Eh, Bagus Seta, kiranya engkau hanya seorang pengecut! Engkau takut melawanku, engkau takut kepadaku! Katakanlah bahwa engkau takut kepadaku dan aku akan mengampunimu!"

Bagus Seta tersenyum penuh kesabaran, dan memandang adiknya seperti Pandang mata seorang dewasa melihat seorang anak kecil yang nakal.

"Aku tidak takut kepadamu, Adikku, juga tidak takut terhadap diri sendiri dan segala tindakanku. Rasa takut adalah tidak wajar dan dibuat sendiri, dan setiap perbuatan yang dilakukan karena takut adalah perbuatan yang tidak wajar, karenanya tidak benar. Manusia yang sadar akan kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang maklum dengan penuh keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah wajar dan yang dengan segala kewajaran hatinya mengerti akan benarnya setiap perbuatan yang dilakukannya, akan terbebas daripada rasa takut."

"Sombong! Bagus Seta, hanya ada dua pilihan bagimu. Melawan aku atau engkau menyatakan bahwa engkau takut kepadaku, baru aku akan membiarkanmu pergi tanpa mengganggumu."

"Kalau keduanya tidak kulakukan?"
"Aku akan membunuhmu!"

Bagus Seta menarik napas panjang. "Ah, berkali-kali terbukti olehku betapa kekuasaan Sang Hyang Widhi tidak dapat dilawan oleh siapa pun, bahwa keputusan Sang Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh manusia. Aku telah berusaha secukupnya, namun keputusannya terserah kepada Sang Hyang Widhi Wisesa!"

Pada saat itu, Retna Wilis sudah menerjang maju dan mengirim pukulan dengan kedua tangannya berturut-turut sampai tujuh kali. Cepat sekali gerakannya ini karena dia mempergunakan gerakan Ilmu Pukulan Pancaroba, seperti sambaran kilat kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah bagian-bagian tubuh Bagus Seta.

Pemuda ini dengan sikap tenang sekali, tanpa mengubah kedudukan sepasang kaki yang terpentang, memutar kedua lengan di depan tubuhnya dan berturut-turut dapat menangkis tujuh kali pukulan ampuh itu. Dua tenaga yang dahsyat bertemu, dan akibatnya Bagus Seta terpaksa melangkah mundur tiga tindak saking hebatnya tenaga serangan Retna akan tetapi dara sakti ini terdorong oleh tenaga tangkisan lawan dan ditambah dorongan tenaga serangan sendiri yang membalik, terhuyung ke belakang dan hampir terpelanting!

"Aiiihhhh!!" Retna Wiles menjerit, meloncat ke atas mematahkan tenaga dorongan dan tubuhnya dari atas menukik ke arah Bagus Seta sambil memukul dengan aji pukulan Wisalangking. Bagus Seta miringkan tubuh mengelak sehingga angin pukulan menyambar rumput-rumput yang segera menjadi layu dan membusuk!

"Kasihan engkau, Adikku!" Bagus Seta berkata, manaruh kasihan melihat betapa adiknya dikuasai nafsu amarah sehingga menjadi mata gelap. Akan tetapi Retna Wilis yang sudah diperhamba kemarahan itu, menerima ucapan ini sebagai ejekan, maka ia lalu memekik dan mencabut pedang pusaka Sapudenta! Tampak sinar berkilat di bawah sinar bulan itu ketika pedangnya berkelebat menyambar tubuh Bagus Seta. Pemuda ini maklum akan kesaktian adiknya, maklum pula akan ampuhnya pusaka itu, maka ia menggunakan kepandaiannya melesat jauh dan terus pergi melarikan diri dari tempat itu.

"Bagus Seta keparat! Jahanam pengecut! Jangan lari...!" Retna Wilis mengejar cepat. Namun ia telah kehilangan jejak pemuda itu yang lenyap di antara bayang-bayang hitam di malam terang bulan itu dan setelah mengejar cukup jauh, Retna Wilis berhenti, dadanya berombak, napasnya terengah saking marahnya. Matanya beringas memandang ke kanan kiri, kemudiati mulutnya memekik, tubuhnya bergerak dan pedang pusaka di tangannya digerak-gerakkan menjadi gulungan sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar dan membentuk lingkaran-lingkaran menerjang di antara pohon-pohon.

Terdengar suara hiruk-pikuk ketika banyak batang pohon tumbang oleh sinar pedangnya. Setelah menumbangkan pohon-pohon di sekelilingnya, baru agak mereda kemarahan yang menyesak di dada. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan batang, cabang, dan daun pohon yang berserakan di sekelilingnya, seperti arca, pedang pusaka masih di tangan kanan, mukanya menunduk.

"Gusti Puteri.... ahhh, apakah yang terjadi.... Hati hamba tercekap rasa khawatir.... mengapa Paduka marah dan seperti orang berduka....?" Patih Adiwijaya muncul dari balik daun-daun pohon yang bertumpuk, sedangkan dari jauh, para pengawal hanya memandang bingung, tidak berani mendekat.

Bagaikan baru sadar dari sebuah mimpi buruk, Retna Wilis membalikkan tubuhnya, memandang beringas dan dengan pedang di tangan. Akan tetapi ketika ia mengenal patihnya, ia menghela napas dan perlahan-lahan menyarungkan pedang pusakanya di punggung, kemudian memejamkan mata sebentar, membukanya lagi dan menggerakkan pundak.

"Aku hanya berlatih, Paman. Paman, kirimlah utusan kepada Sang Wasi Bagaspati, minta agar pengiriman pasukan dipercepat karena aku ingin secepat mungkin menyerbu Jenggala!"

Retna Wilis meninggalkan patihnya yang melongo di tempat itu sambil memandangi pohon-pohon yang tumbang. Dalam pandang mata patih ini, di bawah sinar bulan purnama yang berselimut awan hitam, cabang-cabang pohon yang berserakan itu seperti tubuh-tubuh manusia yang tidak utuh lagi, mayat-mayat bergelimpangan akibat amukan Retna Wilis dengan pedang pusaka Sapudenta. Adiwijaya bergidik. Banyak sudah ia menyaksikan perang, banyak menyaksikan manusia-manusian saling menyembelih dalam perang, akan tetapi belum pernah menyaksikan keganasan yang luar biasa seperti yang pasti akan dapat ia saksikan jika Retna Wilis mengamuk di medan perang dengan pedangnya!

Peristiwa di malam terang bulan itu, pertemuan antara kakak dan adiknya yang terjadi amat aneh tanpa disaksikan manusia lain, ternyata merupakan dorongan yang mempercepat penyerbuan bala tentara Wilis ke Jenggala. Tentu saja peristiwa penyerbuan ke Jenggala ini menimbulkan geger dan seperti telah lajim terjadi semenjak manusia mengenalnya sampai kini, perang selalu mendatangkan malapetaka dan sengsara bagi rakyat jelata.

Penduduk dusun-dusun yang dilanda barisan Wilis lari pontang-panting pergi mengungsi, menyelamatkan nyawa meninggalkan segala benda miliknya yang didapatnya dengan cucuran peluh setiap hari. Para iblis dan siluman mengamuk, menggunakan kesempatan itu untuk mempengaruhi batin manusia yang tidak kuat sehingga di mana-mana terjadi pelangggaran perikemanusiaan dan hukum rimba merajalela.

Pihak Jenggala segera mendengar berita akan datangnya bala tentara Wilis yang hendak menyerbu, maka persiapan-persiapan lalu dibuat, pasukan-pasukan penjaga diatur ketat, bahkan Tejolaksono dan Endang Patibroto telah mohon perkenan dari sang prabu di Panjalu untuk membantu Jenggala karena suami isteri ini berprihatin sekali, merasa bertanggung jawab atas penyerbuan tentara Wilis yang dipimpin oleh putera mereka.

Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak baik, Ayu Candra tidak diperkenan ikut. Demikianlah, ketika pasukan-pasukan Wilis sudah tiba di perbatasan kota raja Jenggala, Tejolaksono dan Endang Patibroto sudah slap pula memperkuat barisan Jenggala, bahkan mereka berdua memimpin pasukan inti di samping Joko Pramono yang menjadi patih dan merangkap senopati Jenggala di samping isterinya yang sakti Pusporini.

Pasukan terdepan dari Wilis adalah pasukan bantuan dari Sang Wasi Bagaspati, pasukan yang dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan pasukan yang dipimpin oleh seorang senopati pembantu Ki Patih Adiwijaya. Penyerbuan pasukan terdepan dari Wilis ini menghadapi sambutan yang panas dan keras dari pasukan yang dipimpin sendiri oleh Joko Pramono dan Pusporini. Hebat bukan main perang campuh ini, tanpa upacara dan tanpa banyak cakap lagi.

Perang campuh yang terjadi selama setengah hari, dari tengah hari sampai menjelang senja ini mendatangkan korban amat banyak, baik di pihak Jenggala maupun di pihak pasukan Wilis. Akan tetapi, amukan Joko Pramono dan Pusporini yang amat dahsyat itu membangkitkan semangat para perajurit Jenggala sehingga pihak Wilis kocar-kacir dan didesak mundur. Bahkan mendekati petang hari, ketika pasukan Wilis terdesak dan Cekel Wisangkoro yang menjadi penasaran dan marah itu mengamuk, merobohkan banyak perajurit lawan dengan tongkat ular hitamnya sehingga semangat pasukannya bangkit kembali, perang menjadi makin menghebat.

Cekel Wisangkoro tentu saja merasa takut kepada Wasi Bagaspati dan merasa malu kepada Ratu Wilis kalau sampai pasukannya kalah dalam perang campuh pertama ini, maka ia lalu berteriak-teriak membangkitkan semangat pasukannya dan dia sendiri maju sampai ke tengah medan pertempuran, menggunakan segala aji kesaktiannya untuk membunuh pihak musuh sebanyak mungkin.

Menghadapi amukan Cekel Wisangkoro yang mengeluarkan semua ilmu hitamnya ini, pihak pasukan Jenggala mawut. Empat orang perwira Jenggala yang terkenal gagah perkasa roboh tewas di tangan Cekel Wisangkoro. Ketika Ki Patih Joko Pramono mendengar akan hal ini, ia menjadi marah sekali dan cepat ia menerjang ke tengah medan pertempuran sehingga setelah membuka jalan berdarah, merobohkan banyak perajurit musuh, akhirnya ia dapat menemukan Cekel Wisangkoro yang mengamuk itu.

