Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 17

KUDA yang ditunggangi Suroantani dan Sumarni berjalan di depan karena senopati itu menjadi petunjuk jalan, sedangkan orang tua Sumarni mengikuti dari belakang. Karena kedua ekor kuda itu terpisah beberapa meter jauhnya, Suroantani dan Sumarni dapat bercakap-cakap tanpaterdengar oleh dua orang suami isteri itu. Sumarni merasa semakin akrab dan dekat dengan Suroantani yang bukan saja telah menyelamatkan dirinya akan tetapi bahkan sudah menyelamatkan ia sekeluarga.

"Paman Suroantani..." katanya lirih karena yang diajak bicara berada dekat sekali di belakang nya sehingga ia merasa seolah bersandar di dada pria itu terutama kalau kuda itu membuat gerakan ke dspan sehingga tubuhnya agak tertarik ke belakang Merasa betapa dada yang bidang itu kokoh kuat menjadi sandaran kepala dan punggungnya.

"Hemmm....? Ada apakah, nimas?"

"Paman, tanpa adanya paman, kami sekeluarga tentu telah mengalami kecelakaan, dan mungkin sudah binasa. Sekarangpun, kami bertiga menyerahkan nasibkami sepenuhnya ketangan paman, karena kami Juga tidak tahu harus pergi bersembunyi ke mana."

"Jangan khawatir, nimas. Aku telah mempunyai rencana. Kalian akan kubawa ke perkumpulan Nogo Dento dan sementara kutitipkan di sana agar terbebas dari ancaman para penjahat itu "Paman terlalu baik, budimu terlalu besar bagi kami, paman. Akan tetapi aku sungguh merupakan orang yang hanya membikin susah orang lain saja. Aku sudah menyeret kedua orang tuaku ke dalam bahaya maut bahkan hampir saja mereka tewas karena aku, dan aku sudah pula menyusahkan paman sehinggapaman harus menentang bahaya dan menjadi repot sekali. Nasibku yang begini buruk agaknya membuat setiap orang yang dekat denganku menjadi susah pula..."

"Hemm, jangan berkata demikian, nimas. Engkau adalah seorang gadis yang baik dan aku siap untuk membelamu dan orang tuamu dengan segenap kekuatanku. Di perkampungan Nogo Demo engkau akan aman dan terlindung. Setelah nanti gerombolan yang menguasai Jatikusumo dapat dihancurkan, engkau dan orang tuamu dapat kembali ke dusun Jaten"

"Akan tetapi, kami akan selalu merasa ketakutan dan merasa terancam, paman. Hidup kami tidak akan tenteram lagi. Siapa tahu di antara gerombolan itu ada yang dapat lolos lalumenca riku di Jaten..."

"Kalau begitu, aku usulkan agar engkau dan orang tuamu pindah saja ke kota raja. Mataram agar aku dapat selalu melindungi kalian."

"Akan tetapi, di mana kami akan tinggal paman?"

"Di rumahku tentu saja. Rumahku cukup luas untuk menampung kalian bertiga."

"Ah, kami tentu akan merepotkan dan menyusahkan keluarga paman saja"

"Tidak ada yang direpotkan, nimas. Aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup seorang diri di rumahku."

"Apa? Paman belum... belum... beristeri?" tanya Sumarni heran. Bagaimana mungkin seorang laki-laki berusia empat puluhan, sudah memiliki kedudukan tinggi pula, masih membujang?

"Belum, nimas. Karena itu, aku sarankan agar kalian bertiga tinggal di rumahku sehingga aku, dapat melindungi kalian."

"Ahh, paman begitu baik! Kenapa paman begini baik terhadap diriku? Kenapa, paman Suroantani?"

"Entah mengapa... akan tetapi aku... aku kasihan sekali kepadamu dan aku... aku suka sekali padamu. Kalau engkau sudi, aku ingin melindungi dirimu selamanya, aku ingin engkau hidup bersamaku, menjadi isteriku..."

Kuda melompat kedepan dan punggung Sumarni menempel di dada Suroantani. Gadis itu dapat merasakan dengan punggungnya, betapa dada yang bidang itu berdenyut keras, sama kerasnya dengan debar jantungnya sendiri mendengar pengakuan dan lamaran itu. Pinangan yang aneh dilakukan di atas kuda selagi mereka berboncengan!

"Aku... sudi menjadi... isterimu paman? Ah, bukankah pertanyaan itu terbalik? sepantasnya aku yang bertanya apakah paman sudi kepadaku? Aku adalah seorang yang sudah kotor ternoda paman, menjadi permainan manusia iblis seperti Priyadi bahkan dinodai oleh jahanam Ki Klabangkolo. Aku sama sekali tidak patut sama sekali tidak berharga untuk menjadi pelayan paman sekalipun..." Sumarni tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi dan terisak menangis.

Lengan kiri Suroantani merangkul pinggang yang ramping itu."Nimas, sudahlah lupakan semua pengalaman pahit itu. Aku tahu bahwa batinmu masih bersih tak ternoda. Aku cinta padamu, aku kasihan padamu, aku ingin engkau menjadi isteriku. Maaf, kalau aku membicarakan soal ini diatas kuda, karena kita tidak akan memiliki kesempatan bicara berdua saja seperti sekarang. Jawablah, Sumarni maukah engkau menjadi isteriku?"

"Aduh,paman! Setelah Gusti Allah sendiri yang mengulurkan tangan kepadaku. Tentu saja aku suka. Aku terima dengan sepenuh hatiku. Aku serahkan jiwa ragaku kepadamu, paman..."

"Bagus, Kalau begitu aku tinggal meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi, haruslah engkau menyebut paman seterusnya kepadaku, nimas?"

Kini Sumarni benar-benar menyandarkan kepalanya di dada yang bidang itu dan kedua tangannya menangkap lengan kiri yang merangkul pinggangnya. Ia merasa demikian berbahagia, demikian aman dan damai. "Kakangmas Suroantani... aku merasa..." Ia berhenti, lehernya seperti tercekik rasanya karena keharuan.

"Ya? Merasa bagaimana, nimas?"

"Aku merasa... seolah-olah baru terlepas dari cengkeraman cakar iblis dan terjatuh ke dalam tangan yang lembut penuh kasih seorang dewa. Terima kasih, Gusti Allah... terima kasih...." Dan ia terisak lagi.

Lengan kiri Suroantani merangkul semakin ketat dan dia merasa berbahagia sekali, Dia yakin benar bahwa dia menemukan seorang wanita yang luhur budinya dan dia tidak akan salah pilih. Ketika di tengah perjalanan mereka berhenti beristirahat, Suroantani menyampaikan pinangannya kepada Ki Karyotomo dan isterinya. Suami isteri itu terkejut dan heran mendengar seorang senopati meminang anaknya! Akan tetapi setelah mereka mendengar bahwa anaknya telah menyetujui dan menerima pinangan itu, suami isteri itupun menerimanya dengan hati penuh syukur dan kegembiraan.

Siapa yang tidak akan merasa gembira? Anak perempuan mereka bukan perawan lagi, sudah ternoda olehorang jahat dan kini diambil Isteri secara terhormat oleh seorang senopati yang masih membujang! Mereka hanyalah orang-orang dusun sederhana dan tiba-tiba menjadi mertua seorang senopati Mataram! Tanpa halangan sesuatu mereka akhirnya tiba di perkampungan Nogo Dento.

Setelah tiba di perkampungan itu, Suroantani disambut oleh tiga puluh orang murid Nogo Dento yang berjaga da perkampungan mereka. Dia memperkenalkan diri dan disambut dengan hormat oleh para murid kepala. Suroantani mendengar bahwa pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari telah tiba di situ dua hari yang lalu dan sekarang mereka semua telah berangkat menuju ke Jatikusumo.

Pasukan dari Mataram sebanyak seratus orang perajurit pasukan Pasopati yang gagah perkasaitu diper kuat oleh para murid Nogo Dento sebanyak tiga puluh orang karena sebagian ditinggalkan untuk menjaga keamanan di Nogo Dento, ditambah lagi lima puluh orang anak buah perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo. Juga Sang Puteri itu dibantu oleh Sutejo, Retno Susilo, Harjodento, Padmosari, Pusposari dan Csngak Awu. Mereka telah berangkat pagi tadi dengan jumlah pasukan hampir dua ratus orang dan dibantu pula oleh orang-orang yang memiliki kedigdayaan.

Suroantani lalu menitipkan Sumarni dan ayah ibunya kepada para murid Nogo Dento. Dia berpamit dari mereka karena dia harus pergi menyusul pasukan yang dipimpin oleh Puteri Wandansari itu untuk mengamati dan kalau perlu membantu seperti yang diperintahkan Sultan Agung kepadanya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Anakmas Priyadi, kukira sudah tiba saatnya bagi engkau dan seluruh anak buahmu untuk pindah ke Wirosobo, memperkuat pasukan Wirosobo. Ketahuilah bahwa Kadipaten Wirosobo sekarang sudah siap untuk melakukan penyerbuan kepada Mataram." kata Bhagawan Jaladara kepada Priyadi.

Mereka sedang mengadakan perbincangan. Yang hadir adalah Bhagawan Jaladara, Priyadi, Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, Sekarsih, Maheso Kroda yang juga sudah bergabung dengan Priyadi dan Tumenggung Janurmendo yang datang bersama Bhagawan Jaladara sebagai utusan Kadipaten Wirosobo (Mojoagung).

"Paman Bhagawan Jaladara, sudah cukup kuat benarkah Wirosobo maka berani menyerbu Mataram?" tanya Priyadi dengan suara mengandung keraguan.

"Biarpun Wirosobo telah memperkuat diri dengan bantuan banyak pihak, terutama dari pihakmu, anakmas Priyadi, namun untuk menyerbu Mataram sendiri saja tentu masih kurang kuat, Akan tetapi kami bekerjasama dengan banyak kadipaten dan kabupaten seperti Lasem, Tuban, Jepan, Pasuruan, juga dari Arisbaya dan Sumenep di Madura. Kami semua dipimpin pula oleh Adipati Surabaya dengan juru nasihat Sunan Giri. Dengan kerja sama banyak kabupaten itu, mustahil, Mataram tidak akan dapat kita jatuhkan"

"Kalau begitu halnya, memang sudah tiba saatnya kami harus pindah ke Wirosobo untuk mengadakan persiapan membantu Wirosobo menyerbu ke Mataram, paman."

"Akan tetapi sayang sekali engkau belum dapat merebut kembali Pecut Bajrakirana dari tangan setan Sutejo itu, anakmas. Bagaimana kabarnya dengan para utusanmu yang melakukan pengejaran terhadap si pengkhianat Sumarni? Apakah sudah dapat ditangkap?"

Wajah Priyadi muram dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan api kemarahan dan ia mengepal tinju kanannya. "Kalau wanita itu dapat kutangkap, tentu akan kusiksa ia sampai mampus! Dan kalau sekali lagi aku berhadapan dengan jahanam Sutejo, tentu akan kulumatkan kepalanya!"

"Kalau begitu engkau belum berhasil menangkap gadis itu, anakmas Priyadi?"

Priyadi menghela napas panjang. "Aku sudah mengutus dua orang kepercayaan paman, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda untuk melakukan pengejaran terhadap Sumarni di dusun Jaten. Akan tetapi mereka itu tidak pernah kembali dan tidak ada beritanya. Maka aku lalu mengirim utusan untuk menyusul mereka di dusun Jaten. Utusan itu mencari keterangan di Jaten dan mendapat kabar bahwa kedua orang kepercayaan paman itu telah tewas!"

"Apa?" Bhagawan Jaladara terbelalak mendengar bahwa dua orang pembantunya yang amat dipercaya itu telah tewas. "Bagaimana mereka dapat tewas dan siapa pembunuh mereka?"

"Menurut berita yangdi dapat, Sumarni dan orang tuanya dibela oleh Suroantani dan dua orang utusan itu dibunuh olehnya." kata Priyadi.

"Suroantani, senopati Mataram itu Keparat!" seru BhagawanJaladara marah.

Tumenggung Janurmendo segera berkata. "Wah, kalau senopati Suroantani dan Mataram yang menolong Sumarni dan orang tuanya, tentu dia mendengar pula dari Sumarni tentang keadaan kita di sini! Senopati itu pasti tidak akan tinggal diam dan melaporkan keadaan di Jatikusumo ini kepada Sultan Agung!"

"Benar juga pendapat itu!" kata Bhagawan Jaladara khawatir. "Anakmas Priyadi kita harus cepat mengungsi ke Wirosobo sebelum pasukan Mataram menyerbu ke sini!"

Priyadi mengerutkan alisnya. "Mereka tidak akan menyerbu ke sini, paman. Andaikata mereka berani menyerbu sekalipun, aku tidak takut. Bukankah kedudukan kita kuat sekali? Anak buah kita ada dua ratusan orang, dan di sini ada aku dan paman sendiri, dibantu pula oleh Paman Resi Wisangkolo Paman Klabangkolo, Paman Tumenggung Janurmendo, Sekarsih dan Paman Maheso Kroda. Apa lagi yang kita takuti? Kalau mereka datang, kita akan menghancurkan mereka!"

Pada saat itu dari luar ruangan itu tampak dua orang anak buah memasuki ruangan sambil mendorong-dorong seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan dua orang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun dan enam belas tahun. Biarpun pakaian dua orang gadis itu seperti pakaian wanita petani, namun harus diakui bahwa keduanya memiliki tubuh yang denok dan wajah yang manis dengan kulit yang bersih. Adapun pria itu juga mengenakan pakaian seorang petani biasa. Tiga orang ini didorong oleh dua orang anak buah Jatikusumo, jatuh berlutut di depan sekumpulan pemimpin yang sedang bersidang itu.

Priyadi yang merasa terganggu, mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada dua orang anak buah itu."Ada apa ini? Kenapa kalian berani mengganggu kami, menghadap tanpa dipanggil?" bentaknya.

"Ampunkan kami denmas. Kami melihat tiga orang ini berindap-indap mendekati pagar yang mengelilingi perkampungan kami. Sikap mereka mencurigakan, maka mereka kami tangkap dan kami bawa menghadap denmas!" Anak buah itu melapor.

Mendengar laporan itu. Priyadi mengamati tiga orang tawanan itu. Pria itu tampak seperti petani biasa, sederhana dan sama sekali tidak mencurigakan. Lalu dia mengamati dua orang gadis itu. Dua orang perawan dusun yang cantik manis kesederhanaan pakaian mereka tidak menyembunyikan lekuk lengkung tubuh yang sempurna dan kulit yang halus bersih. Kecantikan alami dua orang gadis yang sedang mekar itu sungguh menimbulkan gairah dalam hati Priyadi yang baru saja ditinggalkan Sumarni, gadis dusun yang pernah membuatnya tergila gila, Kini yang dekat dengannya hanya Sekarsih. seorang wanita yang memiliki kecantikan yang tidak alami, kecantikan buatan, tiruan, usianya juga sndah mulai tua. Maka tidak mengherankan kalau dua orang gadis dusun itu membangkitkan berahi dalam hati Priyadi yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia lalu bertanya kepada orang dusun itu dengan suara keren.

"Apa maksudmu berkeliaran di luar perkampungan, kami?"

Orang dusun yang sudah ketakutan itu menjawab dengan suara lirih. "Ampunkan saya dan dua orang anak saya. denmas. Saya datang ke perkampungan Jatikusumo untuk minta perlindungan."

Ucapan ini tidak mengherankan hati Priyadi. Dia tahu bahwa sejak dahulu perguruan Jatikusumo memang menjadi semacam pelarian bagi para penduduk dusun di sekitar daerah itu yang mengharapkan pertolongan dari perguruan itu yang di anggap sebagai perguruan para pendekar. Mendiang gurunya. Bhagawan Sindusakti memang selalu mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada para penduduk dusun kalau mereka terancam malapetaka. Anak buahnya yang sekarang tentu saja tidak tahu akan kebiasaan ini maka mereka mencurigai ayah dan dua orang anaknya ini lalu menangkapnya. Tidak ada seorangpun murid lama yang masih tinggal di situ. Semua anak buah adalah orang-orang baru.

"Mengapa kalian datang minta perlindungan?" tanya Priyadi.

"Anakmas, beberapa hari yang lalu kami kedatangan dua orang laki-laki yang mengaku menjadi anggota Jatikusumo dan mereka hendak memaksa dua orang anak perempuan saya ini untuk menjadi isteri mereka. Mereka memberi waktu sampai hari ini. Kalau kami tidak memenuhi permintaan mereka, kami serumah akan dibunuh. Karena itu, kami mohon perlindungan dan pertolongan denmas agar kami terbebas dari ancaman dua orang itu."

Priyadi dapat memaklumi peristiwa itu. Dua orang perawan dusun ini memang menarik hati sekali, maka tidaklah mengherankan kalau ada dua orang anak buahnya yang jatuh hati dan ingin mengambil mereka sebagai istri dengan paksa dan ancaman. Dia tahu bahwa anak buahnya yang baru adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerssan untuk memaksakan kehendak mereka. Akan tetapi dua orang gadis itu telah menghadapnya dan melihat mereka, dia sendiri tertarik dan merasa sayang kalau mereka terjatuh ketangan dua orang anggota perkumpulannya. Dia lalu memberi isyarat kepada dua orang anak buah yang melapor itu.

"Bawa pengacau ini keluar dan bereskan dia!" Kemudian kepada Sekarsih dia berkata, "Sekarsih, bawa dua orang gadis ini ke dalam kamarku. Aku sendiri yang akan memeriksa dan memberi keputusan terhadap mereka."

Dua orang anak buah itu lalu memegang kedua lengan petani itu dan menyeretnya keluar. Dua orang gadis itu berseru memanggil ayah mereka sambil menangis, akan tetapi Sekarsih lalu memegang pergelangan tangan mereka dan menarik mereka masuk ke dalam ruangan sebelah dalam. Wanita ini tersenyum dan maklum akan apa yang dikehendaki Priyadi. Ia tidak merasa cemburu karena hubungannya dengan Priyadi adalah bebas tanpa ikatan apapun. Ia sendiri boleh memilih pria manapun yang disukainya dan Priyadi juga boleh memilih gadis mana yang dikehendakinya. Dua perawan dusun itu menangis ketakutan, terutama sekali melihat ayah mereka diseret keluar dengan kasar oleh dua orang yang menangkap mereka tadi. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri mereka dan ayah mereka. Mereka masih terkejut, heran dan juga takut melihat sikap pimpinan Jatikusumo dan keadaan di situ yang jauh berbeda dengan yang mereka bayangkan. Kiranya dalam bayangan mereka Jatikusumo merupakan tempat orang -orang gagah perkasa dan budiman yang siap setiap saat menolong mereka. Akan tetapi kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang mereka pernah dengar dan bayangkan.

Seperti tidak pernah terjadi gangguan sesuatu, Priyadi melanjutkan perbincangannya dengan rekan dan sekutunya. Setelah mereka semua pada umumnya membujuk Priyadi untuk segera mengungsi ke Wirosobo dan membantu kadipaten itu untuk menyerbu ke Mataram, akhirnya Priyadi mengambil keputusan.

"Baiklah, Paman Bhagawan Jaladara, aku mau pergi mengungsi ke Wirosobo, akan tetapi setelah dua pekan lagi Selama dua pekan ini aku hendak menyebar orang-orang kita untuk mencari tahu di mana adanya Sutejo karena aku masih belum puas dan merasa penasaran kalau belum dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana"

"Kalau sudah demikian keputusanmu, kamipun hanya menurut, anakmas. Kami dari Wirosobo akan menanti di sini sampai dua pekan lagi. Mudah-mudahan dalam waktu itu engkau sudah akan dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana kata Bhagawan Jaladara.

Mereka lalu bubaran. Pada malam hari itu, sesosok mayat terapung di sungai. Mayat petani tadi, ayah dari dua orang perawan dusun. Tak lama kemudian, beberapa ekor buaya berenang mendekati dan binatang-binatang buas itu lalu menyerang dan merobek-robek daging dan kulit mayat petani itu yang menjadi mangsa mereka. Di dalam rumah induk perguruan Jatikusumo, di dalam kamar Priyadi, terdengar rintih tangis dua orang perawan dusun itu. Mereka hanya mampu merintih dan menangis, tidak berdaya melepaskan diri dari kebuasan Priyadi yang bagaikan telah berubah menjadi binatang buas karena dikuasai nafsunya. Dua orang perawan itn seperti dua ekor kelenci yang tidak berdaya dalam cengkeraman seekor harimau buas yang merobek-robek mereka. Nafsu telah membuat Priyadi menjadi seekor binatang buas yang haus darah!

Fajar menyingsing. Sesekali terdengar ayam jantan berkokok. Pagi itu masih terlalu gelap. Burung-burung masih sepi. Orang-orangpun masih malas meninggalkan tempat tidur. Lapat-lapat masih terdengar isak tangis perlahan dari dalam kamar Priyadi. Laki-laki itu masih pulas kelelahan, Akan tetapi dua orang gadis dusun itu tidak berani melakukan hal yang bukan-bukan. Mereka ketakutan setengah mati Takut dan berduka. Mereka hanya dapat saling rangkul sambil menangis perlahan. Siadik telah dalam rangkulan mbak ayunya yang mencoba menghibur akan tetapi ia sendiripun mencucurkan air mata.

Tiba tiba terdengar sorak sorai yang mengejutkan semua orang dalam perkampungan Jatikusumo. Semua orang terbangun dari tidurnya dengan kaget. Terutama sekali para anak buah yang melakukan penjagaan di gardu penjagaan dekat pintu gerbang perkampungan, belasan orang anak buah yang pagi hari itu berjaga dengan terkantuk-kantuk, menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan mereka melihat bayangan ratusan orang muncul di kegelapan pagi membawa tombak, golok atau pedang di tangan!

Ratusan orang itu sambil berteriak-teriak membuat gerakan mengepung sehingga perkampungan Jatikusumo itu telah terkepung rapat! Dengan panik para penjaga itu lalu memukul kentongan yang tergantung di gardu penjagaan itu. Seluruh penghuni perkampungan menjadi semakin terkejut ketika mereka mendengar kentongan dipukul bertalu-talu menyambung sorak-sorai yang membangunkan mereka dari tidur tadi.

Semua anak buah Jatikusumo cepat mengenakan pakaian dan berlari keluar membawa senjata. Priyadi juga terbangun dengan kaget. Mendengar kentongan yang dipukul gencar itu, tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Teringatlah dia akan ucapan Tumenggung Janurmendo kemarin tentang kemungkinan penyerangan dan paç’¼ukan Mataram. Dia segera mengenakan pakaian, memandang kepada dua orang gadis kakak beradik yang masih saling berangkulan di sudut pembaringan. Setelah semua gairah nafsunya terpuaskan, kini dua orang dara dusun itu tidak tampak begitu menarik lagi!

