Perawan Lembah Wilis Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 17

IA MAKLUM bahwa tiada untungnya untuk berselisih faham dengan sahabatnya ini dalam keadaan menghadapi lawan kuat seperti pasukan-pasukan Panjalu.

"Baiklah,, Biku Janapati. Andika tidak perlu khawatir. Aku tidak akan turun tangan sendiri. Pula, betapa rendahnya kalau aku berlawan dengan seorang bocah macam Tejolaksono. Tidak, aku dan andika tidak akan turun tangan, hanya akan menjadi penonton. Biarlah para pembantuku yang akan menghadapi Tejolaksono."

"Sadhu-sadhu-sadhu.... begitu barulah lega hatiku! Dan perlu sekali lagi kuperingatkan, saudaraku Wasi Bagaspati bahwa tadi andika telah berjanji bahwa selanjutnya kita akan bekerja sama mempergunakan cara halus demi berhasilnya tugas kita. Dan jangan lupa janji kita dengan Ki Tunggaljiwa, orang tua macam kita tidak perlu turun tangan, biarlah kita serahkan kepada yang muda-muda."

"Ha-ha-ha-ha! Jangan khawatir, sang biku! Murid-muridku sudah banyak, dan manakah murid yang kau ajukan?"

Pendeta itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gundul. "Buah yang saya imbu (sekap) masih belum dalu (matang)."

"Ha-ha-ha-ha! Kuharap saja tidak mengecewakan kelak."

"Mudah-mudahan begitu, sang wasi."

Demikianlah antara lain percakapan antara dua orang pendeta sakti mandraguna itu di sebuah pondok di puncak Gunung Merak. Kemudian Sang Wasi Bagaspati memanggil dan mengumpulkan anak buahnya dan berungdinglah kakek ini dengan Cekel Wisangkoro muridnya, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan beberapa orang pimpinan pasukan yang menjadi anak buahnya. Setelah mengatur siasat untuk menghadapi pasukan Panjalu, Sang Wasi Bagaspati lalu memasuki kamar untuk beristirahat, ditemani oleh si cantik genit Sariwuni.

Pada keesokan harinya, kokok ayam jantan merupakan pertanda bagi pasukan Panjalu, seperti yang telah direncanakan Tejolaksono, dan mulailah pasukan ini mendaki dituntun sinar matahari yang mulai semburat merah. Karena mereka melakukan penyerbuan dari sisi timur bukit, maka sepagi itu tempat yang mereka lalui sudah kebagian sinar matahari.

Ketika pasukan-pasukan Panjalu itu sudah tiba di sebuah lereng yang rata dan luas, barulah mereka mendapat sambutan musuh yang turun berbondong-bondong dari puncak. Mereka ini adalah pasukan penyembah Bathara Kala, rata-rata orangnya tinggi besar dan senjata mereka adalah golok-golok besar dan penggada. Mereka itu menyerbu turun, menyambut pasukan Panjalu sambil bersorak-sorak, melompat-lompat dan bergulingan, dengan gerak-gerak kasar seperti barisan raksasa.

"Serbuuuu...!!!" Tejolaksono meneriakkan aba-aba ini untuk menambah semangat pasukannya yang begitu kedua fihak bertemu, terjadilah perang tanding yang dahsyat sekali. Fihak barisan Kala ini adalah anak buah Ki Kolohangkoro, rata-rata memiliki tenaga besar dan ilmu tata kelahi yang ganas dan kuat. Akan tetapi pasukan yang dipimpin Tejolaksono pada saat itu pun merupakan pasukan pilihan dari Panjalu, maka pertandingan itu merupakan pertandingan yang amat seru dan seimbang.

Tejolaksono sendiri menyerbu paling depan dan seperti biasa, sepak terjang orang sakti ini hebat bukan main. Sepasang goloknya menderu-deru, mengeluarkan bunyi berdesingan dan "mbrengengeng" seperti suara sekumpulan lebah mengamuk. Celakalah pihak musuh yang berdekatan, karena sepasang goloknya itu tak dapat dihindari lagi, dielak terlalu cepat, ditangkis terlalu kuat sehingga senjata penangkis patah disusul robohnya lawan!

Akan tetapi tiba-tiba Tejolaksono mengeluarkan seruan marah. Ia melihat banyak anak buahnya roboh secara tidak wajar. Ada uap hitam melayang-layang dan bergerak-gerak, keluar dari pihak musuh dan uap hitam yang seperti hidup ini setiap kali menyentuh perajuritnya, perajurit itu tentu roboh pingsan dan tentu saja dengan mudah menjadi korban senjata lawan. Tejolaksono lalu meloncat dan sambil meneriakkan pekik Dirodo Meto ia lalu menyerbu ke arah uap hitam. Golok kanannya ia pegang dengan tangan kiri, sedangkan kini tangan kanannya ia hantamkan ke arah asap hitam itu dengan aji pukulan Bojro Dahono. Berkali-kali ia memukul dan asap hitam itu terpukul buyar sampai akhirnya lenyap. Menyaksikan pemimpin mereka yang berhasil melenyapkan asap hitam yang mengerikan, para perajurit Panjalu bersorak dan timbul kembali semangat mereka. Perang menjadi makin dahsyat dan sengit.

"Tar-tar-tar....!!!"

Tejolaksono yang pada saat itu berhasil menancapkan sepasang goloknya memasuki perut gendut dua orang musuh, terkejut dan cepat ia merendahkan diri terus menyelinap melalui bawah tubuh dua orang musuh yang roboh. Ketika la meloncat bangun, ia melihat betapa hantaman kebutan merah itu yang tadinya menyambar kepalanya, kini mengenai kepala dua orang lawan yang telah ia tusuk. Dua buah kepala itu pecah berantakan dan dua batang tubuh roboh tanpa kepala lagi. la bergidik dan memandang kepada Ni Dewi Nilamanik dengan marah.

"Iblis betina! Kiranya engkau berada di sini pula. Bersiaplah engkau untuk memasuki neraka jahanam!" bentak Tejolaksono.

Ni Dewi Nilamanik yang tadinya terkejut dan kecewa menyaksikan betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dihindarkan lawan, bahkan mengenai kepala dua orang perajurit anak buah sendiri, kini tersenyum lebar menindas kemarahannya. Wanita yang berusia empat puluh tahun ini masih amat cantik, apalagi kini ia tersenyum, kecantikannya dapat memabukkan hati pria. Sepasang matanya menyambar penuh kemesraan, seolah-olah ia hendak memikat hati Tejolaksono.

Pakaiannya yang mewah itu tipis membayangkan bentuk tubuhnya yang masih padat dan ramping. Sesungguhnya, kalau ia teringat akan penyerbuan Tejolaksono belum lama ini di Gunung Mentasari, membunuh hampir semua anak buahnya dan membasmi sarangnya, hatinya merasa amat mendendam dan sakit hati kepada Tejolaksono. Akan tetapi pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik sama sekali tidak memperlihatkan kebenciannya, malah kini ia berkata dengan suara merdu,

"Tejolaksono, harus kuakui bahwa engkau memang seorang pria yang hebat! Sungguh aku merasa sayang sekali bahwa di antara kita sampai terdapat permusuhan. Tejolaksono, agaknya masih belum terlambat kalau engkau suka menerima uluran tanganku. Untuk apakah mengobarkan permusuhan dan perang, bunuh-membunuh yang tidak ada gunanya? Bukankah lebih baik saling mencinta daripada saling membenci? Tejolaksono, kau pandanglah aku. Ni Dewi Nilamanik kalau perlu dapat pula menjadi Dewi Cinta. Masih kurang cantikkah aku? Pandanglah baik-baik..."

Kata-kata yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik yang berbibir merah itu bukanlah sembarang kata-kata melainkan kata-kata yang diterapkan sebagai bagian daripada ilmu guna-guna sehingga terdengar merayu-rayu dan amat merdu. Tejolaksono yang memandang wanita itu, merasakan getaran hebat yang menerjangnya, yang menggetarkan jantung dan yang amat kuat seperti hendak menguasai hati dan pikirannya, yang menciptakan pandangan indah sehingga wanita itu tampak cantik melebihi dewi kahyangan sendiri, yang membuat suara itu terdengar merdu, pendeknya getaran itu menciptakan segala yang serba indah, menyenangkan hati, menghilangkan semua rasa benci dan marah, membangkitkan nafsu berahi!

Tentu saja sebagai ksatria gemblengan yang sakti mandraguna dan yang tahu akan seperti ini, Tejolaksono dapat menguasai hatinya dalam beberapa detik saja. Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut dan harus ia akui bahwa kekuatan yang terkandung dalam ilmu semacam aji guna asmara yang dikerahkan wanita ini benar-benar amat mujijat dan kuat. Jarang kiranya ada pria, betapapun gagahnya, yang akan dapat menahan diri daripada pengaruh, guna-guna yang hebat ini.

"Ni Dewi Nilamanik, tidak perlu lagi engkau mengeluarkan aji-ajimu yang kotor dan rendah! Betapapun cantiknya engkau, tetap saja tampak olehku betapa kotor dan hitam hatimu. Kecantikanmu hanyalah bungkus indah yang menyembunyikan sesuatu yang busuk dan kotor!"

Senyum manis di bibir Ni Dewi Nilamanik perlahan-lahan berubah menjadi seringai yang kejam. Mata yang tadi bersinar-sinar mesra dan redup kini menyala-nyala seperti mengeluarkan api.

"Tar-tar!!" Pengebut merah yang baru karena pengebut yang lama telah rusak ketika ia melawan Tejolaksono di Mentasari, kini bergerak di atas kepala Ni Dewi Nilamanik, mendahului kata-katanya yang terdengar ketus,

"Tejolaksono! Engkau sudah bosan hidup! Apa engkau kira akan dapat lolos dari tanganku?"

"Tidak perlu bersombong, iblis betina. Engkaulah yang kini takkan lolos daripada tanganku untuk menebus dosa-dosamu dengan kematian!"

"Bagus! Hayo kita mencari tempat yang lapang agar dapat menentukan siapa di antara kita yang akan mampusI" Sambil berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik berkelebat dan tubuhnya dengan gerakan yang amat ringan seperti terbang saja sudah berlari atau setengah melayang mendaki bagian yang lebih tinggi dekat puncak, menjauhi tempat yang telah menjadi medan perang itu.

Tejolaksono memang ingin sekali merobohkan musuh ini karena ia maklum bahwa robohnya Ni Dewi Nilamanik akan mempengaruhi kemenangan pasukannya. Maka ia tidak menjadi gentar dan cepat ia pun menggunakan Aji Bayu Sakti untuk mengejar lawannya.

Setelah tiba di bawah puncak, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak melepaskan jarum-jarum beracun yang berwarna merah pula. Inilah senjata rahasia yang halus sekali, terbuat daripada besi yang besarnya hanya serambut panjangnya setengah jari. Namun justru karena kecilnya inilah maka jarum-jarum ini amat berbahaya, jika dipakai menyerang, disambitkan dengan dorongan hawa sakti tidak tampak namun apabila mengenai tubuh lawan akan menembus masuk kulit daging sehingga sukar untuk dikeluarkan lagi. Lebih mengerikan lagi karena jarum-jarum ini sebelumnya telah direndam racun yang dibuat daripada air liur ular bandotan!

Tejolaksono yang sudah waspada dapat menduga akan datangnya serangan ini, apalagi pandang matanya yang tajam dapat melihat berkelebatnya benda-benda halus yang menyambar ke arahnya itu, juga pendengaran telinganya yang terlatih dapat menangkap suara berdesir, halus dari jarum-jarum. Maka ia cepat memutar goloknya depan tubuh tanpa menghentikan pengejarannya. Terdengar suara berdencing dan jarum-jarum itu terpukul runtuh ke kanan kiri. Dengan marah dan penuh semangat Tejolaksono meloncat ke depan, mengejar lawannya yang kini sudah berdiri menantinya dengan senyum mengejek dan kebutan merah di tangan. Akan tetapi pada saat itu, muncul tiga orang yang memiliki gerakan gesit dan mereka ini segera berdiri di empat penjuru sehingga Tejolaksono terkurung di tengah-tengah.

Ketika adipati yang sakti mandraguna ini memandang, ia segera mengenal mereka dan kemarahannya tersinar dari pandang matanya yang tajam. Mereka itu bukan lain adalah Cekel Wisangkoro, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni si wanita cantik genit yang sudah menggodanya.

"Hemm, bagus sekali! Memang kalian inilah yang menjadi biang keladi dan sudah lama kucari-cari!" kata Tejolaksono sambil mengangkat dada dan siap dengan sepasang goloknya. Ia tahu bahwa empat orang itu bukanlah lawan lemah dan maklum pula bahwa ia tentu akan dikeroyok, maka ia bersikap tenang dan tidak berani memandang rendah, hanya menanti empat lawannya bergerak.

"Heh-heh-heh-heh, Tejolaksono, kau sombong benar!" kata Cekel Wisangkoro, kakek berusia lima puluh tahun yang rambutnya terurai penuh uban ini. Karena merasa yakin bahwa kali ini dia dan teman-temannya akan berhasil membunuh Tejolaksono, maka kakek ini tertawa-tawa gembira. Seperti biasa rambut kakek yang penuh uban ini terurai sampai ke pinggang. Jubahnya kuning panjang dan kakinya telanjang. Mukanya yang merah itu berkulit halus seperti muka kanak-kanak dan tubuhnya yang kurus tinggi masih kelihatan kuat. Tongkat hitam berbentuk ular di tangannya mengkilat seperti hidup, dilintangkan depan dada. Dia ini adalah murid yang tekun dari Wasi Bagaspati, maka tentu saja memiliki ilmu yang tinggi.

"Hemm, Cekel Wisangkoro! Biasa saja seorang musuh menganggap lawannya sombong! Persoalannya bukan tentang sikap, melainkan karena sepak terjang kalian yang menerjang dan melanggar batas wilayah Panjalu, yang menyebar kekacauan sehingga kalian ini bagi kami lebih jahat daripada penyakit menular maka harus dibasmi sampai ke akar-akarnya!"

"Babo-babo! Sumbarnya seperti engkau seorang satu-satunya jantan di dunia ini, keparat!" bentak Ki Kolohangkoro dengan muka merah saking marahnya.

Raksasa ini adalah adik seperguruan Sang Wiku Kalawisesa si penyembah Bathara Kala yang tewas di tangan Endang Patibroto. Hanya bedanya, kalau Wiku Kalawisesa lebih memperdalam ilmu gaib dan ilmu hitam, adik seperguruannya yang bertubuh raksasa ini memperdalam ilmu-ilmu pertempuran sehingga dalam hal kedigdayaan, Ki Kolohangkoro ini malah melampaui kakak seperguruannya itu.

Namun hal ini bukan berarti dia tidak tahu akan ilmu hitam. Sebaliknya, karena akhir-akhir ini malah melatih ilmu gaib yang berdasarkan ilmu hitam dan cara menghimpun tenaga dalam ilmu ini amat mengerikan, yaitu dengan minum darah dan makan daging seorang anak kecil hidup-hidup! Pakaian raksasa berusia kurang lebih lima puluh tahun inipun mewah sehingga ia tampak gagah dan menakutkan, sepasang anting-anting di telinga terbuat daripada emas dan senjatanya berbentuk sebuah nenggala dengan gagang di tengah dihias emas permata.

"Terserah bagaimana wawasan kalian!" kata pula Tejolaksono dengan sikap tenang.

"Tejolaksono, engkau pernah menghinaku, kini tiba saatnya engkau merasakan pembalasanku, keparat!" teriak Sariwuni yang juga sudah mencabut pedangnya.

