Badai Laut Selatan Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 30

Kalau tadi ia hanya berusaha mengalahkan dan menaklukkan pemuda itu, kini ia menyerang sungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kebetulan lima orang perwira juga sudah maju lagi mengurung sehingga keadaan Joko Wandiro benar-benar terancam.

"Paman sekalian sungguh terlalu, mendesak-desak tanpa memberi kesempatan kepadaku. Kuharap paman suka membiarkan aku mengantar sang puteri kembali ke Jenggala."

"Tak perlu banyak cakap!" bentak seorang perwira.

Sesabar-sabarnya orang, tentu ada batasnya Joko Wandiro sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para perwira Panjalu yang ia tahu adalah orang orang gagah perkasa dan perajurit perajurit utama ini, lebih-lebih lagi ia tidak ingin bermusuhan dengan Ki Darmobroto, calon ayah mertua Ayu Candra yang sedang di cari carinya itu!

Akan tetapi ia pun tidak mungkin membiarkan Sang Puteri Mayagaluh menjadi tawanan, karena perang di antara kedua kerajaan kakak beradik itu sebetulnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi sang puteri. la menganggap tidak semestinya dan amat curanglah kalau mempergunakan permusuhan kerajaan itu untuk menyeret seorang gadis muda menjadi tawanan. Melihat betapa kini kuda yang ditunggangi Puteri Mayagaluh kembali sudah dituntun dan dibedalkan cepat oleh si perwira berrkumis, kesabarannya lenyap.

"Paman-paman sekalian, sekali lagi hamba minta bebaskanlah sang puteri. Kalau tidak, terpaksa hamba berlaku kurang hormat!" Sengaja ia merendahkan diri kali ini.

"Joko Wandiro! Dengan berpihak kepada Jenggala, engkau menjadi pengkhianat dan menjadi musuh kami!" bentak seorang perwira dan mereka yang dipimpin oleh Ki Darmobroto yang sakti itu sudah menerjang maju bersama.

"Kalau begitu, terimalah ini!" Joko Wandiro mengeluarkan bentakan nyaring sekali, pekik dahsyat yang bukan menyerupai suara manusia lagi.

Pekik dahsyat ini mengiringi dorongan kedua tangannya yang bergerak mendorong sambil membuat lingkaran kearah pengeroyoknya. Inilah pekik Dirodo Melu (Gajah Mengamuk) yang mengiringi Aji Bojro Dahono (Kilat Berapi) sebuah pukulan sakti yang dahulu pernah membuat Ki Patih Narotama terkenal! Hebat bukan main daya serangnya, baru pekik dahsyat itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan kuat yang tergetar jantungnya dan terbang semangatnya, apalagi aji pukulan yang mendatangkan angin lesus dan panasnya kilat menyambar itu.

Tubuh lima orang perwira Panjalu terlempar ke sana ke mari dalam keadaan pingsan! Hanya Ki Darmobroto yang dapat mempertahankan diri, hanya terhuyung-huyung sampai beberapa meter jauhnya, mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin. Masih untung bahwa pemuda itu tidak bermaksud mencelakai mereka, dan hanya mempergunakan tenaga terbatas saja.

Kalau tidak, tentu mereka semua termasuk Ki Darmobroto, akan tewas semua. Kakek itu berdiri terbelalak, menarik napas panjang berkali-kali untuk menghimpun tenaga memulihkan keadaan tubuhnya, memandang tubuh Joko Wandiro yang berkelebat cepat lari mengejar sang puteri yang dilarikan.

Kemudian Ki Darmobroto menggeleng geleng kepalanya dan berkata seorang diri, "Dari mana gerangan datang seorang muda yang begini hebat? Kalau pihak Jenggala memiliki jago muda seperti ini.... ahh, tiada harapan bagi Panjalu agaknya....!"

Karena merasa tidak akan mampu melawan Joko Wandiro, Ki Darmobroto tidak mengejar, melainkan segera memberi pertolongan kepada para perwira yang masih pingsan. Ternyata Sang Puteri Mayagaluh telah dilarikan jauh sekali oleh perwira berkumis tadi. Joko Wandiro menjadi bingung ketika tidak melihat bayangan mereka. Terpaksa ia beberapa kali meloncat naik ke atas pohon tinggi untuk melihat ke sekeliling. Setelah berlari-lari cepat dan meloncat ke atas beberapa batang pohon tinggi besar, akhirnya ia melihat banyak sekali pernunggang kuda berkumpul di tempat jauh.

Ia menjadi girang akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Puteri Mayagaluh, lalu meloncat turun dan cepat-cepat mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar ke tempat yang tampak dari atas itu. Dia seorang yang amat berhati-hati. Begitu dekat dengan tempat itu, ia tidak langsung memperlihatkan diri. Melihat banyak sekali orang di situ, ia lalu menyelinap dan bersembunyi, memandang penuh perhatian.

Kaget dan heranlah ia melihat betapa sang puteri tadi kini menangis di atas dada seorang pemuda tampan yang menghiburnya dengan ucapan dan belaian mesra, kemudian pemuda tampan itu menghardik kepada perwira berkumis yang berlutut dan menyembah-nyembah di depannya,

"Manusia lancang! Berani sekali kau menghina diajeng Mayagaluh? Biarpun kerajaan kita bermusuh dengan kerajaan paman di Jenggala, akan tetapi musuhmu adalah perajurit-perajurit Jenggala, bukan diajeng Mayagaluh! Laki-laki macam apa engkau ini? Pengawal, hajar dia dengan sepuluh kali cambukan!"

Kasihan juga si perwira berkumis itu. Susah payah ia melarikan Puteri Jenggala dengan harapan mendapat puji dan pahala. Siapa tahu, bukan pahala didapat, melainkan cambukan sepuluh kali. Pengawal yang tubuhnya seperti raksasa itu bertenaga besar. Biarpun hanya sepuluh kali, akan tetapi begitu selesai hukuman itu, si perwira berkumis tak sanggup bangkit lagi dan terpaksa harus digotong pergi dari situ oleh dua orang perajurit.

Melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduga-duganya ini, hati Joko Wandiro menjadi girang sekali. Siapakah pemuda itu? Apakah sang pangeran kakak Puteri Mayagaluh yang disebut-sebut oleh gadis bangsawan itu tadi? Bersama para pengawalnya? Akan tetapi, mengapa ucapan pemuda bangsawan itu demikian?

Saking herannya dan karena menduga bahwa tak perlu lagi ia bersembunyi, ia lalu meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berjalan menghampiri tempat itu. Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal, belasan orang pengawal segera maju dan sebentar saja Joko Wandiro sudah dikurung. Akan tetapi terdengar seruan Puteri Mayagaluh.

"Tahan! Dia adalah penolongku. Eh Joko Wandiro ke sinilah engkau. Jangan takut, ini adalah kakangmas Pangeran Darmokusumo!"

Joko Wandiro cepat menghampiri puteri itu dan para pengawal yang mendengar seruan Puteri Mayagaluh memberi jalan kepadanya. Puteri itu kini berpaling kepadanya dan berkata, "Joko Wandiro, kakangmas Pangeran Darmokusumo ini adalah pangeran dari Panjalu, kakak misan saya."

Joko Wandiro terkejut, heran, akan tetapi juga girang hatinya. Kiranya pangeran ini tidak sepicik anak buahnya dan bersikap baik terhadap Puteri Jenggala. Maka ia lalu cepat menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Pangeran Darmokusumo adalah putera sang prabu di Panjalu dari selir, berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sekali dan sikapnya agung.

Ketika Kerajaan Kahuripan belum terpecah dahulu, yaitu ketika kakek mereka Sang Prabu Airlangga belum meninggal dunia, para pangeran dan puteri cucu Sang Prabu Airlangga masih tinggal menjadi satu dalam lingkungan keraton. Biarpun banyak di antara mereka sudah terbawa dalam permusuhan ayah mereka, namun antara Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh telah terdapat hubungan yang amat akrab. Bahkan diam-diam kedua orang muda ini saling mencinta.

Ketika kerajaan terpecah, mereka terpaksa saling berpisah dan dengan hati sedih kedua orang muda ini melihat betapa ayah mereka saling bermusuhan. Tentu saja sebagai anak, mereka harus berfihak kepada ayah dan kerajaan masing masing, namun di lubuk hati mereka ini tak dapat saling melupakan. Maka pertemuan di dalam hutan, pertemuan yang tak disangka-sangka antara dua hati yang saling dipisahkan ini merupakan pertemuan mengharukan dan mesra.

Biarpun mereka dahulu belum pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih masing-masing, dalam pertemuan ini perasaan itu tertumpah dan tadi mereka saling peluk tanpa malu-malu lagi. Pangeran Darmokusumo ketika mendengar nama Joko Wandiro, sudah terkejut dan memandang penuh perhatian. Kini melihat pemuda yang kelihatannya sederhana itu menghaturkan sembah, ia bertanya, suaranya halus namun mengandung wibawa,

"Joko Wandiro namamu? Bukankah engkau ini satria yang pernah menghadap ramanda prabu dan yang telah mengusir mundur Ni Durgogini dan Ni Nogogini dari Panjalu?"

"Benar seperti yang paduka katakan gusti pangeran."

"Joko Wandiro, kau pernah menghadap ramanda prabu hendak mengabdikan diri, sekarang engkau melakukan perlawanan terhadap perajurit-perajurit Panjalu. Apakah hal ini berarti bahwa engkau kini telah berpihak kepada Jenggala?"

"Tidak, dalam peristiwa ini hamba sama sekali tidak mengingat tentang kerajaan manapun. Hamba hanya melihat seorang wanita yang hendak dibawa secara paksa oleh serombongan pria yang mempergunakan kekerasan. Andaikata wanita itu bukan kebetulan sang puteri dari Jenggala, sekalipun seorang gadis dusun, sudah pasti hamba juga akan turun tangan membelanya. Sebaliknya, andaikata rombongan pria itu bukan perajurit-perajurit Panjalu, misalnya mereka itu para perajurit Jenggala yang mengganggu seorang puteri Panjalu, hambapun tentu akan bertindak mencegah dan menentang mereka."

Senyum kagum menghias wajah tampan itu dan sepasang mata Pangeran Darmokusumo bersinar-sinar, kemudian ia mengangguk-angguk dan menoleh ke arah Puteri Mayagaluh dan berkata, "Diajeng Mayagaluh, sungguh bahagia sekali engkau mendapatkan seorang penolong seperti satria bagus ini."

Kemudian ia memandang Joko Wandiro dan berkata halus, "Joko Wandiro, aku sudah mendengar tentang pertolonganmu kepada sang puteri dari tangan perampok jahat. Sebagai kakak misannya, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan harap kau jangan kepalang dalam melepas budi kepada kami keluarga yang tak bahagia. Antarkan diajeng Mayagaluh sampai selamat ke Jenggala."

Joko Wandiro menyembah, hatinya kagum terhadap pangeran ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat menghambakan diri kepada seorang junjungan yang bijaksana seperti Pangeran Panjalu ini.

"Memang sudah hamba janjikan kepada gusti puteri untuk mengantar beliau pulang ke Jenggala. Kewajiban ini hamba sekali-kali tidak menganggap sebagai pertolongan, maka harap paduka jangan memuji hamba terlalu tinggi."

Pada saat itu, Ki Darmobroto dan perwira Panjalu yang tadi mengejar sudah tiba di tempat itu. Para perwira masih lemah dan pucat akibat pukulan Bojro Dahono dan mereka hanya dapat menundukkan muka ketika ditegur oleh sang pangeran. Akan tetapi pangeran ini hanya bertanya dengan suara halus kepada Ki Darmobroto,

"Paman Darmobroto, mengapa pula paman mencampuri pertandingan antara Joko Wandiro dan perwira-perwira Panjalu yang kurang ajar ini?"

Ki Darmokusumo menghaturkan sembah lalu menjawab, suaranya tenang karena ia merasa dalam kebenaran, "Hamba hanya melihat para perwira Panjalu bertanding melawan orang muda yang sakti ini dan sebagai seorang hamba Panjalu tentu saja hamba tidak dapat tinggal diam. Menyesal sekali bahwa kepandaian hamba tidak ada artinya sehingga biarpun hamba bantu, para perwira paduka tetap saja mengalami kekalahan."

Setelah berkata demikian, Ki Darmobroto melirik dengan pandang mata kagum terhadap bekas lawannya yang masih bersimpuh di dekatnya, depan sang pangeran. Mendengar ini, Pangeran Darmokusumo menjadi makin kagum terhadap pemuda itu.

"Joko Wandiro, karena diajeng Mayagaluh telah sesat jalan dan berpisah dari rakandanya Sang Pangeran Panjirawit, maka lebih baik kau lekas-lekas mengantar pulang ke Jenggala agar jangan sampai menggelisahkan keluarganya."

Pangeran itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua ekor kuda pllihan. Setelah dua ekor kuda yang pilihan dipersiapkan, Puteri Mayagaluh sejenak saling pandang dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian sang puteri menangis dan mengeluh, "Kakangmas, mungkinkah kita dapat saling bertemu kembali..."

Pangeran itu tersenyum sedih dan ketika Mayagaluh menangis, ia lalu memeluknya dan mengusap-usap rambutnya yang hitam halus, berbisik-bisik memberi hiburan kepada puteri itu. Betapa hancur hati kedua orang muda yang saling mencinta ini menghadapi kenyataan betapa ramanda mereka saling bermusuhan.

Melihat dua orang itu mengadakan perpisahan yang mengharukan, Joko Wandiro mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Ki Darmobroto dan berkata, "Paman Darmobroto, saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman. Memang saya mempunyai niat untuk mencari paman."

Ki Darmobroto tersenyum. Ia merasa kagum dan suka kepada orang muda ini, yang memiliki kesaktian hebat akan tetapi selalu bersikap rendah hati dan juga tidak sombong, tidak keji.

"Akupun amat senang dapat berkenalan dengan anakmas Joko Wandiro yang sakti mandraguna. Kehormatan Apa gerangan yang hendak anakmas berikan sehingga anakmas bersusah payah mencari pamanmu yang miskin ini?"

Karena ia tahu bahwa berita yang hendak disampaikannya bukan hal yang menggembirakannya, Joko Wandiro mengerutkan keningnya dan mukanya berubah suram. Hal ini tak terlepas dari pandang mata Ki Darmobroto yang awas, maka kakek itu cepat-cepat bertanya, "Ada apakah, anakmas Joko Wandiro?"

"Paman, sungguh berat rasa hati saya untuk menyampaikan berita ini. Paman....secara tak disengaja saya telah menjadi saksi akan kematian paman Adibroto dan.... isterinya, serta mendengar pula pesan terakhir mendiang paman Adibroto."

Ki Darmobroto adalah seorang sakti yang gentur tapa (tekun bertapa), batinnya sudah amat kuat, tidak mudah dipengaruhi suka-duka duniawi. Namun mendengar berita bahwa sahabat baiknya, Ki Adibroto dan isterinya telah meninggal dunia, ia terkejut bukan main sehingga sejenak ia tak dapat berkata-kata. Kemudian ia bertanya, suaranya gemetar,

"Adibroto dan isterinya...meninggal dunia....? Belum lama ini mereka berdua singgah di rumahku...!!"