Beginilah sifatnya nafsu yang selalu berupaya untuk menguasai manusia. Kalau belum terdapat sesuatu yang diinginkan, maka sesuatu itu tampak indah dan menarik sekali, Akan tetapi sekali yang diinginkan itu terdapat, maka kebosanan segera menyusul dan nafsu menginginkan yang lain lagi yang dianggapnya lebih menarik.

Setelah mengenakan pakaian dan menyelipkan keris pusaka Liat Nogo di pinggangnya, tanpa memperdulikan lagi kepada dua orang gadis dusun itu, Priyadi segera melompat keluar dari kamarnya. Di ruangan tengah dia bertemu dengan semua rekannya yang sudah berkumpul di situ. Mereka semua tampaknya juga sudah siap siaga mambawa senjata masing-masing. Wajah mereka juga tegang dan ketika melihat Priyadi muncul, Bhagawan Jaladara segera menyambutnya.

"Apa yang terjadi, paman?" tanya Priyadi.

"Seperti yang kami khawatirkan, anak mas. Pasukan Mataram telah datang menyerbu kita" jawab Bhagawan Jaladara.

"Kenapa tidak mengerahkan anak buah untuk menyerang mereka?"

"Mereka berjumlah lebih dari dua ratus orang dan mereka belum bergerak menyerang kita, anak mas. Mereka hanya baru mengepung saja dan agaknya pimpinan pasukan itu hendak bicara dulu dengan kita."

"Hemm, siapa yang memimpin pasukan itu, Siapa senopatinya?"

"Agaknya yang memimpin di depan sendiri adalah Sang Puteri Wandansari!"

"Hemm, diajeng Wandansari?"

"Benar, anakmas. Dan melibat bahwa pasukan itu tidak dipimpin seorang senopati Mataram, melainkan oleh sang putri, maka agaknya gerakan mereka itu adalah merupakan balas dendam sang puteri atas terbasminya perguruan Jatikusumo." kata Bhagawan Jaladara.

"Hemm, kalau hanya diajeng Wandarsari, jangan khawatir, paman. Aku dapat menundukkannya dengan mudah!" kata Priyadi dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diriyaa sendiri. Bagaimanapun, Wandansari adalah adik seperguruannya, murid ke lima, sedangkan dia adalah murid ketiga. Biarpun kabarnya Wandansari telah mendapatkan pedang Kartika Sakti dan ilmunya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Yang ditakuti hanyalah Sutejo yang kini telah berhasil mendapatkan dan memiliki Pecut Sakti Bajrakirana.

"Akan tetapi kita harus berhati-hati, anakmas. Siapa tahu ada orang-orang lain yang membantunya." kata Bhagawan Jaladara.

"Ha-ha-ha, biarpun ada yang membantunya, kita tidak perlu takut, Bhagawan Jaladara. Kita telah berkumpul di sini menghimpun tenaga. Siapa yang akan mampu mengalahkan kita semua?" Resi Wisangkolo tertawa dan membesarkan hati rekan-rekannya dengan ucapan yang sombong itu.

"Mari Kita segera keluardan menghadapi mereka bersama!" kata Priyadi dan pada saat itu terdengar teriakan lantang yang datangnya dari luar pintu gerbang perkumpulan Jatikusumo.

"Priyadi Pengkhianat murtad yang jahat! Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!" Suara itu melengking nyaring dan Priyadi segera mengenal suara itu sebagai suara Wandansari, adik seperguruannya. Akan tetapi betapa nyaring melengking suara itu, didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat. Diapun dapat menduga bahwa puteri istana itu telah berhasil menghimpun tenaga sakti amat kuat. Diapun segera melangkah keluar diikuti rekan-rekannya.

Udara sudah tidak segelap tadi. Sinar matahari mulai menyapu kegelapan dan mengusir sisa embun pagi yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Setelah tiba di luar pintu gerbang perkampungan Jatikusumo, Priyadi melihat Puteri Wandansari dengan pakaian yang ringkas berdiri di depan pasukan yang dipimpinnya. Dara bangsawan itu tampak demikian gagah perkasa dan jelita. Dulu, ketika masih tinggal di perguruan Jatikusumo, Priyadi selalu memandang sang puteri itu sebagai seorang adik seperguruan, dengan perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi sekarang, ketika dia memandang gadis itu, penglihatannya sudah sama sekali berubah. Dia melihat Puteri Wandansari demikian cantik jelita menggairahkan, seolah baru sekarang dia melihat kecantikan itu dan hatinya dipenuhi rasa kagum dan berahi.

Priyadi sengaja bersikap tenang dan memandang rendah walaupun dia sudah melihat bahwa sang puteri itu ditemani oleh banyak orang muda yang gagah,di antaranya dia melihat Sutejo dan Cangak Awu. "Ah. kiranya diajeng Wandansari yang datang Diajeng, kenapa andika datang dengan sikap marah dan menantang-nantang? Lebih baik kalau andika menemani aku, hidup bahagia sebegai teman hidupku selamanya di sini!"

Wajah sang puteri menjadi merah padam dan sepasang matanya yang jeli dan indah itu mengeluarkan sinar berapi-api "Jahanam busuk, tutup mulutmu yang kotor! Entah iblis mana yang telah memasuki jiwamu sehingga kini engkau berubah menjadi seorang yang hina dan biadab! Engkau telah membunuh Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto. Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo! Engkau telah membasmi Jatikusumo, tempat di mana engkau dibesarkan dan dididik. Engkau bahkan telah bersekutu dan menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Aku datang untuk membasmi persekutuanmu yang busuk itu!"

"Wandansari!" kata Priyadi dengan suara berwibawa. "Apa yang kau andalkan untuk mengalahkan aku? Lihat, selain anak buahku cukup banyak dan kuat, aku juga dibantu oleh banyak orang gagah. Dan apakah engkau berani melawan dan menghadapi aku?"

Sutejo melangkah maju. "Keparat Priyadi! Kalau andika memang jantan dan berani bertanding satu lawan satu, akulah lawanmu!"

Melihat Sutejo. Priyadi marah sekali, teringat akan pecut yang telah dicuri oleh Sumarni dan diberikan kepada pemuda ini "Babo-babo. jahanam Sutejo! Kau kira aku takut kepadamu? Kebetulan sekali engkau ikut datang karena kalau tidak, akulah yang akan mencarimu untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana yang secara licik telah engkau curi dariku!"

Sutejo melangkah maju mendekat dan berkata dengan lantang sehingga suaranya terdengar oleh semua orang. "Priyadi, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku adalah pemilik yang sah dari Pecut Sakti Bajrakirana. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik telah memberikannya kepadaku. Akan tetapi dengan curang sekali Bhagawan Jaladara telah merampasnya dari tanganku, kemudian dia memberikan pecut itu kepadamu untuk menarikmu menjadi antek Wirosobo! Sekarang engkau masih bermuka tebal untuk mengatakan bahwa aku yang mencuri pecut milikku sendiri ini dari tanganmu?"

Tiba-tiba terdengar suara tawa lantang dari rombongan Priyadi. Resi Wisangkolo melangkah maju di samping Priyadi sambil mengamangkan tongkat ularnya yang berwarna hitam sambil barseru dengan nada mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Setelah Sutejo maju bertanding dengan anakmas Priyadi, lalu siapa lagi yang akan mampu menandingiku? Hayo, orang-orang Mataram, kalau ada yang berani, boleh maju melawan aku Resi Wisangkolo!"

Wandansari yang dalam perjalanan tadi sudah berbincang-bincang dengan Sutejo dan telah mendengar keterangan pemuda itu tentang tingkat kepandaian semua orang yang membantunya melakukan penyerbuan ke perguruan Jatikusumo, maklum bahwa diantara para pembantu itu tidak ada yang akan mampu menandinggi kedigdayaan Resi Wisangkolo. Maka sebelum ada yang menjawab tantangan kakek resi yang sombong itu, Puteri Wandansari melangkah maju dan suaranya terdengar lantang.

"Resi Wisangkolo, sudah lamaaku mendengar akan kesesatanmu! Sebagai seorang resi engkau telah menyeleweng dari pada kebenaran, mengandalkan kedigdayaan untuk bertindak sewenang-wenang. Jangan mengira bahwa tidak ada yang akan berani menandingimu. Akulah lawanmu!"

Semua orang terkejut, Mereka sudah tahu bahwa resi itu memiliki kesaktian yang hebat. Bagaimana puteri istana yang masih muda ini akan mampu menandinginya? Juga Cangak Awu merasa khawatir sekali. Akan tetapi Sutejo hanya tersenyum. Dialah yang cukup maklum bahwa sang puteri yang cantik jelita dan halus itu sebetulnya telah memiliki kesaktian yang tidak berapa jauh selisihnya dibandingkan dengan dia sendiri. Sang puteri itu telah menerima gemblengan dari mendiang Resi Limut Manik, bahkan telah menerima pedang pusaka ampuh Kartika Sakti berikut kitab ilmu pedang itu yang merupakan ilmu pamungkas dari Resi Limut Manik di samping ilmu Bajrakirana! Karena itu Sutejo tidak merasa khawatir melihat sang puteri itu maju hendak menandingi Resi Wisangkolo.

Ki Klabangkolo tidak mau kalah. Diapun melangkah maju dan menantang sambil memandang ke arah rombongan Puteri Wandansari. "Dan siapa di antara kalian yang berani menandingiku?" teriaknya dengan suara parau. Biarpun dia tidak memegang senjata apapun karena datuk ini memang tidak pernah mempergunakan senjata, namun dia tampak menakutkan Tubuhnya tinggi besar dan mukanya yang brewok itu mirip muka singa.

Retno Susilo yang tahu akan kedigdayaan kakek ini hendak maju, akan tetapi ia didahului, ayah Sutejo. Ki Harjodento yang lebih dulu maju menghadapi Ki Klabangkolo. "Akulah yang akan menandingimu!" katanya dengan tegas.

"Hua ha ha, manusia lancang dan bosan hidup. Siapa engkau, berani melawan Ki Klabangkolo baburekso Pegunungan Ijen?" bentak Ki Klabangkolo sambil tertawa mengejek.

"Ki Klabangkolo, perkenalkanlah calon lawanmu ini. Aku bernama Harjodento, ketua perguruan Nogo Dento dan aku tidak akan mundur selangkahpun untuk melawanmu!"

Diam-diam Ki Klabangkolo terkejut, tentu saja dia pernah mendengar nama besar ketua Nogo Dento ini.

Bhagawan Jaladara juga maju dan menantang. "Siapa berani melawan aku?"

Terdengar jawabnya nyaring. "Akulah lawanmu, manusia iblis. Aku akan membalaskan kematian orang-orang tak berdosa yang telah menjadi korban kejahatanmu!"

Yang berseru ini bukan lain adalah Retno Susilo yang telah mencabut pedang pusaka Nogo Wilis karena kakek itu juga sudah memegang tongkat hitamnya. Sekarsih yang melangkah maju segera dihadapi oleh Padmosari, isteri Ki Harjodento yang masih tampak cantik itu. Ibu kandung Sutejo ini adalah seorang wanita yang memiliki kesaktian yang cukup tinggi, dan suaminya yang cukup mengenal kedigdayaan isterinya, tidak merasa khawatir ketika Padmosari menyambut tantangan Sekarsih.

Ketika Tumenggung Janurmendo maju, dia segera disambut oleh Cangak Awu yang dibantu oleh Pusposari yang mendampingi tunangannya itu. Sedangkan Maheso Kroda sudah dihadapi oleh ayah dan paman Retno Susilo, yaitu Mundingsosro dan Mundingloyo, dua orang pimpinan perkumpulan Sardulo Cemeng. Biarpun tidak ada yang memberi komando, kedua pihak sudah mulai bergerak dan saling terjang sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian.

Seorang perwira pembantu Puteri Wandansari telah memanggil pasukan yang tadinya mengepung perkampungan itu dan kini mereka berkumpul di depan pintu gerbang. Akan tetapi perwira itu tidak memberi aba-aba untuk menyerang karena pihak anak buah lawan juga belum bergerak dan dia masih menanti komando dari Puteri Wandansari yang telah mulai bertanding dengan lawannya.

Perwira itu bersama pasukannya hanya menonton dengan, penuh kewaspadaan. Mereka tahu bahwa para pimpinan mereka sedang bertanding, melawan pimpinan lawan yang tangguh. Mereka hanya mengharapkan para pimpinan mereka akan keluar sebagai pemenang, karena kemenangan pimpinan akan memperbesar semangat bertempur mereka untuk menggempur musuh.

Pertempuran itu sungguh dahsyat. Terutama sekali pertandingan, yang terjadi antara Sutejo melawan Priyadi. Priyadi memegang kerisnya yang mengeluarkan sinar berkilat, yaitu keris pusaka liat Nogo yang berhawa panas. Adapun Sutejo yang telah tahu betapa saktinya orang yang dilawannya, juga sudah melolos Pecut Bajrakirana dan memegang gagang pecut itu dengan tangan kanannya, siap menghadapi terjangan lawan.

Sejenak mereka memasangkuda-kuda tanpa bergerak, hanya mata mereka saja saling tatap dengan tajam, seperti dua ekor ayam jantan hendak berlaga mengukur kekuatan lawan melalui tatapan mata. Diam-diam Priyadi mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo untuk membuat lawan lemah dan mengantuk agar mudah dia serang dan robohkan. Sutejo dapat merasakan ini karena tiba-tiba saja sepasang matanya merasa pedas dan mengantuk. Hampir saja dia menguap, akan tetapi karena menyadari bahwa ini merupakan pengaruh ilmu lawan, cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawannya. Kesadarannya kembali sepenuhnya dan rasa lelah dan mengantuk itupun lenyap.

Maklum bahwa lawannya tidak mempan diserang dengan Aji Penyirepan Begonondo, Priyadi menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan keadaan sekelilingnya, membuat semua orang terkejut. Terutama sekali Sutejo yang diserang langsung dengan Aji Jerit Nogo ini merasa seperti ada halilintar menyambarnya! Akan tetapi pemuda ini segera mengerahkan tenaga sakti untuk menolak dan diapun tidak terguncang oleh serangan melalui pekik melengking itu.

Melihat ini. Priyadi lalu menerjang dengan kerisnya. Keris liat Nogo yang berhawa panas itu menyambar dengan tusukan kilat ke arah dada Sutejo. Serangan itu amat dahsyatnya dan seandainya mengenai dada Sutejo, kiranya aji kekebalan yang dikuasai Sutejo tidak akan kuat menahannya. Namun, dengan gerakan yang indah dan cepat sekali Sutejo telah menghindarkan diri dengan lompatan ke belakang, kemudian dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya.

"Tar-tarr... syuuuuuttt...!" Ujung pecut menyambar ke arah kepala Priyadi. Priyadi juga maklum akan ampuhnya, pecut pusaka yang menjadi benda keramat bagi Jatikusumo itu, maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Dia mengelak dengan merendahkan diri lalu menubruk lagi ke depan, kerisnya menusuk ke arah leher lawan! Sutejo menyambut serangan itu dengan membalikkan pecutnya sehingga ujung pecut menangkis keris.

"Crinnggg...!" Tampak bunga api berpijar ketika keris bertemu ujung perut dan keduanya tergetar ke belakang. Mereka lalu saling menyerang dengan dahsyatnya. Ujung pecut menyambar-nyambar dengan lecutan maut, dibela tusukan-tusukan keris yang kalau mengenai sasaran tentu akan merenggut nyawa. Bahkan kadang-kadang tangan kiri mereka melakukan serangan pula dan serangan tangan kiri sebagai selingan ini tidak kalah hebatnya dari serangan senjata mereka karena Priyadi menggunakan tangan kirinya untuk memukul dengan Aji Pamungkas Margopati sedangkan Sutejo juga mempergunakan Aji Pamungkas Bromo kendali.

Pertandingan antara Wandansari melawan Resi Wisangkolo juga hebat sekali. Ketika mereka mulai bertanding, Resi Wisangkolo memandang rendah lawannya. Hanya seorang dara jelita yang masih amat muda! Bagaimana akan mampu menandinginya? Sang resi yang tidak mudah lagi terpikat wajah cantik, tidak seperti watak Ki Klabangkolo yang masih mata keranjang, sekali ini terpesona oleh kecantikan Puteri Wandansari dan timbul niat buruknya untuk mempermainkan dara bangsawan itu.

Dia menggerakkan tongkat ular hitamnya dengan cepat dan kuatnya. Serangan pertama dia tujukan ke arah dada sang puteri, dengan maksud untuk mencolok dada mempergunakan tongkatnya secara kurang ajar sekali, sambil terkekeh.

"Singggg... trangggg...!" Bunga api berpijar-pijar dan kakek itu terkejut bukan main karena tangkisan pedang pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental keras dan telapak tangannya tergetar hebat! Sungguh bukan tenaga sembarangan yang mampu menggerakkan pedang sekuat itu!

Senyumnya mulai berubah masam, akan tetapi tetap saja dia masih memandang ringan. Lengan kirinya yang panjang itu terjulur ke depan, cepat sekali menuju ke pundak Puteri Wandansari untuk menotok jalan darah.

"Haiiiittt...!" Sang puteri membentak nyaring diikuti gerakan pedangnya yang mendesing dan dengan amat kaget Resi Wisangkolo terpaksa harus menarik kembali tangannya kalau tidak ingin pergelangan tangannya terbacok pedang! Bukan main aneh dan cepatnya gerakan pedang di tangan puteri itu!

Kini mulai lenyaplah keheranannya tadi mengapa seorang puteri muda berani menentangnya. Kiranya puteri dari Sultan Agung ini memang sakti mandraguna. Teringatlah Resi Wisangkolo akan kesaktian Sultan Agung, maka diapun tidak berani lagi memandang rendah.

"Bagus! Engkau ingin melihat kesaktian Resi Wisangkolo?" teriaknya dan kini tongkat ular hitamnya bergerak cepat sekali, berubah menjadi segulungan sinar hitam yang bergelombang datangmenerjang ke arah Puteri Wandansari.

Akan tetapi, puteri itu tidak percuma menjadi puteri Sultan Agung, apa lagi ia telah menerima gemblengan khusus dari Resi Limut manik. Iapun segera mainkan ilmu pedang Kartika Sakti dan pedangnya lenyap berubah menjadi segulungan sinar yang berkeredepan menyilaukau mata. Pedang itu adalah pusaka yang dikeramatkan oleh perguruan Jatikusumo, sebatang pedang langka yang kabarnya terbuat dari logam yang berasal dari bintang jatuh. Kuatnya melebihi baja dan ampuh bukan main! Apalagi dimainkan dengan ilmu pedang Kartika Sakti yang memang khusus dirangkai untuk pedang pusaka itu.

Kini tubuh sang puteri seperti dilindungi oleh gulungan sinar yang teramat kuat. Ke arah manapun tongkat ular hitam menyambar, selalu membalik dan terpental ketika bertemu dengan gulungan sinar itu. Bukan dalam pertahanan saja ilmu pedang Kartika Sakti itu amat kuat, melainkan juga dalam penyerangan. Sambil bertahan dengan kokoh kuat, kadang dari gulungan sinar putih berkeredepan itu mencuat sinar kilat, yaitu ketika pedang itu membuat gerakan membalas dengan serangan yang amat cepat dan kuat. Dan setiap kali pedang itu menyerang, baik menusuk ataupun membacok, selalu yang dituju adalah bagian-bagian yang lemah dan berbahaya dari tubuh lawan!

Beberapa kali Resi Wisangkolo mengeluarkan seruan kaget dan heran. Makin lama malin lenyaplah sikapnya yang sombong memandang rendah tadi. Kini mulailah dia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya untuk menandingi puteri itu. Bahkan dia menyelingi serangan tongkatnya dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dengan pengerahan Aji Guntur Bumi, bahkan juga mengeluarkan Aji Pamungkasnya Guntur Geni.

Namun, aji-aji pukulan yang amat ampuh dan kuat itu tertahan oleh gulungan sinar putih pedang Kartika Sakti dan hanya dapat membuat sang puteri terpental mundur dua tiga langkah saja? Biarpun demikian, diam-diam Puteri Wandansari harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, memiliki kedigdayaan yang luar biasa. Kalau saja ia tidak menguasai ilmu pedang Kartika Sakti dan tidak memegang pedang pusaka itu, tentu ia sudah, kalah dan dapat dirobohkan lawan yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi untung baginya, pedangnya amat ampuh dan ilmu pedangnya juga, merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang dapat membendung serangan lawan sehingga ia masih mampu bertahan dan bahkan balas menyerang. Biarpun ia lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun kiranya tidak akan mudah dan akan berlangsung lama sebelum kakek itu mampu mengalahkannya.

Perkelahian antara Ki Klabangkolo yang ditandingi Ki Harjodento juga berlangsung seru dan hebat sekali. Ki Klabangkolo yang tidak biasa mempergunakan senjata itu sekali ini juga hanya mengandalkan kaki tangannya yang besar dan panjang. Akan tetapi karena kakek ini memiliki sepasang lengan yang kebal, maka sepasang tangannya, itu sudah merupakan senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Dengan mempergunakan Aji Singarodra gerakan dan ulahnya tiada bedanya seperti gerakan seekor singa yang mengamuk!

Serangan-serangan berupa tubrukan dan cakaran kedua tangannya, kadang diseling tendangan kedua kakinya yang panjang, diperkuat dengan gerengan yang menggetarkan kalbu. Gerengan itu bukan sembarang teriakan, melainkan Aji Pekik Singanada yang mempunyai wibawa seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan lawan.

Akan tetapi yang dilawan Ki Klabangkolo sekarang bukanlah orang sembarangan. Ki Harjodento adalah seorang pendekar yang sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, sudah banyak pengalamannya bertanding dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dengan pengalamannya yang banyak dan pengetahuannya yang luas, Ki Harjodento dapat menahan serangan Pekik Singanada dari lawannya itu. Getaran-getaran yang diakibatkan pekik itu dapat ditahannya dengan pengerahan tenaga saktinya. Dia mainkan tombaknya dengan gerakan yang mantap dan kuat sekali. Bukan hanya pertahanannya yang kokoh, melainkan serang baliknya juga amat berbahaya.