"Sariwuni, engkau bukan perempuan baik-baik, dan sekali ini aku berusaha melemparmu ke neraka jahanam agar engkau dapat menebus dosa-dosamu," jawab Tejolaksono.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Waduh-waduh, sumbarmu seperti hendak memecahkan Gunung Semeru! Kematian sudah berada di ujung hidung, masih banyak berlagak. Kau rasakan keampuhan tongkat ularku." Cekel Wisangkoro berseru dan tubuhnya bergerak ke depan, cepat sekali gerakan tubuhnya ini, tahu-tahu ia telah menerjang Tejolaksono dengan tongkatnya yang hitam berbentuk ular menusuk ke arah leher.

"Wuuutttt.... trangggg...!!"

Tangkas sekali gerakan Tejolaksono. Biarpun kelihatannya Cekel Wisangkoro yang lebih dahulu menyerangnya dari depan, namun perhatian Tejolaksono tidak terpikat dan masih saja pendekar ini memperhatikan keadaan semua orang lawannya sehingga ia dapat mengetahui bahwa biarpun Cekel Wisangkoro lebih dahulu bergerak, namun senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro lebih dahulu menyambar lambungnya dari sebelah kanan. Oleh karena itu, sambaran senjata nenggala inilah yang lebih dulu ia elakkan sehingga senjata itu menyambar dahsyat di pinggir tubuhnya, sementara itu tusukan tongkat Cekel Wisangkoro ia tangkis dengan golok tangan kirinya. Bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata dan cekel itu meringis ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang tongkat seperti dibakar rasanya.

"Tar-tar-tar !" Ni Dewi Nilamanik tidak mau ketinggalan. Kebutan lalat yang berambut merah itu sudah berbunyi nyaring dan menyambar-nyambar seperti halilintar di atas kepala Tejolaksono.

Namun sang adipati yang sakti mandraguna ini sudah menggerakkan golok di tangan kiri, diputarnya sedemikian rupa, mempergunakan pergelangan tangan sehingga golok ini berubah bentuknya menjadi segulungan sinar yang melingkar-lingkar di atas kepalanya dan saking cepat gerakannya sampai kelihatan seperti sebuah payung yang melindungi tubuh sang adipati dari atas. Adapun golok yang sebuah lagi, di tangan kanan, bergerak seperti seekor naga sakti mengamuk. Pedang Sariwuni yang menyambar diterjangnya sampai menyeleweng ke kiri membawa serta tubuh Sariwuni yang terhuyung-huyung, kemudian berputar cepat dan bertubi-tubi menyerang Cekel Wisangkoro dan Ki Kolohangkoro yang menjadi kaget sekali dan cepat menangkis dengan senjata masing-masing.

Memang hebat sekali sepak terjang sang Adipati Tejolaksono. Dikeroyok empat orang lawan yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, masih sempat untuk membalas, hal ini benar-benar membuktikan bahwa tingkatnya memang sudah amat tinggi. Namun sekali ini, empat orang yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memang sakti mandraguna dan memiliki kepandaian tinggi. Cekel Wisangkoro adalah murid yang paling tangguh dari Sang Wasi Bagaspati, seorang peranakan bangsa Hindu yang pernah lama tinggal di hindu dan sebelum menjadi murid Sang Wasi Bagaspati telah memiliki kesaktian yang hebat.

Cekel Wisangkoro inilah yang berhasil membentuk pasukan terdiri dari orang-orang yang bergerak seperti robot itu, orang-orang yang telah kehilangan semangat dan kemauan karena semangat dan kemauannya telah dirampas oleh Cekel Wisangkoro, diganti dengan pengaruh daripada kemauannya sendiri, membuat pasukan ini melakukan apa saja yang diperintahkan Cekel Wisangkoro, tidak mengenal takut, tidak merasa nyeri, kebal dan tidak kenal bahaya. Pasukan macam ini tentu saja hebat luar biasa dan banyak perajurit Panjalu yang tewas ketika menghadapi pasukan manusia robot ini.

Selain sakti dan mahir akan ilmu hitam, juga ilmu silat Cekel Wisangkoro aneh dan dahsyat, apalagi kalau ia mainkan tongkat hitamnya yang merupakan senjata yang benar-benar ampuh. Tongkatnya bukan hanya berbentuk ular, melainkan memang sungguh-sungguh terbuat daripada seekor ular kobra hitam yang hanya terdapat di sebuah lereng dari Pegunungan Himalaya. Ular kobra hitam ini sudah kering dan kerasnya melebihi kayu, seperti baja saja. Darah dan racun ular yang hebat ini sudah meresap ke seluruh bagian tubuh ketika dikeringkan sehingga tongkat itu menjadi tongkat beracun, baik bagian ekornya maupun bagian kepalanya!

Ni Dewi Nilamanik, biarpun kelihatannya hanya seorang wanita yang halus gemulai dan cantik jelita, namun dalam hal kekejian dan kedigdayaan, agaknya tidak berada di sebelah bawah Cekel Wisangkoro! Bahkan ada kelebihannya yaitu dalam aji meringankan tubuh yang membuat wanita itu dapat bergerak cepat laksana kilat. Sebagai orang yang mengaku titisan Sang Bathari Durga dan menjadi kekasih utama Sang Wasi Bagaspati, tentu saja wanita ini hebat kepandaiannya, dan menerima pula beberapa macam aji kesaktian dari Sang Wasi Bagaspati.

Dalam hal ilmu hitam, malah lebih keji daripada Cekel Wisangkoro. Senjata kebutan lalat merah itu kalau sudah dimainkan sebagai senjata, mengerikan sekali. Rambut-rambutnya yang merah dan berbentuk buntut kuda itu tak boleh dipandang rendah karena setiap bulunya saja dapat menusuk jalan darah menembus kulit daging membawa racun yang mematikan. Apalagi kalau sampai kena dihantam! Kepala bisa remuk, dada bisa pecah!

Ki Kolohangkoro mungkin masih kalah seusap oleh Ni Dewi Nilamanik dalam hal ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekejaman ia menang banyak! Kalau Ni Dewi Nilamanik dapat membunuh orang dengan mata meram, Ki Kolohangkoro ini dapat membunuh dengan mata melek dan tertawa-tawa. Sudah beberapa kali, setiap tahun, ia menggigit leher untuk menghisap darah seorang anak kecil, kemudian mengganyang dagingnya, sambil terkekeh-kekeh melihat anak itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan!

Senjatanya merupakan senjata yang hanya dipergunakan oleh tokoh pewayangan Sang Prabu Baladewa, yaitu sebuah senjata nenggala atau tombak pendek, yang meruncing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Nenggala ini bukanlah sembarang senjata, baru beratnya saja tak terangkat oleh empat orang laki-laki dewasa biasa.

Demikian pula seperti ketiga kawannya, Sariwuni juga bukan sembarang orang. Wanita yang cantik genit dan cabul ini tadinya adalah seorang pembantu Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durga, akan tetapi karena ia pandai merayu dan mengambil hati, maka ia "terpakai" oleh Sang Wasi Bagaspati, malah menjadi kekasihnya dan menghiburnya sehingga kepada Sariwuni ini diturunkan banyak aji kesaktian, di antaranya adalah Aji Wisakenaka yang amat keji. Aji Wisakenaka ini adalah sebuah aji yang didorong oleh hawa sakti di dalam tubuh, yang kalau dikerahkan membuat kuku-kuku tangan wanita cantik ini berubah menjadi kuku-kuku beracun, lebih jahat daripada taring ular bandotan. Sekali gores saja cukup untuk menyeret nyawa lawan ke jurang maut. Selain ini, juga permainan pedangnya amat cepat dan kuat.

Sang Adipati Tejolaksono memang harus diakui bahwa pada waktu itu ia merupakan seorang perkasa yang sukar dicari tandingnya. Sebagai murid Sang Sakti Narotama, bahkan pernah pula menerima petunjuk dan gemblengan Sang Prabu Airlangga, dia memiliki aji-aji kesaktian yang amat kuat. Namun, kini menghadapi pengeroyokan empat orang itu, ia benar-benar telah bertemu tanding yang mengharuskan ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua aji kesaktiannya.

Pertandingan hebat itu sudah berlangsung hampir dua jam dan keadaan masih seru, bahkan makin lama makin seru dan sengit. Aji-aji dikeluarkan silih berganti, serang-menyerang, kadang-kadang hanya seujung rambut selisihnya daripada sambaran tangan maut. Kedua golok di tangan Tejolaksono sudah rompal-rompal, akan tetapi keadaan lawan juga tampak bekas tangan dari kehebatan sang adipati.

Pedang Sariwuni tinggal sepotong, kebutan Ni Dewi Nilamanik terbabat ujungnya, juga nenggala di tangan Ki Kolohangkoro kelihatan rompal-rompal ujungnya. Hanya tongkat ular Cekel Wisangkjoro yang masih utuh, karena memang tubuh ular kering ini memiliki daya tahan yang hebat sekali.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang hebat. Tejolaksono memandang ke bawah dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan betapa pasukannya terdesak hebat, banyak yang roboh dan kini sisanya sedang digencet dari segala jurusan oleh pasukan lawan yang menggunakan ilmu hitam. Karena kaget dan cemas inilah maka Tejolaksono kurang kewaspadaannya. Pada saat itu, senjata-senjata lawannya datang menyambar dan biarpun hanya beberapa detik saja tadi perhatiannya terbagi ke arah pasukannya yang tergencet dan terjepit, namun yang beberapa detik ini dipergunakan baik-baik oleh empat lawannya.

Tejolaksono maklum akan datangnya bahaya maut yang mengancam dirinya. Ia cepat mengerahkan hawa sakti dari pusar, mendorongnya keluar melalui kerongkongannya menjadi pekik Dirodo Meto yang dahsyat itu. Biarpun empat orang lawannya merupakan orang-orang sakti yang tidak akan roboh hanya oleh getaran pekik sakti ini, namun setidaknya membuat mereka tergetar dan telah mengurangi kecepatan dan kekuatan serangan mereka yang serentak dan berbahaya itu.

Sambil mengeluarkan pekik sakti ini, Tejolaksono mainkan goloknya, yang kiri menyambut bacokan pedang Sariwuni ke arah leher, yang kanan menangkis tusukan nenggala Ki Kolohangkoro ke arah lambungnya dari sebelah kanan. Dengan mengerahkan hawa sakti melalui kedua lengannya ia menggunakan tenaga "melekat" sehingga senjata kedua orang ini seakan-akan melekat pada sepasang goloknya, kemudian pada detik berikutnya ia miringkan tubuh, menarik pedang buntung Sariwuni yang melekat goloknya ke bawah menyambut tongkat ular Cekel Wisangkoro yang menusuk perutnya dan berusaha menarik nenggala Ki Kolohangkoro untuk menangkis kebutan Ni Dewi Nilamanik!

Hebat bukan main gerakan Tejolaksono ini, sekaligus menghadapi serangan empat orang lawan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut. Terdengar Sariwuni menjerit karena wanita ini tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya yang seolah-olah melekat pada golok lawan dan tidak mau menurutkan kehendaknya lagi, tanpa dapat ia cegah telah tertarik dan menangkis tongkat ular Cekel Wisangkoro! Terdengar suara keras dan Sariwuni yang menjerit itu terlempar ke belakang, tangannya menggembung seketika karena terkena ujung tongkat ular yang berbisa!

Pada saat tertangkis oleh pedang buntung itu, Cekel Wisangkoro sudah berusaha menarik tongkatnya kembali namun terlambat sehingga melukai teman sendiri dan iapun terhuyung ke belakang. Detik berikutnya, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Kiranya raksasa ini yang tadi juga kaget ketika nenggalanya melekat pada golok lawan, telah menggunakan seluruh tenaga untuk membetot senjatanya. Terjadi adu tenaga ketika Tejolaksono menarik nenggala itu dengan kekuatan dalam, namun ternyata Ki Kolohangkoro jauh lebih kuat daripada Sariwuni dan Tejolaksono melihat betapa kebutan merah itu menyambar kepalanya.

Karena usahanya menangkis kebutan menggunakan nenggala tidak berhasil, terpaksa ia miringkan kepala dan membiarkan ujung kebutan menghantam pundaknya. Ia mengerahkan tenaga, menyalurkan tenaga hantaman kebutan itu ke arah tangan kanan, menambah tenaga pada goloknya sehingga ketika mendorong, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Secepat kilat Tejolaksono memutar tubuh, mengayun kakinya dan kini Ni Dewi Nilamanik yang menjerit dan tubuh wanita ini terlempar sampai lima tombak terkena tendanga Tejolaksono!

Wajah Tejolaksono pucat sekali. Pundak kirinya terasa panas sekali, membuat lengan kiri seperti lumpuh dan ada rasa gatal-gatal. Ia tahu bahwa hantaman ujung kebutan Ni Dewi Nilamanik telah membuat ia terluka dan keracunan. Maka ia menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa kalau empat orang lawannya yang juga hanya terluka itu sempat mengeroyoknya lagi, tentu ia akan celaka. Dia tidak takut mati. Seorang perajurit yang berjuang di medan laga, sama sekali tidak gentar akan kematian.

Akan tetapi sebelum mati, ia harus dapat menewaskan sebanyak mungkin lawan, dan demi keselamatan Panjalu, perlu sekali empat orang tokoh pimpinan musuh ini dibinasakan. Sambil mengertak gigi, Tejolaksono menubruk maju dengan sepasang goloknya. Yang terdekat adalah Ni Dewi Nilamanik, juga karena yang melukainya adalah wanita ini, maka orang pertama yang hendak ditewaskan adalah Ni Dewi Nilamanik inilah. Ia mengayun golok, menubruk ke depan dan Tejolaksono mengeluarkan seruan kaget karena ia sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhnya!

"Ha-ha-ha, memang benar-benar keras kepala si Tejolaksono!" Terdengar suara halus penuh ejekan.

Tejolaksono menoleh ke kanan dan melihat bahwa yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Wasi Bagaspati. Akan tetapi ia merasa kaget, heran dan kagum karena kakek itu berada jauh di puncak sebelah kanan, amat jauh dari situ. Namun suaranya terdengar seolah-olah kakek itu berada di dekatnya, dan ia tahu pula bahwa kakek sakti itulah yang menggunakan aji kesaktian yang gaib karena kakek itu meluruskan tangan kiri ke arahnya dan ia sama sekali tidak dapat bergerak maju!

"Ramanda wasil Perkenankanlah saya menewaskan keparat Tejolaksono ini!" terdengar Ki Kolohangkoro berkata, suaranya menggeledek.

"Lakukanlah, Kolohangkoro. Sebelum dia disempurnakan, memang akan sukarlah dicapai hasil dalam usaha kami" kata Wasi Bagaspati.

Tejolaksono melihat betapa Ki Kolohangkoro tertawa bergelak dan menghampirinya dengan senjata nenggala tangan. Ia berusaha untuk bergerak, namun usahanya sia-sia. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa sakti di tubuhnya, mencoba meronta, ia malah terjerembab, roboh terguling. Seluruh tubuhnya seperti telah dikuasai dalam sebuah jaring halus yang tidak tampak, yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kini ia hanya dapat memandang Ki Kolohangkoro dengan mata terbelalak marah, sedikitpun tidak takut, menanti datangnya tusukan maut dengan senjata nenggala itu, sambil menduga-duga apakah hawa sakti yang ia kerahkan akan dapat menahan hantaman nenggala.

Ia maklum bahwa pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati yang membuat ia tidak mampu bergerak ini dan tahu pula bahwa sekali ini ia tidak akan dapat lolos daripada bahaya maut yang mengancam dari tangan banyak lawan yang amat sakti, terutama dari tangan Wasi Bagaspati yang ia tahu jauh lebih sakti daripada dirinya sendiri. Namun merupakan pantangan besar bagi seorang perkasa seperti dia untuk menyerah kalah, maka dalam saat terakhir itupun ia tidak memperlihatkan sedikitpun rasa takut dan menentang datangnya maut dengan sikap tetap gagah perkasa. Dengan mata tidak berkedip, Tejolaksono yang sudah roboh itu memandang berkelebatnya senjata nenggala yang meluncur turun dari atas mengarah tubuhnya.

