Perawan Lembah Wilis Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 23

Tiga bayangan hitam yang amat gesit berkelebat di antara kegelapan bayang-bayang pohon di dekat pondok. Waktu itu sudah jauh lewat tengah malam, bahkan hampir pagi. Hawa udara amatlah dinginnya dan keadaan amat sunyi, kesunyian yang tidak wajar karena semua penjaga di sekitar pondok itupun ikut pula tertidur di tempat penjagaan. Ini hanya menjadi tanda bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi, bahwa malam itu penuh dengan hawa mujijat aji penyirepan yang dipasang oleh Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama. Kini tiga orang sakti itu telah berkelebat di sekitar pondok. Semua terjadi sesuai dengan rencana dan siasat Raden Warutama.

Setelah ia tadi berhasil menjadi tamu Endang Patibroto, dia menyebar sirep dan berhasil menyelinap keluar dari pondok, diam-diam menemui Dewi Nilamanik dan Kolohangkoro, kemudian setelah berunding sebentar, mereka bertiga kembali ke pondok,

"Mari masuk bersama dan mengeroyoknya sampai mampus!" bisik Ki Kolohangkoro yang sudah amat bernafsu untuk membunuh Endang Patibroto yang sore hari tadi telah mengalahkannya.

"Sttt, jangan sembrono!" bisik Raden Warutama. "Turut rencanaku. Anaknya di taman situ, di pohon sore tadi. Kalian tahu harus berbuat apa. Cepat...!"

"Mari, Kolohangkoro, jangan banyak membantah," kata Ni Dewi Nilamanik.

Rencana tadi telah mereka rundingkan, yaitu kedua orang ini akan pergi ke taman untuk menculik Retna Wilis. Adapun Raden Warutama sendiri yang akan memasuki kamar Endang Patibroto, karena andaikata ketahuan oleh wanita sakti itu, akan mudah baginya mencari alasan. Berbeda sekali tentu kalau dua orang bekas lawan Endang Patibroto itu ikut masuk, tentu akan membuka rahasia kalau ketahuan oleh si wanita sakti.

Dua orang yang berkelebat cepat seperti setan itu sebentar saja sudah tiba di bawah pohon. Mereka girang sekali, terutama Ki Kolohangkoro, ketika melihat bahwa Retna Wilis masih bergantung di cabang pohon. Diam-diam mereka menjadi amat kagum. Bocah itu menggantung dengan kedua kakinya, kelihatan seperti tidak bernyawa saja, dengan tubuh kelihatan enak dan tidak kaku, seolah-olah tidur dalam keadaan seperti itu merupakan sebuah kenikmatan.

"Biar kutangkap dia!" kata Ki Kolohangkoro tidak sabar.

Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik ia sudah meloncat ke atas, kedua tangannya diulurkan menjangkau tubuh Retna Wilis, hendak mencengkeram dan merenggut tubuh kecil itu terlepas dari batang pohon.

"Aaaggghhh....!" Tubuh Ki Kolohangkoro yang tinggi besar itu terlempar kembali ke bawah, jatuh berdebuk seperti buah nangka busuk, lalu dia merintih diselingi kutuk caci sambil memegangi lehernya.

Ternyata bahwa ketika tangannya tadi mencengkeram, tiba-tiba tangan kanan Retna Wilis bergerak dan memukul lehernya. Gerakan yang tiba-tiba dan otomatis. Sungguhpun anak itu masih amat kecil, namun keadaan samadhi berjungkir-balik itu ternyata mendatangkan tenaga ajaib kepadanya, dan pukulannya tadi dilancarkan secara otomatis karena dia telah terganggu samadhinya. Pukulan bukan sembarang pukulan karena itu adalah Aji Wisangnala dan mengandung tenaga mujijat hasil samadhi semalam suntuk.

Dan kiranya Ki Kolohanghoro tidak akan mungkin dapat terpukul sedemikian mudahnya kalau ia berhati-hati. Akan tetapi kakek yang sembrono ini tentu saja tadi memandang rendah calon korbannya, seorang anak perempuan yang baru berusia lima enam tahun!

"Itulah hasilnya kalau kau berlaku sembrono!" kata Ni Dewi Nilamanik.

Ki Kolohangkoro sudah bangkit lagi dan pada saat itu tubuh Retna Wilis sudah melayang turun dengan ringannya, bocah ini sudah berdiri berhadapan dengan mereka. Sepasang mata kecil yang bening itu memandang, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, malah membayangkan kemarahan.

"Kalian ini siapa? Berani benar mengganggu aku yang sedang latihan. Kalau ibu mengetahui tentu kalian akan dibunuh sekarang juga. Eh, di mana ibu?" Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian kembali menghadapi dua orang asing itu, penuh kecurigaan.

"Anak baik, marilah kau ikut bersama kami. Ibumu yang menyuruh kami menjemputmu. Marilahl" kata Ni Dewl NIlamanik sambil mengulurkan tangan, suaranya manis dan ramah.

"Tidak! Tidak ! Kalian bukan orang baik-baik! Aku tidak mau!" Retna Wilis mundur-mundur dan kedua tangannya dikepal menjadi tinju-tinju kecil.

"Huah-ha-ha-ha! Kau anak nakal, darahmu tentu manis sekali. Mari ikut bersamaku, kupondong...."

Ki Kolohangkoro menubruk, Retna Wilis mengelak dari kiri dan memukul. Akan tetapi kali ini tentu saja Ki Kolohangkoro sudah siap. Sekali ia menyambar, ia sudah menangkap tangan kanan Retna Wilis yang memukulnya dan sekali ia membetot, tubuh bocah itu sudah diangkat dan dipeluknya. Namun Retna Wilis bukanlah sembarang anak kecil. Ia tidak merasa takut, malah menggunakan tangan kirinya menusuk dengan jari-jari kecilnya ke arah mata Ki Kolohangkoro!

"Ha-ha-ha, tiada ubahnya seekor anak macan!" Ki Kolohangkoro kembali menangkap lengan kecil itu sehingga kini kedua lengan Retna Wilis berada dalam cengkeraman tangan kirinya.

Retna Wilis mehonta-ronta dan berusaha menendangkan kedua kakinya, akan tetapi karena tubuhnya kini sudah dikempit, ia tidak lapat bergerak lagi.

"Lepaskan.... Lepaskan aku, engkau setan tua bangka....!"

Kemudian anak ini menggunakan giginya yang kecil-kecil dan kuat untuk menggigit tangan yang mencengkeram kedua lengannya!

"Huah-ha-ha, benar-benar anak setan!" Ki Kolohangkoro tertawa dan tentu saja lengan dan tangannya yang berbulu dan berkulit tebal kuat dan kebal itu tidak terluka oleh gigitan Retna Wilis.

"Hayo cepat kita pergi..." kata Ni Dewi Nilamanik yang merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ibu anak ini muncul. Ia sudah merasa jerih untuk menghadapi Endang Patibroto yang selain sakti mandraguna, juga amat liar dan ganas sehingga kalau tahu puterinya diculik tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat menghancurkan kepala mereka! Mereka lalu meloncat dan berlari cepat menuruni puncak.

Sementara itu, dengan jantung berdebar keras, Raden Warutama mengintai dari celah-celah pintu kamar Endang PatIbroto. Ia tidak dapat melihat sesuatu, hanya dapat mendengar tarikan napas yang teratur dan halus, tanda bahwa orang yang berada di dalam kamar tengah tidur nyenyak. Ia sudah mempersiapkan akal kalau-kalau Endang Patibroto terbangun. Setelah menguatkan hatinya, ia mendorong daun pintu kamar. Bau yang harum menyambut hidungnya yang sejuk memasuki kamar melalui lubang-lubang angin yang terdapat di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu kecil bernyala dl atas lemari di sudut kamar. Namun pandang mata Raden Warutama melekat pada sesosok tubuh yang membujur terlentang di atas dipan yang bertilam merah muda. la terpesona!

Endang Patibroto tidur nyenyak di atas dipan itu. Tidak berselimut. Tubuh yang padat itu hanya melawan hawa dingin dengan pakaian yang dipakainya lepas-lepas sehingga sebagian dadanya dan betisnya tampak. Kepalanya terletak miring di atas bantal, lengan kiri melintang di atas dahi, lengan kanan di atas perut yang kempis langsing. Rambutnya terurai kacau, menutupi sebagian muka dan leher, amat hitamnya.

Raden Warutama menahan napas. Alangkah indahnya penglihatan ini. Endang Patibroto bukan seorang gadis remaja lagi, bukan pula seorang wanita muda, melainkan seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun. Wanita yang matang! Namun setelah tertidur seperti itu, benar-benar merupakan seorang wanita cantik jelita menggairahkan, seperti Sang Dewi Komaratih sendiri, penuh dengan daya tarik yang sukar dilawan oleh pria yang manapun. Warutama tampak melamun, berulang kali menghela napas, kemudian tangannya bergerak dan tercabutlah sebatang keris yang mengeluarkan sinar hijau, kakinya berindap-indap melangkah maju menghampiri pembaringan.

Endang Patibroto benar-benar sedang tidur nyenyak. Kesedihan membuatnya seperti terbius, padahal semua aji penyirepan tadi sama sekali tidak pernah membiusnya. Namun kesedihan merupakan pembius yang amat ampuh sehingga ia masih tidak sadar sama sekali betapa nyawanya terancam maut. Kalau Raden Warutama pada saat itu menerjang dan menusukkan kerisnya, tentu akan tewaslah Endang Patibroto. Akan tetapi Warutama meragu, setelah dekat pembaringan, makin hebatlah ia terpesona.

Kini tampak makin jelas wajah yang ayu itu, dada yang membusung mengalun halus, mulut yang berbentuk indah itu setengah terbuka dengan bibir yang merah menantang dan di baliknya tampak kilau deretan gigi putih. Kedua kaki Warutama gemetar. Ah, betapa sayangnya kalau dibunuh begitu saja, pikirnya. Ia mulai memutar otak mencari akal agar supaya bisa mendapatkan tubuh yang mebuatnya gandrung ini. Akan tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan, kerisnya masih menodong lambung. Dia harus dibuat tidak berdaya, pikirnya, sehingga aku dapat menggagahinya. Setelah itu, harus membunuhnya.

Raden Warutama memang cerdik. Kalau ia hanya menggunakan tali atau kain untuk mengikat kaki tangan Endang Patibroto, tentu ia akan gagal karena sebelum berhasil membelenggu wanita sakti itu tentu sudah sadar dan celakalah dia. Kini Warutama mengangkat tangan kiri dengan jari tangan terbuka, mengukur jarak dan tenaga, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian tangan itu dengan cepat sekali menyambar ke bawah, tepat menghantam tengkuk Endang Patibroto di belakang telinga kanan.

"Ngekk....! Aauhhhhhh... Kedua mata Endang Patibroto terbelalak sekejap ketika pukulan itu mengenai tengkuknya, mulutnya merintih lirih dan matanya lalu terpejam, tubuhnya lemas dan ia pingsan.

Iblis dan setan tertawa ria menyaksikan hasil kemenangan kejahatan, puas gembira menyaksikan perbuatan terkutuk yang dilakukan Raden Wautama di malam jahanam itu. Perbuatan-perbuatan jahanam yang terkutuk seperti yang dilakukan Raden Warutama masih akan terus merajalela menguasai hati manusia. Setan-setan dan iblis masih akan terus menguasai manusia yang berbatin lemah, yang tidak kuasa mengendalikan nafsu-nafsunya dan yang hanya ingin melampiaskan nafsu yang menjerumuskan mereka ke jalan sesat.

Makin sunyi keadaan di pondok pusat Padepokan Wilis itu karena semua penjaganya, anak buah Padepokan Wilis masih nyenyak di bawah pengaruh aji penyirepan, tidak tahu sama sekali bahwa di padepokan telah terjadi malapetaka hebat menimpa diri ketua mereka. Sunyi sepi, bahkan kerik jengkerik dan nyanyi kutu-kutu walang atogo terhenti seolah-olah ikut merasa ngeri dan prihatin atas terjadlnya perbuatan terkutuk itu.

Hanya kadang-kadang saja terdengar suara menyeramkan burung hantu yang seperti kekeh iblis sendiri beriang gembira menyaksikan tingkah manusia pengabdi nafsu, seolah-olah binatang yang tidak mempunyai peradaban lagi. Dan selain kekeh burung hantu itu, dari dalam pondok terdengar kekeh penuh kepuasan dari mulut Raden Warutama ketika ia melihat korbannya tergeletak tak berdaya di hadapannya.

Kemudian hanya sunyi, sunyi yang menyayat hati. Endang Patibroto merintih lirih, menggerakkan kaki tangannya namun tidak dapat. Kepalanya nanar sekali dan ia merasa heran mengapa kaki tangannya tak dapat ia gerakkan. la membuka mata, cepat memejamkan kembali karena begitu matanya dibuka, kepalanya makin pening. Ia mengejap-ngejapkan matanya, kemudian membukanya perlahan-lahan.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kaki tangannya terpentang dan terikat dengan kainnya sendiri pada kaki pembaringan! Dan Raden Warutama tampak berdiri di kamar, sedang mengenakan pakaian! Melihat keadaan dirinya yang tak berpakaian lagi, melihat Raden Warutama, wanita sakti ini seketika maklum apa yang telah menimpa dirinya. Ia hampir pingsan lagi namun dikuat-kuatkan dirinya.

"Heh-heh, engkau sudah sadar, manis?" Raden Warutama yang baru selesai berpakaian itu, membalikkan tubuh, keris bersinar hijau di tangan kanannya, lalu melangkah maju. "Sudah tercapai hasratku memilikimu, Endang Patibroto, dan sekarang bersiaplah untuk mati!"

Sambil berkata demikian, Raden Warutama mengangkat kerisnya, siap menusuk. Pada saat itu, pada detik yang mengerikan itulah Endang Patibroto teringat akan wajah pria yang menyeringai di depannya.

"Sindupati.... !!"

Keris yang sudah siap menusuk itu terhenti. Wajah Raden Warutama pucat. Akan tetapi ia lalu tertawa. "Ha-ha-ha, engkau mengenalku, Endang Patibroto? Lebih baik lagi, agar engkau tidak mati penasaran...." Kembali tangan itu menegang.

Tiba-tiba terdengar pekik melengking keluar dari mulut Endang Patibroto. Itulah Aji Sardulo Bairowo yang hebat luar biasa. Pekik ini seolah-olah gerengan seribu ekor harimau marah, menggetarkan seluruh puncak Wilis, membuat pondok seolah-olah hendak roboh. Dalam kemarahannya dan sakit hati yang meluap-luap, Endang Patibroto memekik, merenggutkan kaki tangannya dan dalam beberapa detik saja ikatan kaki tangannya hancur semua.

Raden Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati makin pucat, tubuhnya menggigil dan cepat sekali ia sudah meloncat keluar pintu kamar itu dan melarikan diri, berlindung pada kegelapan akhir malam.

Endang Patibroto hendak meloncat keluar, namun ia teringat akan keadaannya yang telanjang bulat. Cepat ia menyambar ke arah tempat pakaian, mengambil kain dan baju, dikenakannya dengan cepat sekali, namun betapapun juga, sudah memberi banyak waktu kepada Raden Warutama. Ketlka wanita saktl itu melompat keluar, datanglah berbondong anak buah Padepokan Wilis. Kiranya pekik sakti Sardulo Bairowo tadi telah membuyarkan aji penyirepan dan mengagetkan serta membangunkan semua anak buah yang melakukan penjagaan. Mereka berlarian dan berada dalam keadaan panik karena memang belum pernah mereka mendengar pekik saktil ketua mereka yang sedemIkian hebatnya.

"Kejar.... ! Cari dia .... ! Tangkap atau bunuh Warutama.... !"

"Siapa....? Di mana....?" Anak buah Padepokan Wilis bingung sendiri.

"Tamu yang semalam berada di sini! Endang Patibroto membentak. "Cepat ke.... jar, dia lari...!"
Ketika para anak buahnya berserabutan lari mencari, Endang Patibroto sendiri cepat-cepat lari menuju ke taman karena ia teringat akan puterinya. Dengan beberapa lompatan saja ia sudah tiba di bawah pohon dan ia berdiri terpaku di situ ketika melihat pohon itu sudah kosong, Retna Wilis tidak ada lagi tergantung di cabang pohon.

