Perawan Lembah Wilis Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 18

"JAGAT Dewa Bathara.... !" Sang Prabu Panjalu berseru kaget dan juga tercengang keheranan. "Tidak bisa keliru lagi, Adipati Tejolaksono! Kakek pertapa sakti itu bukan lain tentulah eyang Bhagawan Ekadenta! Biarpun aku sendiri belum pernah berjumpa dengan beliau, namun pernah dahulu aku mendengar penuturan mendiang Rama Prabu Airlangga yang pernah ditolong oleh eyang Bhagawan Ekadenta ketika rama prabu mengungsi ke Wonogiri dan terancam keselamatannya oleh musuh, yaitu pasukan-pasukan Sriwijaya yang juga dibantu oleh tokoh-tokoh dari Cola. Sungguh luar biasa. Semenjak setengah abad yang lalu, beliau sudah menjadi seorang kakek sakti, dan selama ini tidak pernah terdengar namanya, bahkan ada berita bahwa Eyang Bhagawan Ekadenta telah meninggalkan dunia Ini tanpa jejak; murca berikut raganya. Itulah sebabnya maka dijuluki Sirnasarira (lenyap tubuhnya)."

Juga para senopati kagum mendengar ini dan menyatakan suka cita bahwa Panjalu dibantu oleh seorang yang sakti itu, menjadi pertanda bahwa Kerajaan Panjalu masih dilindungi para dewata.

"Betapapun juga, para senopati dan ponggawaku yang setia. Kita tidak boleh mabuk oleh kemenangan, karena betapa-pun sukarnya merebut kemenangan, menjaganya adalah lebih sukar lagi. Justeru kemenangan yang ajaib ini malah harus menjadi cambuk bagi kita untuk mempertebal kewaspadaan. Oleh karena itu, Tejolaksono, engkau tidak usah kembali ke Selopenangkep, biarlah aku akan mengangkat orang lain untuk mengurus Selopenangkep. Adapun engkau dan isterimu tinggallah di sini, karena engkau kuangkat menjadi patih muda, membantu Kakang Patih Suroyudo dan kuserahi tugas bagian pertahanan. Engkaulah sebagai wakilku sendiri mengatur semua senopati dan seluruh barisan Panjalu!"

Tejolaksono terkejut, girang dan juga bersyukur sekali karena anugerah ini amatlah besar baginya. Semenjak saat itu ia disebut Patih Tejolaksono dan mendapat sebuah istana di kepatihan Panjalu. Setelah menghaturkan terima kasih dan mendapat perkenan sang prabu, bergegas Tejolaksono pulang ke pesanggrahan menemui isterinya.

Ayu Candra menyambut suaminya dengan tangis dan tawa saking gembira dan bahagianya. Tidak saja suaminya berhasil mengusir musuh negara dan membalas dendam atas kehancuran Selopenangkep dan kematian kedua orang bibi mereka, akan tetapi terutama sekali karena suaminya dapat pulang dalam keadaan selamat, mengingat akan beratnya tugas yang diplkulnya dan saktinya lawan-lawan yang dihadapinya.

"Nimas, sungguh terjadi hal yang sama sekali tak pernah kuduga.... di puncak Gunung Merak aku bertemu dengan Bagus seta!"

Terbelalak mata Ayu Candra Memandang suaminya, berseri-seri penuh kebahaglaan dan dua titik air mata bahagia meloncat keluar ke atas pipinya.

"A... anak... kita...? Bagaimana dia? Kenapa tidak ikut pulang...?"

Pertanyaan itu penuh harap dan dengan tenang Tejolaksono lalu menceritakan pengalamannya di puncak Pegunungan Merak, di mana hampir saja ia tewas kalau saja tidak ditolong oleh kakek sakti yang bernama Bhagawan Jitendrya, juga Bhagawan Sirnasarisa atau oleh sang prabu disebut Bhagawan Ekadenta. Ia ceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang sehat dan betapa putera mereka Itu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.

"Aahhh.... mengapa dia tidak diajak pulang? Bagaimana dia harus dipisahkan dari aku sampai lima tahun lagi?" Ibu yang sudah amat rindu kepada puteranya itu mengeluh dan mulailah Ayu Candra menangis.

Tejolaksono mengeluarkan bunga cempaka putih darI saku dalam bajunya. Ia makin kagum menyaksIkan betapa bunga itu tIdak layu. Tahulah ia bahwa puteranya telah memiliki kesaktian yang mujijat, maka cepat-cepat ia menyerahkan bunga itu kepada isterinya sambil berkata,

"Nimas, kaulihat ini. Puteramu itu menitipkan bunga ini kepadaku dengan pesan agar diberikan kepada ibunya... "

"Aduh, anakku... !" Ayu Candra terbelalak memandang dan menerkam, lalu merampas bunga itu dari tangan suaminya dengan penuh gairah, lalu sambil tersedu-sedu ia menciumi bunga Itu, mendekapnya di dada. "Aduh, Bagus Seta.... angger.... anakku tercinta.... kau masih ingat kepada ibumu..."

Tejolaksono menahan perasaannya agar tidak sampai menitikkan air mata karena terharu. "Nimas, dia sama sekali tidak pernah melupakan ayah bundanya. Akan tetapi Bagus Seta berjiwa ksatria utama, mengesampingkan kesenangan pribadi untuk menggembleng diri agar kelak dapat berdharma bhakti kepada sesama manusIa."

Ayu Candra hanya sebentar diamuk gelombang perasaan rindu dan terharu, .kini ia sudah tenang, memegangi bunga cempaka putih dengan bengong seperti orang melamun, kemudian ia mengangguk-angguk perlahan.

"Benar sekali, Kakanda, memang putera kita harus berjiwa ksatria. Biarlah kurelakan dia lima tahun lagi, biarlah kita sebagai orang tuanya berprihatin agar dia menjadi seorang manusia utama, seperti ramandanya." Tejolaksono makin terharu, memeluk dan mengecup ubun-ubun isterinya yang terkasih.

"Engkau seorang ibu yang bijaksana, seorang isteri yang hebat....! Dan Bagus Seta.... putera kita yang mengagumkan...." Memang ia kagum sekali karena bunga cempaka putih itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa sekali, yang dalam waktu sebentar telah dapat mengobati kerinduan hati Ayu Candra.

Mulailah Tejolaksono melaksanakan tugasnya yang baru, sebagai patih muda di Kerajaan Panjalu. Dengan amat tekunnya menggembleng barisan Panjalu melalui para senopati dan semenjak dia menjadi patih muda yang berkuasa di bagian pertahanan negara, maka keadaan menjadi aman tenteram, pengaruh Kerajaan Panjalu makin besar, tidak ada lagi raja-raja muda yang berani menentang dan melakukan penyerangan.

Akan tetapi benar-benarkah Sriwijaya dan Cola menghentikan usaha mereka untuk menanam pengaruh di Panjalu? Benar-benarkah mereka itu mundur teratur dan tidak berani lagi melakukan kekacauan? Sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Tepat seperti yang dikatakan oleh sang prabu di Panjalu agar mereka semua mempertebal kewaspadaan, karena sesungguhnya, Kerajaan Panjalu, dan terutama sekali Jenggala yang tidak lagi diganggu kerusuhan-kerusuhan, belum terbebas daripada bahaya yang mengancam. Secara halus Kerajaan Sriwijaya masih mencoba untuk memperlebar pengaruhnya sampai di kedua kerajaan ini melalui Agama Buddha yang disebarluaskan, dipimpin oleh Biku Janapati yang bijaksana. Karena sang biku menggunakan cara yang halus, tidak memakai kekerasan, maka usahanya ini lebih berhasih.

Namun yang menjadi ancaman bahaya besar adalah usaha yang dijalankan oleh Wasi Bagaspati. Sang wasi yang merasa penasaran akan gagalnya usahanya, kini menyebar kaki tangannya, terutama sekali di Jenggala dengan secara cerdik dan halus ia menyuruh mereka menyelundup ke dalam kerajaan, menggunakan pengaruh harta benda dan ilmu hitam sehingga banyak di antara anak buahnya yang berhasil menduduki tempat-tempat terpenting dalam pemerintahan. Bahkan kuku-kuku cengkeraman yang tidak tampak oleh mata ini menyelundup sampai ke dalam istana Kerajaan Jenggala!

Memang hebat sekali usaha Sang Wasi Bagaspati yang mengadakan penyelundupan-penyelundupan rahasia, terutama sekali di istana Kerajaan Jenggala. Banyak di antara anak buahnya yang sakti, laki-laki dan terutama wanita-wanita cantik, dijadikan senjata untuk usaha ini.

Pada waktu itu memang harus diakui bahwa Kerajaan Jenggala amat lemah kedudukannya. Kerajaan Jenggala masih dapat berdiri tegak dan tidak ada musuh berani mengganggu hanya karena mereka itu sungkan dan takut kepada Kerajaan Panjalu. Mereka maklum bahwa memusuhi Jenggala berarti akan berhadapan dengan Panjalu pula, karena sebagai saudara, Panjalu tentu akan membela Jenggala.

Sebetulnya, sebagai putera mendiang Sang Prabu Airlangga yang arif bijaksana, raja di Jenggala bukanlah seorang yang jahat atau lalim. Sang prabu di Jenggala cukup baik dalam arti kata sebagai raja, cukup mencinta rakyatnya dan bukan seorang raja yang menindas rakyat. Akan tetapi, sang prabu mempunyai sebuah kelemahan sebagai seorang pria, yaitu bahwa sang prabu mudah tergoda oleh wanita cantik.

Kalau para wanita yang banyak jumlahnya itu menggoda sang prabu hanya dengan pamrih agar menjadi selir dan mendapat kedudukan mulia, hal itu tidak mengapa. Akan tetapi, akhir-akhir ini sang prabu di Jenggala amat berubah sikapnya setelah dia mendapatkan seorang selir baru. Celakanya, berbeda dengan selir-selir lainnya yang puluhan orang banyaknya, selir baru ini tidak hanya terbatas pada kemuliaan pamrihnya, melainkan lebih tinggi lagi.

Selir baru ini ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi sesudah raja, dan untuk mencapai hal ini, ia mempergunakan segala kecantikan wajahnya, segala kesegaran tubuh mudanya, segala bujuk rayu yang menggairahkan sehingga hati sang prabu di Jenggala yang masih muda biarpun tubuhnya sudah tua itu menjadi jatuh dan tunduk.

Siapakah selir baru yang muda belia, segar menggairahkan ini? Dia seorang wanita masih muda belia, tujuh belas atau delapan belas tahun usianya, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bagaikan buah mangga sedang ranum matang hati, manis segar dan renyah!

Wajahnya manis sekali, terutama kerling matanya yang tajam melebihi mata pedang, kerling yang menyambar-nyambar membetot hati membuat sukma pria melayang-layang karena dalam kerling ini terkandung tantangan dan ajakan kepada pria untuk bertamasya ke dalam surga kenikmatan. Selain sepasang mata indah yang memiliki kerling "maut" ini, juga mulutnya membuat setiap mata laki-laki memandang bagaikan tergantung dan lekat pada sepasang bibir itu!

Bibir itu merah segar, berkulit tipis seperti kulit kentang, seperti buah tomat masak, menggemaskan hati, membuat orang ingin sekali menggigitnya, menantang dan selain dapat mencipta senyum memikat dan memabukkan, juga bibir yang basah dapat bergerak-gerak menggairahkan sehingga selalu tampak memberahikan ketika dicemberutkan, atau dijebikan, atau bergerak-gerak seperti menggigil.

Deretan gigi putih seperti pagar mutiara melindungi rongga mulut yang merah penuh tantangan. Wajah yang manis sekali, yang bagaikan besi semberani menarik pandang mata setiap orang pria yang berjumpa dengannya. Rambutnya hitam panjang dan agak berombak, membentuk sinom halus di dahi dan anak rambut melengkung di depan telinga, kalau dibiarkan terurai, panjangnya sampai ke bawah pinggul. Tubuhnya tinggi ramping, padat penuh dengan lekuk-lengkung sempurna dalam pandangan setiap orang pria, dan ia dapat menggerak-gerakkan setiap bagian tubuhnya dengan gerakan yang luwes dan memikat. Kulitnya yang agak hitam tidak menjadi cacat, bahkan menambah kemanisannya.

Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Namanya Suminten! Di bagian depan cerita ini telah dituturkan bahwa Suminten adalah abdi dalem (pelayan) mendiang Pangeran Panjirawit dan Endang Patibroto. Suminten ketika menjadi abdi dalem di istana pangeran itu, seringkali mengintai dan menyaksikan adegan mesra antara Pangeran Panjirawit dan isterinya.

Suami isteri itu selalu berkasih-kasihan dan akhirnya terbangunlah berahi dalam tubuh Suminten dan pelayan ini jatuh cinta kepada sang pangeran! Cinta berahi yang ditahan-tahan .dan akhirnya tercetus menjadi cemburu, iri hati, dan kebencian terhadap Endang Patibrotol Ia mengharapkan untuk menjadi selir Pangeran Panjirawit yang tampan, akan tetapi semua pengharapan dan usahanya sia-sia belaka karena sang pangeran terlalu mencinta isterinya, tidak mau mempunyai selir.

Telah diceritakan betapa kebencian ini membuat Suminten diam-diam lari kepada Ki Patih Brotomenggala, menceritakan perbuatan Endang Patibroto yang melukai ayam dengan ilmu hitam sehingga makin besarlah kecurigaan dan dugaan ki patih bahwa Endang Patibroto agaknya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para ponggawa dengan ilmu hitam. Suminten dihadapkan kepada sang prabu di Jenggala, kemudian oleh sang prabu dijadikan abdi dalem istana.

Semenjak saat itulah tampak Suminten yang sesungguhnya, yaitu seorang dara muda belia yang mempunyai pamrih besar sekali, tidak akan puas kalau belum mencapai kedudukan setinggi-tingginya. Terhadap Pangeran Panjirawit ia memang menaruh kasih sayang yang sesungguhnya, yang murni dan andaikata terlaksana keinginan hatinya menjadi selir Pangeran Panjirawit, agaknya ia akan merasa puas dan bahagia, tidak akan mencita-citakan hal lain lagi.

Akan tetapi, la mendengar akan keadaan Pangeran Panjirawit, akan kesengsaraan dan akhirnya akan kematiannya. Hatinya hancur dan ia bertekad untuk menyalurkan semua cinta bercampur duka ini menjadi cita-cita untuk menjadi manusia paling berkuasa di Jenggala agar ia dapat membalas dendam atas kematian Pangeran Panjirawit, pria yang pernah dicinta sepenuh hatinya.

Gadis ini selain cantik manis, juga amat cerdik. Setelah menjadi abdi dalem di Istana Kerajaan Jenggala, cepat sekali ia dapat mempelajari keadaan dan dapat pula mengambil hati para selir, bahkan sampai permaisuri sendiri menaruh kepercayaan kepadanya dan memberinya tugas melayani sang prabu.

Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Suminten. Dengan daya tariknya yang luar biasa, ditambah kelemahan sang prabu terhadap wanita muda, dalam waktu beberapa hari saja ia berhasil menjatuhkan hati sang prabu yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun Itu! Akhirnya, dengan resmi Suminten diangkat menjadi selir termuda Sang Prabu Jenggala!

Semenjak ia diangkat menjadi selir, mulailah Suminten menggunakan kecerdikannya memasang jerat, merayu dan mengambil hati para selir lain untuk mencapai cita-cita hatinya. Makin pandai ia merayu sang prabu, menggoda dan melakukan segala macam akal wanita sehingga sang prabu menjadi makin mabuk dan cinta kepadanya. Sang prabu menganggap bahwa di antara semua selirnya, Suminten inilah yang paling mencinta dirinya yang sudah tua. Hanya Suminten inilah yang mempunyai rasa cinta kasih yang "murni" terhadap dirinya.