"Saya menyaksikan kematian paman Adibroto dengan kedua mata saya sendiri, paman. Beliau tewas karena luka-luka yang dideritanya "

"Terbunuh!!" Ki Darmobroto berseru. "Siapa pembunuhnya? Mengapa orang sebaik budi Adibroto dibunuh?"

Joko Wandiro menggeleng kepalanya, hatinya terasa perih. Diam-diam ia menduga bahwa kematian Ki Adibroto dan isterinya, atau ibu kandungnya sendiri, tentu ada hubungannya dengan Pujo, guru dan ayah angkatnya. Hal inilah yang membuat hatinya sangat berduka setiap kali ia teringat.

"Saya tidak tahu, paman. Paman Adibroto tidak mengatakan apa-apa, hanya meninggalkan pesan kepada.... Ayu Candra bahwa bahwa Ayu Candra telah dijodohkan dengan putera paman yang bernama Joko Seto."

"Betul sekali. Di mana kini adanya nini Ayu Candra? Kasihan sekali anak itu, kehilangan ayah bundanya!"

Kemudian kakek itu teringat sesuatu dan bertanya, memandang penuh selidik,
"Anakmas Joko Wandiro, bagaimana anakmas dapat menyaksikan itu semua? Kenalkah anda dengan keluarga itu?"

Joko Wandiro merasa berat untuk membentangkan semua keadaannya. Ia hanya menggeleng kepala dan menjawab, "Secara kebetulan saja saya lewat di Telaga Sarangan dan menyaksikan hal itu. Adapun....diajeng Ayu Candra telah pergi, saya sendiri tidak tahu ke mana, bahkan sekarangpun sebenarnya saya sedang mencarinya dengan maksud mengantarnya ke Merbabu, ke tempat tinggal paman."

"Mengapa pergi? Kemana ?"

"Saya tidak tahu, paman. Mungkin pergi mencari musuh yang telah menewaskan paman Adibroto dan isterinya, padahal dia sendiripun tidak tahu siapa musuhnya itu dan paman Adibroto sudah berpesan agar jangan membalas dendam, jangan mencari musuh."

Ki Darmobroto masih ingin banyak bertanya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Puteri Mayagaluh, "Joko Wandiro, sudah siapkah engkau? Mari kita berangkat!"

Joko Wandiro bangkit berdiri lalu berpamit kepada Pangeran Darmokusomo, kemudian meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuknya, lalu bersama Puteri Mayagaluh yang sudah naik ke atas kuda pula meninggalkan tempat itu.

Sang puteri beberapa kali menengok dan bertukar pandang mesra dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian setelah mereka berbelok pada sebuah tikungan, sang puteri menghapus air mata dari pipinya dengan tangan.

"Gusti Pangeran Darmokusumo sungguh seorang yang berbudi luhur!" Joko Wandiro berkata perlahan.

Sang puteri terkejut dan mengangkat muka memandang kepada pemuda yang menjalankan kuda di sebelah kirinya, lalu memaksa senyum. Senyum yang amat cerah sehingga lenyaplah semua kedukaan dan kekecewaan.

"Mengapa kau berkata demikian, Joko Wandiro?"

"Mengapa? Hamba memuji gusti pangeran dari Panjalu itu, dan memang sepatutnya dipuji."

"Hemm, tiada hujan tiada angin engkau memuji-mujinya di depanku. Apa yang tersembunyi di balik kata-katamu, orang muda?"

Joko Wandiro menjadi merah mukanya. Kiranya sang puteri amat peka perasaannya, seakan-akan dapat menjenguk dan mengintai isi hatinya.

"Maaf, gusti puteri. Hamba eh, hamba kira eh, gusti pangeran amat sayang kepada paduka dan... eh, memang sepadan benar. Sayang sekali, ramanda paduka berdua tak dapat hidup berdampingan dalam suasana damai."

Mendengar ini, sang puteri menarik napas panjang. "Matamu awas benar, Joko Wandiro. Memang...." Puteri jelita itu menunduk malu, "kangmas Pangeran Darmokusumo amat sayang kepadaku, semenjak dahulu sayang "

Melihat wajah yang jelita itu kembali terselubung awan kedukaan, cepat-cepat Joko Wandiro berkata, "Sesungguhnya hamba heran sekali, bagaimanakah paduka sampai dapat melakukan perjalanan begini jauhnya? Kalau boleh hamba bertanya, paduka bersama rakanda paduka dan pengawal, hendak pergi ke manakah?"

"Ah, ini gara-gara kakanda Pangeran Panjirawit yang selalu menuruti semua kehendak Endang Patibroto!" Sang puteri menarik napas panjang lalu menyambung lirih, "Orang kalau sudah jatuh cinta...ah, aneh-aneh saja kelakuannya...!"

Akan tetapi ketika sang puteri menengok dan memandang kepada Joko Wandiro, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan melihat dia telah berubah menjadi benda yang menakjubkan. Seketika wajah sang puteri menjadi merah sekali, teringat betapa pemuda ini ketika menolongnya dari tangan perampok, telah mencium pipinya! Hal itu telah ia maafkan mengingat bahwa ia telah terbebas daripada bahaya mengerikan, tertolong oleh pemuda ini. Akan tetapi kini melihat betapa joko Wandiro memandangnya seperti itu, ia cepat cepat berkata,

"Kakanda Pangeran Panjirawit jatuh cinta kepada pengawal kami Endang Patibroto sedangkan aku...aku...dan kakangmas Pangeran Darmokusumo juga saling....eh, mencinta. Entah siapa di antara kami yang gagal kelak!"

la menundukkan mukanya. Puteri ini dengan bijaksana memaksa diri menyatakan cinta kasihnya kepada Pangeran Darmokusumo untuk mengusir perasaan yang bukan-bukan dari dalam hati pemuda penolongnya yang amat ia kagumi ini.

Joko Wandiro seperti baru sadar daripada mimpi buruk. Ucapan terakhir ini hanya lewat saja di telinganya dan dianggapnya tidak ada artinya. la tadi begitu kaget mendengar nama Endang Patibroto disebut-sebut. Sebagai kepala pengawal! Kepala pengawal Kerajaan Jenggala lagi! la begitu heran mendengar ini sampai tadi terlongong dan disalah artikan oleh sang puteri. Untuk memulihkan lagi ketenangannya, Joko Wandiro terbatuk-batuk.

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba melamun tadi. Jadi paduka pergi bertiga bersama rakanda paduka dan kepala pengawal yang bernama Endang Patibroto? Kepala pengawal seorang wanita?"

Sang puteri tertawa. Sikap dan kata-kata pemuda ini sudah kembali biasa dan hatinya menjadi lega karenanya. Ia tadinya khawatir kalau-kalau pemuda ini tak mampu menguasai hatinya. la akan merasa berduka sekali kalau sampai pemuda ini menjadi korban asmara karena dia. Kembali Lagi kegembiraan sang puteri. Ia tertawa sehingga tampak giginya berderet putih seperti mutiara.

"Ah, engkau tidak tahu, Joko Wandiro. Memang Endang Patibroto seorang wanita, akan tetapi wah, wanita yang bagaimana! Sakti mandraguna pilih tanding. Cantik jelita dan muda belia, akan tetapi kiraku orang senegara tidak ada yang akan dapat menandinginya. Dibandingkan dengan engkau, Joko Wandiro eh betul juga kalian ini!"

Sepasang mata yang indah bening seperti burung nun itu bersinar-sinar, wajah yang kedua pipinya kemerahan berseri-seri. Joko Wandiro tersenyum dan mengeluh dalam hati. Puteri ini lincah, gembira, dan nakal! Namun ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Apa yang paduka maksudkan?"

"Kau tunggu saja sampai kau berjumpa dengan orangnya, Joko Wandiro! Ah, kalau saja kami mempunyai sepasang jagoan seperti kalian!"

Kini wajah Joko Wandiro yagg menjadi merah dan jantungnya berdebar aneh. Endang Patibroto! Hampir ia lupa Lagi bagaimana wajahnya. Sudah terlalu lama ia berpisah dengan anak itu. Anak yang nakal sekali! Puteri ayah angkatnya. terbayang di dalam ingatannya betapa dahulu seringkali ia bertengkar dengan anak perempuan itu. Dan sekarang telah menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala!

Bagaimana mungkin ini? Ayah angkatnya, Pujo dan juga eyangnya, Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo, adalah pembela-pembela Kerajaan Panjalu, seperti juga gurunya, Ki Patih Narotama. Bagaimana sekarang Endang Patibroto bisa menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala?

Teringat pula ia akan peristiwa di Pulau Sempu, ketika eyang mereka, Sang Resi Bhargowo, menyerahkan pusaka Mataram kepada mereka. Makin merah mukanya ketika ia teringat betapa Endang Patibroto anak nakal itu memilih keris pusaka yang luar biasa ampuhnya, sedangkan ia mendapat bagian warangkanya, yaitu patung kencana yang ia simpan dalam cabang pohon randu alas yang besar di Pulau Sempu. Semua ini terbayang dalam ingatannya dan membuatnya termenung.

"Sayang aku terpisah dari mereka," terdengar pula suara sang puteri yang menyeret kembali kesadaran Joko Wandiro.

"Paduka bertiga tadinya hendak pergi ke manakah?"

"Ah, kami berdua terbawa oleh Endang Patibroto yang katanya hendak pergi mencari ibunya di Bayuwismo."

"Bayuwismo??"

Seruan Joko Wandiro ini membuat sang puteri memandang tajam kepadanya. "Apakah engkau sudah tahu di mana letaknya Bayuwismo?"

"Hamba belum pernah ke sana, akan tetapi hamba dapat mengantar paduka ke sana. Memang seyogyanya, kalau paduka tidak keberatan, kita pergi saja ke Bayuwismo, hamba rasa paduka akan dapat bertemu dengan mereka di sana atau di tengah jalan."

"Bagus! Begitu lebih baik, karena tidak enak juga rasanya kalau aku pulang sendiri tanpa rakanda Panjirawit dan Endang Patibroto. Jauhkah Bayuwismo dari sini, Joko Wandiro?"

"Hamba rasa tidak begitu jauh lagi, gusti," kata Joko Wandiro dengan hati berdebar.

Mengapa begini kebetulan, pikirnya. ibu kandungnya, diantar oleh Ki Adibroto, pergi mencari dia dan mudah diduga bahwa ibu kandungnya tentu hendak mencari Pujo, ayah angkatnya yang dahulu telah menculiknya. Sangat boleh jadi Ki Adibroto dan isterinya itu pergi ke Bayuwismo. Dan Endang Patibroto, yang menurut penuturan Sang Puteri Mayagaluh kini merupakan seorang yang sakti mandraguna, telah pergi pula ke Bayuwismo.

Lalu terjadi ibu kandungnya dan Ki Adibroto tewas di tangan musuh! la harus segera pergi ke Bayuwismo, menemui ayah angkatnya, mencari tahu perihal kematian ibu kandungnya. Diam-diam ia menjerit kepada Dewata dengan harapan semoga ibu kandungnya tidak terbunuh oleh Pujo, karena kalau hal itu terjadi, ia tidak tahu Apa yang harus ia perbuat!

"Duh, Hyang Maha Wisesa, lindungilah hamba-Mu daripada malapetaka itu...." keluhnya.

"Kau bicara Apa, Joko Wandiro?" Sang puteri yang melihat gerak bibirnya tanpa mendengar suara, bertanya

"Ohh hamba hendak mengatakan bahwa lebih baik kita segera berangkat sekarang agar jangan kemalaman di tengah hutan, gusti."

"Baiklah, Joko Wandiro. Mari!" Sang puteri lalu menyendal kudanya dan membalapkan kudanya menuju ke barat.

********************


Dengan hati uring-uringan Endang Patibroto meninggalkan ibu kandungnya. Ia membalapkan kudanya dengan cemberut, pandang matanya menyala-nyala dan hatinya kecewa sekali. Bertahun-tahun ia tidak bertemu lbunya dan merasa amat rindu kepada ibunya. Baru saja bertemu, ia telah ditinggal mati ayah kandungnya.

Kemudian, ibu kandungnya sendiri marah-marah kepadanya, hendak memaksanya meninggalkan Jenggala, bahkan ibunya telah menyerangnya dengan keris, hendak membunuhnya. Ibu kandungnya sendiri, Ingin sekali Endang Patibroto menangis dan menjerit-jerit, akan tetapi hatinya yang sudah menerima gemblengan gurunya, Dibyo Mamangkoro, sudah membeku dan tidak ada setitikpun air mata di pelupuk matanya.

"Endang....! Endang Patibroto...! Kau tunggulah aku!"

Berkali-kali Pangeran Panjirawit berteriak sambil mengejar. Diam-diam pangeran inipun merasa prihatin sekali. Sebagai seorang pangeran, ia maklum pula akan segala peristiwa di Bayuwismo tadi. Sebagai seorang satria, iapun tidak bisa menyalahkan ibu Endang Patibroto yang berjiwa satria. Dan sebagai seorang pria yang amat mencinta Endang Patibroto, iapun maklum betapa hancur hati dara perkasa yang dicintanya itu. Akan tetapi Endang Patibroto yang sedang marah-marah itu tidak memperdulikan panggilan sang pangeran. Bahkan ia tidak memperdulikan kudanya yang sudah terengah-engah hampir putus napasnya dan sudah bermandi peluh karena dilarikan kencang terus-menerus tak kunjung henti.

Tiba-tiba dari depan nampak tiga orang penunggang kuda. Mereka itu bukan lain kepala rampok yang kemarin dulu telah menawan Puteri Mayagaluh. Setelah berhasil diusir oleh Joko Wandiro, kepala rampok ini melarikan diri di atas kuda tunggangan Sang Puteri Mayagaluh. Akan tetapi hatinya masih penasaran karena puteri yang cantik jelita dan yang bagaikan sepotong daging telah berada di depan mulutnya, kini terampas orang lain.

Sengoro, kepala rarnpok ini tidak pergi jauh, yaitu ke tempat persembunyian dua orang kakak seperguruannya yang bernama Kolodumung dan Kolomedo, dua orang kakak beradik yang tentu saja memiliki kesaktian lebih hebat daripada Sengoro sendiri. Setelah menuturkan perihal puteri jelita terutama perhiasan-perhiasan indah yang dipakainya, Sengoro lalu mengajak kedua orang kakak seperguruannya ini untuk melakukan pengejaran. Tentu saja kedua orang jahat itu menjadi tertarik dan segera mereka menunggang kuda lalu bersama Sengoro pergi mencari.

"Nah itu dia agaknya!"

Seru Sengoro ketika melihat di depan seorang dara jelita berpakaian mewah membalapkan kuda yang sudah payah. Hati kedua orang temannya juga girang sekali karena gadis itu benar-benar amat cantik jelita dan perhiasan yang dipakai di kedua tangan dan di pinggangnya sudah berkilauan dan jelas dapat mereka ketahui bahwa perhiasan-perhiasan itu terbuat daripada emas permata yang mahal harganya!

Mereka bertiga sengaja menghadang di tengah jalan sehingga jalan sempit itu penuh dengan tiga ekor kuda mereka. Endang Patibroto sedang marah. Andaikata ia tidak sedang marah sekalipun, ia tentu takkan mengampuni tiga orang yang berani menghadang perjalanannya. Apalagi pada saat itu ia sedang diamuk kemarahan maka dari jauh ia sudah membentak,

"Tiga ekor anjing busuk, minggir!