Ketua perkumpulan Nogo Dento ini maklum bahwa lawannya memiliki aji kekebalan yang amat, kuat, maka ujung tombaknya selalu menyerang bagian-bagian yang lemah seperti mata, tenggorokan, bawah pusar sehingga serangan-serangannya cukup membuat Ki Klabangkolo kerepotan karena harus melindungi bagian-bagian lemah yang terancam itu dengan tangkisan tangan atau elakan. Serang menyerang terjadi antara dua orang jago tua ini dan sukar diramalkan siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Memang tepat sekali pilihan lawan pihak Puteri Wandansari.

Semua ini atas petunjuk Sutejo yang pernah menghadapi semua lawan itu. Sutejo dapat mempertimbangkan siapa di antara anggota rombongan Puteri Wandansari yang akan mampu menandingi anggota pihak lawan. Karena itulah, ketika tadi pihak lawan memunculkan jago-jagonya, pihak Puteri Wandansari sudah siap seseorang untuk menandinginya, seperti telah diatur dan ditentukan sebelumnya.

Mungkin yang paling hebat dan sengit di antara mereka yang bertanding itu adalah pertandingan antara Bhagawan Jaladara yang melawan Retno Susilo. Mula-mula Bhagawan Jaladara memandang rendah lawannya. Akan tetapi, setelah menerima gemblengan lagi dari gurunya. Nyi Rukmo Petak atau Ken Lasmi, tingkat kepandaian Retno Susilo telah meningkat dengan hebat Bukan saja ia telah menguasai Aji Gelap Sewu, pukulan yang amat hebat, dan juga Aji Wiso Sarpo yang mengandung racun ular-ular berbisa yang amat berbahaya, ia juga mempunyai sebatang pedang pusaka, yaitu Pedang Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan.

Apalagi Retno Susilo yang berwatak keras itu sudah mendengar akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan Bhagawan Jaladara terhadap pria yang dikasihinya hal ini membuat ia merasa benci sekali dan ia berkelebat dengan ganas bukan main. Pedang Nogo Wilis di tangannya bergerak amat cepat sehingga tidak tampak bentuknya, berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung.

Bhagawan Jalalara menjadi terkejut bukan main. Setelah dia memainkan tongkat hitamnya dan ke manapun dia menyerang, selalu tongkat hitamnya terpental ketika bertemu sinar hijau, mereka tahulah dia bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu seorang yang memiliki kesaktian. Bahkan setiap kali tongkatnya bertemu dengan pedang hijau itu dengan keras sekali, dia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan tergetar. Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini. Bahwa dia seorang datuk persilatan yang tangguh, tokoh ke tiga dari perguruan Jatikusumo, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda yang belum tentu ada dua puluh tahun usianya!

Saking penasaran, beberapa kali dia menggunakan tangan kirinya untuk mengirim pukulan tenaga sakti dalam Aji Gelap Musti. Pukulannya itu hebat sekali, mendatangkan angin yang dahsyat menyambar ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan berani menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Sewu yang tidak kalah dahsyatnya, setiap kali dua tenaga sakti itu bertemu, Bhagawan Jaladara terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Dengan marah dan nekat BhagawanJaladara lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh ilmunya untuk menyerang. Retno Susilo menyambut dengan semangat bernyala-nyala dan merekapun saling serang dengan sengitnya.

Sekarsih yang cantik genit dan juga tangguh itu, sebagai murid tersayang Ki Klabangkolo, memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang dapat mengimbanginya, yaitu Padmosari, isteri Ki Harjodento. Sebagai isteri ketua Nogo Dento yang sakti Padmosari juga menguasai aji kanuragan yang tinggi dan ketika ia memainkan kerisnya, ia bagaikan sekor singa betina yang tangkas dan berbahaya. Sekarsih menggunakan pedangnya, namun semua serangan pedangnya dapat dihindarkan oleh Padmosari dengan elakan atau tangkisan kerisnya. Dua orang wanita yang sama cantiknya ini bertanding mati-matian, saling serang dan saling desak dalam keadaan yang seimbang.

Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan hebat, menggunakan keris pusakanya yang disebut Jalu Sarpo. Akan tetapi dia dikeroyok oleh Cangak Awu dan tunangannya, Pusposari. Cangak Awu adalah murid ke empat dari mendiang Bhagawan Sindusakti ketua Jatikusumo dan dia seorang pemuda gagah perkasa, tinggi besar yang memiliki tenaga raksasa sehingga permainan tongkatnya amat menggiriskan.

Adapun Pusposari yang cantik manis adalah anak angkat dan murid dari Ki Harjodento. maka tentu saja sejak kecil ia sudah digembleng dengan aji kanuragan yang membuat ia kini menjadi seorang gadis yang tangguh. Biarpun Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan keris pusakanya, dan menyelingi serangan kerisnya dengan pukulan tenaga sakti Aji Wisang Geni, namun sepasang kekasih itu bekerja sama dengan rapi dari kanan kiri membuat senopati Wirosobo itu menjadi cukup repot.

Demikian pula dengan Maheso Kroda. Kepala perampok tinggi besar bermata lebar yang sudah menjadi sekutu Priyadi ini mengamuk dengan senjatanya, sebatang keris yang besar. Namun yang dihadapinya adalah kakak beradik yang menjadi pimpinan perkumpulan Sardula Cemeng, yaitu Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, ayah dan paman Retno Susilo. Biarpun tingkat kepandaian Maheso Kroda masih lebih tinggi dibandingkan lawan, akan tetapi karena kakak beradik itu maju bersama dan mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan kompak sekali maka Maheso Kroda juga merasa kuwalahan menghadapi terjangan mereka.

Ki Mundingsosro bersenjata golok sedangkan adiknya, Ki Mundingloyo menggunakan sebatang tombak trisula. Biarpun yang bertanding itu hanya tujuh pasang, namun pertempuran itu hebat sekali. Angin pukulan menyambar-nyambar membuat pohon-pohon bergoyang seperti diamuk angin badai dan debu mengepul tinggi. Suara senjata bertemu berdencingan dan tampak bunga api berpijar-pijar di sana sini Semua ini diseling pekik-pekik yang mengandung hawa sakti membuat semua anak buah yang hanya menonton merasa tergetar dan tegang.

Priyadi kini mulai terdesak hebat oleh Sutejo. Priyadi sudah mengerahkan seluruh tenega dan mengeluarkan seluruh ilmunya, namun semua ilmunya dapat dipunahkan oleh kehebatan Pecut Sakti Bajrakirana yang menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Beberapa kali hampir saja kepala Priyadi dapat dipatuk ujung pecut, membuat dia terkejut dan terhuyung ke belakang. Priyadi juga melihat bahwa kawan-kawannya juga agaknya kerepotan menghadapi lawan masing-masing. Bahkan Resi Wisangkolo yang dia andalkan itu belum juga mampu mengalahkan Puteri Wandansari. Mulai patah semangat Priyadi.

Tiba-tiba kembali pecut lawannya menyambar dan meledak di atas kepalanya. "Tar-tar-tar...... !!" Priyadi menjadi marah sekali. Pecut Bajrakirana itu sungguh membuat dia kewalahan. Tiga kali dia menggerakkan kecil pusaka Liat Nogo untuk menangkis, kemudian secepat kilat tangan kirinya menghantam dengan pengerahan Aji Margopati. Melihat ini, Sutejo cepat menyambut pukulan itu dengan Aji Bromo kendali yang amat dahsyat.

"Blarrrr...!!" Demikian hebatnya pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, tubuh Priyadi terhuyung dan pada saat itu, Pecut Bajrakirana telah menyambar lagi ke arah kepalanya, Priyadi cepat mengelak. "Tarr......!!"Ujung pecut itu luput mengenai kepalanya, akan tetapi masih melecut punggungnya dan merobek bajunya. Juga kulit punggungnya lecet berdarah. Priyadi terkejut, cepat menjatuhkan tubuhnya ke samping lalu bergulingan menjauh. Ketika dia melompat bangun, dia berteriak kepada anak buahnya.

"Serbuuu...!!"Teriakan ini amat nyaring dan begitu besar pengaruhnya karena pada saat itu, seluruh anak buahnya yang terdiri dari dua ratus orang lebih sudah bersorak dan menyerbu keluar!

Perwira Mataram yang telah mendapat tugas dari Puteri Wandansari untuk memimpin pasukan, sudah dipesan oleh sang puteri bahwa pasukannya baru boleh bergerak kalau anak buah Jatikusumo mulai menyerang. Kini melihat anak buah Jatikusumo keluar sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata, diapun memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyambut serbuan itu. Terjadilah pertempuran hebat di pagi hari itu. Para anak buah pasukan mendapatkan lawan masing-masing dan tidak berani mencampuri para pimpinan yang sedang bertanding.

Sutejo kehilangan Priyadi yang menghilang ke dalam perkampungan Jatikusumo. Dia merasa penasaran dan cepat melakukan pengejaran, menyelinap ke dalam perkampungan yang sudah ditinggalkan oleh semua anak buah Jatikusumo yang kini telah bertempur di luar perkampungan. Sutejo memasuki bangunan induk dan mencari Priyadi. Akan tetapi yang ada hanya dua orang gadis yang tampak ketakutan dan saling rangkul di ruangan belakang. Tidak tampak seorangpun pelayan, agaknya mereka semua telah menyembunyikan diri. Ketika melihat Sutejo kedua orang gadis itu tampak semakin ketakutan.

"Katakan, di mana adanya si jahanam Priyadi?" tanya Sutejo kepada mereka, Ketika melihat sikap Sutejo yang menyebut jahanam kepada Priyadi, dua orang gadis itu hilang rasa takutnya, Mereka adalah dua orang gadis dusun yang semalam dipaksa melayani Priyadi dan mereka amat membenci laki-laki itu.

"Ke sana... dia lari ke sana...!" Gadis tertua menunjuk ke pintu yang menembus ke bagian belakang rumah itu. Melihat ini, Sutejo lalu melompat dan melakukan pengejaran.

Ketika Sutejo tiba di luar rumah bagian belakang, dia masih dapat melihat sesosok bayangan berlari cepat menuju ke kebun belakang, ke arah perbukitan yarg berada di belakang kebun itu. Dia segera mengerahkan Aji Harina Legawa dan melompat dengan cepatnya, lalu berlari seperti terbang melakukan pengejaran. Dia mendaki perbukitan di bagian belakang perkampungan Jatikusumo akan tetapi kehilangan jejak Priyadi.

Melihat sebuah sumur tua, Sutejo menghampiri sumur itu. Dia berdiri di tepi sumur, yang letaknya agak meninggi, lalu memandang ke sekeliling. Tidak tampak bayangan Priyadi. Kemudian dia mendapat sebuah pikiran. Jangan-jangan Priyadi bersembunyi di dalam sumur ini! Lalu dia menjenguk ke dalam sumur. Tidak tampak sesuatu, hanya hitam gelap. Kalau memang benar Priyadi bersembunyi di dalam sumur tua itu, berbahaya sekali untuk mengejarnya. Di dalam demikian gelap dan dia tidak tahu apa yang terdapat di dasar semur.

Suara pertempuran masih terdengar dari situ. Ramai terdengar teriakan-teriakan mereka yang bertempur mati-matian, Dia teringat akan ayah ibu, Puteri Wandansari, Retno Susilo dan yang lain-lain. Mereka mungkin membutuhkan bantuannya. Lebih baik dia kembali ke sana. Tiba-tiba saja, pada saat itu terdengar bentakan nyaring.

"Hyaaaaattt!!" Pukulan itu datangnya dahsyat bukan main, disertai angin pukulan yang amat kuat. Itulah Aji Margopati yang dipergunakan oleh Priyadi yang memukul dari belakang. Kiranya tadi dia bersembunyi di balik batu besar di dekat sumur itu dan selagi Sutejo menjenguk ke dalam sumur dan membelakanginya, dia memukul dengan Aji Margopati sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Sutejo tidak dapat mengelak sepenuhnya, maka dia dapat memutar tubuh mengangkat tangan untuk menangkis sambil mengerahan aji kekebalannya.

"Desss....!!" Karena kedudukannya yang tidak menguntungkan itu, sedang berjongkok di tepi sumur sambil membalikkan tubah menangkis, pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebatç’¶ya membuat tubuh Sutejo terjungkal ke dalam sumur tua itu!

"Ha ha ha-ha, mampus engkau, Sutejo!" Priyadi tertawa-tawa sambil berjongkok dan menjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Priyadi ketika pada saat itu, tubuh Sutejo melayang naik dari dalam sumur!

Kiranya Sutejo ketika terjungkal tadi, tangannya meraih dan kebetulan sekali tangan kirinya dapat menangkap sebuah batu besar yang menonjol di dinding sumur. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan sekali mengenjot tubuhnya bertumpu pada batu itu, tubuhnya melayang naik ke atas, melewati tubuh Priyadi yang sedang berjongkok. Setelah tiba di atas. karena tidak ingin didahului lawan yang pasti akan menyerangnya lagi, Sutejo berjungkir balik seperti seekor burung srikatan dan pergelangan tangan kanannya bergerak.

"Tar-tarrr... cuiiiittt...!!"Ujung pecut Bajrakirana menyambar ke arah mata dan ubun- ubun kepala Priyadi dengan kecepatan kilat.

Ternyata dalam keadaan melayang jungkir balik dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Sutejo mampu melakukan serangan yang amat hebat, Priyadi tidak sempat mengelak terhadap sambaran kedua yang mengarah ubun-ubun kepalanya. Maka dia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap ujung pecut yang menyambar ke arah ubun-ubunnya. Akan tetapi pada saat itu, secepat kilat Sutejo menyusulkan pukulan Bromo kendali dari atas, Hebat bukan main pukulan jarak jauh ini, mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Priyadi masih berusaha untuk miringkan tubuh, namun pundaknya terdorong keras dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya terjengkang masuk ke dalam sumur tua!

Sutejo turun di tepi sumur, berdiri dan siap sedia untuk bertanding lagi kalau Priyadi dapat keluar dari sumur. Dia mendengar suara gedebukan di bawah sana, lalu terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuknya meremang karena suara tawa itu menyeramkan sekali, bukan seperti tawa manusia, melainkan suara iblis yang tertawa! Kemudian, terdengar jeritan melengking berkali-kali, jeritan mengandung rintihan kesakitan yang makin lama semakin mengerikan seolah olah peneriaknya itu menderita kesakitan yang amat hebat.

"Auuurrrggghhh... ah-ah-auurrhh...!!"

"Hua-ha-ha-haha-ha!" Suara tawa iblis itu terdengar menyelingi pekik kesakitan. Pekik itu makin melemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Sunyi di bawah sana. Sutejo tertegun, masih tegang oleh pekik melengking dan tawa mengerikan tadi. Dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadidi bawah, di dasar sumur itu dan diapun tidak ingin menuruni sumur dan melihatnya, dapat menduga bahwa di dalam sumur itu terdapat bahaya yang menakutkan. Ketika dia mendengar teriak-teriakan mereka yang bertempur, Sutejo lalu melompat dan berlari cepat menuruni bukititu menuju ke depan perkampungan Jatikusumo yang telah menjadi medan pertempuran.

Kalau Sutejo dapat melihat ke dalam sumur, dia akan menyakitkan penglihatan yang mendirikan bulu roma karena amat menyeramkan. Ternyata ketika Priyadi terjatuh ke dalam sumur, di dasar sumur telah menanti Resi Ekomolo yang lumpuh kedua kakinya. Kakek menyeramkan seperti Jerangkong itu tadi mendengar keributan di luar sumur, maka dia lalu berlompatan ke dasar sumur, mengharapkan akan ada yang mau menolongnya keluar dari sumur itu.

Akan tetapi tiba-tiba ada orang melayang ke dalam sumur. Sepasang mata kakek itu yang sudah terbiasa di tempat gelap, segera dapat mengenal Priyadi! Amarah dan dendam yang meluap-luap timbul dalam hatinya ketika dia melihat Priyadi. Juga dia merasa girang sekali karena mendapat kesempatan untuk membalas dendam, maka dia mengeluarkan suara tawa seperti iblis, lalu bagaikan seekor binatang buas dia telah menerkam ke arah tubuh Priyadi yang terjatuh.

Priyadi telah terluka pundaknya oleh pukulan Aji Bromo kendali yang amat kuat, maka ketika terjatuh ke dalam sumur, dia tidak mampu mengatur keseimbangannya dan terbanting ke atas dasar sumur. Dia masih dalam keadaan nanar dan pundaknya seperti remuk rasanya ketika Resi Ekomolo menyerangnya. Tentu saja dia tidak dapat menghindar dan kedua tangan Resi Ekomolo yang jari-jarinya berkuku runcing seperti cakar setan itu telah mencengkeram lehernya dari kanan kiri dan tubuh kakek lumpuh itu telah menempel bagaikan seekor lintah di punggung Priyadi!

Cengkeraman yang mencekik leher itu luar biasa kuatnya sampai kuku-kuku sepuluh jari tangan itu menghunjam dan merobek kulit daging leher. Rasa nyeri yang amat hebat membuat Priyadi mengeluarkan pekik melengking kesakitan yang terdengar oleh Sutejo, diseling suara tawa Resi Ekomolo. Darah mengucur dari kanan kiri leher yang dicengkeram kedua tangan dan melihat darah, Resi Ekomolo yang bagaikan sudah menjadi gila karena terlalu lama tinggal di sumur neraka itu dan karena marah dan dendam, lalu menempelkan mulutnya ke leher yang berdarah dan menghisap darah mengacar keluar dari luka dileher Priyadi!

Priyadi merasa tidak mampu membebaskan diri dari cengkeraman yang mencekik leher itu dan dia merasa betapa rasa nyeri berdenyut-denyut menyiksa seluruh tubuhnya, terutama di bagian kepalanya. Rasa nyeri yang membuatnya hampir gila. Juga dia merasa semakin lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur keluar dan terus mengucur karena dihisap oleh kakek gila itu. Rasa nyeri yang amat sangat dan rasa diri semakin lemah menyadarkan Priyadi bahwa dirinya terancam maut, nyawanya sudah berada dalam cengkeraman maut. Maka, dia lalu menjadi nekat. Digenggamnya gagang keris pusaka liat Nogo, kemudian dengan sisa tenaganya yang masihada, dia menusukkan keris itu ke belakang punggungnya.

"Capppp...!" Keris itn menembus kulit daging, memasuki rongga dada Resi Ekomolo dan langsung menusuk jantung!

"Auuuggghhhh...!!" Resi Ekomolo menjerit, akan tetapi cengkeraman kedua tangan pada leher Priyadi tidak dapat terlepas lagi karena sepuluh jari tangannya sudah menancap dalam-dalam ke leher itu Priyadi roboh dan tubuh Resi Ekomolo terbawa roboh. Kedua orang itu tewas dalam saat yang hampir berbareng, keduanya mati dengan mata terbelalak! Roh mereka menjadi roh penasaran yang gentayangan dan menghantui sumur tua di bukit belakang perkampungan Jatikusumo itu!

Sutejo berlari cepat, kembali ke medan pertempuran. Setibanya di tempat itu, pertempuran masih berlangsung dengan seru dan hebatnya. Kini menjadi pertempuran besar karena semua orang di kedua pihak ikut bertempur. Darah tercecer di mana-mana. Tubuh-tubuh manusia yang terluka berat atau sudah tidak bernyawa lagi malang melintang dan tumpang tindih di sekitar tempat itu. Yang pertama-tama diperhatikan oleh Sutejo adalah Puteri Wandansari dan Retno Susilo. Retno Susilo ternyata mampu mendesak Bhagawan Jaladara, bukan saja pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar kehijauan itu mengurung dan mendesak Bhagawan Jaladara, bahkan agaknya pukulan Wiso Sarpo yang dipergunakan Retno Susilo telah mengejutkan pendeta itu karena ketika ditangkis, tangan kirinya terasa panas yang menembus ke tulang lengan sehingga dia dapat menduga bahwa ada hawa beracun yang amat kuat telah memasuki lengan kirinya.

Bhagawan Jaladara mulai menjadi panik, apalagi ketika dia melihat betapa rekan-rekannya juga banyak yang terdesak, bahkan anak buah Jatikusumo tampaknya tidak kuat melanda penyerbuan pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari itu. Melihat keadaan Retno Susilo sekilas tahulah Sutejo bahwa gadis itu tidak membutuhkan bantuannya dan perhatiannya dialihkan kepada Puteri Wandansari.

Berbeda dengan keadaan Retno Susilo, sang puteri ini tampaknya mengalami kesukaran untuk mengalahkan Resi Wisangkolo. Bahkan ia tampak terdesak oleh gerakan kakek itu yang amat menggiriskan. Tongkat ular hitam itu dapat ditahan oleh ilmu pedang Kartika Sakti, akan tetapi kakek itu menyelingi gerakan tongkatnya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dengan Aji Guntur Geni. Menghadapi pukulan sakti inilah sang puteri tampak kewalahan. Hanya karena ilmu pedangnya Kartika Sakti yang ampuh itu saja yang membuat sang puteri masih mampu bertahan, namun ia mulai terdesak mundur terus. Melihat ini, Sutejo segera melompat mendekati.

"Wisangkolo, resi sesat! Tibalah saatnya engkau menebus dosa-dosamu!" bentak Sutejo sambil menggerakkan Pecut Sakti Bajrakirana di tangannya.

"Tar-tar-tarrr....!" Sang Resi terkejut bukan main. Bukan hanya oleh sambaran ujung pecut yang menyerangnya bagaikan halilintar itu, melainkan juga karena munculnya Sutejo ini berarti bahwa Priyadi telah dikalahkan oleh pemuda ini. Dugaan ini membuatnya gentar, apa lagi dia pernah mengadu kesaktian melawan pemuda ini dan dia telah kalah. Kini melihat cambuk yang meledak-ledak di atas kepalanya itu, dia menangkis dengan tongkat hitamnya. Bertemunya tongkat hitam dengan ujung pecut membuat tangannya tergetar hebat dan diapun terhuyung ke belakang.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Puteri Wandansari untuk menggerakkan pedang pusaka Kartika Sakti yang menyambar ke arah leher Resi Wisangkolo dengan dahsyat sekali. Sang resi terkejut dan cepat mengelak. Ujung pedang bersinar hijau itu luput dari sasaran, tidak mengenai leher akan tetapi mengenai pundak kanan Resi wisangkolo.

"Singgg... crattt...!" Baju dan pangkal lengan dekat pundak terobek dan darah membasahi baju sang resi. Rasa perih dan nyeri pada pundaknya membuatnya menjadi marah dan nekat. Dia menubruk ke arah Sutejo sambil mengayunkan tongkat ular hitamnya, menyerang ke arah kepala pemuda itu. Namun Sutejo telah siap siaga. Cambuknya meledak dan ujung cambuk membelit tongkat lalu sekali tarik dengan pengerahan tenaga saktinya, tongkatnya terlepas dari pegangan tangan kanan Resi Wisangkolo. Kakek ini terkejut dan semakin marah. Tangan kirinya dihantamkan dengan Aji Guntur Geni. Hawa berapi keluar dari telapak tangan kiri itu menerjang ke arah Sutejo.

