Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 02

Kegagalan yang dialami persekutuan para tokoh kerajaan Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Kerajaan Laut Kidul, membuat Adipati Adhamapanuda, Raja Wengker, menjadi kecewa dan kehilangan semangat untuk menentang Kahuripan. Dan untuk menghibur hatinya karena kekecewaannya itu, hampir setiap hari Sang Adipati Adhamapanuda mengadakan pesta untuk dirinya sendiri.

Permaisurinya yang cantik genit diperintahkan untuk mempersiapkan segala keperluan untuk bersenang-senang itu. Pesta itu diadakan hampir setiap malam, dengan menghidangkan bermacam-macam masakan daging bermacam hewan, bukan saja daging hewan ternak, melainkan dia memerintahkan agar dimasakkan daging binatang-binatang yang tidak umum dimakan orang.

Yang menjadi kesukaan Adipati Adhamapanuda adalah daging macan dipanggang setengah matang, bahkan lebih mentah daripada matang, dengan darah masih merah basah. Minum-minuman tuak dan arak yang memabukkan juga menjadi kegemarannya. Sambil makan minum dilayani Dewi Mayangsari, permaisuri yang cantik genit, dibantu pula oleh tujuh orang selirnya, Adipati Adhamapanuda nonton dan mendengarkan para waranggana berjoget dan bertembang.

Joget para penari di Kadipaten Wengker sungguh jauh bedanya dengan tarian para penari Kahuripan yang tariannya lembut dan sopan. Tarian para penari Wengker ini kasar dan gerakannya menggairahkan, penuh daya tarik membangkitkan berahi dengan memutar-mutar pundak, perut dan pinggul. Kalau sudah makan kenyang dan minum sampai mabok, Adipati Adhamapanuda lalu bersenang-senang dengan para selirnya.

Akan tetapi, keadaan ini amat tidak menyenangkan hati Dewi Mayangsari. Dialah yang selalu mendesak suaminya agar menentang Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Kini melihat suaminya setelah persekutuan menentang Kahuripan itu gagal lalu setiap malam bersenang-senang, sama sekali tidak ada semangat untuk menentang Kahuripan, ia menjadi kesal dan marah. Ia selalu menolak kalau suaminya mengajaknya bersenang-senang, tidak mau menanggapi kalau suaminya mengajaknya memadu kasih dalam kamarnya. Ia mewakilkan kepada para selir muda untuk melayani Sang Adipati.

Dewi Mayangsari berusia hampir tiga puluh tahun, cantik jelita dengan tubuh padat langsing, tampak jauh lebih muda. Dalam usia dua puluh tahun, ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda yang ketika itu berusia tiga puluh tujuh tahun. Sekarang ia berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Delapan tahun menjadi permaisuri Adipati Adahamapanuda dan belum mempunyai keturunan.

Dewi Mayangsari sejak kecil mendapat pendidikan aji kanuragan karena ia adalah puteri seorang tokoh warok yang sakti, yaitu Ki Surogeni yang menjadi guru para warok di Wengker. Di antara para murid itu adalah Ki Wirobento dan Wirobandrek. Akan tetapi, tingkat kepandaian Dewi Mayangsari kini jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena selama tiga tahun ia mendapat guru baru. Gurunya itu adalah Nini Bumigarbo yang di waktu mudanya bernama Ni Gayatri. Nini Bumigarbo ini seorang datuk wanita yang sakti mandraguna.

Pada suatu malam, tiga tahun lebih yang lalu, Nini Bumigarbo secara aneh tiba-tiba muncul dalam kamar Dewi Mayangsari. Tentu saja permaisuri ini terkejut bukan main. Akan tetapi segera ia mengerti bahwa nenek yang muncul secara aneh seperti setan ini adalah seorang yang amat sakti yang memilih ia menjadi murid. Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari sebagai murid dengan syarat bahwa Dewi Mayangsari harus berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan suaminya agar memerangi Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!

Setelah digembleng dengan tekun selama tiga tahun, Dewi Mayangsari menguasai ilmu-ilmu yang dahsyat, juga pandai menggunakan ilmu sihir yang menyeramkan. Nini Bumigarbo kembali mengulang pesannya agar muridnya ini berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

"Harap Kanjeng Ibu Guru tidak khawatir. Saya pasti akan memusuhi Kahuripan dan akan berusaha agar dapat membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Tanpa perintah itu pun, sejak dahulu memang Kerajaan Wengker menjadi musuh besar Kahuripan. Akan tetapi mengapa Ibu Guru menghendaki kematian mereka berdua?"

Nini Bumigarbo menghela napas panjang. "Aku menaruh dendam sakit hati kepada guru mereka, yaitu Resi Satyadharma. Karena membunuh resi yang amat sakti mandraguna itu tidak mungkin dapat kulakukan, maka aku sudah puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya itu."

"Akan tetapi Paduka memiliki kesaktian demikian tinggi, mengapa tidak Paduka bunuh saja mereka berdua itu sejak dulu?"

"Ah, kalau saja aku ada kesempatan untuk itu. Akan tetapi, tidak, Dewi Mayangsari, aku tidak dapat membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Karena itulah maka aku memilih engkau untuk mewakili aku membunuh mereka."

"Mengapa tidak dapat?"

"Itu merupakan rahasiaku. Sudahlah, jangan banyak bertanya. Engkau sudah berjanji akan membunuh mereka, dan dengan bantuan pasukan Wengker dan juga orang-orang pandai di Wengker seperti Resi Bajrasakti, Senopati Linggawijaya dan lain-lain, engkau pasti akan berhasil." Nini Bumigarbo tentu saja tidak mau menceritakan bahwa ia sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta untuk tidak membunuh raja dan patihnya itu, maka ia tidak dapat turun tangan sendiri.

Kemudian Nini Bumigarbo berpamit dan meninggalkan istana Wengker. Demikianlah mengapa Dewi Mayangsari menjadi kesal hatinya melihat suaminya agaknya tidak mau lagi menyerang Kahuripan dan kini hanya bersenang-senang saja. Kalau pasukan Wengker tidak dikerahkan untuk menyerang Kahuripan, bagaimana mungkin ia akan dapat memenuhi perintah gurunya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?

Sore itu, seperti biasa, Adipati Adhamapanuda yang berusia empat puluh lima tahun itu mulai dengan pesta poranya. Kini Dewi Mayangsari tidak lagi melayaninya makan. Sudah beberapa hari ia tidak mau ikut berpesta dengan suaminya. Bahkan sore itu ia keluar dari istana memasuki tamansari yang indah. Matahari telah condong ke barat dan Dewi Mayangsari duduk termenung di atas bangku taman.

Sinar matahari yang kemerahan mengelus wajahnya. Sepasang pipi yang berkulit halus dan putih kuning itu menjadi kemerahan oleh sinar matahari. Alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut, bibir yang mungil kemerahan itu cemberut dan sinar matanya sayu, terkadang menyinarkan kemarahan.

Hidung yang kecil mancung itu berkali-kali menarik napas panjang. Ia semakin muak dan benci kepada suaminya, Sang Adipati Adhamapanuda. Dulu ia mau menjadi isterinya karena sebagai puteri seorang warok ia menjadi permaisuri adipati, berarti naik derajatnya. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mencinta Adipati Adhamapanuda yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan tubuhnya berbulu seperti monyet, suaranya parau besar menjemukan.

Kini ia merasa kecewa, maka ia semakin muak dan benci kepada orang yang menjadi suaminya itu. Suaminya itu mulai bermalas-malasan dan setiap malam makan minum bersenang-senang dengan para selirnya setelah mendengar pelaporan Linggajaya tentang kegagalan usaha persekutuan membantu pemberontak menggulingkan Sang Prabu Erlangga.!

Sementara itu, di bagian lain dari bangunan istana itu, Linggajaya berunding dengan gurunya, Sang Resi Bajrasakti.

"Engkau benar, Linggajaya. Kerajaan Wengker harus dijadikan sebuah kerajaan yang besar dan jaya dan sekarang inilah saatnya. Aku mendukung rencanamu itu. Adipati Adhamapanuda sudah sepatutnya disingkirkan. Dia lemah dan dibawah pimpinannya, tidak dapat diharapkan Wengker akan dapat menjatuhkan Kahuripan. Rencanamu yang pertama dan kedua harus kaulaksanakan sendiri dan engkau harus berhati-hati sekali karena Dewi Mayangsari sekarang bukan seperti dulu lagi. Ingat, ia adalah murid Nini Bumigarbo, walaupun aku sendiri belum tahu ajian apa saja yang ia dapatkan dari datuk wanita itu, namun aku yakin ia tentu memiliki kepandaian tinggi sekarang. Engkau harus pandai-pandai menarik dan menguasai hatinya. Nanti pada tahap ke tiga dan terakhir, akulah yang akan membantumu dan memperkuat kedudukanmu."

"Terima kasih, Bapa Guru!" kata Linggajaya girang. "Harap jangan khawatir, rencana kita pasti berhasil."

"Sudahlah, cepat berangkat dan laksanakan!"

Sore itu, selagi Adipati Adhamapanuda mulai dengan pestanya makan minum sambil mendengarkan alunan suara pesinden dan menonton para penari bertubuh sintal memutar-mutar pinggul mereka, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya tahu bahwa Permaisuri Dewi Mayangsari tidak ikut berpesta. Dia sudah tahu bahwa permaisuri cantik itu diam-diam tidak suka dengan pesta pora yang dilakukan suaminya dan kini tengah duduk makan angin sejuk di dalam taman.

Linggajaya telah mandi sehingga tubuhnya segar, wajahnya yang tampan berseri. Dia mengenakan pakaian baru, bersolek sehingga bertambah ganteng. Pakaiannya menyiarkan bau harum cendana. Ketika memasuki taman dan melihat Sang Permaisuri duduk termenung seorang diri di atas bangku taman yang panjang sambil memandang ke arah kolam di depannya, di mana tumbuh bunga-bunga teratai merah dan putih, dan banyak ikan berwarna hitam, putih, kuning dan merah berenang hilir mudik, Linggajaya menghampiri dari belakang. Diam-diam dia berkemak-kemik membaca mantera Aji Pameletan Mimi-Mintuna.

Setelah membaca mantera, dia mengerahkan tenaganya dan meniup ke arah tubuh Dewi Mayangsari dari belakang, dalam jarak satu tombak lebih. Dewi Mayangsari yang sedang melamun merasa ada angin menghembus tengkuknya dan hidungnya mencium harum cendana. Jantungnya berdebar dan ia merasa ada sesuatu ketidak wajaran yang membuat tubuhnya terasa panas dingin dan jantungnya berdegup kencang, la lalu bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Dewi Mayangsari tidak pantas menjadi murid Nini Bumigarbo kalau ia begitu mudah tunduk oleh aji pengasihan.

Ia segera dapat menyadari bahwa pemuda tampan yang berdiri di depannya ini tentu menggunakan aji pengasihan. Ia mengerahkan tenaga batinnya dan pengaruh aji pengasihan yang membuat tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar-debar itu pun lenyap.

"Hemm, Senopati Linggawijaya. Biar digunakan seribu satu macam aji pengasihan, kalau aku menolak, siapa akan mampu memaksaku? Sebaliknya, tanpa aji pengasihan, kalau aku mau, siapa pula yang akan melarangnya?"

Wajah Linggajaya berubah kemerahan. Gurunya benar. Dia harus berhati-hati terhadap wanita ini. Jelas bahwa aji pengasihannya yang amat kuat itu dapat ditolaknya! Akan tetapi dia tidak putus asa, bahkan mendapatkan harapan baik. Bukankah permaisuri itu tadi juga mengatakan bahwa tanpa pengasihan sekalipun, kalau ia mau, siapa yang dapat melarangnya? Maka dia segera tersenyum manis dan membungkuk dengan sembah ke depan dada.

"Maafkan saya, Gusti Puteri. Kalau kehadiran saya mengganggu peristirahan Paduka, biarlah saya mengundurkan diri."

"Tidak, Linggajaya. Kebetulan engkau datang. Aku ingin mengajakmu bicara tentang Kahuripan."

"Ah, terima kasih, Gusti Puteri. Saya akan senang sekali kalau dapat menceritakan dengan jelas apa yang Paduka ingin ketahui." Setelah berkata demikian Linggajaya yang pandai mengambil hati itu lalu duduk di atas rumput di depan permaisuri. "Nah, saya siap mendengarkan dan melaksanakan semua perintah Paduka."

"Ah, engkau adalah senopati muda kami. Tidak perlu merendahkan diri seperti seorang hamba sahaya, Linggajaya. Duduklah di bangku ini agar kita dapat lebih leluasa dan enak bicara."

"Saya tidak berani, Gusti Puteri."

"Hayolah, takut apa? Aku yang memerintah mu. Bangkit dan duduk di bangku ini."

Linggajaya tidak membantah lagi lalu duduk di atas bangku, memilih di ujung sana. Tentu saja hatinya girang sekali akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegembiraan itu dan bersikap sopan dan penuh hormat kepada permaisuri yang sedang dipikatnya itu.

"Linggawijaya, bagaimana menurut pendapatmu. Apakah Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama itu benar-benar amat tangguh sehingga tidak mungkin ditalukkan?"

Linggajaya berpikir sejenak, lalu mengerutkan alisnya dan berkata, "Menurut pendapat saya, Gusti Puteri, mereka itu juga manusia-manusia biasa saja dan pasukan Kahuripan tidaklah tangguh benar sehingga mereka itu pasti dapat ditalukkan!"

Suaranya mengandung ketegasan dan keyakinan.

"Hemm, kalau begitu, Senopati Linggawijaya, mengapa pemberontakkan Pangeran Hendratama yang didukung para tokoh yang mewakili Empat Kerajaan termasuk engkau sendiri, gagal sama sekali?"

"Kegagalan itu disebakan oleh beberapa hal, Gusti Puteri. Pertama, Pangeran Hendratama itu tidak becus menghimpun laskar sehingga pasukan Kahuripan yang dapat dibujuk untuk mendukungnya hanya sedikit dan tidak setia sehingga ketika bertempur, banyak yang cepat menyerah dan melarikan diri. Kedua, di antara para wakil Empat Kerajaan ada yang berkhianat, yaitu Puspa Dewi, murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi Permaisuri Wura-wuri. Ia berkhianat dengan berbalik membela Kahuripan dan lebih dari itu, ia sengaja mengirim laporan terlambat sehingga Wura-wuri terlambat pula mengirim bantuan pasukan. Dan yang ke tiga, sungguh menggemaskan, dua orang puteri Parang Siluman itu, agaknya mereka yang telah menjadi selir-selir Sang Prabu Erlangga dan Ki patih Narotama...."

"Maksudmu Puteri Mandari dan Lasmini?"

"Benar, Gusti Puteri. Mereka itu menjemukan sekali, agaknya mereka tidak tega kepada raja dan patihnya itu, atau mungkin karena terlanjur mencinta mereka sehingga tidak melakukan usaha sungguh-sungguh, bahkan mereka melarikan diri lebih dulu kembali ke Parang Siluman. Kalau saja ketiga hal itu tidak terjadi, sudah pasti sekarang Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah dapat dibinasakan dan Kahuripan dapat ditalukkan."

"Ya, sayang sekali. Akan tetapi setelah usaha itu gagal, mengapa sama sekali tidak ada gerakan dari semua Empat Kerajaan?"

"Itulah yang membuat saya merasa jengkel dan juga menyesal, Gusti Puteri. Mereka itu mungkin ketakutan terhadap Kahuripan setelah kegagalan itu sehingga tidak ada yang perduli lagi. Bahkan ada yang bersembunyi di balik pelesir berfoya-foya, mungkin agar tidak diketahui bahwa di dalam hati, mereka itu sebenarnya ketakutan. Ah, maafkan saya, Gusti Puteri! Bukan maksud saya untuk... maksud saya... saya tidak menyinggung Gusti Adipati...."

Dewi Mayang Sari tersenyum memandang wajah pemuda itu.

"Tidak, Senopati Llnggawijaya, aku tidak menyalahkan engkau. Memang apa yang kaukatakan itu benar dan tepat sekalli cocok dengan suara hatiku. Mereka itu memang orang-orang pengecut! Termasuk Adipati Adhamapanudal. Ketahuilah Llnggawijaya, tidak ada orang yang merasa lebih penasaran lebih benci dan muak, daripada aku sendiri melihat ulah Adipati Adhamapanuda yang setiap hari hanya berpesta pora, mabok-mabokan, sedikit pun tidak mempunyai semangat untuk menentang musuh besar kita Kahuripan. Sungguh aku merasa muak dan benci sekali padanya!"

"Maaf, Gusti Puteri. Kalau Paduka tidak pernah mengeluarkan isi hati seperti itu, tentu saya tidak akan berani mengusulkan ini. Akan tetapi kalau Paduka menderita batin melihat semua foya-foya yang menyakitkan hati itu, mengapa Paduka tidak memegang sendiri kendalinya?"

"Lingga.... apa maksudmu?"

Berdebar rasa jantung Lingga jaya mendengar namanya disebut Lingga saja dan terdengar begitu mesra. Dia menatap wajah wanita itu dan sepasang matanya membayangkan kemesraan dan cinta yang jelas sekali tampak, apalagi oleh seorang wanita yang sudah hampir tiga puluh tahun usianya, sudah mengenal betul apa yang terpancar dari dalam hati pria melalui pandang matanya. Maka, permaisuri cantik itu pun segera mengetahui bahwa Sang Senopati muda ini tergila-gila kepadanya!

Hal seperti ini tidak aneh baginya karena banyak sudah laki-laki yang memandang kepadanya seperti itu! Akan tetapi selama Ini la tidak pernah melayani para pria yang tergila-gila kepadanya. Pertama karena la harus memegang kehormatannya sebagai seorang prameswari yang dimuliakan orang, ke dua karena ia tidak merasa tertarik kepada seorang pun di antara para pengagumnya Itu.

Akan tetapi kini, sejak setahun yang lalu ketika Linggajaya dibawa Resi Bajrasakti menghadap Sang Adipati, la sudah tertarik oleh ketampanan dan kegagahan pemuda itu. Bahkan la yang mengusulkan kepada suaminya untuk mengangkat Linggajaya menjadi senopati dengan nama Llnggawijaya.

