Badai Laut Selatan Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 17

Akan tetapi... tetapi...." Pujo sukar sekali mengeluarkan isi hatinya yang penuh keraguan. Ia memandang ke arah Roro Luhito, kemudian menoleh ke arah isterinya. Keadaan menjadi hening dan tegang.

Adipati Joyowiseso masih memandang ke arah Pujo, menanti jawaban penuh pandang memohon. Wisangjiwo juga menoleh ke arah Pujo. Kini Roro Luhito juga menggerakkan kepala, menoleh dan menatap wajah Pujo melalui tirai air mata. Namun Pujo tidak bergerak, tetap memandang kepada isterinya yang masih menundukkan muka. Agaknya pandang mata suaminya dan keadaan hening yang mencekam itu memaksa Kartikosari mengangkat muka memandang.

Bertemulah pandang mata Kartikosari dengan sinar mata suaminya yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Bibir yang merah itu merekah dalam senyum, pandang matanya penuh kasih dan rela, kemudian Kartikosari mengangguk memberi persetujuan kepada suaminya. Dalam detik-detik itu pandang mata suami isteri itu telah melakukan tanya jawab yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.

Pujo bernapas lega dan gerak-gerik mereka ini diikuti oleh pandang mata semua orang, termasuk pandang mata Roro Luhito. Kalau semua orang masih belum tahu apa makna semua itu, Roro Luhito sudah mengerti. Dengan isak tertahan ia meloncat, menubruk dan merangkul leher Kartikosari, kemudian melepas rangkulannya dan lari keluar dari kamar itu! Kartikosari tersenyum dan mengusap air mata Roro Luhito yang membasahi pipinya ketika puteri adipati itu tadi mengambungnya.

Dengan anggukan kepala Kartikosari memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua keluar dari kamar itu mengejar Roro Luhito. Roro Luhito duduk di atas sebuah bangku dalam taman sari, menyembunyikan mukanya dalam kedua tangan, menangis terisak-isak, sepasang pundaknya bergerak-gerak dan ia sama sekali tidak tahu betapa Pujo dan Kartikosari menghampirinya dari belakang dengan langkah perlahan, bergandengan tangan.

Kartikosari berhenti, melepaskan tangan suaminya, lalu mendorong-dorong pundak suaminya ke depan. Pujo meragu, berat rasa hatinya harus menyapa Roro Luhito dalam keadaan seperti itu, di depan isterinya yang tercinta. Akan tetapi dengan isyarat pandang mata, gerak bibir dan dorongan-dorongan, Kartikosari membujuknya. Pujo melangkah ke depan sampai dekat .Roro Luhito. Dadanya berdebar, kerongkongannya serasa kering sehingga sukar sekali baginya mengeluarkan suara.

"Diajeng...." Akhirnya dapat juga ia bersuara.

Roro Luhito seketika berhenti terisak, tubuhnya tak bergerak, seakan-akan suara itu telah mencabut sukmanya. Kedua tangan masih menutupi muka, akan tetapi ia tidak menangis lagi, bahkan seakan tidak bernapas, agaknya tidak percaya akan mendengar suara Pujo. Pujo tadi sudah diajari isterinya bagaimana harus bicara kepada Roro Luhito, Kalimat itu sudah hafal olehnya, namun mulutnya sukar digerakkan, lehernya seperti tercekik.

Tentu saja ia bukan seorang laki-laki yang lemah, bukan pula pemalu. Hanya karena Kartikosari berada di situ, hal inilah yang membuat ia merasa sungkan, malu, dan tak enak hati. Betapa ia dapat berkasih sayang dengan wanita lain di depan isterinya, wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya? Ia memaksa diri ketika melirik ke kiri dan melihat Kartikosari kembali mendorong-dorongnya dengan isyarat pandang mata dan gerak mulut.

"Diajeng Roro Luhito, mengapa kau menangis ? Kalau..... kalau sekiranya diajeng tidak setuju dengan usul paman adipati..... jangan khawatir, diajeng, aku.... aku dapat membatalkan...."

Belum habis Pujo mengucapkan kalimat hafalan yang didekte oleh Kartikosari itu tiba-tiba Roro Luhito menangis lagi dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Pujo yang berdiri terlongong seperti patung penjaga alun-alun keraton!.

"eh..... nimas Sari.... kalau sudah begini bagaimana ini....?"

Pujo tergagap bingung memandang isterinya dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan terguling karena kedua kakinya yang dirangkul itu mendadak menggigil...!

"Aduh, bodohnya laki-laki! Itu tandanya ia setuju!" kata Kartikosari menahan tawa.

Mendengar suara ini, Roro Luhito terkejut. Tak disangkanya bahwa Kartikosari berada di situ pula. Ia mengangkat muka, lalu ia melepaskan kaki Pujo, serta-merta ia berlutut di depan Kartikosari, sambil menangis tersedu-sedu.

"Duhai Dewata yang mulia.... betapa mungkin Roro Luhito berlaku serendah ini....?" Roro Luhito menjerit lirih sambil menangis.

"Diajeng..... !!" Pujo dan Kartikosari berseru hampir berbareng karena kaget.

Roro Luhito mengangkat muka memandang mereka. Muka yang merawankan hati, agak pucat, matanya merah, air matanya berderai-derai.

"Kakangmas.... mbokayu..... kalian tentu tahu betapa cinta hatiku hanya tertuju kepada kakangmas Pujo. Aku rela mati demi cinta kasihku kepada kakangmas Pujo. Akan tetapi..... kakangmas Pujo adalah suami mbokayu Kartikosari yang begitu baik kepadaku..... yang melepas budi kepadaku.... betapa mungkin aku berlaku serendah ini, menyakiti hati mbokayu Kartikosari....?"

Kartikosari terharu dan segera berlutut pula, merangkul Roro Luhito. "Diajeng, kau keliru. Aku tahu betapa suci murni cinta kasihmu terhadap kakangmas Pujo, dan aku tahu pula betapa baik dan bersih hatimu terhadap aku. Tahukan engkau, diajeng, bahwa aku telah mengajukan syarat kepada kakangmas Pujo? Syaratku kepadanya, aku hanya mau bertugas sebagai isterinya kembali, melakukan kewajiban, sebagai isteri yang melayani suami, hanya dengan syarat bahwa engkau harus menjadi maduku! "

Roro Luhito tersentak kaget, menjauhkan mukanya untuk dapat memandang wajah Kartikosari dengan jelas melalui air matanya, matanya dilebarkan. Kedua orang wanita itu saling pandang, keduanya mengeluarkan air mata dan akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan saling berciuman. Pujo yang masih berdiri itu hanya dapat memandang. Keningnya berkerut matanya termenung, mulutnya tersenyum-senyum bingung, dan melihat dua orang wanita itu berpelukan dan bertangisan, ia mengangkat pundaknya berkali-kali sambil meraba-raba kumisnya yang tipis. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Kartikosari menegur,

"Kenapa kau berdiri seperti patung di situ, kakangmas?"

"Eh.... habis..... bagaimana ini.... selanjutnya?" jawabnya gagap.

Kartikosari menarik Roro Luhito bangkit berdiri. Dengan pipi masih basah Kartikosari tersenyum kepada suaminya. "Apa kau tidak mau menerima diajeng Roro Luhito menjadi isterimu, kakangmas Pujo?"

Roro Luhito mengangkat muka pula, sepasang matanya memandang tajam kepada Pujo. Sepasang mata bintang, tajam jernih, indah! Pujo menelan ludah, sukar sekali menjawab pertanyaan yang diajukan isterinya seperti todongan ujung keris ini.

"Bagaimana? Kakangmas, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan tegas!" Kartikosari menegur.

"Betul ucapan mbokayu Kartikosari" Roro Luhito menyambung, suaranya juga tegas seperti suara Kartikosari.

"Kalau kakangmas merasa keberatan dan tidak tidak suka menerimaku, hendaknya berterus terang saja dan aku akan ikut dengan bapa resi guruku untuk menjadi seorang pertapa."

Ia menutup kata-katanya dengan isak ditahan. Kembali Pujo menelan ludah, kemudian ia menentang pandang mata kedua wanita itu, mengangkat dada dan menjawab lantang, "Aku mau!!"

Jawaban ini dikeluarkan dengan suara yang amat lantang, terlalu lantang sehingga jelas tidak sewajarnya dan dibuat-buat untuk memberanikan hati. Keadaan ini amat lucu sehingga Kartikosari tidak dapat menahan ketawanya. Apalagi Roro Luhito, wanita yang pada dasarnya memang lincah dan gembira. Karena kini hatinya penuh dengan kebahagiaan, menyaksikan sikap calon suaminya yang memang sejak sepuluh tahun yang lalu telah menjadi pujaan hatinya ini, tak dapat menahan kegelian hatinya. Ia memeluk Kartikosari, menyembunyikan mukanya dan tertawa sampai terpingkal-pingkal dengan air mata membanjir keluar!

Pujo berbesar hati. Tadi ia bingung menyaksikan dua orang wanita itu bertangis-tangisan. Akan tetapi sekarang menyaksikan wajah isterinya penuh senyum yang manis dan cerah, melihat pula betapa Roro Luhito tertawa-tawa sambil menyembunyikan muka karena malu-malu, ia menjadi bangga. Dengan langkah lebar ia mendekat. Hanya tiga langkah dan ia sudah berada di depan mereka, kedua lengannya dikembangkan dan dua orang wanita itu sudah berada dalam rangkulan dan pelukannya. Dengan kedua lengannya yang kuat, ia memeluk dan mendekap mereka di atas dadanya. Kartikosari di dada kanan, Roro Luhito di dada kiri.

Kedua wanita itupun meramkan mata sambil balas memeluk, menyembunyikan muka di atas dada yang bidang, merasa aman sentosa dan bahagia. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, tanpa bicara karena dalam saat seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulut terlampau miskin untuk menyampaikan getaran rasa nikmat yang menggelora dan menggetar-getar dari dalam hati. Sebagai seorang wanita yang halus perasaannya, Kartikosari yang lebih dulu tergugah. Maklum betapa suaminya terbuai getaran cinta kasih yang menggelora, ia cepat berkata, suaranya halus tapi menekan,

"Kakangmas, kiranya cukuplah. Seorang satria harus teguh memegang janji. Belum tiba saatnya kita saling menumpahkan perasaan cinta kasih."

cerita silat online karya kho ping hoo

Pujo menarik napas panjang untuk menekan gelora hatinya yang benar-benar hampir terseret gelombang asmara yang amat hebat. Dengan kedua tangan di atas pundak kedua isterinya, ia mendorong mereka, menatap wajah mereka, lalu berkata, "Sekali lagi aku berjanji bahwa sebelum musuh besar kita bertiga terbalas, aku akan menahan diri dan tidak akan menuntut hakku sebagai suami terhadap kalian, kedua isteriku yang terkasih."

"Wah, enak saja dia ini menyebutmu sebagai isterinya, diajeng!" Kartikosari menggoda suaminya.

"Kakangmas Pujo, kau belum menjawab permintaan paman adipati. Beliau tentu menanti-nanti, hayo kau lekas ke sana memberikan jawabanmu."

Pujo meragu, memandang kepada Roro Luhito, seakan minta pertimbangan. Roro Luhito yang kini berseri-seri wajahnya sehingga menjadi makin cantik manis, mengangguk dan berkata, "Betul pendapat mbokayu Sari, kakangmas. Kau harus memberi jawaban kepada ayah."

Kartikosari makin lebar senyumnya, matanya menggoda, tangan kirinya memeluk pinggang Roro Luhito. Pujo hendak membantah, namun menghadapi dua orang wanita yang sependapat ini, akhirnya ia menghela napas, mengangkat kedua pundak, membalikkan tubuh dan melangkah pergi sambil mengembangkan kedua lengan ke depan. Wah, berat kalau begini, pikirnya di antara kebahagiaan hatinya. Kalau mereka berdua sudah bersatu padu, dia seakan-akan dihadapkan lawan yang luar biasa kuatnya. Ia tahu bahwa sejak saat itu, ia takkan dapat lagi merasa lebih tinggi dan lebih kuat daripada Kartikosari ataupun Roro Luhito yang agaknya telah membentuk persekutuan yang amat erat dan kuat. Berpikir demikian, Pujo meringis dan mempercepat langkahnya menuju ke dalam kadipaten, ke dalam kamar di mana Adipati Joyowiseso sudah menanti-nanti kembalinya.

Tak tahu ia betapa Kartikosari dan Roro Luhito menutup mulut menahan ketawa melihat ia berjalan sambil mengembangkan lengan dan kepalanya bergeleng-geleng seperti itu! Dapat dibayangkan betapa lega dan girang Adipati Joyowiseso ketika Pujo menghadap dan menyatakan persetujuannya akan usul adipati itu tentang perjodohannya dengan Roro Luhito. Adipati Joyowiseso yang sudah tua dan keluarganya telah hancur berantakan itu merasa lega, karena sesungguhnya hanyalah keadaan puterinya ini yang menyusahkan hatinya. Seorang gadis yang sudah berusia dua puluh enam tahun, dinodai peristiwa aib karena perbuatan Jokowanengpati yang terkutuk. Akan bagaimanakah jadinya kelak kalau tidak cepat-cepat dijodohkan dengan seorang yang patut menjadi suaminya? Dan menurut pendapatnya, tidak ada yang lebih tepat menjadi suami Roro Luhito kecuali Pujo, laki-laki gagah perkasa yang juga menjadi idaman hati anaknya itu.

Atas desakan sang adipati, pernikahan dilakukan serentak tiga hari kemudian! Upacara pernikahan yang amat sederhana, terlalu sederhana bagi puteri seorang adipati. Adipati Joyowiseso tidak mengundang bangsawan-bangsawan lain, bahkan tidak pula mengundang kenalan-kenalan lain dari luar Selopenangkep. Upacara pernikahan itu hanya disaksikan oleh hamba-hamba setia kadipaten, dan dihadiri pula oleh penduduk Selopenangkep yang tua dan yang penting saja. Karena tidak mempunyai keluarga yang tua, Pujo dan Kartikosari mohon pertolongan Resi Telomoyo untuk menjadi wali pengantin pria. Dengan senang hati resi tua itu meluluskan permintaan Pujo, sedangkan yang menjadi wali pengantin wanita adalah ayahnya sendiri.

Adipati Joyowiseso mendadak tampak sehat kembali pada hari itu, mengenakan pakaian kebesaran dan wajahnya berseri gembira. Akan tetapi pengantin wanita menangis penuh keharuan karena teringat akan ibunya yang tewas dalam penyerbuan kadipaten. Tertawa dan menangis! Dua macam keadaan yang berlawanan inilah yang berselang-seling memenuhi kehidupan manusia. Di saat ini tertawa gembira bersuka ria, di saat lain menangis sedih berduka cita.

Dunia bagaikan panggung sandiwara dan manusia menjadi pelaku-pelaku, bahkan banyak muncul badut-badut setelah diperhamba nafsu dan perasaan. Ataukah . lebih tepat disebut bahwa dunia bagaikan rumah gila ? Bahwa manusia adalah mahluk-mahluk gila yang saling menonjolkan kegilaannya agar kelihatan bahwa dialah yang paling gila daripada segala yang gila?? Manusia mudah tertawa, mudah menangis. Mudah bersuka, mudah berduka.

