Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 17

Pasukan Wura-wuri yang tadinya mengatur barisan di depan pintu gerbang benteng, begitu mendengar ucapan Ki Patih Narotama, sebagian besar lalu mundur, memasuki kadipaten dan tidak membuat perlawanan. Pasukan memasuki kota raja Wura-wuri dengan aman dan hanya terjadi sedikit perlawanan di sana sini dari mereka yang setia kepada Wura-wuri. Akan tetapi perlawanan mereka itu segera dapat ditindas dan diamankan.

Ki Patih Narotama, diikuti Puspa Dewi dan para perwira pembantu, memasuki istana Kadipaten Wura-wuri. Para dayang dan pelayan yang tidak melarikan diri berlutut dengan hormat namun tidak ketakutan karena mereka sudah mendengar dari para perajurit bahwa pasukan Kahuripan yang dipimpin Ki Patih Narotama telah menduduki Wura-wuri namun tidak akan mengganggu siapa saja di Wura-wuri asalkan mereka tidak membuat kekacauan dan tidak melawan.

Ketika memasuki ruangan istana, Ki Patih Narotama baru menyadari bahwa Nurseta tidak ikut rombongannya masuk, bahkan .ketika dia menoleh dan mencari, dia tidak melihat pemuda itu bersama mereka.

"Eh, Puspa Dewi, aku tidak melihat Nurseta. Di mana dia?"

"Dia berada di luar, Gusti Patih. Baru saja saya menceritakan tentang Eyang Senopati Sindukerta yang gugur."

Ki Patih Narotama mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang. "Ya,..perang memang kejam, merupakan titik terendah dari kejatuhan manusia ke dalam jurang dosa. Perang membuat orang menjadi buas, nyawa manusia tidak lebih dihargai daripada nyawa seekor lalat. Perang membuat manusia mampu menari-nari di atas mayat musuh-musuhnya. Perang menimbulkan kekejaman, kepuasan nafsu binatang, dendam kebencian, sorak-sorai mereka yang mabok kemenangan di antara ratap tangis mereka yang kematian keluarganya."

Ki Patih Narotama melanjutkan langkahnya memasuki istana Wura-wuri, diikuti para pembantunya. Mengadakan pemeriksaan ke seluruh istana. Ternyata Nyi Dewi Durgakumala sudah pergi meninggalkan istana, menurut keterangan para dayang, membawa harta bendanya berupa perhiasan. Juga Cekel Aksomolo yang terhindar dari kematian sudah pergi meninggalkan Wura-wuri. Ki Patih Narotama bersikap lembut terhadap semua pekerja di istana Wura-wuri.

Dia lalu menunjuk beberapa orang perwira Kahuripan untuk menjadi pejabat-pejabat sementara agar roda pemerintahan Kadipaten Wura-wuri dapat berjalan seperti biasa. Tentu saja banyak kebijaksanaan pemerintah lama yang diubah dan diganti sehingga peraturan-peraturan tidak ada lagi yang menekan rakyat, disesuaikan dengan peraturan pemerintahan Kerajaan Kahuripan. Bahkan para perajurit yang tidak melarikan diri dan dengan suka rela mengakui kedaulatan Kahuripan, masih diterima menjadi anggota pasukan baru yang dibentuk dan dipimpin oleh seorang senopati Kahuripan yang diangkat sebagai komandan sementara oleh Ki Patih Narotama.

Tadinya, Ki Patih Narotama minta kepada Puspa Dewi yang pernah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri dan sudah banyak dikenal oleh para perwira dan perajurit Wura wuri untuk menjabat komandan pasukan sementara, akan tetapi dengan hormat Puspa Dewi menolak.

"Gusti Patih, bukan semata-mata saya menentang dan menolak kehendak Paduka, akan tetapi saya tidak dapat menerima tugas itu karena pertama; Akan timbul anggapan para perajurit Wura-wuri bahwa saya ikut memusuhi pimpinan Wura-wuri karena ingin menjadi penguasa di sini. Kedua kalinya, memang sejak dulu saya tidak ingin terikat dengan sebuah jabatan. Saya lebih suka bebas dari ikatan, Gusti Patih, walaupun saya selalu siap apabila sewaktu-waktu tenaga saya dibutuhkan untuk membela Kahuripan, sebagai kawula Kahuripan."

Mendengar alasan yang kuat itu, Ki Patih Narotama tidak memaksanya dan menunjuk seorang senopati Kahuripan untuk jabatan itu. Semua orang yang dia angkat sebagai pejabat sementara diperingatkan agar bertugas dengan baik, menaati perintah atasan dan jujur. Juga mereka diberitahu bahwa jabatan mereka hanya sementara, sambil menanti keputusan dari Sang Prabu Erlangga sendiri yang akan menunjuk para pejabat baru untuk mengatur roda pemerintahan Kahuripan. Juga untuk menunjuk seorang adipati baru, harus menaati keputusan dari Sang Prabu Erlangga sendiri.

Karena sikap bijaksana Ki Patih Narotama ini, maka penaklukan Wura-wuri berlangsung cepat dan tenang, tanpa mengakibatkan banyak korban. Juga suasana segera menjadi tenteram kembali karena peristiwa penaklukan itu tidak mendatangkan perubahan besar kepada kehidupan rakyat jelata, bahkan kalaupun diadakan beberapa perubahan peraturan, perubahan itu membela kepentingan dan menguntungkan rakyat.

Setelah menaklukkan Wura-wuri tanpa mengorbankan banyak perajuritnya, Ki Patih Narotama mempersiapkan pasukannya untuk melanjutkan tugasnya melakukan pembersihan atau hukuman terhadap kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang selalu memusuhi Kahuripan dan seringkali melakukan pengacauan.

Tiga kerajaan yang harus ditundukkan agar mereka tidak lagi mengganggu Kahuripan itu adalah, Kerajaan Wengker, Parang Siluman, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul. Tanpa diketahui orang lain, bahkan dia tidak melaporkan hal itu kepada Sang Prabu Erlangga, Ki Patih Narotama sudah terikat janji dengan Kerajaan Parang Siluman bahwa dia tidak akan menyerbu Parang Siluman karena puteranya, Joko Pekik Satyabudhi yang baru berusia satu setengah tahun, ditawan dan dijadikan sandera di Parang Siluman.

Oleh karena itu, sasaran berikutnya yang akan dia tundukkan adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul. Dibandingkan yang lain, kerajaan atau kadipaten ini yang paling kecil, pasukannya juga tidak banyak jumlahnya walaupun harus diakui bahwa Siluman Laut Kidul dipimpin oleh ratunya yang sakti mandraguna, yaitu Ratu Mayang Gupita yang rupanya saja sudah menyeramkan sebagai seorang raseksi. Juga ia dibantu oleh paman gurunya sendiri yang sakti dan ahli sihir, yaitu Bhagawan Kalamisani.

Akan tetapi Ki Patih Narotama merasa yakin bahwa dia dan Puspa Dewi berdua akan mampu menandingi dan mengalahkan dua orang sakti itu, dan pasukannya juga jauh lebih besar daripada pasukan Kadipaten Siluman Laut Kidul. Dia lalu memanggil Nurseta dan diajaknya pemuda itu untuk bicara berdua saja dengannya.

"Nurseta, aku ikut merasa prihatin atas gugurnya Kakekmu, yaitu Paman Senopati Sindukerta. Mudah-mudahaan engkau tidak terlalu berduka mendengar berita itu."

Nurseta menghela napas panjang dan menyembah dengan hormat. "Gusti Patih, bagaimana mungkin seorang manusia biasa seperti saya tidak akan merasa kehilangan dan bersedih mendengar kematian Eyang Sindukerta? Akan tetapi saya dapat menghibur hati dengan adanya kenyataan bahwa Eyang Sindukerta meninggal dunia sebagai seorang pahlawan pembela negara. Saya sudah dapat menguasai hati dan tidak lagi tertekan kedukaan, Gusti Patih."

"Syukurlah kalau begitu, Nurseta. Sekarang aku ingin minta tolong padamu, Nurseta. Aku sedang terhimpit suatu masalah dan kiranya hanya engkau yang akan dapat menolongku."

Nurseta terkejut. Bagaimana mungkin Ki Patih Narotama yang demikian sakti mandraguna dan arif bijaksana itu membutuhkan pertolongannya?

Gusti Patih, saya selalu siap untuk melaksanakan perintah Paduka yang mewakili Gusti Sinuwun. Apa yang harus saya lakukan?"

Ki Patih menghela napas panjang. "Inilah soalnya, Nurseta. Kalau mengenai urusan perjuangan membela Kahuripan, engkau tidak akan kuajak bicara berdua saja, melainkan di depan semua pembantuku. Akan tetapi urusan ini adalah urusan pribadiku, Nurseta. Urusan pribadi yang kurahasiakan terhadap siapa pun, bahkan tidak kulaporkan kepada Gusti Sinuwun. AKan tetapi akan kuceritakan padamu karena aku ingin minta pertolonganmu. Urusan ini mengenai puteraku, Joko Pekik Satyabudhi yang diculik musuh."

"Akan tetapi hal itu bukan rahasia lagi, Gusti Patih. Semua orang sudah mengetahui dan saya sendiri sudah mendengar semua yang terjadi di Kahuripan dari Puspa Dewi."

"Benar, Nurseta, akan tetapi tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Ketahuilah bahwa setelah perang usai dan puteraku dilarikan musuh, aku lalu melakukan pencarian dan aku yakin bahwa puteraku tentu diculik oleh bekas selirku, Lasmini, puteri Parang Siluman itu. Setelah aku tiba di Parang Siluman, benar saja. Puteraku berada di sana dan aku terpaksa mengadakan perjanjian dengan Lasmini bahwa aku tidak akan membawa pasukan menyerang Parang Siluman. Kalau aku melanggar, maka mereka akan lebih dulu membunuh Joko Pekik!"

"Hemm, licik sekali! Jadi, putera Paduka yang masih kecil itu dijadikan sandera untuk memaksa Paduka agar tidak memusuhi atau menyerang Parang Siluman?"

"Begitulah, dan aku merahasiakan hal ini. Aku merasa malu kalau diketahui Sang Prabu Erlangga. Karena itu, sekarang aku lebih dulu menyerang dan menaklukkan kadipaten yang lain. Setelah menaklukkan Wura-wuri, aku akan memimpin pasukan menaklukkan Kadipaten Siluman Laut Kidul, kemudian Kadipaten Wengker. Aku tidak dapat menyerang Kadipaten Parang Siluman sebelum puteraku dapat terlepas dari tahanan mereka."

"Lalu apakah yang dapat saya lakukan?"

"Nurseta, bantulah aku, bebaskan anakku dari Parang Siluman. Hanya engkau yang dapat menolongnya."

Nurseta mengangguk. "Baiklah, Gusti Patih. Saya akan berusaha semampu saya untuk memasuki Parang Siluman dan membebaskan putera Paduka. Akan tetapi saya tidak berani menjamin keberhasilan saya karena tentu Paduka juga mengetahui bahwa di sana terdapat banyak orang yang sakti mandraguna dan tentu putera Paduka dijaga amat ketat."

"Aku mengerti, Nurseta. Kewajiban manusia hanyalah berusaha sekuat tenaga mengenai keberhasilannya hanya berada dalam kekuasaan Sang Hyang Widhi. Ada satu hal lagi yang kuminta darimu."

"Apakah itu, Gusti Patih? Saya siap melaksanakan perintah Paduka."

"Nurseta, berikan kembali kepadaku Kyai Kolomisani, keris yang dulu kuhadiahkan kepadamu itu. Saat ini aku amat membutuhkannya. Ketahuilah, Nurseta, di Kadipaten Siluman Laut Kidul yang dipimpin ratunya, Ratu Mayang Gupita, terdapat Paman guru ratu itu, yang amat sakti. Orang itu memakai nama Bhagawan Kalamisani dan sudah menjadi sumpahnya sendiri bahwa dia hanya dapat tewas oleh Keris Pusaka Kolomisani yang dulu kuberikan kepadamu itu.

Ceritanya begini. Dulu, puluhan tahun lalu ketika masih muda, Bhagawan Kalamisani pernah tinggal di Bali-dwipa dengan nama Kartika Jenar. Dia banyak mempelajari banyak aji kanuragan dari para pendeta dan pertapa. Di antara para pendeta yang menggemblengnya terdapat pula guruku, yaitu Sang Maha Resi Satyadharma. Pada suatu hari, Kartika Jenar baru belajar selama beberapa bulan saja, Maha Resi Satyadharma kehilangan sebuah pusakanya, yaitu Kyai Kolomisani itu. Maha Resi Satyadharma mengetahui bahwa Kartika Jenar mencuri pusaka itu, akan tetapi ketika ditanya, Kartika Jenar menyangkal, bahkan dia bersumpah bahwa kalau dia yang mencuri Kyai Kolomisani, biar dia kelak mati oleh keris pusaka itu! Kemudian, belasan tahun lewat dan ketika aku dan Gusti Sinuwun Sang Prabu Erlangga menjadi murid Maha Resi Satyadharma, kami berdua yang ketika itu baru berusia sekitar delapan belas tahun, diberi tugas oleh guru kami untuk merampas kembali keris pusaka Kyai Kolomisani dari tangan Kartika Jenar yang ketika itu sudah menjadi seorang pertapa dengan nama Bhagawan Kalamisani. Agaknya dia sengaja menggunakan nama keris pusaka itu sebagai nama tua atau nama pendetanya. Nah, kami berdua berhasil merampas kembali keris itu dan guru kami menghadiahkan keris pusaka Kyai Kolomisani kepadaku dan Sang Prabu Erlangga mendapat hadiah keris pusaka Kyai Brojol Luwuk.