"Anakku...!!" Endang Patibroto menjerit.

Jerit tertahan dan ia benar-benar terkejut, gelisah, bingung dan berduka di samping kemarahannya yang makin berkobar. la maklum bahwa dirinya telah tertimpa malapetaka hebat, penghinaan luar biasa yang tiada taranya, ia telah dibuat pingsan oleh Raden Warutama atau Raden Sindupati musuh besar-nya itu, dan tahu pula bahwa ia telah diperkosa dalam keadaan pingsan. Malapetaka ini hebat bukan main, akan tetapi lenyapnya Retna Wilis lebih hebat dan lebih berat lagi rasanya. Bagaikan seorang gila, Endang Patibroto lalu berlari-lari cepat sekali mencari-cari di seluruh puncak, lalu turun ke lereng-lereng, ke lembah-lembah. Anak buahnya hanya melihat ketua mereka itu berkelebatan amat cepatnya, juga di antara para tamu calon pengikut sayembara di kaki dan lereng bukit, ada yang melihat wanita sakti ini berkelebatan sampai siang keesokan harinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Anakku...! Retna Wilis....!" Endang Patibroto memanggil-manggil, mencari-cari, diseling caci makinya, "Si keparat Sindupati! Kau tunggu saja, akan kulumatkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu!" Dan akhirnya, beberapa anak buah Padepokan Wilis yang ikut mencari-cari tanpa aturan, menemukan ketua mereka itu menggeletak pingsan di pinggir jurang. Mereka terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lalu mengangkat tubuh ketua mereka itu, membawa pulang ke puncak dan merawatnya di dalam pondok.

"Lepaskan aku.... Lepaskan...!"

Di sepanjang jalan Retna Wilis meronta-ronta terus, memaki-maki, setiap kali mendapat kesempatan tentu memukul, mencakar, menjambak, menggigit. Akan tetapi semua itu sia-sia belaka. Ia berada dalam pondongan dua lengan Ki Kolohangkoro yang kuat dan tubuh raksasa itu memang kebal.

Biarpun sejak kecil sudah digembleng hebat, tenaga seorang kanak-kanak berusia lima enam tahun saja tentu tidak berarti bagi Ki Kolohangkoro yang dapat menerima bacokan senjata tajam sambil tertawa enak.

Ki Kolohangkoro sambil tertawa-tawa memperlakukan Ratna Wilis sebagai sebutir buah delima yang membuatnya mengilar. Dibelainya, diciumnya kepala dan tengkuk anak itu, dijilati dan kalau tidak berkali-kali dilarang oleh Ni Devil Nilamanik, tentu sudah digigitnya leher Ratna Wilis, disedotnya darah anak itu sampai habis, diganyangnya daging yang lunak manis, dihisapnya sumsum dalam tulang muda yang segar!

Mereka berdua sudah berhasil menuruni Gunung Wilis, menjauhi kaki Wilis, bahkan pagi hari itu Raden Warutama sudah pula menyusul mereka, bertemu di tempat yang memang sudah mereka rundingkan sebelumnya.

"Ha-ha-ha, bagaimana, Raden? Berhasilkah membunuh Endang Patibroto?" bertanya Ki Kolohangkoro begitu Raden Warutama muncul di dalam hutan di mana keduanya tadi duduk menanti.

Retna Wilis yang mendengar pertanyaan ini menjadi pucat mukanya dan matanya yang bening terbelalak memandang laki-laki gagah yang baru muncul.

Raden Warutama menggeleng-geleng kepala dan alisnya berkerut. Ia sungguh merasa tidak puas kepada dirinya sendiri. Mengapa tldak langsung dibunuhnya saja Endang Patibroto selagi pingsan? Kalau ia melakukan hal itu, tentu sekarang Endang Patibroto sudah mati dan tidak akan khawatir dan pusing-pusing lagi. Akan tetapi ia begitu bodoh untuk memuaskan nafsunya dan setelah hal itu terlaksana, akhirnya ia tidak merasa puas juga, bahkan kecewa.

Endang Patibroto berada dalam keadaan pingsan seperti orang mati, dan sekarang, karena ia menurutkan nafsu, ia gagal membunuh Endang Patibroto, bahkan menanamkan dendam dan kebencian luar biasa. Wanita itu telah mengenalnya pula. Mengingat ini, Raden Warutama bergidik dan diam-diam ia menggigil penuh kengerian. Akan tetapi di depan kedua orang itu ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya dan hanya berkata,

"Dia terlampau sakti untuk dapat dibunuh dengan mudah. Aku gagal, akan tetapi syukur, kalian berhasil. Kita harus menjadikan puterinya ini sebagai tanggungan agar dia tidak mencelakai kita."

"Tadi dia ini sudah menjadi milikku, Raden! Darah dan dagingnya akan menyempurnakan Kolokroda yang kulatih."

"Dan engkau akan mati tersayat-sayat oleh Endang Patibroto! Jangan bodoh, Ki Kolohangkoro. Dia amat sakti, sukar dilawan..."

Ni Dewi Nilamanik menyela. "Tidak perlu diributkan hal ini. Kaupun harus bersabar dulu, Kolohangkoro. Yang terpenting adalah terlaksananya rencana kita terhadap Jenggala. Adapun bocah ini, biar kita minta pertimbangan sang wasi bagaimana baiknya karena hanya sang wasi yang akan mampu menandingi Endang Patibroto."

Mereka melanjutkan perjalanan dan kini Retna Wilis yang sudah yakin bahwa tiga orang ini adalah musuh-musuh ibunya, menjadi makin keras berusaha untuk melepaskan diri.

"Lepaskan aku! Kalian orang-orang biadab! Kalian orang-orang tak tahu malu, pengecut laknat yang patut mampus seribu kali! Muka kalian begini tebal, beraninya hanya sama anak kecil! Kalau memang berani, hayo kembalikan aku kepada ibu dan hendak kulihat berapa jurus kalian bertiga ini sanggup bertahan sebelum mampus di tangan ibuku!"

"Hemm, bocah ini tajam lidahnya!" Raden Warutama mencela marah.

"Nyalinya besar, dia tidak mengenal takut," kata Ni Dewi Nilamanik.

"Dan darahnya tentu mempunyai kekuatan mujijat, tulangnya bersih.... hahha-ha!" dengus Ki Kolohangkoro yang merasa kecewa mengapa ia belum diperkenankan melahap darah daging anak.

"Kalian orang-orang biadab! Lepaskan aku! Lepaskan !" jerit Retna Wilis sambil meronta-ronta sehingga terpaksa Ki Kolohangkoro membungkam mulut yang kecil itu dengan telapak tangannya yang lebar.

Akan tetapi terlambat. Jerit Retna Wilis tadi sudah terdengar orang. Buktinya, terdengar orang berlari ke arah mereka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali. Pemuda ini pakaiannya amat indah akan tetapi sudah agak kotor, wajahnya berkulit kuning bersih, matanya menyorotkan ketajaman luar biasa, dan ia amatlah tampannya sehingga Ni Dewi Nilamanik yang memandangnya sampai terpesona.

"Hemm, mengapa anak itu menjerit jerit? Kalian apakan dia?" pemuda itu menegur sambil memandang kepada Retna Wilis yang dibungkam mulutnya.

"Waaahh, bedes! Mau apa banyak tanya-tanya? Dia ini anakku, hayo lekas kau minggatl" bentak Ki Kolohangkoro sambil memelototkan matanya agar pemuda remaja itu menjadi takut.

"Bukan... dia bohong... aku bukan anaknya...." Retna Wilis sempat menjerit sebelum Ki Kolohangkoro mendekap mulutnya.

Pemuda itu segera melompat ke tengah jalan menghadang, sikapnya keren dan suaranya nyaring ketika ia berkata,

"Kisanak, aku tidak mengenal andika bertiga dan aku sama sekali tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi jelas bahwa anak ini kalian bawa di luar kehendaknya, maka kuharap andika bertiga suka menaruh kasihan kepadanya dan membebaskannya... !!"

"Ehhh, kunyuk kecil benar cerewet engkau!" Ki Kolohangkoro dengan marah lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kanannya, sedangkan lengan kiri tetap memondong Retno Wilis. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya Ketika pemuda yang dipandang rendah itu dengan gerakan indah sekali dapat mengelak dari tamparannya, bahkan dari samping, tangan pemuda itu menjangkau cepat sekali hendak merampas tubuh Retna Wilis!

"Aehhh, kau berani melawan?" Ki Kolohangkoro sudah meloncat mundur, kemudian dengan beringas ia menerjang maju lagi, menggunakan lengan kanan dan kaki untuk menyerang bertubi-tubi. Gerakan tangan dan kaki raksasa ini menimbulkan angin saking kerasnya. Pemuda itu berseru kaget dan cepat-cepat mengelak karena ia tahu bahwa raksasa yang menculik anak itu benar-benar amat tangguh.

"Dewi, kaubunuh dia yang sudah mengetahui tentang penculikan," kata Raden Warutama kepada Ni Dewi Nilamanik.

Wanita ini mengangguk, maklum bahwa memang pemuda tampan itu merupakan bahaya bagi mereka. Tubuhnya melayang ke depan dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan pemuda itu. Melihat majunya Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkorolalu mundur dan menyeringai lebar.

"Bocah bagus, sayang sekali ketampananmu, engkau harus melepaskah nyawa sekarang juga..." kata wanita itu dengan suara merdu dan ramah, akan tetapi secepat kilat, tangan kirinya yang kecil dengan jari tangan terbuka sudah meluncur ke depan menempiling kepala pemuda Itu. Biarpun tangan kecil itu berkulit halus, namun kepala yang kena dItempiling tentu akan retak atau setidaknya akan berantakan isinya.

Pemuda itu kini melihat munculnya wanita cantik yang gerakannya aneh, tidak berani memandang ringan, lalu mengangkat tangan kanan menangkis. Lengannya bertemu dengan lengan kecil yang lunak, akan tetapi aklbatnya, tubuhnya terpental ke belakang. Pemuda itu terbelalak kaget, merasa betapa lengan kanannya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum, dan rasa ngilu sampai menusuk di bahu kanan. Adapun Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum manis namun senyum yang membayangkan maut, sudah melangkah maju, kebutan merah menggetar di tangannya!

"Matilah dengan tenang, bocah bagus... !" kata Ni Dewi Nilamanik, kebutannya bergerak ke atas mengeluarkan bunyi ledakan nyaring.

Tiba-tiba terdengar Ki Kolohangkoro berteriak kaget dan marah, "Heiii...!! Kembalikan anak itu...!"

Pada detik berikutnya terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik karena kebutannya yang ia hantamkan ke arah pemuda itu tiba-tiba terlepas dari pegangannya dan sudah berpindah ke tangan seorang -kakek tua yang ternyata telah memondong Retna Wilis yang sudah dirampasnya tadi dari tangan Ki Kolohangkoro!

Raden Warutama tadi menyaksikan betapa bayangan hitam menyambar-nyambar disusul teriakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik, kemudian melihat betapa secara aneh sekali puteri Endang Patibroto telah dirampasnya, bahkan sekaligus kakek itu menyelamatkan si pemuda dan merampas kebutan merah dari tangan Ni Dewi Nilamanik. Bukan main hebatnya gerakan itu sampai ia melongo keheranan melihat kakek itu. Juga Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terbelalak memandang.

Kakek itu sama sekali tidak kelihatan aneh, bahkan biasa saja, terlalu biasa tidak menimbulkan kesan. Seorang kakek sederhana yang tubuhnya kecil kate, rambutnya masih hitam tidak terawat baik, pakaiannya serba hitam. Pantasnya dia seorang petani miskin. Namun pandang matanya lembut dan mengandung sesuatu yang jarang terdapat pada orang lain.

"Kembalikan anak itu!" Ki Kolohangkoro dengan marah menubruk maju.

Kakek itu tidak bergerak dari tempatnya, hanya memandang tajam dan mendorongkan tangan kirinya ke depan, sedangkan lengan kanan memondong tubuh Retna Wilis. Tiba-tiba saja tubuh Ki Kolohangkoro terhenti di tengah jalan lalu terpelanting roboh. Ia menggereng, bangkit dan menubruk lagi, akan tetapi kembali terbanting sebelum dapat menyentuh kakek itu. Makin keras ia menubruk, makin keras pula ia terbanting sehingga akhirnya ia duduk terlongong dengan kepala pening dan mata juling!

"Eh, si keparat. Siapakah andika seorang tua yang lancang tangan mencampuri urusan orang lain?" bentak Ni Dewi Nilamanik sambil melangkah maju, namun ia masih ragu-ragu untuk menyerang, melihat betapa pukulan jarak jauh kakek itu tadi amat kuatnya.

"Wah, mulutmu memang tajam, Nilamanik!" Tiba-tiba Retna Wilis yang berada dalam pondongan kakek itu berkata. Bocah ini tadi ketika berada dalam tawanan saja sudah memperlihatkan sikap berani menentang, apalagi sekarang setelah mendapat pertolongan seorang kakek sakti. "Sudah jelas kalian bertiga yang menculik aku dan Eyang guru ini menolongku, berani bilang beliau lancang tangan? Tidak tahukah kau bahwa beliau ini calon guruku? Eyang guru, harap sikat saja mereka ini. Mereka ini orang-orang jahat! Siluman betina ini namanya Ni Dewi Nilamanik, itu yang seperti Buto Terung itu namanya Ki Kolohangkoro dan yang satunya lagi, tampan tetapi palsu adalah Warutama." Retno Wilis mengerti akan nama-nama mereka ketika mendengarkan percakapan mereka di sepanjang jalan. "Kalau ada ibuku, tentu mereka ini sudah dibunuh semua. Dasar pengecut, beraninya hanya kepada anak kecil, kalau menghadapi ibuku, ketua Padepokan Wilis, belum apa-apa tentu sudah menggigil!"

"Puja-puji untuk para dewata!" kakek itu berkata lirih, suaranya halus dan tenang. "Jadi engkau ini puteri Endang Patibroto ketua Padepokan Wilis?"

"Benar, Eyang Guru. Namaku adalah Retna Wilis. Harap kau suka mengajarku ilmu pukulan seperti tadi agar aku dapat merobohkan siluman-siluman tengik ini."

Kakek ini mengangguk-angguk. "Sebagai pengikut-pengikut Wasi Bagaspati, tentu saja mereka suka menggunakan siasat kotor. Engkau ingin mengalahkan mereka? Kalau engkau kusuruh, maukah melawan mereka?"

Retno Wilis melorot dari pondongan kakek itu. "Eyang telah menjadi Guruku, segala perintah Eyang tentu akan kutaati. Haruskah aku menyerang mereka?"

Kembali kakek itu mengangguk-angguk. "Perbuatan sesat memang perlu dihukum, itu baru adil namanya. Mereka telah menculikmu, membikin engkau seorang anak kecil mengalami kesengsaraan. Hukumlah mereka, pergunakan cambuk ini." Kakek itu menyerahkan cambuk merah, atau kebutan, yang dirampasnya dari tangan Ni Dewi Nilamanik tadi.

Retna Wilis dengan sikap gagah dan tabah melangkah maju, kebutan merah dipegang gagangnya dengan erat ditangan kanan. Ia menghampiri Ki Kolohangkoro dengan pandang penuh kebencian dan kemarahan. Raksasa itu memandang terbelalak, akan tetapi juga girang karena kini ia mendapat kesempatan untuk menangkap lagi bocah ini. Ia akan menyambarnya dan membawanya lari sebelum kakek sakti yang aneh itu dapat merampasnya kembali.

"Retna Wilis, seranglah dia, hajar dia!" terdengar kakek itu berseru.

Retna Wilis dengan hati tabah lalu menerjang maju, menghantamkan kebutan itu ke arah paha Ki Kolohangkoro. Si Raksasa tertawa bergelak, tidak memperdulikan pukulan kebutan, bahkan la lalu menubruk maju hendak mencengkeram dan menyambar tubuh Retna Wilis. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba tangan dan kakinya tidak dapat ia gerakkan lagi, atau tertahan oleh sesuatu sehingga terhenti di tengah jalan.