Pada umumnya apabila keinginannya terlaksana, muncul senyum suka Sebaliknya, apabila keinginannya tidak terlaksana, muncul tangis duka. Sedangkan semua keinginan itu berputar kepada keuntungan untuk dirinya sendiri, berlandaskan nafsu menyenangkan diri pribadi. Mengharap, dapat, tertawa. Mengharap, luput, menangis. Tawa tangis,menjadi kebiasaan manusia yang sudah tidak mampu menguasai d irinya sendiri, yang sudah menjadi hamba daripada nafsu sendiri. Tawa dan tangis adalah sepasang tangan dari badan yang satu. Tawa dan tangis adalah sepasang saudara kembar yang silih ganti bermunculan, saling berlomba untuk memperebutkan dan menguasai hati manusia.

Manusia yang sadar dapat menguasai mereka, di waktu suka berkunjung, dapat menjenguk dan melihat duka berdiri di ambang pintu, siap menanti gilirannya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya, seorang manusia yang sadar selalu akan tenang dan menerima segala kejadian di dunia yang menimpa dirinya sebagai kejadian yang wajar, yang semestinya dan yang tak dapat ia robah atau halangi seperti munculnya sang matahari Matahari muncul dan terjadilah panas terik. Ini sudah wajar. Sudah semestinya. Tidak ada suka, tidak ada duka, tidak ada tawa tidak ada tangis. Manusia sadar dapat menerima kewajaran ini sebagai kenyataan yang mengandung anugerah, dapat memetik manfaat daripadanya.

Mata seorang sadar dapat melihat bahwa di balik panas terik yang menyengat dan menghanguskan, terciptalah keteduhan nikmat di bawah pohon yang rindang! Melihat nikmat dalam nyeri, mengena! nyeri dalam nikmat. Mengenyam manis dalam pahit, merasai pahit dalam manis. Mencium ganda busuk dalam harum, mengenal harum dalam ganda busuk! Bahagialah selalu manusia yang sadar!


Hanya tiga hari kemudian semenjak upacara pernikahan, Adipati Joyowiseso menghembuskan napas terakhir, diiringi tangis Roro Luhito dan Wisangjiwo. Seperti juga pada upacara pernikahan antara Roro Luhito dan Pujo, upacara pemakaman sang adipati dilakukan dengan sederhana, dilayat oleh mereka yang tiga hari yang lalu menjadi tamu dalam upacara pernikahan!

Kalau dalam pertemuan pertama, Roro Luhito merupakan penghibur bagi Pujo dan Kartikosari sehingga dalam perjalanan mereka itu terdapat kegembiraan, adalah kini kedua orang inilah yang selalu menghibur Roro Luhito. Setiap hari tampak Roro Luhito dihibur oleh Pujo dan Kartikosari di dalam taman sari. Sebagai pengantin baru, sudah sepantasnya Pujo berlangen asmoro dengan kedua isterinya di dalam taman indah. Melihat mereka bertiga bermesra-mesraan di dalam taman, tentu semua orang akan menyangka demikian. Mengira Pujo berbulan madu dengan Roro Luhito, ditemani Kartikosari sebagai isteri pertama yang penuh toleransi!

Perkiraan ini membuat para pelayan tersenyum-senyum, membuat para dayang saling cubit menahan tawa, mengerling penuh arti. Padahal sesungguhnya, Pujo dan Kartikosari hanyalah menghibur hati Roro Luhito agar jangan terlalu dikuasai kedukaan. Mereka bertiga adalah orang-orang gemblengan yang tahan uji, tidak akan mudah dikuasai nafsu. Sekali dalam hati berjanji, sampai matipun akan dipegang teguh janji ini. Sebagai seorang laki-laki yang sehat, tentu saja sumpah atau janji mereka itu terasa amat berat. Kedua isterinya demikian ayu, demikian denok, dan bersikap mesra penuh kasih kepadanya. Ia harus mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membendung hasrat hendak mencurahkan seluruh kasih sayang dan rindu dendamnya kepada kedua isterinya, terutama sekali kepada Kartikosari. Namun, Pujo memaksa diri mempertahankan, karena ia kini maklum akan keadaan hati kedua isterinya.

Sebagai wanita-wanita utama, tentu saja mereka akan merasa rendah diri melayani suami sebagai isteri-isteri tercinta, apabila Jokowanengpati yang mendatangkan aib dan noda itu belum tewas di depan kaki mereka!. Sementara itu, Raden Wisangjiwo dibantu oleh Resi Telomoyo keluar dari kadipaten dan memimpin sendiri anak buahnya dalam usahanya mencari Raden Joko Wandiro, puteranya, dan Endang Patibroto, puteri Pujo. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setiap kali kembali ke kadipaten, wajah Wisangjiwo makin keruh dan pucat. Namun segera ia berangkat lagi mencari ke lain jurusan.

Sebulan kemudian, utusan yang disuruh berangkat ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Sepuh tentang keadaan Kadipaten Selopenangkep, telah tiba kembali di kadipaten. Mereka membawa berita yang mengejutkan, yaitu bahwa perang telah terjadi secara terbuka antara pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan pengikut Pangeran Anom! Wisangjiwo juga dipanggil ke kota raja oleh Pangeran Sepuh karena perang saudara itu membutuhkan bantuan sebanyaknya. Juga utusan itu membawa berita bahwa di antara panglima yang membantu Pangeran Anom, terdapat senopati Jokowanengpati yang terkenal pandai mengatur pasukan dan sakti.

Panas sekali hati Wisangjiwo mendengar ini. Hatinya sedang risau karena usahanya mencari Joko Wandiro belum juga berhasil. Kini mendengar tentang Jokowanengpati, ia marah sekali dalam hati. Puteranya hilang adalah karena kebiadaban Jokowanengpati, demikian kata hatinya. Ia lalu menemui Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo.

"Aku harus berangkat segera ke kota raja," katanya. "Kalau perang antara kedua pangeran telah pecah, berarti perang saudara yang hebat. Pangeran Anom dibantu oleh banyak orang sakti seperti Cekel Aksomolo, Ni Durgogini, Ni Nogogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Warok Krendoyakso dan anak buahnya yang buas. Juga Jokowanengpati si keparat merupakan tangan kanan Pangeran Anom. Oleh karena itu, kalau saja kalian bertiga, juga paman Resi Telomoyo suka, saya minta dengan hormat agar supaya ikut pula ke kota raja. Membantu Pangeran Sepuh berarti membantu keturunan Mataram. Pangeran Sepuh adalah putera Sang Dewi Sekarkedaton, cucu mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berdarah Mataram asli. Akan tetapi Pangeran Anom adalah pangeran yang berdarah keturunan Sriwijaya! Bukan tidak mungkin kalau Pangeran Anom yang menguasai Kahuripan, kelak kita semua akan menjadi orang jajahan Sriwijaya. Andaikata andika sekalian tidak tertarik akan hal ini, juga dengan membantu Pangeran Tua berarti menentang Pangeran Muda yang mempergunakan tenaga orang-orang jahat, berarti kita telah melakukan dharma satria membasmi kejahatan."

"Kakangmas Wisangjiwo. Hal-hal lain tidak menarik hati kami bertiga, akan tetapi dengan adanya si keparat Jokowanengpati di sana, kami bertiga tentu saja akan berangkat pula ke sana. Kalau dia membantu Pangeran Anom, dengan sendirinya kami akan membantu lawannya, yaitu Gusti Pangeran Sepuh," kata Pujo dan kedua orang isterinya mengangguk-angguk tanda setuju.

"Bagaimana dengan paman Resi Telomoyo?" Wisangjiwo bertanya penuh harapan, matanya menyinarkan kegirangan karena Pujo bertiga ikut pula membantu Pangeran Sepuh. Tenaga tiga orang ini amat hebat dan berguna dalam perlawanan menghadapi orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom.

"Hemmm, aku sudah tua, raden. Aku tidak suka akan perang bunuh membunuh antara manusia memperebutkan kemenangan. aku tidak butuh kemewahan, tidak pula butuh pahala. Akan tetapi, kalau pertapa-pertapa seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu meninggalkan pertapaan mengejar keduniaan mengandalkan kesaktian, tentu keadaan akan menjadi miring dan berat sebelah. Terpaksa akupun harus turun tangan menghalangi mereka. Mari kita berangkat!"

Girang hati Wisangjiwo mendengar ini dan ia tertawa melihat kakek itu menjadi bersemangat dan tergesa-gesa. "Harap paman resi bersabar karena saya masih menanti kembalinya pasukan yang saya utus pergi menjemput isteri saya di dusun Selogiri."

"Hahh ? Selogiri di lereng timur Gunung Lawu?" Resi Telomoyo bertanya.

"Betul, paman." Wisangjiwo menarik napas panjang penuh penyesalan. "Semua gara-gara Jokowanengpati....." ia melirik ke arah Pujo. "Saya tertipu muslihatnya, mempercaya mulutnya. Karena kehilangan Joko Wandiro isteri saya Listyokumolo seperti berubah ingatannya. Saya...... saya tadinya menyangka buruk terhadap adimas Pujo sehingga saya pulangkan isteri saya itu kepada ayahnya, lurah Selogiri. Saya menyesal, paman, dan sekarang saya menyuruh pasukan menjemputnya, akan saya ajak bersama ke kota raja. Kasihan isteri saya....." Wisangjiwo termenung.

"Ahh, saya mengaku salah alamat, saya telah menjadi seekor binatang buas, merampas puteramu sehingga membuat isterimu menjadi berduka "

"Sudahlah, dimas. Semua telah terjadi dan semua mempunyai kesalahan. Tinggal sekarang kita merubah segala kesalahan yang lalu. Mudah-mudahan saja nimas Listyokumolo sudah sembuh dan suka mengampunkan aku." Dua hari kemudian datanglah pasukan yang ditunggu-tunggu.

Wajah Wisangjiwo menjadi muram karena tidak melihat isterinya bersama mereka. Apalagi setelah ia mendengar laporan kepala pasukan, ia menjadi berduka sekali. Kiranya, menurut hasil penyelidikan pasukan itu, tidak lama semenjak Listyokumolo pulang ke dusun Selogiri, dusun itu dilanda malapetaka. Sekelompok perampok menyerbu Selogiri. Biarpun lurah Selogiri, ayah Listyokumolo, bersama para penduduk melakukan perlawanan, namun tidak kuat mereka menghadapi para perampok. Lurah Selogiri tewas, banyak penduduk laki-laki yang tidak sempat melarikan diri dibunuh, dusun dibakar dan banyak wanita terculik. Di antaranya, Listyokumolo dibawa lari oleh kepala rampok! Melihat kakaknya berwajah pucat dan menjambak-jambak rambut penuh penyesalan, Roro Luhito memegang pundak kakaknya sambil menangis.

"Kasihan nasib kangmbok Listyokumolo...."

Wisangjiwo menghela napas dan menengadahkan kepalanya. "Duh Dewata Yang Agung, inikah hukumanku? Biarlah, Luhito, biar impas semua dosaku, karena tiada kejahatan tanpa hukuman dan kalau kuingat akan kelakuanku yang lalu, sungguh belum seberapa hebatnya hukuman ini. Mari, adikku, mari kita berangkat, mari kita mencari si jahanam Jokowanengpati, biang keladi segala peristiwa pahit ini!"

Setelah meninggalkan sepasukan penjaga untuk menjaga Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah mereka, Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo berkuda, diiringkan pasukan yang kesemuanya berkuda. Biarpun wajahnya membayangkan kebesaran semangat dan kegembiraan seorang perajurit yang siap bertempur namun di dalam hatinya, Wisangjiwo menangisi isterinya. Teringat ia sekarang akan segala derita yang dialami Listyokumolo. Betapa dahulu, Listyokumolo gadis dusun yang cantik jelita dan bahagia itu terpaksa menyerah kepadanya dan hidup di dalam Kadipaten Selopenangkep. Betapa Listyokumolo dengan sepenuh jiwanya berusaha menyesuaikan diri, berusaha mencinta suaminya dan betapa Listyokumolo selalu bersabar digoda tingkah laku suaminya yang selalu mengejar-ngejar wanita cantik.

Teringat ia betapa kejam hatinya, tidak kasihan melihat isterinya seperti gila kehilangan putera, tidak menghiburnya malah mengusirnya pulang ke Selogiri! Kalau sekarang ia teringat betapa akan celaka nasib isterinya itu diculik kepala perampok, hatinya terasa ditusuk-tusuk ujung keris berbisa. Ia berjanji di dalam hati bahwa setelah selesai perang dan masih hidup, ia akan menggunakan sisa usianya untuk mencari isterinya, mencari Listyokumolo sampai dapat dan kalau isterinya itu sudah mati, ia akan membalas mereka yang menyakiti isterinya, terutama kepala perampok itu!

Pujo dan Kartikosari sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka berangkat mengikuti Wisangjiwo bersama Roro Luhito dan Resi Telomoyo menuju ke kota raja, terjadi penyerbuan di Pulau Sempu terhadap Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Sama sekali tidak tahu betapa hampir saja Resi Bhargowo tewas oleh pengeroyokan jago-jago utusan Pangeran Anom yang ingin merampas pusaka Mataram. Juga tidak tahu betapa dua orang anak yang mereka cari-cari selama ini berada pula di Pulau Sempu dan dengan adanya penyerbuan menjadi cerai-berai.

Seperti kita ketahui, Endang Patibroto bertemu dengan seorang manusia yang luar biasa saktinya, ialah Dibyo Mamangkoro bekas senopati Kerajaan Wengker. Endang Patibroto kemudian ikut pergi dengan Dibyo Mamangkoro sebagai muridnya, pergi ke sebuah pulau yang pada waktu itu merupakan pulau gawat, penuh dengan iblis bekasakan sehingga terkenal sebagai tempat yang disirik (pantang) orang karena kabarnya orang yang masuk ke pulau itu tentu akan tewas dan tidak dapat keluar kembali. Bahkan para nelayan tidak ada yang berani mendekatkan perahu ke pulau itu di waktu mereka mencari ikan. Pulau itu bukan lain adalah Pulau Nusakambangan! .

Dibyo Mamangkoro manusia yang wataknya seperti bukan manusia lagi itu, seorang sakti mandraguna yang sukar dicari tandingannya, tidak mempunyai putera maupun keluarga lain. Semua keluarga terbasmi habis ketika Kerajaan Wengker di mana ia mengabdi hancur dalam perang melawan Kahuripan sehingga ia sendiri melarikan diri dan bersembunyi di Nusakambangan.

Kini melihat Endang Patibroto, ia merasa amat suka. Anak perempuan ini memiliki dasar watak yang liar, ganas dan tidak pernah mau kalah, sebuah watak yang cocok dengan watak Dibyo Mamangkoro. Selain itu, anak ini memiliki tubuh yang amat baik, tulang seorang calon pendekar sakti. Di samping ini semua, Endang Patibroto pandai mengambil hati dan anak ini sendiripun suka berlatih ilmu serta rajin.

Inilah sebabnya mengapa Dibyo Mamangkoro melakukan hal yang selama hidupnya belum pernah ia lakukan, yaitu, mengambil murid dan setiap hari tekun melatihnya dengan rasa kasih sayang yang makin mendalam sehingga Endang Patibroto dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. Kakek yang sakti mandraguna ini mengambil keputusan untuk menurunkan dan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Endang Patibroto!