Dan kini, baru sekali ini mereka duduk bercakap-cakap berdua saja, ia semakin tertarik karena terdapat persamaan perasaan dan pendapat. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang terang-terangan menyatakan kekaguman dan cinta dari pemuda itu, ia merasa jantungnya berdegup tegang.

''Maksud saya, Gusti Puteri. Kalau Paduka yang memegang kendali atau memimpin langsung Kerajaan Wengker Ini, maka kita dapat menghimpun kekuatan dan kerajaan kitalah yang akan mampu menghancurkan Kahuripan dan membinasakan Erlangga dan Narotama!"

"Kita...?" Permaisuri itu mendesak dan memandang tajam penuh selidik ke arah wajah Linggajaya.

"Ya, Paduka dan saya, kita ini. Saya akan membantu Paduka dengan setia dan saya rela berkorban nyawa untuk membantu Paduka!"

Dewi Mayangsari mulai terpikat. Linggajaya memang seorang pemuda yang ganteng dan tutur bahasanya juga lembut, sopan dan memikat. Ditambah lagi dengan sinar matanya yang mengandung daya meruntuhkan hati wanita, senyumnya yang menawan. Hati Dewi Mayangsari yang memang sedang jengkel melihat ulah suaminya, segera terpikat.

"Lingga, katakan terus terang, mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku? Mengapa? Hayo jawab, Lingga."

Pemuda itu menundukkan mukanya, tampak rikuh. "Saya.... saya tidak berani menjawab Gusti Puteri. Saya takut Paduka akan marah kepada saya."

Cuaca mulai gelap. Senja telah tua dan cuaca remang-remang, malam mulai menjelang. Ada sesuatu dalam suara pemuda itu yang menggetarkan jantung Dewi Mayangsari. Agar dapat melihat lebih jelas wajah dan sinar mata pemuda itu. Dewi Mayangsari menggeser duduknya mendekat dan la emegang sebelah tangan Linggajaya. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan keduanya merasa kehangatan yang menggairahkan menyelinap dari tangan itu ke seluruh tubuh.

Melihat pemuda Itu diam saja seolah ketakutan, Dewi Mayangsari berkata lirih. "Jangan takut, Lingga. Bagaimana aku dapat marah kepada engkau yang begini setia kepadaku? Katakan sajalah terus terang karena aku ingin sekali mengetahui. Mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku?"

"Karena.... karena saya.... hemm, maafkan saya.... sesungguhnya saya mencinta Paduka dengan seluruh jiwa raga saya!"

Pernyataan cinta itu terdengar seperti bunyi gamelan dari sorgaloka bagi telinga Dewi Mayangsari. Betapa Indahnya! Dewi Mayangsari dibakar gairah berahi yang belum pernah ia rasakan sehingga sukar dikatakan siapa yang memulai lebih dulu, akan tetapi tahu-tahu dua orang itu saling rangkul dengan mesra. Dua orang itu tenggelam dalam gelora nafsu sehingga mereka lupa segala.

Dewi Mayangsari lupa bahwa ia adalah seorang permaisuri, isteri Sang Adipati, sedangkan Linggajaya lupa bahwa dia seorang ponggawa, diangkat oleh Sang Adipati Adhamapanuda yang kini dia khianati. Selagi keduanya berasyik-masyuk seperti mabok sehingga kehilangan kewaspadaan, mereka tidak tahu kalau ada bayangan tinggi besar menghampiri mereka sampai dekat.

"Hordah!" orang bertubuh raksasa itu membentak. "Siapa Andika, berani mencuri masuk tamansari?"

Dewi Mayangsari dan Linggajaya terkejut. Buaian asmara tadi membuat mereka mabok dan lengah. Mereka mengenal suara yang membentak itu. Suara Limantoko, pengawal pribadi Adipati Adhamapanuda yang bertubuh raksasa dan memiliki tenaga sekuat gajah. Akan tetapi jagoan ini pernah dikalahkan Linggajaya ketika pemuda itu baru datang di Wengker menghadap Sang Adipati kemudian dia diuji dan dihadapkan kepada raksasa ini. Karena selagi bermesraan tadi mereka ketahuan Limantoko, maka Dewi Mayangsari berbisik kepada kekasihnya.

"Lingga, bunuh dia!"

Tanpa diperintah dua kali, Linggajaya melompat dan bagaikan seekor harimau kelaparan, dia menerkam dan menerjang pengawal pribadi Sang Adipati itu. Karena dia menyerang untuk membunuh maka dia sudah mencabut kerisnya yang luk tiga belas, yaitu keris pusaka Kyai Candalamanik pemberian Resi Bajrasakti. Serangannya demikian tiba-tiba dan cepat datangnya sehingga Limantoko tidak sempat menghindar lagi.

"Capp....!" Keris pusaka yang mengandung racun itu memasuki rongga dada Limantoko dan mengenai jantungnya.

"Auggghhh....!" Limantoko terhuyung sambil mendekap luka di dada yang mengucurkan darah. Akan tetapi selagi dia hendak berteriak, Linggajaya sudah menyusulkan sebuah tamparan Aji Siung Naga ke arah kepalanya.

"Wuuutt... prakkk" Kepala itu pecah berantakan. Tubuh Limantoko terpelanting dan dia tewas seketika.

"Bagus, Lingga." Dewi Mayangsari memuji. "Kebetulan sekali. Kelancangan Limantoko ini menguntungkan kita. Dengarkan baik-baik, Lingga. Kita harus segera lakukan Ini."

Dewi Mayangsari mendekati kekasihnya, merangkul pundaknya dan menempelkan mulutnya dekat telinga Linggajaya. Pemuda itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Kecerdikan Mayangsari membuatnya kagum. Dia mencium bibir wanita itu dan berbisik.

"Akan kulakukan semua perintahmu, Dewi. Mari kita laksanakan seperti yang kaurencanakan itu." Kini sikap dan kata-kata Linggajaya terhadap Dewi Mayangsari sudah berubah sama sekail, bukan sikap seorang bawahan terhadap atasan atau junjungannya, melainkan sikap dan kata-kata seorang laki-laki terhadap kekasihnya.

Terjadi kesibukan di malam yang gelap itu. Sang Adipati Adhamapanuda sendiri masih tenggelam ke dalam pesta poranya, makan minum sepuasnya sambil menonton para penari menggoyang pundak dan pinggul sambil bernyanyi gembira. Seperti biasa, para selir Sang Adipati, tujuh orang jumlahnya, melayani suami mereka dan ikut pula makan minum dengan gembira.

Dari permaisuri dan tujuh orang selirnya. Adipati Adhamapanuda hanya mempunyai dua orang putera yang dilahirkan dua orang selirnya. Dua orang puteranya itu bernama Rajendra dan Mahendra, berusia sepuluh dan delapan tahun. Karena dua orang kakak dan adik ini tidak mempunyai saudara lain, maka mereka akrab sekali dan tidur pun mereka minta agar sekamar.

Mereka memiliki sebuah kamar sendiri, kamar yang cukup luas dan mewah. Dan mereka ditemani seorang inang pengasuh, seorang wanita setengah tua berusia empat puluhan tahun. Pada malam hari itu, seperti biasa, Raden Rajendra dan Raden Mahendra sudah berada dalam kamar mereka. Mereka memang tidak diperbolehkan ikut hadir dalam pesta Sang Adipati Adhamapanuda. Mereka bermain-main dalam kamar ditemani Nyai Ranu, sang inang pengasuh. Suara gamelan terdengar sampai ke kamar mereka.

Seperti biasa pada malam-malam pesta yang lalu, para penghuni istana kadipaten tertarik untuk nonton pesta itu, walaupun tidak hadir di ruangan itu. Tujuan mereka tertarik untuk menonton dan mendengarkan para penari yang berjoget sambil bertembang. Karena perhatian para pelayan dan pengawal tertuju ke arah ruangan pesta, maka suasana dalam istana itu menjadi sunyi.

Tiba-tiba daun pintu kamar kedua orang pangeran muda itu terbuka dari luar. Linggajaya melompat masuk sambil membawa sebuah ruyung besar. Nyai Ranu terkejut dan menjerit. Akan tetapi hanya satu kali saja ia menjerit karena ruyung Itu telah menyambar dan terdengar suara gaduh ketika kepalanya disambar ruyung dan tubuhnya terbanting ke atas lantai, tewas seketika! Dua orang pangeran kecil itu terbelalak lalu berloncatan berdiri dengan muka pucat. Melihat pengasuh mereka roboh mandi darah, mereka lalu menjerit minta tolong.

Akan tetapi Linggajaya sudah bergerak cepat, ruyungnya menyambar-nyambar dan dua orang pangeran kecil itu pun roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Setelah itu, Linggajaya cepat keluar, menyeret mayat Limantoko, setelah berada dalam kamar dia menaruh ruyung ke dalam tangan pengawal pribadi Sang Adipati itu dan dia sendiri berdiri dengan keris pusaka Candalamanik di tangan kanan!

Jeritan-jeritan itu memancing datangnya para pengawal dan pelayan. Mereka terkejut sekali ketika memasuki kamar Pangeran. Setelah mendengar dari Linggajaya bahwa Limantoko membunuh dua Pangeran dan pengasuh mereka, para pengawal segera lari melaporkan malapetaka ini kepada Sang Adipati Adahamapanuda.

Mendengar laporan mengerikan itu, Sang Adipati dan tujuh orang selirnya berlari-lari menuju ke kamar itu. Tampak pula Sang Permaisuri Dewi Mayangsari keluar dari kamarnya dan ikut berlarian bersama mereka.

Dua orang selir Sang Adipati, ibu kandung dua orang Pangeran itu, menjerit-jerit, menubruk mayat anak-anak mereka dan meraung-raung. Para selir lain dan para pelayan wanita juga ikut menangis sehingga suasana menjadi riuh dan menyedihkan.

Sang Adipati Adhamapanuda yang setengah mabok itu berdiri dengan wajah pucat memandang ke arah mayat kedua orang puteranya, lalu kepada mayat Limantoko. Dia terhuyung akan roboh, akan tetapi Dewi Mayangsari cepat menangkap lengannya dan diajaknya suaminya itu keluar kamar. Ia menarik Sang Adipati duduk di atas bangku yang terdapat di luar kamar, lalu berteriak memanggil.

"Senopati Linggawijaya, Andika ke sinilah!" Sang Permaisuri memanggil.

Linggajaya yang sedang bercerita kepada para pengawal, cepat keluar dan menjatuhkan diri duduk bersila menghadap Sang Adipati. Akan tetapi, saking kaget dan sedihnya, Adipati Adhamapanuda tidak dapat bicara dan diam saja sambil memandang Linggajaya dengan bingung. Dewi Mayangsari yang bertanya kepada Linggajaya dengan suara lantang.

"Hei, Senopati Linggawijaya! Cepat ceritakan selengkapnya dengan jelas, apa yang telah terjadi di sini? Andika menjadi saksi tunggal, awas, jangan berbohong!"

Karena pertanyaan itu diajukan dengan suara lantang, semua orang mendengarnya dan kini mereka yang berada dalam kamar pun keluar untuk mendengarkan jawaban Senopati Linggawijaya.

Linggajaya lalu berkata dengan sikap hormat kepada Adipati Adhamapanuda.

"Maafkan hamba, Gusti Adipati dan Gusti Puteri, hamba sungguh menyesal sekali bahwa hamba terlambat dan tidak dapat menyelamatkan kedua orang Gusti Pangeran Alit (kecil) dari malapetaka yang membawa maut. Tadi hamba keluar dari kamar hamba dengan maksud menonton tarian. Akan tetapi hamba melihat berkelebatnya bayangan dan ketika hamba membayanginya, bayangan itu lenyap. Hamba menjadi curiga dan hamba kembali ke kamar untuk mengambil keris pusaka hamba. Ketika hamba keluar lagi dari kamar, hamba mendengar jeritan-jeritan dari kamar Gusti Pangeran ini, maka hamba cepat berlari ke sini. Ternyata hamba melihat Limantoko telah membunuh kedua orang Gusti Pangeran dan inang pengasuh mereka. Hamba segera menyerangnya dengan keris, lalu memukulnya dengan tangan kiri sehingga dia roboh dan tewas. Begitulah, Gusti, apa yang telah terjadi dan hamba menyesal sekali bahwa hamba terlambat menyelamatkan para Gusti Pangeran."

"Duh Jagad Dewa Bathara...!" Adipati Adhamapanuda mengeluh dengan suaranya yang biasanya besar itu menjadi semakin parau. "Mengapa Limantoko dapat melakukan kekejian ini? Padahal, sudah lama dia menjadi pengawal pribadiku yang setia. Mengapa dia lakukan ini? Apa dia sudah gila....?"

Resi Bajrasakti yang baru saja datang ke tempat itu, menghampiri Sang Adipati, menyentuh lengannya dan berkata dengan suaranya yang penuh wibawa.

"Harap Paduka tenang, Adimas Adipati. Kematian adalah hak Sang Yamadipati dan sudah ditentukan oleh para dewa. Saya dapat menduga mengapa Limantoko melakukan perbuatan ini."

"Mengapa, Kakang Resi? Mengapa dia membunuh putera-puteraku?"

"Tentu saja bukan keluar dari hatinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menguntungkan dia dengan membunuh kedua orang putera Paduka. Maka jelaslah bahwa dia pasti dipengaruhi orang lain dan siapa orang yang begitu membenci Paduka sehingga tega melakukan pembunuhan ini? Hanya ada satu orang, yaitu Sang Prabu Erlangga! Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Kahuripan, maka saya merasa yakin bahwa peristiwa ini pasti didalangi oleh Raja Kahuripan itu."

Hening sejenak. Lalu tiba-tiba Adipati Adhamapanuda mengeluarkan teriakan parau seperti seekor binatang buas terluka. "Jahanam engkau Erlangga"

Setelah berteriak seperti itu, Adipati Adhamapanuda terkulai lemas dan jatuh pingsan. Dewi Mayangsari, dibantu para selir, segera mengangkat Sang Adipati ke dalam kamarnya. Sejak saat itu, Adipati Adhamapanuda jatuh sakit. Tidak ada dukun yang dapat mengobatinya. Makin hari penyakitnya semakin parah. Dewi Mayangsari, permaisurinya, turun tangan sendiri merawat Sang Adipati siang malam. Bahkan ia tidak memperbolehkan selir-selir Sang Adipati menggantikannya merawat suami mereka. Permaisuri ini merawat suaminya dengan penuh ketekunan dan tampaknya amat mencinta Sang Adipati!

Sementara itu. ketika Adipati Adhamapanuda sakit berat, yang menggantikannya untuk sementara menangani urusan pemerintahan kadipaten adalah penasihatnya, Sang Resi. Bajrasakti dibantu Senopati Muda Linggawijaya. Dan ternyata dua orang ini dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. Bahkan mengadakan perubahan-perubahan dan perombakan, terutama sekali ditujukan untuk memperkuat Kerajaan wengker.

Menambah jumlah pasukan dengan menerima para sukarelawan, memperbesar upah para perajurit, menambah kesejahteraan mereka. Tentu saja tindakan Senopati Muda Linggawijaya itu mendapat sambutan gembira oleh pasukan Wengker dan dia memperoleh dukungan banyak pihak. Kurang lebih setengah bulan sejak terjadinya peristiwa pembunuhan itu, Sang Adipati Adhamapanuda meninggal dunia karena penyakitnya yang tak dapat disembuhkan oleh para dukun dan ahli pengobatan.

Menurut kebiasaan atau peraturan yang sudah-sudah, kematian seorang raja atau adipati biasanya disusul dengan pengangkatan seorang adipati baru yang diambil dari seorang puteranya. Akan tetapi karena dua orang putera Adipati Adhamapanuda sudah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan oleh permaisurinya, apalagi mengingat bahwa Dewi Mayangsari seorang yang sakti mandraguna.

Akan tetapi, Dewi Mayangsari secara suka rela menyerahkan kedudukan adipati kepada Linggajaya. Usul Dewi Mayangsari ini disetujui dan didukung pula oleh Sang Resi Bajrasakti. Kalau dua orang yang tadinya memang telah merupakan orang-orang yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati mendukung pengangkatan Linggajaya sebagal Adipati baru di Wengker, siapa yang berani menentang? Akhirnya semua ponggawa menyetujui pengangkatan itu dan mulai hari itu, Linggajaya dinobatkan sebagai Adipati Wengker dengan nama Sang Adipati Linggawijaya!

Penobatan sebagai adipati itu dirayakan oleh semua orang, dari para ponggawa, para perajurit dan juga rakyat Wengker. Akan tetapi malam harinya, tiga orang mengadakan pesta sendiri yang hanya dihadiri mereka bertiga. Mereka adalah adipati baru, Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti yang merasa gembira sekali. Siasat mereka berhasil dengan baik sekali. Tidak sukar bagi kita untuk menduga apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah Linggajaya dan Dewi Mayangsari membunuh Limantoko karena pengawal itu memergoki mereka bermain asmara, lalu Dewi Mayangsari dan Linggajaya melaksanakan siasat mereka yang amat kejam. Linggajaya membunuh dua orang pangeran kecil dan inang pengasuh mereka dengan menjatuhkan fitnah kepada Limantoko yang mayatnya dibawa ke kamar pangeran itu dan ruyungnya dipakai Linggajaya untuk melakukan pembunuhan.

Kemudian tiba giliran Dewi Mayangsari yang mencampurkan racun dalam minuman Adipati Adhamapanuda. Sebagai murid Nini Bumigarbo tentu saja la pandai menggunakan racun, apalagi dibantu oleh Resi Bajrasakti sehingga tidak ada seorang pun ahli pengobatan yang dapat mengetahui bahwa Sang Adipati sakit karena keracunan. Setelah Adipati Adhamapanuda tewas, giliran Resi Bajrasakti untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya sebagai penasihat adipati, untuk mendukung usul Dewi Mayangsari agar Linggajaya yang menggantikan kedudukan sebagai Adipati Wengker yang baru!

Setelah Adipati Linggawijaya menjadi penguasa Kerajaan Wengker, dia lalu mengangkat Dewi Mayangsari menjadi permaisurinya. Kenyataan itu pun tidak mengherankan karena semua orang tahu bahwa biarpun usia wanita itu sudah dua puluh delapan tahun, namun ia masih amat cantik jelita dan tampaknya tidak lebih tua daripada Sang Adipati baru. Tidak ada seorang pun, kecuali para bekas selir Adipati Adhamapanuda, yang menentang pengangkatan Dewi Mayangsari ini. Tentu saja para bekas selir itu pun tidak ada yang berani berkutik.