Akan tetapi tiga orang laki-laki itu sama sekali tidak mau minggir, bahkan Kolodumung segera menggerakkan tangan kanannya dan sinar hitam menyambar ke depan, tepat mengenai kepala kuda yang ditunggangi Endang Patibroto. Kuda itu meringkik keras, mengangkat kaki depan ke atas, terhuyung-huyung lalu roboh dan mati seketika! Untung Endang Patibroto sudah melompat turun sehingga ia tidak terhimpit badan kuda. Tiga orang laki-laki itu tertawa dan melompat turun dari atas kuda pula.

"Ha-ha-ha, kakang berdua! Perempuan yang kumaksudkan bukan ini. Akan tetapi, dia inipun hebat sekali, malah lebih liar daripada yang kumaksudkan!"

"Hua-ha-hah! Bagus kalau begitu, lebih banyak lebih baik" jawab Kolodumung gembira.

Endang Patibroto yang sedang dilanda kemarahan itu kini berdiri dengan mata seakan-akan mengeluarkan api. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahannya, makin menyala-nyala melihat kuda tunggangannya roboh dan tewas. Menurutkan kemarahannya, ingin la sekali turun tangan membunuh tiga orang kasar ini. Akan tetapi pandang matanya tertarik oleh kuda yang ditunggangi Sengoro. Ia mengenal kuda itu sebagai kuda tunggangan Mayagaluh! Kalau kuda itu terjatuh ke dalarn tangan iblis ini, berarti Mayagaluh juga tertawan!

Berdebar keras jantung Endang Patibroto. Betapapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu yang tak baik atas diri sang puteri. Dia adalah pengawal, dan dia pula yang membawa sang puteri sampai ke tempat ini dan harus menyiksa mereka ini dan memaksa mereka mengaku di mana adanya Mayagaluh dan Apa yang terjadi atas diri puteri itu. Karena teringat akan puteri itu maka Endang Patibroto menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Ia menoleh dan melihat sebatang pohon waru di dekatnya.

Tangannya lalu menjangkau dan memetik beberapa helai daun waru, kemudian ia berseru keras sambil menyambitkan daun-daun itu ke depan, "Anjing busuk rasakan ini!

Tiga orang itu tertawa makin lebar melihat betapa Endang Patibroto menyerang mereka dengan sambitan daun-daun waru. Mereka menganggapnya lucu sekali dan tentu saja sebagai orang-orang yang digdaya, mereka sama sekali tidak perdulikan serangan ini. Siapa yang sudi mengelak dari sambaran daun-daun waru, apalagi yang disambitkan oleh seorang wanita ayu? Riuh-rendah mereka tertawa-tawa.

"Huah-hah-hah ha-ha-ha-ha........ haa-uupp!"
"Ha-hauiiihhh!"
"Ha-haduuuhhh!!"

Suara ketawa mereka segera terhenti, muka yang tadinya tertawa-tawa itu kini menyeringai dengan mata terbelalak dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Daun-daun waru menempel di muka dan lengan mereka dan kulit di bawah daun itu keluar darah bertetes-tetes! Saking hebatnya sambitan itu, daun-daun waru kini menempel menjadi satu dengan kulit daging, bahkan ada yang gagangnya menancap sampai dalam seperti paku. Daun yang agak berbulu ini selain menimbulkan sakit dan perih, juga gatal-gatal.

"Perempuan lblis......!!"
"Kuntilanak!"
"Keparat, tunggu kau, kuengkuk-engkuk (tekuk-tekuk) engkau...!"

Rasa kaget, heran, dan kesakitan kini berubah menjadi kemarahan hebat. Tiga orang itu memang orang-orang kasar yang biasanya jarang bertemu tanding, yang selalu dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain mengandalkan kekerasan, sehingga kemenangan-kemenangan itu membuat mereka sombong dan merasa seakan-akan tiada tandingan mereka di dunia ini.

Kini bertemu dengan Endang Patibroto yang hanya seorang dara ayu, biarpun mereka dikejutkan oleh serangan daun waru, namun belum membuka mata mereka bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian jauh iebih tinggi daripada mereka. Serentak ketiganya menerjang maju dengan kedua lengan dikembangkan, jari jari tangan dibuka seperti tiga ekor harimau hendak menerkam seekor domba.

Betapapun marah hati mereka, tiga orang laki-lakl kasar ini masih merasa sayang untuk membunuh seorang dara muda belia yang jelita tu, maka mereka menerjang maju untuk menangkap dan tidak mau menggunakan senjata. Tentu saja Endang Patibroto tidak sudi disergap laki-laki kasar macam mereka. Sekali tangan kirinya bergerak seperti orang menampar dari kanan kiri, tiga orang itu merasa seakan-akan disambar petir, pandang mata berkunang, kepala pening dan tubuh mereka terpelanting kemudian jatuh ke atas tanah!

Masih baik bahwa Endang Patibroto tidak mengerahkan seluruh tenaga dalam aji pukulan Wisang Nolo (Api Beracun) ini, kalau hal itu dilakukannya, tentu mereka bertiga sudah roboh tak bernapas lagi dan dengan tubuh hangus-hangus! Mendapat kenyataan betapa dara itu tanpa menyentuh mereka telah dapat membuat mereka terpelanting, tahulah tiga orang kasar ini bahwa lawannya, biarpun muda belia dan ayu manis, ternyata adalah seorang yang sakti mandraguna, memiliki aji kesaktian tidak lumrah manusia, seperti iblis saja.

Mereka menjadi makin marah akan tetapi kali ini juga gentar, maka sambil melompat bangun, mereka serentak mencabut senjata mereka. Kolodumung memegang senjata cambuk yang berwarna hitam. Cambuk ini terbuat daripada kulit kerbau, ulet dan kuat sekali, dan ujung cambuk dipasangi kaitan baja seperti pancing. Celakalah lawan kalau terkena sambaran kaitan ini, sekali masuk ke dalam daging sukar ditarik keluar lagi. Sambil berteriak-teriak marah Kolodumung memutar cambuknya ke atas kepala dan terdengar suara meledak-ledak keras.

Kolomedo mengeluarkan senjatanya sebatang pedang melengkung yang amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan ketika ia putar-putar dan tenaga yang besar membuat pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing. Juga Sengoro sendiri sudah mencabut goloknya yang besar dan berat.

"Perempuan iblis! Kau mencari mampus sendiri!"

Seru Kolodumung sambil menerjang maju dengan ayunan cambuknya, melecutkan ujung cambuk ke arah leher Endang Patibroto. Alangkah akan mengerikan kalau kaitan baja di ujung cambuk itu mengenai leher yang berkulit kuning halus itu! juga pada detik berikutnya, Kolomedo dan Sengoro sudah menerjang dengan bacokan pedang dan golok dari kanan kiri. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Endang Patibroto tidak sudi melayani tiga orang ini.

Diserang seperti itu, ia sama sekali tidak beranjak pergi dari tempat ia berpijak. Ia hanya mengangkat kedua lengannya ke atas, dengan lengan telanjang ia menerima kaitan baja berikut ujung cambuk itu. Kaitan baja yang menghantam kulit lengannya yang putih halus itu sama sekali tidak membuat lecet kulitnya dan kini ujung cambuk melibat lengannya. Dengan gerakan cepat sekali kedua tangan Endang Patibroto berputar-putar dan pedang serta golok dari kanan kiri telah terlibat oleh cambuk. Begitu ia menarik dengan sentakan keras, tiga orang lawannya terkejut dan terhuyung ke depan.

Endang Patibroto menggerakkan kaki kanan, tiga kali menendang maju dan kembali tiga orang itu terpental ke belakang dengan senjata sudah terampas. Tendangan tadi tepat mengenal kempungan perut mereka sehingga ketika terlempar dan terbanting jatuh, mereka tidak dapat segera bangun berdiri, melainkan merintih-rintih dan bergulingan memegangi perut yang menjadi mulas dan senep!

"Tar-tar-tar!"

Tiga kali cambuk rampasan itu meledak dan ujungnya mematuk tubuh tiga orang itu.

"Aduhh....!"

"Mati aku....!

"Aduhhhh....!!"

Tiga orang itu seperti cacing kepanasan, menggeliat-geliat dan berkelojotan karena kaitan baja di ujung cambuk telah mencokel keluar otot dan daging.

"Hayo katakan, di mana adanya sang puteri??"

Kembali cambuk itu berkelebat dan terdengar suara meledak-ledak di atas kepala tiga orang itu. Dengan penuh kengerian, tiga orang laki-laki kasar yang biasanya sewenang-wenang ini menggunakan kedua lengan menutupi kepala.

"Aku tidak tahu" jawab Kolodumung.

"Kami kakak beradik tidak tahu, tanyalah kepada adi Sengoro ini " kata Kolomedo.

"Tar-tar!" Kolodumung dan Kolomedo menjerit dan menangis tak kuat menahan rasa sakit ketika ujung cambuk itu menggigiti kulit daging muka mereka.

Endang Patibroto menghampiri Sengoro yang kini tanpa malu malu Lagi sudah berlutut dan menyembah-nyernbah. Wajah yang cantik jelita itu kini berubah menjadi kedok, dingin dan kaku.

"Hayo kau katakan, di mana sang puteri dan bagaimana kudanya sampai kau rampas?"

"Ampun.... ampunkan hamba.... dewi!!"

"Tarr!"

"Aduhhh....mati aku....!"

Sengoro bergulingan karena kaitan baja itu sudah menancap di pundaknya dan kaitannya mengait urat besar di pundak!

"Ampun....!!"

"Hayo bilang, benarkah dua orang ini tidak tahu menahu tentang sang puteri?"

"Be....benar....

Endang Patibroto memandang kepada Kolodumung dan Kolomedo yang kini membayangkan kelegaan hati mendengar jawaban adik seperguruan ini. Terbayang senyum di bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu, kemudian Endang Patibroto memegang pedang dan golok rampasan. Sekali ia menggerakkan tangan, pedang dan golok meluncur bagaikan anak panah cepatnya dan...

"Cepp! Cepp!!" Dua buah senjata itu sudah menancap di ulu hati Kolodumung dan Kolomedo sampai menembus ke dalam tanah sehingga dua orang itu tewas seketika. Menyaksikan peristiwa mengerikan menimpa dua orang kakak seperguruannya Sengoro terbelalak ketakutan, mukanya pucat dan dengan tubuh menggigil ia menyembah-nyembah minta ampun.

"Tar-tar-tar!"

Cambuk yang mengerikan itu kembali sudah meledak-ledak di atas kepala Sengoro, membuat kepala rampok makin ketakutan.

"Hayo lekas ceritakan di mana adanya sang puteri yang kudanya kaupakai itu!"

Suara Sengoro menggigil ketika ia berkata,
"hamba...hamba tidak tahu, dia....sang puteri dibawa...oleh pemimpin kami hamba... mana berani.....? Hanya mendapatkan kudanya...."

"Di mana dia? Di mana sang puteri dan pimpinanmu. Dibawa ke manakah?"

Dengan telunjuk menggigil Sengoro menunjuk ke belakang. "Mungkin di...di sana...hamba tak tahu benar ke mana "

"Crattt!" Kaitan baja di ujung cambuk itu menancap ke dalam pelipis Sengoro yang menjerit keras dan roboh berkelojotan dalam sekarat.

"Endang , siapakah mereka?"

Derap kaki kuda yang datang disusul pertanyaan suara Pangeran Panjirawit yang melihat tiga orang laki-laki menggeletak tak bernyawa di depan kaki Endang Patibroto. Endang Patibroto menunjuk ke arah kuda tunggangan Puteri Mayagaluh dan berkata,

"Gusti puteri tertawan perampok, ini kudanya dan mereka ini adalah anak buah perampok."

"Aduh, Jagad Dewa Bathara! Di mana sekarang diajeng Mayagaluh?"

Kembali Endang Patibroto menunjuk ke arah mayat Sengoro dan berkata,
"Menurut pengakuan dia, gusti puteri berada di tangan kepala rampok yang kini masih berkeliaran di sekitar hutan ini. Mari kita mencarinya!"

Terhibur hati Pangeran Panjirawit ketika melihat sikap Endang Patibioto yang tenang. Timbul kepercayaannya kembali bahwa sudah pasti kepala pengawal yang cantik dan gagah perkasa itu akan dapat menolong adiknya, membebaskan dari tangan kepala rampok.

"Kenapa engkau menuntun seekor kuda lain?" Tanya pangeran itu ketika melihat Endang Patibroto meloncat ke atas punggung kuda tunggangan sang puteri sambil menuntun seekor kuda lain bekas tunggangan perampok.

"Untuk gusti puteri," jawab Endang Patibroto dan membalapkan kudanya ke depan diikuti oleh Pangeran Panjirawit.

Ketika tiba di bagian yang tinggi di tanah Pegunungan Seribu, Endang Patibroto menghentikan kudanya, kemudian ia meloncat dan memanjat sebatang pohon besar sampai di puncaknya yang paling tinggi. Dari tempat tinggi inilah ia memandang ke sekeliling dan tak lama kemudian terdengar seruannya,

"Ah, itu dia.......!!"

Pangeran Panjirawit ikut berdebar hatinya mendengar suara girang ini dan begitu wanita cantik dan perkasa itu melompat turun, ia bertanya,

"Kau sudah melihat diajeng Mayagaluh?"

"Mereka di sana, naik kuda. Mari kita menghadang, kita jalan kaki saja agar penjahat itu tidak mengetahui kedatangan kita dan kabur."

Mereka meloncat turun dari atas kuda, mencancang kuda di bawah pohon, kemudian pangeran itu mengikuti Endang Patibroto menyelinap di antara pohon-pohon dan menuju ke sebelah selatan. Tidak lama kemudian sang pangeran mendengar derap kaki kuda makin lama makin mendekat. Endang Patibroto mengajaknya bersembunyi di belakang pohon. Jantung pangeran itu berdegup tegang. Endang Patibroto tenang-tenang saja, namun dara perkasa ini sudah siap untuk menerjang maju.

Akhirnya, setelah menanti dengan ketegangan hati yang makin memuncak, Pangeran Panjirawit melihat munculnya dua orang penunggang kuda dari sebuah tikungan jalan setapak dalam hutan itu. Tidak salah lagi, seorang di antara mereka adalah Mayagaluh, adiknya. Akan tetapi wajah adiknya yang cantik itu sama sekali tidak tampak seperti seorang tawanan, tidak menangis atau ketakutan, melainkan tersenyum-senyum manis!

Dan penunggang kuda di sebelahnya adalah seorang laki-laki yang muda belia dan amat tampan, sungguhpun pakaiannya sederhana sekali namun sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan tiga orang perampok yang terbunuh oleh Endang Patibroto tadi. Orang muda ini tidak akan lebih tua daripadanya, dan lebih pantas disebut seorang satria gunung daripada seorang perampok!