********************


Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang bertahun-tahun digembleng oleh Dibyo Mamangkoro, seakan-akan mereka berdua itu sudah terputus hubungannya dengan dunia ramai, hanya berteman binatang-binatang buas dan hutan lebat. Mari kita ikuti perjalanan Joko Wandiro yang meninggalkan Pulau Sempu dalam keadaan pingsan. Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular kecil berwarna hijau ketika ia menyembunyikan patung kencana ke atas pohon randu alas.

Mula-mula, kakinya yang digigit, kemudian pergelangan lengan kanannya. Biarpun ia sendiri dapat membunuh ular itu dengan menggigit lehernya dan mengisap darahnya, namun racun ular membuat Joko Wandiro menggeletak pingsan ketika ia ditemukan Ki Tejoranu yang kebetulan datang pula ke Pulau Sempu karena kakek pertapa dari Danau Sarangan ini diam-diam mengikuti gerak-gerik Jokowanengpati dan teman-temannya.

Melihat betapa bocah yang pernah menolongnya dan yang dianggap sebagai tuan penolongnya itu menggeletak pingsan dan setelah memeriksa ia maklum bahwa Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular berbisa, Ki Tejoranu cepat mengangkat tubuh Joko Wandiro dan membawanya pergi dari Pulau Sempu. Ketika menyeberangi laut menuju ke darat, Ki Tejoranu cepat menotok jalan darah di lutut dan siku untuk mencegah racun ular menjalar makin jauh ke tubuh Joko Wandiro. Kemudian, setibanya di darat, ia memondong tubuh anak itu dan segera membawanya ke dalam hutan. Tubuh Joko Wandiro amat panas! Ki Tejoranu segera mencari daun-daun obat.

Untung bahwa bumi Pulau Jawa amatlah lohjinawi, tidak saja subur menumbuhkan bahan makan yang berlimpah-ruah, juga menjadi tempat hidup segala macam daun-daun berkhasiat obat mujarab. Dengan tergesa-gesa Ki Tejoranu mengumpulkan daun Sambiloto daun Jintan, daun Ketumbel, dan daun Ngokilo, memasaknya dan menuangkan jamu ini ke dalam tenggorokan Joko Wandiro yang masih pingsan. Ia merasa heran mendapat kenyataan ketika ia minumkan jamu itu bahwa tubuh Joko Wandiro tidaklah panas lagi dan napasnya tidak terengah-engah seperti tadi. Kakek ini tidak tahu bahwa secara kebetulan Joko Wandiro telah minum obat yang cukup manjur, yaitu darah ular itu sendiri!

Kemudian Ki Tejoranu masuk ke dalam hutan lagi dengan gerakan amat cepat. Tak lama ia mencari-cari dan ketika kembali, ia sudah membawa obat-obat yang ia perlukan, yaitu bawang putih, jeruk pecel, dan madu tawon. Ramuan obat ini ia pakai untuk mengompres luka di kaki dan pergelangan lengan bekas gigitan ular. Penuh ketekunan kakek ini merawat Joko Wandiro sehingga dalam waktu tiga hari saja anak itu telah sembuh sama sekali.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Joko Wandiro siuman. Ia membuka mata dan terheran-heran mendapatkan dirinya berada dalam sebuah gubuk kecil terbuat dari bambu dan daun kelapa, rebah di atas tanah bertilam anyaman daun kelapa. Joko Wandiro terheran-heran, apalagi ketika ia bangkit dan berdiri, ia merasa betapa perutnya hangat dan di dalam dadanya terasa getaran-getaran tarik-menarik yang aneh. Sebagai murid dari orang-orang sakti, ia maklum betapa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mukjijat yang dihimpun dari hawa sakti.

Setiap orang manusia memiliki hawa sakti ini, hanya tidak setiap orang tahu bagaimana untuk menghimpun dan mempergunakannya. Justeru kepandaian menghimpun hawa sakti inilah yang amat sukar dipelajari, membutuhkan ketekunan dan latihan serta gemblengan guru-guru yang sakti, membutuhkan cara bersamadhi dan latihan pernapasan yang matang.

Biarpun Joko Wandiro sudah maklum akan cara-caranya, namun ia belum matang berlatih dan karenanya ia merasa amat heran mengapa kini hawa sakti di dalam tubuhnya menimbulkan getaran-getaran sedemikian hebatnya! Kemudian ia teringat betapa ia tergigit ular dan betapa dengan ketakutan ia berlari-lari sambil memanggil kakek gurunya. Teringat akan ini, ia terkejut dan cepat memandang pergelangan tangan kanannya. Sudah sembuh sama sekali! Juga kakinya yang tergigit ular tidak ada bekasnya lagi. Ia merasa heran dan bingung. Sambil melompat keluar dari dalam gubuk kecil itu ia berseru memanggil.

"Eyang guru.....!!"

"Eh, kau sudah bangun? Sudah sembuh.....??"

Seruan girang ini membuat Joko Wandiro cepat membalikkan tubuh. Ki Tejoranu telah berdiri di depannya. Wajah kakek ini berseri, matanya memancarkan kegembiraan.

"Bukankah paman ini Ki Tejoranu? Di mana kita dan bagaimana aku bisa sampai di sini?"

Dengan singkat Ki Tejoranu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa ia melihat rombongan Jokowanengpati mendarat di Sempu, kemudian bagaimana ia menemukan Joko Wandiro dalam keadaan pingsan digigit ular hijau.

"Untung sekali tubuhmu amat kuat dan darahmu bersih sehingga racun ular tidak merenggut nyawamu"

Sebagai penutup cerita Ki Tejoranu berkata. Biarpun dalam bercerita itu ia bicara dengan suara pelo, namun cukup jelas bagi Joko Wandiro yang menjadi terharu dan berterima kasih sekali. Bocah yang tahu akan sopan santun dan kenal akan budi ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ki Tejoranu, menyembah sambil menghaturkan banyak berterima kasih. Tergesa-gesa Ki Tejoranu membangunkan Joko Wandiro.

"Wah, tidak usah begitu, anakku yang baik. Perbuatanku mengobatimu itu sama sekali tidak ada altinya dengan pelbuatanmu membelaku di hadapan lawan-lawan tangguh. Kau menolongku dengan taluhan keselamatan dilimu sendili, sebaliknya aku menolongmu tanpa taluhan apa-apa. Tak usah kau belterima kasih, kalena hutangku kepadamu belum juga lunas."

"Paman, bagaimana jadinya dengan eyang guru?"

"Eyang gulu? Siapa yang kau maksudkan?"

"Eyang guru adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Beliau berada di atas Pulau Sempu ketika aku digigit ular dan.... dan..... Endang Patibroto juga berada di sana."

"Endang Patibroto??"

"Ya, anak kecil, cucu eyang guru. Apakah mereka masih berada di sana?"

Ki Tejoranu termenung Ia terkejut juga mendengar bahwa yang berada di Pulau Sempu adalah Resi Bhargowo. Kini mengertilah ia bahwa Jokowanengpati dan rombongannya itu tentu hendak membunuh Resi Bhargowo dan kabarnya hendak merampas pula pusaka Mataram! Tak disangkanya bahwa bocah ini, penolongnya yang amat disayangnya, adalah cucu murid Resi Bhargowo! Kemudian ia teringat akan tokoh luar biasa yang melayang di permukaan laut, bersama seorang anak perempuan.

"Apakah anak perempuan itu sebaya denganmu, bajunya hijau, rambutnya panjang dikucir, mukanya tajam seperti bintang?"

"Ya, ya....... dialah Endang Patibroto."

"Hemmm, dan Resi Bhargowo itu, apakah seorang kakek tinggi besar seperti raksasa, kumisnya sekepal sebelah, tanpa baju, kepandaiannya seperti dewa, pandai terbang dan berlari di permukaan laut?"

Joko Wandiro menggeleng kepala. "Eyang guru Resi Bhargowo adalah seorang kakek yang halus dan sama sekali bukan seperti raksasa. Beliau memang sakti mandraguna, akan tetapi.... terbang dan berlari di permukaan laut..... kurasa..... entah bisa atau tidak....."

"Anak yang baik, kau bilang masih cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

"Guruku adalah ayahku sendiri, paman."

"Dan ayahmu, siapa dia?"

"Ayah bernama Pujo."

"Hayaaaaa ........ !" Ki Tejoranu meloncat kaget. "Ayahmu....... Pujo??"

"Betul, kenapa, paman?"

"Ah, betapa kebetulan sekali! Bukankah ayahmu itu orang gagah yang pernah membantu Ki Patih Narotama ketika dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dari teman-temannya dalam hutan di muara Sungai Lorog?"

"Betul. Ayahkulah yang dahulu di sana melawan paman sendiri. Aku juga melihat betapa paman tidak mau berkelahi dengan keroyokan kemudian ketika ayah datang, paman menghadapi ayah."

"Oohh-oh-ahh.......! Kau melihat pula hal itu ? Ayahmu hebat, seorang manusia sakti mandraguna. Pukulan-pukulannya ampuh melebihi golokku! Kalau ayahmu murid Resi Bhargowo sudah sedemikian hebat kepandaiannya, tentulah ilmu kepandaian eyangmu itu amat tinggi. Dengan demikian, belum tentu beliau akan celaka di tangan Jokowanengpati dan teman- temannya. Akan tetapi kakek raksasa itu.... ihh, ngeri dan serem hatiku kalau mengingatnya. Entah siapa dia, akan tetapi aku melihat dia masuk pulau bersama anak kecil temanmu itu, Endang Patibroto."

Joko Wandiro terheran. "Aku sendiri belum pernah melihat kakek yang paman maksudkan tadi."

"Anak baik, siapakah namamu?"

"Aku Joko Wandiro, paman."

Tiba-tiba Ki Tejoranu terpekik dan sekali tubuhnya berkelebat ia lenyap dari depan Joko Wandiro. Anak ini kaget sekali, cepat menengok dan kiranya kakek itu sudah berada jauh di belakangnya sehingga diam-diam ia amat kagum akan kecepatan gerak kakek ini.

"Ada apakah, paman?"

Ki Tejoranu menudingkan telunjuknya ke arah Joko Wandiro, suaranya gemetar ketika ia bertanya,

"Kau....... kau .......benarkah namamu Joko Wandiro.......??"

"Benar sekali, paman. Apakah anehnya dengan namaku?"

"Aneh sekali benar aneh sekali.... "

Ki Tejoranu melangkah maju menghampiri Joko Wandiro, lalu duduk di atas akar pohon di depan anak itu, memegang kedua pundak Joko Wandiro sambil menatap wajah tampan itu dengan pandang mata penuh selidik.

"Mereka bilang cucu adipati di Selopenangkep, putera Raden Wisangjiwo, diculik Pujo dan anak itu bernama Joko Wandiro..... "

"Bohong itu..... !"

Joko Wandiro berteriak merenggutkan diri terlepas dari pegangan Ki Tejoranu sambil melangkah mundur, matanya terbelalak dan wajahnya yang tampan kelihatan marah.

"Paman, mengapa paman seperti kakek tua jahat Cekel Aksomolo? Percaya akan segala kebohongan? Aku memang bernama Joko Wandiro, akan tetapi tidak diculik ayahku. Bagaimana seorang ayah menculik anaknya Sendiri? Kalau mau bicara tentang penculikan, agaknya Cekel Aksomolo yang dahulu hendak menculikku, ia memaksaku pergi ke Selopenangkep. Syukur paman dahulu datang menolong. Pujo yang paman sebut-sebut itu adalah ayahku, juga guruku. Sedangkan Wisangjiwo yang paman maksudkan itu, putera Kadipaten Selopenangkep, adalah musuh besarku, musuh besar ayahku yang akan kubunuh kalau aku berjumpa dengannya!"

Ki Tejoranu makin bingung.
"Kenapa? Apa sebabnya ayahmu memusuhinya?"

"Si keparat Wisangjiwo telah membunuh ibuku!" kata Joko Wandiro sambil menekan perasaannya. Tak mungkin ia sudi menceritakan pada orang lain bahwa ibunya tidak hanya dibunuh, akan tetapi juga diperhina oleh Wisangjiwo!

"Aahhh....... !"

Ki Tejoranu mengerutkan kening dan makin terheran-heran. Kemudian ia berkata, "Sungguh membingungkan keterangan-keterangan yang saling bertentangan ini. Akan tetapi, Joko anak baik. Yang sudah jelas bagiku adalah bahwa Pujo seorang laki-laki jantan dan sakti, sebaliknya Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang yang memiliki watak pengecut dan curang. Mereka itu amat kuat dan memiliki banyak kaki tangan, maka amat berbahayalah kalau sampai mereka dapat melihatmu. Oleh karena itu, kau sementara tinggal dulu bersamaku dan agar tidak kesal hatimu, berlatihlah ilmu silat dan juga ilmu golok yang kelak tentu amat berguna bagimu, sementara aku akan pergi menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu dan menyelidiki di mana adanya ayahmu. Akan kujumpai ayahmu di Muara Lorog dan memberi tahu kepadanya tentang keadaanmu. Kalau kau ikut bersamaku, aku khawatir akan bertemu dengan mereka di tengah jalan dan kalau terjadi hal itu, terus terang saja aku tidak akan kuat melindungimu."

Joko Wandiro adalah seorang anak yang cerdik. Ia tahu bahwa dirinya diselubungi rahasia yang aneh dan tahu pula bahwa Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang sakti yang takkan terlawan oleh Ki Tejoranu sendiri. Maka ia mengangguk dan membenarkan kakek itu. Apalagi ia memang kagum menyaksikan gerak-gerik kakek ini yang pernah ia lihat ketika bertanding. Ilmu golok kakek ini amat hebat maka Joko Wandiro menjadi girang untuk mempelajarinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima gemblengan Ki Tejoranu dalam ilmu silat yang gerakannya amat cepat. Mula-mula ia diberi pelajaran ilmu silat tangan kosong. Karena sejak kecil anak ini sudah mendapat gemblengan keras dari Pujo, kemudian malah mendapat bimbingan Resi Bhargowo sendiri, boleh dibilang Joko Wandiro telah memiliki dasar gerakan silat tinggi, maka dengan girang dan kagum Ki Tejoranu mendapat kenyataan betapa mudahnya anak ini mewarisi ilmunya. Segera ia menurunkan ilmu goloknya.

Pada pagi hari yang cerah itu, sebulan setelah Joko Wandiro mati-matian dan siang malam melatih ilmu silat, mereka duduk di bawah pohon cempaka, berada di atas rumpun dan berhadapan.