Sang Resi Bajrasakti tentu saja mendapat kedudukan yang terhormat, bukan saja sebagai penasihat agung, akan tetapi juga sebagai guru Sang Adipati. Tercapailah apa yang dikejar dan diinginkan tiga orang ini sehingga mereka mendapatkan kesenangan besar dalam hati mereka.

Mereka merasa senang? Mungkin, akan tetapi seperti segala macam kesenangan di dunia ini, hanya sementara saja dan biasanya tidak bertahan lama. Kesenangan sebagai buah dari pohon (perbuatan) kejahatan seringkali menjadi kutukan yang mendatangkan penderitaan. Kesenangan duniawi hanya kesenangan jasmani dan apa yang menyenangkan jasmani biasanya disusul kebosanan karena hati akal pikiran segera mengejar yang lain lagi yang dianggap akan lebih menyenangkan daripada yang sudah diperoleh dan yang mulai membosankan itu.

Kesenangan memang dapat dicari dari dikejar, didapatkan lalu mendatangkan kebosanan dan disusul pengejaran lagi kepada kesenangan yang lain. Demikian selanjutnya selama hidup. Manusia dipermainkan dan dipancing kuasa kegelapan dengan umpan berupa kesenangan dan kenikmatan, yang membuat kita mata gelap dan untuk mencapai kesenangan itu kita terjang apa saja yang menghalangi kita untuk mendapatkannya. Bahkan kita rela melakukan perbuatan sejahat apa pun.!

Padahal yang dikejar-kejar Itu hanyalah kosong dan yang lambat laun membosankan. Kalau kita sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu angkara murka ini, kita tidak dapat menikmati apa pun yang telah kita miliki dan selalu membayangkan bahwa apa yang belum kita dapatkan dan yang sedang kita kejar-kejar Itulah yang akan menyenangkan sekali!

Hidup kita ini hanya akan menjadi serangkaian kesenangan semu, disusul kebosanan lalu keinginan mengejar kesenangan lain, kebosanan lagi dan demikian selanjutnya. Pengejaran ini mendatangkan persaingan, perebutan, permusuhan, penghalalan segala cara, semakin menebalnya si-aku yang menipiskan bahkan menghilangkan kasih terhadap sesama kita serta pelanggaran terhadap larangan-larangan yang difirmankan dalam agama-agama.

Berbahagialah mereka yang dapat menerima apa pun yang mereka dapatkan, besar atau kecil, banyak atau sedikit, bahkan baik atau buruk, dengan puji syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi karena hanya mereka inilah yang dapat apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu.

Lihatlah di sana, seorang buruh petani menghadapi nasi dengan ikan asin dan sambal yang dibawa isterinya, makan dengan lahap dan lezatnya sungguh pun hampir setiap hari makannya hanya itu-itu juga, berikut sekendi ari. Dan tak jauh di sana, si pemilik sawah, menghadapi nasi dan masakan daging ayam beberapa macam, berikut minuman kopi panas dan teh kental, bersungut-sungut ketika makan, sama sekali tidak dapat menikmati makanannya, mengomel kepada isterinya, mencela makanan itu mengapa lauknya daging ayam bukan daging kambing. Si juragan ini hampir setiap hari mengomel, tidak pernah dapat menikmati apa yang dihadapinya!

Memang, syarat menikmati makanan adalah perut lapar, tubuh lelah, badan sehat. Akan tetapi yang lebih utama adalah hati akal pikiran yang tenteram dan ketenteraman itu hanya dapat dirasakan orang yang selalu berserah diri dan memanjatkan puji syukur dan terima kasih dalam hatinya kepada Sang Hyang Widhi atas semua Kasih dan Berkah yang diiimpahkan-Nya kepada kita.


*******************


cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah Puspa Dewi berada dirumah Ki Lurah Pusosaputro di dusun Karang Tirta, ia banyak duduk diam melamun keadaan dirinya dan ibunya. Ibunya, ketika ia berusia lima tahun dan diculik Nyi Dewi Durgakumala, telah menjadi seorang janda muda. Ibunya tentu saja merasa berduka dan putus asa ketika ia hilang dan akhirnya karena membutuhkan perlindungan dan hiburan, ibunya terbujuk oleh Ki Lurah Suramenggala dan menjadi selir lurah yang wataknya kejam dan jahat Itu. Kemudian, ketika Ki Suramenggala dipecat sebagai lurah oleh Ki Patih Narotama dan diusir dari Karang Tirta, Nyi Lasmi, ibunya itu, tidak mau ikut dan untuk sementara tinggal di rumah kelurahan yang kini dihuni lurah baru yang diangkat Ki Patih Narotama, yaitu Ki Lurah Pujosaputro. Berarti kini ibunya dan ia mondok di rumah Ki Pujosaputro itu.

Ia sendiri mengalami banyak hal yang saling bertentangan dengan batinnya. Sejak berusia lima tahun, ia diambil murid, bahkan kemudian diaku sebagai anak, oleh datuk wanita Nyi Dewi Durgakumala itu. Ia dilatih aji kanuragan, juga disayang oleh Nyi Dewi Durgakumala. Biarpun ia merasa benci kalau melihat gurunya itu berbuat kejam dan hina, menculik dan mempermainkan pria-pria muda, namun karena gurunya amat sayang kepadanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menegurnya. Saking sayang kepadanya, gurunya itu kadang-kadang menurut kalau ia tegur agar menghentikan perbuatannya yang jahat.

Kemudian, ibu angkat atau gurunya itu menjadi permaisuri Sang Adipati Bhismaprabawa, Raja Wura-wuri. Dengan sendirinya ia sebagai puteri permaisuri Wura-wuri, lalu menjadi Sekar Kedaton (Bunga Istana) Kerajaan Wura-wuri. Ketika Kerajaan Wura-wuri ikut pula dalam persekutuan empat kerajaan kecil berusaha membantu Pangeran Hendratama memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga, Adipati Bhismaprabawa mengangkat puteri angkatnya itu, Puspa Dewi menjadi utusan dan wakil Wura-wuri.

Sebetulnya dalam hatinya, Puspa Dewi tidak setuju dengan gerakan memusuhi Kahuripan ini, akan tetapi karena merasa berhutang budi kepada gurunya yang menganggap ia puterinya sendiri, terpaksa ia menerima tugas itu dan bergabunglah ia dengan persekutuan pemberontakan itu.

Akan tetapi, pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Patih Narotama dan Nurseta satria Karang Tirta murid mendiang Empu Dewamurti itu menambah kesadarannya bahwa dengan menjadi wakil Wura-wuri berarti ia membantu pihak yang jahat dan bersalah. Sikap dan nasihat kedua orang itu menambah kuat keyakinannya bahwa tidak semestinya ia membela Wurawuri yang bersekutu dengan kerajaan-kerajaan lain yang dipimpin dan diwakili orang-orang jahat.

Maka, dalam gerakan itu, ia membalik dan bahkan membantu pihak Kahuripan. La menyadari bahwa sebagai orang yang lahir di Karang Tirta wilayah Kahuripan, ia adalah kawula Kahuripan dan tidak semestinya ia membantu pihak jahat yang hendak memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang arif bijaksana itu.

Setelah perang usai dan persekutuan pemberontak dapat dihancurkan oleh Kahuripan, tentu saja Puspa Dewi tidak berani kembali ke Kerajaan Wura-wuri. Ia tahu bahwa Adipati Wura-wuri dan juga gurunya yang menjadi permaisuri Wurawuri pasti marah sekali kepadanya. Karena itu, setelah perang usai, ia kembali ke dusun Karang Tirta.

Bukan main lega dan girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi, ibu kandungnya kini telah melepaskan diri dari Ki Suramenggala dan ibunya mondok di rumah lurah baru yang diangkat oleh Ki Patih Narotama. Ia memang tidak suka kepada Ki Suramenggala itu, juga kepada putera sang lurah itu, ialah Linggajaya yang la kenal sebagai seorang pemuda yang berkelakuan buruk itu.

Seperti telah diceritakan terdahulu, Puspa Dewi telah berada di rumah Ki Lurah Pujosaputro dimana ibunya mondok ketika Linggajaya menyerbu kelurahan itu Puspa Dewi melawannya dan Linggajaya melarikan diri melihat ratusan orang penduduk mengancam hendak mengeroyoknya. Puspa Dewi menghela napas panjang ketika teringat akan semua itu.

Dua bulan telah lewat semenjak Linggajaya menyerbu kelurahan. Ia merasa bosan berdiam diri di rumah itu, juga merasa tidak enak. Ia dan ibunya mondok di rumah orang. Apakah ibunya tidak mempunyai keluarga? Juga keluarga dari pihak ayahnya? Ia sendiri sampai sekarang belum tahu siapa sebenarnya ayah kandungnya yang oleh ibunya dahulu dikatakan telah tiada, telah meninggal dunia.

Pasti ada keluarga, baik dari pihak ibunya ataupun dari pihak ayahnya. Jauh lebih baik menumpang di rumah keluarga sendiri daripada di rumah orang lain. Ia merasa, sungkan sekali terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga yang bersikap baik sekali.

"Dewi, mengapa engkau menghela napas?" tiba-tiba suara Ibunya yang lembut menariknya keluar dari dunia lamunannya.

"Oh, Ibu. Duduklah Ibu. Kebetulan sekali, aku ingin bercakap-cakap dengan Ibu."

Puspa Dewi menggandeng tangan Ibunya dan diajaknya duduk di atas bangku panjang yang berada di kamar mereka. Waktu itu, malam dingin memasuki kamar menembus jendela kamar Itu. Dari jendela yang terbuka, mereka duduk menghadap keluar dan dapat melihat bulan tiga perempat mengambang di langit yang cerah.

Dua orang wanita Ini mempunyai wajah yang mirip. Puspa Dewi yang berusia sekitar sembilan belas tahun itu bertubuh padat ramping, dengan kulit yang putih kuning mulus seperti kulit ibunya. Ibunya, Nyi Lasmi, juga masih cantik walaupun usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih. Bagi orang yang tidak mengenal mereka, melihat mereka duduk berduaan itu pasti mengira bahwa mereka itu kakak dan adiknya, bukan ibu dan puterinya.

"Ibu," kata Puspa Dewi dengan hati-hati dan suaranya lirih, "sejak tadi aku melamun dan memikirkan keadaan kita, Ibu. Terus terang saja, aku merasa rikuh (sungkan) sekali kepada Paman Lurah Pujosaputro dan keluarganya. Apakah kita akan mondok seperti ini terus dan merepotkan mereka?"

Nyi Lasml merangkul anaknya dan tersenyum. "Tentu saja tidak, Dewi. Kalau tadinya aku mondok di sini, itu adalah karena desakan Ki Lurah sekeluarga mengingat bahwa aku hidup seorang diri. Setelah sekarang engkau pulang, tentu saja kita akan mencari tempat tinggal lain dan tidak lagi mondok di sini menyusahkan mereka. Akan tetapi aku masih bingung, Dewi. Kemana kita harus pindah? Ketahuilah bahwa ketika melepaskan diri dari Suramenggala, aku tidak membawa apa-apa. Selama ini, sandang pangan (pakaian dan makan) dan semua keperluanku ditanggung oleh Ki Lurah sekeluarga."

Puspa Dewi menghibur Ibunya. "Untuk itu harap Ibu tidak khawatir. Aku menyimpan banyak perhiasan yang lebih dari cukup untuk membeli rumah dan pekarangan. Perhiasan itu kudapat dari Kerajaan Wura-wuri di mana aku dijadikan puteri istana. Akan tetapi, sudah kuceritakan kepada Ibu bahwa aku tidak akan kembali ke sana karena aku pasti akan ditangkap dan dihukum berat. Juga aku tidak ingin tinggal di Karang Tirta, Ibu. Aku ingin pergi bersama Ibu dan pindah ke tempat yang jauh dari sini."

"Hemm, ke manakah, Anakku?"

"Ibu, apakah Ibu tidak mempunyai saudara? Kakak atau Adik, atau Paman dan Bibi? Juga orang tua Ibu atau orang tua Ayah? Tidak mungkin kalau Ibu dan mendiang Ayahku tidak mempunyai keluarga sama sekali. Mari kita ke sana, Ibu, ke rumah keluarga ibu atau Ayah. Aku ingin mengenal keluarga orang tuaku, Ibu. Ibu, engkau mengapa?"

Puspa Dewi merangkul Ibunya ketika melihat betapa Nyi Lasmi menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Ibu, mengapa Ibu menangis?" Gadis itu merasa heran sekali, juga khawatir karena tidak biasanya Ibunya bersikap cengeng, apalagi menangis tanpa sebab. Nyi Lasmi berusaha menahan tangisnya. Puspa Dewi membantunya menghapus air matanya yang membasahi Kedua pipi Ibunya.

"Nah, tenangkanlah hatimu, Ibu. Ceritakanlah kepadaku, Ibu, agar kalau ada hal yang membuat Ibu berduka aku dapat ikut merasakannya."

Nyi Lasmi sudah dapat menghentikan tangisnya. Ia kini telah lebih tenang dan ia memegang kedua tangan puterinya seolah mencari perlindungan atau kekuatan.

"Anakku, Puspa Dewi, mendengar engkau bertanya tentang Ayah kandungmu, tentang keluarga kami, aku menjadi sedih. Maklumilah kelemahanku, Anakku, karena sejak bertahun-tahun ini aku selalu menekan perasaan ini. Sekarang, setelah engkau dewasa dan engkau menjadi seorang gadis yang sakti dan tangguh, kukira sudah tiba waktunya aku menceritakan semuanya kepadamu."

"Ceritakanlah, Ibu. Ceritakan tentang mendiang Ayahku." desak gadis itu. "Nama Ayah Prasetyo, Ibu? Nama yang bagus sekali. Tentu mendiang Ayahku seorang tampan dan gagah sekali!"

Nyi Lasmi menghela napas panjang.

"Sekarang akan kuceritakan semuanya, Dewi, tidak ada yang perlu kurahasiakan lagi. Dengarlah baik-baik. Dahulu sebagai seorang gadis berusia enam belas tahun aku tinggal di dusun Munggung, sebelah timur ibu kota Kahuripan."

"Wah, aku dapat membayangkan. Ibu tentu merupakan seorang gadis cantik jelita, menjadi kembang dusun Munggung!"

"Yaahh, kecantikan yang bagi seorang wanita terkadang lebih banyak mendatangkan godaan dan kesusahan daripada kesenangan. Aku memang dianggap sebagai kembang dusun Munggung, dan hal itulah yang mendatangkan kesengsaraan bagiku. Aku berkenalan dengan seorang perwira pasukan pengawal yang masih muda, berusia dua puluh tahun dan kami saling bertemu dan berkenalan ketika perwira itu mengawal Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan yang sedang berkunjung ke Munggung."

"Perwira itu tentu Prasetyo yang gagah!" kata Puspa Dewi.

"Engkau benar. Kami saling jatuh cinta dan setahun kemudian setelah kami berkenalan kami menikah dengan restu orang tua kami masing-masing. Aku ikut suamiku tinggal di kota raja, tinggal di rumah asrama yang disediakan Tumenggung Jayatanu untuk para perwira pasukan pengawalnya. Akan tetapi ketika aku mengandung dan kandunganku sudah delapan bulan, suamiku mengantar aku pulang ke Munggung agar kalau aku melahirkan, ada Ibuku yang merawatku"

"Dan yang Ibu kandung Itu adalah aku, bukan?"

"Benar, Anakku. Akan tetapi bersama dengan kelahiranmu yang mendatangkan kebahagiaan besar dalam hatiku, dating pula berita yang menghancurkan hatiku."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan memandang wajah .Ibunya dengan tajam penuh selidik. "Berita apakah Itu, Ibu?"

"Berita bahwa... bahwa Kakangmas Prasetyo, Ayah kandungmu itu... dia terpaksa menikah dengan Dyah Mularsih..."

"Eh...?" Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong. "Siapa itu Dyah Mularsih, Ibu?"

"Dyah, Mularsih Itu anak tunggal dari Tumenggung Jayatanu,"

"Akan tetapi, mengapa Ayah terpaksa harus menikah dengannya?"

"Karena.... diam-diam Ayahmu, Kakangmas Prasetyo itu diam-diam memadu kasih dengan gadis bangsawan itu sehingga... Dyah Mularsih mengandung."

"Ah! Mengapa Ayah begitu. Ibu?"

"Aku tidak bisa menyalahkah Ayahmu. Dia seorang laki-laki muda yang gagah dan tampan. Sebetulnya puteri tumenggung itulah yang tergila-gila kepada Ayahmu dan selalu mengejarnya. Ayahmu ketika itu masih muda, dan aku sedang mengandung... maka tidak dapat aku menyalahkan kalau dia itu jatuh dan mengadakah hubungan sehingga Dyah Mularsih mengandung. Terpaksa dia harus bertang-gungjawab dan tidak dapat menolak ketika diharuskan menikah dengan gadis itu. Aku pun ketika itu menerima kenyataan dan menyabarkan hati, tidak merasa keberatan dimadu."

"Hmm, kalau begitu tidak ada persoalan lagi. Lalu mengapa Ayah meninggal dunia dalam usia muda, Ibu?"

"Nanti dulu, Dewi, biar kulanjutkan ceritaku. Setelah menjadi mantu Tumenggung Jayatanu, tentu saja Kakangmas Prasetyo lalu diboyong dan pindah tinggal di rumah gedung Tumenggung Jayatanu. Aku merasa malu untuk ikut ke sana, Dewi. Ayahmu memang datang dan hendak memboyong kita berdua ke rumah mertuanya, akan tetapi aku menolak. Aku malu, Anakku, membayangkan bahwa aku harus mondok dirumah maduku."

"Ibu benar! Kita orang kecil dan miskin tidak perlu menyembah-nyembah dan menjilati kaki orang-orang berpangkat dan berharta! Lalu bagaimana, Ibu?"

"Penolakanku itu membuat Sang Tumenggung marah. Ketika Ayahmu datang ke rumah kita, Sang Tumenggung menyusul datang dan di depan orang tuaku dan aku, Tumenggung Jayatanu memaksa Ayahmu untuk memilih. Dia tetap menjadi perwira dan mantu Sang Tumenggung dan tinggal di katumenggungan, menceraikan aku, atau dia memilih hidup bersama aku dan tidak diaku lagi sebagai mantu Sang Tumenggung dan bercerai dari Dyah Mularsih!"