Ia menjadi ragu-ragu dan hendak memberi peringatan kepada Endang Patibroto tentang pendapatnya itu. Namun terlambat karena pada saat itu, tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan dan langsung dara perkasa ini bagaikan seekor harimau betina yang marah, telah melompat jauh kedepan, menerkam laki-laki penunggang kuda di samping Mayagaluh sambil mengeluarkan pekik dahsyat.

"Celaka dia....!"

Sang Pangeran Panjirawit mengeluh dan mengira bahwa laki-laki tampan itu tentu tewas seketika diserang seperti itu oleh Endang Patibroto yang sudah cukup ia kenal kedigdayaannya yang menggiriskan. la segera melompat dan lari ke depan.

Joko Wandiro yang sedang enak-enak menunggang kuda bersama Puteri Mayagaluh dalam perjalanan mereka ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, tentu saja kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan putih menyambar dan menerkamnya laksana seekor harimau dan kedua tangan yang menerkamnya itu tahu-tahu telah melancarkan pukulan dengan kedua tangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat sekali ke arah pelipis dan ubun-ubun kepalanya!

Dari sambaran angin pukulan ini saja maklumlah Joko Wandiro bahwa siapapun juga yang menyerangnya, penyerang ini adalah seorang yang amat ganas dan kejam, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dahsyat. la belum dapat melihat siapa penyerangnya dan juga tidak tahu mengapa orang ini datang-datang menyerangnya sedahsyat itu, maka lapun hanya mengangkat kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sakti Bojro Dahono ke dalam kedua tangannya.

"Dessss!!"

Hebat bukan main pertemuan dua pasang tangan di udara itu. Joko Wandiro menggunakan Aji Bojro Dahono yang sifatnya panas dan kuat cepat bagaikan kilat menyambar. Di lain pihak Endang Patibroto mempergunakan Aji Wisang Nolo, juga sifatnya panas sekali mengandung hawa beracun. Saking hebatnya pertemuan tenaga sakti itu, tubuh Endang Patibroto yang terapung di udara itu, terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting di atas tanah di mana gadis itu cepat menggunakan Aji Trenggiling Wesi, bergulingan untuk mematahkan luncuran tubuhnya.

la selamat tidak terbanting, namun pakaian dan rambutnya kotor terkena debu. Di lain pihak, Joko Wandiro kaget sekali karena pertemuan tenaga itu membuat ia terpelanting dari atas kudanya dan biarpun ia dapat berjungkir-balik sampai tiga kali sehingga dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu, namun ia terhuyung-huyung ke belakang sampai empat meter jauhnya!

Kini keduanya sudah bangkit berdiri, dalam jarak tujuh delapan meter, saling pandang dengan heran dan penasaran. Endang Patibroto marah sekali. Marah sampai hampir tak tertahankannya Lagi. Mukanya mangar-mangar (merah padam), sepasang matanya bercahaya menyilaukan seperti sepasang mata harimau tersorot lampu, bagaikan bernyala-nyala menciptakan api unggun yang akan membakar lawannya, memandang kepada Joko Wandiro seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat!

Hidung yang kecil mancung itu bergerak-gerak karena cuping hidungnya yang tipis kembang-kempis, napas halus yang keluar masuk agak berdesis. Bibirnya tersenyum! Ya, bibir yang manis, merah basah itu tersenyum, akan tetapi senyum yang bagaimana! senyum maut! Senyum yang sama sekali bukan menyejukkan hati pemandangnya, melainkan senyum yang membayangkan ancaman maut, yang dingin seperti air wayu, Dagunya agak berlekuk karena ditarik keras dalam kemarahannya, kedua tangannya mengepal tinju.

Endang Patibroto marah sekali. Apalagi ketika ia mengenal laki-laki yang pernah ia jumpai di dekat Telaga Sarangan, yang pernah ia serang dengan panah tangan namun gagal, laki-laki yang mengawani seorang gadis jelita, agaknya kekasih si gadis jelita yang menjadi korban anak panahnya. Sekarang, dalam adu tenaga ia sampai dibikin jatuh terguling-guling oleh bocah ini!

Joko Wandiro tadinya terheran-heran, juga kagum dan penasaran ketika mendapat kenyataan bahwa yang penyerangnya demikian dahsyat dan ganas adalah seorang wanita muda yang cantik jelita seperti bidadari. Akan tetapi kekagumannya segera berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap ketika ia mengenal wanita itu. Inilah dia wanita iblis yang pernah merobohkan Ayu Candra dengan serangan anak panah tangan! Inilah dia wanita iblis yang selain memanah mati harimau dan melukai Ayu Candra, juga pernah menyerangnya dengan panah tangan, dan kini tiada hujan tiada angin menyerangnya dengan pukulan maut yang demikian dahsyatnya!

"Kau! Perempuan keji....!"

"Kau! Bocah keparat!"

Keduanya memaki hampir berbareng, disusul gerakan tubuh mereka menerjang maju. Hebat sekali terjangan kedua orang muda ini dan berbareng mereka berseru kaget karena loncatan mereka itu serupa benar gayanya. Gaya dari aji meringankan tubuh Bayu Tantra dan ketika mereka berdua menampar ke depan, keduanya secara kebetulan sekali juga menggunakan aji yang sama, yaitu tamparan dengan jari-jari tangan, Aji Pethit Nogo! Kembali mereka mengadu tenaga dan keduanya terpental ke belakang oleh getaran jari tangan mereka yang mengandung tenaga sakti yang sama kuatnya!

Karena terkejut dan terheran betapa lawan masing masing memiiiki aji yang sama, sejenak keduanya hanya saling pandang dan saling melotot, seakan-akan hendak melanjutkan pertandingan itu bukan dengan kepalan dan kesaktian lagi, melainkan dengan saling menusuk dan menelan melalui pandang mata!. Saat ini dipergunakan oleh Pangeran Panjirawit dan adiknya, Puteri Mayagaluh. Pangeran Panjirawit melompat maju dan memegang kedua lengan Endang Patibroto dari belakang, sedangkan Puteri Mayagaluh juga menghampiri Joko Wandiro dan memegang lengannya.

"Joko Wandiro, sabar dulu, dia itu adalah kepala pengawalku, Endang Patibroto!" kata Puteri Mayagaluh dengan suara halus dan menarik-narik lengan Joko Wandiro yang ia rasakan amat keras macam baja saja pada saat itu.

"Endang, sabarlah. Dia bukan musuh, dia malah penolong diajeng Mayagaluh. tenangkan hatimu, padamkan kemarahanmu" kata Pangeran Panjirawit sambil menarik tangan Endang Patibroto.

"Kau....Endang Patibroto....?"

Joko Wandiro membelalakkan matanya, berseru dengan suara gagap. Endang Patibroto tersenyum mengejek, dan tiba-tiba dara perkasa ini tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tak ditutup-tutupinya lagi dan inilah kebiasaan dara murid Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi dasar dara cantik manis, biarpun tertawa secara terlepas seperti itu, tetap saja masih menarik dan menggairahkan.

"Hi-hi-hi-hik! Jadi engkau ini Joko Wandiro bocah bengkring (berpenyakitan) seperti cacing dahulu itu? Hi hi-hik! Kiraku masih berada di Sempu sambil menimang-nimang golek kencanamu!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Wajah Joko Wandiro menjadi merah sekali. Pantas saja ketika dahulu di telaga Sarangan menyerangnya dan Ayu Candra, ia merasa kenal baik dengan wanita ini. Kiranya Endang Patibroto si bocah nakal! Dan kini tidaklah aneh baginya kalau Endang Patibroto menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala.

Kiranya gadis ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, yang memiliki kedigdayaan yang hebat, yang dahsyat dan yang amat ganas. Kalau tadi ketika diserang pertama kali ia tidak mempergunakan Bojro Dahono untuk menangkis, tentu sekarang ia telah menjadi mayat! la diam-diam bergidik.

Mengapa puteri ayah angkatnya kini menjadi seperti ini? Mengapa sifatnya menjadi ganas dan keji, mudah menurunkan tangan maut kepada orang yang baru saja dijumpainya? Memang harus ia akui, Endang Patibroto sekarang amat cantik jelita, di dalam keganasannya itu bersembunyi kecantikan dan keluwesan yang aseli, tidak dibuat-buat, kecantikan seekor harimau betina yang kuat dan indah, kegagahan seekor kuda betina liar, dengan tubuh yang lemas tapi kuat, bergoyang-goyang lemas seperti ular sawah kembang.

"Endang, tak kusangka bertemu denganmu di sini. Dan sungguh tak pernah kusangka bahwa engkaulah yang begitu keji menyerangku dengan panah tangan di Telaga Sarangan dahulu "

"Hemm, kau mau apa? Gadis cantik itu tentu telah mampus! Dan kau sakit hati? Hendak membalas? Boleh!" Endang Patibroto terus saja menantang dan melangkah maju hendak menyerang!

Teringat ia betapa ibu kandung Joko Wandiro telah membunuh ayah kandungnya, dan biarpun ia telah membalas, telah membunuh Listyokumolo untuk membalas kematian ayahnya, namun pemuda ini tentu saja menjadi musuh besarnya Ayahnya sebelum mati berpesan menjodohkan dia dengan bocah ini? Ah, begitu bertemu untuk pertama kalinya telah bermusuhan, mana bisa menjadi jodoh?

"Ah, Endang Patibroto, bersabarlah engkau. Orang muda ini sudah menolong dan menyelamatkan diajeng Mayagaluh, bukan musuh kita."

Pangeran Panjirawit menarik lengan Endang Patibroto dan gadis ini betapapun juga tidak berani untuk membantah. Ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot dan menantang. Mayagaluh lalu menceritakan dengan singkat semua pengalamannya dan betapa Joko Wandiro menolongnya. Ketika bercerita tentang Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjirawit kelihatan terkejut.

"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dan sini. Sungguh tidak baik kalau sampai aku bertemu dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Joko Wandiro, aku mengucapkan banyak terima kasih atas semua budi pertolonganmu kepada adikku Puteri Mayagaluh. Kalau kau suka, Joko Wandiro, marilah kau lkut bersama kami ke Jenggala. Kanjeng rama prabu tentu akan suka sekali mendengar tentang jasamu dan kau tentu akan diberi kedudukan tinggi di Jenggala."

Puteri Mayagaluh juga melangkah maju dan berkata sambil tersenyum, "Betul Apa yang dikatakan kakangmas Panjirawit, Joko. Marilah kau ikut bersama kami ke Jenggala." Ia menoleh kepada Endang Patibroto yang masih cemberut sambil tersenyum dan berkata. "Kebetulan sekali agaknya kau sudah mengenal Endang sejak kecil. Pertengkaran sedikit antara kalian lebih baik dilupakan saja dan aku percaya, kalian berdua akan dapat menjadi eh, sahabat-sahabat baik yang baik sekali...!"

Joko Wandiro menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, sedangkan Endang Patibroto memandang dengan makin marah. Pemuda itu menggeleng kepala dan berkata dengan hormat, "Beribu terima kasih hamba haturkan kepada gusti pangeran dan gusti puteri berdua. Akan tetapi hamba mempunyai banyak urusan lain. Kelak masih banyak waktunya hamba menghadap paduka, apabila keadaan mengijinkan."

Melihat keadaan Joko Wandiro, pangeran itu maklum bahwa ia tidak akan mungkin dapat membujuk seorang satria seperti ini, maka ia lalu berkata, "Kalau begitu, biarlah lain kali kami menanti kunjunganmu ke Jenggala. Mayagaluh, Endang, mari kita berangkat, jangan sampai bertemu dengan orang-orang Panjalu!"

Ketiga orang muda itu meloncat naik ke atas kuda dan tiga ekor kuda itu lari ke arah timur. Puteri Mayagaluh untuk penghabisan kali melempar kerling dan senyum manis kepada Joko Wandiro, akan tetapi Joko Wandiro yang tadinya tersenyum mesra pula memandang puteri yang pernah dicium pipinya itu, tiba-tiba membuang muka karena melihat Endang Patibroto juga menoleh dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh ejekan!

Setelah bayangan ketiga orang itu lenyap dan derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi, barulah Joko Wandiro menaiki kudanya dan menjalankan kudanya ke barat. Tiada habis heran hatinya mengenangkan Endang Patibroto. Gadis itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Kalau ia ingat akan benturan tangan dua kali tadi, ia yakin bahwa ilmu kesaktian gadis itu jauh tinggi daripada ilmu orang-orang yang pernah menjadi lawannya. Jauh lebin tinggi dari kepandaian Wirokolo atau Ni Durgogini serta Ni Nogogini digabung menjadi satu!

Kalau mengingat bahwa gadis itu adalah puteri ayah angkatnya, ia girang dengan kehebatan itu. Akan tetapi kalau teringat akan sifat-sifat ganas dan keji itu, ia mengerutkan kening dan menarik napas panjang berulang-ulang.

Kemudian pemuda ini lalu mempercepat perjalanannya menuju ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, dengan perasaan bercampur aduk. la merasa girang kalau membayangkan betapa ia akan bertemu dengan ayah angkatnya. Betapapun juga, ia harus mengakui bahwa sampai sekarangpun ia masih menganggap Pujo sebagai ayah sendiri yang amat dicintainya.

Di antara orang-orang tua di dunia ini, Pujolah orang pertama yang ia cinta dan hormati, baru kemudian gurunya, Ki Patih Narotama, dan kakek gurunya, Resi Bhargowo. Ayah bunda kandungnya sendiri tidak begitu dekat dengan hatinya karena semenjak kecil ia tak pernah melihat mereka Lagi. Akan tetapi kalau teringat bahwa ibu kandungnya tewas dalam usaha mencari Pujo, kegirangan hatinya akan bertemu dengan ayah angkatnya itu menipis terganti rasa khawatir dan tegang.

Atas petunjuk para penduduk yang berdekatan, akhirnya ia sampai juga di Bayuwismo dan melihat sebuah pondok yang menyendiri di tepi pantai itu. Hatinya berdebar keras ketika ia meloncat turun dari kuda dan penuh selidik ia memandang kepada dua orang wanita yang keluar dari dalam pondok. Ia segera mengenal dua orang wanita itu, yang seorang adalah Kartikosari ibu kandung Endang Patibroto dan yang kedua adalah bibinya, Roro Luhito adik kandung mendiang ayahnya. Segera ia menghampiri mereka dan memben hormat dengan wajah berseri.

"Bibi kartikosari dan bibi Roro Luhito, saya Joko Wandiro, kiranya bibi berdua belum lupa kepada saya," kata Joko Wandiro ketika melihat dua orang wanita itu rnemandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti melihat setan, dan disangkanya bahwa dua orang bibinya itu pangling (lupa) kepadanya.

Tiba-tiba Kartikosari membalikkan tubuhnya dan masuk lagi ke dalam pondok tanpa berkata sesuatu, sedangkan Roro Luhito lalu menubruk dan merangkul Joko Wandiro sambil menangis sesenggukan! Tentu saja hal ini membuat Joko Wandiro terkejut sekali. Memang hatinya sudah merasa tidak enak dalam perjalanan ke tempat ini dan telah menduga hal-hal yang tidak baik. Melihat sikap kedua orang wanita ini ia berdebar dan merasa cemas sekali.

"Bibi Roro Luhito....apakah yang terjadi, bibi? Ada apakah? Harap bibi memberi tahu kepada saya..."