"joko Wandiro, anakku yang baik. Ilmu pukulan yang kau pelajari dalam sebulan ini adalah dasar ilmu golok, yang mulai hari ini akan kuajarkan kepadamu. Joko, bergiranglah engkau bahwa ilmu golok ini akan kau miliki, karena di negaraku sana, ilmu golokku ini sudah terkenal. Bahkan karena ilmu golokku inilah aku di sana dijuluki orang Si Golok Sakti. Julukan yang membuat aku sombong dan menyeleweng daripada kebenaran, lupa bahwa segala ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kebaikan sesuai dengan sifat Tuhan, dan bahwa di dunia ini tidak ada yang paling pandai kecuali Tuhan pula. Karena kesombongan dan penyelewenganku, maka aku terjatuh dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negaraku, merantau sampai di sini. Tidak hanya di negaraku, juga di sini berlaku hukum bahwa siapa yang mengandalkan ilmu, kedudukan, atau harta untuk bertindak sewenang-wenang melakukan kejahatan, dia akan runtuh! Juga di sini aku melihat kenyataan bahwa yang paling sakti adalah orang yang benar, karena yang benar dilindungi Tuhan Yang Maha Sakti."

Filsafat seperti ini sudah seringkali didengar Joko Wandiro, maka ia mengangguk-angguk membenarkan Ayahnya, juga eyang gurunya, sudah seringkali memberinya nasehat-nasehat dan petuah kebajikan hidup. Mulailah Ki Tejoranu menurunkan ilmu goloknya yang luar biasa itu kepada Joko Wandiro. Hebat memang ilmu golok ini. Ketika Ki Tejoranu memberi petunjuk sambil mainkan sepasang goloknya, tampak gulungan dua sinar putih menyilaukan mata disertai suara mbrengengeng (mengaung seperti lebah). Joko Wandiro memandang penuh perhatian dan kekaguman. Ki Tejoranu berhenti dan mulai memberi petunjuk secara mendetail dan perlahan.

"Anakku, di negaraku, aku dijuluki Si Golok Sakti karena ilmu golok ini. Ilmu golok ini dicipta oleh guruku berdasarkan gerakan ribuan ekor lebah putih yang mengeroyok seekor ular besar. Karena itu diberi nama Ilmu Golok Lebah Putih. Dasar keampuhannya terletak pada gerak-gerak menggunting seperti banyak lebah menyerang dari jurusan-jurusan berlawanan sehingga membingungkan lawan. Semua terdiri dari tiga puluh enam jurus yang dasar gerakannya telah kau pelajari dengan tangan kosong selama ini. Nah, sekarang perhatikan jurus pertama. Lihat baik-baik dan tirukan."

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima ilmu golok yang dipelajarinya penuh perhatian dan ketekunan. Ki Tejoranu terheran-heran dan amat kagum melihat anak ini. Benar-benar memiliki dasar dan bakat yang luar biasa. Dalam waktu sehari saja, Joko Wandiro dapat menguasai empat jurus dengan dasar gerakan yang cukup baik sehingga dalam waktu sembilan hari, ia telah menguasai Ilmu Golok Lebah Sakti. Pada hari ke sepuluh, Ki Tejoranu ketika bangun pagi sekali, telah mendengar suara anak itu berlatih seorang diri. Ia menghampiri, memandang penuh perhatian sambil mengelus-elus jenggotnya. Senang hatinya. Biarpun gerakannya belum trampil dan cepat benar, namun dasarnya sudah benar, tinggal mematangkannya dalam latihan saja. Benar luar biasa anak ini, pikirnya senang.

Tidak hanya gerakan kaki tangan yang sudah tepat, bahkan cara mengatur napas dalam gerakan silat ini, hal yang paling sulit diingat dan dipraktekkan dalam bersilat, sudah dikuasai Joko Wandiro! Setelah anak itu menghabiskan tiga puluh enam jurus dan hendak mengulang lagi dari pertama, Ki Tejoranu berkata,

"Berhentilah dahulu, Joko. Kulihat kau telah menguasai Lebah Putih, dan dasar-dasar gerakanmu sudah benar, hanya tinggal mematangkan saja. Kalau kau setiap hari berlatih, ilmu ini tentu akan mendarah daging kepadamu dan akan amat berguna kelak. Hari ini aku akan berangkat menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu, dan juga akan kucari ayahmu. Engkau tinggallah saja dalam hutan ini sambil berlatih ilmu golok. Jangan keluar dari dalam hutan ini sebelum aku pulang. Di hutan ini cukup banyak buah-buahan dan binatang, juga ada sumber airnya. Dalam waktu satu bulan aku akan kembali, anakku. Sepasang golok tipis ini, pusakaku selama puluhan tahun, kuberikan kepadamu, pakailah untuk berlatih."

Joko Wandiro menerima pusaka itu sambil mengucapkan terima kasih kepada kakek yang amat baik terhadap dirinya itu. Ia maklum akan bahayanya kalau sampai bertemu dengan musuh-musuh ayahnya, maka ia berjanji akan mentaati pesan Ki Tejoranu. Orang tua itu lalu berangkat meninggalkan Joko Wandiro, setelah meninggalkan pesan-pesan agar anak itu berhati-hati.

Mentaati pesan Ki Tejoranu, semenjak kakek itu pergi, Joko Wandiro selalu berlatih ilmu golok dengan amat tekun dan rajin. Boleh dibilang setiap saat ia berlatih ilmu golok, dan hanya berhenti untuk mengaso, makan atau tidur. Kadang-kadang ia seling dengan latihan ilmu yang ia pelajari dari ayahnya dan yang disempurnakan oleh eyang gurunya, yaitu ilmu pukulan Pethit Nogo dengan gerakan Bayu Tantra.

Berbeda dengan Ilmu Golok Lebah Putih ajaran Ki Tejoranu yang mengandalkan kegesitan tubuh dan kerja sama yang baik antara perasaan dan urat syaraf didasari peraturan gerakan dan langkah, adalah ilmu-ilmu yang ia pelajari dari ayah dan eyang gurunya lebih didasari aji kesaktian yang diperkuat oleh keteguhan batin berkat latihan samadhi dan bertapa.

Joko Wandiro memang memiliki bakat luar biasa untuk menjadi seorang ksatria utama. Tidak saja semua ilmu olah keprajuritan dapat ia kuasai dengan amat mudah, juga dalam hal tapa brata, ia amat tekun dan kuat. Semenjak masih kecil ia sudah dilatih dan digembleng ayahnya sehingga dahulu dalam usia delapan tahun saja ia sudah seringkali ikut ayahnya bertapa di dalam gua-gua di tepi pantai Laut Selatan. Bertapa dan bersamadhi sampai tiga hari tiga malam, tanpa makan tanpa minum! Bagi seorang dewasa, tentu saja hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagi seorang anak berusia delapan tahun, benar-benar merupakan hal yang mentakjubkan.

Kini ia sudah berusia dua belas tahun lebih. Bertapa tanpa makan minum selama satu minggu saja merupakan hal biasa bagi Joko Wandiro! Tidaklah mengherankan apabila dalam usia semuda itu, ia telah memiliki beberapa macam ilmu kesaktian yang mengagumkan. Dan sifat tahan tapa inilah agaknya yang membuat ia secara mudah sekali dapat menguasai Ilmu Golok Lebah Putih dalam waktu beberapa bulan saja. Padahal, Ilmu Golok Lebah Putih termasuk ilmu silat tinggi yang hanya mampu dikuasai seorang ahli silat yang sudah matang dasar-dasarnya, inipun untuk menguasainya secara sempurna membutuhkan waktu bertahun-tahun!

Sebulan lewat cepat. Ki Tejoranu belum juga pulang. Joko Wandiro yang mengharapkan kedatangan Ki Tejoranu dalam satu dua hari ini, berlatih giat sekali. Ingin ia menyenangkan hati kakek yang baik hati itu betapa selama ini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam Ilmu Golok Lebah Putih. Juga hatinya girang karena pulangnya Ki Tejoranu akan membawa berita tentang eyang gurunya dan ayahnya.

Pagi hari itu Joko Wandiro berlatih dengan tekun, mengerahkan seluruh tenaganya dan mencurah kan seluruh perhatian dalam gerakan-gerakannya. Sepasang golok tipis ringan di tangannya itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Anak ini belum mampu bergerak terlalu cepat sehingga tubuhnya lenyap terselimut gulungan sinar putih, akan tetapi berlatih kurang dari setengah tahun sudah dapat menggerakkan sepasang golok sehingga lenyap bentuknya, benar-benar sudah amat mengagumkan.

Tiba-tiba terdengar seruan suara aneh dan sesosok bayangan putih berkelebat dekat sekali dengan Joko Wandiro yang tengah bersilat. Mendadak sekali, tanpa dapat dicegah lagi sepasang golok terbang lenyap dari kedua tangan Joko Wandiro yang sama sekali tidak menyangka-nyangka. Anak ini cepat menengok dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tidak tampak siapapun juga di situ. Sepasang goloknya lenyap dan tadi ia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang disusul perampasan goloknya secara tiba-tiba. Kalau saja ia tahu bahwa bayangan itu merampas goloknya tentu ia akan melakukan perlawanan.

Dengan marah dan penasaran sekali, Joko Wandiro meloncat dan mengejar, mencari ke sana-sini di sekitar hutan, namun hasilnya sia-sia belaka. Kemudian ia duduk di bawah pohon sambil menunjang dagu, terheran, penasaran, dan juga agak gelisah. Ia mengingat-ingat. Bayangan itu tinggi kurus seperti bayangan seorang kakek tua, akan tetapi gerakannya begitu cepat dan ia sendiri tadi tengah bersilat dan tidak memperhatikan lain hal sehingga tidak dapat melihat jelas. Yang terang sepasang goloknya dirampas seorang kakek yang tentu saja memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Ia termenung penuh penyesalan dan kekecewaan. Ia harus berlatih makin giat. Ia harus dapat mematangkan ilmunya karena sudah berkali-kali ia alami betapa banyaknya orang-orang sakti di dunia ini yang harus ia hadapi. Orang-orang sakti yang menyalahgunakan kesaktiannya. Seperti Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Seperti kakek tak terkenal yang kini mencuri sepasang goloknya mengandalkan kesaktiannya. Kalau ia tidak kalah pandai, tak mungkin orang akan dapat merampas sepasang goloknya dengan semaunya dan seenaknya saja!.

Hatinya makin penasaran dan juga bingung Karena ia merasa malu bagaimana harus memberi keterangan kepada Ki Tejoranu tentang hilangnya sepasang golok pemberian kakek itu. Tiga hari kemudian, menjelang senja hari, datanglah Ki Tejoranu. Kakek ini kelihatan lelah sekali, dan tekukan wajahnya membayangkan berita yang tidak menggembirakan. Joko Wandiro menahan diri, dan tidak akan menceritakan pengalamannya sebelum kakek itu mengaso. Ia tidak mau menambah berita yang tidak menyenangkan pada kakek Ini. Cepat-cepat anak yang tahu akan kewajiban ini menyediakan dawegang (kelapa muda) untuk Ki Tejorartu minum, dan buah-buahan untuk makan. Setelah menghilangkan haus dan lelah, Ki Tejoranu berkata kepada anak yang duduk bersila di depannya,

"Aku agak terlambat, Joko. Akan tetapi perjalanan yang jauh itu sungguh melelahkan karena hasilnya kosong belaka. Baik eyang gurumu maupun ayahmu tak dapat kuketemukan. Tempat mereka kosong belaka, tidak ada seorangpun di Muara Lorog maupun di Pulau Sempu."

Tentu saja Joko Wandiro merasa amat kecewa. "Ke manakah mereka pergi, paman?".

"Tak seorangpun tahu ke mana perginya ayahmu, Pujo. Tidak ada orang mengenalnya. Juga di Pulau Sempu kosong, eyang gurumu tidak berada di sana lagi. Akan tetapi, aku banyak mendengar tentang perang saudara yang mulai mengamuk di kota raja dan kurasa ayahmu sebagai seorang satria tentu pergi ke sana. Adapun tentang eyang gurumu Bhagawan Rukmoseto, aku mendengar berita bahwa beliau itu pergi menuju ke pertapaan Resi Gentayu.....?"

"Resi Gentayu....?"

"Ya, Resi Gentayu atau Resi Jatmendra, atau juga Sang Prabu Airlangga yang mengundurkan diri dan bertapa di pertapaan Jalatunda."

Setelah berhenti sebentar Ki Tejoranu berkata pula, "Besok atau lusa akan kuhantar engkau ke Jalatunda menyusul kakek gurumu itu, Joko. Akan tetapi aku ingin melihat engkau berhasil lebih dahulu dalam latihan ilmu go lok Bagaimana, sudah ada kemajuankah?"

Ditanya begitu Joko Wandiro teringat akan sepasang goloknya yang dirampas orang, maka ia berlutut sambil mengeluh, "Aduh, celaka paman. Tiga hari yang lalu, selagi aku berlatih, sepasang golok itu dirampas orang...."

Ki Tejarani meloncat tinggi dan berdiri dengan muka merah, mata terpentang lebar, "Siapa....? Siapa berani merampas? Bagaimana pula ia dapat merampas golok? Di mana dia merampasnya?"

Sebelum Joko Wandiro sempat- menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek bermata sipit berkulit kuning yang tinggi kurus. Sepasang golok Lebah Putih berada di kedua tangannya! Joko Wandiro memandang dengan penuh keheranan. Kakek ini rambutnya sudah putih semua, usianya tentu amat tinggi. Pakaiannya seperti pertapa, berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sehelai pita sutera putih pula. Mata yang sipit itu kini memandang tajam ke arah Ki Tejoranu, kemudian mulutnya mengeluarkan kata-kata asing yang sama sekali tidak dimengerti Joko Wandiro.

Ki Tejoranu sejenak melongo memandang kakek itu, kemudian tiba-tiba Ki Tejoranu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek rambut putih itu dan mereka berdua lalu bercakap-cakap dalam bahasa asing. Joko Wandiro tidak mengerti apa yang mereka percakapkan. Akan tetapi melihat sikap kakek tua yang baru saja datang, agaknya kakek ini marah-marah kepada Ki Tejoranu, menunjuk-nunjuk ke arah dia dengan golok kiri sambil mengamang-amangkan golok kanan ke arah Ki Tejoranu.

Sebaliknya, Ki Tejoranu hanya menjawab dengan ucapan pendek-pendek, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang minta ampun. Kemudian kakek itu membentak keras dan melangkah ke arah Joko Wandiro, sikapnya mengancam. Akan tetapi Ki Tejoranu meloncat menghadang lalu berlutut lagi dan bicara sambil menggerak-gerakkan kedua tangan. Kakek tua itu termenung, agaknya meragu, tangan kiri yang memegang golok kini mengelus-elus jenggot panjang, kemudian mengangguk-angguk. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat ke depan. Bukan main cepatnya gerakan ini sehingga Joko Wandiro tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu sepasang golok itu sudah meluncur dan menancap di atas tanah di depan Ki Tejoranu, dan kakek itu seperti berkelebat lenyap dari tempat itu!. Lega rasa hati Joko Wandiro. Ia segera melompat menghampiri Ki Tejoranu.

"Ah, dia mengembalikan goloknya! Paman, siapakah kakek aneh itu dan apa kehendaknya?"

Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya mengeluh. Joko Wandiro melihat betapa wajah Ki Tejoranu pucat sekali dan alangkah kagetnya ia ketika ia memandang ke bawah, ia melihat dua buah jari tangan menggeletak di dekat sepasang golok. Dua buah ibu jari! Dan ketika ia memandang lagi, kiranya kedua tangan Ki Tejoranu telah kehilangan ibu jarinya!