"Cuiiittt...cringgg.... Aduhh...!"

Tejolaksono terbelalak. Jelas tampak olehnya ada sinar putih menyambar turun dari sebelah kiri atas, sinar yang mengeluarkan suara bercuit nyaring, dan kemudian sinar ini menghantam nenggala yang sedang meluncur turun ke arah tubuhnya, membuat senjata itu terlempar dari tangan Ki Kolohangkoro, terlepas, dan raksasa itu sendiri terjengkang ke belakang, mengaduh-aduh memegangi tangannya. Dan tampak oleh Tejolaksono betapa di atas puncak sebelah kiri itu, cukup jauh dari situ, berdiri dua orang, seorang kakek tua berpakaian putih panjang, namun wajah kakek ini sama sekali tidak jelas karena mukanya seolah-olah tertutup sinar atau uap seperti embun bermandi cahaya matahari pagi. Dan di samping kiri kakek ini berdiri seorang pemuda tanggung, berusia kurang lebih lima belas tahun, berpakaian sederhana dan menggigillah seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia melihat wajah pemuda itu. Biarpun sudah berpisah lima tahun, namun mana mungkin ia melupakan wajah yang siang malam selalu terbayang di hatinya ini?

"Bagus Seta....!!" Ia berseru penuh keheranan dan mencoba untuk bangkit berdiri, namun tidak berhasil karena pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati masih menguasainya.

Melihat keadaan Ki Kolohangkoro, teman-temannya menjadi heran dan juga penasaran dan marah. Musuh besar mereka, Tejolaksono sudah tak berdaya, sudah roboh dan tinggal bunuh saja, bagaimana Ki Kolohangkoro sampai gagal?

Serentak Ni Dewi Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Sariwuni mencelat maju dan hendak membunuh musuh yang sudah tak berdaya, bahkan Ki Kolohangkoro yang merasa marah sudah bangkit lagi dan hendak mengulangi serangannya dengan tangan kosong. Keempat orang itu maju seperti berlomba, hendak menjadi orang pertama yang menjatuhkan tangan maut. Akan tetapi tiba-tiba keempatnya terpekik dan berdiri seperti arca, tak dapat bergerak sama sekali, seperti keadaan Tejolaksono sendiri!

Tejolaksono melihat hal ini semua, dapat menduga bahwa ini tentulah perbuatan kakek yang mukanya tertutup kabut di puncak itu, karena kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas. Keadaan sekeliling menjadi hening sekali, seolah-olah dunia berhenti bergerak. Suara pertempuran yang tadinya amat hiruk-pikuk kini lenyap sama sekali. Tejolaksono belum dapat bangkit, akan tetapi masih dapat menggerakkan leher menoleh. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat para perajurit kedua pihak yang tadinya berperang mati-matian di sebelah bawah, di lereng yang rata, kini semua diam tak bergerak, seakan-akan telah berubah menjadi batu atau arca semua! Peristiwa ini seperti mimpi saja bagi Tejolaksono.

Mimpikah dia? Benar-benar Bagus Seta kah yang berada di puncak itu? Ataukah hanya dalam mimpi? Atau barangkali ia benar-benar telah tewas di tangan musuh dan sekarang tidak lagi berada di atas dunia? Akan tetapi suara-suara yang didengarnya kemudian menyatakan kepadanya bahwa dia bukanlah mimpi, bukan pula berada di alam baka.

"Sadhu-sadhu-sadhu..." Terdengar suara yang mengejutkan Tejolaksono, apalagi ketika tampak olehnya betapa kini di samping Wasi Bagaspati muncul seorang kakek lain, yang berkepala gundul, bertubuh gendut pendek, memegang tasbih dan tongkat, seorang kakek yang sudah pernah dilihatnya, yaitu Sang Biku Janapati yang entah bagaimana tahu-tahu telah muncul di atas puncak sebelah kanan itu!

Suaranya perlahan dan halus namun seolah-olah suara itu berada di dekat telinga Tejolaksono! "Semoga Sang Triratna selalu melindungi kita, memberkahi yang benar dan menuntun yang sesat ke jalan kebenaran! Siapakah gerangan andika, wahai saudara yang sakti mandraguna? Adakah andika golongan dewa? Kalau dewa, mengapa mencampuri urusan manusia? Kalau manusia mengapa menggunakan kekuasaan seperti dewa? Ataukah andika hendak mengandalkan aji kesaktian untuk menyombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain manusia yang dapat menandingi andika? Mengakulah andika, wahai saudara yang berada di puncak depan!"

Tejolaksono terbelalak memandang. Jelas tampak wajah puteranya yang kini telah membayangkan kedewasaan, tampan dan gagah akan tetapi tampak ketenangan dan keagungan, dengan sinar mata redup namun menyembunyikan sinar tajam, tubuhnya sedang, sedikitpun tidak membayangkan sesuatu perasaan pada wajah yang muda itu. Di sampingnya, kakek aneh yang tidak tampak mukanya, masih saja diam tak bergerak, juga tidak mengeluarkan suara, seolah-olah tidak mendengar atau memperdulikan teguran dan pertanyaan Biku Janapati yang halus namun penuh teguran itu.

"Hemmm... babo-babo! Heh, si tua bangka yang berada di puncak depan!" Wasi Bagaspati berkata marah, suaranya nyaring sekali, terdengar menggema di seluruh Gunung Merak, tanda bahwa dalam kemarahannya pendeta ini telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat. "Biarpun kita sudah sama-sama tua bangka, akan tetapi tidak selayaknya andika menyombongkan kesaktian di depan kami! Apakah matamu buta telingamu tuli sehingga tidak mengenal kami berdua dan berani berlancang tangan mencampuri urusan kami? Benarkah itu sikap seorang pendeta yang sudah bijaksana untuk membela satu pihak saja dan memilih kasih? Hayo mengaku andika sebelum disempurnakan oleh kedua tangan Wasi Bagaspati!"

Akan tetapi, kakek aneh itu tetap diam saja, sama sekali tidak bergerak, juga sama sekali tidak menjawab. Tejolaksono kini secara tiba-tiba sekali dapat menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi ada getaran sesuatu yang aneh yang membuat semua api perang yang membakar semangatnya padam. Ia lalu berjalan perlahan karena khawatir kalau-kalau membikin marah kakek itu, khawatir pula kalau puteranya itu hanya bayangan mimpi dan akan lenyap kalau ia bergerak cepat. Ia berjalan perlahan mendaki puncak di sebelah kiri di mana puteranya dan kakek aneh itu berdiri seperti arca.

Juga para perajurit kedua fihak kini dapat bergerak kembali, akan tetapi seperti juga Tejolaksono, api perang yang mendorong mereka saling gempur tadi kini telah padam, mereka itu kini bengong memandang dan memperhatikan kakek aneh, hendak mendengar dan melihat sikapnya menghadapi dua orang kakek sakti dari Sriwijaya dan Cola itu.

Cekel Wisangkoro dan tiga orang temannya juga bangkit berdiri di belakang Wasi Bagaspati, hati mereka gentar dan dengan mata terbelalak memandang ke puncak depan.

"Inilah akibat daripada kekerasan yang andika lakukan, saudaraku Wasi Bagaspati," Sang Biku Janapati menegur temannya setelah menghela napas panjang, seolah-olah dalam suasana yang diam itu ia mendapat jawaban. Kemudian ia menghadap ke arah puncak dan merangkap kedua tangan yang dibuka jarinya di depan dada sebagai penghormatan sambil berkata,

"Wahai sang pertapa yang sidik paningal dan bijaksana! Kalau saya menyatakan tidak mengenal andika, seolah-olah buta kedua mata ini. Sebaliknya kalau saya mengatakan tahu, seakan-akan saya hendak mendahului andika. Karena kita sudah saling berjumpa dan jalan kita bersilang, harap andika sudi berwawancara dengan saya, Biku Janapati dari Kerajaan Sriwijaya."

Kakek di puncak kiri itu masih tidak bergerak, wajahnya tidak tampak sama sekali karena ada semacam kabut menyelimuti mukanya, akan tetapi kini terdengar suara halus menembus keluar dari kabut itu,

"Biku Janapati, setengah abad lebih yang lalu pernah kita saling berjumpa. Andika masih tetap bijaksana, sayang belum dapat membebaskan diri daripada belenggu kencana yang melibatkan diri andika dengan Kerajaan Sriwijaya!"

Semua perajurit kedua fihak yang tadi bermusuhan, kini tertegun, tidak ada yang bergerak, semua memandang bergantian ke puncak kanan dan puncak kiri di mana Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mengadakan "percakapan" dengan seorang kakek yang mukanya terselimut kabut dan yang suaranya begitu halus bergema dan menggetarkan hati semua pendengarnya. Betapa orang-orang yang berada di kedua puncak yang berhadapan dapat saling bicara, sungguh hal yang amat mengherankan dan mengejutkan.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... betapa mungkin saya dapat melupakan suara ini? Bukankah andika ini Sang Sakti Jitendrya?" berkata Biku Janapati sambil menggoyang tangan kirinya dan terdengarlah suara berdencingan nyaring menyakitkan telinga.

Semua perajurit tercengang keheranan melihat betapa seuntai tasbih digerakkan perlahan dapat mengeluarkan suara seperti itu! Suara dari dalam kabut terdengar lagi,

"Terserah kepada andika, Biku Janapati, hendak menyebut dengan nama apapun boleh. Memang bukan hanya menjadi kewajibanku seorang, bahkan seluruh manusia di atas bumi ini harus melatih diri dengan jitendrya (menahan nafsu)!"

"Wahai Sang Sakti Jitendrya yang arif bijaksana! Andika menyatakan bahwa saya belum terbebas daripada belenggu kencana yang melibatkan diri saya dengan Kerajaan Sriwijaya! Sebaliknya, semenjak setengah abad yang lalu, andika selalu berfihak kepada keturunan Mataram! Bagaimana pula ini? Adakah seorang sakti mandraguna dan arif bijaksana seperti andika masih juga memiliki sifat menyalahkan orang lain tanpa menengok cacad sendiri?"

Suara di balik kabut itu kini terdengar lagi, angker dan penuh wibawa, seperti suara seorang guru menasehati dan menegur muridnya,

"Sang Biku Janapati, seorang biku tidak hanya hafal akan isi kitab-kitab pelajaran agama, melainkan terutama sekali mentaati dan mengerjakan semua isi pelajaran itu untuk memberi contoh dan menuntun para umatnya. Aku sama sekali tidak memihak atau pilih kasih, tidak membela keturunan Mataram hanya membela yang benar mengingatkan yang keliru. Andika khilaf dalam memilih sahabat sehingga andika telah menyalahi makna pelajaran yang berbunyi demikian: Hendaknya orang tidak berteman dengan orang jahat atau tercela, sebaliknya bertemanlah dengan orang yang melakukan kebajikan dan yang berjiwa luhur. Orang bijaksana tenang menghadapi apapun yang menimpa dirinya, tidak merengek-rengek menginginkan kesenangan duniawi, tidak memperlihatkan perubahan, dalam suka atau duka, tidak terikat oleh kebahagiaan ataupun penderitaan. Namun, andika masih menghambakan diri kepada Sriwijaya sehingga tidak mungkin andika bebas daripada duniawi!"

Merah wajah Biku Janapati mendengar ucapan ini. Dia diserang dengan ujar-ujar dari Agama Buddha sendiri! Dengan suara gemetar karena menahan peluapan perasaan tersinggung, pendeta ini berkata,

"Wahai Sang Sakti Jitendrya! Faham kita berselisih karena pandangan kita berbeda, seperti bedanya kedudukanmu sekarang. Andika berada di puncak itu, sebaliknya saya berada di puncak ini. Tentu saja pemandangan menjadi berlainan kalau dipandang dari situ dengan kalau dipandang dari sini. Saya hanya seorang manusia, tidak lepas daripada kewajiban terhadap negara dan bangsa. Saya menghambakan diri di Sriwijaya dan agama, demi untuk kebaikan di dunia ini."

Kakek aneh itu tidak menjawab dan pada saat itu, Tejolaksono sudah tiba di puncak. Ia melihat cahaya terang menyelimuti wajah kakek itu, membuat matanya menjadi silau dan serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan bersembah sujud. Jelas kini bahwa pemuda yang berdiri di samping kakek itu adalah Bagus Seta yang memandangnya dengan pandang mata penuh keharuan dan cinta kasih yang terpendam dan tertindas, sehingga wajah anak itu mengeluarkan sinar lembut, akan tetapi anak itupun tidak berkata apa-apa. Sebagai seorang sakti, Tejolaksono maklum bahwa puteranya tidak berani mengganggu kakek sakti yang sedang berwawancara secara aneh itu, menghadapi dua orang kakek yang berdiri di puncak jauh di sebelah depan.

"Hah, Biku Janapati! Perlu apa banyak berbantah dengan dia? Sekarang akupun teringat siapa dia itu!" Sang Wasi Bagaspati kini berkata, suaranya penuh ejekan dan kemarahan. "Hei, engkau pertapa sombong yang berada di depan! Bukankah engkau ini yang dahulu disebut Bhagawan Sirnasarira yang pernah menyelamatkan Airlangga di Wonogiri dari tanganku? Engkau memang selalu membela keturunan Mataram akan tetapi lidahmu yang tak bertulang pandai mengelak dan menyangkal, itu bukan perbuatan orang gagah dan kalau kau memang berkepandaian, mari kita mengadu kesaktian! Sang Hyang Bathara Shiwa yang maha kuasa melebur seisi jagad akan menghancurkan pula orang berlagak dewa seperti engkau!"

Ucapan yang kasar penuh tantangan dari Wasi Bagaspati ini dikeluarkan dengan suara yang nyaring sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi gentar dan tegang hatinya. Makin terasalah kesunyian di puncak itu setelah Sang Bagaspati menghentikan kata-katanya. Sejenak kakek aneh itu tidak menjawab, sesaat kemudian barulah terdengar lagi suara halus dari balik kabut itu,

"Hemmmm, Wasi Bagaspati, seperti tadi Biku Janapati menyebut aku Jatendrya, engkaupun boleh menyebutku sesuka hatimu, Sirnasarira atau apa saja terserah, tiada bedanya. Kalau dahulu aku menyelamatkan Airlangga, bukan sekali-kali aku menyelamatkan keturunan Mataram atau seorang yang bernama Airlangga, melainkan menyelamatkan seorang manusia yang sedang dilanda kesengsaraan dan mencegah manusia lain yang hendak menggunakan kekuatan dan kelebihan untuk bersikap sewenang-wenang seperti yang kau lakukan, Wasi Bagaspati!"

"Heh, Bhagawan Sirnasasira yang sombong! Engkau memiliki wawasan sendiri, apa kaukira aku tidak mempunyai pendapat sendiri pula? Engkau tahu aku pemuja Sang Hyang Bathara Shiwa, dan aku berhak mengabdi kepadaNya. Memanglah menjadi kekuasaanNya untuk menghancurkan isi jagat. Apakah kau hendak menentang dan berani melawan kekuasaanNya?"

"Wahai, Wasi Bagaspati, sungguh menyeleweng wawasanmu! Memang kita sama tahu bahwasanya ada tiga sifat Yang Maha Kuasa, yaitu MENCIPTA, MEMELIHARA, dan MENGHANCURKAN. Ketiga sifat yang saling menyusul, saling bersambung dan saling menghidupkan sehingga terbentuk lingkaran sempurna. Memang betul bahwa Sang Hyang Bathara Shiwa yang menguasai sifat terakhir tadi, berhak dan berkuasa menghancurkan. Akan tetapi betapapun juga, tidak akan melanggar, mendahului atau tertinggal oleh Dharma!