"Aji Bromokendali !" Sutejo berseru sambil menyambut pukulan itu dengan pukulannya yang merupakan aji pamungkas.

"Blarrr...!" Dua tenaga sakti yang amat kuat saling bertumbukan di udara dan akibatnya tubuh Resi Wisangkolo terjengkang dan roboh. Sebelum dia dapat bangkit berdiri, baru merangkak, sinar hijau berkelebat.

"Singgg... ceppp...!" Ujung pedang Kartika Sakti telah masuk menancap di lambungnya. Resi Wisangkolo yang sedang merangkak hendak bangkit itu roboh lagi dan tewas dalam genangan darahnya sendiri.

Setelah melihat betapa sang resi yang sakti itu tewas, Sutejo lalu melompat mendekati Retno Susilo yang sudah mendesak Bhagawan Jaladara. "Jaladara! Saatnya tiba bagimu untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan kejahatann mu kepada Eyang Resi Limut Manik!" teriak Sutejo dan Pecut Bajrakirana meledak-ledak di atas kepala Bhagawan Jaladara.

Sang bhagawan ini terkejut sekali. Melawan Retno Susilo saja dia sudah kewalahan, apa lagi sekarang ditambah Sutejo yang sudah dia ketahui kesaktiannya. Maka ketika Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepalanya. Bhagawan Jaladara cepat membuang dirinya ke belakang, terus bergulingan untuk menjauhkan diri, kemudian dia meloncat dan hendak melarikan diri di antara banyak orang yang sedang bertempur.

"Jahanam, jangan lari kau!" bentak Retno Susilo dan dara ini menggerakkan tangan kanan yang memegang gagang pedang Nogo Wilis. Dengan pengerahan tenaganya, ia melontarkan pedang itu ke depan. Sinar kehijauan meluncur dan menyambar ke arah tubuh Bhagawan Jaladara yang sudah mulai melarikan diri.

"Singggg... cappp... auugghhrrr...!" Tubuh Bhagawan Jaladara terjungkal ke depan dan roboh menelungkup, tidak bergerak lagi karena pedang Nogo Wilis sudah memasuki dadanya menembus jantung. Dengan sekali lompatan Retno Susilo sudah berada di dekat mayat bhagawan itu dan mencabut pedangnya, lalu membersihkan pedang yang berlepotan darah itu pada pakaian sang bhagawan.

Sutejo sudah berdiri di sampingnya dan pemuda ini menghela napas panjang, memandang kepada tubuh yang menelungkup tak bernyawa lagi itu. "Hemm. Paman Bhagawan Jaladara, ada jalan yang bersih, mengapa memilih jalan yang kotor?"

"Kakangmas Sutejo, mari kita bantu yang lain-lain! Lihat ayahmu juga belum dapat merobohkan Ki Klabangkolo!" kata Retno Susilo kepada pemuda yang termenung itu.

Sutejo sadar kembali dan memutar tubuhnya. Benar saja, dia melihat pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Dia melihat ayahnya sudah mendesak Klabangkolo akan tetapi belum dapat merobohkannya, bahkan ada dua orang anak buah Klabangkolo yang membantu datuk itu mengeroyok Harjodento. Juga ibunya, Padmosari, sudah mendesak Sekarsih yang dibantu dua orang anak buah, akan tetapi belum dapat merobobkannya.

"Kau bantulah ibuku, diajeng. Aku akan membantu ayah!" katanya.

Pada saat itu, Puteri Wandansari sudah tiba di dekat mereka dan puteri itu berkata, "Biarkan aku yang membantu Paman Harjodento dan Bibi Padmosari, kakangmas Sutejo."

Melihat sang puteri bicara kepada Sutejo, Retno Susilo memandang dengan alis berkerut. "Saya yang akan membantu mereka! Mereka adalah calon ayah dan ibu mertuaku!" kata Retno Susilo dengan suara ketus.

"Diajeng Retno!" Sutejo menegur, akan tetapi Retno Susilo sudah lari membawa pedangnya dan membantu Padmosari sehingga Sekarsih menjadi gentar. Dua orang pembantunya dalam beberapa gebrakan saja sudah roboh dan tewas oleh pedang bersinar hijau di tangan Retno Susilo itu.

"Maafkan diajeng Retno Susilo... Gusti Puteri..." kata Sutejo kepada sang puteri.

Puteri Wandansari tersenyum sehingga tampak lesung pipit di pipi kirinya dan ketika bibirnya terbelah, tampak kilatan gigi yang rapi dan putih seperti mutiara. "Mengapa engkau begini sungkan dan menyebutku gusti puteri, Kakang Sutejo? Jadi, Retno Susilo itu tunanganmu? Ah, ia sungguh gagah dan cantik, juga amat mencintamu, kakang. Aku mengucapkan selamat. Nah, bantulah ayahmu, aku akan membantu Kakang Cangak Awu dan yang lain-lain!

Setelah berkata demikian, Puteri Wandansari melompat dan membantu Cangak Awu dan Pusposari yang belum juga mampu mendesak Tumenggung Janurmendo yang tangguh. Sutejo juga berlari menghampiri ayahnya yang masih bertanding melawan Klabangkolo yang dibantu dua orang anak buahnya.

Setelah Retno Susilo membantu Padmosari, Sekarsih menjadi panik, karena dua orang yang membantunya sudah roboh dan kini sinar hijau bergulung-gulung menyerangnya dari segala penjuru, seolah ia dikurung oleh sinar hijau itu. Ia melawan mati-matian karena tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri. Namun, melawan Padmosari seorang saja ia tadi sudah kewalahan dan harus dibantu dua orang anak buah, apa lagi sekarang seorang diri ia harus melawan Padmosari yang dibantu oleh Retno Susilo yang bahkan lebih tangguh dan ganas dibandingkan isteri ketua Nogo Dento itu!

Pedang bersinar hijau itu menyambar-nyambar dan ketika Sekarsih menangkis dengan pedangnya, ia terdorong dan terhuyung ke belakang dan hampir saja pedang di tangannya terlepas! Selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, keris di tangan Padmosari menyambar ke arah perutnya. Sekarsih yang sedang terhuyung tidak dapat mengelak dan terpaksa menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kirinya bertemu ujung keris dan terluka. Pada saat itu, angin menyambar keras ke arahnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi tangan kiri Retno Susilo telah menghantam dadanya dengan Aji Wiso Sarpo!

"Desss...!!" Tubuh Sekarsih terjengkang dan ia tewas seketika karena pukulan Wiso Sarpo itu mengandung hawa beracun dari ular-ular yang paling ganas!

Harjodento masih bertanding ramai sekali menghadapi Ki Klabangkolo. Ki Klabangkolo hanya mengandalkan kaki tangannya dalam bertanding, namun kaki tangannya ini tidak kalah ampuh dibandingkan senjata tajam. Pukulan kedua tangannya mengandung angin pukulan yang bergelombang seperti badai! Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Ki Harjodento dan ketua Nogo Dento ini adalah seorang pendekar gagah perkasa yang sudah berpengalaman dalam bertanding melawan orang-orang tangguh. Apalagi dalam pertandingan ini dia mempergunakan senjata tombak panjang sehingga akhirnya Ki Klabangkolo merasa kewalahan juga.

"Klabangkolo manusia iblis! Bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!" teriak Sutejo dan dia sudah menerjang dengan senjata pecutnya.

"Tar-tar-tarrr...!" pecut itu meledak-ledak dan menari-nari di atas kepala Ki Klabangkolo seperti kilat yang menyambar-nyambar. Ki Klabangkolo terkejut bukan main. Dia melempar tubuh ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah. Ketika tombak di tangan Ki Harjodento meluncur, dia cepat menangkis dengan lengan kanannya sambil melompat bangun kembali. Akan tetapi pada saat itu ada angin dahsyat menyambar, membawa gelombang panas sekali.

"Aji Bromokendali!" Sutejo berseru dan melancarkan pukulan ampuh itu. Ki Klabangkolo terpaksa menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya karena tidak sempat mengelak lagi.

"Bllarrr...!"Tubuh, Ki Klabangkolo terjengkang dan selagi dia terhuyung dengan muka pucat dan kedua tangan menekan dada karena dia sudah terluka dalam, tiba-tiba Harjodento menyerang dengan tombaknya. Tombak meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Demikian cepatnya tombak itu menyambar sehingga Ki Klabangkolo yang sudah nanar itu tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.

"Blesss...!" Tombak memasuki dadanya sampai hampir tembus. Ki Harjodento cepat mencabut kembali tombaknya dan tubuh Ki Klabangkolo roboh terjungkal dan tewas seketika.

Sementara itu. Puteri Wandansari cepat membantu Cangak Awu dan Pusposari yang telah mendesak Janurmendo. Biarpun dikeroyok dua dan didesak. Janurmendo yang tangguh itu masih mampu mempertahankan diri.

"Janurmendo engkau telah ikut membunuh Eyang Resi Limut Manik! Rasakan sekarang pembalasanku!" teriak sang puteri dan ia sudah menyerang dengan pusaka Kartika Sakti, serangan Puteri Wandansari ini hebat bukan main, dahsyat sekali mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan cepat laksana halilintar. Tumenggung Janurmendo terkejut dan berusaha menangkis dengan kerisnya Jalu Sarpo.

"Trangg....!" Keris itu patah ujungnya bertemu dengan pedang pusaka Kartika Sakti dan pedang itu terus meluncur ke arah leher Janurmendo. Tumenggung yang digdaya ini masih sempat miringkan tubuhnya sehingga bukan lehernya yang terpenggal, melainkan ujung pundak yang robek terluka. Dia mengeluh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cangak Awu untuk menghantamkan tongkatnya yang berat ke arah tubuh lawan.

"Bukk!!" Lambung Janurmendo terhantam tongkat itu, keras sekali sehingga tubuhnya terlempar dan diapun roboh terbanting. Pedang Kartika Sari di tangan Puteri Wandansari bergerak cepat menusuk dada tumenggung itu dan habislah riwayat Tumenggung Janurmendo yang tewas seketika.

Pada saat itu, Maheso Kroda dikeroyok oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, dua orang pimpinan Sardulo Cemeng, juga telah roboh dan tewas di tangan kakak beradik ini. Robohnya semua pimpinan persekutuan Jatikusumo dan para tokoh Wirosobo ini membuat para anak buahnya menjadi gentar. Apalagi di antara mereka sudah banyak yang roboh dan tewas. Melihat bahwa mereka tidak mempunyai pimpinan lagi, maka berserabutanlah sisa mereka melarikan diri. Gerombolan itu dapat dibasmi.

Para orang gagah yang membantu penumpasan gerombolan itu, termasuk Retno Susilo, merasa kagum sekali melihat betapa Puteri Wandansari memimpin pasukannya membagi-bagi perintah dengan tegas, seperti seorang senopati yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sang puteri memerintahkan semua anggota keluarga gerombolan yang tertinggi di perkampungan Jatikusumo untuk berkumpul. Ia melarang pasukannya mengganggu para wanita dan kanak-kanak itu, bahkan lalu membagi-bagi harta yang tertinggal di situ kepada mereka, barulah menyuruh mereka meninggalkan perkampungan Jatikusumo. Juga ia membebaskan para wanita yang menjadi tawanan ditempat itu. Diapun memerintahkan pasukannya untuk menguburkan semua mayat dari korban pertempuran itu, baik mayat para musuh maupun mayat anggota pasukannya sendiri, kemudian membersihkan perkampungan itu.

Setelah tempat itu dibersihkan, Sang puteri mengumpulkan semua orang gagah yang telah membantunya dalam ruangan yang luas di mana, biasanya para murid Jatikusumo berlatih silat. Setelah mempersilakan semua orang duduk, ia bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,

"Saya merasa gembira sekali melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun di antara para saudara yang telah membantu kami mengalami cedera atau tewas. Atas nama Kerajaan Mataram kami mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara sekalian sehingga gerombolan pemberontak yang telah menguasai Jatikusumo dan bersekutu dengan Wirosobo dapat dibasmi. Kami mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar para saudara yang gagah perkasa suka membantu Mataram jika waktunya tiba untuk menundukkan para kadipaten yang memberontak terhadap Mataram. Sanggupkah saudara sekalian membantu kami?"

"Sunggup...!" Terdengar jawaban dari banyak mulut.

"Atas nama Kanjeng Rama Sultan Agung, kami mengucapkan terima kasih! Dan sekarang, mengingat bahwa perguruan Jatikusumo adalah perguruan orang-orang gagah yang telah dicemarkan oleh perbuatan Priyadi yang murtad dan berkhianat, maka sekarang perlu dibangkitkan kembali. Untuk itu, kami minta agar Kakang Cangak Awu suka memimpin Jatikusumo dan mengumpulkan kembali para murid lama yang melarikan diri, mengangkat murid-murid baru yang baik agar Jatikusumo berdiri sebagai perkumpulan yang gagah. Kami harap Kakang Cangak Awu tidak menolak untuk melaksanakan tugas yang mulia ini."

Cangak Awu merasa terharu dan dia mengangguk-angguk. "Saya akan menaati perintah Gusti Puteri Wandansari!" katanya dengan lantang sehingga terdengar oleh semua orang. Biarpun Sang puteri adalah adik seperguruannya sendiri, akan tetapi dalam keadaan seperti itu di mana banyak orang lain hadir, dia lebih suka menganggap sang puteri sebagai jujungannya dari pada sebagai adik seperguruan. "Karena murid pertama dan kedua, yaitu Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini telah tewas, dan murid ketiga si jahanam Priyadi juga sudah tewas menurut keterangan... saudara Sutejo, maka saya sebagai murid keempat berkewajiban untuk membangun kembali perguruan Jatikusumo!"

Dia agak canggung untuk menyebut Sutejo. Mau menyebut adimas, nyatanya dia akan berjodoh dengan Pusposari, adik Sutejo. Kalau menyebut kakangmas nyatanya dia lebih tua dibandingkan Sutejo. Maka agar aman, dia menyebut saja saudara!

Setelah mengatur kesemuanya sehingga keadaan di Jatikusumo beres, Puteri Wandansari lalu kembali ke kota raja memimpin pasukan Pasopati yang telah memperoleh kemenangan itu. Juga para pembantunya telah bubaran meninggalkan Jatikusumo.

Retno Susilo sengaja mengajak Sutejo untuk memisahkan diri dari yang lain ketika melakukan perjalanan kembali ke perkampungan Nogo Dento. Mereka menunggang kuda dan dua ekor kuda itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan perguruan Jatikusumo. Di sebuah lereng yang teduh, di mana terdapat sebuah hutan cemara yang indah, Retno Susilo menghentikan kudanya dan turun dari atas kuda, lalu duduk ke atas batu besar. Sutejo terpaksa turun pula dan duduk disebelahnya.

"Kakangmas, Puteri Wandansari itu sungguh hebat, ya?"

Sutejo tersenyum dan memandang wajah yang cantik jelita itu dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. Dia tahu bahwa tunangannya ini pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu. "Memang ia seorang puteri yang hebat diajeng."

"Hemm, engkau tentu kagum sekali kepadanya, bukan?" Retno Susilo kini menatap wajah kekasih hatinya penuh selidik.

Sutejo masih tetap tersenyum, lalu mengangguk. Dia harus jujur dan tidak perlu berpura-pura. "Memang sesungguhnyalah, aku kagum sekali kepadanya. Siapakah orangnya yang tidak kagum kepada Sang Puteri Wandansari? Ia seorang dara cantik jelita, puteri seorang raja besar, sakti mandraguna, bijaksana pula. Semua orang tentu kagum kepadanya!"

"Akan tetapi... engkau... engkau tidak cinta padanya, bukan?" Kini pandang mata itu mengandung kekhawatiran dan keraguan, memandang tajam seakan hendak menembus jantung dan menjenguk isi bati Sutejo.

Sutejo menundukkan mukanya sejenak, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah Retno Susilo sambil tersenyum. "Engkau ini ada-ada saja, diajeng. Aku ini siapa? Berani jatuh cinta kepada puteri raja! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung cendrawasih. Hanya bisa menjadi bahan ejekan dan tertawaan!"

"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, kakangmas. Bagiku, engkau cukup berharga untuk bersanding dengan seorang dewi kahyangan sekalipun!"

"Hemm, begitukah?"

"Akan tetapi, semua dewi dari kahyangan akan kumusuhi, kahyangan akan kuobrak-abrik kalau ada dewi yang hendak merebutmu dari hatiku!"

"Wah, cemburu, ya?" Sutejo menggoda.

"Tentu saja!" Retno Susilo mendekat dan mereka berangkulan.

Setelah terjadinya peristiwa penghancuran gerombolan di Jatikusumo itu, Sultan Agung yang mendengar akan semua pelaporan puterinya, lalu mengutus Senopati Suroantani untuk memimpin pasukan untuk melakukan ekspedisi ke Jawa Timur, untuk membujuk para Adipati dan Bupati agar mau bersatu dan tunduk kepada Mataram. Akan tetapi, usaha ini tidak ada hasilnya, bahkan beberapa kali pasukan yang dipimpin Senopati Suroantani mendapat serangan dari mereka. Akhirnya Senopati Suroantani membawa pasukannya kembali ke Mataram dan melaporkan kegagalannya.

Dalam tahun 1615, di bawah pimpinan Adipati Surabaya dan dengan Sunan Giri sebagai juru nasihat, bersatulah para bupati Lasem. Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan. Arisbaya (di Madura) dan sumenep menyerang ke Mataram! Akan tetapi penyerangan besar-besaran ini gagal dan persekutuan ini dikalahkan oleh tentara Sultan Agung. Hal ini terutama sekali kerena tentara gabungan dari JawaTimur yang memberontak kepada Mataram itu tidak memperoleh dukungan rakyat pedesaan sehingga mereka kekurangan makanan dalam perjalanan.

Sejak dahulu tercatat dalam sejarah bahwa perjuangan hanya dapat berhasil kalau didukung oleh rakyat jelata.

Pada tahun-tahun berikutnya, Sultan Agung mengerahknn pasukannya menyerbu ke JawaTimur dan berhasil menalukkan Wirosobo, Lasem dan Tuban. Dalam penyerbuan ini ikut pula para pendekar yang pernah membantu Puteri Wandansari ketika menyerbu Jatikusumo, termasuk pasangan Sutejo dan Retno Susilo, juga pasangan Cangak Awu dan Pusposari yang telah melangsungkan pernikahan kembar di perguruan Sardulo Cemeng.

Dalam tahun 1624, pasukan besar Mataram dipimpin oleh Senopati Kyai Sujono Puro menyerang Madura. Dalam penyerangan ini, Kyai Sujono Puro tewas dalam pertempuran. Lalu datang bala bantuan dari Mataram yang dipimpin oleh Senopati Kyai luru Kiting. Pasukan Mataram yang besar Jumlahnya ini menyerbu dan pasukan-pasukan Madura dikalahkan. Arisbaya, Pamekasan, Sumenep, Sampang dan Balega ditaklukkan.

Dalam kemenangannya ini Sultan Agung melakukan taktik yang amat bijaksana untuk menghilangkan rasa dendam dari daerah yang ditalukkannya, yaitu dengan jalan mengangkat Praseno, keponakan dari Bupati Arisbaya, menjadi Adipati yang menguasai seluruh Pulau Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat. Berkedudukan di Sampang. Tindakan yang bijaksana ini membuat Pangeran Cakraningrat selalu setia terhadap Sultan Agung.

Sultan Agung melanjutkan usahanya untuk menguasai seluruh jajaran Jawa Timur dengan maksud mempersatukan seluruh kekuatan untuk menghadapi kompeni Belanda. Setahun kemudian setelah Madura ditalukkan, dia memimpin pasukan menyerbu Kadipaten Surabaya. Jatuhlah Kadipaten Surabaya ketangan Sultan Agung!

Akan tetapi kembali Sultan Agung menunjukkan kebijaksanaannya. Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, tidak dihukum, bahkan dikawinkan dengan Puteri Wandansari dan diijinkan memerintah terus di Surabaya! Sungguh merupakan suatu kebijaksanaan yang membuktikan bahwa Sultan Agung bukan bermaksud menaklukkan semua daerah timur itu untuk meluaskan kekuasaannya, melainkan untuk mengajak mereka bersatu padu menentang kompeni Belanda.

Akan tetapi masih ada ganjalan bagi Sultan Agung, yaitu Sunan Giri yang belum juga mau tunduk. Dia memerintahkan kepada Adipati Surabaya untuk menundukkan Sunan Giri. Akan tetapi pasukan Surabaya itu dikalahkan oleh pasukan Sunan Giri. Akhirnya, Ratu Wandansari, yaitu puteri, Sultan Agung yang sudah menjadi isteri Adipati Surabaya atau Pangeran Pekik, memimpin sendiri pasukan yang istimewa dan kuat. Sang puteri yang gagah perkasa ini menggunakan pakaian seorang Senopati dan memimpin serangan yang kedua.

Pasukan Sunan Giri dapat dihancurkan dan Sunan Giri ditawan lalu dibawa ke Mataram. Akan tetapi kembali Sultan Agung memperlihatkan kebijaksanaannya, Sunan Giri dimaafkan, bahkan diangkat kembali menjadi pemimpin, hanya saja gelar yang boleh dipakai adalah Panembahan saja.

Kekuasaan Mataram menjadi semakin luas, Bahkan Cirebon dan Priangan mengakui kekuasaan Sultan Agung di Mataram. Pangeran Sumedang, yaitu Dipati Kusuma Dinata, diangkat menjadi wakil Sultan Agung di daerah Jawa Barat. Memang maksud Sultan Agung menundukkan semua daerah itu adalah untuk mencegah agar Kompeni Belanda tidak bisa mendapatkan kekuasaan memperluas pengaruhnya.

Mulailah Sultan Agung mengalihkan perhatiannya kepada Kompeni Belanda setelah daerah-daerah itu dapat dipersatukan dan mulailah perjuangannya menentang Kompeni Belanda yang berpusat di Batavia.

Sampai di sini selesailah sudah Kisah Pecut Sakti Bajrakirana dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembacanya.

TAMAT

SERI SELANJUTNYA SERULING GADING

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 17

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 17

KUDA yang ditunggangi Suroantani dan Sumarni berjalan di depan karena senopati itu menjadi petunjuk jalan, sedangkan orang tua Sumarni mengikuti dari belakang. Karena kedua ekor kuda itu terpisah beberapa meter jauhnya, Suroantani dan Sumarni dapat bercakap-cakap tanpaterdengar oleh dua orang suami isteri itu. Sumarni merasa semakin akrab dan dekat dengan Suroantani yang bukan saja telah menyelamatkan dirinya akan tetapi bahkan sudah menyelamatkan ia sekeluarga.