BADAI LAUT SELATAN JILID 31


Badai Laut Selatan Jilid 30

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 30

Kalau tadi ia hanya berusaha mengalahkan dan menaklukkan pemuda itu, kini ia menyerang sungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kebetulan lima orang perwira juga sudah maju lagi mengurung sehingga keadaan Joko Wandiro benar-benar terancam.

"Paman sekalian sungguh terlalu, mendesak-desak tanpa memberi kesempatan kepadaku. Kuharap paman suka membiarkan aku mengantar sang puteri kembali ke Jenggala."

"Tak perlu banyak cakap!" bentak seorang perwira.

Sesabar-sabarnya orang, tentu ada batasnya Joko Wandiro sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para perwira Panjalu yang ia tahu adalah orang orang gagah perkasa dan perajurit perajurit utama ini, lebih-lebih lagi ia tidak ingin bermusuhan dengan Ki Darmobroto, calon ayah mertua Ayu Candra yang sedang di cari carinya itu!

Akan tetapi ia pun tidak mungkin membiarkan Sang Puteri Mayagaluh menjadi tawanan, karena perang di antara kedua kerajaan kakak beradik itu sebetulnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi sang puteri. la menganggap tidak semestinya dan amat curanglah kalau mempergunakan permusuhan kerajaan itu untuk menyeret seorang gadis muda menjadi tawanan. Melihat betapa kini kuda yang ditunggangi Puteri Mayagaluh kembali sudah dituntun dan dibedalkan cepat oleh si perwira berrkumis, kesabarannya lenyap.

"Paman-paman sekalian, sekali lagi hamba minta bebaskanlah sang puteri. Kalau tidak, terpaksa hamba berlaku kurang hormat!" Sengaja ia merendahkan diri kali ini.

"Joko Wandiro! Dengan berpihak kepada Jenggala, engkau menjadi pengkhianat dan menjadi musuh kami!" bentak seorang perwira dan mereka yang dipimpin oleh Ki Darmobroto yang sakti itu sudah menerjang maju bersama.

"Kalau begitu, terimalah ini!" Joko Wandiro mengeluarkan bentakan nyaring sekali, pekik dahsyat yang bukan menyerupai suara manusia lagi.

Pekik dahsyat ini mengiringi dorongan kedua tangannya yang bergerak mendorong sambil membuat lingkaran kearah pengeroyoknya. Inilah pekik Dirodo Melu (Gajah Mengamuk) yang mengiringi Aji Bojro Dahono (Kilat Berapi) sebuah pukulan sakti yang dahulu pernah membuat Ki Patih Narotama terkenal! Hebat bukan main daya serangnya, baru pekik dahsyat itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan kuat yang tergetar jantungnya dan terbang semangatnya, apalagi aji pukulan yang mendatangkan angin lesus dan panasnya kilat menyambar itu.

Tubuh lima orang perwira Panjalu terlempar ke sana ke mari dalam keadaan pingsan! Hanya Ki Darmobroto yang dapat mempertahankan diri, hanya terhuyung-huyung sampai beberapa meter jauhnya, mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin. Masih untung bahwa pemuda itu tidak bermaksud mencelakai mereka, dan hanya mempergunakan tenaga terbatas saja.

Kalau tidak, tentu mereka semua termasuk Ki Darmobroto, akan tewas semua. Kakek itu berdiri terbelalak, menarik napas panjang berkali-kali untuk menghimpun tenaga memulihkan keadaan tubuhnya, memandang tubuh Joko Wandiro yang berkelebat cepat lari mengejar sang puteri yang dilarikan.

Kemudian Ki Darmobroto menggeleng geleng kepalanya dan berkata seorang diri, "Dari mana gerangan datang seorang muda yang begini hebat? Kalau pihak Jenggala memiliki jago muda seperti ini.... ahh, tiada harapan bagi Panjalu agaknya....!"

Karena merasa tidak akan mampu melawan Joko Wandiro, Ki Darmobroto tidak mengejar, melainkan segera memberi pertolongan kepada para perwira yang masih pingsan. Ternyata Sang Puteri Mayagaluh telah dilarikan jauh sekali oleh perwira berkumis tadi. Joko Wandiro menjadi bingung ketika tidak melihat bayangan mereka. Terpaksa ia beberapa kali meloncat naik ke atas pohon tinggi untuk melihat ke sekeliling. Setelah berlari-lari cepat dan meloncat ke atas beberapa batang pohon tinggi besar, akhirnya ia melihat banyak sekali pernunggang kuda berkumpul di tempat jauh.

Ia menjadi girang akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Puteri Mayagaluh, lalu meloncat turun dan cepat-cepat mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar ke tempat yang tampak dari atas itu. Dia seorang yang amat berhati-hati. Begitu dekat dengan tempat itu, ia tidak langsung memperlihatkan diri. Melihat banyak sekali orang di situ, ia lalu menyelinap dan bersembunyi, memandang penuh perhatian.

Kaget dan heranlah ia melihat betapa sang puteri tadi kini menangis di atas dada seorang pemuda tampan yang menghiburnya dengan ucapan dan belaian mesra, kemudian pemuda tampan itu menghardik kepada perwira berkumis yang berlutut dan menyembah-nyembah di depannya,

"Manusia lancang! Berani sekali kau menghina diajeng Mayagaluh? Biarpun kerajaan kita bermusuh dengan kerajaan paman di Jenggala, akan tetapi musuhmu adalah perajurit-perajurit Jenggala, bukan diajeng Mayagaluh! Laki-laki macam apa engkau ini? Pengawal, hajar dia dengan sepuluh kali cambukan!"

Kasihan juga si perwira berkumis itu. Susah payah ia melarikan Puteri Jenggala dengan harapan mendapat puji dan pahala. Siapa tahu, bukan pahala didapat, melainkan cambukan sepuluh kali. Pengawal yang tubuhnya seperti raksasa itu bertenaga besar. Biarpun hanya sepuluh kali, akan tetapi begitu selesai hukuman itu, si perwira berkumis tak sanggup bangkit lagi dan terpaksa harus digotong pergi dari situ oleh dua orang perajurit.

Melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduga-duganya ini, hati Joko Wandiro menjadi girang sekali. Siapakah pemuda itu? Apakah sang pangeran kakak Puteri Mayagaluh yang disebut-sebut oleh gadis bangsawan itu tadi? Bersama para pengawalnya? Akan tetapi, mengapa ucapan pemuda bangsawan itu demikian?

Saking herannya dan karena menduga bahwa tak perlu lagi ia bersembunyi, ia lalu meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berjalan menghampiri tempat itu. Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal, belasan orang pengawal segera maju dan sebentar saja Joko Wandiro sudah dikurung. Akan tetapi terdengar seruan Puteri Mayagaluh.

"Tahan! Dia adalah penolongku. Eh Joko Wandiro ke sinilah engkau. Jangan takut, ini adalah kakangmas Pangeran Darmokusumo!"

Joko Wandiro cepat menghampiri puteri itu dan para pengawal yang mendengar seruan Puteri Mayagaluh memberi jalan kepadanya. Puteri itu kini berpaling kepadanya dan berkata, "Joko Wandiro, kakangmas Pangeran Darmokusumo ini adalah pangeran dari Panjalu, kakak misan saya."

Joko Wandiro terkejut, heran, akan tetapi juga girang hatinya. Kiranya pangeran ini tidak sepicik anak buahnya dan bersikap baik terhadap Puteri Jenggala. Maka ia lalu cepat menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Pangeran Darmokusumo adalah putera sang prabu di Panjalu dari selir, berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sekali dan sikapnya agung.

Ketika Kerajaan Kahuripan belum terpecah dahulu, yaitu ketika kakek mereka Sang Prabu Airlangga belum meninggal dunia, para pangeran dan puteri cucu Sang Prabu Airlangga masih tinggal menjadi satu dalam lingkungan keraton. Biarpun banyak di antara mereka sudah terbawa dalam permusuhan ayah mereka, namun antara Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh telah terdapat hubungan yang amat akrab. Bahkan diam-diam kedua orang muda ini saling mencinta.

Ketika kerajaan terpecah, mereka terpaksa saling berpisah dan dengan hati sedih kedua orang muda ini melihat betapa ayah mereka saling bermusuhan. Tentu saja sebagai anak, mereka harus berfihak kepada ayah dan kerajaan masing masing, namun di lubuk hati mereka ini tak dapat saling melupakan. Maka pertemuan di dalam hutan, pertemuan yang tak disangka-sangka antara dua hati yang saling dipisahkan ini merupakan pertemuan mengharukan dan mesra.

Biarpun mereka dahulu belum pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih masing-masing, dalam pertemuan ini perasaan itu tertumpah dan tadi mereka saling peluk tanpa malu-malu lagi. Pangeran Darmokusumo ketika mendengar nama Joko Wandiro, sudah terkejut dan memandang penuh perhatian. Kini melihat pemuda yang kelihatannya sederhana itu menghaturkan sembah, ia bertanya, suaranya halus namun mengandung wibawa,

"Joko Wandiro namamu? Bukankah engkau ini satria yang pernah menghadap ramanda prabu dan yang telah mengusir mundur Ni Durgogini dan Ni Nogogini dari Panjalu?"

"Benar seperti yang paduka katakan gusti pangeran."

"Joko Wandiro, kau pernah menghadap ramanda prabu hendak mengabdikan diri, sekarang engkau melakukan perlawanan terhadap perajurit-perajurit Panjalu. Apakah hal ini berarti bahwa engkau kini telah berpihak kepada Jenggala?"

"Tidak, dalam peristiwa ini hamba sama sekali tidak mengingat tentang kerajaan manapun. Hamba hanya melihat seorang wanita yang hendak dibawa secara paksa oleh serombongan pria yang mempergunakan kekerasan. Andaikata wanita itu bukan kebetulan sang puteri dari Jenggala, sekalipun seorang gadis dusun, sudah pasti hamba juga akan turun tangan membelanya. Sebaliknya, andaikata rombongan pria itu bukan perajurit-perajurit Panjalu, misalnya mereka itu para perajurit Jenggala yang mengganggu seorang puteri Panjalu, hambapun tentu akan bertindak mencegah dan menentang mereka."

Senyum kagum menghias wajah tampan itu dan sepasang mata Pangeran Darmokusumo bersinar-sinar, kemudian ia mengangguk-angguk dan menoleh ke arah Puteri Mayagaluh dan berkata, "Diajeng Mayagaluh, sungguh bahagia sekali engkau mendapatkan seorang penolong seperti satria bagus ini."

Kemudian ia memandang Joko Wandiro dan berkata halus, "Joko Wandiro, aku sudah mendengar tentang pertolonganmu kepada sang puteri dari tangan perampok jahat. Sebagai kakak misannya, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan harap kau jangan kepalang dalam melepas budi kepada kami keluarga yang tak bahagia. Antarkan diajeng Mayagaluh sampai selamat ke Jenggala."

Joko Wandiro menyembah, hatinya kagum terhadap pangeran ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat menghambakan diri kepada seorang junjungan yang bijaksana seperti Pangeran Panjalu ini.

"Memang sudah hamba janjikan kepada gusti puteri untuk mengantar beliau pulang ke Jenggala. Kewajiban ini hamba sekali-kali tidak menganggap sebagai pertolongan, maka harap paduka jangan memuji hamba terlalu tinggi."

Pada saat itu, Ki Darmobroto dan perwira Panjalu yang tadi mengejar sudah tiba di tempat itu. Para perwira masih lemah dan pucat akibat pukulan Bojro Dahono dan mereka hanya dapat menundukkan muka ketika ditegur oleh sang pangeran. Akan tetapi pangeran ini hanya bertanya dengan suara halus kepada Ki Darmobroto,

"Paman Darmobroto, mengapa pula paman mencampuri pertandingan antara Joko Wandiro dan perwira-perwira Panjalu yang kurang ajar ini?"

Ki Darmokusumo menghaturkan sembah lalu menjawab, suaranya tenang karena ia merasa dalam kebenaran, "Hamba hanya melihat para perwira Panjalu bertanding melawan orang muda yang sakti ini dan sebagai seorang hamba Panjalu tentu saja hamba tidak dapat tinggal diam. Menyesal sekali bahwa kepandaian hamba tidak ada artinya sehingga biarpun hamba bantu, para perwira paduka tetap saja mengalami kekalahan."

Setelah berkata demikian, Ki Darmobroto melirik dengan pandang mata kagum terhadap bekas lawannya yang masih bersimpuh di dekatnya, depan sang pangeran. Mendengar ini, Pangeran Darmokusumo menjadi makin kagum terhadap pemuda itu.

"Joko Wandiro, karena diajeng Mayagaluh telah sesat jalan dan berpisah dari rakandanya Sang Pangeran Panjirawit, maka lebih baik kau lekas-lekas mengantar pulang ke Jenggala agar jangan sampai menggelisahkan keluarganya."

Pangeran itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua ekor kuda pllihan. Setelah dua ekor kuda yang pilihan dipersiapkan, Puteri Mayagaluh sejenak saling pandang dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian sang puteri menangis dan mengeluh, "Kakangmas, mungkinkah kita dapat saling bertemu kembali..."

Pangeran itu tersenyum sedih dan ketika Mayagaluh menangis, ia lalu memeluknya dan mengusap-usap rambutnya yang hitam halus, berbisik-bisik memberi hiburan kepada puteri itu. Betapa hancur hati kedua orang muda yang saling mencinta ini menghadapi kenyataan betapa ramanda mereka saling bermusuhan.

Melihat dua orang itu mengadakan perpisahan yang mengharukan, Joko Wandiro mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Ki Darmobroto dan berkata, "Paman Darmobroto, saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman. Memang saya mempunyai niat untuk mencari paman."

Ki Darmobroto tersenyum. Ia merasa kagum dan suka kepada orang muda ini, yang memiliki kesaktian hebat akan tetapi selalu bersikap rendah hati dan juga tidak sombong, tidak keji.

"Akupun amat senang dapat berkenalan dengan anakmas Joko Wandiro yang sakti mandraguna. Kehormatan Apa gerangan yang hendak anakmas berikan sehingga anakmas bersusah payah mencari pamanmu yang miskin ini?"

Karena ia tahu bahwa berita yang hendak disampaikannya bukan hal yang menggembirakannya, Joko Wandiro mengerutkan keningnya dan mukanya berubah suram. Hal ini tak terlepas dari pandang mata Ki Darmobroto yang awas, maka kakek itu cepat-cepat bertanya, "Ada apakah, anakmas Joko Wandiro?"

"Paman, sungguh berat rasa hati saya untuk menyampaikan berita ini. Paman....secara tak disengaja saya telah menjadi saksi akan kematian paman Adibroto dan.... isterinya, serta mendengar pula pesan terakhir mendiang paman Adibroto."

Ki Darmobroto adalah seorang sakti yang gentur tapa (tekun bertapa), batinnya sudah amat kuat, tidak mudah dipengaruhi suka-duka duniawi. Namun mendengar berita bahwa sahabat baiknya, Ki Adibroto dan isterinya telah meninggal dunia, ia terkejut bukan main sehingga sejenak ia tak dapat berkata-kata. Kemudian ia bertanya, suaranya gemetar,

"Adibroto dan isterinya...meninggal dunia....? Belum lama ini mereka berdua singgah di rumahku...!!"