"Hemm, pilihan yang tegas dan adil juga. Lalu bagaimana, Ibu? Ayah memilih yang mana?"

"Ayahmu bingung, Dewi. Kalau dia memilih hidup bersamaku, berarti dia dipecat dari pangkatnya sebagai perwira, padahal Ayahmu berkeinginan keras untuk meningkatkan pangkatnya sampai mendapat kedudukan tinggi. Pula dia harus meninggalkan Dyah Mularsih yang sedang mengandung. Dia bingung sekali dan aku merasa kasihan kepadanya, Dewi. Aku terlalu mencinta Ayahmu dan rela berkorban. Maka aku menganjurkan dia untuk meninggalkan kita dan melanjutkan pekerjaannya di kota raja."

"Ah, Ibu....!"

"Itulah yang sebaiknya untuk Ayahmu, Dewi. Kalau dia melakukan anjuranku, berarti yang berkorban perasaan hanya aku seorang. Akan tetapi sebaliknya kalau dia memilih hidup bersamaku dan meninggalkan Dyah Mularsih dan kedudukannya, berarti yang berkorban dua orang, yaitu Dyah Mularsih dan calon anaknya yang ditinggal suami dan Ayah, juga Kakangmas Prasetyo sendiri yang selain berdosa meninggalkan anak isteri di tumenggungan, juga kehilangan kedudukannya yang baik. Aku terlalu mencinta Ayahmu, Dewi, tidak tega aku melihat dia sengsara dan berduka karena memilih hidup bersamaku."

"Aih, Ibu, engkau terlalu mulia...."

"Tidak, Dewi, aku hanya melakukan Itu karena mencinta suamiku. Nah, setelah aku mengambil keputusan bercerai dari Ayahmu, muncul malapetaka lain yang disebabkan pula oleh apa yang dinamakan kecantikan itu. Seorang laki-laki putera demang yang memang sejak dulu agaknya jatuh cinta padaku, akan tetapi niatnya memperisteri aku gagal karena aku sudah menjadi isteri Ayahmu, ketika mendengar bahwa aku telah berpisah dari Ayahmu, lalu mencoba mendekati aku. Aku menolaknya karena selain aku tidak cinta padanya, aku juga sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku tidak akan menikah lagi, akan hidup bersama engkau. Akan tetapi laki-laki itu menjadi penasaran dan hendak menggunakan paksaan. Dia datang bersama dua orang jagoannya dan hendak membawa aku dengan paksa. Ayahku melarangnya sehingga terjadi perkelahian dan tentu saja Ayahku tidak mampu melawan dua orang jagoan itu. Ayahku tertikam keris dan tewas..."

"Jahanam!" Puspa Dewi membentak dan mengepal tinju.

"Sabar dan tenanglah. Dewi, biar kulanjutkan. Setelah Ayahku roboh dan Si Darsikun, putera demang itu menyeret aku yang menggendong engkau yang baru berusia enam bulan, dibantu oleh dua orang jagoannya, hendak memaksa aku masuk ke dalam keretanya, tiba-tiba muncul Kakangmas Prasetyo."

"Ayahku....!"

"Ya, ternyata Ayahmu kadang-kadang masih menjenguk kita. Dia bahkan masih memikirkan kebutuhan kita walaupun sudah bukan menjadi suamiku yang resmi lagi. Melihat aku diseret-seret tiga orang dan Ayahku tewas ditangisi Ibuku, Kakangmas Prasetyo marah dan mengamuk. Putera Demang itu, Si Darsikun dan dua orang anak buahnya, dihajar sampai mati."

"Bagus! Aku ikut bangga, Ayah ternyata masih melindungi Ibu!"

"Akan tetapi kematian Ayahku itu membuat Ibuku berduka sekali sehingga ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia sekitar sebulan setelah Ayahku meninggal. Dan aku mendengar berita bahwa Kakangmes Prasetyo mendapat kemarahan dan teguran keras dari mertuanya. Tumenggung Jayatanu marah karena Ayahmu telah membunuh putera demang dan dua orang jagoannya itu, juga menegur aku karena pembunuhan itu dilakukan Kakangmas Prasetyo karena hendak membelaku. Aku tidak ingin menyusahkan Ayahmu, Dewi, maka setelah Ibuku meninggal aku lalu pergi meninggalkan desa Munggung. Aku tahu bahwa kalau aku masih tinggal di Munggung, tentu Kakangmas Prasetyo masih suka datang menjenguk kita dan hal ini tidak disuka oleh keluarga katumenggungan. Berarti aku akan mengganggu kebahagiaannya. Muka aku mengalah dan aku pergi meninggalkan Munggung tanpa pamit kepadanya."

"Ah, mengapa begitu, Ibu? Kasihan Ayah."

"Tidak, Dewi. Dia tadinya sudah disuruh memilih menceraikan aku atau menceraikan Dyah Mularsih. Dia memilih menceraikan aku karena berat meninggalkan kedudukannya. Dia sudah memilih dan dia harus bertanggung Jawab dan berani menanggung akibat pilihannya itu. Aku lalu pergi merantau sampai jauh dan akhirnya setelah berpindah-pindah tempat selama belasan tahun, aku dan engkau tinggal di Karang Tirta."

"Apakah Ibu tidak pergi ke keluarga yang lain. Apakah Ibu tidak mempunyai saudara?"

"Tidak, Dewi. Aku adalah anak tunggal. Selama belasan tahun aku dapat mempertahankan janjiku untuk tidak menikah lagi. Aku sudah merasa berbahagia hidup berdua denganmu dalam keadaan miskin dan seadanya. Akan tetapi kemudian terjadilah malapetaka Itu. Engkau diculik orang! Dunia terasa hancur bagiku, kebahagiaanku hilang dan aku merana, kehilangan pegangan dan bingung. Dalam keadaan seperti Itu, datang uluran tangan Ki Lurah Suramenggala yang mengalami nasib yang sama, yaitu puteranya juga diculik orang. Dialah yang menghiburku, membantuku sehingga akhirnya aku dapat terbujuk dan menjadi selirnya. Akan tetapi engkau tahu, aku tidak pernah merasa berbahagia menjadi selirnya, apalagi setelah engkau pulang dan engkau kelihatan tidak suka melihat aku menjadi selir laki-laki yang kasar dan kejam itu."

"Memang aku merasa tidak suka, Ibu. Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka aku pun tidak berani menyatakan ketidaksenanganku."

"Aku mengerti, Dewi. Kemudian engkau pergi lagi dan pada waktu engkau tidak ada, datang Ki Patih Narotama dan Ki Suramenggala dipecat oleh Ki Patih Narotama, kemudian dia diusir dari Karang Tirta. Kesempatan itu aku pergunakan untuk melepaskan diri darinya karena sebelumnya, aku tidak berani melepaskan diri. Nah, aku lalu mondok di sini, Dewi, dan keluarga Ki Pujosaputro sekeluarga menerimaku dengan baik."

"Ibu, kalau begitu.... mengapa Ayah meninggal dunia?"

"Tidak, Dewi. Setelah aku pergi meninggalkan Munggung, aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia dan tidak pernah mendengar beritanya."

"Akan tetapi Ibu.... dulu selalu mengatakan bahwa Ayahku sudah meninggal?"

"Terpaksa aku berbohong padamu, Dewi, karena tidak mungkin kita pergi ke sana menemuinya, hal Itu akan mengganggu ketenteraman hidupnya."

"Jadi... dia masih hidup?" tanya Puspa Dewi setengah berteriak.

"Aku tidak tahu, Dewi. Mungkin dia masih hidup, akan tetapi tidak perlu kita membicarakan tentang dia. Tidak perlu mengganggu dia dan jangan sampai mengganggu kebahagiaan hidupnya."

Puspa Dewi bangkit berdiri, mengerutkan alisnya dan matanya menyinarkan kemarahan.

"Ibu terlalu lemahi Ibu menyiksa diri sendiri! Ibu bodoh!" ia membentak-bentak saking penasaran dan marah kepada Ayah kandungnya.

"Dewi, Ibumu ini mencinta Ayah kandungmu dan cinta sejati memerlukan pengorbanan. Aku rela sengsara asal dia bahagia, Dewi."

"Tidak bisa! Mungkin saja Ibu begitu lemah dan bodoh. Akan tetapi apakah Ibu tidak ingat aku? Aku ini juga anaknya, anak Prasetyo itu! Apakah aku juga harus berkorban? Ibu berkorban hidup sengsara dan menyeret aku pula, sedangkan Prasetyo itu enak-enakan, hidup bersenang-senang di kota raja! Tidak benar ini, Ibu. Aku yang akan menegurnya, aku yang akan membuka matanya, menyadarkan betapa besar dosanya terhadap Ibu!"

"Dewi..!" Nyi Lasmi mengeluh dan menangis.Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar rumah.

"Puspa Dewi, atas nama Gusti Adipati Bhismaprabhawa dan Gusti Puteri Dewi Durgakumala, kami perintahkan agar Andika keluar dan menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada beliau di Kerajaan Wura-wuri!" Suara itu terdengar menggelegar karena diteriakkan dengan dorongan tenaga dalam yang kuat.

Mendengar suara ini, Puspa Dewi yang sedang marah karena cerita Ibunya, segera mendengus marah dan tubuhnya berkelebat keluar rumah.

"Dewi...!" Nyi Lasmi berseru penuh kekhawatiran lalu terhuyung-huyung mengejar keluar.

Setibanya di pekarangan depan rumah kelurahan, Puspa Dewi berhadapan dengan lima orang laki-laki. Sinar lampu yang tergantung di depan pendopo menambah terangnya sinar bulan sehingga la segera mengenal siapa lima orang itu. Tiga orang di antara mereka adalah senopati-senopati yang terkenal dari Kerajaan Wura-wuri.

Mereka terkenal dengan julukan Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka meruncing seperti muka tikus, mulutnya cemberut wajahnya keruh, pakaiannya mewah seperti pakaian bangsawan. Orang ke dua adalah Kala Manik, berusia lima puluh lima tahun, tubuhnya gendut pendek, mulutnya tersenyum-senyum mengejek, di pinggangnya tergantung sebatang klewang (semacam golok), juga pakaiannya mewah.

Orang ke tiga adalah Kala Teja berusia sekitar lima puluh tahun, kepalanya gundul, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya bengis, di pinggangnya tergantung sebatang ruyung. Tri Kala ini adalah senopati-senopati Kerajaan Wura-wuri, terkenal sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja Puspa Dewi sama sekali tidak gentar terhadap mereka.

Dulu, ketika ia ditugaskan oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya yang baru, yaitu Nyi Dewi Durgakmala yang menjadi gurunya, ia pernah diuji kedigdayaannya oleh Sang Adipati yang menyuruh Tri Kala ini menghadangnya. Dalam pertandingan itu, ia dapat mengalahkan tiga orang senopati ini. Maka, melihat mereka, Puspa Dewi memandang rendah. Akan tetapi, selain tiga orang senopati Wura-wuri ini, ada dua orang lain menyertai mereka. Dua orang yang pernah bertemu dengannya, bahkan ia sempat bertanding melawan mereka.

Puspa Dewi teringat akan pengalaman nya sekitar setahun yang lalu ketika ia membantu Nurseta yang dikeroyok oleh tiga orang, yaitu Mayang Gupita yang menjadi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul, Dibyo Mamangkoro, dan Cekel Aksomolo, dua orang datuk sesat yang sakti. Ia dan Nurseta berhasil mengalahkan dan mengusir mereka. Kini, seorang di antara dua orang yang datang bersama Tri Kala adalah satu di antara mereka itu, yaitu Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian seperti pertapa, membawa seuntai tasbeh berwarna hitam.

Tubuhnya tinggi kurus, agak bongkok dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh penasehat Kurawa dalam cerita pewayangan yang bernama Bhagawan Durna. Adapun orang ke dua belum pernah dilihatnya. Dia seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, pakaiannya juga mewah, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya cukup tampan dan gagah, matanya yang tajam itu memandang Puspa Dewi penuh gairah dan sinar matanya seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis itu, membuat Puspa Dewi mengerutkan alis dengan hati panas.

Pria gagah ini adalah Senopati Gandarwo, seorang senopati muda yang baru diangkat menjadi senopati di Wura-wuri. Biarpun dia senopati muda, namun tingkat kedigdayaannya melebihi Tri Kala! Ki Gandarwo ini adalah adik seperguruan Cekel Aksomolo, maka tentu saja dia sakti mandraguna.

Setelah diangkat menjadi senopati muda di Wura-wuri oleh Sang Adipati yang dibujuk oleh permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, Ki Gandarwo mengundang kakak seperguruannya, Cekel Aksomolo untuk berkunjung ke Wurawuri dan membantu kerajaan itu. Ki Gandarwo ini adalah seorang yang wataknya mata keranjang dan dia memang diam-diam telah menjalin hubungan asmara gelap dengan Nyi Dewi Durgakumala.

"Hemm, kiranya Tri Kala yang datang membuat ribut!" kata Puspa Dewi dan suaranya yang merdu itu mengandung ancaman yang membuat Tri Kala merasa tergetar jantungnya dan gentar. "Aku tadi mendengar ada yang hendak menangkap aku? Hemm, coba ulangi, siapa keparat yang berani hendak menangkap aku?"

"Ha-ha, akulah yang diutus Kanjeng Adipati Bhismaprabhawa dan Kanjeng Puteri Dewi Durgakumala untuk memanggil engkau menghadap beliau ke Kerajaan Wura-wuri. Andika inikah yang bernama Puspa Dewi? Wah, ternyata Andika melampaui semua gambaran yang kudapatkan. Andika jauh lebih cantik jelita daripada yang dikabarkan orang. Puteri Puspa Dewi, karena Andika adalah sekar kedaton Wura-wuri, maka kami persilakan Andika untuk bersama kami pulang ke Wura-wuri, jangan sampai kami terpaksa harus menangkap Andika."

Makin dalam kerut sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Puspa Dewi merasa sebal melihat lagak dan gaya pemuda itu. "Kamu siapakah?" bentaknya ketus.

"Ha-ha-ha, Andika belum mengenal saya? Saya adalah seorang senopati baru, Ki Gandarwo namaku, aku masih perjaka dan belum beristeri."

Puspa Dewi tidak mampu menahan kemarahannya lagi. "Jahanam busuk, mampus kamu!" Gadis itu sudah melompat dan menerjang Ki Candarwo dengan aji pukulan Guntur Geni. Tangan gadis itu tampak kemerahan seperti bara api ketika tangannya menampar ke arah kepala Ki Gandarwo.

"Haiiittt...!" bentaknya melengking.

Ki Gandarwo terkejut setengah mati ketika merasa ada hawa panas menyambar dari tangan gadis itu. Akan tetapi dia bukan orang lemah. Ki Gandarwo adalah adik seperguruan Cekel Aksomolo, maka tentu saja dia sudah memiliki aji kanuragan yang cukup tinggi. Melihat datangnya pukulan yang tidak dapat dielakkan lagi itu, dia mengangkat tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Syuuuttt... desss...."

Ki Gandarwo mengeluarkan teriakan kaget. Tubuhnya terpental dan terbanting ke atas tanah karena terdorong tenaga yang amat kuat. Untung dia memiliki kekebalan dan dengan menggulingkan tubuhnya dia menjauhkan diri agar jangan disusuli serangan selanjutnya oleh Puspa Dewi.

Puspa Dewi memang mengejar dan hendak memukul lagi. Ia amat benci kepada pemuda yang ceriwis dan banyak lagak itu dan ingin membunuhnya. Akan tetapi pada saat itu, Tri Kala dan Cekel Aksomolo sudah menghadangnya. Puspa Dewi memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata berkilat.

"Minggir atau kubunuh juga kalian!"

"Gusti Puteri," kata Kala Muka yang cemberut. "Harap paduka tidak menyusahkan kami. Kami hanya melaksanakan perintah Gusti Adipati dan Gusti Puteri, Ibu Paduka."

"Cukup! Pergilah dan jangan ganggu aku lagi!"

"Heh-heh, agaknya puteri ini hendak memberontak terhadap Kadipaten Wura-wuri!" kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

"Tri Kala Kalau aku tidak mau ikut kalian ke Wura-wuri, habis kalian mau apa?" Puspa Dewi menantang.

"Gusti Adipati memerintahkan kami untuk membawa Paduka ke Wura-wuri, baik Paduka mau atau tidak. Kalau Paduka tidak mau, terpaksa kami mempergunakan kekerasan."

"Kalian kira aku takut terhadap kalian berlima? Majulah kalian, tambah lagi kalau kurang banyak! Aku tidak akan mundur selangkah pun!"

"Wah, galaknya! He-he-hi-hik! Mari, kita gempur gadis sombong ini" kata Cekel Aksomolo sambil memutar-mutar tasbeh hitam di tangannya sehingga terdengar bunyi berkeritikan tajam menembus telinga.

Bunyi biji-biji tasbeh yang diputar ini bukan sembarangan karena dapat dipergunakan untuk menyerang lawan melalui pendengarannya. Kalau lawan yang diserang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat, dia dapat roboh hanya karena diserang suara itu. Gendang telinganya dapat pecah dan jantungnya terguncang. Dan untaian tasbeh itu pun dapat menjadi senjata ampuh, bahkan biji-biji tasbeh itu dapat menjadi senjata rahasia yang disebut Ganitri (biji tasbeh) dan dapat mengejar lawan seperti tawon-tawon yang beracun.

Kala Muka juga sudah mencabut kerisnya. Kala Manik mempersiapkan klewang dan Kala Teja meloloskan ruyungnya. Ki Gandarwo juga sudah siap siaga dengan pedangnya. Lima orang itu, dengan senjata andalan masing masing di tangan, kini perlahan-lahan bergerak mengepung Puspa Dewi.

Namun gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu sama sekali tidak takut. Ia mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat dengan suara berdesing. Ia melintangkan pedangnya depan dada, berdiri tegak dan tidak bergerak sedikit pun. Tentu saja ia tidak dapat melihat dua orang di antara lima pengeroyok itu yang mengepung di belakangnya. Akan tetapi, perasaan dan pendengaran Puspa Dewi dapat menggantikan penglihatannya...


