Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 05

KARENA terkenal dengan ular-ularnya, tidak sembarang orang berani menjelajah bukit ini. Bahkan para pawang ular, kalau hendak mencari ular hanya berani mencari di tepi-tepi hutan yang berada di bukit itu, tidak berani mendaki bukit. Apa lagi di puncak bukit kecil itu terdapat sebuah guha yang keramat dan menyeramkan. Betapa berbahayanya gua itu dapat tampak dari adanya beberapa kerangka dan tengkorak manusia berserakan di luas dan dalam gua. Karena banyaknya tengkorak itu, maka gua itu disebut orang Gua Tengkorak. Gua ini merupakan satu di antara sebab mengapa orang tidak berani memasuki daerah bukit ini. Apa lagi di waktu malam, keadaan dibukit itu sungguh menyeramkan.

Karena jarang didatangi manusia, tempat itu menjadi sarang berbagai macam burung malam yang suka berbunyi di waktu malam, memperdengarkan suara mereka yang aneh-aneh dan menyeramkan. Di waktu siang hari sekalipun, keadaan di dalam hutan di bukit itu sudah sangat menyeramkan. Pohon-pohonnya lebat dan besar-besar, dikelilingi semak belukar dan mengandung duri, di mana bersembunyi ular. Ular kecil yang berbahaya.

Akan tetapi, sungguh akan membuat orang terheran-heran kalau kebetulan melihatnya, pada siang hari itu, seorang gadis memasuki daerah itu dengan langkah-langkah yang tenang namun gesit. Ia seorang gadis jelita berusia delapan belas tahun, pakaiannya ringkas dan, cukup mewah, memakai perhiasan dari pada emas permata. Wajahnya cantik jelita, terutama sekali mata dan mulutnya yang berbentuk menggairahkan. Di balik kecantikan dan kelembutan pada diri gadis itu terdapat sesuatu yang membuat orang menaruh hormat, yakni sikapnya yang demikian tenang, sinar, maunya yang tajam dan gerak geriknya menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan. Apalagi sebatang pedang yang tergantung di punggungnya jelas menandakan bahwa ia seorang gadis yang memiliki ilmu kanuragan dan tidak boleh dipandang ringan atau dijadikan permainan!

Gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo! Seperti kita ketahuhi, Retno Susilo meninggalkan Hutan kebonjambe yang menjadi perkampungan Sardulo Cemeng di mana ayahnya menjadi ketua. Keluarganya tidak mampu menahannya ketika ia menyatakan hendak pergi mencari gurunya untuk memperdalam Ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Tujuannya hanya satu, ialah memperdalam ilmu kanuragan, agar kelak ia dapat mengalahkan Sutejo!

Ia mendaki Bukit ular karena maklum bahwa tempat angker ini merupakan satu di antara tempat-tempat yang kadang dijadikan tempat tinggal Nyi Rukmo Petak, gurunya itu. Pernah ia satu kali diajak oleh gurunya tinggal di tempat ini selama sebulan. Karena itu, tanpa ragu ia memasuki hutan dan mendaki Bukit Ular dengan hati-hati karena ia maklum bahwa tempat ini amat berbahaya dengan ular-ularnya.

Ia maklum bahwa yang berbahaya adalah ular-ular kecil yang suka bersembunyi di balik daun-daun kering yang berserakan di atas tanah. Sekali saja ia salah injak dan menginjak tubuh seekor ular welang, ia akan terancam bahaya maut! Dengan penuh kewaspadaan dan hati-hati sekali, mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali, Retno Susilo maju setapak demi setapak memasuki hutan menuju ke Gua Tengkorak yang berada di tengah hutan.

Setibanya di gua besar, di depan mana masih berserakan tulang-tulang dan tengkorak manusia, Retno Susilo berhenti dan memandang ke arah gua. Gua itu tampak kosong. Akan tetapi ia tidak putus asa karena Ia tahu bahwa di dalam gua terdapat beberapa ruangan yang tidak tampak dari luar. Mungkin gurunya berada di dalam ruangan Itu. Retno Susilo lalu berseru dengan suaranya yang merdu dan nyaring.

"Nyi Dewi......! Apakah engkau berada di dalam gua? Aku muridmu Retno Susilo yang datang menghadap!" Gurunya itu bernama Nyi Rukmo Petak, akan tetapi sejak dahulu minta disebut Nyi Dewi olehnya dan hubungan mereka tidak seperti guru dan murid, lebih merupakan sahabat! Karena Itu, Retno Susilo sudah terbiasa tidak memakai terlalu banyak, tatakrama kalau bicara dengannya.

Setelah mengeluarkan seruan itu, Retno Susilo menanti sebentar. Tak lama kemudian terdengar suara tawa terkekeh dari dalam guha dan terdengar suara lembut namun tajam dan berwibawa. "Hi-hi-hik, Retno. jauh-jauh engkau datang mencariku, tentu ada maumu! Masuklah saja, aku sedang membuat ramuan dan engkau dapat membantuku!"

Girang sekali hati Retno Susilo mendengar jawaban ini. Seperti diduganya, gurunya benar berada di tempat itu. Tidak sia-sia perjalanan jauhnya menuju ke Bukit Ular. Ia segera melangkah maju, tetap dengan hati-hati karena guha itupun bukan tempat yang tidak berbahaya. Dimasukinya guha itu dan ternyata di sebelah dalamnya cukup terang karena mendapat cahaya dari atas yang terbuka dengan adanya lubang besar. Ia melihat gurunya sedang duduk bersila menghadapi sebuah keranjang besar dan di dekatnya terdapat sebuah periuk tanah yang bermulut lebar.

Dengan tangan kirinya, nenek itu membuka tutup keranjang dan cepat sekali tangan kanannya menyambar ke dalam keranjang. Ketika tangan itu keluar, ia sudah menjepit leher seekor ular welang sebesar ibu jari kaki. Ular itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangan nenek itu, akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kanan nenek itu sedemikian kuatnya sehingga mau tidak mau ular itu membuka mulutnya lebar-lebar.

Tampak dua pasang gigi taringnyayang runcing melengkung, putih kebiruan. Nenek itu dengan tangan kirinya mengambil sebatang pisau kecil, menekan dan menggurat-guratkanpisau itu pada dua pasang taring. Ular itu kesakitan dan dari kedua pasang taringnya itu menetes cairan putih kebiruan, menetes-netes dan ditampung oleh Nyi Rukmo Petak ke dalam periuk tanah yang telah dipersiapkan di situ.

Retno Susilo memandang gurunya dengan penuh perhatian dan mengertilah ia bahwa gurunya sedang memaksa ular itu mengeluarkan racunnya yang amat berbahaya. Agaknya gurunya sedang mengumpulkan racun ular-ular yang paling berbahaya. Ia memandang wajah gurunya penuh perhatian. Wajah yang terlalu muda bagi seorang nenek yang sebetulnya usianya sudah enam puluh lima tahun. Tampaknya wajah itu seperti baru berusia tiga puluh tahunan saja. Akan tetapi yang amat menyolok adalah warna rambatnya. Rambut yang panjang sampai ke punggung itu putih semua, halus seperti benang-benang sutera perak. Tubuhnyapun masih ramping padat, kulitnya masih halus belum dipenuhi keriput.

"Nyi Dewi, untuk apa engkau menampung racun ular itu?" Retno Susilo bertanya dan menghampiri gurunya.

"Jangan bertanya sekarang, nanti kuceritakan.Sekarang lebih baik engkau membantu aku. Atau, engkau sudah lupa lagi bagaimana untuk menangkap ular dan engkau takut?"

"Takut?"tanya Retno Susilo penasaran sambil berjongkok dekat gurunya. "Sudah lama engkau mengusir rasa takut dari hatiku."

"Kalau begitu bantulah. Pergunakan pisau itu untuk menekan taringnya agar ia mengeluarkan liurnya yang beracun." matanya sambil menunjukkan dengan dagunya ke arah pisau kecil yang berada tidak jauh dari situ.

Retno Susilo lalu duduk bersila dekat keranjang. Seperti yang dilakukan gurunya tadi, dengan tangan kiri dibukanya keranjang Itu sedikit. Ternyata didalamnya penuh dengan ular-ular yang berbisa, Ada ular welang, ular sendok, ular hijau, ular keling dan bermacam ular berbisa lainnya. Tangan kanan Retno Susilo cepat menyambar ke dalam keranjang dan ia telah menjepit leher seekor ular sendok yang besarnya ada sepergelangan tangannya.

Ular itu membelit-belit tangannya, akan tetapi gadis itu mengerahkan tenaga menjepit leher dekat kepala sehingga ular itu terpaksa membuka mulutnya terpentang lebar dan tampaklah dua pasang taringnya yang mengerikan. Seperti yang dilakukan gurunya. Retno Susilo menekan-nekan dan menggurat-gurat pada taring ular itu sehingga dari taring itu keluar liur berbisa yang ditampungnya dengan periuk tanah tadi. Setelah bisanya habis, seperti yang dilakukan oleh gurunya, ia melemparkan tubuh ular itu keluar dari gua. Ular yang sudah kehabisan bisa itu, merayap perlahan meninggalkan gua itu dengan lemas.

Guru dan murid bekerja tanpa bicara dan akhirnya semua ular dalam keranjang telah dikuras bisanya. Periuk itu menampung bisa banyak ular, tampak cairan keruh kebiruan yang agak berbusa di dalam periuk.

Setelah ularnya habis Retno Susilo bertanya kepada gurunya. "Nah, sekarang engkau harus menceritakan, untuk apa engkau menampung semua bisa yang berbahaya ini, Nyi Dewi."

"Heh-heh-heh, aku sedang merangkai untuk menciptakan sebuah aji baru yang ampuh, Retno. Aji pukulan itu kuberi nama Aji Wiso Sarpo dan untuk melatihnya kubutuhkan semua bisa ini. Aji pukulan ini akan ampuh sekali, Retno. Terkena pukulan ini sama dengan terkena gigitan beberapa ekor ular berbisa yang membuat seluruh tubuh melepuh dan mendatangkan kematian yang mengerikan."

Retno Susilo terbelalak, ngeri juga juga membayangkan aji yang amat menyeramkan itu. Ia memang ingin sekali, memperdalam ilmunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan aji itu kemudian tubuh Sutejo melepuh semua dan terancam maut, alangkah mengerikan dan ia tidak akan tega melakukan hal itu terhadap pria yang amat dicintainya itu. "Wah, hebat sekali. Jadi, siapa saja yang terpukul Aji Wiso Sarpo ini tidak akan dapat ditolong lagi, Nyi Dewi?"

"Hi-hi-hik, tentu saja kalau menciptakan sebuah aji, tentu juga mengadakan penawarnya yang disebut Wisopoho. Siapa yang menguasai Aji Wiso Sarpo, tubuhnya akan kebal terhadap segala macam racun, juga hanya ia yang akan mampu mengobati orang yang terkena pukulan dengan aji itu."

"Bagus sekali. Aku ingin mempelajari ilmu itu, Nyi Dewi!" kata Retno Susilo gembira.

"Hah! Untuk apa engkau hendak mempelajarinya? Tidak cukupkah aku melatihmu selama itu?"

"Sama sekali tidak cukup, Nyi Dewi. Justeru kedatanganku berkunjung ini adalah untuk minta tambahan ilmu kanuragan karena aku telah dihina dan dikalahkan orang. Nyi Dewi harus mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadaku agar aku dapat membalas kekalahan itu. Kebetulan sekali kalau engkau menciptakan ilmu baru ini. Aku ingin sekali mempelajarinya."

"Siapa dia yang telah mengalahkanmu?" tanya Nyi Rukmo Petak (Wanita Rambut Putih) dengan penasaran.

"Namanya Sutejo. Akan tetapi sudahlah, engkau tidak akan mengenalnya. Dia adalah urusanku sendiri. Engkau hanya perlu menggemblengku lebih lanjut agar aku dapat mengalahkannya."

"Baiklah. Kebetulan sekali, kalau begitu. Aku jadi mempunyai teman untuk berlatih Aji Wiso Sarpo ini dan aku akan mengajarkan pula aji pamungkas lainnya agar engkau dapat membalas kekalahanmu."

"Berapa lama aku harus membuang waktu untuk mempelajari Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lainnya, Nyi Dewi? Kuharap jangan terlalu lama. Aku tidak akan betah tinggal terlalu lama di tempat menyeramkan ini!"

"Engkau pernah bertahun-tahun belajar dariku, bakatmu cukup baik. Dasarmu sudah cukup kuat dan dalam waktu seratus hari saja engkau akan dapat menguasai Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lain yang disebut Aji Gelap Sewu."

"Bagus, terima kasih Nyi Dewi. Aku akan belajar dan berlatih dengan tekun!" kata Retno Susilo dan suaranya mengandung sorak kemenangan seolah ia sudah merasa yakin bahwa setelah menguasai dua macam ilmu itu, ia akan mampu mengalahkan Sutejo!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Resi Limut Manik pagi hari itu tampak lesu dan tidak bersemangat. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh empat tahun ini tampak lebih tua daripada biasanya. Rambut, alis, dan kumis jenggotnya yang panjang, ditimpali pakaiannya yang serba putih, membuat dia tampak seperti bukan Seorang manusia biasa. Dia duduk bersila di atas dipan bambu, dihadap dua orang cantriknya, Penggik yang berusia enam belas tahun dan Pungguk yang berusia delapan belas tahun. Dua orang cantrik yang masih muda remaja ini tampak sehat dan wajah mereka cerah gembira, berbeda dengan wajah sang resi.

"Pungguk dan Penggik, majulah dan duduklah dekat denganku," kata Sang Resi Limut Manik, dengan suaranya yang khas, lembut dan halus.