"Saya menyaksikan kematian paman Adibroto dengan kedua mata saya sendiri, paman. Beliau tewas karena luka-luka yang dideritanya "

"Terbunuh!!" Ki Darmobroto berseru. "Siapa pembunuhnya? Mengapa orang sebaik budi Adibroto dibunuh?"

Joko Wandiro menggeleng kepalanya, hatinya terasa perih. Diam-diam ia menduga bahwa kematian Ki Adibroto dan isterinya, atau ibu kandungnya sendiri, tentu ada hubungannya dengan Pujo, guru dan ayah angkatnya. Hal inilah yang membuat hatinya sangat berduka setiap kali ia teringat.

"Saya tidak tahu, paman. Paman Adibroto tidak mengatakan apa-apa, hanya meninggalkan pesan kepada.... Ayu Candra bahwa bahwa Ayu Candra telah dijodohkan dengan putera paman yang bernama Joko Seto."

"Betul sekali. Di mana kini adanya nini Ayu Candra? Kasihan sekali anak itu, kehilangan ayah bundanya!"

Kemudian kakek itu teringat sesuatu dan bertanya, memandang penuh selidik,
"Anakmas Joko Wandiro, bagaimana anakmas dapat menyaksikan itu semua? Kenalkah anda dengan keluarga itu?"

Joko Wandiro merasa berat untuk membentangkan semua keadaannya. Ia hanya menggeleng kepala dan menjawab, "Secara kebetulan saja saya lewat di Telaga Sarangan dan menyaksikan hal itu. Adapun....diajeng Ayu Candra telah pergi, saya sendiri tidak tahu ke mana, bahkan sekarangpun sebenarnya saya sedang mencarinya dengan maksud mengantarnya ke Merbabu, ke tempat tinggal paman."

"Mengapa pergi? Kemana ?"

"Saya tidak tahu, paman. Mungkin pergi mencari musuh yang telah menewaskan paman Adibroto dan isterinya, padahal dia sendiripun tidak tahu siapa musuhnya itu dan paman Adibroto sudah berpesan agar jangan membalas dendam, jangan mencari musuh."

Ki Darmobroto masih ingin banyak bertanya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Puteri Mayagaluh, "Joko Wandiro, sudah siapkah engkau? Mari kita berangkat!"

Joko Wandiro bangkit berdiri lalu berpamit kepada Pangeran Darmokusomo, kemudian meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuknya, lalu bersama Puteri Mayagaluh yang sudah naik ke atas kuda pula meninggalkan tempat itu.

Sang puteri beberapa kali menengok dan bertukar pandang mesra dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian setelah mereka berbelok pada sebuah tikungan, sang puteri menghapus air mata dari pipinya dengan tangan.

"Gusti Pangeran Darmokusumo sungguh seorang yang berbudi luhur!" Joko Wandiro berkata perlahan.

Sang puteri terkejut dan mengangkat muka memandang kepada pemuda yang menjalankan kuda di sebelah kirinya, lalu memaksa senyum. Senyum yang amat cerah sehingga lenyaplah semua kedukaan dan kekecewaan.

"Mengapa kau berkata demikian, Joko Wandiro?"

"Mengapa? Hamba memuji gusti pangeran dari Panjalu itu, dan memang sepatutnya dipuji."

"Hemm, tiada hujan tiada angin engkau memuji-mujinya di depanku. Apa yang tersembunyi di balik kata-katamu, orang muda?"

Joko Wandiro menjadi merah mukanya. Kiranya sang puteri amat peka perasaannya, seakan-akan dapat menjenguk dan mengintai isi hatinya.

"Maaf, gusti puteri. Hamba eh, hamba kira eh, gusti pangeran amat sayang kepada paduka dan... eh, memang sepadan benar. Sayang sekali, ramanda paduka berdua tak dapat hidup berdampingan dalam suasana damai."

Mendengar ini, sang puteri menarik napas panjang. "Matamu awas benar, Joko Wandiro. Memang...." Puteri jelita itu menunduk malu, "kangmas Pangeran Darmokusumo amat sayang kepadaku, semenjak dahulu sayang "

Melihat wajah yang jelita itu kembali terselubung awan kedukaan, cepat-cepat Joko Wandiro berkata, "Sesungguhnya hamba heran sekali, bagaimanakah paduka sampai dapat melakukan perjalanan begini jauhnya? Kalau boleh hamba bertanya, paduka bersama rakanda paduka dan pengawal, hendak pergi ke manakah?"

"Ah, ini gara-gara kakanda Pangeran Panjirawit yang selalu menuruti semua kehendak Endang Patibroto!" Sang puteri menarik napas panjang lalu menyambung lirih, "Orang kalau sudah jatuh cinta...ah, aneh-aneh saja kelakuannya...!"

Akan tetapi ketika sang puteri menengok dan memandang kepada Joko Wandiro, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan melihat dia telah berubah menjadi benda yang menakjubkan. Seketika wajah sang puteri menjadi merah sekali, teringat betapa pemuda ini ketika menolongnya dari tangan perampok, telah mencium pipinya! Hal itu telah ia maafkan mengingat bahwa ia telah terbebas daripada bahaya mengerikan, tertolong oleh pemuda ini. Akan tetapi kini melihat betapa joko Wandiro memandangnya seperti itu, ia cepat cepat berkata,

"Kakanda Pangeran Panjirawit jatuh cinta kepada pengawal kami Endang Patibroto sedangkan aku...aku...dan kakangmas Pangeran Darmokusumo juga saling....eh, mencinta. Entah siapa di antara kami yang gagal kelak!"

la menundukkan mukanya. Puteri ini dengan bijaksana memaksa diri menyatakan cinta kasihnya kepada Pangeran Darmokusumo untuk mengusir perasaan yang bukan-bukan dari dalam hati pemuda penolongnya yang amat ia kagumi ini.

Joko Wandiro seperti baru sadar daripada mimpi buruk. Ucapan terakhir ini hanya lewat saja di telinganya dan dianggapnya tidak ada artinya. la tadi begitu kaget mendengar nama Endang Patibroto disebut-sebut. Sebagai kepala pengawal! Kepala pengawal Kerajaan Jenggala lagi! la begitu heran mendengar ini sampai tadi terlongong dan disalah artikan oleh sang puteri. Untuk memulihkan lagi ketenangannya, Joko Wandiro terbatuk-batuk.

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba melamun tadi. Jadi paduka pergi bertiga bersama rakanda paduka dan kepala pengawal yang bernama Endang Patibroto? Kepala pengawal seorang wanita?"

Sang puteri tertawa. Sikap dan kata-kata pemuda ini sudah kembali biasa dan hatinya menjadi lega karenanya. Ia tadinya khawatir kalau-kalau pemuda ini tak mampu menguasai hatinya. la akan merasa berduka sekali kalau sampai pemuda ini menjadi korban asmara karena dia. Kembali Lagi kegembiraan sang puteri. Ia tertawa sehingga tampak giginya berderet putih seperti mutiara.

"Ah, engkau tidak tahu, Joko Wandiro. Memang Endang Patibroto seorang wanita, akan tetapi wah, wanita yang bagaimana! Sakti mandraguna pilih tanding. Cantik jelita dan muda belia, akan tetapi kiraku orang senegara tidak ada yang akan dapat menandinginya. Dibandingkan dengan engkau, Joko Wandiro eh betul juga kalian ini!"

Sepasang mata yang indah bening seperti burung nun itu bersinar-sinar, wajah yang kedua pipinya kemerahan berseri-seri. Joko Wandiro tersenyum dan mengeluh dalam hati. Puteri ini lincah, gembira, dan nakal! Namun ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya, "Apa yang paduka maksudkan?"

"Kau tunggu saja sampai kau berjumpa dengan orangnya, Joko Wandiro! Ah, kalau saja kami mempunyai sepasang jagoan seperti kalian!"

Kini wajah Joko Wandiro yagg menjadi merah dan jantungnya berdebar aneh. Endang Patibroto! Hampir ia lupa Lagi bagaimana wajahnya. Sudah terlalu lama ia berpisah dengan anak itu. Anak yang nakal sekali! Puteri ayah angkatnya. terbayang di dalam ingatannya betapa dahulu seringkali ia bertengkar dengan anak perempuan itu. Dan sekarang telah menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala!

Bagaimana mungkin ini? Ayah angkatnya, Pujo dan juga eyangnya, Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo, adalah pembela-pembela Kerajaan Panjalu, seperti juga gurunya, Ki Patih Narotama. Bagaimana sekarang Endang Patibroto bisa menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala?

Teringat pula ia akan peristiwa di Pulau Sempu, ketika eyang mereka, Sang Resi Bhargowo, menyerahkan pusaka Mataram kepada mereka. Makin merah mukanya ketika ia teringat betapa Endang Patibroto anak nakal itu memilih keris pusaka yang luar biasa ampuhnya, sedangkan ia mendapat bagian warangkanya, yaitu patung kencana yang ia simpan dalam cabang pohon randu alas yang besar di Pulau Sempu. Semua ini terbayang dalam ingatannya dan membuatnya termenung.

"Sayang aku terpisah dari mereka," terdengar pula suara sang puteri yang menyeret kembali kesadaran Joko Wandiro.

"Paduka bertiga tadinya hendak pergi ke manakah?"

"Ah, kami berdua terbawa oleh Endang Patibroto yang katanya hendak pergi mencari ibunya di Bayuwismo."

"Bayuwismo??"

Seruan Joko Wandiro ini membuat sang puteri memandang tajam kepadanya. "Apakah engkau sudah tahu di mana letaknya Bayuwismo?"

"Hamba belum pernah ke sana, akan tetapi hamba dapat mengantar paduka ke sana. Memang seyogyanya, kalau paduka tidak keberatan, kita pergi saja ke Bayuwismo, hamba rasa paduka akan dapat bertemu dengan mereka di sana atau di tengah jalan."

"Bagus! Begitu lebih baik, karena tidak enak juga rasanya kalau aku pulang sendiri tanpa rakanda Panjirawit dan Endang Patibroto. Jauhkah Bayuwismo dari sini, Joko Wandiro?"

"Hamba rasa tidak begitu jauh lagi, gusti," kata Joko Wandiro dengan hati berdebar.

Mengapa begini kebetulan, pikirnya. ibu kandungnya, diantar oleh Ki Adibroto, pergi mencari dia dan mudah diduga bahwa ibu kandungnya tentu hendak mencari Pujo, ayah angkatnya yang dahulu telah menculiknya. Sangat boleh jadi Ki Adibroto dan isterinya itu pergi ke Bayuwismo. Dan Endang Patibroto, yang menurut penuturan Sang Puteri Mayagaluh kini merupakan seorang yang sakti mandraguna, telah pergi pula ke Bayuwismo.

Lalu terjadi ibu kandungnya dan Ki Adibroto tewas di tangan musuh! la harus segera pergi ke Bayuwismo, menemui ayah angkatnya, mencari tahu perihal kematian ibu kandungnya. Diam-diam ia menjerit kepada Dewata dengan harapan semoga ibu kandungnya tidak terbunuh oleh Pujo, karena kalau hal itu terjadi, ia tidak tahu Apa yang harus ia perbuat!

"Duh, Hyang Maha Wisesa, lindungilah hamba-Mu daripada malapetaka itu...." keluhnya.

"Kau bicara Apa, Joko Wandiro?" Sang puteri yang melihat gerak bibirnya tanpa mendengar suara, bertanya

"Ohh hamba hendak mengatakan bahwa lebih baik kita segera berangkat sekarang agar jangan kemalaman di tengah hutan, gusti."

"Baiklah, Joko Wandiro. Mari!" Sang puteri lalu menyendal kudanya dan membalapkan kudanya menuju ke barat.

********************


Dengan hati uring-uringan Endang Patibroto meninggalkan ibu kandungnya. Ia membalapkan kudanya dengan cemberut, pandang matanya menyala-nyala dan hatinya kecewa sekali. Bertahun-tahun ia tidak bertemu lbunya dan merasa amat rindu kepada ibunya. Baru saja bertemu, ia telah ditinggal mati ayah kandungnya.

Kemudian, ibu kandungnya sendiri marah-marah kepadanya, hendak memaksanya meninggalkan Jenggala, bahkan ibunya telah menyerangnya dengan keris, hendak membunuhnya. Ibu kandungnya sendiri, Ingin sekali Endang Patibroto menangis dan menjerit-jerit, akan tetapi hatinya yang sudah menerima gemblengan gurunya, Dibyo Mamangkoro, sudah membeku dan tidak ada setitikpun air mata di pelupuk matanya.

"Endang....! Endang Patibroto...! Kau tunggulah aku!"

Berkali-kali Pangeran Panjirawit berteriak sambil mengejar. Diam-diam pangeran inipun merasa prihatin sekali. Sebagai seorang pangeran, ia maklum pula akan segala peristiwa di Bayuwismo tadi. Sebagai seorang satria, iapun tidak bisa menyalahkan ibu Endang Patibroto yang berjiwa satria. Dan sebagai seorang pria yang amat mencinta Endang Patibroto, iapun maklum betapa hancur hati dara perkasa yang dicintanya itu. Akan tetapi Endang Patibroto yang sedang marah-marah itu tidak memperdulikan panggilan sang pangeran. Bahkan ia tidak memperdulikan kudanya yang sudah terengah-engah hampir putus napasnya dan sudah bermandi peluh karena dilarikan kencang terus-menerus tak kunjung henti.

Tiba-tiba dari depan nampak tiga orang penunggang kuda. Mereka itu bukan lain kepala rampok yang kemarin dulu telah menawan Puteri Mayagaluh. Setelah berhasil diusir oleh Joko Wandiro, kepala rampok ini melarikan diri di atas kuda tunggangan Sang Puteri Mayagaluh. Akan tetapi hatinya masih penasaran karena puteri yang cantik jelita dan yang bagaikan sepotong daging telah berada di depan mulutnya, kini terampas orang lain.

Sengoro, kepala rarnpok ini tidak pergi jauh, yaitu ke tempat persembunyian dua orang kakak seperguruannya yang bernama Kolodumung dan Kolomedo, dua orang kakak beradik yang tentu saja memiliki kesaktian lebih hebat daripada Sengoro sendiri. Setelah menuturkan perihal puteri jelita terutama perhiasan-perhiasan indah yang dipakainya, Sengoro lalu mengajak kedua orang kakak seperguruannya ini untuk melakukan pengejaran. Tentu saja kedua orang jahat itu menjadi tertarik dan segera mereka menunggang kuda lalu bersama Sengoro pergi mencari.

"Nah itu dia agaknya!"

Seru Sengoro ketika melihat di depan seorang dara jelita berpakaian mewah membalapkan kuda yang sudah payah. Hati kedua orang temannya juga girang sekali karena gadis itu benar-benar amat cantik jelita dan perhiasan yang dipakai di kedua tangan dan di pinggangnya sudah berkilauan dan jelas dapat mereka ketahui bahwa perhiasan-perhiasan itu terbuat daripada emas permata yang mahal harganya!

Mereka bertiga sengaja menghadang di tengah jalan sehingga jalan sempit itu penuh dengan tiga ekor kuda mereka. Endang Patibroto sedang marah. Andaikata ia tidak sedang marah sekalipun, ia tentu takkan mengampuni tiga orang yang berani menghadang perjalanannya. Apalagi pada saat itu ia sedang diamuk kemarahan maka dari jauh ia sudah membentak,

"Tiga ekor anjing busuk, minggir!

