Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 06
"RIWAYATKU memang tidak sesedih riwayatmu, kakang Sutejo. Akan tetapi tidak ada peristiwa yang aneh dalam hidupku selama ini, kecuali peristiwa yang terakhir di tempat ini. Biarpun aku terlahir sebagai seorang wanita, namun Kanjeng Romo mengutamakan pendidikan kanuragan untukku dan aku memang senang mempelajarinya. Para senopati di Mataram membimbingku, akan tetapi aku masih merasa tidak puas. Akhirnya mendengar akan nama besar perguruan Jatikusumo di pantai Laut Selatan daerah Pacitan, aku lalu berguru ke sana, dengan surat pengantar dari Kanjeng Romo. Aku diterima dengan baik dan jadilah aku murid perguruan Jatikusumo, dibimbing Sendiri oleh Bapa Guru Sindusakti yang menjadi kakak seperguruan dari mendiang gurumu dan Paman Bhagawan Jaladara. Setelah dinyatakan tamat belajar, aku kembali ke istana Mataram, sampai hari ini aku diutus oleh Kanjeng Romo untuk minta dukungan Eyang Resi dengan adanya keresahan karena banyak kadipaten dan kabupaten yang memperlihatkan sikap memberontak terhadap Mataram. Kanjeng Romo mengharapkan bantuan Eyang Resi Limut Manik. Maka datanglah aku ke sini. Ketika aku datang, aku melihat Eyang Resi tanpa melawan diserang dan dipukuli oleh empat orang itu. Tentu saja aku tidak dapat berpeluk tangan saja. Aku lalu menerjang mereka dan biarpun mereka berempat merupakan lawan berat, aku nekat melawan mereka mati-matian. Untung pada saat aku sudah kewalahan sekali muncul andika, kakang Sutejo sehingga akhirnya kita berdua dapat mengusir mereka."
"Andika memang hebat, diajeng. Aku kagum sekali kepadamu. Seorang diri andika berani menentang mereka"
"Tentu saja! Untuk membela Eyang Resi, aku tidak takut untuk mempertaruhkan nyawa!" kata Puteri Wandansari dengan sikap gagah.
"Tak dapat aku membayangkan semula bahwa seorang puteri istana dapat bersikap seperti andika. Tentu perguruan Jatikusumo itu sebuah perguruan yang hebat sekali dan agaknya Bhagawan Sindusakti yang masih uwa guruku itu telah menggembleng para muridnya secara hebat sekali. Selain andika, diajeng, siapa saja murid perguruan Jatikusumo? Aku ingin sekali mengetahui tentang mereka karena bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara seperguruanku."
"Perguruan yang dipimpin oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti mempunyai banyak murid, tidak kurang dari seratus orang. Akan tetapi mereka adalah murid-murid tingkat rendahan dan mereka itu dibimbing oleh para murid Bapa Guru. Sedangkan murid-murid yang digembleng oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti sendiri hanya ada lima orang termasuk aku yang merupakan murid termuda. Murid tertua bernama Maheso Seto, berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan kedua adalah Mbakyu Rahmini yang sekarang menjadi isteri kakang Maheso Seto. Murid ketiga bernama Priyadi, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, sedangkah murid keempat bernama Cangak Awu yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Nah, mereka berempat itulah kakak-kakak seperguruanku, kakang Sutejo."
"Wah, melihat kedigdayaanmu. tentu para kakak seperguranmu itu memiliki kesaktian yang hebat, diajeng Wandansari."
"Memang begitulah, kakang Sutejo. Tingkat kepandaian mereka tentu saja melebihi tingkatku, Terutama sekali kakang Maheso Seto dan mbakyu Rahmini, mereka telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu kanuragan, Kakang Maheso Seto terkenal dengan permainan pedangnya, mbakyu Rahmini terkenal dengan cambuknya, kakang Priyadi amat cerdik dan pandai bersilat keris dan kakang Cangak Awu yang keras, kasar dan jujur itu amat tangguh dengan senjata tongkatnya. Aku hanya murid bungsu, paling kecil dari Bapa Guru Sindusakti."
"Akan tetapi setelah andika menerima pedangdan ilmu pedang Kartika Sakti, aku yakin bahwa tentu lebih tangguh dari pada mereka, kata Sutejo.
"Apakah Ilmu Pedang Kartiko Sakti dan Ilmu Pecut Bajrakirana tidak diajarkan di perguruan Jatikusumo sana, diajeng?"
"Setahuku tidak, kakang Sutejo. Kami para murid hanya mendengar dari Bapa Guru, bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai dua buah pusaka dan ilmu simpanan yang hanya dikuasai oleh Eyang Resi."
Waktu berlalu amat cepatnya kalau tidak diperhatikan. Karena bercakap-cakap dengan asiknya, kedua orang muda itu tidak merasa lagi betapa cepatnya sang waktu melayang dan tahu-tahu mereka telah mendengar ayam jantan berkokok, tanda bahwa fajar telah menyingsing. Setelah terang tanah, mereka lalu menggali kuburan di antara dua makam Cantrik Pungguk dan cantrik Penggik, kemudian dengan sedehana namun khidmat mereka menguburkan jenazah Resi Limut Manik. Setelah selesai penguburan itu barulah keduanya beristirahat, Sutejo di ruangan depan sedangkan Puteri Wandansari di ruangan dalam. Mereka tidur sebentar untuk menghilangkan lelah dan kantukdan memulihkan tenaga mereka.
Tiga orang mendaki puncak Semeru. Tiga orang muda, seorang wanita dan dua orang pria itu bergerak dengan cepat dan tangkas ketika mendaki puncak, menunjukkan bahwa mereka Bertiga bukanlah orang-orang muda biasa, melainkan orang-orang muda yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun namun masih nampak muda seperti seorang gadis remaja, pakaiannya ringkas dan cukup mewah. Wajahnya cantik, matanya bersinar tajam dan di balik kecantikan wajahnya itu terkandung kekerasan yang menyinar keluar melalui pandang matanya. Sebatang cambuk hitam dililitkan di pinggang yang ramping itu. Mulutnya yang berbentuk manis itu membayangkan keangkuhan karena sadar akan kemampuan dirinya.
Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, wajahnya genteng dengan kumis melintang. Sebuah tahi lalat sebesar kedele menghias dagunya. Sepasang matanya juga mengeluarkan sinar tajam dan keras, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang ke tiga adalah seorang laki-laki yang lebih tinggi besar lagi, seperti raksasa muda, usianya sekitar dua puluh empat tahan. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi wajah ini membayangkan kekasaran dan kejujuran. Matanya yang lebar itu memandang dengan terbuka dan mendatangkan kesan bodoh.
Siapakah mereka yang mendaki puncak mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi itu. Mereka itu bukan lain adalah tiga orang murid perguruan Jatikusumo! Wanita itu bernama Rahmini, murid kedua dari Sang Bhagawan Sindusakti. Yang berjalan di sebelahnya adalah suaminya bernama Maheso Seto, murid pertama dari Bhagawan Sindusakti dan orang ketiga adalah Canggak Awu, murid keempat yang bertubuh seperti raksasa.
Dengan cepat mereka bertiga tiba di depan pondok tempat tinggal mendiang Resi Limut Manik. Mereka bertiga memandang ke kanan kiri dan ketiganya merasa heran melihat keadaan di situ demikian sunyi, tidak ada suara dan tidak, tampak seorangpun cantrik, sedangkan pintu pondok itu, tertutup. Padahal, matahari telah naik cukup tinggi sehingga agaknya tidak mungkin kalau penghuni pondok masih tidur.
"Kulonuwun....!" Maheso Seto berseru. Mereka bertiga memandang ke arah pintu pondok, namun tidak ada jawaban, juga pintu pondok tidak dibuka dari dalam.
"Sungguh aneh! Mereka semua pergi ke mana?" kata Rahmini sambil menghampiri pintu pondok dan menggunakan jari tangannya untuk mengetuk pintu. "Tok-tok-tok-tok!" Beberapa kali ia mengulang ketukannya namun tetap saja tidak ada jawaban.
Rahmini menjadi jengkel dan ia mengerahkan tenaga dalamnya lalu berseru, suaranya tinggi melengking nyaring menggetarkan seluruh pondok. "Kulonuwuuuunnn......!"
Suara yang melengking nyaring ini menggugah Sutejo dan Puteri Wandansari dari tidurnya. Sutejo yang terbangun lebih dulu dan dia meloncat bangun, berdiri lalu menuju ke pintu depan pondok sambil menjawab, "Monggoooo......!"
Pintu dibuka Sutejo dari dalam dan dengan rambut masih agak awut-awutan dia melangkah keluar, memandang kepada tiga orang itu dengan mata bertanya karena dia tidak mengenal tiga orang itu. Tiga orang itupun menatap, wajah Sutejo dengan heran. Maheso Seto segera menegur Sutejo dengan alis berkerut, "Kisanak, siapa andika dan mengapa andika berada di sini? Di mana para cantrik dan di mana pula Eyang Resi Limut Manik?"
Sutejo juga mengerutkan alisnya. Dia merasa curiga. Jangan-jangan tiga orang ini adalah orang-orangnya Adipati Wirosobo juga, pikirnya. "Siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah andika mencari Eyang Resi Limut Manik?"
Canggak Ayu yang berwatak kasar dan jujur itu segera membentak, "Kisanak, kami adalah cucu-cucu murid Eyang Resi Limut Manik!Hayo katakan siapa andika dan di mana adanya Eyang Resi!"
Sutejo terkejut dan dia cepat dapat menduga siapa adanya tiga orang ini. Orang tinggi besar seperti raksasa yang memegang sebatang tongkat ini tentu adalah murid perguruan Jatikusumo yang bernama Cangak Awu, dan pria dan wanita itu tentulah pasangan Maheso Seto dan Rahmini! Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, dari dalam keluarlah Puteri Wandansari.
"Kakang Mahesa Seto! Mbakayu Rahmini dan Kakang Cangak Awu!" teriaknya girang melihat tiga orang itu.
Akan tetapi Rahmini mengerutkan alisnya ketika melihat Puteri Wandansari keluar dengan rambut awut-awutan dan jelas sekali seperti orang baru bangun tidur. Juga rambutnyayang terlepas itu membuktikan bahwa ia seorang wanita, tidak seperti dandanannya sebagai seorang pria, sehingga pemuda tampan itu tentu sudah tahu bahwa Puteri Wandansari adalah seorang wanita. "Diajeng Wandansari!" bentak Rahmini dengan suara lantang. "Apa yang kau lakukan didalam pondok bersama pemuda itu!?"
Wajah puteri Wandansari berubah merah mendengar teguran yang mengandung nada menuduh dan mencela ini. "Mbakyu Rahmini, sebelum aku memberi penjelasan, perkenalkan dulu, ini adalah Kakang Sutejo, murid dari Paman Bhagawan Sidik Paningal di Gunung Kawi, yang sekarang telah meninggal dunia. Kebetulan saja kami, berdua datang pada saat berbareng di sini dan kami berdua melihat dua orang cantrik telah terbunuh dan Eyang Resi Limut Manis dikeroyok empat orang. Kami berdua segera turun tangan membantu sehingga empat orang itu terusir pergi, akan tetapi Kanjeng Eyang Resi mengalami luka-luka parah sehingga akhirnya meninggal dunia."
"Eyang Resi meninggal dunia?" terdengar suara Cangak Awu menggeledek. "Siapa empat orang jahat itu?"
"Kakang, Cangak Awu, para penyerang itu bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara bersama tiga orang kawannya," kata puteri Wandansari.
"Paman Jaladara? Akan tetapi bagaimana mungkin Paman Bhagawan Jaladara dapat menyerang dan melukai Eyang Resi?" tanya Maheso Seto terheran-heran.
"Paman Bhagawan Jaladara memegaag Pecut Pecut Bajrakirana dan agaknya Eyang Resi tidak melakukan perlawanan." jawab Puteri Wandansari.
"Lanjutkan ceritamu, lalu bagaimana engkau sampai berdua saja dengan orang muda ini?" Rahmini mendesak, alisnya tetap berkerut.
"Mbakyu, kami berdua merawat dan Menunggu sampai Eyang Resi meninggal dunia. Kemarin dan tadi malam kami tidak tidur, menjagai jenazah Eyang Resi, dia pagi-pagi tadi kami lalu menguburnya seperti yang beliau pesan. Karena kelelahan, maka kami mengaso dan tidur."
"Hemmm, sungguh tidak pantas! Sungguh melanggar kesusilaan! Seorang gadis tidur berdua dalam sebuah pondok kosong!" Rahmini mencela dan pandang matanya kepada Sutejo dan Puteri Wandansari jelas membayangkan prasangka bahwa kedua orang muda itu tentu telah melakukan hal yang tidak senonoh. "Mbakyu Rahmini! kami tidur terpisah, dia di ruangan depan, aku di ruangan dalam!" bantah Puteri Wandansari. Suaranya meninggi.
"Akan tetapi, tetap saja tidak patut seorang gadis berdua saja dengan seorang pria di dalam, sebuah pondok kosong! Seorang murid Jatikusumo harus tahu aturan dan tidak melanggar pantangan!" kembali Rahmini menyerang dengan galaknya.
Puteri Wandansari memandang dengan mata bersinar seperti mengeluarkan api karena marah. Kalau yang bicara itu bukan kakak seperguruannya, tentu telah dimaki dan diserangnya karena ucapannya itu sungguh merupakan dugaan yang keji dan kotor. "Mbakyu Rahmini! Tahan sedikit ucapaknmu yang menuduh itu. Aku bukan saja murid Jatikusumo akan tetapi juga puteri Kanjeng Romo Sultan yang dapat menjaga martabat dan kesusilaan! Dan kakang Sutejo bukan orang lain, melainkan murid Paman Bhagawan Sidik Paningal, jadi terhitung masih kakak seperguruanku sendiri. Kami tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Mbakyu Rahmini patut mengetahui hal itu!"
Rahmini masih cemberut. "Akan tetapi...."
"Sudahlah, untuk apa ribut-ribut? Aku percaya bahwa diajeng Wandansari dapat menjaga kehormatan dan diri. Sekarang Eyang Resi telah meninggal dunia, perlu kita selidiki tentang pusaka-pusaka itu!" kata Maheso Seto mencegah isterinya bicara lagi memanaskan suasana. Sambil memandang ke arah Puteri Wandansari, Maheso Seto melanjutkan, "Diajeng Wandansari, sebelum Eyang Resi meninggal dunia, tentu beliau meninggalkan pesan kepadamu, terutama mengenai dua buah pusaka milik beliau, yaitu Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Sakti Kartika Sakti,"
"Kakang Maheso Seto, seperti telah kuceritakan tadi, Pecut Bajrakirananya berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara dan dibawanya lari pergi," kata Puteri Wandansari.
"Dan kitabnya? Kitab pelajaran Ilmu Cambuk Bajrakirana?" tanya Maheso Seto.
Puteri Wandansari tidak menjawab melainkan menoleh dan memandang kepada Sutejo. Dengan sikap tenang Sutejo berkata kepada Maheso Seto, "Eyang Guru Resi Limut Manik telah berkenan memberikan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepadaku dan menugaskan aku untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara."
"Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya?" "Pedang Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya telah diberikan kepadaku oleh mendiang Eyang Resi, Kakang Maheso Seto." kata Puteri Wandansari.
"Serahkan semua itu kepada kami!" bentak Rahmini dengan galak. "Sutejo, engkau harus menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut sakti bajrakirana itu kepada kami!" kata Maheso Seto kepada Sutejo.