Segala macam kehancuran yang dilaksanakan oleh Sang Hyang Shiwa demi pelaksanaan tugas adalah selaras dengan Dharma (kebenaran), tak lebih tak kurang. Adapun Dharma daripada para Dewata merupakan rahasia bagi manusia, Wasi Bagaspati, karena itulah maka seringkali timbul persangkaan daripada manusia betapa tidak adilnya kehancuran yang menimpa dirinya. Padahal, semua itu sudah adil, sudah tepat, sudah semestinya karena berlandaskan Dharma. Adapun untuk kita manusia, yang tahu akan baik buruk, akan benar salah menurut pertimbangan dan pendapat serta pengetahuan kita adalah tentu saja menurut pertimbangan ini, yang baik, yang benar, menjunjung kebajikan. Lupakah engkau akan nasehat dalam ajaran agamamu yang berbunyi begini :"

"Prihen temen dharma dhumaranang sarat.
Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya shakti sang sayana dharma raksaka."

(Carilah) sungguh-sungguh kebenaran
untuk mengatur masyarakat.
Bagi orang jujur Itulah yang diturut,
Bukan harta bukan kasth bukan pula jiasa
Kuat sang budiman karena berpegang kepada Dharma.)


"Huah-ha-ha-ha-ha! Kau pertapa tua bangka yang sombong Lagakmu seperti hendak memberi wejangan para dewata di Suralaya! Semenjak muda, puluhan tahun aku memuja Sang Hyang Bathara Shiwa, apa kau kira aku belum dapat mengenal isi daripada pelajarannya?"

"Wasi Bagaspati! Mengenal tanpa pengertian tiada gunanya. Mengerti tanpa pelaksanaan juga kosong melompong. Yang dipuja isinya, bukan kulitnya. Engkau tidak memuja keadilan Sang Hyang Shiwa, melainkan memuja kekuatannya. Kekuatan yang dipergunakan bukan dengan landasan kebenaran, sesungguhnya hanyalah kelemahan yang amat lemah. Mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kelebihan untuk berlaku sewenang-wenang, hanya menimbun racun yang akhirnya akan meracuni dan merusak diri pribadi. SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI. Lupakah engkau akan hal itu, Sang Wasi Bagaspati?"

"Aaaauuuurrggghhh.... !!!" Pekik yang keluar dari dalam dada Wasi Bagaspati melalui kerongkongannya ini hebatnya bukan main. Para perajurit sampai jatuh bertekuk lutut karena tidak dapat bertahan, mereka berlutut dan menggigil. "Bhagawan Sirnasarira! Mari kita mengadu kesaktian! Lihat kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa, keparat!"

Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya dan tiba-tiba di tangan kanannya sudah memegang sebuah senjata yang mengeluarkan cahaya gemilang menyilaukan mata. Senjata ini bentuknya seperti sebuah senjata cakra, bergagang tombak akan tetapi ujungnya berbentuk lingkaran yang mempunyai banyak mata tombak. Tiba-tiba angin besar datang bertiup ketika pendeta ini mengangkat senjata itu ke atas kepalanya. Ia kelihatan menyeramkan sekali!

Mukanya yang selalu merah itu kini seolah-olah berubah menjadi bara api yang mengeluarkan asap yang menyelubungi mukanya, namun masih ditembusi sinar matanya yang seperti kilat menyambar. Ketika angin bertiup, rambutnya yang panjang putih itu melambai berkibar-kibar seperti bendera. Angin makin besar dan tiba-tiba langit tertutup mendung, disusul geledek menyambar-nyambar diiringi kilat.

Para perajurit makin ketakutan dan kini semua orang, termasuk para perwira, bertekuk lutut dan menyembunyikan muka di balik kedua tangan, penuh ketakutan dan kengerian. Dunia seolah-olah hendak kiamat, bumi bergetar dan pohon-pohon besar seperti akan tumbang.

Kembali Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik dahsyat. Kilat dan geledek makin hebat mengamuk dan turunlah air hujan seperti dituang dari langit, air hujan yang besar-besar dan berjatuhan menimpa kulit menimbulkan rasa nyeri. Makin ributlah para perajurit kedua pihak.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... kembali kau tak dapat menguasai nafsu kemarahanmu, saudaraku Wasi Bagaspati.... !" terdengar suara Biku Janapati yang halus akan tetapi mengatasi suara ribut dan ledakan-ledakan petir.

Anehnya, tidak ada air hujan yang menimpa tubuh pendeta Buddha ini. Tubuhnya seakan-akan terlindung sebuah kurungan yang tak tampak sehingga air hujan yang menimpa dari atas menyeleweng semua ke sekeliling tubuhnya! Hal ini membuktikan pendapat Ki Tunggaljiwa dahulu kepada Tejolaksono bahwa tingkat ilmu kesaktian Sang Biku Janapati masih lebih tinggi daripada Sang Wasi Bagaspati.

Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa puncak di mana kakek aneh bersama Bagus Seta dan Tejolaksono berada, sama sekali tidak terganggu oleh keadaan yang menyeramkan ini. Jangankan hujan dan kilat, bahkan anginpun yang lewat hanyalah angin gunung sumilir sejuk! Awan hitam yang tampaknya hendak menyerang daerah ini, membalik lagi, demikian pun angin dan geledek!

"Wasi Bagaspati!" terdengar suara kakek di Balik kabut itu dengan suaranya yang halus namun menembus semua kegaduhan dan terdengar oleh semua orang yang berada di situ. "Kekuasaan dan kesaktian yang didasari oleh sifat tidak benar, tidak adil, dan sewenang-wenang, hanya akan meracuni diri pribadi!" Tangan kiri kakek itu terangkat ke atas dan... semua keadaan yang menakutkan itupun lenyaplah. Keadaan menjadi terang kembali, tidak ada angin, tidak ada awan, tidak ada hujan maupun kilat. Akan tetapi bekas-bekas amukannya masih tampak, pakaian para perajurit basah semua, pohon-pohon tumbang.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Pertapa keparat! Berani engkau menghina murid terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa....?" Wasi Bagaspati berteriak-teriak marah dan dilontarkannyalah senjata cakra di tangannya itu ke udara.

Senjata itu mengaung dan meluncur cepat bagaikan bernyawa, menuju ke puncak depan. Tampak oleh semua perajurit betapa senjata yang kini merupakan cahaya merah itu melayang-layang dan turun hendak menerjang tubuh si kakek aneh di seberang puncak. Akan tetapi, senjata itu hanya melayang-layang dan mengitari tubuh sang pertapa, seakan-akan tidak kuasa menembus cahaya berembun, kemudian terbang kembali menuju Wasi Bagaspati yang menerima pusakanya sambil membanting-banting kaki.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... dia amat sakti mandraguna, senjata dewatapun tidak akan mempan. Saudaraku, tiada gunanya melawan. Seorang bijaksana dapat menyadari keadaan sebelum terlambat. Lebih baik kita mundur sebelum hancur. Sang Sakti Jitendrya bukanlah lawan kita."

Setelah berkata demikian, Biku Janapati lalu melangkah turun dari puncak itu tanpa menoleh lagi, pergi secara terburu-buru. Melihat betapa temannya yang dapat ia andalkan telah pergi, hati Wasi Bagaspati mulai menjadi gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya, disalurkan ke dalam sinar matanya dan dengan kekuatan gaib ini ia memandang ke puncak depan dan berhasil menembus kabut yang menyelimuti wajah lawan. Begitu ia dapat memandang wajah kakek di depan itu, mukanya menjadi pucat dan ia segera membuang muka, lalu melambaikan tangannya memberi isyarat kepada semua anak buahnya dan hanya satu kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun cukup jelas dan lantang, "Mundur...!"

Bagaikan rombongan semut ditiup, bergeraklah semua perajurit anak buahnya, dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan kawan-kawannya yang juga pucat wajahnya, tanpa mengeluarkan suara mereka semua pergi dari situ, seolah-olah takut bahwa sedikit suara akan mendatangkan malapetaka bagi mereka. Tidak sampai terlalu lama, Gunung Merak telah ditinggalkan Wasi Bagaspati dan seluruh pasukan pengikutnya, tinggal para perajurlt Panjalu yang masih berlutut sambil memandang ke arah puncak di mana kakek aneh itu masih berdiri tegak. Di sampingnya berdiri Bagus Seta dan di depannya berlutut Tejolaksono. Setelah semua lawan pergi, Bagus Seta kini pun menjatuhkan diri berlutut, menghadapi ayahnya dan terdengar suaranya memanggil,

"Kanjeng rama.... !!"

"Anakku Bagus Seta...."

Mereka saling pandang dan dari pandang mata ini saja tercurah kasih sayang yang amat besar. Adipati Tejolaksono maklum bahwa puteranya telah menjadi seorang gagah dan sakti, yang tentu saja tidak mau tunduk terhadap perasaan dan nafsu sehingga rasa rindu yang membuatnya ingin sekali memeluk ayahnya telah ditekannya dengan kuat. Tejolaksono sendiri seorang yang sakti mandraguna, ia tidak mau memperlihatkan kelemahan dan keharuan, maka ia hanya memandang wajah puteranya dengan sepasang mata terasa panas karena menahan keluarnya air mata. Tiba-tiba dari balik kabut yang menyelimuti wajah kakek itu terdengar suara halus,

"Sang adipati, dharma bakti menuntut pengorbanan. Relakan puteramu untuk lima tahun lagi agar kelak berguna bagi tegaknya kebenaran dan keadilan."

Tejolaksono memandang dan ia melihat seperti apa yang disaksikan Wasi Bagaspati tadi, melihat wajah yang cemerlang, sukar ditentukan bentuknya, hanya tampak sebuah wajah seperti bayangan, wajah yang terlalu lembut, terlalu halus, terlalu cemerlang seperti keadaan langit bermandi cahaya matahari pagi, indah dipandang namun tak kuat mata lama-lama memandang, sehingga ia menundukkan muka dan tidak berani mengeluarkan suara. Di sudut hatinya, ia mengakui kebenaran kata-kata yang ditujukan kepadanya itu. Memang tiada dharma bakti dapat terlaksana dengan baik tanpa pengorbanan, tiada kebajikan dapat dilaksanakan tanpa pengorbanan. Namun pengorbanan lahir belaka!

Betapapun juga, ia tetap seorang manusia biasa yang ada kelemahannya, seorang ayah yang rindu kepada putera tunggalnya. Biarpun dengan kebijaksanaan ia yakin akan kebenaran pendapat kakek itu, namun perasaan hatinya menjadi trenyuh dan terharu. Haruskah ia berpisah selama lima tahun lagi dengan puteranya yang baru sekarang ia jumpai setelah berpisah lima tahun? Tergetar seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia memandang puteranya. Akan ia serahkan keputusannya kepada puteranya sendiri. Seorang ayah berkewajiban membimbing puteranya kalau putera itu masih kecil. Akan tetapi Bagus Seta bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan kalau si anak sudah dewasa, si ayah harus menyerahkan kekuasaan kepada si anak sendiri. Dia kini hanya menjadi pengawas, penasehat, dan pelindung agar langkah-langkah anaknya tidak menyeleweng daripada kebenaran.

Kakek itu menggerakkan kedua kakinya, membalikkan tubuh dan melangkah pergi perlahan-lahan, tanpa sepatah kata-pun kepada Tejolaksono dan puteranya. Agaknya kakek ini pun tidak menggunakan paksaan kepada ayah dan anak.

Ayah dan anak ini saling pandang dengan sinar mata seolah-olah hendak menembus dada masing-masing, menjenguk hati masing-masing. Lalu Bagus Seta tersenyum, menggerakkan tangan mengambil bunga cempaka putih yang tadi terselip di atas telinganya.

"Kanjeng rama, hamba mohon maaf bahwa sampai sekarang hamba belum juga dapat berdharma bakti kepada rama ibu. Hamba harus memperdalam ilmu selama lima tahun lagi, dan mohon paduka sudi menyerahkan bunga ini kepada kanjeng ibu sebagai pengganti jasmani hamba."

Dengan jari-jari tangan tergetar Tejolaksono menerima kembang cempaka putih dari tangan puteranya, hatinya penuh kekaguman dan kecintaan. Ia dapat meraba dengan perasaan dan kewaspadaannya bahwa puteranya kelak akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan kini sentuhan ujung jari tangan mereka saja sudah mendatangkan getaran hawa yang mendatangkan rasa nyaman, pandang mata yang halus itu begitu penuh wibawa dan pengaruh murni.

"Baik, puteraku... aku... aku mengerti...." Hanya demikian Tejolaksono dapat mengeluarkan kata-kata sambil menekan keharuan hatinya.

Bagus Seta meninggalkan senyum yang membuat hati ayahnya makin terharu karena pada senyum itu selain Tejolaksono dapat melihat pengertian yang mendalam, juga senyum itu sama benar dengan senyum Ayu Candra! Bagus Seta sudah melangkah pergi mengikuti bayangan gurunya dan biarpun guru dan murid itu melangkah perlahan, namun dalam sekejap mata saja mereka telah turun dari puncak!

Setelah bayangan kedua orang. itu lenyap, Tejolaksono menggoyang-goyang kepalanya seperti orang baru bangun dari mimpi. Ia menoleh dan melihat betapa para perajuritnya yang kehilangan musuh itu masih berlutut semua seperti orang-orang yang kehilangan semangat, bengong dan tak tahu harus berbuat apa. Semua yang mereka saksikan tadi adalah terlalu besar, terlalu aneh dan terlalu menyeramkan bagi mereka sehingga mereka hampir tidak dapat mempercayai kedua mata sendiri.

Tejolaksono bangkit, memandang cempaka putih dan mencium bunga yang harum ini. Keharuman bunga itu meresap terus sampai di hati dan aneh sekali rasanya, keharuman bunga ini seolah-olah menyiram hatinya dan membuat hatinya kuat, mengusir keharuan dan kekecewaan. Bukan main kagum hati Tejolaksono, kagum dan bangga. Puteranya begini hebat, pikirnya. Dengan penuh rasa sayang ia menyimpan bunga itu ke dalam saku dalam, kemudian ia menuruni puncak. Barulah pasukannya mendapatkan kembali semangat mereka ketika melihat pimpinan mereka berada di antara mereka. Segera mereka memenuhi perintah Tejolaksono, mengurus yang gugur dan merawat yang luka. Kemudian Tejolaksono membawa pasukannya kembali ke Selopenangkep.

Dalam perjalan pulang ini saja sudah tampak perubahan besar sekali. Tidak pernah merekabertemu lawan dan di sepanjang jalan Tejolaksono mendengar dari para penduduk bahwa pengacau-pengacau yang tadinya mengganggu dusun-dusun di sekitar perbatasan daerah Panjalu kini telah pergi semua! Makin ke timur, makin baiklah keadaannya, tidak terjadi gangguan-gangguan lagi.

Penduduk yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi di puncak Gunung Merak, menganggap bahwa larinya semua musuh ini adalah akibat "pembersihan" yang dilakukan oleh Tejolaksono, maka dimana-mana rakyat menyambut pasukan Tejolaksono dengan penuh syukur dan kegembiraan. Namun, para perajurit dan Tejolakscno sendiri khususnya, mengerti bahwa semua ini adalah jasa kakek sakti luar biasa yang disebut Bhagawan Jitendrya oleh Biku Janapati dan disebut Bhagawan Sirnasarira oleh Wasi Bagaspati. Pengaruh pertapa luar biasa inilah yang membuat dua orang pucuk pimpinan musuh itu menjadi gentar dan memerintahkan penarikan mundur semua anak buah mereka.

Tejolaksono menanti sampai sebulan di Selopenangkep. Setelah mendapat kenyataan bahwa semua daerah benar-benar sudah aman, berangkatlah ia membawa sisa pasukannya ke Panjalu, menghadap sang prabu dan membuat laporan selengkapnya, juga ia melaporkan tentang munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati sebagai utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya dan Cola dan betapa kedua orang ini telah dapat ditundukkan dan ditaklukkan oleh seorang kakek sakti yang oleh kedua orang itu disebut Bhagawan Jitendrya dan juga Bhagawan Sirnasarira...