Melihat sikap sang Resit idak seperti biasanya, dua orang cantrik itu merangkak dan duduk bersila di atas lantai dekat dipan bambu. "Eyang Resi, tidak seperti biasanya paduka tampak lesu dan tidak bergembira, membuat kami berdua ikut merasa prihatin." kata Pungguk.

"Eyang Resi, apakah gerangan yang mengganggu hati paduka? Kami ingin sekali menghibur paduka." kata pula Penggik. Kedua orang cantrik ini adalah kakak beradik yang sudah tidak memiliki ayah bunda lagi, tidak memiliki sanak keluarga dan sejak kecil mereka dipelihara oleh Resi Limut Manik maka tidak mengherankan kalau mereka sangat mencinta kakek itu. Hati mereka terikat kuat kepada junjungan mereka.

Mendengar ucapan dua orang cantriknya, Resi Limut Manik menghela napas panjang dan berkata, "Yang menjadi pengganggu pikiranku adalah kalian berdua. Kalau aku sudah tidak ada, lalu bagaimana dengan kalian berdua? Siapakah yang akan kalian ngengeri? Itulah pertanyaan yang mengganggu hatiku sehingga hari ini aku tidak merasa bergembira."

"Wah, Eyang Resi. Eyang hendak pergi kemanakah? Eyang, kalau eyang pergi, kami berdua mohon diperkenankan untuk ikut. Kami tidak dapat berpisah dari Eyang. Paduka merupakan pelita hidup kami, tanpa adanya paduka, kami seperti kehilangn pelita dan hidup dalam kegelapan." kata Pungguk.

"Benar, Eyang Resi. Mati hidup kami berdua akan ikut paduka!" kata Penggik.

"Mati hidup akan ikut aku?" Resi Limut Manik berucap dengan suara terharu. "Jagad Dewa Bathara....! Kehendak Sang Hyang Widhi tidak mungkin diubah oleh apapun atau siapapun!"

"Eyang Resi, mohon jangan tinggalkan kami berdoa!" Pungguk berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

"Mohon perkenan paduka agar kami dapat mengikut paduka ke manapun paduka pergi, Eyang Resi." kata pula Penggik.

Resi Limut Manik mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk dan tersenyum. "Baiklah, Pungguk dan Penggik. Kalian boleh ikut bersamaku kemanapun aku pergi. Sekarang keluarlah, aku hendak bersamadhi dan ingat, siapapun juga tidak boleh mengganggu samadhiku dan kalian harus menjaga dan mempertahankan larangan ini."

"Sendhiko Eyang. Mari, Penggik, kita berjaga di luar."kata Pungguk dengan sikap gagah dan setelah menyembah dengan hormat, dua orang bersaudara itu keluar dari dalam pondok dengan wajah berseri karena telah diperkenankan ikut ke manapun sang resi pergi.

Setelah kedua orang cantrik itu keluar. Resi Limut Manik lalu mengangkat kedua tangan menengadah ke atas. "Hamba menyerah atas Semua Kehendak Paduka. Segala Kehendak Paduka jadilah!" Dan dia lalu duduk diam dan tenggelam dalam samadhi.

Matahari mulai naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan empat orang penunggang kuda mendaki puncak Semeru di mana Resi Limut Manik mendirikan padepokannya. Pungguk dan Penggik memandang mereka yang datang berkuda itu dengan heran. Jarang ada tamu datang berkunjung, apa lagi empat orang berkuda yang kesemuanya mengenakan pakaian serba indah itu. Akan tetapi setelah mereka datang lebih dekat. Pungguk dan Penggik segera mengenal seorang diantara mereka. Dua orang cantrik itu mengerutkan alisnya ketika mengenal Bhagawan Jaladara. Tentu saja mereka tahu bahwa murid ke tiga dari Resi Limut Manik ini pernah datang berkunjung, bermalam di situ dan pergi sambil mencuri pecut pusaka Bajrakirana! Kini dia muncul kembali bersama tiga orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan!Tiga orang itu bukan lain adalah Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan Tumenggung Janurmendo!

Ketika mereka tiba di depan pondok, empat orang itu lalu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka dan Bhagawan Jaladara memandang kepada dua orang cantrik itu. "Heh. Pungguk dan Penggik! Di mana Bapa Resi?" tanyanya dengan kasar. Pungguk menjawab. "Eyang Resi sedang bersamadhi di dalam pondok."

"Cepat beritahu kepada Bapa Resi bahwa kami datang untuk bertemu dan bicara dengannya!" perintah Bhagawan Jaladara.

Dua orang cantrik itu saling pandang dan Pungguk lalu menjawab dengan suara tegas. "Eyang Resi sedang bersamadhi dan tadi sudah memerintahkan kepada kami berdua agar tidak membiarkan siapapun juga mengganggu samadhinya."

Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya dan membentak. "Bedebah! Tidak kau lihat siapa aku? Katakan aku Bhagawan Jaladara yang datang dan dia harus keluar sekarang juga untuk bicara! Lihat, apa yang kubawa ini? Kalian harus mentaati perintahku!" Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengangkat tinggi Pecut Sakti Bajrakirana di tangan kanannya.

"Maaf, Paman Bhagawan Jaladara. Kami tetap tidak dapat memenuhi permintaanmu untuk mengganggu Eyang Resi." kata Pungguk.

"Jahanam! Kalau begitu minggirlah, kami akan masuk pondok dan menemui sendiri Bapa Resi!" Setelah berkata demikian Bhagawan Jaladara melecut dengan cambuknya. Pecut Bajrakirana meledak di udara "Tar-tar-tar.......!"

"Kalau Paman Bhagawan hendak memaksa, terpaksa kami akan menghalangi!" kata Penggik. Pemuda remaja berusia enam belas tahun ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar di depan pintu menghalang empat orang itu untuk memasuki pondok. Pungguk juga melompat ke dekat adiknya dan dua orang kakak beradik itu berjaga di depan pintu dengan sikap menantang dan tabah, sedikitpun tidak merasa takut.

Melihat sikap kedua orang pemuda remaja itu, tentu saja Bhagawan Jaladara menjadi marah bukan main! Dia merasa dihina oleh dua orang cantrik, di depan tiga orang rekannya lagi. "Keparat! Kalian sudah bosan hidup!" Pecut Bajrakirana di tangannya bergerak ke atas, meledak dua kali di udara lalu meluncur ke bawah, menyambar ke arah kepala dua orang cantrik muda itu. Pecut Bajrakirana adalah sebuah senjata pusaka yang sakti, dan yang menggerakkan adalah tangan Bhagawan Jaladara, seorang yang sakti mandraguna, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan itu. Sia-sia saja dua orang cantrik itu hendak mengelak. Kepala mereka telah disambar dan dilecut.

"Tarrr........! Tarrr.....!!" Dua tubuh remaja itu terpelanting dan roboh, tak bergerak lagi, kepala mereka retak retak, darah merah dan otak putih berceceran di atas tanah!

"Duh Jagad Dewa Bathara !" Tiba - tiba terdengar seruan halus dan Resi Limut Manik telah berdiri di ambang pintu, matanya memandang ke arah tubuh dua orang cantriknya dengan mata sayu. Kemudian mata itu menyambar ke arah Bhagawan Jaladara dan dia menegur. "Jaladara, apa yang kau perbuat ini? Andika telah melanggar pantangan, menggunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk membunuh!"

"Bapa Resi, tidak perlu banyak cakap lagi. Lihat kenyataan bahwa akulah pemegang Pecut Bajrakirana, maka andika harus menuruti semua perintahku! Cepat serahkan kitab Aji Bajrakirana dan keris pusaka Kartika Sakti berikut kitab Pelajaran ilmu keris itu! Kami membutuhkan untuk memperkuat perguruan Jatikusumo yang akan kami dirikan kembali."

"Aku menghormati Pecut Bajrakirana karena pusaka itu dahulu adalah pusaka peninggalan guruku, karenanya aku tidak akan melawan. Akan tetapi untuk menyerahkan kitab kitab dan pusaka yang kau minta, hal itu jelas tidak dapat kulakukan. Jaladara Andika telah membunuh dua orang, cantrik yang tidak berdosa, semoga Hyang Widhi mengampunimu, sekarang sebaiknya kalian pergi dari sini jangan menggangguku lagi."

"Bapa Resi, kalau tidak andika berikan barang-barang yang kuminta, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" bentak Bhagawan Jaladara, Bukan saja dia mengandalkan Pecut Bajrakirana, akan tetapi juga dia mengandalkan bantuan teman-temannya untuk menghadapi Resi Limut Manikyangsudah tua renta itu terutama mengandalkan Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna. "Hemm, kekerasan yang bagaimana kau maksudkan, Jaladara?" tanya Sang Resi dengan tenang dan sabar.

"Membunuhmu dan merampas kitab-kitab dan pedang pusaka itu!" bentak Bhagawan Jaladara. Resi Limut Manik tersenyum dan melipat kedua lengan di depan dada.

"Mati dan hidupku berada di Tangan Hyang Widhi, Jaladara. Aku tetap tidak akan memberikan semua itu kepadamu karena engkau tidak berhak memilikinya."

Bhagawan Jaladara menjadi marah sekali. Dia memberi isarat kepada tiga orang rekannya. Tiga itu maklum akan isyarat yang diberikan maka mereka bertigapun mencabut senjata masing-masing.

"Serang......! Bunuh...!!" Teriak Bhagawan! Jaladara dan dia sendiri sudah menggerakan Pecut Bajrakirana.

"Tar-tar-tarrr.....!" Tiga kali pecut itu meledak dan menyambar ke arah kepala dan tubuh Sang Resi. Ujung pecut itu dengan tepatmengenai sasaran. Terdengar kain robek dan tampak wajah dan dada Sang Resi mengeluarkan darah dari guratan memanjang bekas lecutan pecut. Tongkat hitam di tangan kiri Bhagawan Jaladara menyusul dan menusuk ke arah dadanya.

"Dess......!" Tongkat itu tepat mengenai ulu hati. Golok besar di tangan Ki Warok Petak juga menyambar dan mengenai pundak Sang Resi, disusul keris di tangan Ki Baka Kroda menusuk perutnya dan keris pusaka di tangan Tumenggung Janurmendo juga menyambar dan menusuk lambungnya. Tubuh Sang Resi penuh luka, akan tetapi kakek itu masih berdiri tegak dan tidak roboh, bahkan senyumnya tidak pernah menghilang dari mukanya. Melihat ini, Bhagawan Jaladara terbelalak, demikian pula tiga orang rekannya sehingga mereka menahan senjata dan hanya memandang dengan heran dan jerih.

"Manusia-manusia berhati iblis yang keji!" Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang halus dan nyaring dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan, usianya sekitar dua puluh tahun dan pemuda ini sudah mencabut Sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, Kemudian sekali menggerakkan kakinya pemuda itu sudah melompat dan melindungi Resi Limut Manik yang masih berdiri bersedekap dengan wajah dan tubuh mandi darah dan pakaian robek-robek!

Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang melindungi Resi Limut Manik, Bhagawan Jaladara menjadi marah. Dia menyimpan Pecut bajrakirana dan menyerang dengan tongkatnya yang menyambar amat dahsyatnya ke arah kepala pemuda tampan itu. "Bocah lancang berani engkau mencampuri urusan kami!"

Melihat sambaran tongkat hitam itu si pemuda sudah waspada itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia mengelebatkan pedangnya menangkis. "Trangggg.....!" Pedang dan tongkat bertemu dan Bhagawan Jaladara terkejut sekali karena tongkatnya tergetar hebat, membuktikan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi pada saat itu, Tumenggung Janurmendo sudah turun tangan. Keris pusaka Jalu Sarpo menyambar dan menusuk ke arah dada pemuda itu.

Namun si pemuda tampan juga dapat bergerak dengan gesit dan mantap. Dia menggeser kakinya dan tubuhnya sudah miring, mengelak dari tusukan keris dan dari samping pedangnya membabat ke arah leher Tumenggung Janurmendo! Serangan balasan inipun dapat dielakkan oleh tumenggung yang digdaya itu. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tidak mau tinggal diam dan mereka juga sudah menerjang dan menyerang dengan senjata masing-masing.

Ternyata pemuda itu memang tangguh Biarpun dikeroyok empat orang yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, dia tidak menjadi gentar. Dia memutar pedangnya sedemikian cepat dan kuatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar kesana sini. Namun, karena dia dikepung dari empat jurusan, akhirnya diapun hanya dapat menangkis dan tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan empat orang pengeroyoknya!

Bhagawan Jaladara yang merasa penasaran sekali, menjadi marah. Kalau mereka berempat tidak mampu mengalahkan Resi Limut Manik, itu tidaklah aneh dan tidak akan membuat menjadi penasaran. Nyatanya Resi Limut Manik tidak melakukan perlawanan berkat adanya Pecut Sakti Bajrakirana. Akan tetapi sekarang mereka berempat tidak mampu segera merobohkan seorang pemuda remaja yang mereka keroyok, hal ini sungguh membuat dia menjadi penasaran bukan main.

Diam-diam dia mengerahkan Aji Gelap Musti di tangan kirinya dan setelah mengambil ancang-ancang, dia berseru nyaring dan mendorong dengan pukulan Aji Gelap Musti. "Makanlah Aji Gelap Musti!" Teriaknya dan ketika tangan kirinya memukul, dari tangan kiri itu keluar, angin pukulan yang amat dahsyat bagaikan kilat menyambar.

Akan tetapi, pemuda itupun menekuk lututnya menyambut pukulan itu dengan pukulan yang sama! "Wuuuuttt......Desss.......!!" Dua tenaga sakti Aji Gelap Musti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang.Bhagawan Jaladara menjadi terkejut setengah mati mendapat kenyataan betapa pemuda itu menyambut pukulannya dengan aji yang sama.