BADAI LAUT SELATAN JILID 18


Badai Laut Selatan Jilid 17

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 17

Akan tetapi... tetapi...." Pujo sukar sekali mengeluarkan isi hatinya yang penuh keraguan. Ia memandang ke arah Roro Luhito, kemudian menoleh ke arah isterinya. Keadaan menjadi hening dan tegang.

Adipati Joyowiseso masih memandang ke arah Pujo, menanti jawaban penuh pandang memohon. Wisangjiwo juga menoleh ke arah Pujo. Kini Roro Luhito juga menggerakkan kepala, menoleh dan menatap wajah Pujo melalui tirai air mata. Namun Pujo tidak bergerak, tetap memandang kepada isterinya yang masih menundukkan muka. Agaknya pandang mata suaminya dan keadaan hening yang mencekam itu memaksa Kartikosari mengangkat muka memandang.

Bertemulah pandang mata Kartikosari dengan sinar mata suaminya yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Bibir yang merah itu merekah dalam senyum, pandang matanya penuh kasih dan rela, kemudian Kartikosari mengangguk memberi persetujuan kepada suaminya. Dalam detik-detik itu pandang mata suami isteri itu telah melakukan tanya jawab yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.

Pujo bernapas lega dan gerak-gerik mereka ini diikuti oleh pandang mata semua orang, termasuk pandang mata Roro Luhito. Kalau semua orang masih belum tahu apa makna semua itu, Roro Luhito sudah mengerti. Dengan isak tertahan ia meloncat, menubruk dan merangkul leher Kartikosari, kemudian melepas rangkulannya dan lari keluar dari kamar itu! Kartikosari tersenyum dan mengusap air mata Roro Luhito yang membasahi pipinya ketika puteri adipati itu tadi mengambungnya.

Dengan anggukan kepala Kartikosari memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua keluar dari kamar itu mengejar Roro Luhito. Roro Luhito duduk di atas sebuah bangku dalam taman sari, menyembunyikan mukanya dalam kedua tangan, menangis terisak-isak, sepasang pundaknya bergerak-gerak dan ia sama sekali tidak tahu betapa Pujo dan Kartikosari menghampirinya dari belakang dengan langkah perlahan, bergandengan tangan.

Kartikosari berhenti, melepaskan tangan suaminya, lalu mendorong-dorong pundak suaminya ke depan. Pujo meragu, berat rasa hatinya harus menyapa Roro Luhito dalam keadaan seperti itu, di depan isterinya yang tercinta. Akan tetapi dengan isyarat pandang mata, gerak bibir dan dorongan-dorongan, Kartikosari membujuknya. Pujo melangkah ke depan sampai dekat .Roro Luhito. Dadanya berdebar, kerongkongannya serasa kering sehingga sukar sekali baginya mengeluarkan suara.

"Diajeng...." Akhirnya dapat juga ia bersuara.

Roro Luhito seketika berhenti terisak, tubuhnya tak bergerak, seakan-akan suara itu telah mencabut sukmanya. Kedua tangan masih menutupi muka, akan tetapi ia tidak menangis lagi, bahkan seakan tidak bernapas, agaknya tidak percaya akan mendengar suara Pujo. Pujo tadi sudah diajari isterinya bagaimana harus bicara kepada Roro Luhito, Kalimat itu sudah hafal olehnya, namun mulutnya sukar digerakkan, lehernya seperti tercekik.

Tentu saja ia bukan seorang laki-laki yang lemah, bukan pula pemalu. Hanya karena Kartikosari berada di situ, hal inilah yang membuat ia merasa sungkan, malu, dan tak enak hati. Betapa ia dapat berkasih sayang dengan wanita lain di depan isterinya, wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya? Ia memaksa diri ketika melirik ke kiri dan melihat Kartikosari kembali mendorong-dorongnya dengan isyarat pandang mata dan gerak mulut.

"Diajeng Roro Luhito, mengapa kau menangis ? Kalau..... kalau sekiranya diajeng tidak setuju dengan usul paman adipati..... jangan khawatir, diajeng, aku.... aku dapat membatalkan...."

Belum habis Pujo mengucapkan kalimat hafalan yang didekte oleh Kartikosari itu tiba-tiba Roro Luhito menangis lagi dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Pujo yang berdiri terlongong seperti patung penjaga alun-alun keraton!.

"eh..... nimas Sari.... kalau sudah begini bagaimana ini....?"

Pujo tergagap bingung memandang isterinya dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan terguling karena kedua kakinya yang dirangkul itu mendadak menggigil...!

"Aduh, bodohnya laki-laki! Itu tandanya ia setuju!" kata Kartikosari menahan tawa.

Mendengar suara ini, Roro Luhito terkejut. Tak disangkanya bahwa Kartikosari berada di situ pula. Ia mengangkat muka, lalu ia melepaskan kaki Pujo, serta-merta ia berlutut di depan Kartikosari, sambil menangis tersedu-sedu.

"Duhai Dewata yang mulia.... betapa mungkin Roro Luhito berlaku serendah ini....?" Roro Luhito menjerit lirih sambil menangis.

"Diajeng..... !!" Pujo dan Kartikosari berseru hampir berbareng karena kaget.

Roro Luhito mengangkat muka memandang mereka. Muka yang merawankan hati, agak pucat, matanya merah, air matanya berderai-derai.

"Kakangmas.... mbokayu..... kalian tentu tahu betapa cinta hatiku hanya tertuju kepada kakangmas Pujo. Aku rela mati demi cinta kasihku kepada kakangmas Pujo. Akan tetapi..... kakangmas Pujo adalah suami mbokayu Kartikosari yang begitu baik kepadaku..... yang melepas budi kepadaku.... betapa mungkin aku berlaku serendah ini, menyakiti hati mbokayu Kartikosari....?"

Kartikosari terharu dan segera berlutut pula, merangkul Roro Luhito. "Diajeng, kau keliru. Aku tahu betapa suci murni cinta kasihmu terhadap kakangmas Pujo, dan aku tahu pula betapa baik dan bersih hatimu terhadap aku. Tahukan engkau, diajeng, bahwa aku telah mengajukan syarat kepada kakangmas Pujo? Syaratku kepadanya, aku hanya mau bertugas sebagai isterinya kembali, melakukan kewajiban, sebagai isteri yang melayani suami, hanya dengan syarat bahwa engkau harus menjadi maduku! "

Roro Luhito tersentak kaget, menjauhkan mukanya untuk dapat memandang wajah Kartikosari dengan jelas melalui air matanya, matanya dilebarkan. Kedua orang wanita itu saling pandang, keduanya mengeluarkan air mata dan akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan saling berciuman. Pujo yang masih berdiri itu hanya dapat memandang. Keningnya berkerut matanya termenung, mulutnya tersenyum-senyum bingung, dan melihat dua orang wanita itu berpelukan dan bertangisan, ia mengangkat pundaknya berkali-kali sambil meraba-raba kumisnya yang tipis. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Kartikosari menegur,

"Kenapa kau berdiri seperti patung di situ, kakangmas?"

"Eh.... habis..... bagaimana ini.... selanjutnya?" jawabnya gagap.

Kartikosari menarik Roro Luhito bangkit berdiri. Dengan pipi masih basah Kartikosari tersenyum kepada suaminya. "Apa kau tidak mau menerima diajeng Roro Luhito menjadi isterimu, kakangmas Pujo?"

Roro Luhito mengangkat muka pula, sepasang matanya memandang tajam kepada Pujo. Sepasang mata bintang, tajam jernih, indah! Pujo menelan ludah, sukar sekali menjawab pertanyaan yang diajukan isterinya seperti todongan ujung keris ini.

"Bagaimana? Kakangmas, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan tegas!" Kartikosari menegur.

"Betul ucapan mbokayu Kartikosari" Roro Luhito menyambung, suaranya juga tegas seperti suara Kartikosari.

"Kalau kakangmas merasa keberatan dan tidak tidak suka menerimaku, hendaknya berterus terang saja dan aku akan ikut dengan bapa resi guruku untuk menjadi seorang pertapa."

Ia menutup kata-katanya dengan isak ditahan. Kembali Pujo menelan ludah, kemudian ia menentang pandang mata kedua wanita itu, mengangkat dada dan menjawab lantang, "Aku mau!!"

Jawaban ini dikeluarkan dengan suara yang amat lantang, terlalu lantang sehingga jelas tidak sewajarnya dan dibuat-buat untuk memberanikan hati. Keadaan ini amat lucu sehingga Kartikosari tidak dapat menahan ketawanya. Apalagi Roro Luhito, wanita yang pada dasarnya memang lincah dan gembira. Karena kini hatinya penuh dengan kebahagiaan, menyaksikan sikap calon suaminya yang memang sejak sepuluh tahun yang lalu telah menjadi pujaan hatinya ini, tak dapat menahan kegelian hatinya. Ia memeluk Kartikosari, menyembunyikan mukanya dan tertawa sampai terpingkal-pingkal dengan air mata membanjir keluar!

Pujo berbesar hati. Tadi ia bingung menyaksikan dua orang wanita itu bertangis-tangisan. Akan tetapi sekarang menyaksikan wajah isterinya penuh senyum yang manis dan cerah, melihat pula betapa Roro Luhito tertawa-tawa sambil menyembunyikan muka karena malu-malu, ia menjadi bangga. Dengan langkah lebar ia mendekat. Hanya tiga langkah dan ia sudah berada di depan mereka, kedua lengannya dikembangkan dan dua orang wanita itu sudah berada dalam rangkulan dan pelukannya. Dengan kedua lengannya yang kuat, ia memeluk dan mendekap mereka di atas dadanya. Kartikosari di dada kanan, Roro Luhito di dada kiri.

Kedua wanita itupun meramkan mata sambil balas memeluk, menyembunyikan muka di atas dada yang bidang, merasa aman sentosa dan bahagia. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, tanpa bicara karena dalam saat seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulut terlampau miskin untuk menyampaikan getaran rasa nikmat yang menggelora dan menggetar-getar dari dalam hati. Sebagai seorang wanita yang halus perasaannya, Kartikosari yang lebih dulu tergugah. Maklum betapa suaminya terbuai getaran cinta kasih yang menggelora, ia cepat berkata, suaranya halus tapi menekan,

"Kakangmas, kiranya cukuplah. Seorang satria harus teguh memegang janji. Belum tiba saatnya kita saling menumpahkan perasaan cinta kasih."

cerita silat online karya kho ping hoo

Pujo menarik napas panjang untuk menekan gelora hatinya yang benar-benar hampir terseret gelombang asmara yang amat hebat. Dengan kedua tangan di atas pundak kedua isterinya, ia mendorong mereka, menatap wajah mereka, lalu berkata, "Sekali lagi aku berjanji bahwa sebelum musuh besar kita bertiga terbalas, aku akan menahan diri dan tidak akan menuntut hakku sebagai suami terhadap kalian, kedua isteriku yang terkasih."

"Wah, enak saja dia ini menyebutmu sebagai isterinya, diajeng!" Kartikosari menggoda suaminya.

"Kakangmas Pujo, kau belum menjawab permintaan paman adipati. Beliau tentu menanti-nanti, hayo kau lekas ke sana memberikan jawabanmu."

Pujo meragu, memandang kepada Roro Luhito, seakan minta pertimbangan. Roro Luhito yang kini berseri-seri wajahnya sehingga menjadi makin cantik manis, mengangguk dan berkata, "Betul pendapat mbokayu Sari, kakangmas. Kau harus memberi jawaban kepada ayah."

Kartikosari makin lebar senyumnya, matanya menggoda, tangan kirinya memeluk pinggang Roro Luhito. Pujo hendak membantah, namun menghadapi dua orang wanita yang sependapat ini, akhirnya ia menghela napas, mengangkat kedua pundak, membalikkan tubuh dan melangkah pergi sambil mengembangkan kedua lengan ke depan. Wah, berat kalau begini, pikirnya di antara kebahagiaan hatinya. Kalau mereka berdua sudah bersatu padu, dia seakan-akan dihadapkan lawan yang luar biasa kuatnya. Ia tahu bahwa sejak saat itu, ia takkan dapat lagi merasa lebih tinggi dan lebih kuat daripada Kartikosari ataupun Roro Luhito yang agaknya telah membentuk persekutuan yang amat erat dan kuat. Berpikir demikian, Pujo meringis dan mempercepat langkahnya menuju ke dalam kadipaten, ke dalam kamar di mana Adipati Joyowiseso sudah menanti-nanti kembalinya.

Tak tahu ia betapa Kartikosari dan Roro Luhito menutup mulut menahan ketawa melihat ia berjalan sambil mengembangkan lengan dan kepalanya bergeleng-geleng seperti itu! Dapat dibayangkan betapa lega dan girang Adipati Joyowiseso ketika Pujo menghadap dan menyatakan persetujuannya akan usul adipati itu tentang perjodohannya dengan Roro Luhito. Adipati Joyowiseso yang sudah tua dan keluarganya telah hancur berantakan itu merasa lega, karena sesungguhnya hanyalah keadaan puterinya ini yang menyusahkan hatinya. Seorang gadis yang sudah berusia dua puluh enam tahun, dinodai peristiwa aib karena perbuatan Jokowanengpati yang terkutuk. Akan bagaimanakah jadinya kelak kalau tidak cepat-cepat dijodohkan dengan seorang yang patut menjadi suaminya? Dan menurut pendapatnya, tidak ada yang lebih tepat menjadi suami Roro Luhito kecuali Pujo, laki-laki gagah perkasa yang juga menjadi idaman hati anaknya itu.

Atas desakan sang adipati, pernikahan dilakukan serentak tiga hari kemudian! Upacara pernikahan yang amat sederhana, terlalu sederhana bagi puteri seorang adipati. Adipati Joyowiseso tidak mengundang bangsawan-bangsawan lain, bahkan tidak pula mengundang kenalan-kenalan lain dari luar Selopenangkep. Upacara pernikahan itu hanya disaksikan oleh hamba-hamba setia kadipaten, dan dihadiri pula oleh penduduk Selopenangkep yang tua dan yang penting saja. Karena tidak mempunyai keluarga yang tua, Pujo dan Kartikosari mohon pertolongan Resi Telomoyo untuk menjadi wali pengantin pria. Dengan senang hati resi tua itu meluluskan permintaan Pujo, sedangkan yang menjadi wali pengantin wanita adalah ayahnya sendiri.

Adipati Joyowiseso mendadak tampak sehat kembali pada hari itu, mengenakan pakaian kebesaran dan wajahnya berseri gembira. Akan tetapi pengantin wanita menangis penuh keharuan karena teringat akan ibunya yang tewas dalam penyerbuan kadipaten. Tertawa dan menangis! Dua macam keadaan yang berlawanan inilah yang berselang-seling memenuhi kehidupan manusia. Di saat ini tertawa gembira bersuka ria, di saat lain menangis sedih berduka cita.

Dunia bagaikan panggung sandiwara dan manusia menjadi pelaku-pelaku, bahkan banyak muncul badut-badut setelah diperhamba nafsu dan perasaan. Ataukah . lebih tepat disebut bahwa dunia bagaikan rumah gila ? Bahwa manusia adalah mahluk-mahluk gila yang saling menonjolkan kegilaannya agar kelihatan bahwa dialah yang paling gila daripada segala yang gila?? Manusia mudah tertawa, mudah menangis. Mudah bersuka, mudah berduka.