Memang hebat sepak terjang murid Wasi Bagasati ini. Tubuhnya diselimuti asap menghitam sehingga sukar bagi pihak lawan untuk menerjangnya, sebaliknya dari dalam asap hitam itu, tongkat kakek itu menyambar-nyambar merupakan cakar maut yang setiap kali menyambar tentu merenggut nyawa seorang lawan.

"Cekel Wisangkoro, akulah lawanmu!" Joko Pramono membentak yang menggunakan kedua tangannya mendorong sambil melompat ke depan.

Terkena dorongan kedua tangan itu, asap hitam membuyar dan tampaklah kakek itu mengobat-abitkan tongkatnya yang berbentuk ular hitam. Kini dua orang sakti itu berhadapan, saling pandang dengan mata beringas.

Cekel Wisangkoro segera mengenal orang muda itu yang pernah bertanding dengannya ketika Joko Pramono, Pusporini, dan Bagus Seta dahulu menolong Tejolaksono dan kedua orang isterinya yang tertawan oleh Wasi Bagaspati.

Dahulu Cekel Wisangkoro terpaksa melarikan diri karena tidak kuat menghadapi Joko Pramono dan Pusporini, akan tetapi sekarang, menghadapi Joko Pramono seorang diri saja, apalagi dalam sebuah perang campuh, ia tidak menjadi gentar dan ia menudingkan tongkatnya sambil membentak,

"Babo-babo, Joko Pramono! Engkau telah menjadi patih Jenggala, ya? Bersiaplah engkau untuk mampus bersama Jenggala yang sekali ini pasti akan kami hancurkan!"

"Ha-ha-ha, Cekel Wisangkoro dukun lepus! Berkali-kali engkau dan kawan-kawanmu menurutkan angkara murka, tidak tahu malu dan lupa bahwa engkau dahulu telah menjadi pecundang, lari terbirit-birit ketika melawanku. Sekarang engkau datang menyerahkan nyawa, bagus, majulah!"

"Lihat ular saktiku menelanmu!" Tiba-tiba Cekel Wisangkoro melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi seekor ular besar sekali, dengan mulut yang lebar penuh gigi dan siung beracun, menyemburkan uap hitam hendak menerjang Joko Pramono. Ki patih tersenyum, merendahkan tubuhnya dengan kedua lutut agak ditekuk, kemudian ia membentak,

"Permainan ini menjemukan. Heiiittt!" Kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah ular dengan pengerahan aji pukulan Cantuka-sekti.

Serangkum hawa pukulan sakti menyambar ke depan dan "ular" itu terpelanting, terlempar ke depan Cekel Wisangkoro, berubah menjadi tongkat hitam lagi.

"Keparat!" Cekel Wisangkoro menyambar tongkatnya dan bagaikan gila ia menerjang ke depan dengan tongkatnya.

Namun sambil tersenyum Joko Pramono berhasil mengelak dan balas memukul. Seperti biasa, murid Sang Resi Mahesapati ini tidak mempergunakan senjata dalam menghadapi lawan, hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya dan keampuhan pukulan dan tendangannya. Dalam waktu tak lama, ia telah berhasil mendesak Cekel Wisangkoro yang menjadi kempas-kempis napasnya. Kakek ini berusaha untuk mainkan tongkatnya sehebat mungkin, namun selalu tusukan dan hantamannya mengenai tempat kosong dan beberapa kali ia terhuyung karena pukulan Cantuka-sekti yang biarpun tidak mengenainya dengan tepat, namun hawa pukulan yang dahsyat itu membuat ia hampir tidak dapat menahannya.

Pertandingan hebat antara dua orang sakti yang memimpin pasukan pertama ini dijadikan tontonan oleh para perajurit kedua pihak sehingga mereka yang tadinya bertanding di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan menjadi penonton sambil berteriak-teriak dan bersorak-sorak menjagoi pimpinan masing-masing. Mereka yang berada jauh dari medan pertandingan ini masih terus berperang penuh semangat, karena kini pihak Wilis telah bangkit kembali semangatnya oleh sepak-terjang Cekel Wisangkoro tadi.

Di lain tempat, di ujung kiri, Pusporini juga mengamuk, bahkan lebih hebat daripada suaminya. Berbeda dengan Joko Pramono yang mendapatkan tandingan kuat, wanita perkasa ini hanya dikeroyok oleh lawan-lawan yang baginya terlalu lunak sehingga pihak musuh roboh berserakan seperti sekumpulan laron menyerbu api. Kembali pihak Wilis menjadi mawut dan cerai-berai setiap kali Pusporini menerjang maju. Para perwira Wilis sudah roboh semua dan tiba-tiba majunya Ni Dewi Nilamanik merupakan pendorong bagi perajurit Wilis untuk tidak lari.

Ni Dewi Nilamanik maju dan menyambut amukan Pusporini sehingga kembali perang tanding berlangsung makin seru. Seperti juga suaminya, Pusporini menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang mengamuk dengan senjata kebutannya itu dengan tangan kosong saja. Kalau dibuat perbandingan, tingkat kesaktian Ni Dewi Nilamanik masih lebih tinggi daripada kepandaian Cekel Wisangkoro. Apalagi setelah wanita cabul ini menerima banyak petunjuk dari Wasi Bagaspati, ia merupakan lawan yang berat bagi Pusporini.

Maka pertandingan antara kedua orang wanita sakti ini lebih dahsyat dan biarpun aji kesaktian Pusporini murni, namun ia kalah pengalaman, juga kebutan di tangan wanita itu benar-benar ampuh. Agaknya, biarpun tidak terancam dan tidak terdesak oleh lawannya, Pusporini harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan makan banyak waktu untuk dapat merobohkan wanita yang mengaku sebagai penitisan Bathari Durgo ini!

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 46

Perawan Lembah Wilis Jilid 45

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 45

KEMUDIAN ia menambahkan untuk membujuk hati kakek itu, "Justeru karena ayah bunda beliau berada di Panjalu dan akan berpihak kepada musuh maka gusti ratu ingin bekerja sama dengan Sang Wasi. Gust puteri sanggup menghadapi dan mengalahkan siapapun juga, termasuk Bagus Seta kakaknya sendiri. Akan tetapi untuk menghadapi rama ibunya, tentu saja merasa tidak enak dan menyerahkan hal itu kepada Sang Wasi. Dengan kerja sama antara Sang Wasi berdua berikut semua pembantu Sang Wasi yang sakti mandraguna dengan gusti ratu yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, saya yakin bahwa Jenggala dan Panjalu akan mudah ditaklukkan."

"Kalau sudah berhasil, bagaimana?" Wasi Bagaspati memandang tajam, akan tetapi dalam hal kecerdikan menggunakan akal dan tipu muslihat, kiranya Adiwijaya tidak akan kalah terhadap kakek sakti Itu.

"Kalau sudah berhasil? Tentu saja berarti Kerajaan Cola akan menjadi kerajaan sahabat dan gusti puteri tentu akan memberi kebebasan kepada Sang Wasi untuk menyebarkan agama dan kepada Kerajaan Cola untuk menikmati hasil bumi Nusa Jawa..."

"Uuhhh....! Kerajaan kami yang besar bersahabat dengan kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu perawan belasan tahun? Betapa memalukan!" kata Sang Wasi Bagaspati sambil memandang tajam.

Adiwijaya maklum akan isi hati kakek itu yang mencobanya, maka ia pun balas memandang dan berkata, "Kalau Sang Wasi berpendirian seperti itu dan andaikata akan lebih suka kalau kerajaan di sini dipimpin oleh seorang pria yang mempunyai minat yang sama, umpamanya seorang pria seperti.... eh, saya sendiri, hemmm.... apa sukarnya mengenyahkan seorang dara yang belum berpengalaman? Serahkan saja kepada saya, karena saya sendiri pun tidak begitu bangga menjadi patih dari seorang ratu wanita yang amat muda. Merendahkan sekali namanya! Dan beliau amat percaya kepada saya, maka hal itu kelak akan dapat kita bicarakan lagi, Sang Wasi."

"Ha-ha-ha-ha! Andika memang seorang yang amat cerdik dan aku suka sekali bersekutu dengan Andika, wahai Ki Patih Adiwijaya! Kapankah ratumu itu akan mengunjungi kami di sini?"

"Maaf, Sang Wasi. Gusti ratu minta dengan hormat agar Sang Wasi yang datang mengunjunginya di Wilis." Adiwijaya bersikap cerdik tidak menggunakan kata-kata minta kakek itu datang menghadap ratunya. Akan tetapi UNDANGAN yang sudah diperlunaknya ini masih membuat wajah yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi.

"Apa? Kerajaan kecil Wilis itu minta aku yang datang berkunjung? Aku utusan Kerajaan Cola yang besar? Dan ratu bocah itu? Tuanya masih tua aku, saktinya masih sakti aku, tingginya kedudukan masih tinggi aku!"

"Ratu perawan cilik itu sombong amat!" kata pula Wasi Bagaskolo geram.

Hemm, kalian ini dua orang kakek yang sombong tak tahu diri, di dalam hatinya Adiwijaya memaki, akan tetapi wajahnya tersenyum dan suaranya halus ketika berkata, "Harap Sang Wasi berdua yang mulia sudi bersabar dan memikirkan secara mendalam. Ratu Wilis adalah seorang wanita yang masih muda, tentu saja bersikap manja, apalagi memang sakti mandraguna. Kita saling membutuhkan, Kerajaan Wilis membutuhkan bantuan Sang Wasi, sebaliknya Sang Wasi juga membutuhkan bantuan Wilis, kalau yang tua dan yang bijaksana tidak sudi mengalah, bagaimana jadinya? Mengalah bukan berarti kalah dan kalau kelak sudah tercapai cita-cita, masih banyak kesempatan untuk membalas kesombongan itu, bukan?"