"Mendiang Eyang Resi telah menyerahkannya kepadaku, kenapa harus kuserahkan kepada andika? tanya Sutejo ragu.
"Karena kitab itu harus diserahkan kepada Bapa Guru Sindusakti. Kitab itu adalah benda pusaka perguruan Jatikusumo. Dan engkau juga, diajeng Wandasari. Pedang pusaka Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya itu harus kau serahkan kepada kami untuk dihaturkan kepada Bapa, Guru. Kami bertiga memang datang ke sini diutus oleh Bapa Guru untuk minta dua buah pusaka dan kitab-kitabnya itu dari Eyang Guru."
Puteri Wandaasari mengerutkan alisnya dan otomatis tangan kanannya meraba gagang pedang Kartiko Sakti yang tergantung di punggungnya. "Maaf, kakang Maheso Seto. Pedang pusaka ini oleh mendiang Eyang Resi telah diberikan kepadaku, maka terpaksa aku menolak permintaan mu, biarlah, kelak aku sendiri yang akan melaporkan kepada Bapa Guru dan beliau tentu dapat mengerti."
"Diajeng Wandansari! Berani engkau menentang kakak-kakak seperguruanmu?"
"Aku tidak berani menentang, akan tetapi pedang pusaka ini adalah hakku, mbakyu Rahmini. Eyang Resi telah memberikan kepadaku berikut. kitab pelajarannya dan tidak akan kuserahkan kepada siapapun."
"Kalau bagitu, aku akan merampasnya dari tanganmu!" bentak Rahmini dan dia sudah melangkah maju, membuka pasangan untuk menyerang adik seperguruannya itu.
"Sutejo, serahkan kitab pelajaran Ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku!" seru Mahesa Seto sambilmenghampiri Sutejo dan diapun sudah siap untuk menyerang pemuda itu. "Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
Pada saat itu Cangak Awu maju ke depan dan berkata, "Kakang Maheso Seto, mbakayu Rahmini, harap mundur dan ingatlah. Kita adalah saudara-saudara seperguruan sendiri. Adimas Sutejo sebagai murid Paman Bhagawan Sidik Paningal adalah juga saudara seperguruan kita. Tidak baik menggunakan kekerasan di antara saudara sendiri. Akan ditertawai orang bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai murid-murid yang tidak dapat hidup rukun! Biarlah urusan ini kita laporkan saja kepada Bapa Guru dan biar beliau yang memutuskan."
Ucapan Cangak Awu itu menyadarkan Maheso Seto. "Hemm. kalau tidak ada adimas Cangak Awu yang mengingatkanku, tentu aku sudah menghajarmu, Sutejo!" Dia menoleh kepada isterinya dan berkata, "Sudahlah, adimas Cangak Awu benar, kita laporkan saja kepada Bapa Guru. Mari kita pergi!"
Rahmini mengerutkan alisnya dan sejenak menatap wajah Puteri Wandansari dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia lalu membalikkan tubuh dan mengikuti suaminya yang sudah melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Cagak Awu memandang kepada Puteri Wandansari. "Diajeng Wandansari, aku pamit."
"Silakan, kakang Cangak Awu, dan selamat jalan. Sampaikan, saja sembah hormatku kepada Bapa Guru." jawab Puteri Wandansari. Orang tinggi besar itu mengangguk dan dia lalu membalikkan tubuh dan melangkah lebar mengejar kedua orang kakak seperguruannya.
Setelah bayangan tiga orang itu menghilang ditikungan. Sutejo memandang Puteri Wandansari dan berkata, "Jadi itukah kakak-kakak seperguruanmu, murid-murid Jatikusumo."
Puteri Wandansari juga memandang wajah Sutejo dan ia menghela napas. "Sebetulnya mereka adalah orang-orang gagah perkasa, akan tetapi memang Kakang Maheso Seto, terutama sekali Mbakayu Rahmini memiliki watak yang keras."
"Tadi andaikata mereka benar-benar menyerang kita, lalu apa yang akan kau lakukan, diajeng Wandansari?"
"Hemm, tentu saja aku akan melawannya semampuku. Mungkin aku tidak akan menang melawan Mbakayu Rahmini, akan tetapi, aku harus melawan karena aku mempertahankan hakku dan aku tidak merasa bersalah.Dan bagaimana denganandika, kakang Sutejo?"
"Aku? Aku tidak tahu, Aku masih bingung. Tentu akupun tidak akan mampu menandingi Kakang Maheso Seto. Sebagai murid pertama dari Uwa Guru Sindusakti, tentu tingkat ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali."
"Jadi andika akan menyerahkan kitab Bajrakirana begitu saja kepada kakang Maheso Seto?" "Entahlah, akan tetapi peristiwa tadi sungguh membuat hatiku merasa tidak enak, diajeng Wandansari. Bagaimanapun juga aku bukanlah murid perguruan Jatikusumo sungguhpun guruku adalah adik seperguruan ketua perguruan Jatikusumo. Aku merasa seperti orang luar, tidak seperti andika yang berurusan dengan keluarga seperguruan sendiri. Bisa saja mereka menganggap aku tidak berhak memiliki Bajrakirana
"Tidak! Aku yang menjadi saksi, kakang Sutejo! Aku yang menyaksikan ketika mendiang Sang Resi menyerahkah kitab Bajrakirana kepadamu dan aku akan menerangkan kepada siapapun juga, termasuk kepada Bapa Guru, Bajrakirana, juga pecutnya, telah diberikan kepadamu dan andika berhak memilikinya!"
"Sekarang apa yang akan andika lakukan, diajeng?"
"Aku akan pulang ke kota raja, kakang Sutejo. Aku akan melapor kepada Kanjeng Romo tentang wafatnya Eyang Resi, dan aku akan tekun melatih diri dengan Ilmu Pedang Kartika Sakti. Dan andika sendiri, kakang Sutejo?"
"Kalau saja Pecut Bajrakirana sudah terampas olehku, akupun akan pergi ke Mataram karena aku ingin menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti Sultan. Akan tetapi karena pecut pusaka itu masih berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara, maka aku harus mencari dan merampas dulu pecut itu, Setelah pusaka itu berada di tanganku, baru aku akan pergi ke Mataram dan menghambakan diriku."
"Baik, kakang Sutejo. Kanjeng Romo tentu akan senang sekali menerimamu dan memberimu kedudukan yang sesuai dengan kemampuanmu. Aku akan menerangkan kepada Kanjeng Romo bahwa engkau terhitung masih kakak seperguruanku dan pantas untuk menjadi seorang senopati."
"Senopati? Ah, andika bergurau, diajeng! Orang seperti aku ini mana pantas menjadi seorang senopati?"
"Mengapa tidak, kakang Sutejo? Aku tahu bahwa andika kini memiliki tingkat ilmu kanuragan yang cukup hebat. Andika hanya perlu untuk mempelajari ilmu perang, yaitu cara memimpin pasukan untuk maju perang. Kalau andika sudah mempelajari ilmu perang, andika akan menjadi seorang senopati yang boleh diandalkan."
Sutejo tersipu, merasa malu dan merasa akan kekurangan pada dirinya, akan tetapi hatinya gembira sekali mendengar ucapan puteri itu.
"Nah sekarang aku pergi, kakang. Selamat tinggal dan mudah-mudahan andika akan cepat berhasil merampas kembali Pecut Bajrakirana."
"Selamat jalan dan selamat berpisah, diajeng. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali."
Gadis itu lalu melangkah pergi, kemudian mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Sutejo. Setelah bayangan itu lenyap, Sutejo menarik napas panjang, pikirannya menggerayangi hati sendiri lalu dia mencela diri sendiri. "Bodoh kau! Engkau ibarat katak merindukan bulan. Sadarlah siapa engkau dan siapa dia!" Dia lalu mengusir semua gagasan dan bayangan itu, kemudian pergi ke kandang di belakang pondok, mengeluarkan tiga ekor kerbau milik mendiang Resi Limut Manik dan dituntunnya tiga ekor kerbau itu turun dari puncak, Di pondok itu kini tidak ada siapapun juga. Kalau kerbau-kerbau itu dia tinggalkan, tentu akan mati kelaparan atau diambil orang yang tidak berhak. Dari pada begitu, lebih baik dia bawa turun puncak dan dia berikan kepada para petani miskin yang membutuhkannya.
Ketika tibadi dusun pertama dilereng Semeru, Sutejo lalu menyerahkan tiga ekor kerbau itu kepada keluarga miskin yang menerimanya dengan gembira sekali. Setelah itu, Sutejo melanjutkan perjalanan menuju ke Wirosobo karena dia tahu bahwa untuk mencari Bhagawan Jaladara, dia harus pergi ke kadipaten itu.
Iring-iringan pengantin itu menarik perhatian orang, terutama anak-anak banyak yang mengikutinya ketika melewati dusun itu. Rombongan itu adalah rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong ke tempat tinggal calon suaminya. Di depan rombongan berjalan lima orang laki-laki tinggi besar dangagah sekali dengan golok tergantung di pinggang. Mereka adalah pengawal-pengawal yang menjaga keselamatan rombongan yang terdiri dari dua puluh orang lebih itu.
Serombongan penabuh gamelan berjalan di belakang sambil menabuh gamelan sehingga iring-iringan itu berjalan meriah. Selebihnya adalah sanak keluarga pengantin wanita dan para penjemput yang diutus pengantin pria untuk menjemput dan memboyong pengantin wanita. Kalauada pengantin wanita dari dusun diboyong orang, hal itu berarti bahwa pengantin prianya tentu seorang bangsawan atau hartawan.
Pengantin wanitanya duduk di dalam sebuah joli yang dipikul empat orang. Biarpun ada suara gamelan, akan tetapi lapat-lapat terdengar tangis sedih keluar dari dalam tandu (Joli). Hal inipun bukan suara aneh karena sebagian besar pengantin wanita menangis pada saat diboyong, menangis karena harus meninggalkan ayah bundanya, menangis karena gelisah menghadapi kehidupan baru yang tidak dikenal sebelumnya, atau menangis karena ini merupakan suatu kepantasan. Bahkan menjadi pergujingan orang kalau pengantin wanita tidak menangis! Karena itulah, suara tangis itu tidak diperhatikan orang.
Ketika rombongan keluar dari dusun, berpapasan dengan seorang dara yang bepakaian ringkas dan yang membawa pedang di punggungnya. Dara yang cantik jelita, bermata tajam dan mulutnya berbibir menggairahkan. Ia adalah Retno Susilo yang baru saja meninggalkan tempat pertapaan gurunya, Nyi Rukmo Petak, setelah ia memperdalam ilmunya. Selama seratus hari ia melatih diri dengan dan ilmu baru yang merupakan, ilmu simpanan gurunya, yaitu Aji Gelap Sewu dan Aji Wiso Sarpo yang mengandung hawa beracun. Setelah menguasai dua macam ilmu baru ini ia lalu meninggalkan gurunya, akan tetapi ia mendapatkan sebuah tugas.
"Retno, sekali ini aku minta balas jasa darimu. Sudah banyak aku mengajarkan ilmu dan sekarang aku minta agar engkau membantuku membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Dengan kepandaianmu yang sekarang, aku percaya engkau akan mampu membunuh orang yang amat kubenci itu."
Retno Susilo mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang amat berat. Membunuh seseorang! "Mengapa orang itu harus dibunuh Nyi Dewi? Dan siapakah dia?"
"Tidak perlu engkau tahu mengapa aku ingin agar engkau membunuhnya. Namanya Harjodento dan dia, adalah ketua dari perguruan silat Nogo Dento yang berpusat di Lembah Bengawan Solo di daerah Ngawi. Kalau engkau dapat, sekalian bunuh isterinya yang bernama Padmosari. Atau kalau tidak dapat kedua-keduanya, bunuh seorang di antara mereka sudah cukuplah bagiku. Inilah tugas yang kuberikan kepadamu, Retno dan harus kau lakukan demi untuk membalas budi yang selama ini kulimpahkan kepadamu."
Berat sekali rasa hati Retno Susilo menerima tugas ini. Ia harus membunuh orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak diketahui mengapa ia harus membunuh mereka, apa dosa mereka. Permusuhan gurunya dengan merekapun tidak ia ketahui. Akan tetapi karena gurunya menyebut-nyebut tentang tadi, Iapun tidak kuasa untuk membantah atau menolak.
"Baik, Nyi, Dewi, akan kulaksanakan tugas itu."
"Akan tetapi berhati-hatilah! Dia memiliki banyak murid dan anak buah. Biarpun demikian, dia seorang yang gagah dan kalau engkau menantangnya untuk bertanding satu lawan satu, dia pasti tidak akan mau melakukan pengeroyokan."
Demikianlah, Retno Susilo meninggalkan gurunya dan pada hari itu, ia berpapasan dengan rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong menuju ke rumah calon suaminya di dusun lain. Kalau orang-orang lain mendengar tangis pengantin wanita menganggapnya sebagai hal biasa saja. Retno Susilo mengerutkan alisnya ketika mendengar tangis itu. Ia dapat menangkap kesedihan dan ketakutan yang mendalam terkandung dalam tangis itu dan hatinya tertarik sekali. Di sana ada seorang wanita yang berada dalam kegelisahan dan kedukaan, yang membutuhkan uluran tangan untuk menolongnya. Ia tidak mungkin tinggal diam saja! Maka, setelah rombongan itu lewat, Retno Susilo lalu berbalik dan cepat ia mengejar, lalu mendahului rombongan itu dan setelah tiba di depan, ia membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan.
"Berhenti!" serunya kepada lima orang pengawal yang bersenjata golok dan tampak seram menakutkan itu.
Tentu saja lima orang pengawal dan semua anggota rombongan itu memandang dengan heran dan segera terdengar decak-decak kekaguman di antara para anggota rombongan pria setelah melihat dara yang menghentikan mereka itu. Kecantikkan luar biasa yang jarang mereka lihat. Bagaimana mereka berlima dapat bersikap galak terhadap seorang dara yang demikian ayu? Mereka terdiri daripria yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun dan seorang di antara mereka yang berkumis melintang dan menjadi pemimpindiantara mereka, segera melangkah maju.
Sambil memasang aksi tersenyum segaya mungkin, diapun berkata sambil melahap wajah ayu itu dengan pandang matanya. "Nimas ayu, siapakah andika dan mengapa pula andika menghentikan perjalanan kami?" Pertanyaan itu terdengar lembut dan sama sekali tidak galak! Karena orang bersikap lunak dan ramah, Retno Susilo menjadi tidak enak hati juga. Iapun tersenyum. Hanya sedetik, akan tetapi cukup membuat jantung hati si kumis melintang itu jungkir balik!
"Siapa adanya aku tidaklah penting dan aku sengaja menghentikan rombongan ini karena ingin bicara dengan mempelai wanita yang berada di di dalam joli." Setelah berkata demikian, ia menyusup ke dalam rombongan itu menghampiri joli yang dipikul empat orang itu. "Turunkan joli ini!" kata Retno Susilo kepada empat orang itu. Karena terpesona oleh kecantikan dara itu, empat orang pemikul joli juga tidak mampu menolak permintaan itu dan mereka, lalu perlahan-lahan menurunkan joli di mana terdapat pengantin wanita yang masih menangis.
Kini tangisnya makin jelas terdengar karena para penabuh gamelan menghentikan tabuhan mereka dan semua orang memandang kepada Retno Susilo yang membuka tirai joli. Retno Susilo melihat seorang gadis remaja duduk di dalam joli dan ketika tirai dibuka, gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Air matanya bercucuran menuruni kedua pipinya. Gadis itu masih amat muda, paling banyak lima belas tahun usianya, berdandan seperti seorang pengantin. Cadar yang menutupi mukanya telah ia singkapkan dan wajah yang manis itu tampak ketakutan dan berduka sekali. Ia memandang Retno Susilo dengan Sepasang mata merah dan ketakutan seperti mata seekor kelinci yang ditangkap.