BERSAMBUNG KE JILID 03


Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 02

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 02

Kegagalan yang dialami persekutuan para tokoh kerajaan Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Kerajaan Laut Kidul, membuat Adipati Adhamapanuda, Raja Wengker, menjadi kecewa dan kehilangan semangat untuk menentang Kahuripan. Dan untuk menghibur hatinya karena kekecewaannya itu, hampir setiap hari Sang Adipati Adhamapanuda mengadakan pesta untuk dirinya sendiri.

Permaisurinya yang cantik genit diperintahkan untuk mempersiapkan segala keperluan untuk bersenang-senang itu. Pesta itu diadakan hampir setiap malam, dengan menghidangkan bermacam-macam masakan daging bermacam hewan, bukan saja daging hewan ternak, melainkan dia memerintahkan agar dimasakkan daging binatang-binatang yang tidak umum dimakan orang.

Yang menjadi kesukaan Adipati Adhamapanuda adalah daging macan dipanggang setengah matang, bahkan lebih mentah daripada matang, dengan darah masih merah basah. Minum-minuman tuak dan arak yang memabukkan juga menjadi kegemarannya. Sambil makan minum dilayani Dewi Mayangsari, permaisuri yang cantik genit, dibantu pula oleh tujuh orang selirnya, Adipati Adhamapanuda nonton dan mendengarkan para waranggana berjoget dan bertembang.

Joget para penari di Kadipaten Wengker sungguh jauh bedanya dengan tarian para penari Kahuripan yang tariannya lembut dan sopan. Tarian para penari Wengker ini kasar dan gerakannya menggairahkan, penuh daya tarik membangkitkan berahi dengan memutar-mutar pundak, perut dan pinggul. Kalau sudah makan kenyang dan minum sampai mabok, Adipati Adhamapanuda lalu bersenang-senang dengan para selirnya.

Akan tetapi, keadaan ini amat tidak menyenangkan hati Dewi Mayangsari. Dialah yang selalu mendesak suaminya agar menentang Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Kini melihat suaminya setelah persekutuan menentang Kahuripan itu gagal lalu setiap malam bersenang-senang, sama sekali tidak ada semangat untuk menentang Kahuripan, ia menjadi kesal dan marah. Ia selalu menolak kalau suaminya mengajaknya bersenang-senang, tidak mau menanggapi kalau suaminya mengajaknya memadu kasih dalam kamarnya. Ia mewakilkan kepada para selir muda untuk melayani Sang Adipati.

Dewi Mayangsari berusia hampir tiga puluh tahun, cantik jelita dengan tubuh padat langsing, tampak jauh lebih muda. Dalam usia dua puluh tahun, ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda yang ketika itu berusia tiga puluh tujuh tahun. Sekarang ia berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Delapan tahun menjadi permaisuri Adipati Adahamapanuda dan belum mempunyai keturunan.

Dewi Mayangsari sejak kecil mendapat pendidikan aji kanuragan karena ia adalah puteri seorang tokoh warok yang sakti, yaitu Ki Surogeni yang menjadi guru para warok di Wengker. Di antara para murid itu adalah Ki Wirobento dan Wirobandrek. Akan tetapi, tingkat kepandaian Dewi Mayangsari kini jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena selama tiga tahun ia mendapat guru baru. Gurunya itu adalah Nini Bumigarbo yang di waktu mudanya bernama Ni Gayatri. Nini Bumigarbo ini seorang datuk wanita yang sakti mandraguna.

Pada suatu malam, tiga tahun lebih yang lalu, Nini Bumigarbo secara aneh tiba-tiba muncul dalam kamar Dewi Mayangsari. Tentu saja permaisuri ini terkejut bukan main. Akan tetapi segera ia mengerti bahwa nenek yang muncul secara aneh seperti setan ini adalah seorang yang amat sakti yang memilih ia menjadi murid. Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari sebagai murid dengan syarat bahwa Dewi Mayangsari harus berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan suaminya agar memerangi Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!

Setelah digembleng dengan tekun selama tiga tahun, Dewi Mayangsari menguasai ilmu-ilmu yang dahsyat, juga pandai menggunakan ilmu sihir yang menyeramkan. Nini Bumigarbo kembali mengulang pesannya agar muridnya ini berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

"Harap Kanjeng Ibu Guru tidak khawatir. Saya pasti akan memusuhi Kahuripan dan akan berusaha agar dapat membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Tanpa perintah itu pun, sejak dahulu memang Kerajaan Wengker menjadi musuh besar Kahuripan. Akan tetapi mengapa Ibu Guru menghendaki kematian mereka berdua?"

Nini Bumigarbo menghela napas panjang. "Aku menaruh dendam sakit hati kepada guru mereka, yaitu Resi Satyadharma. Karena membunuh resi yang amat sakti mandraguna itu tidak mungkin dapat kulakukan, maka aku sudah puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya itu."

"Akan tetapi Paduka memiliki kesaktian demikian tinggi, mengapa tidak Paduka bunuh saja mereka berdua itu sejak dulu?"

"Ah, kalau saja aku ada kesempatan untuk itu. Akan tetapi, tidak, Dewi Mayangsari, aku tidak dapat membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Karena itulah maka aku memilih engkau untuk mewakili aku membunuh mereka."

"Mengapa tidak dapat?"

"Itu merupakan rahasiaku. Sudahlah, jangan banyak bertanya. Engkau sudah berjanji akan membunuh mereka, dan dengan bantuan pasukan Wengker dan juga orang-orang pandai di Wengker seperti Resi Bajrasakti, Senopati Linggawijaya dan lain-lain, engkau pasti akan berhasil." Nini Bumigarbo tentu saja tidak mau menceritakan bahwa ia sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta untuk tidak membunuh raja dan patihnya itu, maka ia tidak dapat turun tangan sendiri.

Kemudian Nini Bumigarbo berpamit dan meninggalkan istana Wengker. Demikianlah mengapa Dewi Mayangsari menjadi kesal hatinya melihat suaminya agaknya tidak mau lagi menyerang Kahuripan dan kini hanya bersenang-senang saja. Kalau pasukan Wengker tidak dikerahkan untuk menyerang Kahuripan, bagaimana mungkin ia akan dapat memenuhi perintah gurunya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?

Sore itu, seperti biasa, Adipati Adhamapanuda yang berusia empat puluh lima tahun itu mulai dengan pesta poranya. Kini Dewi Mayangsari tidak lagi melayaninya makan. Sudah beberapa hari ia tidak mau ikut berpesta dengan suaminya. Bahkan sore itu ia keluar dari istana memasuki tamansari yang indah. Matahari telah condong ke barat dan Dewi Mayangsari duduk termenung di atas bangku taman.

Sinar matahari yang kemerahan mengelus wajahnya. Sepasang pipi yang berkulit halus dan putih kuning itu menjadi kemerahan oleh sinar matahari. Alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut, bibir yang mungil kemerahan itu cemberut dan sinar matanya sayu, terkadang menyinarkan kemarahan.

Hidung yang kecil mancung itu berkali-kali menarik napas panjang. Ia semakin muak dan benci kepada suaminya, Sang Adipati Adhamapanuda. Dulu ia mau menjadi isterinya karena sebagai puteri seorang warok ia menjadi permaisuri adipati, berarti naik derajatnya. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mencinta Adipati Adhamapanuda yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan tubuhnya berbulu seperti monyet, suaranya parau besar menjemukan.

Kini ia merasa kecewa, maka ia semakin muak dan benci kepada orang yang menjadi suaminya itu. Suaminya itu mulai bermalas-malasan dan setiap malam makan minum bersenang-senang dengan para selirnya setelah mendengar pelaporan Linggajaya tentang kegagalan usaha persekutuan membantu pemberontak menggulingkan Sang Prabu Erlangga.!

Sementara itu, di bagian lain dari bangunan istana itu, Linggajaya berunding dengan gurunya, Sang Resi Bajrasakti.

"Engkau benar, Linggajaya. Kerajaan Wengker harus dijadikan sebuah kerajaan yang besar dan jaya dan sekarang inilah saatnya. Aku mendukung rencanamu itu. Adipati Adhamapanuda sudah sepatutnya disingkirkan. Dia lemah dan dibawah pimpinannya, tidak dapat diharapkan Wengker akan dapat menjatuhkan Kahuripan. Rencanamu yang pertama dan kedua harus kaulaksanakan sendiri dan engkau harus berhati-hati sekali karena Dewi Mayangsari sekarang bukan seperti dulu lagi. Ingat, ia adalah murid Nini Bumigarbo, walaupun aku sendiri belum tahu ajian apa saja yang ia dapatkan dari datuk wanita itu, namun aku yakin ia tentu memiliki kepandaian tinggi sekarang. Engkau harus pandai-pandai menarik dan menguasai hatinya. Nanti pada tahap ke tiga dan terakhir, akulah yang akan membantumu dan memperkuat kedudukanmu."

"Terima kasih, Bapa Guru!" kata Linggajaya girang. "Harap jangan khawatir, rencana kita pasti berhasil."

"Sudahlah, cepat berangkat dan laksanakan!"

Sore itu, selagi Adipati Adhamapanuda mulai dengan pestanya makan minum sambil mendengarkan alunan suara pesinden dan menonton para penari bertubuh sintal memutar-mutar pinggul mereka, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya tahu bahwa Permaisuri Dewi Mayangsari tidak ikut berpesta. Dia sudah tahu bahwa permaisuri cantik itu diam-diam tidak suka dengan pesta pora yang dilakukan suaminya dan kini tengah duduk makan angin sejuk di dalam taman.

Linggajaya telah mandi sehingga tubuhnya segar, wajahnya yang tampan berseri. Dia mengenakan pakaian baru, bersolek sehingga bertambah ganteng. Pakaiannya menyiarkan bau harum cendana. Ketika memasuki taman dan melihat Sang Permaisuri duduk termenung seorang diri di atas bangku taman yang panjang sambil memandang ke arah kolam di depannya, di mana tumbuh bunga-bunga teratai merah dan putih, dan banyak ikan berwarna hitam, putih, kuning dan merah berenang hilir mudik, Linggajaya menghampiri dari belakang. Diam-diam dia berkemak-kemik membaca mantera Aji Pameletan Mimi-Mintuna.

Setelah membaca mantera, dia mengerahkan tenaganya dan meniup ke arah tubuh Dewi Mayangsari dari belakang, dalam jarak satu tombak lebih. Dewi Mayangsari yang sedang melamun merasa ada angin menghembus tengkuknya dan hidungnya mencium harum cendana. Jantungnya berdebar dan ia merasa ada sesuatu ketidak wajaran yang membuat tubuhnya terasa panas dingin dan jantungnya berdegup kencang, la lalu bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Dewi Mayangsari tidak pantas menjadi murid Nini Bumigarbo kalau ia begitu mudah tunduk oleh aji pengasihan.

Ia segera dapat menyadari bahwa pemuda tampan yang berdiri di depannya ini tentu menggunakan aji pengasihan. Ia mengerahkan tenaga batinnya dan pengaruh aji pengasihan yang membuat tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar-debar itu pun lenyap.

"Hemm, Senopati Linggawijaya. Biar digunakan seribu satu macam aji pengasihan, kalau aku menolak, siapa akan mampu memaksaku? Sebaliknya, tanpa aji pengasihan, kalau aku mau, siapa pula yang akan melarangnya?"

Wajah Linggajaya berubah kemerahan. Gurunya benar. Dia harus berhati-hati terhadap wanita ini. Jelas bahwa aji pengasihannya yang amat kuat itu dapat ditolaknya! Akan tetapi dia tidak putus asa, bahkan mendapatkan harapan baik. Bukankah permaisuri itu tadi juga mengatakan bahwa tanpa pengasihan sekalipun, kalau ia mau, siapa yang dapat melarangnya? Maka dia segera tersenyum manis dan membungkuk dengan sembah ke depan dada.

"Maafkan saya, Gusti Puteri. Kalau kehadiran saya mengganggu peristirahan Paduka, biarlah saya mengundurkan diri."

"Tidak, Linggajaya. Kebetulan engkau datang. Aku ingin mengajakmu bicara tentang Kahuripan."

"Ah, terima kasih, Gusti Puteri. Saya akan senang sekali kalau dapat menceritakan dengan jelas apa yang Paduka ingin ketahui." Setelah berkata demikian Linggajaya yang pandai mengambil hati itu lalu duduk di atas rumput di depan permaisuri. "Nah, saya siap mendengarkan dan melaksanakan semua perintah Paduka."

"Ah, engkau adalah senopati muda kami. Tidak perlu merendahkan diri seperti seorang hamba sahaya, Linggajaya. Duduklah di bangku ini agar kita dapat lebih leluasa dan enak bicara."

"Saya tidak berani, Gusti Puteri."

"Hayolah, takut apa? Aku yang memerintah mu. Bangkit dan duduk di bangku ini."

Linggajaya tidak membantah lagi lalu duduk di atas bangku, memilih di ujung sana. Tentu saja hatinya girang sekali akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegembiraan itu dan bersikap sopan dan penuh hormat kepada permaisuri yang sedang dipikatnya itu.

"Linggawijaya, bagaimana menurut pendapatmu. Apakah Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama itu benar-benar amat tangguh sehingga tidak mungkin ditalukkan?"

Linggajaya berpikir sejenak, lalu mengerutkan alisnya dan berkata, "Menurut pendapat saya, Gusti Puteri, mereka itu juga manusia-manusia biasa saja dan pasukan Kahuripan tidaklah tangguh benar sehingga mereka itu pasti dapat ditalukkan!"

Suaranya mengandung ketegasan dan keyakinan.

"Hemm, kalau begitu, Senopati Linggawijaya, mengapa pemberontakkan Pangeran Hendratama yang didukung para tokoh yang mewakili Empat Kerajaan termasuk engkau sendiri, gagal sama sekali?"

"Kegagalan itu disebakan oleh beberapa hal, Gusti Puteri. Pertama, Pangeran Hendratama itu tidak becus menghimpun laskar sehingga pasukan Kahuripan yang dapat dibujuk untuk mendukungnya hanya sedikit dan tidak setia sehingga ketika bertempur, banyak yang cepat menyerah dan melarikan diri. Kedua, di antara para wakil Empat Kerajaan ada yang berkhianat, yaitu Puspa Dewi, murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi Permaisuri Wura-wuri. Ia berkhianat dengan berbalik membela Kahuripan dan lebih dari itu, ia sengaja mengirim laporan terlambat sehingga Wura-wuri terlambat pula mengirim bantuan pasukan. Dan yang ke tiga, sungguh menggemaskan, dua orang puteri Parang Siluman itu, agaknya mereka yang telah menjadi selir-selir Sang Prabu Erlangga dan Ki patih Narotama...."

"Maksudmu Puteri Mandari dan Lasmini?"

"Benar, Gusti Puteri. Mereka itu menjemukan sekali, agaknya mereka tidak tega kepada raja dan patihnya itu, atau mungkin karena terlanjur mencinta mereka sehingga tidak melakukan usaha sungguh-sungguh, bahkan mereka melarikan diri lebih dulu kembali ke Parang Siluman. Kalau saja ketiga hal itu tidak terjadi, sudah pasti sekarang Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah dapat dibinasakan dan Kahuripan dapat ditalukkan."

"Ya, sayang sekali. Akan tetapi setelah usaha itu gagal, mengapa sama sekali tidak ada gerakan dari semua Empat Kerajaan?"

"Itulah yang membuat saya merasa jengkel dan juga menyesal, Gusti Puteri. Mereka itu mungkin ketakutan terhadap Kahuripan setelah kegagalan itu sehingga tidak ada yang perduli lagi. Bahkan ada yang bersembunyi di balik pelesir berfoya-foya, mungkin agar tidak diketahui bahwa di dalam hati, mereka itu sebenarnya ketakutan. Ah, maafkan saya, Gusti Puteri! Bukan maksud saya untuk... maksud saya... saya tidak menyinggung Gusti Adipati...."

Dewi Mayang Sari tersenyum memandang wajah pemuda itu.

"Tidak, Senopati Llnggawijaya, aku tidak menyalahkan engkau. Memang apa yang kaukatakan itu benar dan tepat sekalli cocok dengan suara hatiku. Mereka itu memang orang-orang pengecut! Termasuk Adipati Adhamapanudal. Ketahuilah Llnggawijaya, tidak ada orang yang merasa lebih penasaran lebih benci dan muak, daripada aku sendiri melihat ulah Adipati Adhamapanuda yang setiap hari hanya berpesta pora, mabok-mabokan, sedikit pun tidak mempunyai semangat untuk menentang musuh besar kita Kahuripan. Sungguh aku merasa muak dan benci sekali padanya!"

"Maaf, Gusti Puteri. Kalau Paduka tidak pernah mengeluarkan isi hati seperti itu, tentu saya tidak akan berani mengusulkan ini. Akan tetapi kalau Paduka menderita batin melihat semua foya-foya yang menyakitkan hati itu, mengapa Paduka tidak memegang sendiri kendalinya?"

"Lingga.... apa maksudmu?"

Berdebar rasa jantung Lingga jaya mendengar namanya disebut Lingga saja dan terdengar begitu mesra. Dia menatap wajah wanita itu dan sepasang matanya membayangkan kemesraan dan cinta yang jelas sekali tampak, apalagi oleh seorang wanita yang sudah hampir tiga puluh tahun usianya, sudah mengenal betul apa yang terpancar dari dalam hati pria melalui pandang matanya. Maka, permaisuri cantik itu pun segera mengetahui bahwa Sang Senopati muda ini tergila-gila kepadanya!

Hal seperti ini tidak aneh baginya karena banyak sudah laki-laki yang memandang kepadanya seperti itu! Akan tetapi selama Ini la tidak pernah melayani para pria yang tergila-gila kepadanya. Pertama karena la harus memegang kehormatannya sebagai seorang prameswari yang dimuliakan orang, ke dua karena ia tidak merasa tertarik kepada seorang pun di antara para pengagumnya Itu.

Akan tetapi kini, sejak setahun yang lalu ketika Linggajaya dibawa Resi Bajrasakti menghadap Sang Adipati, la sudah tertarik oleh ketampanan dan kegagahan pemuda itu. Bahkan la yang mengusulkan kepada suaminya untuk mengangkat Linggajaya menjadi senopati dengan nama Llnggawijaya.

Dan kini, baru sekali ini mereka duduk bercakap-cakap berdua saja, ia semakin tertarik karena terdapat persamaan perasaan dan pendapat. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang terang-terangan menyatakan kekaguman dan cinta dari pemuda itu, ia merasa jantungnya berdegup tegang.