Sang Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, kembali kepanasan hatinya menjadi dingin dan kemarahannya mereda oleh ucapan Adiwijaya ini. "Baiklah, memang akal kadang-kadang lebih penting dipergunakan daripada okol (kekerasan). Andika pulanglah, Patih Adiwijaya dan sampaikan kepada ratumu bahwa sebulan lagi kami akan datang berkunjung ke Wilis."

Girang bukan main hati Adiwijaya. Tugasnya berhasil baik dan demi tercapainya cita-cita yang terkandung dalam hati ratu gustinya, betapapun sulitnya cita-cita itu, ia siap sedia untuk melakukan apa juga. Dan dengan bantuan dua orang kakek itu dan ditambah pembantu-pembantu mereka yang sakti seperti Ni Dewi Nilamanik, ia merasa yakin bahwa cita-cita ratu gustinya pasti akan tercapai. Adapun untuk dia sendiri, sungguh aneh sekali dan ia merasa heran sendiri. Dia tidak mencita-citakan sesuatu, tidak seperti dulu lagi, tidak menginginkan wanita cantik, tidak menghendaki kedudukan tinggi, maupun harta benda dan kemuliaan. Baginya, kalau ia dapat melihat Retna Wilis berbahagia, dapat mengabdi kepada dara itu, dapat selalu memandang wajahnya, melihat dara itu tersenyum bahagia, ia sudah merasa cukup bahagia hidupnya!

Dengan dada lapang dan hati gembira Adiwijaya lalu kembali ke Wilis dan setelah menghadap Ratu Wilis, ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Wasi Bagaspati dan menutup penuturannya dengan kata-kata menasehati,

"Harap Paduka berhati-hati menghadapi Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo. Selain mereka itu memiliki kesaktian yang luar biasa, ahli ilmu hitam, juga Wasi Bagaspati amat cerdik dan palsu sedangkan hamba lihat Wasi Bagaskolo amat keras hati dan kejam. Tentu saja hamba yakin bahwa Paduka lebih sakti daripada mereka, akan tetapi di samping Paduka semestinya menahan harga diri sebagai Ratu Kerajaan Wilis yang jaya dan tidaklah sangat mengharapkan bantuan mereka, namun hendaknya Paduka tidak menyinggung mereka sehingga mereka mengundurkan diri kembali. Betapapun juga, bantuan mereka selain amat perlu untuk menghadapi anggota keluarga yang mendatangkan rasa hati tidak nyaman apabila paduka sendiri yang maju, juga agar mereka itu tidak menaruh curiga dan kelak lebih mudah bagi Paduka untuk mengenyahkan mereka setelah kita tidak memerlukan lagi tenaga mereka."

Retna Wilis yang mendengarkan penuh perhatian, mengangguk-angguk. "Baik Paman. Akan kuingat dan kulaksanakan pesanmu, dan aku girang sekali bahwa Paman telah berhasil menghubungi mereka."

"Kalau mereka datang menghadap nanti, sebaiknya Paduka menerima mereka di ruangan besar seorang diri agar percakapan di antara Paduka dan mereka tidak sampai bocor keluar. Hamba sendiri dengan diam-diam akan mengerahkan tenaga-tenaga pilihan untuk memasang baris pendem sehingga kalau terlihat gejala tidak baik, dengan mudah dan cepat hamba akan dapat mengerahkan pasukan menyergap mereka."

"Ah, mengapa demikian, Paman? Aku sendiri tidak takut menghadapi mereka dan tidak memerlukan bantuan barisan pendam."

"Paduka adalah seorang ratu, tidak semestinya turun tangan sendiri kalau masih ada pasukan pengawal. Biarpun hamba yakin Paduka tidak memerlukan bantuan, namun kalau ada marabahaya lalu pasukan pengawal muncul, hal ini akan menambah wibawa dan keangkeran Kerajaan Wilis sebagai kerajaan yang besar."

Kembali Retna Wilis mengangguk-angguk dan ia merasa bersyukur dan girang sekali bahwa dia mendapatkan seorang patih yang begini pandai dan yang agaknya mengerti akan seluk-beluk kerajaan. Seorang pembantu yang tidak saja pandai, akan tetapi juga setia dan boleh dipercaya.

Sebulan kemudian, sepasukan kecil terdiri dari tujuh orang wanita cantik anak buah Ni Dewi Nilamanik mendaki puncak Wilis dan menyampaikan berita bahwa Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo datang berkunjung dan minta berjumpa dengan Ratu Wilis. Mendengar berita ini, Adiwijaya lalu mempersiapkan pasukan yang menyambut tujuh orang wanita cantik itu, menerima mereka di paseban luar dan menjamu mereka, sedangkan Retna Wilis sudah siap duduk di atas kursi gading berukir yang berada di ruangan besar sebelah dalam.

Ratu muda belia ini duduk sendiri tanpa pengawal dan tanpa abdi, sengaja menanti kedatangan dua orang tamu agung itu. Di luar, pasukan penghormatan sudah siap menyambut kedatangan dua orang kakek itu. Akan tetapi sampai lama, yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Ketika Adiwijaya bertanya kepada pasukan wanita itu, mereka hanya tersenyum penuh rahasia dan menjawab bahwa mereka hanya bertugas menyampaikan berita akan kedatangan dua orang kakek itu, adapun cara mereka datang bagaimana, pasukan wanita itu menyatakan tidak tahu.

Mendengar ini, Adiwijaya menjadi waspada dan cepat ia memberi tanda rahasia kepada pasukan pendam agar siap dan waspada, dan dia sendiri pun lalu bersembunyi tak jauh dari ruangan besar sebelah dalam, siap membela junjungannya yang duduk sendirian kalau-kalau terancam marabahaya.

Para pasukan pengawal yang menjadi barisan rahasia itu tidak ada yang dapat melihat ruangan itu, mereka hanya bersembunyi dan menanti isyarat dari Ki Patih Adiwijaya. Yang dapat mengintai ke ruangan itu dan mendengarkan semua yang akan dipercakapkan hanyalah Adiwijaya sendiri.

Tiba-tiba mata Adiwijaya terbelalak penuh keheranan ketika ia mendengar suara Wasi Bagaspati yang terdengar dekat sekali, terdengar dari dalam ruangan, padahal orangnya tidak tampak!

"Ha-ha-ha! Sang Ratu yang muda belia, cantik jelita dan sakti mandraguna. Kami telah datang berkunjung, apakah Paduka belum mengetahui?"

Ki Patih Adiwijaya membelalakkan mata, jelilatan memandang ke sana ke mari, dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena ia sungguh tidak melihat di mana adanya kakek yang suaranya amat dikenalnya itu. ia lalu memandang kepada ratunya penuh harapan, dan melihat betapa Retna Wilis duduk dengan sikap angkuh dan tenang, kemudian ratu muda belia itu tanpa menggerakkan tubuh, tanpa menoleh, menjawab, suaranya lantang dan halus, namun penuh wibawa seorang ratu besar,

"Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Permainan kanak-kanak yang kalian perlihatkan ini tidak ada artinya bagiku. Sudah sejak tadi kalian berdiri di dekat tiang di sebelah kanan itu, siapakah yang tidak melihatnya? Sang Wasi Bagaspati, Andika mengangkat tinggi-tinggi tongkat Andika sehingga gelang emas tangan kanan Andika turun sampai ke siku, mau apakah? Dan mengapa Andika meraba-raba jenggot Andika yang sudah putih? Wasi Bagaskolo, mengapa Andika menggunakan tusuk konde untuk menghias kepala? Tusuk konde Andika itu dari emas, apakah Andika masih suka bersolek? Biarpun pesolek kalau pikun sehingga tidak merasa betapa baju Andika di pundak kiri robek sedikit tidak dijahit, apa artinya?"

Ucapan Retna Wilis itu tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati Adiwijaya yang kini mengejap-ngejapkan mata dan terbelalak memandang ke arah tiang yang disebut oleh ratu gustinya, akan tetapi tidak melihat apa-apa! Yang lebih kaget lagi adalah dua orang kakek yang mengerahkan aji kesaktian. Ternyata ratu yang begitu muda itu hebat, dapat melihat mereka dengan jelas tanpa menengok sehingga dapat mengikuti gerak-gerik mereka dan melihat keadaan mereka dengan sejelasnya!

Sambil menarik napas panjang penuh kagum mereka lalu melepaskan aji panglimuman sehingga kini Adiwijaya dapat pula melihat mereka. Berdiri bulu tengkuk ki patih ini dan ia pun menghela napas. Semua kesaktian yang pernah ia pelajari, kalau dibandingkan dengan kedua orang kakek ini sungguh tidak ada artinya! Namun, dengan hati bangga ia memandang ratunya yang biarpun masih begitu muda belia, ternyata tidak kalah saktinya oleh kedua kakek itu sehingga biarpun kedua orang kakek itu seperti siluman dapat menghilang, Retna Wilis dapat melihat mereka!

"Heh-heh, benar-benar awas sekali pandanganmu, Sang Ratu yang muda belia!" kata Wasi Bagaspati yang kini sudah tampak dan di belakang kakek ini Wasi Bagaskolo memandang kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak penuh keheranan.

"Sebelum kita berkenalan dan bicara lebih lanjut, ingin aku menguji sampai di mana kesaktianmu, Sang Ratu," kata pula Wasi Bagaspati.

"Terserah kepadamu, Sang Wasi Bagaspati. Aku adalah pemilik rumah dan lebih muda, sedangkan Andika adalah tamu dan lebih tua. Aku siap melayani segala kehendakmu," jawab Retna Wilis tanpa menoleh, masih duduk dengan tegak di atas kursinya.

Akan tetapi sebelum Wasi Bagaspati bergerak, lengan kirinya disentuh Wasi Bagaskolo, "Biarkan aku mengujinya, Kakang Wasi," bisiknya.

Kemudian, setelah kakak seperguruannya mengangguk, ia melangkah maju dan memutar, menghadapi ratu yang muda belia itu. Sejenak mereka bertemu pandang dan jantung Wasi Bagaskolo berdebar ketika sinar mata Retna Wilis seolah-olah menembus dadanya dan menjenguk hatinya, apalagi kalau ia teringat bahwa dara perkasa ini adalah murid tunggal Nini Bumigarba yang amat ditakutinya.