"Jangan takut, adik yang manis. Engkau menjadi pengantin, mengapa menangis di sepanjang Jalan? Mengapa engkau tidak bergembira seperti kebiasaan pengantin lain dan menangis sedih?"
Ditanya demikian, gadis remaja yang masih kekanak-kanakan itu makin mengguguk dalam tangisnya dan ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Retno Susilo memegang pundaknya dan menghibur. "Jangan takut, katakanlah saja kalau engkau tidak suka menjadi pengantin. Aku akan menolongmu."
"Saya......saya dipaksa ..... saya tidak suka." Akhirnya gadis itu berkata.
"Siapa yang memaksamu? Orang tuamu?"
Gadis itu menggeleng kepala dan menahan isaknya sehingga pundaknya bergoyang-goyang. "Tidak, ayah dan ibu malah dipaksa dan mereka ketakutan."
"Tenanglah, adik yang manis. Ceritakan yang jelas, siapa namamu dan mengapa engkau dipaksa menikah? Siapa yang memaksamu?"
Pada saat itu, lima orang tukang pukul sudah mendekati Retno Susilo. Si kumis melintang mengerutkan alis dan merasa tak senang juga melihat kelancangan Retno Susilo yang bertanya-tanya kepada mempelai wanita. Mereka adalah pengawal-pengawal yang dikirim oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita dan keamanan di perjalanan merupakan tanggung jawab mereka. "Heii, nimas ayu, apa yang kau lakukan ini!" bentaknya sambil mendekati Retno Susilo. "Engkau tidak boleh membuka tirai joli dan mengajak mempelai wanita bercakap-cakap!"
Retno Susilo memutar tubuh dan menghadapinya."Hemm,siapa yang tidak memperbolehkan?"
"Kami berlima bertugas menjadi pengawal dan menjaga keamanan, kami yang melarang!" kata si kumis melintang garang.
Retno Susilo mengedipkan kepalanya dan membusungkan dadanya. "Kalau aku tetap mengajaknya bicara kalian mau apa? Ia dipaksa menikah, dan aku malah akan membebaskannya, memulangkannya ke desanya dan siapapun juga tidak boleh memaksanya menikah!"
Lima orang pengawal itu terkejut mendengar ini dan biarpun yang bicara itu adalah seorang dara yang sangat cantik, tetap saja mereka menjadi marah sekali. "Bocah perempuan lancang! Berani andika mengacau dan menentang kami?"
"Mengapa tidak berani? Ditambah seratus orang lagi macam kalian, aku tidak akan undur selangkahpun!"
"Babo-babo, bocah kurang ajar, andika tidak takut dihajar! Kawan-kawan, kita tangkap dia!" perintah si kumis melintang dan dia sendiri mendahului kawan-kawannya untuk menubruk ke arah Retno Susilo sambil mengembangkan kedua lengan untuk menangkap dara jelita itu. Empat orang kawannya juga cepat bergerak dan seperti berebut hendak berlomba untuk menangkap dan merangkul dara yang menggemaskan namun juga menarik hati itu.
"Bressss.......!" Lima orang itu saling bertubrukan karena ketika mereka menubruk ke arah satu sasaran, sasaran iiu tiba-tiba seperti menghilang, demikian cepatnya Retno Susilo bergerak menghindar sehingga mereka saling bertubrukan. Ketika mereka memutar tubuh sambil menggosok-gosok bagian muka yang berbenturan, mereka melihat Retno Susilo sudah berdiri sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada sambil tersenyum memandang mereka.
Lima orang itu menjadi penasaran dan mereka berlomba lagi untuk meraih tubuh dara itu, ada yang menyambar lengan, ada yang menangkap pundak dan ada yang menubruk seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba gemuk. Akan tetapi yang disergap sudah melompat ke atas dan ketika tiba di atas tubuh Retno Susilo berjungkir balik. Lima orang itu menengadah dan saat itu, kedua tangan dara perkasa itu bergerak cepat sekali, membagi tamparan kepada wajah-wajah yang menengadah itu.
"Plak-plak-plak-plak-plak!" Lima orang itu masing-masing terkena tamparan pada muka mereka, hanya sekali saja setiap orang akan tetapi yang sekali itu sudah cukup untuk membuat mereka terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, pipi mereka bengkak!
Bukan main marahnya lima orang pengawal itu. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah terkenal di daerah itu. selama bertahun-tahun tidak ada orang berani menentang mereka, dan kalau ada yang berani, tentu akan mereka hajar babak belur. Akan tetapi sekali ini mereka ditampari sampai terpelanting jatuh oleh seorang dara di depan banyak orang lagi. Sungguh suatu peristiwa yang membuat mereka merasa malu dan terhina, sekaligus menghancurkan nama mereka sebagai jagoan-jagoan yang ditakuti orang-orang. Tanpa dikomando, lima orang itu sudah mencabut golok masing-masing. Retno susilo tidak tampak sebagai seorang gadis ayu yang memikat hati lagi, melainkan tampak sebagai seorang musuh yang harus dibunuh!
"Bocah keparat!" si kumis melintang memaki dan bersama empat orang kawannya dia mengepung Retno Susilo, kemudian mereka menyerang dengan golok mereka. Semua orang yang menonton merasa ngeri karena mereka membayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita yang mulus itu akan menjadi korban bacokan lima batang golok yang berkilauan saking tajamnya itu.
Akan tetapi Retno Susilo sudah siap siaga. Ia mengelak mempergunakan kecepatan gerakannya. Bagaikan seekor burung sikatan saja tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok dan kedua tangannya seperti ular mematuk. Untuk kecepatan gerakan tubuhnya ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti, dan tangannya diisi Aji Gelap Sewu ketika membagi-bagi pukulan.
"Des-des-des-des-dess!" Lima kali tangannya menyambar dengan Aji Gelap Sewu, akan tetapi tentu saja ia membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh orang. Akan tetapi pukulan itu sungguh hebat. Lima orang itu sempoyongan seperti orang mabuk sebelum mereka terkulai dan roboh seperti sehelai kain basah dengan mati menjadi juling dan bumi rasanya terputar-putar!
"Bagaimana? Apakah kalian masih ingin melarangku?" Retno Susilo bertanya kepada si kumis melintang.
"Ampuh..... tobat..... kami menyerah kepada raden ajeng....." Si kumis melintang berkata terengah-engah dan menyembah-nyembah, diikuti empat orang temannya. Mereka benar-benar sudah takluk karena maklum bahwa dara itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Baru tangannya saja sudah seampuh itu, apa lagi kalau gadis itu mencabut pedang yang tergantung di punggungnya!
Retno Susilo menghampiri joli di mana gadis cilik ini bersembunyi dengan wajah ketakutan. "Jangan takut. Keluarlah engkau, adik kecil," Setelah menuntun gadis remaja itu keluar dari joli, ia lalu memandang ke sekeliling, ke arah rombongan orang-orang yang mengantar pengantin. "Siapa di antara kalian yang menjadi keluarga pengantin wanita ini?"
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan menjawab. "Saya adalah pamannya, den ajeng."
"Bagus, sekarang aku serahkan adik ini kepadamu. Engkau harus membawanya pulang ke dusunnya dan menyerahkannya kembali kepada orang tuanya."
Laki-laki itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. "Ampun, den ajeng. Akan tetapi saya.... saya tidak berani..... saya tentu akan dibunuh Raden Prabowo....."
"Hemm, siapa Raden Prabowo itu?"
"Dia pengantin pria yang memboyong Sartumi.
"Jangan takut. Aku akan menggantikan menjadi pengantin wanita. Bawalah dia pulang dan kalau ada apa-apa, akulah yang menanggung! Sartumi namamu, adik? Lepaskan hiasan kepalamu berikut cadar itu, akan kupakai!"
Retno susilo membantu pengantin wanita itu melepaskan hiasan kepala dan kemudian menyuruh ia cepat pergi bersama pamannya untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya. Setelah itu Retno Susilo memasuki joli, memasang hiasan kepala berikut cadarnya dan berkata kepada empat orang pemikul. "Hayo cepat pikul aku dan semua rombongan bergerak menuju ke rumah Raden Prabowo! Bunyikan gamelan dan kalian lima orang pengawal, berjalanlah seperti biasa di sebelah depan. Jangan takut, aku seoranglah yang akan bertanggung jawab atas semua peristiwa ini!"
Lima orang pengawal yang sudah kehilangan nyali itu sambil menundukkan kepala berjalan di depan dan rombongan itupun bergerak maju melanjutkan perjalanan. Gamelanpun ditabuh dan tampaknya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Tentu saja di dalam hati, semua anggota rombongan merasa tegang dan jantung mereka berdebar gelisah karena mereka tahu tentu akan terjadi hal-hal hebat setelah mereka tiba di rumah Raden Prabowo! Sementara itu Sartumi gadis remaja yang dipaksa menjadi pengantin itu, telah dibawa pergi pamannya pulang ke rumah orang tuanya.
Raden Prabowo adalah seorang laki-laki hartawan yang tinggal di dusun Sintren. Dia amat terkenal, ditakuti dan disegani orang sedusun, bahkan oleh para penghuni dusun-dusun di sekitarnya karena dia kaya raya dan karena dia adik dari kepala dusun Sintren, mempunyai banyak tukang pukul, dan suka "menolong" penduduk dusun-dusun itu dengan uang pinjaman yang disertai bunga tinggi. Tidak ada orang yang berani menentangnya. Dia minta disebut "raden" walaupun dia sama sekali tidak mempunyai keturunan darah bangsawan.
Raden Prabowo adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan muka kemerahan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dia sudah beristeri dan bahkan memiliki selir sebanyak empat orang. Namun dia masih selalu haus akan wanita muda dan seringkali dia mengganggu para wanita cantik di dusun-dusun itu, baik yang masih perawan maupun yang sudah menjadi isteri orang. Dan wanita manapun yang ditaksirnya, harus didapatkannya, baik secara halus maupun kasar. Karena itulah, banyak keluarga yang mempunyai anggauta keluarga wanita cantik, pergi mengungsi dan pindah ke lain dusun. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyerah kepada nasib, bahkan ada yang senang kalau anak perempuannya dikehendaki Raden Prabowo karena dengan demikian maka mudah bagi mereka untuk mendapatkan uang dari hartawan itu.
Sartumi, gadis remaja dusun Sintren itupun menarik perhatian Raden Prabowo dan dia menghendaki agar gadis yang baru berusia Lima belas tahun itu menjadi selirnya yang nomer lima! Dengan jalan mengancam dan sekaligus membujuk dengan banyak uang kepada orang tua Sartumi, akhirnya dia berhasil mendapatkan gadis itu dan pada hari itu, dia merayakan pernikahannya dengan Sartumi. Dia mengutus lima orang di antara para jagoannya untuk pergi ke dusun tempat tinggal Sartumi dan memboyong gadis itu ke rumahnya di mana dia telah menanti sebagai seorang pengantin pria dan di situ telah berkumpul pula banyak tamu. Gamelan telah dibunyikan sejak pagi tadi.
"Pengantin datang! Pengantin datang! Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira dan mereka berlari-larian menyambut iring-iringan pengantin yang datang menuju ke rumah besar yang sudah dirias dengan meriah itu.
Semua orang menyambut kedatangan rombongan itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat dengan jelas betapa semua anggota rombongan itu tampak seperti orang bingung dan tegang, bahkan lima orang pengawal yang biasanya tampak gagah itu kini kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menduga apa yang telah terjadi.
Para anggauta rombongan berhenti dipendopo, dan atas isarat dari orang yang menyambut dan mengatur rombongan, empat orang pemikul joli disuruh masuk dah terus memikul joli itu membawanya ke ruangan tengah. Ruangan ini letaknya sangat tinggi sehingga tampak jelas oleh para tamu yang telah duduk di seputar ruangan yang disediakan untuk pertemuan dua orang pengantin itu.
Pengantin pria muncul, dengan berpakaian serba indah. Raden Prabowo yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah cukup tampan itu sambil tersenyum lebar melangkah maju menyambut joli itu. Empat orang pemikul joli segera menurunkan joli itu di tengah ruangan dan. disaksikan oleh ratusan pasang mata para tamu Raden Prabowo menghampiri joli dan menyingkap tirai joli. Joli kini terbuka dan semua orang melihat pengantin wanita yang duduk di dalam joli dengan muka tertutup cadar dan hiasan kepala.
Sambil tersenyum gembira Raden Prabowo mengulurkan tangan untuk membantu pengantin wanita keluar dari joli. Akan tetapi pengantin wanita tidak menerima uluran tangan itu dan melangkah sendiri keluar dari joli. Setelah pengantin wanita berdiri di luar joli, baru terasalah oleh Raden Prabowo kelainan yang ada pada diri pengantin wanita, Wanita ini bukan Sartumi! Tubuhnya lebih tinggi dan lebih langsing, lebih matang dari pada tubuh Sartumi yang masih remaja!
"Eh, andika bukan Sartumi.....!" kata Raden Prabowo sambil melangkah maju dan tangannya menyambar cadar untuk dibukanya. Akan tetapi Retno Susilo mundur melangkah dan sambaran tangan pada cadar itu luput. Dengan perlahan Retno Susilo membuka sendiri cadar yang menutupi mukanya sehingga kini wajahnya tampak jelas.
Raden Prabowo terbelalak sebentar, akan tetapi kemudian sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri gembira karena dia melihat bahwa wanita ini jauh lebih cantik jelita daripada Sartumi!
"Andika ...... bukan Sartumi.... akan tetapi tidak mengapa.... aku senang menerima andika sebagai selirku yang ke lima......!" Hatinya senang sekali walaupun dia terheran-heran. "Siapa nama andika dan dari mana andika datang, diajeng?"
Retno Susilo melepaskan hiasan kepalanya dan membantingnya ke atas lantai sehingga benda itu hancur berantakan. Kini tampaklah Retno Susilo yang asli, dengan rambutnya yang hitam panjang, matanya yang bersinar tajam seperti bintang kejora dan mulutnya yang tersenyum manis penuh daya tarik. Akan tetapi tampak pula pedang yang tergantung di punggungnya, yang mendatangkan kesan gagah perkasa. Semua tamu memandang kepadanya dengan terheran-heran akan tetapi juga terkagum-kagum oleh kecantikannya. Retno Susilo menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Raden Prabowo dan terdengar suaranya lantang. "Apakah engkau yang bernama Raden Prabowo?"
Semua orang terkejut dan heran mendengar "pengantin wanita" yang tampak marah itu membanting hiasan kepala lalu bertanya seperti itu kepada pengantin pria. Sementara itu lima orang pengawal tadi sudah berbisik-bisik kepada para jagoan pengikut Raden Prabowo yang jumlahnya ada belasan orang. Para jagoan itu terkejut mendengar laporan lima orang kawannya tentang Retno Susilo yang kini menyamar sebagai pengantin wanita. Mendengar bahwa wanita itu telah membebaskan Sartumi dan telah memukul roboh lima orang pengawal, mereka menjadi marah dan kini belasan orang tukang pukul itu sudah mendekat dan mengepung Retno Susilo untuk melindungi Raden Prabowo.
Raden Prabowo yang masih kegirangan dan merasa gembira mendapatkan seorang dara yang demikian cantik jelita seperti bidadari, masih dapat tersenyum dan memasang gaya. "Benar sekali, diajeng. Akulah yang bernama Raden Prabowo dan akulah yang akan menjadi suamimu!"