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 18

Perawan Lembah Wilis Jilid 17

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 17

IA MAKLUM bahwa tiada untungnya untuk berselisih faham dengan sahabatnya ini dalam keadaan menghadapi lawan kuat seperti pasukan-pasukan Panjalu.

"Baiklah,, Biku Janapati. Andika tidak perlu khawatir. Aku tidak akan turun tangan sendiri. Pula, betapa rendahnya kalau aku berlawan dengan seorang bocah macam Tejolaksono. Tidak, aku dan andika tidak akan turun tangan, hanya akan menjadi penonton. Biarlah para pembantuku yang akan menghadapi Tejolaksono."

"Sadhu-sadhu-sadhu.... begitu barulah lega hatiku! Dan perlu sekali lagi kuperingatkan, saudaraku Wasi Bagaspati bahwa tadi andika telah berjanji bahwa selanjutnya kita akan bekerja sama mempergunakan cara halus demi berhasilnya tugas kita. Dan jangan lupa janji kita dengan Ki Tunggaljiwa, orang tua macam kita tidak perlu turun tangan, biarlah kita serahkan kepada yang muda-muda."

"Ha-ha-ha-ha! Jangan khawatir, sang biku! Murid-muridku sudah banyak, dan manakah murid yang kau ajukan?"

Pendeta itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gundul. "Buah yang saya imbu (sekap) masih belum dalu (matang)."

"Ha-ha-ha-ha! Kuharap saja tidak mengecewakan kelak."

"Mudah-mudahan begitu, sang wasi."

Demikianlah antara lain percakapan antara dua orang pendeta sakti mandraguna itu di sebuah pondok di puncak Gunung Merak. Kemudian Sang Wasi Bagaspati memanggil dan mengumpulkan anak buahnya dan berungdinglah kakek ini dengan Cekel Wisangkoro muridnya, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan beberapa orang pimpinan pasukan yang menjadi anak buahnya. Setelah mengatur siasat untuk menghadapi pasukan Panjalu, Sang Wasi Bagaspati lalu memasuki kamar untuk beristirahat, ditemani oleh si cantik genit Sariwuni.

Pada keesokan harinya, kokok ayam jantan merupakan pertanda bagi pasukan Panjalu, seperti yang telah direncanakan Tejolaksono, dan mulailah pasukan ini mendaki dituntun sinar matahari yang mulai semburat merah. Karena mereka melakukan penyerbuan dari sisi timur bukit, maka sepagi itu tempat yang mereka lalui sudah kebagian sinar matahari.

Ketika pasukan-pasukan Panjalu itu sudah tiba di sebuah lereng yang rata dan luas, barulah mereka mendapat sambutan musuh yang turun berbondong-bondong dari puncak. Mereka ini adalah pasukan penyembah Bathara Kala, rata-rata orangnya tinggi besar dan senjata mereka adalah golok-golok besar dan penggada. Mereka itu menyerbu turun, menyambut pasukan Panjalu sambil bersorak-sorak, melompat-lompat dan bergulingan, dengan gerak-gerak kasar seperti barisan raksasa.

"Serbuuuu...!!!" Tejolaksono meneriakkan aba-aba ini untuk menambah semangat pasukannya yang begitu kedua fihak bertemu, terjadilah perang tanding yang dahsyat sekali. Fihak barisan Kala ini adalah anak buah Ki Kolohangkoro, rata-rata memiliki tenaga besar dan ilmu tata kelahi yang ganas dan kuat. Akan tetapi pasukan yang dipimpin Tejolaksono pada saat itu pun merupakan pasukan pilihan dari Panjalu, maka pertandingan itu merupakan pertandingan yang amat seru dan seimbang.

Tejolaksono sendiri menyerbu paling depan dan seperti biasa, sepak terjang orang sakti ini hebat bukan main. Sepasang goloknya menderu-deru, mengeluarkan bunyi berdesingan dan "mbrengengeng" seperti suara sekumpulan lebah mengamuk. Celakalah pihak musuh yang berdekatan, karena sepasang goloknya itu tak dapat dihindari lagi, dielak terlalu cepat, ditangkis terlalu kuat sehingga senjata penangkis patah disusul robohnya lawan!

Akan tetapi tiba-tiba Tejolaksono mengeluarkan seruan marah. Ia melihat banyak anak buahnya roboh secara tidak wajar. Ada uap hitam melayang-layang dan bergerak-gerak, keluar dari pihak musuh dan uap hitam yang seperti hidup ini setiap kali menyentuh perajuritnya, perajurit itu tentu roboh pingsan dan tentu saja dengan mudah menjadi korban senjata lawan. Tejolaksono lalu meloncat dan sambil meneriakkan pekik Dirodo Meto ia lalu menyerbu ke arah uap hitam. Golok kanannya ia pegang dengan tangan kiri, sedangkan kini tangan kanannya ia hantamkan ke arah asap hitam itu dengan aji pukulan Bojro Dahono. Berkali-kali ia memukul dan asap hitam itu terpukul buyar sampai akhirnya lenyap. Menyaksikan pemimpin mereka yang berhasil melenyapkan asap hitam yang mengerikan, para perajurit Panjalu bersorak dan timbul kembali semangat mereka. Perang menjadi makin dahsyat dan sengit.

"Tar-tar-tar....!!!"

Tejolaksono yang pada saat itu berhasil menancapkan sepasang goloknya memasuki perut gendut dua orang musuh, terkejut dan cepat ia merendahkan diri terus menyelinap melalui bawah tubuh dua orang musuh yang roboh. Ketika la meloncat bangun, ia melihat betapa hantaman kebutan merah itu yang tadinya menyambar kepalanya, kini mengenai kepala dua orang lawan yang telah ia tusuk. Dua buah kepala itu pecah berantakan dan dua batang tubuh roboh tanpa kepala lagi. la bergidik dan memandang kepada Ni Dewi Nilamanik dengan marah.

"Iblis betina! Kiranya engkau berada di sini pula. Bersiaplah engkau untuk memasuki neraka jahanam!" bentak Tejolaksono.

Ni Dewi Nilamanik yang tadinya terkejut dan kecewa menyaksikan betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dihindarkan lawan, bahkan mengenai kepala dua orang perajurit anak buah sendiri, kini tersenyum lebar menindas kemarahannya. Wanita yang berusia empat puluh tahun ini masih amat cantik, apalagi kini ia tersenyum, kecantikannya dapat memabukkan hati pria. Sepasang matanya menyambar penuh kemesraan, seolah-olah ia hendak memikat hati Tejolaksono.

Pakaiannya yang mewah itu tipis membayangkan bentuk tubuhnya yang masih padat dan ramping. Sesungguhnya, kalau ia teringat akan penyerbuan Tejolaksono belum lama ini di Gunung Mentasari, membunuh hampir semua anak buahnya dan membasmi sarangnya, hatinya merasa amat mendendam dan sakit hati kepada Tejolaksono. Akan tetapi pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik sama sekali tidak memperlihatkan kebenciannya, malah kini ia berkata dengan suara merdu,

"Tejolaksono, harus kuakui bahwa engkau memang seorang pria yang hebat! Sungguh aku merasa sayang sekali bahwa di antara kita sampai terdapat permusuhan. Tejolaksono, agaknya masih belum terlambat kalau engkau suka menerima uluran tanganku. Untuk apakah mengobarkan permusuhan dan perang, bunuh-membunuh yang tidak ada gunanya? Bukankah lebih baik saling mencinta daripada saling membenci? Tejolaksono, kau pandanglah aku. Ni Dewi Nilamanik kalau perlu dapat pula menjadi Dewi Cinta. Masih kurang cantikkah aku? Pandanglah baik-baik..."

Kata-kata yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik yang berbibir merah itu bukanlah sembarang kata-kata melainkan kata-kata yang diterapkan sebagai bagian daripada ilmu guna-guna sehingga terdengar merayu-rayu dan amat merdu. Tejolaksono yang memandang wanita itu, merasakan getaran hebat yang menerjangnya, yang menggetarkan jantung dan yang amat kuat seperti hendak menguasai hati dan pikirannya, yang menciptakan pandangan indah sehingga wanita itu tampak cantik melebihi dewi kahyangan sendiri, yang membuat suara itu terdengar merdu, pendeknya getaran itu menciptakan segala yang serba indah, menyenangkan hati, menghilangkan semua rasa benci dan marah, membangkitkan nafsu berahi!

Tentu saja sebagai ksatria gemblengan yang sakti mandraguna dan yang tahu akan seperti ini, Tejolaksono dapat menguasai hatinya dalam beberapa detik saja. Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut dan harus ia akui bahwa kekuatan yang terkandung dalam ilmu semacam aji guna asmara yang dikerahkan wanita ini benar-benar amat mujijat dan kuat. Jarang kiranya ada pria, betapapun gagahnya, yang akan dapat menahan diri daripada pengaruh, guna-guna yang hebat ini.

"Ni Dewi Nilamanik, tidak perlu lagi engkau mengeluarkan aji-ajimu yang kotor dan rendah! Betapapun cantiknya engkau, tetap saja tampak olehku betapa kotor dan hitam hatimu. Kecantikanmu hanyalah bungkus indah yang menyembunyikan sesuatu yang busuk dan kotor!"

Senyum manis di bibir Ni Dewi Nilamanik perlahan-lahan berubah menjadi seringai yang kejam. Mata yang tadi bersinar-sinar mesra dan redup kini menyala-nyala seperti mengeluarkan api.

"Tar-tar!!" Pengebut merah yang baru karena pengebut yang lama telah rusak ketika ia melawan Tejolaksono di Mentasari, kini bergerak di atas kepala Ni Dewi Nilamanik, mendahului kata-katanya yang terdengar ketus,

"Tejolaksono! Engkau sudah bosan hidup! Apa engkau kira akan dapat lolos dari tanganku?"

"Tidak perlu bersombong, iblis betina. Engkaulah yang kini takkan lolos daripada tanganku untuk menebus dosa-dosamu dengan kematian!"

"Bagus! Hayo kita mencari tempat yang lapang agar dapat menentukan siapa di antara kita yang akan mampusI" Sambil berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik berkelebat dan tubuhnya dengan gerakan yang amat ringan seperti terbang saja sudah berlari atau setengah melayang mendaki bagian yang lebih tinggi dekat puncak, menjauhi tempat yang telah menjadi medan perang itu.

Tejolaksono memang ingin sekali merobohkan musuh ini karena ia maklum bahwa robohnya Ni Dewi Nilamanik akan mempengaruhi kemenangan pasukannya. Maka ia tidak menjadi gentar dan cepat ia pun menggunakan Aji Bayu Sakti untuk mengejar lawannya.

Setelah tiba di bawah puncak, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak melepaskan jarum-jarum beracun yang berwarna merah pula. Inilah senjata rahasia yang halus sekali, terbuat daripada besi yang besarnya hanya serambut panjangnya setengah jari. Namun justru karena kecilnya inilah maka jarum-jarum ini amat berbahaya, jika dipakai menyerang, disambitkan dengan dorongan hawa sakti tidak tampak namun apabila mengenai tubuh lawan akan menembus masuk kulit daging sehingga sukar untuk dikeluarkan lagi. Lebih mengerikan lagi karena jarum-jarum ini sebelumnya telah direndam racun yang dibuat daripada air liur ular bandotan!

Tejolaksono yang sudah waspada dapat menduga akan datangnya serangan ini, apalagi pandang matanya yang tajam dapat melihat berkelebatnya benda-benda halus yang menyambar ke arahnya itu, juga pendengaran telinganya yang terlatih dapat menangkap suara berdesir, halus dari jarum-jarum. Maka ia cepat memutar goloknya depan tubuh tanpa menghentikan pengejarannya. Terdengar suara berdencing dan jarum-jarum itu terpukul runtuh ke kanan kiri. Dengan marah dan penuh semangat Tejolaksono meloncat ke depan, mengejar lawannya yang kini sudah berdiri menantinya dengan senyum mengejek dan kebutan merah di tangan. Akan tetapi pada saat itu, muncul tiga orang yang memiliki gerakan gesit dan mereka ini segera berdiri di empat penjuru sehingga Tejolaksono terkurung di tengah-tengah.

Ketika adipati yang sakti mandraguna ini memandang, ia segera mengenal mereka dan kemarahannya tersinar dari pandang matanya yang tajam. Mereka itu bukan lain adalah Cekel Wisangkoro, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni si wanita cantik genit yang sudah menggodanya.

"Hemm, bagus sekali! Memang kalian inilah yang menjadi biang keladi dan sudah lama kucari-cari!" kata Tejolaksono sambil mengangkat dada dan siap dengan sepasang goloknya. Ia tahu bahwa empat orang itu bukanlah lawan lemah dan maklum pula bahwa ia tentu akan dikeroyok, maka ia bersikap tenang dan tidak berani memandang rendah, hanya menanti empat lawannya bergerak.

"Heh-heh-heh-heh, Tejolaksono, kau sombong benar!" kata Cekel Wisangkoro, kakek berusia lima puluh tahun yang rambutnya terurai penuh uban ini. Karena merasa yakin bahwa kali ini dia dan teman-temannya akan berhasil membunuh Tejolaksono, maka kakek ini tertawa-tawa gembira. Seperti biasa rambut kakek yang penuh uban ini terurai sampai ke pinggang. Jubahnya kuning panjang dan kakinya telanjang. Mukanya yang merah itu berkulit halus seperti muka kanak-kanak dan tubuhnya yang kurus tinggi masih kelihatan kuat. Tongkat hitam berbentuk ular di tangannya mengkilat seperti hidup, dilintangkan depan dada. Dia ini adalah murid yang tekun dari Wasi Bagaspati, maka tentu saja memiliki ilmu yang tinggi.

"Hemm, Cekel Wisangkoro! Biasa saja seorang musuh menganggap lawannya sombong! Persoalannya bukan tentang sikap, melainkan karena sepak terjang kalian yang menerjang dan melanggar batas wilayah Panjalu, yang menyebar kekacauan sehingga kalian ini bagi kami lebih jahat daripada penyakit menular maka harus dibasmi sampai ke akar-akarnya!"

"Babo-babo! Sumbarnya seperti engkau seorang satu-satunya jantan di dunia ini, keparat!" bentak Ki Kolohangkoro dengan muka merah saking marahnya.

Raksasa ini adalah adik seperguruan Sang Wiku Kalawisesa si penyembah Bathara Kala yang tewas di tangan Endang Patibroto. Hanya bedanya, kalau Wiku Kalawisesa lebih memperdalam ilmu gaib dan ilmu hitam, adik seperguruannya yang bertubuh raksasa ini memperdalam ilmu-ilmu pertempuran sehingga dalam hal kedigdayaan, Ki Kolohangkoro ini malah melampaui kakak seperguruannya itu.

Namun hal ini bukan berarti dia tidak tahu akan ilmu hitam. Sebaliknya, karena akhir-akhir ini malah melatih ilmu gaib yang berdasarkan ilmu hitam dan cara menghimpun tenaga dalam ilmu ini amat mengerikan, yaitu dengan minum darah dan makan daging seorang anak kecil hidup-hidup! Pakaian raksasa berusia kurang lebih lima puluh tahun inipun mewah sehingga ia tampak gagah dan menakutkan, sepasang anting-anting di telinga terbuat daripada emas dan senjatanya berbentuk sebuah nenggala dengan gagang di tengah dihias emas permata.

"Terserah bagaimana wawasan kalian!" kata pula Tejolaksono dengan sikap tenang.

"Tejolaksono, engkau pernah menghinaku, kini tiba saatnya engkau merasakan pembalasanku, keparat!" teriak Sariwuni yang juga sudah mencabut pedangnya.