"Siapa andika....?" tanyanya dan tigaorangjuga menghentikan penyerangan mereka.

"Siapa adanya aku tidak penting kau ketahui!" jawab pemuda itu sambil melintangkan pedangnya di depan dada. "Yang jelas siapa adanya aku, aku akan tetapi menentangmu. Andika seorang berpakaian pendeta, akan tetapi sepak terjangmu seperti penjahat yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang ini dan mengeroyok seorang tua renta yang mengalah dan tidak mau melawan kalian!"

"Keparat, engkau pun bosan hidup!" Bhagawan Jaladara membentak lalu memberi isarat kepada tiga orang rekannya untuk menyerang lagi. Pemuda itu memutar pedangnya dan menyambut serangan mereka dengan berani walapun dia segera terkepung dan terdesak.

Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pemuda lain. Pemuda itu adalah Sutejo yang baru datang. Melihat betapa eyang gurunya berdiri bersedakap dan mandi darah, dua orang cantrik menggeletak tak bernyawa dan seorang pemuda berpedang, sedang dikeroyok dan didesak oleh Bhagawan Jaladara dengan tiga orang rekannya, Sutejo menjadi marah. Tanpa bertanyapun dia dapat menduga bahwa empat orang itu tentu datang mengacau di padepokan Resi Limut Manik, maka diapun segera melolos kain ikat kepalanya dan melompat ke tengah pertempuran.

"Bhagawan Jaladara, di mana-mana engkau mendatangkan kekacauan!" serunya dan kain ikat kepala berwarna biru itu berubah menjadi gulungan tangan sinar biru ketika dia menggerakkannya.Sinarbiru itu menyerang ke arah kepala Bhagawan Jaladara.

Bhagawan Jaladara terkejut sekali ketika dia melihat bahwa penyerangnya adalah Sutejo, pemuda yang sakti mandraguna itu. Dia cepat mengelak sambil melompat mundur. Baru menghadapi tampan itu saja dia dan tiga orang rekannya belum dapat menang, apa lagi kini muncul Sutejo. Pada hal, Resi Limut Manik juga belum tewas. Kini keadaan pihaknya yang terancambahaya,maka dia lalu berseru memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur. Mereka berloncatan dan di lain saat mereka telah melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan melarikan diri meninggalkan puncak itu. Sutejo sudah melompat untuk melakukan pengejaraan akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Resi Limut Manik. "Sutejo, tidak perlu mengejar mereka"

Sutejo menahan langkahnya dan membalikkan memandang eyang gurunya. Dia melihat tubuh kakek itu terkulai dan bagaikan dua orang berlomba, dia dan pemuda yang tampan itu cepat sekali sudah meloncat ke depan dan menyambut tubuh kakek yang terkulai itu sehingga tidak sampai terjatuh

"Mari kita bawa eyang masuk ke pondok," kata pemuda itu. Sutejo merasa heran sekali. Pemuda itu bersuara lembut namun di balik kelembutannnya terkandung wibawa yang kuat seolah-olah pemuda itu sudah biasa memerintah, tanpa berkata sesuatu diapun membantu pemuda itu memondong tubuh Resi Limut Manik dan membawanya masuk ke dalam pondok, merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas dipan.

Melihat luka-luka di wajah dan tubuh Resi Limut Manik, pemuda itu kembali memerintah kepada Sutejo. "Kisanak, cepat carilah buah pace, kulit pohon dan akarnya, juga Widoro Upas dan Biji Jarak untuk mengobati luka-luka yang diderita eyang guru!"

Kembali Sutejo merasa heran. Pemuda tampan ini menyebut eyang guru kepada Resi Limut Manik! Dan dia diperintah begitu saja, anehnya dia tidak ingin membantah karena maklum bahwa apa yang diperintahkan itu benar dan perlu sekali.

Akan tetapi Resi Limut Manik menggerakkan tangan kirinya. "Tidak perlu tergesa-gesa mengobati aku. Yang penting, angkatlah jenazah kedua orang cantrik itu dan uruslah mereka baik-baik. Cucunda Puteri, andika bantulah dia mempersiapkan pemakaman kedua orang cantrik, aku ingin mereka dikubur di belakang pondok."

Sutejo terbelalak memandang kepada pemuda itu Cucunda Puteri? Jadi pemuda itu adalah seorang gadis? Seorang puteri malah? Pantas ketampannya luar biasa! Melihat keheranan Sutejo, Resi Limut Manik bangkit duduk dibantu dua orang pemuda itu dan setelah duduk bersila dia bekata, "Kalian belum saling mengenal? Sutejo, dara yang menyamar pria ini adalah Gusti Puteri Wandasari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram dan ia adalah murid perguruan Jatikusumo, murid dari Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidal. Cucunda Puteri, pemuda ini adalah Sutejo, murid dari Bhagawan Sidik Paningal yang bertapa di Gunung Kawi." Puteri Wandansari dan Sutejo saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dengan penuh perhatian kemudian keduanya saling memberi hormat dengan membungkuk. Akan tetapi Puteri Wandasari lalu mencurahkan perhatiannya lagi kepada Resi Limut Manik.

"Akan tetapi, Eyang. Eyang telah menderita luka-luka parah yang harus segera dirawat! Biarlah.... kakang Sutejo yang mengurus dua jenazah itu dan aku sendiri akan mencarikan daun-daun obat untuk Eyang agar tidak terlambat....."

Resi Limut Manik menggoyang tangannya. "Memang sudah terlambat, cucunda Puteri. Aku sudah merasa bahwa luka-lukaku tidak dapat disembuhkan lagi. Pecut Sakti Bajrakirana telah menghantam kepala dan dadaku, Masih baik aku dapat bertahan, tidak tewas seketika. Sekarang, jangan kalian ragu dan lakukan saja apa yang kuperintahkan. Kalian berdua cepat urus penguburan dua jenazah cantrik itu, setelah itu kalian datanglah menghadap ke sini karena ada sesuatu yang amat penting hendak kubicarakan dengan kalian."

Suara itu lemah dan lembut, namun mengandung pesan yang tidak dapat dibantah lagi. Dua orang muda itu saling pandang, lalu mengangguk dan keduanya segera keluar untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Resi Limut Manik. Dua orang itu bekerja keras. Diam diam Sutejo merasa heran dan juga kagum. Puteri itu ternyata cekatan dan biarpun ia seorang wanita, namun ia membantunya menggali lubang. Pada hal ia bukan wanita biasa melainkan seorang puteri keturunan raja besar! Mereka bekerja tanpa kata-kata sehingga tugas itu dapat mereka selesaikan dengan cepat.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka kembali menghadap Resi Limut Manik. Mereka mendapatkan kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi ketika mereka tinggalkan. Puteri Wandasari tadi telah menyelinap ke dapur dan membuatkan bubur untuk eyang gurunya, dan membawa bubur dalam mangkok itu ketika ia menghadap bersama Sutejo. Resi Limut Manik membuka matanya ketika dua orang muda itu datang menghadap.

"Eyang, silakan eyang dahar bubur ini dulu agar tubuh eyang menjadi kuat." kata sang puteri sambil menyerahkan semangkok bubur itu.

Resi Limut Manik tersenyum memandang semangkok bubur yang masih mengepul panas itu! "Terima kasih, puteri. Andika memang seorang gadis yang baik sekali, terima kasih." Dia lalu makan bubur itu dengan perlahan dan bertanya, "Bagaimana dengan tugas kalian?"

"Kami berdua telah mengubur dua jenazah itu sebagaimana mestinya, eyang." kata Sutejo.

"Bagus. Aku girang mendengar itu. Dan sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang kesini. Engkau lebih dulu, Sutejo. Ceritakan mengapa engkau datang ke sini."

"Eyang, setelah dulu saya meninggalkan eyang, saya bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara dan setelah bertanding, akhirnya saya berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana. Kemudian pecut itu saya bawa pulang ke Gunung Kawi dan disana saya melihat Bapa Guru sudah ditodong oleh Paman Bhagawan Jaladara yang datang bersama tiga orang temannya tadi. Dia mengancam untuk membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu. Karena melihat Bapa Guru terancam, terpaksa saya menyerahkan pecut itu. Mereka pergi membawa pecut dan meninggalkan Bapa Guru dalam keadaan terluka berat. Akhirnya Bapa Guru meninggal dunia karena luka-lukanya. Setelah mengurus penguburannya, saya lalu pergi kesini untuk melaporkan semua itu kepada Eyang dan mendapatkan Eyang terluka parah, kedua cantrik tewas dan... Gusti Puteri ini dikeroyok mereka berempat."

"Kakang Sutejo, Jangan menyebut aku Gusti Puteri. Bagaimanapun juga kita ini masih kakak beradik seperguruan. Cukup menyebutku adik atau diajeng saja."

"Baiklah dan terima kasih atas kehormatan itu, diajeng Wandansari,"

"Sadhu-Sadhu-Sadhu.....!"Resi Limut Manik berucap sambil menghela napas panjang. "Memang kebaikan dan keburukan saling menimpali dan saling mendorong, tidak akan ada kebaikan kalau tidak ada keburukan, tidak akan ada kebajikan kalau tidak ada kejahatan. Akan tetapi di perguruan Jatikusumo muncul Jaladara, sungguh akan membuat suram dan ternoda nama perguruan kita. Apa pesan Sidik Paningal kepadamu, Sutejo?"

"Bapa Guru meninggalkan pesan dan tugas kepada saya, Eyang. Pertama saya harus mencari dan merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, dan kedua saya harus mempergunakan pecut itu untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, lalu saya harus berbakti kepada Nusa Bangsa dengan menghambakan diri kepada Mataram."

"Bagus,semoga Hyang Widhi memberi bimbingan kepadamu sehingga engkau dapat melaksanakan semua tugas itu dengan baik. Sekarang giliranmu Cucunda Puteri. Bagaimana andika dapat kebetulan datang ke sini pada saat Jaladara mengacau? Apa yang mendorong andika datang berkunjung ke sini?"

"Pertama-tama saya datang berkunjung untuk menengok keadaan Eyang Resi karena sudah lama saya tidak datang menghadap, Kedua kalinya, saya diutus Kanjeng Romo untuk datang berkunjung,"

"Hmmmm, Kanjeng Romomu mengutus andika datang ke sini? Apakah yang beliau kehendaki dariku Puteri?"

"Pertama-tama Kanjeng Romo mengirim salam dan hormat untuk dihaturkan kepada Eyang Resi."

"Jagad Dewa Bathara....! Salam itu kuterima dengan senang hati, dan sebaliknya kalau andika pulang sampaikan doa restuku untuk Kanjeng Romomu dan pesan selanjutnya?"

"Eyang Resi, sekarang ini timbul gejala gejala pemberontakkan, terutama dari kadipaten dan kabupaten di bagian timur dan utara seperti Kabupaten Lasem, Tuban, Jipang, Wirosobo, Pasuruan, Arisbaya dan Sumenep di Madura, dipimpin oleh Sang Adipati di Surabaya dengan penasihat Sunan Giri. Karena adanya gejala yang tidak sehat ini, Mataram harus memperkuat diri dan untuk usaha ke arah itu, Kanjeng Romo telah mengundang para satria dan orang gagah untuk menjadi perwira dan perajurit, dan para pertapa dan pendeta yang arif bijaksana untuk menjadi penasihat. Mengingat bahwa Eyang Resi adalah seorang yang sakti mandraguna lagi arif bijaksana, maka Kanjeng Romo mengutus saya untuk mohon kepada Eyang agar melimpahkan pangestu dan dukungan terhadap Mataram"

Resi Limut Manik mengangguk-angguk. "Sudah semestinya begitu, Puteri. Akan tetapi aku sudah terlalu tua sekarang untuk melibatkan diri dalam perang. Apa lagi keadaanku yang terluka parah dan maut sewaktu-waktu akan datang menjemput. Aku hanya dapat mengirim doa restu yang tiada putusnya dan aku yakin bahwa Mataram akan jaya karena dikendalikan oleh romomu, seorang Raja yang Bijaksana!"

"Terima kasih, Eyang. Akan saya sampaikan kepada Kanjeng Romo." kata dara perkasa itu. "Sekarang dengarkan baik-baik. Aku akan meninggalkan pesan penting untuk kalian berdua. Agaknya memang sudah ditentukan oleh para dewata bahwa kalian datang pada saatnya yang tepat. Sutejo, ambilkan peti kecil di balik dipan itu."

Sutejo bangkit dan mencari di tempat yang ditunjukkan Sang Resi. Ditemukan sebuah peti berukir yang panjangnya satu meter dan lebarnya tiga puluh senti berwarna hitam, terbuat dari kayu jati yang tua. Dibawanya peti itu kepada Resi Limut Manik. Resi Limut Manik yang tampak semakin lemah menggunakan kedua tangannya yang agak gemetar untuk membuka tutup peti dan dikeluarkan tiga buah benda dari dalam peti, yaitu sebatang pedang dan dua buah kitab. Ketika dia mencabut pedang itu dari sarungnya, tampak sinar berkilat menyilaukan mata. Lalu dimasukkankan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang.

"Cucunda Puteri, pedang ini disebut Pedang Kartiko Sakti, merupakan pedang pusaka, perguruan Jatikusumo di samping Pecut Bajrakirana. Terimalah aku memberikan pedang pusaka ini kepadamu agar dapat kau pergunakan untuk membela Mataram. Dan ini adalah kitab pelajaran ilmu pedang Kartiko Sakti, sebuah ilmu pedang yang tidak pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Pelajarilah ilmu ini dengan Pedang Kartiko Sakti."

