Badai Laut Selatan Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 08

"ha-ha-ha...! Hayo pergunakan keris dan golok kalian!" Ki Warok tertawa sambil mengelus-elus jenggot dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang.

Tiga orang penjaga itu merayap bangun dengan muka merah. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut keris dan golok, menyerang lagi, menusuk dan membacok sekenanya. Bahkan ada yang menusuk muka, membacok kepala, pendeknya mereka menghujani tubuh Ki Warok dengan senjata mereka. Namun sia-sia, serangan itu semua tidak ada artinya bagi orang sakti ini dan begitu ia mengerahkan tenaga, keris-keris menjadi patah dan golok-golok rompal semua! Tiga orang penjaga itu mengundurkan diri dengan muka pucat.

"Wah, hebat sekali! Ki Warok Gendroyono benar-benar seorang sakti mandraguna!" kata Adipati Joyowiseso girang dan kagum. Ki Warok hanya tersenyum dan mengenakan kembali bajunya.

Kepandaian seperti itu saja apa sih anehnya, ia pikir. Belum lagi ia memperlihatkan keampuhan Ki Bandot! Akan tetapi kolor pusaka ini hanya boleh dipergunakan di waktu menghadapi lawan tangguh, sama sekali tidak boleh dibuat main-main.

Melihat orang-orang sudah mulai memperlihatkan kepandaian, Ki Krendoyakso yang baru berusia empat puluh tahun itu menjadi panas perutnya. Dia adalah seorang kepala rampok yang terperosok ke dalam peryakinan ilmu hitam, seorang ahli racun, akan tetapi selain kepandaian yang menyeramkan ini iapun terkenal seorang yang amat kuat. Kini ia celingukan memandang ke kanan kiri, kemudian keluar jendela. Ruangan tamu di belakang ini menembus sebuah taman yang tampak dari jendela yang terbuka lebar. Segera ia bangkit dan berkata, "Aku yang bodoh dan kasar hanya dapat bermain-main dengan pohon di luar itu."

Tanpa menanti jawaban ia melangkah lebar, keluar dari pintu dekat jendela lalu menghampiri pohon dalam taman. Semua orang menoleh dan menonton melalui jendela. Begitu dekat dengan pohon, Ki Krendayakso memasang kuda-kuda, berseru keras dan lengan kanannya yang panjang besar itu meluncur ke depan, dengan jari-jari terbuka ia menusukkan jari-jari tangannya kepada batang pohon.

Bagaikan lima batang pisau runcing, kelima jari tangan kanan itu menancap ke dalam pohon, lalu dicabutnya kembali. Semua orang termasuk Adipati Joyowiseso memandang rendah pertunjukan ini. Apa sih sukarnya ini? Asal orang mempelajari sedikit ilmu saja, tentu mampu menusukkan tangannya ke dalam batang pohon! Mengapa raksasa yang terkenal ini hanya mampu melakukan hal yang serendah ini?

Akan tetapi baru saja Adipati Joyowiseso berpikir demikian, tiba-tiba Jokowanengpati berseru, "Lihat daun-daun itu, bukan main!"

Adipati Joyowiseso memandang dan mukanya menjadi pucat membayangkan kengerian. Daun-daun di atas pohon itu menjadi layu secara mendadak dan kini mulai rontok berhamburan dengan warna berubah kuning! Ternyata tangan yang menusuk batang pohon tadi telah menyalurkan hawa beracun yang sedemikian hebatnya sehingga mampu meracuni semua daun di atas pohon yang besar. Bukan main! Pohon saja tidak mampu menahan, apalagi kalau tubuh orang yang terkena tusukan jari-jari tangan itu! Ki Krendayakso tidak hanya berhenti sampai di situ.

Tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya menyerbu ke depan dan dengan keras sekali bahu dan kepalanya menabrak batang pohon. Terdengar suara hiruk-pikuk dan batang pohon yang sudah tak berdaun lagi itu tumbang! Ki Krendayakso tersenyum lalu berjalan kembali ke ruangan tamu dengan lenggang seenaknya dan langkah lebar-lebar, disambut pujian-pujian Adipati Joyowiseso dan tamu-tamu lainnya.

"Tiga orang saudara yang sakti telah memberi pertunjukan," kata Adipati Joyowiseso. "Biarpun saya sudah menyaksikan kesaktian paman Cekel Aksomolo, akan tetapi untuk mempererat perkenalan dengan yang lain, ada baiknya apabila paman sudi memberi sedikit pertunjukan untuk meramaikan pertemuan ini."

Cekel Aksomolo tertawa terkekeh. "Ahh, aku seorang yang tidak punya nama. Karena aku hanya mengandalkan kepada aksomolo (tasbih), maka tanpa aksomolo aku bukan apa-apa. Biarlah tasbihku memberi sedikit pertunjukan, kalau kurang memuaskan harap jangan ditertawakan."

Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan penutup-penutup telinga sambil berkata lagi, "Aku tidak mau membikin susah saudara-saudara yang hadir di sini, juga tidak bermaksud memandang rendah. Karena itu aku sediakan penutup telinga ini dan bagi siapa yang hendak menutupi telinganya, kupersilakan mengambil sendiri dan memakainya. Akan tetapi kepada kanjeng adipati kunasehatkan untuk memakainya."

Adipati Joyowiseso sudah maklum akan keampuhan tasbih kakek ini, maka segera ia menjumput dua buah benda seperti kapas, lalu tertawa sambil berkata, "Suara tasbih paman Cekel benar-benar hebat, saya tidak berani menghadapinya tanpa memakai penolak ini."

Juga Jokowanengpati segera mengambil sepasang benda itu. Melihat ini Wisangjiwo juga mengambil dua buah. Akan tetapi lima orang sakti yang lain, Ni Nogogini, Ni Durgogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendayakso, dan Ki Tejoranu, hanya memandang sambil tersenyum saja, tidak mengambil alat penutup telinga.

Cekel Aksomolo lalu memanggil dua orang penjaga. Mereka ini menjadi pucat, menggeleng-geleng kepala dan hendak mengundurkan diri. Mereka maklum akan kesaktian kakek ini yang sudah mereka saksikan sendiri ketika suara tasbih mempermainkan para penabuh gamelan dan para waranggana. Akan tetapi bentakan Adipati joyowiseso membuat mereka datang munduk-munduk (terbongkok-bongkok) dengan tubuh menggigil.

"Uahh-huh-huh, jangan takut kalian berdua. Aku tidak akan mencelakai kalian, hanya akan mempermainkan kalian untuk sekedar pertunjukan dan menggembirakan suasana," kata Cekel Aksomolo sambil menggerakkan tasbihnya.

Adipati Joyowiseso, Jokowanengpati dan Wisangjiwo cepat menyumbat telinga mereka. Tasbih di tangan Cekel Aksomolo berkeritik perlahan akan tetapi makin lama makin cepat. Terciptalah suara aneh seperti tikus mengerikiti kayu dan terkejutlah lima orang sakti yang hadir di situ. Suara ini seperti mengorek kendangan telinga mereka, menimbulkan rasa keri (geli) yang tak tertahankan. Cepat mereka mengerahkan tenaga batin, mengumpulkan hawa sakti dan menyalurkannya ke telinga untuk melawan pengaruh aneh ini.

Akan tetapi kedua orang penjaga itu sudah gulung-kuming (bergulingan) dan tertawa-tawa terpingkal-pingkal. Keadaan menjadi lucu sekali. Seperti dua orang badut, mereka ini tertawa-tawa, Keadaan menjadi lucu sekali. Terkena pengaruh suara tasbih Cekel Aksomolo, kedua penjaga itu tertawa terbahak-bahak tanpa berhenti. Ada kalanya terkekeh lalu terbahak-bahak dan di lain saat terpingkal-pingkal tanpa mengeluarkan suara. Kalau dilanjutkan, tentu mereka berdua akan kejang bias mati tertawa! Akan tetapi tiba-tiba suara tasbih berhenti dan dua orang itu mendadak berhenti pula tertawa, terengah-engah lalu bangkit berdiri.

Akan tetapi kembali Cekel Aksomolo menggerakkan tasbihnya dan kali ini yang terdengar suara mengaung seperti ratusan ekor nyamuk terbang di depan telinga. Dua orang penjaga itu tiba-tiba menangis, tak tertahankan lagi, menangis terisak-isak, jatuh berlutut, kmudian bergulingan dan masih menangis menggerung-gerung

Hanya sebentar saja Cekel Aksomolo menyiksa mereka. Tasbihnya segera berhenti bergerak dan dua orang penjaga itu sadar kembali. Mereka masih terisak-isak ketika Cekel Aksomolo memberi tanda supaya mereka pergi. Adipati Joyowiseso mengeluarkan penyumbat telinga, demikian pula Jokowanengpati dan Wisangjiwo.

"Hebat sekali kepandaian paman Cekel," kata sang adipati.

Juga lima orang sakti itu diam-diam terkejut dan kagum. Pantas saja nama Cekel Aksomolo amat terkenal, kiranya kakek itu memiliki tenaga dalam dan hawa sakti yang amat kuat sehingga mampu menggerakkan tasbih sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan suara-suara mujijat yang amat berbahaya bagi musuh. Akan tetapi, dalam pertunjukan tadi, kelima orang itupun masing-masing secara tidak langsung telah memperlihatkan kekuatan tenaga dalam mereka dengan kesanggupan mereka melawan pengaruh suara tasbih itu.

"Uuh-huh-huh, apa sih artinya kepandaian seperti itu? Aku seorang tua yang tiada gunanya. Mana bisa dibandingkan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Nama mereka menjulang tinggi di angkasa, tentu kepandaian mereka berdua ini juga setinggi langit!"

"Saya tidak berani menyusahkan kedua Nini Dewi, akan tetapi karena semua sudah memberi pertunjukan kiranya anda berdua takkan berkeberatan pula menambah kegembiraan pertemuan ini," kata Adipati Joyowiseso yang merasa sungkan karena mereka berdua adalah wanita-wanita dan seorang di antara mereka malah guru puteranya.

Ni Durgogini tersenyum. Bibirnya yang bawah bergerak-gerak aneh menimbulkan kemanisan luar biasa dan memperlihatkan bibir sebelah dalam yang halus kemerahan dan basah. "Kami adalah wanita, lebih mengutamakan kehalusan, biarlah aku main-main dengan segelas arak ini!

Dengan gerakan lemah gemulai dan cekatan ia mengisi gelas araknya yang terbuat daripada perak, lalu mengangkat dan menggenggam dalam tangan kanannya. Ia bangkit berdiri dengan gelas arak di tangan sambil mengerahkan tenaga sakti Bromosari yang ia ciptakan dan latih selama tinggal di Girilimut. Hebat bukan main kesudahannya. Arak dalam gelas itu bergerak-gerak dan tak lama kemudian mengeluarkan uap terus mendidih! Semerbak bau arak ketika arak mendidih itu mengeluarkan uap makin banyak lagi. Ni Durgogini tersenyum, lalu meletakkan gelas arak itu di atas meja. Masih mendidih araknya dan begitu gelas diletakkan di atas meja kayu, papan di bawahnya menjadi hitam karena panas!

"Hi-hik, aku mau meniru pertunjukan mbok ayu Durgogini!" tiba-tiba Ni Nogogini berkata, mengisi cawan araknya sendiri lalu bangkit berdiri sambil memegangi cawan atau gelas araknya seperti yang dilakukan Ni Durgogini tadi.

Akan tetapi kini terjadi sebaliknya. Mula-mula tampak butiran-butiran air di sekitar gelas perak dan arak itupun mengeluarkan uap, dingin dan tak lama kemudian araknya membeku dalam gelas! Ni Nogogini membalikkan cawan, akan tetapi arak tidak tertumpah seperti benda cair, melainkan jatuh ke atas meja seperti sepotong es!

"Hebat......!" seru Adipati Joyowiseso yang merasa terheran-heran. Semua pertunjukan yang diperlihatkan enam orang sakti itu baginya seperti sihir dan sulap saja, dan hatinya benar-benar menjadi besar. Mendapat bantuan enam orang ini, ia yakin kelak cita-citanya akan terlaksana. Bukan hanya Adipati Joyowiseso yang memuji, juga empat orang sakti yang hadir diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki dua orang wanita itu. Itulah tenaga sakti yang luar biasa, yang membuat tangan mereka ampuh melebihi senjata tajam, ampuh, kuat dan beracun pula. Hebat memang!

Pesta dilanjutkan dalam suasana meriah. Mereka telah mengambil keputusan untuk bersekutu dan melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut. Pertama, masing-masing berlomba mencari pusaka patung kencana yang hilang dari istana Kahuripan (Mataram). Ke dua, masing-masing dengan caranya sendiri menghimpun tenaga membentuk pasukan-pasukan yang kuat dan menghubungi adipati-adipati dan golongan-golongan di empat penjuru yang anti Kahuripan. Ke tiga, mereka akan berusaha melemahkan Kahuripan dengan jalan memusuhi para senopati dan tokoh-tokohnya, kalau mungkin membunuh mereka seorang demi seorang dengan dalih permusuhan pribadi.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Langit di atas istana Kahuripan telah mendung. Kerajaan Mataram telah terancam bahaya yang datangnya dari Selopenangkep, dan semua itu didahului dengan peristiwa yang merupakan ramalan, yaitu dengan lenyapnya pusaka patung kencana. Lenyapnya pusaka keramat ini menjadi tanda kesuraman kerajaan.

Beberapa bulan kemudian, Jokowanengpati melakukan perjalanan seorang diri mendaki Gunung Lawu. Dengan ilmu kepandaiannya, ia dapat mendaki dengan tangkas, melompat-lompat melalui jurang yang curam. Pemandangan alam di lereng Lawu amatlah indahnya, namun pada saat itu Jokowanengpati seperti buta terhadap keindahan pemandangan alam. Ia tergesa-gesa sekali dan kadang-kadang ia berhenti hanya untuk memandang ke sekelilingnya. Bukan sama sekali menikmati pemandangan alam, melainkan untuk melihat kalau-kalau ada orang lain yang melihat pendakiannya. Ia sedang menuju ke tempat rahasia, tidak ingin ada orang lain melihatnya.

Jokowanengpati adalah seorang pemuda yang selain tangkas dan berilmu, juga amat cerdik dan hati-hati. Lega hatinya melihat keadaan sekeliling lereng itu sunyi senyap. Bahkan kini ia telah jauh meninggalkan kelompok dusun terakhir di lereng sebelah bawah. Makin ke atas makin sunyilah keadaan dan tidak tampak adanya dusun lagi. Orang-orang pencari kayupun tidak akan sampai ke tempat setinggi ini, tempat yang berbahaya dan sukar didatangi. Kemudian dengan cekatan ia melompat dan merayap ke arah batu gunung yang merupakan karang tinggi. Dari tempat tinggi itulah ia mengintai dan tiba-tiba ia tersenyum puas. Di sebelah kiri sana, sebelah barat dekat dengan sungai gunung, tampak sekelompok cemara yang pendek dan agak kekuningan daunnya.

"Ah, tentu itulah tempatnya. Bekas pertapaan Taru Jenar (Pohon Kuning) yang sudah kosong! Tentu di sana, tak salah lagi!" kata hatinya dan cepat ia turun dan segera berlompatan lagi menuju ke barat. Tak lama kemudian tibalah ia di tempat yang dituju dan dari jauh ia sudah melihat sebuah pondok kecil. Di samping pondok tampak seorang wanita tengah menghadapi tungku dan asap mengepul dari kwali di atasnya.