"Keparat jahanam! Engkau telah mempergunakan kekayaanmu untuk memaksa gadis remaja bernama Sartumi untuk menjadi selirmu! Aku sengaja membebaskan Sartumi dan datang ke sini Untuk mengakhiri perbuatanmu yang sewenang-wenang...!"
Baru terkejutlah hati Raden Prabowo melihat sikap dan mendengar bentakan Retno Susilo itu. akan tetapi dia juga menjadi marah sekali. Dengan alis berkerut dan mata terbelalak dia memandang kepada dara itu karena merasa dia dihina di depan para tamu yang banyak. Apa lagi dia melihat belasan orang tukang pukulnya sudah mengepung tempat itu hatinya menjadi besar dan tabah.
"Hei, perempuan asing! Siapakah namamu dan berani sekali engkau menghinaku!"
"Aku adalah Retno Susilo dan aku sengaja datang ke sini untuk memberi hajaran kepadamu, kalau engkau tidak menghentikan kesewenang-wenanganmu, merampas wanita untuk dijadikan selir, aku tentu akan membunuhmu!"
Raden Prabowo bukan seorang yang lemah. Dia pernah mempelajari ilmu kanuragan. "Kurang ajar ! Engkaulah yang akan kutangkap dan kuberi pelajaran! Hyaaaaattt.....!"
Tiba-tiba Prabowo menubruk ke depan, maksudnya untuk meringkus tubuh yang bahenol itu. Akan tetapi dia menubruk angin karena Retno Susilo telah mengelak ke kiri dan dari kiri kakinya mencuat dalam sebuah tendangan "Bukkk......!"Perut Prabowo terkena tendangan yang keras, Tubuhnya terjengkang dan dia terbanting keras. Perutnya menjadi mulas karena tendangan itu dan pinggulnya menghantam lantai, membuat dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan mengelus pinggul.
"Aduh..... aduhhh..... tangkap ia.....!" Ia mengaduh sambil memerintahkan para tukang pukulnya untuk mengeroyok Retno Susilo.
Akan tetapi, empat orang tukang pukul yang lebih dulu maju, disambut tamparan-tamparan kedua tangan Retno Susilo dan empat orang itu berpelantingan ke kanan kiri sehingga para tukang pukul yang lain menjadi gentar dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat!
Pada saat itu, sebelum para tukang pukul menggunakan senjata untuk mengeroyok, terdengar suara nyaring berseru. "Biarkan aku yang akan menangkapnya!" Seorang laki-laki tinggi kurus yang tadi duduk di bagian tamu kehormatan, sudah melompat dan berdiri di depan Retno Susilo. Gadis itu memandangnya dan segera mengenal laki-laki berusia empat puiuh lima tahun, bertubuh tinggi kurus itu.
"Hemmm, kiranya andika berada di sini, Mahesa Meta! Pantas saja Prabowo berani berbuat sewenang-wenang, kiranya, andika adalah kawannya!" Retno Susilo berkata mengejek. Ia masih mengenal baik perampok yang pernah memusuhi perkumpulan Sardulo Cemeng yang dipimpin ayahnya itu. Perampok ini pernah dikalahkan Sutejo dan tidak dibunuh, dilepas dan diampuni.
"Retno Susilo! Tadinya aku hampir tidak mengenalmu, akan tetapi setelah engkau memperkenalkan namamu, teringatlah aku bahwa engkau adalah gadis kurang ajar puteri Ki Mundingsosro! Bagus sekali, sekarang tibalah saatnya aku membalas dendam. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu, melainkan menangkapmu untuk kuserahkan kepada anakmas Prabowo agar mempermainkanmu sepuasnya sebelum engkau dibunuh!"
Merah wajah Retno Susilo mendengar ucapan yang amat menghinanya itu. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka Mahesa Meta dan ia membentak. "Keparat Mahesa Meta! Lupakah engkau ketika dulu diampuni oleh Kakang Sutejo? Kiranya engkau masih saja mengumbar nafsu kejahatanmu dan sekarang aku tidak akan mengampuni mu lagi!"
Mahesa Meta maklum bahwa Retno Susilo adalah seorang dara perkasa yang pernah mengalahkan kawannya ketika dia mengadu ilmu dengan pihak Sardulo Cemeng. Akan tetapi dia menganggap bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak akan mampu menandinginya, maka dia memandang rendah. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dahulupun sebelum ia diberi ilmu simpanan oleh Nyi Rukmo Petak, tingkat ilmu kepandaian Retno Susilo sudah tidak akan tertandingi olehnya. Apa lagi sekarang setelah Retno Susilo mempelajari dua ilmu baru yang amat ampuh!
"Bocah sombong, rasakan pembalasanku sekarang!" bentak Mahesa Meta.
Retno Susilo memandang sambil tersenyum mengejek."Sebagai seorang manusia yang curang dan licik, engkau tentu akan mempergunakan pengeroyokan. Akan tetapi, aku tidak takut menghadapi pengeroyokanmu!"
Ucapan itu memanaskan hati Mahesa Meta. Dia merupakan tamu kehormatan Prabowo yang pernah menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat darinya. Para tamu juga sudah tahu bahwa dia merupakan tamu kehormatan karena tempat duduknya di sebelah kanan tempat duduk pengantin. Dan kini dia menerima, ucapan yang di anggapnya amat memandang rendah dan menghinanya dari seorang wanita muda, seorang gadis yang baru menjelang dewasa. Saking marahnya dia melolos rantai baja yang dibelit kan di pinggang sebagai sabuk. Lupa dia akan niatnya tadi untuk menangkap dara itu dan diserahkan kepada Prabowo. Dengan sabuk rantai baja di tangan, tentu saja niatnya hanya satu, ialah merobohkan gadis itu, mungkin membunuhnya! Sambil memutar-mutar rantai bajanya, dia melangkah maju menghampiri Retno Susilo.
Para tamu yang merasa tidak setuju, diam-diam lalu meninggalkan tempat itu, tidak tega melihat dara perkasa yang berani menentang Prabowo itu celaka di tangan para tukang pukul. Mereka tidaksenang dengan tindakan yang dilakukan Prabowo, akan tetapi mereka adalah orang-orang dusun yang tidak berani menentang. Akan tetapi mereka yang menjadi teman-teman Prabowo menonton dengan senang hendak melihat bagaimana tamu Prabowo yang dihormati itu menundukkan gadis yang mereka anggap terlalu kurang ajar itu.
"Wirrrr.... syuuuuttt....! Rantai baja itu menyambar ke arah kepala Retno Susilo. Akan tetapi dara itu dengan lincahnya mengelak dengan menekuk lututnya sehingga kepalanya merendah. Rantai baja meluncur lewat di atas kepalanya dan sekali tangan kanannya bergerak, dara itu telah mencabut sebatang pedang. Sinar kehijauan menyilaukan mata ketika Pedang Pusaka Nogo Wilis tercabut dan sinar hijau itu meluncur ke arah dada Mahesa Meta. Orang ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu, kemudian dia memutar rantai bajanya menyerang lagi. Sekali ini Retno Susilo tidak mengelak melainkan menggerakkan pedangnya menangkis.
"Trangggg.....!" Bunga api berpijar ketika, pedang bertemu rantai baja dan alangkah terkejut hati Mahesa Meta melihat betapa ujung rantai bajanya putus! Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah dan rantainya diputar menjadi segulungan sinar menerjang ke arah dara itu.
Retno Susilo juga memainkan pedangnya dan karena ia mengandalkan kecepatan geraknya dengan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat seperti kilat dan membingungkan Mahesa Meta yang hanya melihat bayangan berkelebat di seputar dirinya! Terpaksa dia memutar rantai bajanya untuk melindungi dirinya karena dia tidak tahu dari arah mana lawan akan menyerang dengan pedang pusakanya yang ampuh.
Prabowo menjadi tidak sabar melihat betapa Mahesa Meta tidak mampu mendesak gadis itu. Dia masih meringis kesakitan. Pinggulnya sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi perutnya yang tertendang masih mulas. Agaknya isi perutnya terguncang ! Sambil melogis memegangi perutnya dengan mendongkol dia lalu memberi aba-aba kepada para tukang pukulnya untuk maju mengeroyok dara perkasa itu. Prabowo adalah seorang yang cerdik dan licik. Dia tahu bahwa dara perkasa itu adalah seorang yang amat tangguh dan akan sukarlah menangkapnya dalam keadaan hidup-hidup dan tidak terluka seperti yang dikehendakinya. Dia ingin mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup Untuk membalas penghinaan yang telah diterimanya!
"Pergunakan jaring!" perintahnya. "Tangkap ia hidup-hidup!"
Para tukang pukul itu mengerti akan maksud majikan mereka maka beberapa orang lain berlari-larian mengambil jaring yang biasa mereka pakai menjala ikan di sungai. Tak lama kemudian belasan orang sudah mengepung Retno Susilo dan mereka membawa jaring-jaring ikan. Dengan jaring-jaring itulah mereka menyerang Retno susilo.
Dara itu terkejut sekali. Serangan Mahesa Meta sudah berbahaya dan ia harus berhati-hati memainkan pedangnya untuk menghalau serangan itu. Ia sudah mulai dapat mendesak lawan dan menanti saat baik untuk menggunakan Aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu atau kalau perlu ia dapat menggunakan Aji Wiso Sarpo untuk membunuh lawan itu. Akan tetapi, belasan orang yang mengeroyoknya itu menggunakan jaring yang membuat ia repot sekali.
Sehelai jaring menyelimuti tubuhnya. Akan tetapi ia sempat menggerakkan pedangnya dan jaring itu robek semua membuat ia terbebas kembali. Akan tetap ijaring kedua, ketiga dan seterusnya datang seperti hujan dan iapun tertutup jaring-jaring itu. Ia meronta-ronta, berusaha menggerakkan pedangnya, akan tetapi tali-tali jaring itu membuat ia tidak dapat bergerak leluasa dan sebelum ia mampu membebaskan dirinya, belasan tangan telah meringkusnya dan ia segera diikat kaki tangannya sehingga tidak mampu bergerak lagi!
"Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau seperti seekor ikan emas terjaring, tinggal memanggang dan memakan saja!" Prabowo yang melihat hasil baik ini melupakan nyeri di perutnya dan dia tertawa-tawa, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Retno Susilo yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu ke dalam kamarnya. Dara itu ditelentangkan di atas pembaringan dalam kamar pengantin dan kaki tangannya diikat kuat-kuat sehingga tidak mampu bergerak. Pedangnya dirampas oleh Mahesa Meta dengan hati girang karena dia mendapatkan sebuah senjata pusaka yang ampuh.
Pesta pora dilanjutkan oleh Prabowo dengan para tamu yang tinggal sedikit itu, tinggal teman-temannya sendiri dan mereka yang cocok dengan perbuatan sesat, sebanyak kurang lebih lima puluh orang. Mereka mabok-mabokan sampai tengah malam baru bubaran. Akan tetapi setelah semua orang berpamit dan pergi meninggalkan tempat pesta, bahkan para niyogo juga sudah mengangkati alat tabuhan mereka dan meninggalkan tempat itu.
Mahesa Meta yang menemani Prabowo makan minum melihat seorang laki-laki tua masih duduk minum tuak seorang diri. Laki-laki itu sudah tua, lebih dari lima puluh tahun usianya, wajahnya penuh brewok seperti muka singa, pakaiannya longgar seperti pakaian seorang pertapa. Kedua orang itu, dan juga para tukang pukul yang masih berjaga di situ, merasa heran melihat orang ini. Tak seorangpun mengenalnya dan agaknya tadi dia menyelinap di antara para tamu untuk menikmati hidangan.
Seorang tamu yang tidak diundang dan menggunakan kesempatan itu untuk, makan minum sepuasnya! Bahkan sekarangpun setelah semua tamu pergi, orang itu masih minum-minum seorang diri. Melihat cara dia minum tuak, sungguh luar biasa. Dia minum terus menerus tanpa menjadi mabuk. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar gembira, mulut yang tertutup kumis dan jenggot itu hanya tampak giginya ketika dia menyeringai. Sepintas dia melihat ke arah mereka yang sedang memandangnya dan dia mengangguk-angguk lalu berkata seorang diri.
"Bagus, bagus! Tuak yang baik, makanan yang enak, hari ini aku mendapat rejeki bagus, ha-ha- ha-ha!"
Prabowo mengerutkan alisnya dan ketikaMahesa Meta memandang kepadanya, dia mengangguk dan berkata, 揔akang Mahesa Meta, minta dia meninggalkan tempat ini!?
......... sekali dan setiap sambaran rantai baja selain dapat dielakkannya dengan cepat. Meja dan kursi di sekitar tempat itulah yang menjadi korban pengamukan rantai baja Mahesa Meta sehingga hancur dan terlempar berserakan. Karena orang itu hanya mengelak terus, Mahesa Meta membuat kesalahan dengan mengira bahwa orang itu jerih terhadapnya. Maka dia menyerang terus dengan ganasnya dan suatu saat rantai bajanya menyambar dari depan ke arah dada orang itu. Sekali ini, kakek itu tidak mengelak melainkan menerima ujung rantai baja itu dengan tangan kanannya.
"Wuuuutttt.....plakk!" Ujung rantai baja itu dapat ditangkapnya dan tiba-tiba saja orang itu menggerakkan tangan kanannya dan melepaskan ujung rantai baja. Senjata itu menyambar ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi ujung rantai baja itu mengenai muka Mahesa Meta dengan keras sekali karena ketika melemparkannya, orang itu mengerahkan tenaga dalam yang amat kuat.
"Wuuuttt.....desss.....!" Muka Mahesa Meta. dihantam ujung rantai bajanya sendiri dan demikian kerasnya hantaman itu sehingga kepalanya seketika retak dan Mahesa Meta tak sempat mengeluarkan jeritan, tubuhnya terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka hancur dan kepala retak!
Melihat ini, Prabowo menjadi terkejut sekali. Dia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya tangannya saja yang memberi isarat menuding-nuding ke arah kakek itu, mengerahkan semua tukang pukulnya untuk mengeroyok. Para tukang pukul itu dengan golok di tangan sudah maju mengepung dan tanpa dikomando lagi mereka yang berjumlah lima belas orang itu menyerang dari semua jurusan dengan golok mereka.
Orang itu tertawa mengejek dan menyambut dengan gerakan kaki tangannya. Para pengeroyok itu seperti diserang badai. Mereka berpelantingan terkena tendangan atau tamparan sehingga dalam waktu singkat mereka telah roboh semua dan saking takutnya mereka tidak berani bangkit lagi. Orang itupun tidak memperdulikan mereka dan dia melangkah di antara tubuh-tubuh para tukang pukul yang bergelimpangan, menghampiri mayat Mahesa Meta, membungkuk dan mengambil Pedang Nogo Wilis milik Retno Susilo yang tadi dirampas perampok tunggal dari Gunung Kelud itu, kemudian menyelipkan pedang itu di ikat pinggangnya dan dia masuk ke dalam rumah besar. Dia tidak memperdulikan Prabowo yang melarikan diri tunggang langgang ke dalam rumah dan bersembunyi ketakutan.
Dimasukinya kamar pengantin itu dan dilihatnya Retno Susilo yang telentang diatas pembaringan dengan kedua kaki tangan terikat. "Hemm, engkau terlalu berharga untuk terjatuh ke tangan jahanam-jahanam busuk itu!" katanya dan tangan kirinya meraih lalu dipondongnya tubuh Retno Susilo, dipanggulnya di pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri lalu dia membawa tubuh gadis itu keluar dari rumah dengan langkah lebar. Ditinggalkannya rumah itu dan tidak ada seorangpun berani menghalanginya, Para penduduk dusun itupun hanya berani melihat dari jauh saja ketika kakek yang memanggul tubuh Retno Susilo itu keluar dari dusun dengan langkah lebar dan gerakan kaki cepat sekali.