Pada umumnya apabila keinginannya terlaksana, muncul senyum suka Sebaliknya, apabila keinginannya tidak terlaksana, muncul tangis duka. Sedangkan semua keinginan itu berputar kepada keuntungan untuk dirinya sendiri, berlandaskan nafsu menyenangkan diri pribadi. Mengharap, dapat, tertawa. Mengharap, luput, menangis. Tawa tangis,menjadi kebiasaan manusia yang sudah tidak mampu menguasai d irinya sendiri, yang sudah menjadi hamba daripada nafsu sendiri. Tawa dan tangis adalah sepasang tangan dari badan yang satu. Tawa dan tangis adalah sepasang saudara kembar yang silih ganti bermunculan, saling berlomba untuk memperebutkan dan menguasai hati manusia.

Manusia yang sadar dapat menguasai mereka, di waktu suka berkunjung, dapat menjenguk dan melihat duka berdiri di ambang pintu, siap menanti gilirannya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya, seorang manusia yang sadar selalu akan tenang dan menerima segala kejadian di dunia yang menimpa dirinya sebagai kejadian yang wajar, yang semestinya dan yang tak dapat ia robah atau halangi seperti munculnya sang matahari Matahari muncul dan terjadilah panas terik. Ini sudah wajar. Sudah semestinya. Tidak ada suka, tidak ada duka, tidak ada tawa tidak ada tangis. Manusia sadar dapat menerima kewajaran ini sebagai kenyataan yang mengandung anugerah, dapat memetik manfaat daripadanya.

Mata seorang sadar dapat melihat bahwa di balik panas terik yang menyengat dan menghanguskan, terciptalah keteduhan nikmat di bawah pohon yang rindang! Melihat nikmat dalam nyeri, mengena! nyeri dalam nikmat. Mengenyam manis dalam pahit, merasai pahit dalam manis. Mencium ganda busuk dalam harum, mengenal harum dalam ganda busuk! Bahagialah selalu manusia yang sadar!


Hanya tiga hari kemudian semenjak upacara pernikahan, Adipati Joyowiseso menghembuskan napas terakhir, diiringi tangis Roro Luhito dan Wisangjiwo. Seperti juga pada upacara pernikahan antara Roro Luhito dan Pujo, upacara pemakaman sang adipati dilakukan dengan sederhana, dilayat oleh mereka yang tiga hari yang lalu menjadi tamu dalam upacara pernikahan!

Kalau dalam pertemuan pertama, Roro Luhito merupakan penghibur bagi Pujo dan Kartikosari sehingga dalam perjalanan mereka itu terdapat kegembiraan, adalah kini kedua orang inilah yang selalu menghibur Roro Luhito. Setiap hari tampak Roro Luhito dihibur oleh Pujo dan Kartikosari di dalam taman sari. Sebagai pengantin baru, sudah sepantasnya Pujo berlangen asmoro dengan kedua isterinya di dalam taman indah. Melihat mereka bertiga bermesra-mesraan di dalam taman, tentu semua orang akan menyangka demikian. Mengira Pujo berbulan madu dengan Roro Luhito, ditemani Kartikosari sebagai isteri pertama yang penuh toleransi!

Perkiraan ini membuat para pelayan tersenyum-senyum, membuat para dayang saling cubit menahan tawa, mengerling penuh arti. Padahal sesungguhnya, Pujo dan Kartikosari hanyalah menghibur hati Roro Luhito agar jangan terlalu dikuasai kedukaan. Mereka bertiga adalah orang-orang gemblengan yang tahan uji, tidak akan mudah dikuasai nafsu. Sekali dalam hati berjanji, sampai matipun akan dipegang teguh janji ini. Sebagai seorang laki-laki yang sehat, tentu saja sumpah atau janji mereka itu terasa amat berat. Kedua isterinya demikian ayu, demikian denok, dan bersikap mesra penuh kasih kepadanya. Ia harus mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membendung hasrat hendak mencurahkan seluruh kasih sayang dan rindu dendamnya kepada kedua isterinya, terutama sekali kepada Kartikosari. Namun, Pujo memaksa diri mempertahankan, karena ia kini maklum akan keadaan hati kedua isterinya.

Sebagai wanita-wanita utama, tentu saja mereka akan merasa rendah diri melayani suami sebagai isteri-isteri tercinta, apabila Jokowanengpati yang mendatangkan aib dan noda itu belum tewas di depan kaki mereka!. Sementara itu, Raden Wisangjiwo dibantu oleh Resi Telomoyo keluar dari kadipaten dan memimpin sendiri anak buahnya dalam usahanya mencari Raden Joko Wandiro, puteranya, dan Endang Patibroto, puteri Pujo. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setiap kali kembali ke kadipaten, wajah Wisangjiwo makin keruh dan pucat. Namun segera ia berangkat lagi mencari ke lain jurusan.

Sebulan kemudian, utusan yang disuruh berangkat ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Sepuh tentang keadaan Kadipaten Selopenangkep, telah tiba kembali di kadipaten. Mereka membawa berita yang mengejutkan, yaitu bahwa perang telah terjadi secara terbuka antara pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan pengikut Pangeran Anom! Wisangjiwo juga dipanggil ke kota raja oleh Pangeran Sepuh karena perang saudara itu membutuhkan bantuan sebanyaknya. Juga utusan itu membawa berita bahwa di antara panglima yang membantu Pangeran Anom, terdapat senopati Jokowanengpati yang terkenal pandai mengatur pasukan dan sakti.

Panas sekali hati Wisangjiwo mendengar ini. Hatinya sedang risau karena usahanya mencari Joko Wandiro belum juga berhasil. Kini mendengar tentang Jokowanengpati, ia marah sekali dalam hati. Puteranya hilang adalah karena kebiadaban Jokowanengpati, demikian kata hatinya. Ia lalu menemui Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo.

"Aku harus berangkat segera ke kota raja," katanya. "Kalau perang antara kedua pangeran telah pecah, berarti perang saudara yang hebat. Pangeran Anom dibantu oleh banyak orang sakti seperti Cekel Aksomolo, Ni Durgogini, Ni Nogogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Warok Krendoyakso dan anak buahnya yang buas. Juga Jokowanengpati si keparat merupakan tangan kanan Pangeran Anom. Oleh karena itu, kalau saja kalian bertiga, juga paman Resi Telomoyo suka, saya minta dengan hormat agar supaya ikut pula ke kota raja. Membantu Pangeran Sepuh berarti membantu keturunan Mataram. Pangeran Sepuh adalah putera Sang Dewi Sekarkedaton, cucu mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berdarah Mataram asli. Akan tetapi Pangeran Anom adalah pangeran yang berdarah keturunan Sriwijaya! Bukan tidak mungkin kalau Pangeran Anom yang menguasai Kahuripan, kelak kita semua akan menjadi orang jajahan Sriwijaya. Andaikata andika sekalian tidak tertarik akan hal ini, juga dengan membantu Pangeran Tua berarti menentang Pangeran Muda yang mempergunakan tenaga orang-orang jahat, berarti kita telah melakukan dharma satria membasmi kejahatan."

"Kakangmas Wisangjiwo. Hal-hal lain tidak menarik hati kami bertiga, akan tetapi dengan adanya si keparat Jokowanengpati di sana, kami bertiga tentu saja akan berangkat pula ke sana. Kalau dia membantu Pangeran Anom, dengan sendirinya kami akan membantu lawannya, yaitu Gusti Pangeran Sepuh," kata Pujo dan kedua orang isterinya mengangguk-angguk tanda setuju.

"Bagaimana dengan paman Resi Telomoyo?" Wisangjiwo bertanya penuh harapan, matanya menyinarkan kegirangan karena Pujo bertiga ikut pula membantu Pangeran Sepuh. Tenaga tiga orang ini amat hebat dan berguna dalam perlawanan menghadapi orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom.

"Hemmm, aku sudah tua, raden. Aku tidak suka akan perang bunuh membunuh antara manusia memperebutkan kemenangan. aku tidak butuh kemewahan, tidak pula butuh pahala. Akan tetapi, kalau pertapa-pertapa seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu meninggalkan pertapaan mengejar keduniaan mengandalkan kesaktian, tentu keadaan akan menjadi miring dan berat sebelah. Terpaksa akupun harus turun tangan menghalangi mereka. Mari kita berangkat!"

Girang hati Wisangjiwo mendengar ini dan ia tertawa melihat kakek itu menjadi bersemangat dan tergesa-gesa. "Harap paman resi bersabar karena saya masih menanti kembalinya pasukan yang saya utus pergi menjemput isteri saya di dusun Selogiri."

"Hahh ? Selogiri di lereng timur Gunung Lawu?" Resi Telomoyo bertanya.

"Betul, paman." Wisangjiwo menarik napas panjang penuh penyesalan. "Semua gara-gara Jokowanengpati....." ia melirik ke arah Pujo. "Saya tertipu muslihatnya, mempercaya mulutnya. Karena kehilangan Joko Wandiro isteri saya Listyokumolo seperti berubah ingatannya. Saya...... saya tadinya menyangka buruk terhadap adimas Pujo sehingga saya pulangkan isteri saya itu kepada ayahnya, lurah Selogiri. Saya menyesal, paman, dan sekarang saya menyuruh pasukan menjemputnya, akan saya ajak bersama ke kota raja. Kasihan isteri saya....." Wisangjiwo termenung.

"Ahh, saya mengaku salah alamat, saya telah menjadi seekor binatang buas, merampas puteramu sehingga membuat isterimu menjadi berduka "

"Sudahlah, dimas. Semua telah terjadi dan semua mempunyai kesalahan. Tinggal sekarang kita merubah segala kesalahan yang lalu. Mudah-mudahan saja nimas Listyokumolo sudah sembuh dan suka mengampunkan aku." Dua hari kemudian datanglah pasukan yang ditunggu-tunggu.

Wajah Wisangjiwo menjadi muram karena tidak melihat isterinya bersama mereka. Apalagi setelah ia mendengar laporan kepala pasukan, ia menjadi berduka sekali. Kiranya, menurut hasil penyelidikan pasukan itu, tidak lama semenjak Listyokumolo pulang ke dusun Selogiri, dusun itu dilanda malapetaka. Sekelompok perampok menyerbu Selogiri. Biarpun lurah Selogiri, ayah Listyokumolo, bersama para penduduk melakukan perlawanan, namun tidak kuat mereka menghadapi para perampok. Lurah Selogiri tewas, banyak penduduk laki-laki yang tidak sempat melarikan diri dibunuh, dusun dibakar dan banyak wanita terculik. Di antaranya, Listyokumolo dibawa lari oleh kepala rampok! Melihat kakaknya berwajah pucat dan menjambak-jambak rambut penuh penyesalan, Roro Luhito memegang pundak kakaknya sambil menangis.

"Kasihan nasib kangmbok Listyokumolo...."

Wisangjiwo menghela napas dan menengadahkan kepalanya. "Duh Dewata Yang Agung, inikah hukumanku? Biarlah, Luhito, biar impas semua dosaku, karena tiada kejahatan tanpa hukuman dan kalau kuingat akan kelakuanku yang lalu, sungguh belum seberapa hebatnya hukuman ini. Mari, adikku, mari kita berangkat, mari kita mencari si jahanam Jokowanengpati, biang keladi segala peristiwa pahit ini!"

Setelah meninggalkan sepasukan penjaga untuk menjaga Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah mereka, Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo berkuda, diiringkan pasukan yang kesemuanya berkuda. Biarpun wajahnya membayangkan kebesaran semangat dan kegembiraan seorang perajurit yang siap bertempur namun di dalam hatinya, Wisangjiwo menangisi isterinya. Teringat ia sekarang akan segala derita yang dialami Listyokumolo. Betapa dahulu, Listyokumolo gadis dusun yang cantik jelita dan bahagia itu terpaksa menyerah kepadanya dan hidup di dalam Kadipaten Selopenangkep. Betapa Listyokumolo dengan sepenuh jiwanya berusaha menyesuaikan diri, berusaha mencinta suaminya dan betapa Listyokumolo selalu bersabar digoda tingkah laku suaminya yang selalu mengejar-ngejar wanita cantik.

Teringat ia betapa kejam hatinya, tidak kasihan melihat isterinya seperti gila kehilangan putera, tidak menghiburnya malah mengusirnya pulang ke Selogiri! Kalau sekarang ia teringat betapa akan celaka nasib isterinya itu diculik kepala perampok, hatinya terasa ditusuk-tusuk ujung keris berbisa. Ia berjanji di dalam hati bahwa setelah selesai perang dan masih hidup, ia akan menggunakan sisa usianya untuk mencari isterinya, mencari Listyokumolo sampai dapat dan kalau isterinya itu sudah mati, ia akan membalas mereka yang menyakiti isterinya, terutama kepala perampok itu!

Pujo dan Kartikosari sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka berangkat mengikuti Wisangjiwo bersama Roro Luhito dan Resi Telomoyo menuju ke kota raja, terjadi penyerbuan di Pulau Sempu terhadap Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Sama sekali tidak tahu betapa hampir saja Resi Bhargowo tewas oleh pengeroyokan jago-jago utusan Pangeran Anom yang ingin merampas pusaka Mataram. Juga tidak tahu betapa dua orang anak yang mereka cari-cari selama ini berada pula di Pulau Sempu dan dengan adanya penyerbuan menjadi cerai-berai.

Seperti kita ketahui, Endang Patibroto bertemu dengan seorang manusia yang luar biasa saktinya, ialah Dibyo Mamangkoro bekas senopati Kerajaan Wengker. Endang Patibroto kemudian ikut pergi dengan Dibyo Mamangkoro sebagai muridnya, pergi ke sebuah pulau yang pada waktu itu merupakan pulau gawat, penuh dengan iblis bekasakan sehingga terkenal sebagai tempat yang disirik (pantang) orang karena kabarnya orang yang masuk ke pulau itu tentu akan tewas dan tidak dapat keluar kembali. Bahkan para nelayan tidak ada yang berani mendekatkan perahu ke pulau itu di waktu mereka mencari ikan. Pulau itu bukan lain adalah Pulau Nusakambangan! .

Dibyo Mamangkoro manusia yang wataknya seperti bukan manusia lagi itu, seorang sakti mandraguna yang sukar dicari tandingannya, tidak mempunyai putera maupun keluarga lain. Semua keluarga terbasmi habis ketika Kerajaan Wengker di mana ia mengabdi hancur dalam perang melawan Kahuripan sehingga ia sendiri melarikan diri dan bersembunyi di Nusakambangan.

Kini melihat Endang Patibroto, ia merasa amat suka. Anak perempuan ini memiliki dasar watak yang liar, ganas dan tidak pernah mau kalah, sebuah watak yang cocok dengan watak Dibyo Mamangkoro. Selain itu, anak ini memiliki tubuh yang amat baik, tulang seorang calon pendekar sakti. Di samping ini semua, Endang Patibroto pandai mengambil hati dan anak ini sendiripun suka berlatih ilmu serta rajin.

Inilah sebabnya mengapa Dibyo Mamangkoro melakukan hal yang selama hidupnya belum pernah ia lakukan, yaitu, mengambil murid dan setiap hari tekun melatihnya dengan rasa kasih sayang yang makin mendalam sehingga Endang Patibroto dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. Kakek yang sakti mandraguna ini mengambil keputusan untuk menurunkan dan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Endang Patibroto!