"Tar-tar!" Cambuk itu menghajar pahanya, biarpun tidak begitu sakit akan tetapi karena tenaga Retna Wilis memang sudah terlatih, celananya robek di bagian paha, Retna Wilis terus mencambuki, dan tiap kali Ki Kolohangkoro hendak bergerak memukul atau menangkis maupun mengelak, gerakannya selalu terhalang sehingga tidak ada cambuk Retna Wilis yang tidak mengenai sasaran!

Menyaksikan hasil baik ini, Retna Wilis gembira sekali. la tertawa-tawa dan mengamuk makin hebat, kini ia menerjang Ni Dewi Nilamanik. Wanita sakti inipun berusaha menangkis, bahkan berusaha memukul mati anak itu, namun seperti juga halnya Ki Kolohangkoro, semua gerakannya tertahan dan tahulah ia bahwa ini adalah perbuatan kakek aneh itu. Terpaksa ia mandah dicambuki sehingga bajunya robek-robek pula, kulitnya matang biru oleh cambuknya sendiri.

Retna Wilis tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini menyerang Raden Warutama yang mengalami nasib sial seperti kedua orang kawannya. Seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan baru, Retna Wilis meloncat-loncat dan mencambuki tiga orang itu berganti-ganti sampai pakaian mereka compang-camping semua. Akan tetapi karena tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kekebalan, akhirnya tangan anak itu sendiri yang menjadi lelah sehingga tanpa disuruh Retna Wilis berhenti sendiri dengan tubuh berkeringat!

"Cukup, Retna Wilis. Kembalikan, kebutan itu kepada pemiliknya!" kata kakek sakti itu.

Retna Wilis melemparkan kebutan ke arah Ni Dewi Nilamanik yang menerimanya dengan muka merah sekali. Ki Kolohangkoro menggereng-gereng saking marahnya namun iapun tidak berani sembarangan bergerak. Hanya Raden Warutama yang diam saja, mukanya agak pucat, kemudian ia menjura ke arah kakek itu sambil bertanya,

"Kami bertiga yang bodoh telah menerima petunjuk Paman. Setelah Paman tahu akan nama dan keadaan kami, sudah sepatutnya kalau Paman memberitahukan pula nama Paman kepada kami."

"Orang memanggil aku Ki Datujiwa," jawab kakek kecil Itu sederhana."

"Dan aku Sigit," kata pangeran muda Panji Sigit dengan sederhana pula karena Ia tidak ingin dikenal orang sebagai Pangeran Jenggala.

Tiga orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi lalu meninggalkan tempat itu dengan pakaian compang锟綾amping, kepala tunduk dan hati tidak karuan rasanya. Mereka kehilangan tawanan, kehilangan muka dan terancam bahaya pembalasan dendam Endang Patibroto. Di dalam hati mereka, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro merasa heran mengapa seringkali bertemu orang-orang pandai.

Berbeda dengan mereka, Raden Warutama menganggap pengalaman pahit ini sebagai pelajaran yang membuatnya semakin hati-hati dan waspada. Memang, Raden Warutama bukan orang sembarangan. Seperti telah dikenal oleh Endang Patibroto, dia adalah Raden Sindupati, bekas kawula Jenggala yang melarikan diri ke Blambangan dan menjadi perwira Blambangan. Kemudian, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, Raden Sindupati meninggalkan Blambangan yang dihancurkan oleh pasukan-pasukan Panjalu dan Jenggala di bawah pimpinan Pangeran Darmokusumo dan Endang Patibroto.

Raden Sindupati melarikan diri ke Bali-dwipa, di mana ia merantau dan selama lima tahun berguru kepada beberapa orang sakti sehingga memperoleh kepandaian tinggi. Kemudian ia kembali ke Jawa-dwipa, merubah bentuk kumis jenggotnya, juga melukai sendiri bawah dagunya sehingga wajahnya berubah dan tidak mudah dikenal sebagai Raden Sindupati. Untuk penyamaran ini ia menggunakan nama Raden Warutama.

Setelah tiga orang yang dipermainkan Ki Datujiwa itu tak tampak lagi bayangannya, Pangeran Panji Sigit tertawa. Ia berjongkok dan merangkul Retna Wilis, mengusap rambut anak itu dan berkata, 鈥淒uhai, betapa bangga hatiku mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Retna Wilis! Engkau pemberani seperti ibumu. Sungguh pantas menjadi puteri ayunda Endang Patibroto.鈥�

Retna Wilis memandang pangeran itu penuh perhatian. Dia tidak mengenalnya, karena ketika Pangeran Panji Sigit menjadi tawanan ibunya, ia tidak sempat melihatnya. Hatinya senang melihat pemuda yang tampan dan gagah ini, apalagi yang tadi telah menolongnya.

"Namamu tadi Sigit? Engkau telah mengenal ibuku?"

"Tentu saja aku mengenal ibumu, anak manis. Ibumu adalah kakak iparku sendiri. Aku Pangeran Panji Sigit.....鈥� "Aihhh....! Yang dikabarkan tertawan oleh Bibi Setyaningsih? Pangeran Jenggala yang hampir dibunuh itu dan dibela Bibi Setyaningsih? Wah, mengapa ibu hendak membunuhmu? Engkau tampan dan gagah, baik hati pula. Engkau tentu akan memasuki sayembara, bukan? Paman Pangeran, aku akan gembira sekali kalau kau menjadi suami Bibi Setyaningsih!" "Tidak akan semudah itu, Retna Wilis...." kata Ki Datujiwa sambil tersenyum. "Mengalahkan ibumu dalam pertandingan tidak mudah.鈥�

"Aku akan membantu! Aku akan membujuk Bibi Setyaningsih agar mengalah terhadap Paman Pangeran Panji Sigit, dan membujuk ibu agar mengalah terhadap Eyang. Akan tetapi ada syaratnya!"

"Apa syaratnya, Cah-ayu?"

"Kelak Paman harus menemani aku dipuncak Wilis bersama Bibi Setyaningsih, sampai lima tahun, dan Eyang harus mengajar ilmu pukulan yang hebat tadi kepadaku!"

Pangeran Panji Sigit berpikir-plkir, Memang ia tidak mempunyai keinginan untuk tergesa-gesa pulang ke Jenggala, karena hal ini hanya akan menimbulkan hal-hal tidak enak baginya. Selama ramandanya berada di bawah kekuasaan Suminten, ia tidak mau pulang dan lebih baik tinggal di puncak Wilis! Maka tanpa ragu-ragu lagi ia mengangguk, "Baik, aku berjanji memenuhi permintaanmu, Retna."

Juga Ki Datujiwa mengangguk-angguk. "Apa yang kumiliki belum cukup untuk mengisi dirimu yang memiliki bakat jauh lebih besar, Angger. Akan tetapi sebagai dasar, bolehlah."

Retna Wilis berseru girang lalu berlari-lari naik gunung sambil berteriak, "Aku akan cepat menemui ibu dan bibi!"

Ki Datujiwa dan pangeran muda itu saling pandang sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti larinya Retna Wilis, melindunginya dari jauh karena Ki Datujiwa menasehati sang pangeran, "Lebih baik kita jangan menonjolkan tentang pertolongan atas diri Retna Wilis karena kalau sampai hal itu membuat Endang Patibroto terpaksa mengalah, hal itu akan menyinggung dan mencemarkan nama besarnya sebagai seorang pimpinan Padepokan Wilis. Kalau dia mengalah, biarlah hal itu terjadi atas kehendaknya sendiri, bukan karena kehadiran kita sebagai penolong puterinya."

Pangeran Panji Sigit biarpun masih muda, namun ia memiliki pandangan luas sehingga ia dapat menangkap maksud nasehat Ki Datujiwa yang sesungguhnya hanya ingin menjaga muka terang Endang Patibroto. Karena itu, mereka berdua hanya mengikuti Retna Wilis dari jauh sampai anak itu bertemu dengan para anak buah Padepokan Wilis dan beramai-ramai puteri yang hilang itu diiringkan naik ke puncak di mana Endang Patibroto dan Setyaningsih menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kelegaan hati. Dengan penuh semangat Retna Wilis lalu bercerita kepada ibunya dan bibinya' tentang pengalamannya diculik tiga orang musuh itu, kemudian ia menceritakan pula betapa dirinya ditolong oleh Pangeran Panji Sigit dan seorang kakek yang bernama Ki Datujiwa.

"Ki Datujiwa...?" Endang Patibroto mengerutkan kening dan mengingat-ingat akan tetapi merasa tidak pernah mendengar nama ini.

"Dia hebat, Ibu! Dan aku sudah diangkat menjadi muridnya!"
< br> "Apa....??鈥� "Benar! Bahkan dengan pertolongannya, aku telah berhasil merangket mereka, hi-hi-hik! Warutama, Nilamanik, dan Kolohangkoro kuhajar dengan kebutan milik Nilamanik sampai tubuh mereka matang biru dan pakaian mereka compang-camping!" Anak itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri menceritakan "pertempurannya" melawan tiga orang sakti itu. Endang Patibroto mendengarkan dengan kening berkerut.

Menurut cerita anaknya, jelas bahwa kakek yang bernama Ki Datujiwa itu seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi hatinya tidak puas. Mengapa kakek itu begitu lancang mengangkat murid puterinya? Tanpa minta persetujuannya, hal itu sama dengan memandang rendah kepadanya! Diganggu pikiran ini, ia tidak mendengarkan lagi cerita anaknya dan baru sadar ketika anaknya berkata sambil menarik-narik tangannya,

"Karena itu, dalam pertandingan sayembara nanti, lbu harus mengalah kepada Eyang Guru! Dan bibi Setyaningsih harus mengalah terhadap paman pangeran. Dia tampan, ganteng sekaIi seperti Sang Harjuna dan gagah perkasa, Bibi!"

Wajah Setyaningsih tiba-tiba menjadi merah sekali sampai ke lehernya, kepalanya menunduk dan ia tidak berani menentang pandang mata ayundanya. Ada-pun Endang Patibroto diam saja, hanya hatinya tida puas. Sungguh keras dan aneh watak Endang Patibroto. Tadinya ia bersyukur dan berterima kasih, akan tetapi begitu puterinya menyatakan bahwa Ki Datujiwa mengangkat Retna Wilis sebagai murid, timbul amarah dan ketidaksenangan hatinya.

********************

Pagi-pagi sekali para calon pengikut sayembara sudah berbondong-bondong mendaki puncak Wilis, didahulul oleh serombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin sendiri oleh LimanWilis sebagai penyambut para tamu. Lebih dari dua puluh orang calon pengikut sayembara diiringkan wali masing-masing yang terdiri darI guru, ayah sendirl, atau jagoan undangan mereka. Mereka mendaki puncak dengan wajah serius dan hati berdebar-debar karena sedikit banyak nama Padepokan Wilis, terutama sekali nama Endang Patibroto sudah membuat hati mereka gentar.

Di antara banyak pengikut ini tampak Pangeran Panji Sigit dan Ki Datujiwa yang berjalan paling belakang. Di tengah lapangan di atas puncak, tempat para anak buah Padepokan Wilis biasanya berlatih ulah yuda, telah dibangun sebuah panggung yang luasnya ada lima meter persegi, terbuat daripada balok-balok dan papan tebal. Panggung inilah yang akan menjadi arena pertandingan dengan ketentuan bahwa slapa yang dipaksa turun panggung, berarti kalah. Hal ini sengaja diadakan untuk mencegah atau mengurangi kekalahan yang mendatangkan maut, karena yang sudah terguling, tidak akan diserang lagi dan sudah dianggap kalah.

Endang Patibroto, Setyaningsih, dan Retna Wilis sudah duduk di kursi dekat panggung. Semua mata tentu saja ditujukan ke arah mereka. Orang-orang muda yang menjadi calon pengikut, memandang ke arah Setyaningsih dan banyak di antara mereka yang menahan napas menelan ludah sendiri. Dara remaja itu demikian cantik jelita, sehingga bangkitlah semangat mereka untuk mencoba-coba, siapa tahu akan "kejatuhan bulan"! Andaikata kalah atau terluka berat sampai mati sekalipun, mereka tidak akan penasaran memperebutkan seorang dara seperti dewi kahyangan Itu.

Setyaningsih hanya menyapu mereka dengan pandang mata kosong, akan tetapi pipi dara ini mendadak menjadi merah dan matanya berseri gembira bercampur malu-malu dan segera menundukkan muka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Pangeran Panji Sigit!

Adapun para wali yang datang hendak membela murid, putera, atau pengundang mereka ini, memandang ke arah Endang Patibroto dengan pandang mata kagum bercampur sangsi dan khawatir. Baru melihat saja orang sudah dapat menduga bahwa Endang Patibroto adalah seorang wanita yang sakti mandraguna, pandang matanya tajam dan dingin mengerikan, seluruh pembawaannya membayangkan tenaga mujijat yang menyeramkan. Seorang lawan yang amat berat, demikian rata-rata di pikiran para wali yang terdiri daripada orang-orang tua yang digdaya Itu.

Tentu saja para orang muda yang hadir juga memandang ke arah Endang Patibroto dengan jerih dan kagum. Kagum menyaksikan betapa wanita sakti yang amat terkenal itu ternyata masih cantik jelita, bagaikan buah sudah masak di samping Setyaningsih yang bagaikan sebutir buah yang ranum matang ati. Dan jerih karena sesungguhnya dalam sayembara tanding ini, Endang Patibroto-lah yang menentukan kesudahannya. Biarpun di antara mereka ada yang sanggup mengalahkan Setyaningsih, namun kalau walinya tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, berarti gagal juga.

Setelah hening sejenak, Limanwilis melompat naik ke atas panggung. Lompatannya ringan, karena tiga orang kakak beradik Wilis itu telah digembleng aji meringankan tubuh Bayu Tantra oleh Endang Patibroto. Melihat gaya lompatan pembantu ketua Padepokan Wilis ini saja, banyak sudah yang memuji dan menjadi gentar. Lompatan orang tinggi besar itu sedemikian ringannya seolah-olah lompatan seekor kucing, dan ketika kedua telapak kakinya menginjak papan panggung, sedikitpun tidak mengeluarkan suara, juga tidak menggetarkan panggung.

Limanwilis mewakili ketuanya menyampaikan selamat datang kepada semua peserta, kemudian menjelaskan peraturan sayembara, dinyatakan bahwa maksud sayembara ialah memilih seorang calon jodoh untuk Setyaningsih, adik kandung ketua Padepokan Wilis dan bahwa di dalam sayembara ini tidak ada tentang permusuhan, baik pribadi maupun golongan sehingga pertandingan diatur dengan panggung agar mengurangi kemungkinan tewas. Hal ini diharapkan pengertian para peserta sehingga sifat sayembara hanya "menguji kepandaian" dan bukanlah pertempuran untuk membunuh atau melukai lawan. Kemudian ia menutup sambutannya dengan peraturan terakhir,

"Siapa saja yang berniat memasuki sayembara, dipersilahkan naik ke panggung secara bergilir. Adapun ketua kami yang akan menentukan apakah peserta yang boleh bertanding lebih dahulu ataukah walinya." Kemudian Limanwilis kembali mempersilahkan peserta pertama naik ke panggung. Lalu iapun melompat turun dan kembali ke tempatnya, yaitu rombongan anak buah Padepokan Wilis yang berbaris rapi dan angker.

Karena sebagian besar para peserta mengambil sikap "siap", mereka itu hanya menanti dan "melihat-lihat gelagat" maka sampai lama tidak ada juga yang naik ke panggung! Keadaan sunyi hening dan menggelisahkan. Akhirnya terdengar suara kecil nyaring,

"Apakah yang datang para pingecut? Kalau tidak berani bertanding, untuk apa mengikuti sayembara dan mau apa datang ke sini?"