"Mirah...!" tegur Jokowanengpati dengan suara gembira sambil lari menghampiri. Wanita itu kaget dan menoleh.

Ternyata ia seorang wanita muda yang cukup cantik, berkulit kuning bersih dan kembennya yang berkembang itu menandakan bahwa ia bukanlah seorang dusun. Memang sesungguhnyalah. Mirah bukar seorang wanita dusun. Dia bekas abdi dalam istana Prabu Airlangga.

"Kakangmas Joko...!?!"

Sukar diduga perasaan apa yang membayang pada wajah ayu itu, akan tetapi ia tidak menolak dan mandah saja ketika Jokowanengpati memeluk, mendekap dan menciuminya sambil membelai leher yang indah bentuknya.

"Manis, di mana kakang Wiratmo? Dan paman Sunggono?"

"Di.... di dalam.... eh, mencari kayu...."

Wanita muda itu menggeliat kegelian oleh jari-jari tangan Jokowanengpati yang nakal. Pada saat itu terdengar suara seorang laki-laki penuh kegembiraan, "Adikku Mirah pujaan hatiku, sudah matangkah masakanmu? Perutku lapar se...."

Ucapannya itu berhenti seakan-akan lehernya dicekik dan mukanya yang berseri berubah pucat ketika laki-laki muda itu melihat Jokowanengpati di situ. " Ah... Raden Jokowanengpati.... sudah.... sudah lamakah...? Maafkan saya tidak tahu akan kedatangan raden sehingga tidak menyambut...."

Jokowanengpati sudah melepaskan tanganya yang tadi membelai wanita itu, tersenyum dan berkata manis, "Kakang Wiratmo, baru saja aku tiba. Di mana paman Sunggono? Dan bagaimana dengan.... anu itu? Tentu selamat sampai kalian bawa ke sini, bukan?"

Tergopoh-gopoh Wiratmo menjawab, "Jangan khawatir, raden. Semua beres. Paman Sunggono tadi baru mencari kayu di hutan sana. Biar saya panggil dia!"

Tanpa menanti jawaban Wiratmo segera menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian berteriak keras sambil menghadap ke kanan. "Paman Sunggonooooo....!! Raden Joko sudah datangggg....!!!

Suaranya keras bergema di dalam hutan itu. Orang muda berusia tiga puluhan dan berwajah cukup ganteng itu segera berpaling kepada Jokowanengpati sambil berkata, "Marilah, raden, kita bercakap-cakap di dalam, sebentar lagi paman Sunggono tentu datang. Mirah, segera selesaikan masakanmu untuk menjamu Raden Jokowanengpati."

Jokowanengpati mengangguk dan keduanya memasuki pondok. Setelah mereka duduk di atas bangku bambu menghadapi meja jati, Jokowanengpati segera bertanya, "Bagaimana perjalanan kalian bertiga ke sini? Tidak terjadi sesuatu dan tidak ada yang tahu, kan?"

"Semua beres, raden, tepat seperti yang kita rencanakan. Setelah mendapatkan pusaka itu dari tangan raden, Mirah memohon kepada kanjeng ratu untuk pulang ke dusun dengan alasan rindu orang tua dan ingin menikah. Untung tidak ada kecurigaan apa-apa dan Mirah dapat keluar istana bersama pusaka itu dengan mudah. Sebagai seorang abdi dalam emban kanjeng ratu, siapakah yang mencurigai dan berani mengganggunya? Saya menjemputnya di luar istana, mengaku kakak misannya dan kami berdua keluar dari kota raja. Di luar kota raja, paman Sunggono sudah menjemput dengan kuda maka kami bertiga dapat melarikan diri dengan cepat."

"Bagus! Aku tidak akan melupakan jasa kalian bertiga, Wiratmo. Dengan adanya pusaka itu di tanganku, hemmmm.... siapa tahu kelak kau dan paman Sunggono akan dapat terangkat menjadi pembesar-pembesar tinggi! Eh, Wiratmo, di mana pusaka itu? Lekas kau keluarkan,aku sudah ingin sekali melihat."

"Ah, raden, mana berani kami menyimpannya di pondok ini? Pusaka itu kami simpan di tempat lain, tempat tersembunyi. Kami orang-orang pelarian siapa tahu sewaktu-waktu datang pengejaran dari istana! Kalau benda itu tidak terdapat bersama kami, tentu kami akan bebas daripada tuduhan-tuduhan."
Jokowanengpati mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Memang seharusnya demikian, kakang Wiratmo. Mari kita ambil pusaka itu."

"Raden, harap raden bersabar, menanti sampai datangnya paman Sunggono. Kita harus berhati-hati benar dan raden cukup maklum bahwa hanya paman Sunggono yang sudah hafal akan keadaan daerah ini. Dialah yang mengusulkan supaya pusaka itu disimpan di sebuah gua angker di lereng atas. Kita tunggu dia pulang, raden, kemudian setelah dana (makan) baru kita bersama pergi mengambilnya."

"Baiklah kalau begitu."

Tak lama kemudian masuklah kedalam pondok seorang laki-laki setengah tua berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, matanya bersinar tajam dan wajahnya membayangkan darah kebangsawanan. Inilah Sunggono yang sebenarnya memang masih keturunan seorang senopati. Ayahnya adalah seorang senopati yang dahulu menjadi kaki tangan Ki Patih Sepuh Hardogutomo, yaitu patih dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Patih ini bersama kaki tanganyya pernah memberontak, bahkan bersekutu dengan kaum pemberontak dan tentara Sriwijaya sehingga Sang Prabu Teguh Dharmawangsa (ayah mertua Airlangga) tewas dan Kerajaan Medang (Mataram) terampas.

Akan tetapi kemudian Airlangga berhasil merebut kembali kerajaan itu, membasmi musuh di antaranya Ki Patih Sepuh Hardogutomo dan kaki tangannya. Senopati itu, ayah Sunggono, yang menjadi kaki tangan Patih Sepuh Hardogutomo juga tewas dalam perang ini, akan tetapi Sunggono yang ketika itu masih muda, sempat melarikan diri.

"Wah, anakmas Jokowanengpati baru tiba? Sungguh anakmas telah membuat kami setengah mati menanti-nanti dengan hati gelisah." Begitu memasuki pondok, Sunggono menegur dengan kata-kata halus.

Jokowanengpati tersenyum dan menjawab, "Maaf, paman. Banyak sekali soal penting yang menghalang sehingga saya tidak mendapat kesempatan untuk menyusul ke sini. Paman harus maklum bahwa kita harus menghilangkan jejak dan harus berhati-hati sekali agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Selama setahun lebih ini, saya bertemu dengan tokoh-tokoh sakti sehaluan, dan selalu bersama mereka di Selopenangkep. Biarpun mereka adalah sahabat-sahabat sehaluan, tetap saja saya harus merahasiakan tempat ini. Baru sekarang saya mendapat kesempatan menyusul ke sini, harap paman maafkan atas kelambatan ini sehingga paman menjadi tak enak di hati."

"Sudahlah, tidak apa karena sekarang anakmas sudah datang. Akan tetapi selama berbulan-bulan itu hati saya selalu gelisah dan ketakutan. Pusaka itu bertuah dan kita sama tahu betapa orang setanah Jawa ini ingin sekali memilikinya. Apalagi orang-orang sakti yang mendengar lenyapnya pusaka itu tentu berlomba untuk mendapatkannya. Pusaka itu lambang kejayaan kerajaan dan mendatangkan wahyu mahkota, pasti menarik semua orang gagah dari empat penjuru untuk mendapatkannya. Bagaimana hati saya bias enak kalau ditempati pusaka seampuh itu? Tidur tak nyenyak makan tak enak.... eh, Mirah! Mana jamuan ? Lekas hidangkan kepada anakmas Jokowanengpati. Perutku sendiripun sudah amat lapar!"

Sunggono berteriak-teriak, tidak tahu betapa beberapa detik lamanya Jokowanengpati memandangnya dengan sinar mata tajam. Memang pemuda ini kaget sekali. Kiranya orang tua inipun sudah tahu keampuhan pusaka yang mereka larikan dari istana Kahuripan!

"Paman Sunggono, di manakah pusaka itu disimpannya? Aku ingin sekali menerimanya sekarang juga."

"Sabar... sabar anakmas. Setelah bersabar selama setahun lebih, hampir satu setengah tahun sehingga kami bertiga hidup seperti orang alasan (hutan), mengapa sekarang anakmas begitu tergesa-gesa? Kita makan lebih dulu, baru nanti bersama mengambilnya. Benda itu kami simpan di tempat rahasia yang aman."

Mirah memasuki pondok membawa satu kwali penuh sayur santen yang gurih baunya. "Di gunung tidak ada daging, kangmas Joko. Kelapa inipun harus mencari ke bawah gunung. Sayur-sayuran sih banyak!" kata Mirah dengan senyum manis dan mata mengerling tajam ketika ia meletakkan kwali di atas meja, kemudian dengan lenggang dan gerak pinggul menggairahkan wanita ini pergi mengambil nasi dan piring tanah, sebuah kendi terisi air dingin dan batok (tempurung kelapa) untuk minum.

"Wah, sayur bobor...! Seger dimakan panas-panas begini! Silakan, anakmas!" Sunggono berkata ramah.

Terpaksa Jokowanengpati menekan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat mengambil pusaka keraton Kahuripan, lalu ikut makan bersama. Sayur itu memang enak dan gurih, dan agak pahit karena dicampur dengan daun pepaya.

"Pahitkah daun pepayanya, kakangmas?" tanya Mirah.

Emban Mirah ini memang dahulu menjadi seorang di antara kekasih Jokowanengpati ketika mereka berdua masih bertugas di Kahuripan.

"Memang daun pepaya biasanya pahit, akan tetapi kalau engkau yang memasaknya, eh.... menjadi sedap, Mirah."

Sunggono tertawa bergelak, Wiratmo tersenyum sambil menundukkan kepala dan Mirah tersipu-sipu malu akan tetapi juga senang. Wanita mana di dunia ini yang tidak senang kalau dipuji? Dipuji apa saja, wajahnya, pandainya memasak, suaranya atau apa saja, asal yang memuji itu pria tentu menyenangkan hatinya. Apalagi kalau pria itu seorang pemuda seganteng Jokowanengpati!

Setelah kenyang makan nasi dan sayur sederhana diikuti air jernih yang amat dingin, bangkitlah Sunggono. Wajah orang tua itu berseri-seri ketika ia berkata, "Marilah, anakmas Jokowanengpati. Mari kita pergi mengambil pusaka yang kusimpan dalam gua Margoleno. Hayo Wiratmo dan Mirah, kalian ikut pula. Urusan ini diawali kita berempat, harus diakhiri kita berempat pula." Berangkatlah mereka mendaki lereng yang terjal menuju ke puncak yang penuh batu kapur.

"Mengapa gua itu bernama Margoleno (jalan maut), paman Sunggono?" tanya Jokowanengpati.

"Entahlah, anakmas. Mungkin karena pertapa Taru Jenar dahulu kabarnya mati di dalam gua ini selagi bertapa," jawab Sunggono.

Perjalanan dilanjutkan dan tak lama kemudian berhentilah mereka di depan sebuah gua yang besar dan gelap. Di atas gua yang merupakan puncak karang kapur, tumbuh rumpun yang lebat, juga di kanan kiri gua. Kelelawar terbang keluar masuk gua itu sehingga menambah serem.

"Mari kita masuk, anakmas," kata Sunggono agak takut-takut.

Namun Jokowanengpati sama sekali tidak takut. Dengan langkah lebar dan gagah ia memasuki gua itu dan sebentar saja mereka ditelan kegelapan, tak tampak dari luar. Terdengar suara Mirah menahan napas dan sedu, disusul suara Wiratmo mendesis mencegahnya bicara. Jokowanengpati menengok.

"Paman, kau di mana....?" Tiada jawaban! Jokowanengpati mendengar suara di sebelah kiri dan melihat dalam remang-remang itu tubuh Sunggono berjongkok lalu berdiri lagi.

"Majulah terus, anakmas...." Suara Sunggono gemetar dan tiba-tiba Jokowanengpati menerima pukulan yang cukup dahsyat dari belakang, mengenai punggungnya.

"Celaka....!" seru pemuda ini, akan tetapi karena ia memang memiliki kepandaian tinggi dan tubuhnya sudah amat kuat, secepat kilat kakinya terayun dan sebelum ia terjerumus ke depan, kakinya yang diayun miring itu berhasil mendupak dada Sunggono yang terhuyung ke belakang.

Betapapun juga, tubuh Jokowanengpati yang sudah terjerumus itu tak dapat ditahannya dan begitu ia melangkahkan kaki, tubuhnya terjeblos ke dalam sumur. Kiranya gua itu di dalamnya merupakan sumur yang entah sampai di mana dasarnya. Jokowanengpati tentu saja kaget sekali. Tahulah ia sekarang mengapa gua ini disebut jalan maut, kiranya merupakan jebakan yang amat berbahaya. Untung ia memiliki Aji Bayu Sakti, sebuah aji meringankan tubuh yang tiada keduanya.

Begitu tubuhnya terguling masuk sumur, Jokowanengpati mementang kedua lengannya, sekali menyentuh pinggiran sumur ia dapat menahan tubuhnya dan tidak terjerumus ke bawah. Ia berdongak dan mendapat kenyataan bahwa ia telah jatuh sedalam dua tiga tombak. Ia menahan napas, mengerahkan Aji Bayu Sakti. Tenaganya terkumpul pada kedua lengan dan tubuhnya menjadi ringan sehingga ketika ia menggerakkan kedua lengan mendorong, perlahan-lahan ia dapat merayap ke atas seperti seekor kadal saja!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Jokowanengpati. Begitu ia melompat keluar dari sumur, ia menyerbu keluar. Akan tetapi sebuah batu besar bergerak menutup lubang gua, dan terdengar suara Sunggono tertawa, "Ha-ha-ha, Jokowanengpati! Kau tahu sekarang mengapa ku namakan gua itu Margoleno? Mengasolah dengan tenang, orang muda!"

Kaget juga Jokowanengpati melihat batu sebesar itu bergerak menutup gua. Mungkinkah Sunggono, dibantu oleh Wiratmo dan Mirah, mampu menggerakkan batu sebesar itu yang tentu amat-berat? Akan tetapi ia tidak mau terheran lebih lama, cepat ia melompat maju dan sekali dorong sambil membentak marah, batu itu tertolak keluar dan tubuhnya sudah melompat keluar gua!

Kiranya di situ sudah berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang mengepungnya dengan golok di tangan. Adapun Sunggono sudah berdiri agak jauh, mendekap sebuah bungkusan kuning di dadanya. Wiratmo dan Mirah juga berdiri di dekat Sunggono. Mereka bertiga memandangnya, Wiratmo dan Mirah agak pucat, akan tetapi Sunggono masih tertawa.

"Paman Sunggono, apa artinya ini semua?" Jokowanengpati masih bertanya saking herannya, suaranya dingin sekali membuat tengkuk Wiratmo dan Mirah meremang. Akan tetapi Sunggono berkata dengan suara mengejek.