Selain mempermainkan sang prabu seperti pandainya ia mempermainkan rambutnya, Suminten juga mengambil hati dan bermuka-muka kepada permaisuri sehingga sang ratu ini merasa lebih sayang kepadanya daripada kepada para selir lainnya. Di depan sang ratu, Suminten bersikap amat merendah diri, amat tekun merawat dan melayani segala keperluan sang ratu, pandai menghibur dengan kata-kata manis, memuji-muji dan menjilat-jilat. Sebentar saja naiklah derajat Suminten, karena ia dikasihi sang prabu dan disayang sang ratu, maka kedudukan atau derajatnya boleh dibilang meningkat tinggi di atas derajat semua selir sri baginya.

Kalau diingat betapa dalam waktu beberapa bulan saja ia telah dapat menanjak dari seorang abdi dalem pangeran menjadi selir terkasih sang prabu, sesungguhnya kenaikan derajat ini sudahhal yang luar biasa sekali, apalagi kalau diingat bahwa Suminten hanyalah seorang yang berasal dari desa. Namun, bagi Suminten hal ini masih belum memuaskan hatinya, masih jauh daripada memuaskan. Ia melihat ada hal-hal yang masih menjadi rintangan baginya untuk mencapai anak tangga tertinggi.

Hal pertama adalah sang ratu atau permaisuri sendiri. Betapapun juga tinggi kedudukannya, ia hanya seorang selir termuda, tentu tidak akan dapat mengalahkan pengaruh sang ratu, maka sang ratu merupakan sebuah perintang baginya. Akan tetapi, ia tidak begitu memusingkan hal ini karena sang ratu harus dianggap rintangan terakhir. Yang amat menyakitkan hatinya adalah rintangan di depan mata, yang membuat Suminten gemas sekali.

Rintangan ini berupa seorang selir lain yang sebelum Suminten diangkat menjadi selir, merupakan selir tercinta dari sang prabu. Selir ini adalah Puteri Sekarmadu yang baru berusia dua puluh lima tahun dan sudah lima tahun menjadi selir sang prabu. Puteri Sekarmadu memang cantik jelita, pendiam, pandai segala macam kesenian, berwatak halus dan memang dia adalah puteri seorang adipati di Kanigoro yang dipersembahkan kepada sang prabu oleh sang adipati.

Puteri Sekarmadu adalah yang tercantik di antara semua selir, namun setelah di situ ada Suminten, puteri ini biarpun pada dasarnya menang cantik, namun kalah pandai dalam keluwesan dan gaya memikat. Puteri Sekarmadu maklum akan segala polah tingkah Suminten, maklum betapa selir termuda ini, berbeda dengan lain-lain selir, berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan hati sang prabu, sebagai seorang puteri yang pandai membawa sikap, Sekarmadu tidak membuat reaksi apa-apa. Betapapun juga, sang prabu tidak pernah dapat melupakan Sekarmadu dan biarpun ia kini seolah-olah menjadi selemas rambut yang dipermainkan oleh jari-jari tangan Suminten yang cekatan, namun sang prabu masih saja mendekati Sekarmadu dan membagi waktunya secara bergilir.

Bagi Suminten, tentu saja ia tidak mencinta sang prabu setulus hatinya. Mana mungkin dia, seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun, dapat mencurahkan kasih sayang yang setulusnya terhadap seorang kakek berusia enam puluh tahun? Tidak, ia muak terhadap belaian kasih sayang dan pencurahan cinta asmara sang prabu, dan dia sama sekali tidak cemburu atau iri hati terhadap Sekarmadu.

Yang membuat ia gemas adalah karena Sekarmadu dianggapnya sebuah rintangan yang harus dienyahkan kalau ia mau cepat-cepat mencapai cita-citanya. Namun, bagaimana ia dapat menjatuhkan Sekarmadu yang demikian pendiam, halus tutur sapanya, lemah lembut budinya, dan sukar dicari kesalahannya itu? Namun dengan sabar dan tekun Suminten mengatur semua rencana, mendekati semua selir, berbaik dan mengambil hati mereka, sambil menanti saat dan kesempatan yang baik untuk menghalau rintangan-rintangan itu, satu demi satu!

Kalau ada orang mengira bahwa selir-selir raja di jaman dahulu yang begitu banyaknya itu dapat hidup rukun, dia mengira keliru. Memang pada lahirnya mereka ini tampak rukun, namun sesungguhnya tidak demikianlah di dalam hati. Kalau mereka tampak rukun, dan tidak pernah bertengkar, adalah karena mereka ini takut kepada raja dan kebencian mereka satu sama lain hanya diutarakan secara diam-diam dan dengan jalan saling membicarakan keburukan masing-masing di belakang punggung.

Karena maklum akan keadaan para selir sang prabu di Jenggala ini, maka secara cerdik sekali Suminten mendekati mereka semua dengan sikapnya yang mengambil hati dan merendah sehingga mereka semua merasa suka kepadanya dan menganggap selir termuda ini sebagai sahabat baik. Mulai-lah Suminten mengorek-ngorek rahasia pribadi masing-masing selir itu melalui selir-selir lainnya, membuat mereka saling membicarakan rahasia dan keburukan masing-masing sehingga Suminten dapat mengetahui sebagian besar cacad dan keburukan para selir yang menjadi saingannya.

Pada suatu malam terang bulan yang amat indah. Hawa malam itu sejuk sekali di dalam taman, berbeda dengan hawa di dalam kamar yang panas. Suminten duduk sendirian di dalam taman sari yang sunyi. Malam sudah mendekati tengah malam, semua penghuni keputren di mana para selir tinggal, telah tidur pulas, demikian pula para abdi dalem. Namun Suminten masih duduk melamun di taman sari. Hatinya tidak puas.

Malam itu sang prabu menjatuhkan giliran kepada Sekarmadu. Hatinya panas. Bukan karena cemburu, karena dia sendiri sesungguhnya tidak pernah merasa senang apalagi cinta kepada sang prabu yang sudah tua. Hanya ia merasa panas dan tidak senang karena kenyataan bahwa sang prabu masih melekat kepada Sekarmadu itu berarti bahwa cita-citanya untuk naik ke tangga tertinggi menghadapi rintangan berat.

"Gilang-gemilang bulan purnama
taman sari bermandi cahaya kencana
termenung sendiri dewi jelita
seperti Bathari Komaratih
Dewi Asmara."


Suminten kaget dan ketika ia menoleh dan melihat siapa orangnya yang berpantun dengan suara merdu dan penuh rayuan itu, bibirnya yang manis berjebi, matanya mengerling tajam. Lalu dengan gerakan yang genIt ia membuang muka.

Laki-laki itu masih muda, tampan dan tubuhnya tinggi besar. Uslanya antara dua puluh lima tahun, pakaiannya indah. Dia ini adalah Pangeran Kukutan, seorang di antara banyak pangeran putera sang prabu terlahir dari para selir. Pangeran Kukutan ini adalah putera selir yang kini telah tua dan "tidak terpakai lagi" oleh sang prabu, seolah-olah telah di "pensiun". Namun sebagai selir raja mempunyai seorang putera, tentu hidupnya terjamin, juga Pangeran Kukutan mendapat kedudukan terhormat seperti para pangeran lain.

Berdebar jantung Suminten, biarpun ia pura-pura membuang muka sambil berjebi. Pangeran Kukutan ini sudah lama menaruh hati kepadanya, semenjak ia menjadi abdi dalem dan belum dIselir sang prabu. Kalau ia mau, ia tidak akan menjadi selir sang prabu, tentu didahului dan diselir pangeran ini. Akan tetapi, Suminten yang bercita-cita tinggi selalu menolaknya dan lebih suka menjadi selir sang prabu, sungguhpun di dalam hatinya seringkali mengenangkan pangeran yang muda dan tampan ini.

Namun, ia seorang wanita yang amat cerdik dan la tidak mau membiarkan dirinya terseret oleh perasaannya karena hal ini akan membahayakan kedudukannya dan dapat menyeretnya turun kembali ke tingkat paling bawah! Maka ia selalu menghadapi Pangeran Kukutan seperti seekor burung dara yang sukar ditangkap, jinak-jinak merpati. Rasa sukanya kepada pangeran muda dan tampan gagah ini membuat ia jika bertemu melempar kerling memperlihatkan senyum, akan tetapi kewaspadaannya untuk mencapai cita-cita membuat ia selalu mengelak dari perangkap-perangkap asmara yang dipasang oleh sang pangeran.

"Aduhai juita.... jelita yang tiada bandingnya di atas permukaan bumi ini.... agaknya para dewata memang telah menjodohkan kita, siapa mengira bahwa hamba yang tak dapat tidur dan berjalan-jalan di sini akan bertemu dengan dewi pujaan hati....!" kata sang pangeran dengan suara merayu dan duduklah pangeran itu di atas bangku, dekat Suminten.

Suminten merasa akan kehadiran tubuh pria itu yang duduk begitu dekat di sampingnya. Kedua kakinya menggigil, jantungnya berdebar tegang, dan rasa bahagia menyelundup di hati mendengar kata-kata yang amat indah baginya itu. Selama menjadi selir sang prabu, ia tidak pernah mendengar rayuan seperti itu, melainkan suara sang prabu yang berwibawa dan memerintah, kasih sayang sang prabu yang kaku dan tidak merayu, dengus napas tuanya yang terengah-engah, tubuh tuanya yang lemah dan terlalu sering membutuhkan pijat sehingga melelahkan kedua tangannya. Kekerasan hatinya mulai mencair seperti lilin kepanasan dan seluruh urat syarafnya tegang dilanda berahi, membuat ia ingin sekali menjatuhkan dirinya dalam dekapan lengan yang kuat, bersandar pada dada yang bidang itu. Akan tetapi, Suminten menekan perasaannya dan tanpa menoleh ia berkata, suaranya diketus-ketuskan,

"Pangeran, mau apa engkau ke sini? Dan mengapa berani mengeluarkan kata-kata seperti itu, duduk bersanding dengan aku? Lupakah engkau bahwa aku adalah ibumu juga, selir daripada ramandamu?"

"Heh-heh," sang pangeran terkekeh perlahan, "kalau begitu, aku adalah anakmu?"

"Tentu saja engkau anakku! Anak tiri, karena engkau putera sang prabu!" kata Suminten yang belum berani menoleh karena ia mendengar suara pangeran itu amat dekat di telinga kanannya sehingga kalau ia menoleh, muka mereka akan berhadapan dan berdekatan sekali.

Kembali Pangeran Kukutan terkekeh, suara ketawanya merdu terdengar oleh telinga Suminten, berbeda dengan suara tertawa sang prabu yang serak terbabah diseling batuk!

cerita silat online karya kho ping hoo

"Ha-ha-ha... kalau begitu, biarlah aku menjadi puteramu, dan engkau ibuku. Duhai ibunda yang cantik manis seperti dewi kahyangan, terimalah sembah bakti puteranda!" Pangeran muda itu sambil tersenyum-senyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten, menyembah dan mencium ujung kainnya.

Mau tidak mau Suminten kini memandang dan menunduk. Alangkah bagusnya kepala yang berambut hitam tebal itu, tidak seperti kepala sang prabu yang sudah botak dan rambutnya yang jarang dan memutih. Pundak yang lebar, dada yang bidang dan menonjol kekar, oto-totot melingkar kuat, perut yang rata dan kuat, semua tampak di balik baju pemuda itu yang terbuka di sebelah depan. Kulit yang halus padat, sama sekali tidak ada keriput. Berbeda dengan tubuh sang prabu dengan perutnya yang gendut, dadanya yang kerempeng, pundak yang menunduk, otot-ototnya sudah layu!

Suminten yang cerdik tidak membiarkan dirinya terseret oleh berahi, namun ia mempergunakan perhitungan dalam otaknya, perhitungan untung ruginya, kalau ia menuruti nafsunya menerima bujuk rayu pemuda ganteng ini. Ah, memang dia membutuhkan pembantu-pembantu untuk dapat mencapai cita-citanya. Dan agaknya Pangeran Kukutan ini dapat ditarik menjadi pembantu pertama dan pembantu utama.

Pertama karena dia seorang pangeran yang selalu berada di istana, dekat dengannya. Ke dua, karena ia telah mengetahui rahasia ibunda pangeran ini, selir ke tiga sang prabu sehingga ia dapat menggenggam pangeran ini dalam kekuasaannya, apalagi kalau ia berhasil menundukkannya dengan keindahan wajah dan tubuhnya. Banyak sekali keuntungan didapat kalau ia melayani pangeran ini, pikir otaknya yang cerdik sementara jantungnya makin berdebar keras dan mulai terbakar nafsu berahi ketika pangeran itu sesudah menyembah lalu memegang kedua kakinya dan mengelus-elus kedua kaki kecil itu dengan jari-jari tangan yang nakal dan pandai membelai. Ketika ia merasa betapa jari-jari tangan itu dari kaki makin merayap naik, ia menegur dan mengibaskan tangannya,

"Ihhhh.... Pangeran, engkau tak tahu susila!"

Pangeran Kukutan yang masih berlutut itu menengadahkan mukanya, memandang wajah Suminten dengan sepasang mata memancarkan sinar kasih sayang yang tenggelam dalam nafsu berahi yang berkobar-kobar, mulutnya tersenyum penuh ajakan dan ia berkata, suaranya tetap halus merdu dan jenaka,

"Elhoo.... Bukankah aku puteramu dan kau ibuku? Aduh, Kanjeng Ibu, aku minta dipangku!" Dan pangeran itu lalu betul-betul menjatuhkan mukanya di atas pangkuan Suminten, kedua lengannya memeluk pinggang yang ramping itu.

"Aiihhh.....!" Suminten menjerit lirih karena geli, pinggangnya menggeliat.

Akan tetapi Pangeran Kukutan yang sudah sepenuhnya dikuasai nafsu berahi itu, makin menggila. "Ibunda yang cantik jelita, anakmu ini minta cium, minta emik (menyusu), minta kelon (ditemani tidur)!" Berkata demikian, pangeran itu melanjutkan belaiannya dan menciumi Suminten.

"Iihhhh.... aaahhh..... Pangeran Kukutan, berhenti atau.... aku akan menjerit!"

Ancaman ini berhasil. Pangeran Kukutan tentu saja merasa takut karena kalau sampai "ibu tirinya" ini benar-benar menjerit sehingga perbuatannya diketahui oleh sang prabu, ia tentu akan celaka. Akan tetapi pada saat itu, nafsu berahi telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan suaranya menggigil ketika ia berbisik,

"Duhai Adinda Suminten, telah terlampau lama aku menyimpan cinta asmara di dalam hati terhadap Adinda, tak tertahankan lagi.... ah, adinia, kasihanilah kakanda ini..."

Suminten juga menggigil seluruh tubuhnya. Perbuatan nakal pangeran tadi seolah-olah telah membakar tubuhnya, membuat nafsunya sendiri menyala-nyala, matanya setengah terpejam, bibirnya ditarik seperti orang tersiksa nyeri, hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis, tarikan napasnya terdengar, tersendat-sendat, kedua tangannya digenggam erat-erat. Hanya kecerdikan otaknya sajalah yang tadi dapat membuat ia kuasa menahan diri.