Semua orang menengok dan memandang ke arah Retna Wilis yang mengeluarkan ucapan itu. Merahlah muka semua orang, termasuk Endang Patibroto yang tidak keburu mencegah puterinya. Di dalam hatinya ia merasa cemas. Puterinya ini benar-benar amat tajam mulutnya, dan mempunyai pandangan seperti seorang dewasa saja.

Tiba-tiba tampak bayangan melompat ke atas panggung. Dia seorang pemuda tampan dan setelah menghadap ke arah Endang Patibroto, ia berkata, "Saya Pranolo dari Ponorogo mengambil kehormatan untuk menjadi peserta pertama!"

Tepuk sorak gemuruh menyambut naiknya pemuda ini. Orang bukan kagum akan gerakannya melompat yang tak dapat dikatakan gesit, masih kalah oleh Limanwilis tadi, melainkan memuji ketabahannya naik sebagai orang pertama.

Sekilas pandang Endang Patibroto merasa suka kepada pemuda ini yang cukup tampan. Dia teringat bahwa daerah Ponorogo memiliki banyak orang sakti. Akan tetapi melihat gerakan pemuda ini ketika melompat tadi, jelas bahwa ilmunya meringankan tubuh kurang tinggi. Betapapun juga, masih timbul harapan di hatinya. Siapa tahu kalau-kalau hanya ilmu meringankan tubuhnya saja yang lemah sedangkan ilmu lainnya kuat. Maka ia memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Setyaningsih yang bangkit dengan tenang, melangkah maju dan sekali mengayun tubuh, tubuhnya yang langsing dan berkulit kuning itu melayang seperti seekor burung terbang, hinggap di atas panggung di depan Pranolo.

Tepuk tangan makin riuh dan semua orang kini benar-benar kagum, baik atas gaya loncatan indah itu maupun untuk kejelitaan yang kini nampak nyata setelah dara itu berada di atas panggung. Setyaningsih mengikat rambutnya ke belakang, ujung rambut terurai seperti ekor kuda, di atas terhias cunduk emas permata. Bajunya berlengan pendek, berkembang dan berwarna merah. Kembennya berwarna kuning kehijauan, sedangkan kainnya berwarna biru, tepinya agak tinggi sehingga tampaklah betis memadi bunting dan mata kaki yang merit, tungkak yang berwarna jambon. Kulit lengan dan betis itu bersih halus, kuning kemerahan amat menggairahkan hati para peserta sayembara.

Dengan sikap tenang Setyaningsih berdiri di depan Pranolo. Pranolo sejenak seperti terpesona, tak tahu harus berbuat atau berkata apa melainkan memandang dara yang berada di depannya. Tercium olehnya keharuman yang tipis dan pemuda ini menelan ludah. Kebimbangan dan kebingungan Pranolo, sampai cara ia menelan ludah jelas tampak oleh semua orang sehingga mulailah terdengar kekeh tawa yang membuat pemuda itu makin gagap-gugup lagi. Dari bawah panggung terdengar seorang kakek berkata,

"Pranolo, lawan telah siap, engkau menanti apa lagi?"

"Ohh.... baiklah, Eyang, baik.... !" Pranolo menjawab gagap lalu melangkah maju mendekati Setyaningsih dan berkata, "Maafkan.... maafkan keberanianku..."

Setyaningsih hanya mengangguk, diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda yang canggung ini. Pranolo lalu menerjang maju, serangannyapun bukan serangan pukulan atau tendangan, melainkan serangan untuk menangkap lengan dara itu, agaknya ia pikir kalau dapat menangkap lengan Setaningsih dan mendorongnya turun panggung, ia tentu akan menang. Gerakannya cukup sebat dan mantap, namun dalam hal kepandaian ia jauh kalah oleh Setyaningsih. Gadis inipun tidak suka mempermainkan orang. Begitu ia mengelak beberapa kali daripada sambaran tangan lawan yang hendak menangkap lengannya, cepat dari samping ia menendang ke arah belakang lutut kanan Pranolo.

Pemuda itu berseru kaget karena kakinya tiba-tiba melengkung dan ia hampir roboh. Tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Setyaningsih dan sekali dara ini mengayun, tubuh Pranolo melayang terlempar turun panggung Akan tetapi pemuda itu tidak terbanting keras, melainkan melayang turun dengan kaki di bawah sehingga ketika ia mendarat, ia hanya terhuyung saja dan mengalami kaget.

Tepuk tangan gemuruh menyambut kemenangan pertama ini. Mereka yang ilmunya tinggi, termasuk Endang Patibroto, tentu saja mengerti bahwa Setyaningsih menaruh kasihan kepada lawannya, kalau tidak tentu lemparan ke bawah panggung itu setidaknya akan membuat kulit lecet kepala benjut. Endang Patibroto kecewa. Kalau macam itu saja pemuda-pemuda yang hadir, tidak ada harapan bagi Setyaningsih untuk mendapatkan jodoh yang patut.

la teringat akan Pangeran Panji Sigit dan mengerling ke arah pemuda itu. Ia melihat seorang kakek berpakaian sederhana, bertubuh kecil berdiri di dekat Panji Sigit dan menduga bahwa tentu itulah yang bernama Ki Datujiwa. Sinar mata orang itu hebat, pikir Endang Patibroto, akan tetapi hatinya panas kembali kalau teringat betapa orang itu langsung mengangkat Retna Wilis sebagai murid.

Pula, sungguhpun harus ia akui bahwa Pangeran Panji Sigit mempunyai banyak persamaan dengan mendiang suaminya, Pangeran Panjirawit, wajahnya mirip dan sikapnya juga sama halusnya, akan tetapi di sudut hati Endang Patibroto sudah menaruh rasa tidak suka kepada Jenggala sehingga kalau mungkin, lebih senang kalau ia melihat adik kandungnya mendapatkan jodoh lain orang.

Kekalahan Pranolo itu diam-diam telah mengundurkan enam orang peserta lainnya, yaitu mereka yang merasa masih belum dapat menandingi Pranolo, apalagi harus melawan Setyaningsih. Betapapun hati mereka gandrung wuyung, tergila-gila menyaksikan dara remaja yang jelita dan tangkas itu, namun merekapun merasa segan untuk mendapat malu seperti Pranolo, baru bertanding dalam beberapa jurus saja sudah keok!

Berturut-turut maju lagi dua orang pemuda yang masih muda dan cukup tampan. Melihat sikap mereka itupun sopan seperti Pranolo, Setyaningsih maju melawan mereka dan mengalahkan mereka dalam waktu singkat saja, melemparkan mereka turun dari panggung!

Kembali kekalahan dua orang pemuda yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari Pranolo itu membuat banyak pemuda lainnya diam-diam membatalkan niatnya mencoba-coba. Kiranya Setyaningsih benar-benar hebat sekali dan mereka menjadi ngeri sendiiri memikirkan betapa mereka akan dilempar atau dibanting oleh tangan halus itu.

Maka setelah Setyaningsih melompat turun dan duduk kembali dekat Endang Patibroto sehabis mengalahkan orang ke tiga, dan ketika Limanwilis mempersilahkan peserta berikutnya naik panggung, tidak ada seorangpun pemuda berani naik dan mereka itu hanya saling pandang dan saling menanti saja. Memang masih banyak di antara mereka yang memiliki ilmu kepandaIan tinggi, akan tetapi mereka yang menyaksikan ketangkasan Setyaningsih menjadi ragu-ragu apakah mereka akan dapat menandingi dara perkasa itu.

Setelah keadaan mulai menegang karena tidak ada yang menyambut desakan Limanwilis, tiba-tiba terdengar suara terbahak dan sesosok bayangan tinggi besar meloncat naik ke atas panggung. Terdengar suara berdebukan ketika kedua kaki laki-laki tinggi besar ini tiba di papan panggung, dan panggung itu sendiri tergetar!

Diam-diam Endang Patibroto tertarik dan kaget. Pria itu tentu, lebih dari tiga puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat seperti kebanyakan anak buah Padepokan Wilis. Mukanya cukup gagah, dengan kumis melintang dan dagu tertutup jenggot tipis. Ikat kepalanya berkembang merah, sabuknya putih dan mengkilap, agaknya dari perak, kainnya berdasar merah dan celananya putih. Begitu tiba di atas panggung, pria itu menghormat ke arah Endang Patibroto dan berkata, suaranya keras sekali,

"Namaku Joko Bono, di pesisir selatan orang menyebutku si Lengan Baja. Terus terang saja, aku kagum menyaksikan kedigdayaan sang dyah ayu sehingga ragu-ragu untuk menandinginya. Apalagi mendengar nama ketua Padepokan Wilis, sungguh sampai mati saya tidak akan berani lancang melawannya. Akan tetapi, aku hidup seorang diri di dunia ini, tidak ada wali. Karena ingin menguji ilmu, aku memaksa diri naik, walinyapun aku sendiri. Terserah apakah Padepokan Wilis sudi memperkenankan aku ikut atau tidak."

Semua orang memandang penuh perhatian dan hati mereka merasa tertarik. Biarpun sebagian besar di antara mereka baru sekali ini bertemu dengan pria tinggi besar itu, namun nama Si Lengan Baja Joko Bono telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan di pesisir selatan. Terkenal karena lengan dan tangannya yang kuat sekali, dan wataknya yang jujur, terbuka dan penuh keberanian. Dari ucapannya di atas panggung tadipun terbayanglah sifatnya yang terbuka sehingga Endang Patibroto merasa suka. Setelah bertukar pandang dengan Setyaningsih, ia berbisik lirih,

"Lawanlah, akan tetapi hati-hati, kedua lengannya amat kuat dan jangan mengadu tenaga dengan dia. Pergunakanlah kecepatan, tundukkan dengan Pethit Nogo sebelum mendorong dia ke bawah."

Setyaningsih mengangguk lalu bangkit dan melompat ke atas panggung. Semua orang berdebar tegang. Tadinya, karena ucapan Bono, mereka mengira bahwa sekali ini tentulah Endang Patibroto sendiri yang naik panggung karena bukankah Joko Bono itu tidak mempunyai wali? Endang Patibroto berhak untuk menghadapinya. Akan tetapi, siapa menduga, ternyata Setyaningsih sendiri yang maju! Tentu saja mereka menjadi berkhawatir sekali dan berdesakanlah mereka, maju mendekati panggung agar dapat menonton lebih jelas.

"Ha-ha-ha! Sungguh Padepokan Wilis menaruh kasihan kepadaku, membiarkan sang dyah ayu melawanku. Marilah, Nimas Ayu, biar terbuka mata Bono menyaksikan aji-aji kesaktian Padepokan Wilis!"

Setyaningsih sudah mengenal watak calon lawannya yang terbuka dan jujur, maka iapun tersenyum dan menjawab,

"Aku sudah siap. Majulah, Joko Bono."

"Bagus! Awas seranganku.... hyeeeeetttt.... !!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan gerakan cepat laksana seekor harimau menubruk anak kambing, Bono menerjang maju, lengan kanan yang besar itu menyerang dengan kepalan memukul ke arah pundak Setyaningsih. Cepat dan keras sekali, mendatangkan angin yang sudah terasa oleh dara itu sebelum kepalannya tiba. Namun Setyaningsih dengan kecekatan mengagumkan sudah miringkan tubuh dan jari-jari tangannya yang terbuka dan diisi dengan Aji Pethit Nogo menyambar dari samping, menghantam lambung.

"Wuuut..... plakk....!" Bono dapat menangkis tamparan itu dengan lengan kirinya yang seperti juga lengan kanannya, terlindung lingkaran besi kuningan.

Setyaningsih memang tadi sengaja membiarkan tamparannya tertangkis karena biarpun ia sudah diberi peringatan oleh ayundanya, ia masih belum puas kalau tidak mencoba sendiri. Ternyata tamparan Pethit Nogo itu dapat ditangkis dan telapak tangannya terasa panas, tanda bahwa lengan lawan memang benar amat kuat, sesuai dengan julukannya Si Lengan Baja!

Sebaliknya, Joko Bono juga merasa betapa kulit lengannya pedas ketika bertemu dengan tamparan jari-jari tangan lunak kecil itu. Diam-diam ia kaget dan kagum. Tahulah raksasa muda ini betapa sang ayu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Maka la kembali berseru keras dan tubuhnya bergerak-gerak maju, kadang-kadang berputar seperti sebuah kitiran angin, kedua lengannya diputar sedemikian rupa merupakan baling-baling yang dengan gencar bergantian menyambar ke arah tubuh Setyaningslh dengan pukulan, dorongan, tamparan atau cengkeraman. Dahsyat sekali serangannya ini dan para penonton menahan napas. Bahkan Endang Patibroto sendiri bersama Retna Wilis tak terasa lagi maju mendekati panggung saking tegang dan tertariknya.

Pertandingan sekali ini baru ada harganya untuk ditonton. Setyaningsih kelihatannya didesak terus. Namun sesungguhnya dara remaja itu menguasai keadaan karena betapapun cepat gerakan Joko Bono, dara ini memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga setiap pukulan kepalan tangan besar itu dapat ia lihat dengan nyata dan dapat ia elakkan.

Tubuhnya berkelebat ke kanan kadang-kadang meloncat ke atas, kadang-kadang menyelinap ke bawah, kadang-kadang dengan jari-jari tangan terbuka ia menyampok lengan lawan dari samping. Pethit Nogo adalah aji pukulan yang mengandalkan jari-jari terbuka, dengan meminjam tenaga lawan dapat menyampok ke samping dan apabila dipergunakan untuk menyerang, maka jari-jari tangan itu mengandung tenaga mujljat yang amat ampuhnya.

Penonton mulai bersorak-sorak. Sungguh menarik pertandingan ini. Setelah kini Setyaningsih mempergunakan Aji Bayu Tantra untuk bergerak mengelak dan menyelinap, baru jelas tampak oleh mereka betapa gerakan kedua orang itu amat jauh bedanya. Tubuh Joko Bono yang tadi bergerak cepat, kini di samping gerakan dara itu kelihatan seperti gerakan seekor badak yang kuat namun lamban sekali, sebaliknya dara itu bergerak cepat dan ringan seperti seekor kijang. Semua pukulan Joko Bono jauh meleset daripada sasarannya.

Ada seperempat jam Joko Bono mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak lawan. Kadang-kadang ia memang dapat mendesak Setyaningsih ke sudut panggung dan dengan penuh nafsu ia hendak mendesak terus agar dara itu terpaksa melompat turun dan dengan demikian ia akan dinyatakan menang.

Namun setiap kali dara yang lincah itu dapat menyelinap melalui bawah kedua lengannya atau melalui atas pundaknya dengan melompat tinggi dan tahu-tahu telah berada di tengah panggung lagi sehingga ia harus membalikkan tubuh dan mulai dengan serangan baru lagi.

Beberapa kali sambil mengelak, Setyaningsih membalas dengan tamparan Aji Pethit Nogo secara tiba-tiba dan tak terduga. Memang ada beberapa kali Joko Bono kena diserempet tamparan, akan tetapi karena tidak tepat dan pukulannya dilakukan sambil mengelak, sedangkan tubuh Joko Bono memiliki kekebalan yang amat kuat, maka semua tamparan jari tangannya membalik, tidak berhasil merobohkan orang kuat itu.

Joko Bono mulai pening kepalanya, pandang matanya berkunang ketika tiba-tiba Setyaningsih mempercepat gerakan tubuhnya, meloncat ke sana ke mari sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra. Ia merasa penasaran dan sambil berseru keras ia lalu maju menubruk, mengerahkan seluruh tenaganya, kedua tangan dikepal dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Setyaningsih. Dara itu cepat menggunakan jari-jari tangan kanannya menyampok dari samping kanan. Akan tetapi ternyata sekali ini Joko Bono berlaku cerdik. Pukulan tangan kiri itu hanya merupakan gertak belaka karena tiba-tiba saja tangan kanannya meluncur ke depan dan ia berhasil menangkap lengan kiri Setyaningsih!

Semua penonton mengeluarkan seruan tertahan dan mengira bahwa dara itu akhirnya akan kalah oleh Joko Bono, sungguhpun hal ini tidak berarti bahwa pria tinggi besar Itu telah lulus dalam sayembara karena ia harus mengalahkan Endang Patibroto.

