Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 03

SUTEJO mengerutkan alisnya. Tidak ada pilihan baginya. Masih mending kalau hanya dikeroyok tiga. Kalau mereka mengajukan semua anggauta mereka berarti dia akan berhadapan dengan hampir seratus orang!

“Baiklah, aku terima dua syarat itu. Dan sekarang aku permisi untuk melewatkan malam di luar perkampungan ini!” Dia bangkit berdiri dan hendak pergi, akan tetapi Susilo menahannya.

“Ah, tidak boleh engkau pergi dari sini. Pertama, engkau adalah seorang tamu kami, bagaimana kami membiarkan engkau tidur di luar? Selain itu, kalau engkau tidur di luar perkampungan dan besok pagi tidak muncul, ,bukankah kami yang akan menanti-nanti dengan sia-sia? Engkau boleh bermalam di sini, kami mempunyai banyak kamar untuk kau pakai. Bukankah begitu, ayah dan Paman?”

Kembali kedua orang laki-laki tinggi besar itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga mereka mengharapkan bahwa pemuda ini benar-benar sakti dan besok akan dapat membantu mereka menghadapi MahesaMeta yang merupakan musuh besar dan ancaman bagi keselamatan perkumpulan Sardula Cemeng.

“Benar seperti yang diucapkan anakku Joko Susilo. Engkau boleh bermalam di sini sebagai tamu kami, anak mas Sutejo dan malam ini kami akan menjamu andika sebagai tamu yang terhormat.” Kata Ki Mundingsosro.

Karena pihak tuan rumah bersikap ramah dan bersungguh-sungguh, Sutejo tidak menolak lagi. Akan tetapi hatinya masih gemas terhadap Susilo dan dia sudah mengambil keputusan tetap bahwa kalau besok dia menang dan mampu memenuhi syarat-syarat itu sehingga pecut dikembalikan kepadanya, dia pasti akan menelungkupkan tubuh anak itu di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya sampai dia menjerit-jerit minta ampun! Kau tunggu saja, bisik hatinya gemas, apalagi melihat betapa pemuda remaja itu memandangnya dengan cuping hidung kembang kempis dan mulut tersenyum mengejek.

Malam itu benar saja, Sutejo dijamu dengan royal oleh tuan rumah. Untuk keperluan itu tuan rumah menyembelih beberapa ekor ayam dan seekor domba, membuat bermacam masakan. Mereka duduk semeja. Sutejo, Ki Munindingsosro, Ki Mundingloyo dan Joko Susilo. Dan dalam perjamuan makan itu Joko Susilo tidak lagi menggoda dengan kerling mata dan senyum mengejek, melainkan ramah sekali bahkan dia yang terus menerus menawarkan masakan ini itu kepada Sutejo. Akan tetapi keramahan ini tidak melunturkan kejengkelan hati Sutejo terhadap pemuda remaja itu. Kalau bukan karena ulahnya, tentu dia tidak akan bersusah payah berkunjung ke sini dan harus memenuhi dua syarat yang diajukan bocah nakal itu!

Sore itu Sutejo mandi di air pancuran yang segar sejuk, dan malamnya dia dapat tidur nyenyak dalam sebuah kamar yang khusus disediakan untuknya. Dia tidur tanpa mimpi karena tubuhnya memang sudah lelah sekali. Pertandingannya melawan Bhagawan Jaladara menguras tenaganya dan tidur nyenyak semalam itu banyak menolong memulihkan kembali tenaganya untuk menghadapi apa yang akan terjadi besok.

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sutejo terbangun dari tidurnya dan mandi di air pancuran, dia melihat penduduk perkampungan itu sudah sibuk bekerja. Dan dia merasa heran karena tidak seorangpun di antara mereka memakai coreng moreng di mukanya, juga pakaian mereka bukan pakaian serba hitam! Akan tetapi dia tidak melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, juga tidak melihat Joko Susilo!

Melihat seorang anak berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main seorang diri, Sutejo lalu menghampiri anak laki-laki itu, “Eh, adik yang baik, tahukah engkau ke mana perginya Ki Mundingsosro, Ki Mundingloyo dan Joko Susilo?”

Bocah itu memandang Sutejo dengan matanya yang bening lalu menjawab, “Mungkin mereka sedang menggembala domba dipadang rumput yang berada di lereng sebelahsana .” Dia menuding ke arah barat, di mana terdapat sebuah bukit hijau.

“Dan kenapa tidak ada orang yang memakain pakaian hitam dan mencoreng moreng mukanya?”

Bocah laki-laki itu tersenyum, “Untuk apa?, Para Paman itu mencoreng mukanya dan mengenakan pakaian hitam kalau Sardula Cemeng hendak melakukan sesuatu upacara atau hendak melakukan sesuatu upacara atau hendak menentang musuh. Kalau tidak ada apa-apa, mereka juga berpakaian biasa dan tidak mencoreng mukanya.”

Sutejo mengerti dan diam-diam dia merasa heran. Mengapa dua orang pimpinan itu bersikap demikian aneh. Mengharuskan anak buah mereka berpakaian hitam dan mencoreng-moreng muka mereka kalau menghadapi lawan? Kini dia tahu bahwa kedatangannya kemarin juga sudah diketahui lebih dulu sehingga mereka menyambutnya dengan “Pakaian Dinas” perkumpulan itu.

Diapun tidak memperdulikan lagi. Ditinggalkannya perkampungan itu dan dia keluar dari situ menuju ke bawah bukit sebelah barat sambil berlari cepat. Hawa dipagi hari itu sejuk dan segar dan dia terus berlari sampai akhirnya tiba dipadang rumput. Dari jauh dia melihat Joko Susilo menggembala domba dan tamapi dia memegang Pecut Sakti Bajrakirana, dibunyikan berdetak-detak untuk menggiring domba yang jumlahnya seratus ekor lebih!

Sialan, pikirnya. Pecut Sakti Bajrakirana, pecut pusaka yang demikian dihormati oleh Bapa Gurunya, kini dipergunakan oleh seseorang pemuda remaja kurang ajar untuk menggembala domba! Dia mempercepat larinya dan ketika tiba dekat tempat menggembala domba itu, dia melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah berada di situ. Dan agaknya kedua orang pimpinan itu sudah siap siaga. Ki Mundingsosro sudah memegang sebatang golok terhunus dan Ki Mundingloyo memegang sebuah tombak trisula.

Sutejo segera menghampiri mereka dan memberi uluk salam. “Selamat pagi, kedua paman!”

“Ah, andika sudah datang, anak mas Sutejo. Lihat, kami sudah siap untuk mempertahankan pecut itu dari tanganmu!” kata Ki Mundingsosro dengan sikap ramah.

“Kalau andika dapat menandingi tombak trisulaku dan golok Kakang Mundingsosro ditambah lagi kecepatan Susilo, engkau berhak memiliki pecut yang diperebutkan itu!” kata Ki Mundingloyo sambil memalangkan tombak trisula di depan dada.

Joko Susilo datang berlarian dan bergabung dengan ayah dan pamannya. “Engkau sudah datang sepagi ini? Bagus, pecut ini dapat menjadi senjata yang baik, dan aku akan menghadapimu dengan pecut ini. Coba kalahkan kami kalau engkau bisa, Sutejo!”

Sutejo memandang dengan mata bersinar marah. “Andika adalah seorang bocah yang nakal, Susilo. Agaknya engkau memang pantas dihajar agar jera dan tidak menganggu orang lain!”

“Coba kalau engaku mampu menghajarku!” Joko Susilo menantang.

“Anak mas Sutejo, kami bertiga sudah siap. Cobalah engkau merampas pecut itu kalau dapat. Akan tetapi senjata kami tidak bermata, jangan salahkan kami kalau sampai engkau terluka oleh senjata kami!” Kata Ki Munindingsosro.

“Saya mengerti, paman. Sebaiknya paman bertiga juga harus berhati-hati menghadapi senjata saya!”

“Apakah senjatamu? Keluarkan!” tantang Ki Mundingloyo.

Sutejo melepaskan ikatan kepalanya dan memegang ujung ikatan kepala itu dengan tangan kanannya.

“Inilah senjata saya!” katanya.

Joko Susilo berkata kepada ayahnya dan pamannya. “ Ayah dan paman, jangan pandang ringan senjatanya itu. Dengan itu dia telah melawan pendeta yang sakti itu!”

“Bagus. Nah, mulailah, anak mas Sutejo!” kata lagi Ki Mundingsosro.

Sutejo juga tidak sungkan-sungkan lagi. “Lihat senjataku!” Teriaknya dan dia sudah menerjang maju. Tentu saja yang diterjangnya adalah Joko Susilo karena dia ingin merampas pecut itu secepatnya. Akan tetapi dari kanan kiri kedua orang pimpinan Sardula Cemeng itu telah menggerakkan golok dan tombak trisula ke arahnya dengan serangan yang dahsyat. Sutejo mengelak, mempergunakan kecepatan tubuhnya dan setelah berhasil mengelak dia menyerang lagi ke arah Joko Susilo dengan ikat kepalanya.

“Tar-tar-tarrrrrr…..!” Joko Susilo meledak-ledakkan pecut itu, ke arah kepala Susilo dan berbareng dengan itu, ayah dan pamannya juga kembali menyerang Sutejo.

"Hemm, mereka ini lumaya juga", pikir Sutejo. Dua orang pimpinan itu memiliki tenaga yang kuat, sedangkan pemuda remaja itu ternyata memiliki gerakan yang ringan dan gesit bukan main, bahkan mungkin dapat mengimbangi kecepatannya sendiri. Dia merasa heran karena ayah dan paman pemuda itu tidak segesit itu. Tentu pemuda remaja itu telah mempelajari ilmu meringkan tubuh dari orang lain, pikirnya.

Namun Sutejo tidak memusingkan hal itu. Kalau dia hendak mendesak Joko Susilo, dia harus lebih dahulu membuat dua orang laki-laki itu tidak berdaya.Oleh karena itu, dia lalu mengubah gerakan dan serangannya. Tidak lagi dia mendesak untuk merampas pecut dari tangan Joko Susilo. Sebaliknya dia mendesak Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo dengan gerakan ikat kepalanya. Dan usahanya berhasil. Dua orang laki-laki tinggi besar ini kalah jauh dalam hal kecepatan gerakan oleh Sutejo, maka begitu Sutejo mendesak, mereka menjadi kewalahan dan main mundur, mengelak dan menangkis sambaran ujung ikat kepala yang demikian cepatnya sehingga mereka tidak mampun membalas lagi!

Joko Susilo melihat pemuda itu kini mendesak ayah dan pamannya, lalu menerjang Sutejo dengan pecut itu. “Tar-tarrr…..!” Pecut itu meledak di atas kepala Sutejo dan menyambar turun bagaikan seekor burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Sutejo!

"Hemm, hebat juga pemuda remaja ini", pikir Sutejo. Bahkan mungkin ilmu kepandaiannya melampaui ayah dan pamannya. Akan tetapi dia sudah siap dan melihat pecut itu meledak dan menyambar ubun-ubun kepalanya, dia lalau menggerakkan tangan kirinya dan sekali sambar dia sudah dapat menangkap ujung pecut!

Terjadi tarik menarik dan karena takut kalau-kalau pecut itu akan putus, terpaksa Sutejo melepaskannya dan dia kini mendesak dengan hebat ke arah dua orang laki-laki itu. Trisula yang menyambar ke arah dadanya dia sambut dengan ikat kepalanya yang ujungnya melibat trisula dan sebelum Ki Mundingloyo dapat menarik kembali trisulanya, tangan kiri Sutejo sudah mendahului memukul ke depan dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tentu saja dengan pengerahan tenaga terbatas karena dia tidak ingin mencelakai orang.

“Wuuutttt…. Desss…..!” Tubuh Ki Mundingloyo terpental dan trisulanya terampas oleh Sutejo. Pada saat itu, Ki Mundingsosro menyerangkan goloknya. Sutejo yang memegang trisula dengan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Traanngggg…..!!” Golok itu patah menjadi dua dan Ki Mundingsosro melompat ke belakang dengan kaget sekali. Jelas bahwa dia dan Ki Mundingloyo telah kalah dan kini Joko Susilo menghadapi Sutejo seorang diri. Akan tetapi pemuda remaja itu tidak merasa gentar walaupun ayah dan pamannya sudah tidak membantunya lagi.

“Berikan pecut itu!” kata Sutejo sambil mengejar Joko Susilo.

“Hemm, Kalau engkau dapat merebutnya, rebutlah!” tantang Joko Susilo sambil menyeringai mengejek.

Panas rasa hati Sutejo dan dia menubruk dengan cepat. Namun, Joko Susilo mengelak dengan kecepatan seperti seekor burung sikatan sehingga tubrukan itu luput. Sutejo menjadi penasaran. Tentu saja dia tidak ingin memukul pemuda remaja itu, melainkan hanya ingin merebut pecutnya. Kembali dia menubruk, namun Joko Susilo sungguh gesit luar biasa. Sampai belasan kali Sutejo menubruk, makin lama semakin cepat, namun tetap saja tidak berhasil, bahkan ketika Joko Susilo menggerakkan pecutnya, ujung pecut mengenai lengan Sutejo sehingga kulit lengannya terdapat guratan merah. Marahlah dia!

“Anak kepala batu!” bentaknya dan kini dia menubruk, ketika Joko Susilo mengelak, ,tangan kirinya menyambar dengan pukulan Gelap Musti dengan tenaga terkendali ke arah kaki pemuda remaja itu. Sekali ini Joko Susilo tidak dapat mengelak. Kakinya mendadak seperti lumpuh dan diapun terguling jatuh, dan di lain saat pecutnya sudah berpindah ke tangan Sutejo! Sutejo cepat melibatkan pecut itu di pinggangnya dan ketika melihat pemuda remaja itu merangkak hendak bangkit berdiri, dia lalu menyambar lengan kanannya dan mememuntir lengan itu. Tubuh Joko Susilo terpuntir dan dia berteriak kesakitan dan di lain saat tubuhnya sudah di telungkupkan di atas kedua paha Sutejo yang sudah duduk di atas tanah. Kemudian, tangan kanan Sutejo mengempit kedua tangan itu kebelakang dan tangan kirinya mulai menampari pinggul Joko Susilo.