Kemudian la menunduk, memandang tubuh pangeran yang berlutut di depannya itu, tersenyum puas dan girang. Satu hal sudah nyata, ia dapat menggenggam pangeran ini dalam kekuasaannya dengan pengaruh asmara. Akan tetapi ia masih belum puas. Pengaruh itu belum meyakinkan karena ia mau agar supaya pangeran muda ini benar-benar bersetia kepadanya, setia sampai mati. Maka ia lalu berkata perlahan,

"Pangeran Kukutan, sebelum aku membiarkan kau menurutkan keinginan hatimu itu, lebih dulu kaudengarkan baik-baik kata-kataku. Mataku juga tidak buta dan aku dapat melihat bahwa sudah lama engkau mencintaku. Akan tetapi, pangeran. Cinta kasih seorang pria terhadap wanita adalah cinta kasih sementara saja seperti orang mencinta setangkai bunga yang harum. Kalau sudah kenyang menikmati keharuman bunga sampai bunga itu layu dan tidak harum lagi, akan berhentilah cinta kasihnya dan bunga layu itu akan dibuang begitu saja! Berahi seorang pria seperti orang makan tebu. Setelah kenyang mengunyah, menghisap sampai habis sari manisnya, dia akan mencampakkan sepahnya begitu saja! Aku tidak sudi kelak kauperlakukan seperti setangkai bunga atau sebatang tebu...."

"Aduh, kekasih hati pujaan kalbu! Demi Sang Hyang Bathara Kamajaya, dewa segala cinta asmara di jagat ini, aku bersumpah akan bersetia dalam cinta kasihku terhadapmu"

"Bukan hanya kesetiaan yang kukehendaki, pangeran, melainkan juga ketaatan. Terutama sekali ketaatan. Engkau akan melakukan segala permintaanku?"

"Demi para dewata! Perintahkan apa saja, juwitaku, akan kulaksanakan. Engkau menghendaki aku menyeberangi lautan api? Bilamana saja, aku siap!".

Suminten tersenyum, sengaja membuat senyuman mengejek tidak percaya. "Sesungguhnyakah?"

"Demi nyawaku.... !" Pangeran Kukutan hendak memeluk lagi akan tetapi Suminten menahan dengan kedua tangannya.

"Nanti dulu, pangeran. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Andaikata... ini umpamanya saja untuk mengukur besarnya kesetiaanmu kepadaku, andaikata sekali waktu aku minta engkau... membunuh sang prabu, bagaimana jawabmu?"

Pangeran Kukutan terbelalak dan meloncat mundur dalam keadaan berjongkok saking kagetnya. Sejenak ia tidak kuasa menjawab, hanya memandang wanita jelita itu dengan mata terbelalak, kaget dan khawatir. Bahkan ia sudah menoleh ke kanan-kiri, khawatir kalau-kalau ucapan tadi terdengar lain telinga.

"Apa...? Apa yang kaukatakan ini....? Harap kau jangan main-main, adinda Suminten..."

Suminten tetap tersenyum, lalu berkata sambil memandang tajam, "Engkau pun tidak perlu berpura-pura, Pangeran Kukutan. Kita harus berterus terang, saling membuka kartu. Biarpun aku selir termuda dan tersayang, namun tentu saja aku yang muda dan cantik ini tidak mencinta sang prabu yang tua dan lemah, bahkan aku... aku membenci tua bangka itu! Dan engkau..... engkau sama juga. Jangan kau kira bahwa aku tidak tahu. Engkau.... bukan putera sang prabu. Aku sudah tahu bahwa dahulu ibumu melakukan hubungan rahasia dengan ki juru taman (penjaga taman) dan engkau adalah keturunan ki juru taman. Nah, sekarang katakan terus terang, bersediakah engkau bersekutu denganku dalam segala hal dan selalu akan tunduk terhadap perintahku?"

Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat sekali. Sejenak ia ketakutan dan hampir saja timbul kenekatan hatinya untuk membunuh wanita yang tahu akan rahasia ibunya akan hal itu. Akan tetapi mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, hatinya lega. Memang dia pun selalu menanti kesempatan untuk dapat merampas kekuasaan karena maklum bahwa kelak kedudukan raja tentu tidak akan diturunkan kepadanya. Hatinya lega, wanita ini cerdik bukan main, dan amat dekat dengan raja, mungkin tidak akan ada ruginya kalau ia bersekutu dengannya. Apalagi dengan hadiah balasan cinta kasih!

"Aku bersedia dan bersumpah akan bersetia kepadamu, adinda Suminten yang cerdik pandai. Bahkan aku girang sekali mendapat sekutu seperti adinda, karena dalam segala hal tentu adinda lebih pandai mengaturnya daripada aku."

Suminten girang sekali, ia bangkit berdiri dan tertawa lirih. "Bagus sekali, pangeran. Aku percaya akan kesetiaanmu, apalagi karena sekali kau berbuat curang, engkau dan ibumu akan celaka. Kau cukup tahu akan kekuasaanku atas diri sang prabu. Nah, kini lega hatiku dan terimalah hadiahku. Mari...!"

Wanita muda jelita itu mengulurkan dan mengembangkan kedua lengannya ke arah Pangeran Kukutan. Pemuda itu mengeluarkan sorak perlahan saking girangnya, lalu bangkit dan menubruk Suminten seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba. Mereka berdekapan dan berciuman dengan buas, seperti orang-orang kelaparan menghadapi nasi.

"Hushhhh... kau gila, pangeran? Jangan di sini! Bawa aku ke pondok taman.... !" bisik Suminten di dekat telinga pangeran itu.

Pangeran Kukutan tidak menjawab karena sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata di antara napasnya yang tersendat-sendat dan terengah-engah. Ia lalu memondong tubuh yang baginya amat ringan itu dan membawanya lari ke dalam gelap, menyelinap antara pohon-pohon dan rumpun bunga, kemudian menghilang ke dalam sebuah pondok kecil mungil yang memang sengaja dibangun di dalam taman itu sebagai tempat istirahat raja dan para selirnya.

Memang tidaklah mengherankan apabila semenjak malam hari penuh gairah nafsu iblis itu, Suminten selalu mengadakan pertemuan dan perhubungan gelap dengan Pangeran Kukutan, setiap malam apabila sang prabu tidak tidur di kamarnya. Semenjak masih perawan, Suminten diselir sang prabu dan selama itu ia hanya mengenal belaian kasih asmara sang prabu yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, yang tentu saja tidak sesuai dengan keadaan jasmaninya sendiri yang masih muda belia.

Namun, wanita muda yang amat cerdik ini biarpun terbuai gelombang asmara, tetap ia masih dapat menguasai keadaan dan bukanlah dia yang dipermainkan oleh sang pangeran, melainkan si pangeran inilah yang makin lama makin mabuk dan jatuh terkulai, tunduk di bawah pengaruh Suminten. Sedemikian hebat kekuasaan wanita ini atas diri pangeran yang menjadi kekasihnya sehingga sang pangeran akan mentaati segala macam perintahnya secara membuta, biar disuruh mencuci kaki Suminten akan dilakukan dengan penuh kesungguhan!

Betapapun juga, nafsu berahi yang menguasai hati Suminten membuat wanita ini alpa. Dia lupa bahwa semua gerak-geriknya tidak terluput daripada pengintaian wanita yang menjadi saingannya, yaitu Sekarmadu. Selir inipun menggunakan seorang emban (pelayan) untuk mengawasi gerak-gerik Suminten dan pada suatu hari ia mendapat pelaporan mata-matanya bahwa Suminten seringkali mengadakan pertemuan gelap dengan Pangeran Kukutan di dalam pondok taman. Mendengar ini, Sekarmadu tertawa lebar, kemudian mengepal tangannya menjadi tinju kecil dan berkata, "Nah, sekarang mampuslah engkau, perempuan rendah!"

Sekarmadu menanti saat baik. Ketika sang prabu kebetulan bergilir kepada selir lain, suatu hal yang jarang sekali terjadi semenjak Suminten menjadi selirnya, dan emban yang menjadi mata-mata Sekarmadu melaporkan bahwa Pangeran Kukutan dan Suminten sudah berada di pondok taman, selir ini sendiri bersama embannya menyelinap memasuki taman, menghampiri pondok dengan hati-hati. Sang emban yang merasa takut karena urusan ini menyangkut selir sang prabu yang terkasih dan seorang pangeran muda, berjongkok di luar pondok. Dengan tubuh menggigil karena ia maklum bahwa tentu akan terjadl peristlwa hebat. Adapun Sekarmadu dengan hati panas penuh kemarahan lalu mendekati jendela, mengintai dan mendengarkan.

Di dalam pondok itu gelap remang-remang, hanya tampak bayangan dua orang yang tidak jelas. Akan tetapi suara percakapan mereka jelas mudah dikenal, yaitu suara Suminten dan Pangeran Kukutan. Dengan jantung berdebar-debar, Sekarmadu mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan lirih-lirih,

"kekasihku wong bagus (orang tampan), betapa kuatnya engkau tidak seperti sang prabu yang loyo"

"dan engkau wanita tercantik di dunia ini, pujaan hatiku..."

Sekarmadu tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Dari luar jendela, ia memaki, "Suminten perempuan rendah, perempuan hina! Berani engkau bermain gila dengan Pangeran Kukutan dan masih menghina sang prabu lagi. Tunggu saja, habiskan kesenanganmu malam ini karena besok engkau akan mampus!"

Setelah berkata demikian, Sekarmadu dengan muka merah saking marahnya meninggalkan tempat itu, kembali ke kamarnya, diikuti emban yang masih ketakutan. Betapapun juga, Sekarmadu tidak mau menimbulkan keributan malam hari itu karena sang prabu sedang bermalam di kamar selir ke tujuh. Karena hal ini amat memalukan, juga bagi sang prabu sendiri, maka Sekarmadu yang menghormati suaminya menahan gelora kemarahannya malam itu, hendak menanti sampai besok baru ia akan melapor secara diam-diam kepada junjungannya.

Adapun Suminten dan Pangeran Kukutan yang sedang langen asmara (bermain cinta) di dalam pondok taman, seolah-olah berubah menjadi arca saking kagetnya. Kalau di malam hari yang terang tiada mendung itu tiba-tiba terdengar Halilintar menyambar, agaknya mereka tidak akan sekaget ketika mendengar suara Sekarmadu di luar jendela. Pangeran Kukutan menjadi pucat dan tak dapat berkata sesuatu. Sumintenlah yang lebih dulu sadar dan dapat menguasai hatinya. Wanita ini mendorong tubuh kekasihnya dan melompat turun dari pembaringan, berkemas sambil berkata, "Hayo cepat, kita harus turun tangan lebih dulu!"

Mendengar suara kekasihnya yang sedikitpun tidak membayangkan rasa takut itu, barulah hati Pangeran Kukutan menjadi tenang. Mereka lalu berbisik-bisik dan Suminten yang cerdik itu mengatur rencananya. Cepat sekali Suminten mengatur rencana dan segera mereka melakukan siasat yang diatur Suminten malam itu juga. Pangeran Kukutan pergi ke pondok kediaman para juru taman, diam-diam memanggil pembantu juru taman yang muda bernama Jagaloka. Adapun Suminten pergi menemui tujuh orang emban pelayan yang menjadi kaki tangannya. Mereka berdua bekerja cepat sesuai dengan siasat Suminten dan tak lama kemudian, Suminten sudah bertemu lagi dengan Pangeran Kukutan yang datang bersama Jagaloka yang muda dan cukup tampan, akan tetapi pada saat itu Jagaloka kelihatan bingung dan takut.

Sekarmadu masih belum tidur. Dia sama sekali tidak dapat tidur, bahkan semenjak memasuki kamarnya, puteri ini berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya, hatinya penuh ketegangan. Ingin sekali ia sekarang juga melapor sang prabu, namun kalau ia melakukan hal ini, tentu banyak selir dan abdi dalem yang mendengar, juga sang prabu dapat menjadi tidak senang hati karena terganggu. Hatinya sudah tidak sabar dan ingin ia malam cepat-cepat berganti pagi agar ia dapat segera melapor dan wanita hina itu segera dihukum! Emban pembantunya yang tadi ketakutan sudah tidur melingkar di atas lantai. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di luar pintu kamarnya. Sekarmadu berhenti melangkah, memutar tubuh menoleh ke arah pintu kamar dan bertanya, "Siapa di luar?"

Sebagai jawaban pertanyaannya, tiba-tiba pintu kamarnya yang terkunci itu didobrak orang dari luar. Agaknya orang yang mendobraknya itu kuat sekali karena sekali tendang, daun pintu itu terbuka dan muncullah Jagaloka yang wajahnya pucat.

"Ehh.... si Jagaloka, mau apa engkau....??" Sekarmadu membentak, heran dan marah.

"Hamba... hamba.... bukankah hamba dipanggil....?

"Keparat! Jangan kurang ajar engkau! Berani membuka pintu kamarku?"

Pada saat itu, berkelebat masuk bayangan Pangeran Kukutan yang membentak, "Juru taman bedebah, kau harus mati!" Ucapan Pangeran Kukutan ini disusul terjangannya dengan keris di tangan. Sekali tusuk saja si juru taman yang tentu saja bukan lawan pangeran yang perkasa itu mengeluh dan terhuyung, darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya.

Sekarmadu memandang dengan mata terbelalak, hendak menjerit, akan tetapi dengan gerakan sigap sekali Pangeran Kukutan sudah meloncat ke dekatnya dan sekali menggerakkan tangan, pangeran itu sudah merangkulnya dan membungkam mulutnya. Sekarmadu meronta-ronta dan berusaha menjerit, namun sia-sia karena pangeran itu kuat sekali merangkulnya dan kuat pula tangan yang menutupi mulut. Pada saat berikutnya, muncul Suminten yang tersenyum-senyum.

Wanita ini sambil tersenyum genit mendekati Sekarmadu lalu merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sekarmadu, satu demi satu sampai Sekarmadu menjadi telanjang bulat! Setelah itu barulah Pangeran Kukutan melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh wanita yang telanjang itu sampai terlempar dan tertelungkup dalam pembaringannya. Emban yang terbangun oleh suara gaduh ini, memandang terbelalak, saking kaget dan takutnya sampai tak dapat bersuara.

"Bagus sekali engkau perempuan hina-dina, perempuan rendah, pelacur yang terseret memasuki istana!" Suara Suminten terdengar lantang karena ia sengaja mengeluarkan suara seperti menjeri-tjerit, telunjuknya menuding ke arah tubuh Sekarmadu yang telanjang bulat di atas pembaringan.

"Sungguh menjijikkan! Tak tahu malu! Berjina dengan si juru taman!"

"Apa kau bilang? Kau perempuan keji... kau... kau!" Akan tetapi wanita yang malang itu tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia menangis dan berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan alas sutera pembaringan karena pada saat itu, para abdi dalem dan beberapa orang selir yang mendengar suara ribut-ribut itu sudah membanjir masuk ke dalam kamar.

Mereka berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak, sejenak memandang ke atas pembaringan di mana puteri Sekarmadu rebah dalam keadaan telanjang bulat terbungkus alas pembaringan, kemudian memandang tubuh Jagaloka yang kini juga sudah telanjang bulat dan menjadi mayat berlepotan darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, melihat Pangeran Kukutan yang berdiri dengan keris di tangan, tanpa diberitahu sekalipun mereka dapat menduga apa yang telah terjadi! Tentu Sekarmadu berjina dengan si juru taman, akan tetapi dipergoki Pangeran Kukutan dan Suminten yang berakibat kematian juru taman di tangan sang pangeran.

"Tidak.....! Tidaaaaaaaakkk... Aku tidak.....!" Sekarmadu menjerit-jerit karena iapun dapat mengerti akan bahaya yang mengancam dirinya.

Gegerlah istana pada malam itu sehingga sang prabu sendiri sampai terkejut, terbangun dan mendengar apa yang terjadi di kamar selirnya yang terkasih, Sekarmadu. Mendengar ini sang prabu marah sekali. Setelah berpakaian rapi, sang prabu duduk di ruangan dalam dan memerintahkan menyeret Sekarmadu menghadap juga memerintahkan agar Suminten dan Pangeran Kukutan menghadap sebagai saksi.