"Sariwuni, engkau bukan perempuan baik-baik, dan sekali ini aku berusaha melemparmu ke neraka jahanam agar engkau dapat menebus dosa-dosamu," jawab Tejolaksono.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Waduh-waduh, sumbarmu seperti hendak memecahkan Gunung Semeru! Kematian sudah berada di ujung hidung, masih banyak berlagak. Kau rasakan keampuhan tongkat ularku." Cekel Wisangkoro berseru dan tubuhnya bergerak ke depan, cepat sekali gerakan tubuhnya ini, tahu-tahu ia telah menerjang Tejolaksono dengan tongkatnya yang hitam berbentuk ular menusuk ke arah leher.

"Wuuutttt.... trangggg...!!"

Tangkas sekali gerakan Tejolaksono. Biarpun kelihatannya Cekel Wisangkoro yang lebih dahulu menyerangnya dari depan, namun perhatian Tejolaksono tidak terpikat dan masih saja pendekar ini memperhatikan keadaan semua orang lawannya sehingga ia dapat mengetahui bahwa biarpun Cekel Wisangkoro lebih dahulu bergerak, namun senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro lebih dahulu menyambar lambungnya dari sebelah kanan. Oleh karena itu, sambaran senjata nenggala inilah yang lebih dulu ia elakkan sehingga senjata itu menyambar dahsyat di pinggir tubuhnya, sementara itu tusukan tongkat Cekel Wisangkoro ia tangkis dengan golok tangan kirinya. Bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata dan cekel itu meringis ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang tongkat seperti dibakar rasanya.

"Tar-tar-tar !" Ni Dewi Nilamanik tidak mau ketinggalan. Kebutan lalat yang berambut merah itu sudah berbunyi nyaring dan menyambar-nyambar seperti halilintar di atas kepala Tejolaksono.

Namun sang adipati yang sakti mandraguna ini sudah menggerakkan golok di tangan kiri, diputarnya sedemikian rupa, mempergunakan pergelangan tangan sehingga golok ini berubah bentuknya menjadi segulungan sinar yang melingkar-lingkar di atas kepalanya dan saking cepat gerakannya sampai kelihatan seperti sebuah payung yang melindungi tubuh sang adipati dari atas. Adapun golok yang sebuah lagi, di tangan kanan, bergerak seperti seekor naga sakti mengamuk. Pedang Sariwuni yang menyambar diterjangnya sampai menyeleweng ke kiri membawa serta tubuh Sariwuni yang terhuyung-huyung, kemudian berputar cepat dan bertubi-tubi menyerang Cekel Wisangkoro dan Ki Kolohangkoro yang menjadi kaget sekali dan cepat menangkis dengan senjata masing-masing.

Memang hebat sekali sepak terjang sang Adipati Tejolaksono. Dikeroyok empat orang lawan yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, masih sempat untuk membalas, hal ini benar-benar membuktikan bahwa tingkatnya memang sudah amat tinggi. Namun sekali ini, empat orang yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memang sakti mandraguna dan memiliki kepandaian tinggi. Cekel Wisangkoro adalah murid yang paling tangguh dari Sang Wasi Bagaspati, seorang peranakan bangsa Hindu yang pernah lama tinggal di hindu dan sebelum menjadi murid Sang Wasi Bagaspati telah memiliki kesaktian yang hebat.

Cekel Wisangkoro inilah yang berhasil membentuk pasukan terdiri dari orang-orang yang bergerak seperti robot itu, orang-orang yang telah kehilangan semangat dan kemauan karena semangat dan kemauannya telah dirampas oleh Cekel Wisangkoro, diganti dengan pengaruh daripada kemauannya sendiri, membuat pasukan ini melakukan apa saja yang diperintahkan Cekel Wisangkoro, tidak mengenal takut, tidak merasa nyeri, kebal dan tidak kenal bahaya. Pasukan macam ini tentu saja hebat luar biasa dan banyak perajurit Panjalu yang tewas ketika menghadapi pasukan manusia robot ini.

Selain sakti dan mahir akan ilmu hitam, juga ilmu silat Cekel Wisangkoro aneh dan dahsyat, apalagi kalau ia mainkan tongkat hitamnya yang merupakan senjata yang benar-benar ampuh. Tongkatnya bukan hanya berbentuk ular, melainkan memang sungguh-sungguh terbuat daripada seekor ular kobra hitam yang hanya terdapat di sebuah lereng dari Pegunungan Himalaya. Ular kobra hitam ini sudah kering dan kerasnya melebihi kayu, seperti baja saja. Darah dan racun ular yang hebat ini sudah meresap ke seluruh bagian tubuh ketika dikeringkan sehingga tongkat itu menjadi tongkat beracun, baik bagian ekornya maupun bagian kepalanya!

Ni Dewi Nilamanik, biarpun kelihatannya hanya seorang wanita yang halus gemulai dan cantik jelita, namun dalam hal kekejian dan kedigdayaan, agaknya tidak berada di sebelah bawah Cekel Wisangkoro! Bahkan ada kelebihannya yaitu dalam aji meringankan tubuh yang membuat wanita itu dapat bergerak cepat laksana kilat. Sebagai orang yang mengaku titisan Sang Bathari Durga dan menjadi kekasih utama Sang Wasi Bagaspati, tentu saja wanita ini hebat kepandaiannya, dan menerima pula beberapa macam aji kesaktian dari Sang Wasi Bagaspati.

Dalam hal ilmu hitam, malah lebih keji daripada Cekel Wisangkoro. Senjata kebutan lalat merah itu kalau sudah dimainkan sebagai senjata, mengerikan sekali. Rambut-rambutnya yang merah dan berbentuk buntut kuda itu tak boleh dipandang rendah karena setiap bulunya saja dapat menusuk jalan darah menembus kulit daging membawa racun yang mematikan. Apalagi kalau sampai kena dihantam! Kepala bisa remuk, dada bisa pecah!

Ki Kolohangkoro mungkin masih kalah seusap oleh Ni Dewi Nilamanik dalam hal ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekejaman ia menang banyak! Kalau Ni Dewi Nilamanik dapat membunuh orang dengan mata meram, Ki Kolohangkoro ini dapat membunuh dengan mata melek dan tertawa-tawa. Sudah beberapa kali, setiap tahun, ia menggigit leher untuk menghisap darah seorang anak kecil, kemudian mengganyang dagingnya, sambil terkekeh-kekeh melihat anak itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan!

Senjatanya merupakan senjata yang hanya dipergunakan oleh tokoh pewayangan Sang Prabu Baladewa, yaitu sebuah senjata nenggala atau tombak pendek, yang meruncing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Nenggala ini bukanlah sembarang senjata, baru beratnya saja tak terangkat oleh empat orang laki-laki dewasa biasa.

Demikian pula seperti ketiga kawannya, Sariwuni juga bukan sembarang orang. Wanita yang cantik genit dan cabul ini tadinya adalah seorang pembantu Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durga, akan tetapi karena ia pandai merayu dan mengambil hati, maka ia "terpakai" oleh Sang Wasi Bagaspati, malah menjadi kekasihnya dan menghiburnya sehingga kepada Sariwuni ini diturunkan banyak aji kesaktian, di antaranya adalah Aji Wisakenaka yang amat keji. Aji Wisakenaka ini adalah sebuah aji yang didorong oleh hawa sakti di dalam tubuh, yang kalau dikerahkan membuat kuku-kuku tangan wanita cantik ini berubah menjadi kuku-kuku beracun, lebih jahat daripada taring ular bandotan. Sekali gores saja cukup untuk menyeret nyawa lawan ke jurang maut. Selain ini, juga permainan pedangnya amat cepat dan kuat.

Sang Adipati Tejolaksono memang harus diakui bahwa pada waktu itu ia merupakan seorang perkasa yang sukar dicari tandingnya. Sebagai murid Sang Sakti Narotama, bahkan pernah pula menerima petunjuk dan gemblengan Sang Prabu Airlangga, dia memiliki aji-aji kesaktian yang amat kuat. Namun, kini menghadapi pengeroyokan empat orang itu, ia benar-benar telah bertemu tanding yang mengharuskan ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua aji kesaktiannya.

Pertandingan hebat itu sudah berlangsung hampir dua jam dan keadaan masih seru, bahkan makin lama makin seru dan sengit. Aji-aji dikeluarkan silih berganti, serang-menyerang, kadang-kadang hanya seujung rambut selisihnya daripada sambaran tangan maut. Kedua golok di tangan Tejolaksono sudah rompal-rompal, akan tetapi keadaan lawan juga tampak bekas tangan dari kehebatan sang adipati.

Pedang Sariwuni tinggal sepotong, kebutan Ni Dewi Nilamanik terbabat ujungnya, juga nenggala di tangan Ki Kolohangkoro kelihatan rompal-rompal ujungnya. Hanya tongkat ular Cekel Wisangkjoro yang masih utuh, karena memang tubuh ular kering ini memiliki daya tahan yang hebat sekali.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang hebat. Tejolaksono memandang ke bawah dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan betapa pasukannya terdesak hebat, banyak yang roboh dan kini sisanya sedang digencet dari segala jurusan oleh pasukan lawan yang menggunakan ilmu hitam. Karena kaget dan cemas inilah maka Tejolaksono kurang kewaspadaannya. Pada saat itu, senjata-senjata lawannya datang menyambar dan biarpun hanya beberapa detik saja tadi perhatiannya terbagi ke arah pasukannya yang tergencet dan terjepit, namun yang beberapa detik ini dipergunakan baik-baik oleh empat lawannya.

Tejolaksono maklum akan datangnya bahaya maut yang mengancam dirinya. Ia cepat mengerahkan hawa sakti dari pusar, mendorongnya keluar melalui kerongkongannya menjadi pekik Dirodo Meto yang dahsyat itu. Biarpun empat orang lawannya merupakan orang-orang sakti yang tidak akan roboh hanya oleh getaran pekik sakti ini, namun setidaknya membuat mereka tergetar dan telah mengurangi kecepatan dan kekuatan serangan mereka yang serentak dan berbahaya itu.

Sambil mengeluarkan pekik sakti ini, Tejolaksono mainkan goloknya, yang kiri menyambut bacokan pedang Sariwuni ke arah leher, yang kanan menangkis tusukan nenggala Ki Kolohangkoro ke arah lambungnya dari sebelah kanan. Dengan mengerahkan hawa sakti melalui kedua lengannya ia menggunakan tenaga "melekat" sehingga senjata kedua orang ini seakan-akan melekat pada sepasang goloknya, kemudian pada detik berikutnya ia miringkan tubuh, menarik pedang buntung Sariwuni yang melekat goloknya ke bawah menyambut tongkat ular Cekel Wisangkoro yang menusuk perutnya dan berusaha menarik nenggala Ki Kolohangkoro untuk menangkis kebutan Ni Dewi Nilamanik!

Hebat bukan main gerakan Tejolaksono ini, sekaligus menghadapi serangan empat orang lawan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut. Terdengar Sariwuni menjerit karena wanita ini tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya yang seolah-olah melekat pada golok lawan dan tidak mau menurutkan kehendaknya lagi, tanpa dapat ia cegah telah tertarik dan menangkis tongkat ular Cekel Wisangkoro! Terdengar suara keras dan Sariwuni yang menjerit itu terlempar ke belakang, tangannya menggembung seketika karena terkena ujung tongkat ular yang berbisa!

Pada saat tertangkis oleh pedang buntung itu, Cekel Wisangkoro sudah berusaha menarik tongkatnya kembali namun terlambat sehingga melukai teman sendiri dan iapun terhuyung ke belakang. Detik berikutnya, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Kiranya raksasa ini yang tadi juga kaget ketika nenggalanya melekat pada golok lawan, telah menggunakan seluruh tenaga untuk membetot senjatanya. Terjadi adu tenaga ketika Tejolaksono menarik nenggala itu dengan kekuatan dalam, namun ternyata Ki Kolohangkoro jauh lebih kuat daripada Sariwuni dan Tejolaksono melihat betapa kebutan merah itu menyambar kepalanya.

Karena usahanya menangkis kebutan menggunakan nenggala tidak berhasil, terpaksa ia miringkan kepala dan membiarkan ujung kebutan menghantam pundaknya. Ia mengerahkan tenaga, menyalurkan tenaga hantaman kebutan itu ke arah tangan kanan, menambah tenaga pada goloknya sehingga ketika mendorong, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Secepat kilat Tejolaksono memutar tubuh, mengayun kakinya dan kini Ni Dewi Nilamanik yang menjerit dan tubuh wanita ini terlempar sampai lima tombak terkena tendanga Tejolaksono!

Wajah Tejolaksono pucat sekali. Pundak kirinya terasa panas sekali, membuat lengan kiri seperti lumpuh dan ada rasa gatal-gatal. Ia tahu bahwa hantaman ujung kebutan Ni Dewi Nilamanik telah membuat ia terluka dan keracunan. Maka ia menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa kalau empat orang lawannya yang juga hanya terluka itu sempat mengeroyoknya lagi, tentu ia akan celaka. Dia tidak takut mati. Seorang perajurit yang berjuang di medan laga, sama sekali tidak gentar akan kematian.

Akan tetapi sebelum mati, ia harus dapat menewaskan sebanyak mungkin lawan, dan demi keselamatan Panjalu, perlu sekali empat orang tokoh pimpinan musuh ini dibinasakan. Sambil mengertak gigi, Tejolaksono menubruk maju dengan sepasang goloknya. Yang terdekat adalah Ni Dewi Nilamanik, juga karena yang melukainya adalah wanita ini, maka orang pertama yang hendak ditewaskan adalah Ni Dewi Nilamanik inilah. Ia mengayun golok, menubruk ke depan dan Tejolaksono mengeluarkan seruan kaget karena ia sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhnya!

"Ha-ha-ha, memang benar-benar keras kepala si Tejolaksono!" Terdengar suara halus penuh ejekan.

Tejolaksono menoleh ke kanan dan melihat bahwa yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Wasi Bagaspati. Akan tetapi ia merasa kaget, heran dan kagum karena kakek itu berada jauh di puncak sebelah kanan, amat jauh dari situ. Namun suaranya terdengar seolah-olah kakek itu berada di dekatnya, dan ia tahu pula bahwa kakek sakti itulah yang menggunakan aji kesaktian yang gaib karena kakek itu meluruskan tangan kiri ke arahnya dan ia sama sekali tidak dapat bergerak maju!

"Ramanda wasil Perkenankanlah saya menewaskan keparat Tejolaksono ini!" terdengar Ki Kolohangkoro berkata, suaranya menggeledek.

"Lakukanlah, Kolohangkoro. Sebelum dia disempurnakan, memang akan sukarlah dicapai hasil dalam usaha kami" kata Wasi Bagaspati.

Tejolaksono melihat betapa Ki Kolohangkoro tertawa bergelak dan menghampirinya dengan senjata nenggala tangan. Ia berusaha untuk bergerak, namun usahanya sia-sia. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa sakti di tubuhnya, mencoba meronta, ia malah terjerembab, roboh terguling. Seluruh tubuhnya seperti telah dikuasai dalam sebuah jaring halus yang tidak tampak, yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kini ia hanya dapat memandang Ki Kolohangkoro dengan mata terbelalak marah, sedikitpun tidak takut, menanti datangnya tusukan maut dengan senjata nenggala itu, sambil menduga-duga apakah hawa sakti yang ia kerahkan akan dapat menahan hantaman nenggala.

Ia maklum bahwa pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati yang membuat ia tidak mampu bergerak ini dan tahu pula bahwa sekali ini ia tidak akan dapat lolos daripada bahaya maut yang mengancam dari tangan banyak lawan yang amat sakti, terutama dari tangan Wasi Bagaspati yang ia tahu jauh lebih sakti daripada dirinya sendiri. Namun merupakan pantangan besar bagi seorang perkasa seperti dia untuk menyerah kalah, maka dalam saat terakhir itupun ia tidak memperlihatkan sedikitpun rasa takut dan menentang datangnya maut dengan sikap tetap gagah perkasa. Dengan mata tidak berkedip, Tejolaksono yang sudah roboh itu memandang berkelebatnya senjata nenggala yang meluncur turun dari atas mengarah tubuhnya.