“Plak plak plak plak!” Empat kali dia menampar bagian tubuh yang berdaging itu.

“Aduh-aduh-aduhhh… lepaskan aku…. Huhuuh huhu….!”Joko Susilo berteriak-teriak sambil menangis mengguguk. Tubuhnya meronta sehingga pengikat rambutnya terlepas dan kini rambut yang panjang hitam itu terurai di sekitar pundak dan punggungnya.

Sutejo merasa tubuhnya seperti disengat ular berbisa! Dia melepaskan pegangannya dan melompat berdiri, matanya terbelalak keherannya memandang kepada Joko Susilo yang masih menangis sesegukan, kedua tangannya menggosok mata yang mengalirkan air mata! Dia merasa terkejut bukan main dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya. “Kau…. Kau….!” Dia berkata sambil menundingkan telunjuknya ke arah pemuda remaja yang kini rambutnya tergerai lepas. Baru sadarlah dia bahwa Joko Susilo itu sebenarnya adalah seorang wanita, seorang dara yang cantik jelita! Dan baru saja dia menampari pinggulnya, pinggul seorang gadis.

Ki Mundingsosro mengahmapiri anaknya dan membantunya bangkit berdiri. “Sudahlah, Retno. Tidak perlu menangis lagi karena engakau memang bersalah.”

“Akan tetapi….. dia….. dia…… memukuli pinggulku. Aku benci padanya, ,aku benci….!” Dan gadis itu lalu melarikan diri kembali ke perkampungan sambil menangis.

Sutejo menghadapi dua orang laki-laki itu dengan muka masih kemerahan dan jantung berdebar tegang. “Paman, apa artinya ini? Apakah Joko Susilo itu…..?”

“Ia seorang gadis, anak mas Sutejo. Memang sejak kecil ia suka berpakaian dan menyamar sebagai pria dan wataknya juga liar dan ugal-ugalan seperti seorang anak laki-laki. Karena itulah, apabila ia menyamar sebagai seorang pria, kami memanggilnya Joko Susilo. Sebenarnya namanya adalah Retno Susilo. Ahhh, anak itu memang nakal, akan tetapi ia cerdik sekali, anak mas. Buktinya ia telah dapat memancing engkau datang ke sini untuk membantu kami. Marilah kita bicara di perkampungan agar lebih leluasa. Adi Munidngloyo, karena Retno telah pulang, maka tolong engkau yang menggiring domba-domba ini.”

“Baiklah, kakang Mundingsosro, jawab Mundingloyo sambil tersenyum geli menyaksikan peristiwa itu.

Sutejo lalu kembali ke perkampungan Sardula Cemeng bersama Ki Mundingsosro dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di sebelah dalam rumah besar dan bercakap-cakap. “Paman, maafkan perlakuanku terhadap puterimu. Sungguh saya tidak pernah mengira bahwa ia seorang wanita.” Kata Sutejo dengan hati yang tulus karena dia benar-benar menyesali perbuatannya. Tentu saja kalau dia tahu bahwa Joko Susilo sebenarnya adalah Retno Susilo, dia tidak meungkin berani menelungkupkan tubuh gadis itu di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya!

Ki Mundingsosro tersenyum, “Tidak mengapa karena engkau memang benar tidak tahu akan hal itu. Boleh jadi malah kebetulan. Anak itu terlalu dimanja dan liar, dan agaknya sudah sejak dulu aku harus menampari pinggulnya biar ia kapok.”

Agak terhibur hati Sutejo mendengar ini. “Ada suatu hal lagi yang membuat saya benar-benar tidak mengerti, paman, yaitu mengenai perkumpulan Sardula Cemeng. Perkumpulan apakah ini sebenarnya?”

“Perkumpulan kami terdiri dari paksaan para petugas dari Blambangan untuk menjadi tentara. Juga kami menentang kejahatan dan dengan bersatu kami merasa kuat. Tadinya perkumpulan kami hanya kecil saja, bekerja sebagai petani di daerah ini, akan tetapi setelah ada pelatihan-pelatihan itu perkumpulan kami bertambah besar. Kami menentang kejahatan dan kami bekerja sebagai petani dan nelayan, juga peternak.”

Sutejo mengangguk-angguk. “Akan tetapi ada hal aneh yang tidak saya mengerti paman. Kenapa saya kemarin tidak melihat anak buah paman mengenakan pakaian hitam dan mencoreng moreng mukanya seperti itu? Apa artinya ini semua?”

Ki Mundingsosro tersenyum dan memuntir kumisnya yang tebal. “Semua itu selalu untuk menyesuaikan dengan nama perkumpulan kami, juga untuk mencegah agar muka para anggota kami tidak dikenal orang, agar kami tidak lagi menjadi pelarian. Pula, ada alasan kuat mengapa aku memerintahkan mereka mencoreng moreng muka mereka. Ketahuilah anak mas Sutejo. Sebelum tinggal di sini, belasan tahun yang lalu. Aku pernah tinggal di pedalaman Kalimantan dan kebetulan aku menjadi kepala suku Dayak disana . Aku membawa kebiasaan suku Dayak di sana. Aku membawa kebiasaan suku Dayak itu kesini, yaitu setiap kali hendak melakukan aksi atau hendak bertempur kami mencoreng moreng muka kami seperti yang dilakukan oleh suku Dayak”.

“Dengan maksud?”

“Untuk menambah wibawa, memperbesar semangat dan itu tadi, agar jangan dikenal orang.”

“Kemudian, bagaimana dengan Mahesa Meta itu Paman? Siapakah sebenarnya orang itu dan bagaimana pula sampai bermusuhan dengan Paman?”

“Sudah kuceritakan bahwa dia adalah seorang perampok tunggal yang sakti. Tidak mempunyai anak buah, akan tetapi untuk daerah pegunungan Kelud namanya terkenal sekali dan banyak penjahat yang tunduk kepadanya. Sebenarnya tidak ada permusuhan di antara kami karena daerah Gunung kelud bukan wilayah kami. Akan tetapi dua minggu yang lalu, Mahesa Meta menggangu penduduk dusun di daerah kami. Bukan saja dia menguras harta penduduk dusun itu, juga dia hendak menculik dua orang gadis kakak beradik. Mendengar ini kami lalu mendatanginya dan tidak dapat dihindarkan lagi, terjadi bentrokan antara kami dan dia. Dia seorang yang benar-benar digdaya, dan mungkin pengeroyokan kami bertiga tidak akan dapat mengalahkannya. Karena para penduduk dusun memihak kami hendak melakukan penggeroyokan, ditambah anak buah kami, dia lalu mundur dan berjanji bahwa dua pekan setelah hari itu, dia akan mendatangi perkampungan kami dan membinasakan semua orang. Kalau dia datang seorang diri saja, kami bersama semua anak buah mungkin masih dapat mengusirnya, akan tetapi kalau dia datang membawa pasukannya, bagaimana kami dapat melawannya? Itulah sebabnya maka Retno Susilo yang agaknya melihat kemampuanmu lalu memancingmu untuk datang ke sisni dan membantu kami. Maafkan caranya yang kasar, anak mas Sutejo, akan tetapi sesungguhnya anak saya itu tidak bermaksud buruk, sekedar untuk minta bantuanmu.”

Sutejo mengangguk angguk. “Ia telah berhasil membuat aku berjanji dan tentu saja aku tidak akan mengingkari janji, Paman. Kalau Mahesa Meta datang hendak membikin ribut di sini, biarlah aku yang menghadapi dia. Akan kuminta dia mundur dengan baik-baik dan kalau dia memaksa tentu akan kutandingi. Akan tetapi, kapankah waktu yang ditentukan itu?”

“Menurut perhitungan kami, besok pagi tentu dia sudah datang.”

“Baik, aku akan menginap semalam lagi, menanti sampai dia muncul. “Kata Sutejo.

Pada sore hari itu, setelah mandi dan bertukar pakaian, Sutejo berjalan-jalan dalam taman yang berada di belakang rumah indah perkumpulan Sardula Cemeng itu. Sebuah taman yang indah karena teratur baik dan tercium bau mawar dan melati bercampur keharuman bunga tanjung dan kantil. Ada pula bunga harum dalu dan sedap malam, menambah semaraknya taman itu dan merupakan pesta bagi hidung dan mata.

Sutejo merasa segar dan senang berada di dalam taman itu. Akan tetapi ketika dia tiba di tengah taman dimana terdapat tempat peristirahatan beratap tanpa dinding, yang besarnya tidak lebih dari tiga meter persegi, dia melihat adanya seseorang duduk di sana. Orang itu duduk seorang diri, tidak bergerak-gerak. Karena orang itu adalah seorang wanita, dilihat dari samping ia seperti sebuah arca yang indah. Sutejo merasa tidak pantas untuk mendekatinya, akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang aneh menariknya untuk menghampiri tempat peristirahatan itu. Tempat itu terbuka, maka apa salahnya untuk mendekati tempat itu?

Akhirnya tibalah dia di belakang wanita itu. Wanita itu mendengar suara jejak kakinya, lalu memutar duduknya dan Sutejo terpesona.Alangkah cantik jelitanya gadis itu. Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Rambutnya panjang dibiarkan terurai dan di hias bunga dan hiasan rambut dari emas permata. Anak rambut berjuntai nakal di dahi dan pelipisnya. Alisnya hitam panjang dan sepasang mata itu! Bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora, dihias bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak berjungat ke atas sehingga tampak lucu sekali.Dan mulutnya! Demikian manis menggairahkan dengan sepasang bibir berbentuk gendewa terpentang.

Sutejo terpesona dan tanpa berkedip mengamati wajah itu, bentuk tubuh yang langsing padat itu dan dia merasa seperti dalam mimpi. Mata dan mulut itu dikenalnya benar. Sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi kapan dan dimanakah dia pernah bertemu dengan dewi ini? Ketika memutar tubuh dan memandangnya, tiba-tiba saja kedua mata itu menjadi basah dan dua titik air mata menuruni sepasang pipi yang halus dan berbentuk sempurna itu.

“Andika sungguuh cantik jelita,” keluar ucapan dari mulutnya yang langsung keluar dari hatinya, tidak sempat dicegahnya, “akan tetapi mengapa andika menangis?”

Gadis itu berdiri perlahan-lahan dan tubuhnya tampak ramping dan padat dengan pinggang kecil dan dada membusung. Tangan kirinya bergerak perlahan, diangkat dan ditudingkan ke arah muka Sutejo.

“Andika manusia kurang ajar! Mau apa engkau datang ke sini? Apakah mau menghina aku lagi?” suara itu terdengar mengandung isak.

Suara itu! Sutejo segera mengenalnya.“Andika....Joko…. eh, Retno Susilo?!”

“Mau apa andika datang ke sini? Pergi!” Retno Susilo menundingkan telunjuknya mengusir Sutejo, mulutnya cemberut dan sepasang matanya kini bersinar marah.

Sutejo menundukkan mukanya. “Aku tahu….. aku telah bersalah kepadamu, aku telah berbuat kurang ajar. Akan tetapi aku tidak tahuh bahwa andika seorang dara…”

“Tidak perlu membela diri. Engkau sudah melakukan hal yang tidak pantas terhadap diriku. Perbuatanmu tidak mungkin dapat kumaafkan sebelum aku membalas padamu!”

“Begitukah, nimas? Baiklah, kalau andika baru dapat memaafkan aku setelah andika membalas perbuatanku itu, nah, lakukanlah! Pukullah aku dan aku tidak akan melawan, biar puas rasa hatimu!” Sutejo melangkah maju mendekat dan menundukkan mukanya, membiarkan kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhhnya.

Retno Susilo mengepal kedua tangannya, siap untuk memukul. Matanya menatap tajam penuh dendam. Kalau ia teringat betapa pinggulnya ditampari sampai empat kali, sehingga sampai saat itu masih terasa pedasnya, ingin ia memukuli pemuda di depannya ini untuk melampiaskan dendamnya dan untuk meredakan kemarahannya. Ia teringat bahwa tangan kiri pemuda ini yang memukuli pinggulnya. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran dan ditangkapnya lengan kiri Sutejo, ditariknya mendekat dan… digigitnya lengan tangan kiri itu sekuatnya!

“Aduhh-aduhh...!” Sutejo berseru kesakitan. Dia tidak mau menggunakan aji kekebalannya, takut kalau gigi dara itu menjadi rusak. Kalau dia menggunakan kekebalannya dan mengerahkan tenaga, tentu kulit lengannya akan berubah keras seperti baja. Maka diapun menyimpan tenaganya dan membiarkan lengan kirinya digigit. Akan tetapi gigitan itu kuat sekali sampai kulit dan dagingnya tertembus gigi dan robek.

Setelah merasa kulit lengan itu robek dan ada rasa asin di mulutnya tanda bahwa luka itu berdarah, barulah Retno Susilo melepaskan giginya. Ia memandang terbelalak kepada lengan yang terluka dan berdarah itu, seperti orang tertegun. Seutejo menjulurkan kedua lengannya kedepan. “Kalau andika belum puas membalas, nimas Retno, silakan memilih lagi yang mana boleh kau gigit sampai penuh luka.”

Retno Susilo memandang lengan yang terluka dan berkata lirih, “Lenganmu…. Luka berdarah…..! Nyerikah…..?”

“Tentu saja nyeri.”

“Biar kuberi obat agar lukanya tidak semakin parah.” Dara itu lalu menghampiri tanaman-tanaman obat yang terletak di sepetak tanah yang dipagari dan dengan cekatan dan cepat ia mengumpulkan beberapa macam daun dan terutama widoro upes, diremas-remasnya dengan jari tangannya dan setelah lebut dan mengeluarkan air lalu ditutupkan pada luka di lengan kiri Sutejo, kemudian dia membalut luka itu dengan sehelai saputangan sutera putih. Selama pengobatan ini Sutejo mengamati wajah itu dan jantungnya berdebar kencang. Alangkah cantik jelitanya dara ini. Jari-jari tangannya dengan cekatan merawat lukanya sehingga sebelum diobatipun Sutejo sudah merasakan kelembutan jari-jari tangan itu yang mempunyai daya menyembuhkan dan menghilangkan rasa nyeri.

“Nah, sekarang lukamu tidak berbahaya lagi.” Kata Retno Susilo.