''Maksud saya, Gusti Puteri. Kalau Paduka yang memegang kendali atau memimpin langsung Kerajaan Wengker Ini, maka kita dapat menghimpun kekuatan dan kerajaan kitalah yang akan mampu menghancurkan Kahuripan dan membinasakan Erlangga dan Narotama!"

"Kita...?" Permaisuri itu mendesak dan memandang tajam penuh selidik ke arah wajah Linggajaya.

"Ya, Paduka dan saya, kita ini. Saya akan membantu Paduka dengan setia dan saya rela berkorban nyawa untuk membantu Paduka!"

Dewi Mayangsari mulai terpikat. Linggajaya memang seorang pemuda yang ganteng dan tutur bahasanya juga lembut, sopan dan memikat. Ditambah lagi dengan sinar matanya yang mengandung daya meruntuhkan hati wanita, senyumnya yang menawan. Hati Dewi Mayangsari yang memang sedang jengkel melihat ulah suaminya, segera terpikat.

"Lingga, katakan terus terang, mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku? Mengapa? Hayo jawab, Lingga."

Pemuda itu menundukkan mukanya, tampak rikuh. "Saya.... saya tidak berani menjawab Gusti Puteri. Saya takut Paduka akan marah kepada saya."

Cuaca mulai gelap. Senja telah tua dan cuaca remang-remang, malam mulai menjelang. Ada sesuatu dalam suara pemuda itu yang menggetarkan jantung Dewi Mayangsari. Agar dapat melihat lebih jelas wajah dan sinar mata pemuda itu. Dewi Mayangsari menggeser duduknya mendekat dan la emegang sebelah tangan Linggajaya. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan keduanya merasa kehangatan yang menggairahkan menyelinap dari tangan itu ke seluruh tubuh.

Melihat pemuda Itu diam saja seolah ketakutan, Dewi Mayangsari berkata lirih. "Jangan takut, Lingga. Bagaimana aku dapat marah kepada engkau yang begini setia kepadaku? Katakan sajalah terus terang karena aku ingin sekali mengetahui. Mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku?"

"Karena.... karena saya.... hemm, maafkan saya.... sesungguhnya saya mencinta Paduka dengan seluruh jiwa raga saya!"

Pernyataan cinta itu terdengar seperti bunyi gamelan dari sorgaloka bagi telinga Dewi Mayangsari. Betapa Indahnya! Dewi Mayangsari dibakar gairah berahi yang belum pernah ia rasakan sehingga sukar dikatakan siapa yang memulai lebih dulu, akan tetapi tahu-tahu dua orang itu saling rangkul dengan mesra. Dua orang itu tenggelam dalam gelora nafsu sehingga mereka lupa segala.

Dewi Mayangsari lupa bahwa ia adalah seorang permaisuri, isteri Sang Adipati, sedangkan Linggajaya lupa bahwa dia seorang ponggawa, diangkat oleh Sang Adipati Adhamapanuda yang kini dia khianati. Selagi keduanya berasyik-masyuk seperti mabok sehingga kehilangan kewaspadaan, mereka tidak tahu kalau ada bayangan tinggi besar menghampiri mereka sampai dekat.

"Hordah!" orang bertubuh raksasa itu membentak. "Siapa Andika, berani mencuri masuk tamansari?"

Dewi Mayangsari dan Linggajaya terkejut. Buaian asmara tadi membuat mereka mabok dan lengah. Mereka mengenal suara yang membentak itu. Suara Limantoko, pengawal pribadi Adipati Adhamapanuda yang bertubuh raksasa dan memiliki tenaga sekuat gajah. Akan tetapi jagoan ini pernah dikalahkan Linggajaya ketika pemuda itu baru datang di Wengker menghadap Sang Adipati kemudian dia diuji dan dihadapkan kepada raksasa ini. Karena selagi bermesraan tadi mereka ketahuan Limantoko, maka Dewi Mayangsari berbisik kepada kekasihnya.

"Lingga, bunuh dia!"

Tanpa diperintah dua kali, Linggajaya melompat dan bagaikan seekor harimau kelaparan, dia menerkam dan menerjang pengawal pribadi Sang Adipati itu. Karena dia menyerang untuk membunuh maka dia sudah mencabut kerisnya yang luk tiga belas, yaitu keris pusaka Kyai Candalamanik pemberian Resi Bajrasakti. Serangannya demikian tiba-tiba dan cepat datangnya sehingga Limantoko tidak sempat menghindar lagi.

"Capp....!" Keris pusaka yang mengandung racun itu memasuki rongga dada Limantoko dan mengenai jantungnya.

"Auggghhh....!" Limantoko terhuyung sambil mendekap luka di dada yang mengucurkan darah. Akan tetapi selagi dia hendak berteriak, Linggajaya sudah menyusulkan sebuah tamparan Aji Siung Naga ke arah kepalanya.

"Wuuutt... prakkk" Kepala itu pecah berantakan. Tubuh Limantoko terpelanting dan dia tewas seketika.

"Bagus, Lingga." Dewi Mayangsari memuji. "Kebetulan sekali. Kelancangan Limantoko ini menguntungkan kita. Dengarkan baik-baik, Lingga. Kita harus segera lakukan Ini."

Dewi Mayangsari mendekati kekasihnya, merangkul pundaknya dan menempelkan mulutnya dekat telinga Linggajaya. Pemuda itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Kecerdikan Mayangsari membuatnya kagum. Dia mencium bibir wanita itu dan berbisik.

"Akan kulakukan semua perintahmu, Dewi. Mari kita laksanakan seperti yang kaurencanakan itu." Kini sikap dan kata-kata Linggajaya terhadap Dewi Mayangsari sudah berubah sama sekail, bukan sikap seorang bawahan terhadap atasan atau junjungannya, melainkan sikap dan kata-kata seorang laki-laki terhadap kekasihnya.

Terjadi kesibukan di malam yang gelap itu. Sang Adipati Adhamapanuda sendiri masih tenggelam ke dalam pesta poranya, makan minum sepuasnya sambil menonton para penari menggoyang pundak dan pinggul sambil bernyanyi gembira. Seperti biasa, para selir Sang Adipati, tujuh orang jumlahnya, melayani suami mereka dan ikut pula makan minum dengan gembira.

Dari permaisuri dan tujuh orang selirnya. Adipati Adhamapanuda hanya mempunyai dua orang putera yang dilahirkan dua orang selirnya. Dua orang puteranya itu bernama Rajendra dan Mahendra, berusia sepuluh dan delapan tahun. Karena dua orang kakak dan adik ini tidak mempunyai saudara lain, maka mereka akrab sekali dan tidur pun mereka minta agar sekamar.

Mereka memiliki sebuah kamar sendiri, kamar yang cukup luas dan mewah. Dan mereka ditemani seorang inang pengasuh, seorang wanita setengah tua berusia empat puluhan tahun. Pada malam hari itu, seperti biasa, Raden Rajendra dan Raden Mahendra sudah berada dalam kamar mereka. Mereka memang tidak diperbolehkan ikut hadir dalam pesta Sang Adipati Adhamapanuda. Mereka bermain-main dalam kamar ditemani Nyai Ranu, sang inang pengasuh. Suara gamelan terdengar sampai ke kamar mereka.

Seperti biasa pada malam-malam pesta yang lalu, para penghuni istana kadipaten tertarik untuk nonton pesta itu, walaupun tidak hadir di ruangan itu. Tujuan mereka tertarik untuk menonton dan mendengarkan para penari yang berjoget sambil bertembang. Karena perhatian para pelayan dan pengawal tertuju ke arah ruangan pesta, maka suasana dalam istana itu menjadi sunyi.

Tiba-tiba daun pintu kamar kedua orang pangeran muda itu terbuka dari luar. Linggajaya melompat masuk sambil membawa sebuah ruyung besar. Nyai Ranu terkejut dan menjerit. Akan tetapi hanya satu kali saja ia menjerit karena ruyung Itu telah menyambar dan terdengar suara gaduh ketika kepalanya disambar ruyung dan tubuhnya terbanting ke atas lantai, tewas seketika! Dua orang pangeran kecil itu terbelalak lalu berloncatan berdiri dengan muka pucat. Melihat pengasuh mereka roboh mandi darah, mereka lalu menjerit minta tolong.

Akan tetapi Linggajaya sudah bergerak cepat, ruyungnya menyambar-nyambar dan dua orang pangeran kecil itu pun roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Setelah itu, Linggajaya cepat keluar, menyeret mayat Limantoko, setelah berada dalam kamar dia menaruh ruyung ke dalam tangan pengawal pribadi Sang Adipati itu dan dia sendiri berdiri dengan keris pusaka Candalamanik di tangan kanan!

Jeritan-jeritan itu memancing datangnya para pengawal dan pelayan. Mereka terkejut sekali ketika memasuki kamar Pangeran. Setelah mendengar dari Linggajaya bahwa Limantoko membunuh dua Pangeran dan pengasuh mereka, para pengawal segera lari melaporkan malapetaka ini kepada Sang Adipati Adahamapanuda.

Mendengar laporan mengerikan itu, Sang Adipati dan tujuh orang selirnya berlari-lari menuju ke kamar itu. Tampak pula Sang Permaisuri Dewi Mayangsari keluar dari kamarnya dan ikut berlarian bersama mereka.

Dua orang selir Sang Adipati, ibu kandung dua orang Pangeran itu, menjerit-jerit, menubruk mayat anak-anak mereka dan meraung-raung. Para selir lain dan para pelayan wanita juga ikut menangis sehingga suasana menjadi riuh dan menyedihkan.

Sang Adipati Adhamapanuda yang setengah mabok itu berdiri dengan wajah pucat memandang ke arah mayat kedua orang puteranya, lalu kepada mayat Limantoko. Dia terhuyung akan roboh, akan tetapi Dewi Mayangsari cepat menangkap lengannya dan diajaknya suaminya itu keluar kamar. Ia menarik Sang Adipati duduk di atas bangku yang terdapat di luar kamar, lalu berteriak memanggil.

"Senopati Linggawijaya, Andika ke sinilah!" Sang Permaisuri memanggil.

Linggajaya yang sedang bercerita kepada para pengawal, cepat keluar dan menjatuhkan diri duduk bersila menghadap Sang Adipati. Akan tetapi, saking kaget dan sedihnya, Adipati Adhamapanuda tidak dapat bicara dan diam saja sambil memandang Linggajaya dengan bingung. Dewi Mayangsari yang bertanya kepada Linggajaya dengan suara lantang.

"Hei, Senopati Linggawijaya! Cepat ceritakan selengkapnya dengan jelas, apa yang telah terjadi di sini? Andika menjadi saksi tunggal, awas, jangan berbohong!"

Karena pertanyaan itu diajukan dengan suara lantang, semua orang mendengarnya dan kini mereka yang berada dalam kamar pun keluar untuk mendengarkan jawaban Senopati Linggawijaya.

Linggajaya lalu berkata dengan sikap hormat kepada Adipati Adhamapanuda.

"Maafkan hamba, Gusti Adipati dan Gusti Puteri, hamba sungguh menyesal sekali bahwa hamba terlambat dan tidak dapat menyelamatkan kedua orang Gusti Pangeran Alit (kecil) dari malapetaka yang membawa maut. Tadi hamba keluar dari kamar hamba dengan maksud menonton tarian. Akan tetapi hamba melihat berkelebatnya bayangan dan ketika hamba membayanginya, bayangan itu lenyap. Hamba menjadi curiga dan hamba kembali ke kamar untuk mengambil keris pusaka hamba. Ketika hamba keluar lagi dari kamar, hamba mendengar jeritan-jeritan dari kamar Gusti Pangeran ini, maka hamba cepat berlari ke sini. Ternyata hamba melihat Limantoko telah membunuh kedua orang Gusti Pangeran dan inang pengasuh mereka. Hamba segera menyerangnya dengan keris, lalu memukulnya dengan tangan kiri sehingga dia roboh dan tewas. Begitulah, Gusti, apa yang telah terjadi dan hamba menyesal sekali bahwa hamba terlambat menyelamatkan para Gusti Pangeran."

"Duh Jagad Dewa Bathara...!" Adipati Adhamapanuda mengeluh dengan suaranya yang biasanya besar itu menjadi semakin parau. "Mengapa Limantoko dapat melakukan kekejian ini? Padahal, sudah lama dia menjadi pengawal pribadiku yang setia. Mengapa dia lakukan ini? Apa dia sudah gila....?"

Resi Bajrasakti yang baru saja datang ke tempat itu, menghampiri Sang Adipati, menyentuh lengannya dan berkata dengan suaranya yang penuh wibawa.

"Harap Paduka tenang, Adimas Adipati. Kematian adalah hak Sang Yamadipati dan sudah ditentukan oleh para dewa. Saya dapat menduga mengapa Limantoko melakukan perbuatan ini."

"Mengapa, Kakang Resi? Mengapa dia membunuh putera-puteraku?"

"Tentu saja bukan keluar dari hatinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menguntungkan dia dengan membunuh kedua orang putera Paduka. Maka jelaslah bahwa dia pasti dipengaruhi orang lain dan siapa orang yang begitu membenci Paduka sehingga tega melakukan pembunuhan ini? Hanya ada satu orang, yaitu Sang Prabu Erlangga! Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Kahuripan, maka saya merasa yakin bahwa peristiwa ini pasti didalangi oleh Raja Kahuripan itu."

Hening sejenak. Lalu tiba-tiba Adipati Adhamapanuda mengeluarkan teriakan parau seperti seekor binatang buas terluka. "Jahanam engkau Erlangga"

Setelah berteriak seperti itu, Adipati Adhamapanuda terkulai lemas dan jatuh pingsan. Dewi Mayangsari, dibantu para selir, segera mengangkat Sang Adipati ke dalam kamarnya. Sejak saat itu, Adipati Adhamapanuda jatuh sakit. Tidak ada dukun yang dapat mengobatinya. Makin hari penyakitnya semakin parah. Dewi Mayangsari, permaisurinya, turun tangan sendiri merawat Sang Adipati siang malam. Bahkan ia tidak memperbolehkan selir-selir Sang Adipati menggantikannya merawat suami mereka. Permaisuri ini merawat suaminya dengan penuh ketekunan dan tampaknya amat mencinta Sang Adipati!

Sementara itu. ketika Adipati Adhamapanuda sakit berat, yang menggantikannya untuk sementara menangani urusan pemerintahan kadipaten adalah penasihatnya, Sang Resi. Bajrasakti dibantu Senopati Muda Linggawijaya. Dan ternyata dua orang ini dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. Bahkan mengadakan perubahan-perubahan dan perombakan, terutama sekali ditujukan untuk memperkuat Kerajaan wengker.

Menambah jumlah pasukan dengan menerima para sukarelawan, memperbesar upah para perajurit, menambah kesejahteraan mereka. Tentu saja tindakan Senopati Muda Linggawijaya itu mendapat sambutan gembira oleh pasukan Wengker dan dia memperoleh dukungan banyak pihak. Kurang lebih setengah bulan sejak terjadinya peristiwa pembunuhan itu, Sang Adipati Adhamapanuda meninggal dunia karena penyakitnya yang tak dapat disembuhkan oleh para dukun dan ahli pengobatan.

Menurut kebiasaan atau peraturan yang sudah-sudah, kematian seorang raja atau adipati biasanya disusul dengan pengangkatan seorang adipati baru yang diambil dari seorang puteranya. Akan tetapi karena dua orang putera Adipati Adhamapanuda sudah meninggal dunia, maka kedudukannya dapat digantikan oleh permaisurinya, apalagi mengingat bahwa Dewi Mayangsari seorang yang sakti mandraguna.

Akan tetapi, Dewi Mayangsari secara suka rela menyerahkan kedudukan adipati kepada Linggajaya. Usul Dewi Mayangsari ini disetujui dan didukung pula oleh Sang Resi Bajrasakti. Kalau dua orang yang tadinya memang telah merupakan orang-orang yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati mendukung pengangkatan Linggajaya sebagal Adipati baru di Wengker, siapa yang berani menentang? Akhirnya semua ponggawa menyetujui pengangkatan itu dan mulai hari itu, Linggajaya dinobatkan sebagai Adipati Wengker dengan nama Sang Adipati Linggawijaya!

Penobatan sebagai adipati itu dirayakan oleh semua orang, dari para ponggawa, para perajurit dan juga rakyat Wengker. Akan tetapi malam harinya, tiga orang mengadakan pesta sendiri yang hanya dihadiri mereka bertiga. Mereka adalah adipati baru, Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti yang merasa gembira sekali. Siasat mereka berhasil dengan baik sekali. Tidak sukar bagi kita untuk menduga apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah Linggajaya dan Dewi Mayangsari membunuh Limantoko karena pengawal itu memergoki mereka bermain asmara, lalu Dewi Mayangsari dan Linggajaya melaksanakan siasat mereka yang amat kejam. Linggajaya membunuh dua orang pangeran kecil dan inang pengasuh mereka dengan menjatuhkan fitnah kepada Limantoko yang mayatnya dibawa ke kamar pangeran itu dan ruyungnya dipakai Linggajaya untuk melakukan pembunuhan.

Kemudian tiba giliran Dewi Mayangsari yang mencampurkan racun dalam minuman Adipati Adhamapanuda. Sebagai murid Nini Bumigarbo tentu saja la pandai menggunakan racun, apalagi dibantu oleh Resi Bajrasakti sehingga tidak ada seorang pun ahli pengobatan yang dapat mengetahui bahwa Sang Adipati sakit karena keracunan. Setelah Adipati Adhamapanuda tewas, giliran Resi Bajrasakti untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya sebagai penasihat adipati, untuk mendukung usul Dewi Mayangsari agar Linggajaya yang menggantikan kedudukan sebagai Adipati Wengker yang baru!

Setelah Adipati Linggawijaya menjadi penguasa Kerajaan Wengker, dia lalu mengangkat Dewi Mayangsari menjadi permaisurinya. Kenyataan itu pun tidak mengherankan karena semua orang tahu bahwa biarpun usia wanita itu sudah dua puluh delapan tahun, namun ia masih amat cantik jelita dan tampaknya tidak lebih tua daripada Sang Adipati baru. Tidak ada seorang pun, kecuali para bekas selir Adipati Adhamapanuda, yang menentang pengangkatan Dewi Mayangsari ini. Tentu saja para bekas selir itu pun tidak ada yang berani berkutik.