"Paman Suroantani..." katanya lirih karena yang diajak bicara berada dekat sekali di belakang nya sehingga ia merasa seolah bersandar di dada pria itu terutama kalau kuda itu membuat gerakan ke dspan sehingga tubuhnya agak tertarik ke belakang Merasa betapa dada yang bidang itu kokoh kuat menjadi sandaran kepala dan punggungnya.

"Hemmm....? Ada apakah, nimas?"

"Paman, tanpa adanya paman, kami sekeluarga tentu telah mengalami kecelakaan, dan mungkin sudah binasa. Sekarangpun, kami bertiga menyerahkan nasibkami sepenuhnya ketangan paman, karena kami Juga tidak tahu harus pergi bersembunyi ke mana."

"Jangan khawatir, nimas. Aku telah mempunyai rencana. Kalian akan kubawa ke perkumpulan Nogo Dento dan sementara kutitipkan di sana agar terbebas dari ancaman para penjahat itu "Paman terlalu baik, budimu terlalu besar bagi kami, paman. Akan tetapi aku sungguh merupakan orang yang hanya membikin susah orang lain saja. Aku sudah menyeret kedua orang tuaku ke dalam bahaya maut bahkan hampir saja mereka tewas karena aku, dan aku sudah pula menyusahkan paman sehinggapaman harus menentang bahaya dan menjadi repot sekali. Nasibku yang begini buruk agaknya membuat setiap orang yang dekat denganku menjadi susah pula..."

"Hemm, jangan berkata demikian, nimas. Engkau adalah seorang gadis yang baik dan aku siap untuk membelamu dan orang tuamu dengan segenap kekuatanku. Di perkampungan Nogo Demo engkau akan aman dan terlindung. Setelah nanti gerombolan yang menguasai Jatikusumo dapat dihancurkan, engkau dan orang tuamu dapat kembali ke dusun Jaten"

"Akan tetapi, kami akan selalu merasa ketakutan dan merasa terancam, paman. Hidup kami tidak akan tenteram lagi. Siapa tahu di antara gerombolan itu ada yang dapat lolos lalumenca riku di Jaten..."

"Kalau begitu, aku usulkan agar engkau dan orang tuamu pindah saja ke kota raja. Mataram agar aku dapat selalu melindungi kalian."

"Akan tetapi, di mana kami akan tinggal paman?"

"Di rumahku tentu saja. Rumahku cukup luas untuk menampung kalian bertiga."

"Ah, kami tentu akan merepotkan dan menyusahkan keluarga paman saja"

"Tidak ada yang direpotkan, nimas. Aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup seorang diri di rumahku."

"Apa? Paman belum... belum... beristeri?" tanya Sumarni heran. Bagaimana mungkin seorang laki-laki berusia empat puluhan, sudah memiliki kedudukan tinggi pula, masih membujang?

"Belum, nimas. Karena itu, aku sarankan agar kalian bertiga tinggal di rumahku sehingga aku, dapat melindungi kalian."

"Ahh, paman begitu baik! Kenapa paman begini baik terhadap diriku? Kenapa, paman Suroantani?"

"Entah mengapa... akan tetapi aku... aku kasihan sekali kepadamu dan aku... aku suka sekali padamu. Kalau engkau sudi, aku ingin melindungi dirimu selamanya, aku ingin engkau hidup bersamaku, menjadi isteriku..."

Kuda melompat kedepan dan punggung Sumarni menempel di dada Suroantani. Gadis itu dapat merasakan dengan punggungnya, betapa dada yang bidang itu berdenyut keras, sama kerasnya dengan debar jantungnya sendiri mendengar pengakuan dan lamaran itu. Pinangan yang aneh dilakukan di atas kuda selagi mereka berboncengan!

"Aku... sudi menjadi... isterimu paman? Ah, bukankah pertanyaan itu terbalik? sepantasnya aku yang bertanya apakah paman sudi kepadaku? Aku adalah seorang yang sudah kotor ternoda paman, menjadi permainan manusia iblis seperti Priyadi bahkan dinodai oleh jahanam Ki Klabangkolo. Aku sama sekali tidak patut sama sekali tidak berharga untuk menjadi pelayan paman sekalipun..." Sumarni tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi dan terisak menangis.

Lengan kiri Suroantani merangkul pinggang yang ramping itu."Nimas, sudahlah lupakan semua pengalaman pahit itu. Aku tahu bahwa batinmu masih bersih tak ternoda. Aku cinta padamu, aku kasihan padamu, aku ingin engkau menjadi isteriku. Maaf, kalau aku membicarakan soal ini diatas kuda, karena kita tidak akan memiliki kesempatan bicara berdua saja seperti sekarang. Jawablah, Sumarni maukah engkau menjadi isteriku?"

"Aduh,paman! Setelah Gusti Allah sendiri yang mengulurkan tangan kepadaku. Tentu saja aku suka. Aku terima dengan sepenuh hatiku. Aku serahkan jiwa ragaku kepadamu, paman..."

"Bagus, Kalau begitu aku tinggal meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi, haruslah engkau menyebut paman seterusnya kepadaku, nimas?"

Kini Sumarni benar-benar menyandarkan kepalanya di dada yang bidang itu dan kedua tangannya menangkap lengan kiri yang merangkul pinggangnya. Ia merasa demikian berbahagia, demikian aman dan damai. "Kakangmas Suroantani... aku merasa..." Ia berhenti, lehernya seperti tercekik rasanya karena keharuan.

"Ya? Merasa bagaimana, nimas?"

"Aku merasa... seolah-olah baru terlepas dari cengkeraman cakar iblis dan terjatuh ke dalam tangan yang lembut penuh kasih seorang dewa. Terima kasih, Gusti Allah... terima kasih...." Dan ia terisak lagi.

Lengan kiri Suroantani merangkul semakin ketat dan dia merasa berbahagia sekali, Dia yakin benar bahwa dia menemukan seorang wanita yang luhur budinya dan dia tidak akan salah pilih. Ketika di tengah perjalanan mereka berhenti beristirahat, Suroantani menyampaikan pinangannya kepada Ki Karyotomo dan isterinya. Suami isteri itu terkejut dan heran mendengar seorang senopati meminang anaknya! Akan tetapi setelah mereka mendengar bahwa anaknya telah menyetujui dan menerima pinangan itu, suami isteri itupun menerimanya dengan hati penuh syukur dan kegembiraan.

Siapa yang tidak akan merasa gembira? Anak perempuan mereka bukan perawan lagi, sudah ternoda olehorang jahat dan kini diambil Isteri secara terhormat oleh seorang senopati yang masih membujang! Mereka hanyalah orang-orang dusun sederhana dan tiba-tiba menjadi mertua seorang senopati Mataram! Tanpa halangan sesuatu mereka akhirnya tiba di perkampungan Nogo Dento.

Setelah tiba di perkampungan itu, Suroantani disambut oleh tiga puluh orang murid Nogo Dento yang berjaga da perkampungan mereka. Dia memperkenalkan diri dan disambut dengan hormat oleh para murid kepala. Suroantani mendengar bahwa pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari telah tiba di situ dua hari yang lalu dan sekarang mereka semua telah berangkat menuju ke Jatikusumo.

Pasukan dari Mataram sebanyak seratus orang perajurit pasukan Pasopati yang gagah perkasaitu diper kuat oleh para murid Nogo Dento sebanyak tiga puluh orang karena sebagian ditinggalkan untuk menjaga keamanan di Nogo Dento, ditambah lagi lima puluh orang anak buah perkumpulan Sardula Cemeng yang dipimpin oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo. Juga Sang Puteri itu dibantu oleh Sutejo, Retno Susilo, Harjodento, Padmosari, Pusposari dan Csngak Awu. Mereka telah berangkat pagi tadi dengan jumlah pasukan hampir dua ratus orang dan dibantu pula oleh orang-orang yang memiliki kedigdayaan.

Suroantani lalu menitipkan Sumarni dan ayah ibunya kepada para murid Nogo Dento. Dia berpamit dari mereka karena dia harus pergi menyusul pasukan yang dipimpin oleh Puteri Wandansari itu untuk mengamati dan kalau perlu membantu seperti yang diperintahkan Sultan Agung kepadanya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Anakmas Priyadi, kukira sudah tiba saatnya bagi engkau dan seluruh anak buahmu untuk pindah ke Wirosobo, memperkuat pasukan Wirosobo. Ketahuilah bahwa Kadipaten Wirosobo sekarang sudah siap untuk melakukan penyerbuan kepada Mataram." kata Bhagawan Jaladara kepada Priyadi.

Mereka sedang mengadakan perbincangan. Yang hadir adalah Bhagawan Jaladara, Priyadi, Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, Sekarsih, Maheso Kroda yang juga sudah bergabung dengan Priyadi dan Tumenggung Janurmendo yang datang bersama Bhagawan Jaladara sebagai utusan Kadipaten Wirosobo (Mojoagung).

"Paman Bhagawan Jaladara, sudah cukup kuat benarkah Wirosobo maka berani menyerbu Mataram?" tanya Priyadi dengan suara mengandung keraguan.

"Biarpun Wirosobo telah memperkuat diri dengan bantuan banyak pihak, terutama dari pihakmu, anakmas Priyadi, namun untuk menyerbu Mataram sendiri saja tentu masih kurang kuat, Akan tetapi kami bekerjasama dengan banyak kadipaten dan kabupaten seperti Lasem, Tuban, Jepan, Pasuruan, juga dari Arisbaya dan Sumenep di Madura. Kami semua dipimpin pula oleh Adipati Surabaya dengan juru nasihat Sunan Giri. Dengan kerja sama banyak kabupaten itu, mustahil, Mataram tidak akan dapat kita jatuhkan"

"Kalau begitu halnya, memang sudah tiba saatnya kami harus pindah ke Wirosobo untuk mengadakan persiapan membantu Wirosobo menyerbu ke Mataram, paman."

"Akan tetapi sayang sekali engkau belum dapat merebut kembali Pecut Bajrakirana dari tangan setan Sutejo itu, anakmas. Bagaimana kabarnya dengan para utusanmu yang melakukan pengejaran terhadap si pengkhianat Sumarni? Apakah sudah dapat ditangkap?"

Wajah Priyadi muram dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan api kemarahan dan ia mengepal tinju kanannya. "Kalau wanita itu dapat kutangkap, tentu akan kusiksa ia sampai mampus! Dan kalau sekali lagi aku berhadapan dengan jahanam Sutejo, tentu akan kulumatkan kepalanya!"

"Kalau begitu engkau belum berhasil menangkap gadis itu, anakmas Priyadi?"

Priyadi menghela napas panjang. "Aku sudah mengutus dua orang kepercayaan paman, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda untuk melakukan pengejaran terhadap Sumarni di dusun Jaten. Akan tetapi mereka itu tidak pernah kembali dan tidak ada beritanya. Maka aku lalu mengirim utusan untuk menyusul mereka di dusun Jaten. Utusan itu mencari keterangan di Jaten dan mendapat kabar bahwa kedua orang kepercayaan paman itu telah tewas!"

"Apa?" Bhagawan Jaladara terbelalak mendengar bahwa dua orang pembantunya yang amat dipercaya itu telah tewas. "Bagaimana mereka dapat tewas dan siapa pembunuh mereka?"

"Menurut berita yangdi dapat, Sumarni dan orang tuanya dibela oleh Suroantani dan dua orang utusan itu dibunuh olehnya." kata Priyadi.

"Suroantani, senopati Mataram itu Keparat!" seru BhagawanJaladara marah.

Tumenggung Janurmendo segera berkata. "Wah, kalau senopati Suroantani dan Mataram yang menolong Sumarni dan orang tuanya, tentu dia mendengar pula dari Sumarni tentang keadaan kita di sini! Senopati itu pasti tidak akan tinggal diam dan melaporkan keadaan di Jatikusumo ini kepada Sultan Agung!"

"Benar juga pendapat itu!" kata Bhagawan Jaladara khawatir. "Anakmas Priyadi kita harus cepat mengungsi ke Wirosobo sebelum pasukan Mataram menyerbu ke sini!"

Priyadi mengerutkan alisnya. "Mereka tidak akan menyerbu ke sini, paman. Andaikata mereka berani menyerbu sekalipun, aku tidak takut. Bukankah kedudukan kita kuat sekali? Anak buah kita ada dua ratusan orang, dan di sini ada aku dan paman sendiri, dibantu pula oleh Paman Resi Wisangkolo Paman Klabangkolo, Paman Tumenggung Janurmendo, Sekarsih dan Paman Maheso Kroda. Apa lagi yang kita takuti? Kalau mereka datang, kita akan menghancurkan mereka!"

Pada saat itu dari luar ruangan itu tampak dua orang anak buah memasuki ruangan sambil mendorong-dorong seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan dua orang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun dan enam belas tahun. Biarpun pakaian dua orang gadis itu seperti pakaian wanita petani, namun harus diakui bahwa keduanya memiliki tubuh yang denok dan wajah yang manis dengan kulit yang bersih. Adapun pria itu juga mengenakan pakaian seorang petani biasa. Tiga orang ini didorong oleh dua orang anak buah Jatikusumo, jatuh berlutut di depan sekumpulan pemimpin yang sedang bersidang itu.

Priyadi yang merasa terganggu, mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada dua orang anak buah itu."Ada apa ini? Kenapa kalian berani mengganggu kami, menghadap tanpa dipanggil?" bentaknya.

"Ampunkan kami denmas. Kami melihat tiga orang ini berindap-indap mendekati pagar yang mengelilingi perkampungan kami. Sikap mereka mencurigakan, maka mereka kami tangkap dan kami bawa menghadap denmas!" Anak buah itu melapor.

Mendengar laporan itu. Priyadi mengamati tiga orang tawanan itu. Pria itu tampak seperti petani biasa, sederhana dan sama sekali tidak mencurigakan. Lalu dia mengamati dua orang gadis itu. Dua orang perawan dusun yang cantik manis kesederhanaan pakaian mereka tidak menyembunyikan lekuk lengkung tubuh yang sempurna dan kulit yang halus bersih. Kecantikan alami dua orang gadis yang sedang mekar itu sungguh menimbulkan gairah dalam hati Priyadi yang baru saja ditinggalkan Sumarni, gadis dusun yang pernah membuatnya tergila gila, Kini yang dekat dengannya hanya Sekarsih. seorang wanita yang memiliki kecantikan yang tidak alami, kecantikan buatan, tiruan, usianya juga sndah mulai tua. Maka tidak mengherankan kalau dua orang gadis dusun itu membangkitkan berahi dalam hati Priyadi yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia lalu bertanya kepada orang dusun itu dengan suara keren.

"Apa maksudmu berkeliaran di luar perkampungan, kami?"

Orang dusun yang sudah ketakutan itu menjawab dengan suara lirih. "Ampunkan saya dan dua orang anak saya. denmas. Saya datang ke perkampungan Jatikusumo untuk minta perlindungan."

Ucapan ini tidak mengherankan hati Priyadi. Dia tahu bahwa sejak dahulu perguruan Jatikusumo memang menjadi semacam pelarian bagi para penduduk dusun di sekitar daerah itu yang mengharapkan pertolongan dari perguruan itu yang di anggap sebagai perguruan para pendekar. Mendiang gurunya. Bhagawan Sindusakti memang selalu mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada para penduduk dusun kalau mereka terancam malapetaka. Anak buahnya yang sekarang tentu saja tidak tahu akan kebiasaan ini maka mereka mencurigai ayah dan dua orang anaknya ini lalu menangkapnya. Tidak ada seorangpun murid lama yang masih tinggal di situ. Semua anak buah adalah orang-orang baru.

"Mengapa kalian datang minta perlindungan?" tanya Priyadi.

"Anakmas, beberapa hari yang lalu kami kedatangan dua orang laki-laki yang mengaku menjadi anggota Jatikusumo dan mereka hendak memaksa dua orang anak perempuan saya ini untuk menjadi isteri mereka. Mereka memberi waktu sampai hari ini. Kalau kami tidak memenuhi permintaan mereka, kami serumah akan dibunuh. Karena itu, kami mohon perlindungan dan pertolongan denmas agar kami terbebas dari ancaman dua orang itu."

Priyadi dapat memaklumi peristiwa itu. Dua orang perawan dusun ini memang menarik hati sekali, maka tidaklah mengherankan kalau ada dua orang anak buahnya yang jatuh hati dan ingin mengambil mereka sebagai istri dengan paksa dan ancaman. Dia tahu bahwa anak buahnya yang baru adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerssan untuk memaksakan kehendak mereka. Akan tetapi dua orang gadis itu telah menghadapnya dan melihat mereka, dia sendiri tertarik dan merasa sayang kalau mereka terjatuh ketangan dua orang anggota perkumpulannya. Dia lalu memberi isyarat kepada dua orang anak buah yang melapor itu.

"Bawa pengacau ini keluar dan bereskan dia!" Kemudian kepada Sekarsih dia berkata, "Sekarsih, bawa dua orang gadis ini ke dalam kamarku. Aku sendiri yang akan memeriksa dan memberi keputusan terhadap mereka."

Dua orang anak buah itu lalu memegang kedua lengan petani itu dan menyeretnya keluar. Dua orang gadis itu berseru memanggil ayah mereka sambil menangis, akan tetapi Sekarsih lalu memegang pergelangan tangan mereka dan menarik mereka masuk ke dalam ruangan sebelah dalam. Wanita ini tersenyum dan maklum akan apa yang dikehendaki Priyadi. Ia tidak merasa cemburu karena hubungannya dengan Priyadi adalah bebas tanpa ikatan apapun. Ia sendiri boleh memilih pria manapun yang disukainya dan Priyadi juga boleh memilih gadis mana yang dikehendakinya. Dua perawan dusun itu menangis ketakutan, terutama sekali melihat ayah mereka diseret keluar dengan kasar oleh dua orang yang menangkap mereka tadi. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri mereka dan ayah mereka. Mereka masih terkejut, heran dan juga takut melihat sikap pimpinan Jatikusumo dan keadaan di situ yang jauh berbeda dengan yang mereka bayangkan. Kiranya dalam bayangan mereka Jatikusumo merupakan tempat orang -orang gagah perkasa dan budiman yang siap setiap saat menolong mereka. Akan tetapi kenyataannya sungguh berbeda dengan apa yang mereka pernah dengar dan bayangkan.

Seperti tidak pernah terjadi gangguan sesuatu, Priyadi melanjutkan perbincangannya dengan rekan dan sekutunya. Setelah mereka semua pada umumnya membujuk Priyadi untuk segera mengungsi ke Wirosobo dan membantu kadipaten itu untuk menyerbu ke Mataram, akhirnya Priyadi mengambil keputusan.

"Baiklah, Paman Bhagawan Jaladara, aku mau pergi mengungsi ke Wirosobo, akan tetapi setelah dua pekan lagi Selama dua pekan ini aku hendak menyebar orang-orang kita untuk mencari tahu di mana adanya Sutejo karena aku masih belum puas dan merasa penasaran kalau belum dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana"

"Kalau sudah demikian keputusanmu, kamipun hanya menurut, anakmas. Kami dari Wirosobo akan menanti di sini sampai dua pekan lagi. Mudah-mudahan dalam waktu itu engkau sudah akan dapat merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana kata Bhagawan Jaladara.

Mereka lalu bubaran. Pada malam hari itu, sesosok mayat terapung di sungai. Mayat petani tadi, ayah dari dua orang perawan dusun. Tak lama kemudian, beberapa ekor buaya berenang mendekati dan binatang-binatang buas itu lalu menyerang dan merobek-robek daging dan kulit mayat petani itu yang menjadi mangsa mereka. Di dalam rumah induk perguruan Jatikusumo, di dalam kamar Priyadi, terdengar rintih tangis dua orang perawan dusun itu. Mereka hanya mampu merintih dan menangis, tidak berdaya melepaskan diri dari kebuasan Priyadi yang bagaikan telah berubah menjadi binatang buas karena dikuasai nafsunya. Dua orang perawan itn seperti dua ekor kelenci yang tidak berdaya dalam cengkeraman seekor harimau buas yang merobek-robek mereka. Nafsu telah membuat Priyadi menjadi seekor binatang buas yang haus darah!

Fajar menyingsing. Sesekali terdengar ayam jantan berkokok. Pagi itu masih terlalu gelap. Burung-burung masih sepi. Orang-orangpun masih malas meninggalkan tempat tidur. Lapat-lapat masih terdengar isak tangis perlahan dari dalam kamar Priyadi. Laki-laki itu masih pulas kelelahan, Akan tetapi dua orang gadis dusun itu tidak berani melakukan hal yang bukan-bukan. Mereka ketakutan setengah mati Takut dan berduka. Mereka hanya dapat saling rangkul sambil menangis perlahan. Siadik telah dalam rangkulan mbak ayunya yang mencoba menghibur akan tetapi ia sendiripun mencucurkan air mata.

Tiba tiba terdengar sorak sorai yang mengejutkan semua orang dalam perkampungan Jatikusumo. Semua orang terbangun dari tidurnya dengan kaget. Terutama sekali para anak buah yang melakukan penjagaan di gardu penjagaan dekat pintu gerbang perkampungan, belasan orang anak buah yang pagi hari itu berjaga dengan terkantuk-kantuk, menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan mereka melihat bayangan ratusan orang muncul di kegelapan pagi membawa tombak, golok atau pedang di tangan!

Ratusan orang itu sambil berteriak-teriak membuat gerakan mengepung sehingga perkampungan Jatikusumo itu telah terkepung rapat! Dengan panik para penjaga itu lalu memukul kentongan yang tergantung di gardu penjagaan itu. Seluruh penghuni perkampungan menjadi semakin terkejut ketika mereka mendengar kentongan dipukul bertalu-talu menyambung sorak-sorai yang membangunkan mereka dari tidur tadi.

Semua anak buah Jatikusumo cepat mengenakan pakaian dan berlari keluar membawa senjata. Priyadi juga terbangun dengan kaget. Mendengar kentongan yang dipukul gencar itu, tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Teringatlah dia akan ucapan Tumenggung Janurmendo kemarin tentang kemungkinan penyerangan dan paç’¼ukan Mataram. Dia segera mengenakan pakaian, memandang kepada dua orang gadis kakak beradik yang masih saling berangkulan di sudut pembaringan. Setelah semua gairah nafsunya terpuaskan, kini dua orang dara dusun itu tidak tampak begitu menarik lagi!