Nah, demikianlah, Nurseta. Sekarang aku hendak memimpin pasukan menundukkan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Bhagawan Kalamisani memperkuat kadipaten itu. Maka aku teringat akan pusaka Kyai Kolomisani yang kuberikan kepadamu, maka sekarang aku minta agar engkau kembalikan pusaka itu untuk kupergunakan menghadapi Bhagawan Kalamisani."

Nurseta mengangguk. "Baiklah, Gusti Patih. Silakan menerima kembali Kyai Kolomisani!" kata Nurseta sambil menyerahkan keris pusaka itu.

Ki Patih Narotama tersenyum dan memandang kagum. "Bagus! Engkau adalah seorang satria sejati, Nurseta. Nah, terimalah pusaka ini sebagai gantinya. Ini adalah Tongkat Pusaka Tunggul Manik. Tongkat ini bukan hanya dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh dan dapat menandingi senjata pusaka mana pun, akan tetapi juga ampuh sekali untuk mengobati segala luka keracunan. Racun yang betapa jahat pun akan menjadi tawar kalau bertemu Kyai Tunggul Manik ini. Rendaman airnya diminumkan, dan bagian yang keracunan digosok tongkat ini, maka semua racun akan sirna."

Nurseta menerima tongkat hitam yang tidak berapa besar itu. Hanya sepanjang lengan dan besarnya tidak lebih dari ibu jari kaki orang dewasa. Akan tetapi tongkat sederhana berwarna hitam itu mengeluarkan cahaya berkilau dan menyiarkan keharuman yang aneh.

Demikianlah, pada hari itu juga, Nurseta meninggalkan pasukan Kahuripan yang sudah membuat persiapan di dalam Kadipaten Wura-wuri dan kepada Puspa Dewi yang bertanya, dia hanya mengatakan bahwa dia mendapat tugas dari Ki Patih Narotama untuk melakukan penyelidikan ke Kadipaten Parang Siluman yang dinilai kuat. Pasukan Kahuripan pada hari Itu juga bergerak meninggalkan Wura-wuri menuju ke Kadipaten Siluman Laut Kidul.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Seperti juga para pimpinan kadipaten lain, di Kadipaten Siluman Laut Kidul, para pemimpinnya juga merasa gelisah. Kadipaten yang tidak berapa besar dan kuat ini, dalam penyerbuan gabungan ke Kahuripan, kehilangan hamper setengah jumlah perajuritnya. Bahkan dua orang senopatinya, Nagarodra dan Nagajaya yang merupakan adik-adik seperguruan Ratu Mayang Gupita, telah tewas dalam perang itu.

Ratu Mayang Gupita merasa sedih dan juga marah. Kebenciannnya terhadap Kerajaan Kahuripan semakin mendalam. Akan tetapi di balik kemarahan dan kesedihannya, terdapat pula perasaan gentar. Kini yang menjadi andalannya hanyalah paman gurunya, Bhagawan Kalamisani. Memang ada belasan orang perwira, namun kesaktian mereka belum dapat diandalkan. Mereka ini hanya bertugas memimpin sisa pasukan yang terhindar dari kematian dalam perang besar di Kahuripan itu.

Pada suatu malam, Ratu Mayang Gupita, raseksi berusia lima puluh tahun yang sakti mandraguna dan menyeramkan itu, mengundang Bhagawan Kalamisani dan belasan orang perwira pembantunya untuk berunding dalam istananya.

"Paman Bhagawan, kami merasa khawatir kalau-kalau pasukan Kahuripan akan menyerang ke sini. Kami sudah mendengar kabar bahwa Wura-wuri sudah diserang dan diduduki. Kita hanya mempunyai dua pilihan, Paman. Melarikan diri meninggalkan kadipaten, atau melawan mati-matian. Bagaimana pendapat Andika Paman Bhagawan?"

Bhagawan Kalamisani yang bertubuh bongkok itu menjawab sambil mengangguk-angguk. "Kanjeng Ratu, sebelum saya mengatakan pendapat saya, saya ingin lebih dulu bertanya kepada para perwira ini! Heh, kalian para senopati yang setia kepada Kerajaan Siluman Laut Kidul, bagaimana pendapat kalian dan para perajurit yang kalian pimpin? Beranikah kalian melawan kalau pasukan Kahuripan menyerang kita?"

Para senopati itu diwakili seorang senopati tua menjawab dengan tegas. "Kami dan para perajurit siap melaksanakan semua perintah Gusti Ratu!"

"Kanjeng Ratu, setelah mendengar kesanggupan para senopati, menurut pendapat saya, kita tidak perlu takut kepada pasukan Kahuripan. Saya akan memimpin pasukan melawan mereka!"

"Harap Paman berhati-hati, karena saya mendengar bahwa yang memimpin pasukan Kahuripan adalah Ki Patih Narotama yang amat sakti sehingga Wura-wuri juga sudah dikalahkan dan ditaklukkan."

"Heh-heh-heh, ada apanya sih Si Narotama itu? Bocah kemarin sore yang masih bau pupuk brambang! Saya tidak takut, Kanjeng Ratu. Asal jangan Sang Prabu Erlangga saja yang maju memimpin pasukan, karena memang berat untuk menandingi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi Narotama? Huh, saya tidak takut!"

Seluruh pasukan di Kerajaan Siluman Laut Kidul dikerahkan untuk menyambut pasukan Kahuripan yang menurut para penyelidik sudah mulai bergerak menuju Siluman Laut Kidul. Ki Patih Narotama menaati pesan Sang Prabu Erlangga, yaitu sedapat mungkin agar menalukkan penguasa-penguasa daerah itu tanpa harus mengorbankan banyak nyawa di kedua pihak. Oleh karena itu, ketertiban dan kepatuhan para perajurit ditekankan sehingga di sepanjang perjalanan menuju Siluman Laut Kidul, pasukan itu sama sekali tidak pernah mengganggu rakyat di pedusunan yang dilalui mereka karena siapa berani melanggar larangan itu diancam hukuman berat. Namun yang membuat para perajurit dapat bersikap tertib dan taat adalah karena sejak mereka menjadi perajurit, Ki Patih Narotama melalui para senopati dan perwira telah menanamkan jiwa satria dalam batin mereka.

Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu oleh Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan hati tegang, tiba. Pasukan Kahuripan telah berada di depan benteng Kota Raja Siluman Laut Kidul. Pasukan Kahuripan tiga kali lebih besar jumlahnya dari jumlah pasukan Siluman Laut Kidul, maka melihat jumlah yang demikian besar saja, para perajurit pasukan Siluman Laut Kidul sudah menjadi gentar. Akan tetapi para perwiranya, dipimpin oleh Ratu Mayang Gupita sendiri dan didampingi Bhagawan Kalamisani, tidak merasa gentar dan mereka memimpin pasukan untuk menyambut di luar pintu gerbang.

Dua pasukan sudah berhadapan, namun Ki Patih Narotama mengangkat tangan ke atas memberi isyarat kepada para perwira pembantunya agar jangan menggerakkan pasukan. Ki Patih Narotama kini berhadapan dengan Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani yang diikuti beberapa belas orang perwira mereka. Yang mendampingi Ki Patih Narotama adalah Puspa Dewi dan beberapa orang senopati dan perwira pembantu. Untuk menaklukkan Kerajaan Siluman Laut Kidul, Ki Patih Narotama memang tidak mengerahkan banyak senopati. Bahkan Senopati Wiradana yang merupakan senopati tua ditinggalkan di Wura-wuri untuk mengatur daerah yang baru saja ditalukkan itu.

Kini Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani berhadapan dengan Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi. Dengan suara yang lembut dan tenang namun mengandung wibawa kuat, Ki Patih Narotama berkata.

"Kanjeng Ratu Mayang Gupita, atas nama Sang Prabu Erlangga Raja Kahuripan, kami minta Andika menyerah saja dan menaluk mengakui kekuasaan Sang Prabu Erlangga agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan menimbulkan banyak korban."

"Babo-babo, Si Keparat Narotama! Kamu bocah kemarin sore berani bersikap sombong di depan kami! Apa kau kira kami takut menandingimu dan pasukan Kahuripan? Kalau engkau hendak menaklukkan dan memasuki Gapura Siluman Laut Kidul, langkahi dulu mayatku!"

Ki Patih Narotama tersenyum. Dia maklum bahwa Bhagawan Kalamisani yang terkenal sombong ini tidak mudah dibujuk. Dulupun ketika dia mengikuti Pangeran Erlangga untuk minta kembali keris pusaka yang dicuri orang ini dari Maha Resi Satyadharma, orang ini yang dulu bernama Kartika Jenar memandang rendah mereka. Akhirnya Pangeran Erlangga dapat mengalahkan dia dan merampas kembali Keris Pusaka Kolomisani dari tangan Kartika Jenar yang memakai nama Sang Bhagawan Kalamisani. Dia sendiri ketika itu tidak sempat bertanding melawan Si Bongkok yang sakti mandraguna ini. Ki Patih Narotama maklum bahwa tanpa menundukkan orang ini, mustahil Kerajaan Siluman Laut Kidul mau takluk.

"Bhagawan Kalamisani, tantanganmu kuterima. Memang lebih baik begini saja. Kita para pimpinan yang mengadu kesaktian di sini, tidak perlu mengerahkan pasukan agar tidak banyak menimbulkan korban di kedua pihak. Engkau majukan para jagoan Siluman Laut Kidul, akan kami tandingi."

Bhagawan Kalamisani memberi isyarat kepada Ratu Mayang Gupita dan lima belas orang senopatinya. Mereka semua, tujuh belas orang, maju dan siap dengan senjata di tangan. Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi maju, diikuti sepuluh orang perwira pembantu.

"Kami sudah siap. Kanjeng Ratu Mayang Gupita!" kata Ki Patih Narotama.

Bhagawan Kalamisani mengeluarkan bentakan dahsyat dan dia sudah menyerang Ki Patih Narotama. Kedua tangannya dikembangkan, lalu menubruk dan bagaikan seekor beruang dia mencengkeram dengan kedua tangan yang menyambar dari kanan kiri. Ki Patih Narotama dengan tenang mengelak dan balas menyerang. Dua orang sakti mandraguna itu sudah saling menyerang dengan hebat. Melihat paman gurunya sudah bertanding melawan Ki Patih Narotama, Ratu Mayang Gupita juga mengeluarkan pekik melengking dan rasaksa wanita yang bertubuh gendut tinggi besar itu menerjang ke arah Puspa Dewi yang ia tahu merupakan gadis yang sakti. Puspa Dewi menyambut serangannya dan dua orang wanita ini pun sudah bertanding dengan dahsyat.

Lima belas orang senopati Kerajaan Siluman Laut Kidul bergerak maju disambut sepuluh orang perwira Kahuripan. Terjadilah pertempuran antara tujuh belas orang Siluman Laut Kidul dan dua belas orang Kahuripan itu. Para perajurit kedua pihak tidak ada yang berani maju memulai pertempuran. Pasukan Kahuripan tidak berani bergerak karena tadi Ki Patih Narotama sudah memberi isyarat agar mereka tidak menyerbu sebelum ada tanda darinya. Sedangkan Pasukan Siluman Laut Kidul selain belum mendapat perintah menyerang, juga mereka gentar untuk mulai penyerangan, melihat betapa pasukan musuh jauh lebih besar jumlahnya daripada mereka. Mereka hanya menanti hasil pertempuran antara para pemimpin pasukan kedua pihak.

Pertempuran itu berlangsung seru. Biarpun Bhagawan Kalamisani dan Ratu Mayang Gupita merupakan dua orang yang memiliki ilmu hitam sesat, namun keduanya maklum bahwa penggunaan sihir tidak ada gunanya terhadap Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi. Maka mereka mengandalkan tenaga sakti dan gerakan serangan mereka yang dahsyat, yang didukung tenaga ilmu hitam mereka.