"Cuiiittt...cringgg.... Aduhh...!"

Tejolaksono terbelalak. Jelas tampak olehnya ada sinar putih menyambar turun dari sebelah kiri atas, sinar yang mengeluarkan suara bercuit nyaring, dan kemudian sinar ini menghantam nenggala yang sedang meluncur turun ke arah tubuhnya, membuat senjata itu terlempar dari tangan Ki Kolohangkoro, terlepas, dan raksasa itu sendiri terjengkang ke belakang, mengaduh-aduh memegangi tangannya. Dan tampak oleh Tejolaksono betapa di atas puncak sebelah kiri itu, cukup jauh dari situ, berdiri dua orang, seorang kakek tua berpakaian putih panjang, namun wajah kakek ini sama sekali tidak jelas karena mukanya seolah-olah tertutup sinar atau uap seperti embun bermandi cahaya matahari pagi. Dan di samping kiri kakek ini berdiri seorang pemuda tanggung, berusia kurang lebih lima belas tahun, berpakaian sederhana dan menggigillah seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia melihat wajah pemuda itu. Biarpun sudah berpisah lima tahun, namun mana mungkin ia melupakan wajah yang siang malam selalu terbayang di hatinya ini?

"Bagus Seta....!!" Ia berseru penuh keheranan dan mencoba untuk bangkit berdiri, namun tidak berhasil karena pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati masih menguasainya.

Melihat keadaan Ki Kolohangkoro, teman-temannya menjadi heran dan juga penasaran dan marah. Musuh besar mereka, Tejolaksono sudah tak berdaya, sudah roboh dan tinggal bunuh saja, bagaimana Ki Kolohangkoro sampai gagal?

Serentak Ni Dewi Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Sariwuni mencelat maju dan hendak membunuh musuh yang sudah tak berdaya, bahkan Ki Kolohangkoro yang merasa marah sudah bangkit lagi dan hendak mengulangi serangannya dengan tangan kosong. Keempat orang itu maju seperti berlomba, hendak menjadi orang pertama yang menjatuhkan tangan maut. Akan tetapi tiba-tiba keempatnya terpekik dan berdiri seperti arca, tak dapat bergerak sama sekali, seperti keadaan Tejolaksono sendiri!

Tejolaksono melihat hal ini semua, dapat menduga bahwa ini tentulah perbuatan kakek yang mukanya tertutup kabut di puncak itu, karena kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas. Keadaan sekeliling menjadi hening sekali, seolah-olah dunia berhenti bergerak. Suara pertempuran yang tadinya amat hiruk-pikuk kini lenyap sama sekali. Tejolaksono belum dapat bangkit, akan tetapi masih dapat menggerakkan leher menoleh. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat para perajurit kedua pihak yang tadinya berperang mati-matian di sebelah bawah, di lereng yang rata, kini semua diam tak bergerak, seakan-akan telah berubah menjadi batu atau arca semua! Peristiwa ini seperti mimpi saja bagi Tejolaksono.

Mimpikah dia? Benar-benar Bagus Seta kah yang berada di puncak itu? Ataukah hanya dalam mimpi? Atau barangkali ia benar-benar telah tewas di tangan musuh dan sekarang tidak lagi berada di atas dunia? Akan tetapi suara-suara yang didengarnya kemudian menyatakan kepadanya bahwa dia bukanlah mimpi, bukan pula berada di alam baka.

"Sadhu-sadhu-sadhu..." Terdengar suara yang mengejutkan Tejolaksono, apalagi ketika tampak olehnya betapa kini di samping Wasi Bagaspati muncul seorang kakek lain, yang berkepala gundul, bertubuh gendut pendek, memegang tasbih dan tongkat, seorang kakek yang sudah pernah dilihatnya, yaitu Sang Biku Janapati yang entah bagaimana tahu-tahu telah muncul di atas puncak sebelah kanan itu!

Suaranya perlahan dan halus namun seolah-olah suara itu berada di dekat telinga Tejolaksono! "Semoga Sang Triratna selalu melindungi kita, memberkahi yang benar dan menuntun yang sesat ke jalan kebenaran! Siapakah gerangan andika, wahai saudara yang sakti mandraguna? Adakah andika golongan dewa? Kalau dewa, mengapa mencampuri urusan manusia? Kalau manusia mengapa menggunakan kekuasaan seperti dewa? Ataukah andika hendak mengandalkan aji kesaktian untuk menyombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain manusia yang dapat menandingi andika? Mengakulah andika, wahai saudara yang berada di puncak depan!"

Tejolaksono terbelalak memandang. Jelas tampak wajah puteranya yang kini telah membayangkan kedewasaan, tampan dan gagah akan tetapi tampak ketenangan dan keagungan, dengan sinar mata redup namun menyembunyikan sinar tajam, tubuhnya sedang, sedikitpun tidak membayangkan sesuatu perasaan pada wajah yang muda itu. Di sampingnya, kakek aneh yang tidak tampak mukanya, masih saja diam tak bergerak, juga tidak mengeluarkan suara, seolah-olah tidak mendengar atau memperdulikan teguran dan pertanyaan Biku Janapati yang halus namun penuh teguran itu.

"Hemmm... babo-babo! Heh, si tua bangka yang berada di puncak depan!" Wasi Bagaspati berkata marah, suaranya nyaring sekali, terdengar menggema di seluruh Gunung Merak, tanda bahwa dalam kemarahannya pendeta ini telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat. "Biarpun kita sudah sama-sama tua bangka, akan tetapi tidak selayaknya andika menyombongkan kesaktian di depan kami! Apakah matamu buta telingamu tuli sehingga tidak mengenal kami berdua dan berani berlancang tangan mencampuri urusan kami? Benarkah itu sikap seorang pendeta yang sudah bijaksana untuk membela satu pihak saja dan memilih kasih? Hayo mengaku andika sebelum disempurnakan oleh kedua tangan Wasi Bagaspati!"

Akan tetapi, kakek aneh itu tetap diam saja, sama sekali tidak bergerak, juga sama sekali tidak menjawab. Tejolaksono kini secara tiba-tiba sekali dapat menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi ada getaran sesuatu yang aneh yang membuat semua api perang yang membakar semangatnya padam. Ia lalu berjalan perlahan karena khawatir kalau-kalau membikin marah kakek itu, khawatir pula kalau puteranya itu hanya bayangan mimpi dan akan lenyap kalau ia bergerak cepat. Ia berjalan perlahan mendaki puncak di sebelah kiri di mana puteranya dan kakek aneh itu berdiri seperti arca.

Juga para perajurit kedua fihak kini dapat bergerak kembali, akan tetapi seperti juga Tejolaksono, api perang yang mendorong mereka saling gempur tadi kini telah padam, mereka itu kini bengong memandang dan memperhatikan kakek aneh, hendak mendengar dan melihat sikapnya menghadapi dua orang kakek sakti dari Sriwijaya dan Cola itu.

Cekel Wisangkoro dan tiga orang temannya juga bangkit berdiri di belakang Wasi Bagaspati, hati mereka gentar dan dengan mata terbelalak memandang ke puncak depan.

"Inilah akibat daripada kekerasan yang andika lakukan, saudaraku Wasi Bagaspati," Sang Biku Janapati menegur temannya setelah menghela napas panjang, seolah-olah dalam suasana yang diam itu ia mendapat jawaban. Kemudian ia menghadap ke arah puncak dan merangkap kedua tangan yang dibuka jarinya di depan dada sebagai penghormatan sambil berkata,

"Wahai sang pertapa yang sidik paningal dan bijaksana! Kalau saya menyatakan tidak mengenal andika, seolah-olah buta kedua mata ini. Sebaliknya kalau saya mengatakan tahu, seakan-akan saya hendak mendahului andika. Karena kita sudah saling berjumpa dan jalan kita bersilang, harap andika sudi berwawancara dengan saya, Biku Janapati dari Kerajaan Sriwijaya."

Kakek di puncak kiri itu masih tidak bergerak, wajahnya tidak tampak sama sekali karena ada semacam kabut menyelimuti mukanya, akan tetapi kini terdengar suara halus menembus keluar dari kabut itu,

"Biku Janapati, setengah abad lebih yang lalu pernah kita saling berjumpa. Andika masih tetap bijaksana, sayang belum dapat membebaskan diri daripada belenggu kencana yang melibatkan diri andika dengan Kerajaan Sriwijaya!"

Semua perajurit kedua fihak yang tadi bermusuhan, kini tertegun, tidak ada yang bergerak, semua memandang bergantian ke puncak kanan dan puncak kiri di mana Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mengadakan "percakapan" dengan seorang kakek yang mukanya terselimut kabut dan yang suaranya begitu halus bergema dan menggetarkan hati semua pendengarnya. Betapa orang-orang yang berada di kedua puncak yang berhadapan dapat saling bicara, sungguh hal yang amat mengherankan dan mengejutkan.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... betapa mungkin saya dapat melupakan suara ini? Bukankah andika ini Sang Sakti Jitendrya?" berkata Biku Janapati sambil menggoyang tangan kirinya dan terdengarlah suara berdencingan nyaring menyakitkan telinga.

Semua perajurit tercengang keheranan melihat betapa seuntai tasbih digerakkan perlahan dapat mengeluarkan suara seperti itu! Suara dari dalam kabut terdengar lagi,

"Terserah kepada andika, Biku Janapati, hendak menyebut dengan nama apapun boleh. Memang bukan hanya menjadi kewajibanku seorang, bahkan seluruh manusia di atas bumi ini harus melatih diri dengan jitendrya (menahan nafsu)!"

"Wahai Sang Sakti Jitendrya yang arif bijaksana! Andika menyatakan bahwa saya belum terbebas daripada belenggu kencana yang melibatkan diri saya dengan Kerajaan Sriwijaya! Sebaliknya, semenjak setengah abad yang lalu, andika selalu berfihak kepada keturunan Mataram! Bagaimana pula ini? Adakah seorang sakti mandraguna dan arif bijaksana seperti andika masih juga memiliki sifat menyalahkan orang lain tanpa menengok cacad sendiri?"

Suara di balik kabut itu kini terdengar lagi, angker dan penuh wibawa, seperti suara seorang guru menasehati dan menegur muridnya,

"Sang Biku Janapati, seorang biku tidak hanya hafal akan isi kitab-kitab pelajaran agama, melainkan terutama sekali mentaati dan mengerjakan semua isi pelajaran itu untuk memberi contoh dan menuntun para umatnya. Aku sama sekali tidak memihak atau pilih kasih, tidak membela keturunan Mataram hanya membela yang benar mengingatkan yang keliru. Andika khilaf dalam memilih sahabat sehingga andika telah menyalahi makna pelajaran yang berbunyi demikian: Hendaknya orang tidak berteman dengan orang jahat atau tercela, sebaliknya bertemanlah dengan orang yang melakukan kebajikan dan yang berjiwa luhur. Orang bijaksana tenang menghadapi apapun yang menimpa dirinya, tidak merengek-rengek menginginkan kesenangan duniawi, tidak memperlihatkan perubahan, dalam suka atau duka, tidak terikat oleh kebahagiaan ataupun penderitaan. Namun, andika masih menghambakan diri kepada Sriwijaya sehingga tidak mungkin andika bebas daripada duniawi!"

Merah wajah Biku Janapati mendengar ucapan ini. Dia diserang dengan ujar-ujar dari Agama Buddha sendiri! Dengan suara gemetar karena menahan peluapan perasaan tersinggung, pendeta ini berkata,

"Wahai Sang Sakti Jitendrya! Faham kita berselisih karena pandangan kita berbeda, seperti bedanya kedudukanmu sekarang. Andika berada di puncak itu, sebaliknya saya berada di puncak ini. Tentu saja pemandangan menjadi berlainan kalau dipandang dari situ dengan kalau dipandang dari sini. Saya hanya seorang manusia, tidak lepas daripada kewajiban terhadap negara dan bangsa. Saya menghambakan diri di Sriwijaya dan agama, demi untuk kebaikan di dunia ini."

Kakek aneh itu tidak menjawab dan pada saat itu, Tejolaksono sudah tiba di puncak. Ia melihat cahaya terang menyelimuti wajah kakek itu, membuat matanya menjadi silau dan serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan bersembah sujud. Jelas kini bahwa pemuda yang berdiri di samping kakek itu adalah Bagus Seta yang memandangnya dengan pandang mata penuh keharuan dan cinta kasih yang terpendam dan tertindas, sehingga wajah anak itu mengeluarkan sinar lembut, akan tetapi anak itupun tidak berkata apa-apa. Sebagai seorang sakti, Tejolaksono maklum bahwa puteranya tidak berani mengganggu kakek sakti yang sedang berwawancara secara aneh itu, menghadapi dua orang kakek yang berdiri di puncak jauh di sebelah depan.

"Hah, Biku Janapati! Perlu apa banyak berbantah dengan dia? Sekarang akupun teringat siapa dia itu!" Sang Wasi Bagaspati kini berkata, suaranya penuh ejekan dan kemarahan. "Hei, engkau pertapa sombong yang berada di depan! Bukankah engkau ini yang dahulu disebut Bhagawan Sirnasarira yang pernah menyelamatkan Airlangga di Wonogiri dari tanganku? Engkau memang selalu membela keturunan Mataram akan tetapi lidahmu yang tak bertulang pandai mengelak dan menyangkal, itu bukan perbuatan orang gagah dan kalau kau memang berkepandaian, mari kita mengadu kesaktian! Sang Hyang Bathara Shiwa yang maha kuasa melebur seisi jagad akan menghancurkan pula orang berlagak dewa seperti engkau!"

Ucapan yang kasar penuh tantangan dari Wasi Bagaspati ini dikeluarkan dengan suara yang nyaring sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi gentar dan tegang hatinya. Makin terasalah kesunyian di puncak itu setelah Sang Bagaspati menghentikan kata-katanya. Sejenak kakek aneh itu tidak menjawab, sesaat kemudian barulah terdengar lagi suara halus dari balik kabut itu,

"Hemmmm, Wasi Bagaspati, seperti tadi Biku Janapati menyebut aku Jatendrya, engkaupun boleh menyebutku sesuka hatimu, Sirnasarira atau apa saja terserah, tiada bedanya. Kalau dahulu aku menyelamatkan Airlangga, bukan sekali-kali aku menyelamatkan keturunan Mataram atau seorang yang bernama Airlangga, melainkan menyelamatkan seorang manusia yang sedang dilanda kesengsaraan dan mencegah manusia lain yang hendak menggunakan kekuatan dan kelebihan untuk bersikap sewenang-wenang seperti yang kau lakukan, Wasi Bagaspati!"

"Heh, Bhagawan Sirnasasira yang sombong! Engkau memiliki wawasan sendiri, apa kaukira aku tidak mempunyai pendapat sendiri pula? Engkau tahu aku pemuja Sang Hyang Bathara Shiwa, dan aku berhak mengabdi kepadaNya. Memanglah menjadi kekuasaanNya untuk menghancurkan isi jagat. Apakah kau hendak menentang dan berani melawan kekuasaanNya?"

"Wahai, Wasi Bagaspati, sungguh menyeleweng wawasanmu! Memang kita sama tahu bahwasanya ada tiga sifat Yang Maha Kuasa, yaitu MENCIPTA, MEMELIHARA, dan MENGHANCURKAN. Ketiga sifat yang saling menyusul, saling bersambung dan saling menghidupkan sehingga terbentuk lingkaran sempurna. Memang betul bahwa Sang Hyang Bathara Shiwa yang menguasai sifat terakhir tadi, berhak dan berkuasa menghancurkan. Akan tetapi betapapun juga, tidak akan melanggar, mendahului atau tertinggal oleh Dharma!