"Sang Ratu, sebagai tamu, perkenankanlah aku menghadiahkan tusuk konde yang kau sebut tadi kepadamu, harap Paduka suka menerimanya!" Sambil berkata demikian, Wasi Bagaskolo mencabut tusuk kondenya sehingga rambutnya yang hanya sedikit dan digelung di atas kepala menjadi gelung kecil itu terurai. Sejenak ia memandang tusuk konde kecil itu, kemudian membuka kepalan tangannya dengan telapak tangan di atas. Tusuk konde yang terletak di atas telapak tangannya itu tiba-tiba saja bergerak dan terbang ke atas!

Melihat ini, dari tempat persembunyiannya, Ki Patih Adiwijaya memandang terbelalak penuh keheranan. Pandang matanya mengikuti gerakan tusuk konde itu yang mengeluarkan sinar cemerlang dan yang kini terbang ke atas berputar-putaran, makin lama makin cepat dan berputaran di seluruh ruangan itu, mengeluarkan bunyi mengaung seolah-olah seekor burung beterbangan. Dengan bibir tersenyum akan tetapi matanya tetap dingin, Retna Wilis melirik ke atas, kemudian menggapai dengan tangan kirinya ke arah benda kecil yang beterbangan itu.

"Cringggg" Tusuk konde yang tadinya beterbangan itu tiba-tiba saja runtuh di atas lantai, mengeluarkan bunyi berkerincing, jatuh ke depan kaki Wasi Bagaskolo yang memandang dengan muka merah.

"Wasi Bagaskolo, biarpun Andika jauh lebih tua daripada aku, patutkah kalau seorang tamu menghaturkan persembahan dengan menaruh benda itu di atas lantai?"

Wajah Wasi Bagaskolo menjadi makin merah. Ucapan itu halus, akan tetapi selain mengandung suara dingin sekali, juga jelas merendahkannya, menyebut bahwa dia menghaturkan persembahan! Ia telah memperlihatkan kesaktiannya yang berdasarkan tenaga batin, namun ternyata ratu muda belia itu dapat mengatasinya, maka kini ia ingin menguji kedigdayaan atau ketangkasannya.

"Maaf, Sang Ratu, kalau tadi saya bersikap kurang hormat," katanya sambil membungkuk dan karena tusuk konde itu berada di lantai depan kaki Retna Wilis, maka ketika membungkuk untuk mengambil benda itu seolah-olah ia menghaturkan sembah kepada ratu muda itu. Retna Wilis menggerakkan lengan kanan dengan sikap seorang ratu menerima dan membalas. penghormatan itu.

"Sang Ratu Wilis, terimalah persembahanku Tiba-tiba Wasi Bagaskolo menggerakkan jari telunjuk kanannya yang menyepit tusuk konde dan tusuk konde itu meluncur ke depan, ke arah tenggorakan Retna Wilis secepat melesatnya anak panah dari busurnya. Jarak antara mereka hanya lima meter kurang lebih, maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya serangan ini!

Patih Adiwijaya yang menyaksikan serangan ini hampir saja mengeluarkan seruan kaget kalau saja ia tidak cepat menahan hatinya dengan penuh kepercayaan akan kesaktian Ratu Wilis. Akan tetapi betapa kecut dan gelisah rasa hatinya ketika ia melihat betapa Retna Wilis sama sekali tidak menggerakkan tangan untuk menangkis atau menggerakkan tubuh untuk mengelak. Tusuk konde yang berubah menjadi sinar cemerlang itu seolah-olah tak dapat dihindarkan lagi akan menancap di kerongkongannya!

Setelah sinar itu datang dekat sekali, hanya satu jengkal lagi jauhnya, bibir yang merah dan berbentuk indah itu tiba-tiba diruncingkan dan ditiupkan. Sinar menyilaukan dari tusuk konde itu tiba-tiba membalik dan kini menyambar ke arah pemiliknya, ke arah tenggorokan Wasi Bagaskolo sendiri!

"Hebat...." Wasi Bagaskolo berseru kaget dan cepat ia menggunakan jari tangannya untuk menyentil tusuk konde yang akan menjadi senjata makan tuan. Terpaksa ia harus mengirim kembali tusuk konde itu karena kalau ia menerimanya, sama artinya dengan tidak rela mempersembahkan benda itu kepada sang ratu!

"Tringgg....!" Hebat sekali sentilan jari tangan kakek ini karena tusuk konde itu melesat kembali ke arah Retna Wilis.

"Andika memaksa menghaturkan persembahan, sungguh sungkan sekali, Wasi Bagaskolo. Biarlah aku menerimanya!" kata Retna Wilis, tangan kirinya diangkat dan tusuk konde itu menancap ke tangannya sampai tembus di punggung tangan!

Adiwijaya hampir berteriak kaget, akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa benda kecil runcing itu bukan menancap di telapak tangan, melainkan terselip dan terjepit di antara dua buah jari tangan yang kecil mungil! Diam-diam ia menjulurkan lidah. Kakek itu hebat, akan tetapi ratunya lebih hebat lagi. Siapa orangnya berani menerima serangan tusuk konde seperti itu? Meleset sedikit saja tentu tangan yang berkulit putih halus itu akan terluka!

Retna Wilis sudah menancapkan tusuk konde di lengan kursinya dan ia sudah duduk tegak dengan sikap angkuh dan berwibawa, menghadapi Wasi Bagaspati yang kini berdiri di hadapannya, menggantikan Wasi Bagaskolo yang agaknya sudah puas menguji kesaktian murid tunggal Nini Bumigarba itu.

"Ternyata Paduka tidak mengecewakan sebagai murid Nini Bumigarba, Sang Ratu. Akan tetapi hati saya tidak akan puas kalau tidak menguji sendiri. Sekutu tidak hanya harus mengenal kekuatan lawan, akan tetapi juga perlu sekali mengenal kekuatan kawan sehingga dapat sama-sama mengatur sepak terjang dan siasat dalam menghadapi lawan."

"Silahkan, Sang Wasi," jawab Retna Wilis dengan suara tenang, akan tetapi kini ratu muda ini turun dari kursinya dan berdiri tegak menghadapi Wasi Bagaspati.

Agaknya Retna Wilis maklum bahwa ilmu kesaktian kakek ini tentu jauh lebih hebat daripada kesaktian Wasi Bagaskolo, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan siap untuk menghadapi musuh asing yang hendak ditarik menjadi sekutu sementara ini.

Seperti juga ketika berhadapan dengan Wasi Bagaskolo tadi, kini Retna Wilis beradu pandang mata dengan Wasi Bagaspati. Kakek itu mengerahkan tenaga yang timbul dari dasar batin, dari kemauan dan ciptanya, sehingga sepasang matanya seolah-olah memancarkan cahaya berapi-api yang panas membakar, juga mengandung daya yang menggetarkan. Baru pandang mata ini saja tentu akan dapat melumpuhkan lawan dan memang kakek ini hendak menguji ratu muda belia itu, karena musuh yang hendak mereka hadapi adalah musuh berat di mana terdapat banyak sekali manusia-manusia sakti.

Akan tetapi, dara remaja yang sakti mandraguna ini menghadapi pandang mata kakek itu dengan tenang dan dingin, seperti air telaga yang amat dalam, sedikit pun tidak terpengaruh, bahkan kekuatan mujijat yang terpancar keluar dari sepasang mata kakek itu seolah-olah tenggelam dalam sinar mata dara ini!

"Sang Ratu, bagaimana Paduka akan menghadapi tongkat ularku ini?" Wasi Bagaspati melepaskan tongkatnya ke atas lantai dan tongkat itu berubah menjadi seekor ular cobra yang berkulit hitam, yang berdiri di atas perutnya dan mendesis-desis mengembangkan leher amat menyeramkan. Adiwijaya terbelalak penuh kekhawatiran menyaksikan peristiwa ini. Biarpun ia maklum bahwa bantuannya tidak akan ada artinya, namun ia sudah siap-siap untuk mengerahkan barisan pasukan pengawal, dan kalau perlu seluruh bala tentara Wilis untuk melindungi junjungannya.

Retna Wilis menunduk, memandang tongkat yang telah berubah menjadi seekor ular itu dengan tenang dan bibir tersenyum, kemudian ia berkata, "Sang Wasi, permainanmu ini baik sekali. Kalau dia ini benar seekor ular, seharusnya kuinjak hancur kepalanya dengan tumit kakiku, akan tetapi ular ini berasal dari tongkat maka kembalilah menjadi tongkat!" Ucapan ini dibarengi dengan gerakan kaki kirinya menyambar ke arah ular itu.

Ular Cobra yang kelihatan buas dan galak itu menyambut kaki Retna Wilis dengan gigitan, akan tetapi gerakan ular kalah cepat dan kaki itu sudah mengelak lalu menginjak kepala ular dari atas. Begitu kepala ular itu kena diinjak, seketika berubah lagi menjadi sebatang tongkat!

Menyaksikan pertandingan ilmu yang seperti sihir atau sulap ini, hampir saja Adiwijaya bersorak girang. Mampus kau, kakek yang sombong, makinya di dalam hati sambil mengintai dan memandang wajah Wasi Bagaspati yang mengerutkan kening dan matanya menjadi merah. Ketika patih ini mengalihkan pandangnya kepada wajah Retna Wilis, pandang matanya berubah penuh kagum dan taat, seolah-olah ia melihat seorang Dewi dari Kahyangan.

"Terimalah kembali tongkat Andika, Sang Wasi Bagaspati!" Retna Wilis berkata dan jari kakinya yang menginjak tongkat bergerak menyentil tongkat itu yang meluncur ke arah pemiliknya. Akan tetapi Wasi Bagaspati sudah mendorongkan tangan kanannya dengan telapak tangan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat sekali menyambar ke depan ke arah tongkatnya yang terhenti luncurannya, bahkan membalik dan meluncur ke arah Retna Wilis.