Sang Resi Bajrasakti tentu saja mendapat kedudukan yang terhormat, bukan saja sebagai penasihat agung, akan tetapi juga sebagai guru Sang Adipati. Tercapailah apa yang dikejar dan diinginkan tiga orang ini sehingga mereka mendapatkan kesenangan besar dalam hati mereka.

Mereka merasa senang? Mungkin, akan tetapi seperti segala macam kesenangan di dunia ini, hanya sementara saja dan biasanya tidak bertahan lama. Kesenangan sebagai buah dari pohon (perbuatan) kejahatan seringkali menjadi kutukan yang mendatangkan penderitaan. Kesenangan duniawi hanya kesenangan jasmani dan apa yang menyenangkan jasmani biasanya disusul kebosanan karena hati akal pikiran segera mengejar yang lain lagi yang dianggap akan lebih menyenangkan daripada yang sudah diperoleh dan yang mulai membosankan itu.

Kesenangan memang dapat dicari dari dikejar, didapatkan lalu mendatangkan kebosanan dan disusul pengejaran lagi kepada kesenangan yang lain. Demikian selanjutnya selama hidup. Manusia dipermainkan dan dipancing kuasa kegelapan dengan umpan berupa kesenangan dan kenikmatan, yang membuat kita mata gelap dan untuk mencapai kesenangan itu kita terjang apa saja yang menghalangi kita untuk mendapatkannya. Bahkan kita rela melakukan perbuatan sejahat apa pun.!

Padahal yang dikejar-kejar Itu hanyalah kosong dan yang lambat laun membosankan. Kalau kita sudah dicengkeram dan dikuasai nafsu angkara murka ini, kita tidak dapat menikmati apa pun yang telah kita miliki dan selalu membayangkan bahwa apa yang belum kita dapatkan dan yang sedang kita kejar-kejar Itulah yang akan menyenangkan sekali!

Hidup kita ini hanya akan menjadi serangkaian kesenangan semu, disusul kebosanan lalu keinginan mengejar kesenangan lain, kebosanan lagi dan demikian selanjutnya. Pengejaran ini mendatangkan persaingan, perebutan, permusuhan, penghalalan segala cara, semakin menebalnya si-aku yang menipiskan bahkan menghilangkan kasih terhadap sesama kita serta pelanggaran terhadap larangan-larangan yang difirmankan dalam agama-agama.

Berbahagialah mereka yang dapat menerima apa pun yang mereka dapatkan, besar atau kecil, banyak atau sedikit, bahkan baik atau buruk, dengan puji syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi karena hanya mereka inilah yang dapat apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu.

Lihatlah di sana, seorang buruh petani menghadapi nasi dengan ikan asin dan sambal yang dibawa isterinya, makan dengan lahap dan lezatnya sungguh pun hampir setiap hari makannya hanya itu-itu juga, berikut sekendi ari. Dan tak jauh di sana, si pemilik sawah, menghadapi nasi dan masakan daging ayam beberapa macam, berikut minuman kopi panas dan teh kental, bersungut-sungut ketika makan, sama sekali tidak dapat menikmati makanannya, mengomel kepada isterinya, mencela makanan itu mengapa lauknya daging ayam bukan daging kambing. Si juragan ini hampir setiap hari mengomel, tidak pernah dapat menikmati apa yang dihadapinya!

Memang, syarat menikmati makanan adalah perut lapar, tubuh lelah, badan sehat. Akan tetapi yang lebih utama adalah hati akal pikiran yang tenteram dan ketenteraman itu hanya dapat dirasakan orang yang selalu berserah diri dan memanjatkan puji syukur dan terima kasih dalam hatinya kepada Sang Hyang Widhi atas semua Kasih dan Berkah yang diiimpahkan-Nya kepada kita.


*******************


cerita silat online karya kho ping hoo

Setelah Puspa Dewi berada dirumah Ki Lurah Pusosaputro di dusun Karang Tirta, ia banyak duduk diam melamun keadaan dirinya dan ibunya. Ibunya, ketika ia berusia lima tahun dan diculik Nyi Dewi Durgakumala, telah menjadi seorang janda muda. Ibunya tentu saja merasa berduka dan putus asa ketika ia hilang dan akhirnya karena membutuhkan perlindungan dan hiburan, ibunya terbujuk oleh Ki Lurah Suramenggala dan menjadi selir lurah yang wataknya kejam dan jahat Itu. Kemudian, ketika Ki Suramenggala dipecat sebagai lurah oleh Ki Patih Narotama dan diusir dari Karang Tirta, Nyi Lasmi, ibunya itu, tidak mau ikut dan untuk sementara tinggal di rumah kelurahan yang kini dihuni lurah baru yang diangkat Ki Patih Narotama, yaitu Ki Lurah Pujosaputro. Berarti kini ibunya dan ia mondok di rumah Ki Pujosaputro itu.

Ia sendiri mengalami banyak hal yang saling bertentangan dengan batinnya. Sejak berusia lima tahun, ia diambil murid, bahkan kemudian diaku sebagai anak, oleh datuk wanita Nyi Dewi Durgakumala itu. Ia dilatih aji kanuragan, juga disayang oleh Nyi Dewi Durgakumala. Biarpun ia merasa benci kalau melihat gurunya itu berbuat kejam dan hina, menculik dan mempermainkan pria-pria muda, namun karena gurunya amat sayang kepadanya, ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menegurnya. Saking sayang kepadanya, gurunya itu kadang-kadang menurut kalau ia tegur agar menghentikan perbuatannya yang jahat.

Kemudian, ibu angkat atau gurunya itu menjadi permaisuri Sang Adipati Bhismaprabawa, Raja Wura-wuri. Dengan sendirinya ia sebagai puteri permaisuri Wura-wuri, lalu menjadi Sekar Kedaton (Bunga Istana) Kerajaan Wura-wuri. Ketika Kerajaan Wura-wuri ikut pula dalam persekutuan empat kerajaan kecil berusaha membantu Pangeran Hendratama memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga, Adipati Bhismaprabawa mengangkat puteri angkatnya itu, Puspa Dewi menjadi utusan dan wakil Wura-wuri.

Sebetulnya dalam hatinya, Puspa Dewi tidak setuju dengan gerakan memusuhi Kahuripan ini, akan tetapi karena merasa berhutang budi kepada gurunya yang menganggap ia puterinya sendiri, terpaksa ia menerima tugas itu dan bergabunglah ia dengan persekutuan pemberontakan itu.

Akan tetapi, pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Patih Narotama dan Nurseta satria Karang Tirta murid mendiang Empu Dewamurti itu menambah kesadarannya bahwa dengan menjadi wakil Wura-wuri berarti ia membantu pihak yang jahat dan bersalah. Sikap dan nasihat kedua orang itu menambah kuat keyakinannya bahwa tidak semestinya ia membela Wurawuri yang bersekutu dengan kerajaan-kerajaan lain yang dipimpin dan diwakili orang-orang jahat.

Maka, dalam gerakan itu, ia membalik dan bahkan membantu pihak Kahuripan. La menyadari bahwa sebagai orang yang lahir di Karang Tirta wilayah Kahuripan, ia adalah kawula Kahuripan dan tidak semestinya ia membantu pihak jahat yang hendak memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang arif bijaksana itu.

Setelah perang usai dan persekutuan pemberontak dapat dihancurkan oleh Kahuripan, tentu saja Puspa Dewi tidak berani kembali ke Kerajaan Wura-wuri. Ia tahu bahwa Adipati Wura-wuri dan juga gurunya yang menjadi permaisuri Wurawuri pasti marah sekali kepadanya. Karena itu, setelah perang usai, ia kembali ke dusun Karang Tirta.

Bukan main lega dan girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi, ibu kandungnya kini telah melepaskan diri dari Ki Suramenggala dan ibunya mondok di rumah lurah baru yang diangkat oleh Ki Patih Narotama. Ia memang tidak suka kepada Ki Suramenggala itu, juga kepada putera sang lurah itu, ialah Linggajaya yang la kenal sebagai seorang pemuda yang berkelakuan buruk itu.

Seperti telah diceritakan terdahulu, Puspa Dewi telah berada di rumah Ki Lurah Pujosaputro dimana ibunya mondok ketika Linggajaya menyerbu kelurahan itu Puspa Dewi melawannya dan Linggajaya melarikan diri melihat ratusan orang penduduk mengancam hendak mengeroyoknya. Puspa Dewi menghela napas panjang ketika teringat akan semua itu.

Dua bulan telah lewat semenjak Linggajaya menyerbu kelurahan. Ia merasa bosan berdiam diri di rumah itu, juga merasa tidak enak. Ia dan ibunya mondok di rumah orang. Apakah ibunya tidak mempunyai keluarga? Juga keluarga dari pihak ayahnya? Ia sendiri sampai sekarang belum tahu siapa sebenarnya ayah kandungnya yang oleh ibunya dahulu dikatakan telah tiada, telah meninggal dunia.

Pasti ada keluarga, baik dari pihak ibunya ataupun dari pihak ayahnya. Jauh lebih baik menumpang di rumah keluarga sendiri daripada di rumah orang lain. Ia merasa, sungkan sekali terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga yang bersikap baik sekali.

"Dewi, mengapa engkau menghela napas?" tiba-tiba suara Ibunya yang lembut menariknya keluar dari dunia lamunannya.

"Oh, Ibu. Duduklah Ibu. Kebetulan sekali, aku ingin bercakap-cakap dengan Ibu."

Puspa Dewi menggandeng tangan Ibunya dan diajaknya duduk di atas bangku panjang yang berada di kamar mereka. Waktu itu, malam dingin memasuki kamar menembus jendela kamar Itu. Dari jendela yang terbuka, mereka duduk menghadap keluar dan dapat melihat bulan tiga perempat mengambang di langit yang cerah.

Dua orang wanita Ini mempunyai wajah yang mirip. Puspa Dewi yang berusia sekitar sembilan belas tahun itu bertubuh padat ramping, dengan kulit yang putih kuning mulus seperti kulit ibunya. Ibunya, Nyi Lasmi, juga masih cantik walaupun usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih. Bagi orang yang tidak mengenal mereka, melihat mereka duduk berduaan itu pasti mengira bahwa mereka itu kakak dan adiknya, bukan ibu dan puterinya.

"Ibu," kata Puspa Dewi dengan hati-hati dan suaranya lirih, "sejak tadi aku melamun dan memikirkan keadaan kita, Ibu. Terus terang saja, aku merasa rikuh (sungkan) sekali kepada Paman Lurah Pujosaputro dan keluarganya. Apakah kita akan mondok seperti ini terus dan merepotkan mereka?"

Nyi Lasml merangkul anaknya dan tersenyum. "Tentu saja tidak, Dewi. Kalau tadinya aku mondok di sini, itu adalah karena desakan Ki Lurah sekeluarga mengingat bahwa aku hidup seorang diri. Setelah sekarang engkau pulang, tentu saja kita akan mencari tempat tinggal lain dan tidak lagi mondok di sini menyusahkan mereka. Akan tetapi aku masih bingung, Dewi. Kemana kita harus pindah? Ketahuilah bahwa ketika melepaskan diri dari Suramenggala, aku tidak membawa apa-apa. Selama ini, sandang pangan (pakaian dan makan) dan semua keperluanku ditanggung oleh Ki Lurah sekeluarga."

Puspa Dewi menghibur Ibunya. "Untuk itu harap Ibu tidak khawatir. Aku menyimpan banyak perhiasan yang lebih dari cukup untuk membeli rumah dan pekarangan. Perhiasan itu kudapat dari Kerajaan Wura-wuri di mana aku dijadikan puteri istana. Akan tetapi, sudah kuceritakan kepada Ibu bahwa aku tidak akan kembali ke sana karena aku pasti akan ditangkap dan dihukum berat. Juga aku tidak ingin tinggal di Karang Tirta, Ibu. Aku ingin pergi bersama Ibu dan pindah ke tempat yang jauh dari sini."

"Hemm, ke manakah, Anakku?"

"Ibu, apakah Ibu tidak mempunyai saudara? Kakak atau Adik, atau Paman dan Bibi? Juga orang tua Ibu atau orang tua Ayah? Tidak mungkin kalau Ibu dan mendiang Ayahku tidak mempunyai keluarga sama sekali. Mari kita ke sana, Ibu, ke rumah keluarga ibu atau Ayah. Aku ingin mengenal keluarga orang tuaku, Ibu. Ibu, engkau mengapa?"

Puspa Dewi merangkul Ibunya ketika melihat betapa Nyi Lasmi menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Ibu, mengapa Ibu menangis?" Gadis itu merasa heran sekali, juga khawatir karena tidak biasanya Ibunya bersikap cengeng, apalagi menangis tanpa sebab. Nyi Lasmi berusaha menahan tangisnya. Puspa Dewi membantunya menghapus air matanya yang membasahi Kedua pipi Ibunya.

"Nah, tenangkanlah hatimu, Ibu. Ceritakanlah kepadaku, Ibu, agar kalau ada hal yang membuat Ibu berduka aku dapat ikut merasakannya."

Nyi Lasmi sudah dapat menghentikan tangisnya. Ia kini telah lebih tenang dan ia memegang kedua tangan puterinya seolah mencari perlindungan atau kekuatan.

"Anakku, Puspa Dewi, mendengar engkau bertanya tentang Ayah kandungmu, tentang keluarga kami, aku menjadi sedih. Maklumilah kelemahanku, Anakku, karena sejak bertahun-tahun ini aku selalu menekan perasaan ini. Sekarang, setelah engkau dewasa dan engkau menjadi seorang gadis yang sakti dan tangguh, kukira sudah tiba waktunya aku menceritakan semuanya kepadamu."

"Ceritakanlah, Ibu. Ceritakan tentang mendiang Ayahku." desak gadis itu. "Nama Ayah Prasetyo, Ibu? Nama yang bagus sekali. Tentu mendiang Ayahku seorang tampan dan gagah sekali!"

Nyi Lasmi menghela napas panjang.

"Sekarang akan kuceritakan semuanya, Dewi, tidak ada yang perlu kurahasiakan lagi. Dengarlah baik-baik. Dahulu sebagai seorang gadis berusia enam belas tahun aku tinggal di dusun Munggung, sebelah timur ibu kota Kahuripan."

"Wah, aku dapat membayangkan. Ibu tentu merupakan seorang gadis cantik jelita, menjadi kembang dusun Munggung!"

"Yaahh, kecantikan yang bagi seorang wanita terkadang lebih banyak mendatangkan godaan dan kesusahan daripada kesenangan. Aku memang dianggap sebagai kembang dusun Munggung, dan hal itulah yang mendatangkan kesengsaraan bagiku. Aku berkenalan dengan seorang perwira pasukan pengawal yang masih muda, berusia dua puluh tahun dan kami saling bertemu dan berkenalan ketika perwira itu mengawal Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan yang sedang berkunjung ke Munggung."

"Perwira itu tentu Prasetyo yang gagah!" kata Puspa Dewi.

"Engkau benar. Kami saling jatuh cinta dan setahun kemudian setelah kami berkenalan kami menikah dengan restu orang tua kami masing-masing. Aku ikut suamiku tinggal di kota raja, tinggal di rumah asrama yang disediakan Tumenggung Jayatanu untuk para perwira pasukan pengawalnya. Akan tetapi ketika aku mengandung dan kandunganku sudah delapan bulan, suamiku mengantar aku pulang ke Munggung agar kalau aku melahirkan, ada Ibuku yang merawatku"

"Dan yang Ibu kandung Itu adalah aku, bukan?"

"Benar, Anakku. Akan tetapi bersama dengan kelahiranmu yang mendatangkan kebahagiaan besar dalam hatiku, dating pula berita yang menghancurkan hatiku."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan memandang wajah .Ibunya dengan tajam penuh selidik. "Berita apakah Itu, Ibu?"

"Berita bahwa... bahwa Kakangmas Prasetyo, Ayah kandungmu itu... dia terpaksa menikah dengan Dyah Mularsih..."

"Eh...?" Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong. "Siapa itu Dyah Mularsih, Ibu?"

"Dyah, Mularsih Itu anak tunggal dari Tumenggung Jayatanu,"

"Akan tetapi, mengapa Ayah terpaksa harus menikah dengannya?"

"Karena.... diam-diam Ayahmu, Kakangmas Prasetyo itu diam-diam memadu kasih dengan gadis bangsawan itu sehingga... Dyah Mularsih mengandung."

"Ah! Mengapa Ayah begitu. Ibu?"

"Aku tidak bisa menyalahkah Ayahmu. Dia seorang laki-laki muda yang gagah dan tampan. Sebetulnya puteri tumenggung itulah yang tergila-gila kepada Ayahmu dan selalu mengejarnya. Ayahmu ketika itu masih muda, dan aku sedang mengandung... maka tidak dapat aku menyalahkan kalau dia itu jatuh dan mengadakah hubungan sehingga Dyah Mularsih mengandung. Terpaksa dia harus bertang-gungjawab dan tidak dapat menolak ketika diharuskan menikah dengan gadis itu. Aku pun ketika itu menerima kenyataan dan menyabarkan hati, tidak merasa keberatan dimadu."

"Hmm, kalau begitu tidak ada persoalan lagi. Lalu mengapa Ayah meninggal dunia dalam usia muda, Ibu?"

"Nanti dulu, Dewi, biar kulanjutkan ceritaku. Setelah menjadi mantu Tumenggung Jayatanu, tentu saja Kakangmas Prasetyo lalu diboyong dan pindah tinggal di rumah gedung Tumenggung Jayatanu. Aku merasa malu untuk ikut ke sana, Dewi. Ayahmu memang datang dan hendak memboyong kita berdua ke rumah mertuanya, akan tetapi aku menolak. Aku malu, Anakku, membayangkan bahwa aku harus mondok dirumah maduku."

"Ibu benar! Kita orang kecil dan miskin tidak perlu menyembah-nyembah dan menjilati kaki orang-orang berpangkat dan berharta! Lalu bagaimana, Ibu?"

"Penolakanku itu membuat Sang Tumenggung marah. Ketika Ayahmu datang ke rumah kita, Sang Tumenggung menyusul datang dan di depan orang tuaku dan aku, Tumenggung Jayatanu memaksa Ayahmu untuk memilih. Dia tetap menjadi perwira dan mantu Sang Tumenggung dan tinggal di katumenggungan, menceraikan aku, atau dia memilih hidup bersama aku dan tidak diaku lagi sebagai mantu Sang Tumenggung dan bercerai dari Dyah Mularsih!"