"Artinya, Jokowanengpati, saat ini adalah saat kematianmu, karena akulah yang berhak memiliki wahyu mahkota Mataram! Engkau ini ular kepala dua, mau enaknya saja. Bunuh dia!"

Suara Sunggono penuh wibawa ketika ia memberi aba-aba kepada lima orang anak buahnya itu. Lima orang ini adalah jagoan-jagoan yang dulu juga merupakan panglima-panglima perang dari Sang Prabu Digdyamenggala, Raja Kerajaan Wura Wari di daerah Ponorogo. Mendengar aba-aba ini, lima orang jago tua yang tubuhnya tinggi besar itu mengeluarkan suara bentakan keras dan menyerbulah mereka dengan golok besar yang datang sebagai hujan membacoki tubuh Jokowanengpati.

Namun Jokowanengpati mengeluarkan suara ketawa mengejek, tubuhnya tiba-tiba lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar golok yang gemerlapan. Bukan main hebatnya gerakan Jokowanengpati ini, bagaikan seekor burung kepinis gesitnya sehingga tak pernah ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya. Lima orang jagoan Wura Wari itu kaget dan penasaran. Ketika mereka menghentikan serangan, Jokowanengpati juga berhenti bergerak dan berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.

"Sudah lelahkah kalian?" ejeknya, akan tetapi matanya selalu melirik ke arah Sunggono. Ia tak menghendaki orang tua yang curang itu melarikan diri membawa pusaka itu selagi ia dikeroyok.

Seorang pengeroyok di depannya mendengus, goloknya menusuk ke arah perut pemuda itu, agaknya saking marah dan penasarannya ia hendak merobek perut dan mengeluarkan usus lawannya. Akan tetapi kini Jokowanengpati tidak lagi mempergunakan Bayu Sakti karena yang menyerangnya hanya seorang saja. la miringkan tubuh membiarkan golok menyambar lewat, kemudian secepat kilat tangan kirinya mengetuk pergelangan tangan kanan lawan dan tangan kanannya mengepal dan menghantam dahi. Hampir berbareng golok itu terlepas dan dahi itu pecah sehingga otaknya berhamburan!

Empat orang jagoan Wurawari terkejut sekali. Hampir mereka tak dapat percaya. Bagaimana seorang kawan mereka dapat binasa sedemikian mudahnya? Keheranan dan kekejutan ini berubah menjadi kemarahan meluap-luap, dan kembali mereka menerjang dengan sabetan dan bacokan membabi-buta.

Jokowanengpati tidak mau bersabar atau main-main lagi. Kembali tubuhnya berkelebat menggunakan Bayu Sakti, namun ia tidak hanya mengelak melainkan balas menyerang dengan hebat karena ia telah mainkan Ilmu Jonggring Saloko! Ilmu ini adalah ciptaan Empu Bharodo, seorang sakti mandraguna. Biarpun hanya merupakan pecahan dari ilmu aslinya permainan tombak, namun sudah amat hebat dan ampuh.

Mana mungkin empat orang jagoan Wurawari itu mampu menghadapinya? Segera terdengar suara berkerontangan dan golok beterbangan, disusul pekik mengaduh dan robohlah empat orang itu satu demi satu, roboh untuk tidak bangkit kembali karena pukulan Jokowanengpati yang mempergunakan Aji Siyung Warak adalah pukulan mematikan yang menghancurkan kepala atau memecahkan dada.

"Kau hendak lari ke mana??" Jokowanengpati melompat dan mengejar Sunggono yang sudah lari kencang meninggalkan tempat itu sambil mendekap bungkusan sutera kuning di depan dadanya.

Sunggono juga bukan seorang lemah. Sebagai putera seorang senopati, ia memiliki ilmu juga. Akan tetapi ia tidak dapat menandingi kecepatan Jokowanengpati yang mempergunakan Bayu Sakti dalam pengejaran ini. Beberapa kali lompatan saja cukup bagi Jokowanengpati untuk menyusulnya.

Tiba-tiba Sunggono yang tahu bahwa lari tiada gunanya, berhenti dan membalikkan tubuh. Tangannya sudah memegang sebatang keris, sikapnya mengancam.

"Hua-ha-ha-ha, lucu pertanyaanmu, Sunggono pengecut curang. Memang sejak semula, aku sudah bermaksud membunuh kalian bertiga agar jangan membocorkan rahasia. Kini kau mendahuluiku, ha-ha-ha, bagus sekali, berarti mengurangi dosaku. Berikan pusaka itu!"

"Tidak! Kau terima pusakaku ini!" Sunggono mendekap bungkusan sutera kuning dengan tangan kiri depan dada, lalu tangan kanannya menusukkan kerisnya.

Hebat juga serangannya, cepat sekali dan kuat. Kalau hanya lawan yang kepalang tanggung saja ilmunya, belum tentu akan mampu menghadapi serangan Sunggono. Akan tetapi Jokowanengpati menggerakkan tangan, menangkap pergelangan tangan yang memegang keris dan sekali putar keris itu sudah berpindah tangan!

"Berikan pusaka itu!" Jokowanengpati membentak dan memandang bengis.

"Tidak... tidak....!" Sunggono melompat mundur, kedua tangannya mendekap bungkusan sutera kuning.

"Setan!" Jokowanengpati menggerakkan tangannya dan keris rampasan itu meluncur ke depan dan..."cepp!" keris itu menghunjam di bawah tenggorokkan Sunggono. Darah mengucur keluar melalui gagang keris, bercucuran menimpa bungkusan sutera kuning, akan tetapi hebatnya, Sunggono tidak roboh.

"Berikan.....!" Jokowanengpati membentak lagi sambil melangkah maju.

Akan tetapi Sunggono mengguncang-guncang kepalanya. "Tidak....ti....kkk!" suaranya terhenti seperti lehernya dicekik, mukanya pucat dan matanya melotot. Keris itu menancap sampai ke gagang, namun ia masih belum roboh.

Jokowanengpati menyerbu ke depan dan sekali renggut ia berhasil merampas bungkusan sutera kuning yang sudah berlumur darah. Sambil tersenyum-senyum Jokowanengpati membuka sutera kuning dan matanya silau oleh cahaya yang bersinar ketika bungkusan dibuka. Di tangannya adalah pusaka yang lenyap dari keraton Kahuripan, pusaka bertuah, patung kencana Sri Bathara Wisnu yang kini berlepotan darah, darah Sunggono.

"Kembalikan....!" Sunggono menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram baju Jokowanengpati, tangan kanan meraih hendak merampas patung. Jokowanengpati menggerakkan tangannya menghantam lengan kanan Sunggono yang terulur ke depan.

"Krekkkk!"

Lengan itu terkulai karena tulangnya telah terpukul patah. Namun Sunggono seperti orang gila masih meraih lagi, kini dengan lengan kirinya. "Kembalikan...!"

Sekali lagi Jokowanengpati memukul dengan Aji Siyung Warak.

"Krekkkk!"

Patahlah tulang lengan kiri Sunggono sehingga kedua lengannya lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Namun dasar orang sudah nekat dan tidak normal lagi pikirannya, ia masih saja berusaha mendekati Jokowanengpati.

"Bedebah, mampuslah!" Jokowanengpati menggunakan tangannya mencengkeram dada lawan, mengerahkan tenaga dan "kkraaaaakkkk!"

Robeklah dada itu karena iganya sempal (patah-patah). Jokowanengpati cepat melompat ke belakang agar jangan terkena percikan darah yang menyemprot. Tubuh Sunggono berkelojotan, matanya masih mendelik-delik dan akhirnya diam tak bergerak lagi. Jokowanengpati menengok, melihat bayangan dua orang berlari-lari. Ia mengeluarkan dengus mengejek dan tubuhnya berkelebat mengejar. Wiratmo dan Mirah lari bergandengan tangan, terengah-engah, melalui jalan setapak di pinggir jurang.

Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!"

Bagaikan disambar petir keduanya berhenti, seperti berubah menjadi batu, kemudian perlahan membalikkan tubuh. Ternyata Jokowanengpati telah berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum-senyum, akan tetapi senyum yang bagi mereka berdua amat menyeramkan. Ketika Wiratmo melihat betapa pandang mata itu melekat kepadanya, kakinya menggigil dan ia segera menjatuhkan dirinya berlutut sembah di depan Jokowanengpati sambil meratap-ratap.

"Ampunkan saya, raden... saya tidk ikut-ikut... saya... saya tidak tahu-menahu tentang kecurangan dan pengkhianatan paman Sunggono ".

Senyum mulut Jokowanengpati melebar, pandang matanya bersembunyi di balik bulu mata yang merapat. "Hemm, engkau memang seorang yang baik bukan, kakang Wiratmo?"

Seakan berhenti jalan darah di tubuh Wiratmo, Ucapan itu biarpun terdengar manis, namun sikap dan cara mengucapkannya mengandung ejekan dan ancaman yang mengerikan. Ia menyembah. "Raden jokowanengpati... biarpun saya bukan seorang baik... namun... saya setia terhadap raden... dan..."

"Dan engkau main gila dengan Mirah, bukan? Engkau tahu bahwa Mirah adalah milikku, akan tetapi kau lahap, kau rakus, engkau berani mencuri dan mencicipi dari piringku selama aku tidak ada! Engkau berzina dengan Mirah, dan masih kau bilang bahwa engkau setia kepadaku? Heh? Hayo bicaralah!"

Tubuh Wiratmo menggigil, mukanya pucat dan ia tidak mampu bicara, hanya menyembah-nyembah minta ampun.

"Desss!!"

Sebuah tendangan mengenai dagunya. Tubuh Wiratmo seperti disambar petir, terlempar dan terbanting pada karang di belakangnya. Mulutnya berdarah ketika ia merangkak-rangkak bangun akan tetapi kembali kaki Jokowanengpati bergerak menendang.

"Blukkk!"

Dadanya menjadi sasaran. Tendangan kilat itu amat kuat dan kini tubuh Wiratmo terbanting hebat, kepalanya bercucuran darah dari luka di bagian belakang, napasnya terengah-engah karena tendangan itu seakan-akan telah merampas semua napasnya.

"Am... ampun...!" Akan tetapi Jokowanengpati sudah maju lagi dan setiap kali tubuh Wiratmo hendak bangkit, sebuah tendangan merobohkannya kembali.

Mirah menutupi muka dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil dan ia tak dapat menahan kengerian hatinya menyaksikan Wiratmo disiksa seperti itu. "Kakangmas Joko... sudahlah, kangmas... ahhh, kasihanilah...!!! "

"Dessss!"

Kali ini tangan kiri Jokowanengpati menghantam, tepat mengenai puingan (pelipis) kepala Wiratmo. "Aduuhh mati aku.....!"

Tubuh Wiratmo bergulingan, berkelojotan di atas tanah dan rintihan yang keluar dari mulutnya bukan seperti suara manusia lagi. Darah keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya! Pukulan tadi menggunakan Aji Siyung Warak, ampuhnya mengerikan.

"Kakangmas Joko....! " Mirah menangis terisak-isak menutupi muka, akan tetapi telinganya mendengar rintihan itu seakan-akan meremas-remas jantungnya, maka ia tersedu dan membalikkan tubuhnya agar tidak melihat Wiratmo sambil menggunakan kedua tangan menutupi telinga agar tidak mendengar lagi rintihan itu.

"Kau... hendak membelanya? Kau mencintanya?" Jokowanengpati bertanya, suaranya dingin menyeramkan.

"Tidak...! Oh, tidak...! Kakangmas, setahun lebih kakangmas tidak datang... saya kesepian, kangmas... dan dia... dia baik sekali kepada ku"

"Cuhh!" Jokowanengpati meludah ke arah Mirah. "Perempuan hina!"

Tubuh Wiratmo masih dapat merangkak lagi, akan tetapi sekali lagi tangan kiri Jokowanengpati menampar kepala dan pecahlah kepala Wiratmo. Dari kepala yang pecah keluar otak bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.

"Hemm, giliranmu sekarang...!" Pemuda yang kini memperlihatkan watak aslinya yang sering disembunyikan di belakang sikap halus karena cerdiknya itu menghampiri Mirah.

Mirah terkejut, lupa akan kengeriannya tadi dan cepat ia melangkah mundur, wajahnya pucat matanya terbelalak. "Jangan, kakangmas...! Sungguh mati saya tidak mencinta dia... cinta saya hanya kepadamu, kangmas. Lupakah kakangmas betapa saya telah berkorban untukmu? Siapakah yang membantu kakangmas membawa lari pusaka itu dari keraton? Kakangmas Joko, kasihanilah saya..."

Jokowanengpati melihat mata yang bening terbelalak, mulut yang merah itu setengah terbuka, agak berkurang marahnya. Apalagi ia teringat bahwa wanita ini memang amat mencinta dan setia kepadanya. Tentang permainannya dengan Wiratmo, hal itu sudah biasa karena Mirah memang ia tinggalkan sampai setahun lebih.

"Hemmm, baiklah. Mengingat perhubungan kita dan jasamu, biarlah kuampunkan kau, Mirah."

"Kakangmas Joko... terima kasih...!" Mirah girang sekali dan maju menubruk kaki Jokowanengpati sambil berlutut. Akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia telah menyambak Mirah, menariknya berdiri, mendekapnya dan mencium bibirnya penuh nafsu. Mirah menjerit lirih dan ketika Jokowanengpati melepaskan ciumannya, bibir wanita itu bercucuran darah!

"Ini untuk hukumanmu, lain kali kalau aku mendapatkan engkau bermain gila dengan laki-laki lain, lehermu kupatahkan!"

Mirah hanya menunduk sambil mengusap darah yang terus mengucur dari bibirnya yang tergigit pecah. Mendadak Jokowanengpati berteriak keras dan muka pemuda itu seketika menjadi pucat sekali, tangan kiri mendekap patung kencana tangan kanan menekan perutnya.

"Aduh.... celaka....! Aduhhhh...!" Ia terhuyung-huyung, meramkan mata dan mulutnya menggeget (menggigit keras-keras) gigi sampai mengeluarkan bunyi. Dahinya penuh peluh dan tubuhnya menggigil. Ketika ia membelalakkan matanya yang tiba-tiba menjadi merah itu, ia melihat Mirah sudah lari menjauhkan diri, sejauh sepuluh meter lebih. Wanita itu berdiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut yang bibir bawahnya berdarah itu membayangkan senyum.

"Kau...! Kau...!" Jokowanengpati melompat, akan tetapi begitu bergerak, ia roboh terguling di atas tanah, mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Hebat sekali rasa nyeri yang menyiksanya. Perutnya terasa terbakar dan ditusuk-tusuk sebelah dalam.

Sebagai seorang berilmu tinggi ia maklum bahwa ia telah menjadi korban racun. Tidak mungkin ia terkena racun kecuali melalui masakan Mirah tadi. Ia mengerahkan tenaga untuk bangkit kembali, akan tetapi rasa nyeri membuat ia terguling lagi dan kini patung kencana dalam bungkusan sutera kuning yang berlumur darah itu terlepas dari pegangannya. Ia seperti lupa kepada patung itu karena kedua tangannya meremas-remas perutnya yang sakit bukan main. Mirah melangkah maju, wajahnya berseri, matanya liar dan mulut yang masih ada darahnya di bibir bawah itu tertawa.