Dengan sikap hormat Puteri Wandansari menerima pedang dan kitab kuno itu. "Banyak terima kasih Eyang Resi. Saya akanmempelajarinya dengan tekun."

"Bagus. Dasar-dasar ilmu pedang ini akan kuberi petunjuk kepadamu selagi aku masih mampu. Dan sekarang engkau, Sutejo. Terimalah kitab ini. Ini adalah kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana. Ilmu ini memang khas untuk dimainkan dengan Pecut Bajrakirana dan seperti juga Ilmu pedang Kartiko Sakti, ilmu Bajrakirana ini tidak pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Karena engkau bertugas untuk merampas Pecut Bajrakirana, maka setelah berhasil, pecut itu kuserahkan kepadamu berikut ilmunya ini agar dapat engkau pergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, juga untuk dipergunakan membela Mataram."

Sutejo menerima kitab itu dan menghaturkan terima kasih.

"Mulai hari ini, selagi aku masih mampu, aku akan memberi petunjuk kepada kalian tentang ke dua ilmu itu, yaitu mengenai dasar-dasarnya. Sutejo, carilah pecut milik Pungguk dan Penggik di belakang pondok. Engkau dapat mempergunakan pecut biasa itu untuk berlatih."

Sutejo mencari pecut itu di kandang kerbau yang berada di belakang pondok dan menemukannya. Biarpun keadaan tubuh Resi Limut Manik lemah sekali, akan tetapi dia memaksakan diri untuk memberi petunjuk kepada Sutejo dan Puteri Wandansari dalam mempelajari kedua ilmu itu.

Puteri Wandansari menggunakan pedang pusaka itu untuk berlatih Ilmu Pedang Kartiko Sakti sedangkan Sutejo menggunakan pecut panjang itu untuk berlatih ilmu Pecut Bajrakirana. Karena keduanya memang amat berbakat dan telah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan Jatikusumo maka dalam waktu dua pekan saja mereka telah dapat menguasai dasar-dasarnya, tinggal mematangkan ilmu itu dengan latihan-latihan yang dapat mereka lakukan sendiri dengan petunjuk kitab masing-masing.

Setelah lewat dua pekan, dua orang muda itu telah menguasai dasar ilmu masing-masing, akan tetapi Resi Limut Manik yang selama itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya tidak kuat dan ambruk, jatuh pingsan dalam rangkulan Sutejo dan Puteri Wandansari. Mereka memondong tubuh sang resi ke dalam pondok dan merebahkannya di atas pembaringan. Napas kakek itu tinggal satu-satu ketika akhirnya dia membuka matanya dan melihat Sutejo dan Putera Wandansari duduk di tepi dipan bambu, dia memandang dan tersenyum!

"Eyang Resi," kata Puteri Wandansari. "Eyang terlalu lelah. Ah, kami yang berdosa telah membuat Eyang, terlalu lelah memberi petunjuk kami."

"Tidak, Puteri. Hatiku sudah puas sekarang. Aku yakin bahwa andika berdua yang kelak akan mengangkat nama perguruan Jatikusumo dan memanfaatkan dua ilmu warisan dari nenek moyangku. Sekaraag aku siap menghadapi kematian dengan hati tenteram..." Dia terengah-engah.

"Eyang Resi....!" Hampir berbareng Sutejo Wandansari berseru, Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sudah terlalu lama aku memperkuat diri menangguhkan datangnya kematian, sudah terlalu lama kedua cantrikku menanti.... kalau ajalku tiba, kuburkanlah aku di antara kuburan mereka berdua... mereka itu setia sampai mati...."

Keadaan Resi Limut Manik menjadi semakin lemah dan malam harinya kakek itupun menghembuskan napas terakhir di depan Sutejo dan Puteri Wandansari. Sutejo dan Puteri Wandansari merasa berduka, akan tetapi Sutejo mendapat kenyataan bahwa puteri itu memiliki ketabahan dan kekuatan, tidak menangis sedih seperti sebagaian besar wanita kalau merasa berduka. Puteri itu hanya duduk bersimpuh di dekat pembaringan sambil menundukkan mukanya.

Seorang dara yang luar biasa, pikir Sutejo. Dia sendiri melihat tadi betapa puteri ini sanggup menghadapi pengeroyokan Bhagawan Jaladara dan tiga orang kawannya yang sakti. Walaupun puteri ini terdesak, namun berani dan mampu menghadapi pengeroyokan mereka sudah merupakkan hal yang luar biasa sekali. Seorang dara yang luar biasa cantiknya hal ini mudah dilihat walaupun ia berpakaian pria, dan seorang dara yang memiliki kedigdayaan. Bahkan dibandingkan dengan Retno Susilo, Puteri Wandansari ini lebih hebat kepandaiannya! Apa lagi ia memperoleh Pedang Kartiko Sakti berikut ilmu pedangnya! Dan selain memiliki kelebihan itu, kecantikan dan kesaktian sang puteri ini juga puteri seorang raja, anggun berwibawa, dan sama sekali tidak cengeng. Diapun memandang dengan hati kagum sekali.

"Diajeng Wandansari" katanya lirih karena panggilan ini baginya masih terasa membuat hatinya risih dan canggung terlalu lancang. Akan tetapi karena panggilan itu atas permintaan sang puteri sendiri, maka dia memberanikan diri memanggil diajeng.

"Hari sudah malam, sebaiknya andika mengaso di kamar sebelah. Biarlah aku yang akan menunggu jenazah Eyang Resi di sini." Ucapan ini keluar dari hati yang jujur. Dia merasa kasihan kepada dara itu yang telah membantunya ketika mengubur jenazah kedua orang cantrik dan selama belasan hari ini setiap hari tekun berlatih ilmu pedang yang baru secara rajin sekali. Puteri itu tentu merasa lelah dan perlu beristirahat.

Akan tetapi puteri Wandansari menggeleng kepalanya. "Aku memang lelah, akan tetapi untuk menjaga jenazah Eyang Resi, biarpun lelah harus kulakukan. Apakah artinya sedikit kelelahan ini kalau dibandingkan dengan budi kebaikan dan pengorbanan diri Eyang Resi kepada kita? Dalam keadaan terluka parah dan sakit berat Eyang Resi telah memaksa dirinya membimbing kita selama dua pekan sampai raganya tidak kuat lagi bertahan. Apalah artinya bergadang semalam suntuk untuk menjaga jenazahnya?"

Sutejo merasa terpukul oleh ucapan itu. Betapa tepatnya dan tidak mungkin dapat dibantah lagi. Diapun hanya menundukkan mukanyadan berkata lirih, "Diajeng Wandansari, andika adalah seorang puteri yang arif bijaksana."

Hening mengikuti percakapan yang terhenti itu. Malam itu hawa udaranya amat dingin sampai rasanya hawa dingin itu menyusup ke tulang sumsum. Dingin dan sunyi menembus dinding menguasai kamar di mana jenazah Resi Limut Manik, terbaring dengan tenangnya. Wajah itu tampak seperti sedang tidur saja, mulut dibalik kumis itu tersenyum. Sutejo merasa kesepian. Biarpun di situ ada Puteri Wandansari, namun sang puteri itu duduk bersimpuh tak bergerak dan diam saja tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Kesunyian mencekam dan seolah mencekiknya.

"Diajeng....." Ucapnya lirih sambil menatap tajam wajah yang elok itu.

Puteri Wandansari mengangkat sepasang mata bintangnya dan balas memandang. "Ada apakah, kakang Sutejo?"

"Bolehkah aku mengajak andika bercakap-cakap dalam keadaan seperti ini?"

"Bercakap-cakap? Mengapa tidak boleh? Apa yang hendak kau katakan, kakang?"

Lega rasa hati Sutejo. Tadinya dia khawatir kalau-kalau sang puteri akan marah diajak bercakap-cakap, maka terlebih dulu dia minta persetujuannya. "Aku mendapatkan kenyataan yang amat membanggakan hatiku bahwa di antara kita masih terdapat pertalian persaudaraan seperguruan. Karena adanya tali persaudaraan itu, kurasa sudah sepatutnyalah kalau kita saling mengenal dan mengetahui keadaan diri masing-masing lebih baik, Bagaimana pendapatmu, diajeng?"

Puteri Wandansari tersenyum kecil. "Bukankah kita sudah saling mengenal, kakang? Andika adalah murid mendiang Bhagawan Sidik Paningal, paman guruku, dan andika tahu bahwa aku adalah puteri Kanjeng Romo Sultan Agung di Mataram, dan murid Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di pantai laut Kidul."

"Maksudku, riwayat kita masing-masing, diajeng. Seperti, bagaimana seorang puteri Gusti Sultan seperti andika ini dapat menjadi murid Jatikusumo dan lain-lain. Biarlah aku bercerita tentang diriku lebih dulu."

"Berceritalah, kakang, aku siap mendengarkan."

"Aku adalah seorang yang tidak mengenal ayah ibunya sendiri. Sejak aku berusia tiga tahun, aku diselamatkan oleh mendiang Bapa Guru dari tangan seorang wanita sakti yang agaknya telah menculikku, dan oleh Bapa Guru aku diberi nama Sutejo. Sampai sekarang aku belum tahu siapa ayah bundaku."

"Ah, untuk menyelidiki hal itu tidaklah amat sukar, kakang, Kalau engkau tahu siapa wanita yang menculikmu itu, dapat kau tanyakan kepadanya!"

"Baru menjelang wafatnya Bapa Guru menceritakan kepadaku akan riwayatku itu dan menurut Bapa Guru, wanita itu bernama Ken Lasmi, Aku memang sedang berusaha mencari wanita bernama Ken Lasmi itu karena ia tentu mengetahui siapa adanya ayah bundaku." Sutejo berhenti sebentar dan menghela napas panjang, merasa sedih karena teringat akan kematian gurunya yang amat disayangnya.

"Lalu bagaimana, kakang? Teruskan ceritamu yang amat menarik hati itu."

"Oleh mendiang Bapa Guru, aku digembleng ilmu kanuragan yang kiranya tidak banyak bedanya dari yang kau pelajari, karena datang dari satu sumber. Kemudian, beberapa bulan yang lalu padepokan Bapa Guru didatangi Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang keduanya kemudian kuketahui adalah jagoan-jagoan dari Wirosobo. Agaknya Paman Bhagawan Jaladara juga telah menjadi utusan Adipati Wirosobo. Dia datang dan hendak memaksa mendiang Bapa Guru untuk membantu kadipaten Wirosobo dan agar Bapa Guru tidak mempelajari Agama Islam. Tentu saja Bapa Guru menolak dan terjadilah perkelahian. Sebetulnya Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya itu tidak mampu menandingi Bapa Guru, akan tetapi dia lalu mengeluarkan Pecut Bajrakirana! Melihat pecut pusaka itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan akupun dilarang melawan. Kami berdua dipukuli oleh Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya yang kemudian pergi sambil mengancam kalau selama satu bulan Bapa Guru belum mau menghadap ke Wirosobo, kami akan dibunuh."

"Hemm, tidak kusangka sedemikian jauhnya Paman Bhagawan Jaladara menyeleweng dan tega terhadap kakak seperguruan sendiri." kata Puteri Wandansari dengan nada suara mengandung kemarahan.

"Setelah sembuh dari siksaan Paman Jaladara dan kawan-kawannya, aku diutus Bapa Guru untuk pergi menghadap Eyang Resi di sini dan menceritakan tentang perbuatan Paman Bhagawan Jaladara. Mendengar laporanku, Eyang Resi mengatakan bahwa Pecut Bajrakirana itu telah dicuri oleh Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi lalu memberi kekuatan dan menyalurkan tenaga sakti kepadaku kemudian beliau mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Aku lalu berangkat ke Wirosobo dan sampai di perbatasan Wirosobo, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara."

"Ah, dan berhasilkah andika merampas Pecut Bajrakirana, kakang Sutejo?"

Sutejo menghela napas panjang. Dia teringat akan Retno Susilo dan dia tidak ingin bercerita tentang gadis itu. Maka jawabnya, "Aku berhasil merampas pecut itu."

"Akan tetapi mengapa pecut itu kini berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara kembali?"

"Dia bertindak curang, diajeng. Setelah mendapatkan Pecut Bajrakiraaa, aku pergi ke Gunung Kawi menghadap Bapa Guru. Akan tetapi di sana aku melihat Bapa Guru telah tertawan oleh Paman Jaladara yang datang bersama tiga orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan seorang lagi yang sakti mandraguna, yaitu Tumenggung Janurmendo yang merupakan senopati yang tangguh dari kadipaten Wirosobo. Paman Bhagawan Jaladara mengancam hendak membunuh Bapa Guru yang sudah ditawan kalau aku tidak menyerahkan kembali Pecut Bajrakirana kepadanya. Melihat keselamatan Bapa Guru terancam, terpaksa aku menyerahkan pecut pusaka itu dan mereka melepaskan Bapa Guru. Aku lalu mengamuk dan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melarikan diri sambil membawa Pecut Bajrakirana. Aku tidak mengejar karena harus menolong Bapa Guru yang terluka parah. Akhirnya, karena luka-lukanya, Bapa Guru meninggal dunia." Sutejo berhenti dan tampak berduka sekali, teringat akan kematian gurunya.

"Jahat! Jahat sekali mereka itu!" kata Puteri Wandansari. "Aku dapat menebak kelanjutan ceritamu. Engkau datang ke sini hendak menceritakan kepada Eyang Resi akan semua kejadian itu dan melihat aku dikeroyok mereka lalu membantuku."

"Benar sekali, diajeng. Nah, demikianlah riwayatku, riwayat seorang yang sejak kecil dirundung malang. Bagaimana kalau sekarang andika yang ganti bercerita?"