Sejak dibawa pergi dari rumah Prabowo, Retno Susilo dalam keadaan sadar bahwa ia dibawa pergi seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pertapa dan mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa jantan. Ia diam saja karena maklum bahwa baru saja ia terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan di tangan Prabowo yang telah menawannya. Ia tidak tahu apa yang dikehendaki kakek singa itu yang memanggulnya dan setelah keluar dari dusun lalu berlari dengan cepat sekali. Diam diam ia mengerahkan tenaga dan mencoba untuk membebaskan diri dari ikatan tangannya, namun tidak berhasil. Ternyata ikatan itu kuat sekali.
"Andika memang hebat, diajeng. Aku kagum sekali kepadamu. Seorang diri andika berani menentang mereka"
"Tentu saja! Untuk membela Eyang Resi, aku tidak takut untuk mempertaruhkan nyawa!" kata Puteri Wandansari dengan sikap gagah.
"Tak dapat aku membayangkan semula bahwa seorang puteri istana dapat bersikap seperti andika. Tentu perguruan Jatikusumo itu sebuah perguruan yang hebat sekali dan agaknya Bhagawan Sindusakti yang masih uwa guruku itu telah menggembleng para muridnya secara hebat sekali. Selain andika, diajeng, siapa saja murid perguruan Jatikusumo? Aku ingin sekali mengetahui tentang mereka karena bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara seperguruanku."
"Perguruan yang dipimpin oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti mempunyai banyak murid, tidak kurang dari seratus orang. Akan tetapi mereka adalah murid-murid tingkat rendahan dan mereka itu dibimbing oleh para murid Bapa Guru. Sedangkan murid-murid yang digembleng oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti sendiri hanya ada lima orang termasuk aku yang merupakan murid termuda. Murid tertua bernama Maheso Seto, berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan kedua adalah Mbakyu Rahmini yang sekarang menjadi isteri kakang Maheso Seto. Murid ketiga bernama Priyadi, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, sedangkah murid keempat bernama Cangak Awu yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Nah, mereka berempat itulah kakak-kakak seperguruanku, kakang Sutejo."
"Wah, melihat kedigdayaanmu. tentu para kakak seperguranmu itu memiliki kesaktian yang hebat, diajeng Wandansari."
"Memang begitulah, kakang Sutejo. Tingkat kepandaian mereka tentu saja melebihi tingkatku, Terutama sekali kakang Maheso Seto dan mbakyu Rahmini, mereka telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu kanuragan, Kakang Maheso Seto terkenal dengan permainan pedangnya, mbakyu Rahmini terkenal dengan cambuknya, kakang Priyadi amat cerdik dan pandai bersilat keris dan kakang Cangak Awu yang keras, kasar dan jujur itu amat tangguh dengan senjata tongkatnya. Aku hanya murid bungsu, paling kecil dari Bapa Guru Sindusakti."
"Akan tetapi setelah andika menerima pedangdan ilmu pedang Kartika Sakti, aku yakin bahwa tentu lebih tangguh dari pada mereka, kata Sutejo.
"Apakah Ilmu Pedang Kartiko Sakti dan Ilmu Pecut Bajrakirana tidak diajarkan di perguruan Jatikusumo sana, diajeng?"
"Setahuku tidak, kakang Sutejo. Kami para murid hanya mendengar dari Bapa Guru, bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai dua buah pusaka dan ilmu simpanan yang hanya dikuasai oleh Eyang Resi."
Waktu berlalu amat cepatnya kalau tidak diperhatikan. Karena bercakap-cakap dengan asiknya, kedua orang muda itu tidak merasa lagi betapa cepatnya sang waktu melayang dan tahu-tahu mereka telah mendengar ayam jantan berkokok, tanda bahwa fajar telah menyingsing. Setelah terang tanah, mereka lalu menggali kuburan di antara dua makam Cantrik Pungguk dan cantrik Penggik, kemudian dengan sedehana namun khidmat mereka menguburkan jenazah Resi Limut Manik. Setelah selesai penguburan itu barulah keduanya beristirahat, Sutejo di ruangan depan sedangkan Puteri Wandansari di ruangan dalam. Mereka tidur sebentar untuk menghilangkan lelah dan kantukdan memulihkan tenaga mereka.
Tiga orang mendaki puncak Semeru. Tiga orang muda, seorang wanita dan dua orang pria itu bergerak dengan cepat dan tangkas ketika mendaki puncak, menunjukkan bahwa mereka Bertiga bukanlah orang-orang muda biasa, melainkan orang-orang muda yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun namun masih nampak muda seperti seorang gadis remaja, pakaiannya ringkas dan cukup mewah. Wajahnya cantik, matanya bersinar tajam dan di balik kecantikan wajahnya itu terkandung kekerasan yang menyinar keluar melalui pandang matanya. Sebatang cambuk hitam dililitkan di pinggang yang ramping itu. Mulutnya yang berbentuk manis itu membayangkan keangkuhan karena sadar akan kemampuan dirinya.
Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, wajahnya genteng dengan kumis melintang. Sebuah tahi lalat sebesar kedele menghias dagunya. Sepasang matanya juga mengeluarkan sinar tajam dan keras, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang ke tiga adalah seorang laki-laki yang lebih tinggi besar lagi, seperti raksasa muda, usianya sekitar dua puluh empat tahan. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi wajah ini membayangkan kekasaran dan kejujuran. Matanya yang lebar itu memandang dengan terbuka dan mendatangkan kesan bodoh.
Siapakah mereka yang mendaki puncak mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi itu. Mereka itu bukan lain adalah tiga orang murid perguruan Jatikusumo! Wanita itu bernama Rahmini, murid kedua dari Sang Bhagawan Sindusakti. Yang berjalan di sebelahnya adalah suaminya bernama Maheso Seto, murid pertama dari Bhagawan Sindusakti dan orang ketiga adalah Canggak Awu, murid keempat yang bertubuh seperti raksasa.
Dengan cepat mereka bertiga tiba di depan pondok tempat tinggal mendiang Resi Limut Manik. Mereka bertiga memandang ke kanan kiri dan ketiganya merasa heran melihat keadaan di situ demikian sunyi, tidak ada suara dan tidak, tampak seorangpun cantrik, sedangkan pintu pondok itu, tertutup. Padahal, matahari telah naik cukup tinggi sehingga agaknya tidak mungkin kalau penghuni pondok masih tidur.
"Kulonuwun....!" Maheso Seto berseru. Mereka bertiga memandang ke arah pintu pondok, namun tidak ada jawaban, juga pintu pondok tidak dibuka dari dalam.
"Sungguh aneh! Mereka semua pergi ke mana?" kata Rahmini sambil menghampiri pintu pondok dan menggunakan jari tangannya untuk mengetuk pintu. "Tok-tok-tok-tok!" Beberapa kali ia mengulang ketukannya namun tetap saja tidak ada jawaban.
Rahmini menjadi jengkel dan ia mengerahkan tenaga dalamnya lalu berseru, suaranya tinggi melengking nyaring menggetarkan seluruh pondok. "Kulonuwuuuunnn......!"
Suara yang melengking nyaring ini menggugah Sutejo dan Puteri Wandansari dari tidurnya. Sutejo yang terbangun lebih dulu dan dia meloncat bangun, berdiri lalu menuju ke pintu depan pondok sambil menjawab, "Monggoooo......!"
Pintu dibuka Sutejo dari dalam dan dengan rambut masih agak awut-awutan dia melangkah keluar, memandang kepada tiga orang itu dengan mata bertanya karena dia tidak mengenal tiga orang itu. Tiga orang itupun menatap, wajah Sutejo dengan heran. Maheso Seto segera menegur Sutejo dengan alis berkerut, "Kisanak, siapa andika dan mengapa andika berada di sini? Di mana para cantrik dan di mana pula Eyang Resi Limut Manik?"
Sutejo juga mengerutkan alisnya. Dia merasa curiga. Jangan-jangan tiga orang ini adalah orang-orangnya Adipati Wirosobo juga, pikirnya. "Siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah andika mencari Eyang Resi Limut Manik?"
Canggak Ayu yang berwatak kasar dan jujur itu segera membentak, "Kisanak, kami adalah cucu-cucu murid Eyang Resi Limut Manik!Hayo katakan siapa andika dan di mana adanya Eyang Resi!"
Sutejo terkejut dan dia cepat dapat menduga siapa adanya tiga orang ini. Orang tinggi besar seperti raksasa yang memegang sebatang tongkat ini tentu adalah murid perguruan Jatikusumo yang bernama Cangak Awu, dan pria dan wanita itu tentulah pasangan Maheso Seto dan Rahmini! Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, dari dalam keluarlah Puteri Wandansari.
"Kakang Mahesa Seto! Mbakayu Rahmini dan Kakang Cangak Awu!" teriaknya girang melihat tiga orang itu.
Akan tetapi Rahmini mengerutkan alisnya ketika melihat Puteri Wandansari keluar dengan rambut awut-awutan dan jelas sekali seperti orang baru bangun tidur. Juga rambutnyayang terlepas itu membuktikan bahwa ia seorang wanita, tidak seperti dandanannya sebagai seorang pria, sehingga pemuda tampan itu tentu sudah tahu bahwa Puteri Wandansari adalah seorang wanita. "Diajeng Wandansari!" bentak Rahmini dengan suara lantang. "Apa yang kau lakukan didalam pondok bersama pemuda itu!?"
Wajah puteri Wandansari berubah merah mendengar teguran yang mengandung nada menuduh dan mencela ini. "Mbakyu Rahmini, sebelum aku memberi penjelasan, perkenalkan dulu, ini adalah Kakang Sutejo, murid dari Paman Bhagawan Sidik Paningal di Gunung Kawi, yang sekarang telah meninggal dunia. Kebetulan saja kami, berdua datang pada saat berbareng di sini dan kami berdua melihat dua orang cantrik telah terbunuh dan Eyang Resi Limut Manis dikeroyok empat orang. Kami berdua segera turun tangan membantu sehingga empat orang itu terusir pergi, akan tetapi Kanjeng Eyang Resi mengalami luka-luka parah sehingga akhirnya meninggal dunia."
"Eyang Resi meninggal dunia?" terdengar suara Cangak Awu menggeledek. "Siapa empat orang jahat itu?"
"Kakang, Cangak Awu, para penyerang itu bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara bersama tiga orang kawannya," kata puteri Wandansari.
"Paman Jaladara? Akan tetapi bagaimana mungkin Paman Bhagawan Jaladara dapat menyerang dan melukai Eyang Resi?" tanya Maheso Seto terheran-heran.
"Paman Bhagawan Jaladara memegaag Pecut Pecut Bajrakirana dan agaknya Eyang Resi tidak melakukan perlawanan." jawab Puteri Wandansari.
"Lanjutkan ceritamu, lalu bagaimana engkau sampai berdua saja dengan orang muda ini?" Rahmini mendesak, alisnya tetap berkerut.
"Mbakyu, kami berdua merawat dan Menunggu sampai Eyang Resi meninggal dunia. Kemarin dan tadi malam kami tidak tidur, menjagai jenazah Eyang Resi, dia pagi-pagi tadi kami lalu menguburnya seperti yang beliau pesan. Karena kelelahan, maka kami mengaso dan tidur."
"Hemmm, sungguh tidak pantas! Sungguh melanggar kesusilaan! Seorang gadis tidur berdua dalam sebuah pondok kosong!" Rahmini mencela dan pandang matanya kepada Sutejo dan Puteri Wandansari jelas membayangkan prasangka bahwa kedua orang muda itu tentu telah melakukan hal yang tidak senonoh. "Mbakyu Rahmini! kami tidur terpisah, dia di ruangan depan, aku di ruangan dalam!" bantah Puteri Wandansari. Suaranya meninggi.
"Akan tetapi, tetap saja tidak patut seorang gadis berdua saja dengan seorang pria di dalam, sebuah pondok kosong! Seorang murid Jatikusumo harus tahu aturan dan tidak melanggar pantangan!" kembali Rahmini menyerang dengan galaknya.
Puteri Wandansari memandang dengan mata bersinar seperti mengeluarkan api karena marah. Kalau yang bicara itu bukan kakak seperguruannya, tentu telah dimaki dan diserangnya karena ucapannya itu sungguh merupakan dugaan yang keji dan kotor. "Mbakyu Rahmini! Tahan sedikit ucapaknmu yang menuduh itu. Aku bukan saja murid Jatikusumo akan tetapi juga puteri Kanjeng Romo Sultan yang dapat menjaga martabat dan kesusilaan! Dan kakang Sutejo bukan orang lain, melainkan murid Paman Bhagawan Sidik Paningal, jadi terhitung masih kakak seperguruanku sendiri. Kami tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Mbakyu Rahmini patut mengetahui hal itu!"
Rahmini masih cemberut. "Akan tetapi...."
"Sudahlah, untuk apa ribut-ribut? Aku percaya bahwa diajeng Wandansari dapat menjaga kehormatan dan diri. Sekarang Eyang Resi telah meninggal dunia, perlu kita selidiki tentang pusaka-pusaka itu!" kata Maheso Seto mencegah isterinya bicara lagi memanaskan suasana. Sambil memandang ke arah Puteri Wandansari, Maheso Seto melanjutkan, "Diajeng Wandansari, sebelum Eyang Resi meninggal dunia, tentu beliau meninggalkan pesan kepadamu, terutama mengenai dua buah pusaka milik beliau, yaitu Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Sakti Kartika Sakti,"
"Kakang Maheso Seto, seperti telah kuceritakan tadi, Pecut Bajrakirananya berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara dan dibawanya lari pergi," kata Puteri Wandansari.
"Dan kitabnya? Kitab pelajaran Ilmu Cambuk Bajrakirana?" tanya Maheso Seto.
Puteri Wandansari tidak menjawab melainkan menoleh dan memandang kepada Sutejo. Dengan sikap tenang Sutejo berkata kepada Maheso Seto, "Eyang Guru Resi Limut Manik telah berkenan memberikan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepadaku dan menugaskan aku untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara."
"Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya?" "Pedang Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya telah diberikan kepadaku oleh mendiang Eyang Resi, Kakang Maheso Seto." kata Puteri Wandansari.
"Serahkan semua itu kepada kami!" bentak Rahmini dengan galak. "Sutejo, engkau harus menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut sakti bajrakirana itu kepada kami!" kata Maheso Seto kepada Sutejo.
"Mendiang Eyang Resi telah menyerahkannya kepadaku, kenapa harus kuserahkan kepada andika? tanya Sutejo ragu.
"Karena kitab itu harus diserahkan kepada Bapa Guru Sindusakti. Kitab itu adalah benda pusaka perguruan Jatikusumo. Dan engkau juga, diajeng Wandasari. Pedang pusaka Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya itu harus kau serahkan kepada kami untuk dihaturkan kepada Bapa, Guru. Kami bertiga memang datang ke sini diutus oleh Bapa Guru untuk minta dua buah pusaka dan kitab-kitabnya itu dari Eyang Guru."
Puteri Wandaasari mengerutkan alisnya dan otomatis tangan kanannya meraba gagang pedang Kartiko Sakti yang tergantung di punggungnya. "Maaf, kakang Maheso Seto. Pedang pusaka ini oleh mendiang Eyang Resi telah diberikan kepadaku, maka terpaksa aku menolak permintaan mu, biarlah, kelak aku sendiri yang akan melaporkan kepada Bapa Guru dan beliau tentu dapat mengerti."