"Hi-hi-hik! Jokowanengpati rasakan kau sekarang! Manusia keji, manusia tak kenal budi. Rasakan kau sekarang!"

Sedetik Jokowanengpati melupakan rasa nyeri di perutnya. Ia terbelalak dan memandang Mirah dengan mata mendelik. "Perempuan hina! Kau meracuni aku! Daun... daun kates (pepaya) itu... rasa pahit itu untuk menyembunyikan rasa racun... kau... kau... siluman betina... kubunuh engkau...!"

Ia melompat lagi, akan tetapi untuk ketiga kalinya ia terguling. Tubuhnya bergulingan dan berkelonjotan menjauhi patung kencana. Mirah tertawa lagi, lari maju dan mengambil patung kencana, didekapnya di dadanya. "Heh-heh-hi-hik! Enakkan rasanya, Jokowanengpati? Rasakanlah pembalasan tangan Mirah." Setelah berkata demikian, Mirah lalu lari membawa patung kencana.

"Mirah...!!" Bagaikan ada kekuatan gaib yang mendorongnya, Jokowanengpati melompat dan lari mengejar. Ia berhasil mencengkeram dari belakang, akan tetapi karena kegesitannya berkurang banyak, ia hanya berhasil mencengkeram kemben berkembang. Namun tangannya masih hebat karena sekali merenggut, kemben itu terlepas dan Mirah jatuh terguling. Patung kencana terlepas dari pegangannya. Bukan main kagetnya wanita ini, apalagi setelah melihat tubuh Jokowanengpati merangkak menghampirinya.

"Heh-heh-heh., aduhhh....., heh-heh, hendak lari ke mana kau Mirah ? Heh-heh..... aduhhh....." Sambil tertawa dan meringis-ringis kesakitan Jokowanengpati merangkak maju, kedua tangannya seperti cakar setan hendak meraih Mirah. Mukanya penuh peluh, matanya merah, napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan busa. Wajah yang biasanya ganteng tampan itu kini seperti muka iblis mengerikan.

"Aaiiiihhhh!" Mirah menjerit ketakutan, merangkak bangun dan hendak lari. Akan tetapi tangan Jokowanengpati yang menjangkau berhasil mencengkeram ujung kainnya. Mirah lari dan meronta, Jokowanengpati bertahan.

"Reeeeetttt!!"

Kain itu koyak-koyak dan terlepas dari tubuh Mirah. Wanita itu memekik ngeri dan tubuhnya yang kini bertelanjang bulat itu terguling lagi. Jokowanengpati dengan napas terengah-engah menubruk, namun Mirah saking takutnya mendapatkan kegesitan luar biasa, sudah berhasil melompat berdiri lagi dan hendak lari. Jokowanengpati juga melompat berdiri, tangannya meraih namun meleset dan Mirah lari ke depan. Jokowanengpati mengejar dengan sebuah lompatan jauh, tangannya mencengkeram dan kini berhasil memegang rambut hitam panjang yang terurai di belakang.

Sekali menggentarkan tangan, Mirah kembali terguling Namun ia meronta-ronta, mereka bergumul, Jokowanengpati yang sudah lemas tenaganya itu tidak dapat mempergunakan tenaga sakti, hanya berusaha mencekik leher yang berkulit halus kuning. Mirah meronta, mereka bergulingan. Wanita itu menggunakan giginya menggigit lengan sehingga cekikan Jokowanengpati terlepas. Mirah bangkit dan lari, namun rambutnya masih dalam cengkeraman.

"Aduhhh.... lepaskan.....! Lepaskan..... toloooonggg.....!" Mirah meronta-rontah sekuat tenaga. Saking takut dan ngerinya, wanita itu menjadi kuat sekali, sebaliknya pengaruh racun membuat Jokowanengpati menjadi lemah. Oleh karena itu Mirah berhasil lari menyeret Jokowanengpati yang tidak juga mau melepaskan rambut panjang itu.

"Aduh.....! Lepaskan....... lepaskan......!" Mirah berteriak-teriak kalap, meronta-ronta ke kanan kiri, tidak tahu bahwa mereka berdua bergumul di dekat jurang. Jokowanengpati yang cerdik biarpun sudah hampir pingsan oleh pengaruh racun, dapat melihat ini, maka ia tertawa menyeramkan.

"Heh-heh-heh-heh....... ahhh, aduhhh..... he-he-heh!"

"Lepaskan, Joko......, aduh, lepaskan..... tolooonggg.....!"

Tiba-tiba Jokowanengpati menendang kaki Mirah. Mirah terhuyung ke belakang dan tubuhnya menginjak tempat kosong. Jokowanengpati cepat bertiarap mencengkeram batu karang, namun masih juga belum melepaskan rambut.

"Aaiiiiihhhhh......!!" Mirah menjerit dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di bibir jurang yang amat curam, hanya tertahan oleh rambutnya yang masih dicengkeram Jokowanengpati.

"Kakangmas Joko...... tolonglah aku..... tolonglah aku, naikkan..... lekas..... aduhhh. tolong....."

"Ha-ha-ha-ha-ha..... aduhh kau meracuni aku, ya? Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang meringis kesakitan, Jokowanengpati melepaskan rambut yang dicengkeramnya.

"Aaaaaaaaaaahhhh.......!" Lengking mengerikan bergema di lereng Lawu menjelang senja itu, mengiringkan tubuh telanjang bulat yang tentu akan hancur dan mawut terbanting di dasar jurang yang curam. Jokowanengpati terengah-engah, merangkak bangun, terhuyung-huyung menghampiri patung kencana yang terbungkus sutera kuning berlumur darah. Diambilnya patung itu, didekapnya erat-erat kemudian ia memaksa diri berjalan menuruni lereng. Kedua kakinya gemetar, tubuhnya menggigil dan kadang-kadang ia menekan perutnya sambil menyumpah-nyumpah.

"Jahanam...! Perempuan laknat...! Aduuuuhhh...., aku harus bertahan... harus bisa mencapai dusun... harus..., harus.....!"

Kekuatan badannya memang luar biasa. Berkat gemblengan Empu Bharodo sejak kecil, racun yang bagi orang lain tentu akan menewaskan seketika itu, masih belum merobohkannya, ia berjalan terhuyung, kadang-kadang merangkak menuruni lereng Gunung Lawu. Hari telah gelap ketika ia roboh pingsan di depan pintu pondok kecil di lereng paling bawah, pondok kecil petani yang terpencil. Ia hanya mampu mengeluh ketika melihat sinar lampu menerobos celah-celah bilik, "....... tolong........! " Kemudian tak sadarkan diri.

Pemilik pondok itu seorang petani berusia tiga puluh tahun yang tinggal di situ bertani bersama isterinya yang hanya dua tiga tahun lebih muda daripadanya. Mereka tinggal bersunyi di lereng ini, hidup bertani sederhana, karena mereka memang tidak mempunyai banyak butuh. Mereka tidak punya anak, dan untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua, tanah di lereng Lawu sudah lebih dari cukup, berlimpah-limpah. Nama petani ini Kismoro dan isterinya Wiyanti.

"Kakang, ada suara orang minta tolong....." Wiyanti bangkit dari atas tikar anyaman daun kelapa.

Suaminya juga bangkit, mendengarkan. "Aku juga mendengar, akan tetapi kurasa bukan orang. Mana ada orang minta tolong?"

"Kakang, lebih baik kita lihat dulu,siapa tahu....."

Mereka berdiri dan menuju ke pintu pondok, membuka pintu pondok yang sengaja agak diperkuat, bukan takut akan maling atau rampok, melainkan menjaga jangan sampai harimau atau monyet mengganggu selagi mereka tidur.

"Ah, benar! Ada orang di situ.....!" Kismoro segera menghampiri tubuh laki-laki yang rebah miring.

"Wah, jangan-jangan dia mati..... ah, tidak, masih hidup, agaknya pingsan....."

Dibantu isterinya, Kismoro mengangkat tubuh Jokowanengpati yang masih tetap mendekap bungkusan sutera kuning itu, masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam dan tersinar cahaya lampu, mereka melihat pakaian serba hitam yang halus serta raut wajah yang tampan, sehingga Kismoro berseru, "Ah, agaknya ia seorang bangsawan"

"Dia tentu sakit, kakang....."

"Kita tidurkan dia di bilik, biar kita di luar saja. Kita rawat dia seperlunya."

Sibuklah dua orang suami isteri ini. Mereka membaringkan tubuh Jokowanengpati di atas balai-balai bambu, satu-satunya perabot pondok mereka. Dengan hati-hati Kismoro lalu mengambil bungkusan sutera kuning itu agar Jokowanengpati dapat berbaring lebih enak, kemudian ia meletakkan bungkusan itu di sudut balai-balai.

"Lekas kau masak air panas, biar kucuci muka dan dadanya, wah, dia benar-benar sakit, lihat dia mengerang-erang dan tubuhnya penuh peluh. Setelah masak air, kau menganyam janur untuk tikar, kita tidur di luar bilik saja."

Tanpa membantah isteri setia ini cepat melakukan perintah suaminya, hatinya agak tenang karena mengira bahwa yang mereka tolong tentulah seorang bangsawan tinggi. Mungkin seorang pangeran, pikirnya, atau setidaknya tentu putera tumenggung! Orang muda yang begini tampan dan pakaiannya begitu halus, membawa bungkusan sutera kuning pula, tentulah seorang keluarga keraton!

Ketika Kismoro mencuci muka dan dada, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Pikirannya yang cerdik segera membuat ia sadar bahwa ia telah ditolong oleh penduduk dusun, penghuni pondok itu mungkin. Hatinya agak lega, dan dia berbisik lemah, "Kisanak, tolonglah... aku terkena racun..."

Setelah berkata demikian, ia bangkit duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan hawa beracun yang mengeram dalam perutnya. Ia maklum bahwa dengan jalan ini ia akan dapat bertahan, akan dapat mencegah hawa beracun itu merusak isi perutnya sampai datang obat penolong. Kalau ia banyak bicara, hal itu akan membuat keadaannya makin berbahaya. Kalau saja ia tadi tidak mempergunakan terlalu banyak tenaga berkejaran dengan Mirah, tentu keadaannya tidak separah ini. Kismoro terbelalak kaget, melihat laki-laki tampan itu duduk seperti samadhi, ia tidak berani mengganggu dan cepat-cepat ia menyelinap keluar bilik menemui isterinya.

"Wah, celaka, Wiyanti, dia..... dia bilang terkena racun....."

"Hee? Terkena racun ? Apanya?"

"Dia tidak terluka, tentu ada racun termakan olehnya. Ah, aku harus cepat mencari obat pemunah racun."

"Daun dan akar Widoro Upas.....?"

"Apa saja yang dapat melawan racun. Ada dua tiga macam daun yang kutahu dapat melawan racun. Eh, kalau nanti dia minta minum, kau beri minum air dawegan (kelapa muda), pilih yang hijau"

"Ihh, kau sendiri mau ke mana?" tanya isterinya, agak ngeri karena ingat bahwa tamu mereka itu sakit berat, terkena racun. Siapa tahu akan mati selagi suaminya pergi ?

"Aku harus mencari obat pemunah."

"Jangan sekarang. Malam-malam begini mau ke hutan? Bagaimana kalau muncul macan atau kau dikeroyok lutung?"

"Tapi dia perlu ditolong....."

"Kakang, memang sudah semestinya dia ditolong. Akan tetapi kalau membahayakan keselamatanmu sendiri, aku tidak rela. Bagaimana kalau kau tertimpa bencana di hutan, dimakan harimau atau dikeroyok lutung? Kau celaka, diapun tidak tertolong, tinggal aku sendiri yang kebingungan setengah mati. Tidak, tidak boleh kau pergi, besok pagi-pagi saja."

"Tapi dia....." Wiyanti merangkul suaminya. "Kakang, kalau kau memaksa pergi, boleh, akan tetapi aku ikut. Biar mati kalau bersamamu tidak mengapa."

Akhirnya si suami mengalah, apalagi ketika ia melihat betapa tamunya itu masih duduk bersamadhi dan agaknya tenang, tidak terdengar mengeluh lagi, ia merasa lega dan menunda niatnya mencari daun obat. Semalam ini suami isteri ini tidak dapat tidur pulas. Bukan karena tidur di atas tanah bertilam tikar daun kelapa, hal ini sudah biasa bagi mereka, akan tetapi mereka hanya rebah-rebahan saja dan tak dapat tidur karena mereka memikirkan tamu mereka. Sebentar-sebentar Kismoro bangkit dan menjenguk ke dalam bilik. Heran ia melihat tamunya yang muda dan tampan itu masih saja duduk bersila.

"Ah, dia tentu seorang satria," bisiknya dekat telinga isterinya, "agaknya semalam suntuk ia akan bersamadhi. Alangkah kuatnya ia bertapa."

"Tidak seperti engkau, setiap malam tidur melingkar seperti ular kekenyangan!" bisik isterinya.

"Wah, wah! Kau ingin mempunyai suami satria, begitukah?" Suaminya mencela.

"Satria mana sudi dengan aku? Pula, aku lebih senang punya suami engkau daripada segala macam satria. Menjemukan benar, kerjanya hanya duduk bersila!"

Percakapan itu dilakukan sambil berbisik-bisik agar jangan mengganggu tamu mereka. Siapa kira, biarpun dalam samadi mengerahkan tenaga dalam melawan racun, percakapan bisik-bisik ini tidak pernah terlepas dari telinga Jokowanengpati!


Tak lama kemudian ia sudah kembali bersama seorang kakek setengah tua berjubah kuning. Kepalanya yang dicukur gundul tertutup kain berwarna kuning pula. Melihat kepalanya yang tak berambut, mudah diduga bahwa dia adalah seorang penganut Agama Budha, seorang wiku yang bertapa di gunung-gunung, wajahnya tenang dan sinar matanya lembut.

Memang dia adalah seorang pertapa, seorang pendeta Agama Budha yang berasal dari barat, dari daerah Sriwijaya. Dia sampai di lereng Lawu dalam usahanya mencari dan mengumpulkan daun-daun dan akar-akar obat karena Wiku Jaladara ini adalah seorang ahli pengobatan. Secara tidak disengaja ia bertemu dengan Kismoro yang sedang mencari daun penawar racun.

Terjadilah tanya jawab dan mendengar bahwa Kismoro sedang berusaha mencarikan obat bagi seorang yang menjadi korban racun. Wiku Jaladara segera menawarkan bantuannya. Tentu saja penawaran ini diterima dengan girang oleh Kismoro dan segera ia mengajak sang pertapa pulang ke pondoknya setelah mereka mengumpulkan daun-daun obat menurut petunjuk sang wiku.

Atas pandang mata penuh pertanyaan dari isterinya, Kismoro segera berkata, "Isteriku, inilah bapa Wiku Jaladara yang berkenan hendak menolong tamu kita."

"Wah, syukurlah..... syukurlah.....aku sudah khawatir sekali, kang. Tamu kita sejak pagi tadi merintih saja....."

Sang pertapa lalu diantar masuk ke dalam bilik. Benar saja laporan Wiyanti, setibanya di dalam bilik, mereka melihat Jokowanengpati rebah telentang dan merintih perlahan. Wiku Jaladara menghampiri dan memandang penuh perhatian, kemudian meraba lengan dan dahinya lalu mengangguk-angguk.