Beginilah sifatnya nafsu yang selalu berupaya untuk menguasai manusia. Kalau belum terdapat sesuatu yang diinginkan, maka sesuatu itu tampak indah dan menarik sekali, Akan tetapi sekali yang diinginkan itu terdapat, maka kebosanan segera menyusul dan nafsu menginginkan yang lain lagi yang dianggapnya lebih menarik.

Setelah mengenakan pakaian dan menyelipkan keris pusaka Liat Nogo di pinggangnya, tanpa memperdulikan lagi kepada dua orang gadis dusun itu, Priyadi segera melompat keluar dari kamarnya. Di ruangan tengah dia bertemu dengan semua rekannya yang sudah berkumpul di situ. Mereka semua tampaknya juga sudah siap siaga mambawa senjata masing-masing. Wajah mereka juga tegang dan ketika melihat Priyadi muncul, Bhagawan Jaladara segera menyambutnya.

"Apa yang terjadi, paman?" tanya Priyadi.

"Seperti yang kami khawatirkan, anak mas. Pasukan Mataram telah datang menyerbu kita" jawab Bhagawan Jaladara.

"Kenapa tidak mengerahkan anak buah untuk menyerang mereka?"

"Mereka berjumlah lebih dari dua ratus orang dan mereka belum bergerak menyerang kita, anak mas. Mereka hanya baru mengepung saja dan agaknya pimpinan pasukan itu hendak bicara dulu dengan kita."

"Hemm, siapa yang memimpin pasukan itu, Siapa senopatinya?"

"Agaknya yang memimpin di depan sendiri adalah Sang Puteri Wandansari!"

"Hemm, diajeng Wandansari?"

"Benar, anakmas. Dan melibat bahwa pasukan itu tidak dipimpin seorang senopati Mataram, melainkan oleh sang putri, maka agaknya gerakan mereka itu adalah merupakan balas dendam sang puteri atas terbasminya perguruan Jatikusumo." kata Bhagawan Jaladara.

"Hemm, kalau hanya diajeng Wandarsari, jangan khawatir, paman. Aku dapat menundukkannya dengan mudah!" kata Priyadi dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diriyaa sendiri. Bagaimanapun, Wandansari adalah adik seperguruannya, murid ke lima, sedangkan dia adalah murid ketiga. Biarpun kabarnya Wandansari telah mendapatkan pedang Kartika Sakti dan ilmunya, dia sama sekali tidak merasa gentar. Yang ditakuti hanyalah Sutejo yang kini telah berhasil mendapatkan dan memiliki Pecut Sakti Bajrakirana.

"Akan tetapi kita harus berhati-hati, anakmas. Siapa tahu ada orang-orang lain yang membantunya." kata Bhagawan Jaladara.

"Ha-ha-ha, biarpun ada yang membantunya, kita tidak perlu takut, Bhagawan Jaladara. Kita telah berkumpul di sini menghimpun tenaga. Siapa yang akan mampu mengalahkan kita semua?" Resi Wisangkolo tertawa dan membesarkan hati rekan-rekannya dengan ucapan yang sombong itu.

"Mari Kita segera keluardan menghadapi mereka bersama!" kata Priyadi dan pada saat itu terdengar teriakan lantang yang datangnya dari luar pintu gerbang perkumpulan Jatikusumo.

"Priyadi Pengkhianat murtad yang jahat! Keluarlah untuk menebus dosa-dosamu!" Suara itu melengking nyaring dan Priyadi segera mengenal suara itu sebagai suara Wandansari, adik seperguruannya. Akan tetapi betapa nyaring melengking suara itu, didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat. Diapun dapat menduga bahwa puteri istana itu telah berhasil menghimpun tenaga sakti amat kuat. Diapun segera melangkah keluar diikuti rekan-rekannya.

Udara sudah tidak segelap tadi. Sinar matahari mulai menyapu kegelapan dan mengusir sisa embun pagi yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Setelah tiba di luar pintu gerbang perkampungan Jatikusumo, Priyadi melihat Puteri Wandansari dengan pakaian yang ringkas berdiri di depan pasukan yang dipimpinnya. Dara bangsawan itu tampak demikian gagah perkasa dan jelita. Dulu, ketika masih tinggal di perguruan Jatikusumo, Priyadi selalu memandang sang puteri itu sebagai seorang adik seperguruan, dengan perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi sekarang, ketika dia memandang gadis itu, penglihatannya sudah sama sekali berubah. Dia melihat Puteri Wandansari demikian cantik jelita menggairahkan, seolah baru sekarang dia melihat kecantikan itu dan hatinya dipenuhi rasa kagum dan berahi.

Priyadi sengaja bersikap tenang dan memandang rendah walaupun dia sudah melihat bahwa sang puteri itu ditemani oleh banyak orang muda yang gagah,di antaranya dia melihat Sutejo dan Cangak Awu. "Ah. kiranya diajeng Wandansari yang datang Diajeng, kenapa andika datang dengan sikap marah dan menantang-nantang? Lebih baik kalau andika menemani aku, hidup bahagia sebegai teman hidupku selamanya di sini!"

Wajah sang puteri menjadi merah padam dan sepasang matanya yang jeli dan indah itu mengeluarkan sinar berapi-api "Jahanam busuk, tutup mulutmu yang kotor! Entah iblis mana yang telah memasuki jiwamu sehingga kini engkau berubah menjadi seorang yang hina dan biadab! Engkau telah membunuh Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto. Mbakayu Rahmini dan banyak murid Jatikusumo! Engkau telah membasmi Jatikusumo, tempat di mana engkau dibesarkan dan dididik. Engkau bahkan telah bersekutu dan menjadi antek Kadipaten Wirosobo. Aku datang untuk membasmi persekutuanmu yang busuk itu!"

"Wandansari!" kata Priyadi dengan suara berwibawa. "Apa yang kau andalkan untuk mengalahkan aku? Lihat, selain anak buahku cukup banyak dan kuat, aku juga dibantu oleh banyak orang gagah. Dan apakah engkau berani melawan dan menghadapi aku?"

Sutejo melangkah maju. "Keparat Priyadi! Kalau andika memang jantan dan berani bertanding satu lawan satu, akulah lawanmu!"

Melihat Sutejo. Priyadi marah sekali, teringat akan pecut yang telah dicuri oleh Sumarni dan diberikan kepada pemuda ini "Babo-babo. jahanam Sutejo! Kau kira aku takut kepadamu? Kebetulan sekali engkau ikut datang karena kalau tidak, akulah yang akan mencarimu untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana yang secara licik telah engkau curi dariku!"

Sutejo melangkah maju mendekat dan berkata dengan lantang sehingga suaranya terdengar oleh semua orang. "Priyadi, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku adalah pemilik yang sah dari Pecut Sakti Bajrakirana. Mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik telah memberikannya kepadaku. Akan tetapi dengan curang sekali Bhagawan Jaladara telah merampasnya dari tanganku, kemudian dia memberikan pecut itu kepadamu untuk menarikmu menjadi antek Wirosobo! Sekarang engkau masih bermuka tebal untuk mengatakan bahwa aku yang mencuri pecut milikku sendiri ini dari tanganmu?"

Tiba-tiba terdengar suara tawa lantang dari rombongan Priyadi. Resi Wisangkolo melangkah maju di samping Priyadi sambil mengamangkan tongkat ularnya yang berwarna hitam sambil barseru dengan nada mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Setelah Sutejo maju bertanding dengan anakmas Priyadi, lalu siapa lagi yang akan mampu menandingiku? Hayo, orang-orang Mataram, kalau ada yang berani, boleh maju melawan aku Resi Wisangkolo!"

Wandansari yang dalam perjalanan tadi sudah berbincang-bincang dengan Sutejo dan telah mendengar keterangan pemuda itu tentang tingkat kepandaian semua orang yang membantunya melakukan penyerbuan ke perguruan Jatikusumo, maklum bahwa diantara para pembantu itu tidak ada yang akan mampu menandinggi kedigdayaan Resi Wisangkolo. Maka sebelum ada yang menjawab tantangan kakek resi yang sombong itu, Puteri Wandansari melangkah maju dan suaranya terdengar lantang.

"Resi Wisangkolo, sudah lamaaku mendengar akan kesesatanmu! Sebagai seorang resi engkau telah menyeleweng dari pada kebenaran, mengandalkan kedigdayaan untuk bertindak sewenang-wenang. Jangan mengira bahwa tidak ada yang akan berani menandingimu. Akulah lawanmu!"

Semua orang terkejut, Mereka sudah tahu bahwa resi itu memiliki kesaktian yang hebat. Bagaimana puteri istana yang masih muda ini akan mampu menandinginya? Juga Cangak Awu merasa khawatir sekali. Akan tetapi Sutejo hanya tersenyum. Dialah yang cukup maklum bahwa sang puteri yang cantik jelita dan halus itu sebetulnya telah memiliki kesaktian yang tidak berapa jauh selisihnya dibandingkan dengan dia sendiri. Sang puteri itu telah menerima gemblengan dari mendiang Resi Limut Manik, bahkan telah menerima pedang pusaka ampuh Kartika Sakti berikut kitab ilmu pedang itu yang merupakan ilmu pamungkas dari Resi Limut Manik di samping ilmu Bajrakirana! Karena itu Sutejo tidak merasa khawatir melihat sang puteri itu maju hendak menandingi Resi Wisangkolo.

Ki Klabangkolo tidak mau kalah. Diapun melangkah maju dan menantang sambil memandang ke arah rombongan Puteri Wandansari. "Dan siapa di antara kalian yang berani menandingiku?" teriaknya dengan suara parau. Biarpun dia tidak memegang senjata apapun karena datuk ini memang tidak pernah mempergunakan senjata, namun dia tampak menakutkan Tubuhnya tinggi besar dan mukanya yang brewok itu mirip muka singa.

Retno Susilo yang tahu akan kedigdayaan kakek ini hendak maju, akan tetapi ia didahului, ayah Sutejo. Ki Harjodento yang lebih dulu maju menghadapi Ki Klabangkolo. "Akulah yang akan menandingimu!" katanya dengan tegas.

"Hua ha ha, manusia lancang dan bosan hidup. Siapa engkau, berani melawan Ki Klabangkolo baburekso Pegunungan Ijen?" bentak Ki Klabangkolo sambil tertawa mengejek.

"Ki Klabangkolo, perkenalkanlah calon lawanmu ini. Aku bernama Harjodento, ketua perguruan Nogo Dento dan aku tidak akan mundur selangkahpun untuk melawanmu!"

Diam-diam Ki Klabangkolo terkejut, tentu saja dia pernah mendengar nama besar ketua Nogo Dento ini.

Bhagawan Jaladara juga maju dan menantang. "Siapa berani melawan aku?"

Terdengar jawabnya nyaring. "Akulah lawanmu, manusia iblis. Aku akan membalaskan kematian orang-orang tak berdosa yang telah menjadi korban kejahatanmu!"

Yang berseru ini bukan lain adalah Retno Susilo yang telah mencabut pedang pusaka Nogo Wilis karena kakek itu juga sudah memegang tongkat hitamnya. Sekarsih yang melangkah maju segera dihadapi oleh Padmosari, isteri Ki Harjodento yang masih tampak cantik itu. Ibu kandung Sutejo ini adalah seorang wanita yang memiliki kesaktian yang cukup tinggi, dan suaminya yang cukup mengenal kedigdayaan isterinya, tidak merasa khawatir ketika Padmosari menyambut tantangan Sekarsih.

Ketika Tumenggung Janurmendo maju, dia segera disambut oleh Cangak Awu yang dibantu oleh Pusposari yang mendampingi tunangannya itu. Sedangkan Maheso Kroda sudah dihadapi oleh ayah dan paman Retno Susilo, yaitu Mundingsosro dan Mundingloyo, dua orang pimpinan perkumpulan Sardulo Cemeng. Biarpun tidak ada yang memberi komando, kedua pihak sudah mulai bergerak dan saling terjang sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan mati-matian.

Seorang perwira pembantu Puteri Wandansari telah memanggil pasukan yang tadinya mengepung perkampungan itu dan kini mereka berkumpul di depan pintu gerbang. Akan tetapi perwira itu tidak memberi aba-aba untuk menyerang karena pihak anak buah lawan juga belum bergerak dan dia masih menanti komando dari Puteri Wandansari yang telah mulai bertanding dengan lawannya.

Perwira itu bersama pasukannya hanya menonton dengan, penuh kewaspadaan. Mereka tahu bahwa para pimpinan mereka sedang bertanding, melawan pimpinan lawan yang tangguh. Mereka hanya mengharapkan para pimpinan mereka akan keluar sebagai pemenang, karena kemenangan pimpinan akan memperbesar semangat bertempur mereka untuk menggempur musuh.

Pertempuran itu sungguh dahsyat. Terutama sekali pertandingan, yang terjadi antara Sutejo melawan Priyadi. Priyadi memegang kerisnya yang mengeluarkan sinar berkilat, yaitu keris pusaka liat Nogo yang berhawa panas. Adapun Sutejo yang telah tahu betapa saktinya orang yang dilawannya, juga sudah melolos Pecut Bajrakirana dan memegang gagang pecut itu dengan tangan kanannya, siap menghadapi terjangan lawan.

Sejenak mereka memasangkuda-kuda tanpa bergerak, hanya mata mereka saja saling tatap dengan tajam, seperti dua ekor ayam jantan hendak berlaga mengukur kekuatan lawan melalui tatapan mata. Diam-diam Priyadi mengerahkan Aji Penyirepan Begonondo untuk membuat lawan lemah dan mengantuk agar mudah dia serang dan robohkan. Sutejo dapat merasakan ini karena tiba-tiba saja sepasang matanya merasa pedas dan mengantuk. Hampir saja dia menguap, akan tetapi karena menyadari bahwa ini merupakan pengaruh ilmu lawan, cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawannya. Kesadarannya kembali sepenuhnya dan rasa lelah dan mengantuk itupun lenyap.

Maklum bahwa lawannya tidak mempan diserang dengan Aji Penyirepan Begonondo, Priyadi menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan keadaan sekelilingnya, membuat semua orang terkejut. Terutama sekali Sutejo yang diserang langsung dengan Aji Jerit Nogo ini merasa seperti ada halilintar menyambarnya! Akan tetapi pemuda ini segera mengerahkan tenaga sakti untuk menolak dan diapun tidak terguncang oleh serangan melalui pekik melengking itu.

Melihat ini. Priyadi lalu menerjang dengan kerisnya. Keris liat Nogo yang berhawa panas itu menyambar dengan tusukan kilat ke arah dada Sutejo. Serangan itu amat dahsyatnya dan seandainya mengenai dada Sutejo, kiranya aji kekebalan yang dikuasai Sutejo tidak akan kuat menahannya. Namun, dengan gerakan yang indah dan cepat sekali Sutejo telah menghindarkan diri dengan lompatan ke belakang, kemudian dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya.

"Tar-tarr... syuuuuuttt...!" Ujung pecut menyambar ke arah kepala Priyadi. Priyadi juga maklum akan ampuhnya, pecut pusaka yang menjadi benda keramat bagi Jatikusumo itu, maka dia tidak berani menerimanya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Dia mengelak dengan merendahkan diri lalu menubruk lagi ke depan, kerisnya menusuk ke arah leher lawan! Sutejo menyambut serangan itu dengan membalikkan pecutnya sehingga ujung pecut menangkis keris.

"Crinnggg...!" Tampak bunga api berpijar ketika keris bertemu ujung perut dan keduanya tergetar ke belakang. Mereka lalu saling menyerang dengan dahsyatnya. Ujung pecut menyambar-nyambar dengan lecutan maut, dibela tusukan-tusukan keris yang kalau mengenai sasaran tentu akan merenggut nyawa. Bahkan kadang-kadang tangan kiri mereka melakukan serangan pula dan serangan tangan kiri sebagai selingan ini tidak kalah hebatnya dari serangan senjata mereka karena Priyadi menggunakan tangan kirinya untuk memukul dengan Aji Pamungkas Margopati sedangkan Sutejo juga mempergunakan Aji Pamungkas Bromo kendali.

Pertandingan antara Wandansari melawan Resi Wisangkolo juga hebat sekali. Ketika mereka mulai bertanding, Resi Wisangkolo memandang rendah lawannya. Hanya seorang dara jelita yang masih amat muda! Bagaimana akan mampu menandinginya? Sang resi yang tidak mudah lagi terpikat wajah cantik, tidak seperti watak Ki Klabangkolo yang masih mata keranjang, sekali ini terpesona oleh kecantikan Puteri Wandansari dan timbul niat buruknya untuk mempermainkan dara bangsawan itu.

Dia menggerakkan tongkat ular hitamnya dengan cepat dan kuatnya. Serangan pertama dia tujukan ke arah dada sang puteri, dengan maksud untuk mencolok dada mempergunakan tongkatnya secara kurang ajar sekali, sambil terkekeh.

"Singggg... trangggg...!" Bunga api berpijar-pijar dan kakek itu terkejut bukan main karena tangkisan pedang pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental keras dan telapak tangannya tergetar hebat! Sungguh bukan tenaga sembarangan yang mampu menggerakkan pedang sekuat itu!

Senyumnya mulai berubah masam, akan tetapi tetap saja dia masih memandang ringan. Lengan kirinya yang panjang itu terjulur ke depan, cepat sekali menuju ke pundak Puteri Wandansari untuk menotok jalan darah.

"Haiiiittt...!" Sang puteri membentak nyaring diikuti gerakan pedangnya yang mendesing dan dengan amat kaget Resi Wisangkolo terpaksa harus menarik kembali tangannya kalau tidak ingin pergelangan tangannya terbacok pedang! Bukan main aneh dan cepatnya gerakan pedang di tangan puteri itu!

Kini mulai lenyaplah keheranannya tadi mengapa seorang puteri muda berani menentangnya. Kiranya puteri dari Sultan Agung ini memang sakti mandraguna. Teringatlah Resi Wisangkolo akan kesaktian Sultan Agung, maka diapun tidak berani lagi memandang rendah.

"Bagus! Engkau ingin melihat kesaktian Resi Wisangkolo?" teriaknya dan kini tongkat ular hitamnya bergerak cepat sekali, berubah menjadi segulungan sinar hitam yang bergelombang datangmenerjang ke arah Puteri Wandansari.

Akan tetapi, puteri itu tidak percuma menjadi puteri Sultan Agung, apa lagi ia telah menerima gemblengan khusus dari Resi Limut manik. Iapun segera mainkan ilmu pedang Kartika Sakti dan pedangnya lenyap berubah menjadi segulungan sinar yang berkeredepan menyilaukau mata. Pedang itu adalah pusaka yang dikeramatkan oleh perguruan Jatikusumo, sebatang pedang langka yang kabarnya terbuat dari logam yang berasal dari bintang jatuh. Kuatnya melebihi baja dan ampuh bukan main! Apalagi dimainkan dengan ilmu pedang Kartika Sakti yang memang khusus dirangkai untuk pedang pusaka itu.

Kini tubuh sang puteri seperti dilindungi oleh gulungan sinar yang teramat kuat. Ke arah manapun tongkat ular hitam menyambar, selalu membalik dan terpental ketika bertemu dengan gulungan sinar itu. Bukan dalam pertahanan saja ilmu pedang Kartika Sakti itu amat kuat, melainkan juga dalam penyerangan. Sambil bertahan dengan kokoh kuat, kadang dari gulungan sinar putih berkeredepan itu mencuat sinar kilat, yaitu ketika pedang itu membuat gerakan membalas dengan serangan yang amat cepat dan kuat. Dan setiap kali pedang itu menyerang, baik menusuk ataupun membacok, selalu yang dituju adalah bagian-bagian yang lemah dan berbahaya dari tubuh lawan!

Beberapa kali Resi Wisangkolo mengeluarkan seruan kaget dan heran. Makin lama malin lenyaplah sikapnya yang sombong memandang rendah tadi. Kini mulailah dia mengerahkan semua tenaga dan ilmunya untuk menandingi puteri itu. Bahkan dia menyelingi serangan tongkatnya dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dengan pengerahan Aji Guntur Bumi, bahkan juga mengeluarkan Aji Pamungkasnya Guntur Geni.

Namun, aji-aji pukulan yang amat ampuh dan kuat itu tertahan oleh gulungan sinar putih pedang Kartika Sakti dan hanya dapat membuat sang puteri terpental mundur dua tiga langkah saja? Biarpun demikian, diam-diam Puteri Wandansari harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, memiliki kedigdayaan yang luar biasa. Kalau saja ia tidak menguasai ilmu pedang Kartika Sakti dan tidak memegang pedang pusaka itu, tentu ia sudah, kalah dan dapat dirobohkan lawan yang sakti mandraguna itu. Akan tetapi untung baginya, pedangnya amat ampuh dan ilmu pedangnya juga, merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang dapat membendung serangan lawan sehingga ia masih mampu bertahan dan bahkan balas menyerang. Biarpun ia lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun kiranya tidak akan mudah dan akan berlangsung lama sebelum kakek itu mampu mengalahkannya.

Perkelahian antara Ki Klabangkolo yang ditandingi Ki Harjodento juga berlangsung seru dan hebat sekali. Ki Klabangkolo yang tidak biasa mempergunakan senjata itu sekali ini juga hanya mengandalkan kaki tangannya yang besar dan panjang. Akan tetapi karena kakek ini memiliki sepasang lengan yang kebal, maka sepasang tangannya, itu sudah merupakan senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Dengan mempergunakan Aji Singarodra gerakan dan ulahnya tiada bedanya seperti gerakan seekor singa yang mengamuk!

Serangan-serangan berupa tubrukan dan cakaran kedua tangannya, kadang diseling tendangan kedua kakinya yang panjang, diperkuat dengan gerengan yang menggetarkan kalbu. Gerengan itu bukan sembarang teriakan, melainkan Aji Pekik Singanada yang mempunyai wibawa seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan lawan.

Akan tetapi yang dilawan Ki Klabangkolo sekarang bukanlah orang sembarangan. Ki Harjodento adalah seorang pendekar yang sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, sudah banyak pengalamannya bertanding dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dengan pengalamannya yang banyak dan pengetahuannya yang luas, Ki Harjodento dapat menahan serangan Pekik Singanada dari lawannya itu. Getaran-getaran yang diakibatkan pekik itu dapat ditahannya dengan pengerahan tenaga saktinya. Dia mainkan tombaknya dengan gerakan yang mantap dan kuat sekali. Bukan hanya pertahanannya yang kokoh, melainkan serang baliknya juga amat berbahaya.