Sekarmadu menangis terisak-isak ketika dua orang pengawal istana menyeretnya, karena ia hampir tidak mampu berdiri, dengan tubuh masih terbungkus sutera merah alas pembaringan, rambutnya terural dan wajahnya pucat. Di belakangnya, Suminten dan Pangeran Kukutan melangkah tenang, namun berbeda dengan wajah Suminten yang berseri-seri tersenyum, wajah Pangeran Kukutan pucat dan kedua kaki tangannya terasa dingin.

Mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sang raja. Suminten yang pandai merayu itu segera berjalan jongkok menghampiri sang prabu, menyembah dan menyentuh kakinya sambil berkata lirih, suaranya serak-serak basah amat mengharukan,

"Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah menimbulkan keributan, akan tetapi mohon paduka memaklumi betapa panas hati hamba penyaksikan perbuatan tak tahu malu dari perempuan itu yang menghina paduka."

Dengan gerakan halus dan penuh kasih sayang, tangan sang prabu menjamah rambut yang halus berikal mayang itu, kemudian berkata, "Engkau malah berjasa, Suminten. Mundurlah, biar kuperiksa perkara menjijikkan ini!" Akan tetapi Suminten tidak mundur jauh, menyembah lagi dan berkata,

"Mohon ampun. Junjungan hamba. Perempuan ini amat keji dan palsu, sebelum ia sempat bercerita bohong, harap paduka sudi mendengar dulu kesaksian hamba dan puteranda Pangeran Kukutan."

Sang prabu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang selirnya yang terkasih itu. "Duhai, gusti pujaan hamba... sudilah paduka mendengarkan penuturan hamba... hamba kena fitnah... hamba tidak bersalah.... dialah perempuan rendah yang hamba yakin menjadi biang keladi fitnah ini! Dia... dia dan Pangeran Kukutan.... !!"

"Diam kau, perempuan terkutukk !! Sang prabu membentak dan pucatlah muka Sekarmadu, maklum bahwa nasibnya sudah ditentukan dengan sikap sri baginda raja itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah, hanya menunduk dan menangis, meratap di dalam hati mohon pertolongan dewata. "Berceritalah kau, Suminten."

Dengan suara lantang Suminten bercerita, "Malam tadi hamba tidak dapat tidur...." Ia mengerling tajam kepada sang prabu yang memandangnya dan sang prabu mengangguk-angguk, mulutnya tersenyum maklum, karena ia tahu bahwa seperti biasanya menurut pengakuan Suminten, tiap kali sang prabu tidur dengan selir lain, selir termuda dan tercinta ini tentu tak dapat tidur! "..... karena gelisah dan merasa gerah, hamba keluar dari kamar dengan maksud mencari angin sejuk di taman. Akan tetapi, seperti paduka maklum, jalan menuju ke taman melalui belakang kamar perempuan rendah ini. Hamba mendengar suara-suara di dalam kamar, suara kekeh tertawa genit dan cumbu rayu pria. Hamba curiga dan mendengarkan di luar jendela, kemudian hamba yakin bahwa itu adalah suara si perempuan rendah dan si juru taman keparat itu. Kebetulan sekali, pada saat itu, hamba melihat berkelebatnya bayangan orang di taman, dan ketika hamba mengenal bayangan itu adalah puteranda Pangeran Kukutan, hamba lalu memanggilnya dan menceritakan bahwa di kamar perempuan ini ada seorang duratmoko (maling). Demikianlah, Gusti, puteranda pangeran lalu turun tangan membunuh si bedebah juru taman."

Sang prabu menjadi merah mukanya, mengepal tinju dan giginya yang sudah banyak ompongnya berkerot. "Kukutan, ceritakan kesaksianmu!"

Setelah menyembah, Pangeran Kukutan bercerita yang tentu saja memperkuat cerita Suminten, yaitu bahwa karena hawa terasa panas ia pergi ke tamansari, dipanggil "ibunda" dan diberi tahu kejadian di kamar Sekaremadu, dan saking marahnya, ia menendang daun pintu kamar, melihat betapa selir yang berjina itu berada di atas pembaringan bersama Jagaloka.

"Si bedebah itu hendak melarikan diri, akan tetapi hamba menerjangnya dan menikam ulu hatinya dengan keris hamba." Demikian sang pangeran menutup ceritanya.

Sang prabu makin marah dan pada saat itu, "persidangan" kecil ini diganggu dengan munculnya Ki Patih Brotomenggala yang tergopoh-gopoh menghadap karena mendengar akan kekacauan di istana. Ia menyembah dan diberi isyarat tangan sang prabu agar duduk. Ki patih yang sudah tua ini pun duduk bersila dan mendengarkan dengan hati tegang dan wajah berkerut.

"Perempuan tak tahu malu, perempuan rendah! Apa yang dapat kau ceritakan sekarang?" bentak sri baginda kepada Sekarmadu yang mendengarkan semua tuduhan itu dengan wajah pucat akan tetapi sepasang matanya menyinarkan kebencian dan kemarahan kepada Suminten dan Pangeran Kukutan.

"Fitnah! Semua itu fitnah belaka, Gusti! Tidak tahukah Paduka betapa jahat dan palsu dua orang manusia terkutuk ini? Hamba tidak bersalah. Hamba sedang berada di kamar, tahu-tahu pintu tertendang dan masuk si juru taman, disusul Pangeran Kukutan yang serta-merta membunuhnya, kemudian manusia keparat ini memeluk hamba, si perempuan tak tahu malu itu menelanjangi hamba dan..."

"Eh, Sekarmadu, sungguh mulutmu lancang sekali!" Suminten memotong. Hanya dialah satu-satunya orang yang berani berlancang mulut di depan sang prabu. "Sudah berdosa, mengapa tidak mengaku dan memohon ampun kepada sri baginda? Dengan bicara membabi-buta, dosamu bertambah berat. Engkau sudah kubantu, kurahasiakan kata-katamu yang kudengar, akan tetapi engkau malah menyebar fitnah.... !!"

"Suminten, apa yang dia katakan? Hayo kau mengaku, apa yang ia katakan kepada juru taman keparat itu?" Sri baginda menjadi tertarik dan ingin sekali mendengar "rahasia" itu.

Suminten menggeser duduknya makin dekat depan kaki sang prabu, lalu menunduk, memasang tubuh sedemikian rupa sehingga kelihatan amat menggairahkan dalam pandangan sri baginda yang sudah tua itu. Kemudian ia berkata, suaranya menggetar,

"Hamba.... hamba tidak berani..."

"Eh, kenapa tidak berani? Takut kepada siapa? Jangan takut, tidak ada seorang setan pun yang akan berani menganggu seujung rambutmu, Suminten!" kata sri baginda penuh kasih sayang sehingga ia diupah sekilas senyum dan kerling tajam kekasihnya.

"Hamba... hamba takut kalau-kalau akan membuat paduka marah..."

"Tidak, Suminten. Kalaupun marah, tentu tidak kepadamu yang bersih daripada dosa."

"Kalau begitu, sebelumnya hamba mohon ampun. Hamba mendengar jelas ucapan yang keluar dari mulut busuk perempuan hina itu begini..... kekasihku wong bagus, betapa kuatnya engkau... tidak seperti sang prabu, si tua bangka yang loyo...."

Tidak hanya wajah Sekarmadu yang menjadi pucat, bahkan wajah Pangeran Kukutan sendiri menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang Suminten yang tersenyum. Alangkah beraninya wanita itu! Padahal, ucapan itu adalah persis seperti apa yang diucapkan Suminten sendiri kepadanya ketika mereka berlangen asmara! Sekarmadu terbelalak, kemarahannya memuncak dan ia bangkit berdiri, menjerit,

"Perempuan iblis... ! Engkaulah yang mengatakan itu.... ! Engkau.... engkau keji..."

Akan tetapi sang prabu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya, meloncat turun dari atas kursinya. Biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih kuat dan tangkas. Keris pusaka di tangannya berkilat dan di lain detik, tubuh Sekarmadu roboh mandi darahnya sendiri yang muncrat keluar dari dadanya. Tangan kiri Sekarmadu mendekap luka di dada, ia berusaha bangkit, berlutut dan tangan kanannya menunjuk ke arah Suminten, matanya terbelalak, mulutnya mengeluarkan kata-kata lemah, "engkau... Suminten perempuan keji... dan engkau Pangeran Kukutan laki-laki pengecut.... terkutuklah kalian... aduhhh... sang prabu telah khilaf, mudah terbujuk... semua ini fitnah....mereka.... merekalah yang berjina, harap tanyakan kepada emban..... auuughhhl" Robohlah kembali tubuh Sekarmadu, terkulai miring tak bernapas lagi.

Alas pembaringan sutera merah menjadi lebih merah lagi dan kini terlepas, terbuka, sehingga tampaklah tubuh yang berkulit putih bersuh itu, sebersih hatinya, namun ternoda warna merah, darahnya sendiri!

"Aduhhhh, gusti puteri....!" Emban pelayan pribadi Sekarmadu menubruk mayat itu dan menangis.

"Heh, emban! Apa artinya ucapan terakhir gustimu yang berdosa tadi?"' Sang prabu bertanya kepada emban itu, hatInya agak terharu dan kemarahannya mereda ketika ia melihat betapa tubuh muda yang blasanya amat dikasihaninya itu kini sudah menggeletak tak bernyawa lagi.

Emban itu terengah-engah, menyembah-nyembah sampai dahinya terbentur lantai.

"Ampun, kanjeng gusti.... sesungguhnya gusti puteri tidak berdosa.... gusti putri mulus dan murni tanpa cacad.... sesungguhnyalah yang berjina adalah... gusti puteri Suminten dan gusti Pangeran Kukutan.... hamba menyaksikan sendiri.... !!

"Keparat....!"

Pangeran Kukutan melompat dan sebelum dapat dicegah, kerisnya telah menembus lambung emban itu yang seketika roboh, berkelojotan dan tewas! Sang prabu mengerutkan kening dan menghardik.

"Kukutan! Apa yang kau lakukan ini?"

Pangeran itu segera menjatuhkan diri menyembah. "Mohon ampun, Kanjeng Rama! Bagaimana hati hamba kuat mendengar fitnah yang keluar dari mulut si bedebah ini. Tentu saja ia berusaha membalas dendam gustinya dan berusaha menjatukan fitnah. Kedosaan Sekarmadu sudah terbukti, adapun tuduhan tanpa bukti terhadap hamba adalah fitnah belaka. Hamba tidak dapat menahan kemarahan, mohon paduka sudi memberi ampun."

"Memang bujang hina itu tak patut dibiarkan hidup!" Suminten menyambung sambil mencium kaki sri baginda. "Betapa dia boleh menghina hamba begitu saja. Seorang emban! Dan tentang hubungan antara Sekarmadu dengan Jagaloka bukan hal yang aneh lagi. Hamba mempunyai banyak saksi.... !" Suminten melambaikan tangannya ke dalam, memanggil para emban keputren. Mereka ini adalah kaki tangannya yang tadi sudah ia pesan dan beri hadiah, tentu saja tujuh orang pelayan ini segera menerangkan dengan suara seragam bahwa mereka pernah menyaksikan Sekarmadu mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia dengan Jagaloka, dan yang menjadi perantara adalah si emban yang terbunuh Pangeran Kukutan!

Marahlah sri baginda. "Sudahlah, lekas enyahkan bangkai terkutuk kedua orang itu!"

Tergopoh-gopoh para pengawal dan pelayan mengangkut dua mayat wanita itu dan membersihkan lantai sehingga tidak ada lagi bekas-bekas darah.

"Kakang Patih Brotomenggala, engkau jaga agar peristiwa kotor ini tidak sampai tersiar keluar."

"Hamba akan mentaati perintah paduka, Gusti," jawab ki patih yang wajahnya masih keruh dan alisnya berkerut.

"Eh, Kakang patih, kau kelihatan tidak senang hatimu. Bukankah sudah tepat sekali dua orang manusia jahanam itu dibunuh?"

"Maafkan hamba, gusti. Memang sudah sepatutnya yang salah dihukum. Akan tetapi... tidak seyogianya kalau paduka sendiri yang menjatuhkan hukuman. Selain itu, barulah adil namanya kalau si terdakwa diberi kesempatan untuk membela diri dan perkara diselidiki terlebih dahulu kebenarannya sebelum menjatuhkan hukuman. Hukuman pun harus dilaksanakan oleh petugas yang sudah ada."

"Eh, ki patih! Apakah andika tidak percaya akan keterangan hamba dan puteranda Pangeran Kukutan?" Terdengar Suminten bertanya, suaranya lantang penuh tantangan.

"Bukan begitu, sang puteri. Bukan soal percaya atau tidak percaya, akan tetapi hamba hanya menyatakan hal yang semestinya menurut adilnya hukum. Menurut penglihatan hamba, biasanya Sang Puteri Sekarmadu berwatak baik dan berbudi bersih."

"Kakang patih, apakah seorang manusia itu dinilai daripada sikapnya yang baik? Siapa tahu akan isi hati seseorang?" Sang prabu membantah karena merasa ikut tersinggung bahwa patihnya ini agaknya menyangsikan kesaksian selirnya yang tercinta.

Patih Brotomenggala menyembah kepada sang prabu lalu berkata, "Memang benar sekali sabda paduka, gusti. Akan tetapi, sedikit banyak gerak-gerik seseorang mencerminkan dasar wataknya

"Hemm, Paman patih, agaknya andika adalah seorang ahli mengenal watak wanita!" Pangeran Kukutan mengejek.

Ki Patih Brotomenggala yang tua itu memandang tajam ke arah wajah pangeran itu dan berkata, suaranya perlahan dan hormat namun mengandung getaran berwibawa,

"Sedikitnya pengetahuan hamba akan watak wanita lebih banyak daripada yang paduka ketahui, gusti pangeran, karena sebelum paduka terlahir, hamba sudah banyak mengenal wanita."

"Sudahlah, Kakang patih," kata sang prabu dengan suara kesal, "sudah terang akan dosa Sekarmadu, saksinyapun bukan sembarang orang melainkan selirku dan puteraku, juga tujuh orang emban. Tentu saja mereka tidak mau mengaku, si bedebah juru taman dan perempuan laknat itu. Akan tetapi mereka sudah dihukum, dan hal ini sudah adil dan sudah habis, tidak perlu dipercakapkan lagi. Yang perlu dijaga agar hal seperti ini jangan sampai terdengar keluar, karena hanya akan mendatangkan aib belaka."

"Hamba mentaati perintah paduka, gusti," jawab ki patih sambil menyembah.

Sang prabu lalu membubarkan persidangan kecil itu, kemudian kembali ke tempat peraduan, akan tetapi sekali ini bukan kembali ke tempat selir yang digiliri malam tadi, melainkan menggandeng lengan Suminten yang berkulit halus dan padat itu, memasuki kamar Suminten yang indah bersih dan berbau harum.

Dengan sikap manja sambil berjalan perlahan, Suminten menggenggam tangan junjungannya, berjalan mepet dan menggosok-gosokkan tubuhnya agar bersentuhan dengan tubuh sang prabu, senyum manisnya melebar, kerling matanya makin tajam!

Demikianlah, dengan amat cerdik, Suminten dapat membalikkan kenyataan, dari keadaan terancam bahaya karena perjinaannya, menjadi pemenang atas diri saingannya yang terberat, yaitu Sekarmadu, berhasil membunuh wanita tak berdosa itu dan mempertebal kepercayaan dan kecintaan sang prabu kepadanya.

Pada pertemuan berikutnya dengan Pangeran Kukutan, ia menegur pangeran itu, "Pangeran, engkau benar-benar ceroboh! Kalau tidak ada aku yang bersikap hati-hati, tentu akan celakalah kita di tangan Ki Patih Brotomenggala!"

Pangeran Kukutan merangkul, mendekap dan mencium bibir yang menantang itu sebelum bertanya, "Ah, datang-datang aku disambut makian! Apa salahanku kali ini, dewi jelita? Mengapa kau menyebut aku ceroboh?"