"Paduka telah menundukkan ularku, harap tangkis tongkatku, Sang Ratu!" kakek itu berkata nyaring.

cerita silat online karya kho ping hoo

Retna Wilis tiba-tiba mendorongkan tangan kanannya pula ke depan seperti yang dilakukan Wasi Bagaspati dan serangkum tenaga yang halus meniup ke depan, ke arah tongkat. Seketika tongkat itu berhenti di tengah udara, di antara kedua orang sakti yang mendorongkan lengan ke depan itu. Tongkat itu tidak bergerak seperti terjepit oleh tenaga yang tak tampak, terhimpit di tengah-tengah dan kalau diperhatikan betul, baru tampak betapa tongkat itu kadang-kadang menggeser ke kanan kadang-kadang ke kiri, dan barulah diketahui bahwa sesungguhnya memang ada dua tenaga sakti yang saling mendorong sehingga tongkat yang berada di tengah itu terhimpit! Dalam pertandingan mengadu kekuatan tenaga sakti ini, kedua pihak diam-diam menjadi kagum dan tahu bahwa lawan memiliki kesaktian yang hebat dan merupakan lawan yang kuat akan tetapi merupakan kawan yang boleh diandalkan. Betapapun juga, keduanya memiliki kekerasan hati dan tidak mau mengalah, merasa penasaran, maka mereka mengerahkan tenaga sehebatnya pada saat yang berbareng.

"Krekk! Krekk!" Tongkat itu hancur berkeping-keping dan keduanya lalu menurunkan lengan tangan masing-masing. Satu-satunya tanda bahwa mereka tadi telah mengerahkan tenaga hanya tampak pada kulit muka Retna Wilis yang menjadi kemerahan dan beberapa titik keringat yang membasahi dahi Wasi Bagaspati.

"Maaf, Sang Wasi. Aku telah membikin rusak tongkatmu," Retna Wilis berkata, teringat bahwa ia harus bersikap baik terhadap dua orang kakek yang akan dijadikan sekutu itu.

Wasi Bagaspati menyeringai dan memandang tongkatnya yang sudah hancur dan berserakan di atas lantai. "Bukan kesalahan Paduka, Sang Ratu. Pula, mudah saja membuat tongkat pengganti yang rusak dan senjata saya bukanlah tongkat itu, melainkan ini!" Sambil berkata demikian, Wasi Bagaspati meraba di balik jubahnya dan tiba-tiba tampak sinar menyilaukan ketika tangannya sudah memegang sebuah senjata yang bentuknya seperti Cakra.

Mata Adiwijaya menjadi silau dan kedua kakinya gemetar. Demikian hebat pengaruh mujijat yang keluar dari senjata di tangan kanan kakek itu!

"Senjatamu ampuh sekali, Sang Wasi. Akan tetapi aku pun mempunyai sebuah pusaka yang patut kuperlihatkan kepada orang-orang sakti seperti Andika berdua. Inilah pusakaku Pedang Sapudenta!"

Adiwijaya tak dapat mengikuti gerak tangan Retna Wilis karena tangan kanan ratu itu demikian cepatnya bergerak sehingga tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya berkilauan. Adiwijaya sampai memejamkan mata karena sinar yang amat terang seperti menusuk matanya. Ketika ia membuka matanya kembali, kakinya menggigil. Pedang pusaka di tangan ratunya itu benar-benar amat ampuh dan mengeluarkan hawa mujijat.

Kini ruangan itu penuh dengan hawa mujijat yang keluar dari kedua buah senjata pusaka ampuh itu. Biarpun kedua kakinya menggigil dan wajahnya pucat terkena perbawa (pengaruh) kedua senjata mujijat itu, Ki Patih Adiwijaya memaksa diri dan memberanikan hatinya untuk keluar dari tempat sembunyi, memasuki ruangan itu dan langsung menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan ratunya sambil berkata,

"Mohon ampun atas kelancangan hamba. Akan tetapi kini bukan saatnya senjata pusaka ampuh dilolos keluar dari warangka (sarung). Dengan sepasang pusaka yang amat ampuh ini hamba yakin kelak semua musuh dapat ditundukkan!"

"Ha-ha-ha-ha! Andika terlalu curiga, Ki Patih Adiwijaya!" Wasi Bagaspati berkata. "Kesaktian dan senjata ratu gustimu benar-benar hebat, hatiku puas sekali!" Tiba-tiba hawa panas dingin yang menyeramkan lenyap dari ruangan itu dan sukar dikatakan siapa yang lebih cepat menyimpan kembali kedua pusaka itu karena tiba-tiba saja kedua pusaka itu lenyap dari tangan masing-masing.

"Sang Wasi berdua, silahkan duduk!" kata Retna Wilis, menunjuk ke arah kedua buah kursi yang memang sudah disediakan di ruangan itu.

Dua orang kakek itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan Ratu Wilis, sedangkan Ki Patih Adiwijaya tetap duduk bersila penuh hormat. Dimulailah perundingan antara Retna Wilis dan Wasi Bagaspati dan dengan terus terang Retna Wilis menceritakan cita-citanya untuk menaklukkan seluruh kerajaan dengan janji bahwa jika Wasi Bagaspati sebagai utusan Negeri Cola suka membantunya sehingga cita-citanya berhasil, kelak ia akan menganggap Kerajaan Cola sebagai negara sahabat dan memberi kebebasan kepada Wasi Bagaspati untuk menyebarkan agamanya.

Sebaliknya Wasi Bagaspati juga menyatakan bahwa sesungguhnya tugasnya hanya
memperkembangkan agama, akan tetapi karena selalu menghadapi tentangan, terpaksa ia mempergunakan kekerasan, dan betapa sampai kini ia selalu mengalami kegagalan.

"Mengapa utusan Sriwijaya tidak ikut datang berkunjung?" Patih Adiwijaya bertanya. "Bukankah Sriwijaya juga mempunyai utusan yang dipimpin oleh Sang Biku Janapati? Kalau kekuatan kita semua digabung, tentu akan lebih mudah menundukkan Jenggala dan Panjalu yang terkenal kuat."

"Hemm, pendeta gundul itu sungguh menjemukan!" Wasi Bagaspati mengepal tinju dan giginya berkerot. "Dari seberang lautan kami datang sebagai sekutu, akan tetapi setelah tiba di sini, dia menyeleweng. Sesungguhnya semua kegagalan kami adalah karena si gundul itu! Kalau dia membantu, tentu sudah berhasil usaha kami."

"Sriwijaya adalah negara yang besar dan kuat, sejak lama menaruh dendam permusuhan dengan Mataram dan hanya berhenti sebentar karena mendiang Gusti Sinuwun Airlangga menikah dengan Puteri Sriwijaya. Akan tetapi dendam lama masih ada, mengapa sekarang utusan Sriwijaya tidak membantu Sang Wasi dalam menghadapi Jenggala dan Panjalu yang menjadi pecahan dari Kerajaan Mataram lama?" tanya Ki Patih Adiwijaya yang dalam perundingan ini mewakili gustinya karena dialah yang lebih tahu akan persoalan kerajaan.

"Si kakek gundul menjemukan itu memang tidak tahu diri. Mereka mengira bahwa Sriwijaya amat besar dan kuat, lupa betapa dahulu Raja Sriwijaya, Sinuwun Tunggawarman pernah dikalahkan dan ditawan oleh raja kami, Sinuwun Rajendracola. Setelah tiba di sini, pendeta gundul itu hanya bergerak memperkembangkan agamanya secara diam-diam, bahkan kini merantau ke ujung Nusa Jawa, ke pantai timur dan menyeberang ke Bali dwipa. Menjemukan sekali!"

Retna Wilis tersenyum, memandang rendah menyaksikan betapa kakek sakti ini masih mudah dikuasai nafsu amarah. "Sang Wasi, mengapa mengharapkan bantuan orang yang tidak suka bersekutu? Kurasa, dengan kesaktian yang dimiliki oleh Andika berdua, sudah cukup untuk menundukkan musuh yang bagaimanapun juga."

Kesempatan ini ditunggu-tunggu oleh Sang Wasi Bagaspati, maka ia segera mempergunakannya untuk membakar hati Retna Wilis. ia menarik napas panjang dan berkata, "Ahh, kalau menghadapi orang-orang sakti yang manapun juga di seluruh Panjalu dan Jenggala, saya sanggup mengalahkannya. Akan tetapi.... ah, usaha kita akan gagal kalau tidak ada yang dapat melawan Bagus Seta!"

Retna Wilis mengerutkan kening. "Bagus Seta?" ia teringat akan cerita ibunya bahwa ramandanya masih mempunyai seorang putera yang bernama Bagus Seta.

"Tentu Paduka mengenal nama itu karena dia adalah rakanda Paduka sendiri. Terus terang saja, kesaktian Bagus Seta amat hebat, tidak ada manusia yang akan mampu menandinginya."

"Apakah Andika sudah kalah olehnya, Sang Wasi?"

Merah wajah Wasi Bagaspati, akan tetapi karena ia cerdik, ia menunduk dan menjawab, "Pernah kami bertanding dan saya tidak mampu mengatasinya. Saya mendatangkan adik seperguruan saya, Wasi Bagaskolo ini, akan tetapi masih saya ragukan apakah tenaga kami berdua akan mampu menandinginya. Bahkan Paduka yang memiliki kesaktian tinggi, kiranya belum tentu akan dapat menang..."

"Apa....? Sang Wasi, seorang yang memiliki kesaktian seperti Andika, mengapa berhati begini kecil? Aku akan menandingi Bagus Seta!"

Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, menekan hatinya yang merasa girang akan hasil pembakarannya, dan ia berkata lesu, "Saya percaya akan kesaktian Paduka, akan tetapi masih saya ragukan apakah paduka akan dapat menangkan murid Bhagawan Ekadenta itu!"

Tiba-tiba Retna Wilis tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi menyeramkan sehingga Adiwijaya berdongak memandang dengan bulu tengkuk meremang.

"Hi-hi-hik! Murid Ekadenta? Sang Wasi, tahukan Andika bahwa pusakaku Sapudenta ini khusus untuk menandingi Bhagawan Ekadenta? Kalau dia tidak ada dan yang muncul adalah muridnya, aku yang akan menandingi dan menyapunya dari permukaan bumi!"