Ketua perkumpulan Nogo Dento ini maklum bahwa lawannya memiliki aji kekebalan yang amat, kuat, maka ujung tombaknya selalu menyerang bagian-bagian yang lemah seperti mata, tenggorokan, bawah pusar sehingga serangan-serangannya cukup membuat Ki Klabangkolo kerepotan karena harus melindungi bagian-bagian lemah yang terancam itu dengan tangkisan tangan atau elakan. Serang menyerang terjadi antara dua orang jago tua ini dan sukar diramalkan siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Memang tepat sekali pilihan lawan pihak Puteri Wandansari.

Semua ini atas petunjuk Sutejo yang pernah menghadapi semua lawan itu. Sutejo dapat mempertimbangkan siapa di antara anggota rombongan Puteri Wandansari yang akan mampu menandingi anggota pihak lawan. Karena itulah, ketika tadi pihak lawan memunculkan jago-jagonya, pihak Puteri Wandansari sudah siap seseorang untuk menandinginya, seperti telah diatur dan ditentukan sebelumnya.

Mungkin yang paling hebat dan sengit di antara mereka yang bertanding itu adalah pertandingan antara Bhagawan Jaladara yang melawan Retno Susilo. Mula-mula Bhagawan Jaladara memandang rendah lawannya. Akan tetapi, setelah menerima gemblengan lagi dari gurunya. Nyi Rukmo Petak atau Ken Lasmi, tingkat kepandaian Retno Susilo telah meningkat dengan hebat Bukan saja ia telah menguasai Aji Gelap Sewu, pukulan yang amat hebat, dan juga Aji Wiso Sarpo yang mengandung racun ular-ular berbisa yang amat berbahaya, ia juga mempunyai sebatang pedang pusaka, yaitu Pedang Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan.

Apalagi Retno Susilo yang berwatak keras itu sudah mendengar akan kejahatan-kejahatan yang dilakukan Bhagawan Jaladara terhadap pria yang dikasihinya hal ini membuat ia merasa benci sekali dan ia berkelebat dengan ganas bukan main. Pedang Nogo Wilis di tangannya bergerak amat cepat sehingga tidak tampak bentuknya, berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung.

Bhagawan Jalalara menjadi terkejut bukan main. Setelah dia memainkan tongkat hitamnya dan ke manapun dia menyerang, selalu tongkat hitamnya terpental ketika bertemu sinar hijau, mereka tahulah dia bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu seorang yang memiliki kesaktian. Bahkan setiap kali tongkatnya bertemu dengan pedang hijau itu dengan keras sekali, dia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan tergetar. Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini. Bahwa dia seorang datuk persilatan yang tangguh, tokoh ke tiga dari perguruan Jatikusumo, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda yang belum tentu ada dua puluh tahun usianya!

Saking penasaran, beberapa kali dia menggunakan tangan kirinya untuk mengirim pukulan tenaga sakti dalam Aji Gelap Musti. Pukulannya itu hebat sekali, mendatangkan angin yang dahsyat menyambar ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan berani menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Sewu yang tidak kalah dahsyatnya, setiap kali dua tenaga sakti itu bertemu, Bhagawan Jaladara terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Dengan marah dan nekat BhagawanJaladara lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh ilmunya untuk menyerang. Retno Susilo menyambut dengan semangat bernyala-nyala dan merekapun saling serang dengan sengitnya.

Sekarsih yang cantik genit dan juga tangguh itu, sebagai murid tersayang Ki Klabangkolo, memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang dapat mengimbanginya, yaitu Padmosari, isteri Ki Harjodento. Sebagai isteri ketua Nogo Dento yang sakti Padmosari juga menguasai aji kanuragan yang tinggi dan ketika ia memainkan kerisnya, ia bagaikan sekor singa betina yang tangkas dan berbahaya. Sekarsih menggunakan pedangnya, namun semua serangan pedangnya dapat dihindarkan oleh Padmosari dengan elakan atau tangkisan kerisnya. Dua orang wanita yang sama cantiknya ini bertanding mati-matian, saling serang dan saling desak dalam keadaan yang seimbang.

Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan hebat, menggunakan keris pusakanya yang disebut Jalu Sarpo. Akan tetapi dia dikeroyok oleh Cangak Awu dan tunangannya, Pusposari. Cangak Awu adalah murid ke empat dari mendiang Bhagawan Sindusakti ketua Jatikusumo dan dia seorang pemuda gagah perkasa, tinggi besar yang memiliki tenaga raksasa sehingga permainan tongkatnya amat menggiriskan.

Adapun Pusposari yang cantik manis adalah anak angkat dan murid dari Ki Harjodento. maka tentu saja sejak kecil ia sudah digembleng dengan aji kanuragan yang membuat ia kini menjadi seorang gadis yang tangguh. Biarpun Tumenggung Janurmendo mengamuk dengan keris pusakanya, dan menyelingi serangan kerisnya dengan pukulan tenaga sakti Aji Wisang Geni, namun sepasang kekasih itu bekerja sama dengan rapi dari kanan kiri membuat senopati Wirosobo itu menjadi cukup repot.

Demikian pula dengan Maheso Kroda. Kepala perampok tinggi besar bermata lebar yang sudah menjadi sekutu Priyadi ini mengamuk dengan senjatanya, sebatang keris yang besar. Namun yang dihadapinya adalah kakak beradik yang menjadi pimpinan perkumpulan Sardula Cemeng, yaitu Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, ayah dan paman Retno Susilo. Biarpun tingkat kepandaian Maheso Kroda masih lebih tinggi dibandingkan lawan, akan tetapi karena kakak beradik itu maju bersama dan mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan kompak sekali maka Maheso Kroda juga merasa kuwalahan menghadapi terjangan mereka.

Ki Mundingsosro bersenjata golok sedangkan adiknya, Ki Mundingloyo menggunakan sebatang tombak trisula. Biarpun yang bertanding itu hanya tujuh pasang, namun pertempuran itu hebat sekali. Angin pukulan menyambar-nyambar membuat pohon-pohon bergoyang seperti diamuk angin badai dan debu mengepul tinggi. Suara senjata bertemu berdencingan dan tampak bunga api berpijar-pijar di sana sini Semua ini diseling pekik-pekik yang mengandung hawa sakti membuat semua anak buah yang hanya menonton merasa tergetar dan tegang.

Priyadi kini mulai terdesak hebat oleh Sutejo. Priyadi sudah mengerahkan seluruh tenega dan mengeluarkan seluruh ilmunya, namun semua ilmunya dapat dipunahkan oleh kehebatan Pecut Sakti Bajrakirana yang menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Beberapa kali hampir saja kepala Priyadi dapat dipatuk ujung pecut, membuat dia terkejut dan terhuyung ke belakang. Priyadi juga melihat bahwa kawan-kawannya juga agaknya kerepotan menghadapi lawan masing-masing. Bahkan Resi Wisangkolo yang dia andalkan itu belum juga mampu mengalahkan Puteri Wandansari. Mulai patah semangat Priyadi.

Tiba-tiba kembali pecut lawannya menyambar dan meledak di atas kepalanya. "Tar-tar-tar...... !!" Priyadi menjadi marah sekali. Pecut Bajrakirana itu sungguh membuat dia kewalahan. Tiga kali dia menggerakkan kecil pusaka Liat Nogo untuk menangkis, kemudian secepat kilat tangan kirinya menghantam dengan pengerahan Aji Margopati. Melihat ini, Sutejo cepat menyambut pukulan itu dengan Aji Bromo kendali yang amat dahsyat.

"Blarrrr...!!" Demikian hebatnya pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, tubuh Priyadi terhuyung dan pada saat itu, Pecut Bajrakirana telah menyambar lagi ke arah kepalanya, Priyadi cepat mengelak. "Tarr......!!"Ujung pecut itu luput mengenai kepalanya, akan tetapi masih melecut punggungnya dan merobek bajunya. Juga kulit punggungnya lecet berdarah. Priyadi terkejut, cepat menjatuhkan tubuhnya ke samping lalu bergulingan menjauh. Ketika dia melompat bangun, dia berteriak kepada anak buahnya.

"Serbuuu...!!"Teriakan ini amat nyaring dan begitu besar pengaruhnya karena pada saat itu, seluruh anak buahnya yang terdiri dari dua ratus orang lebih sudah bersorak dan menyerbu keluar!

Perwira Mataram yang telah mendapat tugas dari Puteri Wandansari untuk memimpin pasukan, sudah dipesan oleh sang puteri bahwa pasukannya baru boleh bergerak kalau anak buah Jatikusumo mulai menyerang. Kini melihat anak buah Jatikusumo keluar sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata, diapun memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyambut serbuan itu. Terjadilah pertempuran hebat di pagi hari itu. Para anak buah pasukan mendapatkan lawan masing-masing dan tidak berani mencampuri para pimpinan yang sedang bertanding.

Sutejo kehilangan Priyadi yang menghilang ke dalam perkampungan Jatikusumo. Dia merasa penasaran dan cepat melakukan pengejaran, menyelinap ke dalam perkampungan yang sudah ditinggalkan oleh semua anak buah Jatikusumo yang kini telah bertempur di luar perkampungan. Sutejo memasuki bangunan induk dan mencari Priyadi. Akan tetapi yang ada hanya dua orang gadis yang tampak ketakutan dan saling rangkul di ruangan belakang. Tidak tampak seorangpun pelayan, agaknya mereka semua telah menyembunyikan diri. Ketika melihat Sutejo kedua orang gadis itu tampak semakin ketakutan.

"Katakan, di mana adanya si jahanam Priyadi?" tanya Sutejo kepada mereka, Ketika melihat sikap Sutejo yang menyebut jahanam kepada Priyadi, dua orang gadis itu hilang rasa takutnya, Mereka adalah dua orang gadis dusun yang semalam dipaksa melayani Priyadi dan mereka amat membenci laki-laki itu.

"Ke sana... dia lari ke sana...!" Gadis tertua menunjuk ke pintu yang menembus ke bagian belakang rumah itu. Melihat ini, Sutejo lalu melompat dan melakukan pengejaran.

Ketika Sutejo tiba di luar rumah bagian belakang, dia masih dapat melihat sesosok bayangan berlari cepat menuju ke kebun belakang, ke arah perbukitan yarg berada di belakang kebun itu. Dia segera mengerahkan Aji Harina Legawa dan melompat dengan cepatnya, lalu berlari seperti terbang melakukan pengejaran. Dia mendaki perbukitan di bagian belakang perkampungan Jatikusumo akan tetapi kehilangan jejak Priyadi.

Melihat sebuah sumur tua, Sutejo menghampiri sumur itu. Dia berdiri di tepi sumur, yang letaknya agak meninggi, lalu memandang ke sekeliling. Tidak tampak bayangan Priyadi. Kemudian dia mendapat sebuah pikiran. Jangan-jangan Priyadi bersembunyi di dalam sumur ini! Lalu dia menjenguk ke dalam sumur. Tidak tampak sesuatu, hanya hitam gelap. Kalau memang benar Priyadi bersembunyi di dalam sumur tua itu, berbahaya sekali untuk mengejarnya. Di dalam demikian gelap dan dia tidak tahu apa yang terdapat di dasar semur.

Suara pertempuran masih terdengar dari situ. Ramai terdengar teriakan-teriakan mereka yang bertempur mati-matian, Dia teringat akan ayah ibu, Puteri Wandansari, Retno Susilo dan yang lain-lain. Mereka mungkin membutuhkan bantuannya. Lebih baik dia kembali ke sana. Tiba-tiba saja, pada saat itu terdengar bentakan nyaring.

"Hyaaaaattt!!" Pukulan itu datangnya dahsyat bukan main, disertai angin pukulan yang amat kuat. Itulah Aji Margopati yang dipergunakan oleh Priyadi yang memukul dari belakang. Kiranya tadi dia bersembunyi di balik batu besar di dekat sumur itu dan selagi Sutejo menjenguk ke dalam sumur dan membelakanginya, dia memukul dengan Aji Margopati sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Sutejo tidak dapat mengelak sepenuhnya, maka dia dapat memutar tubuh mengangkat tangan untuk menangkis sambil mengerahan aji kekebalannya.

"Desss....!!" Karena kedudukannya yang tidak menguntungkan itu, sedang berjongkok di tepi sumur sambil membalikkan tubah menangkis, pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebatç’¶ya membuat tubuh Sutejo terjungkal ke dalam sumur tua itu!

"Ha ha ha-ha, mampus engkau, Sutejo!" Priyadi tertawa-tawa sambil berjongkok dan menjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Priyadi ketika pada saat itu, tubuh Sutejo melayang naik dari dalam sumur!

Kiranya Sutejo ketika terjungkal tadi, tangannya meraih dan kebetulan sekali tangan kirinya dapat menangkap sebuah batu besar yang menonjol di dinding sumur. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan sekali mengenjot tubuhnya bertumpu pada batu itu, tubuhnya melayang naik ke atas, melewati tubuh Priyadi yang sedang berjongkok. Setelah tiba di atas. karena tidak ingin didahului lawan yang pasti akan menyerangnya lagi, Sutejo berjungkir balik seperti seekor burung srikatan dan pergelangan tangan kanannya bergerak.

"Tar-tarrr... cuiiiittt...!!"Ujung pecut Bajrakirana menyambar ke arah mata dan ubun- ubun kepala Priyadi dengan kecepatan kilat.

Ternyata dalam keadaan melayang jungkir balik dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Sutejo mampu melakukan serangan yang amat hebat, Priyadi tidak sempat mengelak terhadap sambaran kedua yang mengarah ubun-ubun kepalanya. Maka dia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap ujung pecut yang menyambar ke arah ubun-ubunnya. Akan tetapi pada saat itu, secepat kilat Sutejo menyusulkan pukulan Bromo kendali dari atas, Hebat bukan main pukulan jarak jauh ini, mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Priyadi masih berusaha untuk miringkan tubuh, namun pundaknya terdorong keras dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya terjengkang masuk ke dalam sumur tua!

Sutejo turun di tepi sumur, berdiri dan siap sedia untuk bertanding lagi kalau Priyadi dapat keluar dari sumur. Dia mendengar suara gedebukan di bawah sana, lalu terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuknya meremang karena suara tawa itu menyeramkan sekali, bukan seperti tawa manusia, melainkan suara iblis yang tertawa! Kemudian, terdengar jeritan melengking berkali-kali, jeritan mengandung rintihan kesakitan yang makin lama semakin mengerikan seolah olah peneriaknya itu menderita kesakitan yang amat hebat.

"Auuurrrggghhh... ah-ah-auurrhh...!!"

"Hua-ha-ha-haha-ha!" Suara tawa iblis itu terdengar menyelingi pekik kesakitan. Pekik itu makin melemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Sunyi di bawah sana. Sutejo tertegun, masih tegang oleh pekik melengking dan tawa mengerikan tadi. Dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadidi bawah, di dasar sumur itu dan diapun tidak ingin menuruni sumur dan melihatnya, dapat menduga bahwa di dalam sumur itu terdapat bahaya yang menakutkan. Ketika dia mendengar teriak-teriakan mereka yang bertempur, Sutejo lalu melompat dan berlari cepat menuruni bukititu menuju ke depan perkampungan Jatikusumo yang telah menjadi medan pertempuran.

Kalau Sutejo dapat melihat ke dalam sumur, dia akan menyakitkan penglihatan yang mendirikan bulu roma karena amat menyeramkan. Ternyata ketika Priyadi terjatuh ke dalam sumur, di dasar sumur telah menanti Resi Ekomolo yang lumpuh kedua kakinya. Kakek menyeramkan seperti Jerangkong itu tadi mendengar keributan di luar sumur, maka dia lalu berlompatan ke dasar sumur, mengharapkan akan ada yang mau menolongnya keluar dari sumur itu.

Akan tetapi tiba-tiba ada orang melayang ke dalam sumur. Sepasang mata kakek itu yang sudah terbiasa di tempat gelap, segera dapat mengenal Priyadi! Amarah dan dendam yang meluap-luap timbul dalam hatinya ketika dia melihat Priyadi. Juga dia merasa girang sekali karena mendapat kesempatan untuk membalas dendam, maka dia mengeluarkan suara tawa seperti iblis, lalu bagaikan seekor binatang buas dia telah menerkam ke arah tubuh Priyadi yang terjatuh.

Priyadi telah terluka pundaknya oleh pukulan Aji Bromo kendali yang amat kuat, maka ketika terjatuh ke dalam sumur, dia tidak mampu mengatur keseimbangannya dan terbanting ke atas dasar sumur. Dia masih dalam keadaan nanar dan pundaknya seperti remuk rasanya ketika Resi Ekomolo menyerangnya. Tentu saja dia tidak dapat menghindar dan kedua tangan Resi Ekomolo yang jari-jarinya berkuku runcing seperti cakar setan itu telah mencengkeram lehernya dari kanan kiri dan tubuh kakek lumpuh itu telah menempel bagaikan seekor lintah di punggung Priyadi!

Cengkeraman yang mencekik leher itu luar biasa kuatnya sampai kuku-kuku sepuluh jari tangan itu menghunjam dan merobek kulit daging leher. Rasa nyeri yang amat hebat membuat Priyadi mengeluarkan pekik melengking kesakitan yang terdengar oleh Sutejo, diseling suara tawa Resi Ekomolo. Darah mengucur dari kanan kiri leher yang dicengkeram kedua tangan dan melihat darah, Resi Ekomolo yang bagaikan sudah menjadi gila karena terlalu lama tinggal di sumur neraka itu dan karena marah dan dendam, lalu menempelkan mulutnya ke leher yang berdarah dan menghisap darah mengacar keluar dari luka dileher Priyadi!

Priyadi merasa tidak mampu membebaskan diri dari cengkeraman yang mencekik leher itu dan dia merasa betapa rasa nyeri berdenyut-denyut menyiksa seluruh tubuhnya, terutama di bagian kepalanya. Rasa nyeri yang membuatnya hampir gila. Juga dia merasa semakin lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur keluar dan terus mengucur karena dihisap oleh kakek gila itu. Rasa nyeri yang amat sangat dan rasa diri semakin lemah menyadarkan Priyadi bahwa dirinya terancam maut, nyawanya sudah berada dalam cengkeraman maut. Maka, dia lalu menjadi nekat. Digenggamnya gagang keris pusaka liat Nogo, kemudian dengan sisa tenaganya yang masihada, dia menusukkan keris itu ke belakang punggungnya.

"Capppp...!" Keris itn menembus kulit daging, memasuki rongga dada Resi Ekomolo dan langsung menusuk jantung!

"Auuuggghhhh...!!" Resi Ekomolo menjerit, akan tetapi cengkeraman kedua tangan pada leher Priyadi tidak dapat terlepas lagi karena sepuluh jari tangannya sudah menancap dalam-dalam ke leher itu Priyadi roboh dan tubuh Resi Ekomolo terbawa roboh. Kedua orang itu tewas dalam saat yang hampir berbareng, keduanya mati dengan mata terbelalak! Roh mereka menjadi roh penasaran yang gentayangan dan menghantui sumur tua di bukit belakang perkampungan Jatikusumo itu!

Sutejo berlari cepat, kembali ke medan pertempuran. Setibanya di tempat itu, pertempuran masih berlangsung dengan seru dan hebatnya. Kini menjadi pertempuran besar karena semua orang di kedua pihak ikut bertempur. Darah tercecer di mana-mana. Tubuh-tubuh manusia yang terluka berat atau sudah tidak bernyawa lagi malang melintang dan tumpang tindih di sekitar tempat itu. Yang pertama-tama diperhatikan oleh Sutejo adalah Puteri Wandansari dan Retno Susilo. Retno Susilo ternyata mampu mendesak Bhagawan Jaladara, bukan saja pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar kehijauan itu mengurung dan mendesak Bhagawan Jaladara, bahkan agaknya pukulan Wiso Sarpo yang dipergunakan Retno Susilo telah mengejutkan pendeta itu karena ketika ditangkis, tangan kirinya terasa panas yang menembus ke tulang lengan sehingga dia dapat menduga bahwa ada hawa beracun yang amat kuat telah memasuki lengan kirinya.

Bhagawan Jaladara mulai menjadi panik, apalagi ketika dia melihat betapa rekan-rekannya juga banyak yang terdesak, bahkan anak buah Jatikusumo tampaknya tidak kuat melanda penyerbuan pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari itu. Melihat keadaan Retno Susilo sekilas tahulah Sutejo bahwa gadis itu tidak membutuhkan bantuannya dan perhatiannya dialihkan kepada Puteri Wandansari.

Berbeda dengan keadaan Retno Susilo, sang puteri ini tampaknya mengalami kesukaran untuk mengalahkan Resi Wisangkolo. Bahkan ia tampak terdesak oleh gerakan kakek itu yang amat menggiriskan. Tongkat ular hitam itu dapat ditahan oleh ilmu pedang Kartika Sakti, akan tetapi kakek itu menyelingi gerakan tongkatnya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dengan Aji Guntur Geni. Menghadapi pukulan sakti inilah sang puteri tampak kewalahan. Hanya karena ilmu pedangnya Kartika Sakti yang ampuh itu saja yang membuat sang puteri masih mampu bertahan, namun ia mulai terdesak mundur terus. Melihat ini, Sutejo segera melompat mendekati.

"Wisangkolo, resi sesat! Tibalah saatnya engkau menebus dosa-dosamu!" bentak Sutejo sambil menggerakkan Pecut Sakti Bajrakirana di tangannya.

"Tar-tar-tarrr....!" Sang Resi terkejut bukan main. Bukan hanya oleh sambaran ujung pecut yang menyerangnya bagaikan halilintar itu, melainkan juga karena munculnya Sutejo ini berarti bahwa Priyadi telah dikalahkan oleh pemuda ini. Dugaan ini membuatnya gentar, apa lagi dia pernah mengadu kesaktian melawan pemuda ini dan dia telah kalah. Kini melihat cambuk yang meledak-ledak di atas kepalanya itu, dia menangkis dengan tongkat hitamnya. Bertemunya tongkat hitam dengan ujung pecut membuat tangannya tergetar hebat dan diapun terhuyung ke belakang.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Puteri Wandansari untuk menggerakkan pedang pusaka Kartika Sakti yang menyambar ke arah leher Resi Wisangkolo dengan dahsyat sekali. Sang resi terkejut dan cepat mengelak. Ujung pedang bersinar hijau itu luput dari sasaran, tidak mengenai leher akan tetapi mengenai pundak kanan Resi wisangkolo.