********************


Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang bertahun-tahun digembleng oleh Dibyo Mamangkoro, seakan-akan mereka berdua itu sudah terputus hubungannya dengan dunia ramai, hanya berteman binatang-binatang buas dan hutan lebat. Mari kita ikuti perjalanan Joko Wandiro yang meninggalkan Pulau Sempu dalam keadaan pingsan. Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular kecil berwarna hijau ketika ia menyembunyikan patung kencana ke atas pohon randu alas.

Mula-mula, kakinya yang digigit, kemudian pergelangan lengan kanannya. Biarpun ia sendiri dapat membunuh ular itu dengan menggigit lehernya dan mengisap darahnya, namun racun ular membuat Joko Wandiro menggeletak pingsan ketika ia ditemukan Ki Tejoranu yang kebetulan datang pula ke Pulau Sempu karena kakek pertapa dari Danau Sarangan ini diam-diam mengikuti gerak-gerik Jokowanengpati dan teman-temannya.

Melihat betapa bocah yang pernah menolongnya dan yang dianggap sebagai tuan penolongnya itu menggeletak pingsan dan setelah memeriksa ia maklum bahwa Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular berbisa, Ki Tejoranu cepat mengangkat tubuh Joko Wandiro dan membawanya pergi dari Pulau Sempu. Ketika menyeberangi laut menuju ke darat, Ki Tejoranu cepat menotok jalan darah di lutut dan siku untuk mencegah racun ular menjalar makin jauh ke tubuh Joko Wandiro. Kemudian, setibanya di darat, ia memondong tubuh anak itu dan segera membawanya ke dalam hutan. Tubuh Joko Wandiro amat panas! Ki Tejoranu segera mencari daun-daun obat.

Untung bahwa bumi Pulau Jawa amatlah lohjinawi, tidak saja subur menumbuhkan bahan makan yang berlimpah-ruah, juga menjadi tempat hidup segala macam daun-daun berkhasiat obat mujarab. Dengan tergesa-gesa Ki Tejoranu mengumpulkan daun Sambiloto daun Jintan, daun Ketumbel, dan daun Ngokilo, memasaknya dan menuangkan jamu ini ke dalam tenggorokan Joko Wandiro yang masih pingsan. Ia merasa heran mendapat kenyataan ketika ia minumkan jamu itu bahwa tubuh Joko Wandiro tidaklah panas lagi dan napasnya tidak terengah-engah seperti tadi. Kakek ini tidak tahu bahwa secara kebetulan Joko Wandiro telah minum obat yang cukup manjur, yaitu darah ular itu sendiri!

Kemudian Ki Tejoranu masuk ke dalam hutan lagi dengan gerakan amat cepat. Tak lama ia mencari-cari dan ketika kembali, ia sudah membawa obat-obat yang ia perlukan, yaitu bawang putih, jeruk pecel, dan madu tawon. Ramuan obat ini ia pakai untuk mengompres luka di kaki dan pergelangan lengan bekas gigitan ular. Penuh ketekunan kakek ini merawat Joko Wandiro sehingga dalam waktu tiga hari saja anak itu telah sembuh sama sekali.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Joko Wandiro siuman. Ia membuka mata dan terheran-heran mendapatkan dirinya berada dalam sebuah gubuk kecil terbuat dari bambu dan daun kelapa, rebah di atas tanah bertilam anyaman daun kelapa. Joko Wandiro terheran-heran, apalagi ketika ia bangkit dan berdiri, ia merasa betapa perutnya hangat dan di dalam dadanya terasa getaran-getaran tarik-menarik yang aneh. Sebagai murid dari orang-orang sakti, ia maklum betapa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mukjijat yang dihimpun dari hawa sakti.

Setiap orang manusia memiliki hawa sakti ini, hanya tidak setiap orang tahu bagaimana untuk menghimpun dan mempergunakannya. Justeru kepandaian menghimpun hawa sakti inilah yang amat sukar dipelajari, membutuhkan ketekunan dan latihan serta gemblengan guru-guru yang sakti, membutuhkan cara bersamadhi dan latihan pernapasan yang matang.

Biarpun Joko Wandiro sudah maklum akan cara-caranya, namun ia belum matang berlatih dan karenanya ia merasa amat heran mengapa kini hawa sakti di dalam tubuhnya menimbulkan getaran-getaran sedemikian hebatnya! Kemudian ia teringat betapa ia tergigit ular dan betapa dengan ketakutan ia berlari-lari sambil memanggil kakek gurunya. Teringat akan ini, ia terkejut dan cepat memandang pergelangan tangan kanannya. Sudah sembuh sama sekali! Juga kakinya yang tergigit ular tidak ada bekasnya lagi. Ia merasa heran dan bingung. Sambil melompat keluar dari dalam gubuk kecil itu ia berseru memanggil.

"Eyang guru.....!!"

"Eh, kau sudah bangun? Sudah sembuh.....??"

Seruan girang ini membuat Joko Wandiro cepat membalikkan tubuh. Ki Tejoranu telah berdiri di depannya. Wajah kakek ini berseri, matanya memancarkan kegembiraan.

"Bukankah paman ini Ki Tejoranu? Di mana kita dan bagaimana aku bisa sampai di sini?"

Dengan singkat Ki Tejoranu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa ia melihat rombongan Jokowanengpati mendarat di Sempu, kemudian bagaimana ia menemukan Joko Wandiro dalam keadaan pingsan digigit ular hijau.

"Untung sekali tubuhmu amat kuat dan darahmu bersih sehingga racun ular tidak merenggut nyawamu"

Sebagai penutup cerita Ki Tejoranu berkata. Biarpun dalam bercerita itu ia bicara dengan suara pelo, namun cukup jelas bagi Joko Wandiro yang menjadi terharu dan berterima kasih sekali. Bocah yang tahu akan sopan santun dan kenal akan budi ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ki Tejoranu, menyembah sambil menghaturkan banyak berterima kasih. Tergesa-gesa Ki Tejoranu membangunkan Joko Wandiro.

"Wah, tidak usah begitu, anakku yang baik. Perbuatanku mengobatimu itu sama sekali tidak ada altinya dengan pelbuatanmu membelaku di hadapan lawan-lawan tangguh. Kau menolongku dengan taluhan keselamatan dilimu sendili, sebaliknya aku menolongmu tanpa taluhan apa-apa. Tak usah kau belterima kasih, kalena hutangku kepadamu belum juga lunas."

"Paman, bagaimana jadinya dengan eyang guru?"

"Eyang gulu? Siapa yang kau maksudkan?"

"Eyang guru adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Beliau berada di atas Pulau Sempu ketika aku digigit ular dan.... dan..... Endang Patibroto juga berada di sana."

"Endang Patibroto??"

"Ya, anak kecil, cucu eyang guru. Apakah mereka masih berada di sana?"

Ki Tejoranu termenung Ia terkejut juga mendengar bahwa yang berada di Pulau Sempu adalah Resi Bhargowo. Kini mengertilah ia bahwa Jokowanengpati dan rombongannya itu tentu hendak membunuh Resi Bhargowo dan kabarnya hendak merampas pula pusaka Mataram! Tak disangkanya bahwa bocah ini, penolongnya yang amat disayangnya, adalah cucu murid Resi Bhargowo! Kemudian ia teringat akan tokoh luar biasa yang melayang di permukaan laut, bersama seorang anak perempuan.

"Apakah anak perempuan itu sebaya denganmu, bajunya hijau, rambutnya panjang dikucir, mukanya tajam seperti bintang?"

"Ya, ya....... dialah Endang Patibroto."

"Hemmm, dan Resi Bhargowo itu, apakah seorang kakek tinggi besar seperti raksasa, kumisnya sekepal sebelah, tanpa baju, kepandaiannya seperti dewa, pandai terbang dan berlari di permukaan laut?"

Joko Wandiro menggeleng kepala. "Eyang guru Resi Bhargowo adalah seorang kakek yang halus dan sama sekali bukan seperti raksasa. Beliau memang sakti mandraguna, akan tetapi.... terbang dan berlari di permukaan laut..... kurasa..... entah bisa atau tidak....."

"Anak yang baik, kau bilang masih cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

"Guruku adalah ayahku sendiri, paman."

"Dan ayahmu, siapa dia?"

"Ayah bernama Pujo."

"Hayaaaaa ........ !" Ki Tejoranu meloncat kaget. "Ayahmu....... Pujo??"

"Betul, kenapa, paman?"

"Ah, betapa kebetulan sekali! Bukankah ayahmu itu orang gagah yang pernah membantu Ki Patih Narotama ketika dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dari teman-temannya dalam hutan di muara Sungai Lorog?"

"Betul. Ayahkulah yang dahulu di sana melawan paman sendiri. Aku juga melihat betapa paman tidak mau berkelahi dengan keroyokan kemudian ketika ayah datang, paman menghadapi ayah."

"Oohh-oh-ahh.......! Kau melihat pula hal itu ? Ayahmu hebat, seorang manusia sakti mandraguna. Pukulan-pukulannya ampuh melebihi golokku! Kalau ayahmu murid Resi Bhargowo sudah sedemikian hebat kepandaiannya, tentulah ilmu kepandaian eyangmu itu amat tinggi. Dengan demikian, belum tentu beliau akan celaka di tangan Jokowanengpati dan teman- temannya. Akan tetapi kakek raksasa itu.... ihh, ngeri dan serem hatiku kalau mengingatnya. Entah siapa dia, akan tetapi aku melihat dia masuk pulau bersama anak kecil temanmu itu, Endang Patibroto."

Joko Wandiro terheran. "Aku sendiri belum pernah melihat kakek yang paman maksudkan tadi."

"Anak baik, siapakah namamu?"

"Aku Joko Wandiro, paman."

Tiba-tiba Ki Tejoranu terpekik dan sekali tubuhnya berkelebat ia lenyap dari depan Joko Wandiro. Anak ini kaget sekali, cepat menengok dan kiranya kakek itu sudah berada jauh di belakangnya sehingga diam-diam ia amat kagum akan kecepatan gerak kakek ini.

"Ada apakah, paman?"

Ki Tejoranu menudingkan telunjuknya ke arah Joko Wandiro, suaranya gemetar ketika ia bertanya,

"Kau....... kau .......benarkah namamu Joko Wandiro.......??"

"Benar sekali, paman. Apakah anehnya dengan namaku?"

"Aneh sekali benar aneh sekali.... "

Ki Tejoranu melangkah maju menghampiri Joko Wandiro, lalu duduk di atas akar pohon di depan anak itu, memegang kedua pundak Joko Wandiro sambil menatap wajah tampan itu dengan pandang mata penuh selidik.

"Mereka bilang cucu adipati di Selopenangkep, putera Raden Wisangjiwo, diculik Pujo dan anak itu bernama Joko Wandiro..... "

"Bohong itu..... !"

Joko Wandiro berteriak merenggutkan diri terlepas dari pegangan Ki Tejoranu sambil melangkah mundur, matanya terbelalak dan wajahnya yang tampan kelihatan marah.

"Paman, mengapa paman seperti kakek tua jahat Cekel Aksomolo? Percaya akan segala kebohongan? Aku memang bernama Joko Wandiro, akan tetapi tidak diculik ayahku. Bagaimana seorang ayah menculik anaknya Sendiri? Kalau mau bicara tentang penculikan, agaknya Cekel Aksomolo yang dahulu hendak menculikku, ia memaksaku pergi ke Selopenangkep. Syukur paman dahulu datang menolong. Pujo yang paman sebut-sebut itu adalah ayahku, juga guruku. Sedangkan Wisangjiwo yang paman maksudkan itu, putera Kadipaten Selopenangkep, adalah musuh besarku, musuh besar ayahku yang akan kubunuh kalau aku berjumpa dengannya!"

Ki Tejoranu makin bingung.
"Kenapa? Apa sebabnya ayahmu memusuhinya?"

"Si keparat Wisangjiwo telah membunuh ibuku!" kata Joko Wandiro sambil menekan perasaannya. Tak mungkin ia sudi menceritakan pada orang lain bahwa ibunya tidak hanya dibunuh, akan tetapi juga diperhina oleh Wisangjiwo!

"Aahhh....... !"

Ki Tejoranu mengerutkan kening dan makin terheran-heran. Kemudian ia berkata, "Sungguh membingungkan keterangan-keterangan yang saling bertentangan ini. Akan tetapi, Joko anak baik. Yang sudah jelas bagiku adalah bahwa Pujo seorang laki-laki jantan dan sakti, sebaliknya Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang yang memiliki watak pengecut dan curang. Mereka itu amat kuat dan memiliki banyak kaki tangan, maka amat berbahayalah kalau sampai mereka dapat melihatmu. Oleh karena itu, kau sementara tinggal dulu bersamaku dan agar tidak kesal hatimu, berlatihlah ilmu silat dan juga ilmu golok yang kelak tentu amat berguna bagimu, sementara aku akan pergi menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu dan menyelidiki di mana adanya ayahmu. Akan kujumpai ayahmu di Muara Lorog dan memberi tahu kepadanya tentang keadaanmu. Kalau kau ikut bersamaku, aku khawatir akan bertemu dengan mereka di tengah jalan dan kalau terjadi hal itu, terus terang saja aku tidak akan kuat melindungimu."

Joko Wandiro adalah seorang anak yang cerdik. Ia tahu bahwa dirinya diselubungi rahasia yang aneh dan tahu pula bahwa Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang sakti yang takkan terlawan oleh Ki Tejoranu sendiri. Maka ia mengangguk dan membenarkan kakek itu. Apalagi ia memang kagum menyaksikan gerak-gerik kakek ini yang pernah ia lihat ketika bertanding. Ilmu golok kakek ini amat hebat maka Joko Wandiro menjadi girang untuk mempelajarinya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima gemblengan Ki Tejoranu dalam ilmu silat yang gerakannya amat cepat. Mula-mula ia diberi pelajaran ilmu silat tangan kosong. Karena sejak kecil anak ini sudah mendapat gemblengan keras dari Pujo, kemudian malah mendapat bimbingan Resi Bhargowo sendiri, boleh dibilang Joko Wandiro telah memiliki dasar gerakan silat tinggi, maka dengan girang dan kagum Ki Tejoranu mendapat kenyataan betapa mudahnya anak ini mewarisi ilmunya. Segera ia menurunkan ilmu goloknya.

Pada pagi hari yang cerah itu, sebulan setelah Joko Wandiro mati-matian dan siang malam melatih ilmu silat, mereka duduk di bawah pohon cempaka, berada di atas rumpun dan berhadapan.