"Dia teracun perutnya. Aneh dia masih dapat bertahan. Eh, nini, lekas kau godok daun-daun ini sampai mendidih, biarkan airnya menguap tinggal setengahnya. Airnya beri tiga batok."

Wiyanti cepat melaksanakan permintaan pertapa ini. Sehari itu sang wiku berdiam di dalam pondok dan Jokowanengpati diberi minum jamu sampai enam kali, dilayani penuh perhatian oleh Wiyanti dan Kismoro. Menjelang senja, Jokowanengpati muntahkan darah hitam dan setelah itu ia dapat tidur nyenyak, napasnya teratur dan tenang, tubuhnya tidak panas lagi.

Dalam keadaan masih belum sadar ia disuapi nasi encer dan sayur asam oleh Wiyanti atas petunjuk Wiku Jaladara. Banyak sekali makannya pemuda itu sehingga Wiyanti dan suaminya tersenyum geli, juga girang karena ini merupakan tanda bahwa si tamu telah sembuh. Menjelang senja hari itu, untuk terakhir kalinya Wiku Jaladara datang ke bilik memeriksa keadaan Jokowanengpati yang masih tidur nyenyak. Ia meraba dahi dan dada, lalu menarik napas lega dan berkata kepada suami isteri yang berada di dalam bilik pula.

"Ia sudah sembuh, hanya tinggal istirahat dan dalam beberapa hari tentu sehat kembali. Saya akan pergi sekarang."

"Ah, bapa wiku yang mulia. Kami harap bapa sudi bermalam di sini," kata Kismoro menahan.

BADAI LAUT SELATAN JILID 09


Badai Laut Selatan Jilid 08

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 08

"ha-ha-ha...! Hayo pergunakan keris dan golok kalian!" Ki Warok tertawa sambil mengelus-elus jenggot dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang.

Tiga orang penjaga itu merayap bangun dengan muka merah. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut keris dan golok, menyerang lagi, menusuk dan membacok sekenanya. Bahkan ada yang menusuk muka, membacok kepala, pendeknya mereka menghujani tubuh Ki Warok dengan senjata mereka. Namun sia-sia, serangan itu semua tidak ada artinya bagi orang sakti ini dan begitu ia mengerahkan tenaga, keris-keris menjadi patah dan golok-golok rompal semua! Tiga orang penjaga itu mengundurkan diri dengan muka pucat.

"Wah, hebat sekali! Ki Warok Gendroyono benar-benar seorang sakti mandraguna!" kata Adipati Joyowiseso girang dan kagum. Ki Warok hanya tersenyum dan mengenakan kembali bajunya.

Kepandaian seperti itu saja apa sih anehnya, ia pikir. Belum lagi ia memperlihatkan keampuhan Ki Bandot! Akan tetapi kolor pusaka ini hanya boleh dipergunakan di waktu menghadapi lawan tangguh, sama sekali tidak boleh dibuat main-main.

Melihat orang-orang sudah mulai memperlihatkan kepandaian, Ki Krendoyakso yang baru berusia empat puluh tahun itu menjadi panas perutnya. Dia adalah seorang kepala rampok yang terperosok ke dalam peryakinan ilmu hitam, seorang ahli racun, akan tetapi selain kepandaian yang menyeramkan ini iapun terkenal seorang yang amat kuat. Kini ia celingukan memandang ke kanan kiri, kemudian keluar jendela. Ruangan tamu di belakang ini menembus sebuah taman yang tampak dari jendela yang terbuka lebar. Segera ia bangkit dan berkata, "Aku yang bodoh dan kasar hanya dapat bermain-main dengan pohon di luar itu."

Tanpa menanti jawaban ia melangkah lebar, keluar dari pintu dekat jendela lalu menghampiri pohon dalam taman. Semua orang menoleh dan menonton melalui jendela. Begitu dekat dengan pohon, Ki Krendayakso memasang kuda-kuda, berseru keras dan lengan kanannya yang panjang besar itu meluncur ke depan, dengan jari-jari terbuka ia menusukkan jari-jari tangannya kepada batang pohon.

Bagaikan lima batang pisau runcing, kelima jari tangan kanan itu menancap ke dalam pohon, lalu dicabutnya kembali. Semua orang termasuk Adipati Joyowiseso memandang rendah pertunjukan ini. Apa sih sukarnya ini? Asal orang mempelajari sedikit ilmu saja, tentu mampu menusukkan tangannya ke dalam batang pohon! Mengapa raksasa yang terkenal ini hanya mampu melakukan hal yang serendah ini?

Akan tetapi baru saja Adipati Joyowiseso berpikir demikian, tiba-tiba Jokowanengpati berseru, "Lihat daun-daun itu, bukan main!"

Adipati Joyowiseso memandang dan mukanya menjadi pucat membayangkan kengerian. Daun-daun di atas pohon itu menjadi layu secara mendadak dan kini mulai rontok berhamburan dengan warna berubah kuning! Ternyata tangan yang menusuk batang pohon tadi telah menyalurkan hawa beracun yang sedemikian hebatnya sehingga mampu meracuni semua daun di atas pohon yang besar. Bukan main! Pohon saja tidak mampu menahan, apalagi kalau tubuh orang yang terkena tusukan jari-jari tangan itu! Ki Krendayakso tidak hanya berhenti sampai di situ.

Tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya menyerbu ke depan dan dengan keras sekali bahu dan kepalanya menabrak batang pohon. Terdengar suara hiruk-pikuk dan batang pohon yang sudah tak berdaun lagi itu tumbang! Ki Krendayakso tersenyum lalu berjalan kembali ke ruangan tamu dengan lenggang seenaknya dan langkah lebar-lebar, disambut pujian-pujian Adipati Joyowiseso dan tamu-tamu lainnya.

"Tiga orang saudara yang sakti telah memberi pertunjukan," kata Adipati Joyowiseso. "Biarpun saya sudah menyaksikan kesaktian paman Cekel Aksomolo, akan tetapi untuk mempererat perkenalan dengan yang lain, ada baiknya apabila paman sudi memberi sedikit pertunjukan untuk meramaikan pertemuan ini."

Cekel Aksomolo tertawa terkekeh. "Ahh, aku seorang yang tidak punya nama. Karena aku hanya mengandalkan kepada aksomolo (tasbih), maka tanpa aksomolo aku bukan apa-apa. Biarlah tasbihku memberi sedikit pertunjukan, kalau kurang memuaskan harap jangan ditertawakan."

Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan penutup-penutup telinga sambil berkata lagi, "Aku tidak mau membikin susah saudara-saudara yang hadir di sini, juga tidak bermaksud memandang rendah. Karena itu aku sediakan penutup telinga ini dan bagi siapa yang hendak menutupi telinganya, kupersilakan mengambil sendiri dan memakainya. Akan tetapi kepada kanjeng adipati kunasehatkan untuk memakainya."

Adipati Joyowiseso sudah maklum akan keampuhan tasbih kakek ini, maka segera ia menjumput dua buah benda seperti kapas, lalu tertawa sambil berkata, "Suara tasbih paman Cekel benar-benar hebat, saya tidak berani menghadapinya tanpa memakai penolak ini."

Juga Jokowanengpati segera mengambil sepasang benda itu. Melihat ini Wisangjiwo juga mengambil dua buah. Akan tetapi lima orang sakti yang lain, Ni Nogogini, Ni Durgogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendayakso, dan Ki Tejoranu, hanya memandang sambil tersenyum saja, tidak mengambil alat penutup telinga.

Cekel Aksomolo lalu memanggil dua orang penjaga. Mereka ini menjadi pucat, menggeleng-geleng kepala dan hendak mengundurkan diri. Mereka maklum akan kesaktian kakek ini yang sudah mereka saksikan sendiri ketika suara tasbih mempermainkan para penabuh gamelan dan para waranggana. Akan tetapi bentakan Adipati joyowiseso membuat mereka datang munduk-munduk (terbongkok-bongkok) dengan tubuh menggigil.

"Uahh-huh-huh, jangan takut kalian berdua. Aku tidak akan mencelakai kalian, hanya akan mempermainkan kalian untuk sekedar pertunjukan dan menggembirakan suasana," kata Cekel Aksomolo sambil menggerakkan tasbihnya.

Adipati Joyowiseso, Jokowanengpati dan Wisangjiwo cepat menyumbat telinga mereka. Tasbih di tangan Cekel Aksomolo berkeritik perlahan akan tetapi makin lama makin cepat. Terciptalah suara aneh seperti tikus mengerikiti kayu dan terkejutlah lima orang sakti yang hadir di situ. Suara ini seperti mengorek kendangan telinga mereka, menimbulkan rasa keri (geli) yang tak tertahankan. Cepat mereka mengerahkan tenaga batin, mengumpulkan hawa sakti dan menyalurkannya ke telinga untuk melawan pengaruh aneh ini.

Akan tetapi kedua orang penjaga itu sudah gulung-kuming (bergulingan) dan tertawa-tawa terpingkal-pingkal. Keadaan menjadi lucu sekali. Seperti dua orang badut, mereka ini tertawa-tawa, Keadaan menjadi lucu sekali. Terkena pengaruh suara tasbih Cekel Aksomolo, kedua penjaga itu tertawa terbahak-bahak tanpa berhenti. Ada kalanya terkekeh lalu terbahak-bahak dan di lain saat terpingkal-pingkal tanpa mengeluarkan suara. Kalau dilanjutkan, tentu mereka berdua akan kejang bias mati tertawa! Akan tetapi tiba-tiba suara tasbih berhenti dan dua orang itu mendadak berhenti pula tertawa, terengah-engah lalu bangkit berdiri.

Akan tetapi kembali Cekel Aksomolo menggerakkan tasbihnya dan kali ini yang terdengar suara mengaung seperti ratusan ekor nyamuk terbang di depan telinga. Dua orang penjaga itu tiba-tiba menangis, tak tertahankan lagi, menangis terisak-isak, jatuh berlutut, kmudian bergulingan dan masih menangis menggerung-gerung

Hanya sebentar saja Cekel Aksomolo menyiksa mereka. Tasbihnya segera berhenti bergerak dan dua orang penjaga itu sadar kembali. Mereka masih terisak-isak ketika Cekel Aksomolo memberi tanda supaya mereka pergi. Adipati Joyowiseso mengeluarkan penyumbat telinga, demikian pula Jokowanengpati dan Wisangjiwo.

"Hebat sekali kepandaian paman Cekel," kata sang adipati.

Juga lima orang sakti itu diam-diam terkejut dan kagum. Pantas saja nama Cekel Aksomolo amat terkenal, kiranya kakek itu memiliki tenaga dalam dan hawa sakti yang amat kuat sehingga mampu menggerakkan tasbih sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan suara-suara mujijat yang amat berbahaya bagi musuh. Akan tetapi, dalam pertunjukan tadi, kelima orang itupun masing-masing secara tidak langsung telah memperlihatkan kekuatan tenaga dalam mereka dengan kesanggupan mereka melawan pengaruh suara tasbih itu.

"Uuh-huh-huh, apa sih artinya kepandaian seperti itu? Aku seorang tua yang tiada gunanya. Mana bisa dibandingkan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Nama mereka menjulang tinggi di angkasa, tentu kepandaian mereka berdua ini juga setinggi langit!"

"Saya tidak berani menyusahkan kedua Nini Dewi, akan tetapi karena semua sudah memberi pertunjukan kiranya anda berdua takkan berkeberatan pula menambah kegembiraan pertemuan ini," kata Adipati Joyowiseso yang merasa sungkan karena mereka berdua adalah wanita-wanita dan seorang di antara mereka malah guru puteranya.

Ni Durgogini tersenyum. Bibirnya yang bawah bergerak-gerak aneh menimbulkan kemanisan luar biasa dan memperlihatkan bibir sebelah dalam yang halus kemerahan dan basah. "Kami adalah wanita, lebih mengutamakan kehalusan, biarlah aku main-main dengan segelas arak ini!

Dengan gerakan lemah gemulai dan cekatan ia mengisi gelas araknya yang terbuat daripada perak, lalu mengangkat dan menggenggam dalam tangan kanannya. Ia bangkit berdiri dengan gelas arak di tangan sambil mengerahkan tenaga sakti Bromosari yang ia ciptakan dan latih selama tinggal di Girilimut. Hebat bukan main kesudahannya. Arak dalam gelas itu bergerak-gerak dan tak lama kemudian mengeluarkan uap terus mendidih! Semerbak bau arak ketika arak mendidih itu mengeluarkan uap makin banyak lagi. Ni Durgogini tersenyum, lalu meletakkan gelas arak itu di atas meja. Masih mendidih araknya dan begitu gelas diletakkan di atas meja kayu, papan di bawahnya menjadi hitam karena panas!

"Hi-hik, aku mau meniru pertunjukan mbok ayu Durgogini!" tiba-tiba Ni Nogogini berkata, mengisi cawan araknya sendiri lalu bangkit berdiri sambil memegangi cawan atau gelas araknya seperti yang dilakukan Ni Durgogini tadi.

Akan tetapi kini terjadi sebaliknya. Mula-mula tampak butiran-butiran air di sekitar gelas perak dan arak itupun mengeluarkan uap, dingin dan tak lama kemudian araknya membeku dalam gelas! Ni Nogogini membalikkan cawan, akan tetapi arak tidak tertumpah seperti benda cair, melainkan jatuh ke atas meja seperti sepotong es!

"Hebat......!" seru Adipati Joyowiseso yang merasa terheran-heran. Semua pertunjukan yang diperlihatkan enam orang sakti itu baginya seperti sihir dan sulap saja, dan hatinya benar-benar menjadi besar. Mendapat bantuan enam orang ini, ia yakin kelak cita-citanya akan terlaksana. Bukan hanya Adipati Joyowiseso yang memuji, juga empat orang sakti yang hadir diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki dua orang wanita itu. Itulah tenaga sakti yang luar biasa, yang membuat tangan mereka ampuh melebihi senjata tajam, ampuh, kuat dan beracun pula. Hebat memang!

Pesta dilanjutkan dalam suasana meriah. Mereka telah mengambil keputusan untuk bersekutu dan melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut. Pertama, masing-masing berlomba mencari pusaka patung kencana yang hilang dari istana Kahuripan (Mataram). Ke dua, masing-masing dengan caranya sendiri menghimpun tenaga membentuk pasukan-pasukan yang kuat dan menghubungi adipati-adipati dan golongan-golongan di empat penjuru yang anti Kahuripan. Ke tiga, mereka akan berusaha melemahkan Kahuripan dengan jalan memusuhi para senopati dan tokoh-tokohnya, kalau mungkin membunuh mereka seorang demi seorang dengan dalih permusuhan pribadi.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Langit di atas istana Kahuripan telah mendung. Kerajaan Mataram telah terancam bahaya yang datangnya dari Selopenangkep, dan semua itu didahului dengan peristiwa yang merupakan ramalan, yaitu dengan lenyapnya pusaka patung kencana. Lenyapnya pusaka keramat ini menjadi tanda kesuraman kerajaan.