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 24

Perawan Lembah Wilis Jilid 23

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 23

Tiga bayangan hitam yang amat gesit berkelebat di antara kegelapan bayang-bayang pohon di dekat pondok. Waktu itu sudah jauh lewat tengah malam, bahkan hampir pagi. Hawa udara amatlah dinginnya dan keadaan amat sunyi, kesunyian yang tidak wajar karena semua penjaga di sekitar pondok itupun ikut pula tertidur di tempat penjagaan. Ini hanya menjadi tanda bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi, bahwa malam itu penuh dengan hawa mujijat aji penyirepan yang dipasang oleh Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama. Kini tiga orang sakti itu telah berkelebat di sekitar pondok. Semua terjadi sesuai dengan rencana dan siasat Raden Warutama.

Setelah ia tadi berhasil menjadi tamu Endang Patibroto, dia menyebar sirep dan berhasil menyelinap keluar dari pondok, diam-diam menemui Dewi Nilamanik dan Kolohangkoro, kemudian setelah berunding sebentar, mereka bertiga kembali ke pondok,

"Mari masuk bersama dan mengeroyoknya sampai mampus!" bisik Ki Kolohangkoro yang sudah amat bernafsu untuk membunuh Endang Patibroto yang sore hari tadi telah mengalahkannya.

"Sttt, jangan sembrono!" bisik Raden Warutama. "Turut rencanaku. Anaknya di taman situ, di pohon sore tadi. Kalian tahu harus berbuat apa. Cepat...!"

"Mari, Kolohangkoro, jangan banyak membantah," kata Ni Dewi Nilamanik.

Rencana tadi telah mereka rundingkan, yaitu kedua orang ini akan pergi ke taman untuk menculik Retna Wilis. Adapun Raden Warutama sendiri yang akan memasuki kamar Endang Patibroto, karena andaikata ketahuan oleh wanita sakti itu, akan mudah baginya mencari alasan. Berbeda sekali tentu kalau dua orang bekas lawan Endang Patibroto itu ikut masuk, tentu akan membuka rahasia kalau ketahuan oleh si wanita sakti.

Dua orang yang berkelebat cepat seperti setan itu sebentar saja sudah tiba di bawah pohon. Mereka girang sekali, terutama Ki Kolohangkoro, ketika melihat bahwa Retna Wilis masih bergantung di cabang pohon. Diam-diam mereka menjadi amat kagum. Bocah itu menggantung dengan kedua kakinya, kelihatan seperti tidak bernyawa saja, dengan tubuh kelihatan enak dan tidak kaku, seolah-olah tidur dalam keadaan seperti itu merupakan sebuah kenikmatan.

"Biar kutangkap dia!" kata Ki Kolohangkoro tidak sabar.

Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik ia sudah meloncat ke atas, kedua tangannya diulurkan menjangkau tubuh Retna Wilis, hendak mencengkeram dan merenggut tubuh kecil itu terlepas dari batang pohon.

"Aaaggghhh....!" Tubuh Ki Kolohangkoro yang tinggi besar itu terlempar kembali ke bawah, jatuh berdebuk seperti buah nangka busuk, lalu dia merintih diselingi kutuk caci sambil memegangi lehernya.

Ternyata bahwa ketika tangannya tadi mencengkeram, tiba-tiba tangan kanan Retna Wilis bergerak dan memukul lehernya. Gerakan yang tiba-tiba dan otomatis. Sungguhpun anak itu masih amat kecil, namun keadaan samadhi berjungkir-balik itu ternyata mendatangkan tenaga ajaib kepadanya, dan pukulannya tadi dilancarkan secara otomatis karena dia telah terganggu samadhinya. Pukulan bukan sembarang pukulan karena itu adalah Aji Wisangnala dan mengandung tenaga mujijat hasil samadhi semalam suntuk.

Dan kiranya Ki Kolohanghoro tidak akan mungkin dapat terpukul sedemikian mudahnya kalau ia berhati-hati. Akan tetapi kakek yang sembrono ini tentu saja tadi memandang rendah calon korbannya, seorang anak perempuan yang baru berusia lima enam tahun!

"Itulah hasilnya kalau kau berlaku sembrono!" kata Ni Dewi Nilamanik.

Ki Kolohangkoro sudah bangkit lagi dan pada saat itu tubuh Retna Wilis sudah melayang turun dengan ringannya, bocah ini sudah berdiri berhadapan dengan mereka. Sepasang mata kecil yang bening itu memandang, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, malah membayangkan kemarahan.

"Kalian ini siapa? Berani benar mengganggu aku yang sedang latihan. Kalau ibu mengetahui tentu kalian akan dibunuh sekarang juga. Eh, di mana ibu?" Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian kembali menghadapi dua orang asing itu, penuh kecurigaan.

"Anak baik, marilah kau ikut bersama kami. Ibumu yang menyuruh kami menjemputmu. Marilahl" kata Ni Dewl NIlamanik sambil mengulurkan tangan, suaranya manis dan ramah.

"Tidak! Tidak ! Kalian bukan orang baik-baik! Aku tidak mau!" Retna Wilis mundur-mundur dan kedua tangannya dikepal menjadi tinju-tinju kecil.

"Huah-ha-ha-ha! Kau anak nakal, darahmu tentu manis sekali. Mari ikut bersamaku, kupondong...."

Ki Kolohangkoro menubruk, Retna Wilis mengelak dari kiri dan memukul. Akan tetapi kali ini tentu saja Ki Kolohangkoro sudah siap. Sekali ia menyambar, ia sudah menangkap tangan kanan Retna Wilis yang memukulnya dan sekali ia membetot, tubuh bocah itu sudah diangkat dan dipeluknya. Namun Retna Wilis bukanlah sembarang anak kecil. Ia tidak merasa takut, malah menggunakan tangan kirinya menusuk dengan jari-jari kecilnya ke arah mata Ki Kolohangkoro!

"Ha-ha-ha, tiada ubahnya seekor anak macan!" Ki Kolohangkoro kembali menangkap lengan kecil itu sehingga kini kedua lengan Retna Wilis berada dalam cengkeraman tangan kirinya.

Retna Wilis mehonta-ronta dan berusaha menendangkan kedua kakinya, akan tetapi karena tubuhnya kini sudah dikempit, ia tidak lapat bergerak lagi.

"Lepaskan.... Lepaskan aku, engkau setan tua bangka....!"

Kemudian anak ini menggunakan giginya yang kecil-kecil dan kuat untuk menggigit tangan yang mencengkeram kedua lengannya!

"Huah-ha-ha, benar-benar anak setan!" Ki Kolohangkoro tertawa dan tentu saja lengan dan tangannya yang berbulu dan berkulit tebal kuat dan kebal itu tidak terluka oleh gigitan Retna Wilis.

"Hayo cepat kita pergi..." kata Ni Dewi Nilamanik yang merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ibu anak ini muncul. Ia sudah merasa jerih untuk menghadapi Endang Patibroto yang selain sakti mandraguna, juga amat liar dan ganas sehingga kalau tahu puterinya diculik tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat menghancurkan kepala mereka! Mereka lalu meloncat dan berlari cepat menuruni puncak.

Sementara itu, dengan jantung berdebar keras, Raden Warutama mengintai dari celah-celah pintu kamar Endang PatIbroto. Ia tidak dapat melihat sesuatu, hanya dapat mendengar tarikan napas yang teratur dan halus, tanda bahwa orang yang berada di dalam kamar tengah tidur nyenyak. Ia sudah mempersiapkan akal kalau-kalau Endang Patibroto terbangun. Setelah menguatkan hatinya, ia mendorong daun pintu kamar. Bau yang harum menyambut hidungnya yang sejuk memasuki kamar melalui lubang-lubang angin yang terdapat di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu kecil bernyala dl atas lemari di sudut kamar. Namun pandang mata Raden Warutama melekat pada sesosok tubuh yang membujur terlentang di atas dipan yang bertilam merah muda. la terpesona!

Endang Patibroto tidur nyenyak di atas dipan itu. Tidak berselimut. Tubuh yang padat itu hanya melawan hawa dingin dengan pakaian yang dipakainya lepas-lepas sehingga sebagian dadanya dan betisnya tampak. Kepalanya terletak miring di atas bantal, lengan kiri melintang di atas dahi, lengan kanan di atas perut yang kempis langsing. Rambutnya terurai kacau, menutupi sebagian muka dan leher, amat hitamnya.

Raden Warutama menahan napas. Alangkah indahnya penglihatan ini. Endang Patibroto bukan seorang gadis remaja lagi, bukan pula seorang wanita muda, melainkan seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun. Wanita yang matang! Namun setelah tertidur seperti itu, benar-benar merupakan seorang wanita cantik jelita menggairahkan, seperti Sang Dewi Komaratih sendiri, penuh dengan daya tarik yang sukar dilawan oleh pria yang manapun. Warutama tampak melamun, berulang kali menghela napas, kemudian tangannya bergerak dan tercabutlah sebatang keris yang mengeluarkan sinar hijau, kakinya berindap-indap melangkah maju menghampiri pembaringan.

Endang Patibroto benar-benar sedang tidur nyenyak. Kesedihan membuatnya seperti terbius, padahal semua aji penyirepan tadi sama sekali tidak pernah membiusnya. Namun kesedihan merupakan pembius yang amat ampuh sehingga ia masih tidak sadar sama sekali betapa nyawanya terancam maut. Kalau Raden Warutama pada saat itu menerjang dan menusukkan kerisnya, tentu akan tewaslah Endang Patibroto. Akan tetapi Warutama meragu, setelah dekat pembaringan, makin hebatlah ia terpesona.

Kini tampak makin jelas wajah yang ayu itu, dada yang membusung mengalun halus, mulut yang berbentuk indah itu setengah terbuka dengan bibir yang merah menantang dan di baliknya tampak kilau deretan gigi putih. Kedua kaki Warutama gemetar. Ah, betapa sayangnya kalau dibunuh begitu saja, pikirnya. Ia mulai memutar otak mencari akal agar supaya bisa mendapatkan tubuh yang mebuatnya gandrung ini. Akan tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan, kerisnya masih menodong lambung. Dia harus dibuat tidak berdaya, pikirnya, sehingga aku dapat menggagahinya. Setelah itu, harus membunuhnya.

Raden Warutama memang cerdik. Kalau ia hanya menggunakan tali atau kain untuk mengikat kaki tangan Endang Patibroto, tentu ia akan gagal karena sebelum berhasil membelenggu wanita sakti itu tentu sudah sadar dan celakalah dia. Kini Warutama mengangkat tangan kiri dengan jari tangan terbuka, mengukur jarak dan tenaga, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian tangan itu dengan cepat sekali menyambar ke bawah, tepat menghantam tengkuk Endang Patibroto di belakang telinga kanan.

"Ngekk....! Aauhhhhhh... Kedua mata Endang Patibroto terbelalak sekejap ketika pukulan itu mengenai tengkuknya, mulutnya merintih lirih dan matanya lalu terpejam, tubuhnya lemas dan ia pingsan.

Iblis dan setan tertawa ria menyaksikan hasil kemenangan kejahatan, puas gembira menyaksikan perbuatan terkutuk yang dilakukan Raden Wautama di malam jahanam itu. Perbuatan-perbuatan jahanam yang terkutuk seperti yang dilakukan Raden Warutama masih akan terus merajalela menguasai hati manusia. Setan-setan dan iblis masih akan terus menguasai manusia yang berbatin lemah, yang tidak kuasa mengendalikan nafsu-nafsunya dan yang hanya ingin melampiaskan nafsu yang menjerumuskan mereka ke jalan sesat.

Makin sunyi keadaan di pondok pusat Padepokan Wilis itu karena semua penjaganya, anak buah Padepokan Wilis masih nyenyak di bawah pengaruh aji penyirepan, tidak tahu sama sekali bahwa di padepokan telah terjadi malapetaka hebat menimpa diri ketua mereka. Sunyi sepi, bahkan kerik jengkerik dan nyanyi kutu-kutu walang atogo terhenti seolah-olah ikut merasa ngeri dan prihatin atas terjadlnya perbuatan terkutuk itu.

Hanya kadang-kadang saja terdengar suara menyeramkan burung hantu yang seperti kekeh iblis sendiri beriang gembira menyaksikan tingkah manusia pengabdi nafsu, seolah-olah binatang yang tidak mempunyai peradaban lagi. Dan selain kekeh burung hantu itu, dari dalam pondok terdengar kekeh penuh kepuasan dari mulut Raden Warutama ketika ia melihat korbannya tergeletak tak berdaya di hadapannya.

Kemudian hanya sunyi, sunyi yang menyayat hati. Endang Patibroto merintih lirih, menggerakkan kaki tangannya namun tidak dapat. Kepalanya nanar sekali dan ia merasa heran mengapa kaki tangannya tak dapat ia gerakkan. la membuka mata, cepat memejamkan kembali karena begitu matanya dibuka, kepalanya makin pening. Ia mengejap-ngejapkan matanya, kemudian membukanya perlahan-lahan.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kaki tangannya terpentang dan terikat dengan kainnya sendiri pada kaki pembaringan! Dan Raden Warutama tampak berdiri di kamar, sedang mengenakan pakaian! Melihat keadaan dirinya yang tak berpakaian lagi, melihat Raden Warutama, wanita sakti ini seketika maklum apa yang telah menimpa dirinya. Ia hampir pingsan lagi namun dikuat-kuatkan dirinya.

"Heh-heh, engkau sudah sadar, manis?" Raden Warutama yang baru selesai berpakaian itu, membalikkan tubuh, keris bersinar hijau di tangan kanannya, lalu melangkah maju. "Sudah tercapai hasratku memilikimu, Endang Patibroto, dan sekarang bersiaplah untuk mati!"

Sambil berkata demikian, Raden Warutama mengangkat kerisnya, siap menusuk. Pada saat itu, pada detik yang mengerikan itulah Endang Patibroto teringat akan wajah pria yang menyeringai di depannya.

"Sindupati.... !!"

Keris yang sudah siap menusuk itu terhenti. Wajah Raden Warutama pucat. Akan tetapi ia lalu tertawa. "Ha-ha-ha, engkau mengenalku, Endang Patibroto? Lebih baik lagi, agar engkau tidak mati penasaran...." Kembali tangan itu menegang.

Tiba-tiba terdengar pekik melengking keluar dari mulut Endang Patibroto. Itulah Aji Sardulo Bairowo yang hebat luar biasa. Pekik ini seolah-olah gerengan seribu ekor harimau marah, menggetarkan seluruh puncak Wilis, membuat pondok seolah-olah hendak roboh. Dalam kemarahannya dan sakit hati yang meluap-luap, Endang Patibroto memekik, merenggutkan kaki tangannya dan dalam beberapa detik saja ikatan kaki tangannya hancur semua.

Raden Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati makin pucat, tubuhnya menggigil dan cepat sekali ia sudah meloncat keluar pintu kamar itu dan melarikan diri, berlindung pada kegelapan akhir malam.

Endang Patibroto hendak meloncat keluar, namun ia teringat akan keadaannya yang telanjang bulat. Cepat ia menyambar ke arah tempat pakaian, mengambil kain dan baju, dikenakannya dengan cepat sekali, namun betapapun juga, sudah memberi banyak waktu kepada Raden Warutama. Ketlka wanita saktl itu melompat keluar, datanglah berbondong anak buah Padepokan Wilis. Kiranya pekik sakti Sardulo Bairowo tadi telah membuyarkan aji penyirepan dan mengagetkan serta membangunkan semua anak buah yang melakukan penjagaan. Mereka berlarian dan berada dalam keadaan panik karena memang belum pernah mereka mendengar pekik saktil ketua mereka yang sedemIkian hebatnya.

"Kejar.... ! Cari dia .... ! Tangkap atau bunuh Warutama.... !"

"Siapa....? Di mana....?" Anak buah Padepokan Wilis bingung sendiri.

"Tamu yang semalam berada di sini! Endang Patibroto membentak. "Cepat ke.... jar, dia lari...!"
Ketika para anak buahnya berserabutan lari mencari, Endang Patibroto sendiri cepat-cepat lari menuju ke taman karena ia teringat akan puterinya. Dengan beberapa lompatan saja ia sudah tiba di bawah pohon dan ia berdiri terpaku di situ ketika melihat pohon itu sudah kosong, Retna Wilis tidak ada lagi tergantung di cabang pohon.