"joko Wandiro, anakku yang baik. Ilmu pukulan yang kau pelajari dalam sebulan ini adalah dasar ilmu golok, yang mulai hari ini akan kuajarkan kepadamu. Joko, bergiranglah engkau bahwa ilmu golok ini akan kau miliki, karena di negaraku sana, ilmu golokku ini sudah terkenal. Bahkan karena ilmu golokku inilah aku di sana dijuluki orang Si Golok Sakti. Julukan yang membuat aku sombong dan menyeleweng daripada kebenaran, lupa bahwa segala ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kebaikan sesuai dengan sifat Tuhan, dan bahwa di dunia ini tidak ada yang paling pandai kecuali Tuhan pula. Karena kesombongan dan penyelewenganku, maka aku terjatuh dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negaraku, merantau sampai di sini. Tidak hanya di negaraku, juga di sini berlaku hukum bahwa siapa yang mengandalkan ilmu, kedudukan, atau harta untuk bertindak sewenang-wenang melakukan kejahatan, dia akan runtuh! Juga di sini aku melihat kenyataan bahwa yang paling sakti adalah orang yang benar, karena yang benar dilindungi Tuhan Yang Maha Sakti."

Filsafat seperti ini sudah seringkali didengar Joko Wandiro, maka ia mengangguk-angguk membenarkan Ayahnya, juga eyang gurunya, sudah seringkali memberinya nasehat-nasehat dan petuah kebajikan hidup. Mulailah Ki Tejoranu menurunkan ilmu goloknya yang luar biasa itu kepada Joko Wandiro. Hebat memang ilmu golok ini. Ketika Ki Tejoranu memberi petunjuk sambil mainkan sepasang goloknya, tampak gulungan dua sinar putih menyilaukan mata disertai suara mbrengengeng (mengaung seperti lebah). Joko Wandiro memandang penuh perhatian dan kekaguman. Ki Tejoranu berhenti dan mulai memberi petunjuk secara mendetail dan perlahan.

"Anakku, di negaraku, aku dijuluki Si Golok Sakti karena ilmu golok ini. Ilmu golok ini dicipta oleh guruku berdasarkan gerakan ribuan ekor lebah putih yang mengeroyok seekor ular besar. Karena itu diberi nama Ilmu Golok Lebah Putih. Dasar keampuhannya terletak pada gerak-gerak menggunting seperti banyak lebah menyerang dari jurusan-jurusan berlawanan sehingga membingungkan lawan. Semua terdiri dari tiga puluh enam jurus yang dasar gerakannya telah kau pelajari dengan tangan kosong selama ini. Nah, sekarang perhatikan jurus pertama. Lihat baik-baik dan tirukan."

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima ilmu golok yang dipelajarinya penuh perhatian dan ketekunan. Ki Tejoranu terheran-heran dan amat kagum melihat anak ini. Benar-benar memiliki dasar dan bakat yang luar biasa. Dalam waktu sehari saja, Joko Wandiro dapat menguasai empat jurus dengan dasar gerakan yang cukup baik sehingga dalam waktu sembilan hari, ia telah menguasai Ilmu Golok Lebah Sakti. Pada hari ke sepuluh, Ki Tejoranu ketika bangun pagi sekali, telah mendengar suara anak itu berlatih seorang diri. Ia menghampiri, memandang penuh perhatian sambil mengelus-elus jenggotnya. Senang hatinya. Biarpun gerakannya belum trampil dan cepat benar, namun dasarnya sudah benar, tinggal mematangkannya dalam latihan saja. Benar luar biasa anak ini, pikirnya senang.

Tidak hanya gerakan kaki tangan yang sudah tepat, bahkan cara mengatur napas dalam gerakan silat ini, hal yang paling sulit diingat dan dipraktekkan dalam bersilat, sudah dikuasai Joko Wandiro! Setelah anak itu menghabiskan tiga puluh enam jurus dan hendak mengulang lagi dari pertama, Ki Tejoranu berkata,

"Berhentilah dahulu, Joko. Kulihat kau telah menguasai Lebah Putih, dan dasar-dasar gerakanmu sudah benar, hanya tinggal mematangkan saja. Kalau kau setiap hari berlatih, ilmu ini tentu akan mendarah daging kepadamu dan akan amat berguna kelak. Hari ini aku akan berangkat menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu, dan juga akan kucari ayahmu. Engkau tinggallah saja dalam hutan ini sambil berlatih ilmu golok. Jangan keluar dari dalam hutan ini sebelum aku pulang. Di hutan ini cukup banyak buah-buahan dan binatang, juga ada sumber airnya. Dalam waktu satu bulan aku akan kembali, anakku. Sepasang golok tipis ini, pusakaku selama puluhan tahun, kuberikan kepadamu, pakailah untuk berlatih."

Joko Wandiro menerima pusaka itu sambil mengucapkan terima kasih kepada kakek yang amat baik terhadap dirinya itu. Ia maklum akan bahayanya kalau sampai bertemu dengan musuh-musuh ayahnya, maka ia berjanji akan mentaati pesan Ki Tejoranu. Orang tua itu lalu berangkat meninggalkan Joko Wandiro, setelah meninggalkan pesan-pesan agar anak itu berhati-hati.

Mentaati pesan Ki Tejoranu, semenjak kakek itu pergi, Joko Wandiro selalu berlatih ilmu golok dengan amat tekun dan rajin. Boleh dibilang setiap saat ia berlatih ilmu golok, dan hanya berhenti untuk mengaso, makan atau tidur. Kadang-kadang ia seling dengan latihan ilmu yang ia pelajari dari ayahnya dan yang disempurnakan oleh eyang gurunya, yaitu ilmu pukulan Pethit Nogo dengan gerakan Bayu Tantra.

Berbeda dengan Ilmu Golok Lebah Putih ajaran Ki Tejoranu yang mengandalkan kegesitan tubuh dan kerja sama yang baik antara perasaan dan urat syaraf didasari peraturan gerakan dan langkah, adalah ilmu-ilmu yang ia pelajari dari ayah dan eyang gurunya lebih didasari aji kesaktian yang diperkuat oleh keteguhan batin berkat latihan samadhi dan bertapa.

Joko Wandiro memang memiliki bakat luar biasa untuk menjadi seorang ksatria utama. Tidak saja semua ilmu olah keprajuritan dapat ia kuasai dengan amat mudah, juga dalam hal tapa brata, ia amat tekun dan kuat. Semenjak masih kecil ia sudah dilatih dan digembleng ayahnya sehingga dahulu dalam usia delapan tahun saja ia sudah seringkali ikut ayahnya bertapa di dalam gua-gua di tepi pantai Laut Selatan. Bertapa dan bersamadhi sampai tiga hari tiga malam, tanpa makan tanpa minum! Bagi seorang dewasa, tentu saja hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagi seorang anak berusia delapan tahun, benar-benar merupakan hal yang mentakjubkan.

Kini ia sudah berusia dua belas tahun lebih. Bertapa tanpa makan minum selama satu minggu saja merupakan hal biasa bagi Joko Wandiro! Tidaklah mengherankan apabila dalam usia semuda itu, ia telah memiliki beberapa macam ilmu kesaktian yang mengagumkan. Dan sifat tahan tapa inilah agaknya yang membuat ia secara mudah sekali dapat menguasai Ilmu Golok Lebah Putih dalam waktu beberapa bulan saja. Padahal, Ilmu Golok Lebah Putih termasuk ilmu silat tinggi yang hanya mampu dikuasai seorang ahli silat yang sudah matang dasar-dasarnya, inipun untuk menguasainya secara sempurna membutuhkan waktu bertahun-tahun!

Sebulan lewat cepat. Ki Tejoranu belum juga pulang. Joko Wandiro yang mengharapkan kedatangan Ki Tejoranu dalam satu dua hari ini, berlatih giat sekali. Ingin ia menyenangkan hati kakek yang baik hati itu betapa selama ini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam Ilmu Golok Lebah Putih. Juga hatinya girang karena pulangnya Ki Tejoranu akan membawa berita tentang eyang gurunya dan ayahnya.

Pagi hari itu Joko Wandiro berlatih dengan tekun, mengerahkan seluruh tenaganya dan mencurah kan seluruh perhatian dalam gerakan-gerakannya. Sepasang golok tipis ringan di tangannya itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Anak ini belum mampu bergerak terlalu cepat sehingga tubuhnya lenyap terselimut gulungan sinar putih, akan tetapi berlatih kurang dari setengah tahun sudah dapat menggerakkan sepasang golok sehingga lenyap bentuknya, benar-benar sudah amat mengagumkan.

Tiba-tiba terdengar seruan suara aneh dan sesosok bayangan putih berkelebat dekat sekali dengan Joko Wandiro yang tengah bersilat. Mendadak sekali, tanpa dapat dicegah lagi sepasang golok terbang lenyap dari kedua tangan Joko Wandiro yang sama sekali tidak menyangka-nyangka. Anak ini cepat menengok dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tidak tampak siapapun juga di situ. Sepasang goloknya lenyap dan tadi ia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang disusul perampasan goloknya secara tiba-tiba. Kalau saja ia tahu bahwa bayangan itu merampas goloknya tentu ia akan melakukan perlawanan.

Dengan marah dan penasaran sekali, Joko Wandiro meloncat dan mengejar, mencari ke sana-sini di sekitar hutan, namun hasilnya sia-sia belaka. Kemudian ia duduk di bawah pohon sambil menunjang dagu, terheran, penasaran, dan juga agak gelisah. Ia mengingat-ingat. Bayangan itu tinggi kurus seperti bayangan seorang kakek tua, akan tetapi gerakannya begitu cepat dan ia sendiri tadi tengah bersilat dan tidak memperhatikan lain hal sehingga tidak dapat melihat jelas. Yang terang sepasang goloknya dirampas seorang kakek yang tentu saja memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Ia termenung penuh penyesalan dan kekecewaan. Ia harus berlatih makin giat. Ia harus dapat mematangkan ilmunya karena sudah berkali-kali ia alami betapa banyaknya orang-orang sakti di dunia ini yang harus ia hadapi. Orang-orang sakti yang menyalahgunakan kesaktiannya. Seperti Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Seperti kakek tak terkenal yang kini mencuri sepasang goloknya mengandalkan kesaktiannya. Kalau ia tidak kalah pandai, tak mungkin orang akan dapat merampas sepasang goloknya dengan semaunya dan seenaknya saja!.

Hatinya makin penasaran dan juga bingung Karena ia merasa malu bagaimana harus memberi keterangan kepada Ki Tejoranu tentang hilangnya sepasang golok pemberian kakek itu. Tiga hari kemudian, menjelang senja hari, datanglah Ki Tejoranu. Kakek ini kelihatan lelah sekali, dan tekukan wajahnya membayangkan berita yang tidak menggembirakan. Joko Wandiro menahan diri, dan tidak akan menceritakan pengalamannya sebelum kakek itu mengaso. Ia tidak mau menambah berita yang tidak menyenangkan pada kakek Ini. Cepat-cepat anak yang tahu akan kewajiban ini menyediakan dawegang (kelapa muda) untuk Ki Tejorartu minum, dan buah-buahan untuk makan. Setelah menghilangkan haus dan lelah, Ki Tejoranu berkata kepada anak yang duduk bersila di depannya,

"Aku agak terlambat, Joko. Akan tetapi perjalanan yang jauh itu sungguh melelahkan karena hasilnya kosong belaka. Baik eyang gurumu maupun ayahmu tak dapat kuketemukan. Tempat mereka kosong belaka, tidak ada seorangpun di Muara Lorog maupun di Pulau Sempu."

Tentu saja Joko Wandiro merasa amat kecewa. "Ke manakah mereka pergi, paman?".

"Tak seorangpun tahu ke mana perginya ayahmu, Pujo. Tidak ada orang mengenalnya. Juga di Pulau Sempu kosong, eyang gurumu tidak berada di sana lagi. Akan tetapi, aku banyak mendengar tentang perang saudara yang mulai mengamuk di kota raja dan kurasa ayahmu sebagai seorang satria tentu pergi ke sana. Adapun tentang eyang gurumu Bhagawan Rukmoseto, aku mendengar berita bahwa beliau itu pergi menuju ke pertapaan Resi Gentayu.....?"

"Resi Gentayu....?"

"Ya, Resi Gentayu atau Resi Jatmendra, atau juga Sang Prabu Airlangga yang mengundurkan diri dan bertapa di pertapaan Jalatunda."

Setelah berhenti sebentar Ki Tejoranu berkata pula, "Besok atau lusa akan kuhantar engkau ke Jalatunda menyusul kakek gurumu itu, Joko. Akan tetapi aku ingin melihat engkau berhasil lebih dahulu dalam latihan ilmu go lok Bagaimana, sudah ada kemajuankah?"

Ditanya begitu Joko Wandiro teringat akan sepasang goloknya yang dirampas orang, maka ia berlutut sambil mengeluh, "Aduh, celaka paman. Tiga hari yang lalu, selagi aku berlatih, sepasang golok itu dirampas orang...."

Ki Tejarani meloncat tinggi dan berdiri dengan muka merah, mata terpentang lebar, "Siapa....? Siapa berani merampas? Bagaimana pula ia dapat merampas golok? Di mana dia merampasnya?"

Sebelum Joko Wandiro sempat- menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek bermata sipit berkulit kuning yang tinggi kurus. Sepasang golok Lebah Putih berada di kedua tangannya! Joko Wandiro memandang dengan penuh keheranan. Kakek ini rambutnya sudah putih semua, usianya tentu amat tinggi. Pakaiannya seperti pertapa, berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sehelai pita sutera putih pula. Mata yang sipit itu kini memandang tajam ke arah Ki Tejoranu, kemudian mulutnya mengeluarkan kata-kata asing yang sama sekali tidak dimengerti Joko Wandiro.

Ki Tejoranu sejenak melongo memandang kakek itu, kemudian tiba-tiba Ki Tejoranu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek rambut putih itu dan mereka berdua lalu bercakap-cakap dalam bahasa asing. Joko Wandiro tidak mengerti apa yang mereka percakapkan. Akan tetapi melihat sikap kakek tua yang baru saja datang, agaknya kakek ini marah-marah kepada Ki Tejoranu, menunjuk-nunjuk ke arah dia dengan golok kiri sambil mengamang-amangkan golok kanan ke arah Ki Tejoranu.

Sebaliknya, Ki Tejoranu hanya menjawab dengan ucapan pendek-pendek, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang minta ampun. Kemudian kakek itu membentak keras dan melangkah ke arah Joko Wandiro, sikapnya mengancam. Akan tetapi Ki Tejoranu meloncat menghadang lalu berlutut lagi dan bicara sambil menggerak-gerakkan kedua tangan. Kakek tua itu termenung, agaknya meragu, tangan kiri yang memegang golok kini mengelus-elus jenggot panjang, kemudian mengangguk-angguk. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat ke depan. Bukan main cepatnya gerakan ini sehingga Joko Wandiro tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu sepasang golok itu sudah meluncur dan menancap di atas tanah di depan Ki Tejoranu, dan kakek itu seperti berkelebat lenyap dari tempat itu!. Lega rasa hati Joko Wandiro. Ia segera melompat menghampiri Ki Tejoranu.

"Ah, dia mengembalikan goloknya! Paman, siapakah kakek aneh itu dan apa kehendaknya?"

Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya mengeluh. Joko Wandiro melihat betapa wajah Ki Tejoranu pucat sekali dan alangkah kagetnya ia ketika ia memandang ke bawah, ia melihat dua buah jari tangan menggeletak di dekat sepasang golok. Dua buah ibu jari! Dan ketika ia memandang lagi, kiranya kedua tangan Ki Tejoranu telah kehilangan ibu jarinya!

BADAI LAUT SELATAN JILID 18