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 19

Perawan Lembah Wilis Jilid 18

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 18

"JAGAT Dewa Bathara.... !" Sang Prabu Panjalu berseru kaget dan juga tercengang keheranan. "Tidak bisa keliru lagi, Adipati Tejolaksono! Kakek pertapa sakti itu bukan lain tentulah eyang Bhagawan Ekadenta! Biarpun aku sendiri belum pernah berjumpa dengan beliau, namun pernah dahulu aku mendengar penuturan mendiang Rama Prabu Airlangga yang pernah ditolong oleh eyang Bhagawan Ekadenta ketika rama prabu mengungsi ke Wonogiri dan terancam keselamatannya oleh musuh, yaitu pasukan-pasukan Sriwijaya yang juga dibantu oleh tokoh-tokoh dari Cola. Sungguh luar biasa. Semenjak setengah abad yang lalu, beliau sudah menjadi seorang kakek sakti, dan selama ini tidak pernah terdengar namanya, bahkan ada berita bahwa Eyang Bhagawan Ekadenta telah meninggalkan dunia Ini tanpa jejak; murca berikut raganya. Itulah sebabnya maka dijuluki Sirnasarira (lenyap tubuhnya)."

Juga para senopati kagum mendengar ini dan menyatakan suka cita bahwa Panjalu dibantu oleh seorang yang sakti itu, menjadi pertanda bahwa Kerajaan Panjalu masih dilindungi para dewata.

"Betapapun juga, para senopati dan ponggawaku yang setia. Kita tidak boleh mabuk oleh kemenangan, karena betapa-pun sukarnya merebut kemenangan, menjaganya adalah lebih sukar lagi. Justeru kemenangan yang ajaib ini malah harus menjadi cambuk bagi kita untuk mempertebal kewaspadaan. Oleh karena itu, Tejolaksono, engkau tidak usah kembali ke Selopenangkep, biarlah aku akan mengangkat orang lain untuk mengurus Selopenangkep. Adapun engkau dan isterimu tinggallah di sini, karena engkau kuangkat menjadi patih muda, membantu Kakang Patih Suroyudo dan kuserahi tugas bagian pertahanan. Engkaulah sebagai wakilku sendiri mengatur semua senopati dan seluruh barisan Panjalu!"

Tejolaksono terkejut, girang dan juga bersyukur sekali karena anugerah ini amatlah besar baginya. Semenjak saat itu ia disebut Patih Tejolaksono dan mendapat sebuah istana di kepatihan Panjalu. Setelah menghaturkan terima kasih dan mendapat perkenan sang prabu, bergegas Tejolaksono pulang ke pesanggrahan menemui isterinya.

Ayu Candra menyambut suaminya dengan tangis dan tawa saking gembira dan bahagianya. Tidak saja suaminya berhasil mengusir musuh negara dan membalas dendam atas kehancuran Selopenangkep dan kematian kedua orang bibi mereka, akan tetapi terutama sekali karena suaminya dapat pulang dalam keadaan selamat, mengingat akan beratnya tugas yang diplkulnya dan saktinya lawan-lawan yang dihadapinya.

"Nimas, sungguh terjadi hal yang sama sekali tak pernah kuduga.... di puncak Gunung Merak aku bertemu dengan Bagus seta!"

Terbelalak mata Ayu Candra Memandang suaminya, berseri-seri penuh kebahaglaan dan dua titik air mata bahagia meloncat keluar ke atas pipinya.

"A... anak... kita...? Bagaimana dia? Kenapa tidak ikut pulang...?"

Pertanyaan itu penuh harap dan dengan tenang Tejolaksono lalu menceritakan pengalamannya di puncak Pegunungan Merak, di mana hampir saja ia tewas kalau saja tidak ditolong oleh kakek sakti yang bernama Bhagawan Jitendrya, juga Bhagawan Sirnasarisa atau oleh sang prabu disebut Bhagawan Ekadenta. Ia ceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang sehat dan betapa putera mereka Itu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.

"Aahhh.... mengapa dia tidak diajak pulang? Bagaimana dia harus dipisahkan dari aku sampai lima tahun lagi?" Ibu yang sudah amat rindu kepada puteranya itu mengeluh dan mulailah Ayu Candra menangis.

Tejolaksono mengeluarkan bunga cempaka putih darI saku dalam bajunya. Ia makin kagum menyaksIkan betapa bunga itu tIdak layu. Tahulah ia bahwa puteranya telah memiliki kesaktian yang mujijat, maka cepat-cepat ia menyerahkan bunga itu kepada isterinya sambil berkata,

"Nimas, kaulihat ini. Puteramu itu menitipkan bunga ini kepadaku dengan pesan agar diberikan kepada ibunya... "

"Aduh, anakku... !" Ayu Candra terbelalak memandang dan menerkam, lalu merampas bunga itu dari tangan suaminya dengan penuh gairah, lalu sambil tersedu-sedu ia menciumi bunga Itu, mendekapnya di dada. "Aduh, Bagus Seta.... angger.... anakku tercinta.... kau masih ingat kepada ibumu..."

Tejolaksono menahan perasaannya agar tidak sampai menitikkan air mata karena terharu. "Nimas, dia sama sekali tidak pernah melupakan ayah bundanya. Akan tetapi Bagus Seta berjiwa ksatria utama, mengesampingkan kesenangan pribadi untuk menggembleng diri agar kelak dapat berdharma bhakti kepada sesama manusIa."

Ayu Candra hanya sebentar diamuk gelombang perasaan rindu dan terharu, .kini ia sudah tenang, memegangi bunga cempaka putih dengan bengong seperti orang melamun, kemudian ia mengangguk-angguk perlahan.

"Benar sekali, Kakanda, memang putera kita harus berjiwa ksatria. Biarlah kurelakan dia lima tahun lagi, biarlah kita sebagai orang tuanya berprihatin agar dia menjadi seorang manusia utama, seperti ramandanya." Tejolaksono makin terharu, memeluk dan mengecup ubun-ubun isterinya yang terkasih.

"Engkau seorang ibu yang bijaksana, seorang isteri yang hebat....! Dan Bagus Seta.... putera kita yang mengagumkan...." Memang ia kagum sekali karena bunga cempaka putih itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa sekali, yang dalam waktu sebentar telah dapat mengobati kerinduan hati Ayu Candra.

Mulailah Tejolaksono melaksanakan tugasnya yang baru, sebagai patih muda di Kerajaan Panjalu. Dengan amat tekunnya menggembleng barisan Panjalu melalui para senopati dan semenjak dia menjadi patih muda yang berkuasa di bagian pertahanan negara, maka keadaan menjadi aman tenteram, pengaruh Kerajaan Panjalu makin besar, tidak ada lagi raja-raja muda yang berani menentang dan melakukan penyerangan.

Akan tetapi benar-benarkah Sriwijaya dan Cola menghentikan usaha mereka untuk menanam pengaruh di Panjalu? Benar-benarkah mereka itu mundur teratur dan tidak berani lagi melakukan kekacauan? Sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Tepat seperti yang dikatakan oleh sang prabu di Panjalu agar mereka semua mempertebal kewaspadaan, karena sesungguhnya, Kerajaan Panjalu, dan terutama sekali Jenggala yang tidak lagi diganggu kerusuhan-kerusuhan, belum terbebas daripada bahaya yang mengancam. Secara halus Kerajaan Sriwijaya masih mencoba untuk memperlebar pengaruhnya sampai di kedua kerajaan ini melalui Agama Buddha yang disebarluaskan, dipimpin oleh Biku Janapati yang bijaksana. Karena sang biku menggunakan cara yang halus, tidak memakai kekerasan, maka usahanya ini lebih berhasih.

Namun yang menjadi ancaman bahaya besar adalah usaha yang dijalankan oleh Wasi Bagaspati. Sang wasi yang merasa penasaran akan gagalnya usahanya, kini menyebar kaki tangannya, terutama sekali di Jenggala dengan secara cerdik dan halus ia menyuruh mereka menyelundup ke dalam kerajaan, menggunakan pengaruh harta benda dan ilmu hitam sehingga banyak di antara anak buahnya yang berhasil menduduki tempat-tempat terpenting dalam pemerintahan. Bahkan kuku-kuku cengkeraman yang tidak tampak oleh mata ini menyelundup sampai ke dalam istana Kerajaan Jenggala!

Memang hebat sekali usaha Sang Wasi Bagaspati yang mengadakan penyelundupan-penyelundupan rahasia, terutama sekali di istana Kerajaan Jenggala. Banyak di antara anak buahnya yang sakti, laki-laki dan terutama wanita-wanita cantik, dijadikan senjata untuk usaha ini.

Pada waktu itu memang harus diakui bahwa Kerajaan Jenggala amat lemah kedudukannya. Kerajaan Jenggala masih dapat berdiri tegak dan tidak ada musuh berani mengganggu hanya karena mereka itu sungkan dan takut kepada Kerajaan Panjalu. Mereka maklum bahwa memusuhi Jenggala berarti akan berhadapan dengan Panjalu pula, karena sebagai saudara, Panjalu tentu akan membela Jenggala.

Sebetulnya, sebagai putera mendiang Sang Prabu Airlangga yang arif bijaksana, raja di Jenggala bukanlah seorang yang jahat atau lalim. Sang prabu di Jenggala cukup baik dalam arti kata sebagai raja, cukup mencinta rakyatnya dan bukan seorang raja yang menindas rakyat. Akan tetapi, sang prabu mempunyai sebuah kelemahan sebagai seorang pria, yaitu bahwa sang prabu mudah tergoda oleh wanita cantik.

Kalau para wanita yang banyak jumlahnya itu menggoda sang prabu hanya dengan pamrih agar menjadi selir dan mendapat kedudukan mulia, hal itu tidak mengapa. Akan tetapi, akhir-akhir ini sang prabu di Jenggala amat berubah sikapnya setelah dia mendapatkan seorang selir baru. Celakanya, berbeda dengan selir-selir lainnya yang puluhan orang banyaknya, selir baru ini tidak hanya terbatas pada kemuliaan pamrihnya, melainkan lebih tinggi lagi.

Selir baru ini ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi sesudah raja, dan untuk mencapai hal ini, ia mempergunakan segala kecantikan wajahnya, segala kesegaran tubuh mudanya, segala bujuk rayu yang menggairahkan sehingga hati sang prabu di Jenggala yang masih muda biarpun tubuhnya sudah tua itu menjadi jatuh dan tunduk.

Siapakah selir baru yang muda belia, segar menggairahkan ini? Dia seorang wanita masih muda belia, tujuh belas atau delapan belas tahun usianya, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bagaikan buah mangga sedang ranum matang hati, manis segar dan renyah!

Wajahnya manis sekali, terutama kerling matanya yang tajam melebihi mata pedang, kerling yang menyambar-nyambar membetot hati membuat sukma pria melayang-layang karena dalam kerling ini terkandung tantangan dan ajakan kepada pria untuk bertamasya ke dalam surga kenikmatan. Selain sepasang mata indah yang memiliki kerling "maut" ini, juga mulutnya membuat setiap mata laki-laki memandang bagaikan tergantung dan lekat pada sepasang bibir itu!

Bibir itu merah segar, berkulit tipis seperti kulit kentang, seperti buah tomat masak, menggemaskan hati, membuat orang ingin sekali menggigitnya, menantang dan selain dapat mencipta senyum memikat dan memabukkan, juga bibir yang basah dapat bergerak-gerak menggairahkan sehingga selalu tampak memberahikan ketika dicemberutkan, atau dijebikan, atau bergerak-gerak seperti menggigil.

Deretan gigi putih seperti pagar mutiara melindungi rongga mulut yang merah penuh tantangan. Wajah yang manis sekali, yang bagaikan besi semberani menarik pandang mata setiap orang pria yang berjumpa dengannya. Rambutnya hitam panjang dan agak berombak, membentuk sinom halus di dahi dan anak rambut melengkung di depan telinga, kalau dibiarkan terurai, panjangnya sampai ke bawah pinggul. Tubuhnya tinggi ramping, padat penuh dengan lekuk-lengkung sempurna dalam pandangan setiap orang pria, dan ia dapat menggerak-gerakkan setiap bagian tubuhnya dengan gerakan yang luwes dan memikat. Kulitnya yang agak hitam tidak menjadi cacat, bahkan menambah kemanisannya.

Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Namanya Suminten! Di bagian depan cerita ini telah dituturkan bahwa Suminten adalah abdi dalem (pelayan) mendiang Pangeran Panjirawit dan Endang Patibroto. Suminten ketika menjadi abdi dalem di istana pangeran itu, seringkali mengintai dan menyaksikan adegan mesra antara Pangeran Panjirawit dan isterinya.

Suami isteri itu selalu berkasih-kasihan dan akhirnya terbangunlah berahi dalam tubuh Suminten dan pelayan ini jatuh cinta kepada sang pangeran! Cinta berahi yang ditahan-tahan .dan akhirnya tercetus menjadi cemburu, iri hati, dan kebencian terhadap Endang Patibrotol Ia mengharapkan untuk menjadi selir Pangeran Panjirawit yang tampan, akan tetapi semua pengharapan dan usahanya sia-sia belaka karena sang pangeran terlalu mencinta isterinya, tidak mau mempunyai selir.

Telah diceritakan betapa kebencian ini membuat Suminten diam-diam lari kepada Ki Patih Brotomenggala, menceritakan perbuatan Endang Patibroto yang melukai ayam dengan ilmu hitam sehingga makin besarlah kecurigaan dan dugaan ki patih bahwa Endang Patibroto agaknya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para ponggawa dengan ilmu hitam. Suminten dihadapkan kepada sang prabu di Jenggala, kemudian oleh sang prabu dijadikan abdi dalem istana.

Semenjak saat itulah tampak Suminten yang sesungguhnya, yaitu seorang dara muda belia yang mempunyai pamrih besar sekali, tidak akan puas kalau belum mencapai kedudukan setinggi-tingginya. Terhadap Pangeran Panjirawit ia memang menaruh kasih sayang yang sesungguhnya, yang murni dan andaikata terlaksana keinginan hatinya menjadi selir Pangeran Panjirawit, agaknya ia akan merasa puas dan bahagia, tidak akan mencita-citakan hal lain lagi.

Akan tetapi, la mendengar akan keadaan Pangeran Panjirawit, akan kesengsaraan dan akhirnya akan kematiannya. Hatinya hancur dan ia bertekad untuk menyalurkan semua cinta bercampur duka ini menjadi cita-cita untuk menjadi manusia paling berkuasa di Jenggala agar ia dapat membalas dendam atas kematian Pangeran Panjirawit, pria yang pernah dicinta sepenuh hatinya.

Gadis ini selain cantik manis, juga amat cerdik. Setelah menjadi abdi dalem di Istana Kerajaan Jenggala, cepat sekali ia dapat mempelajari keadaan dan dapat pula mengambil hati para selir, bahkan sampai permaisuri sendiri menaruh kepercayaan kepadanya dan memberinya tugas melayani sang prabu.

Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Suminten. Dengan daya tariknya yang luar biasa, ditambah kelemahan sang prabu terhadap wanita muda, dalam waktu beberapa hari saja ia berhasil menjatuhkan hati sang prabu yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun Itu! Akhirnya, dengan resmi Suminten diangkat menjadi selir termuda Sang Prabu Jenggala!

Semenjak ia diangkat menjadi selir, mulailah Suminten menggunakan kecerdikannya memasang jerat, merayu dan mengambil hati para selir lain untuk mencapai cita-cita hatinya. Makin pandai ia merayu sang prabu, menggoda dan melakukan segala macam akal wanita sehingga sang prabu menjadi makin mabuk dan cinta kepadanya. Sang prabu menganggap bahwa di antara semua selirnya, Suminten inilah yang paling mencinta dirinya yang sudah tua. Hanya Suminten inilah yang mempunyai rasa cinta kasih yang "murni" terhadap dirinya.