Beberapa bulan kemudian, Jokowanengpati melakukan perjalanan seorang diri mendaki Gunung Lawu. Dengan ilmu kepandaiannya, ia dapat mendaki dengan tangkas, melompat-lompat melalui jurang yang curam. Pemandangan alam di lereng Lawu amatlah indahnya, namun pada saat itu Jokowanengpati seperti buta terhadap keindahan pemandangan alam. Ia tergesa-gesa sekali dan kadang-kadang ia berhenti hanya untuk memandang ke sekelilingnya. Bukan sama sekali menikmati pemandangan alam, melainkan untuk melihat kalau-kalau ada orang lain yang melihat pendakiannya. Ia sedang menuju ke tempat rahasia, tidak ingin ada orang lain melihatnya.

Jokowanengpati adalah seorang pemuda yang selain tangkas dan berilmu, juga amat cerdik dan hati-hati. Lega hatinya melihat keadaan sekeliling lereng itu sunyi senyap. Bahkan kini ia telah jauh meninggalkan kelompok dusun terakhir di lereng sebelah bawah. Makin ke atas makin sunyilah keadaan dan tidak tampak adanya dusun lagi. Orang-orang pencari kayupun tidak akan sampai ke tempat setinggi ini, tempat yang berbahaya dan sukar didatangi. Kemudian dengan cekatan ia melompat dan merayap ke arah batu gunung yang merupakan karang tinggi. Dari tempat tinggi itulah ia mengintai dan tiba-tiba ia tersenyum puas. Di sebelah kiri sana, sebelah barat dekat dengan sungai gunung, tampak sekelompok cemara yang pendek dan agak kekuningan daunnya.

"Ah, tentu itulah tempatnya. Bekas pertapaan Taru Jenar (Pohon Kuning) yang sudah kosong! Tentu di sana, tak salah lagi!" kata hatinya dan cepat ia turun dan segera berlompatan lagi menuju ke barat. Tak lama kemudian tibalah ia di tempat yang dituju dan dari jauh ia sudah melihat sebuah pondok kecil. Di samping pondok tampak seorang wanita tengah menghadapi tungku dan asap mengepul dari kwali di atasnya.

"Mirah...!" tegur Jokowanengpati dengan suara gembira sambil lari menghampiri. Wanita itu kaget dan menoleh.

Ternyata ia seorang wanita muda yang cukup cantik, berkulit kuning bersih dan kembennya yang berkembang itu menandakan bahwa ia bukanlah seorang dusun. Memang sesungguhnyalah. Mirah bukar seorang wanita dusun. Dia bekas abdi dalam istana Prabu Airlangga.

"Kakangmas Joko...!?!"

Sukar diduga perasaan apa yang membayang pada wajah ayu itu, akan tetapi ia tidak menolak dan mandah saja ketika Jokowanengpati memeluk, mendekap dan menciuminya sambil membelai leher yang indah bentuknya.

"Manis, di mana kakang Wiratmo? Dan paman Sunggono?"

"Di.... di dalam.... eh, mencari kayu...."

Wanita muda itu menggeliat kegelian oleh jari-jari tangan Jokowanengpati yang nakal. Pada saat itu terdengar suara seorang laki-laki penuh kegembiraan, "Adikku Mirah pujaan hatiku, sudah matangkah masakanmu? Perutku lapar se...."

Ucapannya itu berhenti seakan-akan lehernya dicekik dan mukanya yang berseri berubah pucat ketika laki-laki muda itu melihat Jokowanengpati di situ. " Ah... Raden Jokowanengpati.... sudah.... sudah lamakah...? Maafkan saya tidak tahu akan kedatangan raden sehingga tidak menyambut...."

Jokowanengpati sudah melepaskan tanganya yang tadi membelai wanita itu, tersenyum dan berkata manis, "Kakang Wiratmo, baru saja aku tiba. Di mana paman Sunggono? Dan bagaimana dengan.... anu itu? Tentu selamat sampai kalian bawa ke sini, bukan?"

Tergopoh-gopoh Wiratmo menjawab, "Jangan khawatir, raden. Semua beres. Paman Sunggono tadi baru mencari kayu di hutan sana. Biar saya panggil dia!"

Tanpa menanti jawaban Wiratmo segera menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian berteriak keras sambil menghadap ke kanan. "Paman Sunggonooooo....!! Raden Joko sudah datangggg....!!!

Suaranya keras bergema di dalam hutan itu. Orang muda berusia tiga puluhan dan berwajah cukup ganteng itu segera berpaling kepada Jokowanengpati sambil berkata, "Marilah, raden, kita bercakap-cakap di dalam, sebentar lagi paman Sunggono tentu datang. Mirah, segera selesaikan masakanmu untuk menjamu Raden Jokowanengpati."

Jokowanengpati mengangguk dan keduanya memasuki pondok. Setelah mereka duduk di atas bangku bambu menghadapi meja jati, Jokowanengpati segera bertanya, "Bagaimana perjalanan kalian bertiga ke sini? Tidak terjadi sesuatu dan tidak ada yang tahu, kan?"

"Semua beres, raden, tepat seperti yang kita rencanakan. Setelah mendapatkan pusaka itu dari tangan raden, Mirah memohon kepada kanjeng ratu untuk pulang ke dusun dengan alasan rindu orang tua dan ingin menikah. Untung tidak ada kecurigaan apa-apa dan Mirah dapat keluar istana bersama pusaka itu dengan mudah. Sebagai seorang abdi dalam emban kanjeng ratu, siapakah yang mencurigai dan berani mengganggunya? Saya menjemputnya di luar istana, mengaku kakak misannya dan kami berdua keluar dari kota raja. Di luar kota raja, paman Sunggono sudah menjemput dengan kuda maka kami bertiga dapat melarikan diri dengan cepat."

"Bagus! Aku tidak akan melupakan jasa kalian bertiga, Wiratmo. Dengan adanya pusaka itu di tanganku, hemmmm.... siapa tahu kelak kau dan paman Sunggono akan dapat terangkat menjadi pembesar-pembesar tinggi! Eh, Wiratmo, di mana pusaka itu? Lekas kau keluarkan,aku sudah ingin sekali melihat."

"Ah, raden, mana berani kami menyimpannya di pondok ini? Pusaka itu kami simpan di tempat lain, tempat tersembunyi. Kami orang-orang pelarian siapa tahu sewaktu-waktu datang pengejaran dari istana! Kalau benda itu tidak terdapat bersama kami, tentu kami akan bebas daripada tuduhan-tuduhan."
Jokowanengpati mengangguk-angguk. "Bagus, bagus! Memang seharusnya demikian, kakang Wiratmo. Mari kita ambil pusaka itu."

"Raden, harap raden bersabar, menanti sampai datangnya paman Sunggono. Kita harus berhati-hati benar dan raden cukup maklum bahwa hanya paman Sunggono yang sudah hafal akan keadaan daerah ini. Dialah yang mengusulkan supaya pusaka itu disimpan di sebuah gua angker di lereng atas. Kita tunggu dia pulang, raden, kemudian setelah dana (makan) baru kita bersama pergi mengambilnya."

"Baiklah kalau begitu."

Tak lama kemudian masuklah kedalam pondok seorang laki-laki setengah tua berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, matanya bersinar tajam dan wajahnya membayangkan darah kebangsawanan. Inilah Sunggono yang sebenarnya memang masih keturunan seorang senopati. Ayahnya adalah seorang senopati yang dahulu menjadi kaki tangan Ki Patih Sepuh Hardogutomo, yaitu patih dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Patih ini bersama kaki tanganyya pernah memberontak, bahkan bersekutu dengan kaum pemberontak dan tentara Sriwijaya sehingga Sang Prabu Teguh Dharmawangsa (ayah mertua Airlangga) tewas dan Kerajaan Medang (Mataram) terampas.

Akan tetapi kemudian Airlangga berhasil merebut kembali kerajaan itu, membasmi musuh di antaranya Ki Patih Sepuh Hardogutomo dan kaki tangannya. Senopati itu, ayah Sunggono, yang menjadi kaki tangan Patih Sepuh Hardogutomo juga tewas dalam perang ini, akan tetapi Sunggono yang ketika itu masih muda, sempat melarikan diri.

"Wah, anakmas Jokowanengpati baru tiba? Sungguh anakmas telah membuat kami setengah mati menanti-nanti dengan hati gelisah." Begitu memasuki pondok, Sunggono menegur dengan kata-kata halus.

Jokowanengpati tersenyum dan menjawab, "Maaf, paman. Banyak sekali soal penting yang menghalang sehingga saya tidak mendapat kesempatan untuk menyusul ke sini. Paman harus maklum bahwa kita harus menghilangkan jejak dan harus berhati-hati sekali agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Selama setahun lebih ini, saya bertemu dengan tokoh-tokoh sakti sehaluan, dan selalu bersama mereka di Selopenangkep. Biarpun mereka adalah sahabat-sahabat sehaluan, tetap saja saya harus merahasiakan tempat ini. Baru sekarang saya mendapat kesempatan menyusul ke sini, harap paman maafkan atas kelambatan ini sehingga paman menjadi tak enak di hati."

"Sudahlah, tidak apa karena sekarang anakmas sudah datang. Akan tetapi selama berbulan-bulan itu hati saya selalu gelisah dan ketakutan. Pusaka itu bertuah dan kita sama tahu betapa orang setanah Jawa ini ingin sekali memilikinya. Apalagi orang-orang sakti yang mendengar lenyapnya pusaka itu tentu berlomba untuk mendapatkannya. Pusaka itu lambang kejayaan kerajaan dan mendatangkan wahyu mahkota, pasti menarik semua orang gagah dari empat penjuru untuk mendapatkannya. Bagaimana hati saya bias enak kalau ditempati pusaka seampuh itu? Tidur tak nyenyak makan tak enak.... eh, Mirah! Mana jamuan ? Lekas hidangkan kepada anakmas Jokowanengpati. Perutku sendiripun sudah amat lapar!"

Sunggono berteriak-teriak, tidak tahu betapa beberapa detik lamanya Jokowanengpati memandangnya dengan sinar mata tajam. Memang pemuda ini kaget sekali. Kiranya orang tua inipun sudah tahu keampuhan pusaka yang mereka larikan dari istana Kahuripan!

"Paman Sunggono, di manakah pusaka itu disimpannya? Aku ingin sekali menerimanya sekarang juga."

"Sabar... sabar anakmas. Setelah bersabar selama setahun lebih, hampir satu setengah tahun sehingga kami bertiga hidup seperti orang alasan (hutan), mengapa sekarang anakmas begitu tergesa-gesa? Kita makan lebih dulu, baru nanti bersama mengambilnya. Benda itu kami simpan di tempat rahasia yang aman."

Mirah memasuki pondok membawa satu kwali penuh sayur santen yang gurih baunya. "Di gunung tidak ada daging, kangmas Joko. Kelapa inipun harus mencari ke bawah gunung. Sayur-sayuran sih banyak!" kata Mirah dengan senyum manis dan mata mengerling tajam ketika ia meletakkan kwali di atas meja, kemudian dengan lenggang dan gerak pinggul menggairahkan wanita ini pergi mengambil nasi dan piring tanah, sebuah kendi terisi air dingin dan batok (tempurung kelapa) untuk minum.

"Wah, sayur bobor...! Seger dimakan panas-panas begini! Silakan, anakmas!" Sunggono berkata ramah.

Terpaksa Jokowanengpati menekan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat mengambil pusaka keraton Kahuripan, lalu ikut makan bersama. Sayur itu memang enak dan gurih, dan agak pahit karena dicampur dengan daun pepaya.

"Pahitkah daun pepayanya, kakangmas?" tanya Mirah.

Emban Mirah ini memang dahulu menjadi seorang di antara kekasih Jokowanengpati ketika mereka berdua masih bertugas di Kahuripan.

"Memang daun pepaya biasanya pahit, akan tetapi kalau engkau yang memasaknya, eh.... menjadi sedap, Mirah."

Sunggono tertawa bergelak, Wiratmo tersenyum sambil menundukkan kepala dan Mirah tersipu-sipu malu akan tetapi juga senang. Wanita mana di dunia ini yang tidak senang kalau dipuji? Dipuji apa saja, wajahnya, pandainya memasak, suaranya atau apa saja, asal yang memuji itu pria tentu menyenangkan hatinya. Apalagi kalau pria itu seorang pemuda seganteng Jokowanengpati!

Setelah kenyang makan nasi dan sayur sederhana diikuti air jernih yang amat dingin, bangkitlah Sunggono. Wajah orang tua itu berseri-seri ketika ia berkata, "Marilah, anakmas Jokowanengpati. Mari kita pergi mengambil pusaka yang kusimpan dalam gua Margoleno. Hayo Wiratmo dan Mirah, kalian ikut pula. Urusan ini diawali kita berempat, harus diakhiri kita berempat pula." Berangkatlah mereka mendaki lereng yang terjal menuju ke puncak yang penuh batu kapur.

"Mengapa gua itu bernama Margoleno (jalan maut), paman Sunggono?" tanya Jokowanengpati.

"Entahlah, anakmas. Mungkin karena pertapa Taru Jenar dahulu kabarnya mati di dalam gua ini selagi bertapa," jawab Sunggono.

Perjalanan dilanjutkan dan tak lama kemudian berhentilah mereka di depan sebuah gua yang besar dan gelap. Di atas gua yang merupakan puncak karang kapur, tumbuh rumpun yang lebat, juga di kanan kiri gua. Kelelawar terbang keluar masuk gua itu sehingga menambah serem.

"Mari kita masuk, anakmas," kata Sunggono agak takut-takut.

Namun Jokowanengpati sama sekali tidak takut. Dengan langkah lebar dan gagah ia memasuki gua itu dan sebentar saja mereka ditelan kegelapan, tak tampak dari luar. Terdengar suara Mirah menahan napas dan sedu, disusul suara Wiratmo mendesis mencegahnya bicara. Jokowanengpati menengok.

"Paman, kau di mana....?" Tiada jawaban! Jokowanengpati mendengar suara di sebelah kiri dan melihat dalam remang-remang itu tubuh Sunggono berjongkok lalu berdiri lagi.

"Majulah terus, anakmas...." Suara Sunggono gemetar dan tiba-tiba Jokowanengpati menerima pukulan yang cukup dahsyat dari belakang, mengenai punggungnya.

"Celaka....!" seru pemuda ini, akan tetapi karena ia memang memiliki kepandaian tinggi dan tubuhnya sudah amat kuat, secepat kilat kakinya terayun dan sebelum ia terjerumus ke depan, kakinya yang diayun miring itu berhasil mendupak dada Sunggono yang terhuyung ke belakang.

Betapapun juga, tubuh Jokowanengpati yang sudah terjerumus itu tak dapat ditahannya dan begitu ia melangkahkan kaki, tubuhnya terjeblos ke dalam sumur. Kiranya gua itu di dalamnya merupakan sumur yang entah sampai di mana dasarnya. Jokowanengpati tentu saja kaget sekali. Tahulah ia sekarang mengapa gua ini disebut jalan maut, kiranya merupakan jebakan yang amat berbahaya. Untung ia memiliki Aji Bayu Sakti, sebuah aji meringankan tubuh yang tiada keduanya.