"Singgg... crattt...!" Baju dan pangkal lengan dekat pundak terobek dan darah membasahi baju sang resi. Rasa perih dan nyeri pada pundaknya membuatnya menjadi marah dan nekat. Dia menubruk ke arah Sutejo sambil mengayunkan tongkat ular hitamnya, menyerang ke arah kepala pemuda itu. Namun Sutejo telah siap siaga. Cambuknya meledak dan ujung cambuk membelit tongkat lalu sekali tarik dengan pengerahan tenaga saktinya, tongkatnya terlepas dari pegangan tangan kanan Resi Wisangkolo. Kakek ini terkejut dan semakin marah. Tangan kirinya dihantamkan dengan Aji Guntur Geni. Hawa berapi keluar dari telapak tangan kiri itu menerjang ke arah Sutejo.

"Aji Bromokendali !" Sutejo berseru sambil menyambut pukulan itu dengan pukulannya yang merupakan aji pamungkas.

"Blarrr...!" Dua tenaga sakti yang amat kuat saling bertumbukan di udara dan akibatnya tubuh Resi Wisangkolo terjengkang dan roboh. Sebelum dia dapat bangkit berdiri, baru merangkak, sinar hijau berkelebat.

"Singgg... ceppp...!" Ujung pedang Kartika Sakti telah masuk menancap di lambungnya. Resi Wisangkolo yang sedang merangkak hendak bangkit itu roboh lagi dan tewas dalam genangan darahnya sendiri.

Setelah melihat betapa sang resi yang sakti itu tewas, Sutejo lalu melompat mendekati Retno Susilo yang sudah mendesak Bhagawan Jaladara. "Jaladara! Saatnya tiba bagimu untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan kejahatann mu kepada Eyang Resi Limut Manik!" teriak Sutejo dan Pecut Bajrakirana meledak-ledak di atas kepala Bhagawan Jaladara.

Sang bhagawan ini terkejut sekali. Melawan Retno Susilo saja dia sudah kewalahan, apa lagi sekarang ditambah Sutejo yang sudah dia ketahui kesaktiannya. Maka ketika Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepalanya. Bhagawan Jaladara cepat membuang dirinya ke belakang, terus bergulingan untuk menjauhkan diri, kemudian dia meloncat dan hendak melarikan diri di antara banyak orang yang sedang bertempur.

"Jahanam, jangan lari kau!" bentak Retno Susilo dan dara ini menggerakkan tangan kanan yang memegang gagang pedang Nogo Wilis. Dengan pengerahan tenaganya, ia melontarkan pedang itu ke depan. Sinar kehijauan meluncur dan menyambar ke arah tubuh Bhagawan Jaladara yang sudah mulai melarikan diri.

"Singggg... cappp... auugghhrrr...!" Tubuh Bhagawan Jaladara terjungkal ke depan dan roboh menelungkup, tidak bergerak lagi karena pedang Nogo Wilis sudah memasuki dadanya menembus jantung. Dengan sekali lompatan Retno Susilo sudah berada di dekat mayat bhagawan itu dan mencabut pedangnya, lalu membersihkan pedang yang berlepotan darah itu pada pakaian sang bhagawan.

Sutejo sudah berdiri di sampingnya dan pemuda ini menghela napas panjang, memandang kepada tubuh yang menelungkup tak bernyawa lagi itu. "Hemm. Paman Bhagawan Jaladara, ada jalan yang bersih, mengapa memilih jalan yang kotor?"

"Kakangmas Sutejo, mari kita bantu yang lain-lain! Lihat ayahmu juga belum dapat merobohkan Ki Klabangkolo!" kata Retno Susilo kepada pemuda yang termenung itu.

Sutejo sadar kembali dan memutar tubuhnya. Benar saja, dia melihat pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Dia melihat ayahnya sudah mendesak Klabangkolo akan tetapi belum dapat merobohkannya, bahkan ada dua orang anak buah Klabangkolo yang membantu datuk itu mengeroyok Harjodento. Juga ibunya, Padmosari, sudah mendesak Sekarsih yang dibantu dua orang anak buah, akan tetapi belum dapat merobobkannya.

"Kau bantulah ibuku, diajeng. Aku akan membantu ayah!" katanya.

Pada saat itu, Puteri Wandansari sudah tiba di dekat mereka dan puteri itu berkata, "Biarkan aku yang membantu Paman Harjodento dan Bibi Padmosari, kakangmas Sutejo."

Melihat sang puteri bicara kepada Sutejo, Retno Susilo memandang dengan alis berkerut. "Saya yang akan membantu mereka! Mereka adalah calon ayah dan ibu mertuaku!" kata Retno Susilo dengan suara ketus.

"Diajeng Retno!" Sutejo menegur, akan tetapi Retno Susilo sudah lari membawa pedangnya dan membantu Padmosari sehingga Sekarsih menjadi gentar. Dua orang pembantunya dalam beberapa gebrakan saja sudah roboh dan tewas oleh pedang bersinar hijau di tangan Retno Susilo itu.

"Maafkan diajeng Retno Susilo... Gusti Puteri..." kata Sutejo kepada sang puteri.

Puteri Wandansari tersenyum sehingga tampak lesung pipit di pipi kirinya dan ketika bibirnya terbelah, tampak kilatan gigi yang rapi dan putih seperti mutiara. "Mengapa engkau begini sungkan dan menyebutku gusti puteri, Kakang Sutejo? Jadi, Retno Susilo itu tunanganmu? Ah, ia sungguh gagah dan cantik, juga amat mencintamu, kakang. Aku mengucapkan selamat. Nah, bantulah ayahmu, aku akan membantu Kakang Cangak Awu dan yang lain-lain!

Setelah berkata demikian, Puteri Wandansari melompat dan membantu Cangak Awu dan Pusposari yang belum juga mampu mendesak Tumenggung Janurmendo yang tangguh. Sutejo juga berlari menghampiri ayahnya yang masih bertanding melawan Klabangkolo yang dibantu dua orang anak buahnya.

Setelah Retno Susilo membantu Padmosari, Sekarsih menjadi panik, karena dua orang yang membantunya sudah roboh dan kini sinar hijau bergulung-gulung menyerangnya dari segala penjuru, seolah ia dikurung oleh sinar hijau itu. Ia melawan mati-matian karena tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri. Namun, melawan Padmosari seorang saja ia tadi sudah kewalahan dan harus dibantu dua orang anak buah, apa lagi sekarang seorang diri ia harus melawan Padmosari yang dibantu oleh Retno Susilo yang bahkan lebih tangguh dan ganas dibandingkan isteri ketua Nogo Dento itu!

Pedang bersinar hijau itu menyambar-nyambar dan ketika Sekarsih menangkis dengan pedangnya, ia terdorong dan terhuyung ke belakang dan hampir saja pedang di tangannya terlepas! Selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, keris di tangan Padmosari menyambar ke arah perutnya. Sekarsih yang sedang terhuyung tidak dapat mengelak dan terpaksa menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kirinya bertemu ujung keris dan terluka. Pada saat itu, angin menyambar keras ke arahnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi tangan kiri Retno Susilo telah menghantam dadanya dengan Aji Wiso Sarpo!

"Desss...!!" Tubuh Sekarsih terjengkang dan ia tewas seketika karena pukulan Wiso Sarpo itu mengandung hawa beracun dari ular-ular yang paling ganas!

Harjodento masih bertanding ramai sekali menghadapi Ki Klabangkolo. Ki Klabangkolo hanya mengandalkan kaki tangannya dalam bertanding, namun kaki tangannya ini tidak kalah ampuh dibandingkan senjata tajam. Pukulan kedua tangannya mengandung angin pukulan yang bergelombang seperti badai! Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Ki Harjodento dan ketua Nogo Dento ini adalah seorang pendekar gagah perkasa yang sudah berpengalaman dalam bertanding melawan orang-orang tangguh. Apalagi dalam pertandingan ini dia mempergunakan senjata tombak panjang sehingga akhirnya Ki Klabangkolo merasa kewalahan juga.

"Klabangkolo manusia iblis! Bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!" teriak Sutejo dan dia sudah menerjang dengan senjata pecutnya.

"Tar-tar-tarrr...!" pecut itu meledak-ledak dan menari-nari di atas kepala Ki Klabangkolo seperti kilat yang menyambar-nyambar. Ki Klabangkolo terkejut bukan main. Dia melempar tubuh ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah. Ketika tombak di tangan Ki Harjodento meluncur, dia cepat menangkis dengan lengan kanannya sambil melompat bangun kembali. Akan tetapi pada saat itu ada angin dahsyat menyambar, membawa gelombang panas sekali.

"Aji Bromokendali!" Sutejo berseru dan melancarkan pukulan ampuh itu. Ki Klabangkolo terpaksa menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya karena tidak sempat mengelak lagi.

"Bllarrr...!"Tubuh, Ki Klabangkolo terjengkang dan selagi dia terhuyung dengan muka pucat dan kedua tangan menekan dada karena dia sudah terluka dalam, tiba-tiba Harjodento menyerang dengan tombaknya. Tombak meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Demikian cepatnya tombak itu menyambar sehingga Ki Klabangkolo yang sudah nanar itu tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.

"Blesss...!" Tombak memasuki dadanya sampai hampir tembus. Ki Harjodento cepat mencabut kembali tombaknya dan tubuh Ki Klabangkolo roboh terjungkal dan tewas seketika.

Sementara itu. Puteri Wandansari cepat membantu Cangak Awu dan Pusposari yang telah mendesak Janurmendo. Biarpun dikeroyok dua dan didesak. Janurmendo yang tangguh itu masih mampu mempertahankan diri.

"Janurmendo engkau telah ikut membunuh Eyang Resi Limut Manik! Rasakan sekarang pembalasanku!" teriak sang puteri dan ia sudah menyerang dengan pusaka Kartika Sakti, serangan Puteri Wandansari ini hebat bukan main, dahsyat sekali mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan cepat laksana halilintar. Tumenggung Janurmendo terkejut dan berusaha menangkis dengan kerisnya Jalu Sarpo.

"Trangg....!" Keris itu patah ujungnya bertemu dengan pedang pusaka Kartika Sakti dan pedang itu terus meluncur ke arah leher Janurmendo. Tumenggung yang digdaya ini masih sempat miringkan tubuhnya sehingga bukan lehernya yang terpenggal, melainkan ujung pundak yang robek terluka. Dia mengeluh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cangak Awu untuk menghantamkan tongkatnya yang berat ke arah tubuh lawan.

"Bukk!!" Lambung Janurmendo terhantam tongkat itu, keras sekali sehingga tubuhnya terlempar dan diapun roboh terbanting. Pedang Kartika Sari di tangan Puteri Wandansari bergerak cepat menusuk dada tumenggung itu dan habislah riwayat Tumenggung Janurmendo yang tewas seketika.

Pada saat itu, Maheso Kroda dikeroyok oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, dua orang pimpinan Sardulo Cemeng, juga telah roboh dan tewas di tangan kakak beradik ini. Robohnya semua pimpinan persekutuan Jatikusumo dan para tokoh Wirosobo ini membuat para anak buahnya menjadi gentar. Apalagi di antara mereka sudah banyak yang roboh dan tewas. Melihat bahwa mereka tidak mempunyai pimpinan lagi, maka berserabutanlah sisa mereka melarikan diri. Gerombolan itu dapat dibasmi.

Para orang gagah yang membantu penumpasan gerombolan itu, termasuk Retno Susilo, merasa kagum sekali melihat betapa Puteri Wandansari memimpin pasukannya membagi-bagi perintah dengan tegas, seperti seorang senopati yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sang puteri memerintahkan semua anggota keluarga gerombolan yang tertinggi di perkampungan Jatikusumo untuk berkumpul. Ia melarang pasukannya mengganggu para wanita dan kanak-kanak itu, bahkan lalu membagi-bagi harta yang tertinggal di situ kepada mereka, barulah menyuruh mereka meninggalkan perkampungan Jatikusumo. Juga ia membebaskan para wanita yang menjadi tawanan ditempat itu. Diapun memerintahkan pasukannya untuk menguburkan semua mayat dari korban pertempuran itu, baik mayat para musuh maupun mayat anggota pasukannya sendiri, kemudian membersihkan perkampungan itu.

Setelah tempat itu dibersihkan, Sang puteri mengumpulkan semua orang gagah yang telah membantunya dalam ruangan yang luas di mana, biasanya para murid Jatikusumo berlatih silat. Setelah mempersilakan semua orang duduk, ia bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,

"Saya merasa gembira sekali melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun di antara para saudara yang telah membantu kami mengalami cedera atau tewas. Atas nama Kerajaan Mataram kami mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara sekalian sehingga gerombolan pemberontak yang telah menguasai Jatikusumo dan bersekutu dengan Wirosobo dapat dibasmi. Kami mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar para saudara yang gagah perkasa suka membantu Mataram jika waktunya tiba untuk menundukkan para kadipaten yang memberontak terhadap Mataram. Sanggupkah saudara sekalian membantu kami?"

"Sunggup...!" Terdengar jawaban dari banyak mulut.

"Atas nama Kanjeng Rama Sultan Agung, kami mengucapkan terima kasih! Dan sekarang, mengingat bahwa perguruan Jatikusumo adalah perguruan orang-orang gagah yang telah dicemarkan oleh perbuatan Priyadi yang murtad dan berkhianat, maka sekarang perlu dibangkitkan kembali. Untuk itu, kami minta agar Kakang Cangak Awu suka memimpin Jatikusumo dan mengumpulkan kembali para murid lama yang melarikan diri, mengangkat murid-murid baru yang baik agar Jatikusumo berdiri sebagai perkumpulan yang gagah. Kami harap Kakang Cangak Awu tidak menolak untuk melaksanakan tugas yang mulia ini."

Cangak Awu merasa terharu dan dia mengangguk-angguk. "Saya akan menaati perintah Gusti Puteri Wandansari!" katanya dengan lantang sehingga terdengar oleh semua orang. Biarpun Sang puteri adalah adik seperguruannya sendiri, akan tetapi dalam keadaan seperti itu di mana banyak orang lain hadir, dia lebih suka menganggap sang puteri sebagai jujungannya dari pada sebagai adik seperguruan. "Karena murid pertama dan kedua, yaitu Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini telah tewas, dan murid ketiga si jahanam Priyadi juga sudah tewas menurut keterangan... saudara Sutejo, maka saya sebagai murid keempat berkewajiban untuk membangun kembali perguruan Jatikusumo!"

Dia agak canggung untuk menyebut Sutejo. Mau menyebut adimas, nyatanya dia akan berjodoh dengan Pusposari, adik Sutejo. Kalau menyebut kakangmas nyatanya dia lebih tua dibandingkan Sutejo. Maka agar aman, dia menyebut saja saudara!

Setelah mengatur kesemuanya sehingga keadaan di Jatikusumo beres, Puteri Wandansari lalu kembali ke kota raja memimpin pasukan Pasopati yang telah memperoleh kemenangan itu. Juga para pembantunya telah bubaran meninggalkan Jatikusumo.

Retno Susilo sengaja mengajak Sutejo untuk memisahkan diri dari yang lain ketika melakukan perjalanan kembali ke perkampungan Nogo Dento. Mereka menunggang kuda dan dua ekor kuda itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan perguruan Jatikusumo. Di sebuah lereng yang teduh, di mana terdapat sebuah hutan cemara yang indah, Retno Susilo menghentikan kudanya dan turun dari atas kuda, lalu duduk ke atas batu besar. Sutejo terpaksa turun pula dan duduk disebelahnya.

"Kakangmas, Puteri Wandansari itu sungguh hebat, ya?"

Sutejo tersenyum dan memandang wajah yang cantik jelita itu dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. Dia tahu bahwa tunangannya ini pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu. "Memang ia seorang puteri yang hebat diajeng."

"Hemm, engkau tentu kagum sekali kepadanya, bukan?" Retno Susilo kini menatap wajah kekasih hatinya penuh selidik.

Sutejo masih tetap tersenyum, lalu mengangguk. Dia harus jujur dan tidak perlu berpura-pura. "Memang sesungguhnyalah, aku kagum sekali kepadanya. Siapakah orangnya yang tidak kagum kepada Sang Puteri Wandansari? Ia seorang dara cantik jelita, puteri seorang raja besar, sakti mandraguna, bijaksana pula. Semua orang tentu kagum kepadanya!"

"Akan tetapi... engkau... engkau tidak cinta padanya, bukan?" Kini pandang mata itu mengandung kekhawatiran dan keraguan, memandang tajam seakan hendak menembus jantung dan menjenguk isi bati Sutejo.

Sutejo menundukkan mukanya sejenak, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah Retno Susilo sambil tersenyum. "Engkau ini ada-ada saja, diajeng. Aku ini siapa? Berani jatuh cinta kepada puteri raja! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung cendrawasih. Hanya bisa menjadi bahan ejekan dan tertawaan!"

"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, kakangmas. Bagiku, engkau cukup berharga untuk bersanding dengan seorang dewi kahyangan sekalipun!"

"Hemm, begitukah?"

"Akan tetapi, semua dewi dari kahyangan akan kumusuhi, kahyangan akan kuobrak-abrik kalau ada dewi yang hendak merebutmu dari hatiku!"

"Wah, cemburu, ya?" Sutejo menggoda.

"Tentu saja!" Retno Susilo mendekat dan mereka berangkulan.

Setelah terjadinya peristiwa penghancuran gerombolan di Jatikusumo itu, Sultan Agung yang mendengar akan semua pelaporan puterinya, lalu mengutus Senopati Suroantani untuk memimpin pasukan untuk melakukan ekspedisi ke Jawa Timur, untuk membujuk para Adipati dan Bupati agar mau bersatu dan tunduk kepada Mataram. Akan tetapi, usaha ini tidak ada hasilnya, bahkan beberapa kali pasukan yang dipimpin Senopati Suroantani mendapat serangan dari mereka. Akhirnya Senopati Suroantani membawa pasukannya kembali ke Mataram dan melaporkan kegagalannya.

Dalam tahun 1615, di bawah pimpinan Adipati Surabaya dan dengan Sunan Giri sebagai juru nasihat, bersatulah para bupati Lasem. Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan. Arisbaya (di Madura) dan sumenep menyerang ke Mataram! Akan tetapi penyerangan besar-besaran ini gagal dan persekutuan ini dikalahkan oleh tentara Sultan Agung. Hal ini terutama sekali kerena tentara gabungan dari JawaTimur yang memberontak kepada Mataram itu tidak memperoleh dukungan rakyat pedesaan sehingga mereka kekurangan makanan dalam perjalanan.

Sejak dahulu tercatat dalam sejarah bahwa perjuangan hanya dapat berhasil kalau didukung oleh rakyat jelata.

Pada tahun-tahun berikutnya, Sultan Agung mengerahknn pasukannya menyerbu ke JawaTimur dan berhasil menalukkan Wirosobo, Lasem dan Tuban. Dalam penyerbuan ini ikut pula para pendekar yang pernah membantu Puteri Wandansari ketika menyerbu Jatikusumo, termasuk pasangan Sutejo dan Retno Susilo, juga pasangan Cangak Awu dan Pusposari yang telah melangsungkan pernikahan kembar di perguruan Sardulo Cemeng.

Dalam tahun 1624, pasukan besar Mataram dipimpin oleh Senopati Kyai Sujono Puro menyerang Madura. Dalam penyerangan ini, Kyai Sujono Puro tewas dalam pertempuran. Lalu datang bala bantuan dari Mataram yang dipimpin oleh Senopati Kyai luru Kiting. Pasukan Mataram yang besar Jumlahnya ini menyerbu dan pasukan-pasukan Madura dikalahkan. Arisbaya, Pamekasan, Sumenep, Sampang dan Balega ditaklukkan.

Dalam kemenangannya ini Sultan Agung melakukan taktik yang amat bijaksana untuk menghilangkan rasa dendam dari daerah yang ditalukkannya, yaitu dengan jalan mengangkat Praseno, keponakan dari Bupati Arisbaya, menjadi Adipati yang menguasai seluruh Pulau Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat. Berkedudukan di Sampang. Tindakan yang bijaksana ini membuat Pangeran Cakraningrat selalu setia terhadap Sultan Agung.

Sultan Agung melanjutkan usahanya untuk menguasai seluruh jajaran Jawa Timur dengan maksud mempersatukan seluruh kekuatan untuk menghadapi kompeni Belanda. Setahun kemudian setelah Madura ditalukkan, dia memimpin pasukan menyerbu Kadipaten Surabaya. Jatuhlah Kadipaten Surabaya ketangan Sultan Agung!

Akan tetapi kembali Sultan Agung menunjukkan kebijaksanaannya. Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, tidak dihukum, bahkan dikawinkan dengan Puteri Wandansari dan diijinkan memerintah terus di Surabaya! Sungguh merupakan suatu kebijaksanaan yang membuktikan bahwa Sultan Agung bukan bermaksud menaklukkan semua daerah timur itu untuk meluaskan kekuasaannya, melainkan untuk mengajak mereka bersatu padu menentang kompeni Belanda.

Akan tetapi masih ada ganjalan bagi Sultan Agung, yaitu Sunan Giri yang belum juga mau tunduk. Dia memerintahkan kepada Adipati Surabaya untuk menundukkan Sunan Giri. Akan tetapi pasukan Surabaya itu dikalahkan oleh pasukan Sunan Giri. Akhirnya, Ratu Wandansari, yaitu puteri, Sultan Agung yang sudah menjadi isteri Adipati Surabaya atau Pangeran Pekik, memimpin sendiri pasukan yang istimewa dan kuat. Sang puteri yang gagah perkasa ini menggunakan pakaian seorang Senopati dan memimpin serangan yang kedua.

Pasukan Sunan Giri dapat dihancurkan dan Sunan Giri ditawan lalu dibawa ke Mataram. Akan tetapi kembali Sultan Agung memperlihatkan kebijaksanaannya, Sunan Giri dimaafkan, bahkan diangkat kembali menjadi pemimpin, hanya saja gelar yang boleh dipakai adalah Panembahan saja.

Kekuasaan Mataram menjadi semakin luas, Bahkan Cirebon dan Priangan mengakui kekuasaan Sultan Agung di Mataram. Pangeran Sumedang, yaitu Dipati Kusuma Dinata, diangkat menjadi wakil Sultan Agung di daerah Jawa Barat. Memang maksud Sultan Agung menundukkan semua daerah itu adalah untuk mencegah agar Kompeni Belanda tidak bisa mendapatkan kekuasaan memperluas pengaruhnya.

Mulailah Sultan Agung mengalihkan perhatiannya kepada Kompeni Belanda setelah daerah-daerah itu dapat dipersatukan dan mulailah perjuangannya menentang Kompeni Belanda yang berpusat di Batavia.

Sampai di sini selesailah sudah Kisah Pecut Sakti Bajrakirana dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembacanya.

TAMAT

SERI SELANJUTNYA SERULING GADING