Selain mempermainkan sang prabu seperti pandainya ia mempermainkan rambutnya, Suminten juga mengambil hati dan bermuka-muka kepada permaisuri sehingga sang ratu ini merasa lebih sayang kepadanya daripada kepada para selir lainnya. Di depan sang ratu, Suminten bersikap amat merendah diri, amat tekun merawat dan melayani segala keperluan sang ratu, pandai menghibur dengan kata-kata manis, memuji-muji dan menjilat-jilat. Sebentar saja naiklah derajat Suminten, karena ia dikasihi sang prabu dan disayang sang ratu, maka kedudukan atau derajatnya boleh dibilang meningkat tinggi di atas derajat semua selir sri baginya.

Kalau diingat betapa dalam waktu beberapa bulan saja ia telah dapat menanjak dari seorang abdi dalem pangeran menjadi selir terkasih sang prabu, sesungguhnya kenaikan derajat ini sudahhal yang luar biasa sekali, apalagi kalau diingat bahwa Suminten hanyalah seorang yang berasal dari desa. Namun, bagi Suminten hal ini masih belum memuaskan hatinya, masih jauh daripada memuaskan. Ia melihat ada hal-hal yang masih menjadi rintangan baginya untuk mencapai anak tangga tertinggi.

Hal pertama adalah sang ratu atau permaisuri sendiri. Betapapun juga tinggi kedudukannya, ia hanya seorang selir termuda, tentu tidak akan dapat mengalahkan pengaruh sang ratu, maka sang ratu merupakan sebuah perintang baginya. Akan tetapi, ia tidak begitu memusingkan hal ini karena sang ratu harus dianggap rintangan terakhir. Yang amat menyakitkan hatinya adalah rintangan di depan mata, yang membuat Suminten gemas sekali.

Rintangan ini berupa seorang selir lain yang sebelum Suminten diangkat menjadi selir, merupakan selir tercinta dari sang prabu. Selir ini adalah Puteri Sekarmadu yang baru berusia dua puluh lima tahun dan sudah lima tahun menjadi selir sang prabu. Puteri Sekarmadu memang cantik jelita, pendiam, pandai segala macam kesenian, berwatak halus dan memang dia adalah puteri seorang adipati di Kanigoro yang dipersembahkan kepada sang prabu oleh sang adipati.

Puteri Sekarmadu adalah yang tercantik di antara semua selir, namun setelah di situ ada Suminten, puteri ini biarpun pada dasarnya menang cantik, namun kalah pandai dalam keluwesan dan gaya memikat. Puteri Sekarmadu maklum akan segala polah tingkah Suminten, maklum betapa selir termuda ini, berbeda dengan lain-lain selir, berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan hati sang prabu, sebagai seorang puteri yang pandai membawa sikap, Sekarmadu tidak membuat reaksi apa-apa. Betapapun juga, sang prabu tidak pernah dapat melupakan Sekarmadu dan biarpun ia kini seolah-olah menjadi selemas rambut yang dipermainkan oleh jari-jari tangan Suminten yang cekatan, namun sang prabu masih saja mendekati Sekarmadu dan membagi waktunya secara bergilir.

Bagi Suminten, tentu saja ia tidak mencinta sang prabu setulus hatinya. Mana mungkin dia, seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun, dapat mencurahkan kasih sayang yang setulusnya terhadap seorang kakek berusia enam puluh tahun? Tidak, ia muak terhadap belaian kasih sayang dan pencurahan cinta asmara sang prabu, dan dia sama sekali tidak cemburu atau iri hati terhadap Sekarmadu.

Yang membuat ia gemas adalah karena Sekarmadu dianggapnya sebuah rintangan yang harus dienyahkan kalau ia mau cepat-cepat mencapai cita-citanya. Namun, bagaimana ia dapat menjatuhkan Sekarmadu yang demikian pendiam, halus tutur sapanya, lemah lembut budinya, dan sukar dicari kesalahannya itu? Namun dengan sabar dan tekun Suminten mengatur semua rencana, mendekati semua selir, berbaik dan mengambil hati mereka, sambil menanti saat dan kesempatan yang baik untuk menghalau rintangan-rintangan itu, satu demi satu!

Kalau ada orang mengira bahwa selir-selir raja di jaman dahulu yang begitu banyaknya itu dapat hidup rukun, dia mengira keliru. Memang pada lahirnya mereka ini tampak rukun, namun sesungguhnya tidak demikianlah di dalam hati. Kalau mereka tampak rukun, dan tidak pernah bertengkar, adalah karena mereka ini takut kepada raja dan kebencian mereka satu sama lain hanya diutarakan secara diam-diam dan dengan jalan saling membicarakan keburukan masing-masing di belakang punggung.

Karena maklum akan keadaan para selir sang prabu di Jenggala ini, maka secara cerdik sekali Suminten mendekati mereka semua dengan sikapnya yang mengambil hati dan merendah sehingga mereka semua merasa suka kepadanya dan menganggap selir termuda ini sebagai sahabat baik. Mulai-lah Suminten mengorek-ngorek rahasia pribadi masing-masing selir itu melalui selir-selir lainnya, membuat mereka saling membicarakan rahasia dan keburukan masing-masing sehingga Suminten dapat mengetahui sebagian besar cacad dan keburukan para selir yang menjadi saingannya.

Pada suatu malam terang bulan yang amat indah. Hawa malam itu sejuk sekali di dalam taman, berbeda dengan hawa di dalam kamar yang panas. Suminten duduk sendirian di dalam taman sari yang sunyi. Malam sudah mendekati tengah malam, semua penghuni keputren di mana para selir tinggal, telah tidur pulas, demikian pula para abdi dalem. Namun Suminten masih duduk melamun di taman sari. Hatinya tidak puas.

Malam itu sang prabu menjatuhkan giliran kepada Sekarmadu. Hatinya panas. Bukan karena cemburu, karena dia sendiri sesungguhnya tidak pernah merasa senang apalagi cinta kepada sang prabu yang sudah tua. Hanya ia merasa panas dan tidak senang karena kenyataan bahwa sang prabu masih melekat kepada Sekarmadu itu berarti bahwa cita-citanya untuk naik ke tangga tertinggi menghadapi rintangan berat.

"Gilang-gemilang bulan purnama
taman sari bermandi cahaya kencana
termenung sendiri dewi jelita
seperti Bathari Komaratih
Dewi Asmara."


Suminten kaget dan ketika ia menoleh dan melihat siapa orangnya yang berpantun dengan suara merdu dan penuh rayuan itu, bibirnya yang manis berjebi, matanya mengerling tajam. Lalu dengan gerakan yang genIt ia membuang muka.

Laki-laki itu masih muda, tampan dan tubuhnya tinggi besar. Uslanya antara dua puluh lima tahun, pakaiannya indah. Dia ini adalah Pangeran Kukutan, seorang di antara banyak pangeran putera sang prabu terlahir dari para selir. Pangeran Kukutan ini adalah putera selir yang kini telah tua dan "tidak terpakai lagi" oleh sang prabu, seolah-olah telah di "pensiun". Namun sebagai selir raja mempunyai seorang putera, tentu hidupnya terjamin, juga Pangeran Kukutan mendapat kedudukan terhormat seperti para pangeran lain.

Berdebar jantung Suminten, biarpun ia pura-pura membuang muka sambil berjebi. Pangeran Kukutan ini sudah lama menaruh hati kepadanya, semenjak ia menjadi abdi dalem dan belum dIselir sang prabu. Kalau ia mau, ia tidak akan menjadi selir sang prabu, tentu didahului dan diselir pangeran ini. Akan tetapi, Suminten yang bercita-cita tinggi selalu menolaknya dan lebih suka menjadi selir sang prabu, sungguhpun di dalam hatinya seringkali mengenangkan pangeran yang muda dan tampan ini.

Namun, ia seorang wanita yang amat cerdik dan la tidak mau membiarkan dirinya terseret oleh perasaannya karena hal ini akan membahayakan kedudukannya dan dapat menyeretnya turun kembali ke tingkat paling bawah! Maka ia selalu menghadapi Pangeran Kukutan seperti seekor burung dara yang sukar ditangkap, jinak-jinak merpati. Rasa sukanya kepada pangeran muda dan tampan gagah ini membuat ia jika bertemu melempar kerling memperlihatkan senyum, akan tetapi kewaspadaannya untuk mencapai cita-cita membuat ia selalu mengelak dari perangkap-perangkap asmara yang dipasang oleh sang pangeran.

"Aduhai juita.... jelita yang tiada bandingnya di atas permukaan bumi ini.... agaknya para dewata memang telah menjodohkan kita, siapa mengira bahwa hamba yang tak dapat tidur dan berjalan-jalan di sini akan bertemu dengan dewi pujaan hati....!" kata sang pangeran dengan suara merayu dan duduklah pangeran itu di atas bangku, dekat Suminten.

Suminten merasa akan kehadiran tubuh pria itu yang duduk begitu dekat di sampingnya. Kedua kakinya menggigil, jantungnya berdebar tegang, dan rasa bahagia menyelundup di hati mendengar kata-kata yang amat indah baginya itu. Selama menjadi selir sang prabu, ia tidak pernah mendengar rayuan seperti itu, melainkan suara sang prabu yang berwibawa dan memerintah, kasih sayang sang prabu yang kaku dan tidak merayu, dengus napas tuanya yang terengah-engah, tubuh tuanya yang lemah dan terlalu sering membutuhkan pijat sehingga melelahkan kedua tangannya. Kekerasan hatinya mulai mencair seperti lilin kepanasan dan seluruh urat syarafnya tegang dilanda berahi, membuat ia ingin sekali menjatuhkan dirinya dalam dekapan lengan yang kuat, bersandar pada dada yang bidang itu. Akan tetapi, Suminten menekan perasaannya dan tanpa menoleh ia berkata, suaranya diketus-ketuskan,

"Pangeran, mau apa engkau ke sini? Dan mengapa berani mengeluarkan kata-kata seperti itu, duduk bersanding dengan aku? Lupakah engkau bahwa aku adalah ibumu juga, selir daripada ramandamu?"

"Heh-heh," sang pangeran terkekeh perlahan, "kalau begitu, aku adalah anakmu?"

"Tentu saja engkau anakku! Anak tiri, karena engkau putera sang prabu!" kata Suminten yang belum berani menoleh karena ia mendengar suara pangeran itu amat dekat di telinga kanannya sehingga kalau ia menoleh, muka mereka akan berhadapan dan berdekatan sekali.

Kembali Pangeran Kukutan terkekeh, suara ketawanya merdu terdengar oleh telinga Suminten, berbeda dengan suara tertawa sang prabu yang serak terbabah diseling batuk!

cerita silat online karya kho ping hoo

"Ha-ha-ha... kalau begitu, biarlah aku menjadi puteramu, dan engkau ibuku. Duhai ibunda yang cantik manis seperti dewi kahyangan, terimalah sembah bakti puteranda!" Pangeran muda itu sambil tersenyum-senyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten, menyembah dan mencium ujung kainnya.

Mau tidak mau Suminten kini memandang dan menunduk. Alangkah bagusnya kepala yang berambut hitam tebal itu, tidak seperti kepala sang prabu yang sudah botak dan rambutnya yang jarang dan memutih. Pundak yang lebar, dada yang bidang dan menonjol kekar, oto-totot melingkar kuat, perut yang rata dan kuat, semua tampak di balik baju pemuda itu yang terbuka di sebelah depan. Kulit yang halus padat, sama sekali tidak ada keriput. Berbeda dengan tubuh sang prabu dengan perutnya yang gendut, dadanya yang kerempeng, pundak yang menunduk, otot-ototnya sudah layu!

Suminten yang cerdik tidak membiarkan dirinya terseret oleh berahi, namun ia mempergunakan perhitungan dalam otaknya, perhitungan untung ruginya, kalau ia menuruti nafsunya menerima bujuk rayu pemuda ganteng ini. Ah, memang dia membutuhkan pembantu-pembantu untuk dapat mencapai cita-citanya. Dan agaknya Pangeran Kukutan ini dapat ditarik menjadi pembantu pertama dan pembantu utama.

Pertama karena dia seorang pangeran yang selalu berada di istana, dekat dengannya. Ke dua, karena ia telah mengetahui rahasia ibunda pangeran ini, selir ke tiga sang prabu sehingga ia dapat menggenggam pangeran ini dalam kekuasaannya, apalagi kalau ia berhasil menundukkannya dengan keindahan wajah dan tubuhnya. Banyak sekali keuntungan didapat kalau ia melayani pangeran ini, pikir otaknya yang cerdik sementara jantungnya makin berdebar keras dan mulai terbakar nafsu berahi ketika pangeran itu sesudah menyembah lalu memegang kedua kakinya dan mengelus-elus kedua kaki kecil itu dengan jari-jari tangan yang nakal dan pandai membelai. Ketika ia merasa betapa jari-jari tangan itu dari kaki makin merayap naik, ia menegur dan mengibaskan tangannya,

"Ihhhh.... Pangeran, engkau tak tahu susila!"

Pangeran Kukutan yang masih berlutut itu menengadahkan mukanya, memandang wajah Suminten dengan sepasang mata memancarkan sinar kasih sayang yang tenggelam dalam nafsu berahi yang berkobar-kobar, mulutnya tersenyum penuh ajakan dan ia berkata, suaranya tetap halus merdu dan jenaka,

"Elhoo.... Bukankah aku puteramu dan kau ibuku? Aduh, Kanjeng Ibu, aku minta dipangku!" Dan pangeran itu lalu betul-betul menjatuhkan mukanya di atas pangkuan Suminten, kedua lengannya memeluk pinggang yang ramping itu.

"Aiihhh.....!" Suminten menjerit lirih karena geli, pinggangnya menggeliat.

Akan tetapi Pangeran Kukutan yang sudah sepenuhnya dikuasai nafsu berahi itu, makin menggila. "Ibunda yang cantik jelita, anakmu ini minta cium, minta emik (menyusu), minta kelon (ditemani tidur)!" Berkata demikian, pangeran itu melanjutkan belaiannya dan menciumi Suminten.

"Iihhhh.... aaahhh..... Pangeran Kukutan, berhenti atau.... aku akan menjerit!"

Ancaman ini berhasil. Pangeran Kukutan tentu saja merasa takut karena kalau sampai "ibu tirinya" ini benar-benar menjerit sehingga perbuatannya diketahui oleh sang prabu, ia tentu akan celaka. Akan tetapi pada saat itu, nafsu berahi telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan suaranya menggigil ketika ia berbisik,

"Duhai Adinda Suminten, telah terlampau lama aku menyimpan cinta asmara di dalam hati terhadap Adinda, tak tertahankan lagi.... ah, adinia, kasihanilah kakanda ini..."

Suminten juga menggigil seluruh tubuhnya. Perbuatan nakal pangeran tadi seolah-olah telah membakar tubuhnya, membuat nafsunya sendiri menyala-nyala, matanya setengah terpejam, bibirnya ditarik seperti orang tersiksa nyeri, hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis, tarikan napasnya terdengar, tersendat-sendat, kedua tangannya digenggam erat-erat. Hanya kecerdikan otaknya sajalah yang tadi dapat membuat ia kuasa menahan diri.