Begitu tubuhnya terguling masuk sumur, Jokowanengpati mementang kedua lengannya, sekali menyentuh pinggiran sumur ia dapat menahan tubuhnya dan tidak terjerumus ke bawah. Ia berdongak dan mendapat kenyataan bahwa ia telah jatuh sedalam dua tiga tombak. Ia menahan napas, mengerahkan Aji Bayu Sakti. Tenaganya terkumpul pada kedua lengan dan tubuhnya menjadi ringan sehingga ketika ia menggerakkan kedua lengan mendorong, perlahan-lahan ia dapat merayap ke atas seperti seekor kadal saja!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Jokowanengpati. Begitu ia melompat keluar dari sumur, ia menyerbu keluar. Akan tetapi sebuah batu besar bergerak menutup lubang gua, dan terdengar suara Sunggono tertawa, "Ha-ha-ha, Jokowanengpati! Kau tahu sekarang mengapa ku namakan gua itu Margoleno? Mengasolah dengan tenang, orang muda!"

Kaget juga Jokowanengpati melihat batu sebesar itu bergerak menutup gua. Mungkinkah Sunggono, dibantu oleh Wiratmo dan Mirah, mampu menggerakkan batu sebesar itu yang tentu amat-berat? Akan tetapi ia tidak mau terheran lebih lama, cepat ia melompat maju dan sekali dorong sambil membentak marah, batu itu tertolak keluar dan tubuhnya sudah melompat keluar gua!

Kiranya di situ sudah berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang mengepungnya dengan golok di tangan. Adapun Sunggono sudah berdiri agak jauh, mendekap sebuah bungkusan kuning di dadanya. Wiratmo dan Mirah juga berdiri di dekat Sunggono. Mereka bertiga memandangnya, Wiratmo dan Mirah agak pucat, akan tetapi Sunggono masih tertawa.

"Paman Sunggono, apa artinya ini semua?" Jokowanengpati masih bertanya saking herannya, suaranya dingin sekali membuat tengkuk Wiratmo dan Mirah meremang. Akan tetapi Sunggono berkata dengan suara mengejek.

"Artinya, Jokowanengpati, saat ini adalah saat kematianmu, karena akulah yang berhak memiliki wahyu mahkota Mataram! Engkau ini ular kepala dua, mau enaknya saja. Bunuh dia!"

Suara Sunggono penuh wibawa ketika ia memberi aba-aba kepada lima orang anak buahnya itu. Lima orang ini adalah jagoan-jagoan yang dulu juga merupakan panglima-panglima perang dari Sang Prabu Digdyamenggala, Raja Kerajaan Wura Wari di daerah Ponorogo. Mendengar aba-aba ini, lima orang jago tua yang tubuhnya tinggi besar itu mengeluarkan suara bentakan keras dan menyerbulah mereka dengan golok besar yang datang sebagai hujan membacoki tubuh Jokowanengpati.

Namun Jokowanengpati mengeluarkan suara ketawa mengejek, tubuhnya tiba-tiba lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar golok yang gemerlapan. Bukan main hebatnya gerakan Jokowanengpati ini, bagaikan seekor burung kepinis gesitnya sehingga tak pernah ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya. Lima orang jagoan Wura Wari itu kaget dan penasaran. Ketika mereka menghentikan serangan, Jokowanengpati juga berhenti bergerak dan berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.

"Sudah lelahkah kalian?" ejeknya, akan tetapi matanya selalu melirik ke arah Sunggono. Ia tak menghendaki orang tua yang curang itu melarikan diri membawa pusaka itu selagi ia dikeroyok.

Seorang pengeroyok di depannya mendengus, goloknya menusuk ke arah perut pemuda itu, agaknya saking marah dan penasarannya ia hendak merobek perut dan mengeluarkan usus lawannya. Akan tetapi kini Jokowanengpati tidak lagi mempergunakan Bayu Sakti karena yang menyerangnya hanya seorang saja. la miringkan tubuh membiarkan golok menyambar lewat, kemudian secepat kilat tangan kirinya mengetuk pergelangan tangan kanan lawan dan tangan kanannya mengepal dan menghantam dahi. Hampir berbareng golok itu terlepas dan dahi itu pecah sehingga otaknya berhamburan!

Empat orang jagoan Wurawari terkejut sekali. Hampir mereka tak dapat percaya. Bagaimana seorang kawan mereka dapat binasa sedemikian mudahnya? Keheranan dan kekejutan ini berubah menjadi kemarahan meluap-luap, dan kembali mereka menerjang dengan sabetan dan bacokan membabi-buta.

Jokowanengpati tidak mau bersabar atau main-main lagi. Kembali tubuhnya berkelebat menggunakan Bayu Sakti, namun ia tidak hanya mengelak melainkan balas menyerang dengan hebat karena ia telah mainkan Ilmu Jonggring Saloko! Ilmu ini adalah ciptaan Empu Bharodo, seorang sakti mandraguna. Biarpun hanya merupakan pecahan dari ilmu aslinya permainan tombak, namun sudah amat hebat dan ampuh.

Mana mungkin empat orang jagoan Wurawari itu mampu menghadapinya? Segera terdengar suara berkerontangan dan golok beterbangan, disusul pekik mengaduh dan robohlah empat orang itu satu demi satu, roboh untuk tidak bangkit kembali karena pukulan Jokowanengpati yang mempergunakan Aji Siyung Warak adalah pukulan mematikan yang menghancurkan kepala atau memecahkan dada.

"Kau hendak lari ke mana??" Jokowanengpati melompat dan mengejar Sunggono yang sudah lari kencang meninggalkan tempat itu sambil mendekap bungkusan sutera kuning di depan dadanya.

Sunggono juga bukan seorang lemah. Sebagai putera seorang senopati, ia memiliki ilmu juga. Akan tetapi ia tidak dapat menandingi kecepatan Jokowanengpati yang mempergunakan Bayu Sakti dalam pengejaran ini. Beberapa kali lompatan saja cukup bagi Jokowanengpati untuk menyusulnya.

Tiba-tiba Sunggono yang tahu bahwa lari tiada gunanya, berhenti dan membalikkan tubuh. Tangannya sudah memegang sebatang keris, sikapnya mengancam.

"Hua-ha-ha-ha, lucu pertanyaanmu, Sunggono pengecut curang. Memang sejak semula, aku sudah bermaksud membunuh kalian bertiga agar jangan membocorkan rahasia. Kini kau mendahuluiku, ha-ha-ha, bagus sekali, berarti mengurangi dosaku. Berikan pusaka itu!"

"Tidak! Kau terima pusakaku ini!" Sunggono mendekap bungkusan sutera kuning dengan tangan kiri depan dada, lalu tangan kanannya menusukkan kerisnya.

Hebat juga serangannya, cepat sekali dan kuat. Kalau hanya lawan yang kepalang tanggung saja ilmunya, belum tentu akan mampu menghadapi serangan Sunggono. Akan tetapi Jokowanengpati menggerakkan tangan, menangkap pergelangan tangan yang memegang keris dan sekali putar keris itu sudah berpindah tangan!

"Berikan pusaka itu!" Jokowanengpati membentak dan memandang bengis.

"Tidak... tidak....!" Sunggono melompat mundur, kedua tangannya mendekap bungkusan sutera kuning.

"Setan!" Jokowanengpati menggerakkan tangannya dan keris rampasan itu meluncur ke depan dan..."cepp!" keris itu menghunjam di bawah tenggorokkan Sunggono. Darah mengucur keluar melalui gagang keris, bercucuran menimpa bungkusan sutera kuning, akan tetapi hebatnya, Sunggono tidak roboh.

"Berikan.....!" Jokowanengpati membentak lagi sambil melangkah maju.

Akan tetapi Sunggono mengguncang-guncang kepalanya. "Tidak....ti....kkk!" suaranya terhenti seperti lehernya dicekik, mukanya pucat dan matanya melotot. Keris itu menancap sampai ke gagang, namun ia masih belum roboh.

Jokowanengpati menyerbu ke depan dan sekali renggut ia berhasil merampas bungkusan sutera kuning yang sudah berlumur darah. Sambil tersenyum-senyum Jokowanengpati membuka sutera kuning dan matanya silau oleh cahaya yang bersinar ketika bungkusan dibuka. Di tangannya adalah pusaka yang lenyap dari keraton Kahuripan, pusaka bertuah, patung kencana Sri Bathara Wisnu yang kini berlepotan darah, darah Sunggono.

"Kembalikan....!" Sunggono menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram baju Jokowanengpati, tangan kanan meraih hendak merampas patung. Jokowanengpati menggerakkan tangannya menghantam lengan kanan Sunggono yang terulur ke depan.

"Krekkkk!"

Lengan itu terkulai karena tulangnya telah terpukul patah. Namun Sunggono seperti orang gila masih meraih lagi, kini dengan lengan kirinya. "Kembalikan...!"

Sekali lagi Jokowanengpati memukul dengan Aji Siyung Warak.

"Krekkkk!"

Patahlah tulang lengan kiri Sunggono sehingga kedua lengannya lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Namun dasar orang sudah nekat dan tidak normal lagi pikirannya, ia masih saja berusaha mendekati Jokowanengpati.

"Bedebah, mampuslah!" Jokowanengpati menggunakan tangannya mencengkeram dada lawan, mengerahkan tenaga dan "kkraaaaakkkk!"

Robeklah dada itu karena iganya sempal (patah-patah). Jokowanengpati cepat melompat ke belakang agar jangan terkena percikan darah yang menyemprot. Tubuh Sunggono berkelojotan, matanya masih mendelik-delik dan akhirnya diam tak bergerak lagi. Jokowanengpati menengok, melihat bayangan dua orang berlari-lari. Ia mengeluarkan dengus mengejek dan tubuhnya berkelebat mengejar. Wiratmo dan Mirah lari bergandengan tangan, terengah-engah, melalui jalan setapak di pinggir jurang.

Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!"

Bagaikan disambar petir keduanya berhenti, seperti berubah menjadi batu, kemudian perlahan membalikkan tubuh. Ternyata Jokowanengpati telah berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum-senyum, akan tetapi senyum yang bagi mereka berdua amat menyeramkan. Ketika Wiratmo melihat betapa pandang mata itu melekat kepadanya, kakinya menggigil dan ia segera menjatuhkan dirinya berlutut sembah di depan Jokowanengpati sambil meratap-ratap.

"Ampunkan saya, raden... saya tidk ikut-ikut... saya... saya tidak tahu-menahu tentang kecurangan dan pengkhianatan paman Sunggono ".

Senyum mulut Jokowanengpati melebar, pandang matanya bersembunyi di balik bulu mata yang merapat. "Hemm, engkau memang seorang yang baik bukan, kakang Wiratmo?"

Seakan berhenti jalan darah di tubuh Wiratmo, Ucapan itu biarpun terdengar manis, namun sikap dan cara mengucapkannya mengandung ejekan dan ancaman yang mengerikan. Ia menyembah. "Raden jokowanengpati... biarpun saya bukan seorang baik... namun... saya setia terhadap raden... dan..."

"Dan engkau main gila dengan Mirah, bukan? Engkau tahu bahwa Mirah adalah milikku, akan tetapi kau lahap, kau rakus, engkau berani mencuri dan mencicipi dari piringku selama aku tidak ada! Engkau berzina dengan Mirah, dan masih kau bilang bahwa engkau setia kepadaku? Heh? Hayo bicaralah!"

Tubuh Wiratmo menggigil, mukanya pucat dan ia tidak mampu bicara, hanya menyembah-nyembah minta ampun.

"Desss!!"

Sebuah tendangan mengenai dagunya. Tubuh Wiratmo seperti disambar petir, terlempar dan terbanting pada karang di belakangnya. Mulutnya berdarah ketika ia merangkak-rangkak bangun akan tetapi kembali kaki Jokowanengpati bergerak menendang.

"Blukkk!"

Dadanya menjadi sasaran. Tendangan kilat itu amat kuat dan kini tubuh Wiratmo terbanting hebat, kepalanya bercucuran darah dari luka di bagian belakang, napasnya terengah-engah karena tendangan itu seakan-akan telah merampas semua napasnya.

"Am... ampun...!" Akan tetapi Jokowanengpati sudah maju lagi dan setiap kali tubuh Wiratmo hendak bangkit, sebuah tendangan merobohkannya kembali.

Mirah menutupi muka dengan kedua tangan, tubuhnya menggigil dan ia tak dapat menahan kengerian hatinya menyaksikan Wiratmo disiksa seperti itu. "Kakangmas Joko... sudahlah, kangmas... ahhh, kasihanilah...!!! "

"Dessss!"

Kali ini tangan kiri Jokowanengpati menghantam, tepat mengenai puingan (pelipis) kepala Wiratmo. "Aduuhh mati aku.....!"

Tubuh Wiratmo bergulingan, berkelojotan di atas tanah dan rintihan yang keluar dari mulutnya bukan seperti suara manusia lagi. Darah keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya! Pukulan tadi menggunakan Aji Siyung Warak, ampuhnya mengerikan.

"Kakangmas Joko....! " Mirah menangis terisak-isak menutupi muka, akan tetapi telinganya mendengar rintihan itu seakan-akan meremas-remas jantungnya, maka ia tersedu dan membalikkan tubuhnya agar tidak melihat Wiratmo sambil menggunakan kedua tangan menutupi telinga agar tidak mendengar lagi rintihan itu.

"Kau... hendak membelanya? Kau mencintanya?" Jokowanengpati bertanya, suaranya dingin menyeramkan.

"Tidak...! Oh, tidak...! Kakangmas, setahun lebih kakangmas tidak datang... saya kesepian, kangmas... dan dia... dia baik sekali kepada ku"

"Cuhh!" Jokowanengpati meludah ke arah Mirah. "Perempuan hina!"

Tubuh Wiratmo masih dapat merangkak lagi, akan tetapi sekali lagi tangan kiri Jokowanengpati menampar kepala dan pecahlah kepala Wiratmo. Dari kepala yang pecah keluar otak bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bergerak lagi.

"Hemm, giliranmu sekarang...!" Pemuda yang kini memperlihatkan watak aslinya yang sering disembunyikan di belakang sikap halus karena cerdiknya itu menghampiri Mirah.

Mirah terkejut, lupa akan kengeriannya tadi dan cepat ia melangkah mundur, wajahnya pucat matanya terbelalak. "Jangan, kakangmas...! Sungguh mati saya tidak mencinta dia... cinta saya hanya kepadamu, kangmas. Lupakah kakangmas betapa saya telah berkorban untukmu? Siapakah yang membantu kakangmas membawa lari pusaka itu dari keraton? Kakangmas Joko, kasihanilah saya..."

Jokowanengpati melihat mata yang bening terbelalak, mulut yang merah itu setengah terbuka, agak berkurang marahnya. Apalagi ia teringat bahwa wanita ini memang amat mencinta dan setia kepadanya. Tentang permainannya dengan Wiratmo, hal itu sudah biasa karena Mirah memang ia tinggalkan sampai setahun lebih.

"Hemmm, baiklah. Mengingat perhubungan kita dan jasamu, biarlah kuampunkan kau, Mirah."

"Kakangmas Joko... terima kasih...!" Mirah girang sekali dan maju menubruk kaki Jokowanengpati sambil berlutut. Akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia telah menyambak Mirah, menariknya berdiri, mendekapnya dan mencium bibirnya penuh nafsu. Mirah menjerit lirih dan ketika Jokowanengpati melepaskan ciumannya, bibir wanita itu bercucuran darah!

"Ini untuk hukumanmu, lain kali kalau aku mendapatkan engkau bermain gila dengan laki-laki lain, lehermu kupatahkan!"