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 05

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 05

KARENA terkenal dengan ular-ularnya, tidak sembarang orang berani menjelajah bukit ini. Bahkan para pawang ular, kalau hendak mencari ular hanya berani mencari di tepi-tepi hutan yang berada di bukit itu, tidak berani mendaki bukit. Apa lagi di puncak bukit kecil itu terdapat sebuah guha yang keramat dan menyeramkan. Betapa berbahayanya gua itu dapat tampak dari adanya beberapa kerangka dan tengkorak manusia berserakan di luas dan dalam gua. Karena banyaknya tengkorak itu, maka gua itu disebut orang Gua Tengkorak. Gua ini merupakan satu di antara sebab mengapa orang tidak berani memasuki daerah bukit ini. Apa lagi di waktu malam, keadaan dibukit itu sungguh menyeramkan.

Karena jarang didatangi manusia, tempat itu menjadi sarang berbagai macam burung malam yang suka berbunyi di waktu malam, memperdengarkan suara mereka yang aneh-aneh dan menyeramkan. Di waktu siang hari sekalipun, keadaan di dalam hutan di bukit itu sudah sangat menyeramkan. Pohon-pohonnya lebat dan besar-besar, dikelilingi semak belukar dan mengandung duri, di mana bersembunyi ular. Ular kecil yang berbahaya.

Akan tetapi, sungguh akan membuat orang terheran-heran kalau kebetulan melihatnya, pada siang hari itu, seorang gadis memasuki daerah itu dengan langkah-langkah yang tenang namun gesit. Ia seorang gadis jelita berusia delapan belas tahun, pakaiannya ringkas dan, cukup mewah, memakai perhiasan dari pada emas permata. Wajahnya cantik jelita, terutama sekali mata dan mulutnya yang berbentuk menggairahkan. Di balik kecantikan dan kelembutan pada diri gadis itu terdapat sesuatu yang membuat orang menaruh hormat, yakni sikapnya yang demikian tenang, sinar, maunya yang tajam dan gerak geriknya menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan. Apalagi sebatang pedang yang tergantung di punggungnya jelas menandakan bahwa ia seorang gadis yang memiliki ilmu kanuragan dan tidak boleh dipandang ringan atau dijadikan permainan!

Gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo! Seperti kita ketahuhi, Retno Susilo meninggalkan Hutan kebonjambe yang menjadi perkampungan Sardulo Cemeng di mana ayahnya menjadi ketua. Keluarganya tidak mampu menahannya ketika ia menyatakan hendak pergi mencari gurunya untuk memperdalam Ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Tujuannya hanya satu, ialah memperdalam ilmu kanuragan, agar kelak ia dapat mengalahkan Sutejo!

Ia mendaki Bukit ular karena maklum bahwa tempat angker ini merupakan satu di antara tempat-tempat yang kadang dijadikan tempat tinggal Nyi Rukmo Petak, gurunya itu. Pernah ia satu kali diajak oleh gurunya tinggal di tempat ini selama sebulan. Karena itu, tanpa ragu ia memasuki hutan dan mendaki Bukit Ular dengan hati-hati karena ia maklum bahwa tempat ini amat berbahaya dengan ular-ularnya.

Ia maklum bahwa yang berbahaya adalah ular-ular kecil yang suka bersembunyi di balik daun-daun kering yang berserakan di atas tanah. Sekali saja ia salah injak dan menginjak tubuh seekor ular welang, ia akan terancam bahaya maut! Dengan penuh kewaspadaan dan hati-hati sekali, mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi ringan sekali, Retno Susilo maju setapak demi setapak memasuki hutan menuju ke Gua Tengkorak yang berada di tengah hutan.

Setibanya di gua besar, di depan mana masih berserakan tulang-tulang dan tengkorak manusia, Retno Susilo berhenti dan memandang ke arah gua. Gua itu tampak kosong. Akan tetapi ia tidak putus asa karena Ia tahu bahwa di dalam gua terdapat beberapa ruangan yang tidak tampak dari luar. Mungkin gurunya berada di dalam ruangan Itu. Retno Susilo lalu berseru dengan suaranya yang merdu dan nyaring.

"Nyi Dewi......! Apakah engkau berada di dalam gua? Aku muridmu Retno Susilo yang datang menghadap!" Gurunya itu bernama Nyi Rukmo Petak, akan tetapi sejak dahulu minta disebut Nyi Dewi olehnya dan hubungan mereka tidak seperti guru dan murid, lebih merupakan sahabat! Karena Itu, Retno Susilo sudah terbiasa tidak memakai terlalu banyak, tatakrama kalau bicara dengannya.

Setelah mengeluarkan seruan itu, Retno Susilo menanti sebentar. Tak lama kemudian terdengar suara tawa terkekeh dari dalam guha dan terdengar suara lembut namun tajam dan berwibawa. "Hi-hi-hik, Retno. jauh-jauh engkau datang mencariku, tentu ada maumu! Masuklah saja, aku sedang membuat ramuan dan engkau dapat membantuku!"

Girang sekali hati Retno Susilo mendengar jawaban ini. Seperti diduganya, gurunya benar berada di tempat itu. Tidak sia-sia perjalanan jauhnya menuju ke Bukit Ular. Ia segera melangkah maju, tetap dengan hati-hati karena guha itupun bukan tempat yang tidak berbahaya. Dimasukinya guha itu dan ternyata di sebelah dalamnya cukup terang karena mendapat cahaya dari atas yang terbuka dengan adanya lubang besar. Ia melihat gurunya sedang duduk bersila menghadapi sebuah keranjang besar dan di dekatnya terdapat sebuah periuk tanah yang bermulut lebar.

Dengan tangan kirinya, nenek itu membuka tutup keranjang dan cepat sekali tangan kanannya menyambar ke dalam keranjang. Ketika tangan itu keluar, ia sudah menjepit leher seekor ular welang sebesar ibu jari kaki. Ular itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangan nenek itu, akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kanan nenek itu sedemikian kuatnya sehingga mau tidak mau ular itu membuka mulutnya lebar-lebar.

Tampak dua pasang gigi taringnyayang runcing melengkung, putih kebiruan. Nenek itu dengan tangan kirinya mengambil sebatang pisau kecil, menekan dan menggurat-guratkanpisau itu pada dua pasang taring. Ular itu kesakitan dan dari kedua pasang taringnya itu menetes cairan putih kebiruan, menetes-netes dan ditampung oleh Nyi Rukmo Petak ke dalam periuk tanah yang telah dipersiapkan di situ.

Retno Susilo memandang gurunya dengan penuh perhatian dan mengertilah ia bahwa gurunya sedang memaksa ular itu mengeluarkan racunnya yang amat berbahaya. Agaknya gurunya sedang mengumpulkan racun ular-ular yang paling berbahaya. Ia memandang wajah gurunya penuh perhatian. Wajah yang terlalu muda bagi seorang nenek yang sebetulnya usianya sudah enam puluh lima tahun. Tampaknya wajah itu seperti baru berusia tiga puluh tahunan saja. Akan tetapi yang amat menyolok adalah warna rambatnya. Rambut yang panjang sampai ke punggung itu putih semua, halus seperti benang-benang sutera perak. Tubuhnyapun masih ramping padat, kulitnya masih halus belum dipenuhi keriput.

"Nyi Dewi, untuk apa engkau menampung racun ular itu?" Retno Susilo bertanya dan menghampiri gurunya.

"Jangan bertanya sekarang, nanti kuceritakan.Sekarang lebih baik engkau membantu aku. Atau, engkau sudah lupa lagi bagaimana untuk menangkap ular dan engkau takut?"

"Takut?"tanya Retno Susilo penasaran sambil berjongkok dekat gurunya. "Sudah lama engkau mengusir rasa takut dari hatiku."

"Kalau begitu bantulah. Pergunakan pisau itu untuk menekan taringnya agar ia mengeluarkan liurnya yang beracun." matanya sambil menunjukkan dengan dagunya ke arah pisau kecil yang berada tidak jauh dari situ.

Retno Susilo lalu duduk bersila dekat keranjang. Seperti yang dilakukan gurunya tadi, dengan tangan kiri dibukanya keranjang Itu sedikit. Ternyata didalamnya penuh dengan ular-ular yang berbisa, Ada ular welang, ular sendok, ular hijau, ular keling dan bermacam ular berbisa lainnya. Tangan kanan Retno Susilo cepat menyambar ke dalam keranjang dan ia telah menjepit leher seekor ular sendok yang besarnya ada sepergelangan tangannya.

Ular itu membelit-belit tangannya, akan tetapi gadis itu mengerahkan tenaga menjepit leher dekat kepala sehingga ular itu terpaksa membuka mulutnya terpentang lebar dan tampaklah dua pasang taringnya yang mengerikan. Seperti yang dilakukan gurunya. Retno Susilo menekan-nekan dan menggurat-gurat pada taring ular itu sehingga dari taring itu keluar liur berbisa yang ditampungnya dengan periuk tanah tadi. Setelah bisanya habis, seperti yang dilakukan oleh gurunya, ia melemparkan tubuh ular itu keluar dari gua. Ular yang sudah kehabisan bisa itu, merayap perlahan meninggalkan gua itu dengan lemas.

Guru dan murid bekerja tanpa bicara dan akhirnya semua ular dalam keranjang telah dikuras bisanya. Periuk itu menampung bisa banyak ular, tampak cairan keruh kebiruan yang agak berbusa di dalam periuk.

Setelah ularnya habis Retno Susilo bertanya kepada gurunya. "Nah, sekarang engkau harus menceritakan, untuk apa engkau menampung semua bisa yang berbahaya ini, Nyi Dewi."

"Heh-heh-heh, aku sedang merangkai untuk menciptakan sebuah aji baru yang ampuh, Retno. Aji pukulan itu kuberi nama Aji Wiso Sarpo dan untuk melatihnya kubutuhkan semua bisa ini. Aji pukulan ini akan ampuh sekali, Retno. Terkena pukulan ini sama dengan terkena gigitan beberapa ekor ular berbisa yang membuat seluruh tubuh melepuh dan mendatangkan kematian yang mengerikan."

Retno Susilo terbelalak, ngeri juga juga membayangkan aji yang amat menyeramkan itu. Ia memang ingin sekali, memperdalam ilmunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan aji itu kemudian tubuh Sutejo melepuh semua dan terancam maut, alangkah mengerikan dan ia tidak akan tega melakukan hal itu terhadap pria yang amat dicintainya itu. "Wah, hebat sekali. Jadi, siapa saja yang terpukul Aji Wiso Sarpo ini tidak akan dapat ditolong lagi, Nyi Dewi?"

"Hi-hi-hik, tentu saja kalau menciptakan sebuah aji, tentu juga mengadakan penawarnya yang disebut Wisopoho. Siapa yang menguasai Aji Wiso Sarpo, tubuhnya akan kebal terhadap segala macam racun, juga hanya ia yang akan mampu mengobati orang yang terkena pukulan dengan aji itu."

"Bagus sekali. Aku ingin mempelajari ilmu itu, Nyi Dewi!" kata Retno Susilo gembira.

"Hah! Untuk apa engkau hendak mempelajarinya? Tidak cukupkah aku melatihmu selama itu?"

"Sama sekali tidak cukup, Nyi Dewi. Justeru kedatanganku berkunjung ini adalah untuk minta tambahan ilmu kanuragan karena aku telah dihina dan dikalahkan orang. Nyi Dewi harus mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadaku agar aku dapat membalas kekalahan itu. Kebetulan sekali kalau engkau menciptakan ilmu baru ini. Aku ingin sekali mempelajarinya."

"Siapa dia yang telah mengalahkanmu?" tanya Nyi Rukmo Petak (Wanita Rambut Putih) dengan penasaran.

"Namanya Sutejo. Akan tetapi sudahlah, engkau tidak akan mengenalnya. Dia adalah urusanku sendiri. Engkau hanya perlu menggemblengku lebih lanjut agar aku dapat mengalahkannya."

"Baiklah. Kebetulan sekali, kalau begitu. Aku jadi mempunyai teman untuk berlatih Aji Wiso Sarpo ini dan aku akan mengajarkan pula aji pamungkas lainnya agar engkau dapat membalas kekalahanmu."

"Berapa lama aku harus membuang waktu untuk mempelajari Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lainnya, Nyi Dewi? Kuharap jangan terlalu lama. Aku tidak akan betah tinggal terlalu lama di tempat menyeramkan ini!"

"Engkau pernah bertahun-tahun belajar dariku, bakatmu cukup baik. Dasarmu sudah cukup kuat dan dalam waktu seratus hari saja engkau akan dapat menguasai Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lain yang disebut Aji Gelap Sewu."

"Bagus, terima kasih Nyi Dewi. Aku akan belajar dan berlatih dengan tekun!" kata Retno Susilo dan suaranya mengandung sorak kemenangan seolah ia sudah merasa yakin bahwa setelah menguasai dua macam ilmu itu, ia akan mampu mengalahkan Sutejo!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Resi Limut Manik pagi hari itu tampak lesu dan tidak bersemangat. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh empat tahun ini tampak lebih tua daripada biasanya. Rambut, alis, dan kumis jenggotnya yang panjang, ditimpali pakaiannya yang serba putih, membuat dia tampak seperti bukan Seorang manusia biasa. Dia duduk bersila di atas dipan bambu, dihadap dua orang cantriknya, Penggik yang berusia enam belas tahun dan Pungguk yang berusia delapan belas tahun. Dua orang cantrik yang masih muda remaja ini tampak sehat dan wajah mereka cerah gembira, berbeda dengan wajah sang resi.

"Pungguk dan Penggik, majulah dan duduklah dekat denganku," kata Sang Resi Limut Manik, dengan suaranya yang khas, lembut dan halus.