Yang paling hebat adalah pertandingan antara Ki Patih Narotama melawan Bhagawan Kalamisani. Pendeta itu memang memiliki kesaktian yang sudah amat tinggi, hasil dari mempelajari banyak aji kesaktian dari orang-orang pandai. Bahkan dia pernah pula menerima gemblengan dari Sang Maha Resi Satyadharma sendiri karena ketika mudanya, Bhagawan Kalamisani yang bernama Kartika Jenar adalah seorang yang berwatak satria. Akan tetapi setelah menerima banyak ilmu, di antaranya dari datuk-datuk sesat, dia mulai berubah. Daya-daya rendah yang sesat dalam ilmu-ilmu itu mulai menguasai dirinya sehingga dia mulai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran. Bahkan dia berani mencuri pusaka milik Sang Maha Resi Satyadharma.

Kini, menghadapi Ki Patih Narotama, Bhagawan Kalamisani mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Mula-mula mereka bertanding dengan tangan kosong, namun semua pukulan mereka mengandung tenaga sakti luar biasa sehingga sekitar tempat mereka bertanding dapat merasakan getaran pukulan mereka. Ki Patih Narotama juga tidak mudah mendesak lawannya yang memang memiliki banyak macam ilmu dan juga tentu saja memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripada dia. Hanya dia dapat bertahan karena selain tenaga saktinya dapat mengimbangi lawan, juga dia memiliki daya tahan yang lebih kuat, berkat kehidupannya yang bersih, tidak seperti Bhagawan Kalamisani yang terlalu dikuasai nafsu-nafsunya dan hidup seperti itu tentu saja melemahkan dan merusak daya tahan tubuhnya sendiri.

Berbeda dengan Ki Patih Narotama yang agak sukar mengalahkan lawan, Puspa Dewi dapat mendesak Ratu Mayang Gupita setelah mereka saling serang mati-matian selama tiga puluh jurus lebih. Mulailah Puspa Dewi mendesaknya. Biarpun Puspa Dewi sudah mewarisi semua aji kesaktian yang diajarkan guru pertamanya, Nyi Dewi Durgakumala, ia tidak akan mampu menandingi kedigdayaan Ratu Mayang Gupita kalau saja ia tidak menerima bimbingan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan. Bimbingan itu selain mengubah wataknya yang keras dan mengubah sifat-sifat yang sesat dari ilmu-ilmunya, juga memperdalam ilmu itu dan terutama sekali menguatkan tenaga saktinya.

Gadis ini memang berwatak satria. Ia memiliki sebuah cundrik atau patrem (keris kecil), yaitu Sang Cundrik Arum, pusaka pemberian Sang Prabu Erlangga. Sebuah pusaka yang ampuh. Akan tetapi Puspa Dewi tidak mau menggunakannya karena lawannya juga tidak menggunakan senjata. Bertanding dengan tangan kosong saja, Ratu Mayang Gupita yang mula-mula mampu mengimbangi, perlahan-lahan terdesak. Karena semakin lama merasa semakin terdesak dan repot melawan gadis cantik Itu dan akan membahayakan nyawanya, Ratu Mayang Gupita menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba ia melompat ke belakang, mengeluarkan teriakan melengking yang memekakkan telinga dan menggetarkan jantung, mendorongkan kedua tangannya. Tampak bola api menyambar ke arah Puspa Dewi didahului suara ledakan.

"Darrr....!!"

Bola api itu menyambar ke arah kepala Puspa Dewi. Akan tetapi gadis itu telah siap siaga. Ia mengeluarkan pekik yang dahsyat, yaitu Aji Guruh Bairawa dan kedua tangannya juga mendorong dan menyambut bola api itu. Ada cahaya berapi meluncur dari kedua telapak tangannya, menyambut bola api dari lawannya.

"Pyarrr....!"

Kedua tenaga sakti yang berhawa panas sekali Itu bertemu di udara, bertumbukan dan tampak bunga api muncrat merupakan kembang api yang menyilaukan mata dan terdengar Ratu Mayang Gupita menjerit, tubuhnya roboh terjengkang dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah. Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul itu tewas seketika terpukul tenaga saktinya sendiri yang membalik setelah bertabrakan dengan tenaga sakti Puspa Dewi yang ternyata lebih kuat. Setelah lawannya roboh Puspa Dewi lalu membantu para perwira Kahuripan menghadapi para senopati Siluman Laut Kidul. Tentu saja begitu Puspa Dewi masuk ke dalam pertempuran itu, pihak para senopati lawan terdesak hebat dan beberapa orang senopati roboh oleh tamparan Puspa Dewi.

Tentu saja Bhagawan Kalamisani terkejut bukan main melihat Sang Ratu, murid keponakannya itu, roboh dan tewas. Dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, diperkuat dengan ilmu sihir, dan begitu dia mencabut kerisnya, keris itu dilontarkan dan terbang ke arah Ki Patih Narotama! Orang ke dua dari Kerajaan Kahuripan ini terkejut juga. Dia cepat mengelak dari sambaran keris yang ujungnya bernyala itu. Akan tetapi, keris berapi itu begitu luput dan lewat, langsung membalik dan menyambarnya dari belakang, seolah keris itu hidup dan memiliki mata! Setelah tiga kali mengelak, Narotama lalu mencabut Keris Pusaka Megantoro yang berluk tujuh dari ikat pinggangnya. Keris pusaka Megantoro ini merupakan pusaka yang setingkat dengan Keris Pusaka Megatantra milik Sang Prabu Erlangga, ampuh bukan main. Begitu keris terbang itu menyambar lagi, Ki Patih Narotama tidak mengelak melainkan menangkis dengan keris Megantoro.

"Cringg...!"

Keris terbang yang berapi itu terpental, akan tetapi menyerang lagi dengan lebih ganas karena keris itu seolah dikendalikan oleh Bhagawan Kalamisani! Ki Patih Narotama menangkis berkali-kali sehingga terdengar bunyi nyaring berkencringan dan bunga api berpljar-pijar. Melihat ini, Bhagawan Kalamisani melompat dan menubruk ke arah Ki Patih Narotama yang sedang sibuk menangkis serangan keris terbang itu. Ki Patih melihat kesempatan baik dan tidak mau menyia-nyiakan. Tangan kirinya menghunus Keris Pusaka Kolomisani yang dipinjamnya dari Nurseta dan menyambut terkaman Bhagawan Kalamisani itu dengan keris pusaka itu.

"Wuttt... cappp...!"

Bhagawan Kalamisani terbelalak, dan berseru kaget.

"...Keris Pusaka Kolomisani...!" Tubuhnya terjengkang dengan keris itu masih menancap di ulu hatinya dan dia pun tewas seketika. Keris terbang yang tadi menyerang Ki Patih Narotama seperti seekor burung, kini pun kehilangan daya penggeraknya dan keris itu jatuh ke atas tanah.

Ki Patih Narotama memejamkan mata sebentar sambil merangkap kedua tangan depan dada. Kemudian dia membuka mata kembali lalu menghampiri mayat Bhagawan Kalamisani dan mencabut keris pusaka yang menancap di dada pendeta itu, membersihkannya dan menyimpannya kembali. Ketika dia menengok ke arah pertempuran antara para perwira pembantunya, dia melihat kini belasan orang senopati Siluman Laut Kidul telah roboh semua dan di pihak para perwira Kahuripan hanya jatuh korban lima orang. Kemenangan ini tentu saja mudah dicapai karena Puspa Dewi membantu para perwira Kahuripan itu. Ki Patih Narotama lalu berseru dengan suara yang nyaring melengking sehingga terdengar oleh semua perajurit musuh.

"Hai para perajurit Siluman Laut Kidul...! Para pemimpin kalian telah tewas. Buanglah senjata dan menyerahlah. Siapa yang menyerah tidak akan dibunuh, akan tetapi yang melawan akan dibinasakan!"

Dia lalu memberi isyarat kepada para perwira untuk menggerakkan pasukan Kahuripan yang maju ke arah gapura Kota Raja Siluman Laut Kidul. Sebagian besar perajurit Siluman Laut Kidul membuang senjata, berlutut dan menyerah. Mereka yang melakukan perlawanan, karena jumlahnya tidak banyak, dengan mudah digilas dan pasukan Kahuripan memasuki kota raja tanpa banyak perlawanan. Ki Patih Narotama memasuki istana dan semua penghuni istana menjadi tawanan. Karena Kerajaan Siluman Laut Kidul merupakan kerajaan kecil saja, maka sesuai dengan pesan Sang Prabu Erlangga, Ki Patih Narotama lalu menempatkan beberapa orang perwira dan meninggalkan sejumlah pasukan untuk mengatur daerah itu sebagai daerah kekuasaan Kahuripan. Sejak itu, Kerajaan Siiuman Laut Kidul sudah tidak ada lagi. Bekas para perajuritnya banyak yang diterima masuk menjadi perajurit Kahuripan.

Setelah membiarkan pasukannya beristirahat selama beberapa minggu, Ki Patih Narotama lalu bersiap-siap untuk melanjutkan gerakan pembersihan dilakukan pasukan Kahuripan. Wura-wuri sudah ditundukkan, demikian pula Siluman Laut Kidul. Maka kini tinggal dua buah kadipaten lagi, yang merupakan musuh utama, yaitu Kadipaten Wengker dan Kadipaten Parang Siluman. Karena dia tak mungkin menyerang Parang Siluman, melanggar janji dan membahayakan keselamatan nyawa puteranya, maka dia mengambil keputusan untuk menyerang Kadipaten Wengker lebih dulu.

Pada pagi hari itu, semua anggauta pasukan telah mengadakan persiapan karena besok pagi-pagi pasukan akan diberangkatkan ke Kadipaten Wengker. Ki Patih Narotama duduk di beranda istana Siluman Laut Kidul untuk membicarakan rencana serangan ke Wengker itu bersama Puspa Dewi dan tujuh orang perwira pembantu yang ditentukan harus Ikut memimpin pasukan.

Tiba-tiba datang serombongan perwira tinggi dengan pasukan pengawal. Mereka adalah Senopati Tanujoyo bersama sepuluh orang perwira dan seregu pasukan pengawal terdiri dari sepuluh lusin perajurit pilihan dari Kahuripan. Karena Senopati Tanujoyo, seorang di antara para senopati muda yang terkenal tangguh dari Kahuripan datang sebagai utusan Sang Prabu Erlangga, maka Ki Patih Narotama menyambut rombongan ini dengan gembira dan hormat. Setelah para pendatang dipersilakan duduk, Ki Patih Narotama memandang wajah Senopati Tanujoyo yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, wajah yang gagah perkasa seperti Gatut Kaca dengan brengos (kumis) melintang sekepal sebelah dan berkata.

"Kakang Senopati Tanujoyo, tugas apakah yang diberikan Gusti Sinuwun kepadamu? Adakah perintah baru dari Gusti Sinuwun untukku?"

"Gusti Patih Narotama." kata Senopati Tanujoyo dengan sikap hormat. "Kami ditugaskan untuk membawa para perwira ini untuk membantu Paduka. Gusti Sinuwun memerintahkan agar saya membantu Paduka sebagai wakil panglima dan kita diperintahkan agar segera mengadakan serangan dan menundukkan Kadipaten Parang Siluman. Perintah ini agar dilaksanakan hari ini juga, Gusti Patih."

Berdebar rasa jantung Narotama mendengar perintah ini. Menyerang Parang Siluman? Tidak mungkin! Tidak mungkin dia melakukan itu! Akan tetapi,tidak mungkin pula dia menolak, membantah atau membangkang terhadap perintah Sang Prabu Erlangga!

"Baiklah, Kakang Senopati. Akan tetapi tidak sekarang kita memberangkatkan pasukan, melainkan besok pagi-pagi karena sudah terlanjur kami perintahkan kepada semua perwira pembantu dan pasukan."

Biarpun dalam hatinya. Senopati Tanujoyo merasa tidak puas bahwa perintah Sang Prabu Erlangga agar memberangkatkan hari ini diundur besok pagi oleh Ki Patih Narotama, namun dia tidak berani ribut atau membantah persoalan kecil itu. Diam-diam Senopati Tanujoyo mempunyai perasaan tidak senang kepada Ki Patih Narotama. Tidak senang karena iri bahwa oleh Ki Patih Narotama dia tidak diikut sertakan memimpin pasukan yang melakukan pembersihan terhadap Empat Kadipaten itu. Dia ingin membuat jasa dan merasa seolah dihalangi Ki Patih Narotama yang diangkat sebagai panglima tertinggi tidak mengikutsertakan dia. Padahal, Ki Patih Narotama tidak mengikutsertakan dia karena tidak mau mengosongkan kota raja yang harus pula dijaga keamanannya. Maka ditinggalkannya beberapa orang senopati yang dia anggap memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan kota raja.

Malam itu Ki Patih Narotama tidak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya, bingung sekali. Kemudian dia teringat kepada Puspa Dewi. Urusan pribadinya dengan Lasmini telah dia ceritakan kepada Nurseta, bahkan dia sudah minta bantuan Nurseta untuk merampas kembali puteranya yang ditawan dan dijadikan sandera oleh Lasmini. Sekarang dia harus minta bantuan Puspa Dewi. Hanya gadis itulah yang akan dapat membantunya dan dapat dipercaya untuk mengetahui rahasianya. Maka, malam itu dia mendatangi kamar Puspa Dewi dan mengetuk daun pintu kamar itu.

Suasana malam itu sudah sunyi, karena malam sudah larut dan semua orang sudah tidur. Namun, di luar dugaan Ki Patih Narotama, ada sepasang mata yang mengintai, melihat Ki Patih Narotama mengetuk daun pintu kamar Puspa Dewi...! "Tok-tok-tok!"

"Siapa di luar?" Suara Puspa Dewi bertanya.

"Puspa Dewi, ini aku. Ada yang perlu kubicarakan denganmu."

"Ah, Gusti Patih...!" Puspa Dewi membuka pintu kamarnya.

"Puspa Dewi, boleh aku masuk? Ada urusan penting sekali."

Puspa Dewi memandang heran. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ki Patih Narotama.

"Tentu saja, Gusti Patih. Silakan...!

Ki Patih Narotama masuk kamar dan menutupkan daun pintunya.

"Mengapa mesti ditutup, Gusti Patih?" Puspa Dewi mulai merasa heran dan mengerutkan alisnya, karena biarpun patih, Narotama adalah seorang laki-laki, tidak pantas berdiam di kamar seorang gadis dan menutupkan pintunya!

"Sstt... ini penting sekali, tak boleh diketahui orang iain." Ki Patih Narotama lalu berkata dengan suara berbisik. "Ketahuilah, puteraku Joko Pekik Satyabudhi berada di tangan Lasmini, dan ia mengancam akan membunuhnya kalau aku memimpin pasukan menyerang Parang Siluman. Maka, tentu saja aku tidak mungkin dapat memenuhi perintah Gusti Sinuwun untuk menyerang ke sana, hal itu akan mengorbankan nyawa puteraku."

"Akan tetapi mengapa Gusti Sinuwun memerintahkan menyerang Parang Siluman kalau mengetahui bahwa putera Paduka menjadi sandera di sana?"

"Justru itulah, Puspa Dewi. Aku malu untuk melaporkan tentang janjiku kepada Lasmini untuk tidak menyerang Parang Siluman. Aku malu.... maka beliau tidak tahu. Aku sudah diam-diam minta tolong kepada Nurseta untuk merampas kembali puteraku. Akan tetapi sekarang tiba-tiba Gusti Sinuwun memerintahkan menyerang Parang Siluman. Tentu saja aku tidak dapat melakukan hal itu dan membiarkan puteraku terbunuh di depan mataku. Akan tetapi bagaimana pula aku dapat membangkang terhadap perintah Gusti Sinuwun? Karena itu, engkau bantulah aku, Puspa Dewi. Aku tidak sanggup memimpin pasukan melanjutkan penyerangan pembersihan ini. Engkau wakililah aku, dan kau pimpin pasukan ini menyerbu ke Kadipaten Wengker. Aku sendiri akan pergi menyusul Nurseta untuk berusaha merampas kembali anakku yang ditawan di Kadipaten Parang Siluman."

Mendengar cerita Ki Patih Narotama, Puspa Dewi merasa iba sekali. Lasmini sungguh licik dan curang, menculik Joko Pekik Sataybudhi untuk mengancam dan memaksa Ki Patih Narotama agar tidak menyerang Parang Siluman. Memimpin pasukan menyerang Wengker merupakan pekerjaan yang teramat berat karena Wengker merupakan kadipaten yang kuat. Di sana terdapat orang-orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja ia siap membantu Ki Patih Narotama yang sedang menghadapi keadaan sulit itu.

"Baiklah, Gusti Patih. Saya siap melaksanakan perintah!"

Ki Patih Narotama lalu keluar dari kamar Puspa Dewi, kembali ke kamarnya sendiri, tidak menyadari bahwa sepasang mata Senopati Tanujoyo sejak tadi mengintai, melihat dia memasuki kamar Puspa Dewi lalu keluar lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi semua pasukan sudah siap untuk menerima perintah berangkat. Akan tetapi ditunggu-tunggu, Ki Patih Narotama belum juga keluar dari kamarnya. Setelah menunggu beberapa lamanya, akhirnya Senopati Tanujoyo sebagai wakil panglima, bersama Puspa Dewi yang menjadi pembantu utama Ki Patih Narotama beserta beberapa orang perwira tinggi, memberannikan diri mengetuk daun pintu kamar tidur Ki Patih Narotama.

"Tok-tok-tok...!"

"Siapa?" terdengar suara Ki Patin Narotama bertanya.

"Saya, Gusti Patih. Senopati Tanujoyo dan para perwira lainnya."

"Masuk sajalah, pintunya tidak terpalang." kata Ki Patih Narotama.

Senopati Tanujoyo, Puspa Dewi, dan beberapa orang perwira memasuki kamar itu. Ki Patih Narotama masih rebah telentang di atas pembaringannya. Puspa Dewi sudah dapat menduga bahwa tentu Ki Patih Narotama akan berpura-pura sakit agar dapat melepaskan tugas memimpin pasukan menyerang musuh. Maka gadis ini pun bersikap tenang saja. Senopati Tanujoyo menghampiri pembaringan.

"Gusti Patih, Paduka kenapakah?! Apakah Paduka sakit?"

Ki Patih Narotama mengangguk. "Badanku rasanya tidak sehat, panas dingin dan kepala rasanya pening. Karena itu, aku serahkan pimpinan pasukan kepadamu, Puspa Dewi. Pimpinlah pasukan kita untuk menyerang Wengker."

"Baik, Gusti Patih. Saya siap melaksanakan perintah!" kata Puspa Dewi tegas.

"Nanti dulu, Gusti Patih!" Senopati Tanujoyo berseru dengan alis berkerut. "Saya mendapat perintah langsung dari Kanjeng Gusti Sinuwun untuk menjadi wakil Gusti Patih memimpin pasukan menyerang dan menundukkan Parang Siluman! Gusti Sinuwun sendiri yang mengangkat saya menjadi wakil Paduka. Kalau sekarang Paduka sakit dan tidak dapat memimpin pasukan, sesuai dengan perintah Gusti Sinuwun, semestinya saya yang mewakili Paduka memimpin pasukan. Mengapa Paduka serahkan kepada Ni Puspa Dewi? Ini berarti menyangkal perintah Gusti Sinuwun, dan saya tidak berani melakukan itu! Pula, Gusti Sinuwun, memerintahkan agar pasukan menyerang Parang Siluman, bukan Wengker lebih dulu. Maka, maafkan, Gusti Patih, terpaksa saya tidak menyetujui perintah Paduka. Ni Puspa Dewi memang gagah perkasa dan sudah berjasa terhadap Kahuripan, akan tetapi maaf, ia bukan senopati, maka tidak selayaknya memimpin pasukan Kahuripan. Sekarang, saya yang berhak menggantikan kedudukan Paduka dan memimpin pasukan...! Ni Puspa Dewi,... kalau suka membantu Kahuripan, akan menjadi pembantu utama saya. Maaf, Gusti Patih, sekarang saya akan memberangkatkan pasukan. Mari, Ni Puspa Dewi!"

Senopati Tanujoyo keluar dari kamar diikuti para perwira yang tentu saja membenarkan dia dan tidak berani mengubah perintah Sang Prabu Erlangga. Puspa Dewi ragu-ragu dan bingung, memandang kepada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama menghela napas panjang dan berkata kepada Puspa Dewi.

"Pergi dan taatilah dia, Puspa Dewi, karena dia itu menurut hukum benar. Tidak baik bagimu menganggap aku lebih penting dari Sang Prabu Erlangga yang harus engkau taati perintahnya."

Puspa Dewi keluar dan terpaksa ia membantu Senopati Tanujoyo yang mengerahkan pasukannya, bukan ke Wengker melainkan ke Parang Siluman..! Setibanya di jalan simpang dan melihat pasukan hendak dibelokkan ke Parang Siluman, Puspa Dewi mencoba untuk mengingatkan Senopati Tanujoyo.

"Paman Senopati, maaf, apakah tidak keliru mengambil jalan? Bukankah seharusnya kita mengambil jalan itu yang menuju ke Wengker seperti dipesan Gusti Patih Narotama?"

"Ni Puspa Dewi, seorang punggawa kerajaan hanya patuh dan setia kepada atasannya, dalam hal ini yang paling tinggi dan harus dipatuhi adalah Sang Prabu Erlangga. Kalau tidak ada perintah langsung dari Gusti Sinuwun, tentu saja saya akan patuh kepada perintah Gusti Patih Narotama sebagai atasan saya. Akan tetapi ada perintah langsung yang sudah jelas dari Sang Prabu Erlangga, yaitu agar pasukan kita menyerang Parang Siluman lebih dulu. Mana bisa perintah langsung Sang Prabu Erlangga diubah begitu saja oleh Ki Patih Narotama? Saya tidak berani melanggar perintah Gusti Sinuwun, Ni Puspa Dewi."

Puspa Dewi menjadi bingung. Kalau saja tidak ada urusan itu. Kalau saja putera Ki Patih Narotama tidak dijadikan sandera di Parang Siluman. Tentu ia dengan senang hati akan membantu sekuat tenaga kepada Senopati Tanujoyo. Selagi ia kebingungan karena Senopati Tanujoyo sudah menggerakkan kudanya sehingga ia terpaksa mengikutinya, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ki Patih Narotama telah berdiri menghadang di tengah jalan. Wajahnya yang biasanya tenang dan cerah penuh senyum itu kini tampak menyeramkan, matanya mencorong dan alisnya berkerut.

"Berhenti semua...! Kakang Senopati Tanujoyo, sudah kukatakan kepadamu. Bawalah pasukanmu ke Wengker dan serang Kadipaten Wengker!"

Senopati Tanujoyo adalah seorang senopati yang setia kepada Sang Prabu Erlangga. Diam-diam dia memang agak marah dan iri kepada Ki Patih Narotama karena dia tidak dipilih untuk membantu dalam gerakan pembersihan pasukan Kahuripan. Kini, melihat Ki Patih Narotama menghalang di jalan, dia lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan menghampiri Patih itu.

"Gusti Patih, apa yang Paduka lakukan ini? Kami melaksanakan perintah Gusti Sinuwun untuk menyerang Parang Siluman, siapa yang berani menghalangi?"

"Aku yang menghalangi...! Bawa pasukan ini menyerang Wengker! Kalau Andika lanjutkan menyerang Parang Siluman, aku melarangmu!"

Senopati Tanujoyo menjadi marah. Mukanya berubah kemerahan dan dia melangkah maju menghampiri, "Hei, Ki Patih Narotama...! Andika berani menentang perintah Gusti Sinuwun, berarti Andika hendak memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga? Aku tahu, Andika tentu hendak melindungi Lasmini, bekas selir yang kini berada di Parang Siluman!"

"Tutup mulutmu dan pergilah!" bentak KI Patih Narotama.

"Sang Prabu Erlangga telah memberi purbawisesa (wewenang, kekuasaan), siapa yang menentang perintah beliau harus kubinasakan!" Setelah berkata demikian, Senopati Tanujoyo sudah mencabut kerisnya dan menyerang Ki Patih Narotama. Akan tetapi Ki Patih Narotama menyambutnya dengan dorongan tangan dan tubuh senopati itu terpental dan jatuh terjengkang! Dia bangkit lagi dan memberi aba-aba kepada beberapa orang perwira pembantunya.

"Tangkap pengkhianat pemberontak!"

Lima orang perwira maju dengan ragu-ragu untuk menangkap Ki Patih Narotama, akan tetapi dengan beberapa gerakan saja Ki Patih Narotama telah merobohkan mereka dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat apalagi membunuhnya. Senopati Tanujoyo masih ngotot dan hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Puspa Dewi melompat di depannya.

"Paman Senopati, hentikan semua serangan ini! Andika tidak akan menang melawan Gusti Patih Narotama dan tidak baik berkelahi antara rekan sendiri. Sebaiknya Andika melaporkan hal ini kepada Gusti Sinuwun karena hanya beliau yang berhak untuk memutuskan perkara ini."

Karena jelas bahwa gadis ini tidak akan membantunya mengeroyok Ki Patih Narotama, dan dia harus mengakui bahwa dia dan semua perwira pasti tidak akan mampu mengalahkan Patih itu, dan percuma saja mengerahkan pasukan karena semua perajurit itu pasti tidak akan berani melawan Ki Patih Narotama, maka Senopati Tanujoyo berkata dengan marah.

"Baiklah, akan kulaporkan Andika kepada Gusti Sinuwun, Ki Patih Narotama!"

Setelah berkata demikian, Senopati Tanujoyo menyuruh pasukannya mundur dan untuk sementara berhenti dan membangun perkemahan di situ. Adapun dia sendiri lalu mengajak pasukan pengawal untuk cepat-cepat kembali ke Kota Raja Kahuripan untuk melaporkan larangan Ki Patih Narotama terhadap gerakan pasukannya yang hendak menyerang Parang Siluman itu.

BERSAMBUNG KE JILID 18


Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 17

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 17

Pasukan Wura-wuri yang tadinya mengatur barisan di depan pintu gerbang benteng, begitu mendengar ucapan Ki Patih Narotama, sebagian besar lalu mundur, memasuki kadipaten dan tidak membuat perlawanan. Pasukan memasuki kota raja Wura-wuri dengan aman dan hanya terjadi sedikit perlawanan di sana sini dari mereka yang setia kepada Wura-wuri. Akan tetapi perlawanan mereka itu segera dapat ditindas dan diamankan.

Ki Patih Narotama, diikuti Puspa Dewi dan para perwira pembantu, memasuki istana Kadipaten Wura-wuri. Para dayang dan pelayan yang tidak melarikan diri berlutut dengan hormat namun tidak ketakutan karena mereka sudah mendengar dari para perajurit bahwa pasukan Kahuripan yang dipimpin Ki Patih Narotama telah menduduki Wura-wuri namun tidak akan mengganggu siapa saja di Wura-wuri asalkan mereka tidak membuat kekacauan dan tidak melawan.

Ketika memasuki ruangan istana, Ki Patih Narotama baru menyadari bahwa Nurseta tidak ikut rombongannya masuk, bahkan .ketika dia menoleh dan mencari, dia tidak melihat pemuda itu bersama mereka.

"Eh, Puspa Dewi, aku tidak melihat Nurseta. Di mana dia?"

"Dia berada di luar, Gusti Patih. Baru saja saya menceritakan tentang Eyang Senopati Sindukerta yang gugur."

Ki Patih Narotama mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang. "Ya,..perang memang kejam, merupakan titik terendah dari kejatuhan manusia ke dalam jurang dosa. Perang membuat orang menjadi buas, nyawa manusia tidak lebih dihargai daripada nyawa seekor lalat. Perang membuat manusia mampu menari-nari di atas mayat musuh-musuhnya. Perang menimbulkan kekejaman, kepuasan nafsu binatang, dendam kebencian, sorak-sorai mereka yang mabok kemenangan di antara ratap tangis mereka yang kematian keluarganya."

Ki Patih Narotama melanjutkan langkahnya memasuki istana Wura-wuri, diikuti para pembantunya. Mengadakan pemeriksaan ke seluruh istana. Ternyata Nyi Dewi Durgakumala sudah pergi meninggalkan istana, menurut keterangan para dayang, membawa harta bendanya berupa perhiasan. Juga Cekel Aksomolo yang terhindar dari kematian sudah pergi meninggalkan Wura-wuri. Ki Patih Narotama bersikap lembut terhadap semua pekerja di istana Wura-wuri.

Dia lalu menunjuk beberapa orang perwira Kahuripan untuk menjadi pejabat-pejabat sementara agar roda pemerintahan Kadipaten Wura-wuri dapat berjalan seperti biasa. Tentu saja banyak kebijaksanaan pemerintah lama yang diubah dan diganti sehingga peraturan-peraturan tidak ada lagi yang menekan rakyat, disesuaikan dengan peraturan pemerintahan Kerajaan Kahuripan. Bahkan para perajurit yang tidak melarikan diri dan dengan suka rela mengakui kedaulatan Kahuripan, masih diterima menjadi anggota pasukan baru yang dibentuk dan dipimpin oleh seorang senopati Kahuripan yang diangkat sebagai komandan sementara oleh Ki Patih Narotama.

Tadinya, Ki Patih Narotama minta kepada Puspa Dewi yang pernah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri dan sudah banyak dikenal oleh para perwira dan perajurit Wura wuri untuk menjabat komandan pasukan sementara, akan tetapi dengan hormat Puspa Dewi menolak.

"Gusti Patih, bukan semata-mata saya menentang dan menolak kehendak Paduka, akan tetapi saya tidak dapat menerima tugas itu karena pertama; Akan timbul anggapan para perajurit Wura-wuri bahwa saya ikut memusuhi pimpinan Wura-wuri karena ingin menjadi penguasa di sini. Kedua kalinya, memang sejak dulu saya tidak ingin terikat dengan sebuah jabatan. Saya lebih suka bebas dari ikatan, Gusti Patih, walaupun saya selalu siap apabila sewaktu-waktu tenaga saya dibutuhkan untuk membela Kahuripan, sebagai kawula Kahuripan."

Mendengar alasan yang kuat itu, Ki Patih Narotama tidak memaksanya dan menunjuk seorang senopati Kahuripan untuk jabatan itu. Semua orang yang dia angkat sebagai pejabat sementara diperingatkan agar bertugas dengan baik, menaati perintah atasan dan jujur. Juga mereka diberitahu bahwa jabatan mereka hanya sementara, sambil menanti keputusan dari Sang Prabu Erlangga sendiri yang akan menunjuk para pejabat baru untuk mengatur roda pemerintahan Kahuripan. Juga untuk menunjuk seorang adipati baru, harus menaati keputusan dari Sang Prabu Erlangga sendiri.

Karena sikap bijaksana Ki Patih Narotama ini, maka penaklukan Wura-wuri berlangsung cepat dan tenang, tanpa mengakibatkan banyak korban. Juga suasana segera menjadi tenteram kembali karena peristiwa penaklukan itu tidak mendatangkan perubahan besar kepada kehidupan rakyat jelata, bahkan kalaupun diadakan beberapa perubahan peraturan, perubahan itu membela kepentingan dan menguntungkan rakyat.

Setelah menaklukkan Wura-wuri tanpa mengorbankan banyak perajuritnya, Ki Patih Narotama mempersiapkan pasukannya untuk melanjutkan tugasnya melakukan pembersihan atau hukuman terhadap kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang selalu memusuhi Kahuripan dan seringkali melakukan pengacauan.

Tiga kerajaan yang harus ditundukkan agar mereka tidak lagi mengganggu Kahuripan itu adalah, Kerajaan Wengker, Parang Siluman, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul. Tanpa diketahui orang lain, bahkan dia tidak melaporkan hal itu kepada Sang Prabu Erlangga, Ki Patih Narotama sudah terikat janji dengan Kerajaan Parang Siluman bahwa dia tidak akan menyerbu Parang Siluman karena puteranya, Joko Pekik Satyabudhi yang baru berusia satu setengah tahun, ditawan dan dijadikan sandera di Parang Siluman.

Oleh karena itu, sasaran berikutnya yang akan dia tundukkan adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul. Dibandingkan yang lain, kerajaan atau kadipaten ini yang paling kecil, pasukannya juga tidak banyak jumlahnya walaupun harus diakui bahwa Siluman Laut Kidul dipimpin oleh ratunya yang sakti mandraguna, yaitu Ratu Mayang Gupita yang rupanya saja sudah menyeramkan sebagai seorang raseksi. Juga ia dibantu oleh paman gurunya sendiri yang sakti dan ahli sihir, yaitu Bhagawan Kalamisani.

Akan tetapi Ki Patih Narotama merasa yakin bahwa dia dan Puspa Dewi berdua akan mampu menandingi dan mengalahkan dua orang sakti itu, dan pasukannya juga jauh lebih besar daripada pasukan Kadipaten Siluman Laut Kidul. Dia lalu memanggil Nurseta dan diajaknya pemuda itu untuk bicara berdua saja dengannya.

"Nurseta, aku ikut merasa prihatin atas gugurnya Kakekmu, yaitu Paman Senopati Sindukerta. Mudah-mudahaan engkau tidak terlalu berduka mendengar berita itu."

Nurseta menghela napas panjang dan menyembah dengan hormat. "Gusti Patih, bagaimana mungkin seorang manusia biasa seperti saya tidak akan merasa kehilangan dan bersedih mendengar kematian Eyang Sindukerta? Akan tetapi saya dapat menghibur hati dengan adanya kenyataan bahwa Eyang Sindukerta meninggal dunia sebagai seorang pahlawan pembela negara. Saya sudah dapat menguasai hati dan tidak lagi tertekan kedukaan, Gusti Patih."

"Syukurlah kalau begitu, Nurseta. Sekarang aku ingin minta tolong padamu, Nurseta. Aku sedang terhimpit suatu masalah dan kiranya hanya engkau yang akan dapat menolongku."

Nurseta terkejut. Bagaimana mungkin Ki Patih Narotama yang demikian sakti mandraguna dan arif bijaksana itu membutuhkan pertolongannya?

Gusti Patih, saya selalu siap untuk melaksanakan perintah Paduka yang mewakili Gusti Sinuwun. Apa yang harus saya lakukan?"

Ki Patih menghela napas panjang. "Inilah soalnya, Nurseta. Kalau mengenai urusan perjuangan membela Kahuripan, engkau tidak akan kuajak bicara berdua saja, melainkan di depan semua pembantuku. Akan tetapi urusan ini adalah urusan pribadiku, Nurseta. Urusan pribadi yang kurahasiakan terhadap siapa pun, bahkan tidak kulaporkan kepada Gusti Sinuwun. AKan tetapi akan kuceritakan padamu karena aku ingin minta pertolonganmu. Urusan ini mengenai puteraku, Joko Pekik Satyabudhi yang diculik musuh."

"Akan tetapi hal itu bukan rahasia lagi, Gusti Patih. Semua orang sudah mengetahui dan saya sendiri sudah mendengar semua yang terjadi di Kahuripan dari Puspa Dewi."

"Benar, Nurseta, akan tetapi tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Ketahuilah bahwa setelah perang usai dan puteraku dilarikan musuh, aku lalu melakukan pencarian dan aku yakin bahwa puteraku tentu diculik oleh bekas selirku, Lasmini, puteri Parang Siluman itu. Setelah aku tiba di Parang Siluman, benar saja. Puteraku berada di sana dan aku terpaksa mengadakan perjanjian dengan Lasmini bahwa aku tidak akan membawa pasukan menyerang Parang Siluman. Kalau aku melanggar, maka mereka akan lebih dulu membunuh Joko Pekik!"

"Hemm, licik sekali! Jadi, putera Paduka yang masih kecil itu dijadikan sandera untuk memaksa Paduka agar tidak memusuhi atau menyerang Parang Siluman?"

"Begitulah, dan aku merahasiakan hal ini. Aku merasa malu kalau diketahui Sang Prabu Erlangga. Karena itu, sekarang aku lebih dulu menyerang dan menaklukkan kadipaten yang lain. Setelah menaklukkan Wura-wuri, aku akan memimpin pasukan menaklukkan Kadipaten Siluman Laut Kidul, kemudian Kadipaten Wengker. Aku tidak dapat menyerang Kadipaten Parang Siluman sebelum puteraku dapat terlepas dari tahanan mereka."

"Lalu apakah yang dapat saya lakukan?"

"Nurseta, bantulah aku, bebaskan anakku dari Parang Siluman. Hanya engkau yang dapat menolongnya."

Nurseta mengangguk. "Baiklah, Gusti Patih. Saya akan berusaha semampu saya untuk memasuki Parang Siluman dan membebaskan putera Paduka. Akan tetapi saya tidak berani menjamin keberhasilan saya karena tentu Paduka juga mengetahui bahwa di sana terdapat banyak orang yang sakti mandraguna dan tentu putera Paduka dijaga amat ketat."

"Aku mengerti, Nurseta. Kewajiban manusia hanyalah berusaha sekuat tenaga mengenai keberhasilannya hanya berada dalam kekuasaan Sang Hyang Widhi. Ada satu hal lagi yang kuminta darimu."

"Apakah itu, Gusti Patih? Saya siap melaksanakan perintah Paduka."

"Nurseta, berikan kembali kepadaku Kyai Kolomisani, keris yang dulu kuhadiahkan kepadamu itu. Saat ini aku amat membutuhkannya. Ketahuilah, Nurseta, di Kadipaten Siluman Laut Kidul yang dipimpin ratunya, Ratu Mayang Gupita, terdapat Paman guru ratu itu, yang amat sakti. Orang itu memakai nama Bhagawan Kalamisani dan sudah menjadi sumpahnya sendiri bahwa dia hanya dapat tewas oleh Keris Pusaka Kolomisani yang dulu kuberikan kepadamu itu.

Ceritanya begini. Dulu, puluhan tahun lalu ketika masih muda, Bhagawan Kalamisani pernah tinggal di Bali-dwipa dengan nama Kartika Jenar. Dia banyak mempelajari banyak aji kanuragan dari para pendeta dan pertapa. Di antara para pendeta yang menggemblengnya terdapat pula guruku, yaitu Sang Maha Resi Satyadharma. Pada suatu hari, Kartika Jenar baru belajar selama beberapa bulan saja, Maha Resi Satyadharma kehilangan sebuah pusakanya, yaitu Kyai Kolomisani itu. Maha Resi Satyadharma mengetahui bahwa Kartika Jenar mencuri pusaka itu, akan tetapi ketika ditanya, Kartika Jenar menyangkal, bahkan dia bersumpah bahwa kalau dia yang mencuri Kyai Kolomisani, biar dia kelak mati oleh keris pusaka itu! Kemudian, belasan tahun lewat dan ketika aku dan Gusti Sinuwun Sang Prabu Erlangga menjadi murid Maha Resi Satyadharma, kami berdua yang ketika itu baru berusia sekitar delapan belas tahun, diberi tugas oleh guru kami untuk merampas kembali keris pusaka Kyai Kolomisani dari tangan Kartika Jenar yang ketika itu sudah menjadi seorang pertapa dengan nama Bhagawan Kalamisani. Agaknya dia sengaja menggunakan nama keris pusaka itu sebagai nama tua atau nama pendetanya. Nah, kami berdua berhasil merampas kembali keris itu dan guru kami menghadiahkan keris pusaka Kyai Kolomisani kepadaku dan Sang Prabu Erlangga mendapat hadiah keris pusaka Kyai Brojol Luwuk.

Nah, demikianlah, Nurseta. Sekarang aku hendak memimpin pasukan menundukkan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Bhagawan Kalamisani memperkuat kadipaten itu. Maka aku teringat akan pusaka Kyai Kolomisani yang kuberikan kepadamu, maka sekarang aku minta agar engkau kembalikan pusaka itu untuk kupergunakan menghadapi Bhagawan Kalamisani."

Nurseta mengangguk. "Baiklah, Gusti Patih. Silakan menerima kembali Kyai Kolomisani!" kata Nurseta sambil menyerahkan keris pusaka itu.

Ki Patih Narotama tersenyum dan memandang kagum. "Bagus! Engkau adalah seorang satria sejati, Nurseta. Nah, terimalah pusaka ini sebagai gantinya. Ini adalah Tongkat Pusaka Tunggul Manik. Tongkat ini bukan hanya dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh dan dapat menandingi senjata pusaka mana pun, akan tetapi juga ampuh sekali untuk mengobati segala luka keracunan. Racun yang betapa jahat pun akan menjadi tawar kalau bertemu Kyai Tunggul Manik ini. Rendaman airnya diminumkan, dan bagian yang keracunan digosok tongkat ini, maka semua racun akan sirna."

Nurseta menerima tongkat hitam yang tidak berapa besar itu. Hanya sepanjang lengan dan besarnya tidak lebih dari ibu jari kaki orang dewasa. Akan tetapi tongkat sederhana berwarna hitam itu mengeluarkan cahaya berkilau dan menyiarkan keharuman yang aneh.

Demikianlah, pada hari itu juga, Nurseta meninggalkan pasukan Kahuripan yang sudah membuat persiapan di dalam Kadipaten Wura-wuri dan kepada Puspa Dewi yang bertanya, dia hanya mengatakan bahwa dia mendapat tugas dari Ki Patih Narotama untuk melakukan penyelidikan ke Kadipaten Parang Siluman yang dinilai kuat. Pasukan Kahuripan pada hari Itu juga bergerak meninggalkan Wura-wuri menuju ke Kadipaten Siluman Laut Kidul.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Seperti juga para pimpinan kadipaten lain, di Kadipaten Siluman Laut Kidul, para pemimpinnya juga merasa gelisah. Kadipaten yang tidak berapa besar dan kuat ini, dalam penyerbuan gabungan ke Kahuripan, kehilangan hamper setengah jumlah perajuritnya. Bahkan dua orang senopatinya, Nagarodra dan Nagajaya yang merupakan adik-adik seperguruan Ratu Mayang Gupita, telah tewas dalam perang itu.

Ratu Mayang Gupita merasa sedih dan juga marah. Kebenciannnya terhadap Kerajaan Kahuripan semakin mendalam. Akan tetapi di balik kemarahan dan kesedihannya, terdapat pula perasaan gentar. Kini yang menjadi andalannya hanyalah paman gurunya, Bhagawan Kalamisani. Memang ada belasan orang perwira, namun kesaktian mereka belum dapat diandalkan. Mereka ini hanya bertugas memimpin sisa pasukan yang terhindar dari kematian dalam perang besar di Kahuripan itu.

Pada suatu malam, Ratu Mayang Gupita, raseksi berusia lima puluh tahun yang sakti mandraguna dan menyeramkan itu, mengundang Bhagawan Kalamisani dan belasan orang perwira pembantunya untuk berunding dalam istananya.

"Paman Bhagawan, kami merasa khawatir kalau-kalau pasukan Kahuripan akan menyerang ke sini. Kami sudah mendengar kabar bahwa Wura-wuri sudah diserang dan diduduki. Kita hanya mempunyai dua pilihan, Paman. Melarikan diri meninggalkan kadipaten, atau melawan mati-matian. Bagaimana pendapat Andika Paman Bhagawan?"

Bhagawan Kalamisani yang bertubuh bongkok itu menjawab sambil mengangguk-angguk. "Kanjeng Ratu, sebelum saya mengatakan pendapat saya, saya ingin lebih dulu bertanya kepada para perwira ini! Heh, kalian para senopati yang setia kepada Kerajaan Siluman Laut Kidul, bagaimana pendapat kalian dan para perajurit yang kalian pimpin? Beranikah kalian melawan kalau pasukan Kahuripan menyerang kita?"

Para senopati itu diwakili seorang senopati tua menjawab dengan tegas. "Kami dan para perajurit siap melaksanakan semua perintah Gusti Ratu!"

"Kanjeng Ratu, setelah mendengar kesanggupan para senopati, menurut pendapat saya, kita tidak perlu takut kepada pasukan Kahuripan. Saya akan memimpin pasukan melawan mereka!"

"Harap Paman berhati-hati, karena saya mendengar bahwa yang memimpin pasukan Kahuripan adalah Ki Patih Narotama yang amat sakti sehingga Wura-wuri juga sudah dikalahkan dan ditaklukkan."

"Heh-heh-heh, ada apanya sih Si Narotama itu? Bocah kemarin sore yang masih bau pupuk brambang! Saya tidak takut, Kanjeng Ratu. Asal jangan Sang Prabu Erlangga saja yang maju memimpin pasukan, karena memang berat untuk menandingi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi Narotama? Huh, saya tidak takut!"

Seluruh pasukan di Kerajaan Siluman Laut Kidul dikerahkan untuk menyambut pasukan Kahuripan yang menurut para penyelidik sudah mulai bergerak menuju Siluman Laut Kidul. Ki Patih Narotama menaati pesan Sang Prabu Erlangga, yaitu sedapat mungkin agar menalukkan penguasa-penguasa daerah itu tanpa harus mengorbankan banyak nyawa di kedua pihak. Oleh karena itu, ketertiban dan kepatuhan para perajurit ditekankan sehingga di sepanjang perjalanan menuju Siluman Laut Kidul, pasukan itu sama sekali tidak pernah mengganggu rakyat di pedusunan yang dilalui mereka karena siapa berani melanggar larangan itu diancam hukuman berat. Namun yang membuat para perajurit dapat bersikap tertib dan taat adalah karena sejak mereka menjadi perajurit, Ki Patih Narotama melalui para senopati dan perwira telah menanamkan jiwa satria dalam batin mereka.

Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu oleh Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan hati tegang, tiba. Pasukan Kahuripan telah berada di depan benteng Kota Raja Siluman Laut Kidul. Pasukan Kahuripan tiga kali lebih besar jumlahnya dari jumlah pasukan Siluman Laut Kidul, maka melihat jumlah yang demikian besar saja, para perajurit pasukan Siluman Laut Kidul sudah menjadi gentar. Akan tetapi para perwiranya, dipimpin oleh Ratu Mayang Gupita sendiri dan didampingi Bhagawan Kalamisani, tidak merasa gentar dan mereka memimpin pasukan untuk menyambut di luar pintu gerbang.

Dua pasukan sudah berhadapan, namun Ki Patih Narotama mengangkat tangan ke atas memberi isyarat kepada para perwira pembantunya agar jangan menggerakkan pasukan. Ki Patih Narotama kini berhadapan dengan Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani yang diikuti beberapa belas orang perwira mereka. Yang mendampingi Ki Patih Narotama adalah Puspa Dewi dan beberapa orang senopati dan perwira pembantu. Untuk menaklukkan Kerajaan Siluman Laut Kidul, Ki Patih Narotama memang tidak mengerahkan banyak senopati. Bahkan Senopati Wiradana yang merupakan senopati tua ditinggalkan di Wura-wuri untuk mengatur daerah yang baru saja ditalukkan itu.

Kini Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani berhadapan dengan Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi. Dengan suara yang lembut dan tenang namun mengandung wibawa kuat, Ki Patih Narotama berkata.

"Kanjeng Ratu Mayang Gupita, atas nama Sang Prabu Erlangga Raja Kahuripan, kami minta Andika menyerah saja dan menaluk mengakui kekuasaan Sang Prabu Erlangga agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan menimbulkan banyak korban."

"Babo-babo, Si Keparat Narotama! Kamu bocah kemarin sore berani bersikap sombong di depan kami! Apa kau kira kami takut menandingimu dan pasukan Kahuripan? Kalau engkau hendak menaklukkan dan memasuki Gapura Siluman Laut Kidul, langkahi dulu mayatku!"

Ki Patih Narotama tersenyum. Dia maklum bahwa Bhagawan Kalamisani yang terkenal sombong ini tidak mudah dibujuk. Dulupun ketika dia mengikuti Pangeran Erlangga untuk minta kembali keris pusaka yang dicuri orang ini dari Maha Resi Satyadharma, orang ini yang dulu bernama Kartika Jenar memandang rendah mereka. Akhirnya Pangeran Erlangga dapat mengalahkan dia dan merampas kembali Keris Pusaka Kolomisani dari tangan Kartika Jenar yang memakai nama Sang Bhagawan Kalamisani. Dia sendiri ketika itu tidak sempat bertanding melawan Si Bongkok yang sakti mandraguna ini. Ki Patih Narotama maklum bahwa tanpa menundukkan orang ini, mustahil Kerajaan Siluman Laut Kidul mau takluk.

"Bhagawan Kalamisani, tantanganmu kuterima. Memang lebih baik begini saja. Kita para pimpinan yang mengadu kesaktian di sini, tidak perlu mengerahkan pasukan agar tidak banyak menimbulkan korban di kedua pihak. Engkau majukan para jagoan Siluman Laut Kidul, akan kami tandingi."

Bhagawan Kalamisani memberi isyarat kepada Ratu Mayang Gupita dan lima belas orang senopatinya. Mereka semua, tujuh belas orang, maju dan siap dengan senjata di tangan. Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi maju, diikuti sepuluh orang perwira pembantu.

"Kami sudah siap. Kanjeng Ratu Mayang Gupita!" kata Ki Patih Narotama.

Bhagawan Kalamisani mengeluarkan bentakan dahsyat dan dia sudah menyerang Ki Patih Narotama. Kedua tangannya dikembangkan, lalu menubruk dan bagaikan seekor beruang dia mencengkeram dengan kedua tangan yang menyambar dari kanan kiri. Ki Patih Narotama dengan tenang mengelak dan balas menyerang. Dua orang sakti mandraguna itu sudah saling menyerang dengan hebat. Melihat paman gurunya sudah bertanding melawan Ki Patih Narotama, Ratu Mayang Gupita juga mengeluarkan pekik melengking dan rasaksa wanita yang bertubuh gendut tinggi besar itu menerjang ke arah Puspa Dewi yang ia tahu merupakan gadis yang sakti. Puspa Dewi menyambut serangannya dan dua orang wanita ini pun sudah bertanding dengan dahsyat.

Lima belas orang senopati Kerajaan Siluman Laut Kidul bergerak maju disambut sepuluh orang perwira Kahuripan. Terjadilah pertempuran antara tujuh belas orang Siluman Laut Kidul dan dua belas orang Kahuripan itu. Para perajurit kedua pihak tidak ada yang berani maju memulai pertempuran. Pasukan Kahuripan tidak berani bergerak karena tadi Ki Patih Narotama sudah memberi isyarat agar mereka tidak menyerbu sebelum ada tanda darinya. Sedangkan Pasukan Siluman Laut Kidul selain belum mendapat perintah menyerang, juga mereka gentar untuk mulai penyerangan, melihat betapa pasukan musuh jauh lebih besar jumlahnya daripada mereka. Mereka hanya menanti hasil pertempuran antara para pemimpin pasukan kedua pihak.

Pertempuran itu berlangsung seru. Biarpun Bhagawan Kalamisani dan Ratu Mayang Gupita merupakan dua orang yang memiliki ilmu hitam sesat, namun keduanya maklum bahwa penggunaan sihir tidak ada gunanya terhadap Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi. Maka mereka mengandalkan tenaga sakti dan gerakan serangan mereka yang dahsyat, yang didukung tenaga ilmu hitam mereka.

Yang paling hebat adalah pertandingan antara Ki Patih Narotama melawan Bhagawan Kalamisani. Pendeta itu memang memiliki kesaktian yang sudah amat tinggi, hasil dari mempelajari banyak aji kesaktian dari orang-orang pandai. Bahkan dia pernah pula menerima gemblengan dari Sang Maha Resi Satyadharma sendiri karena ketika mudanya, Bhagawan Kalamisani yang bernama Kartika Jenar adalah seorang yang berwatak satria. Akan tetapi setelah menerima banyak ilmu, di antaranya dari datuk-datuk sesat, dia mulai berubah. Daya-daya rendah yang sesat dalam ilmu-ilmu itu mulai menguasai dirinya sehingga dia mulai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran. Bahkan dia berani mencuri pusaka milik Sang Maha Resi Satyadharma.

Kini, menghadapi Ki Patih Narotama, Bhagawan Kalamisani mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Mula-mula mereka bertanding dengan tangan kosong, namun semua pukulan mereka mengandung tenaga sakti luar biasa sehingga sekitar tempat mereka bertanding dapat merasakan getaran pukulan mereka. Ki Patih Narotama juga tidak mudah mendesak lawannya yang memang memiliki banyak macam ilmu dan juga tentu saja memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripada dia. Hanya dia dapat bertahan karena selain tenaga saktinya dapat mengimbangi lawan, juga dia memiliki daya tahan yang lebih kuat, berkat kehidupannya yang bersih, tidak seperti Bhagawan Kalamisani yang terlalu dikuasai nafsu-nafsunya dan hidup seperti itu tentu saja melemahkan dan merusak daya tahan tubuhnya sendiri.

Berbeda dengan Ki Patih Narotama yang agak sukar mengalahkan lawan, Puspa Dewi dapat mendesak Ratu Mayang Gupita setelah mereka saling serang mati-matian selama tiga puluh jurus lebih. Mulailah Puspa Dewi mendesaknya. Biarpun Puspa Dewi sudah mewarisi semua aji kesaktian yang diajarkan guru pertamanya, Nyi Dewi Durgakumala, ia tidak akan mampu menandingi kedigdayaan Ratu Mayang Gupita kalau saja ia tidak menerima bimbingan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan. Bimbingan itu selain mengubah wataknya yang keras dan mengubah sifat-sifat yang sesat dari ilmu-ilmunya, juga memperdalam ilmu itu dan terutama sekali menguatkan tenaga saktinya.

Gadis ini memang berwatak satria. Ia memiliki sebuah cundrik atau patrem (keris kecil), yaitu Sang Cundrik Arum, pusaka pemberian Sang Prabu Erlangga. Sebuah pusaka yang ampuh. Akan tetapi Puspa Dewi tidak mau menggunakannya karena lawannya juga tidak menggunakan senjata. Bertanding dengan tangan kosong saja, Ratu Mayang Gupita yang mula-mula mampu mengimbangi, perlahan-lahan terdesak. Karena semakin lama merasa semakin terdesak dan repot melawan gadis cantik Itu dan akan membahayakan nyawanya, Ratu Mayang Gupita menjadi penasaran dan marah. Tiba-tiba ia melompat ke belakang, mengeluarkan teriakan melengking yang memekakkan telinga dan menggetarkan jantung, mendorongkan kedua tangannya. Tampak bola api menyambar ke arah Puspa Dewi didahului suara ledakan.

"Darrr....!!"

Bola api itu menyambar ke arah kepala Puspa Dewi. Akan tetapi gadis itu telah siap siaga. Ia mengeluarkan pekik yang dahsyat, yaitu Aji Guruh Bairawa dan kedua tangannya juga mendorong dan menyambut bola api itu. Ada cahaya berapi meluncur dari kedua telapak tangannya, menyambut bola api dari lawannya.

"Pyarrr....!"

Kedua tenaga sakti yang berhawa panas sekali Itu bertemu di udara, bertumbukan dan tampak bunga api muncrat merupakan kembang api yang menyilaukan mata dan terdengar Ratu Mayang Gupita menjerit, tubuhnya roboh terjengkang dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah. Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul itu tewas seketika terpukul tenaga saktinya sendiri yang membalik setelah bertabrakan dengan tenaga sakti Puspa Dewi yang ternyata lebih kuat. Setelah lawannya roboh Puspa Dewi lalu membantu para perwira Kahuripan menghadapi para senopati Siluman Laut Kidul. Tentu saja begitu Puspa Dewi masuk ke dalam pertempuran itu, pihak para senopati lawan terdesak hebat dan beberapa orang senopati roboh oleh tamparan Puspa Dewi.

Tentu saja Bhagawan Kalamisani terkejut bukan main melihat Sang Ratu, murid keponakannya itu, roboh dan tewas. Dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, diperkuat dengan ilmu sihir, dan begitu dia mencabut kerisnya, keris itu dilontarkan dan terbang ke arah Ki Patih Narotama! Orang ke dua dari Kerajaan Kahuripan ini terkejut juga. Dia cepat mengelak dari sambaran keris yang ujungnya bernyala itu. Akan tetapi, keris berapi itu begitu luput dan lewat, langsung membalik dan menyambarnya dari belakang, seolah keris itu hidup dan memiliki mata! Setelah tiga kali mengelak, Narotama lalu mencabut Keris Pusaka Megantoro yang berluk tujuh dari ikat pinggangnya. Keris pusaka Megantoro ini merupakan pusaka yang setingkat dengan Keris Pusaka Megatantra milik Sang Prabu Erlangga, ampuh bukan main. Begitu keris terbang itu menyambar lagi, Ki Patih Narotama tidak mengelak melainkan menangkis dengan keris Megantoro.

"Cringg...!"

Keris terbang yang berapi itu terpental, akan tetapi menyerang lagi dengan lebih ganas karena keris itu seolah dikendalikan oleh Bhagawan Kalamisani! Ki Patih Narotama menangkis berkali-kali sehingga terdengar bunyi nyaring berkencringan dan bunga api berpljar-pijar. Melihat ini, Bhagawan Kalamisani melompat dan menubruk ke arah Ki Patih Narotama yang sedang sibuk menangkis serangan keris terbang itu. Ki Patih melihat kesempatan baik dan tidak mau menyia-nyiakan. Tangan kirinya menghunus Keris Pusaka Kolomisani yang dipinjamnya dari Nurseta dan menyambut terkaman Bhagawan Kalamisani itu dengan keris pusaka itu.

"Wuttt... cappp...!"

Bhagawan Kalamisani terbelalak, dan berseru kaget.

"...Keris Pusaka Kolomisani...!" Tubuhnya terjengkang dengan keris itu masih menancap di ulu hatinya dan dia pun tewas seketika. Keris terbang yang tadi menyerang Ki Patih Narotama seperti seekor burung, kini pun kehilangan daya penggeraknya dan keris itu jatuh ke atas tanah.

Ki Patih Narotama memejamkan mata sebentar sambil merangkap kedua tangan depan dada. Kemudian dia membuka mata kembali lalu menghampiri mayat Bhagawan Kalamisani dan mencabut keris pusaka yang menancap di dada pendeta itu, membersihkannya dan menyimpannya kembali. Ketika dia menengok ke arah pertempuran antara para perwira pembantunya, dia melihat kini belasan orang senopati Siluman Laut Kidul telah roboh semua dan di pihak para perwira Kahuripan hanya jatuh korban lima orang. Kemenangan ini tentu saja mudah dicapai karena Puspa Dewi membantu para perwira Kahuripan itu. Ki Patih Narotama lalu berseru dengan suara yang nyaring melengking sehingga terdengar oleh semua perajurit musuh.

"Hai para perajurit Siluman Laut Kidul...! Para pemimpin kalian telah tewas. Buanglah senjata dan menyerahlah. Siapa yang menyerah tidak akan dibunuh, akan tetapi yang melawan akan dibinasakan!"

Dia lalu memberi isyarat kepada para perwira untuk menggerakkan pasukan Kahuripan yang maju ke arah gapura Kota Raja Siluman Laut Kidul. Sebagian besar perajurit Siluman Laut Kidul membuang senjata, berlutut dan menyerah. Mereka yang melakukan perlawanan, karena jumlahnya tidak banyak, dengan mudah digilas dan pasukan Kahuripan memasuki kota raja tanpa banyak perlawanan. Ki Patih Narotama memasuki istana dan semua penghuni istana menjadi tawanan. Karena Kerajaan Siluman Laut Kidul merupakan kerajaan kecil saja, maka sesuai dengan pesan Sang Prabu Erlangga, Ki Patih Narotama lalu menempatkan beberapa orang perwira dan meninggalkan sejumlah pasukan untuk mengatur daerah itu sebagai daerah kekuasaan Kahuripan. Sejak itu, Kerajaan Siiuman Laut Kidul sudah tidak ada lagi. Bekas para perajuritnya banyak yang diterima masuk menjadi perajurit Kahuripan.

Setelah membiarkan pasukannya beristirahat selama beberapa minggu, Ki Patih Narotama lalu bersiap-siap untuk melanjutkan gerakan pembersihan dilakukan pasukan Kahuripan. Wura-wuri sudah ditundukkan, demikian pula Siluman Laut Kidul. Maka kini tinggal dua buah kadipaten lagi, yang merupakan musuh utama, yaitu Kadipaten Wengker dan Kadipaten Parang Siluman. Karena dia tak mungkin menyerang Parang Siluman, melanggar janji dan membahayakan keselamatan nyawa puteranya, maka dia mengambil keputusan untuk menyerang Kadipaten Wengker lebih dulu.

Pada pagi hari itu, semua anggauta pasukan telah mengadakan persiapan karena besok pagi-pagi pasukan akan diberangkatkan ke Kadipaten Wengker. Ki Patih Narotama duduk di beranda istana Siluman Laut Kidul untuk membicarakan rencana serangan ke Wengker itu bersama Puspa Dewi dan tujuh orang perwira pembantu yang ditentukan harus Ikut memimpin pasukan.

Tiba-tiba datang serombongan perwira tinggi dengan pasukan pengawal. Mereka adalah Senopati Tanujoyo bersama sepuluh orang perwira dan seregu pasukan pengawal terdiri dari sepuluh lusin perajurit pilihan dari Kahuripan. Karena Senopati Tanujoyo, seorang di antara para senopati muda yang terkenal tangguh dari Kahuripan datang sebagai utusan Sang Prabu Erlangga, maka Ki Patih Narotama menyambut rombongan ini dengan gembira dan hormat. Setelah para pendatang dipersilakan duduk, Ki Patih Narotama memandang wajah Senopati Tanujoyo yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, wajah yang gagah perkasa seperti Gatut Kaca dengan brengos (kumis) melintang sekepal sebelah dan berkata.

"Kakang Senopati Tanujoyo, tugas apakah yang diberikan Gusti Sinuwun kepadamu? Adakah perintah baru dari Gusti Sinuwun untukku?"

"Gusti Patih Narotama." kata Senopati Tanujoyo dengan sikap hormat. "Kami ditugaskan untuk membawa para perwira ini untuk membantu Paduka. Gusti Sinuwun memerintahkan agar saya membantu Paduka sebagai wakil panglima dan kita diperintahkan agar segera mengadakan serangan dan menundukkan Kadipaten Parang Siluman. Perintah ini agar dilaksanakan hari ini juga, Gusti Patih."

Berdebar rasa jantung Narotama mendengar perintah ini. Menyerang Parang Siluman? Tidak mungkin! Tidak mungkin dia melakukan itu! Akan tetapi,tidak mungkin pula dia menolak, membantah atau membangkang terhadap perintah Sang Prabu Erlangga!

"Baiklah, Kakang Senopati. Akan tetapi tidak sekarang kita memberangkatkan pasukan, melainkan besok pagi-pagi karena sudah terlanjur kami perintahkan kepada semua perwira pembantu dan pasukan."

Biarpun dalam hatinya. Senopati Tanujoyo merasa tidak puas bahwa perintah Sang Prabu Erlangga agar memberangkatkan hari ini diundur besok pagi oleh Ki Patih Narotama, namun dia tidak berani ribut atau membantah persoalan kecil itu. Diam-diam Senopati Tanujoyo mempunyai perasaan tidak senang kepada Ki Patih Narotama. Tidak senang karena iri bahwa oleh Ki Patih Narotama dia tidak diikut sertakan memimpin pasukan yang melakukan pembersihan terhadap Empat Kadipaten itu. Dia ingin membuat jasa dan merasa seolah dihalangi Ki Patih Narotama yang diangkat sebagai panglima tertinggi tidak mengikutsertakan dia. Padahal, Ki Patih Narotama tidak mengikutsertakan dia karena tidak mau mengosongkan kota raja yang harus pula dijaga keamanannya. Maka ditinggalkannya beberapa orang senopati yang dia anggap memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan kota raja.

Malam itu Ki Patih Narotama tidak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya, bingung sekali. Kemudian dia teringat kepada Puspa Dewi. Urusan pribadinya dengan Lasmini telah dia ceritakan kepada Nurseta, bahkan dia sudah minta bantuan Nurseta untuk merampas kembali puteranya yang ditawan dan dijadikan sandera oleh Lasmini. Sekarang dia harus minta bantuan Puspa Dewi. Hanya gadis itulah yang akan dapat membantunya dan dapat dipercaya untuk mengetahui rahasianya. Maka, malam itu dia mendatangi kamar Puspa Dewi dan mengetuk daun pintu kamar itu.

Suasana malam itu sudah sunyi, karena malam sudah larut dan semua orang sudah tidur. Namun, di luar dugaan Ki Patih Narotama, ada sepasang mata yang mengintai, melihat Ki Patih Narotama mengetuk daun pintu kamar Puspa Dewi...! "Tok-tok-tok!"

"Siapa di luar?" Suara Puspa Dewi bertanya.

"Puspa Dewi, ini aku. Ada yang perlu kubicarakan denganmu."

"Ah, Gusti Patih...!" Puspa Dewi membuka pintu kamarnya.

"Puspa Dewi, boleh aku masuk? Ada urusan penting sekali."

Puspa Dewi memandang heran. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ki Patih Narotama.

"Tentu saja, Gusti Patih. Silakan...!

Ki Patih Narotama masuk kamar dan menutupkan daun pintunya.

"Mengapa mesti ditutup, Gusti Patih?" Puspa Dewi mulai merasa heran dan mengerutkan alisnya, karena biarpun patih, Narotama adalah seorang laki-laki, tidak pantas berdiam di kamar seorang gadis dan menutupkan pintunya!

"Sstt... ini penting sekali, tak boleh diketahui orang iain." Ki Patih Narotama lalu berkata dengan suara berbisik. "Ketahuilah, puteraku Joko Pekik Satyabudhi berada di tangan Lasmini, dan ia mengancam akan membunuhnya kalau aku memimpin pasukan menyerang Parang Siluman. Maka, tentu saja aku tidak mungkin dapat memenuhi perintah Gusti Sinuwun untuk menyerang ke sana, hal itu akan mengorbankan nyawa puteraku."

"Akan tetapi mengapa Gusti Sinuwun memerintahkan menyerang Parang Siluman kalau mengetahui bahwa putera Paduka menjadi sandera di sana?"

"Justru itulah, Puspa Dewi. Aku malu untuk melaporkan tentang janjiku kepada Lasmini untuk tidak menyerang Parang Siluman. Aku malu.... maka beliau tidak tahu. Aku sudah diam-diam minta tolong kepada Nurseta untuk merampas kembali puteraku. Akan tetapi sekarang tiba-tiba Gusti Sinuwun memerintahkan menyerang Parang Siluman. Tentu saja aku tidak dapat melakukan hal itu dan membiarkan puteraku terbunuh di depan mataku. Akan tetapi bagaimana pula aku dapat membangkang terhadap perintah Gusti Sinuwun? Karena itu, engkau bantulah aku, Puspa Dewi. Aku tidak sanggup memimpin pasukan melanjutkan penyerangan pembersihan ini. Engkau wakililah aku, dan kau pimpin pasukan ini menyerbu ke Kadipaten Wengker. Aku sendiri akan pergi menyusul Nurseta untuk berusaha merampas kembali anakku yang ditawan di Kadipaten Parang Siluman."

Mendengar cerita Ki Patih Narotama, Puspa Dewi merasa iba sekali. Lasmini sungguh licik dan curang, menculik Joko Pekik Sataybudhi untuk mengancam dan memaksa Ki Patih Narotama agar tidak menyerang Parang Siluman. Memimpin pasukan menyerang Wengker merupakan pekerjaan yang teramat berat karena Wengker merupakan kadipaten yang kuat. Di sana terdapat orang-orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja ia siap membantu Ki Patih Narotama yang sedang menghadapi keadaan sulit itu.

"Baiklah, Gusti Patih. Saya siap melaksanakan perintah!"

Ki Patih Narotama lalu keluar dari kamar Puspa Dewi, kembali ke kamarnya sendiri, tidak menyadari bahwa sepasang mata Senopati Tanujoyo sejak tadi mengintai, melihat dia memasuki kamar Puspa Dewi lalu keluar lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi semua pasukan sudah siap untuk menerima perintah berangkat. Akan tetapi ditunggu-tunggu, Ki Patih Narotama belum juga keluar dari kamarnya. Setelah menunggu beberapa lamanya, akhirnya Senopati Tanujoyo sebagai wakil panglima, bersama Puspa Dewi yang menjadi pembantu utama Ki Patih Narotama beserta beberapa orang perwira tinggi, memberannikan diri mengetuk daun pintu kamar tidur Ki Patih Narotama.

"Tok-tok-tok...!"

"Siapa?" terdengar suara Ki Patin Narotama bertanya.

"Saya, Gusti Patih. Senopati Tanujoyo dan para perwira lainnya."

"Masuk sajalah, pintunya tidak terpalang." kata Ki Patih Narotama.

Senopati Tanujoyo, Puspa Dewi, dan beberapa orang perwira memasuki kamar itu. Ki Patih Narotama masih rebah telentang di atas pembaringannya. Puspa Dewi sudah dapat menduga bahwa tentu Ki Patih Narotama akan berpura-pura sakit agar dapat melepaskan tugas memimpin pasukan menyerang musuh. Maka gadis ini pun bersikap tenang saja. Senopati Tanujoyo menghampiri pembaringan.

"Gusti Patih, Paduka kenapakah?! Apakah Paduka sakit?"

Ki Patih Narotama mengangguk. "Badanku rasanya tidak sehat, panas dingin dan kepala rasanya pening. Karena itu, aku serahkan pimpinan pasukan kepadamu, Puspa Dewi. Pimpinlah pasukan kita untuk menyerang Wengker."

"Baik, Gusti Patih. Saya siap melaksanakan perintah!" kata Puspa Dewi tegas.

"Nanti dulu, Gusti Patih!" Senopati Tanujoyo berseru dengan alis berkerut. "Saya mendapat perintah langsung dari Kanjeng Gusti Sinuwun untuk menjadi wakil Gusti Patih memimpin pasukan menyerang dan menundukkan Parang Siluman! Gusti Sinuwun sendiri yang mengangkat saya menjadi wakil Paduka. Kalau sekarang Paduka sakit dan tidak dapat memimpin pasukan, sesuai dengan perintah Gusti Sinuwun, semestinya saya yang mewakili Paduka memimpin pasukan. Mengapa Paduka serahkan kepada Ni Puspa Dewi? Ini berarti menyangkal perintah Gusti Sinuwun, dan saya tidak berani melakukan itu! Pula, Gusti Sinuwun, memerintahkan agar pasukan menyerang Parang Siluman, bukan Wengker lebih dulu. Maka, maafkan, Gusti Patih, terpaksa saya tidak menyetujui perintah Paduka. Ni Puspa Dewi memang gagah perkasa dan sudah berjasa terhadap Kahuripan, akan tetapi maaf, ia bukan senopati, maka tidak selayaknya memimpin pasukan Kahuripan. Sekarang, saya yang berhak menggantikan kedudukan Paduka dan memimpin pasukan...! Ni Puspa Dewi,... kalau suka membantu Kahuripan, akan menjadi pembantu utama saya. Maaf, Gusti Patih, sekarang saya akan memberangkatkan pasukan. Mari, Ni Puspa Dewi!"

Senopati Tanujoyo keluar dari kamar diikuti para perwira yang tentu saja membenarkan dia dan tidak berani mengubah perintah Sang Prabu Erlangga. Puspa Dewi ragu-ragu dan bingung, memandang kepada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama menghela napas panjang dan berkata kepada Puspa Dewi.

"Pergi dan taatilah dia, Puspa Dewi, karena dia itu menurut hukum benar. Tidak baik bagimu menganggap aku lebih penting dari Sang Prabu Erlangga yang harus engkau taati perintahnya."

Puspa Dewi keluar dan terpaksa ia membantu Senopati Tanujoyo yang mengerahkan pasukannya, bukan ke Wengker melainkan ke Parang Siluman..! Setibanya di jalan simpang dan melihat pasukan hendak dibelokkan ke Parang Siluman, Puspa Dewi mencoba untuk mengingatkan Senopati Tanujoyo.

"Paman Senopati, maaf, apakah tidak keliru mengambil jalan? Bukankah seharusnya kita mengambil jalan itu yang menuju ke Wengker seperti dipesan Gusti Patih Narotama?"

"Ni Puspa Dewi, seorang punggawa kerajaan hanya patuh dan setia kepada atasannya, dalam hal ini yang paling tinggi dan harus dipatuhi adalah Sang Prabu Erlangga. Kalau tidak ada perintah langsung dari Gusti Sinuwun, tentu saja saya akan patuh kepada perintah Gusti Patih Narotama sebagai atasan saya. Akan tetapi ada perintah langsung yang sudah jelas dari Sang Prabu Erlangga, yaitu agar pasukan kita menyerang Parang Siluman lebih dulu. Mana bisa perintah langsung Sang Prabu Erlangga diubah begitu saja oleh Ki Patih Narotama? Saya tidak berani melanggar perintah Gusti Sinuwun, Ni Puspa Dewi."

Puspa Dewi menjadi bingung. Kalau saja tidak ada urusan itu. Kalau saja putera Ki Patih Narotama tidak dijadikan sandera di Parang Siluman. Tentu ia dengan senang hati akan membantu sekuat tenaga kepada Senopati Tanujoyo. Selagi ia kebingungan karena Senopati Tanujoyo sudah menggerakkan kudanya sehingga ia terpaksa mengikutinya, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ki Patih Narotama telah berdiri menghadang di tengah jalan. Wajahnya yang biasanya tenang dan cerah penuh senyum itu kini tampak menyeramkan, matanya mencorong dan alisnya berkerut.

"Berhenti semua...! Kakang Senopati Tanujoyo, sudah kukatakan kepadamu. Bawalah pasukanmu ke Wengker dan serang Kadipaten Wengker!"

Senopati Tanujoyo adalah seorang senopati yang setia kepada Sang Prabu Erlangga. Diam-diam dia memang agak marah dan iri kepada Ki Patih Narotama karena dia tidak dipilih untuk membantu dalam gerakan pembersihan pasukan Kahuripan. Kini, melihat Ki Patih Narotama menghalang di jalan, dia lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan menghampiri Patih itu.

"Gusti Patih, apa yang Paduka lakukan ini? Kami melaksanakan perintah Gusti Sinuwun untuk menyerang Parang Siluman, siapa yang berani menghalangi?"

"Aku yang menghalangi...! Bawa pasukan ini menyerang Wengker! Kalau Andika lanjutkan menyerang Parang Siluman, aku melarangmu!"

Senopati Tanujoyo menjadi marah. Mukanya berubah kemerahan dan dia melangkah maju menghampiri, "Hei, Ki Patih Narotama...! Andika berani menentang perintah Gusti Sinuwun, berarti Andika hendak memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga? Aku tahu, Andika tentu hendak melindungi Lasmini, bekas selir yang kini berada di Parang Siluman!"

"Tutup mulutmu dan pergilah!" bentak KI Patih Narotama.

"Sang Prabu Erlangga telah memberi purbawisesa (wewenang, kekuasaan), siapa yang menentang perintah beliau harus kubinasakan!" Setelah berkata demikian, Senopati Tanujoyo sudah mencabut kerisnya dan menyerang Ki Patih Narotama. Akan tetapi Ki Patih Narotama menyambutnya dengan dorongan tangan dan tubuh senopati itu terpental dan jatuh terjengkang! Dia bangkit lagi dan memberi aba-aba kepada beberapa orang perwira pembantunya.

"Tangkap pengkhianat pemberontak!"

Lima orang perwira maju dengan ragu-ragu untuk menangkap Ki Patih Narotama, akan tetapi dengan beberapa gerakan saja Ki Patih Narotama telah merobohkan mereka dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat apalagi membunuhnya. Senopati Tanujoyo masih ngotot dan hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Puspa Dewi melompat di depannya.

"Paman Senopati, hentikan semua serangan ini! Andika tidak akan menang melawan Gusti Patih Narotama dan tidak baik berkelahi antara rekan sendiri. Sebaiknya Andika melaporkan hal ini kepada Gusti Sinuwun karena hanya beliau yang berhak untuk memutuskan perkara ini."

Karena jelas bahwa gadis ini tidak akan membantunya mengeroyok Ki Patih Narotama, dan dia harus mengakui bahwa dia dan semua perwira pasti tidak akan mampu mengalahkan Patih itu, dan percuma saja mengerahkan pasukan karena semua perajurit itu pasti tidak akan berani melawan Ki Patih Narotama, maka Senopati Tanujoyo berkata dengan marah.

"Baiklah, akan kulaporkan Andika kepada Gusti Sinuwun, Ki Patih Narotama!"

Setelah berkata demikian, Senopati Tanujoyo menyuruh pasukannya mundur dan untuk sementara berhenti dan membangun perkemahan di situ. Adapun dia sendiri lalu mengajak pasukan pengawal untuk cepat-cepat kembali ke Kota Raja Kahuripan untuk melaporkan larangan Ki Patih Narotama terhadap gerakan pasukannya yang hendak menyerang Parang Siluman itu.

BERSAMBUNG KE JILID 18