Akan tetapi tiga orang laki-laki itu sama sekali tidak mau minggir, bahkan Kolodumung segera menggerakkan tangan kanannya dan sinar hitam menyambar ke depan, tepat mengenai kepala kuda yang ditunggangi Endang Patibroto. Kuda itu meringkik keras, mengangkat kaki depan ke atas, terhuyung-huyung lalu roboh dan mati seketika! Untung Endang Patibroto sudah melompat turun sehingga ia tidak terhimpit badan kuda. Tiga orang laki-laki itu tertawa dan melompat turun dari atas kuda pula.

"Ha-ha-ha, kakang berdua! Perempuan yang kumaksudkan bukan ini. Akan tetapi, dia inipun hebat sekali, malah lebih liar daripada yang kumaksudkan!"

"Hua-ha-hah! Bagus kalau begitu, lebih banyak lebih baik" jawab Kolodumung gembira.

Endang Patibroto yang sedang dilanda kemarahan itu kini berdiri dengan mata seakan-akan mengeluarkan api. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahannya, makin menyala-nyala melihat kuda tunggangannya roboh dan tewas. Menurutkan kemarahannya, ingin la sekali turun tangan membunuh tiga orang kasar ini. Akan tetapi pandang matanya tertarik oleh kuda yang ditunggangi Sengoro. Ia mengenal kuda itu sebagai kuda tunggangan Mayagaluh! Kalau kuda itu terjatuh ke dalarn tangan iblis ini, berarti Mayagaluh juga tertawan!

Berdebar keras jantung Endang Patibroto. Betapapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu yang tak baik atas diri sang puteri. Dia adalah pengawal, dan dia pula yang membawa sang puteri sampai ke tempat ini dan harus menyiksa mereka ini dan memaksa mereka mengaku di mana adanya Mayagaluh dan Apa yang terjadi atas diri puteri itu. Karena teringat akan puteri itu maka Endang Patibroto menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Ia menoleh dan melihat sebatang pohon waru di dekatnya.

Tangannya lalu menjangkau dan memetik beberapa helai daun waru, kemudian ia berseru keras sambil menyambitkan daun-daun itu ke depan, "Anjing busuk rasakan ini!

Tiga orang itu tertawa makin lebar melihat betapa Endang Patibroto menyerang mereka dengan sambitan daun-daun waru. Mereka menganggapnya lucu sekali dan tentu saja sebagai orang-orang yang digdaya, mereka sama sekali tidak perdulikan serangan ini. Siapa yang sudi mengelak dari sambaran daun-daun waru, apalagi yang disambitkan oleh seorang wanita ayu? Riuh-rendah mereka tertawa-tawa.

"Huah-hah-hah ha-ha-ha-ha........ haa-uupp!"
"Ha-hauiiihhh!"
"Ha-haduuuhhh!!"

Suara ketawa mereka segera terhenti, muka yang tadinya tertawa-tawa itu kini menyeringai dengan mata terbelalak dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Daun-daun waru menempel di muka dan lengan mereka dan kulit di bawah daun itu keluar darah bertetes-tetes! Saking hebatnya sambitan itu, daun-daun waru kini menempel menjadi satu dengan kulit daging, bahkan ada yang gagangnya menancap sampai dalam seperti paku. Daun yang agak berbulu ini selain menimbulkan sakit dan perih, juga gatal-gatal.

"Perempuan lblis......!!"
"Kuntilanak!"
"Keparat, tunggu kau, kuengkuk-engkuk (tekuk-tekuk) engkau...!"

Rasa kaget, heran, dan kesakitan kini berubah menjadi kemarahan hebat. Tiga orang itu memang orang-orang kasar yang biasanya jarang bertemu tanding, yang selalu dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain mengandalkan kekerasan, sehingga kemenangan-kemenangan itu membuat mereka sombong dan merasa seakan-akan tiada tandingan mereka di dunia ini.

Kini bertemu dengan Endang Patibroto yang hanya seorang dara ayu, biarpun mereka dikejutkan oleh serangan daun waru, namun belum membuka mata mereka bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian jauh iebih tinggi daripada mereka. Serentak ketiganya menerjang maju dengan kedua lengan dikembangkan, jari jari tangan dibuka seperti tiga ekor harimau hendak menerkam seekor domba.

Betapapun marah hati mereka, tiga orang laki-lakl kasar ini masih merasa sayang untuk membunuh seorang dara muda belia yang jelita tu, maka mereka menerjang maju untuk menangkap dan tidak mau menggunakan senjata. Tentu saja Endang Patibroto tidak sudi disergap laki-laki kasar macam mereka. Sekali tangan kirinya bergerak seperti orang menampar dari kanan kiri, tiga orang itu merasa seakan-akan disambar petir, pandang mata berkunang, kepala pening dan tubuh mereka terpelanting kemudian jatuh ke atas tanah!

Masih baik bahwa Endang Patibroto tidak mengerahkan seluruh tenaga dalam aji pukulan Wisang Nolo (Api Beracun) ini, kalau hal itu dilakukannya, tentu mereka bertiga sudah roboh tak bernapas lagi dan dengan tubuh hangus-hangus! Mendapat kenyataan betapa dara itu tanpa menyentuh mereka telah dapat membuat mereka terpelanting, tahulah tiga orang kasar ini bahwa lawannya, biarpun muda belia dan ayu manis, ternyata adalah seorang yang sakti mandraguna, memiliki aji kesaktian tidak lumrah manusia, seperti iblis saja.

Mereka menjadi makin marah akan tetapi kali ini juga gentar, maka sambil melompat bangun, mereka serentak mencabut senjata mereka. Kolodumung memegang senjata cambuk yang berwarna hitam. Cambuk ini terbuat daripada kulit kerbau, ulet dan kuat sekali, dan ujung cambuk dipasangi kaitan baja seperti pancing. Celakalah lawan kalau terkena sambaran kaitan ini, sekali masuk ke dalam daging sukar ditarik keluar lagi. Sambil berteriak-teriak marah Kolodumung memutar cambuknya ke atas kepala dan terdengar suara meledak-ledak keras.

Kolomedo mengeluarkan senjatanya sebatang pedang melengkung yang amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan ketika ia putar-putar dan tenaga yang besar membuat pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing. Juga Sengoro sendiri sudah mencabut goloknya yang besar dan berat.

"Perempuan iblis! Kau mencari mampus sendiri!"

Seru Kolodumung sambil menerjang maju dengan ayunan cambuknya, melecutkan ujung cambuk ke arah leher Endang Patibroto. Alangkah akan mengerikan kalau kaitan baja di ujung cambuk itu mengenai leher yang berkulit kuning halus itu! juga pada detik berikutnya, Kolomedo dan Sengoro sudah menerjang dengan bacokan pedang dan golok dari kanan kiri. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Endang Patibroto tidak sudi melayani tiga orang ini.

Diserang seperti itu, ia sama sekali tidak beranjak pergi dari tempat ia berpijak. Ia hanya mengangkat kedua lengannya ke atas, dengan lengan telanjang ia menerima kaitan baja berikut ujung cambuk itu. Kaitan baja yang menghantam kulit lengannya yang putih halus itu sama sekali tidak membuat lecet kulitnya dan kini ujung cambuk melibat lengannya. Dengan gerakan cepat sekali kedua tangan Endang Patibroto berputar-putar dan pedang serta golok dari kanan kiri telah terlibat oleh cambuk. Begitu ia menarik dengan sentakan keras, tiga orang lawannya terkejut dan terhuyung ke depan.

Endang Patibroto menggerakkan kaki kanan, tiga kali menendang maju dan kembali tiga orang itu terpental ke belakang dengan senjata sudah terampas. Tendangan tadi tepat mengenal kempungan perut mereka sehingga ketika terlempar dan terbanting jatuh, mereka tidak dapat segera bangun berdiri, melainkan merintih-rintih dan bergulingan memegangi perut yang menjadi mulas dan senep!

"Tar-tar-tar!"

Tiga kali cambuk rampasan itu meledak dan ujungnya mematuk tubuh tiga orang itu.

"Aduhh....!"

"Mati aku....!

"Aduhhhh....!!"

Tiga orang itu seperti cacing kepanasan, menggeliat-geliat dan berkelojotan karena kaitan baja di ujung cambuk telah mencokel keluar otot dan daging.

"Hayo katakan, di mana adanya sang puteri??"

Kembali cambuk itu berkelebat dan terdengar suara meledak-ledak di atas kepala tiga orang itu. Dengan penuh kengerian, tiga orang laki-laki kasar yang biasanya sewenang-wenang ini menggunakan kedua lengan menutupi kepala.

"Aku tidak tahu" jawab Kolodumung.

"Kami kakak beradik tidak tahu, tanyalah kepada adi Sengoro ini " kata Kolomedo.

"Tar-tar!" Kolodumung dan Kolomedo menjerit dan menangis tak kuat menahan rasa sakit ketika ujung cambuk itu menggigiti kulit daging muka mereka.

Endang Patibroto menghampiri Sengoro yang kini tanpa malu malu Lagi sudah berlutut dan menyembah-nyernbah. Wajah yang cantik jelita itu kini berubah menjadi kedok, dingin dan kaku.

"Hayo kau katakan, di mana sang puteri dan bagaimana kudanya sampai kau rampas?"

"Ampun.... ampunkan hamba.... dewi!!"

"Tarr!"

"Aduhhh....mati aku....!"

Sengoro bergulingan karena kaitan baja itu sudah menancap di pundaknya dan kaitannya mengait urat besar di pundak!

"Ampun....!!"

"Hayo bilang, benarkah dua orang ini tidak tahu menahu tentang sang puteri?"

"Be....benar....

Endang Patibroto memandang kepada Kolodumung dan Kolomedo yang kini membayangkan kelegaan hati mendengar jawaban adik seperguruan ini. Terbayang senyum di bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu, kemudian Endang Patibroto memegang pedang dan golok rampasan. Sekali ia menggerakkan tangan, pedang dan golok meluncur bagaikan anak panah cepatnya dan...

"Cepp! Cepp!!" Dua buah senjata itu sudah menancap di ulu hati Kolodumung dan Kolomedo sampai menembus ke dalam tanah sehingga dua orang itu tewas seketika. Menyaksikan peristiwa mengerikan menimpa dua orang kakak seperguruannya Sengoro terbelalak ketakutan, mukanya pucat dan dengan tubuh menggigil ia menyembah-nyembah minta ampun.

"Tar-tar-tar!"

Cambuk yang mengerikan itu kembali sudah meledak-ledak di atas kepala Sengoro, membuat kepala rampok makin ketakutan.

"Hayo lekas ceritakan di mana adanya sang puteri yang kudanya kaupakai itu!"

Suara Sengoro menggigil ketika ia berkata,
"hamba...hamba tidak tahu, dia....sang puteri dibawa...oleh pemimpin kami hamba... mana berani.....? Hanya mendapatkan kudanya...."

"Di mana dia? Di mana sang puteri dan pimpinanmu. Dibawa ke manakah?"

Dengan telunjuk menggigil Sengoro menunjuk ke belakang. "Mungkin di...di sana...hamba tak tahu benar ke mana "

"Crattt!" Kaitan baja di ujung cambuk itu menancap ke dalam pelipis Sengoro yang menjerit keras dan roboh berkelojotan dalam sekarat.

"Endang , siapakah mereka?"

Derap kaki kuda yang datang disusul pertanyaan suara Pangeran Panjirawit yang melihat tiga orang laki-laki menggeletak tak bernyawa di depan kaki Endang Patibroto. Endang Patibroto menunjuk ke arah kuda tunggangan Puteri Mayagaluh dan berkata,

"Gusti puteri tertawan perampok, ini kudanya dan mereka ini adalah anak buah perampok."

"Aduh, Jagad Dewa Bathara! Di mana sekarang diajeng Mayagaluh?"

Kembali Endang Patibroto menunjuk ke arah mayat Sengoro dan berkata,
"Menurut pengakuan dia, gusti puteri berada di tangan kepala rampok yang kini masih berkeliaran di sekitar hutan ini. Mari kita mencarinya!"

Terhibur hati Pangeran Panjirawit ketika melihat sikap Endang Patibioto yang tenang. Timbul kepercayaannya kembali bahwa sudah pasti kepala pengawal yang cantik dan gagah perkasa itu akan dapat menolong adiknya, membebaskan dari tangan kepala rampok.

"Kenapa engkau menuntun seekor kuda lain?" Tanya pangeran itu ketika melihat Endang Patibroto meloncat ke atas punggung kuda tunggangan sang puteri sambil menuntun seekor kuda lain bekas tunggangan perampok.

"Untuk gusti puteri," jawab Endang Patibroto dan membalapkan kudanya ke depan diikuti oleh Pangeran Panjirawit.

Ketika tiba di bagian yang tinggi di tanah Pegunungan Seribu, Endang Patibroto menghentikan kudanya, kemudian ia meloncat dan memanjat sebatang pohon besar sampai di puncaknya yang paling tinggi. Dari tempat tinggi inilah ia memandang ke sekeliling dan tak lama kemudian terdengar seruannya,

"Ah, itu dia.......!!"

Pangeran Panjirawit ikut berdebar hatinya mendengar suara girang ini dan begitu wanita cantik dan perkasa itu melompat turun, ia bertanya,

"Kau sudah melihat diajeng Mayagaluh?"

"Mereka di sana, naik kuda. Mari kita menghadang, kita jalan kaki saja agar penjahat itu tidak mengetahui kedatangan kita dan kabur."

Mereka meloncat turun dari atas kuda, mencancang kuda di bawah pohon, kemudian pangeran itu mengikuti Endang Patibroto menyelinap di antara pohon-pohon dan menuju ke sebelah selatan. Tidak lama kemudian sang pangeran mendengar derap kaki kuda makin lama makin mendekat. Endang Patibroto mengajaknya bersembunyi di belakang pohon. Jantung pangeran itu berdegup tegang. Endang Patibroto tenang-tenang saja, namun dara perkasa ini sudah siap untuk menerjang maju.

Akhirnya, setelah menanti dengan ketegangan hati yang makin memuncak, Pangeran Panjirawit melihat munculnya dua orang penunggang kuda dari sebuah tikungan jalan setapak dalam hutan itu. Tidak salah lagi, seorang di antara mereka adalah Mayagaluh, adiknya. Akan tetapi wajah adiknya yang cantik itu sama sekali tidak tampak seperti seorang tawanan, tidak menangis atau ketakutan, melainkan tersenyum-senyum manis!

Dan penunggang kuda di sebelahnya adalah seorang laki-laki yang muda belia dan amat tampan, sungguhpun pakaiannya sederhana sekali namun sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan tiga orang perampok yang terbunuh oleh Endang Patibroto tadi. Orang muda ini tidak akan lebih tua daripadanya, dan lebih pantas disebut seorang satria gunung daripada seorang perampok!