Melihat sikap sang Resit idak seperti biasanya, dua orang cantrik itu merangkak dan duduk bersila di atas lantai dekat dipan bambu. "Eyang Resi, tidak seperti biasanya paduka tampak lesu dan tidak bergembira, membuat kami berdua ikut merasa prihatin." kata Pungguk.

"Eyang Resi, apakah gerangan yang mengganggu hati paduka? Kami ingin sekali menghibur paduka." kata pula Penggik. Kedua orang cantrik ini adalah kakak beradik yang sudah tidak memiliki ayah bunda lagi, tidak memiliki sanak keluarga dan sejak kecil mereka dipelihara oleh Resi Limut Manik maka tidak mengherankan kalau mereka sangat mencinta kakek itu. Hati mereka terikat kuat kepada junjungan mereka.

Mendengar ucapan dua orang cantriknya, Resi Limut Manik menghela napas panjang dan berkata, "Yang menjadi pengganggu pikiranku adalah kalian berdua. Kalau aku sudah tidak ada, lalu bagaimana dengan kalian berdua? Siapakah yang akan kalian ngengeri? Itulah pertanyaan yang mengganggu hatiku sehingga hari ini aku tidak merasa bergembira."

"Wah, Eyang Resi. Eyang hendak pergi kemanakah? Eyang, kalau eyang pergi, kami berdua mohon diperkenankan untuk ikut. Kami tidak dapat berpisah dari Eyang. Paduka merupakan pelita hidup kami, tanpa adanya paduka, kami seperti kehilangn pelita dan hidup dalam kegelapan." kata Pungguk.

"Benar, Eyang Resi. Mati hidup kami berdua akan ikut paduka!" kata Penggik.

"Mati hidup akan ikut aku?" Resi Limut Manik berucap dengan suara terharu. "Jagad Dewa Bathara....! Kehendak Sang Hyang Widhi tidak mungkin diubah oleh apapun atau siapapun!"

"Eyang Resi, mohon jangan tinggalkan kami berdoa!" Pungguk berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

"Mohon perkenan paduka agar kami dapat mengikut paduka ke manapun paduka pergi, Eyang Resi." kata pula Penggik.

Resi Limut Manik mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk dan tersenyum. "Baiklah, Pungguk dan Penggik. Kalian boleh ikut bersamaku kemanapun aku pergi. Sekarang keluarlah, aku hendak bersamadhi dan ingat, siapapun juga tidak boleh mengganggu samadhiku dan kalian harus menjaga dan mempertahankan larangan ini."

"Sendhiko Eyang. Mari, Penggik, kita berjaga di luar."kata Pungguk dengan sikap gagah dan setelah menyembah dengan hormat, dua orang bersaudara itu keluar dari dalam pondok dengan wajah berseri karena telah diperkenankan ikut ke manapun sang resi pergi.

Setelah kedua orang cantrik itu keluar. Resi Limut Manik lalu mengangkat kedua tangan menengadah ke atas. "Hamba menyerah atas Semua Kehendak Paduka. Segala Kehendak Paduka jadilah!" Dan dia lalu duduk diam dan tenggelam dalam samadhi.

Matahari mulai naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan empat orang penunggang kuda mendaki puncak Semeru di mana Resi Limut Manik mendirikan padepokannya. Pungguk dan Penggik memandang mereka yang datang berkuda itu dengan heran. Jarang ada tamu datang berkunjung, apa lagi empat orang berkuda yang kesemuanya mengenakan pakaian serba indah itu. Akan tetapi setelah mereka datang lebih dekat. Pungguk dan Penggik segera mengenal seorang diantara mereka. Dua orang cantrik itu mengerutkan alisnya ketika mengenal Bhagawan Jaladara. Tentu saja mereka tahu bahwa murid ke tiga dari Resi Limut Manik ini pernah datang berkunjung, bermalam di situ dan pergi sambil mencuri pecut pusaka Bajrakirana! Kini dia muncul kembali bersama tiga orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan!Tiga orang itu bukan lain adalah Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan Tumenggung Janurmendo!

Ketika mereka tiba di depan pondok, empat orang itu lalu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka dan Bhagawan Jaladara memandang kepada dua orang cantrik itu. "Heh. Pungguk dan Penggik! Di mana Bapa Resi?" tanyanya dengan kasar. Pungguk menjawab. "Eyang Resi sedang bersamadhi di dalam pondok."

"Cepat beritahu kepada Bapa Resi bahwa kami datang untuk bertemu dan bicara dengannya!" perintah Bhagawan Jaladara.

Dua orang cantrik itu saling pandang dan Pungguk lalu menjawab dengan suara tegas. "Eyang Resi sedang bersamadhi dan tadi sudah memerintahkan kepada kami berdua agar tidak membiarkan siapapun juga mengganggu samadhinya."

Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya dan membentak. "Bedebah! Tidak kau lihat siapa aku? Katakan aku Bhagawan Jaladara yang datang dan dia harus keluar sekarang juga untuk bicara! Lihat, apa yang kubawa ini? Kalian harus mentaati perintahku!" Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengangkat tinggi Pecut Sakti Bajrakirana di tangan kanannya.

"Maaf, Paman Bhagawan Jaladara. Kami tetap tidak dapat memenuhi permintaanmu untuk mengganggu Eyang Resi." kata Pungguk.

"Jahanam! Kalau begitu minggirlah, kami akan masuk pondok dan menemui sendiri Bapa Resi!" Setelah berkata demikian Bhagawan Jaladara melecut dengan cambuknya. Pecut Bajrakirana meledak di udara "Tar-tar-tar.......!"

"Kalau Paman Bhagawan hendak memaksa, terpaksa kami akan menghalangi!" kata Penggik. Pemuda remaja berusia enam belas tahun ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar di depan pintu menghalang empat orang itu untuk memasuki pondok. Pungguk juga melompat ke dekat adiknya dan dua orang kakak beradik itu berjaga di depan pintu dengan sikap menantang dan tabah, sedikitpun tidak merasa takut.

Melihat sikap kedua orang pemuda remaja itu, tentu saja Bhagawan Jaladara menjadi marah bukan main! Dia merasa dihina oleh dua orang cantrik, di depan tiga orang rekannya lagi. "Keparat! Kalian sudah bosan hidup!" Pecut Bajrakirana di tangannya bergerak ke atas, meledak dua kali di udara lalu meluncur ke bawah, menyambar ke arah kepala dua orang cantrik muda itu. Pecut Bajrakirana adalah sebuah senjata pusaka yang sakti, dan yang menggerakkan adalah tangan Bhagawan Jaladara, seorang yang sakti mandraguna, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan itu. Sia-sia saja dua orang cantrik itu hendak mengelak. Kepala mereka telah disambar dan dilecut.

"Tarrr........! Tarrr.....!!" Dua tubuh remaja itu terpelanting dan roboh, tak bergerak lagi, kepala mereka retak retak, darah merah dan otak putih berceceran di atas tanah!

"Duh Jagad Dewa Bathara !" Tiba - tiba terdengar seruan halus dan Resi Limut Manik telah berdiri di ambang pintu, matanya memandang ke arah tubuh dua orang cantriknya dengan mata sayu. Kemudian mata itu menyambar ke arah Bhagawan Jaladara dan dia menegur. "Jaladara, apa yang kau perbuat ini? Andika telah melanggar pantangan, menggunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk membunuh!"

"Bapa Resi, tidak perlu banyak cakap lagi. Lihat kenyataan bahwa akulah pemegang Pecut Bajrakirana, maka andika harus menuruti semua perintahku! Cepat serahkan kitab Aji Bajrakirana dan keris pusaka Kartika Sakti berikut kitab Pelajaran ilmu keris itu! Kami membutuhkan untuk memperkuat perguruan Jatikusumo yang akan kami dirikan kembali."

"Aku menghormati Pecut Bajrakirana karena pusaka itu dahulu adalah pusaka peninggalan guruku, karenanya aku tidak akan melawan. Akan tetapi untuk menyerahkan kitab kitab dan pusaka yang kau minta, hal itu jelas tidak dapat kulakukan. Jaladara Andika telah membunuh dua orang, cantrik yang tidak berdosa, semoga Hyang Widhi mengampunimu, sekarang sebaiknya kalian pergi dari sini jangan menggangguku lagi."

"Bapa Resi, kalau tidak andika berikan barang-barang yang kuminta, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" bentak Bhagawan Jaladara, Bukan saja dia mengandalkan Pecut Bajrakirana, akan tetapi juga dia mengandalkan bantuan teman-temannya untuk menghadapi Resi Limut Manikyangsudah tua renta itu terutama mengandalkan Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna. "Hemm, kekerasan yang bagaimana kau maksudkan, Jaladara?" tanya Sang Resi dengan tenang dan sabar.

"Membunuhmu dan merampas kitab-kitab dan pedang pusaka itu!" bentak Bhagawan Jaladara. Resi Limut Manik tersenyum dan melipat kedua lengan di depan dada.

"Mati dan hidupku berada di Tangan Hyang Widhi, Jaladara. Aku tetap tidak akan memberikan semua itu kepadamu karena engkau tidak berhak memilikinya."

Bhagawan Jaladara menjadi marah sekali. Dia memberi isarat kepada tiga orang rekannya. Tiga itu maklum akan isyarat yang diberikan maka mereka bertigapun mencabut senjata masing-masing.

"Serang......! Bunuh...!!" Teriak Bhagawan! Jaladara dan dia sendiri sudah menggerakan Pecut Bajrakirana.

"Tar-tar-tarrr.....!" Tiga kali pecut itu meledak dan menyambar ke arah kepala dan tubuh Sang Resi. Ujung pecut itu dengan tepatmengenai sasaran. Terdengar kain robek dan tampak wajah dan dada Sang Resi mengeluarkan darah dari guratan memanjang bekas lecutan pecut. Tongkat hitam di tangan kiri Bhagawan Jaladara menyusul dan menusuk ke arah dadanya.

"Dess......!" Tongkat itu tepat mengenai ulu hati. Golok besar di tangan Ki Warok Petak juga menyambar dan mengenai pundak Sang Resi, disusul keris di tangan Ki Baka Kroda menusuk perutnya dan keris pusaka di tangan Tumenggung Janurmendo juga menyambar dan menusuk lambungnya. Tubuh Sang Resi penuh luka, akan tetapi kakek itu masih berdiri tegak dan tidak roboh, bahkan senyumnya tidak pernah menghilang dari mukanya. Melihat ini, Bhagawan Jaladara terbelalak, demikian pula tiga orang rekannya sehingga mereka menahan senjata dan hanya memandang dengan heran dan jerih.

"Manusia-manusia berhati iblis yang keji!" Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang halus dan nyaring dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan, usianya sekitar dua puluh tahun dan pemuda ini sudah mencabut Sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, Kemudian sekali menggerakkan kakinya pemuda itu sudah melompat dan melindungi Resi Limut Manik yang masih berdiri bersedekap dengan wajah dan tubuh mandi darah dan pakaian robek-robek!

Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang melindungi Resi Limut Manik, Bhagawan Jaladara menjadi marah. Dia menyimpan Pecut bajrakirana dan menyerang dengan tongkatnya yang menyambar amat dahsyatnya ke arah kepala pemuda tampan itu. "Bocah lancang berani engkau mencampuri urusan kami!"

Melihat sambaran tongkat hitam itu si pemuda sudah waspada itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia mengelebatkan pedangnya menangkis. "Trangggg.....!" Pedang dan tongkat bertemu dan Bhagawan Jaladara terkejut sekali karena tongkatnya tergetar hebat, membuktikan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi pada saat itu, Tumenggung Janurmendo sudah turun tangan. Keris pusaka Jalu Sarpo menyambar dan menusuk ke arah dada pemuda itu.

Namun si pemuda tampan juga dapat bergerak dengan gesit dan mantap. Dia menggeser kakinya dan tubuhnya sudah miring, mengelak dari tusukan keris dan dari samping pedangnya membabat ke arah leher Tumenggung Janurmendo! Serangan balasan inipun dapat dielakkan oleh tumenggung yang digdaya itu. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tidak mau tinggal diam dan mereka juga sudah menerjang dan menyerang dengan senjata masing-masing.

Ternyata pemuda itu memang tangguh Biarpun dikeroyok empat orang yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, dia tidak menjadi gentar. Dia memutar pedangnya sedemikian cepat dan kuatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar kesana sini. Namun, karena dia dikepung dari empat jurusan, akhirnya diapun hanya dapat menangkis dan tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan empat orang pengeroyoknya!

Bhagawan Jaladara yang merasa penasaran sekali, menjadi marah. Kalau mereka berempat tidak mampu mengalahkan Resi Limut Manik, itu tidaklah aneh dan tidak akan membuat menjadi penasaran. Nyatanya Resi Limut Manik tidak melakukan perlawanan berkat adanya Pecut Sakti Bajrakirana. Akan tetapi sekarang mereka berempat tidak mampu segera merobohkan seorang pemuda remaja yang mereka keroyok, hal ini sungguh membuat dia menjadi penasaran bukan main.

Diam-diam dia mengerahkan Aji Gelap Musti di tangan kirinya dan setelah mengambil ancang-ancang, dia berseru nyaring dan mendorong dengan pukulan Aji Gelap Musti. "Makanlah Aji Gelap Musti!" Teriaknya dan ketika tangan kirinya memukul, dari tangan kiri itu keluar, angin pukulan yang amat dahsyat bagaikan kilat menyambar.

Akan tetapi, pemuda itupun menekuk lututnya menyambut pukulan itu dengan pukulan yang sama! "Wuuuuttt......Desss.......!!" Dua tenaga sakti Aji Gelap Musti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang.Bhagawan Jaladara menjadi terkejut setengah mati mendapat kenyataan betapa pemuda itu menyambut pukulannya dengan aji yang sama.