“Terima kasih, nimas. Ternyata engkau seorang yang berbudi. Padahal aku pernah berbuat kurang ajar kepadamu, akan tetapi andika membalasnya dengan baik budi. Sekali lagi terima kasih dan sekali lagi maafkanlah aku atas perbuatanku tadi kepadamu.”

“Kalau aku tidak memaafkanmu, tentu aku akan membunuhmu!” kata dara itu cemberut. “Dan aku tidak mau membunuhmu karena kami membutuhkan bantuanmu menghadapi Mahesa Meta.”

“Andika memang pintar sekali, membuat aku sama sekali tidak mengira bahwa andika seorang dara.”

“Sejak kecil aku memang suka berpakaian sebagai anak laki-laki, membuat aku lebih leluasa bergerak dan pergi ke mana saja. Kakang Sutejo, begitu sakitkah hatimu, begitu marahkah andika karena godaan-godaanku maka andika menghajarku?”

“Maaf nimas. Karena aku menyangka andika seorang pemuda remaja yang amat nakal menggodaku, maka sejak semula aku sudah mengambil keputusan untuk memukuli pinggulmu kalau andika sampai terjatuh ketanganku. Kalau saja aku tahu bahwa andika seorang dara, sampai matipun aku tentu tidak mau melakukannya.”

Agaknya setelah menggigit lengan Sutejo sampai berdarah, hati Retno Susilo sudah merasa puas dan ia tidak lagi memperlihatkan kemarahannya. Dua titik air mata yang masih tinggal di bawah matanya seperti embun di ujung daun, menambah kemanisannya. “Kakang Sutejo, aku sekarang menjadi khawatir.” Ia duduk kembali di atas bangku panjang itu dan tangannya mempersilahkan Sutejo untuk duduk di ujung bangku yang lain sehingga mereka duduk berjejer.

“Apa yang kau khawatirkan, nimas Retno Susilo?”

“Mahesa Meta itu sakti mandraguna, dan aku sudah melukai lengamu. Jangan-jangan luka di lenganmu itu menghalangi andika untuk memenangkan pertandinganmu melawannya.”

“Ah, sama sekali tidak, nimas. Jangan khwatir. Luka di lenganku hanya kulit dan sedikit dagingnya saja, bahkan setelah andika memberi obat sekarang rasanya sudah sembuh dan sama sekali tidak terasa nyeri. Dan tentang Mahesa Meta, kalau memang dia itu jahat aku tentu akan berusaha untuk mengalahkannya sekuat tenagaku.”

Gadis itu mengganguk. “Aku percaya bahwa engkau tentu akan menang, kakang Sutejo. Engkau telah dapat menangkan penggeroyokan kami bertiga. Andika ini masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Siapakah guru andika, kakang?”

“Guruku adalah seorang pertapa, nimas.”

“Ah, mengagumkan. Kalau begitu, gurumu tentulah seorang yang sakti mandraguna. Bolehkah aku mengetahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?”

“Guruku bernama Bhagawan Sidik Paningal dan tinggal di lereng Gunung Kawi.”

“Hebat, kiranya engkau seorang satria, murid seorang bhagawan, kakang. Aku sungguh merasa girang sekarang dapat bertemu dan berkenalan denganmu.”

“Andika juga hebat, nimas. Seorang dara yang masih sangat muda….”

“Muda? Usiaku sudah delapan belas tahun, kakang!”

“Benarkah? Akan tetapi kalau andika berpakaian pria, tampaknya seperti bocah yang baru empat belas tahunn usianya. Andika masih begini muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang sudah tinggi, bahkan kalau aku tidak keliru menilai, kepandaianmu lebih tinggi dari ayah dan pamanmu. Terutama sekali kepandaianmu dalam hal kecepatan gerakan. Dan andika demikian penuh keberanian dan ketabahan.”

Retno susilo memandang dengan senang. “Pandang matamu tajam bukan main, kakang. Dapat melihat dan membandingkan tingkat kepandaianku. Terus terang saja, selain menerima gemblengan dari ayah sendiri, akupun pernah selama beberapa tahun dijadikan murid seorang wanita sakti. Ia kebetulan merantau sampai ke daerah ini, bertemu dengan aku dan tertarik lalu memberi pelajaran aji kanurangan, terutama ilmu meringankan tubuh dan gerakan kilat.”

“Pantas saja ketika aku pernah mengejar andika, aku tidak dapat menyusul. Bolehkah aku tahu, siapa nama gurumu yang mulia itu dan di mana tempat tinggalnya?”

“Sudah kukatakan ia seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Ia seorang nenek yang usianya sudah enam puluh lima tahun dan nama julukannya adalah Nyi Rukmo Petak karena seluruh rambutnya sudah putih.”

Sutejo tidak pernah mendengar nama ini akan tetapi dapat menduga bahwa nenek yang menjadi guru Retno Susilo itu tentu seorang wanita yang sakti mandraguna. Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah luar rumah bagian depan. “Apa itu?” Retno Susilo bertanya.

“Mari kita lihat!” kata Sutejo dan keduanya sudah berlompatan dan lari keluar dari taman itu. Biarpun ia berpakaian wanita, namun Retno Susilo masih dapat bergerak dan berlari dengan cepat dengan menyingkap kainnya karena ia mengenakan celana sebatas betisnya. Setelah tiba di luar, ternyata Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo telah berhadapan dengan tiga orang laki-laki.

“Yang tinggi kurus itulah Mahesa Meta.” Kata Retno Susilo.

Sutejo memandang penuh perhatian sambil menghampiri. Mahesa Meta adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan wajahnya membayangkan kecongkakan. Kepalanya dikedikan, sepasang matanya memancarkan sinar kejam dan mulutnya juga tertarik membentuk senyum mengejek dan memandang rendah semua orang. Wajahnya yang kurus tinggal kulit membungkus tulang sehingga dari jauh dia tampak seperti tengkorak.

“Mahesa Meta!” seru Ki Munidngsosro dengan suara lantang.“Kiranya andika datang membawa kawan!”

Mahesa Meta tersenyum lebar dan sinar matanya menyambar ke arah Retno Susilo dan seolah melahap gadis itu. Agaknya dia heran melihat dara yang cantik jelita itu berada di situ. Kepada Sutejo dia sama sekali tidak memperdulikan dan menganggap pemuda itu hanya seorang anggota Sardula Cemen biasa saja. “Dua orang kawanku ini hanya datang sebagai saksi bahwa kalian tidak akan melakukan pengeroyokan atas diriku. Kita mempunyai perhitungan dan permusuhan, mari kita selesaikan satu lawan satu atau kalian boleh maju berbareng!” tantangnya. “Akan tetapi kalau anak buahmu semua maju mengeroyok, terpaksa dua orang kawanku ini akan turun tangan. Sardula Cemeng, hari ini aku Mahesa Meta akan membasmi kalian, kecuali kalau kalian semua menakluk dan menjadi anak buahku.

“Dan membiarkan andika memimpin kami untuk menjadi perampok dan penjahat? Lebih baik mati daripada mempunyai seorang pemimpin macam andika, Mahesa Meta!” kata Ki Mundingloyo dengan suara nyaring.

“Ha-ha-ha, memang yang membangkang akan mati ditanganku. Hanya yang menyerah saja akan dapat menjadi anak buahku. Sekarang siapakah diantara kalian berdua yang akan maju menandingiku? Ataukah kalian akan maju berdua mengeroyokku?” tantangnya sambil tertawa mengejek.

“Mahesa meta, manusia sombong! Kami tidak akan main keroyokan. Kami telah mempunyai seorang wakil yang akan menandingimu! Anak mas Sutejo, silakan!” kata Ki Mundingsosro.

Sutejo maju dengan langkah tenang menghadapi Mahesa Meta. Melihat yang maju hanya seorang pemuda yang tubuhnya tidak berapa besar, bahkan sikapnya sangat sederhana, Mahesa Meta tertawa bergelak. Juga dua kawannya yang semua bertubuh tinggi besar itu tertawa mengejek.

“Hua ha ha ha ha! Yang begini kalian ajukan sebagai jago? Suruh dia pulang ke pangkuan ibunya dan ajukan lawan yang lebih tangguh lagi. Kalian hendak menghinaku dengan mengajukan jagoan seperti ini, Mundingsosro?” Mahesa Meta tertawa sampai tubuhnya bergoyang-goyang.

“Mahesa Meta, tadinya aku masih sangsi untuk percaya apakah engkau benar yang jahat. Akan tetapi setelah melihat sikapmu dan mendengar omonganmu, baru aku yakin bahwa engkau memang seorang penjahat besar yang berwatak sombong. Sumbarmu seolah dapat meruntuhkan puncak gunung! Ketahuilah, aku sudah berjanji kepada Sardula Cemeng untuk menandingimu dan mengalahkanmu. Apakah engkau gentar dan takut melawan aku?”

"Hua ha ha ha! Takut melawanmu? Biar ada semacam andika ini sepuluh orang jumlahnya dan maju bersama, aku tidak akan takut! Akan tetapi , orang muda sebelum kuhancurkan kepalamu, katakana dulu siapa engkau?"

“Namaku Sutejo dan aku sudah siap untuk melawanmu, Mahesa Meta! Akan tetapi andika harus berjanji bahwa kalau andika kalah melawanku, selama hidupmu andika harus menjauhkan diri dari Sardula Cemeng dan tidak boleh mengganggu daerah wilayah ini lagi."

“Kalah olehmu? Hua ha ha ha, kalau aku sampai kalah olehmu, aku bersumpah tidak akan muncul lagi di dunia ramai!”

“Bagus kami semua mendengar sumpahmu Mahesa Meta.”

“Akan tetapi kalau andika yang kalah, jangan mengeluh kepada Dewata, karena andika tentu akan mati di tanganku.”

“Seorang gagah sudah berani maju bersanding, kematian bukan berarti apa-apa, Mahesa Meta. Aku sudah siap, mulailah!” Sutejo melangkah maju dan tidak membuka pasangan apa-apa, hanya berdiri sederhana dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya.

“Haiiiittt….!” Mahesa Meta sudah memasang kuda-kuda, kakinya terpentang lebar, tubuhnya merendah dan kedua tangannya dipasang di depan belakang dengan dua jari menunjuk ke atas. Pasangannya tampak gagah sekali sehingga diam-diam Retno Susilo mengerutkan alis dan menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah melangkah mundur untuk memberi tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak bertanding itu.

“Majulah, Sutejo! Sekali terkena tendanganku, akan rontok igamu dan sekali terkena pukulanku, akan pecah kepalamu!” bentak Mahesa Meta dengan Suara lantang penuh gertakan.

cerita silat online karya kho ping hoo

Sutejo tersenyum. Dia tahuu bahwa orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun kesombongannya merupakan titik kelemahan yang akan mengurangi daya serangnya sendiri karena kesombongan itu sudah mengurangi kewaspadaan. “Andika adalah tamu, Mahesa Meta, maka andika berhak menyerang lebih dulu.” Kata Sutejo. Baru saja Sutejo berhenti bicara, Mahesa Meta sudah menerjang dengan dahsyat.

“Syyyaattttt…. Hehh!” Kakinya menendang dengan cepat dan ketika Sutejo mengelak ke samping, pukulan tangannya sudah menyusul, menyambar ke arah dada pemuda itu. Sutejo menggunakan lengan kirinya menangkis dan dia mengerahkan tenaga untuk menguji sampai di mana kekuatan lawan.

“Duukkk….!” Dua lengan bertemu dan Mahesa Meta terhuyung, sedangakn Sutejo hanya memindahkan langkah saja. Dari pertemuan tenaga tadi saja maklumlah Mahesa Meta bahwa pemuda sederhana yang menjadi lawannya itu ternyata memiliki tenaga yang amat kuat. Dia menjadi penasaran sekali dan cepat dia menerjang lagi dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya pada pukulan tangan kananya yang mengarah kepala Sutejo, agaknya dia hendak membuktikan sumbarnya bahwa dia akan memukul pecah kepala Sutejo. Sutejo maklum akan datangnya serangan yang disertai tenaga sepenuhnya itu, maka diapun mengerahkan Aji Gelap Musti dan menyambut pukulan itu dengan tangan terbuka.

“Wuuutttt…. Desss...!!” Tangan terbuka dan kepalan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Mahesa meta terguncang sampai gemetaran dan dia terhuyung-huyung ke belakang sedangkan Sutejo hanya melangkah dua kali ke belakang. Sepasang mata Mahesa Meta terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Dia yakin bahwa pukulannya tadi telah mengandung tenaga sepenuhnya namun pemuda itu mampu menangkisnya bahkan membuat dia terhuyung!

“Keparat!!” Makinya dan kini dia menyerang lagi, cepat sekali karena dia hendak mempergunakan kecepatan gerakannya untuk memperoleh kemenangan. Namun Sutejo dapat mengimbanginya dengan kecepatan secepat gerakan burung walet. Raihan tangan Mahesa Meta untuk mencengkram hanya dapat memegang angin dan semua pukulannya melesat karena tangkisan atau dapat dielakkan oleh Sutejo.

Sutejo bergerak dengan hati-hati karena dia maklum bahwa lawan ini cukup berbahaya. Dia lebih dulu memancing agar lawannya menghujankan serangan. Karena setiap serangan dilakukan dengan tenaga penuh, sedangkan dia lebih banyak mengelak, maka dengan cara itu dia dapat memeras tenaga lawannya. Pukulan yang tidak mengenai sasaran menghamburkan tenaga dan melelahkan.

Benar saja perhitungannya. Setelah bertanding seperempat jam tanpa pernah menghentikan serangnnya yang bersambung sambungan. Mahesa Meta mulai memburu napasnya dan keringatnya sudah membasahi muka dan lehernya. Makin bernafsu dia, semakin banyak tenaga terhambur. Sutejo tidak berniat mencelakai atau membunuh orang ini. Bukankah dia sudah bersumpah bahwa kalau kalah dia akan mengundurkan diri dan tidak menjadi penjahat lagi? Sebaliknya mengampuninya dan memberi kesempatan untuk bertobat. Karena itu, dia menanti sampai lawannya yang telah kelelahan itu menjadi lengah dan tiba-tiba kakinya menendang ke arah lutut kanan lawan. Tidak keras tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sambungan lutut, tak dapat dicegah lagi Mahesa meta jatuh berlutut dengan sebelah kakinya seperti orang menakluk!

Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Retno Susilo yang segera berseru, “Baru sebegitu saha andika telah bertekuk lutut minta ampun, Mahesa Meta? Sungguh tidak sepadan dengan sesumbarmu tadi!”

Wajah Mahesa Meta yang tadinya pucat kini berubah menjadi merah sekali karena malu. Dia menguatkan dirinya bangkit berdiri dan dengan napas terengah-engah dia meninggikan suaranya. “Aku masih belum kalah!” dan dia meloloskan sehelai sabuk rantai baja dari pinggangnya. “Sutejo, keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding mempergunakan senjata!” tantangnya untuk menutupi rasa malunya karena tadi dia jatuh berlutut.

“Begitukah kehendakmu, Mahesa Meta? Baiklah, aku hanya menuruti kehendakmu!” Sutejo lalu melepaskan ikat kepalanya dan memegang ujung ikat kepala itu sambil menghadapi lawannya.

Mahesa meta membelalakkan matanya. Dia yang bersenjata rantai baja yang amat keras dan kuat itu hendak di hadapi dengan kain pengikat kepala? “Itukah senjatamu?” tanyanya ragu.

Sutejo memutar kain ikat kepalanya. “Inilah senjataku"

“Masa bodoh, engkau yang memilih sendiri. Sekali ini akan pecah dadamu, hancur kepalamu!” katanya dan dia mulai menyerang. Rantai baja itu menyambar, mengeluarkan suara berciutan saking cepat dan kuatnya.

Sutejo tetap mempergunakan ilmunya gerakan kijang, berlompatan dan mengelak, menyelinap di antara sambaran sinar rantai. Tadi saja bermain silat dan menyerang dengan tangan kosong. Mahesa meta sudah kehabisan tenaga, apa lagi kini harus memainkan rantai baja yang berat.Napasnya mulai ngos-ngosan lagi dan gerakan rantainya makin mengendur. Sutejo tahu bahwa tiba saatnya untuk mengalahkan lawan, maka sekali dia membentak, kain ikat kepala menyambar, ujungnya mengenai leher bawah telinga Mahesa Meta dan tubuh yang tinggi kurus itu terkulai roboh dan pingsan!

Retno susilo kembali bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat kemenangan Sutejo. Ketika itu, dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi datang bersama Mahesa Meta, sudah mencabut golok masing-masing dari punggung dan seperti dua ekor harimau marah mereka berdua melompat dan mengeroyok Sutejo.

“Hei, curang! Pengecut!” Retno Susilo berseru dan dara ini melompat ke depan, tangannya sudah memegang sebatang pedang dan iapun menyambut seorang di antara mereka yang mengeroyok Sutejo. Sutejo sendiri juga menggerakkan ikat kepalanya untuk menandingi yang seorang lagi.

Terjadilah perkelahian kedua yang berat sebelah. Tingkat kepandaian dua orang rekan Mahesa Meta itu tidak setinggi Mahesa Meta maka tentu saja yang melawan Sutejo menjadi kewalahan sekali. Bahkan yang ditandingi Retno Susilo juga menjadi pening kepalanya melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Retno Susilo bergerak dengan tangkas dan cepat sekali, dan baru belasan jurus saja ia sudah melukai paha orang itu dengan ujung pedangnya. Lawannya mengaduh dan roboh terguling. Pada saat itu Sutejo juga dapat menendang lawannya sehingga terpental dan roboh.

Retno Susilo hendak mengirim serangan susulan, ,akan tetapi tiba-tiba lengannya ada yang menyentuhnya. “Sudah cukup nimas. Tidak perlu membunuh mereka, berilah kesempatan kepada mereka untuk bertaubat.”

“Penjahat-penjahat macam mereka ini mana mungkin mau bertaubat, kakang? Kalau tidak dibasmi, kelak hanya akan menimbulkan bencana saja!” bantah Retno Susilo dan dengan pedangnya ia menyerang ke arah Mahesa Meta yang sudah mulai bergerak merangkak bangun.

“Plakk!” Pedang itu ditangkis oleh tangan Sutejo, lalu lengan Retno Susilo ditarik oleh Sutejo.

“Jangan sembarangan membunuh orang nimas. Hal itu amatlah tidak baik. Ampuni mereka.” Kata Sutejo.

Ki Mundingsosro juga berkata dengan suara nyaring kepada puterinya. “Biarkan mereka pergi Retno. Karena mereka itu sudah jera untuk menganggu kita lagi.”

Dengan bantuan dua orang kawannya yang lebih dulu bangkit, Mahesa Meta berdiri dan dipapah. Biarpun dia sudah terluka, namun sinar matanya masih penuh penasaran. Kini dia tidak lagi memusuhi Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo yang sudah dikalahkannya, akan tetapi dia memandang kepada Sutejo dengan sinar mata berapi.

“Sekali ini aku kalah olehmu, Sutejo, akan tetapi akan tiba saatnya aku membalas kekalahan ini.”

“Hemm, apa kukatakan tadi, kakang Sutejo. Orang macam ini mana bisa bertaubat dan menjadi orang baik?”

“Retno, jangan mencampuri.” Kata ayahnya.

“Ayah aku hanya mengkhawatirkan kakang Sutejo. Dia mengampuni orang-orang macam itu, mengharapkan mereka bisa bertaubat, akan tetapi sesungguhnya dia hanya membuat musuh-musuh baru yang kelak akan mencoba untuk membalas dendam.”

“Biarlah, nimas Retno. Kalau dia masih merasa penasaran dan kelak hendak mencariku untuk membalas dendam, akan kulayani.” Kata Sutejo.

Kini Mahesa Meta memandang kepada Retno Susilo dengan sinar mata berapi, “Engkau juga, gadis cilik. Kelak akan tahu rasa!” Setelah berkata demikian Mahesa Meta mengajak dua orang kawannya meninggalkan tempat itu.

Setelah tiga orang itu pergi, Ki Mundingsosro berkata kepada Sutejo. “Kami bertiga menghaturkan banyak terima kasih kepadamu, anakmas Sutejo. Tanpa bantuanmu mungkin kami semua telah binasa di tangan orang jahat itu. Marilah kita kembali keperkampungan. Ada satu hal yang ingin sekali saya bicarakan dengan andika.”

Sebetulnya Sutejo ingin melanjutkan perjalannannya dan tidak singgah lagi ke perkampungan Sardula Cemeng, akan tetapi Retno Susilo tanpa malu-malu memegang tangannya. “Kakang Sutejo marilah singgah dulu di rumah kami. Setelah engkau berhasil mengusir Mahesa Meta itu, engkau menjadi penolong dan tamu agung kami.”Ia menarik tangan Sutejo dan terpaksa Sutejo tidak dapat menolak lagi.

Setelah tiba di rumah, Ki Mundingsosro berkata kepada Retno Susilo. “Retno Susilo pergilah engkau ke dapur dan aturlah agar disediakan hidangan siang ini untuk menjamu anak mas Sutejo.”

“Baik, ayah.” Retno Susilo pergi ke dapur dengan senang hati.

Kini Sutejo duduk bertiga dengan Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo. “Urusan apakah yang hendak paman bicarakan dengan saya?” tanya Sutejo setelah mereka duduk berhadapan.

“Anakmas, bolehkah kami mengetahui berapa usiamu sekarang?” tanya Ki Mundingsosro sambil menatap wajah yang tampan itu penuh selidik.

Sutejo tersenyum, dan merasa heran akan tetapi dia menjawab juga sejujurnya. “Saya berusia dua puluh tahun, paman.”

“Apakah anakmas sudah beristeri?” Atau sudah bertunangan?” tanya pula tuan rumah dan sekali ini wajah Sutejo berubah kemerahan karena merasa tertegun dan rikuh mendengar pertanyaan tentang itu. Karena itu rasanya sukar baginya untuk menjawab dengan kata-kata, maka diapun hanya menggeleng kepalanya saja.

Gelengan kepala itu rupanya cukup bagi Ki Mundingsosro karena wajahnya menjadi berseri, “Bolehkah kami bertanya, siapa orang tuamu yang terhormat, anakmas Sutejo?”

Ditanya tentang orang tuanya, tiba-tiba wajah Sutejo yang biasanya cerah itu menjadi muram. Alisnya yang tebal berkerut dan sejenak dia memejamkan kedua matanya, tanpa menjawab. Akan tetapi Ki Mundingsosro menanti dengan sabar dan ketika Sutejo membuka matanya dan memandang kepadanya, dia terkejut. Ada sinar aneh mencorong dari mata pemuda itu. Dia menjadi terkejut sendiri dan khawatir kalau-kalau pemuda itu marah.

“Maafkan saya, anakmas. Kalau sekiranya anakmas tidak mau menjawab pertanyaan saya tadi, tidak mengapalah.”

Sutejo menggeleng kepalanya. “Bukan tidak mau menjawab, Paman, melainkan tidak bisa menjawab karena saya sendiri tidak tahu siapa ayah bundaku!”

“Eh, bagaimana pula ini, anakmas?” Ki Mundingloyo yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini tidak dapat menahan keheranannya. Bagaimana mungkin seseorang tidak mengetahui siapa ayah bundanya?

“Sesungguhnyalah, paman. Sejak berusia tiga tahun saya ditemukan dan dirawat guru saya. Bahkan beliau juga tidak tahu siapa orang tua saya. Agaknya tidak ada orang di dunia ini yang mengetahui siapa sebetulnya ayah bunda saya.”

“Aneh, sungguh aneh!” kata Ki Mundingsosro.“Akan tetapi, siapakah gurumu itu, anakmas?”

“Guru saya adalah Bhagawan Sidik Paningal, pertapa di lereng Gunung Kawi.”

“Hemmmm, kami pernah mendengar nama besar gurumu, anakmas. Bukankah beliau seorang tokoh besar dari perguruan Jatikusumo?” tanya Ki Mundingsosro.

Sutejo tidak heran mendengar ini. Memang dahuulu Resi Limut Manik terkenal dengan perguruannya Jatikusum dan mempunyai tiga orang murid yang terkenal di seluruh Mataram, yaitu Bhagawan Sindusakti, Bhagawan Sidik Paningal dan Bhagawan Jaladara. Akan tetapi setelah tiga orang murid itu meninggalkan puncak Semeru, perguruan itupun bubar. Dia sendiri belum pernah berhubungan dengan uwa dan paman gurunya, dan bertemu dengan Bhagawan Jaladara juga baru ketika sang Bhagawan itu mengunjungi gurunya dan memukulinya, kemudian dia berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan paman gurunya itu. Dengan Sang Bhagawan Sindusakti dia bahkan belum pernah bertemu sama sekali.

“Kiranya benar demikian, Paman. Akan tetapi saya tidak banyak mengetahui tentang perguruan itu.”

“Kalau begitu kami masih mempunyai harapan, anakmas. Sebetulnya niat kami adalah untuk memperat hubungan di antara kita dan kerena andika juga belum terikat pernikahan, maka kami bermaksud untuk menjodohkan anak kami Retno Susilo dengan anakmas. Dan untuk itu, kami akan menghubungi gurumu dan minta persetujuannya, atau tegasnya kami hendak mengusulkan perjodohan ini kepadanya. Tentu saja kalau anakmas menyetujui.” Kata Ki Mundingsosro dengan ramah.

“Ha ha ha, usul yang baik sekali!” kata Ki Mundingloyo sambil tersenyum. “Retno itu bandek bukan main dan agaknya hanya andika saja yang mampu mengendalikannya. Sebetulnya ia anak baik dan pemberani, juga mengenai kecantikannya, agaknya jarang ada yang dapat menyainginya, anakmas.”

Wajah Sutejo berubah kemerahan. Sungguh sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa dua orang itu akan mengajukan usul perjodohan seperti itu.Retno Susilo! Dia menjadi salah tingkah. Dia memang suka dan kagum kepada dara itu. Akan tetapi berjodoh dengannya? Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya, ,sedikitpun tidak pernah. Dia sama sekali belum pernah memikirkan perjodohannya, ,dengan siapapun juga. Masih jauh jalan yang harus dia lalui, masih luas pengalaman hidup yang harus ditempuhnya. Mana mungkin sekarang tiba-tiba mengikatkan diri dengan perjodohan? Hal itu berarti dia akan berhenti, ,berumah tangga membentuk keluarga! Padahal jangkauannya amat jauh, dia akan menghambakan dirinya kepada Sang Prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung yang arif bijaksana, menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya.

“Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, anakmas?Kami melihat kalian berdua serasi sekali. Retno susilo memiliki kepandaian yang melebihi kami dan dengan bimbingan anakmas kelak ia akan menjadi seorang wanita yang hebat.” Kata pula Ki Mundingsosro.

“Maaf, beribu maaf, paman berdua. Bukan sekali saya menolak usul andika berdua. Bahkan saya menghaturkan terima kasih sekali atas kepercayaan yang besar itu. Akan tetapi terus terang saja, untuk waktu sekarang ini saya sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Saya ingin meluaskan pengalaman dan pengetahuan dan untuk itu saya harus hidup seorang diri. Bukan berarti saya menampik nimas Retno Susilo. Ia bahkan mungkin terlalu baik untuk saya. Akan tetapi terus terang saja, untuk saat ini saya tidak dapat menerima usul itu. Saya masih ingin hidup sebatang kara dan bebas merdeka tidak terikat oleh apapun.”

Dua orang pria itu saling pandang dan mereka tampak kecewa. Akan tetapi karena alasan Sutejo kuat, mereka hanya dapat menghela napas dan Ki Mundingsosro berkata dengan lambat. “Kami dapat mengerti pendirian andika, anakmas. Akan tetapi kalau tiba saatnya bagi andika untuk memikirkan perjodohan, jangan lupakan Retno Susilo, jangan melupakan kami, anakmas. Kami masih selalu mengharapkanmu…”

“Ah, saya tidak berani menjanjikan apa-apa, paman. Nimas Retno Susilo adalah seorang gadis yang cantik jelita dan pandai. Kalau memang ada seorang perjaka yang meminangnya dan ia setuju, jadikan saja perjodohan itu, jangan menunggu saya. Saya khawatir kalau-kalau paman akan menunggu dengan sia-sia. Siapa tahu saya tidak akan mengikatkan diri dengan perjodohan selamanya.”


Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 03

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 03

SUTEJO mengerutkan alisnya. Tidak ada pilihan baginya. Masih mending kalau hanya dikeroyok tiga. Kalau mereka mengajukan semua anggauta mereka berarti dia akan berhadapan dengan hampir seratus orang!

“Baiklah, aku terima dua syarat itu. Dan sekarang aku permisi untuk melewatkan malam di luar perkampungan ini!” Dia bangkit berdiri dan hendak pergi, akan tetapi Susilo menahannya.

“Ah, tidak boleh engkau pergi dari sini. Pertama, engkau adalah seorang tamu kami, bagaimana kami membiarkan engkau tidur di luar? Selain itu, kalau engkau tidur di luar perkampungan dan besok pagi tidak muncul, ,bukankah kami yang akan menanti-nanti dengan sia-sia? Engkau boleh bermalam di sini, kami mempunyai banyak kamar untuk kau pakai. Bukankah begitu, ayah dan Paman?”

Kembali kedua orang laki-laki tinggi besar itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga mereka mengharapkan bahwa pemuda ini benar-benar sakti dan besok akan dapat membantu mereka menghadapi MahesaMeta yang merupakan musuh besar dan ancaman bagi keselamatan perkumpulan Sardula Cemeng.

“Benar seperti yang diucapkan anakku Joko Susilo. Engkau boleh bermalam di sini sebagai tamu kami, anak mas Sutejo dan malam ini kami akan menjamu andika sebagai tamu yang terhormat.” Kata Ki Mundingsosro.

Karena pihak tuan rumah bersikap ramah dan bersungguh-sungguh, Sutejo tidak menolak lagi. Akan tetapi hatinya masih gemas terhadap Susilo dan dia sudah mengambil keputusan tetap bahwa kalau besok dia menang dan mampu memenuhi syarat-syarat itu sehingga pecut dikembalikan kepadanya, dia pasti akan menelungkupkan tubuh anak itu di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya sampai dia menjerit-jerit minta ampun! Kau tunggu saja, bisik hatinya gemas, apalagi melihat betapa pemuda remaja itu memandangnya dengan cuping hidung kembang kempis dan mulut tersenyum mengejek.

Malam itu benar saja, Sutejo dijamu dengan royal oleh tuan rumah. Untuk keperluan itu tuan rumah menyembelih beberapa ekor ayam dan seekor domba, membuat bermacam masakan. Mereka duduk semeja. Sutejo, Ki Munindingsosro, Ki Mundingloyo dan Joko Susilo. Dan dalam perjamuan makan itu Joko Susilo tidak lagi menggoda dengan kerling mata dan senyum mengejek, melainkan ramah sekali bahkan dia yang terus menerus menawarkan masakan ini itu kepada Sutejo. Akan tetapi keramahan ini tidak melunturkan kejengkelan hati Sutejo terhadap pemuda remaja itu. Kalau bukan karena ulahnya, tentu dia tidak akan bersusah payah berkunjung ke sini dan harus memenuhi dua syarat yang diajukan bocah nakal itu!

Sore itu Sutejo mandi di air pancuran yang segar sejuk, dan malamnya dia dapat tidur nyenyak dalam sebuah kamar yang khusus disediakan untuknya. Dia tidur tanpa mimpi karena tubuhnya memang sudah lelah sekali. Pertandingannya melawan Bhagawan Jaladara menguras tenaganya dan tidur nyenyak semalam itu banyak menolong memulihkan kembali tenaganya untuk menghadapi apa yang akan terjadi besok.

Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sutejo terbangun dari tidurnya dan mandi di air pancuran, dia melihat penduduk perkampungan itu sudah sibuk bekerja. Dan dia merasa heran karena tidak seorangpun di antara mereka memakai coreng moreng di mukanya, juga pakaian mereka bukan pakaian serba hitam! Akan tetapi dia tidak melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, juga tidak melihat Joko Susilo!

Melihat seorang anak berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main seorang diri, Sutejo lalu menghampiri anak laki-laki itu, “Eh, adik yang baik, tahukah engkau ke mana perginya Ki Mundingsosro, Ki Mundingloyo dan Joko Susilo?”

Bocah itu memandang Sutejo dengan matanya yang bening lalu menjawab, “Mungkin mereka sedang menggembala domba dipadang rumput yang berada di lereng sebelahsana .” Dia menuding ke arah barat, di mana terdapat sebuah bukit hijau.

“Dan kenapa tidak ada orang yang memakain pakaian hitam dan mencoreng moreng mukanya?”

Bocah laki-laki itu tersenyum, “Untuk apa?, Para Paman itu mencoreng mukanya dan mengenakan pakaian hitam kalau Sardula Cemeng hendak melakukan sesuatu upacara atau hendak melakukan sesuatu upacara atau hendak menentang musuh. Kalau tidak ada apa-apa, mereka juga berpakaian biasa dan tidak mencoreng mukanya.”

Sutejo mengerti dan diam-diam dia merasa heran. Mengapa dua orang pimpinan itu bersikap demikian aneh. Mengharuskan anak buah mereka berpakaian hitam dan mencoreng-moreng muka mereka kalau menghadapi lawan? Kini dia tahu bahwa kedatangannya kemarin juga sudah diketahui lebih dulu sehingga mereka menyambutnya dengan “Pakaian Dinas” perkumpulan itu.

Diapun tidak memperdulikan lagi. Ditinggalkannya perkampungan itu dan dia keluar dari situ menuju ke bawah bukit sebelah barat sambil berlari cepat. Hawa dipagi hari itu sejuk dan segar dan dia terus berlari sampai akhirnya tiba dipadang rumput. Dari jauh dia melihat Joko Susilo menggembala domba dan tamapi dia memegang Pecut Sakti Bajrakirana, dibunyikan berdetak-detak untuk menggiring domba yang jumlahnya seratus ekor lebih!

Sialan, pikirnya. Pecut Sakti Bajrakirana, pecut pusaka yang demikian dihormati oleh Bapa Gurunya, kini dipergunakan oleh seseorang pemuda remaja kurang ajar untuk menggembala domba! Dia mempercepat larinya dan ketika tiba dekat tempat menggembala domba itu, dia melihat Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah berada di situ. Dan agaknya kedua orang pimpinan itu sudah siap siaga. Ki Mundingsosro sudah memegang sebatang golok terhunus dan Ki Mundingloyo memegang sebuah tombak trisula.

Sutejo segera menghampiri mereka dan memberi uluk salam. “Selamat pagi, kedua paman!”

“Ah, andika sudah datang, anak mas Sutejo. Lihat, kami sudah siap untuk mempertahankan pecut itu dari tanganmu!” kata Ki Mundingsosro dengan sikap ramah.

“Kalau andika dapat menandingi tombak trisulaku dan golok Kakang Mundingsosro ditambah lagi kecepatan Susilo, engkau berhak memiliki pecut yang diperebutkan itu!” kata Ki Mundingloyo sambil memalangkan tombak trisula di depan dada.

Joko Susilo datang berlarian dan bergabung dengan ayah dan pamannya. “Engkau sudah datang sepagi ini? Bagus, pecut ini dapat menjadi senjata yang baik, dan aku akan menghadapimu dengan pecut ini. Coba kalahkan kami kalau engkau bisa, Sutejo!”

Sutejo memandang dengan mata bersinar marah. “Andika adalah seorang bocah yang nakal, Susilo. Agaknya engkau memang pantas dihajar agar jera dan tidak menganggu orang lain!”

“Coba kalau engaku mampu menghajarku!” Joko Susilo menantang.

“Anak mas Sutejo, kami bertiga sudah siap. Cobalah engkau merampas pecut itu kalau dapat. Akan tetapi senjata kami tidak bermata, jangan salahkan kami kalau sampai engkau terluka oleh senjata kami!” Kata Ki Munindingsosro.

“Saya mengerti, paman. Sebaiknya paman bertiga juga harus berhati-hati menghadapi senjata saya!”

“Apakah senjatamu? Keluarkan!” tantang Ki Mundingloyo.

Sutejo melepaskan ikatan kepalanya dan memegang ujung ikatan kepala itu dengan tangan kanannya.

“Inilah senjata saya!” katanya.

Joko Susilo berkata kepada ayahnya dan pamannya. “ Ayah dan paman, jangan pandang ringan senjatanya itu. Dengan itu dia telah melawan pendeta yang sakti itu!”

“Bagus. Nah, mulailah, anak mas Sutejo!” kata lagi Ki Mundingsosro.

Sutejo juga tidak sungkan-sungkan lagi. “Lihat senjataku!” Teriaknya dan dia sudah menerjang maju. Tentu saja yang diterjangnya adalah Joko Susilo karena dia ingin merampas pecut itu secepatnya. Akan tetapi dari kanan kiri kedua orang pimpinan Sardula Cemeng itu telah menggerakkan golok dan tombak trisula ke arahnya dengan serangan yang dahsyat. Sutejo mengelak, mempergunakan kecepatan tubuhnya dan setelah berhasil mengelak dia menyerang lagi ke arah Joko Susilo dengan ikat kepalanya.

“Tar-tar-tarrrrrr…..!” Joko Susilo meledak-ledakkan pecut itu, ke arah kepala Susilo dan berbareng dengan itu, ayah dan pamannya juga kembali menyerang Sutejo.

"Hemm, mereka ini lumaya juga", pikir Sutejo. Dua orang pimpinan itu memiliki tenaga yang kuat, sedangkan pemuda remaja itu ternyata memiliki gerakan yang ringan dan gesit bukan main, bahkan mungkin dapat mengimbangi kecepatannya sendiri. Dia merasa heran karena ayah dan paman pemuda itu tidak segesit itu. Tentu pemuda remaja itu telah mempelajari ilmu meringkan tubuh dari orang lain, pikirnya.

Namun Sutejo tidak memusingkan hal itu. Kalau dia hendak mendesak Joko Susilo, dia harus lebih dahulu membuat dua orang laki-laki itu tidak berdaya.Oleh karena itu, dia lalu mengubah gerakan dan serangannya. Tidak lagi dia mendesak untuk merampas pecut dari tangan Joko Susilo. Sebaliknya dia mendesak Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo dengan gerakan ikat kepalanya. Dan usahanya berhasil. Dua orang laki-laki tinggi besar ini kalah jauh dalam hal kecepatan gerakan oleh Sutejo, maka begitu Sutejo mendesak, mereka menjadi kewalahan dan main mundur, mengelak dan menangkis sambaran ujung ikat kepala yang demikian cepatnya sehingga mereka tidak mampun membalas lagi!

Joko Susilo melihat pemuda itu kini mendesak ayah dan pamannya, lalu menerjang Sutejo dengan pecut itu. “Tar-tarrr…..!” Pecut itu meledak di atas kepala Sutejo dan menyambar turun bagaikan seekor burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Sutejo!

"Hemm, hebat juga pemuda remaja ini", pikir Sutejo. Bahkan mungkin ilmu kepandaiannya melampaui ayah dan pamannya. Akan tetapi dia sudah siap dan melihat pecut itu meledak dan menyambar ubun-ubun kepalanya, dia lalau menggerakkan tangan kirinya dan sekali sambar dia sudah dapat menangkap ujung pecut!

Terjadi tarik menarik dan karena takut kalau-kalau pecut itu akan putus, terpaksa Sutejo melepaskannya dan dia kini mendesak dengan hebat ke arah dua orang laki-laki itu. Trisula yang menyambar ke arah dadanya dia sambut dengan ikat kepalanya yang ujungnya melibat trisula dan sebelum Ki Mundingloyo dapat menarik kembali trisulanya, tangan kiri Sutejo sudah mendahului memukul ke depan dengan Aji Gelap Musti, akan tetapi tentu saja dengan pengerahan tenaga terbatas karena dia tidak ingin mencelakai orang.

“Wuuutttt…. Desss…..!” Tubuh Ki Mundingloyo terpental dan trisulanya terampas oleh Sutejo. Pada saat itu, Ki Mundingsosro menyerangkan goloknya. Sutejo yang memegang trisula dengan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Traanngggg…..!!” Golok itu patah menjadi dua dan Ki Mundingsosro melompat ke belakang dengan kaget sekali. Jelas bahwa dia dan Ki Mundingloyo telah kalah dan kini Joko Susilo menghadapi Sutejo seorang diri. Akan tetapi pemuda remaja itu tidak merasa gentar walaupun ayah dan pamannya sudah tidak membantunya lagi.

“Berikan pecut itu!” kata Sutejo sambil mengejar Joko Susilo.

“Hemm, Kalau engkau dapat merebutnya, rebutlah!” tantang Joko Susilo sambil menyeringai mengejek.

Panas rasa hati Sutejo dan dia menubruk dengan cepat. Namun, Joko Susilo mengelak dengan kecepatan seperti seekor burung sikatan sehingga tubrukan itu luput. Sutejo menjadi penasaran. Tentu saja dia tidak ingin memukul pemuda remaja itu, melainkan hanya ingin merebut pecutnya. Kembali dia menubruk, namun Joko Susilo sungguh gesit luar biasa. Sampai belasan kali Sutejo menubruk, makin lama semakin cepat, namun tetap saja tidak berhasil, bahkan ketika Joko Susilo menggerakkan pecutnya, ujung pecut mengenai lengan Sutejo sehingga kulit lengannya terdapat guratan merah. Marahlah dia!

“Anak kepala batu!” bentaknya dan kini dia menubruk, ketika Joko Susilo mengelak, ,tangan kirinya menyambar dengan pukulan Gelap Musti dengan tenaga terkendali ke arah kaki pemuda remaja itu. Sekali ini Joko Susilo tidak dapat mengelak. Kakinya mendadak seperti lumpuh dan diapun terguling jatuh, dan di lain saat pecutnya sudah berpindah ke tangan Sutejo! Sutejo cepat melibatkan pecut itu di pinggangnya dan ketika melihat pemuda remaja itu merangkak hendak bangkit berdiri, dia lalu menyambar lengan kanannya dan mememuntir lengan itu. Tubuh Joko Susilo terpuntir dan dia berteriak kesakitan dan di lain saat tubuhnya sudah di telungkupkan di atas kedua paha Sutejo yang sudah duduk di atas tanah. Kemudian, tangan kanan Sutejo mengempit kedua tangan itu kebelakang dan tangan kirinya mulai menampari pinggul Joko Susilo.

“Plak plak plak plak!” Empat kali dia menampar bagian tubuh yang berdaging itu.