"Anakku...!!" Endang Patibroto menjerit.

Jerit tertahan dan ia benar-benar terkejut, gelisah, bingung dan berduka di samping kemarahannya yang makin berkobar. la maklum bahwa dirinya telah tertimpa malapetaka hebat, penghinaan luar biasa yang tiada taranya, ia telah dibuat pingsan oleh Raden Warutama atau Raden Sindupati musuh besar-nya itu, dan tahu pula bahwa ia telah diperkosa dalam keadaan pingsan. Malapetaka ini hebat bukan main, akan tetapi lenyapnya Retna Wilis lebih hebat dan lebih berat lagi rasanya. Bagaikan seorang gila, Endang Patibroto lalu berlari-lari cepat sekali mencari-cari di seluruh puncak, lalu turun ke lereng-lereng, ke lembah-lembah. Anak buahnya hanya melihat ketua mereka itu berkelebatan amat cepatnya, juga di antara para tamu calon pengikut sayembara di kaki dan lereng bukit, ada yang melihat wanita sakti ini berkelebatan sampai siang keesokan harinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Anakku...! Retna Wilis....!" Endang Patibroto memanggil-manggil, mencari-cari, diseling caci makinya, "Si keparat Sindupati! Kau tunggu saja, akan kulumatkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu!" Dan akhirnya, beberapa anak buah Padepokan Wilis yang ikut mencari-cari tanpa aturan, menemukan ketua mereka itu menggeletak pingsan di pinggir jurang. Mereka terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lalu mengangkat tubuh ketua mereka itu, membawa pulang ke puncak dan merawatnya di dalam pondok.

"Lepaskan aku.... Lepaskan...!"

Di sepanjang jalan Retna Wilis meronta-ronta terus, memaki-maki, setiap kali mendapat kesempatan tentu memukul, mencakar, menjambak, menggigit. Akan tetapi semua itu sia-sia belaka. Ia berada dalam pondongan dua lengan Ki Kolohangkoro yang kuat dan tubuh raksasa itu memang kebal.

Biarpun sejak kecil sudah digembleng hebat, tenaga seorang kanak-kanak berusia lima enam tahun saja tentu tidak berarti bagi Ki Kolohangkoro yang dapat menerima bacokan senjata tajam sambil tertawa enak.

Ki Kolohangkoro sambil tertawa-tawa memperlakukan Ratna Wilis sebagai sebutir buah delima yang membuatnya mengilar. Dibelainya, diciumnya kepala dan tengkuk anak itu, dijilati dan kalau tidak berkali-kali dilarang oleh Ni Devil Nilamanik, tentu sudah digigitnya leher Ratna Wilis, disedotnya darah anak itu sampai habis, diganyangnya daging yang lunak manis, dihisapnya sumsum dalam tulang muda yang segar!

Mereka berdua sudah berhasil menuruni Gunung Wilis, menjauhi kaki Wilis, bahkan pagi hari itu Raden Warutama sudah pula menyusul mereka, bertemu di tempat yang memang sudah mereka rundingkan sebelumnya.

"Ha-ha-ha, bagaimana, Raden? Berhasilkah membunuh Endang Patibroto?" bertanya Ki Kolohangkoro begitu Raden Warutama muncul di dalam hutan di mana keduanya tadi duduk menanti.

Retna Wilis yang mendengar pertanyaan ini menjadi pucat mukanya dan matanya yang bening terbelalak memandang laki-laki gagah yang baru muncul.

Raden Warutama menggeleng-geleng kepala dan alisnya berkerut. Ia sungguh merasa tidak puas kepada dirinya sendiri. Mengapa tldak langsung dibunuhnya saja Endang Patibroto selagi pingsan? Kalau ia melakukan hal itu, tentu sekarang Endang Patibroto sudah mati dan tidak akan khawatir dan pusing-pusing lagi. Akan tetapi ia begitu bodoh untuk memuaskan nafsunya dan setelah hal itu terlaksana, akhirnya ia tidak merasa puas juga, bahkan kecewa.

Endang Patibroto berada dalam keadaan pingsan seperti orang mati, dan sekarang, karena ia menurutkan nafsu, ia gagal membunuh Endang Patibroto, bahkan menanamkan dendam dan kebencian luar biasa. Wanita itu telah mengenalnya pula. Mengingat ini, Raden Warutama bergidik dan diam-diam ia menggigil penuh kengerian. Akan tetapi di depan kedua orang itu ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya dan hanya berkata,

"Dia terlampau sakti untuk dapat dibunuh dengan mudah. Aku gagal, akan tetapi syukur, kalian berhasil. Kita harus menjadikan puterinya ini sebagai tanggungan agar dia tidak mencelakai kita."

"Tadi dia ini sudah menjadi milikku, Raden! Darah dan dagingnya akan menyempurnakan Kolokroda yang kulatih."

"Dan engkau akan mati tersayat-sayat oleh Endang Patibroto! Jangan bodoh, Ki Kolohangkoro. Dia amat sakti, sukar dilawan..."

Ni Dewi Nilamanik menyela. "Tidak perlu diributkan hal ini. Kaupun harus bersabar dulu, Kolohangkoro. Yang terpenting adalah terlaksananya rencana kita terhadap Jenggala. Adapun bocah ini, biar kita minta pertimbangan sang wasi bagaimana baiknya karena hanya sang wasi yang akan mampu menandingi Endang Patibroto."

Mereka melanjutkan perjalanan dan kini Retna Wilis yang sudah yakin bahwa tiga orang ini adalah musuh-musuh ibunya, menjadi makin keras berusaha untuk melepaskan diri.

"Lepaskan aku! Kalian orang-orang biadab! Kalian orang-orang tak tahu malu, pengecut laknat yang patut mampus seribu kali! Muka kalian begini tebal, beraninya hanya sama anak kecil! Kalau memang berani, hayo kembalikan aku kepada ibu dan hendak kulihat berapa jurus kalian bertiga ini sanggup bertahan sebelum mampus di tangan ibuku!"

"Hemm, bocah ini tajam lidahnya!" Raden Warutama mencela marah.

"Nyalinya besar, dia tidak mengenal takut," kata Ni Dewi Nilamanik.

"Dan darahnya tentu mempunyai kekuatan mujijat, tulangnya bersih.... hahha-ha!" dengus Ki Kolohangkoro yang merasa kecewa mengapa ia belum diperkenankan melahap darah daging anak.

"Kalian orang-orang biadab! Lepaskan aku! Lepaskan !" jerit Retna Wilis sambil meronta-ronta sehingga terpaksa Ki Kolohangkoro membungkam mulut yang kecil itu dengan telapak tangannya yang lebar.

Akan tetapi terlambat. Jerit Retna Wilis tadi sudah terdengar orang. Buktinya, terdengar orang berlari ke arah mereka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali. Pemuda ini pakaiannya amat indah akan tetapi sudah agak kotor, wajahnya berkulit kuning bersih, matanya menyorotkan ketajaman luar biasa, dan ia amatlah tampannya sehingga Ni Dewi Nilamanik yang memandangnya sampai terpesona.

"Hemm, mengapa anak itu menjerit jerit? Kalian apakan dia?" pemuda itu menegur sambil memandang kepada Retna Wilis yang dibungkam mulutnya.

"Waaahh, bedes! Mau apa banyak tanya-tanya? Dia ini anakku, hayo lekas kau minggatl" bentak Ki Kolohangkoro sambil memelototkan matanya agar pemuda remaja itu menjadi takut.

"Bukan... dia bohong... aku bukan anaknya...." Retna Wilis sempat menjerit sebelum Ki Kolohangkoro mendekap mulutnya.

Pemuda itu segera melompat ke tengah jalan menghadang, sikapnya keren dan suaranya nyaring ketika ia berkata,

"Kisanak, aku tidak mengenal andika bertiga dan aku sama sekali tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi jelas bahwa anak ini kalian bawa di luar kehendaknya, maka kuharap andika bertiga suka menaruh kasihan kepadanya dan membebaskannya... !!"

"Ehhh, kunyuk kecil benar cerewet engkau!" Ki Kolohangkoro dengan marah lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kanannya, sedangkan lengan kiri tetap memondong Retno Wilis. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya Ketika pemuda yang dipandang rendah itu dengan gerakan indah sekali dapat mengelak dari tamparannya, bahkan dari samping, tangan pemuda itu menjangkau cepat sekali hendak merampas tubuh Retna Wilis!

"Aehhh, kau berani melawan?" Ki Kolohangkoro sudah meloncat mundur, kemudian dengan beringas ia menerjang maju lagi, menggunakan lengan kanan dan kaki untuk menyerang bertubi-tubi. Gerakan tangan dan kaki raksasa ini menimbulkan angin saking kerasnya. Pemuda itu berseru kaget dan cepat-cepat mengelak karena ia tahu bahwa raksasa yang menculik anak itu benar-benar amat tangguh.

"Dewi, kaubunuh dia yang sudah mengetahui tentang penculikan," kata Raden Warutama kepada Ni Dewi Nilamanik.

Wanita ini mengangguk, maklum bahwa memang pemuda tampan itu merupakan bahaya bagi mereka. Tubuhnya melayang ke depan dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan pemuda itu. Melihat majunya Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkorolalu mundur dan menyeringai lebar.

"Bocah bagus, sayang sekali ketampananmu, engkau harus melepaskah nyawa sekarang juga..." kata wanita itu dengan suara merdu dan ramah, akan tetapi secepat kilat, tangan kirinya yang kecil dengan jari tangan terbuka sudah meluncur ke depan menempiling kepala pemuda Itu. Biarpun tangan kecil itu berkulit halus, namun kepala yang kena dItempiling tentu akan retak atau setidaknya akan berantakan isinya.

Pemuda itu kini melihat munculnya wanita cantik yang gerakannya aneh, tidak berani memandang ringan, lalu mengangkat tangan kanan menangkis. Lengannya bertemu dengan lengan kecil yang lunak, akan tetapi aklbatnya, tubuhnya terpental ke belakang. Pemuda itu terbelalak kaget, merasa betapa lengan kanannya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum, dan rasa ngilu sampai menusuk di bahu kanan. Adapun Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum manis namun senyum yang membayangkan maut, sudah melangkah maju, kebutan merah menggetar di tangannya!

"Matilah dengan tenang, bocah bagus... !" kata Ni Dewi Nilamanik, kebutannya bergerak ke atas mengeluarkan bunyi ledakan nyaring.

Tiba-tiba terdengar Ki Kolohangkoro berteriak kaget dan marah, "Heiii...!! Kembalikan anak itu...!"

Pada detik berikutnya terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik karena kebutannya yang ia hantamkan ke arah pemuda itu tiba-tiba terlepas dari pegangannya dan sudah berpindah ke tangan seorang -kakek tua yang ternyata telah memondong Retna Wilis yang sudah dirampasnya tadi dari tangan Ki Kolohangkoro!

Raden Warutama tadi menyaksikan betapa bayangan hitam menyambar-nyambar disusul teriakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik, kemudian melihat betapa secara aneh sekali puteri Endang Patibroto telah dirampasnya, bahkan sekaligus kakek itu menyelamatkan si pemuda dan merampas kebutan merah dari tangan Ni Dewi Nilamanik. Bukan main hebatnya gerakan itu sampai ia melongo keheranan melihat kakek itu. Juga Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terbelalak memandang.

Kakek itu sama sekali tidak kelihatan aneh, bahkan biasa saja, terlalu biasa tidak menimbulkan kesan. Seorang kakek sederhana yang tubuhnya kecil kate, rambutnya masih hitam tidak terawat baik, pakaiannya serba hitam. Pantasnya dia seorang petani miskin. Namun pandang matanya lembut dan mengandung sesuatu yang jarang terdapat pada orang lain.

"Kembalikan anak itu!" Ki Kolohangkoro dengan marah menubruk maju.

Kakek itu tidak bergerak dari tempatnya, hanya memandang tajam dan mendorongkan tangan kirinya ke depan, sedangkan lengan kanan memondong tubuh Retna Wilis. Tiba-tiba saja tubuh Ki Kolohangkoro terhenti di tengah jalan lalu terpelanting roboh. Ia menggereng, bangkit dan menubruk lagi, akan tetapi kembali terbanting sebelum dapat menyentuh kakek itu. Makin keras ia menubruk, makin keras pula ia terbanting sehingga akhirnya ia duduk terlongong dengan kepala pening dan mata juling!

"Eh, si keparat. Siapakah andika seorang tua yang lancang tangan mencampuri urusan orang lain?" bentak Ni Dewi Nilamanik sambil melangkah maju, namun ia masih ragu-ragu untuk menyerang, melihat betapa pukulan jarak jauh kakek itu tadi amat kuatnya.

"Wah, mulutmu memang tajam, Nilamanik!" Tiba-tiba Retna Wilis yang berada dalam pondongan kakek itu berkata. Bocah ini tadi ketika berada dalam tawanan saja sudah memperlihatkan sikap berani menentang, apalagi sekarang setelah mendapat pertolongan seorang kakek sakti. "Sudah jelas kalian bertiga yang menculik aku dan Eyang guru ini menolongku, berani bilang beliau lancang tangan? Tidak tahukah kau bahwa beliau ini calon guruku? Eyang guru, harap sikat saja mereka ini. Mereka ini orang-orang jahat! Siluman betina ini namanya Ni Dewi Nilamanik, itu yang seperti Buto Terung itu namanya Ki Kolohangkoro dan yang satunya lagi, tampan tetapi palsu adalah Warutama." Retno Wilis mengerti akan nama-nama mereka ketika mendengarkan percakapan mereka di sepanjang jalan. "Kalau ada ibuku, tentu mereka ini sudah dibunuh semua. Dasar pengecut, beraninya hanya kepada anak kecil, kalau menghadapi ibuku, ketua Padepokan Wilis, belum apa-apa tentu sudah menggigil!"

"Puja-puji untuk para dewata!" kakek itu berkata lirih, suaranya halus dan tenang. "Jadi engkau ini puteri Endang Patibroto ketua Padepokan Wilis?"

"Benar, Eyang Guru. Namaku adalah Retna Wilis. Harap kau suka mengajarku ilmu pukulan seperti tadi agar aku dapat merobohkan siluman-siluman tengik ini."

Kakek ini mengangguk-angguk. "Sebagai pengikut-pengikut Wasi Bagaspati, tentu saja mereka suka menggunakan siasat kotor. Engkau ingin mengalahkan mereka? Kalau engkau kusuruh, maukah melawan mereka?"

Retno Wilis melorot dari pondongan kakek itu. "Eyang telah menjadi Guruku, segala perintah Eyang tentu akan kutaati. Haruskah aku menyerang mereka?"

Kembali kakek itu mengangguk-angguk. "Perbuatan sesat memang perlu dihukum, itu baru adil namanya. Mereka telah menculikmu, membikin engkau seorang anak kecil mengalami kesengsaraan. Hukumlah mereka, pergunakan cambuk ini." Kakek itu menyerahkan cambuk merah, atau kebutan, yang dirampasnya dari tangan Ni Dewi Nilamanik tadi.

Retna Wilis dengan sikap gagah dan tabah melangkah maju, kebutan merah dipegang gagangnya dengan erat ditangan kanan. Ia menghampiri Ki Kolohangkoro dengan pandang penuh kebencian dan kemarahan. Raksasa itu memandang terbelalak, akan tetapi juga girang karena kini ia mendapat kesempatan untuk menangkap lagi bocah ini. Ia akan menyambarnya dan membawanya lari sebelum kakek sakti yang aneh itu dapat merampasnya kembali.

"Retna Wilis, seranglah dia, hajar dia!" terdengar kakek itu berseru.

Retna Wilis dengan hati tabah lalu menerjang maju, menghantamkan kebutan itu ke arah paha Ki Kolohangkoro. Si Raksasa tertawa bergelak, tidak memperdulikan pukulan kebutan, bahkan la lalu menubruk maju hendak mencengkeram dan menyambar tubuh Retna Wilis. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba tangan dan kakinya tidak dapat ia gerakkan lagi, atau tertahan oleh sesuatu sehingga terhenti di tengah jalan.