Kemudian la menunduk, memandang tubuh pangeran yang berlutut di depannya itu, tersenyum puas dan girang. Satu hal sudah nyata, ia dapat menggenggam pangeran ini dalam kekuasaannya dengan pengaruh asmara. Akan tetapi ia masih belum puas. Pengaruh itu belum meyakinkan karena ia mau agar supaya pangeran muda ini benar-benar bersetia kepadanya, setia sampai mati. Maka ia lalu berkata perlahan,

"Pangeran Kukutan, sebelum aku membiarkan kau menurutkan keinginan hatimu itu, lebih dulu kaudengarkan baik-baik kata-kataku. Mataku juga tidak buta dan aku dapat melihat bahwa sudah lama engkau mencintaku. Akan tetapi, pangeran. Cinta kasih seorang pria terhadap wanita adalah cinta kasih sementara saja seperti orang mencinta setangkai bunga yang harum. Kalau sudah kenyang menikmati keharuman bunga sampai bunga itu layu dan tidak harum lagi, akan berhentilah cinta kasihnya dan bunga layu itu akan dibuang begitu saja! Berahi seorang pria seperti orang makan tebu. Setelah kenyang mengunyah, menghisap sampai habis sari manisnya, dia akan mencampakkan sepahnya begitu saja! Aku tidak sudi kelak kauperlakukan seperti setangkai bunga atau sebatang tebu...."

"Aduh, kekasih hati pujaan kalbu! Demi Sang Hyang Bathara Kamajaya, dewa segala cinta asmara di jagat ini, aku bersumpah akan bersetia dalam cinta kasihku terhadapmu"

"Bukan hanya kesetiaan yang kukehendaki, pangeran, melainkan juga ketaatan. Terutama sekali ketaatan. Engkau akan melakukan segala permintaanku?"

"Demi para dewata! Perintahkan apa saja, juwitaku, akan kulaksanakan. Engkau menghendaki aku menyeberangi lautan api? Bilamana saja, aku siap!".

Suminten tersenyum, sengaja membuat senyuman mengejek tidak percaya. "Sesungguhnyakah?"

"Demi nyawaku.... !" Pangeran Kukutan hendak memeluk lagi akan tetapi Suminten menahan dengan kedua tangannya.

"Nanti dulu, pangeran. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Andaikata... ini umpamanya saja untuk mengukur besarnya kesetiaanmu kepadaku, andaikata sekali waktu aku minta engkau... membunuh sang prabu, bagaimana jawabmu?"

Pangeran Kukutan terbelalak dan meloncat mundur dalam keadaan berjongkok saking kagetnya. Sejenak ia tidak kuasa menjawab, hanya memandang wanita jelita itu dengan mata terbelalak, kaget dan khawatir. Bahkan ia sudah menoleh ke kanan-kiri, khawatir kalau-kalau ucapan tadi terdengar lain telinga.

"Apa...? Apa yang kaukatakan ini....? Harap kau jangan main-main, adinda Suminten..."

Suminten tetap tersenyum, lalu berkata sambil memandang tajam, "Engkau pun tidak perlu berpura-pura, Pangeran Kukutan. Kita harus berterus terang, saling membuka kartu. Biarpun aku selir termuda dan tersayang, namun tentu saja aku yang muda dan cantik ini tidak mencinta sang prabu yang tua dan lemah, bahkan aku... aku membenci tua bangka itu! Dan engkau..... engkau sama juga. Jangan kau kira bahwa aku tidak tahu. Engkau.... bukan putera sang prabu. Aku sudah tahu bahwa dahulu ibumu melakukan hubungan rahasia dengan ki juru taman (penjaga taman) dan engkau adalah keturunan ki juru taman. Nah, sekarang katakan terus terang, bersediakah engkau bersekutu denganku dalam segala hal dan selalu akan tunduk terhadap perintahku?"

Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat sekali. Sejenak ia ketakutan dan hampir saja timbul kenekatan hatinya untuk membunuh wanita yang tahu akan rahasia ibunya akan hal itu. Akan tetapi mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, hatinya lega. Memang dia pun selalu menanti kesempatan untuk dapat merampas kekuasaan karena maklum bahwa kelak kedudukan raja tentu tidak akan diturunkan kepadanya. Hatinya lega, wanita ini cerdik bukan main, dan amat dekat dengan raja, mungkin tidak akan ada ruginya kalau ia bersekutu dengannya. Apalagi dengan hadiah balasan cinta kasih!

"Aku bersedia dan bersumpah akan bersetia kepadamu, adinda Suminten yang cerdik pandai. Bahkan aku girang sekali mendapat sekutu seperti adinda, karena dalam segala hal tentu adinda lebih pandai mengaturnya daripada aku."

Suminten girang sekali, ia bangkit berdiri dan tertawa lirih. "Bagus sekali, pangeran. Aku percaya akan kesetiaanmu, apalagi karena sekali kau berbuat curang, engkau dan ibumu akan celaka. Kau cukup tahu akan kekuasaanku atas diri sang prabu. Nah, kini lega hatiku dan terimalah hadiahku. Mari...!"

Wanita muda jelita itu mengulurkan dan mengembangkan kedua lengannya ke arah Pangeran Kukutan. Pemuda itu mengeluarkan sorak perlahan saking girangnya, lalu bangkit dan menubruk Suminten seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba. Mereka berdekapan dan berciuman dengan buas, seperti orang-orang kelaparan menghadapi nasi.

"Hushhhh... kau gila, pangeran? Jangan di sini! Bawa aku ke pondok taman.... !" bisik Suminten di dekat telinga pangeran itu.

Pangeran Kukutan tidak menjawab karena sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata di antara napasnya yang tersendat-sendat dan terengah-engah. Ia lalu memondong tubuh yang baginya amat ringan itu dan membawanya lari ke dalam gelap, menyelinap antara pohon-pohon dan rumpun bunga, kemudian menghilang ke dalam sebuah pondok kecil mungil yang memang sengaja dibangun di dalam taman itu sebagai tempat istirahat raja dan para selirnya.

Memang tidaklah mengherankan apabila semenjak malam hari penuh gairah nafsu iblis itu, Suminten selalu mengadakan pertemuan dan perhubungan gelap dengan Pangeran Kukutan, setiap malam apabila sang prabu tidak tidur di kamarnya. Semenjak masih perawan, Suminten diselir sang prabu dan selama itu ia hanya mengenal belaian kasih asmara sang prabu yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, yang tentu saja tidak sesuai dengan keadaan jasmaninya sendiri yang masih muda belia.

Namun, wanita muda yang amat cerdik ini biarpun terbuai gelombang asmara, tetap ia masih dapat menguasai keadaan dan bukanlah dia yang dipermainkan oleh sang pangeran, melainkan si pangeran inilah yang makin lama makin mabuk dan jatuh terkulai, tunduk di bawah pengaruh Suminten. Sedemikian hebat kekuasaan wanita ini atas diri pangeran yang menjadi kekasihnya sehingga sang pangeran akan mentaati segala macam perintahnya secara membuta, biar disuruh mencuci kaki Suminten akan dilakukan dengan penuh kesungguhan!

Betapapun juga, nafsu berahi yang menguasai hati Suminten membuat wanita ini alpa. Dia lupa bahwa semua gerak-geriknya tidak terluput daripada pengintaian wanita yang menjadi saingannya, yaitu Sekarmadu. Selir inipun menggunakan seorang emban (pelayan) untuk mengawasi gerak-gerik Suminten dan pada suatu hari ia mendapat pelaporan mata-matanya bahwa Suminten seringkali mengadakan pertemuan gelap dengan Pangeran Kukutan di dalam pondok taman. Mendengar ini, Sekarmadu tertawa lebar, kemudian mengepal tangannya menjadi tinju kecil dan berkata, "Nah, sekarang mampuslah engkau, perempuan rendah!"

Sekarmadu menanti saat baik. Ketika sang prabu kebetulan bergilir kepada selir lain, suatu hal yang jarang sekali terjadi semenjak Suminten menjadi selirnya, dan emban yang menjadi mata-mata Sekarmadu melaporkan bahwa Pangeran Kukutan dan Suminten sudah berada di pondok taman, selir ini sendiri bersama embannya menyelinap memasuki taman, menghampiri pondok dengan hati-hati. Sang emban yang merasa takut karena urusan ini menyangkut selir sang prabu yang terkasih dan seorang pangeran muda, berjongkok di luar pondok. Dengan tubuh menggigil karena ia maklum bahwa tentu akan terjadl peristlwa hebat. Adapun Sekarmadu dengan hati panas penuh kemarahan lalu mendekati jendela, mengintai dan mendengarkan.

Di dalam pondok itu gelap remang-remang, hanya tampak bayangan dua orang yang tidak jelas. Akan tetapi suara percakapan mereka jelas mudah dikenal, yaitu suara Suminten dan Pangeran Kukutan. Dengan jantung berdebar-debar, Sekarmadu mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan lirih-lirih,

"kekasihku wong bagus (orang tampan), betapa kuatnya engkau tidak seperti sang prabu yang loyo"

"dan engkau wanita tercantik di dunia ini, pujaan hatiku..."

Sekarmadu tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Dari luar jendela, ia memaki, "Suminten perempuan rendah, perempuan hina! Berani engkau bermain gila dengan Pangeran Kukutan dan masih menghina sang prabu lagi. Tunggu saja, habiskan kesenanganmu malam ini karena besok engkau akan mampus!"

Setelah berkata demikian, Sekarmadu dengan muka merah saking marahnya meninggalkan tempat itu, kembali ke kamarnya, diikuti emban yang masih ketakutan. Betapapun juga, Sekarmadu tidak mau menimbulkan keributan malam hari itu karena sang prabu sedang bermalam di kamar selir ke tujuh. Karena hal ini amat memalukan, juga bagi sang prabu sendiri, maka Sekarmadu yang menghormati suaminya menahan gelora kemarahannya malam itu, hendak menanti sampai besok baru ia akan melapor secara diam-diam kepada junjungannya.

Adapun Suminten dan Pangeran Kukutan yang sedang langen asmara (bermain cinta) di dalam pondok taman, seolah-olah berubah menjadi arca saking kagetnya. Kalau di malam hari yang terang tiada mendung itu tiba-tiba terdengar Halilintar menyambar, agaknya mereka tidak akan sekaget ketika mendengar suara Sekarmadu di luar jendela. Pangeran Kukutan menjadi pucat dan tak dapat berkata sesuatu. Sumintenlah yang lebih dulu sadar dan dapat menguasai hatinya. Wanita ini mendorong tubuh kekasihnya dan melompat turun dari pembaringan, berkemas sambil berkata, "Hayo cepat, kita harus turun tangan lebih dulu!"

Mendengar suara kekasihnya yang sedikitpun tidak membayangkan rasa takut itu, barulah hati Pangeran Kukutan menjadi tenang. Mereka lalu berbisik-bisik dan Suminten yang cerdik itu mengatur rencananya. Cepat sekali Suminten mengatur rencana dan segera mereka melakukan siasat yang diatur Suminten malam itu juga. Pangeran Kukutan pergi ke pondok kediaman para juru taman, diam-diam memanggil pembantu juru taman yang muda bernama Jagaloka. Adapun Suminten pergi menemui tujuh orang emban pelayan yang menjadi kaki tangannya. Mereka berdua bekerja cepat sesuai dengan siasat Suminten dan tak lama kemudian, Suminten sudah bertemu lagi dengan Pangeran Kukutan yang datang bersama Jagaloka yang muda dan cukup tampan, akan tetapi pada saat itu Jagaloka kelihatan bingung dan takut.

Sekarmadu masih belum tidur. Dia sama sekali tidak dapat tidur, bahkan semenjak memasuki kamarnya, puteri ini berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya, hatinya penuh ketegangan. Ingin sekali ia sekarang juga melapor sang prabu, namun kalau ia melakukan hal ini, tentu banyak selir dan abdi dalem yang mendengar, juga sang prabu dapat menjadi tidak senang hati karena terganggu. Hatinya sudah tidak sabar dan ingin ia malam cepat-cepat berganti pagi agar ia dapat segera melapor dan wanita hina itu segera dihukum! Emban pembantunya yang tadi ketakutan sudah tidur melingkar di atas lantai. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di luar pintu kamarnya. Sekarmadu berhenti melangkah, memutar tubuh menoleh ke arah pintu kamar dan bertanya, "Siapa di luar?"

Sebagai jawaban pertanyaannya, tiba-tiba pintu kamarnya yang terkunci itu didobrak orang dari luar. Agaknya orang yang mendobraknya itu kuat sekali karena sekali tendang, daun pintu itu terbuka dan muncullah Jagaloka yang wajahnya pucat.

"Ehh.... si Jagaloka, mau apa engkau....??" Sekarmadu membentak, heran dan marah.

"Hamba... hamba.... bukankah hamba dipanggil....?

"Keparat! Jangan kurang ajar engkau! Berani membuka pintu kamarku?"

Pada saat itu, berkelebat masuk bayangan Pangeran Kukutan yang membentak, "Juru taman bedebah, kau harus mati!" Ucapan Pangeran Kukutan ini disusul terjangannya dengan keris di tangan. Sekali tusuk saja si juru taman yang tentu saja bukan lawan pangeran yang perkasa itu mengeluh dan terhuyung, darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya.

Sekarmadu memandang dengan mata terbelalak, hendak menjerit, akan tetapi dengan gerakan sigap sekali Pangeran Kukutan sudah meloncat ke dekatnya dan sekali menggerakkan tangan, pangeran itu sudah merangkulnya dan membungkam mulutnya. Sekarmadu meronta-ronta dan berusaha menjerit, namun sia-sia karena pangeran itu kuat sekali merangkulnya dan kuat pula tangan yang menutupi mulut. Pada saat berikutnya, muncul Suminten yang tersenyum-senyum.

Wanita ini sambil tersenyum genit mendekati Sekarmadu lalu merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sekarmadu, satu demi satu sampai Sekarmadu menjadi telanjang bulat! Setelah itu barulah Pangeran Kukutan melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh wanita yang telanjang itu sampai terlempar dan tertelungkup dalam pembaringannya. Emban yang terbangun oleh suara gaduh ini, memandang terbelalak, saking kaget dan takutnya sampai tak dapat bersuara.

"Bagus sekali engkau perempuan hina-dina, perempuan rendah, pelacur yang terseret memasuki istana!" Suara Suminten terdengar lantang karena ia sengaja mengeluarkan suara seperti menjeri-tjerit, telunjuknya menuding ke arah tubuh Sekarmadu yang telanjang bulat di atas pembaringan.

"Sungguh menjijikkan! Tak tahu malu! Berjina dengan si juru taman!"

"Apa kau bilang? Kau perempuan keji... kau... kau!" Akan tetapi wanita yang malang itu tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia menangis dan berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan alas sutera pembaringan karena pada saat itu, para abdi dalem dan beberapa orang selir yang mendengar suara ribut-ribut itu sudah membanjir masuk ke dalam kamar.

Mereka berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak, sejenak memandang ke atas pembaringan di mana puteri Sekarmadu rebah dalam keadaan telanjang bulat terbungkus alas pembaringan, kemudian memandang tubuh Jagaloka yang kini juga sudah telanjang bulat dan menjadi mayat berlepotan darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, melihat Pangeran Kukutan yang berdiri dengan keris di tangan, tanpa diberitahu sekalipun mereka dapat menduga apa yang telah terjadi! Tentu Sekarmadu berjina dengan si juru taman, akan tetapi dipergoki Pangeran Kukutan dan Suminten yang berakibat kematian juru taman di tangan sang pangeran.

"Tidak.....! Tidaaaaaaaakkk... Aku tidak.....!" Sekarmadu menjerit-jerit karena iapun dapat mengerti akan bahaya yang mengancam dirinya.

Gegerlah istana pada malam itu sehingga sang prabu sendiri sampai terkejut, terbangun dan mendengar apa yang terjadi di kamar selirnya yang terkasih, Sekarmadu. Mendengar ini sang prabu marah sekali. Setelah berpakaian rapi, sang prabu duduk di ruangan dalam dan memerintahkan menyeret Sekarmadu menghadap juga memerintahkan agar Suminten dan Pangeran Kukutan menghadap sebagai saksi.