“Aduh-aduh-aduhhh… lepaskan aku…. Huhuuh huhu….!”Joko Susilo berteriak-teriak sambil menangis mengguguk. Tubuhnya meronta sehingga pengikat rambutnya terlepas dan kini rambut yang panjang hitam itu terurai di sekitar pundak dan punggungnya.

Sutejo merasa tubuhnya seperti disengat ular berbisa! Dia melepaskan pegangannya dan melompat berdiri, matanya terbelalak keherannya memandang kepada Joko Susilo yang masih menangis sesegukan, kedua tangannya menggosok mata yang mengalirkan air mata! Dia merasa terkejut bukan main dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya. “Kau…. Kau….!” Dia berkata sambil menundingkan telunjuknya ke arah pemuda remaja yang kini rambutnya tergerai lepas. Baru sadarlah dia bahwa Joko Susilo itu sebenarnya adalah seorang wanita, seorang dara yang cantik jelita! Dan baru saja dia menampari pinggulnya, pinggul seorang gadis.

Ki Mundingsosro mengahmapiri anaknya dan membantunya bangkit berdiri. “Sudahlah, Retno. Tidak perlu menangis lagi karena engakau memang bersalah.”

“Akan tetapi….. dia….. dia…… memukuli pinggulku. Aku benci padanya, ,aku benci….!” Dan gadis itu lalu melarikan diri kembali ke perkampungan sambil menangis.

Sutejo menghadapi dua orang laki-laki itu dengan muka masih kemerahan dan jantung berdebar tegang. “Paman, apa artinya ini? Apakah Joko Susilo itu…..?”

“Ia seorang gadis, anak mas Sutejo. Memang sejak kecil ia suka berpakaian dan menyamar sebagai pria dan wataknya juga liar dan ugal-ugalan seperti seorang anak laki-laki. Karena itulah, apabila ia menyamar sebagai seorang pria, kami memanggilnya Joko Susilo. Sebenarnya namanya adalah Retno Susilo. Ahhh, anak itu memang nakal, akan tetapi ia cerdik sekali, anak mas. Buktinya ia telah dapat memancing engkau datang ke sini untuk membantu kami. Marilah kita bicara di perkampungan agar lebih leluasa. Adi Munidngloyo, karena Retno telah pulang, maka tolong engkau yang menggiring domba-domba ini.”

“Baiklah, kakang Mundingsosro, jawab Mundingloyo sambil tersenyum geli menyaksikan peristiwa itu.

Sutejo lalu kembali ke perkampungan Sardula Cemeng bersama Ki Mundingsosro dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di sebelah dalam rumah besar dan bercakap-cakap. “Paman, maafkan perlakuanku terhadap puterimu. Sungguh saya tidak pernah mengira bahwa ia seorang wanita.” Kata Sutejo dengan hati yang tulus karena dia benar-benar menyesali perbuatannya. Tentu saja kalau dia tahu bahwa Joko Susilo sebenarnya adalah Retno Susilo, dia tidak meungkin berani menelungkupkan tubuh gadis itu di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya!

Ki Mundingsosro tersenyum, “Tidak mengapa karena engkau memang benar tidak tahu akan hal itu. Boleh jadi malah kebetulan. Anak itu terlalu dimanja dan liar, dan agaknya sudah sejak dulu aku harus menampari pinggulnya biar ia kapok.”

Agak terhibur hati Sutejo mendengar ini. “Ada suatu hal lagi yang membuat saya benar-benar tidak mengerti, paman, yaitu mengenai perkumpulan Sardula Cemeng. Perkumpulan apakah ini sebenarnya?”

“Perkumpulan kami terdiri dari paksaan para petugas dari Blambangan untuk menjadi tentara. Juga kami menentang kejahatan dan dengan bersatu kami merasa kuat. Tadinya perkumpulan kami hanya kecil saja, bekerja sebagai petani di daerah ini, akan tetapi setelah ada pelatihan-pelatihan itu perkumpulan kami bertambah besar. Kami menentang kejahatan dan kami bekerja sebagai petani dan nelayan, juga peternak.”

Sutejo mengangguk-angguk. “Akan tetapi ada hal aneh yang tidak saya mengerti paman. Kenapa saya kemarin tidak melihat anak buah paman mengenakan pakaian hitam dan mencoreng moreng mukanya seperti itu? Apa artinya ini semua?”

Ki Mundingsosro tersenyum dan memuntir kumisnya yang tebal. “Semua itu selalu untuk menyesuaikan dengan nama perkumpulan kami, juga untuk mencegah agar muka para anggota kami tidak dikenal orang, agar kami tidak lagi menjadi pelarian. Pula, ada alasan kuat mengapa aku memerintahkan mereka mencoreng moreng muka mereka. Ketahuilah anak mas Sutejo. Sebelum tinggal di sini, belasan tahun yang lalu. Aku pernah tinggal di pedalaman Kalimantan dan kebetulan aku menjadi kepala suku Dayak disana . Aku membawa kebiasaan suku Dayak di sana. Aku membawa kebiasaan suku Dayak itu kesini, yaitu setiap kali hendak melakukan aksi atau hendak bertempur kami mencoreng moreng muka kami seperti yang dilakukan oleh suku Dayak”.

“Dengan maksud?”

“Untuk menambah wibawa, memperbesar semangat dan itu tadi, agar jangan dikenal orang.”

“Kemudian, bagaimana dengan Mahesa Meta itu Paman? Siapakah sebenarnya orang itu dan bagaimana pula sampai bermusuhan dengan Paman?”

“Sudah kuceritakan bahwa dia adalah seorang perampok tunggal yang sakti. Tidak mempunyai anak buah, akan tetapi untuk daerah pegunungan Kelud namanya terkenal sekali dan banyak penjahat yang tunduk kepadanya. Sebenarnya tidak ada permusuhan di antara kami karena daerah Gunung kelud bukan wilayah kami. Akan tetapi dua minggu yang lalu, Mahesa Meta menggangu penduduk dusun di daerah kami. Bukan saja dia menguras harta penduduk dusun itu, juga dia hendak menculik dua orang gadis kakak beradik. Mendengar ini kami lalu mendatanginya dan tidak dapat dihindarkan lagi, terjadi bentrokan antara kami dan dia. Dia seorang yang benar-benar digdaya, dan mungkin pengeroyokan kami bertiga tidak akan dapat mengalahkannya. Karena para penduduk dusun memihak kami hendak melakukan penggeroyokan, ditambah anak buah kami, dia lalu mundur dan berjanji bahwa dua pekan setelah hari itu, dia akan mendatangi perkampungan kami dan membinasakan semua orang. Kalau dia datang seorang diri saja, kami bersama semua anak buah mungkin masih dapat mengusirnya, akan tetapi kalau dia datang membawa pasukannya, bagaimana kami dapat melawannya? Itulah sebabnya maka Retno Susilo yang agaknya melihat kemampuanmu lalu memancingmu untuk datang ke sisni dan membantu kami. Maafkan caranya yang kasar, anak mas Sutejo, akan tetapi sesungguhnya anak saya itu tidak bermaksud buruk, sekedar untuk minta bantuanmu.”

Sutejo mengangguk angguk. “Ia telah berhasil membuat aku berjanji dan tentu saja aku tidak akan mengingkari janji, Paman. Kalau Mahesa Meta datang hendak membikin ribut di sini, biarlah aku yang menghadapi dia. Akan kuminta dia mundur dengan baik-baik dan kalau dia memaksa tentu akan kutandingi. Akan tetapi, kapankah waktu yang ditentukan itu?”

“Menurut perhitungan kami, besok pagi tentu dia sudah datang.”

“Baik, aku akan menginap semalam lagi, menanti sampai dia muncul. “Kata Sutejo.

Pada sore hari itu, setelah mandi dan bertukar pakaian, Sutejo berjalan-jalan dalam taman yang berada di belakang rumah indah perkumpulan Sardula Cemeng itu. Sebuah taman yang indah karena teratur baik dan tercium bau mawar dan melati bercampur keharuman bunga tanjung dan kantil. Ada pula bunga harum dalu dan sedap malam, menambah semaraknya taman itu dan merupakan pesta bagi hidung dan mata.

Sutejo merasa segar dan senang berada di dalam taman itu. Akan tetapi ketika dia tiba di tengah taman dimana terdapat tempat peristirahatan beratap tanpa dinding, yang besarnya tidak lebih dari tiga meter persegi, dia melihat adanya seseorang duduk di sana. Orang itu duduk seorang diri, tidak bergerak-gerak. Karena orang itu adalah seorang wanita, dilihat dari samping ia seperti sebuah arca yang indah. Sutejo merasa tidak pantas untuk mendekatinya, akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang aneh menariknya untuk menghampiri tempat peristirahatan itu. Tempat itu terbuka, maka apa salahnya untuk mendekati tempat itu?

Akhirnya tibalah dia di belakang wanita itu. Wanita itu mendengar suara jejak kakinya, lalu memutar duduknya dan Sutejo terpesona.Alangkah cantik jelitanya gadis itu. Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Rambutnya panjang dibiarkan terurai dan di hias bunga dan hiasan rambut dari emas permata. Anak rambut berjuntai nakal di dahi dan pelipisnya. Alisnya hitam panjang dan sepasang mata itu! Bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora, dihias bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak berjungat ke atas sehingga tampak lucu sekali.Dan mulutnya! Demikian manis menggairahkan dengan sepasang bibir berbentuk gendewa terpentang.

Sutejo terpesona dan tanpa berkedip mengamati wajah itu, bentuk tubuh yang langsing padat itu dan dia merasa seperti dalam mimpi. Mata dan mulut itu dikenalnya benar. Sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi kapan dan dimanakah dia pernah bertemu dengan dewi ini? Ketika memutar tubuh dan memandangnya, tiba-tiba saja kedua mata itu menjadi basah dan dua titik air mata menuruni sepasang pipi yang halus dan berbentuk sempurna itu.

“Andika sungguuh cantik jelita,” keluar ucapan dari mulutnya yang langsung keluar dari hatinya, tidak sempat dicegahnya, “akan tetapi mengapa andika menangis?”

Gadis itu berdiri perlahan-lahan dan tubuhnya tampak ramping dan padat dengan pinggang kecil dan dada membusung. Tangan kirinya bergerak perlahan, diangkat dan ditudingkan ke arah muka Sutejo.

“Andika manusia kurang ajar! Mau apa engkau datang ke sini? Apakah mau menghina aku lagi?” suara itu terdengar mengandung isak.

Suara itu! Sutejo segera mengenalnya.“Andika....Joko…. eh, Retno Susilo?!”

“Mau apa andika datang ke sini? Pergi!” Retno Susilo menundingkan telunjuknya mengusir Sutejo, mulutnya cemberut dan sepasang matanya kini bersinar marah.

Sutejo menundukkan mukanya. “Aku tahu….. aku telah bersalah kepadamu, aku telah berbuat kurang ajar. Akan tetapi aku tidak tahuh bahwa andika seorang dara…”

“Tidak perlu membela diri. Engkau sudah melakukan hal yang tidak pantas terhadap diriku. Perbuatanmu tidak mungkin dapat kumaafkan sebelum aku membalas padamu!”

“Begitukah, nimas? Baiklah, kalau andika baru dapat memaafkan aku setelah andika membalas perbuatanku itu, nah, lakukanlah! Pukullah aku dan aku tidak akan melawan, biar puas rasa hatimu!” Sutejo melangkah maju mendekat dan menundukkan mukanya, membiarkan kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhhnya.

Retno Susilo mengepal kedua tangannya, siap untuk memukul. Matanya menatap tajam penuh dendam. Kalau ia teringat betapa pinggulnya ditampari sampai empat kali, sehingga sampai saat itu masih terasa pedasnya, ingin ia memukuli pemuda di depannya ini untuk melampiaskan dendamnya dan untuk meredakan kemarahannya. Ia teringat bahwa tangan kiri pemuda ini yang memukuli pinggulnya. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran dan ditangkapnya lengan kiri Sutejo, ditariknya mendekat dan… digigitnya lengan tangan kiri itu sekuatnya!

“Aduhh-aduhh...!” Sutejo berseru kesakitan. Dia tidak mau menggunakan aji kekebalannya, takut kalau gigi dara itu menjadi rusak. Kalau dia menggunakan kekebalannya dan mengerahkan tenaga, tentu kulit lengannya akan berubah keras seperti baja. Maka diapun menyimpan tenaganya dan membiarkan lengan kirinya digigit. Akan tetapi gigitan itu kuat sekali sampai kulit dan dagingnya tertembus gigi dan robek.

Setelah merasa kulit lengan itu robek dan ada rasa asin di mulutnya tanda bahwa luka itu berdarah, barulah Retno Susilo melepaskan giginya. Ia memandang terbelalak kepada lengan yang terluka dan berdarah itu, seperti orang tertegun. Seutejo menjulurkan kedua lengannya kedepan. “Kalau andika belum puas membalas, nimas Retno, silakan memilih lagi yang mana boleh kau gigit sampai penuh luka.”

Retno Susilo memandang lengan yang terluka dan berkata lirih, “Lenganmu…. Luka berdarah…..! Nyerikah…..?”

“Tentu saja nyeri.”

“Biar kuberi obat agar lukanya tidak semakin parah.” Dara itu lalu menghampiri tanaman-tanaman obat yang terletak di sepetak tanah yang dipagari dan dengan cekatan dan cepat ia mengumpulkan beberapa macam daun dan terutama widoro upes, diremas-remasnya dengan jari tangannya dan setelah lebut dan mengeluarkan air lalu ditutupkan pada luka di lengan kiri Sutejo, kemudian dia membalut luka itu dengan sehelai saputangan sutera putih. Selama pengobatan ini Sutejo mengamati wajah itu dan jantungnya berdebar kencang. Alangkah cantik jelitanya dara ini. Jari-jari tangannya dengan cekatan merawat lukanya sehingga sebelum diobatipun Sutejo sudah merasakan kelembutan jari-jari tangan itu yang mempunyai daya menyembuhkan dan menghilangkan rasa nyeri.

“Nah, sekarang lukamu tidak berbahaya lagi.” Kata Retno Susilo.