"Tar-tar!" Cambuk itu menghajar pahanya, biarpun tidak begitu sakit akan tetapi karena tenaga Retna Wilis memang sudah terlatih, celananya robek di bagian paha, Retna Wilis terus mencambuki, dan tiap kali Ki Kolohangkoro hendak bergerak memukul atau menangkis maupun mengelak, gerakannya selalu terhalang sehingga tidak ada cambuk Retna Wilis yang tidak mengenai sasaran!

Menyaksikan hasil baik ini, Retna Wilis gembira sekali. la tertawa-tawa dan mengamuk makin hebat, kini ia menerjang Ni Dewi Nilamanik. Wanita sakti inipun berusaha menangkis, bahkan berusaha memukul mati anak itu, namun seperti juga halnya Ki Kolohangkoro, semua gerakannya tertahan dan tahulah ia bahwa ini adalah perbuatan kakek aneh itu. Terpaksa ia mandah dicambuki sehingga bajunya robek-robek pula, kulitnya matang biru oleh cambuknya sendiri.

Retna Wilis tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini menyerang Raden Warutama yang mengalami nasib sial seperti kedua orang kawannya. Seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan baru, Retna Wilis meloncat-loncat dan mencambuki tiga orang itu berganti-ganti sampai pakaian mereka compang-camping semua. Akan tetapi karena tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kekebalan, akhirnya tangan anak itu sendiri yang menjadi lelah sehingga tanpa disuruh Retna Wilis berhenti sendiri dengan tubuh berkeringat!

"Cukup, Retna Wilis. Kembalikan, kebutan itu kepada pemiliknya!" kata kakek sakti itu.

Retna Wilis melemparkan kebutan ke arah Ni Dewi Nilamanik yang menerimanya dengan muka merah sekali. Ki Kolohangkoro menggereng-gereng saking marahnya namun iapun tidak berani sembarangan bergerak. Hanya Raden Warutama yang diam saja, mukanya agak pucat, kemudian ia menjura ke arah kakek itu sambil bertanya,

"Kami bertiga yang bodoh telah menerima petunjuk Paman. Setelah Paman tahu akan nama dan keadaan kami, sudah sepatutnya kalau Paman memberitahukan pula nama Paman kepada kami."

"Orang memanggil aku Ki Datujiwa," jawab kakek kecil Itu sederhana."

"Dan aku Sigit," kata pangeran muda Panji Sigit dengan sederhana pula karena Ia tidak ingin dikenal orang sebagai Pangeran Jenggala.

Tiga orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi lalu meninggalkan tempat itu dengan pakaian compang锟綾amping, kepala tunduk dan hati tidak karuan rasanya. Mereka kehilangan tawanan, kehilangan muka dan terancam bahaya pembalasan dendam Endang Patibroto. Di dalam hati mereka, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro merasa heran mengapa seringkali bertemu orang-orang pandai.

Berbeda dengan mereka, Raden Warutama menganggap pengalaman pahit ini sebagai pelajaran yang membuatnya semakin hati-hati dan waspada. Memang, Raden Warutama bukan orang sembarangan. Seperti telah dikenal oleh Endang Patibroto, dia adalah Raden Sindupati, bekas kawula Jenggala yang melarikan diri ke Blambangan dan menjadi perwira Blambangan. Kemudian, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, Raden Sindupati meninggalkan Blambangan yang dihancurkan oleh pasukan-pasukan Panjalu dan Jenggala di bawah pimpinan Pangeran Darmokusumo dan Endang Patibroto.

Raden Sindupati melarikan diri ke Bali-dwipa, di mana ia merantau dan selama lima tahun berguru kepada beberapa orang sakti sehingga memperoleh kepandaian tinggi. Kemudian ia kembali ke Jawa-dwipa, merubah bentuk kumis jenggotnya, juga melukai sendiri bawah dagunya sehingga wajahnya berubah dan tidak mudah dikenal sebagai Raden Sindupati. Untuk penyamaran ini ia menggunakan nama Raden Warutama.

Setelah tiga orang yang dipermainkan Ki Datujiwa itu tak tampak lagi bayangannya, Pangeran Panji Sigit tertawa. Ia berjongkok dan merangkul Retna Wilis, mengusap rambut anak itu dan berkata, 鈥淒uhai, betapa bangga hatiku mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Retna Wilis! Engkau pemberani seperti ibumu. Sungguh pantas menjadi puteri ayunda Endang Patibroto.鈥�

Retna Wilis memandang pangeran itu penuh perhatian. Dia tidak mengenalnya, karena ketika Pangeran Panji Sigit menjadi tawanan ibunya, ia tidak sempat melihatnya. Hatinya senang melihat pemuda yang tampan dan gagah ini, apalagi yang tadi telah menolongnya.

"Namamu tadi Sigit? Engkau telah mengenal ibuku?"

"Tentu saja aku mengenal ibumu, anak manis. Ibumu adalah kakak iparku sendiri. Aku Pangeran Panji Sigit.....鈥� "Aihhh....! Yang dikabarkan tertawan oleh Bibi Setyaningsih? Pangeran Jenggala yang hampir dibunuh itu dan dibela Bibi Setyaningsih? Wah, mengapa ibu hendak membunuhmu? Engkau tampan dan gagah, baik hati pula. Engkau tentu akan memasuki sayembara, bukan? Paman Pangeran, aku akan gembira sekali kalau kau menjadi suami Bibi Setyaningsih!" "Tidak akan semudah itu, Retna Wilis...." kata Ki Datujiwa sambil tersenyum. "Mengalahkan ibumu dalam pertandingan tidak mudah.鈥�

"Aku akan membantu! Aku akan membujuk Bibi Setyaningsih agar mengalah terhadap Paman Pangeran Panji Sigit, dan membujuk ibu agar mengalah terhadap Eyang. Akan tetapi ada syaratnya!"

"Apa syaratnya, Cah-ayu?"

"Kelak Paman harus menemani aku dipuncak Wilis bersama Bibi Setyaningsih, sampai lima tahun, dan Eyang harus mengajar ilmu pukulan yang hebat tadi kepadaku!"

Pangeran Panji Sigit berpikir-plkir, Memang ia tidak mempunyai keinginan untuk tergesa-gesa pulang ke Jenggala, karena hal ini hanya akan menimbulkan hal-hal tidak enak baginya. Selama ramandanya berada di bawah kekuasaan Suminten, ia tidak mau pulang dan lebih baik tinggal di puncak Wilis! Maka tanpa ragu-ragu lagi ia mengangguk, "Baik, aku berjanji memenuhi permintaanmu, Retna."

Juga Ki Datujiwa mengangguk-angguk. "Apa yang kumiliki belum cukup untuk mengisi dirimu yang memiliki bakat jauh lebih besar, Angger. Akan tetapi sebagai dasar, bolehlah."

Retna Wilis berseru girang lalu berlari-lari naik gunung sambil berteriak, "Aku akan cepat menemui ibu dan bibi!"

Ki Datujiwa dan pangeran muda itu saling pandang sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti larinya Retna Wilis, melindunginya dari jauh karena Ki Datujiwa menasehati sang pangeran, "Lebih baik kita jangan menonjolkan tentang pertolongan atas diri Retna Wilis karena kalau sampai hal itu membuat Endang Patibroto terpaksa mengalah, hal itu akan menyinggung dan mencemarkan nama besarnya sebagai seorang pimpinan Padepokan Wilis. Kalau dia mengalah, biarlah hal itu terjadi atas kehendaknya sendiri, bukan karena kehadiran kita sebagai penolong puterinya."

Pangeran Panji Sigit biarpun masih muda, namun ia memiliki pandangan luas sehingga ia dapat menangkap maksud nasehat Ki Datujiwa yang sesungguhnya hanya ingin menjaga muka terang Endang Patibroto. Karena itu, mereka berdua hanya mengikuti Retna Wilis dari jauh sampai anak itu bertemu dengan para anak buah Padepokan Wilis dan beramai-ramai puteri yang hilang itu diiringkan naik ke puncak di mana Endang Patibroto dan Setyaningsih menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kelegaan hati. Dengan penuh semangat Retna Wilis lalu bercerita kepada ibunya dan bibinya' tentang pengalamannya diculik tiga orang musuh itu, kemudian ia menceritakan pula betapa dirinya ditolong oleh Pangeran Panji Sigit dan seorang kakek yang bernama Ki Datujiwa.

"Ki Datujiwa...?" Endang Patibroto mengerutkan kening dan mengingat-ingat akan tetapi merasa tidak pernah mendengar nama ini.

"Dia hebat, Ibu! Dan aku sudah diangkat menjadi muridnya!"
< br> "Apa....??鈥� "Benar! Bahkan dengan pertolongannya, aku telah berhasil merangket mereka, hi-hi-hik! Warutama, Nilamanik, dan Kolohangkoro kuhajar dengan kebutan milik Nilamanik sampai tubuh mereka matang biru dan pakaian mereka compang-camping!" Anak itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri menceritakan "pertempurannya" melawan tiga orang sakti itu. Endang Patibroto mendengarkan dengan kening berkerut.

Menurut cerita anaknya, jelas bahwa kakek yang bernama Ki Datujiwa itu seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi hatinya tidak puas. Mengapa kakek itu begitu lancang mengangkat murid puterinya? Tanpa minta persetujuannya, hal itu sama dengan memandang rendah kepadanya! Diganggu pikiran ini, ia tidak mendengarkan lagi cerita anaknya dan baru sadar ketika anaknya berkata sambil menarik-narik tangannya,

"Karena itu, dalam pertandingan sayembara nanti, lbu harus mengalah kepada Eyang Guru! Dan bibi Setyaningsih harus mengalah terhadap paman pangeran. Dia tampan, ganteng sekaIi seperti Sang Harjuna dan gagah perkasa, Bibi!"

Wajah Setyaningsih tiba-tiba menjadi merah sekali sampai ke lehernya, kepalanya menunduk dan ia tidak berani menentang pandang mata ayundanya. Ada-pun Endang Patibroto diam saja, hanya hatinya tida puas. Sungguh keras dan aneh watak Endang Patibroto. Tadinya ia bersyukur dan berterima kasih, akan tetapi begitu puterinya menyatakan bahwa Ki Datujiwa mengangkat Retna Wilis sebagai murid, timbul amarah dan ketidaksenangan hatinya.

********************

Pagi-pagi sekali para calon pengikut sayembara sudah berbondong-bondong mendaki puncak Wilis, didahulul oleh serombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin sendiri oleh LimanWilis sebagai penyambut para tamu. Lebih dari dua puluh orang calon pengikut sayembara diiringkan wali masing-masing yang terdiri darI guru, ayah sendirl, atau jagoan undangan mereka. Mereka mendaki puncak dengan wajah serius dan hati berdebar-debar karena sedikit banyak nama Padepokan Wilis, terutama sekali nama Endang Patibroto sudah membuat hati mereka gentar.

Di antara banyak pengikut ini tampak Pangeran Panji Sigit dan Ki Datujiwa yang berjalan paling belakang. Di tengah lapangan di atas puncak, tempat para anak buah Padepokan Wilis biasanya berlatih ulah yuda, telah dibangun sebuah panggung yang luasnya ada lima meter persegi, terbuat daripada balok-balok dan papan tebal. Panggung inilah yang akan menjadi arena pertandingan dengan ketentuan bahwa slapa yang dipaksa turun panggung, berarti kalah. Hal ini sengaja diadakan untuk mencegah atau mengurangi kekalahan yang mendatangkan maut, karena yang sudah terguling, tidak akan diserang lagi dan sudah dianggap kalah.

Endang Patibroto, Setyaningsih, dan Retna Wilis sudah duduk di kursi dekat panggung. Semua mata tentu saja ditujukan ke arah mereka. Orang-orang muda yang menjadi calon pengikut, memandang ke arah Setyaningsih dan banyak di antara mereka yang menahan napas menelan ludah sendiri. Dara remaja itu demikian cantik jelita, sehingga bangkitlah semangat mereka untuk mencoba-coba, siapa tahu akan "kejatuhan bulan"! Andaikata kalah atau terluka berat sampai mati sekalipun, mereka tidak akan penasaran memperebutkan seorang dara seperti dewi kahyangan Itu.

Setyaningsih hanya menyapu mereka dengan pandang mata kosong, akan tetapi pipi dara ini mendadak menjadi merah dan matanya berseri gembira bercampur malu-malu dan segera menundukkan muka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Pangeran Panji Sigit!

Adapun para wali yang datang hendak membela murid, putera, atau pengundang mereka ini, memandang ke arah Endang Patibroto dengan pandang mata kagum bercampur sangsi dan khawatir. Baru melihat saja orang sudah dapat menduga bahwa Endang Patibroto adalah seorang wanita yang sakti mandraguna, pandang matanya tajam dan dingin mengerikan, seluruh pembawaannya membayangkan tenaga mujijat yang menyeramkan. Seorang lawan yang amat berat, demikian rata-rata di pikiran para wali yang terdiri daripada orang-orang tua yang digdaya Itu.

Tentu saja para orang muda yang hadir juga memandang ke arah Endang Patibroto dengan jerih dan kagum. Kagum menyaksikan betapa wanita sakti yang amat terkenal itu ternyata masih cantik jelita, bagaikan buah sudah masak di samping Setyaningsih yang bagaikan sebutir buah yang ranum matang ati. Dan jerih karena sesungguhnya dalam sayembara tanding ini, Endang Patibroto-lah yang menentukan kesudahannya. Biarpun di antara mereka ada yang sanggup mengalahkan Setyaningsih, namun kalau walinya tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, berarti gagal juga.

Setelah hening sejenak, Limanwilis melompat naik ke atas panggung. Lompatannya ringan, karena tiga orang kakak beradik Wilis itu telah digembleng aji meringankan tubuh Bayu Tantra oleh Endang Patibroto. Melihat gaya lompatan pembantu ketua Padepokan Wilis ini saja, banyak sudah yang memuji dan menjadi gentar. Lompatan orang tinggi besar itu sedemikian ringannya seolah-olah lompatan seekor kucing, dan ketika kedua telapak kakinya menginjak papan panggung, sedikitpun tidak mengeluarkan suara, juga tidak menggetarkan panggung.

Limanwilis mewakili ketuanya menyampaikan selamat datang kepada semua peserta, kemudian menjelaskan peraturan sayembara, dinyatakan bahwa maksud sayembara ialah memilih seorang calon jodoh untuk Setyaningsih, adik kandung ketua Padepokan Wilis dan bahwa di dalam sayembara ini tidak ada tentang permusuhan, baik pribadi maupun golongan sehingga pertandingan diatur dengan panggung agar mengurangi kemungkinan tewas. Hal ini diharapkan pengertian para peserta sehingga sifat sayembara hanya "menguji kepandaian" dan bukanlah pertempuran untuk membunuh atau melukai lawan. Kemudian ia menutup sambutannya dengan peraturan terakhir,

"Siapa saja yang berniat memasuki sayembara, dipersilahkan naik ke panggung secara bergilir. Adapun ketua kami yang akan menentukan apakah peserta yang boleh bertanding lebih dahulu ataukah walinya." Kemudian Limanwilis kembali mempersilahkan peserta pertama naik ke panggung. Lalu iapun melompat turun dan kembali ke tempatnya, yaitu rombongan anak buah Padepokan Wilis yang berbaris rapi dan angker.

Karena sebagian besar para peserta mengambil sikap "siap", mereka itu hanya menanti dan "melihat-lihat gelagat" maka sampai lama tidak ada juga yang naik ke panggung! Keadaan sunyi hening dan menggelisahkan. Akhirnya terdengar suara kecil nyaring,

"Apakah yang datang para pingecut? Kalau tidak berani bertanding, untuk apa mengikuti sayembara dan mau apa datang ke sini?"