"Hemm, pilihan yang tegas dan adil juga. Lalu bagaimana, Ibu? Ayah memilih yang mana?"

"Ayahmu bingung, Dewi. Kalau dia memilih hidup bersamaku, berarti dia dipecat dari pangkatnya sebagai perwira, padahal Ayahmu berkeinginan keras untuk meningkatkan pangkatnya sampai mendapat kedudukan tinggi. Pula dia harus meninggalkan Dyah Mularsih yang sedang mengandung. Dia bingung sekali dan aku merasa kasihan kepadanya, Dewi. Aku terlalu mencinta Ayahmu dan rela berkorban. Maka aku menganjurkan dia untuk meninggalkan kita dan melanjutkan pekerjaannya di kota raja."

"Ah, Ibu....!"

"Itulah yang sebaiknya untuk Ayahmu, Dewi. Kalau dia melakukan anjuranku, berarti yang berkorban perasaan hanya aku seorang. Akan tetapi sebaliknya kalau dia memilih hidup bersamaku dan meninggalkan Dyah Mularsih dan kedudukannya, berarti yang berkorban dua orang, yaitu Dyah Mularsih dan calon anaknya yang ditinggal suami dan Ayah, juga Kakangmas Prasetyo sendiri yang selain berdosa meninggalkan anak isteri di tumenggungan, juga kehilangan kedudukannya yang baik. Aku terlalu mencinta Ayahmu, Dewi, tidak tega aku melihat dia sengsara dan berduka karena memilih hidup bersamaku."

"Aih, Ibu, engkau terlalu mulia...."

"Tidak, Dewi, aku hanya melakukan Itu karena mencinta suamiku. Nah, setelah aku mengambil keputusan bercerai dari Ayahmu, muncul malapetaka lain yang disebabkan pula oleh apa yang dinamakan kecantikan itu. Seorang laki-laki putera demang yang memang sejak dulu agaknya jatuh cinta padaku, akan tetapi niatnya memperisteri aku gagal karena aku sudah menjadi isteri Ayahmu, ketika mendengar bahwa aku telah berpisah dari Ayahmu, lalu mencoba mendekati aku. Aku menolaknya karena selain aku tidak cinta padanya, aku juga sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku tidak akan menikah lagi, akan hidup bersama engkau. Akan tetapi laki-laki itu menjadi penasaran dan hendak menggunakan paksaan. Dia datang bersama dua orang jagoannya dan hendak membawa aku dengan paksa. Ayahku melarangnya sehingga terjadi perkelahian dan tentu saja Ayahku tidak mampu melawan dua orang jagoan itu. Ayahku tertikam keris dan tewas..."

"Jahanam!" Puspa Dewi membentak dan mengepal tinju.

"Sabar dan tenanglah. Dewi, biar kulanjutkan. Setelah Ayahku roboh dan Si Darsikun, putera demang itu menyeret aku yang menggendong engkau yang baru berusia enam bulan, dibantu oleh dua orang jagoannya, hendak memaksa aku masuk ke dalam keretanya, tiba-tiba muncul Kakangmas Prasetyo."

"Ayahku....!"

"Ya, ternyata Ayahmu kadang-kadang masih menjenguk kita. Dia bahkan masih memikirkan kebutuhan kita walaupun sudah bukan menjadi suamiku yang resmi lagi. Melihat aku diseret-seret tiga orang dan Ayahku tewas ditangisi Ibuku, Kakangmas Prasetyo marah dan mengamuk. Putera Demang itu, Si Darsikun dan dua orang anak buahnya, dihajar sampai mati."

"Bagus! Aku ikut bangga, Ayah ternyata masih melindungi Ibu!"

"Akan tetapi kematian Ayahku itu membuat Ibuku berduka sekali sehingga ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia sekitar sebulan setelah Ayahku meninggal. Dan aku mendengar berita bahwa Kakangmes Prasetyo mendapat kemarahan dan teguran keras dari mertuanya. Tumenggung Jayatanu marah karena Ayahmu telah membunuh putera demang dan dua orang jagoannya itu, juga menegur aku karena pembunuhan itu dilakukan Kakangmas Prasetyo karena hendak membelaku. Aku tidak ingin menyusahkan Ayahmu, Dewi, maka setelah Ibuku meninggal aku lalu pergi meninggalkan desa Munggung. Aku tahu bahwa kalau aku masih tinggal di Munggung, tentu Kakangmas Prasetyo masih suka datang menjenguk kita dan hal ini tidak disuka oleh keluarga katumenggungan. Berarti aku akan mengganggu kebahagiaannya. Muka aku mengalah dan aku pergi meninggalkan Munggung tanpa pamit kepadanya."

"Ah, mengapa begitu, Ibu? Kasihan Ayah."

"Tidak, Dewi. Dia tadinya sudah disuruh memilih menceraikan aku atau menceraikan Dyah Mularsih. Dia memilih menceraikan aku karena berat meninggalkan kedudukannya. Dia sudah memilih dan dia harus bertanggung Jawab dan berani menanggung akibat pilihannya itu. Aku lalu pergi merantau sampai jauh dan akhirnya setelah berpindah-pindah tempat selama belasan tahun, aku dan engkau tinggal di Karang Tirta."

"Apakah Ibu tidak pergi ke keluarga yang lain. Apakah Ibu tidak mempunyai saudara?"

"Tidak, Dewi. Aku adalah anak tunggal. Selama belasan tahun aku dapat mempertahankan janjiku untuk tidak menikah lagi. Aku sudah merasa berbahagia hidup berdua denganmu dalam keadaan miskin dan seadanya. Akan tetapi kemudian terjadilah malapetaka Itu. Engkau diculik orang! Dunia terasa hancur bagiku, kebahagiaanku hilang dan aku merana, kehilangan pegangan dan bingung. Dalam keadaan seperti Itu, datang uluran tangan Ki Lurah Suramenggala yang mengalami nasib yang sama, yaitu puteranya juga diculik orang. Dialah yang menghiburku, membantuku sehingga akhirnya aku dapat terbujuk dan menjadi selirnya. Akan tetapi engkau tahu, aku tidak pernah merasa berbahagia menjadi selirnya, apalagi setelah engkau pulang dan engkau kelihatan tidak suka melihat aku menjadi selir laki-laki yang kasar dan kejam itu."

"Memang aku merasa tidak suka, Ibu. Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka aku pun tidak berani menyatakan ketidaksenanganku."

"Aku mengerti, Dewi. Kemudian engkau pergi lagi dan pada waktu engkau tidak ada, datang Ki Patih Narotama dan Ki Suramenggala dipecat oleh Ki Patih Narotama, kemudian dia diusir dari Karang Tirta. Kesempatan itu aku pergunakan untuk melepaskan diri darinya karena sebelumnya, aku tidak berani melepaskan diri. Nah, aku lalu mondok di sini, Dewi, dan keluarga Ki Pujosaputro sekeluarga menerimaku dengan baik."

"Ibu, kalau begitu.... mengapa Ayah meninggal dunia?"

"Tidak, Dewi. Setelah aku pergi meninggalkan Munggung, aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia dan tidak pernah mendengar beritanya."

"Akan tetapi Ibu.... dulu selalu mengatakan bahwa Ayahku sudah meninggal?"

"Terpaksa aku berbohong padamu, Dewi, karena tidak mungkin kita pergi ke sana menemuinya, hal Itu akan mengganggu ketenteraman hidupnya."

"Jadi... dia masih hidup?" tanya Puspa Dewi setengah berteriak.

"Aku tidak tahu, Dewi. Mungkin dia masih hidup, akan tetapi tidak perlu kita membicarakan tentang dia. Tidak perlu mengganggu dia dan jangan sampai mengganggu kebahagiaan hidupnya."

Puspa Dewi bangkit berdiri, mengerutkan alisnya dan matanya menyinarkan kemarahan.

"Ibu terlalu lemahi Ibu menyiksa diri sendiri! Ibu bodoh!" ia membentak-bentak saking penasaran dan marah kepada Ayah kandungnya.

"Dewi, Ibumu ini mencinta Ayah kandungmu dan cinta sejati memerlukan pengorbanan. Aku rela sengsara asal dia bahagia, Dewi."

"Tidak bisa! Mungkin saja Ibu begitu lemah dan bodoh. Akan tetapi apakah Ibu tidak ingat aku? Aku ini juga anaknya, anak Prasetyo itu! Apakah aku juga harus berkorban? Ibu berkorban hidup sengsara dan menyeret aku pula, sedangkan Prasetyo itu enak-enakan, hidup bersenang-senang di kota raja! Tidak benar ini, Ibu. Aku yang akan menegurnya, aku yang akan membuka matanya, menyadarkan betapa besar dosanya terhadap Ibu!"

"Dewi..!" Nyi Lasmi mengeluh dan menangis.Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar rumah.

"Puspa Dewi, atas nama Gusti Adipati Bhismaprabhawa dan Gusti Puteri Dewi Durgakumala, kami perintahkan agar Andika keluar dan menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada beliau di Kerajaan Wura-wuri!" Suara itu terdengar menggelegar karena diteriakkan dengan dorongan tenaga dalam yang kuat.

Mendengar suara ini, Puspa Dewi yang sedang marah karena cerita Ibunya, segera mendengus marah dan tubuhnya berkelebat keluar rumah.

"Dewi...!" Nyi Lasmi berseru penuh kekhawatiran lalu terhuyung-huyung mengejar keluar.

Setibanya di pekarangan depan rumah kelurahan, Puspa Dewi berhadapan dengan lima orang laki-laki. Sinar lampu yang tergantung di depan pendopo menambah terangnya sinar bulan sehingga la segera mengenal siapa lima orang itu. Tiga orang di antara mereka adalah senopati-senopati yang terkenal dari Kerajaan Wura-wuri.

Mereka terkenal dengan julukan Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka meruncing seperti muka tikus, mulutnya cemberut wajahnya keruh, pakaiannya mewah seperti pakaian bangsawan. Orang ke dua adalah Kala Manik, berusia lima puluh lima tahun, tubuhnya gendut pendek, mulutnya tersenyum-senyum mengejek, di pinggangnya tergantung sebatang klewang (semacam golok), juga pakaiannya mewah.

Orang ke tiga adalah Kala Teja berusia sekitar lima puluh tahun, kepalanya gundul, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya bengis, di pinggangnya tergantung sebatang ruyung. Tri Kala ini adalah senopati-senopati Kerajaan Wura-wuri, terkenal sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja Puspa Dewi sama sekali tidak gentar terhadap mereka.

Dulu, ketika ia ditugaskan oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya yang baru, yaitu Nyi Dewi Durgakmala yang menjadi gurunya, ia pernah diuji kedigdayaannya oleh Sang Adipati yang menyuruh Tri Kala ini menghadangnya. Dalam pertandingan itu, ia dapat mengalahkan tiga orang senopati ini. Maka, melihat mereka, Puspa Dewi memandang rendah. Akan tetapi, selain tiga orang senopati Wura-wuri ini, ada dua orang lain menyertai mereka. Dua orang yang pernah bertemu dengannya, bahkan ia sempat bertanding melawan mereka.

Puspa Dewi teringat akan pengalaman nya sekitar setahun yang lalu ketika ia membantu Nurseta yang dikeroyok oleh tiga orang, yaitu Mayang Gupita yang menjadi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul, Dibyo Mamangkoro, dan Cekel Aksomolo, dua orang datuk sesat yang sakti. Ia dan Nurseta berhasil mengalahkan dan mengusir mereka. Kini, seorang di antara dua orang yang datang bersama Tri Kala adalah satu di antara mereka itu, yaitu Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian seperti pertapa, membawa seuntai tasbeh berwarna hitam.

Tubuhnya tinggi kurus, agak bongkok dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh penasehat Kurawa dalam cerita pewayangan yang bernama Bhagawan Durna. Adapun orang ke dua belum pernah dilihatnya. Dia seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, pakaiannya juga mewah, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya cukup tampan dan gagah, matanya yang tajam itu memandang Puspa Dewi penuh gairah dan sinar matanya seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis itu, membuat Puspa Dewi mengerutkan alis dengan hati panas.

Pria gagah ini adalah Senopati Gandarwo, seorang senopati muda yang baru diangkat menjadi senopati di Wura-wuri. Biarpun dia senopati muda, namun tingkat kedigdayaannya melebihi Tri Kala! Ki Gandarwo ini adalah adik seperguruan Cekel Aksomolo, maka tentu saja dia sakti mandraguna.

Setelah diangkat menjadi senopati muda di Wura-wuri oleh Sang Adipati yang dibujuk oleh permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, Ki Gandarwo mengundang kakak seperguruannya, Cekel Aksomolo untuk berkunjung ke Wurawuri dan membantu kerajaan itu. Ki Gandarwo ini adalah seorang yang wataknya mata keranjang dan dia memang diam-diam telah menjalin hubungan asmara gelap dengan Nyi Dewi Durgakumala.

"Hemm, kiranya Tri Kala yang datang membuat ribut!" kata Puspa Dewi dan suaranya yang merdu itu mengandung ancaman yang membuat Tri Kala merasa tergetar jantungnya dan gentar. "Aku tadi mendengar ada yang hendak menangkap aku? Hemm, coba ulangi, siapa keparat yang berani hendak menangkap aku?"

"Ha-ha, akulah yang diutus Kanjeng Adipati Bhismaprabhawa dan Kanjeng Puteri Dewi Durgakumala untuk memanggil engkau menghadap beliau ke Kerajaan Wura-wuri. Andika inikah yang bernama Puspa Dewi? Wah, ternyata Andika melampaui semua gambaran yang kudapatkan. Andika jauh lebih cantik jelita daripada yang dikabarkan orang. Puteri Puspa Dewi, karena Andika adalah sekar kedaton Wura-wuri, maka kami persilakan Andika untuk bersama kami pulang ke Wura-wuri, jangan sampai kami terpaksa harus menangkap Andika."

Makin dalam kerut sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Puspa Dewi merasa sebal melihat lagak dan gaya pemuda itu. "Kamu siapakah?" bentaknya ketus.

"Ha-ha-ha, Andika belum mengenal saya? Saya adalah seorang senopati baru, Ki Gandarwo namaku, aku masih perjaka dan belum beristeri."

Puspa Dewi tidak mampu menahan kemarahannya lagi. "Jahanam busuk, mampus kamu!" Gadis itu sudah melompat dan menerjang Ki Candarwo dengan aji pukulan Guntur Geni. Tangan gadis itu tampak kemerahan seperti bara api ketika tangannya menampar ke arah kepala Ki Gandarwo.

"Haiiittt...!" bentaknya melengking.

Ki Gandarwo terkejut setengah mati ketika merasa ada hawa panas menyambar dari tangan gadis itu. Akan tetapi dia bukan orang lemah. Ki Gandarwo adalah adik seperguruan Cekel Aksomolo, maka tentu saja dia sudah memiliki aji kanuragan yang cukup tinggi. Melihat datangnya pukulan yang tidak dapat dielakkan lagi itu, dia mengangkat tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Syuuuttt... desss...."

Ki Gandarwo mengeluarkan teriakan kaget. Tubuhnya terpental dan terbanting ke atas tanah karena terdorong tenaga yang amat kuat. Untung dia memiliki kekebalan dan dengan menggulingkan tubuhnya dia menjauhkan diri agar jangan disusuli serangan selanjutnya oleh Puspa Dewi.

Puspa Dewi memang mengejar dan hendak memukul lagi. Ia amat benci kepada pemuda yang ceriwis dan banyak lagak itu dan ingin membunuhnya. Akan tetapi pada saat itu, Tri Kala dan Cekel Aksomolo sudah menghadangnya. Puspa Dewi memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata berkilat.

"Minggir atau kubunuh juga kalian!"

"Gusti Puteri," kata Kala Muka yang cemberut. "Harap paduka tidak menyusahkan kami. Kami hanya melaksanakan perintah Gusti Adipati dan Gusti Puteri, Ibu Paduka."

"Cukup! Pergilah dan jangan ganggu aku lagi!"

"Heh-heh, agaknya puteri ini hendak memberontak terhadap Kadipaten Wura-wuri!" kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

"Tri Kala Kalau aku tidak mau ikut kalian ke Wura-wuri, habis kalian mau apa?" Puspa Dewi menantang.

"Gusti Adipati memerintahkan kami untuk membawa Paduka ke Wura-wuri, baik Paduka mau atau tidak. Kalau Paduka tidak mau, terpaksa kami mempergunakan kekerasan."

"Kalian kira aku takut terhadap kalian berlima? Majulah kalian, tambah lagi kalau kurang banyak! Aku tidak akan mundur selangkah pun!"

"Wah, galaknya! He-he-hi-hik! Mari, kita gempur gadis sombong ini" kata Cekel Aksomolo sambil memutar-mutar tasbeh hitam di tangannya sehingga terdengar bunyi berkeritikan tajam menembus telinga.

Bunyi biji-biji tasbeh yang diputar ini bukan sembarangan karena dapat dipergunakan untuk menyerang lawan melalui pendengarannya. Kalau lawan yang diserang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat, dia dapat roboh hanya karena diserang suara itu. Gendang telinganya dapat pecah dan jantungnya terguncang. Dan untaian tasbeh itu pun dapat menjadi senjata ampuh, bahkan biji-biji tasbeh itu dapat menjadi senjata rahasia yang disebut Ganitri (biji tasbeh) dan dapat mengejar lawan seperti tawon-tawon yang beracun.

Kala Muka juga sudah mencabut kerisnya. Kala Manik mempersiapkan klewang dan Kala Teja meloloskan ruyungnya. Ki Gandarwo juga sudah siap siaga dengan pedangnya. Lima orang itu, dengan senjata andalan masing masing di tangan, kini perlahan-lahan bergerak mengepung Puspa Dewi.

Namun gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu sama sekali tidak takut. Ia mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat dengan suara berdesing. Ia melintangkan pedangnya depan dada, berdiri tegak dan tidak bergerak sedikit pun. Tentu saja ia tidak dapat melihat dua orang di antara lima pengeroyok itu yang mengepung di belakangnya. Akan tetapi, perasaan dan pendengaran Puspa Dewi dapat menggantikan penglihatannya...


BERSAMBUNG KE JILID 03


Loading...