"Siapa andika....?" tanyanya dan tigaorangjuga menghentikan penyerangan mereka.

"Siapa adanya aku tidak penting kau ketahui!" jawab pemuda itu sambil melintangkan pedangnya di depan dada. "Yang jelas siapa adanya aku, aku akan tetapi menentangmu. Andika seorang berpakaian pendeta, akan tetapi sepak terjangmu seperti penjahat yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang ini dan mengeroyok seorang tua renta yang mengalah dan tidak mau melawan kalian!"

"Keparat, engkau pun bosan hidup!" Bhagawan Jaladara membentak lalu memberi isarat kepada tiga orang rekannya untuk menyerang lagi. Pemuda itu memutar pedangnya dan menyambut serangan mereka dengan berani walapun dia segera terkepung dan terdesak.

Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pemuda lain. Pemuda itu adalah Sutejo yang baru datang. Melihat betapa eyang gurunya berdiri bersedakap dan mandi darah, dua orang cantrik menggeletak tak bernyawa dan seorang pemuda berpedang, sedang dikeroyok dan didesak oleh Bhagawan Jaladara dengan tiga orang rekannya, Sutejo menjadi marah. Tanpa bertanyapun dia dapat menduga bahwa empat orang itu tentu datang mengacau di padepokan Resi Limut Manik, maka diapun segera melolos kain ikat kepalanya dan melompat ke tengah pertempuran.

"Bhagawan Jaladara, di mana-mana engkau mendatangkan kekacauan!" serunya dan kain ikat kepala berwarna biru itu berubah menjadi gulungan tangan sinar biru ketika dia menggerakkannya.Sinarbiru itu menyerang ke arah kepala Bhagawan Jaladara.

Bhagawan Jaladara terkejut sekali ketika dia melihat bahwa penyerangnya adalah Sutejo, pemuda yang sakti mandraguna itu. Dia cepat mengelak sambil melompat mundur. Baru menghadapi tampan itu saja dia dan tiga orang rekannya belum dapat menang, apa lagi kini muncul Sutejo. Pada hal, Resi Limut Manik juga belum tewas. Kini keadaan pihaknya yang terancambahaya,maka dia lalu berseru memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur. Mereka berloncatan dan di lain saat mereka telah melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan melarikan diri meninggalkan puncak itu. Sutejo sudah melompat untuk melakukan pengejaraan akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Resi Limut Manik. "Sutejo, tidak perlu mengejar mereka"

Sutejo menahan langkahnya dan membalikkan memandang eyang gurunya. Dia melihat tubuh kakek itu terkulai dan bagaikan dua orang berlomba, dia dan pemuda yang tampan itu cepat sekali sudah meloncat ke depan dan menyambut tubuh kakek yang terkulai itu sehingga tidak sampai terjatuh

"Mari kita bawa eyang masuk ke pondok," kata pemuda itu. Sutejo merasa heran sekali. Pemuda itu bersuara lembut namun di balik kelembutannnya terkandung wibawa yang kuat seolah-olah pemuda itu sudah biasa memerintah, tanpa berkata sesuatu diapun membantu pemuda itu memondong tubuh Resi Limut Manik dan membawanya masuk ke dalam pondok, merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas dipan.

Melihat luka-luka di wajah dan tubuh Resi Limut Manik, pemuda itu kembali memerintah kepada Sutejo. "Kisanak, cepat carilah buah pace, kulit pohon dan akarnya, juga Widoro Upas dan Biji Jarak untuk mengobati luka-luka yang diderita eyang guru!"

Kembali Sutejo merasa heran. Pemuda tampan ini menyebut eyang guru kepada Resi Limut Manik! Dan dia diperintah begitu saja, anehnya dia tidak ingin membantah karena maklum bahwa apa yang diperintahkan itu benar dan perlu sekali.

Akan tetapi Resi Limut Manik menggerakkan tangan kirinya. "Tidak perlu tergesa-gesa mengobati aku. Yang penting, angkatlah jenazah kedua orang cantrik itu dan uruslah mereka baik-baik. Cucunda Puteri, andika bantulah dia mempersiapkan pemakaman kedua orang cantrik, aku ingin mereka dikubur di belakang pondok."

Sutejo terbelalak memandang kepada pemuda itu Cucunda Puteri? Jadi pemuda itu adalah seorang gadis? Seorang puteri malah? Pantas ketampannya luar biasa! Melihat keheranan Sutejo, Resi Limut Manik bangkit duduk dibantu dua orang pemuda itu dan setelah duduk bersila dia bekata, "Kalian belum saling mengenal? Sutejo, dara yang menyamar pria ini adalah Gusti Puteri Wandasari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram dan ia adalah murid perguruan Jatikusumo, murid dari Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidal. Cucunda Puteri, pemuda ini adalah Sutejo, murid dari Bhagawan Sidik Paningal yang bertapa di Gunung Kawi." Puteri Wandansari dan Sutejo saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dengan penuh perhatian kemudian keduanya saling memberi hormat dengan membungkuk. Akan tetapi Puteri Wandasari lalu mencurahkan perhatiannya lagi kepada Resi Limut Manik.

"Akan tetapi, Eyang. Eyang telah menderita luka-luka parah yang harus segera dirawat! Biarlah.... kakang Sutejo yang mengurus dua jenazah itu dan aku sendiri akan mencarikan daun-daun obat untuk Eyang agar tidak terlambat....."

Resi Limut Manik menggoyang tangannya. "Memang sudah terlambat, cucunda Puteri. Aku sudah merasa bahwa luka-lukaku tidak dapat disembuhkan lagi. Pecut Sakti Bajrakirana telah menghantam kepala dan dadaku, Masih baik aku dapat bertahan, tidak tewas seketika. Sekarang, jangan kalian ragu dan lakukan saja apa yang kuperintahkan. Kalian berdua cepat urus penguburan dua jenazah cantrik itu, setelah itu kalian datanglah menghadap ke sini karena ada sesuatu yang amat penting hendak kubicarakan dengan kalian."

Suara itu lemah dan lembut, namun mengandung pesan yang tidak dapat dibantah lagi. Dua orang muda itu saling pandang, lalu mengangguk dan keduanya segera keluar untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Resi Limut Manik. Dua orang itu bekerja keras. Diam diam Sutejo merasa heran dan juga kagum. Puteri itu ternyata cekatan dan biarpun ia seorang wanita, namun ia membantunya menggali lubang. Pada hal ia bukan wanita biasa melainkan seorang puteri keturunan raja besar! Mereka bekerja tanpa kata-kata sehingga tugas itu dapat mereka selesaikan dengan cepat.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka kembali menghadap Resi Limut Manik. Mereka mendapatkan kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi ketika mereka tinggalkan. Puteri Wandasari tadi telah menyelinap ke dapur dan membuatkan bubur untuk eyang gurunya, dan membawa bubur dalam mangkok itu ketika ia menghadap bersama Sutejo. Resi Limut Manik membuka matanya ketika dua orang muda itu datang menghadap.

"Eyang, silakan eyang dahar bubur ini dulu agar tubuh eyang menjadi kuat." kata sang puteri sambil menyerahkan semangkok bubur itu.

Resi Limut Manik tersenyum memandang semangkok bubur yang masih mengepul panas itu! "Terima kasih, puteri. Andika memang seorang gadis yang baik sekali, terima kasih." Dia lalu makan bubur itu dengan perlahan dan bertanya, "Bagaimana dengan tugas kalian?"

"Kami berdua telah mengubur dua jenazah itu sebagaimana mestinya, eyang." kata Sutejo.

"Bagus. Aku girang mendengar itu. Dan sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang kesini. Engkau lebih dulu, Sutejo. Ceritakan mengapa engkau datang ke sini."

"Eyang, setelah dulu saya meninggalkan eyang, saya bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara dan setelah bertanding, akhirnya saya berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana. Kemudian pecut itu saya bawa pulang ke Gunung Kawi dan disana saya melihat Bapa Guru sudah ditodong oleh Paman Bhagawan Jaladara yang datang bersama tiga orang temannya tadi. Dia mengancam untuk membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu. Karena melihat Bapa Guru terancam, terpaksa saya menyerahkan pecut itu. Mereka pergi membawa pecut dan meninggalkan Bapa Guru dalam keadaan terluka berat. Akhirnya Bapa Guru meninggal dunia karena luka-lukanya. Setelah mengurus penguburannya, saya lalu pergi kesini untuk melaporkan semua itu kepada Eyang dan mendapatkan Eyang terluka parah, kedua cantrik tewas dan... Gusti Puteri ini dikeroyok mereka berempat."

"Kakang Sutejo, Jangan menyebut aku Gusti Puteri. Bagaimanapun juga kita ini masih kakak beradik seperguruan. Cukup menyebutku adik atau diajeng saja."

"Baiklah dan terima kasih atas kehormatan itu, diajeng Wandansari,"

"Sadhu-Sadhu-Sadhu.....!"Resi Limut Manik berucap sambil menghela napas panjang. "Memang kebaikan dan keburukan saling menimpali dan saling mendorong, tidak akan ada kebaikan kalau tidak ada keburukan, tidak akan ada kebajikan kalau tidak ada kejahatan. Akan tetapi di perguruan Jatikusumo muncul Jaladara, sungguh akan membuat suram dan ternoda nama perguruan kita. Apa pesan Sidik Paningal kepadamu, Sutejo?"

"Bapa Guru meninggalkan pesan dan tugas kepada saya, Eyang. Pertama saya harus mencari dan merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, dan kedua saya harus mempergunakan pecut itu untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, lalu saya harus berbakti kepada Nusa Bangsa dengan menghambakan diri kepada Mataram."

"Bagus,semoga Hyang Widhi memberi bimbingan kepadamu sehingga engkau dapat melaksanakan semua tugas itu dengan baik. Sekarang giliranmu Cucunda Puteri. Bagaimana andika dapat kebetulan datang ke sini pada saat Jaladara mengacau? Apa yang mendorong andika datang berkunjung ke sini?"

"Pertama-tama saya datang berkunjung untuk menengok keadaan Eyang Resi karena sudah lama saya tidak datang menghadap, Kedua kalinya, saya diutus Kanjeng Romo untuk datang berkunjung,"

"Hmmmm, Kanjeng Romomu mengutus andika datang ke sini? Apakah yang beliau kehendaki dariku Puteri?"

"Pertama-tama Kanjeng Romo mengirim salam dan hormat untuk dihaturkan kepada Eyang Resi."

"Jagad Dewa Bathara....! Salam itu kuterima dengan senang hati, dan sebaliknya kalau andika pulang sampaikan doa restuku untuk Kanjeng Romomu dan pesan selanjutnya?"

"Eyang Resi, sekarang ini timbul gejala gejala pemberontakkan, terutama dari kadipaten dan kabupaten di bagian timur dan utara seperti Kabupaten Lasem, Tuban, Jipang, Wirosobo, Pasuruan, Arisbaya dan Sumenep di Madura, dipimpin oleh Sang Adipati di Surabaya dengan penasihat Sunan Giri. Karena adanya gejala yang tidak sehat ini, Mataram harus memperkuat diri dan untuk usaha ke arah itu, Kanjeng Romo telah mengundang para satria dan orang gagah untuk menjadi perwira dan perajurit, dan para pertapa dan pendeta yang arif bijaksana untuk menjadi penasihat. Mengingat bahwa Eyang Resi adalah seorang yang sakti mandraguna lagi arif bijaksana, maka Kanjeng Romo mengutus saya untuk mohon kepada Eyang agar melimpahkan pangestu dan dukungan terhadap Mataram"

Resi Limut Manik mengangguk-angguk. "Sudah semestinya begitu, Puteri. Akan tetapi aku sudah terlalu tua sekarang untuk melibatkan diri dalam perang. Apa lagi keadaanku yang terluka parah dan maut sewaktu-waktu akan datang menjemput. Aku hanya dapat mengirim doa restu yang tiada putusnya dan aku yakin bahwa Mataram akan jaya karena dikendalikan oleh romomu, seorang Raja yang Bijaksana!"

"Terima kasih, Eyang. Akan saya sampaikan kepada Kanjeng Romo." kata dara perkasa itu. "Sekarang dengarkan baik-baik. Aku akan meninggalkan pesan penting untuk kalian berdua. Agaknya memang sudah ditentukan oleh para dewata bahwa kalian datang pada saatnya yang tepat. Sutejo, ambilkan peti kecil di balik dipan itu."

Sutejo bangkit dan mencari di tempat yang ditunjukkan Sang Resi. Ditemukan sebuah peti berukir yang panjangnya satu meter dan lebarnya tiga puluh senti berwarna hitam, terbuat dari kayu jati yang tua. Dibawanya peti itu kepada Resi Limut Manik. Resi Limut Manik yang tampak semakin lemah menggunakan kedua tangannya yang agak gemetar untuk membuka tutup peti dan dikeluarkan tiga buah benda dari dalam peti, yaitu sebatang pedang dan dua buah kitab. Ketika dia mencabut pedang itu dari sarungnya, tampak sinar berkilat menyilaukan mata. Lalu dimasukkankan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang.

"Cucunda Puteri, pedang ini disebut Pedang Kartiko Sakti, merupakan pedang pusaka, perguruan Jatikusumo di samping Pecut Bajrakirana. Terimalah aku memberikan pedang pusaka ini kepadamu agar dapat kau pergunakan untuk membela Mataram. Dan ini adalah kitab pelajaran ilmu pedang Kartiko Sakti, sebuah ilmu pedang yang tidak pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Pelajarilah ilmu ini dengan Pedang Kartiko Sakti."