Adiwijaya bergidik dan diam-diam merasa prihatin sekali mendengar betapa orang yang dijunjungnya, yang dikasihinya, kini mengancam kepada kakaknya sendiri, kakak seayah!

"Bagus! Kalau begitu, ada sedikit harapan di hati saya. Dengan majunya kita bertiga, biarpun Ekadenta sendiri muncul, akan dapat kita hancurkan! Jangan khawatir, Sang Ratu. Biarpun sekarang pasukanku hanya tinggal seribu orang yang sudah digembleng oleh muridku, Cekel Wisangkoro, akan tetapi tanpa adanya Bagus Seta, kita akan dapat mudah menaklukkan Jenggala dan Panjalu sekalipun! Senopati-senopati sakti mereka, serahkan saja kepada kami berdua, akan kami binasakan semua!"

Perundingan dilanjutkan dan rencana penyerbuan ke Jenggala dibicarakan. Penyerbuan akan dilakukan dalam waktu singkat setelah persiapan-persiapan dibuat dan Wasi Bagaspati menyanggupi untuk menggabungkan pasukannya ke Wilis dalam waktu dekat. Kemudian, setelah kedua orang kakek itu menikmati hidangan yang disajikan, mereka kembali ke gunung Arjuna diiringkan tujuh orang perajurit wanita.

Malam itu bulan purnama siddhi menerangi permukaan bumi di pegunungan Wilis, menciptakan pemandangan yang amat indah dan menyejukkan. Namun, keindahan saat itu tidak tampak oleh Retna Wilis yang sedang duduk termenung seorang diri di dalam taman bunga di belakang istananya dengan hati yang sama sekali tidak sejuk.

Ratu muda belia yang gagah perkasa ini sedang duduk dan gelisah memikirkan keadaan keluarganya. Betapapun ia telah mewarisi watak gurunya, akan tetapi dia tetap manusia dan kalau ia mengenangkan ibunya, hatinya tergerak dan menggetar juga. Dan kini dia sedang mempersiapkan pasukan untuk menggempur Jenggala, untuk berhadapan sebagai musuh ayah bundanya, para bibinya, dan bahkan ia telah mengambil keputusan untuk menandingi Bagus Seta, kakaknya!

Semua ini tidak menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia teringat akan ibunya, hatinya trenyuh juga sungguhpun tidak begitu mendalam karena tertutup oleh sifatnya yang dingin seperti dasar laut kidul. Ia tidak perduli kalau harus bermusuh dengan ayahnya. Dia tidak suka kepada Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungnya yang belum pernah dilihatnya karena dia menganggap bahwa Tejolaksono telah menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya terlunta-lunta sampai ke Wilis. Ia tidak perduli akan Bagus Seta karena pemuda itu adalah putera Tejolaksono dari lain ibu.

Bahkan ia harus memperlihatkan bahwa sebagai putera Endang Patibroto, dia tidak akan kalah oleh putera Ayu Candra! Apalagi kalau ia ingat bahwa Bagus Seta adalah murid Bhagawan Ekadenta, hal ini justeru mendorongnya untuk mengalahkan pemuda itu. Ia tidak memperdulikan pula bermusuh dengan para bibinya Setyaningsih dan Pusporini karena kalau mereka itu menentangnya, menghalangi cita-citanya, berarti mereka pun musuh. Akan tetapi, bagaimana ia akan dapat memusuhi ibu kandungnya?

Dengan pikiran melayang-layang dalam renungan, Retna Wilis memandang bulan yang tampaknya bergerak perlahan, berenang di antara ombak-ombak mega putih di lautan langit biru. Kadang-kadang bulan yang bundar cemerlang itu bersembunyi di balik awan hitam tipis sehingga tampak seperti wajah puteri jelita bersembunyi di balik tirai sutera hitam, kemudian tirai itu terbuka lagi dan tampaklah senyum yang cerah.

Namun Retna Wilis tidak melihat bulan, melainkan melihat wajah ibunya menggantikan Sang Dewi Candra. Kemudian sejalan dengan pikirannya yang mengenangkan wajah-wajah keluarganya, bulan itu berubah menjadi wajah ibunya, Setyaningsih yang tersenyum-senyum dan membelainya di waktu ia masih kecil. Ia cepat mengusir kenangan ini dan membayangkan wajah keluarganya yang belum pernah ia lihat, bibi Pusporini dan terutama wajah ramandanya. Seperti apakah wajah ayahnya, Ki Patih Tejolaksono yang terkenal seorang pria yang tampan dan gagah perkasa itu? Sukar baginya untuk membayangkan wajah ayahnya.

Tiba-tiba bulan yang ia bayangkan sebagai wajah seorang pria yang direka-rekanya patut menjadi wajah ayahnya itu berubah menjadi wajah seorang pria muda yang tampan, yang tersenyum bibirnya akan tetapi yang memandang dengan sinar mata tajam menembus jantung. ia terkejut sekali ketika wajah itu dapat bergerak, mata itu hidup.

"Ahhhh...." Retna Wilis sadar dari lamunannya dan ketika ia meloncat bangun dari bangku yang didudukinya dan berdiri memandang, kiranya di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang sikapnya tenang dan sabar sekali, berpakaian serba putih yang amat sederhana.

Pemuda yang memandangnya dengan sinar mata lemah lembut namun amat tajam menjenguk isi hatinya! Kiranya wajah yang dilihatnya menggantikan bulan itu adalah wajah pemuda inilah!

Dalam kagetnya, Retna Wilis merasa marah dan penasaran sekali, rasa penasaran yang timbul dari rasa malu betapa dia seorang yang memiliki aji kesaktian tinggi dan yang memiliki penglihatan dan pendengaran lebih tajam daripada manusia biasa, sampai tidak tahu, tidak melihat maupun mendengar akan kedatangan seorang pemuda di depannya!

"Si keparat kurang ajar berani engkau datang tanpa dipanggil dan bersikap begini tak tahu aturan dan lancang?"

Ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang di antara kawula Wilis, akan tetapi siapa pun juga, termasuk patihnya sendiri, kalau datang menghadap tentu berlutut dan menyembah, tidak seperti pemuda ini yang berdiri seperti arca, sama sekali tidak ada tampak sikapnya menghormat!

"Aku bernama Bagus Seta dan kalau aku tidak salah menduga, Andika tentulah adikku Retna Wilis, puteri kanjeng rama dan kanjeng ibu Endang Patibroto. Benarkah dugaanku?"

Retna Wilis terkejut sekali dan beberapa detik pandang matanya menjelajahi wajah dan tubuh pemuda itu penuh selidik. Jantungnya berdebar, akan tetapi suaranya terdengar dingin ketika ia menjawab,

"Benar, aku Retna Wilis, Ratu Kerajaan Wilis! Jadi engkau inilah yang bernama Bagus Seta, putera Tejolaksono dan Ayu Candra? Hemmm...."

Bagus Seta mengerutkan keningnya, akan tetapi sikapnya masih tenang dan ia berkata halus, "Adinda Retna Wilis, aku rakandamu, kita saudara seayah...."

"Aku tidak perduli akan hal itu! Bagus Seta, engkau datang seperti siluman mau apakah?"

"Adikku sayang Retna Wilis. Aku sengaja datang mejumpaimu dengan maksud ingin mengingatkanmu akan kesalahan langkah hidup yang kautempuh. Engkau telah salah melangkah, Adikku, dan kini masih belum terlambat. Sadarlah bahwa apa yang sedang kaurencanakan bersama Wasi Bagaspati bukanlah hal yang benar, Adikku."

"Huh! Ke manapun juga aku melangkahkan kaki, apapun juga yang akan kuperbuat, ada sangkut-pautnya apakah dengan engkau? Segala langkah dan perbuatanku ditentukan oleh aku sendiri dan segala akibatnya pun akan kutanggungkan sendiri. Aku tidak membutuhkan peringatanmu!"

"Benar sekali, Retna Wilis. Memang seharusnya demikianlah, setiap perbuatan ditentukan oleh diri pribadi dan ditanggungkan akibatnya oleh diri sendiri pula. Aku pun tidak ingin mempengaruhi, apalagi memaksamu. Akan tetapi manusia telah dianugerahi akal budi dan pertimbangan yang menciptakan kewaspadaan dan kebijaksanaan, maka sudah sepatutnya pula kalau manusia berpikir dan mempertimbangkan lebih dulu sebelum melangkah sehingga setiap perbuatannya tidak terdorong oleh nafsu semata."

Segala kata-kata yang keras dan kasar dan sudah berkumpul di ujung lidah Retna Wilis tertahan saking herannya melihat keadaan kakaknya ini. Dia mendengar bahwa kakaknya yang bernama Bagus Seta ini adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka tadinya ia menggambarkan bahwa kakaknya tentu seorang pria yang gagah dan tampak gagah dan kuat. Akan tetapi kini ia berhadapan dengan seorang pemuda lemah lembut sikapnya, halus tutur sapanya, bahkan yang mengeluarkan ucapan mengandung penuh kesabaran dan ketenangan, sikap yang sepantasnya hanya dimiliki oleh kaum pendeta atau pertapa yang sudah tua renta dan pikun! Saking herannya, ia hanya dapat memandang dan mendengarkan pemuda itu bicara terus tanpa dapat mencela atau menjawab.

"Retna Wilis, Adikku sayang. Apakah sesungguhnya yang kau cari? Apakah yang kaucita-cita dan idamkan? Apa yang tersembunyi di dalam usahamu menghimpun tentara, menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan ini? Apakah engkau mengejar kedudukan sebagai seorang ratu besar yang oleh manusia dianggap kemuliaan? Itukah kemuliaan? Ah, engkau akan kecewa, Adikku, apa pun hasilnya daripada kekerasan yang hendak kau lakukan. Bukan di sanalah letak kebahagiaan, Adikku. Selama engkau menuruti hasrat dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan, engkau takkan pernah merasakan kepuasan. Nafsu mengejar kesenangan untuk dinikmati merupakan kehausan manusia, dan hal ini adalah manusiawi dan menjadi hak manusia pula untuk memuaskan dahaga mereka. Akan tetapi, dahaga tidak akan lenyap dan puas apabila diminumi air yang terlalu manis, bahkan makin banyak diberi yang manis-manis akan menjadi makin haus. Demikian pula dengan nafsu. Makin dituruti tanpa dikendalikan sampai berlebihan, akan menjadi makin besar membakar seperti api diberi umpan kayu kering. Adikku, insyaflah dan jangan menurutkan kata hati yang dikuasai nafsu."