Semua orang menengok dan memandang ke arah Retna Wilis yang mengeluarkan ucapan itu. Merahlah muka semua orang, termasuk Endang Patibroto yang tidak keburu mencegah puterinya. Di dalam hatinya ia merasa cemas. Puterinya ini benar-benar amat tajam mulutnya, dan mempunyai pandangan seperti seorang dewasa saja.

Tiba-tiba tampak bayangan melompat ke atas panggung. Dia seorang pemuda tampan dan setelah menghadap ke arah Endang Patibroto, ia berkata, "Saya Pranolo dari Ponorogo mengambil kehormatan untuk menjadi peserta pertama!"

Tepuk sorak gemuruh menyambut naiknya pemuda ini. Orang bukan kagum akan gerakannya melompat yang tak dapat dikatakan gesit, masih kalah oleh Limanwilis tadi, melainkan memuji ketabahannya naik sebagai orang pertama.

Sekilas pandang Endang Patibroto merasa suka kepada pemuda ini yang cukup tampan. Dia teringat bahwa daerah Ponorogo memiliki banyak orang sakti. Akan tetapi melihat gerakan pemuda ini ketika melompat tadi, jelas bahwa ilmunya meringankan tubuh kurang tinggi. Betapapun juga, masih timbul harapan di hatinya. Siapa tahu kalau-kalau hanya ilmu meringankan tubuhnya saja yang lemah sedangkan ilmu lainnya kuat. Maka ia memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Setyaningsih yang bangkit dengan tenang, melangkah maju dan sekali mengayun tubuh, tubuhnya yang langsing dan berkulit kuning itu melayang seperti seekor burung terbang, hinggap di atas panggung di depan Pranolo.

Tepuk tangan makin riuh dan semua orang kini benar-benar kagum, baik atas gaya loncatan indah itu maupun untuk kejelitaan yang kini nampak nyata setelah dara itu berada di atas panggung. Setyaningsih mengikat rambutnya ke belakang, ujung rambut terurai seperti ekor kuda, di atas terhias cunduk emas permata. Bajunya berlengan pendek, berkembang dan berwarna merah. Kembennya berwarna kuning kehijauan, sedangkan kainnya berwarna biru, tepinya agak tinggi sehingga tampaklah betis memadi bunting dan mata kaki yang merit, tungkak yang berwarna jambon. Kulit lengan dan betis itu bersih halus, kuning kemerahan amat menggairahkan hati para peserta sayembara.

Dengan sikap tenang Setyaningsih berdiri di depan Pranolo. Pranolo sejenak seperti terpesona, tak tahu harus berbuat atau berkata apa melainkan memandang dara yang berada di depannya. Tercium olehnya keharuman yang tipis dan pemuda ini menelan ludah. Kebimbangan dan kebingungan Pranolo, sampai cara ia menelan ludah jelas tampak oleh semua orang sehingga mulailah terdengar kekeh tawa yang membuat pemuda itu makin gagap-gugup lagi. Dari bawah panggung terdengar seorang kakek berkata,

"Pranolo, lawan telah siap, engkau menanti apa lagi?"

"Ohh.... baiklah, Eyang, baik.... !" Pranolo menjawab gagap lalu melangkah maju mendekati Setyaningsih dan berkata, "Maafkan.... maafkan keberanianku..."

Setyaningsih hanya mengangguk, diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda yang canggung ini. Pranolo lalu menerjang maju, serangannyapun bukan serangan pukulan atau tendangan, melainkan serangan untuk menangkap lengan dara itu, agaknya ia pikir kalau dapat menangkap lengan Setaningsih dan mendorongnya turun panggung, ia tentu akan menang. Gerakannya cukup sebat dan mantap, namun dalam hal kepandaian ia jauh kalah oleh Setyaningsih. Gadis inipun tidak suka mempermainkan orang. Begitu ia mengelak beberapa kali daripada sambaran tangan lawan yang hendak menangkap lengannya, cepat dari samping ia menendang ke arah belakang lutut kanan Pranolo.

Pemuda itu berseru kaget karena kakinya tiba-tiba melengkung dan ia hampir roboh. Tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Setyaningsih dan sekali dara ini mengayun, tubuh Pranolo melayang terlempar turun panggung Akan tetapi pemuda itu tidak terbanting keras, melainkan melayang turun dengan kaki di bawah sehingga ketika ia mendarat, ia hanya terhuyung saja dan mengalami kaget.

Tepuk tangan gemuruh menyambut kemenangan pertama ini. Mereka yang ilmunya tinggi, termasuk Endang Patibroto, tentu saja mengerti bahwa Setyaningsih menaruh kasihan kepada lawannya, kalau tidak tentu lemparan ke bawah panggung itu setidaknya akan membuat kulit lecet kepala benjut. Endang Patibroto kecewa. Kalau macam itu saja pemuda-pemuda yang hadir, tidak ada harapan bagi Setyaningsih untuk mendapatkan jodoh yang patut.

la teringat akan Pangeran Panji Sigit dan mengerling ke arah pemuda itu. Ia melihat seorang kakek berpakaian sederhana, bertubuh kecil berdiri di dekat Panji Sigit dan menduga bahwa tentu itulah yang bernama Ki Datujiwa. Sinar mata orang itu hebat, pikir Endang Patibroto, akan tetapi hatinya panas kembali kalau teringat betapa orang itu langsung mengangkat Retna Wilis sebagai murid.

Pula, sungguhpun harus ia akui bahwa Pangeran Panji Sigit mempunyai banyak persamaan dengan mendiang suaminya, Pangeran Panjirawit, wajahnya mirip dan sikapnya juga sama halusnya, akan tetapi di sudut hati Endang Patibroto sudah menaruh rasa tidak suka kepada Jenggala sehingga kalau mungkin, lebih senang kalau ia melihat adik kandungnya mendapatkan jodoh lain orang.

Kekalahan Pranolo itu diam-diam telah mengundurkan enam orang peserta lainnya, yaitu mereka yang merasa masih belum dapat menandingi Pranolo, apalagi harus melawan Setyaningsih. Betapapun hati mereka gandrung wuyung, tergila-gila menyaksikan dara remaja yang jelita dan tangkas itu, namun merekapun merasa segan untuk mendapat malu seperti Pranolo, baru bertanding dalam beberapa jurus saja sudah keok!

Berturut-turut maju lagi dua orang pemuda yang masih muda dan cukup tampan. Melihat sikap mereka itupun sopan seperti Pranolo, Setyaningsih maju melawan mereka dan mengalahkan mereka dalam waktu singkat saja, melemparkan mereka turun dari panggung!

Kembali kekalahan dua orang pemuda yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari Pranolo itu membuat banyak pemuda lainnya diam-diam membatalkan niatnya mencoba-coba. Kiranya Setyaningsih benar-benar hebat sekali dan mereka menjadi ngeri sendiiri memikirkan betapa mereka akan dilempar atau dibanting oleh tangan halus itu.

Maka setelah Setyaningsih melompat turun dan duduk kembali dekat Endang Patibroto sehabis mengalahkan orang ke tiga, dan ketika Limanwilis mempersilahkan peserta berikutnya naik panggung, tidak ada seorangpun pemuda berani naik dan mereka itu hanya saling pandang dan saling menanti saja. Memang masih banyak di antara mereka yang memiliki ilmu kepandaIan tinggi, akan tetapi mereka yang menyaksikan ketangkasan Setyaningsih menjadi ragu-ragu apakah mereka akan dapat menandingi dara perkasa itu.

Setelah keadaan mulai menegang karena tidak ada yang menyambut desakan Limanwilis, tiba-tiba terdengar suara terbahak dan sesosok bayangan tinggi besar meloncat naik ke atas panggung. Terdengar suara berdebukan ketika kedua kaki laki-laki tinggi besar ini tiba di papan panggung, dan panggung itu sendiri tergetar!

Diam-diam Endang Patibroto tertarik dan kaget. Pria itu tentu, lebih dari tiga puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat seperti kebanyakan anak buah Padepokan Wilis. Mukanya cukup gagah, dengan kumis melintang dan dagu tertutup jenggot tipis. Ikat kepalanya berkembang merah, sabuknya putih dan mengkilap, agaknya dari perak, kainnya berdasar merah dan celananya putih. Begitu tiba di atas panggung, pria itu menghormat ke arah Endang Patibroto dan berkata, suaranya keras sekali,

"Namaku Joko Bono, di pesisir selatan orang menyebutku si Lengan Baja. Terus terang saja, aku kagum menyaksikan kedigdayaan sang dyah ayu sehingga ragu-ragu untuk menandinginya. Apalagi mendengar nama ketua Padepokan Wilis, sungguh sampai mati saya tidak akan berani lancang melawannya. Akan tetapi, aku hidup seorang diri di dunia ini, tidak ada wali. Karena ingin menguji ilmu, aku memaksa diri naik, walinyapun aku sendiri. Terserah apakah Padepokan Wilis sudi memperkenankan aku ikut atau tidak."

Semua orang memandang penuh perhatian dan hati mereka merasa tertarik. Biarpun sebagian besar di antara mereka baru sekali ini bertemu dengan pria tinggi besar itu, namun nama Si Lengan Baja Joko Bono telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan di pesisir selatan. Terkenal karena lengan dan tangannya yang kuat sekali, dan wataknya yang jujur, terbuka dan penuh keberanian. Dari ucapannya di atas panggung tadipun terbayanglah sifatnya yang terbuka sehingga Endang Patibroto merasa suka. Setelah bertukar pandang dengan Setyaningsih, ia berbisik lirih,

"Lawanlah, akan tetapi hati-hati, kedua lengannya amat kuat dan jangan mengadu tenaga dengan dia. Pergunakanlah kecepatan, tundukkan dengan Pethit Nogo sebelum mendorong dia ke bawah."

Setyaningsih mengangguk lalu bangkit dan melompat ke atas panggung. Semua orang berdebar tegang. Tadinya, karena ucapan Bono, mereka mengira bahwa sekali ini tentulah Endang Patibroto sendiri yang naik panggung karena bukankah Joko Bono itu tidak mempunyai wali? Endang Patibroto berhak untuk menghadapinya. Akan tetapi, siapa menduga, ternyata Setyaningsih sendiri yang maju! Tentu saja mereka menjadi berkhawatir sekali dan berdesakanlah mereka, maju mendekati panggung agar dapat menonton lebih jelas.

"Ha-ha-ha! Sungguh Padepokan Wilis menaruh kasihan kepadaku, membiarkan sang dyah ayu melawanku. Marilah, Nimas Ayu, biar terbuka mata Bono menyaksikan aji-aji kesaktian Padepokan Wilis!"

Setyaningsih sudah mengenal watak calon lawannya yang terbuka dan jujur, maka iapun tersenyum dan menjawab,

"Aku sudah siap. Majulah, Joko Bono."

"Bagus! Awas seranganku.... hyeeeeetttt.... !!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan gerakan cepat laksana seekor harimau menubruk anak kambing, Bono menerjang maju, lengan kanan yang besar itu menyerang dengan kepalan memukul ke arah pundak Setyaningsih. Cepat dan keras sekali, mendatangkan angin yang sudah terasa oleh dara itu sebelum kepalannya tiba. Namun Setyaningsih dengan kecekatan mengagumkan sudah miringkan tubuh dan jari-jari tangannya yang terbuka dan diisi dengan Aji Pethit Nogo menyambar dari samping, menghantam lambung.

"Wuuut..... plakk....!" Bono dapat menangkis tamparan itu dengan lengan kirinya yang seperti juga lengan kanannya, terlindung lingkaran besi kuningan.

Setyaningsih memang tadi sengaja membiarkan tamparannya tertangkis karena biarpun ia sudah diberi peringatan oleh ayundanya, ia masih belum puas kalau tidak mencoba sendiri. Ternyata tamparan Pethit Nogo itu dapat ditangkis dan telapak tangannya terasa panas, tanda bahwa lengan lawan memang benar amat kuat, sesuai dengan julukannya Si Lengan Baja!

Sebaliknya, Joko Bono juga merasa betapa kulit lengannya pedas ketika bertemu dengan tamparan jari-jari tangan lunak kecil itu. Diam-diam ia kaget dan kagum. Tahulah raksasa muda ini betapa sang ayu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Maka la kembali berseru keras dan tubuhnya bergerak-gerak maju, kadang-kadang berputar seperti sebuah kitiran angin, kedua lengannya diputar sedemikian rupa merupakan baling-baling yang dengan gencar bergantian menyambar ke arah tubuh Setyaningslh dengan pukulan, dorongan, tamparan atau cengkeraman. Dahsyat sekali serangannya ini dan para penonton menahan napas. Bahkan Endang Patibroto sendiri bersama Retna Wilis tak terasa lagi maju mendekati panggung saking tegang dan tertariknya.

Pertandingan sekali ini baru ada harganya untuk ditonton. Setyaningsih kelihatannya didesak terus. Namun sesungguhnya dara remaja itu menguasai keadaan karena betapapun cepat gerakan Joko Bono, dara ini memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga setiap pukulan kepalan tangan besar itu dapat ia lihat dengan nyata dan dapat ia elakkan.

Tubuhnya berkelebat ke kanan kadang-kadang meloncat ke atas, kadang-kadang menyelinap ke bawah, kadang-kadang dengan jari-jari tangan terbuka ia menyampok lengan lawan dari samping. Pethit Nogo adalah aji pukulan yang mengandalkan jari-jari terbuka, dengan meminjam tenaga lawan dapat menyampok ke samping dan apabila dipergunakan untuk menyerang, maka jari-jari tangan itu mengandung tenaga mujljat yang amat ampuhnya.

Penonton mulai bersorak-sorak. Sungguh menarik pertandingan ini. Setelah kini Setyaningsih mempergunakan Aji Bayu Tantra untuk bergerak mengelak dan menyelinap, baru jelas tampak oleh mereka betapa gerakan kedua orang itu amat jauh bedanya. Tubuh Joko Bono yang tadi bergerak cepat, kini di samping gerakan dara itu kelihatan seperti gerakan seekor badak yang kuat namun lamban sekali, sebaliknya dara itu bergerak cepat dan ringan seperti seekor kijang. Semua pukulan Joko Bono jauh meleset daripada sasarannya.

Ada seperempat jam Joko Bono mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak lawan. Kadang-kadang ia memang dapat mendesak Setyaningsih ke sudut panggung dan dengan penuh nafsu ia hendak mendesak terus agar dara itu terpaksa melompat turun dan dengan demikian ia akan dinyatakan menang.

Namun setiap kali dara yang lincah itu dapat menyelinap melalui bawah kedua lengannya atau melalui atas pundaknya dengan melompat tinggi dan tahu-tahu telah berada di tengah panggung lagi sehingga ia harus membalikkan tubuh dan mulai dengan serangan baru lagi.

Beberapa kali sambil mengelak, Setyaningsih membalas dengan tamparan Aji Pethit Nogo secara tiba-tiba dan tak terduga. Memang ada beberapa kali Joko Bono kena diserempet tamparan, akan tetapi karena tidak tepat dan pukulannya dilakukan sambil mengelak, sedangkan tubuh Joko Bono memiliki kekebalan yang amat kuat, maka semua tamparan jari tangannya membalik, tidak berhasil merobohkan orang kuat itu.

Joko Bono mulai pening kepalanya, pandang matanya berkunang ketika tiba-tiba Setyaningsih mempercepat gerakan tubuhnya, meloncat ke sana ke mari sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra. Ia merasa penasaran dan sambil berseru keras ia lalu maju menubruk, mengerahkan seluruh tenaganya, kedua tangan dikepal dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Setyaningsih. Dara itu cepat menggunakan jari-jari tangan kanannya menyampok dari samping kanan. Akan tetapi ternyata sekali ini Joko Bono berlaku cerdik. Pukulan tangan kiri itu hanya merupakan gertak belaka karena tiba-tiba saja tangan kanannya meluncur ke depan dan ia berhasil menangkap lengan kiri Setyaningsih!

Semua penonton mengeluarkan seruan tertahan dan mengira bahwa dara itu akhirnya akan kalah oleh Joko Bono, sungguhpun hal ini tidak berarti bahwa pria tinggi besar Itu telah lulus dalam sayembara karena ia harus mengalahkan Endang Patibroto.

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 24