Dengan sikap hormat Puteri Wandansari menerima pedang dan kitab kuno itu. "Banyak terima kasih Eyang Resi. Saya akanmempelajarinya dengan tekun."

"Bagus. Dasar-dasar ilmu pedang ini akan kuberi petunjuk kepadamu selagi aku masih mampu. Dan sekarang engkau, Sutejo. Terimalah kitab ini. Ini adalah kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana. Ilmu ini memang khas untuk dimainkan dengan Pecut Bajrakirana dan seperti juga Ilmu pedang Kartiko Sakti, ilmu Bajrakirana ini tidak pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Karena engkau bertugas untuk merampas Pecut Bajrakirana, maka setelah berhasil, pecut itu kuserahkan kepadamu berikut ilmunya ini agar dapat engkau pergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, juga untuk dipergunakan membela Mataram."

Sutejo menerima kitab itu dan menghaturkan terima kasih.

"Mulai hari ini, selagi aku masih mampu, aku akan memberi petunjuk kepada kalian tentang ke dua ilmu itu, yaitu mengenai dasar-dasarnya. Sutejo, carilah pecut milik Pungguk dan Penggik di belakang pondok. Engkau dapat mempergunakan pecut biasa itu untuk berlatih."

Sutejo mencari pecut itu di kandang kerbau yang berada di belakang pondok dan menemukannya. Biarpun keadaan tubuh Resi Limut Manik lemah sekali, akan tetapi dia memaksakan diri untuk memberi petunjuk kepada Sutejo dan Puteri Wandansari dalam mempelajari kedua ilmu itu.

Puteri Wandansari menggunakan pedang pusaka itu untuk berlatih Ilmu Pedang Kartiko Sakti sedangkan Sutejo menggunakan pecut panjang itu untuk berlatih ilmu Pecut Bajrakirana. Karena keduanya memang amat berbakat dan telah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan Jatikusumo maka dalam waktu dua pekan saja mereka telah dapat menguasai dasar-dasarnya, tinggal mematangkan ilmu itu dengan latihan-latihan yang dapat mereka lakukan sendiri dengan petunjuk kitab masing-masing.

Setelah lewat dua pekan, dua orang muda itu telah menguasai dasar ilmu masing-masing, akan tetapi Resi Limut Manik yang selama itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya tidak kuat dan ambruk, jatuh pingsan dalam rangkulan Sutejo dan Puteri Wandansari. Mereka memondong tubuh sang resi ke dalam pondok dan merebahkannya di atas pembaringan. Napas kakek itu tinggal satu-satu ketika akhirnya dia membuka matanya dan melihat Sutejo dan Putera Wandansari duduk di tepi dipan bambu, dia memandang dan tersenyum!

"Eyang Resi," kata Puteri Wandansari. "Eyang terlalu lelah. Ah, kami yang berdosa telah membuat Eyang, terlalu lelah memberi petunjuk kami."

"Tidak, Puteri. Hatiku sudah puas sekarang. Aku yakin bahwa andika berdua yang kelak akan mengangkat nama perguruan Jatikusumo dan memanfaatkan dua ilmu warisan dari nenek moyangku. Sekaraag aku siap menghadapi kematian dengan hati tenteram..." Dia terengah-engah.

"Eyang Resi....!" Hampir berbareng Sutejo Wandansari berseru, Kakek itu menggeleng kepalanya. "Sudah terlalu lama aku memperkuat diri menangguhkan datangnya kematian, sudah terlalu lama kedua cantrikku menanti.... kalau ajalku tiba, kuburkanlah aku di antara kuburan mereka berdua... mereka itu setia sampai mati...."

Keadaan Resi Limut Manik menjadi semakin lemah dan malam harinya kakek itupun menghembuskan napas terakhir di depan Sutejo dan Puteri Wandansari. Sutejo dan Puteri Wandansari merasa berduka, akan tetapi Sutejo mendapat kenyataan bahwa puteri itu memiliki ketabahan dan kekuatan, tidak menangis sedih seperti sebagaian besar wanita kalau merasa berduka. Puteri itu hanya duduk bersimpuh di dekat pembaringan sambil menundukkan mukanya.

Seorang dara yang luar biasa, pikir Sutejo. Dia sendiri melihat tadi betapa puteri ini sanggup menghadapi pengeroyokan Bhagawan Jaladara dan tiga orang kawannya yang sakti. Walaupun puteri ini terdesak, namun berani dan mampu menghadapi pengeroyokan mereka sudah merupakkan hal yang luar biasa sekali. Seorang dara yang luar biasa cantiknya hal ini mudah dilihat walaupun ia berpakaian pria, dan seorang dara yang memiliki kedigdayaan. Bahkan dibandingkan dengan Retno Susilo, Puteri Wandansari ini lebih hebat kepandaiannya! Apa lagi ia memperoleh Pedang Kartiko Sakti berikut ilmu pedangnya! Dan selain memiliki kelebihan itu, kecantikan dan kesaktian sang puteri ini juga puteri seorang raja, anggun berwibawa, dan sama sekali tidak cengeng. Diapun memandang dengan hati kagum sekali.

"Diajeng Wandansari" katanya lirih karena panggilan ini baginya masih terasa membuat hatinya risih dan canggung terlalu lancang. Akan tetapi karena panggilan itu atas permintaan sang puteri sendiri, maka dia memberanikan diri memanggil diajeng.

"Hari sudah malam, sebaiknya andika mengaso di kamar sebelah. Biarlah aku yang akan menunggu jenazah Eyang Resi di sini." Ucapan ini keluar dari hati yang jujur. Dia merasa kasihan kepada dara itu yang telah membantunya ketika mengubur jenazah kedua orang cantrik dan selama belasan hari ini setiap hari tekun berlatih ilmu pedang yang baru secara rajin sekali. Puteri itu tentu merasa lelah dan perlu beristirahat.

Akan tetapi puteri Wandansari menggeleng kepalanya. "Aku memang lelah, akan tetapi untuk menjaga jenazah Eyang Resi, biarpun lelah harus kulakukan. Apakah artinya sedikit kelelahan ini kalau dibandingkan dengan budi kebaikan dan pengorbanan diri Eyang Resi kepada kita? Dalam keadaan terluka parah dan sakit berat Eyang Resi telah memaksa dirinya membimbing kita selama dua pekan sampai raganya tidak kuat lagi bertahan. Apalah artinya bergadang semalam suntuk untuk menjaga jenazahnya?"

Sutejo merasa terpukul oleh ucapan itu. Betapa tepatnya dan tidak mungkin dapat dibantah lagi. Diapun hanya menundukkan mukanyadan berkata lirih, "Diajeng Wandansari, andika adalah seorang puteri yang arif bijaksana."

Hening mengikuti percakapan yang terhenti itu. Malam itu hawa udaranya amat dingin sampai rasanya hawa dingin itu menyusup ke tulang sumsum. Dingin dan sunyi menembus dinding menguasai kamar di mana jenazah Resi Limut Manik, terbaring dengan tenangnya. Wajah itu tampak seperti sedang tidur saja, mulut dibalik kumis itu tersenyum. Sutejo merasa kesepian. Biarpun di situ ada Puteri Wandansari, namun sang puteri itu duduk bersimpuh tak bergerak dan diam saja tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Kesunyian mencekam dan seolah mencekiknya.

"Diajeng....." Ucapnya lirih sambil menatap tajam wajah yang elok itu.

Puteri Wandansari mengangkat sepasang mata bintangnya dan balas memandang. "Ada apakah, kakang Sutejo?"

"Bolehkah aku mengajak andika bercakap-cakap dalam keadaan seperti ini?"

"Bercakap-cakap? Mengapa tidak boleh? Apa yang hendak kau katakan, kakang?"

Lega rasa hati Sutejo. Tadinya dia khawatir kalau-kalau sang puteri akan marah diajak bercakap-cakap, maka terlebih dulu dia minta persetujuannya. "Aku mendapatkan kenyataan yang amat membanggakan hatiku bahwa di antara kita masih terdapat pertalian persaudaraan seperguruan. Karena adanya tali persaudaraan itu, kurasa sudah sepatutnyalah kalau kita saling mengenal dan mengetahui keadaan diri masing-masing lebih baik, Bagaimana pendapatmu, diajeng?"

Puteri Wandansari tersenyum kecil. "Bukankah kita sudah saling mengenal, kakang? Andika adalah murid mendiang Bhagawan Sidik Paningal, paman guruku, dan andika tahu bahwa aku adalah puteri Kanjeng Romo Sultan Agung di Mataram, dan murid Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di pantai laut Kidul."

"Maksudku, riwayat kita masing-masing, diajeng. Seperti, bagaimana seorang puteri Gusti Sultan seperti andika ini dapat menjadi murid Jatikusumo dan lain-lain. Biarlah aku bercerita tentang diriku lebih dulu."

"Berceritalah, kakang, aku siap mendengarkan."

"Aku adalah seorang yang tidak mengenal ayah ibunya sendiri. Sejak aku berusia tiga tahun, aku diselamatkan oleh mendiang Bapa Guru dari tangan seorang wanita sakti yang agaknya telah menculikku, dan oleh Bapa Guru aku diberi nama Sutejo. Sampai sekarang aku belum tahu siapa ayah bundaku."

"Ah, untuk menyelidiki hal itu tidaklah amat sukar, kakang, Kalau engkau tahu siapa wanita yang menculikmu itu, dapat kau tanyakan kepadanya!"

"Baru menjelang wafatnya Bapa Guru menceritakan kepadaku akan riwayatku itu dan menurut Bapa Guru, wanita itu bernama Ken Lasmi, Aku memang sedang berusaha mencari wanita bernama Ken Lasmi itu karena ia tentu mengetahui siapa adanya ayah bundaku." Sutejo berhenti sebentar dan menghela napas panjang, merasa sedih karena teringat akan kematian gurunya yang amat disayangnya.

"Lalu bagaimana, kakang? Teruskan ceritamu yang amat menarik hati itu."

"Oleh mendiang Bapa Guru, aku digembleng ilmu kanuragan yang kiranya tidak banyak bedanya dari yang kau pelajari, karena datang dari satu sumber. Kemudian, beberapa bulan yang lalu padepokan Bapa Guru didatangi Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang keduanya kemudian kuketahui adalah jagoan-jagoan dari Wirosobo. Agaknya Paman Bhagawan Jaladara juga telah menjadi utusan Adipati Wirosobo. Dia datang dan hendak memaksa mendiang Bapa Guru untuk membantu kadipaten Wirosobo dan agar Bapa Guru tidak mempelajari Agama Islam. Tentu saja Bapa Guru menolak dan terjadilah perkelahian. Sebetulnya Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya itu tidak mampu menandingi Bapa Guru, akan tetapi dia lalu mengeluarkan Pecut Bajrakirana! Melihat pecut pusaka itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan akupun dilarang melawan. Kami berdua dipukuli oleh Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya yang kemudian pergi sambil mengancam kalau selama satu bulan Bapa Guru belum mau menghadap ke Wirosobo, kami akan dibunuh."

"Hemm, tidak kusangka sedemikian jauhnya Paman Bhagawan Jaladara menyeleweng dan tega terhadap kakak seperguruan sendiri." kata Puteri Wandansari dengan nada suara mengandung kemarahan.

"Setelah sembuh dari siksaan Paman Jaladara dan kawan-kawannya, aku diutus Bapa Guru untuk pergi menghadap Eyang Resi di sini dan menceritakan tentang perbuatan Paman Bhagawan Jaladara. Mendengar laporanku, Eyang Resi mengatakan bahwa Pecut Bajrakirana itu telah dicuri oleh Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi lalu memberi kekuatan dan menyalurkan tenaga sakti kepadaku kemudian beliau mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Aku lalu berangkat ke Wirosobo dan sampai di perbatasan Wirosobo, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara."

"Ah, dan berhasilkah andika merampas Pecut Bajrakirana, kakang Sutejo?"

Sutejo menghela napas panjang. Dia teringat akan Retno Susilo dan dia tidak ingin bercerita tentang gadis itu. Maka jawabnya, "Aku berhasil merampas pecut itu."

"Akan tetapi mengapa pecut itu kini berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara kembali?"

"Dia bertindak curang, diajeng. Setelah mendapatkan Pecut Bajrakiraaa, aku pergi ke Gunung Kawi menghadap Bapa Guru. Akan tetapi di sana aku melihat Bapa Guru telah tertawan oleh Paman Jaladara yang datang bersama tiga orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan seorang lagi yang sakti mandraguna, yaitu Tumenggung Janurmendo yang merupakan senopati yang tangguh dari kadipaten Wirosobo. Paman Bhagawan Jaladara mengancam hendak membunuh Bapa Guru yang sudah ditawan kalau aku tidak menyerahkan kembali Pecut Bajrakirana kepadanya. Melihat keselamatan Bapa Guru terancam, terpaksa aku menyerahkan pecut pusaka itu dan mereka melepaskan Bapa Guru. Aku lalu mengamuk dan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melarikan diri sambil membawa Pecut Bajrakirana. Aku tidak mengejar karena harus menolong Bapa Guru yang terluka parah. Akhirnya, karena luka-lukanya, Bapa Guru meninggal dunia." Sutejo berhenti dan tampak berduka sekali, teringat akan kematian gurunya.

"Jahat! Jahat sekali mereka itu!" kata Puteri Wandansari. "Aku dapat menebak kelanjutan ceritamu. Engkau datang ke sini hendak menceritakan kepada Eyang Resi akan semua kejadian itu dan melihat aku dikeroyok mereka lalu membantuku."

"Benar sekali, diajeng. Nah, demikianlah riwayatku, riwayat seorang yang sejak kecil dirundung malang. Bagaimana kalau sekarang andika yang ganti bercerita?"