Ia menjadi ragu-ragu dan hendak memberi peringatan kepada Endang Patibroto tentang pendapatnya itu. Namun terlambat karena pada saat itu, tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan dan langsung dara perkasa ini bagaikan seekor harimau betina yang marah, telah melompat jauh kedepan, menerkam laki-laki penunggang kuda di samping Mayagaluh sambil mengeluarkan pekik dahsyat.

"Celaka dia....!"

Sang Pangeran Panjirawit mengeluh dan mengira bahwa laki-laki tampan itu tentu tewas seketika diserang seperti itu oleh Endang Patibroto yang sudah cukup ia kenal kedigdayaannya yang menggiriskan. la segera melompat dan lari ke depan.

Joko Wandiro yang sedang enak-enak menunggang kuda bersama Puteri Mayagaluh dalam perjalanan mereka ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, tentu saja kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan putih menyambar dan menerkamnya laksana seekor harimau dan kedua tangan yang menerkamnya itu tahu-tahu telah melancarkan pukulan dengan kedua tangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat sekali ke arah pelipis dan ubun-ubun kepalanya!

Dari sambaran angin pukulan ini saja maklumlah Joko Wandiro bahwa siapapun juga yang menyerangnya, penyerang ini adalah seorang yang amat ganas dan kejam, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dahsyat. la belum dapat melihat siapa penyerangnya dan juga tidak tahu mengapa orang ini datang-datang menyerangnya sedahsyat itu, maka lapun hanya mengangkat kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sakti Bojro Dahono ke dalam kedua tangannya.

"Dessss!!"

Hebat bukan main pertemuan dua pasang tangan di udara itu. Joko Wandiro menggunakan Aji Bojro Dahono yang sifatnya panas dan kuat cepat bagaikan kilat menyambar. Di lain pihak Endang Patibroto mempergunakan Aji Wisang Nolo, juga sifatnya panas sekali mengandung hawa beracun. Saking hebatnya pertemuan tenaga sakti itu, tubuh Endang Patibroto yang terapung di udara itu, terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting di atas tanah di mana gadis itu cepat menggunakan Aji Trenggiling Wesi, bergulingan untuk mematahkan luncuran tubuhnya.

la selamat tidak terbanting, namun pakaian dan rambutnya kotor terkena debu. Di lain pihak, Joko Wandiro kaget sekali karena pertemuan tenaga itu membuat ia terpelanting dari atas kudanya dan biarpun ia dapat berjungkir-balik sampai tiga kali sehingga dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu, namun ia terhuyung-huyung ke belakang sampai empat meter jauhnya!

Kini keduanya sudah bangkit berdiri, dalam jarak tujuh delapan meter, saling pandang dengan heran dan penasaran. Endang Patibroto marah sekali. Marah sampai hampir tak tertahankannya Lagi. Mukanya mangar-mangar (merah padam), sepasang matanya bercahaya menyilaukan seperti sepasang mata harimau tersorot lampu, bagaikan bernyala-nyala menciptakan api unggun yang akan membakar lawannya, memandang kepada Joko Wandiro seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat!

Hidung yang kecil mancung itu bergerak-gerak karena cuping hidungnya yang tipis kembang-kempis, napas halus yang keluar masuk agak berdesis. Bibirnya tersenyum! Ya, bibir yang manis, merah basah itu tersenyum, akan tetapi senyum yang bagaimana! senyum maut! Senyum yang sama sekali bukan menyejukkan hati pemandangnya, melainkan senyum yang membayangkan ancaman maut, yang dingin seperti air wayu, Dagunya agak berlekuk karena ditarik keras dalam kemarahannya, kedua tangannya mengepal tinju.

Endang Patibroto marah sekali. Apalagi ketika ia mengenal laki-laki yang pernah ia jumpai di dekat Telaga Sarangan, yang pernah ia serang dengan panah tangan namun gagal, laki-laki yang mengawani seorang gadis jelita, agaknya kekasih si gadis jelita yang menjadi korban anak panahnya. Sekarang, dalam adu tenaga ia sampai dibikin jatuh terguling-guling oleh bocah ini!

Joko Wandiro tadinya terheran-heran, juga kagum dan penasaran ketika mendapat kenyataan bahwa yang penyerangnya demikian dahsyat dan ganas adalah seorang wanita muda yang cantik jelita seperti bidadari. Akan tetapi kekagumannya segera berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap ketika ia mengenal wanita itu. Inilah dia wanita iblis yang pernah merobohkan Ayu Candra dengan serangan anak panah tangan! Inilah dia wanita iblis yang selain memanah mati harimau dan melukai Ayu Candra, juga pernah menyerangnya dengan panah tangan, dan kini tiada hujan tiada angin menyerangnya dengan pukulan maut yang demikian dahsyatnya!

"Kau! Perempuan keji....!"

"Kau! Bocah keparat!"

Keduanya memaki hampir berbareng, disusul gerakan tubuh mereka menerjang maju. Hebat sekali terjangan kedua orang muda ini dan berbareng mereka berseru kaget karena loncatan mereka itu serupa benar gayanya. Gaya dari aji meringankan tubuh Bayu Tantra dan ketika mereka berdua menampar ke depan, keduanya secara kebetulan sekali juga menggunakan aji yang sama, yaitu tamparan dengan jari-jari tangan, Aji Pethit Nogo! Kembali mereka mengadu tenaga dan keduanya terpental ke belakang oleh getaran jari tangan mereka yang mengandung tenaga sakti yang sama kuatnya!

Karena terkejut dan terheran betapa lawan masing masing memiiiki aji yang sama, sejenak keduanya hanya saling pandang dan saling melotot, seakan-akan hendak melanjutkan pertandingan itu bukan dengan kepalan dan kesaktian lagi, melainkan dengan saling menusuk dan menelan melalui pandang mata!. Saat ini dipergunakan oleh Pangeran Panjirawit dan adiknya, Puteri Mayagaluh. Pangeran Panjirawit melompat maju dan memegang kedua lengan Endang Patibroto dari belakang, sedangkan Puteri Mayagaluh juga menghampiri Joko Wandiro dan memegang lengannya.

"Joko Wandiro, sabar dulu, dia itu adalah kepala pengawalku, Endang Patibroto!" kata Puteri Mayagaluh dengan suara halus dan menarik-narik lengan Joko Wandiro yang ia rasakan amat keras macam baja saja pada saat itu.

"Endang, sabarlah. Dia bukan musuh, dia malah penolong diajeng Mayagaluh. tenangkan hatimu, padamkan kemarahanmu" kata Pangeran Panjirawit sambil menarik tangan Endang Patibroto.

"Kau....Endang Patibroto....?"

Joko Wandiro membelalakkan matanya, berseru dengan suara gagap. Endang Patibroto tersenyum mengejek, dan tiba-tiba dara perkasa ini tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tak ditutup-tutupinya lagi dan inilah kebiasaan dara murid Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi dasar dara cantik manis, biarpun tertawa secara terlepas seperti itu, tetap saja masih menarik dan menggairahkan.

"Hi-hi-hi-hik! Jadi engkau ini Joko Wandiro bocah bengkring (berpenyakitan) seperti cacing dahulu itu? Hi hi-hik! Kiraku masih berada di Sempu sambil menimang-nimang golek kencanamu!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Wajah Joko Wandiro menjadi merah sekali. Pantas saja ketika dahulu di telaga Sarangan menyerangnya dan Ayu Candra, ia merasa kenal baik dengan wanita ini. Kiranya Endang Patibroto si bocah nakal! Dan kini tidaklah aneh baginya kalau Endang Patibroto menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala.

Kiranya gadis ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, yang memiliki kedigdayaan yang hebat, yang dahsyat dan yang amat ganas. Kalau tadi ketika diserang pertama kali ia tidak mempergunakan Bojro Dahono untuk menangkis, tentu sekarang ia telah menjadi mayat! la diam-diam bergidik.

Mengapa puteri ayah angkatnya kini menjadi seperti ini? Mengapa sifatnya menjadi ganas dan keji, mudah menurunkan tangan maut kepada orang yang baru saja dijumpainya? Memang harus ia akui, Endang Patibroto sekarang amat cantik jelita, di dalam keganasannya itu bersembunyi kecantikan dan keluwesan yang aseli, tidak dibuat-buat, kecantikan seekor harimau betina yang kuat dan indah, kegagahan seekor kuda betina liar, dengan tubuh yang lemas tapi kuat, bergoyang-goyang lemas seperti ular sawah kembang.

"Endang, tak kusangka bertemu denganmu di sini. Dan sungguh tak pernah kusangka bahwa engkaulah yang begitu keji menyerangku dengan panah tangan di Telaga Sarangan dahulu "

"Hemm, kau mau apa? Gadis cantik itu tentu telah mampus! Dan kau sakit hati? Hendak membalas? Boleh!" Endang Patibroto terus saja menantang dan melangkah maju hendak menyerang!

Teringat ia betapa ibu kandung Joko Wandiro telah membunuh ayah kandungnya, dan biarpun ia telah membalas, telah membunuh Listyokumolo untuk membalas kematian ayahnya, namun pemuda ini tentu saja menjadi musuh besarnya Ayahnya sebelum mati berpesan menjodohkan dia dengan bocah ini? Ah, begitu bertemu untuk pertama kalinya telah bermusuhan, mana bisa menjadi jodoh?

"Ah, Endang Patibroto, bersabarlah engkau. Orang muda ini sudah menolong dan menyelamatkan diajeng Mayagaluh, bukan musuh kita."

Pangeran Panjirawit menarik lengan Endang Patibroto dan gadis ini betapapun juga tidak berani untuk membantah. Ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot dan menantang. Mayagaluh lalu menceritakan dengan singkat semua pengalamannya dan betapa Joko Wandiro menolongnya. Ketika bercerita tentang Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjirawit kelihatan terkejut.

"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dan sini. Sungguh tidak baik kalau sampai aku bertemu dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Joko Wandiro, aku mengucapkan banyak terima kasih atas semua budi pertolonganmu kepada adikku Puteri Mayagaluh. Kalau kau suka, Joko Wandiro, marilah kau lkut bersama kami ke Jenggala. Kanjeng rama prabu tentu akan suka sekali mendengar tentang jasamu dan kau tentu akan diberi kedudukan tinggi di Jenggala."

Puteri Mayagaluh juga melangkah maju dan berkata sambil tersenyum, "Betul Apa yang dikatakan kakangmas Panjirawit, Joko. Marilah kau ikut bersama kami ke Jenggala." Ia menoleh kepada Endang Patibroto yang masih cemberut sambil tersenyum dan berkata. "Kebetulan sekali agaknya kau sudah mengenal Endang sejak kecil. Pertengkaran sedikit antara kalian lebih baik dilupakan saja dan aku percaya, kalian berdua akan dapat menjadi eh, sahabat-sahabat baik yang baik sekali...!"

Joko Wandiro menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, sedangkan Endang Patibroto memandang dengan makin marah. Pemuda itu menggeleng kepala dan berkata dengan hormat, "Beribu terima kasih hamba haturkan kepada gusti pangeran dan gusti puteri berdua. Akan tetapi hamba mempunyai banyak urusan lain. Kelak masih banyak waktunya hamba menghadap paduka, apabila keadaan mengijinkan."

Melihat keadaan Joko Wandiro, pangeran itu maklum bahwa ia tidak akan mungkin dapat membujuk seorang satria seperti ini, maka ia lalu berkata, "Kalau begitu, biarlah lain kali kami menanti kunjunganmu ke Jenggala. Mayagaluh, Endang, mari kita berangkat, jangan sampai bertemu dengan orang-orang Panjalu!"

Ketiga orang muda itu meloncat naik ke atas kuda dan tiga ekor kuda itu lari ke arah timur. Puteri Mayagaluh untuk penghabisan kali melempar kerling dan senyum manis kepada Joko Wandiro, akan tetapi Joko Wandiro yang tadinya tersenyum mesra pula memandang puteri yang pernah dicium pipinya itu, tiba-tiba membuang muka karena melihat Endang Patibroto juga menoleh dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh ejekan!

Setelah bayangan ketiga orang itu lenyap dan derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi, barulah Joko Wandiro menaiki kudanya dan menjalankan kudanya ke barat. Tiada habis heran hatinya mengenangkan Endang Patibroto. Gadis itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Kalau ia ingat akan benturan tangan dua kali tadi, ia yakin bahwa ilmu kesaktian gadis itu jauh tinggi daripada ilmu orang-orang yang pernah menjadi lawannya. Jauh lebin tinggi dari kepandaian Wirokolo atau Ni Durgogini serta Ni Nogogini digabung menjadi satu!

Kalau mengingat bahwa gadis itu adalah puteri ayah angkatnya, ia girang dengan kehebatan itu. Akan tetapi kalau teringat akan sifat-sifat ganas dan keji itu, ia mengerutkan kening dan menarik napas panjang berulang-ulang.

Kemudian pemuda ini lalu mempercepat perjalanannya menuju ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, dengan perasaan bercampur aduk. la merasa girang kalau membayangkan betapa ia akan bertemu dengan ayah angkatnya. Betapapun juga, ia harus mengakui bahwa sampai sekarangpun ia masih menganggap Pujo sebagai ayah sendiri yang amat dicintainya.

Di antara orang-orang tua di dunia ini, Pujolah orang pertama yang ia cinta dan hormati, baru kemudian gurunya, Ki Patih Narotama, dan kakek gurunya, Resi Bhargowo. Ayah bunda kandungnya sendiri tidak begitu dekat dengan hatinya karena semenjak kecil ia tak pernah melihat mereka Lagi. Akan tetapi kalau teringat bahwa ibu kandungnya tewas dalam usaha mencari Pujo, kegirangan hatinya akan bertemu dengan ayah angkatnya itu menipis terganti rasa khawatir dan tegang.

Atas petunjuk para penduduk yang berdekatan, akhirnya ia sampai juga di Bayuwismo dan melihat sebuah pondok yang menyendiri di tepi pantai itu. Hatinya berdebar keras ketika ia meloncat turun dari kuda dan penuh selidik ia memandang kepada dua orang wanita yang keluar dari dalam pondok. Ia segera mengenal dua orang wanita itu, yang seorang adalah Kartikosari ibu kandung Endang Patibroto dan yang kedua adalah bibinya, Roro Luhito adik kandung mendiang ayahnya. Segera ia menghampiri mereka dan memben hormat dengan wajah berseri.

"Bibi kartikosari dan bibi Roro Luhito, saya Joko Wandiro, kiranya bibi berdua belum lupa kepada saya," kata Joko Wandiro ketika melihat dua orang wanita itu rnemandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti melihat setan, dan disangkanya bahwa dua orang bibinya itu pangling (lupa) kepadanya.

Tiba-tiba Kartikosari membalikkan tubuhnya dan masuk lagi ke dalam pondok tanpa berkata sesuatu, sedangkan Roro Luhito lalu menubruk dan merangkul Joko Wandiro sambil menangis sesenggukan! Tentu saja hal ini membuat Joko Wandiro terkejut sekali. Memang hatinya sudah merasa tidak enak dalam perjalanan ke tempat ini dan telah menduga hal-hal yang tidak baik. Melihat sikap kedua orang wanita ini ia berdebar dan merasa cemas sekali.

"Bibi Roro Luhito....apakah yang terjadi, bibi? Ada apakah? Harap bibi memberi tahu kepada saya..."

BADAI LAUT SELATAN JILID 31