Mirah hanya menunduk sambil mengusap darah yang terus mengucur dari bibirnya yang tergigit pecah. Mendadak Jokowanengpati berteriak keras dan muka pemuda itu seketika menjadi pucat sekali, tangan kiri mendekap patung kencana tangan kanan menekan perutnya.

"Aduh.... celaka....! Aduhhhh...!" Ia terhuyung-huyung, meramkan mata dan mulutnya menggeget (menggigit keras-keras) gigi sampai mengeluarkan bunyi. Dahinya penuh peluh dan tubuhnya menggigil. Ketika ia membelalakkan matanya yang tiba-tiba menjadi merah itu, ia melihat Mirah sudah lari menjauhkan diri, sejauh sepuluh meter lebih. Wanita itu berdiri dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut yang bibir bawahnya berdarah itu membayangkan senyum.

"Kau...! Kau...!" Jokowanengpati melompat, akan tetapi begitu bergerak, ia roboh terguling di atas tanah, mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Hebat sekali rasa nyeri yang menyiksanya. Perutnya terasa terbakar dan ditusuk-tusuk sebelah dalam.

Sebagai seorang berilmu tinggi ia maklum bahwa ia telah menjadi korban racun. Tidak mungkin ia terkena racun kecuali melalui masakan Mirah tadi. Ia mengerahkan tenaga untuk bangkit kembali, akan tetapi rasa nyeri membuat ia terguling lagi dan kini patung kencana dalam bungkusan sutera kuning yang berlumur darah itu terlepas dari pegangannya. Ia seperti lupa kepada patung itu karena kedua tangannya meremas-remas perutnya yang sakit bukan main. Mirah melangkah maju, wajahnya berseri, matanya liar dan mulut yang masih ada darahnya di bibir bawah itu tertawa.

"Hi-hi-hik! Jokowanengpati rasakan kau sekarang! Manusia keji, manusia tak kenal budi. Rasakan kau sekarang!"

Sedetik Jokowanengpati melupakan rasa nyeri di perutnya. Ia terbelalak dan memandang Mirah dengan mata mendelik. "Perempuan hina! Kau meracuni aku! Daun... daun kates (pepaya) itu... rasa pahit itu untuk menyembunyikan rasa racun... kau... kau... siluman betina... kubunuh engkau...!"

Ia melompat lagi, akan tetapi untuk ketiga kalinya ia terguling. Tubuhnya bergulingan dan berkelonjotan menjauhi patung kencana. Mirah tertawa lagi, lari maju dan mengambil patung kencana, didekapnya di dadanya. "Heh-heh-hi-hik! Enakkan rasanya, Jokowanengpati? Rasakanlah pembalasan tangan Mirah." Setelah berkata demikian, Mirah lalu lari membawa patung kencana.

"Mirah...!!" Bagaikan ada kekuatan gaib yang mendorongnya, Jokowanengpati melompat dan lari mengejar. Ia berhasil mencengkeram dari belakang, akan tetapi karena kegesitannya berkurang banyak, ia hanya berhasil mencengkeram kemben berkembang. Namun tangannya masih hebat karena sekali merenggut, kemben itu terlepas dan Mirah jatuh terguling. Patung kencana terlepas dari pegangannya. Bukan main kagetnya wanita ini, apalagi setelah melihat tubuh Jokowanengpati merangkak menghampirinya.

"Heh-heh-heh., aduhhh....., heh-heh, hendak lari ke mana kau Mirah ? Heh-heh..... aduhhh....." Sambil tertawa dan meringis-ringis kesakitan Jokowanengpati merangkak maju, kedua tangannya seperti cakar setan hendak meraih Mirah. Mukanya penuh peluh, matanya merah, napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan busa. Wajah yang biasanya ganteng tampan itu kini seperti muka iblis mengerikan.

"Aaiiiihhhh!" Mirah menjerit ketakutan, merangkak bangun dan hendak lari. Akan tetapi tangan Jokowanengpati yang menjangkau berhasil mencengkeram ujung kainnya. Mirah lari dan meronta, Jokowanengpati bertahan.

"Reeeeetttt!!"

Kain itu koyak-koyak dan terlepas dari tubuh Mirah. Wanita itu memekik ngeri dan tubuhnya yang kini bertelanjang bulat itu terguling lagi. Jokowanengpati dengan napas terengah-engah menubruk, namun Mirah saking takutnya mendapatkan kegesitan luar biasa, sudah berhasil melompat berdiri lagi dan hendak lari. Jokowanengpati juga melompat berdiri, tangannya meraih namun meleset dan Mirah lari ke depan. Jokowanengpati mengejar dengan sebuah lompatan jauh, tangannya mencengkeram dan kini berhasil memegang rambut hitam panjang yang terurai di belakang.

Sekali menggentarkan tangan, Mirah kembali terguling Namun ia meronta-ronta, mereka bergumul, Jokowanengpati yang sudah lemas tenaganya itu tidak dapat mempergunakan tenaga sakti, hanya berusaha mencekik leher yang berkulit halus kuning. Mirah meronta, mereka bergulingan. Wanita itu menggunakan giginya menggigit lengan sehingga cekikan Jokowanengpati terlepas. Mirah bangkit dan lari, namun rambutnya masih dalam cengkeraman.

"Aduhhh.... lepaskan.....! Lepaskan..... toloooonggg.....!" Mirah meronta-rontah sekuat tenaga. Saking takut dan ngerinya, wanita itu menjadi kuat sekali, sebaliknya pengaruh racun membuat Jokowanengpati menjadi lemah. Oleh karena itu Mirah berhasil lari menyeret Jokowanengpati yang tidak juga mau melepaskan rambut panjang itu.

"Aduh.....! Lepaskan....... lepaskan......!" Mirah berteriak-teriak kalap, meronta-ronta ke kanan kiri, tidak tahu bahwa mereka berdua bergumul di dekat jurang. Jokowanengpati yang cerdik biarpun sudah hampir pingsan oleh pengaruh racun, dapat melihat ini, maka ia tertawa menyeramkan.

"Heh-heh-heh-heh....... ahhh, aduhhh..... he-he-heh!"

"Lepaskan, Joko......, aduh, lepaskan..... tolooonggg.....!"

Tiba-tiba Jokowanengpati menendang kaki Mirah. Mirah terhuyung ke belakang dan tubuhnya menginjak tempat kosong. Jokowanengpati cepat bertiarap mencengkeram batu karang, namun masih juga belum melepaskan rambut.

"Aaiiiiihhhhh......!!" Mirah menjerit dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di bibir jurang yang amat curam, hanya tertahan oleh rambutnya yang masih dicengkeram Jokowanengpati.

"Kakangmas Joko...... tolonglah aku..... tolonglah aku, naikkan..... lekas..... aduhhh. tolong....."

"Ha-ha-ha-ha-ha..... aduhh kau meracuni aku, ya? Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang meringis kesakitan, Jokowanengpati melepaskan rambut yang dicengkeramnya.

"Aaaaaaaaaaahhhh.......!" Lengking mengerikan bergema di lereng Lawu menjelang senja itu, mengiringkan tubuh telanjang bulat yang tentu akan hancur dan mawut terbanting di dasar jurang yang curam. Jokowanengpati terengah-engah, merangkak bangun, terhuyung-huyung menghampiri patung kencana yang terbungkus sutera kuning berlumur darah. Diambilnya patung itu, didekapnya erat-erat kemudian ia memaksa diri berjalan menuruni lereng. Kedua kakinya gemetar, tubuhnya menggigil dan kadang-kadang ia menekan perutnya sambil menyumpah-nyumpah.

"Jahanam...! Perempuan laknat...! Aduuuuhhh...., aku harus bertahan... harus bisa mencapai dusun... harus..., harus.....!"

Kekuatan badannya memang luar biasa. Berkat gemblengan Empu Bharodo sejak kecil, racun yang bagi orang lain tentu akan menewaskan seketika itu, masih belum merobohkannya, ia berjalan terhuyung, kadang-kadang merangkak menuruni lereng Gunung Lawu. Hari telah gelap ketika ia roboh pingsan di depan pintu pondok kecil di lereng paling bawah, pondok kecil petani yang terpencil. Ia hanya mampu mengeluh ketika melihat sinar lampu menerobos celah-celah bilik, "....... tolong........! " Kemudian tak sadarkan diri.

Pemilik pondok itu seorang petani berusia tiga puluh tahun yang tinggal di situ bertani bersama isterinya yang hanya dua tiga tahun lebih muda daripadanya. Mereka tinggal bersunyi di lereng ini, hidup bertani sederhana, karena mereka memang tidak mempunyai banyak butuh. Mereka tidak punya anak, dan untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua, tanah di lereng Lawu sudah lebih dari cukup, berlimpah-limpah. Nama petani ini Kismoro dan isterinya Wiyanti.

"Kakang, ada suara orang minta tolong....." Wiyanti bangkit dari atas tikar anyaman daun kelapa.

Suaminya juga bangkit, mendengarkan. "Aku juga mendengar, akan tetapi kurasa bukan orang. Mana ada orang minta tolong?"

"Kakang, lebih baik kita lihat dulu,siapa tahu....."

Mereka berdiri dan menuju ke pintu pondok, membuka pintu pondok yang sengaja agak diperkuat, bukan takut akan maling atau rampok, melainkan menjaga jangan sampai harimau atau monyet mengganggu selagi mereka tidur.

"Ah, benar! Ada orang di situ.....!" Kismoro segera menghampiri tubuh laki-laki yang rebah miring.

"Wah, jangan-jangan dia mati..... ah, tidak, masih hidup, agaknya pingsan....."

Dibantu isterinya, Kismoro mengangkat tubuh Jokowanengpati yang masih tetap mendekap bungkusan sutera kuning itu, masuk ke dalam rumah. Ketika berada di dalam dan tersinar cahaya lampu, mereka melihat pakaian serba hitam yang halus serta raut wajah yang tampan, sehingga Kismoro berseru, "Ah, agaknya ia seorang bangsawan"

"Dia tentu sakit, kakang....."

"Kita tidurkan dia di bilik, biar kita di luar saja. Kita rawat dia seperlunya."

Sibuklah dua orang suami isteri ini. Mereka membaringkan tubuh Jokowanengpati di atas balai-balai bambu, satu-satunya perabot pondok mereka. Dengan hati-hati Kismoro lalu mengambil bungkusan sutera kuning itu agar Jokowanengpati dapat berbaring lebih enak, kemudian ia meletakkan bungkusan itu di sudut balai-balai.

"Lekas kau masak air panas, biar kucuci muka dan dadanya, wah, dia benar-benar sakit, lihat dia mengerang-erang dan tubuhnya penuh peluh. Setelah masak air, kau menganyam janur untuk tikar, kita tidur di luar bilik saja."

Tanpa membantah isteri setia ini cepat melakukan perintah suaminya, hatinya agak tenang karena mengira bahwa yang mereka tolong tentulah seorang bangsawan tinggi. Mungkin seorang pangeran, pikirnya, atau setidaknya tentu putera tumenggung! Orang muda yang begini tampan dan pakaiannya begitu halus, membawa bungkusan sutera kuning pula, tentulah seorang keluarga keraton!

Ketika Kismoro mencuci muka dan dada, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Pikirannya yang cerdik segera membuat ia sadar bahwa ia telah ditolong oleh penduduk dusun, penghuni pondok itu mungkin. Hatinya agak lega, dan dia berbisik lemah, "Kisanak, tolonglah... aku terkena racun..."

Setelah berkata demikian, ia bangkit duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan hawa beracun yang mengeram dalam perutnya. Ia maklum bahwa dengan jalan ini ia akan dapat bertahan, akan dapat mencegah hawa beracun itu merusak isi perutnya sampai datang obat penolong. Kalau ia banyak bicara, hal itu akan membuat keadaannya makin berbahaya. Kalau saja ia tadi tidak mempergunakan terlalu banyak tenaga berkejaran dengan Mirah, tentu keadaannya tidak separah ini. Kismoro terbelalak kaget, melihat laki-laki tampan itu duduk seperti samadhi, ia tidak berani mengganggu dan cepat-cepat ia menyelinap keluar bilik menemui isterinya.

"Wah, celaka, Wiyanti, dia..... dia bilang terkena racun....."

"Hee? Terkena racun ? Apanya?"

"Dia tidak terluka, tentu ada racun termakan olehnya. Ah, aku harus cepat mencari obat pemunah racun."

"Daun dan akar Widoro Upas.....?"

"Apa saja yang dapat melawan racun. Ada dua tiga macam daun yang kutahu dapat melawan racun. Eh, kalau nanti dia minta minum, kau beri minum air dawegan (kelapa muda), pilih yang hijau"

"Ihh, kau sendiri mau ke mana?" tanya isterinya, agak ngeri karena ingat bahwa tamu mereka itu sakit berat, terkena racun. Siapa tahu akan mati selagi suaminya pergi ?

"Aku harus mencari obat pemunah."

"Jangan sekarang. Malam-malam begini mau ke hutan? Bagaimana kalau muncul macan atau kau dikeroyok lutung?"

"Tapi dia perlu ditolong....."

"Kakang, memang sudah semestinya dia ditolong. Akan tetapi kalau membahayakan keselamatanmu sendiri, aku tidak rela. Bagaimana kalau kau tertimpa bencana di hutan, dimakan harimau atau dikeroyok lutung? Kau celaka, diapun tidak tertolong, tinggal aku sendiri yang kebingungan setengah mati. Tidak, tidak boleh kau pergi, besok pagi-pagi saja."

"Tapi dia....." Wiyanti merangkul suaminya. "Kakang, kalau kau memaksa pergi, boleh, akan tetapi aku ikut. Biar mati kalau bersamamu tidak mengapa."

Akhirnya si suami mengalah, apalagi ketika ia melihat betapa tamunya itu masih duduk bersamadhi dan agaknya tenang, tidak terdengar mengeluh lagi, ia merasa lega dan menunda niatnya mencari daun obat. Semalam ini suami isteri ini tidak dapat tidur pulas. Bukan karena tidur di atas tanah bertilam tikar daun kelapa, hal ini sudah biasa bagi mereka, akan tetapi mereka hanya rebah-rebahan saja dan tak dapat tidur karena mereka memikirkan tamu mereka. Sebentar-sebentar Kismoro bangkit dan menjenguk ke dalam bilik. Heran ia melihat tamunya yang muda dan tampan itu masih saja duduk bersila.

"Ah, dia tentu seorang satria," bisiknya dekat telinga isterinya, "agaknya semalam suntuk ia akan bersamadhi. Alangkah kuatnya ia bertapa."

"Tidak seperti engkau, setiap malam tidur melingkar seperti ular kekenyangan!" bisik isterinya.

"Wah, wah! Kau ingin mempunyai suami satria, begitukah?" Suaminya mencela.

"Satria mana sudi dengan aku? Pula, aku lebih senang punya suami engkau daripada segala macam satria. Menjemukan benar, kerjanya hanya duduk bersila!"

Percakapan itu dilakukan sambil berbisik-bisik agar jangan mengganggu tamu mereka. Siapa kira, biarpun dalam samadi mengerahkan tenaga dalam melawan racun, percakapan bisik-bisik ini tidak pernah terlepas dari telinga Jokowanengpati!


Tak lama kemudian ia sudah kembali bersama seorang kakek setengah tua berjubah kuning. