Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 10

Melihat Gandarwo menghampiri mereka, Nyi Endang Sawitri yang mengira suaminya akan diganggu, menyambut dengan serangan nekat! Akan tetapi, pukulan tangan wanita itu ditangkis dan pertemuan kedua tangan itu membuat Nyi Endang Sawitri yang jauh kalah kuat itu terpelanting. Pada saat itu, Ki Dharmaguna cepat menghampiri isterinya untuk menolongnya, akan tetapi Gandarwo yang sudah marah sekali, maju dan menampar dengan tangannya ke arah kepala Dharmaguna.

"Plakk!" Tangan Gandarwo yang menampar itu bertemu dengan tangan Resi Bajrasakti yang menangkisnya.

"Anakmas Gandarwo, apakah Andika hendak merusak rencana kita? Suami isteri ini harus ditawan, bukan dibunuh!"

Resi Bajrasaktl menegur dan Gandarwo menyadari kesalahannya yang tadi terdorong oleh kemarahan. Gandarwo mengangguk dengan muka berubah merah.

"Saya mengerti, Paman. Saya tidak ingin membunuhnya, hanya memberi hajaran agar mereka jangan banyak tingkah!"

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu seorang gadis cantik telah berdiri menghalang di depan Gandarwo yang agaknya hendak memberi hajaran kepada suami isteri itu.

"Gandarwo keparat busuk! Di mana-mana engkau menyebar kejahatan!" bentak gadis itu.

"Puspa Dewi....!" Gandarwo terkejut dan wajahnya berubah pucat karena gentar. Akan tetapi hanya sebentar karena dia ingat bahwa dia ditemani Resi Bajrasakti dan dua losin orang perajurit pengawal sehingga keberanian dan kesombongannya muncul dengan cepat, membuat mukanya menjadi merah karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang maju, tangan kanannya yang disaluri tenaga sakti sepenuhnya menampar ke arah kepala Puspa Dewil Puspa Dewi sudah tahu akan kekuatan Gandarwo. Senopati Muda Wura-wuri ini pernah mengeroyoknya bersama Cekel Aksomolo dan tiga orang senopati Wura-wuri lain, yaitu Tri Kala. Maka, melihat serangan tangan Gandarwo yang menamparnya, ia menangkis dan sekaligus mendorong.

"Wuuuuttt.... desss....!"

Tubuh Gandarwo terlempar ke belakang sekitar dua tombak dan jatuh terjengkang, terbanting ke atas tanah sampai terdengar suara berdebuk dan debu mengebul. Dia bangkit duduk sambil mengelus pantatnya dan meringis kesakitan, malu, dan marah. Resi Bajrasakti melompat ke depan dan berhadapan dengan Puspa Dewi.

"Heh-heh-heh!" Kakek tinggi besar itu terkekeh sambil menatap wajah Puspa Dewi. "Kiranya Andika. Bukankah Andika ini Puspa Dewi, Sekar Kedaton Wura-wuri, murid dan anak angkat Nyi Dewi Durgakumala permaisuri Wura-wuri? Andika yang mengkhianati Wura-wuri dan berbalik membantu keturunan Mataram, Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?"

"Resi Bajrasakti, ternyata sejak dulu sampai sekarang Andika tetap menjadi seorang datuk sesat yang jahat. Dulu Andika pernah menculik aku, dan sekarang Andika menculik Paman dan Bibi ini. Dari dulu sampai sekarang Andika tukang menculik orang, betapa rendahnya perbuatanmu. Aku bukan Sekar Kedaton Wura-wuri, juga bukan anak Dewi Durgakumala yang pernah menjadi guruku. Karena melihat Wura-wuri dan sekutunya semua jahat dan angkara-murka, maka aku tidak sudi membantu. Aku lebih suka membela Kahuripan, karena aku kawula Kahuripan dan lebih suka membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bijaksana"

Selagi Resi Bajrasakti dan Puspa Dewi bicara, diam-diam Gandarwo menyuruh seorang perajurit untuk cepat pergi mencari bala bantuan dan empat orang lain yang memiliki kedigdayaan cukup, dia suruh menyergap dan menangkap Dharmaguna dan Endang Sawitri. Kemudian, sambil mencabut pedangnya dan memberi aba-aba kepada Sembilan belas perajurit yang lain dia berseru nyaring.

"Bunuh pengkhianat Wura-wuri ini"

Akan tetapi Resi Bajrasakti mempunyai pendapat lain. Kalau dia dapatmenangkap hidup-hidup gadis ini dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala, tentu permaisuri Wura-wuri itu akan senang sekali dan berterima kasih sehingga hal ini akan mempererat hubungan antara Wura-wuri dan Wengker.

"Anakmas Gandarwo, jangan bunuh Puspa Dewi. Kita memerlukan ia hidup-hidup!" katanya dengan suara yang berpengaruh.

Mendengar bentakan Itu, Ki Gandarwo teringat bahwa Puspa Dewi adalah murid dan anak angkat Permaisuri Dewi Durgakumala yang telah memberontak terhadap Wurawuri, maka kalau dapat menangkapnya hidup-hidup dan menyeretnya ke depan kaki permaisuri itu, tentu akan menyenangkan hatinya. Biar permaisuri sendiri yang akan menghukum gadis pengkhianat ini. Maka dia pun memberi aba-aba baru.

"Tangkap pengkhianat ini hidup-hidup!"

Resi Bajrasakti mulai dengan serangan yang mengandung kekuatan sihir. Dia membentak dan bentakan ini menggelegar, mengandung getaran yang amat kuat, yang khusus ditujukan kepada Puspa Dewi. Datuk Wengker yang sakti mandraguna ini agaknya memandang rendah kepada Puspa Dewi karena menganggap bahwa gadis itu hanya murid Nyi Dewi Durgakumala. Kalau gurunya hanya setingkat dengan dia, maka muridnya tentulah merupakan lawan yang lunak, begitu pikirnya maka ia menyerang dengan kekuatan sihirnya untuk melumpuhkan lawan.

"Puspa Dewi, menyerah dan berlututlah engkau!"

Akan tetapi Resi Bajrasakti salah perhitungan. Nyi Dewi Durgakumaja telah menurunkan seluruh ilmunya kepada Puspa Dewi yang amat disayangnya dan karena Puspa Dewi berbadan bersih tidak seperti Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi hamba nafsunya sendiri, juga karena Puspa Dewi jauh lebih muda.

Karena itu, tidaklah mengherankan apabila setelah tamat belajar dari Nyi Dewi Durgakumala, tingkat gadis Itu sudah melebihi tingkat gurunya. Apalagi la bertemu dengan Sang Maha Resi Satyadharma dan digembleng oleh guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini selama tiga bulan. Tentu saja tingkat kepandaian gadis itu sudah melonjak tinggi, jauh melampaui tingkat Nyi Dewi Durgakumala.

Sebelum digembleng Maha Resi Satyadharma la telah memiliki kekuatan sihir dari ajaran Nyi Dewi Durgakumala yang dapat menandingi kekuatan sihir Resi Bajrasakti. Maha Resi Satyadharma sama sekali tidak mengajarkan jlmu sihir yang dianggap ilmu yang berbahaya dan condong menyeret pemiliknya ke arah perbuatan jahat.

Dia hanya memberi pelajaran menghimpun tenaga sakti yang datang sebagai anugerah Sang Hyang Widhi dan kekuatan ini mampu menghalau segala macam kekuatan sihir yang. menyerangnya. Karena itu, ketika Resi Bajrasakti menyerangnya dengan sihir, Puspa Dewi sama sekali tidak terpengaruh. Gelombang kekuatan sihir yang menerpanya itu tidak lebih dari angin semilir lalu saja.

Melihat serangan dengan sihir itu tidak mempengaruhi Puspa Dewi, Resi Bajrasakti menjadi penasaran. Dia lalu mengerahkan Aji Panglimutan. Dengan pengerahan aji kesaktian ini, biasanya dia dapat menghilang, atau tidak tampak oleh lawan sehingga dia akan dapat dengan mudah meringkus gadis itu.

Setelah mengerahkan Aji Panglimutan, Resi Bajrasakti lalu menubruk dan hendak meringkus tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi menggerakkan tangannya, menampar kakek yang maju hendak meringkusnya itu. Ternyata Aji Panglimutan itu pun tidak dapat mempengaruhinya dan ia tetap dapat melihat lawan yang hendak meringkusnya itu, maka ia menyambut dengan tamparan. Resi Bajrasakti terkejut dan cepat dia menggerakkan tangan menangkis tamparan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

"Wuuuttt.... dukkk!"

Tubuh Resi Bajrasakti terhuyung karena ketika lengan mereka beradu, dia merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari tangan gadis itu!

Melihat betapa Resi Bajrasakti terhuyung, Ki Gandarwo berseru kepada sembilan belas orang perajurit.

"Kepung, tangkap gadis ini!"

Puspa Dewi dikeroyok. Tangan-tangan yang besar berbulu itu seolah berlomba untuk menangkap dan meringkusnya. Puspa Dewi menggerakkan kaki tangannya dengan cepat sekali. Tubuhnya berkelebatan seolah berubah menjadi bayang-bayang dan ke manapun kaki atau tangannya mencuat, tentu seorang pengeroyok telah dapat ia robohkan.

Teriakan demi teriakan terdengar disusul tubuh para pengeroyok berpelantingan. Biarpun Puspa Dewi tidak memberi pukulan maut kepada mereka, namun mereka menderita patah tulang dan juga kehilangan nyali, tidak berani lagi berdiri dan hanya mendekam dan merintih memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan atau tendangan yang dahsyat, bagaikan petir menyambar. Dalam waktu singkat delapan orang perajurit telah roboh dan sisanya yang sebelas orang menjadi jerih untuk mendekati gadis sakti mandraguna itu.

Pada saat itu perajurit yang diutus Gandarwo mencari bala bantuan sudah pergi jauh dan empat orang perajurit yang diutus mengamankan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri sudah cepat turun tangan meringkus suami isteri itu. Percuma saja Nyi Endang Sawitri melawan. Ia tidak dapat menandingi empat orang perajurit yang rata-rata memiliki tenaga kuat itu dan sebentar saja suami isteri itu telah dapat diringkus, dinaikkan kereta yang segera dilarikan cepat meninggalkan tempat itu

Puspa Dewi yang sedang dikepung dan dikeroyok banyak orang tidak melihat hal ni. Pula, ia memang tidak mengenal suami isteri itu. Kalau tadi ia turun tangan, adalah karena melihat suami isteri itu diperlakukan kasar. Ketika Kl Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri tinggal di Karang Tirta, ia sendiri masih kecil. Bahkan ketika suami lsterl itu diam-diam meninggalkan Karang Tirta, la baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun, sehingga tentu saja ia tidak mengenal suami isteri itu.

Sementara itu, Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo terkejut bukan main melihat betapa sebagian anak buah mereka berpelantingan dihajar tendangan dan tamparan gadis perkasa itu. Merasa bahwa sekarang malah pihak mereka yang terancam bahaya, Resi Bajrasakti lalu berseru, "Pergunakan senjata! Bunuh gadis ini!" Dia sendiri sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cambuk bergagang gading.

"Tar-tar-tarr....!!" Resi Bajrasakti memutar-mutar cambuk itu di atas kepalanya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika ujung cambuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan asap.

Melihat rekannya sudah mengeluarkan senjata, Ki Gandarwo juga mencabut pedangnya. Demikian pula, sisa perajurit yang masih ada sebelas orang itu mencabut senjata golok mereka dan mengepung Puspa Dewi.

Puspa Dewi maklum bahwa kini la menghadapi lawan yang cukup berat. Kalau berkelahi dengan mereka hanya menggunakan tangan kosong, ia masih, dapat mengandaikan kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga saktinya. Akan tetapi semua orang itu memegang senjata, apalagi Resi Bajrasakti amat berbahaya dengan cambuknya dan Ki Gandarwo juga bukan lawan ringan kalau sudah menggunakan pedangnya.

Untuk dapat menjaga dan membela diri dengan baik, Puspa Dewi lalu menggerakkan tangannya ke arah punggung dan begitu ia mencabut, tampak sinar hitam dari pedang pusakanya Cadrasa Langking, pemberian guru pertamanya yang juga merupakan ibu angkatnya, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.

Kini terjadilah perkelahian hebat. Setelah mereka semua memegang golok, sebelas orang perajurit pengawal itu menjadi berani dan mereka mengepung dan menyerang Puspa Dewi secara bertubi-tubi dengan cara menyerang lalu melompat menjauh. Yang bertanding dengan seru melawan Puspa Dewi adalah Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo.

Resi Bajrasakti sekarang baru menyadari bahwa Puspa Dewi telah menjadi seorang wanita muda yang luar biasa, sakti mandraguna dan pemberani. Karena sekarang dia melihat betapa gadis Ini harus dirobohkan kalau terpaksa dibunuh, maka selain menggunakan cambuknya untuk menyerang, dia juga mempergunakan berbagai aji kesaktiannya untuk merobohkan gadis yang amat tangguh itu.

Mula-mula dia menyelingi serangan cambuknya dengan menyambitkan senjata rahasia pasir sakti Bramara Sewu. Pasir itu seolah berubah menjadi sekawanan lebah yang menyerang seluruh tubuh bagian depan Puspa Dewi. Akan tetapi, pedang Candrasa Langlang yang membentuk perisai gulungan sinar hitam meruntuhkan semua pasir sakti itu.

Melihat serangan pasir saktinya gagal, berturut-turut Resi Bajrasakti mengerah-kan berbagal aji pukulannya yang ampuh. Dengan tangan kirinya dia menyelingi sambaran cambuknya dengan A}1 Wlsa Langking. Tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang mengandung racun hitam, namun uap hitam yang menyambar ke arah Puspa Dewi Itu ambyar (pecah berantakan) ketika disambar hawa pukulan tangan kiri Puspa Dewi.

Berturut-turut Resi Bajrasakti menyerang dengan AJI Pukulan Gelap Sewu dan Sihung Naga, namun semua Itu tidak berhasil karena dapat dihadang oleh dorongan tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung Aji Guntur Genl yang sudah dipoles gemblengan Maha Resi Satyadharma. Akhirnya, Resi Bajrasakti mencurahkan semua perhatian dan mengerahkan. seluruh tenaganya untuk menyerang dengan cambuknya yang memainkan Aji Pecut Tatit Geni.

Ki Gandarwo juga mengirim serangan-serangan maut dengan pedangnya, dibantu sebelas orang perajurit dengan golok mereka. Delapan orang perajurit yang terluka dan tidak mampu mengeroyok lagi kini sudah menjauhi tempat perkelahian. Dikeroyok demikian banyaknya orang, Puspa Dewi tidak merasa kerepotan. Akan tetapi karena ia tidak ingin membunuh orang, maka pedangnya hanya ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan senjata itu. Ia bagaikan seekor harimau betina yang dikeroyok segerombolan srigala.

Sementara itu, ketika kereta yang membawa Dharmaguna dan Endang Sawitri belum jauh dilarikan empat orang perajurit Wura-wuri, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang pemuda menghadang di depan kereta. Dua ekor kuda penarik kereta terkejut dan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan ke atas, akan tetapi pemuda itu dengan sigap menangkap kendali dua ekor kuda dan menariknya ke bawah. Dua ekor kuda itu berdiri, tidak mampu meronta lagi, tubuh mereka gemetaran seperti ketakutan. Perajurit yang menjadi kusir terkejut dan segera membentak marah.

"Hei, siapa engkau berani menahan kuda kami? Lepaskan kuda kami, atau akan kuhancurkan kepalamu dengan cambuk ini!"

Pemuda itu bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta melakukan perjalanan menuju ke dusun Singojajar untuk mencari orang tuanya. Setelah tiba di Singojajar, dia mendengar bahwa baru saja Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri diculik pasukan Wura-wuri, dan pembantu mereka bernama Pakem terbunuh. Mendengar Ini, Nurseta cepat berlari melakukan pengejaran. Dia melihat seorang gadis perkasa yang dikenalnya sebagai Puspa Dewi sedang dikeroyok banyak orang. Ketika dia terjun ke dalam pertempuran hendak membantu, Puspa Dewi berseru.

"Jangan bantu aku, cepat tolong mereka yang dilarikan dengan kereta!"

Mendengar ini, Nurseta meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran. Dia tadi di Singojajar memang mendengar bahwa suami isteri itu diculik dan dilarikan dengan sebuah kereta. Karena dia melakukan pengejaran dengan Aji Bayu Sakti, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul dan melompat ke depan kereta menahan dua ekor kuda penariknya. Ketika kusir kereta itu membentak dan mengancamnya dengan cambuk, Nurseta berkata, "Turunlah engkau dari kereta! Kalian menculik orang-orang yang tidak bersalah!"

Perajurit itu marah dan pada saat itu, tiga orang perajurit lain yang tadi berada dalam kereta sudah berlompatan keluar. Perajurit yang menjadi kusir menggerakkan cambuknya, dipukulkan ke arah pemuda yang berada di depan kereta.

"Tarrr...!" Ujung cambuk menyambar ke arah kepala Nurseta. Pemuda itu dengan tenang menangkap ujung cambuk dan dengan sentakan kuat dia membuat kusir yang memegang cambuk tertarik dan terjungkal dari atas kereta, jatuh berdebuk di atas tanah. Kusir itu menyeringai kesakitan karena tulang pinggulnya terasa nyeri sekali.

Dharmaguna dan Endang Sawitri menguak tirai kereta dan memandang keluar, heran, kagum dan juga khawatir melihat betapa tiga orang perajurit itu dengan golok di tangan kini menerjang dan menyerang pemuda itu dengan buas.

Akan tetapi tubuh pemuda itu berkelebatan dengan gesit bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dan berturut-turut tiga orang perajurit itu berpelantingan dan mengaduh-aduh tanpa mampu bangkit kembali.

Nurseta menghampiri kereta, akan tetapi Endang Sawitri berkata, "Anakmas, cepat Andika bantu gadis yang tadi menolong kami karena ia dikeroyok banyak orang jahat."

"Tapi...." Nurseta menengok ke arah tiga orang yang telah dirobohkannya itu.

"Jangan khawatir, mereka bertiga tidak akan dapat mengganggu kami lagi!" kata Endang Sawitri dan dengan cekatan ia lalu mengambil sebatang golok milik perajurit yang tadi terlepas dari tangannya. Dengan golok di tangan, wanita itu menghampiri tiga orang perajurit dan siap untuk menyerang kalau mereka berani bangkit berdiri. Melihat gerakan wanita itu, maklumlah Nurseta bahwa ia boleh diandalkan. Dia masih sangsi walaupun hatinya menduga bahwa mereka adalah ayah ibunya.

Dia teringat akan keadaan Puspa Dewi yang dikeroyok banyak orang tadi, maka dia lalu berlari cepat ke tempat pertempuran tadi. Setelah dekat dia melihat kenyataan bahwa, gadis itu hanya mempertahankan dan melindungi diri saja. Agaknya Puspa Dewi tidak ingin membunuh para pengeroyoknya. Hal ini membuat Nurseta merasa heran. Dahulu dia mengenal Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang baik, akan tetapi berwatak keras. Mengapa sekarang, gadis itu seolah tidak mau membunuh para pengeroyoknya? Apakah karena para pengeroyoknya Itu orang Wura-wuri? Akan tetapi Nurseta mengenal Resi Bajrasakti dan dia semakin heran. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker.

Melihat Puspa Dewi sibuk juga menghadapi serangan dua puluh satu orang itu, terutama serangan cambuk Resi Bajrasakti dan pedang di tangan Gandarwo, Nurseta tidak sabar lagi dan dia segera menerjang para pengeroyok yang berada di bagian luar pengepungan Itu. Begitu kedua tangannya digerakkan menampar ke kanan kiri, empat orang pengeroyok terpelanting roboh. Tentu saja pengeroyokan itu menjadi kacau dan Resi Bajrasakti dan Gandarwo terkejut.

Ki Gandarwo yang memang memiliki watak jumawa dan selalu memandang rendah orang lain, menjadi marah dan dia melompat ke arah Nurseta sambil menggerakkan pedangnya, menyerang dahsyat. Pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta yang tidak memegang senjata. Melihat sambaran pedang, Nurseta dengan tenang menyambut dengan ayunan tangan kanannya menyambut. Tangannya menyambar ke depan, dengan miring seperti dibacokkan.

"Wuuttt.... singgg.... krakkk..!"

Pedang itu patah menjadi tiga potong dan Ki Gandarwo terhuyung ke belakang, mukanya pucat.

"Kita pergi....!" Tiba-tiba Resi Bajrasakti berseru dan Ki Gandarwo cepat melompat dan lari mengejar kawannya yang telah melarikan diri lebih dulu itu.

Sisa anak buah mereka juga melarikan diri. Mereka berlompatan di atas kuda dan melarikan diri secepatnya, meninggalkan belasan ekor kuda yang tadi ditunggangi para perajurit yang kini menderita patah tulang dan masih berada di situ.

"Nurseta! Bagaimana dengan suami isteri yang mereka tangkap tadi?" tanya Puspa Dewi.

"Mereka di sana!" kata Nurseta sambil lari menuju ke tempat di mana kereta dan suami isteri tadi ditinggalkan.

Puspa Dewi melompat dan mengejar. Sebentar saja mereka berdua tiba di tempat Itu dan ternyata empat orang perajurit yang tadi dirobohkan Nurseta telah pergi. Suami isteri itu masih berada di dekat kereta. Tadi ketika Nurseta menolong mereka dan pemuda itu lalu berlari cepat untuk membantu Puspa Dewi, Dharmaguna dan Endang Sawitri yang menjaga empat orang perajurit yang terluka dengan golok di tangan saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketegangan.

Empat orang perajurit itu ketakutan karena mereka telah dalam keadaan terluka dan Endang Sawitri kini memegang golok. Selain itu mereka sudah merasa gentar terhadap pemuda yang sakti tadi. Maka perlahan-lahan mereka merangkak menjauhi suami isteri itu, kemudian bangkit dan saling bantu meninggalkan tempat itu. Endang Sawitri mendiamkan saja karena ia pun hanya berjaga-jaga kalau mereka itu hendak mengganggu la dan suaminya.

"Kakangmas, apakah engkau melihat apa yang kulihat tadi?" tanya Endang Sawitri kepada suaminya.

"Melihat apa?"

"Pemuda yang menolong kita tadi....!"

Mereka saling pandang dan pandang mata mereka yang mewakili suara hati mereka. Dharmaguna mengangguk.

"Rasanya aku mengenal pemuda itu, Diajeng, wajahnya tidak asing bagiku."

"Ah, Kakangmas! Biarpun dia seorang pemuda dewasa yang sakti mandaraguna, akan tetapi matanya itu....! Mata itu akan selalu kukenal, Kakangmas, mata.... Anak kita...!"

"Nurseta? Dia.... Nurseta....?"

Endang Sawitri mengangguk.

"Tapi...., mengapa dia diam saja dan meninggalkan kita?"
"Gadis penolong kita itu perlu dibantu, Kakangmas. Selain itu.... aku pun merasa bahwa sudah sepatutnya dia tidak mempedulikan kita.... ah, kalau ku ingat betapa kita telah meninggalkan anak. kita di Karang Tirta...."

Melihat isterinya menangis, Dharmaguna menghiburnya.

"Akan tetapi, engkau tahu, Diajeng bahwa kita meninggalkan dia demi kebaikan dia sendiri. Kita tidak ingin anak kita ikut menjadi buruan dan terancam keselamatannya. Akan tetapi, kalau benar dugaanmu bahwa dia itu Nurseta, bagaimana mungkin dia menjadi seorang yang demikian digdaya?"

Endang Sawitri menghapus air matanya dan menghela napas panjang.

"Mungkin aku salah duga dan dia bukan Anak kita, Kakangmas.... ah, itu dia datang bersama gadis panolong kita tadi."

Dharmaguna menoleh dan benar saja. Dia melihat pemuda dan gadis yang menolong mereka tadi datang dengan cepat sekali. Seperti terbang saja mereka itu datang dan sebentar kemudian sudah berada di depan mereka.

Nurseta mengamati wajah suami isteri itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi pun, sekali pandang saja dia tidak pangling (lupa). Mereka inilah Ayah Ibunya! Memang agak lebih tua, namun dia mengenal betul wajah mereka. Terutama Ibunya! Memang, wajah orang dewasa tidak banyak berubah dua belas tahun kemudian, akan tetapi dia yang ditinggalkan mereka dalam usia sepuluh tahun, masih seorang kanak-kanak, kini menjadi seorang pemuda dewasa tentu banyak berubah.

Kalau tadi setelah menolong suami isteri itu dari empat orang perajurit yang melarikan mereka lalu dia meninggalkan mereka adalah karena dia ingin membantu Puspa Dewi dan juga dia merasa terlalu tegang untuk segera memperkenalkan diri kepada orang tuanya. Empat orang itu sejenak saling pandang seperti terpukau dan tidak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Endang Sawitri mendahului berkata kepada dua orang muda itu.

"Kami berdua berterima kasih kepada Nakayu dan Nakmas yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Budi Andika berdua sungguh besar dan selamanya tidak akan pernah kami lupakan."

"Ah, tidak perlu berterima kasih, Bibi. Sudah sewajarnya kalau saya menghajar orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang itu. Akan tetapi siapakah Paman berdua dan mengapa pula menjadi tawanan orang-orang jahat tadi?" kata Puspa Dewi.

Sejak tadi Nurseta semakin yakin bahwa suami isteri itu adalah Ayah Ibunya. Suara Ibunya masih seperti dulu, bahasanya halus dan suaranya lembut. Hatinya tergetar dan terharu sehingga dia merasa betapa kedua matanya panas dan berair. Suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menyambung ucapan Puspa Dewi.

"Apakah Andika berdua yang tinggal di dusun Singojajar, bernama Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri?"

"Benar.... benar sekali....! Anakmas.... siapakah....!" Nyi Endang Sawitri bertanya dengan suara gemetar dan la menatap wajah Nurseta dengan penuh selidik. Sambil menahan getaran perasaannya, Nurseta.

"Benar-benarkah Andika tidak mengenal saya?"

Endang Sawitri terbelalak, mengembangkan kedua lengannya dan melangkah maju mendekati Nurseta.

"Engkau.... engkau.... Nurseta....??"

Nurseta tidak tega membiarkan Ibunya meragu lebih lama lagi. Hatinya sendiri merasa sangat terharu dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut menyembah.

"Kanjeng Ibu....!"

"Duh Gusti.... Hyang Widhi.... engkau benar-benar Nurseta! Nurseta.... Anakku. ..." Nyi Endang Sawitri menjerit dan menubruk pemuda Itu, merangkul dan terkulai dalam rangkulan Nurseta, menangis tersedu-sedu. KI Dharmaguna juga menghampiri, berlutut merangkul Nurseta.

"Nurseta.... aduh, Anakku.... maafkan Ayah Ibumu yang telah meninggalkanmu hidup seorang diri ketika engkau masih kecil...." Dharmaguna juga menitikkan air mata karena merasa menyesal dan berdosa.

"Angger.... Nurseta... Ibumu minta maaf.... kami berdua telah bertindak kejam.... kami meninggalkanmu seorang diri di Karang Tirta.... ketika engkau.... baru berusia sepuluh tahun...."

"Ayah dan Ibu tidak bersalah. Kepergian itu justru menyelamatkan saya.... agar saya tidak terbawa-bawa menjadi buronan."

"Ah, engkau sudah tahu, Anakku....?"

"Saya sudah mendengar semua dari Eyang Senopati Sindukerta, Ibu."

"Aduh...., engkau sudah bertemu dengan Kanjeng Rama? Nurseta, bagaimana.... kabarnya dengan Kanjeng Ibu....?"

"Eyang Senopati berdua sehat-sehat saja, Ibu. Hanya Eyang Puteri selalu berduka dan sering menangis karena merindukan Ibu...."

"Aduh.... aku anak durhaka.... anak tidak berbakti...." Nyi Endang Sawitri menangis sesenggukan. Akan tetapi ia menahan tangisnya ketika dihibur Nurseta.

"Bagaimana dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Ceritakan tentang mereka, Nurseta....!" Nyi Endang Sawitri mendesak puteranya. Akan tetapi Nurseta membimbing ayah ibunya untuk bangkit berdiri dan berkata.

"Nanti dulu, Ayah dan Ibu. Kita tidak boleh melupakan gadis ini yang tadi telah menyelamatkan Ayah dan Ibu." Nurseta mengingatkan.

Suami isteri itu baru menyadari bahwa tadi mereka sama sekali melupakan gadis yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu. Nyi Endang Sawitri lalu menghampiri Puspa Dewi dan memegang tangan gadis itu.

"Ah, maafkan kami, Nakayu. Saking gembira kami bertemu dengan Anak kami yang selama belasan tahun berpisah, baru sekarang dapat saling berjumpa. Maafkan kami telah melupakan Andika"

Sejak tadi Puspa Dewi menyaksikan pertemuan mengharukan itu dan ia teringat akan pertemuannya sendiri dengan ayah kandungya. Ia ikut merasa terharu.

"Tidak mengapa. Bibi. Aku ikut merasa gembira melihat Anak dan orang tuanya dapat bertemu kembali."

"Ayah dan Ibu tentu mengenal gadis ini. Ia adalah puteri Bibi Lasmi yang dulu juga tinggal di Karang Tirta." Kata Nurseta memperkenalkan.

"Aihh.... Nyi Lasmi janda yang cantik itu? Kalau begitu Andika ini.... eh, kalau tidak salah namamu Puspa Dewi, bukan?" kata Nyi Endang Sawitri yang dulu kenal baik dengan Nyi Lasmi.

"Benar, Bibi." kata Puspa Dewi.

"Ahh, tentu saja kami lupa. Engkau kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Ya, engkau mirip sekali dengan Nyi Lasmi! Sekarang aku ingat. Engkau telah menjadi seorang gadis cantik jelita, sakti mandaraguna dan baik budi!" Nyi Endang Sawitri memandang kagum.

"Paman Dharmaguna, Bibi Endang Sawitri, dan engkau Nurseta, aku tidak mau mengganggu kalian keluarga yang baru saja berjumpa dan berkumpul kembali. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tadi secara kebetulan saja aku melihat Paman dan Bibi dianiaya penjahat-penjahat itu maka aku turun tangan menolong."

"Puspa Dewi, engkau hendak pergi ke manakah? Engkau berada di daerah Wura-wuri, apakah engkau... kini telah kembali ke Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton (Bunga Istana)?" tanya Nurseta sambil mengerutkan alisnya.

"Hemm, jangan menyangka dengan ngawur (sembarangan), Nurseta! Aku sudah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Aku sedang mencari Adikku. Sudahlah, aku pergi. Paman dan Bibi, mohon pamit!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi meloncat jauh pergi dengan cepat seperti terbang.

"Gadis yang hebat!" Endang Sawitri memuji kagum.

"Engkau mengenalnya dengan baik, Nurseta?"

Nurseta mengangguk. Dia masih merasa heran mendengar Puspa Dewi mengatakan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Padahal Dewi Durgakumala amat saying padanya!

"Ah, kalau saja...." Endang Sawitri tidak melanjutkan.

"Mengapa, Ibu?" Nurseta bertanya.

Sebetulnya, Endang Sawitri hendak mengatakan "Kalau saja Puspa Dewi dapat menjadi isterimu!" akan tetapi ia menahan diri dan menjawab. "Sekarang ceritakan tentang Eyang Kakung dan Eyang Puteri, Nurseta."

"Ya, ceritakanlah, Nurseta. Apakah beliau masih marah kepada kami?" tanya puia Dharmaguna.

"Sama sekali tidak, Ayah dan Ibu. Agaknya terjadi kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu dan Eyang Senopati. Beliau memang selalu mengerahkan perajurit untuk mencari Ayah Ibu, akan tetapi sama sekali bukan untuk menghukum. Sudah lama beliau memaafkan Ayah Ibu dan merasa kehilangan, merasa rindu dan Ingin mengajak Ayah Ibu pulang dan tinggal di Kahuripan. Bahkan Eyang Puteri selalu menangis kalau teringat kepada Ibu."

"Aduh, Kanjeng Ibu.... ampunkan saya ...." Nyi Endang Sawitri menangis.

"Ah, siapa mengira bahwa kami dicari untuk diajak pulang dan dimaafkan?" kata Ki Dharmaguna. "Kami selalu melarikan diri karena takut kalau dipaksa saling berpisah dan mendapatkan hukuman. Kalau saja kami tahu, tentu kami tidak akan selalu berpindah-pindah tempat dan melarikan diri, bahkan terpaksa melarikan diri dan tinggal di dusun Singojajar yang termasuk wilayah Wura-wuri untuk menghindarkan pengejaran."

"Sudahlah, Ayah dan Ibu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang semua penderitaan itu telah berakhir, baik penderitaan bagi Ayah Ibu maupun bagi Eyang Kakung dan Eyang Puteri. Mari Ayah Ibu saya antarkan pulang ke Kahuripan di mana Eyang Senopati sudah menunggu dengan penuh kerinduan. Kita pergunakan kereta ini."

Dengan wajah berseri penuh kebahagiaan dan harapan, suami isteri itu naik ke dalam kereta dan Nurseta mengusirinya. Kereta dilarikan menuju Kahuripan. Di sepanjang perjalanan, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menghujani Nurseta dengan pertanyaan. Terpaksa Nurseta menceritakan semua pengalamannya sejak dia ditinggalkan mereka di Karang Tirta kurang lebih dua belas tahun yang lalu.

Betapa dia menjadi kuli dan tukang kuda bekerja pada Ki Lurah Suramenggala sampai pada usia enam belas tahun dia diambil murid mendiang Empu Dewamurti, kemudian digembleng Bhagawan Ekadenta selama beberapa bulan. Dia menceritakan pengalamannya ketika membela Kahuripan dari ancaman pemberontakan Pangeran Hendratama yang didukung oleh empat Kerajaan Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Tentang pertemuannya dengan Senopati Sindukerta dan akhirnya dia mencari keterangan ke Karang Tirta.

"Saya mencari keterangan kepada Ki Tejomoyo yang menceritakan bahwa belum lama ini Ayah Ibu menyuruh seorang pembantu untuk mencari keterangan tentang diri saya kepada KI Tejomoyo pula. Dialah yang memberi tahu kepada saya bahwa Ayah Ibu kini tinggal di dusun Singojajar, maka saya lalu pergi ke dusun itu. Di sana saya mendapat keterangan bahwa Ayah Ibu dilarikan pasukan Wura-wuri dan Ki Pakem, pembantu Ayah Ibu, terbunuh. Maka saya lalu cepat melakukan pengejaran dan kita beruntung bahwa Puspa Dewi sudah lebih dulu menolong Ayah Ibu sehingga memudahkan saya untuk menyelamatkan Ayah Ibu dari tangan mereka."

Suami isteri itu merasa kagum mendengar pengalaman anak tunggal mereka. Mereka menghaturkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi yang telah mengakhiri semua penderitaan mereka dengan pertemuan yang membahagiakan ini, apalagi mendengar bahwa Senopati Sindukerta berdua telah lama memaafkan mereka dan bahkan merindukan mereka untuk dapat berkumpul kembali di Kahuripan.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kereta dijalankan cepat dan langsung menuju Kahuripan. Ketika suami Isteri itu mengajak Nurseta singgah dulu di dusun Singojajar, pemuda ini tidak setuju, mengatakan bahwa mungkin kini pasukan Wura-wuri sudah menghadang di sana dan kalau mereka ke sana hanya akan menghadapi bahaya. Pula, mereka akan kembali ke gedung Senopati Sindukerta di mana segala kebutuhan mereka telah tersedia, maka semua harta milik mereka di Singojajar yang tidak seberapa Itu tidak perlu dibawa.

Setelah memasuki kota raja Kahuripan, Nurseta menjalankan keretanya langsung menuju gedung tempat tinggal kakeknya. Suami isteri yang berada di dalam kereta itu merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Mulut terasa kering. Ketegangan dan keharuan membuat tubuh mereka rasanya gemetar, apalagi ketika kereta memasuki halaman gedung yang luas itu. Bahkan Endang Sawitri sudah tidak dapat menahan turunnya air matanya melihat halaman gedung yang amat dikenalnya itu, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan!

Ketika Nurseta menghentikan kereta di depan pendopo, beberapa orang perajurit penjaga dan pelayan segera menyambut. Ada yang memegangi kendali kuda, dan ada pula yang segera masuk untuk melapor kepada Senopati Sepuh Sindukerta. Nurseta menggandeng ibunya yang tampak lemas, bersama ayahnya mendaki anak tangga pendopo yang luas. Lalu terdengar jerit tangis dari dalam gedung dan Senopati Sindukerta bersama isterinya tampak keluar dan berlari-lari menyambut.

"Endang.... ah, Endang anakku....!"

"Kanjeng Ibu....!" Dua orang wanita itu sudah saling tubruk, saling rangkul sambil bertangisan.

"Kanjeng Ibu.... ah, Kanjeng Ibu....!" Endang Sawitri menjerit ketika tiba-tiba ibunya terkulai lemas dalam rangkulannya. Wanita tua itu jatuh pingsan saking hebatnya guncangan hati yang bahagia dan terharu itu.

Nurseta segera memondong tubuh neneknya dan mereka semua memasuki gedung. Sebentar saja isteri Senopati Sindukerta siuman kembali dan ia menangis saking gembiranya, menciumi pu-terinya. Endang Sawitri bersama Dharmaguna lalu berlutut merangkul kaki dan menyembah kepada Senopati Sindukerta dan isterinya.

"Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, hamba Dharmaguna mohon beribu ampun telah membuat Paduka berdua mengalami kedukaan." kata Dharmaguna.

Ki Senopati dan Nyi Senopati mengangkat bangun suami Isteri itu.

"Sudahlah, sudah lama kami maafkan kalian. Kami sendiri juga merasa bersalah telah membuat kailan menderita. Untung Cucu kami Nurseta ini datang mencari kami. Kami sudah hampir putus asa untuk dapat berkumpul kembali dengan kalian."

Seluruh penghuni gedung senopaten itu, termasuk para perajurit pengawal dan para abdi, bergembira. Senopati Sindukerta bahkan mengadakan pesta sekeluarga dan para pembantu untuk menyambut kembalinya puteri dan mantu mereka. Sambil berpesta, Nurseta harus menceritakan pengalamannya ketika menemukan orang tuanya.

Kemudian Dharmaguna dan Endang Sawitri mendapat giliran menceritakan semua pengalaman mereka selama dua puluh tiga tahun menjadi orang-orang pelarian Itu. Untuk melepaskan kerinduan, mulai hari itu, Senopati Sindukerta melarang puteri, mantu, dan cucunya pergi meninggalkan dia dan isterinya. Setiap hari mereka berbincang-bincang dan tiada habisnya pengalaman yang dapat diceritakan. Nurseta sendiri baru sekali ini merasakan kebahagiaan berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya.

Ketika mendengar akan pertolongan yang diberikan Puspa Dewi kepada puteri dan mantunya, Senopati Sindukerta berkata, "Ah, gadis itu memang hebat! Bahkan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih sendiri berkenan menerimanya dan Sang Prabu Erlangga berkenan memberi hadiah patrem pusaka Sang Cundrik Arum kepada Puspa Dewi! Dan ternyata bahwa Puspa Dewi adalah puteri kandung Anakmas Senopati Muda Yudajaya, putera mantu Adi Tumenggung Jayatanu sahabat lamaku!"

"Akan tetapi, Kanjeng Rama, bukankah Puspa Dewi itu puteri Nyi Lasmi, janda yang dulu tinggal di Karang Tirta?" tanya Endang Sawitri dengan heran.

"Benar!" Senopati Sindukerta mengangguk-angguk. "Nyi Lasmi itu adalah isteri pertama Anakmas Senopati Yudajaya yang dulu entah mengapa berpisah dari suaminya. Akan tetapi belum lama ini ia sudah diboyong kembali ke Tumenggungan dimana Senopati Yudajaya tinggal bersama isterinya yang kedua, yaitu puteri Adi Tumenggung Oayatanu."

"Ah, kalau begitu-sekali waktu saya ingin mengunjungi Nyi Lasmi, karena dulu saya pernah tinggal sedusun dan mengenalnya dengan baik." kata Endang Sawitri.

Dua pekan kemudian, keinginan Endang Sawitri terkabul. Bahkan Senopati Sindukerta sendiri yang mengantar Endang Sawitri bersama suaminya, berkunjung ke gedung tumenggungan. Nurseta tidak ikut pergi karena pemuda ini selain tidak mempunyai urusan dengan keluarga Tumenggung Jayatanu, juga ingin berjalan-jalan di kota raja.

Kunjungan Senopati Sindukerta bersama anak dan mantunya menggunakan kereta itu disambut oleh sahabatnya, Tumenggung Jayatanu sekeluarga dengan gembira sekali. Memang dua orang tua Ini merupakan panglima-panglima yang setia dan besar jasanya, dan di antara mereka terdapat tali persahabatan yang karib.

"Kakang Senopati Sindukerta, selamat datang! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Andika!" sambut Tumenggung Jayatanu sambil mempersilakan tiga orang tamunya masuk ke ruangan tamu yang luas.

"Adi Tumenggung Jayatanu, aku ingin menguji kekuatan ingatan dan ketajaman pandanganmu. Nah, coba lihat siapa wanita yang kuajak datang berkunjung ini!" kata Senopati Sindukerta sambil menunjuk kepada Endang Sawitri yang tersenyum-senyum dan duduk dengan anggunnya di samping suaminya.

Tumenggung Jayatanu mengamati wajah Endang Sawitri, tampak ragu. Melihat ini, Endang Sawitri merasa kasihan dan membantu orang tua yang dulu sudah dikenalnya dengan baik sebagai sahabat karib ayahnya.

"Paman Tumenggung, benarkah Paman telah lupa kepada saya?"

Melihat senyum itu, Tumenggung Jayatanu melebarkan matanya dan menepuk dahinya. "Ah, Endang Sawitri! Bukankah engkau Endang?"

"Benar, Paman."

"Ha-ha-ha, kiranya engkau sudah pulang! Wah, Ayah Ibumu setengah mati mengharapkan engkau pulang! Syukurlah, aku merasa ikut berbahagia dengan kepulanganmu!"

"Adi Tumenggung, ini adalah mantu kami, Dharmaguna." Senopati Sindukerta memperkenalkan mantunya, Dharmaguna lalu merangkap kedua tangan ke depan hidung sebagai sembah penghormatan,

"wah, Anakmas Dharmaguna, senang dapat berkenalan dengan Andika. Andika berdua adalah orang tua yang berbahagia, mempunyai putera seperti Nurseta yang sakti mandraguna dan berjasa besar terhadap Kahuripan! Kalau begitu, sebentar, aku harus mengundang keluargaku untuk bertemu dan berkenalan dengan kalian Kami sekeluarga juga mempunyai kejutan untukmu, Kakang Senopati!"

"Benarkah?" Senopati tersenyum. Sebetulnya dia telah mendengar akan kejutan yang hendak dipamerkan sahabatnya itu, ialah bahwa Puspa Dewi yang terkenal itu adalah cucunya, walaupun hanya cucu tiri dan bahwa Ibu kandung Puspa Dewi, Nyi Lasmi, kini telah tinggal bersama keluarganya di tumenggungan itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu agar tidak mengurangi rasa bangga dan gembira sahabatnya.

Tumenggung Jayatanu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi diikuti Nyi Tumenggung, Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, yaitu Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih. Begitu saling pandang, Dyah Mularsih dan Endang saling menghampiri.

"Mbakayu Endang....!!"

"Kau.... Dyah Mularsih!" Dua orang wanita itu saling berpelukan. Dulu mereka memang menjadi sahabat baik, sungguhpun Endang Sawitri lebih tua sekitar empat tahun. Setelah saling berpelukan dan berciuman, Endang Sawitri memandang ke arah Nyi Lasmi yang juga memandangnya dengan mata dilebarkan. Mereka saling pandang, saling senyum, lalu keduanya saling menghampiri.

"Lasmi.... Andika Lasmi yang pernah tinggal di Karang Tirta?"

Nyi Lasmi tersenyum.

"Mbakayu Endang Sawitri! Tidak kusangka kita akan dapat saling bertemu di sini!" kedua orang wanita Ini saling berpegang tangan.

"Wah, kalian sudah saling mengenai?" tegur Tumenggung Jayatanu heran.

"Paman Tumenggung, Adik Lasmi ini dulu menjadi tetangga saya ketika kami sama-sama tinggal di Karang Tirta."

Ki Tumenggung Jayatanu lalu memperkenalkan mantunya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya kepada Dharamaguna dan Endang Sawitri. Kemudian dua keluarga itu bercakap-cakap diruangan dalam sambil menikmati hidangan yang disuguhkan Nyi Tumenggung.

Setelah selesai makan, Endang Sawitri mengajak Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih untuk bicara bertiga di ruangan terpisah. Nyi Tumenggung juga ikut setelah berkata sambil tertawa.

"Ai, aku pun ikut dengan kalian bertiga. Biarlah kita para wanita bicara di dalam dan para pria bercakap-cakap di sini!"

Maka masuklah mereka berempat ke dalam, sedangkan Tumenggung Jayatanu dan mantunya, Senopati Yudajaya mengajak dua orang tamunya, Senopati Sindukerta dan mantunya, Dharmaguna, bercakap-cakap di ruang tamu. Dalam percakapan yang santai dan akrab, Endang Sawitri secara ramah menyatakan pendapatnya, setelah mereka saling menceritakan tentang anak masing-masing. Lasmi bercerita tentang puterinya, Puspa Dewi, sedangkan Endang Sawitri bercerita tentang Nurseta.

"Nurseta dan Puspa Dewi juga sudah saling mengenal dengan baik. Keduanya berjasa besar terhadap Kahuripan. Keduanya sama-sama murid orang-orang sakti mandraguna. Aku sendiri bersama suamiku telah diselamatkan oleh Puspa Dewi, dan kami berterima kasih sekali. Kami berdua juga melihat betapa serasinya dua orang Anak kita itu, Adik Lasmi. Alangkah baiknya dan alangkah akan berbahagia hati kami kalau saja Anak kami Nurseta dapat dijodohkan dengan puterimu Puspa Dewi! Bagaimana pendapatmu?"

Nyi Lasmi tersenyum dan wajahnya berseri, akan tetapi ia lalu menoleh dan memandang kepada ibu mertuanya.

"Wah, Mbakayu Endang Sawitri, aku pribadi merasa senang dan setuju saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat kuputuskan sendiri. Harus lebih dulu mendapat persetujuan dari Puspa Dewi sendiri, lalu dari Ayahnya, juga tentu saja restu Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama Tumenggung!"

"Aku juga setuju!" tiba-tiba Dyah Mularsih berkata sambil tersenyum. "Kalau Anakku Puspa Dewi menjadi mantu Mbakayu Endang, berarti kita berbesan dengan Mbakayu Endang, dan ini menyenangkan sekali, Mbakayu Lasmi!"

Nyi Tumenggung berkata tenang. "Lasmi tadi berkata benar. Sebelum keputusan diambil, hal ini harus mendapat persetujuan Puspa Dewi sendiri, juga Ayahnya dan Eyangnya. Kalau aku sih menurut dan setuju saja atas pendapat suamiku."

"Terima kasih, Bibi Tumenggung! Hati saya sudah merasa bahagia sekali mendengar bahwa Paduka setuju dan kedua Adik yang menjadi Ibu Puspa Dewi ini juga setuju. Akan tetapi tentu saja harus mendapatkan persetujuan Ayah dan Eyang Puspa Dewi, terutama dari ia sendiri. Yang saya kemukakan ini pun bukan lamaran resmi, hanya menyatakan hasrat hati saya."

"Mbakayu Endang, apakah Andika sudah membicarakan hal ini kepada suami Andika dan kepada Paman Senopati Sindukerta?"

Endang Sawitri mengangguk. "Mereka juga amat setuju dengan usulku ini."

"Juga sudah disetujui Nurseta?" tanya Nyi Lasmi.

"Wah, kalau ini belum..! Aku belum mengajak Nurseta bicara tentang hal ini. Akan tetapi setelah pulang, aku akan mengajak dia bicara tentang perjodohannya."

"Sayang sekali, Puspa Dewi masih belum pulang sehingga tidak dapat kami ajak bicara tentang hal ini." kata Lasmi.

Setelah beramah-tamah, para tamu itu pulang dengan hati senang. Setelah tiba di gedung tempat tinggalnya, malam itu juga Endang Sawitri dan suaminya, Ki Dharmaguna, mengajak Ki Senopati Sindukerta dan isterinya, membicarakan tentang usul perjodohan itu dengan Nurseta. Sehabis makan malam bersama, keluarga itu lalu bercakap-cakap di ruangan dalam dan Endang Sawitri membuka percakapan tentang perjodohan itu.

"Anakku Nurseta, ingatkah engkau berapa usiamu sekarang?"

Mendengar pertanyaan Ibunya, Nurseta menatap wajah Ibunya dan tersenyum. "Kalau tidak keliru, umur saya dua puluh dua tahun, Ibu. Mengapa Ibu bertanya tentang usia?"

"Nurseta, maksud Ibumu, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun seperti engkau Ini sudah sepantasnya kalau menikah" kata Dharmaguna membantu isterinya.

"Benar sekali itu!" sambung Nyi Sindukerta. "Aku pun sudah ingin sekali menimang seorang cucu. Eyang Kakungmu juga begitu, Nurseta!"

"Ha-ha-ha!" Senopati Sindukerta tertawa. "Nurseta, sekarang engkau didesak Ayah Ibu dan Eyang puterimu. Nah, katakan, apakah engkau telah mempunyai pilihan hati, seorang gadis yang engkau ingin menjadi jodohmu?"

Nurseta tertegun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa orang-orang tua itu secara serentak mendesaknya mengenai urusan perjodohan!

"Akan tetapi.... sama sekali saya belum pernah memikirkan tentang perjodohan...!' katanya agak tergagap.

"Nah, kalau begitu sekarang engkau harus mulai memikirkan, Nurseta!" kata Endang Sawitri. "Katakanlah, siapa gadis yang hendak kau pilih? Kami yang mengajukan pinangan!"

Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak ada, Ibu. Saya belum pernah memilih, belum pernah memikirkan hal itu...."

Ketika mengatakan hal itu, dalam ingatan Nurseta terbayanglah wajah-wajah gadis yang pernah dia jumpai semenjak dia dewasa. Yang pertama adalah Puspa Dewi, yang bukan saja telah dikenalnya sejak dia remaja dan tinggal di Karang Tirta, kemudian dia berjumpa lagi dengan Puspa Dewi setelah mereka sama sama dewasa, bahkan sama-sama menjadi orang muda yang digdaya dan sama-sama pula membela Kahuripan. Kemudian dia bertemu dengan tiga orang selir Pangeran Hendratama dan terutama sekali selir termuda bernama Widarti yang tampaknya menaruh cinta kepadanya dan gadis itu kini telah tewas.

Kemudian, ketika menolong penduduk Karang Sari dan gangguan perampok, dia hendak diambil mantu Ki Lurah Warsita, Lurah Karang Sari untuk dijodohkan dengan anak gadisnya, yaitu Kartiyah yang hitam manis, namun ditolaknya. Banyak pula dia bertemu gadis gadis cantik yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan dirinya, akan tetapi selama ini dia belum pernah tertarik kepada seorang di antara mereka. Maka ketika kini ayah ibunya dan kakek neneknya mendesaknya, dia menjadi bingung.

"Nurseta, engkau mengenal Puspa Dewi, bukan?"

Nurseta menatap wajah Ibunya. "Puspa Dewi? Tentu saja, Ibu. Saya mengenalnya sejak remaja di Karang Tirta dulu."

"Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?" desak Ibunya.

"Pendapat saya mengenai apanya, Ibu?" Nurseta bertanya, belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam pertanyaan ibunya itu.

"Segalanya tentang Puspa Dewi. Kecantikannya, kedigdayaannya, wataknya." Endang Sawitri mengejar.

"Ahh.... itu? Hemm, ia seorang gadis yang cantik. Ia pun digdaya, berilmu tinggi walaupun agak ganas.... akan tetapi saya kira sekarang sudah tidak begitu ganas lagi. Dan ia gagah dan baik, berjasa besar membela Kahuripan, Ibu."

"Jadi engkau menganggap ia seorang gadis yang baik?"

"Benar, Ibu."

"Pendapatmu itu benar! Dan lebih dari itu, Puspa Dewi adalah cucu Paman Tumenggung Jayatanu yang terkenal gagah perkasa dan setia kepada Kahuripan, Ayahnya adalah Senopati Yudajaya dan Ibunya adalah Nyi Lasmi yang dulu menjadi sahabatku ketika kita tinggal di Karang Tirta. Nah, ia sungguh cocok untuk menjadi cucu mantu Eyangmu, tepat untuk menjadi mantu kami, dan serasi sekali untuk menjadi Isterimu!"

"Ah, Ibu....!" Wajah Nurseta berubah kemerahan.

Pernyataan ini sungguh terlalu tiba-tiba datangnya dan sama sekali tidak pernah diduganya, membuat dia merasa malu, sungkan, dan salah tingkah.

"Ibumu benar, Nurseta! Puspa Dewi akan merupakan seorang isterl yang cocok sekali bagimu." kata Senopati Sindukerta.

"Tidak usah malu-malu, Nurseta. Katakan bahwa engkau setuju dan kami akan segera mengajukan pinangan." kata Ki Dharmaguna.

Melihat puteranya masih menundukkan muka dan diam saja, Endang Sawitrl mendesak. "Jawablah, Nurseta, agar kami dapat segera mengajukan pinangan. Aku khawatir kalau didahului orang karena Puspa Dewi juga sudah dewasa."

"Ibu, kalau sampai pinangan ditolak, saya akan merasa malu sekali...."

"jangan khawatir! Aku sudah membicarakan dengan Nyi Lasmi, Dyah Mularsih, dan Bibi Tumenggung dan mereka bertiga setuju sekali!"

"Akan tetapi bagaimana kalau Puspa Dewi menolak? Ia seorang gadis yang cantik, pandai, bangsawan dan angkuh, sedangkan aku...."

"Hushh, jangan merendahkan diri sendiri. Engkau memiliki banyak kelebihan, Nurseta. Jadi engkau setuju kalau kami meminang Puspa Dewi untuk menjadi jodohmu?"

Nurseta dapat menangkap harapan dan hasrat yang besar dan kuat sekali dalam ucapan ibunya, dan dia melihat pula sikap ayahnya, kakek dan neneknya semua mendukung niat itu dengan sangat, maka dia merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Pula, dia harus mengakui bahwa mendapatkan jodoh seorang gadis seperti Puspa Dewi merupakan hal yang luar biasa sekali.

Tidak mudah mendapatkan gadis sehebat Puspa Dewi. Cantik jelita, sakti mandraguna, berdarah bangsawan, baik budi yang dibuktikannya bahwa ia tidak membela gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang jahat, melainkan membalik dan membela Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia memang tidak atau belum tahu apakah dia jatuh cinta kepada Puspa Dewi. Yang terasa olehnya hanyalah kekaguman terhadap gadis itu. Akan tetapi dia pun tidak tega membuat kecewa ayah ibunya dan kakek neneknya, maka dia mengangguk dan menghela napas panjang.

"Ibu, saya hanya menyerahkan keputusannya kepada Ayah Ibu dan kedua Eyang saja."

Tentu saja para orang tua itu tidak dapat menyelami perasaan Nurseta karena pemuda ini sudah mampu mengendapkan semua perasaan hatinya sehingga wajahnya tidak membayangkan perasaannya. Mereka mengira bahwa pemuda itu setuju sepenuhnya namun merasa malu untuk mengakuinya.

Akan tetapi karena mendengar bahwa Puspa Dewi belum pulang, Ki Dharmaguna dan Endang Sawitri masih menunggu. Mereka tidak akan mengajukan pinangan resmi sebelum gadis itu pulang karena mereka tahu bahwa jawaban pihak keluarga Tumenggung Jayatanu terhadap pinangan itu tergantung dari keputusan Puspa Dewi.

********************


BERSAMBUNG KE JILID 11


Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 10

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 10

Melihat Gandarwo menghampiri mereka, Nyi Endang Sawitri yang mengira suaminya akan diganggu, menyambut dengan serangan nekat! Akan tetapi, pukulan tangan wanita itu ditangkis dan pertemuan kedua tangan itu membuat Nyi Endang Sawitri yang jauh kalah kuat itu terpelanting. Pada saat itu, Ki Dharmaguna cepat menghampiri isterinya untuk menolongnya, akan tetapi Gandarwo yang sudah marah sekali, maju dan menampar dengan tangannya ke arah kepala Dharmaguna.

"Plakk!" Tangan Gandarwo yang menampar itu bertemu dengan tangan Resi Bajrasakti yang menangkisnya.

"Anakmas Gandarwo, apakah Andika hendak merusak rencana kita? Suami isteri ini harus ditawan, bukan dibunuh!"

Resi Bajrasaktl menegur dan Gandarwo menyadari kesalahannya yang tadi terdorong oleh kemarahan. Gandarwo mengangguk dengan muka berubah merah.

"Saya mengerti, Paman. Saya tidak ingin membunuhnya, hanya memberi hajaran agar mereka jangan banyak tingkah!"

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu seorang gadis cantik telah berdiri menghalang di depan Gandarwo yang agaknya hendak memberi hajaran kepada suami isteri itu.

"Gandarwo keparat busuk! Di mana-mana engkau menyebar kejahatan!" bentak gadis itu.

"Puspa Dewi....!" Gandarwo terkejut dan wajahnya berubah pucat karena gentar. Akan tetapi hanya sebentar karena dia ingat bahwa dia ditemani Resi Bajrasakti dan dua losin orang perajurit pengawal sehingga keberanian dan kesombongannya muncul dengan cepat, membuat mukanya menjadi merah karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang maju, tangan kanannya yang disaluri tenaga sakti sepenuhnya menampar ke arah kepala Puspa Dewil Puspa Dewi sudah tahu akan kekuatan Gandarwo. Senopati Muda Wura-wuri ini pernah mengeroyoknya bersama Cekel Aksomolo dan tiga orang senopati Wura-wuri lain, yaitu Tri Kala. Maka, melihat serangan tangan Gandarwo yang menamparnya, ia menangkis dan sekaligus mendorong.

"Wuuuuttt.... desss....!"

Tubuh Gandarwo terlempar ke belakang sekitar dua tombak dan jatuh terjengkang, terbanting ke atas tanah sampai terdengar suara berdebuk dan debu mengebul. Dia bangkit duduk sambil mengelus pantatnya dan meringis kesakitan, malu, dan marah. Resi Bajrasakti melompat ke depan dan berhadapan dengan Puspa Dewi.

"Heh-heh-heh!" Kakek tinggi besar itu terkekeh sambil menatap wajah Puspa Dewi. "Kiranya Andika. Bukankah Andika ini Puspa Dewi, Sekar Kedaton Wura-wuri, murid dan anak angkat Nyi Dewi Durgakumala permaisuri Wura-wuri? Andika yang mengkhianati Wura-wuri dan berbalik membantu keturunan Mataram, Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?"

"Resi Bajrasakti, ternyata sejak dulu sampai sekarang Andika tetap menjadi seorang datuk sesat yang jahat. Dulu Andika pernah menculik aku, dan sekarang Andika menculik Paman dan Bibi ini. Dari dulu sampai sekarang Andika tukang menculik orang, betapa rendahnya perbuatanmu. Aku bukan Sekar Kedaton Wura-wuri, juga bukan anak Dewi Durgakumala yang pernah menjadi guruku. Karena melihat Wura-wuri dan sekutunya semua jahat dan angkara-murka, maka aku tidak sudi membantu. Aku lebih suka membela Kahuripan, karena aku kawula Kahuripan dan lebih suka membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bijaksana"

Selagi Resi Bajrasakti dan Puspa Dewi bicara, diam-diam Gandarwo menyuruh seorang perajurit untuk cepat pergi mencari bala bantuan dan empat orang lain yang memiliki kedigdayaan cukup, dia suruh menyergap dan menangkap Dharmaguna dan Endang Sawitri. Kemudian, sambil mencabut pedangnya dan memberi aba-aba kepada Sembilan belas perajurit yang lain dia berseru nyaring.

"Bunuh pengkhianat Wura-wuri ini"

Akan tetapi Resi Bajrasakti mempunyai pendapat lain. Kalau dia dapatmenangkap hidup-hidup gadis ini dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala, tentu permaisuri Wura-wuri itu akan senang sekali dan berterima kasih sehingga hal ini akan mempererat hubungan antara Wura-wuri dan Wengker.

"Anakmas Gandarwo, jangan bunuh Puspa Dewi. Kita memerlukan ia hidup-hidup!" katanya dengan suara yang berpengaruh.

Mendengar bentakan Itu, Ki Gandarwo teringat bahwa Puspa Dewi adalah murid dan anak angkat Permaisuri Dewi Durgakumala yang telah memberontak terhadap Wurawuri, maka kalau dapat menangkapnya hidup-hidup dan menyeretnya ke depan kaki permaisuri itu, tentu akan menyenangkan hatinya. Biar permaisuri sendiri yang akan menghukum gadis pengkhianat ini. Maka dia pun memberi aba-aba baru.

"Tangkap pengkhianat ini hidup-hidup!"

Resi Bajrasakti mulai dengan serangan yang mengandung kekuatan sihir. Dia membentak dan bentakan ini menggelegar, mengandung getaran yang amat kuat, yang khusus ditujukan kepada Puspa Dewi. Datuk Wengker yang sakti mandraguna ini agaknya memandang rendah kepada Puspa Dewi karena menganggap bahwa gadis itu hanya murid Nyi Dewi Durgakumala. Kalau gurunya hanya setingkat dengan dia, maka muridnya tentulah merupakan lawan yang lunak, begitu pikirnya maka ia menyerang dengan kekuatan sihirnya untuk melumpuhkan lawan.

"Puspa Dewi, menyerah dan berlututlah engkau!"

Akan tetapi Resi Bajrasakti salah perhitungan. Nyi Dewi Durgakumaja telah menurunkan seluruh ilmunya kepada Puspa Dewi yang amat disayangnya dan karena Puspa Dewi berbadan bersih tidak seperti Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi hamba nafsunya sendiri, juga karena Puspa Dewi jauh lebih muda.

Karena itu, tidaklah mengherankan apabila setelah tamat belajar dari Nyi Dewi Durgakumala, tingkat gadis Itu sudah melebihi tingkat gurunya. Apalagi la bertemu dengan Sang Maha Resi Satyadharma dan digembleng oleh guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini selama tiga bulan. Tentu saja tingkat kepandaian gadis itu sudah melonjak tinggi, jauh melampaui tingkat Nyi Dewi Durgakumala.

Sebelum digembleng Maha Resi Satyadharma la telah memiliki kekuatan sihir dari ajaran Nyi Dewi Durgakumala yang dapat menandingi kekuatan sihir Resi Bajrasakti. Maha Resi Satyadharma sama sekali tidak mengajarkan jlmu sihir yang dianggap ilmu yang berbahaya dan condong menyeret pemiliknya ke arah perbuatan jahat.

Dia hanya memberi pelajaran menghimpun tenaga sakti yang datang sebagai anugerah Sang Hyang Widhi dan kekuatan ini mampu menghalau segala macam kekuatan sihir yang. menyerangnya. Karena itu, ketika Resi Bajrasakti menyerangnya dengan sihir, Puspa Dewi sama sekali tidak terpengaruh. Gelombang kekuatan sihir yang menerpanya itu tidak lebih dari angin semilir lalu saja.

Melihat serangan dengan sihir itu tidak mempengaruhi Puspa Dewi, Resi Bajrasakti menjadi penasaran. Dia lalu mengerahkan Aji Panglimutan. Dengan pengerahan aji kesaktian ini, biasanya dia dapat menghilang, atau tidak tampak oleh lawan sehingga dia akan dapat dengan mudah meringkus gadis itu.

Setelah mengerahkan Aji Panglimutan, Resi Bajrasakti lalu menubruk dan hendak meringkus tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi menggerakkan tangannya, menampar kakek yang maju hendak meringkusnya itu. Ternyata Aji Panglimutan itu pun tidak dapat mempengaruhinya dan ia tetap dapat melihat lawan yang hendak meringkusnya itu, maka ia menyambut dengan tamparan. Resi Bajrasakti terkejut dan cepat dia menggerakkan tangan menangkis tamparan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

"Wuuuttt.... dukkk!"

Tubuh Resi Bajrasakti terhuyung karena ketika lengan mereka beradu, dia merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari tangan gadis itu!

Melihat betapa Resi Bajrasakti terhuyung, Ki Gandarwo berseru kepada sembilan belas orang perajurit.

"Kepung, tangkap gadis ini!"

Puspa Dewi dikeroyok. Tangan-tangan yang besar berbulu itu seolah berlomba untuk menangkap dan meringkusnya. Puspa Dewi menggerakkan kaki tangannya dengan cepat sekali. Tubuhnya berkelebatan seolah berubah menjadi bayang-bayang dan ke manapun kaki atau tangannya mencuat, tentu seorang pengeroyok telah dapat ia robohkan.

Teriakan demi teriakan terdengar disusul tubuh para pengeroyok berpelantingan. Biarpun Puspa Dewi tidak memberi pukulan maut kepada mereka, namun mereka menderita patah tulang dan juga kehilangan nyali, tidak berani lagi berdiri dan hanya mendekam dan merintih memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan atau tendangan yang dahsyat, bagaikan petir menyambar. Dalam waktu singkat delapan orang perajurit telah roboh dan sisanya yang sebelas orang menjadi jerih untuk mendekati gadis sakti mandraguna itu.

Pada saat itu perajurit yang diutus Gandarwo mencari bala bantuan sudah pergi jauh dan empat orang perajurit yang diutus mengamankan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri sudah cepat turun tangan meringkus suami isteri itu. Percuma saja Nyi Endang Sawitri melawan. Ia tidak dapat menandingi empat orang perajurit yang rata-rata memiliki tenaga kuat itu dan sebentar saja suami isteri itu telah dapat diringkus, dinaikkan kereta yang segera dilarikan cepat meninggalkan tempat itu

Puspa Dewi yang sedang dikepung dan dikeroyok banyak orang tidak melihat hal ni. Pula, ia memang tidak mengenal suami isteri itu. Kalau tadi ia turun tangan, adalah karena melihat suami isteri itu diperlakukan kasar. Ketika Kl Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri tinggal di Karang Tirta, ia sendiri masih kecil. Bahkan ketika suami lsterl itu diam-diam meninggalkan Karang Tirta, la baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun, sehingga tentu saja ia tidak mengenal suami isteri itu.

Sementara itu, Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo terkejut bukan main melihat betapa sebagian anak buah mereka berpelantingan dihajar tendangan dan tamparan gadis perkasa itu. Merasa bahwa sekarang malah pihak mereka yang terancam bahaya, Resi Bajrasakti lalu berseru, "Pergunakan senjata! Bunuh gadis ini!" Dia sendiri sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cambuk bergagang gading.

"Tar-tar-tarr....!!" Resi Bajrasakti memutar-mutar cambuk itu di atas kepalanya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika ujung cambuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan asap.

Melihat rekannya sudah mengeluarkan senjata, Ki Gandarwo juga mencabut pedangnya. Demikian pula, sisa perajurit yang masih ada sebelas orang itu mencabut senjata golok mereka dan mengepung Puspa Dewi.

Puspa Dewi maklum bahwa kini la menghadapi lawan yang cukup berat. Kalau berkelahi dengan mereka hanya menggunakan tangan kosong, ia masih, dapat mengandaikan kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga saktinya. Akan tetapi semua orang itu memegang senjata, apalagi Resi Bajrasakti amat berbahaya dengan cambuknya dan Ki Gandarwo juga bukan lawan ringan kalau sudah menggunakan pedangnya.

Untuk dapat menjaga dan membela diri dengan baik, Puspa Dewi lalu menggerakkan tangannya ke arah punggung dan begitu ia mencabut, tampak sinar hitam dari pedang pusakanya Cadrasa Langking, pemberian guru pertamanya yang juga merupakan ibu angkatnya, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.

Kini terjadilah perkelahian hebat. Setelah mereka semua memegang golok, sebelas orang perajurit pengawal itu menjadi berani dan mereka mengepung dan menyerang Puspa Dewi secara bertubi-tubi dengan cara menyerang lalu melompat menjauh. Yang bertanding dengan seru melawan Puspa Dewi adalah Resi Bajrasakti dan Ki Gandarwo.

Resi Bajrasakti sekarang baru menyadari bahwa Puspa Dewi telah menjadi seorang wanita muda yang luar biasa, sakti mandraguna dan pemberani. Karena sekarang dia melihat betapa gadis Ini harus dirobohkan kalau terpaksa dibunuh, maka selain menggunakan cambuknya untuk menyerang, dia juga mempergunakan berbagai aji kesaktiannya untuk merobohkan gadis yang amat tangguh itu.

Mula-mula dia menyelingi serangan cambuknya dengan menyambitkan senjata rahasia pasir sakti Bramara Sewu. Pasir itu seolah berubah menjadi sekawanan lebah yang menyerang seluruh tubuh bagian depan Puspa Dewi. Akan tetapi, pedang Candrasa Langlang yang membentuk perisai gulungan sinar hitam meruntuhkan semua pasir sakti itu.

Melihat serangan pasir saktinya gagal, berturut-turut Resi Bajrasakti mengerah-kan berbagal aji pukulannya yang ampuh. Dengan tangan kirinya dia menyelingi sambaran cambuknya dengan A}1 Wlsa Langking. Tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang mengandung racun hitam, namun uap hitam yang menyambar ke arah Puspa Dewi Itu ambyar (pecah berantakan) ketika disambar hawa pukulan tangan kiri Puspa Dewi.

Berturut-turut Resi Bajrasakti menyerang dengan AJI Pukulan Gelap Sewu dan Sihung Naga, namun semua Itu tidak berhasil karena dapat dihadang oleh dorongan tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung Aji Guntur Genl yang sudah dipoles gemblengan Maha Resi Satyadharma. Akhirnya, Resi Bajrasakti mencurahkan semua perhatian dan mengerahkan. seluruh tenaganya untuk menyerang dengan cambuknya yang memainkan Aji Pecut Tatit Geni.