Sekarmadu menangis terisak-isak ketika dua orang pengawal istana menyeretnya, karena ia hampir tidak mampu berdiri, dengan tubuh masih terbungkus sutera merah alas pembaringan, rambutnya terural dan wajahnya pucat. Di belakangnya, Suminten dan Pangeran Kukutan melangkah tenang, namun berbeda dengan wajah Suminten yang berseri-seri tersenyum, wajah Pangeran Kukutan pucat dan kedua kaki tangannya terasa dingin.

Mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sang raja. Suminten yang pandai merayu itu segera berjalan jongkok menghampiri sang prabu, menyembah dan menyentuh kakinya sambil berkata lirih, suaranya serak-serak basah amat mengharukan,

"Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah menimbulkan keributan, akan tetapi mohon paduka memaklumi betapa panas hati hamba penyaksikan perbuatan tak tahu malu dari perempuan itu yang menghina paduka."

Dengan gerakan halus dan penuh kasih sayang, tangan sang prabu menjamah rambut yang halus berikal mayang itu, kemudian berkata, "Engkau malah berjasa, Suminten. Mundurlah, biar kuperiksa perkara menjijikkan ini!" Akan tetapi Suminten tidak mundur jauh, menyembah lagi dan berkata,

"Mohon ampun. Junjungan hamba. Perempuan ini amat keji dan palsu, sebelum ia sempat bercerita bohong, harap paduka sudi mendengar dulu kesaksian hamba dan puteranda Pangeran Kukutan."

Sang prabu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang selirnya yang terkasih itu. "Duhai, gusti pujaan hamba... sudilah paduka mendengarkan penuturan hamba... hamba kena fitnah... hamba tidak bersalah.... dialah perempuan rendah yang hamba yakin menjadi biang keladi fitnah ini! Dia... dia dan Pangeran Kukutan.... !!"

"Diam kau, perempuan terkutukk !! Sang prabu membentak dan pucatlah muka Sekarmadu, maklum bahwa nasibnya sudah ditentukan dengan sikap sri baginda raja itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah, hanya menunduk dan menangis, meratap di dalam hati mohon pertolongan dewata. "Berceritalah kau, Suminten."

Dengan suara lantang Suminten bercerita, "Malam tadi hamba tidak dapat tidur...." Ia mengerling tajam kepada sang prabu yang memandangnya dan sang prabu mengangguk-angguk, mulutnya tersenyum maklum, karena ia tahu bahwa seperti biasanya menurut pengakuan Suminten, tiap kali sang prabu tidur dengan selir lain, selir termuda dan tercinta ini tentu tak dapat tidur! "..... karena gelisah dan merasa gerah, hamba keluar dari kamar dengan maksud mencari angin sejuk di taman. Akan tetapi, seperti paduka maklum, jalan menuju ke taman melalui belakang kamar perempuan rendah ini. Hamba mendengar suara-suara di dalam kamar, suara kekeh tertawa genit dan cumbu rayu pria. Hamba curiga dan mendengarkan di luar jendela, kemudian hamba yakin bahwa itu adalah suara si perempuan rendah dan si juru taman keparat itu. Kebetulan sekali, pada saat itu, hamba melihat berkelebatnya bayangan orang di taman, dan ketika hamba mengenal bayangan itu adalah puteranda Pangeran Kukutan, hamba lalu memanggilnya dan menceritakan bahwa di kamar perempuan ini ada seorang duratmoko (maling). Demikianlah, Gusti, puteranda pangeran lalu turun tangan membunuh si bedebah juru taman."

Sang prabu menjadi merah mukanya, mengepal tinju dan giginya yang sudah banyak ompongnya berkerot. "Kukutan, ceritakan kesaksianmu!"

Setelah menyembah, Pangeran Kukutan bercerita yang tentu saja memperkuat cerita Suminten, yaitu bahwa karena hawa terasa panas ia pergi ke tamansari, dipanggil "ibunda" dan diberi tahu kejadian di kamar Sekaremadu, dan saking marahnya, ia menendang daun pintu kamar, melihat betapa selir yang berjina itu berada di atas pembaringan bersama Jagaloka.

"Si bedebah itu hendak melarikan diri, akan tetapi hamba menerjangnya dan menikam ulu hatinya dengan keris hamba." Demikian sang pangeran menutup ceritanya.

Sang prabu makin marah dan pada saat itu, "persidangan" kecil ini diganggu dengan munculnya Ki Patih Brotomenggala yang tergopoh-gopoh menghadap karena mendengar akan kekacauan di istana. Ia menyembah dan diberi isyarat tangan sang prabu agar duduk. Ki patih yang sudah tua ini pun duduk bersila dan mendengarkan dengan hati tegang dan wajah berkerut.

"Perempuan tak tahu malu, perempuan rendah! Apa yang dapat kau ceritakan sekarang?" bentak sri baginda kepada Sekarmadu yang mendengarkan semua tuduhan itu dengan wajah pucat akan tetapi sepasang matanya menyinarkan kebencian dan kemarahan kepada Suminten dan Pangeran Kukutan.

"Fitnah! Semua itu fitnah belaka, Gusti! Tidak tahukah Paduka betapa jahat dan palsu dua orang manusia terkutuk ini? Hamba tidak bersalah. Hamba sedang berada di kamar, tahu-tahu pintu tertendang dan masuk si juru taman, disusul Pangeran Kukutan yang serta-merta membunuhnya, kemudian manusia keparat ini memeluk hamba, si perempuan tak tahu malu itu menelanjangi hamba dan..."

"Eh, Sekarmadu, sungguh mulutmu lancang sekali!" Suminten memotong. Hanya dialah satu-satunya orang yang berani berlancang mulut di depan sang prabu. "Sudah berdosa, mengapa tidak mengaku dan memohon ampun kepada sri baginda? Dengan bicara membabi-buta, dosamu bertambah berat. Engkau sudah kubantu, kurahasiakan kata-katamu yang kudengar, akan tetapi engkau malah menyebar fitnah.... !!"

"Suminten, apa yang dia katakan? Hayo kau mengaku, apa yang ia katakan kepada juru taman keparat itu?" Sri baginda menjadi tertarik dan ingin sekali mendengar "rahasia" itu.

Suminten menggeser duduknya makin dekat depan kaki sang prabu, lalu menunduk, memasang tubuh sedemikian rupa sehingga kelihatan amat menggairahkan dalam pandangan sri baginda yang sudah tua itu. Kemudian ia berkata, suaranya menggetar,

"Hamba.... hamba tidak berani..."

"Eh, kenapa tidak berani? Takut kepada siapa? Jangan takut, tidak ada seorang setan pun yang akan berani menganggu seujung rambutmu, Suminten!" kata sri baginda penuh kasih sayang sehingga ia diupah sekilas senyum dan kerling tajam kekasihnya.

"Hamba... hamba takut kalau-kalau akan membuat paduka marah..."

"Tidak, Suminten. Kalaupun marah, tentu tidak kepadamu yang bersih daripada dosa."

"Kalau begitu, sebelumnya hamba mohon ampun. Hamba mendengar jelas ucapan yang keluar dari mulut busuk perempuan hina itu begini..... kekasihku wong bagus, betapa kuatnya engkau... tidak seperti sang prabu, si tua bangka yang loyo...."

Tidak hanya wajah Sekarmadu yang menjadi pucat, bahkan wajah Pangeran Kukutan sendiri menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang Suminten yang tersenyum. Alangkah beraninya wanita itu! Padahal, ucapan itu adalah persis seperti apa yang diucapkan Suminten sendiri kepadanya ketika mereka berlangen asmara! Sekarmadu terbelalak, kemarahannya memuncak dan ia bangkit berdiri, menjerit,

"Perempuan iblis... ! Engkaulah yang mengatakan itu.... ! Engkau.... engkau keji..."

Akan tetapi sang prabu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya, meloncat turun dari atas kursinya. Biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih kuat dan tangkas. Keris pusaka di tangannya berkilat dan di lain detik, tubuh Sekarmadu roboh mandi darahnya sendiri yang muncrat keluar dari dadanya. Tangan kiri Sekarmadu mendekap luka di dada, ia berusaha bangkit, berlutut dan tangan kanannya menunjuk ke arah Suminten, matanya terbelalak, mulutnya mengeluarkan kata-kata lemah, "engkau... Suminten perempuan keji... dan engkau Pangeran Kukutan laki-laki pengecut.... terkutuklah kalian... aduhhh... sang prabu telah khilaf, mudah terbujuk... semua ini fitnah....mereka.... merekalah yang berjina, harap tanyakan kepada emban..... auuughhhl" Robohlah kembali tubuh Sekarmadu, terkulai miring tak bernapas lagi.

Alas pembaringan sutera merah menjadi lebih merah lagi dan kini terlepas, terbuka, sehingga tampaklah tubuh yang berkulit putih bersuh itu, sebersih hatinya, namun ternoda warna merah, darahnya sendiri!

"Aduhhhh, gusti puteri....!" Emban pelayan pribadi Sekarmadu menubruk mayat itu dan menangis.

"Heh, emban! Apa artinya ucapan terakhir gustimu yang berdosa tadi?"' Sang prabu bertanya kepada emban itu, hatInya agak terharu dan kemarahannya mereda ketika ia melihat betapa tubuh muda yang blasanya amat dikasihaninya itu kini sudah menggeletak tak bernyawa lagi.

Emban itu terengah-engah, menyembah-nyembah sampai dahinya terbentur lantai.

"Ampun, kanjeng gusti.... sesungguhnya gusti puteri tidak berdosa.... gusti putri mulus dan murni tanpa cacad.... sesungguhnyalah yang berjina adalah... gusti puteri Suminten dan gusti Pangeran Kukutan.... hamba menyaksikan sendiri.... !!

"Keparat....!"

Pangeran Kukutan melompat dan sebelum dapat dicegah, kerisnya telah menembus lambung emban itu yang seketika roboh, berkelojotan dan tewas! Sang prabu mengerutkan kening dan menghardik.

"Kukutan! Apa yang kau lakukan ini?"

Pangeran itu segera menjatuhkan diri menyembah. "Mohon ampun, Kanjeng Rama! Bagaimana hati hamba kuat mendengar fitnah yang keluar dari mulut si bedebah ini. Tentu saja ia berusaha membalas dendam gustinya dan berusaha menjatukan fitnah. Kedosaan Sekarmadu sudah terbukti, adapun tuduhan tanpa bukti terhadap hamba adalah fitnah belaka. Hamba tidak dapat menahan kemarahan, mohon paduka sudi memberi ampun."

"Memang bujang hina itu tak patut dibiarkan hidup!" Suminten menyambung sambil mencium kaki sri baginda. "Betapa dia boleh menghina hamba begitu saja. Seorang emban! Dan tentang hubungan antara Sekarmadu dengan Jagaloka bukan hal yang aneh lagi. Hamba mempunyai banyak saksi.... !" Suminten melambaikan tangannya ke dalam, memanggil para emban keputren. Mereka ini adalah kaki tangannya yang tadi sudah ia pesan dan beri hadiah, tentu saja tujuh orang pelayan ini segera menerangkan dengan suara seragam bahwa mereka pernah menyaksikan Sekarmadu mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia dengan Jagaloka, dan yang menjadi perantara adalah si emban yang terbunuh Pangeran Kukutan!

Marahlah sri baginda. "Sudahlah, lekas enyahkan bangkai terkutuk kedua orang itu!"

Tergopoh-gopoh para pengawal dan pelayan mengangkut dua mayat wanita itu dan membersihkan lantai sehingga tidak ada lagi bekas-bekas darah.

"Kakang Patih Brotomenggala, engkau jaga agar peristiwa kotor ini tidak sampai tersiar keluar."

"Hamba akan mentaati perintah paduka, Gusti," jawab ki patih yang wajahnya masih keruh dan alisnya berkerut.

"Eh, Kakang patih, kau kelihatan tidak senang hatimu. Bukankah sudah tepat sekali dua orang manusia jahanam itu dibunuh?"

"Maafkan hamba, gusti. Memang sudah sepatutnya yang salah dihukum. Akan tetapi... tidak seyogianya kalau paduka sendiri yang menjatuhkan hukuman. Selain itu, barulah adil namanya kalau si terdakwa diberi kesempatan untuk membela diri dan perkara diselidiki terlebih dahulu kebenarannya sebelum menjatuhkan hukuman. Hukuman pun harus dilaksanakan oleh petugas yang sudah ada."

"Eh, ki patih! Apakah andika tidak percaya akan keterangan hamba dan puteranda Pangeran Kukutan?" Terdengar Suminten bertanya, suaranya lantang penuh tantangan.

"Bukan begitu, sang puteri. Bukan soal percaya atau tidak percaya, akan tetapi hamba hanya menyatakan hal yang semestinya menurut adilnya hukum. Menurut penglihatan hamba, biasanya Sang Puteri Sekarmadu berwatak baik dan berbudi bersih."

"Kakang patih, apakah seorang manusia itu dinilai daripada sikapnya yang baik? Siapa tahu akan isi hati seseorang?" Sang prabu membantah karena merasa ikut tersinggung bahwa patihnya ini agaknya menyangsikan kesaksian selirnya yang tercinta.

Patih Brotomenggala menyembah kepada sang prabu lalu berkata, "Memang benar sekali sabda paduka, gusti. Akan tetapi, sedikit banyak gerak-gerik seseorang mencerminkan dasar wataknya

"Hemm, Paman patih, agaknya andika adalah seorang ahli mengenal watak wanita!" Pangeran Kukutan mengejek.

Ki Patih Brotomenggala yang tua itu memandang tajam ke arah wajah pangeran itu dan berkata, suaranya perlahan dan hormat namun mengandung getaran berwibawa,

"Sedikitnya pengetahuan hamba akan watak wanita lebih banyak daripada yang paduka ketahui, gusti pangeran, karena sebelum paduka terlahir, hamba sudah banyak mengenal wanita."

"Sudahlah, Kakang patih," kata sang prabu dengan suara kesal, "sudah terang akan dosa Sekarmadu, saksinyapun bukan sembarang orang melainkan selirku dan puteraku, juga tujuh orang emban. Tentu saja mereka tidak mau mengaku, si bedebah juru taman dan perempuan laknat itu. Akan tetapi mereka sudah dihukum, dan hal ini sudah adil dan sudah habis, tidak perlu dipercakapkan lagi. Yang perlu dijaga agar hal seperti ini jangan sampai terdengar keluar, karena hanya akan mendatangkan aib belaka."

"Hamba mentaati perintah paduka, gusti," jawab ki patih sambil menyembah.

Sang prabu lalu membubarkan persidangan kecil itu, kemudian kembali ke tempat peraduan, akan tetapi sekali ini bukan kembali ke tempat selir yang digiliri malam tadi, melainkan menggandeng lengan Suminten yang berkulit halus dan padat itu, memasuki kamar Suminten yang indah bersih dan berbau harum.

Dengan sikap manja sambil berjalan perlahan, Suminten menggenggam tangan junjungannya, berjalan mepet dan menggosok-gosokkan tubuhnya agar bersentuhan dengan tubuh sang prabu, senyum manisnya melebar, kerling matanya makin tajam!

Demikianlah, dengan amat cerdik, Suminten dapat membalikkan kenyataan, dari keadaan terancam bahaya karena perjinaannya, menjadi pemenang atas diri saingannya yang terberat, yaitu Sekarmadu, berhasil membunuh wanita tak berdosa itu dan mempertebal kepercayaan dan kecintaan sang prabu kepadanya.

Pada pertemuan berikutnya dengan Pangeran Kukutan, ia menegur pangeran itu, "Pangeran, engkau benar-benar ceroboh! Kalau tidak ada aku yang bersikap hati-hati, tentu akan celakalah kita di tangan Ki Patih Brotomenggala!"

Pangeran Kukutan merangkul, mendekap dan mencium bibir yang menantang itu sebelum bertanya, "Ah, datang-datang aku disambut makian! Apa salahanku kali ini, dewi jelita? Mengapa kau menyebut aku ceroboh?"

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 19