"Diajeng Wandansari! Berani engkau menentang kakak-kakak seperguruanmu?"
"Aku tidak berani menentang, akan tetapi pedang pusaka ini adalah hakku, mbakyu Rahmini. Eyang Resi telah memberikan kepadaku berikut. kitab pelajarannya dan tidak akan kuserahkan kepada siapapun."
"Kalau bagitu, aku akan merampasnya dari tanganmu!" bentak Rahmini dan dia sudah melangkah maju, membuka pasangan untuk menyerang adik seperguruannya itu.
"Sutejo, serahkan kitab pelajaran Ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku!" seru Mahesa Seto sambilmenghampiri Sutejo dan diapun sudah siap untuk menyerang pemuda itu. "Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
Pada saat itu Cangak Awu maju ke depan dan berkata, "Kakang Maheso Seto, mbakayu Rahmini, harap mundur dan ingatlah. Kita adalah saudara-saudara seperguruan sendiri. Adimas Sutejo sebagai murid Paman Bhagawan Sidik Paningal adalah juga saudara seperguruan kita. Tidak baik menggunakan kekerasan di antara saudara sendiri. Akan ditertawai orang bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai murid-murid yang tidak dapat hidup rukun! Biarlah urusan ini kita laporkan saja kepada Bapa Guru dan biar beliau yang memutuskan."
Ucapan Cangak Awu itu menyadarkan Maheso Seto. "Hemm. kalau tidak ada adimas Cangak Awu yang mengingatkanku, tentu aku sudah menghajarmu, Sutejo!" Dia menoleh kepada isterinya dan berkata, "Sudahlah, adimas Cangak Awu benar, kita laporkan saja kepada Bapa Guru. Mari kita pergi!"
Rahmini mengerutkan alisnya dan sejenak menatap wajah Puteri Wandansari dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia lalu membalikkan tubuh dan mengikuti suaminya yang sudah melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Cagak Awu memandang kepada Puteri Wandansari. "Diajeng Wandansari, aku pamit."
"Silakan, kakang Cangak Awu, dan selamat jalan. Sampaikan, saja sembah hormatku kepada Bapa Guru." jawab Puteri Wandansari. Orang tinggi besar itu mengangguk dan dia lalu membalikkan tubuh dan melangkah lebar mengejar kedua orang kakak seperguruannya.
Setelah bayangan tiga orang itu menghilang ditikungan. Sutejo memandang Puteri Wandansari dan berkata, "Jadi itukah kakak-kakak seperguruanmu, murid-murid Jatikusumo."
Puteri Wandansari juga memandang wajah Sutejo dan ia menghela napas. "Sebetulnya mereka adalah orang-orang gagah perkasa, akan tetapi memang Kakang Maheso Seto, terutama sekali Mbakayu Rahmini memiliki watak yang keras."
"Tadi andaikata mereka benar-benar menyerang kita, lalu apa yang akan kau lakukan, diajeng Wandansari?"
"Hemm, tentu saja aku akan melawannya semampuku. Mungkin aku tidak akan menang melawan Mbakayu Rahmini, akan tetapi, aku harus melawan karena aku mempertahankan hakku dan aku tidak merasa bersalah.Dan bagaimana denganandika, kakang Sutejo?"
"Aku? Aku tidak tahu, Aku masih bingung. Tentu akupun tidak akan mampu menandingi Kakang Maheso Seto. Sebagai murid pertama dari Uwa Guru Sindusakti, tentu tingkat ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali."
"Jadi andika akan menyerahkan kitab Bajrakirana begitu saja kepada kakang Maheso Seto?" "Entahlah, akan tetapi peristiwa tadi sungguh membuat hatiku merasa tidak enak, diajeng Wandansari. Bagaimanapun juga aku bukanlah murid perguruan Jatikusumo sungguhpun guruku adalah adik seperguruan ketua perguruan Jatikusumo. Aku merasa seperti orang luar, tidak seperti andika yang berurusan dengan keluarga seperguruan sendiri. Bisa saja mereka menganggap aku tidak berhak memiliki Bajrakirana
"Tidak! Aku yang menjadi saksi, kakang Sutejo! Aku yang menyaksikan ketika mendiang Sang Resi menyerahkah kitab Bajrakirana kepadamu dan aku akan menerangkan kepada siapapun juga, termasuk kepada Bapa Guru, Bajrakirana, juga pecutnya, telah diberikan kepadamu dan andika berhak memilikinya!"
"Sekarang apa yang akan andika lakukan, diajeng?"
"Aku akan pulang ke kota raja, kakang Sutejo. Aku akan melapor kepada Kanjeng Romo tentang wafatnya Eyang Resi, dan aku akan tekun melatih diri dengan Ilmu Pedang Kartika Sakti. Dan andika sendiri, kakang Sutejo?"
"Kalau saja Pecut Bajrakirana sudah terampas olehku, akupun akan pergi ke Mataram karena aku ingin menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti Sultan. Akan tetapi karena pecut pusaka itu masih berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara, maka aku harus mencari dan merampas dulu pecut itu, Setelah pusaka itu berada di tanganku, baru aku akan pergi ke Mataram dan menghambakan diriku."
"Baik, kakang Sutejo. Kanjeng Romo tentu akan senang sekali menerimamu dan memberimu kedudukan yang sesuai dengan kemampuanmu. Aku akan menerangkan kepada Kanjeng Romo bahwa engkau terhitung masih kakak seperguruanku dan pantas untuk menjadi seorang senopati."
"Senopati? Ah, andika bergurau, diajeng! Orang seperti aku ini mana pantas menjadi seorang senopati?"
"Mengapa tidak, kakang Sutejo? Aku tahu bahwa andika kini memiliki tingkat ilmu kanuragan yang cukup hebat. Andika hanya perlu untuk mempelajari ilmu perang, yaitu cara memimpin pasukan untuk maju perang. Kalau andika sudah mempelajari ilmu perang, andika akan menjadi seorang senopati yang boleh diandalkan."
Sutejo tersipu, merasa malu dan merasa akan kekurangan pada dirinya, akan tetapi hatinya gembira sekali mendengar ucapan puteri itu.
"Nah sekarang aku pergi, kakang. Selamat tinggal dan mudah-mudahan andika akan cepat berhasil merampas kembali Pecut Bajrakirana."
"Selamat jalan dan selamat berpisah, diajeng. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali."
Gadis itu lalu melangkah pergi, kemudian mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Sutejo. Setelah bayangan itu lenyap, Sutejo menarik napas panjang, pikirannya menggerayangi hati sendiri lalu dia mencela diri sendiri. "Bodoh kau! Engkau ibarat katak merindukan bulan. Sadarlah siapa engkau dan siapa dia!" Dia lalu mengusir semua gagasan dan bayangan itu, kemudian pergi ke kandang di belakang pondok, mengeluarkan tiga ekor kerbau milik mendiang Resi Limut Manik dan dituntunnya tiga ekor kerbau itu turun dari puncak, Di pondok itu kini tidak ada siapapun juga. Kalau kerbau-kerbau itu dia tinggalkan, tentu akan mati kelaparan atau diambil orang yang tidak berhak. Dari pada begitu, lebih baik dia bawa turun puncak dan dia berikan kepada para petani miskin yang membutuhkannya.
Ketika tibadi dusun pertama dilereng Semeru, Sutejo lalu menyerahkan tiga ekor kerbau itu kepada keluarga miskin yang menerimanya dengan gembira sekali. Setelah itu, Sutejo melanjutkan perjalanan menuju ke Wirosobo karena dia tahu bahwa untuk mencari Bhagawan Jaladara, dia harus pergi ke kadipaten itu.
********************
Iring-iringan pengantin itu menarik perhatian orang, terutama anak-anak banyak yang mengikutinya ketika melewati dusun itu. Rombongan itu adalah rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong ke tempat tinggal calon suaminya. Di depan rombongan berjalan lima orang laki-laki tinggi besar dangagah sekali dengan golok tergantung di pinggang. Mereka adalah pengawal-pengawal yang menjaga keselamatan rombongan yang terdiri dari dua puluh orang lebih itu.
Serombongan penabuh gamelan berjalan di belakang sambil menabuh gamelan sehingga iring-iringan itu berjalan meriah. Selebihnya adalah sanak keluarga pengantin wanita dan para penjemput yang diutus pengantin pria untuk menjemput dan memboyong pengantin wanita. Kalauada pengantin wanita dari dusun diboyong orang, hal itu berarti bahwa pengantin prianya tentu seorang bangsawan atau hartawan.
Pengantin wanitanya duduk di dalam sebuah joli yang dipikul empat orang. Biarpun ada suara gamelan, akan tetapi lapat-lapat terdengar tangis sedih keluar dari dalam tandu (Joli). Hal inipun bukan suara aneh karena sebagian besar pengantin wanita menangis pada saat diboyong, menangis karena harus meninggalkan ayah bundanya, menangis karena gelisah menghadapi kehidupan baru yang tidak dikenal sebelumnya, atau menangis karena ini merupakan suatu kepantasan. Bahkan menjadi pergujingan orang kalau pengantin wanita tidak menangis! Karena itulah, suara tangis itu tidak diperhatikan orang.
Ketika rombongan keluar dari dusun, berpapasan dengan seorang dara yang bepakaian ringkas dan yang membawa pedang di punggungnya. Dara yang cantik jelita, bermata tajam dan mulutnya berbibir menggairahkan. Ia adalah Retno Susilo yang baru saja meninggalkan tempat pertapaan gurunya, Nyi Rukmo Petak, setelah ia memperdalam ilmunya. Selama seratus hari ia melatih diri dengan dan ilmu baru yang merupakan, ilmu simpanan gurunya, yaitu Aji Gelap Sewu dan Aji Wiso Sarpo yang mengandung hawa beracun. Setelah menguasai dua macam ilmu baru ini ia lalu meninggalkan gurunya, akan tetapi ia mendapatkan sebuah tugas.
"Retno, sekali ini aku minta balas jasa darimu. Sudah banyak aku mengajarkan ilmu dan sekarang aku minta agar engkau membantuku membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Dengan kepandaianmu yang sekarang, aku percaya engkau akan mampu membunuh orang yang amat kubenci itu."
Retno Susilo mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang amat berat. Membunuh seseorang! "Mengapa orang itu harus dibunuh Nyi Dewi? Dan siapakah dia?"
"Tidak perlu engkau tahu mengapa aku ingin agar engkau membunuhnya. Namanya Harjodento dan dia, adalah ketua dari perguruan silat Nogo Dento yang berpusat di Lembah Bengawan Solo di daerah Ngawi. Kalau engkau dapat, sekalian bunuh isterinya yang bernama Padmosari. Atau kalau tidak dapat kedua-keduanya, bunuh seorang di antara mereka sudah cukuplah bagiku. Inilah tugas yang kuberikan kepadamu, Retno dan harus kau lakukan demi untuk membalas budi yang selama ini kulimpahkan kepadamu."
Berat sekali rasa hati Retno Susilo menerima tugas ini. Ia harus membunuh orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak diketahui mengapa ia harus membunuh mereka, apa dosa mereka. Permusuhan gurunya dengan merekapun tidak ia ketahui. Akan tetapi karena gurunya menyebut-nyebut tentang tadi, Iapun tidak kuasa untuk membantah atau menolak.
"Baik, Nyi, Dewi, akan kulaksanakan tugas itu."
"Akan tetapi berhati-hatilah! Dia memiliki banyak murid dan anak buah. Biarpun demikian, dia seorang yang gagah dan kalau engkau menantangnya untuk bertanding satu lawan satu, dia pasti tidak akan mau melakukan pengeroyokan."
Demikianlah, Retno Susilo meninggalkan gurunya dan pada hari itu, ia berpapasan dengan rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong menuju ke rumah calon suaminya di dusun lain. Kalau orang-orang lain mendengar tangis pengantin wanita menganggapnya sebagai hal biasa saja. Retno Susilo mengerutkan alisnya ketika mendengar tangis itu. Ia dapat menangkap kesedihan dan ketakutan yang mendalam terkandung dalam tangis itu dan hatinya tertarik sekali. Di sana ada seorang wanita yang berada dalam kegelisahan dan kedukaan, yang membutuhkan uluran tangan untuk menolongnya. Ia tidak mungkin tinggal diam saja! Maka, setelah rombongan itu lewat, Retno Susilo lalu berbalik dan cepat ia mengejar, lalu mendahului rombongan itu dan setelah tiba di depan, ia membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan.
"Berhenti!" serunya kepada lima orang pengawal yang bersenjata golok dan tampak seram menakutkan itu.
Tentu saja lima orang pengawal dan semua anggota rombongan itu memandang dengan heran dan segera terdengar decak-decak kekaguman di antara para anggota rombongan pria setelah melihat dara yang menghentikan mereka itu. Kecantikkan luar biasa yang jarang mereka lihat. Bagaimana mereka berlima dapat bersikap galak terhadap seorang dara yang demikian ayu? Mereka terdiri daripria yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun dan seorang di antara mereka yang berkumis melintang dan menjadi pemimpindiantara mereka, segera melangkah maju.
Sambil memasang aksi tersenyum segaya mungkin, diapun berkata sambil melahap wajah ayu itu dengan pandang matanya. "Nimas ayu, siapakah andika dan mengapa pula andika menghentikan perjalanan kami?" Pertanyaan itu terdengar lembut dan sama sekali tidak galak! Karena orang bersikap lunak dan ramah, Retno Susilo menjadi tidak enak hati juga. Iapun tersenyum. Hanya sedetik, akan tetapi cukup membuat jantung hati si kumis melintang itu jungkir balik!
"Siapa adanya aku tidaklah penting dan aku sengaja menghentikan rombongan ini karena ingin bicara dengan mempelai wanita yang berada di di dalam joli." Setelah berkata demikian, ia menyusup ke dalam rombongan itu menghampiri joli yang dipikul empat orang itu. "Turunkan joli ini!" kata Retno Susilo kepada empat orang itu. Karena terpesona oleh kecantikan dara itu, empat orang pemikul joli juga tidak mampu menolak permintaan itu dan mereka, lalu perlahan-lahan menurunkan joli di mana terdapat pengantin wanita yang masih menangis.
Kini tangisnya makin jelas terdengar karena para penabuh gamelan menghentikan tabuhan mereka dan semua orang memandang kepada Retno Susilo yang membuka tirai joli. Retno Susilo melihat seorang gadis remaja duduk di dalam joli dan ketika tirai dibuka, gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Air matanya bercucuran menuruni kedua pipinya. Gadis itu masih amat muda, paling banyak lima belas tahun usianya, berdandan seperti seorang pengantin. Cadar yang menutupi mukanya telah ia singkapkan dan wajah yang manis itu tampak ketakutan dan berduka sekali. Ia memandang Retno Susilo dengan Sepasang mata merah dan ketakutan seperti mata seekor kelinci yang ditangkap.
"Jangan takut, adik yang manis. Engkau menjadi pengantin, mengapa menangis di sepanjang Jalan? Mengapa engkau tidak bergembira seperti kebiasaan pengantin lain dan menangis sedih?"
Ditanya demikian, gadis remaja yang masih kekanak-kanakan itu makin mengguguk dalam tangisnya dan ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Retno Susilo memegang pundaknya dan menghibur. "Jangan takut, katakanlah saja kalau engkau tidak suka menjadi pengantin. Aku akan menolongmu."
"Saya......saya dipaksa ..... saya tidak suka." Akhirnya gadis itu berkata.
"Siapa yang memaksamu? Orang tuamu?"