Ki Gandarwo juga mengirim serangan-serangan maut dengan pedangnya, dibantu sebelas orang perajurit dengan golok mereka. Delapan orang perajurit yang terluka dan tidak mampu mengeroyok lagi kini sudah menjauhi tempat perkelahian. Dikeroyok demikian banyaknya orang, Puspa Dewi tidak merasa kerepotan. Akan tetapi karena ia tidak ingin membunuh orang, maka pedangnya hanya ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan senjata itu. Ia bagaikan seekor harimau betina yang dikeroyok segerombolan srigala.

Sementara itu, ketika kereta yang membawa Dharmaguna dan Endang Sawitri belum jauh dilarikan empat orang perajurit Wura-wuri, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang pemuda menghadang di depan kereta. Dua ekor kuda penarik kereta terkejut dan meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan ke atas, akan tetapi pemuda itu dengan sigap menangkap kendali dua ekor kuda dan menariknya ke bawah. Dua ekor kuda itu berdiri, tidak mampu meronta lagi, tubuh mereka gemetaran seperti ketakutan. Perajurit yang menjadi kusir terkejut dan segera membentak marah.

"Hei, siapa engkau berani menahan kuda kami? Lepaskan kuda kami, atau akan kuhancurkan kepalamu dengan cambuk ini!"

Pemuda itu bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta melakukan perjalanan menuju ke dusun Singojajar untuk mencari orang tuanya. Setelah tiba di Singojajar, dia mendengar bahwa baru saja Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri diculik pasukan Wura-wuri, dan pembantu mereka bernama Pakem terbunuh. Mendengar Ini, Nurseta cepat berlari melakukan pengejaran. Dia melihat seorang gadis perkasa yang dikenalnya sebagai Puspa Dewi sedang dikeroyok banyak orang. Ketika dia terjun ke dalam pertempuran hendak membantu, Puspa Dewi berseru.

"Jangan bantu aku, cepat tolong mereka yang dilarikan dengan kereta!"

Mendengar ini, Nurseta meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran. Dia tadi di Singojajar memang mendengar bahwa suami isteri itu diculik dan dilarikan dengan sebuah kereta. Karena dia melakukan pengejaran dengan Aji Bayu Sakti, maka sebentar saja dia sudah dapat menyusul dan melompat ke depan kereta menahan dua ekor kuda penariknya. Ketika kusir kereta itu membentak dan mengancamnya dengan cambuk, Nurseta berkata, "Turunlah engkau dari kereta! Kalian menculik orang-orang yang tidak bersalah!"

Perajurit itu marah dan pada saat itu, tiga orang perajurit lain yang tadi berada dalam kereta sudah berlompatan keluar. Perajurit yang menjadi kusir menggerakkan cambuknya, dipukulkan ke arah pemuda yang berada di depan kereta.

"Tarrr...!" Ujung cambuk menyambar ke arah kepala Nurseta. Pemuda itu dengan tenang menangkap ujung cambuk dan dengan sentakan kuat dia membuat kusir yang memegang cambuk tertarik dan terjungkal dari atas kereta, jatuh berdebuk di atas tanah. Kusir itu menyeringai kesakitan karena tulang pinggulnya terasa nyeri sekali.

Dharmaguna dan Endang Sawitri menguak tirai kereta dan memandang keluar, heran, kagum dan juga khawatir melihat betapa tiga orang perajurit itu dengan golok di tangan kini menerjang dan menyerang pemuda itu dengan buas.

Akan tetapi tubuh pemuda itu berkelebatan dengan gesit bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dan berturut-turut tiga orang perajurit itu berpelantingan dan mengaduh-aduh tanpa mampu bangkit kembali.

Nurseta menghampiri kereta, akan tetapi Endang Sawitri berkata, "Anakmas, cepat Andika bantu gadis yang tadi menolong kami karena ia dikeroyok banyak orang jahat."

"Tapi...." Nurseta menengok ke arah tiga orang yang telah dirobohkannya itu.

"Jangan khawatir, mereka bertiga tidak akan dapat mengganggu kami lagi!" kata Endang Sawitri dan dengan cekatan ia lalu mengambil sebatang golok milik perajurit yang tadi terlepas dari tangannya. Dengan golok di tangan, wanita itu menghampiri tiga orang perajurit dan siap untuk menyerang kalau mereka berani bangkit berdiri. Melihat gerakan wanita itu, maklumlah Nurseta bahwa ia boleh diandalkan. Dia masih sangsi walaupun hatinya menduga bahwa mereka adalah ayah ibunya.

Dia teringat akan keadaan Puspa Dewi yang dikeroyok banyak orang tadi, maka dia lalu berlari cepat ke tempat pertempuran tadi. Setelah dekat dia melihat kenyataan bahwa, gadis itu hanya mempertahankan dan melindungi diri saja. Agaknya Puspa Dewi tidak ingin membunuh para pengeroyoknya. Hal ini membuat Nurseta merasa heran. Dahulu dia mengenal Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang baik, akan tetapi berwatak keras. Mengapa sekarang, gadis itu seolah tidak mau membunuh para pengeroyoknya? Apakah karena para pengeroyoknya Itu orang Wura-wuri? Akan tetapi Nurseta mengenal Resi Bajrasakti dan dia semakin heran. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker.

Melihat Puspa Dewi sibuk juga menghadapi serangan dua puluh satu orang itu, terutama serangan cambuk Resi Bajrasakti dan pedang di tangan Gandarwo, Nurseta tidak sabar lagi dan dia segera menerjang para pengeroyok yang berada di bagian luar pengepungan Itu. Begitu kedua tangannya digerakkan menampar ke kanan kiri, empat orang pengeroyok terpelanting roboh. Tentu saja pengeroyokan itu menjadi kacau dan Resi Bajrasakti dan Gandarwo terkejut.

Ki Gandarwo yang memang memiliki watak jumawa dan selalu memandang rendah orang lain, menjadi marah dan dia melompat ke arah Nurseta sambil menggerakkan pedangnya, menyerang dahsyat. Pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta yang tidak memegang senjata. Melihat sambaran pedang, Nurseta dengan tenang menyambut dengan ayunan tangan kanannya menyambut. Tangannya menyambar ke depan, dengan miring seperti dibacokkan.

"Wuuttt.... singgg.... krakkk..!"

Pedang itu patah menjadi tiga potong dan Ki Gandarwo terhuyung ke belakang, mukanya pucat.

"Kita pergi....!" Tiba-tiba Resi Bajrasakti berseru dan Ki Gandarwo cepat melompat dan lari mengejar kawannya yang telah melarikan diri lebih dulu itu.

Sisa anak buah mereka juga melarikan diri. Mereka berlompatan di atas kuda dan melarikan diri secepatnya, meninggalkan belasan ekor kuda yang tadi ditunggangi para perajurit yang kini menderita patah tulang dan masih berada di situ.

"Nurseta! Bagaimana dengan suami isteri yang mereka tangkap tadi?" tanya Puspa Dewi.

"Mereka di sana!" kata Nurseta sambil lari menuju ke tempat di mana kereta dan suami isteri tadi ditinggalkan.

Puspa Dewi melompat dan mengejar. Sebentar saja mereka berdua tiba di tempat Itu dan ternyata empat orang perajurit yang tadi dirobohkan Nurseta telah pergi. Suami isteri itu masih berada di dekat kereta. Tadi ketika Nurseta menolong mereka dan pemuda itu lalu berlari cepat untuk membantu Puspa Dewi, Dharmaguna dan Endang Sawitri yang menjaga empat orang perajurit yang terluka dengan golok di tangan saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketegangan.

Empat orang perajurit itu ketakutan karena mereka telah dalam keadaan terluka dan Endang Sawitri kini memegang golok. Selain itu mereka sudah merasa gentar terhadap pemuda yang sakti tadi. Maka perlahan-lahan mereka merangkak menjauhi suami isteri itu, kemudian bangkit dan saling bantu meninggalkan tempat itu. Endang Sawitri mendiamkan saja karena ia pun hanya berjaga-jaga kalau mereka itu hendak mengganggu la dan suaminya.

"Kakangmas, apakah engkau melihat apa yang kulihat tadi?" tanya Endang Sawitri kepada suaminya.

"Melihat apa?"

"Pemuda yang menolong kita tadi....!"

Mereka saling pandang dan pandang mata mereka yang mewakili suara hati mereka. Dharmaguna mengangguk.

"Rasanya aku mengenal pemuda itu, Diajeng, wajahnya tidak asing bagiku."

"Ah, Kakangmas! Biarpun dia seorang pemuda dewasa yang sakti mandaraguna, akan tetapi matanya itu....! Mata itu akan selalu kukenal, Kakangmas, mata.... Anak kita...!"

"Nurseta? Dia.... Nurseta....?"

Endang Sawitri mengangguk.

"Tapi...., mengapa dia diam saja dan meninggalkan kita?"
"Gadis penolong kita itu perlu dibantu, Kakangmas. Selain itu.... aku pun merasa bahwa sudah sepatutnya dia tidak mempedulikan kita.... ah, kalau ku ingat betapa kita telah meninggalkan anak. kita di Karang Tirta...."

Melihat isterinya menangis, Dharmaguna menghiburnya.

"Akan tetapi, engkau tahu, Diajeng bahwa kita meninggalkan dia demi kebaikan dia sendiri. Kita tidak ingin anak kita ikut menjadi buruan dan terancam keselamatannya. Akan tetapi, kalau benar dugaanmu bahwa dia itu Nurseta, bagaimana mungkin dia menjadi seorang yang demikian digdaya?"

Endang Sawitri menghapus air matanya dan menghela napas panjang.

"Mungkin aku salah duga dan dia bukan Anak kita, Kakangmas.... ah, itu dia datang bersama gadis panolong kita tadi."

Dharmaguna menoleh dan benar saja. Dia melihat pemuda dan gadis yang menolong mereka tadi datang dengan cepat sekali. Seperti terbang saja mereka itu datang dan sebentar kemudian sudah berada di depan mereka.

Nurseta mengamati wajah suami isteri itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi pun, sekali pandang saja dia tidak pangling (lupa). Mereka inilah Ayah Ibunya! Memang agak lebih tua, namun dia mengenal betul wajah mereka. Terutama Ibunya! Memang, wajah orang dewasa tidak banyak berubah dua belas tahun kemudian, akan tetapi dia yang ditinggalkan mereka dalam usia sepuluh tahun, masih seorang kanak-kanak, kini menjadi seorang pemuda dewasa tentu banyak berubah.

Kalau tadi setelah menolong suami isteri itu dari empat orang perajurit yang melarikan mereka lalu dia meninggalkan mereka adalah karena dia ingin membantu Puspa Dewi dan juga dia merasa terlalu tegang untuk segera memperkenalkan diri kepada orang tuanya. Empat orang itu sejenak saling pandang seperti terpukau dan tidak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Endang Sawitri mendahului berkata kepada dua orang muda itu.

"Kami berdua berterima kasih kepada Nakayu dan Nakmas yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Budi Andika berdua sungguh besar dan selamanya tidak akan pernah kami lupakan."

"Ah, tidak perlu berterima kasih, Bibi. Sudah sewajarnya kalau saya menghajar orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang itu. Akan tetapi siapakah Paman berdua dan mengapa pula menjadi tawanan orang-orang jahat tadi?" kata Puspa Dewi.

Sejak tadi Nurseta semakin yakin bahwa suami isteri itu adalah Ayah Ibunya. Suara Ibunya masih seperti dulu, bahasanya halus dan suaranya lembut. Hatinya tergetar dan terharu sehingga dia merasa betapa kedua matanya panas dan berair. Suaranya terdengar agak gemetar ketika dia menyambung ucapan Puspa Dewi.

"Apakah Andika berdua yang tinggal di dusun Singojajar, bernama Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri?"

"Benar.... benar sekali....! Anakmas.... siapakah....!" Nyi Endang Sawitri bertanya dengan suara gemetar dan la menatap wajah Nurseta dengan penuh selidik. Sambil menahan getaran perasaannya, Nurseta.

"Benar-benarkah Andika tidak mengenal saya?"

Endang Sawitri terbelalak, mengembangkan kedua lengannya dan melangkah maju mendekati Nurseta.

"Engkau.... engkau.... Nurseta....??"

Nurseta tidak tega membiarkan Ibunya meragu lebih lama lagi. Hatinya sendiri merasa sangat terharu dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut menyembah.

"Kanjeng Ibu....!"

"Duh Gusti.... Hyang Widhi.... engkau benar-benar Nurseta! Nurseta.... Anakku. ..." Nyi Endang Sawitri menjerit dan menubruk pemuda Itu, merangkul dan terkulai dalam rangkulan Nurseta, menangis tersedu-sedu. KI Dharmaguna juga menghampiri, berlutut merangkul Nurseta.

"Nurseta.... aduh, Anakku.... maafkan Ayah Ibumu yang telah meninggalkanmu hidup seorang diri ketika engkau masih kecil...." Dharmaguna juga menitikkan air mata karena merasa menyesal dan berdosa.

"Angger.... Nurseta... Ibumu minta maaf.... kami berdua telah bertindak kejam.... kami meninggalkanmu seorang diri di Karang Tirta.... ketika engkau.... baru berusia sepuluh tahun...."

"Ayah dan Ibu tidak bersalah. Kepergian itu justru menyelamatkan saya.... agar saya tidak terbawa-bawa menjadi buronan."

"Ah, engkau sudah tahu, Anakku....?"

"Saya sudah mendengar semua dari Eyang Senopati Sindukerta, Ibu."

"Aduh...., engkau sudah bertemu dengan Kanjeng Rama? Nurseta, bagaimana.... kabarnya dengan Kanjeng Ibu....?"

"Eyang Senopati berdua sehat-sehat saja, Ibu. Hanya Eyang Puteri selalu berduka dan sering menangis karena merindukan Ibu...."

"Aduh.... aku anak durhaka.... anak tidak berbakti...." Nyi Endang Sawitri menangis sesenggukan. Akan tetapi ia menahan tangisnya ketika dihibur Nurseta.