Retna Wilis sudah dapat mengatasi keheranannya dan ia marah sekali. "Bagus Seta! Kiranya engkau yang disohorkan orang memiliki kesaktian yang hebat ternyata hanya memiliki lidah yang pandai bergoyang! Aku tahu mengapa engkau berpidato sepanjang itu. Engkau tentu diutus Panjalu yang gentar menghadapi ancaman penyerbuanku, untuk membujuk aku karena kalian menganggap aku ini adikmu yang sepatutnya tunduk dan taat kepada engkau yang merasa sebagai kakakku! Engkau kecelik, Bagus Seta. Tentu saja engkau berpihak kepada Jenggala dan Panjalu karena seluruh keluargamu menghamba di sana, bahkan ayahmu menjadi Patih Panjalu, dan mereka yang duduk di kursi pimpinan Jenggala juga keluargamu. Akan tetapi, aku tidak akan tunduk oleh obrolanmu yang kosong! Nah, engkau mau apa sekarang? Mau menggunakan kesaktian yang kata orang kau miliki itu? Keluarkanlah semua kesaktianmu, aku tidak takut!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagus Seta tetap tenang sungguhpun senyumnya mengandung keprihatinan. "Adikku, keliru pendapatmu bahwa aku datang sebagai pembela keluarga maupun Kerajaan Panjalu dan Jenggala, sungguhpun tidak kusangkal bahwa aku memang membujukmu agar engkau sadar. Ini menjadi kewajibanku. Ketahuilah bahwa aku hanya membela kebenaran, Adikku. Biar keluarga sendiri, biar Panjalu maupun Jenggala, kalau tindakannya menyeleweng daripada kebenaran, adalah menjadi kewajibanku untuk menentang, karena aku bukanlah seorang punggawa kerajaan mana pun. Berbeda dengan kanjeng rama, kanjeng ibu atau para kanjeng paman dan bibi, mereka terikat oleh tugas kewajiban sebagai punggawa, sebagai perajurit sehingga yang dikenal hanyalah melaksanakan tugas tanpa pamrih berdasarkan kesetiaan terhadap kerajaan sebagai sifat satria. Engkau telah bersekutu dengan Wasi Bagaspati, Adikku, dalam hal ini saja sudah tidak benar. Wasi Bagaspati adalah seorang manusia yang menyeleweng daripada kebenaran, bahkan menentang kebenaran demi nafsu-nafsunya. Sekarang engkau bersekutu dengan dia untuk menaklukkan jenggala dan Panjalu, hal ini merupakan penyelewengan hidup yang amat besar, apalagi kalau diingat engkau adalah puteri Patih Panjalu, sedangkan kanjeng ibu Endang Patibroto seorang tokoh yang amat dihormati dan disegani di Panjalu dan Jenggala. Sadar dan insyaflah sebelum terlambat, Retna Wilis adikku."

"Heh si keparat Bagus Seta! Tak perlu banyak cakap lagi karena aku tidak sudi mendengarnya! Ketahuilah bahwa aku adalah murid tunggal Nini Bumigarba dan engkau adalah murid Bhagawan Ekadenta! Aku telah berjanji kepada guruku untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta dan Sekarang biarlah engkau menjadi wakilnya. Hayo kerahkan semua aji kesaktianmu dan lawanlah aku, Retna Wilis yang juga menjadi Ratu Wilis, aku hanya Perawan Lembah Wilis bocah gunung, tidak seperti engkau putera Patih Jenggala, seorang priyayi, seorang bangsawan agung. Hayo kita mengadu aji kesaktian!"

Melihat Retna Wilis bertolak pinggang dan menggerak-gerakkan lengan kanan menantangnya, wajah tampan Bagus Seta menyuram, akan tetapi sikapnya masih sabar. "Tugasku bukan menentang Nini Bumigarba atau Retna Wilis melainkan menentang kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan kepada manusia, Adikku. Aku tidak berniat untuk bertanding melawanmu."

"Eh, Bagus Seta, kiranya engkau hanya seorang pengecut! Engkau takut melawanku, engkau takut kepadaku! Katakanlah bahwa engkau takut kepadaku dan aku akan mengampunimu!"

Bagus Seta tersenyum penuh kesabaran, dan memandang adiknya seperti Pandang mata seorang dewasa melihat seorang anak kecil yang nakal.

"Aku tidak takut kepadamu, Adikku, juga tidak takut terhadap diri sendiri dan segala tindakanku. Rasa takut adalah tidak wajar dan dibuat sendiri, dan setiap perbuatan yang dilakukan karena takut adalah perbuatan yang tidak wajar, karenanya tidak benar. Manusia yang sadar akan kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang maklum dengan penuh keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah wajar dan yang dengan segala kewajaran hatinya mengerti akan benarnya setiap perbuatan yang dilakukannya, akan terbebas daripada rasa takut."

"Sombong! Bagus Seta, hanya ada dua pilihan bagimu. Melawan aku atau engkau menyatakan bahwa engkau takut kepadaku, baru aku akan membiarkanmu pergi tanpa mengganggumu."

"Kalau keduanya tidak kulakukan?"
"Aku akan membunuhmu!"

Bagus Seta menarik napas panjang. "Ah, berkali-kali terbukti olehku betapa kekuasaan Sang Hyang Widhi tidak dapat dilawan oleh siapa pun, bahwa keputusan Sang Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh manusia. Aku telah berusaha secukupnya, namun keputusannya terserah kepada Sang Hyang Widhi Wisesa!"

Pada saat itu, Retna Wilis sudah menerjang maju dan mengirim pukulan dengan kedua tangannya berturut-turut sampai tujuh kali. Cepat sekali gerakannya ini karena dia mempergunakan gerakan Ilmu Pukulan Pancaroba, seperti sambaran kilat kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke arah bagian-bagian tubuh Bagus Seta.

Pemuda ini dengan sikap tenang sekali, tanpa mengubah kedudukan sepasang kaki yang terpentang, memutar kedua lengan di depan tubuhnya dan berturut-turut dapat menangkis tujuh kali pukulan ampuh itu. Dua tenaga yang dahsyat bertemu, dan akibatnya Bagus Seta terpaksa melangkah mundur tiga tindak saking hebatnya tenaga serangan Retna akan tetapi dara sakti ini terdorong oleh tenaga tangkisan lawan dan ditambah dorongan tenaga serangan sendiri yang membalik, terhuyung ke belakang dan hampir terpelanting!

"Aiiihhhh!!" Retna Wiles menjerit, meloncat ke atas mematahkan tenaga dorongan dan tubuhnya dari atas menukik ke arah Bagus Seta sambil memukul dengan aji pukulan Wisalangking. Bagus Seta miringkan tubuh mengelak sehingga angin pukulan menyambar rumput-rumput yang segera menjadi layu dan membusuk!

"Kasihan engkau, Adikku!" Bagus Seta berkata, manaruh kasihan melihat betapa adiknya dikuasai nafsu amarah sehingga menjadi mata gelap. Akan tetapi Retna Wilis yang sudah diperhamba kemarahan itu, menerima ucapan ini sebagai ejekan, maka ia lalu memekik dan mencabut pedang pusaka Sapudenta! Tampak sinar berkilat di bawah sinar bulan itu ketika pedangnya berkelebat menyambar tubuh Bagus Seta. Pemuda ini maklum akan kesaktian adiknya, maklum pula akan ampuhnya pusaka itu, maka ia menggunakan kepandaiannya melesat jauh dan terus pergi melarikan diri dari tempat itu.

"Bagus Seta keparat! Jahanam pengecut! Jangan lari...!" Retna Wilis mengejar cepat. Namun ia telah kehilangan jejak pemuda itu yang lenyap di antara bayang-bayang hitam di malam terang bulan itu dan setelah mengejar cukup jauh, Retna Wilis berhenti, dadanya berombak, napasnya terengah saking marahnya. Matanya beringas memandang ke kanan kiri, kemudiati mulutnya memekik, tubuhnya bergerak dan pedang pusaka di tangannya digerak-gerakkan menjadi gulungan sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar dan membentuk lingkaran-lingkaran menerjang di antara pohon-pohon.

Terdengar suara hiruk-pikuk ketika banyak batang pohon tumbang oleh sinar pedangnya. Setelah menumbangkan pohon-pohon di sekelilingnya, baru agak mereda kemarahan yang menyesak di dada. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan batang, cabang, dan daun pohon yang berserakan di sekelilingnya, seperti arca, pedang pusaka masih di tangan kanan, mukanya menunduk.

"Gusti Puteri.... ahhh, apakah yang terjadi.... Hati hamba tercekap rasa khawatir.... mengapa Paduka marah dan seperti orang berduka....?" Patih Adiwijaya muncul dari balik daun-daun pohon yang bertumpuk, sedangkan dari jauh, para pengawal hanya memandang bingung, tidak berani mendekat.

Bagaikan baru sadar dari sebuah mimpi buruk, Retna Wilis membalikkan tubuhnya, memandang beringas dan dengan pedang di tangan. Akan tetapi ketika ia mengenal patihnya, ia menghela napas dan perlahan-lahan menyarungkan pedang pusakanya di punggung, kemudian memejamkan mata sebentar, membukanya lagi dan menggerakkan pundak.

"Aku hanya berlatih, Paman. Paman, kirimlah utusan kepada Sang Wasi Bagaspati, minta agar pengiriman pasukan dipercepat karena aku ingin secepat mungkin menyerbu Jenggala!"

Retna Wilis meninggalkan patihnya yang melongo di tempat itu sambil memandangi pohon-pohon yang tumbang. Dalam pandang mata patih ini, di bawah sinar bulan purnama yang berselimut awan hitam, cabang-cabang pohon yang berserakan itu seperti tubuh-tubuh manusia yang tidak utuh lagi, mayat-mayat bergelimpangan akibat amukan Retna Wilis dengan pedang pusaka Sapudenta. Adiwijaya bergidik. Banyak sudah ia menyaksikan perang, banyak menyaksikan manusia-manusian saling menyembelih dalam perang, akan tetapi belum pernah menyaksikan keganasan yang luar biasa seperti yang pasti akan dapat ia saksikan jika Retna Wilis mengamuk di medan perang dengan pedangnya!