Gadis itu menggeleng kepala dan menahan isaknya sehingga pundaknya bergoyang-goyang. "Tidak, ayah dan ibu malah dipaksa dan mereka ketakutan."
"Tenanglah, adik yang manis. Ceritakan yang jelas, siapa namamu dan mengapa engkau dipaksa menikah? Siapa yang memaksamu?"
Pada saat itu, lima orang tukang pukul sudah mendekati Retno Susilo. Si kumis melintang mengerutkan alis dan merasa tak senang juga melihat kelancangan Retno Susilo yang bertanya-tanya kepada mempelai wanita. Mereka adalah pengawal-pengawal yang dikirim oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita dan keamanan di perjalanan merupakan tanggung jawab mereka. "Heii, nimas ayu, apa yang kau lakukan ini!" bentaknya sambil mendekati Retno Susilo. "Engkau tidak boleh membuka tirai joli dan mengajak mempelai wanita bercakap-cakap!"
Retno Susilo memutar tubuh dan menghadapinya."Hemm,siapa yang tidak memperbolehkan?"
"Kami berlima bertugas menjadi pengawal dan menjaga keamanan, kami yang melarang!" kata si kumis melintang garang.
Retno Susilo mengedipkan kepalanya dan membusungkan dadanya. "Kalau aku tetap mengajaknya bicara kalian mau apa? Ia dipaksa menikah, dan aku malah akan membebaskannya, memulangkannya ke desanya dan siapapun juga tidak boleh memaksanya menikah!"
Lima orang pengawal itu terkejut mendengar ini dan biarpun yang bicara itu adalah seorang dara yang sangat cantik, tetap saja mereka menjadi marah sekali. "Bocah perempuan lancang! Berani andika mengacau dan menentang kami?"
"Mengapa tidak berani? Ditambah seratus orang lagi macam kalian, aku tidak akan undur selangkahpun!"
"Babo-babo, bocah kurang ajar, andika tidak takut dihajar! Kawan-kawan, kita tangkap dia!" perintah si kumis melintang dan dia sendiri mendahului kawan-kawannya untuk menubruk ke arah Retno Susilo sambil mengembangkan kedua lengan untuk menangkap dara jelita itu. Empat orang kawannya juga cepat bergerak dan seperti berebut hendak berlomba untuk menangkap dan merangkul dara yang menggemaskan namun juga menarik hati itu.
"Bressss.......!" Lima orang itu saling bertubrukan karena ketika mereka menubruk ke arah satu sasaran, sasaran iiu tiba-tiba seperti menghilang, demikian cepatnya Retno Susilo bergerak menghindar sehingga mereka saling bertubrukan. Ketika mereka memutar tubuh sambil menggosok-gosok bagian muka yang berbenturan, mereka melihat Retno Susilo sudah berdiri sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada sambil tersenyum memandang mereka.
Lima orang itu menjadi penasaran dan mereka berlomba lagi untuk meraih tubuh dara itu, ada yang menyambar lengan, ada yang menangkap pundak dan ada yang menubruk seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba gemuk. Akan tetapi yang disergap sudah melompat ke atas dan ketika tiba di atas tubuh Retno Susilo berjungkir balik. Lima orang itu menengadah dan saat itu, kedua tangan dara perkasa itu bergerak cepat sekali, membagi tamparan kepada wajah-wajah yang menengadah itu.
"Plak-plak-plak-plak-plak!" Lima orang itu masing-masing terkena tamparan pada muka mereka, hanya sekali saja setiap orang akan tetapi yang sekali itu sudah cukup untuk membuat mereka terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, pipi mereka bengkak!
Bukan main marahnya lima orang pengawal itu. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah terkenal di daerah itu. selama bertahun-tahun tidak ada orang berani menentang mereka, dan kalau ada yang berani, tentu akan mereka hajar babak belur. Akan tetapi sekali ini mereka ditampari sampai terpelanting jatuh oleh seorang dara di depan banyak orang lagi. Sungguh suatu peristiwa yang membuat mereka merasa malu dan terhina, sekaligus menghancurkan nama mereka sebagai jagoan-jagoan yang ditakuti orang-orang. Tanpa dikomando, lima orang itu sudah mencabut golok masing-masing. Retno susilo tidak tampak sebagai seorang gadis ayu yang memikat hati lagi, melainkan tampak sebagai seorang musuh yang harus dibunuh!
"Bocah keparat!" si kumis melintang memaki dan bersama empat orang kawannya dia mengepung Retno Susilo, kemudian mereka menyerang dengan golok mereka. Semua orang yang menonton merasa ngeri karena mereka membayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita yang mulus itu akan menjadi korban bacokan lima batang golok yang berkilauan saking tajamnya itu.
Akan tetapi Retno Susilo sudah siap siaga. Ia mengelak mempergunakan kecepatan gerakannya. Bagaikan seekor burung sikatan saja tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok dan kedua tangannya seperti ular mematuk. Untuk kecepatan gerakan tubuhnya ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti, dan tangannya diisi Aji Gelap Sewu ketika membagi-bagi pukulan.
"Des-des-des-des-dess!" Lima kali tangannya menyambar dengan Aji Gelap Sewu, akan tetapi tentu saja ia membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh orang. Akan tetapi pukulan itu sungguh hebat. Lima orang itu sempoyongan seperti orang mabuk sebelum mereka terkulai dan roboh seperti sehelai kain basah dengan mati menjadi juling dan bumi rasanya terputar-putar!
"Bagaimana? Apakah kalian masih ingin melarangku?" Retno Susilo bertanya kepada si kumis melintang.
"Ampuh..... tobat..... kami menyerah kepada raden ajeng....." Si kumis melintang berkata terengah-engah dan menyembah-nyembah, diikuti empat orang temannya. Mereka benar-benar sudah takluk karena maklum bahwa dara itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Baru tangannya saja sudah seampuh itu, apa lagi kalau gadis itu mencabut pedang yang tergantung di punggungnya!
Retno Susilo menghampiri joli di mana gadis cilik ini bersembunyi dengan wajah ketakutan. "Jangan takut. Keluarlah engkau, adik kecil," Setelah menuntun gadis remaja itu keluar dari joli, ia lalu memandang ke sekeliling, ke arah rombongan orang-orang yang mengantar pengantin. "Siapa di antara kalian yang menjadi keluarga pengantin wanita ini?"
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan menjawab. "Saya adalah pamannya, den ajeng."
"Bagus, sekarang aku serahkan adik ini kepadamu. Engkau harus membawanya pulang ke dusunnya dan menyerahkannya kembali kepada orang tuanya."
Laki-laki itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. "Ampun, den ajeng. Akan tetapi saya.... saya tidak berani..... saya tentu akan dibunuh Raden Prabowo....."
"Hemm, siapa Raden Prabowo itu?"
"Dia pengantin pria yang memboyong Sartumi.
"Jangan takut. Aku akan menggantikan menjadi pengantin wanita. Bawalah dia pulang dan kalau ada apa-apa, akulah yang menanggung! Sartumi namamu, adik? Lepaskan hiasan kepalamu berikut cadar itu, akan kupakai!"
Retno susilo membantu pengantin wanita itu melepaskan hiasan kepala dan kemudian menyuruh ia cepat pergi bersama pamannya untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya. Setelah itu Retno Susilo memasuki joli, memasang hiasan kepala berikut cadarnya dan berkata kepada empat orang pemikul. "Hayo cepat pikul aku dan semua rombongan bergerak menuju ke rumah Raden Prabowo! Bunyikan gamelan dan kalian lima orang pengawal, berjalanlah seperti biasa di sebelah depan. Jangan takut, aku seoranglah yang akan bertanggung jawab atas semua peristiwa ini!"
Lima orang pengawal yang sudah kehilangan nyali itu sambil menundukkan kepala berjalan di depan dan rombongan itupun bergerak maju melanjutkan perjalanan. Gamelanpun ditabuh dan tampaknya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Tentu saja di dalam hati, semua anggota rombongan merasa tegang dan jantung mereka berdebar gelisah karena mereka tahu tentu akan terjadi hal-hal hebat setelah mereka tiba di rumah Raden Prabowo! Sementara itu Sartumi gadis remaja yang dipaksa menjadi pengantin itu, telah dibawa pergi pamannya pulang ke rumah orang tuanya.
Raden Prabowo adalah seorang laki-laki hartawan yang tinggal di dusun Sintren. Dia amat terkenal, ditakuti dan disegani orang sedusun, bahkan oleh para penghuni dusun-dusun di sekitarnya karena dia kaya raya dan karena dia adik dari kepala dusun Sintren, mempunyai banyak tukang pukul, dan suka "menolong" penduduk dusun-dusun itu dengan uang pinjaman yang disertai bunga tinggi. Tidak ada orang yang berani menentangnya. Dia minta disebut "raden" walaupun dia sama sekali tidak mempunyai keturunan darah bangsawan.
Raden Prabowo adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan muka kemerahan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dia sudah beristeri dan bahkan memiliki selir sebanyak empat orang. Namun dia masih selalu haus akan wanita muda dan seringkali dia mengganggu para wanita cantik di dusun-dusun itu, baik yang masih perawan maupun yang sudah menjadi isteri orang. Dan wanita manapun yang ditaksirnya, harus didapatkannya, baik secara halus maupun kasar. Karena itulah, banyak keluarga yang mempunyai anggauta keluarga wanita cantik, pergi mengungsi dan pindah ke lain dusun. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyerah kepada nasib, bahkan ada yang senang kalau anak perempuannya dikehendaki Raden Prabowo karena dengan demikian maka mudah bagi mereka untuk mendapatkan uang dari hartawan itu.
Sartumi, gadis remaja dusun Sintren itupun menarik perhatian Raden Prabowo dan dia menghendaki agar gadis yang baru berusia Lima belas tahun itu menjadi selirnya yang nomer lima! Dengan jalan mengancam dan sekaligus membujuk dengan banyak uang kepada orang tua Sartumi, akhirnya dia berhasil mendapatkan gadis itu dan pada hari itu, dia merayakan pernikahannya dengan Sartumi. Dia mengutus lima orang di antara para jagoannya untuk pergi ke dusun tempat tinggal Sartumi dan memboyong gadis itu ke rumahnya di mana dia telah menanti sebagai seorang pengantin pria dan di situ telah berkumpul pula banyak tamu. Gamelan telah dibunyikan sejak pagi tadi.
"Pengantin datang! Pengantin datang! Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira dan mereka berlari-larian menyambut iring-iringan pengantin yang datang menuju ke rumah besar yang sudah dirias dengan meriah itu.
Semua orang menyambut kedatangan rombongan itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat dengan jelas betapa semua anggota rombongan itu tampak seperti orang bingung dan tegang, bahkan lima orang pengawal yang biasanya tampak gagah itu kini kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menduga apa yang telah terjadi.
Para anggauta rombongan berhenti dipendopo, dan atas isarat dari orang yang menyambut dan mengatur rombongan, empat orang pemikul joli disuruh masuk dah terus memikul joli itu membawanya ke ruangan tengah. Ruangan ini letaknya sangat tinggi sehingga tampak jelas oleh para tamu yang telah duduk di seputar ruangan yang disediakan untuk pertemuan dua orang pengantin itu.
Pengantin pria muncul, dengan berpakaian serba indah. Raden Prabowo yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah cukup tampan itu sambil tersenyum lebar melangkah maju menyambut joli itu. Empat orang pemikul joli segera menurunkan joli itu di tengah ruangan dan. disaksikan oleh ratusan pasang mata para tamu Raden Prabowo menghampiri joli dan menyingkap tirai joli. Joli kini terbuka dan semua orang melihat pengantin wanita yang duduk di dalam joli dengan muka tertutup cadar dan hiasan kepala.
Sambil tersenyum gembira Raden Prabowo mengulurkan tangan untuk membantu pengantin wanita keluar dari joli. Akan tetapi pengantin wanita tidak menerima uluran tangan itu dan melangkah sendiri keluar dari joli. Setelah pengantin wanita berdiri di luar joli, baru terasalah oleh Raden Prabowo kelainan yang ada pada diri pengantin wanita, Wanita ini bukan Sartumi! Tubuhnya lebih tinggi dan lebih langsing, lebih matang dari pada tubuh Sartumi yang masih remaja!
"Eh, andika bukan Sartumi.....!" kata Raden Prabowo sambil melangkah maju dan tangannya menyambar cadar untuk dibukanya. Akan tetapi Retno Susilo mundur melangkah dan sambaran tangan pada cadar itu luput. Dengan perlahan Retno Susilo membuka sendiri cadar yang menutupi mukanya sehingga kini wajahnya tampak jelas.
Raden Prabowo terbelalak sebentar, akan tetapi kemudian sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri gembira karena dia melihat bahwa wanita ini jauh lebih cantik jelita daripada Sartumi!
"Andika ...... bukan Sartumi.... akan tetapi tidak mengapa.... aku senang menerima andika sebagai selirku yang ke lima......!" Hatinya senang sekali walaupun dia terheran-heran. "Siapa nama andika dan dari mana andika datang, diajeng?"
Retno Susilo melepaskan hiasan kepalanya dan membantingnya ke atas lantai sehingga benda itu hancur berantakan. Kini tampaklah Retno Susilo yang asli, dengan rambutnya yang hitam panjang, matanya yang bersinar tajam seperti bintang kejora dan mulutnya yang tersenyum manis penuh daya tarik. Akan tetapi tampak pula pedang yang tergantung di punggungnya, yang mendatangkan kesan gagah perkasa. Semua tamu memandang kepadanya dengan terheran-heran akan tetapi juga terkagum-kagum oleh kecantikannya. Retno Susilo menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Raden Prabowo dan terdengar suaranya lantang. "Apakah engkau yang bernama Raden Prabowo?"
Semua orang terkejut dan heran mendengar "pengantin wanita" yang tampak marah itu membanting hiasan kepala lalu bertanya seperti itu kepada pengantin pria. Sementara itu lima orang pengawal tadi sudah berbisik-bisik kepada para jagoan pengikut Raden Prabowo yang jumlahnya ada belasan orang. Para jagoan itu terkejut mendengar laporan lima orang kawannya tentang Retno Susilo yang kini menyamar sebagai pengantin wanita. Mendengar bahwa wanita itu telah membebaskan Sartumi dan telah memukul roboh lima orang pengawal, mereka menjadi marah dan kini belasan orang tukang pukul itu sudah mendekat dan mengepung Retno Susilo untuk melindungi Raden Prabowo.
Raden Prabowo yang masih kegirangan dan merasa gembira mendapatkan seorang dara yang demikian cantik jelita seperti bidadari, masih dapat tersenyum dan memasang gaya. "Benar sekali, diajeng. Akulah yang bernama Raden Prabowo dan akulah yang akan menjadi suamimu!"
"Keparat jahanam! Engkau telah mempergunakan kekayaanmu untuk memaksa gadis remaja bernama Sartumi untuk menjadi selirmu! Aku sengaja membebaskan Sartumi dan datang ke sini Untuk mengakhiri perbuatanmu yang sewenang-wenang...!"
Baru terkejutlah hati Raden Prabowo melihat sikap dan mendengar bentakan Retno Susilo itu. akan tetapi dia juga menjadi marah sekali. Dengan alis berkerut dan mata terbelalak dia memandang kepada dara itu karena merasa dia dihina di depan para tamu yang banyak. Apa lagi dia melihat belasan orang tukang pukulnya sudah mengepung tempat itu hatinya menjadi besar dan tabah.
"Hei, perempuan asing! Siapakah namamu dan berani sekali engkau menghinaku!"