"Bagaimana dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Ceritakan tentang mereka, Nurseta....!" Nyi Endang Sawitri mendesak puteranya. Akan tetapi Nurseta membimbing ayah ibunya untuk bangkit berdiri dan berkata.

"Nanti dulu, Ayah dan Ibu. Kita tidak boleh melupakan gadis ini yang tadi telah menyelamatkan Ayah dan Ibu." Nurseta mengingatkan.

Suami isteri itu baru menyadari bahwa tadi mereka sama sekali melupakan gadis yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu. Nyi Endang Sawitri lalu menghampiri Puspa Dewi dan memegang tangan gadis itu.

"Ah, maafkan kami, Nakayu. Saking gembira kami bertemu dengan Anak kami yang selama belasan tahun berpisah, baru sekarang dapat saling berjumpa. Maafkan kami telah melupakan Andika"

Sejak tadi Puspa Dewi menyaksikan pertemuan mengharukan itu dan ia teringat akan pertemuannya sendiri dengan ayah kandungya. Ia ikut merasa terharu.

"Tidak mengapa. Bibi. Aku ikut merasa gembira melihat Anak dan orang tuanya dapat bertemu kembali."

"Ayah dan Ibu tentu mengenal gadis ini. Ia adalah puteri Bibi Lasmi yang dulu juga tinggal di Karang Tirta." Kata Nurseta memperkenalkan.

"Aihh.... Nyi Lasmi janda yang cantik itu? Kalau begitu Andika ini.... eh, kalau tidak salah namamu Puspa Dewi, bukan?" kata Nyi Endang Sawitri yang dulu kenal baik dengan Nyi Lasmi.

"Benar, Bibi." kata Puspa Dewi.

"Ahh, tentu saja kami lupa. Engkau kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Ya, engkau mirip sekali dengan Nyi Lasmi! Sekarang aku ingat. Engkau telah menjadi seorang gadis cantik jelita, sakti mandaraguna dan baik budi!" Nyi Endang Sawitri memandang kagum.

"Paman Dharmaguna, Bibi Endang Sawitri, dan engkau Nurseta, aku tidak mau mengganggu kalian keluarga yang baru saja berjumpa dan berkumpul kembali. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tadi secara kebetulan saja aku melihat Paman dan Bibi dianiaya penjahat-penjahat itu maka aku turun tangan menolong."

"Puspa Dewi, engkau hendak pergi ke manakah? Engkau berada di daerah Wura-wuri, apakah engkau... kini telah kembali ke Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton (Bunga Istana)?" tanya Nurseta sambil mengerutkan alisnya.

"Hemm, jangan menyangka dengan ngawur (sembarangan), Nurseta! Aku sudah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Aku sedang mencari Adikku. Sudahlah, aku pergi. Paman dan Bibi, mohon pamit!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi meloncat jauh pergi dengan cepat seperti terbang.

"Gadis yang hebat!" Endang Sawitri memuji kagum.

"Engkau mengenalnya dengan baik, Nurseta?"

Nurseta mengangguk. Dia masih merasa heran mendengar Puspa Dewi mengatakan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Padahal Dewi Durgakumala amat saying padanya!

"Ah, kalau saja...." Endang Sawitri tidak melanjutkan.

"Mengapa, Ibu?" Nurseta bertanya.

Sebetulnya, Endang Sawitri hendak mengatakan "Kalau saja Puspa Dewi dapat menjadi isterimu!" akan tetapi ia menahan diri dan menjawab. "Sekarang ceritakan tentang Eyang Kakung dan Eyang Puteri, Nurseta."

"Ya, ceritakanlah, Nurseta. Apakah beliau masih marah kepada kami?" tanya puia Dharmaguna.

"Sama sekali tidak, Ayah dan Ibu. Agaknya terjadi kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu dan Eyang Senopati. Beliau memang selalu mengerahkan perajurit untuk mencari Ayah Ibu, akan tetapi sama sekali bukan untuk menghukum. Sudah lama beliau memaafkan Ayah Ibu dan merasa kehilangan, merasa rindu dan Ingin mengajak Ayah Ibu pulang dan tinggal di Kahuripan. Bahkan Eyang Puteri selalu menangis kalau teringat kepada Ibu."

"Aduh, Kanjeng Ibu.... ampunkan saya ...." Nyi Endang Sawitri menangis.

"Ah, siapa mengira bahwa kami dicari untuk diajak pulang dan dimaafkan?" kata Ki Dharmaguna. "Kami selalu melarikan diri karena takut kalau dipaksa saling berpisah dan mendapatkan hukuman. Kalau saja kami tahu, tentu kami tidak akan selalu berpindah-pindah tempat dan melarikan diri, bahkan terpaksa melarikan diri dan tinggal di dusun Singojajar yang termasuk wilayah Wura-wuri untuk menghindarkan pengejaran."

"Sudahlah, Ayah dan Ibu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang semua penderitaan itu telah berakhir, baik penderitaan bagi Ayah Ibu maupun bagi Eyang Kakung dan Eyang Puteri. Mari Ayah Ibu saya antarkan pulang ke Kahuripan di mana Eyang Senopati sudah menunggu dengan penuh kerinduan. Kita pergunakan kereta ini."

Dengan wajah berseri penuh kebahagiaan dan harapan, suami isteri itu naik ke dalam kereta dan Nurseta mengusirinya. Kereta dilarikan menuju Kahuripan. Di sepanjang perjalanan, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menghujani Nurseta dengan pertanyaan. Terpaksa Nurseta menceritakan semua pengalamannya sejak dia ditinggalkan mereka di Karang Tirta kurang lebih dua belas tahun yang lalu.

Betapa dia menjadi kuli dan tukang kuda bekerja pada Ki Lurah Suramenggala sampai pada usia enam belas tahun dia diambil murid mendiang Empu Dewamurti, kemudian digembleng Bhagawan Ekadenta selama beberapa bulan. Dia menceritakan pengalamannya ketika membela Kahuripan dari ancaman pemberontakan Pangeran Hendratama yang didukung oleh empat Kerajaan Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Tentang pertemuannya dengan Senopati Sindukerta dan akhirnya dia mencari keterangan ke Karang Tirta.

"Saya mencari keterangan kepada Ki Tejomoyo yang menceritakan bahwa belum lama ini Ayah Ibu menyuruh seorang pembantu untuk mencari keterangan tentang diri saya kepada KI Tejomoyo pula. Dialah yang memberi tahu kepada saya bahwa Ayah Ibu kini tinggal di dusun Singojajar, maka saya lalu pergi ke dusun itu. Di sana saya mendapat keterangan bahwa Ayah Ibu dilarikan pasukan Wura-wuri dan Ki Pakem, pembantu Ayah Ibu, terbunuh. Maka saya lalu cepat melakukan pengejaran dan kita beruntung bahwa Puspa Dewi sudah lebih dulu menolong Ayah Ibu sehingga memudahkan saya untuk menyelamatkan Ayah Ibu dari tangan mereka."

Suami isteri itu merasa kagum mendengar pengalaman anak tunggal mereka. Mereka menghaturkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi yang telah mengakhiri semua penderitaan mereka dengan pertemuan yang membahagiakan ini, apalagi mendengar bahwa Senopati Sindukerta berdua telah lama memaafkan mereka dan bahkan merindukan mereka untuk dapat berkumpul kembali di Kahuripan.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kereta dijalankan cepat dan langsung menuju Kahuripan. Ketika suami Isteri itu mengajak Nurseta singgah dulu di dusun Singojajar, pemuda ini tidak setuju, mengatakan bahwa mungkin kini pasukan Wura-wuri sudah menghadang di sana dan kalau mereka ke sana hanya akan menghadapi bahaya. Pula, mereka akan kembali ke gedung Senopati Sindukerta di mana segala kebutuhan mereka telah tersedia, maka semua harta milik mereka di Singojajar yang tidak seberapa Itu tidak perlu dibawa.

Setelah memasuki kota raja Kahuripan, Nurseta menjalankan keretanya langsung menuju gedung tempat tinggal kakeknya. Suami isteri yang berada di dalam kereta itu merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Mulut terasa kering. Ketegangan dan keharuan membuat tubuh mereka rasanya gemetar, apalagi ketika kereta memasuki halaman gedung yang luas itu. Bahkan Endang Sawitri sudah tidak dapat menahan turunnya air matanya melihat halaman gedung yang amat dikenalnya itu, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan!

Ketika Nurseta menghentikan kereta di depan pendopo, beberapa orang perajurit penjaga dan pelayan segera menyambut. Ada yang memegangi kendali kuda, dan ada pula yang segera masuk untuk melapor kepada Senopati Sepuh Sindukerta. Nurseta menggandeng ibunya yang tampak lemas, bersama ayahnya mendaki anak tangga pendopo yang luas. Lalu terdengar jerit tangis dari dalam gedung dan Senopati Sindukerta bersama isterinya tampak keluar dan berlari-lari menyambut.

"Endang.... ah, Endang anakku....!"

"Kanjeng Ibu....!" Dua orang wanita itu sudah saling tubruk, saling rangkul sambil bertangisan.

"Kanjeng Ibu.... ah, Kanjeng Ibu....!" Endang Sawitri menjerit ketika tiba-tiba ibunya terkulai lemas dalam rangkulannya. Wanita tua itu jatuh pingsan saking hebatnya guncangan hati yang bahagia dan terharu itu.

Nurseta segera memondong tubuh neneknya dan mereka semua memasuki gedung. Sebentar saja isteri Senopati Sindukerta siuman kembali dan ia menangis saking gembiranya, menciumi pu-terinya. Endang Sawitri bersama Dharmaguna lalu berlutut merangkul kaki dan menyembah kepada Senopati Sindukerta dan isterinya.

"Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, hamba Dharmaguna mohon beribu ampun telah membuat Paduka berdua mengalami kedukaan." kata Dharmaguna.

Ki Senopati dan Nyi Senopati mengangkat bangun suami Isteri itu.

"Sudahlah, sudah lama kami maafkan kalian. Kami sendiri juga merasa bersalah telah membuat kailan menderita. Untung Cucu kami Nurseta ini datang mencari kami. Kami sudah hampir putus asa untuk dapat berkumpul kembali dengan kalian."

Seluruh penghuni gedung senopaten itu, termasuk para perajurit pengawal dan para abdi, bergembira. Senopati Sindukerta bahkan mengadakan pesta sekeluarga dan para pembantu untuk menyambut kembalinya puteri dan mantu mereka. Sambil berpesta, Nurseta harus menceritakan pengalamannya ketika menemukan orang tuanya.

Kemudian Dharmaguna dan Endang Sawitri mendapat giliran menceritakan semua pengalaman mereka selama dua puluh tiga tahun menjadi orang-orang pelarian Itu. Untuk melepaskan kerinduan, mulai hari itu, Senopati Sindukerta melarang puteri, mantu, dan cucunya pergi meninggalkan dia dan isterinya. Setiap hari mereka berbincang-bincang dan tiada habisnya pengalaman yang dapat diceritakan. Nurseta sendiri baru sekali ini merasakan kebahagiaan berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya.

Ketika mendengar akan pertolongan yang diberikan Puspa Dewi kepada puteri dan mantunya, Senopati Sindukerta berkata, "Ah, gadis itu memang hebat! Bahkan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih sendiri berkenan menerimanya dan Sang Prabu Erlangga berkenan memberi hadiah patrem pusaka Sang Cundrik Arum kepada Puspa Dewi! Dan ternyata bahwa Puspa Dewi adalah puteri kandung Anakmas Senopati Muda Yudajaya, putera mantu Adi Tumenggung Jayatanu sahabat lamaku!"

"Akan tetapi, Kanjeng Rama, bukankah Puspa Dewi itu puteri Nyi Lasmi, janda yang dulu tinggal di Karang Tirta?" tanya Endang Sawitri dengan heran.

"Benar!" Senopati Sindukerta mengangguk-angguk. "Nyi Lasmi itu adalah isteri pertama Anakmas Senopati Yudajaya yang dulu entah mengapa berpisah dari suaminya. Akan tetapi belum lama ini ia sudah diboyong kembali ke Tumenggungan dimana Senopati Yudajaya tinggal bersama isterinya yang kedua, yaitu puteri Adi Tumenggung Oayatanu."

"Ah, kalau begitu-sekali waktu saya ingin mengunjungi Nyi Lasmi, karena dulu saya pernah tinggal sedusun dan mengenalnya dengan baik." kata Endang Sawitri.

Dua pekan kemudian, keinginan Endang Sawitri terkabul. Bahkan Senopati Sindukerta sendiri yang mengantar Endang Sawitri bersama suaminya, berkunjung ke gedung tumenggungan. Nurseta tidak ikut pergi karena pemuda ini selain tidak mempunyai urusan dengan keluarga Tumenggung Jayatanu, juga ingin berjalan-jalan di kota raja.

Kunjungan Senopati Sindukerta bersama anak dan mantunya menggunakan kereta itu disambut oleh sahabatnya, Tumenggung Jayatanu sekeluarga dengan gembira sekali. Memang dua orang tua Ini merupakan panglima-panglima yang setia dan besar jasanya, dan di antara mereka terdapat tali persahabatan yang karib.

"Kakang Senopati Sindukerta, selamat datang! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Andika!" sambut Tumenggung Jayatanu sambil mempersilakan tiga orang tamunya masuk ke ruangan tamu yang luas.

"Adi Tumenggung Jayatanu, aku ingin menguji kekuatan ingatan dan ketajaman pandanganmu. Nah, coba lihat siapa wanita yang kuajak datang berkunjung ini!" kata Senopati Sindukerta sambil menunjuk kepada Endang Sawitri yang tersenyum-senyum dan duduk dengan anggunnya di samping suaminya.

Tumenggung Jayatanu mengamati wajah Endang Sawitri, tampak ragu. Melihat ini, Endang Sawitri merasa kasihan dan membantu orang tua yang dulu sudah dikenalnya dengan baik sebagai sahabat karib ayahnya.

"Paman Tumenggung, benarkah Paman telah lupa kepada saya?"

Melihat senyum itu, Tumenggung Jayatanu melebarkan matanya dan menepuk dahinya. "Ah, Endang Sawitri! Bukankah engkau Endang?"

"Benar, Paman."

"Ha-ha-ha, kiranya engkau sudah pulang! Wah, Ayah Ibumu setengah mati mengharapkan engkau pulang! Syukurlah, aku merasa ikut berbahagia dengan kepulanganmu!"

"Adi Tumenggung, ini adalah mantu kami, Dharmaguna." Senopati Sindukerta memperkenalkan mantunya, Dharmaguna lalu merangkap kedua tangan ke depan hidung sebagai sembah penghormatan,

"wah, Anakmas Dharmaguna, senang dapat berkenalan dengan Andika. Andika berdua adalah orang tua yang berbahagia, mempunyai putera seperti Nurseta yang sakti mandraguna dan berjasa besar terhadap Kahuripan! Kalau begitu, sebentar, aku harus mengundang keluargaku untuk bertemu dan berkenalan dengan kalian Kami sekeluarga juga mempunyai kejutan untukmu, Kakang Senopati!"

"Benarkah?" Senopati tersenyum. Sebetulnya dia telah mendengar akan kejutan yang hendak dipamerkan sahabatnya itu, ialah bahwa Puspa Dewi yang terkenal itu adalah cucunya, walaupun hanya cucu tiri dan bahwa Ibu kandung Puspa Dewi, Nyi Lasmi, kini telah tinggal bersama keluarganya di tumenggungan itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu agar tidak mengurangi rasa bangga dan gembira sahabatnya.

Tumenggung Jayatanu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi diikuti Nyi Tumenggung, Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, yaitu Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih. Begitu saling pandang, Dyah Mularsih dan Endang saling menghampiri.

"Mbakayu Endang....!!"

"Kau.... Dyah Mularsih!" Dua orang wanita itu saling berpelukan. Dulu mereka memang menjadi sahabat baik, sungguhpun Endang Sawitri lebih tua sekitar empat tahun. Setelah saling berpelukan dan berciuman, Endang Sawitri memandang ke arah Nyi Lasmi yang juga memandangnya dengan mata dilebarkan. Mereka saling pandang, saling senyum, lalu keduanya saling menghampiri.

"Lasmi.... Andika Lasmi yang pernah tinggal di Karang Tirta?"

Nyi Lasmi tersenyum.

"Mbakayu Endang Sawitri! Tidak kusangka kita akan dapat saling bertemu di sini!" kedua orang wanita Ini saling berpegang tangan.

"Wah, kalian sudah saling mengenai?" tegur Tumenggung Jayatanu heran.

"Paman Tumenggung, Adik Lasmi ini dulu menjadi tetangga saya ketika kami sama-sama tinggal di Karang Tirta."

Ki Tumenggung Jayatanu lalu memperkenalkan mantunya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya kepada Dharamaguna dan Endang Sawitri. Kemudian dua keluarga itu bercakap-cakap diruangan dalam sambil menikmati hidangan yang disuguhkan Nyi Tumenggung.

Setelah selesai makan, Endang Sawitri mengajak Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih untuk bicara bertiga di ruangan terpisah. Nyi Tumenggung juga ikut setelah berkata sambil tertawa.

"Ai, aku pun ikut dengan kalian bertiga. Biarlah kita para wanita bicara di dalam dan para pria bercakap-cakap di sini!"

Maka masuklah mereka berempat ke dalam, sedangkan Tumenggung Jayatanu dan mantunya, Senopati Yudajaya mengajak dua orang tamunya, Senopati Sindukerta dan mantunya, Dharmaguna, bercakap-cakap di ruang tamu. Dalam percakapan yang santai dan akrab, Endang Sawitri secara ramah menyatakan pendapatnya, setelah mereka saling menceritakan tentang anak masing-masing. Lasmi bercerita tentang puterinya, Puspa Dewi, sedangkan Endang Sawitri bercerita tentang Nurseta.

"Nurseta dan Puspa Dewi juga sudah saling mengenal dengan baik. Keduanya berjasa besar terhadap Kahuripan. Keduanya sama-sama murid orang-orang sakti mandraguna. Aku sendiri bersama suamiku telah diselamatkan oleh Puspa Dewi, dan kami berterima kasih sekali. Kami berdua juga melihat betapa serasinya dua orang Anak kita itu, Adik Lasmi. Alangkah baiknya dan alangkah akan berbahagia hati kami kalau saja Anak kami Nurseta dapat dijodohkan dengan puterimu Puspa Dewi! Bagaimana pendapatmu?"

Nyi Lasmi tersenyum dan wajahnya berseri, akan tetapi ia lalu menoleh dan memandang kepada ibu mertuanya.

"Wah, Mbakayu Endang Sawitri, aku pribadi merasa senang dan setuju saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat kuputuskan sendiri. Harus lebih dulu mendapat persetujuan dari Puspa Dewi sendiri, lalu dari Ayahnya, juga tentu saja restu Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama Tumenggung!"

"Aku juga setuju!" tiba-tiba Dyah Mularsih berkata sambil tersenyum. "Kalau Anakku Puspa Dewi menjadi mantu Mbakayu Endang, berarti kita berbesan dengan Mbakayu Endang, dan ini menyenangkan sekali, Mbakayu Lasmi!"

Nyi Tumenggung berkata tenang. "Lasmi tadi berkata benar. Sebelum keputusan diambil, hal ini harus mendapat persetujuan Puspa Dewi sendiri, juga Ayahnya dan Eyangnya. Kalau aku sih menurut dan setuju saja atas pendapat suamiku."

"Terima kasih, Bibi Tumenggung! Hati saya sudah merasa bahagia sekali mendengar bahwa Paduka setuju dan kedua Adik yang menjadi Ibu Puspa Dewi ini juga setuju. Akan tetapi tentu saja harus mendapatkan persetujuan Ayah dan Eyang Puspa Dewi, terutama dari ia sendiri. Yang saya kemukakan ini pun bukan lamaran resmi, hanya menyatakan hasrat hati saya."

"Mbakayu Endang, apakah Andika sudah membicarakan hal ini kepada suami Andika dan kepada Paman Senopati Sindukerta?"

Endang Sawitri mengangguk. "Mereka juga amat setuju dengan usulku ini."

"Juga sudah disetujui Nurseta?" tanya Nyi Lasmi.

"Wah, kalau ini belum..! Aku belum mengajak Nurseta bicara tentang hal ini. Akan tetapi setelah pulang, aku akan mengajak dia bicara tentang perjodohannya."

"Sayang sekali, Puspa Dewi masih belum pulang sehingga tidak dapat kami ajak bicara tentang hal ini." kata Lasmi.

Setelah beramah-tamah, para tamu itu pulang dengan hati senang. Setelah tiba di gedung tempat tinggalnya, malam itu juga Endang Sawitri dan suaminya, Ki Dharmaguna, mengajak Ki Senopati Sindukerta dan isterinya, membicarakan tentang usul perjodohan itu dengan Nurseta. Sehabis makan malam bersama, keluarga itu lalu bercakap-cakap di ruangan dalam dan Endang Sawitri membuka percakapan tentang perjodohan itu.

"Anakku Nurseta, ingatkah engkau berapa usiamu sekarang?"

Mendengar pertanyaan Ibunya, Nurseta menatap wajah Ibunya dan tersenyum. "Kalau tidak keliru, umur saya dua puluh dua tahun, Ibu. Mengapa Ibu bertanya tentang usia?"

"Nurseta, maksud Ibumu, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun seperti engkau Ini sudah sepantasnya kalau menikah" kata Dharmaguna membantu isterinya.

"Benar sekali itu!" sambung Nyi Sindukerta. "Aku pun sudah ingin sekali menimang seorang cucu. Eyang Kakungmu juga begitu, Nurseta!"

"Ha-ha-ha!" Senopati Sindukerta tertawa. "Nurseta, sekarang engkau didesak Ayah Ibu dan Eyang puterimu. Nah, katakan, apakah engkau telah mempunyai pilihan hati, seorang gadis yang engkau ingin menjadi jodohmu?"

Nurseta tertegun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa orang-orang tua itu secara serentak mendesaknya mengenai urusan perjodohan!

"Akan tetapi.... sama sekali saya belum pernah memikirkan tentang perjodohan...!' katanya agak tergagap.

"Nah, kalau begitu sekarang engkau harus mulai memikirkan, Nurseta!" kata Endang Sawitri. "Katakanlah, siapa gadis yang hendak kau pilih? Kami yang mengajukan pinangan!"

Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak ada, Ibu. Saya belum pernah memilih, belum pernah memikirkan hal itu...."

Ketika mengatakan hal itu, dalam ingatan Nurseta terbayanglah wajah-wajah gadis yang pernah dia jumpai semenjak dia dewasa. Yang pertama adalah Puspa Dewi, yang bukan saja telah dikenalnya sejak dia remaja dan tinggal di Karang Tirta, kemudian dia berjumpa lagi dengan Puspa Dewi setelah mereka sama sama dewasa, bahkan sama-sama menjadi orang muda yang digdaya dan sama-sama pula membela Kahuripan. Kemudian dia bertemu dengan tiga orang selir Pangeran Hendratama dan terutama sekali selir termuda bernama Widarti yang tampaknya menaruh cinta kepadanya dan gadis itu kini telah tewas.

Kemudian, ketika menolong penduduk Karang Sari dan gangguan perampok, dia hendak diambil mantu Ki Lurah Warsita, Lurah Karang Sari untuk dijodohkan dengan anak gadisnya, yaitu Kartiyah yang hitam manis, namun ditolaknya. Banyak pula dia bertemu gadis gadis cantik yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan dirinya, akan tetapi selama ini dia belum pernah tertarik kepada seorang di antara mereka. Maka ketika kini ayah ibunya dan kakek neneknya mendesaknya, dia menjadi bingung.

"Nurseta, engkau mengenal Puspa Dewi, bukan?"

Nurseta menatap wajah Ibunya. "Puspa Dewi? Tentu saja, Ibu. Saya mengenalnya sejak remaja di Karang Tirta dulu."

"Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?" desak Ibunya.

"Pendapat saya mengenai apanya, Ibu?" Nurseta bertanya, belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam pertanyaan ibunya itu.

"Segalanya tentang Puspa Dewi. Kecantikannya, kedigdayaannya, wataknya." Endang Sawitri mengejar.

"Ahh.... itu? Hemm, ia seorang gadis yang cantik. Ia pun digdaya, berilmu tinggi walaupun agak ganas.... akan tetapi saya kira sekarang sudah tidak begitu ganas lagi. Dan ia gagah dan baik, berjasa besar membela Kahuripan, Ibu."

"Jadi engkau menganggap ia seorang gadis yang baik?"

"Benar, Ibu."

"Pendapatmu itu benar! Dan lebih dari itu, Puspa Dewi adalah cucu Paman Tumenggung Jayatanu yang terkenal gagah perkasa dan setia kepada Kahuripan, Ayahnya adalah Senopati Yudajaya dan Ibunya adalah Nyi Lasmi yang dulu menjadi sahabatku ketika kita tinggal di Karang Tirta. Nah, ia sungguh cocok untuk menjadi cucu mantu Eyangmu, tepat untuk menjadi mantu kami, dan serasi sekali untuk menjadi Isterimu!"

"Ah, Ibu....!" Wajah Nurseta berubah kemerahan.

Pernyataan ini sungguh terlalu tiba-tiba datangnya dan sama sekali tidak pernah diduganya, membuat dia merasa malu, sungkan, dan salah tingkah.

"Ibumu benar, Nurseta! Puspa Dewi akan merupakan seorang isterl yang cocok sekali bagimu." kata Senopati Sindukerta.

"Tidak usah malu-malu, Nurseta. Katakan bahwa engkau setuju dan kami akan segera mengajukan pinangan." kata Ki Dharmaguna.

Melihat puteranya masih menundukkan muka dan diam saja, Endang Sawitrl mendesak. "Jawablah, Nurseta, agar kami dapat segera mengajukan pinangan. Aku khawatir kalau didahului orang karena Puspa Dewi juga sudah dewasa."

"Ibu, kalau sampai pinangan ditolak, saya akan merasa malu sekali...."

"jangan khawatir! Aku sudah membicarakan dengan Nyi Lasmi, Dyah Mularsih, dan Bibi Tumenggung dan mereka bertiga setuju sekali!"

"Akan tetapi bagaimana kalau Puspa Dewi menolak? Ia seorang gadis yang cantik, pandai, bangsawan dan angkuh, sedangkan aku...."

"Hushh, jangan merendahkan diri sendiri. Engkau memiliki banyak kelebihan, Nurseta. Jadi engkau setuju kalau kami meminang Puspa Dewi untuk menjadi jodohmu?"

Nurseta dapat menangkap harapan dan hasrat yang besar dan kuat sekali dalam ucapan ibunya, dan dia melihat pula sikap ayahnya, kakek dan neneknya semua mendukung niat itu dengan sangat, maka dia merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Pula, dia harus mengakui bahwa mendapatkan jodoh seorang gadis seperti Puspa Dewi merupakan hal yang luar biasa sekali.

Tidak mudah mendapatkan gadis sehebat Puspa Dewi. Cantik jelita, sakti mandraguna, berdarah bangsawan, baik budi yang dibuktikannya bahwa ia tidak membela gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang jahat, melainkan membalik dan membela Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia memang tidak atau belum tahu apakah dia jatuh cinta kepada Puspa Dewi. Yang terasa olehnya hanyalah kekaguman terhadap gadis itu. Akan tetapi dia pun tidak tega membuat kecewa ayah ibunya dan kakek neneknya, maka dia mengangguk dan menghela napas panjang.

"Ibu, saya hanya menyerahkan keputusannya kepada Ayah Ibu dan kedua Eyang saja."

Tentu saja para orang tua itu tidak dapat menyelami perasaan Nurseta karena pemuda ini sudah mampu mengendapkan semua perasaan hatinya sehingga wajahnya tidak membayangkan perasaannya. Mereka mengira bahwa pemuda itu setuju sepenuhnya namun merasa malu untuk mengakuinya.

Akan tetapi karena mendengar bahwa Puspa Dewi belum pulang, Ki Dharmaguna dan Endang Sawitri masih menunggu. Mereka tidak akan mengajukan pinangan resmi sebelum gadis itu pulang karena mereka tahu bahwa jawaban pihak keluarga Tumenggung Jayatanu terhadap pinangan itu tergantung dari keputusan Puspa Dewi.

********************


BERSAMBUNG KE JILID 11