Segala macam kehancuran yang dilaksanakan oleh Sang Hyang Shiwa demi pelaksanaan tugas adalah selaras dengan Dharma (kebenaran), tak lebih tak kurang. Adapun Dharma daripada para Dewata merupakan rahasia bagi manusia, Wasi Bagaspati, karena itulah maka seringkali timbul persangkaan daripada manusia betapa tidak adilnya kehancuran yang menimpa dirinya. Padahal, semua itu sudah adil, sudah tepat, sudah semestinya karena berlandaskan Dharma. Adapun untuk kita manusia, yang tahu akan baik buruk, akan benar salah menurut pertimbangan dan pendapat serta pengetahuan kita adalah tentu saja menurut pertimbangan ini, yang baik, yang benar, menjunjung kebajikan. Lupakah engkau akan nasehat dalam ajaran agamamu yang berbunyi begini :"

"Prihen temen dharma dhumaranang sarat.
Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya shakti sang sayana dharma raksaka."

(Carilah) sungguh-sungguh kebenaran
untuk mengatur masyarakat.
Bagi orang jujur Itulah yang diturut,
Bukan harta bukan kasth bukan pula jiasa
Kuat sang budiman karena berpegang kepada Dharma.)


"Huah-ha-ha-ha-ha! Kau pertapa tua bangka yang sombong Lagakmu seperti hendak memberi wejangan para dewata di Suralaya! Semenjak muda, puluhan tahun aku memuja Sang Hyang Bathara Shiwa, apa kau kira aku belum dapat mengenal isi daripada pelajarannya?"

"Wasi Bagaspati! Mengenal tanpa pengertian tiada gunanya. Mengerti tanpa pelaksanaan juga kosong melompong. Yang dipuja isinya, bukan kulitnya. Engkau tidak memuja keadilan Sang Hyang Shiwa, melainkan memuja kekuatannya. Kekuatan yang dipergunakan bukan dengan landasan kebenaran, sesungguhnya hanyalah kelemahan yang amat lemah. Mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kelebihan untuk berlaku sewenang-wenang, hanya menimbun racun yang akhirnya akan meracuni dan merusak diri pribadi. SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI. Lupakah engkau akan hal itu, Sang Wasi Bagaspati?"

"Aaaauuuurrggghhh.... !!!" Pekik yang keluar dari dalam dada Wasi Bagaspati melalui kerongkongannya ini hebatnya bukan main. Para perajurit sampai jatuh bertekuk lutut karena tidak dapat bertahan, mereka berlutut dan menggigil. "Bhagawan Sirnasarira! Mari kita mengadu kesaktian! Lihat kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa, keparat!"

Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya dan tiba-tiba di tangan kanannya sudah memegang sebuah senjata yang mengeluarkan cahaya gemilang menyilaukan mata. Senjata ini bentuknya seperti sebuah senjata cakra, bergagang tombak akan tetapi ujungnya berbentuk lingkaran yang mempunyai banyak mata tombak. Tiba-tiba angin besar datang bertiup ketika pendeta ini mengangkat senjata itu ke atas kepalanya. Ia kelihatan menyeramkan sekali!

Mukanya yang selalu merah itu kini seolah-olah berubah menjadi bara api yang mengeluarkan asap yang menyelubungi mukanya, namun masih ditembusi sinar matanya yang seperti kilat menyambar. Ketika angin bertiup, rambutnya yang panjang putih itu melambai berkibar-kibar seperti bendera. Angin makin besar dan tiba-tiba langit tertutup mendung, disusul geledek menyambar-nyambar diiringi kilat.

Para perajurit makin ketakutan dan kini semua orang, termasuk para perwira, bertekuk lutut dan menyembunyikan muka di balik kedua tangan, penuh ketakutan dan kengerian. Dunia seolah-olah hendak kiamat, bumi bergetar dan pohon-pohon besar seperti akan tumbang.

Kembali Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik dahsyat. Kilat dan geledek makin hebat mengamuk dan turunlah air hujan seperti dituang dari langit, air hujan yang besar-besar dan berjatuhan menimpa kulit menimbulkan rasa nyeri. Makin ributlah para perajurit kedua pihak.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... kembali kau tak dapat menguasai nafsu kemarahanmu, saudaraku Wasi Bagaspati.... !" terdengar suara Biku Janapati yang halus akan tetapi mengatasi suara ribut dan ledakan-ledakan petir.

Anehnya, tidak ada air hujan yang menimpa tubuh pendeta Buddha ini. Tubuhnya seakan-akan terlindung sebuah kurungan yang tak tampak sehingga air hujan yang menimpa dari atas menyeleweng semua ke sekeliling tubuhnya! Hal ini membuktikan pendapat Ki Tunggaljiwa dahulu kepada Tejolaksono bahwa tingkat ilmu kesaktian Sang Biku Janapati masih lebih tinggi daripada Sang Wasi Bagaspati.

Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa puncak di mana kakek aneh bersama Bagus Seta dan Tejolaksono berada, sama sekali tidak terganggu oleh keadaan yang menyeramkan ini. Jangankan hujan dan kilat, bahkan anginpun yang lewat hanyalah angin gunung sumilir sejuk! Awan hitam yang tampaknya hendak menyerang daerah ini, membalik lagi, demikian pun angin dan geledek!

"Wasi Bagaspati!" terdengar suara kakek di Balik kabut itu dengan suaranya yang halus namun menembus semua kegaduhan dan terdengar oleh semua orang yang berada di situ. "Kekuasaan dan kesaktian yang didasari oleh sifat tidak benar, tidak adil, dan sewenang-wenang, hanya akan meracuni diri pribadi!" Tangan kiri kakek itu terangkat ke atas dan... semua keadaan yang menakutkan itupun lenyaplah. Keadaan menjadi terang kembali, tidak ada angin, tidak ada awan, tidak ada hujan maupun kilat. Akan tetapi bekas-bekas amukannya masih tampak, pakaian para perajurit basah semua, pohon-pohon tumbang.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Pertapa keparat! Berani engkau menghina murid terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa....?" Wasi Bagaspati berteriak-teriak marah dan dilontarkannyalah senjata cakra di tangannya itu ke udara.

Senjata itu mengaung dan meluncur cepat bagaikan bernyawa, menuju ke puncak depan. Tampak oleh semua perajurit betapa senjata yang kini merupakan cahaya merah itu melayang-layang dan turun hendak menerjang tubuh si kakek aneh di seberang puncak. Akan tetapi, senjata itu hanya melayang-layang dan mengitari tubuh sang pertapa, seakan-akan tidak kuasa menembus cahaya berembun, kemudian terbang kembali menuju Wasi Bagaspati yang menerima pusakanya sambil membanting-banting kaki.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... dia amat sakti mandraguna, senjata dewatapun tidak akan mempan. Saudaraku, tiada gunanya melawan. Seorang bijaksana dapat menyadari keadaan sebelum terlambat. Lebih baik kita mundur sebelum hancur. Sang Sakti Jitendrya bukanlah lawan kita."

Setelah berkata demikian, Biku Janapati lalu melangkah turun dari puncak itu tanpa menoleh lagi, pergi secara terburu-buru. Melihat betapa temannya yang dapat ia andalkan telah pergi, hati Wasi Bagaspati mulai menjadi gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya, disalurkan ke dalam sinar matanya dan dengan kekuatan gaib ini ia memandang ke puncak depan dan berhasil menembus kabut yang menyelimuti wajah lawan. Begitu ia dapat memandang wajah kakek di depan itu, mukanya menjadi pucat dan ia segera membuang muka, lalu melambaikan tangannya memberi isyarat kepada semua anak buahnya dan hanya satu kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun cukup jelas dan lantang, "Mundur...!"

Bagaikan rombongan semut ditiup, bergeraklah semua perajurit anak buahnya, dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan kawan-kawannya yang juga pucat wajahnya, tanpa mengeluarkan suara mereka semua pergi dari situ, seolah-olah takut bahwa sedikit suara akan mendatangkan malapetaka bagi mereka. Tidak sampai terlalu lama, Gunung Merak telah ditinggalkan Wasi Bagaspati dan seluruh pasukan pengikutnya, tinggal para perajurlt Panjalu yang masih berlutut sambil memandang ke arah puncak di mana kakek aneh itu masih berdiri tegak. Di sampingnya berdiri Bagus Seta dan di depannya berlutut Tejolaksono. Setelah semua lawan pergi, Bagus Seta kini pun menjatuhkan diri berlutut, menghadapi ayahnya dan terdengar suaranya memanggil,

"Kanjeng rama.... !!"

"Anakku Bagus Seta...."

Mereka saling pandang dan dari pandang mata ini saja tercurah kasih sayang yang amat besar. Adipati Tejolaksono maklum bahwa puteranya telah menjadi seorang gagah dan sakti, yang tentu saja tidak mau tunduk terhadap perasaan dan nafsu sehingga rasa rindu yang membuatnya ingin sekali memeluk ayahnya telah ditekannya dengan kuat. Tejolaksono sendiri seorang yang sakti mandraguna, ia tidak mau memperlihatkan kelemahan dan keharuan, maka ia hanya memandang wajah puteranya dengan sepasang mata terasa panas karena menahan keluarnya air mata. Tiba-tiba dari balik kabut yang menyelimuti wajah kakek itu terdengar suara halus,

"Sang adipati, dharma bakti menuntut pengorbanan. Relakan puteramu untuk lima tahun lagi agar kelak berguna bagi tegaknya kebenaran dan keadilan."

Tejolaksono memandang dan ia melihat seperti apa yang disaksikan Wasi Bagaspati tadi, melihat wajah yang cemerlang, sukar ditentukan bentuknya, hanya tampak sebuah wajah seperti bayangan, wajah yang terlalu lembut, terlalu halus, terlalu cemerlang seperti keadaan langit bermandi cahaya matahari pagi, indah dipandang namun tak kuat mata lama-lama memandang, sehingga ia menundukkan muka dan tidak berani mengeluarkan suara. Di sudut hatinya, ia mengakui kebenaran kata-kata yang ditujukan kepadanya itu. Memang tiada dharma bakti dapat terlaksana dengan baik tanpa pengorbanan, tiada kebajikan dapat dilaksanakan tanpa pengorbanan. Namun pengorbanan lahir belaka!

Betapapun juga, ia tetap seorang manusia biasa yang ada kelemahannya, seorang ayah yang rindu kepada putera tunggalnya. Biarpun dengan kebijaksanaan ia yakin akan kebenaran pendapat kakek itu, namun perasaan hatinya menjadi trenyuh dan terharu. Haruskah ia berpisah selama lima tahun lagi dengan puteranya yang baru sekarang ia jumpai setelah berpisah lima tahun? Tergetar seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia memandang puteranya. Akan ia serahkan keputusannya kepada puteranya sendiri. Seorang ayah berkewajiban membimbing puteranya kalau putera itu masih kecil. Akan tetapi Bagus Seta bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan kalau si anak sudah dewasa, si ayah harus menyerahkan kekuasaan kepada si anak sendiri. Dia kini hanya menjadi pengawas, penasehat, dan pelindung agar langkah-langkah anaknya tidak menyeleweng daripada kebenaran.

Kakek itu menggerakkan kedua kakinya, membalikkan tubuh dan melangkah pergi perlahan-lahan, tanpa sepatah kata-pun kepada Tejolaksono dan puteranya. Agaknya kakek ini pun tidak menggunakan paksaan kepada ayah dan anak.

Ayah dan anak ini saling pandang dengan sinar mata seolah-olah hendak menembus dada masing-masing, menjenguk hati masing-masing. Lalu Bagus Seta tersenyum, menggerakkan tangan mengambil bunga cempaka putih yang tadi terselip di atas telinganya.

"Kanjeng rama, hamba mohon maaf bahwa sampai sekarang hamba belum juga dapat berdharma bakti kepada rama ibu. Hamba harus memperdalam ilmu selama lima tahun lagi, dan mohon paduka sudi menyerahkan bunga ini kepada kanjeng ibu sebagai pengganti jasmani hamba."

Dengan jari-jari tangan tergetar Tejolaksono menerima kembang cempaka putih dari tangan puteranya, hatinya penuh kekaguman dan kecintaan. Ia dapat meraba dengan perasaan dan kewaspadaannya bahwa puteranya kelak akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan kini sentuhan ujung jari tangan mereka saja sudah mendatangkan getaran hawa yang mendatangkan rasa nyaman, pandang mata yang halus itu begitu penuh wibawa dan pengaruh murni.

"Baik, puteraku... aku... aku mengerti...." Hanya demikian Tejolaksono dapat mengeluarkan kata-kata sambil menekan keharuan hatinya.

Bagus Seta meninggalkan senyum yang membuat hati ayahnya makin terharu karena pada senyum itu selain Tejolaksono dapat melihat pengertian yang mendalam, juga senyum itu sama benar dengan senyum Ayu Candra! Bagus Seta sudah melangkah pergi mengikuti bayangan gurunya dan biarpun guru dan murid itu melangkah perlahan, namun dalam sekejap mata saja mereka telah turun dari puncak!

Setelah bayangan kedua orang. itu lenyap, Tejolaksono menggoyang-goyang kepalanya seperti orang baru bangun dari mimpi. Ia menoleh dan melihat betapa para perajuritnya yang kehilangan musuh itu masih berlutut semua seperti orang-orang yang kehilangan semangat, bengong dan tak tahu harus berbuat apa. Semua yang mereka saksikan tadi adalah terlalu besar, terlalu aneh dan terlalu menyeramkan bagi mereka sehingga mereka hampir tidak dapat mempercayai kedua mata sendiri.

Tejolaksono bangkit, memandang cempaka putih dan mencium bunga yang harum ini. Keharuman bunga itu meresap terus sampai di hati dan aneh sekali rasanya, keharuman bunga ini seolah-olah menyiram hatinya dan membuat hatinya kuat, mengusir keharuan dan kekecewaan. Bukan main kagum hati Tejolaksono, kagum dan bangga. Puteranya begini hebat, pikirnya. Dengan penuh rasa sayang ia menyimpan bunga itu ke dalam saku dalam, kemudian ia menuruni puncak. Barulah pasukannya mendapatkan kembali semangat mereka ketika melihat pimpinan mereka berada di antara mereka. Segera mereka memenuhi perintah Tejolaksono, mengurus yang gugur dan merawat yang luka. Kemudian Tejolaksono membawa pasukannya kembali ke Selopenangkep.

Dalam perjalan pulang ini saja sudah tampak perubahan besar sekali. Tidak pernah merekabertemu lawan dan di sepanjang jalan Tejolaksono mendengar dari para penduduk bahwa pengacau-pengacau yang tadinya mengganggu dusun-dusun di sekitar perbatasan daerah Panjalu kini telah pergi semua! Makin ke timur, makin baiklah keadaannya, tidak terjadi gangguan-gangguan lagi.

Penduduk yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi di puncak Gunung Merak, menganggap bahwa larinya semua musuh ini adalah akibat "pembersihan" yang dilakukan oleh Tejolaksono, maka dimana-mana rakyat menyambut pasukan Tejolaksono dengan penuh syukur dan kegembiraan. Namun, para perajurit dan Tejolakscno sendiri khususnya, mengerti bahwa semua ini adalah jasa kakek sakti luar biasa yang disebut Bhagawan Jitendrya oleh Biku Janapati dan disebut Bhagawan Sirnasarira oleh Wasi Bagaspati. Pengaruh pertapa luar biasa inilah yang membuat dua orang pucuk pimpinan musuh itu menjadi gentar dan memerintahkan penarikan mundur semua anak buah mereka.

Tejolaksono menanti sampai sebulan di Selopenangkep. Setelah mendapat kenyataan bahwa semua daerah benar-benar sudah aman, berangkatlah ia membawa sisa pasukannya ke Panjalu, menghadap sang prabu dan membuat laporan selengkapnya, juga ia melaporkan tentang munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati sebagai utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya dan Cola dan betapa kedua orang ini telah dapat ditundukkan dan ditaklukkan oleh seorang kakek sakti yang oleh kedua orang itu disebut Bhagawan Jitendrya dan juga Bhagawan Sirnasarira...

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 18