“Terima kasih, nimas. Ternyata engkau seorang yang berbudi. Padahal aku pernah berbuat kurang ajar kepadamu, akan tetapi andika membalasnya dengan baik budi. Sekali lagi terima kasih dan sekali lagi maafkanlah aku atas perbuatanku tadi kepadamu.”

“Kalau aku tidak memaafkanmu, tentu aku akan membunuhmu!” kata dara itu cemberut. “Dan aku tidak mau membunuhmu karena kami membutuhkan bantuanmu menghadapi Mahesa Meta.”

“Andika memang pintar sekali, membuat aku sama sekali tidak mengira bahwa andika seorang dara.”

“Sejak kecil aku memang suka berpakaian sebagai anak laki-laki, membuat aku lebih leluasa bergerak dan pergi ke mana saja. Kakang Sutejo, begitu sakitkah hatimu, begitu marahkah andika karena godaan-godaanku maka andika menghajarku?”

“Maaf nimas. Karena aku menyangka andika seorang pemuda remaja yang amat nakal menggodaku, maka sejak semula aku sudah mengambil keputusan untuk memukuli pinggulmu kalau andika sampai terjatuh ketanganku. Kalau saja aku tahu bahwa andika seorang dara, sampai matipun aku tentu tidak mau melakukannya.”

Agaknya setelah menggigit lengan Sutejo sampai berdarah, hati Retno Susilo sudah merasa puas dan ia tidak lagi memperlihatkan kemarahannya. Dua titik air mata yang masih tinggal di bawah matanya seperti embun di ujung daun, menambah kemanisannya. “Kakang Sutejo, aku sekarang menjadi khawatir.” Ia duduk kembali di atas bangku panjang itu dan tangannya mempersilahkan Sutejo untuk duduk di ujung bangku yang lain sehingga mereka duduk berjejer.

“Apa yang kau khawatirkan, nimas Retno Susilo?”

“Mahesa Meta itu sakti mandraguna, dan aku sudah melukai lengamu. Jangan-jangan luka di lenganmu itu menghalangi andika untuk memenangkan pertandinganmu melawannya.”

“Ah, sama sekali tidak, nimas. Jangan khwatir. Luka di lenganku hanya kulit dan sedikit dagingnya saja, bahkan setelah andika memberi obat sekarang rasanya sudah sembuh dan sama sekali tidak terasa nyeri. Dan tentang Mahesa Meta, kalau memang dia itu jahat aku tentu akan berusaha untuk mengalahkannya sekuat tenagaku.”

Gadis itu mengganguk. “Aku percaya bahwa engkau tentu akan menang, kakang Sutejo. Engkau telah dapat menangkan penggeroyokan kami bertiga. Andika ini masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Siapakah guru andika, kakang?”

“Guruku adalah seorang pertapa, nimas.”

“Ah, mengagumkan. Kalau begitu, gurumu tentulah seorang yang sakti mandraguna. Bolehkah aku mengetahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?”

“Guruku bernama Bhagawan Sidik Paningal dan tinggal di lereng Gunung Kawi.”

“Hebat, kiranya engkau seorang satria, murid seorang bhagawan, kakang. Aku sungguh merasa girang sekarang dapat bertemu dan berkenalan denganmu.”

“Andika juga hebat, nimas. Seorang dara yang masih sangat muda….”

“Muda? Usiaku sudah delapan belas tahun, kakang!”

“Benarkah? Akan tetapi kalau andika berpakaian pria, tampaknya seperti bocah yang baru empat belas tahunn usianya. Andika masih begini muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang sudah tinggi, bahkan kalau aku tidak keliru menilai, kepandaianmu lebih tinggi dari ayah dan pamanmu. Terutama sekali kepandaianmu dalam hal kecepatan gerakan. Dan andika demikian penuh keberanian dan ketabahan.”

Retno susilo memandang dengan senang. “Pandang matamu tajam bukan main, kakang. Dapat melihat dan membandingkan tingkat kepandaianku. Terus terang saja, selain menerima gemblengan dari ayah sendiri, akupun pernah selama beberapa tahun dijadikan murid seorang wanita sakti. Ia kebetulan merantau sampai ke daerah ini, bertemu dengan aku dan tertarik lalu memberi pelajaran aji kanurangan, terutama ilmu meringankan tubuh dan gerakan kilat.”

“Pantas saja ketika aku pernah mengejar andika, aku tidak dapat menyusul. Bolehkah aku tahu, siapa nama gurumu yang mulia itu dan di mana tempat tinggalnya?”

“Sudah kukatakan ia seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Ia seorang nenek yang usianya sudah enam puluh lima tahun dan nama julukannya adalah Nyi Rukmo Petak karena seluruh rambutnya sudah putih.”

Sutejo tidak pernah mendengar nama ini akan tetapi dapat menduga bahwa nenek yang menjadi guru Retno Susilo itu tentu seorang wanita yang sakti mandraguna. Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah luar rumah bagian depan. “Apa itu?” Retno Susilo bertanya.

“Mari kita lihat!” kata Sutejo dan keduanya sudah berlompatan dan lari keluar dari taman itu. Biarpun ia berpakaian wanita, namun Retno Susilo masih dapat bergerak dan berlari dengan cepat dengan menyingkap kainnya karena ia mengenakan celana sebatas betisnya. Setelah tiba di luar, ternyata Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo telah berhadapan dengan tiga orang laki-laki.

“Yang tinggi kurus itulah Mahesa Meta.” Kata Retno Susilo.

Sutejo memandang penuh perhatian sambil menghampiri. Mahesa Meta adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan wajahnya membayangkan kecongkakan. Kepalanya dikedikan, sepasang matanya memancarkan sinar kejam dan mulutnya juga tertarik membentuk senyum mengejek dan memandang rendah semua orang. Wajahnya yang kurus tinggal kulit membungkus tulang sehingga dari jauh dia tampak seperti tengkorak.

“Mahesa Meta!” seru Ki Munidngsosro dengan suara lantang.“Kiranya andika datang membawa kawan!”

Mahesa Meta tersenyum lebar dan sinar matanya menyambar ke arah Retno Susilo dan seolah melahap gadis itu. Agaknya dia heran melihat dara yang cantik jelita itu berada di situ. Kepada Sutejo dia sama sekali tidak memperdulikan dan menganggap pemuda itu hanya seorang anggota Sardula Cemen biasa saja. “Dua orang kawanku ini hanya datang sebagai saksi bahwa kalian tidak akan melakukan pengeroyokan atas diriku. Kita mempunyai perhitungan dan permusuhan, mari kita selesaikan satu lawan satu atau kalian boleh maju berbareng!” tantangnya. “Akan tetapi kalau anak buahmu semua maju mengeroyok, terpaksa dua orang kawanku ini akan turun tangan. Sardula Cemeng, hari ini aku Mahesa Meta akan membasmi kalian, kecuali kalau kalian semua menakluk dan menjadi anak buahku.

“Dan membiarkan andika memimpin kami untuk menjadi perampok dan penjahat? Lebih baik mati daripada mempunyai seorang pemimpin macam andika, Mahesa Meta!” kata Ki Mundingloyo dengan suara nyaring.

“Ha-ha-ha, memang yang membangkang akan mati ditanganku. Hanya yang menyerah saja akan dapat menjadi anak buahku. Sekarang siapakah diantara kalian berdua yang akan maju menandingiku? Ataukah kalian akan maju berdua mengeroyokku?” tantangnya sambil tertawa mengejek.

“Mahesa meta, manusia sombong! Kami tidak akan main keroyokan. Kami telah mempunyai seorang wakil yang akan menandingimu! Anak mas Sutejo, silakan!” kata Ki Mundingsosro.

Sutejo maju dengan langkah tenang menghadapi Mahesa Meta. Melihat yang maju hanya seorang pemuda yang tubuhnya tidak berapa besar, bahkan sikapnya sangat sederhana, Mahesa Meta tertawa bergelak. Juga dua kawannya yang semua bertubuh tinggi besar itu tertawa mengejek.

“Hua ha ha ha ha! Yang begini kalian ajukan sebagai jago? Suruh dia pulang ke pangkuan ibunya dan ajukan lawan yang lebih tangguh lagi. Kalian hendak menghinaku dengan mengajukan jagoan seperti ini, Mundingsosro?” Mahesa Meta tertawa sampai tubuhnya bergoyang-goyang.

“Mahesa Meta, tadinya aku masih sangsi untuk percaya apakah engkau benar yang jahat. Akan tetapi setelah melihat sikapmu dan mendengar omonganmu, baru aku yakin bahwa engkau memang seorang penjahat besar yang berwatak sombong. Sumbarmu seolah dapat meruntuhkan puncak gunung! Ketahuilah, aku sudah berjanji kepada Sardula Cemeng untuk menandingimu dan mengalahkanmu. Apakah engkau gentar dan takut melawan aku?”

"Hua ha ha ha! Takut melawanmu? Biar ada semacam andika ini sepuluh orang jumlahnya dan maju bersama, aku tidak akan takut! Akan tetapi , orang muda sebelum kuhancurkan kepalamu, katakana dulu siapa engkau?"

“Namaku Sutejo dan aku sudah siap untuk melawanmu, Mahesa Meta! Akan tetapi andika harus berjanji bahwa kalau andika kalah melawanku, selama hidupmu andika harus menjauhkan diri dari Sardula Cemeng dan tidak boleh mengganggu daerah wilayah ini lagi."

“Kalah olehmu? Hua ha ha ha, kalau aku sampai kalah olehmu, aku bersumpah tidak akan muncul lagi di dunia ramai!”

“Bagus kami semua mendengar sumpahmu Mahesa Meta.”

“Akan tetapi kalau andika yang kalah, jangan mengeluh kepada Dewata, karena andika tentu akan mati di tanganku.”

“Seorang gagah sudah berani maju bersanding, kematian bukan berarti apa-apa, Mahesa Meta. Aku sudah siap, mulailah!” Sutejo melangkah maju dan tidak membuka pasangan apa-apa, hanya berdiri sederhana dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya.

“Haiiiittt….!” Mahesa Meta sudah memasang kuda-kuda, kakinya terpentang lebar, tubuhnya merendah dan kedua tangannya dipasang di depan belakang dengan dua jari menunjuk ke atas. Pasangannya tampak gagah sekali sehingga diam-diam Retno Susilo mengerutkan alis dan menonton dengan hati berdebar penuh ketegangan. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo juga sudah melangkah mundur untuk memberi tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak bertanding itu.

“Majulah, Sutejo! Sekali terkena tendanganku, akan rontok igamu dan sekali terkena pukulanku, akan pecah kepalamu!” bentak Mahesa Meta dengan Suara lantang penuh gertakan.

cerita silat online karya kho ping hoo

Sutejo tersenyum. Dia tahuu bahwa orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun kesombongannya merupakan titik kelemahan yang akan mengurangi daya serangnya sendiri karena kesombongan itu sudah mengurangi kewaspadaan. “Andika adalah tamu, Mahesa Meta, maka andika berhak menyerang lebih dulu.” Kata Sutejo. Baru saja Sutejo berhenti bicara, Mahesa Meta sudah menerjang dengan dahsyat.

“Syyyaattttt…. Hehh!” Kakinya menendang dengan cepat dan ketika Sutejo mengelak ke samping, pukulan tangannya sudah menyusul, menyambar ke arah dada pemuda itu. Sutejo menggunakan lengan kirinya menangkis dan dia mengerahkan tenaga untuk menguji sampai di mana kekuatan lawan.

“Duukkk….!” Dua lengan bertemu dan Mahesa Meta terhuyung, sedangakn Sutejo hanya memindahkan langkah saja. Dari pertemuan tenaga tadi saja maklumlah Mahesa Meta bahwa pemuda sederhana yang menjadi lawannya itu ternyata memiliki tenaga yang amat kuat. Dia menjadi penasaran sekali dan cepat dia menerjang lagi dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya pada pukulan tangan kananya yang mengarah kepala Sutejo, agaknya dia hendak membuktikan sumbarnya bahwa dia akan memukul pecah kepala Sutejo. Sutejo maklum akan datangnya serangan yang disertai tenaga sepenuhnya itu, maka diapun mengerahkan Aji Gelap Musti dan menyambut pukulan itu dengan tangan terbuka.

“Wuuutttt…. Desss...!!” Tangan terbuka dan kepalan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Mahesa meta terguncang sampai gemetaran dan dia terhuyung-huyung ke belakang sedangkan Sutejo hanya melangkah dua kali ke belakang. Sepasang mata Mahesa Meta terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Dia yakin bahwa pukulannya tadi telah mengandung tenaga sepenuhnya namun pemuda itu mampu menangkisnya bahkan membuat dia terhuyung!

“Keparat!!” Makinya dan kini dia menyerang lagi, cepat sekali karena dia hendak mempergunakan kecepatan gerakannya untuk memperoleh kemenangan. Namun Sutejo dapat mengimbanginya dengan kecepatan secepat gerakan burung walet. Raihan tangan Mahesa Meta untuk mencengkram hanya dapat memegang angin dan semua pukulannya melesat karena tangkisan atau dapat dielakkan oleh Sutejo.

Sutejo bergerak dengan hati-hati karena dia maklum bahwa lawan ini cukup berbahaya. Dia lebih dulu memancing agar lawannya menghujankan serangan. Karena setiap serangan dilakukan dengan tenaga penuh, sedangkan dia lebih banyak mengelak, maka dengan cara itu dia dapat memeras tenaga lawannya. Pukulan yang tidak mengenai sasaran menghamburkan tenaga dan melelahkan.

Benar saja perhitungannya. Setelah bertanding seperempat jam tanpa pernah menghentikan serangnnya yang bersambung sambungan. Mahesa Meta mulai memburu napasnya dan keringatnya sudah membasahi muka dan lehernya. Makin bernafsu dia, semakin banyak tenaga terhambur. Sutejo tidak berniat mencelakai atau membunuh orang ini. Bukankah dia sudah bersumpah bahwa kalau kalah dia akan mengundurkan diri dan tidak menjadi penjahat lagi? Sebaliknya mengampuninya dan memberi kesempatan untuk bertobat. Karena itu, dia menanti sampai lawannya yang telah kelelahan itu menjadi lengah dan tiba-tiba kakinya menendang ke arah lutut kanan lawan. Tidak keras tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sambungan lutut, tak dapat dicegah lagi Mahesa meta jatuh berlutut dengan sebelah kakinya seperti orang menakluk!

Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Retno Susilo yang segera berseru, “Baru sebegitu saha andika telah bertekuk lutut minta ampun, Mahesa Meta? Sungguh tidak sepadan dengan sesumbarmu tadi!”

Wajah Mahesa Meta yang tadinya pucat kini berubah menjadi merah sekali karena malu. Dia menguatkan dirinya bangkit berdiri dan dengan napas terengah-engah dia meninggikan suaranya. “Aku masih belum kalah!” dan dia meloloskan sehelai sabuk rantai baja dari pinggangnya. “Sutejo, keluarkan senjatamu dan mari kita bertanding mempergunakan senjata!” tantangnya untuk menutupi rasa malunya karena tadi dia jatuh berlutut.

“Begitukah kehendakmu, Mahesa Meta? Baiklah, aku hanya menuruti kehendakmu!” Sutejo lalu melepaskan ikat kepalanya dan memegang ujung ikat kepala itu sambil menghadapi lawannya.

Mahesa meta membelalakkan matanya. Dia yang bersenjata rantai baja yang amat keras dan kuat itu hendak di hadapi dengan kain pengikat kepala? “Itukah senjatamu?” tanyanya ragu.

Sutejo memutar kain ikat kepalanya. “Inilah senjataku"

“Masa bodoh, engkau yang memilih sendiri. Sekali ini akan pecah dadamu, hancur kepalamu!” katanya dan dia mulai menyerang. Rantai baja itu menyambar, mengeluarkan suara berciutan saking cepat dan kuatnya.

Sutejo tetap mempergunakan ilmunya gerakan kijang, berlompatan dan mengelak, menyelinap di antara sambaran sinar rantai. Tadi saja bermain silat dan menyerang dengan tangan kosong. Mahesa meta sudah kehabisan tenaga, apa lagi kini harus memainkan rantai baja yang berat.Napasnya mulai ngos-ngosan lagi dan gerakan rantainya makin mengendur. Sutejo tahu bahwa tiba saatnya untuk mengalahkan lawan, maka sekali dia membentak, kain ikat kepala menyambar, ujungnya mengenai leher bawah telinga Mahesa Meta dan tubuh yang tinggi kurus itu terkulai roboh dan pingsan!

Retno susilo kembali bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat kemenangan Sutejo. Ketika itu, dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi datang bersama Mahesa Meta, sudah mencabut golok masing-masing dari punggung dan seperti dua ekor harimau marah mereka berdua melompat dan mengeroyok Sutejo.

“Hei, curang! Pengecut!” Retno Susilo berseru dan dara ini melompat ke depan, tangannya sudah memegang sebatang pedang dan iapun menyambut seorang di antara mereka yang mengeroyok Sutejo. Sutejo sendiri juga menggerakkan ikat kepalanya untuk menandingi yang seorang lagi.

Terjadilah perkelahian kedua yang berat sebelah. Tingkat kepandaian dua orang rekan Mahesa Meta itu tidak setinggi Mahesa Meta maka tentu saja yang melawan Sutejo menjadi kewalahan sekali. Bahkan yang ditandingi Retno Susilo juga menjadi pening kepalanya melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Retno Susilo bergerak dengan tangkas dan cepat sekali, dan baru belasan jurus saja ia sudah melukai paha orang itu dengan ujung pedangnya. Lawannya mengaduh dan roboh terguling. Pada saat itu Sutejo juga dapat menendang lawannya sehingga terpental dan roboh.

Retno Susilo hendak mengirim serangan susulan, ,akan tetapi tiba-tiba lengannya ada yang menyentuhnya. “Sudah cukup nimas. Tidak perlu membunuh mereka, berilah kesempatan kepada mereka untuk bertaubat.”

“Penjahat-penjahat macam mereka ini mana mungkin mau bertaubat, kakang? Kalau tidak dibasmi, kelak hanya akan menimbulkan bencana saja!” bantah Retno Susilo dan dengan pedangnya ia menyerang ke arah Mahesa Meta yang sudah mulai bergerak merangkak bangun.

“Plakk!” Pedang itu ditangkis oleh tangan Sutejo, lalu lengan Retno Susilo ditarik oleh Sutejo.

“Jangan sembarangan membunuh orang nimas. Hal itu amatlah tidak baik. Ampuni mereka.” Kata Sutejo.

Ki Mundingsosro juga berkata dengan suara nyaring kepada puterinya. “Biarkan mereka pergi Retno. Karena mereka itu sudah jera untuk menganggu kita lagi.”

Dengan bantuan dua orang kawannya yang lebih dulu bangkit, Mahesa Meta berdiri dan dipapah. Biarpun dia sudah terluka, namun sinar matanya masih penuh penasaran. Kini dia tidak lagi memusuhi Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo yang sudah dikalahkannya, akan tetapi dia memandang kepada Sutejo dengan sinar mata berapi.

“Sekali ini aku kalah olehmu, Sutejo, akan tetapi akan tiba saatnya aku membalas kekalahan ini.”

“Hemm, apa kukatakan tadi, kakang Sutejo. Orang macam ini mana bisa bertaubat dan menjadi orang baik?”

“Retno, jangan mencampuri.” Kata ayahnya.

“Ayah aku hanya mengkhawatirkan kakang Sutejo. Dia mengampuni orang-orang macam itu, mengharapkan mereka bisa bertaubat, akan tetapi sesungguhnya dia hanya membuat musuh-musuh baru yang kelak akan mencoba untuk membalas dendam.”

“Biarlah, nimas Retno. Kalau dia masih merasa penasaran dan kelak hendak mencariku untuk membalas dendam, akan kulayani.” Kata Sutejo.

Kini Mahesa Meta memandang kepada Retno Susilo dengan sinar mata berapi, “Engkau juga, gadis cilik. Kelak akan tahu rasa!” Setelah berkata demikian Mahesa Meta mengajak dua orang kawannya meninggalkan tempat itu.

Setelah tiga orang itu pergi, Ki Mundingsosro berkata kepada Sutejo. “Kami bertiga menghaturkan banyak terima kasih kepadamu, anakmas Sutejo. Tanpa bantuanmu mungkin kami semua telah binasa di tangan orang jahat itu. Marilah kita kembali keperkampungan. Ada satu hal yang ingin sekali saya bicarakan dengan andika.”

Sebetulnya Sutejo ingin melanjutkan perjalannannya dan tidak singgah lagi ke perkampungan Sardula Cemeng, akan tetapi Retno Susilo tanpa malu-malu memegang tangannya. “Kakang Sutejo marilah singgah dulu di rumah kami. Setelah engkau berhasil mengusir Mahesa Meta itu, engkau menjadi penolong dan tamu agung kami.”Ia menarik tangan Sutejo dan terpaksa Sutejo tidak dapat menolak lagi.

Setelah tiba di rumah, Ki Mundingsosro berkata kepada Retno Susilo. “Retno Susilo pergilah engkau ke dapur dan aturlah agar disediakan hidangan siang ini untuk menjamu anak mas Sutejo.”

“Baik, ayah.” Retno Susilo pergi ke dapur dengan senang hati.

Kini Sutejo duduk bertiga dengan Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo. “Urusan apakah yang hendak paman bicarakan dengan saya?” tanya Sutejo setelah mereka duduk berhadapan.

“Anakmas, bolehkah kami mengetahui berapa usiamu sekarang?” tanya Ki Mundingsosro sambil menatap wajah yang tampan itu penuh selidik.

Sutejo tersenyum, dan merasa heran akan tetapi dia menjawab juga sejujurnya. “Saya berusia dua puluh tahun, paman.”

“Apakah anakmas sudah beristeri?” Atau sudah bertunangan?” tanya pula tuan rumah dan sekali ini wajah Sutejo berubah kemerahan karena merasa tertegun dan rikuh mendengar pertanyaan tentang itu. Karena itu rasanya sukar baginya untuk menjawab dengan kata-kata, maka diapun hanya menggeleng kepalanya saja.

Gelengan kepala itu rupanya cukup bagi Ki Mundingsosro karena wajahnya menjadi berseri, “Bolehkah kami bertanya, siapa orang tuamu yang terhormat, anakmas Sutejo?”

Ditanya tentang orang tuanya, tiba-tiba wajah Sutejo yang biasanya cerah itu menjadi muram. Alisnya yang tebal berkerut dan sejenak dia memejamkan kedua matanya, tanpa menjawab. Akan tetapi Ki Mundingsosro menanti dengan sabar dan ketika Sutejo membuka matanya dan memandang kepadanya, dia terkejut. Ada sinar aneh mencorong dari mata pemuda itu. Dia menjadi terkejut sendiri dan khawatir kalau-kalau pemuda itu marah.

“Maafkan saya, anakmas. Kalau sekiranya anakmas tidak mau menjawab pertanyaan saya tadi, tidak mengapalah.”

Sutejo menggeleng kepalanya. “Bukan tidak mau menjawab, Paman, melainkan tidak bisa menjawab karena saya sendiri tidak tahu siapa ayah bundaku!”

“Eh, bagaimana pula ini, anakmas?” Ki Mundingloyo yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini tidak dapat menahan keheranannya. Bagaimana mungkin seseorang tidak mengetahui siapa ayah bundanya?

“Sesungguhnyalah, paman. Sejak berusia tiga tahun saya ditemukan dan dirawat guru saya. Bahkan beliau juga tidak tahu siapa orang tua saya. Agaknya tidak ada orang di dunia ini yang mengetahui siapa sebetulnya ayah bunda saya.”

“Aneh, sungguh aneh!” kata Ki Mundingsosro.“Akan tetapi, siapakah gurumu itu, anakmas?”

“Guru saya adalah Bhagawan Sidik Paningal, pertapa di lereng Gunung Kawi.”

“Hemmmm, kami pernah mendengar nama besar gurumu, anakmas. Bukankah beliau seorang tokoh besar dari perguruan Jatikusumo?” tanya Ki Mundingsosro.

Sutejo tidak heran mendengar ini. Memang dahuulu Resi Limut Manik terkenal dengan perguruannya Jatikusum dan mempunyai tiga orang murid yang terkenal di seluruh Mataram, yaitu Bhagawan Sindusakti, Bhagawan Sidik Paningal dan Bhagawan Jaladara. Akan tetapi setelah tiga orang murid itu meninggalkan puncak Semeru, perguruan itupun bubar. Dia sendiri belum pernah berhubungan dengan uwa dan paman gurunya, dan bertemu dengan Bhagawan Jaladara juga baru ketika sang Bhagawan itu mengunjungi gurunya dan memukulinya, kemudian dia berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan paman gurunya itu. Dengan Sang Bhagawan Sindusakti dia bahkan belum pernah bertemu sama sekali.

“Kiranya benar demikian, Paman. Akan tetapi saya tidak banyak mengetahui tentang perguruan itu.”

“Kalau begitu kami masih mempunyai harapan, anakmas. Sebetulnya niat kami adalah untuk memperat hubungan di antara kita dan kerena andika juga belum terikat pernikahan, maka kami bermaksud untuk menjodohkan anak kami Retno Susilo dengan anakmas. Dan untuk itu, kami akan menghubungi gurumu dan minta persetujuannya, atau tegasnya kami hendak mengusulkan perjodohan ini kepadanya. Tentu saja kalau anakmas menyetujui.” Kata Ki Mundingsosro dengan ramah.

“Ha ha ha, usul yang baik sekali!” kata Ki Mundingloyo sambil tersenyum. “Retno itu bandek bukan main dan agaknya hanya andika saja yang mampu mengendalikannya. Sebetulnya ia anak baik dan pemberani, juga mengenai kecantikannya, agaknya jarang ada yang dapat menyainginya, anakmas.”

Wajah Sutejo berubah kemerahan. Sungguh sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa dua orang itu akan mengajukan usul perjodohan seperti itu.Retno Susilo! Dia menjadi salah tingkah. Dia memang suka dan kagum kepada dara itu. Akan tetapi berjodoh dengannya? Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya, ,sedikitpun tidak pernah. Dia sama sekali belum pernah memikirkan perjodohannya, ,dengan siapapun juga. Masih jauh jalan yang harus dia lalui, masih luas pengalaman hidup yang harus ditempuhnya. Mana mungkin sekarang tiba-tiba mengikatkan diri dengan perjodohan? Hal itu berarti dia akan berhenti, ,berumah tangga membentuk keluarga! Padahal jangkauannya amat jauh, dia akan menghambakan dirinya kepada Sang Prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung yang arif bijaksana, menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya.

“Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, anakmas?Kami melihat kalian berdua serasi sekali. Retno susilo memiliki kepandaian yang melebihi kami dan dengan bimbingan anakmas kelak ia akan menjadi seorang wanita yang hebat.” Kata pula Ki Mundingsosro.

“Maaf, beribu maaf, paman berdua. Bukan sekali saya menolak usul andika berdua. Bahkan saya menghaturkan terima kasih sekali atas kepercayaan yang besar itu. Akan tetapi terus terang saja, untuk waktu sekarang ini saya sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Saya ingin meluaskan pengalaman dan pengetahuan dan untuk itu saya harus hidup seorang diri. Bukan berarti saya menampik nimas Retno Susilo. Ia bahkan mungkin terlalu baik untuk saya. Akan tetapi terus terang saja, untuk saat ini saya tidak dapat menerima usul itu. Saya masih ingin hidup sebatang kara dan bebas merdeka tidak terikat oleh apapun.”

Dua orang pria itu saling pandang dan mereka tampak kecewa. Akan tetapi karena alasan Sutejo kuat, mereka hanya dapat menghela napas dan Ki Mundingsosro berkata dengan lambat. “Kami dapat mengerti pendirian andika, anakmas. Akan tetapi kalau tiba saatnya bagi andika untuk memikirkan perjodohan, jangan lupakan Retno Susilo, jangan melupakan kami, anakmas. Kami masih selalu mengharapkanmu…”

“Ah, saya tidak berani menjanjikan apa-apa, paman. Nimas Retno Susilo adalah seorang gadis yang cantik jelita dan pandai. Kalau memang ada seorang perjaka yang meminangnya dan ia setuju, jadikan saja perjodohan itu, jangan menunggu saya. Saya khawatir kalau-kalau paman akan menunggu dengan sia-sia. Siapa tahu saya tidak akan mengikatkan diri dengan perjodohan selamanya.”