Peristiwa di malam terang bulan itu, pertemuan antara kakak dan adiknya yang terjadi amat aneh tanpa disaksikan manusia lain, ternyata merupakan dorongan yang mempercepat penyerbuan bala tentara Wilis ke Jenggala. Tentu saja peristiwa penyerbuan ke Jenggala ini menimbulkan geger dan seperti telah lajim terjadi semenjak manusia mengenalnya sampai kini, perang selalu mendatangkan malapetaka dan sengsara bagi rakyat jelata.

Penduduk dusun-dusun yang dilanda barisan Wilis lari pontang-panting pergi mengungsi, menyelamatkan nyawa meninggalkan segala benda miliknya yang didapatnya dengan cucuran peluh setiap hari. Para iblis dan siluman mengamuk, menggunakan kesempatan itu untuk mempengaruhi batin manusia yang tidak kuat sehingga di mana-mana terjadi pelangggaran perikemanusiaan dan hukum rimba merajalela.

Pihak Jenggala segera mendengar berita akan datangnya bala tentara Wilis yang hendak menyerbu, maka persiapan-persiapan lalu dibuat, pasukan-pasukan penjaga diatur ketat, bahkan Tejolaksono dan Endang Patibroto telah mohon perkenan dari sang prabu di Panjalu untuk membantu Jenggala karena suami isteri ini berprihatin sekali, merasa bertanggung jawab atas penyerbuan tentara Wilis yang dipimpin oleh putera mereka.

Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak baik, Ayu Candra tidak diperkenan ikut. Demikianlah, ketika pasukan-pasukan Wilis sudah tiba di perbatasan kota raja Jenggala, Tejolaksono dan Endang Patibroto sudah slap pula memperkuat barisan Jenggala, bahkan mereka berdua memimpin pasukan inti di samping Joko Pramono yang menjadi patih dan merangkap senopati Jenggala di samping isterinya yang sakti Pusporini.

Pasukan terdepan dari Wilis adalah pasukan bantuan dari Sang Wasi Bagaspati, pasukan yang dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan pasukan yang dipimpin oleh seorang senopati pembantu Ki Patih Adiwijaya. Penyerbuan pasukan terdepan dari Wilis ini menghadapi sambutan yang panas dan keras dari pasukan yang dipimpin sendiri oleh Joko Pramono dan Pusporini. Hebat bukan main perang campuh ini, tanpa upacara dan tanpa banyak cakap lagi.

Perang campuh yang terjadi selama setengah hari, dari tengah hari sampai menjelang senja ini mendatangkan korban amat banyak, baik di pihak Jenggala maupun di pihak pasukan Wilis. Akan tetapi, amukan Joko Pramono dan Pusporini yang amat dahsyat itu membangkitkan semangat para perajurit Jenggala sehingga pihak Wilis kocar-kacir dan didesak mundur. Bahkan mendekati petang hari, ketika pasukan Wilis terdesak dan Cekel Wisangkoro yang menjadi penasaran dan marah itu mengamuk, merobohkan banyak perajurit lawan dengan tongkat ular hitamnya sehingga semangat pasukannya bangkit kembali, perang menjadi makin menghebat.

Cekel Wisangkoro tentu saja merasa takut kepada Wasi Bagaspati dan merasa malu kepada Ratu Wilis kalau sampai pasukannya kalah dalam perang campuh pertama ini, maka ia lalu berteriak-teriak membangkitkan semangat pasukannya dan dia sendiri maju sampai ke tengah medan pertempuran, menggunakan segala aji kesaktiannya untuk membunuh pihak musuh sebanyak mungkin.

Menghadapi amukan Cekel Wisangkoro yang mengeluarkan semua ilmu hitamnya ini, pihak pasukan Jenggala mawut. Empat orang perwira Jenggala yang terkenal gagah perkasa roboh tewas di tangan Cekel Wisangkoro. Ketika Ki Patih Joko Pramono mendengar akan hal ini, ia menjadi marah sekali dan cepat ia menerjang ke tengah medan pertempuran sehingga setelah membuka jalan berdarah, merobohkan banyak perajurit musuh, akhirnya ia dapat menemukan Cekel Wisangkoro yang mengamuk itu.

Memang hebat sepak terjang murid Wasi Bagasati ini. Tubuhnya diselimuti asap menghitam sehingga sukar bagi pihak lawan untuk menerjangnya, sebaliknya dari dalam asap hitam itu, tongkat kakek itu menyambar-nyambar merupakan cakar maut yang setiap kali menyambar tentu merenggut nyawa seorang lawan.

"Cekel Wisangkoro, akulah lawanmu!" Joko Pramono membentak yang menggunakan kedua tangannya mendorong sambil melompat ke depan.

Terkena dorongan kedua tangan itu, asap hitam membuyar dan tampaklah kakek itu mengobat-abitkan tongkatnya yang berbentuk ular hitam. Kini dua orang sakti itu berhadapan, saling pandang dengan mata beringas.

Cekel Wisangkoro segera mengenal orang muda itu yang pernah bertanding dengannya ketika Joko Pramono, Pusporini, dan Bagus Seta dahulu menolong Tejolaksono dan kedua orang isterinya yang tertawan oleh Wasi Bagaspati.

Dahulu Cekel Wisangkoro terpaksa melarikan diri karena tidak kuat menghadapi Joko Pramono dan Pusporini, akan tetapi sekarang, menghadapi Joko Pramono seorang diri saja, apalagi dalam sebuah perang campuh, ia tidak menjadi gentar dan ia menudingkan tongkatnya sambil membentak,

"Babo-babo, Joko Pramono! Engkau telah menjadi patih Jenggala, ya? Bersiaplah engkau untuk mampus bersama Jenggala yang sekali ini pasti akan kami hancurkan!"

"Ha-ha-ha, Cekel Wisangkoro dukun lepus! Berkali-kali engkau dan kawan-kawanmu menurutkan angkara murka, tidak tahu malu dan lupa bahwa engkau dahulu telah menjadi pecundang, lari terbirit-birit ketika melawanku. Sekarang engkau datang menyerahkan nyawa, bagus, majulah!"

"Lihat ular saktiku menelanmu!" Tiba-tiba Cekel Wisangkoro melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi seekor ular besar sekali, dengan mulut yang lebar penuh gigi dan siung beracun, menyemburkan uap hitam hendak menerjang Joko Pramono. Ki patih tersenyum, merendahkan tubuhnya dengan kedua lutut agak ditekuk, kemudian ia membentak,

"Permainan ini menjemukan. Heiiittt!" Kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah ular dengan pengerahan aji pukulan Cantuka-sekti.

Serangkum hawa pukulan sakti menyambar ke depan dan "ular" itu terpelanting, terlempar ke depan Cekel Wisangkoro, berubah menjadi tongkat hitam lagi.

"Keparat!" Cekel Wisangkoro menyambar tongkatnya dan bagaikan gila ia menerjang ke depan dengan tongkatnya.

Namun sambil tersenyum Joko Pramono berhasil mengelak dan balas memukul. Seperti biasa, murid Sang Resi Mahesapati ini tidak mempergunakan senjata dalam menghadapi lawan, hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya dan keampuhan pukulan dan tendangannya. Dalam waktu tak lama, ia telah berhasil mendesak Cekel Wisangkoro yang menjadi kempas-kempis napasnya. Kakek ini berusaha untuk mainkan tongkatnya sehebat mungkin, namun selalu tusukan dan hantamannya mengenai tempat kosong dan beberapa kali ia terhuyung karena pukulan Cantuka-sekti yang biarpun tidak mengenainya dengan tepat, namun hawa pukulan yang dahsyat itu membuat ia hampir tidak dapat menahannya.

Pertandingan hebat antara dua orang sakti yang memimpin pasukan pertama ini dijadikan tontonan oleh para perajurit kedua pihak sehingga mereka yang tadinya bertanding di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan menjadi penonton sambil berteriak-teriak dan bersorak-sorak menjagoi pimpinan masing-masing. Mereka yang berada jauh dari medan pertandingan ini masih terus berperang penuh semangat, karena kini pihak Wilis telah bangkit kembali semangatnya oleh sepak-terjang Cekel Wisangkoro tadi.

Di lain tempat, di ujung kiri, Pusporini juga mengamuk, bahkan lebih hebat daripada suaminya. Berbeda dengan Joko Pramono yang mendapatkan tandingan kuat, wanita perkasa ini hanya dikeroyok oleh lawan-lawan yang baginya terlalu lunak sehingga pihak musuh roboh berserakan seperti sekumpulan laron menyerbu api. Kembali pihak Wilis menjadi mawut dan cerai-berai setiap kali Pusporini menerjang maju. Para perwira Wilis sudah roboh semua dan tiba-tiba majunya Ni Dewi Nilamanik merupakan pendorong bagi perajurit Wilis untuk tidak lari.

Ni Dewi Nilamanik maju dan menyambut amukan Pusporini sehingga kembali perang tanding berlangsung makin seru. Seperti juga suaminya, Pusporini menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang mengamuk dengan senjata kebutannya itu dengan tangan kosong saja. Kalau dibuat perbandingan, tingkat kesaktian Ni Dewi Nilamanik masih lebih tinggi daripada kepandaian Cekel Wisangkoro. Apalagi setelah wanita cabul ini menerima banyak petunjuk dari Wasi Bagaspati, ia merupakan lawan yang berat bagi Pusporini.

Maka pertandingan antara kedua orang wanita sakti ini lebih dahsyat dan biarpun aji kesaktian Pusporini murni, namun ia kalah pengalaman, juga kebutan di tangan wanita itu benar-benar ampuh. Agaknya, biarpun tidak terancam dan tidak terdesak oleh lawannya, Pusporini harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan makan banyak waktu untuk dapat merobohkan wanita yang mengaku sebagai penitisan Bathari Durgo ini!

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 46