"Aku adalah Retno Susilo dan aku sengaja datang ke sini untuk memberi hajaran kepadamu, kalau engkau tidak menghentikan kesewenang-wenanganmu, merampas wanita untuk dijadikan selir, aku tentu akan membunuhmu!"
Raden Prabowo bukan seorang yang lemah. Dia pernah mempelajari ilmu kanuragan. "Kurang ajar ! Engkaulah yang akan kutangkap dan kuberi pelajaran! Hyaaaaattt.....!"
Tiba-tiba Prabowo menubruk ke depan, maksudnya untuk meringkus tubuh yang bahenol itu. Akan tetapi dia menubruk angin karena Retno Susilo telah mengelak ke kiri dan dari kiri kakinya mencuat dalam sebuah tendangan "Bukkk......!"Perut Prabowo terkena tendangan yang keras, Tubuhnya terjengkang dan dia terbanting keras. Perutnya menjadi mulas karena tendangan itu dan pinggulnya menghantam lantai, membuat dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan mengelus pinggul.
"Aduh..... aduhhh..... tangkap ia.....!" Ia mengaduh sambil memerintahkan para tukang pukulnya untuk mengeroyok Retno Susilo.
Akan tetapi, empat orang tukang pukul yang lebih dulu maju, disambut tamparan-tamparan kedua tangan Retno Susilo dan empat orang itu berpelantingan ke kanan kiri sehingga para tukang pukul yang lain menjadi gentar dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat!
Pada saat itu, sebelum para tukang pukul menggunakan senjata untuk mengeroyok, terdengar suara nyaring berseru. "Biarkan aku yang akan menangkapnya!" Seorang laki-laki tinggi kurus yang tadi duduk di bagian tamu kehormatan, sudah melompat dan berdiri di depan Retno Susilo. Gadis itu memandangnya dan segera mengenal laki-laki berusia empat puiuh lima tahun, bertubuh tinggi kurus itu.
"Hemmm, kiranya andika berada di sini, Mahesa Meta! Pantas saja Prabowo berani berbuat sewenang-wenang, kiranya, andika adalah kawannya!" Retno Susilo berkata mengejek. Ia masih mengenal baik perampok yang pernah memusuhi perkumpulan Sardulo Cemeng yang dipimpin ayahnya itu. Perampok ini pernah dikalahkan Sutejo dan tidak dibunuh, dilepas dan diampuni.
"Retno Susilo! Tadinya aku hampir tidak mengenalmu, akan tetapi setelah engkau memperkenalkan namamu, teringatlah aku bahwa engkau adalah gadis kurang ajar puteri Ki Mundingsosro! Bagus sekali, sekarang tibalah saatnya aku membalas dendam. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu, melainkan menangkapmu untuk kuserahkan kepada anakmas Prabowo agar mempermainkanmu sepuasnya sebelum engkau dibunuh!"
Merah wajah Retno Susilo mendengar ucapan yang amat menghinanya itu. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka Mahesa Meta dan ia membentak. "Keparat Mahesa Meta! Lupakah engkau ketika dulu diampuni oleh Kakang Sutejo? Kiranya engkau masih saja mengumbar nafsu kejahatanmu dan sekarang aku tidak akan mengampuni mu lagi!"
Mahesa Meta maklum bahwa Retno Susilo adalah seorang dara perkasa yang pernah mengalahkan kawannya ketika dia mengadu ilmu dengan pihak Sardulo Cemeng. Akan tetapi dia menganggap bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak akan mampu menandinginya, maka dia memandang rendah. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dahulupun sebelum ia diberi ilmu simpanan oleh Nyi Rukmo Petak, tingkat ilmu kepandaian Retno Susilo sudah tidak akan tertandingi olehnya. Apa lagi sekarang setelah Retno Susilo mempelajari dua ilmu baru yang amat ampuh!
"Bocah sombong, rasakan pembalasanku sekarang!" bentak Mahesa Meta.
Retno Susilo memandang sambil tersenyum mengejek."Sebagai seorang manusia yang curang dan licik, engkau tentu akan mempergunakan pengeroyokan. Akan tetapi, aku tidak takut menghadapi pengeroyokanmu!"
Ucapan itu memanaskan hati Mahesa Meta. Dia merupakan tamu kehormatan Prabowo yang pernah menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat darinya. Para tamu juga sudah tahu bahwa dia merupakan tamu kehormatan karena tempat duduknya di sebelah kanan tempat duduk pengantin. Dan kini dia menerima, ucapan yang di anggapnya amat memandang rendah dan menghinanya dari seorang wanita muda, seorang gadis yang baru menjelang dewasa. Saking marahnya dia melolos rantai baja yang dibelit kan di pinggang sebagai sabuk. Lupa dia akan niatnya tadi untuk menangkap dara itu dan diserahkan kepada Prabowo. Dengan sabuk rantai baja di tangan, tentu saja niatnya hanya satu, ialah merobohkan gadis itu, mungkin membunuhnya! Sambil memutar-mutar rantai bajanya, dia melangkah maju menghampiri Retno Susilo.
Para tamu yang merasa tidak setuju, diam-diam lalu meninggalkan tempat itu, tidak tega melihat dara perkasa yang berani menentang Prabowo itu celaka di tangan para tukang pukul. Mereka tidaksenang dengan tindakan yang dilakukan Prabowo, akan tetapi mereka adalah orang-orang dusun yang tidak berani menentang. Akan tetapi mereka yang menjadi teman-teman Prabowo menonton dengan senang hendak melihat bagaimana tamu Prabowo yang dihormati itu menundukkan gadis yang mereka anggap terlalu kurang ajar itu.
"Wirrrr.... syuuuuttt....! Rantai baja itu menyambar ke arah kepala Retno Susilo. Akan tetapi dara itu dengan lincahnya mengelak dengan menekuk lututnya sehingga kepalanya merendah. Rantai baja meluncur lewat di atas kepalanya dan sekali tangan kanannya bergerak, dara itu telah mencabut sebatang pedang. Sinar kehijauan menyilaukan mata ketika Pedang Pusaka Nogo Wilis tercabut dan sinar hijau itu meluncur ke arah dada Mahesa Meta. Orang ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu, kemudian dia memutar rantai bajanya menyerang lagi. Sekali ini Retno Susilo tidak mengelak melainkan menggerakkan pedangnya menangkis.
"Trangggg.....!" Bunga api berpijar ketika, pedang bertemu rantai baja dan alangkah terkejut hati Mahesa Meta melihat betapa ujung rantai bajanya putus! Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah dan rantainya diputar menjadi segulungan sinar menerjang ke arah dara itu.
Retno Susilo juga memainkan pedangnya dan karena ia mengandalkan kecepatan geraknya dengan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat seperti kilat dan membingungkan Mahesa Meta yang hanya melihat bayangan berkelebat di seputar dirinya! Terpaksa dia memutar rantai bajanya untuk melindungi dirinya karena dia tidak tahu dari arah mana lawan akan menyerang dengan pedang pusakanya yang ampuh.
Prabowo menjadi tidak sabar melihat betapa Mahesa Meta tidak mampu mendesak gadis itu. Dia masih meringis kesakitan. Pinggulnya sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi perutnya yang tertendang masih mulas. Agaknya isi perutnya terguncang ! Sambil melogis memegangi perutnya dengan mendongkol dia lalu memberi aba-aba kepada para tukang pukulnya untuk maju mengeroyok dara perkasa itu. Prabowo adalah seorang yang cerdik dan licik. Dia tahu bahwa dara perkasa itu adalah seorang yang amat tangguh dan akan sukarlah menangkapnya dalam keadaan hidup-hidup dan tidak terluka seperti yang dikehendakinya. Dia ingin mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup Untuk membalas penghinaan yang telah diterimanya!
"Pergunakan jaring!" perintahnya. "Tangkap ia hidup-hidup!"
Para tukang pukul itu mengerti akan maksud majikan mereka maka beberapa orang lain berlari-larian mengambil jaring yang biasa mereka pakai menjala ikan di sungai. Tak lama kemudian belasan orang sudah mengepung Retno Susilo dan mereka membawa jaring-jaring ikan. Dengan jaring-jaring itulah mereka menyerang Retno susilo.
Dara itu terkejut sekali. Serangan Mahesa Meta sudah berbahaya dan ia harus berhati-hati memainkan pedangnya untuk menghalau serangan itu. Ia sudah mulai dapat mendesak lawan dan menanti saat baik untuk menggunakan Aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu atau kalau perlu ia dapat menggunakan Aji Wiso Sarpo untuk membunuh lawan itu. Akan tetapi, belasan orang yang mengeroyoknya itu menggunakan jaring yang membuat ia repot sekali.
Sehelai jaring menyelimuti tubuhnya. Akan tetapi ia sempat menggerakkan pedangnya dan jaring itu robek semua membuat ia terbebas kembali. Akan tetap ijaring kedua, ketiga dan seterusnya datang seperti hujan dan iapun tertutup jaring-jaring itu. Ia meronta-ronta, berusaha menggerakkan pedangnya, akan tetapi tali-tali jaring itu membuat ia tidak dapat bergerak leluasa dan sebelum ia mampu membebaskan dirinya, belasan tangan telah meringkusnya dan ia segera diikat kaki tangannya sehingga tidak mampu bergerak lagi!
"Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau seperti seekor ikan emas terjaring, tinggal memanggang dan memakan saja!" Prabowo yang melihat hasil baik ini melupakan nyeri di perutnya dan dia tertawa-tawa, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Retno Susilo yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu ke dalam kamarnya. Dara itu ditelentangkan di atas pembaringan dalam kamar pengantin dan kaki tangannya diikat kuat-kuat sehingga tidak mampu bergerak. Pedangnya dirampas oleh Mahesa Meta dengan hati girang karena dia mendapatkan sebuah senjata pusaka yang ampuh.
Pesta pora dilanjutkan oleh Prabowo dengan para tamu yang tinggal sedikit itu, tinggal teman-temannya sendiri dan mereka yang cocok dengan perbuatan sesat, sebanyak kurang lebih lima puluh orang. Mereka mabok-mabokan sampai tengah malam baru bubaran. Akan tetapi setelah semua orang berpamit dan pergi meninggalkan tempat pesta, bahkan para niyogo juga sudah mengangkati alat tabuhan mereka dan meninggalkan tempat itu.
Mahesa Meta yang menemani Prabowo makan minum melihat seorang laki-laki tua masih duduk minum tuak seorang diri. Laki-laki itu sudah tua, lebih dari lima puluh tahun usianya, wajahnya penuh brewok seperti muka singa, pakaiannya longgar seperti pakaian seorang pertapa. Kedua orang itu, dan juga para tukang pukul yang masih berjaga di situ, merasa heran melihat orang ini. Tak seorangpun mengenalnya dan agaknya tadi dia menyelinap di antara para tamu untuk menikmati hidangan.
Seorang tamu yang tidak diundang dan menggunakan kesempatan itu untuk, makan minum sepuasnya! Bahkan sekarangpun setelah semua tamu pergi, orang itu masih minum-minum seorang diri. Melihat cara dia minum tuak, sungguh luar biasa. Dia minum terus menerus tanpa menjadi mabuk. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar gembira, mulut yang tertutup kumis dan jenggot itu hanya tampak giginya ketika dia menyeringai. Sepintas dia melihat ke arah mereka yang sedang memandangnya dan dia mengangguk-angguk lalu berkata seorang diri.
"Bagus, bagus! Tuak yang baik, makanan yang enak, hari ini aku mendapat rejeki bagus, ha-ha- ha-ha!"
Prabowo mengerutkan alisnya dan ketikaMahesa Meta memandang kepadanya, dia mengangguk dan berkata, 揔akang Mahesa Meta, minta dia meninggalkan tempat ini!?
......... sekali dan setiap sambaran rantai baja selain dapat dielakkannya dengan cepat. Meja dan kursi di sekitar tempat itulah yang menjadi korban pengamukan rantai baja Mahesa Meta sehingga hancur dan terlempar berserakan. Karena orang itu hanya mengelak terus, Mahesa Meta membuat kesalahan dengan mengira bahwa orang itu jerih terhadapnya. Maka dia menyerang terus dengan ganasnya dan suatu saat rantai bajanya menyambar dari depan ke arah dada orang itu. Sekali ini, kakek itu tidak mengelak melainkan menerima ujung rantai baja itu dengan tangan kanannya.
"Wuuuutttt.....plakk!" Ujung rantai baja itu dapat ditangkapnya dan tiba-tiba saja orang itu menggerakkan tangan kanannya dan melepaskan ujung rantai baja. Senjata itu menyambar ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi ujung rantai baja itu mengenai muka Mahesa Meta dengan keras sekali karena ketika melemparkannya, orang itu mengerahkan tenaga dalam yang amat kuat.
"Wuuuttt.....desss.....!" Muka Mahesa Meta. dihantam ujung rantai bajanya sendiri dan demikian kerasnya hantaman itu sehingga kepalanya seketika retak dan Mahesa Meta tak sempat mengeluarkan jeritan, tubuhnya terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka hancur dan kepala retak!
Melihat ini, Prabowo menjadi terkejut sekali. Dia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya tangannya saja yang memberi isarat menuding-nuding ke arah kakek itu, mengerahkan semua tukang pukulnya untuk mengeroyok. Para tukang pukul itu dengan golok di tangan sudah maju mengepung dan tanpa dikomando lagi mereka yang berjumlah lima belas orang itu menyerang dari semua jurusan dengan golok mereka.
Orang itu tertawa mengejek dan menyambut dengan gerakan kaki tangannya. Para pengeroyok itu seperti diserang badai. Mereka berpelantingan terkena tendangan atau tamparan sehingga dalam waktu singkat mereka telah roboh semua dan saking takutnya mereka tidak berani bangkit lagi. Orang itupun tidak memperdulikan mereka dan dia melangkah di antara tubuh-tubuh para tukang pukul yang bergelimpangan, menghampiri mayat Mahesa Meta, membungkuk dan mengambil Pedang Nogo Wilis milik Retno Susilo yang tadi dirampas perampok tunggal dari Gunung Kelud itu, kemudian menyelipkan pedang itu di ikat pinggangnya dan dia masuk ke dalam rumah besar. Dia tidak memperdulikan Prabowo yang melarikan diri tunggang langgang ke dalam rumah dan bersembunyi ketakutan.
Dimasukinya kamar pengantin itu dan dilihatnya Retno Susilo yang telentang diatas pembaringan dengan kedua kaki tangan terikat. "Hemm, engkau terlalu berharga untuk terjatuh ke tangan jahanam-jahanam busuk itu!" katanya dan tangan kirinya meraih lalu dipondongnya tubuh Retno Susilo, dipanggulnya di pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri lalu dia membawa tubuh gadis itu keluar dari rumah dengan langkah lebar. Ditinggalkannya rumah itu dan tidak ada seorangpun berani menghalanginya, Para penduduk dusun itupun hanya berani melihat dari jauh saja ketika kakek yang memanggul tubuh Retno Susilo itu keluar dari dusun dengan langkah lebar dan gerakan kaki cepat sekali.
Sejak dibawa pergi dari rumah Prabowo, Retno Susilo dalam keadaan sadar bahwa ia dibawa pergi seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pertapa dan mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa jantan. Ia diam saja karena maklum bahwa baru saja ia terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan di tangan Prabowo yang telah menawannya. Ia tidak tahu apa yang dikehendaki kakek singa itu yang memanggulnya dan setelah keluar dari dusun lalu berlari dengan cepat sekali. Diam diam ia mengerahkan tenaga dan mencoba untuk membebaskan diri dari ikatan tangannya, namun tidak berhasil. Ternyata ikatan itu kuat sekali.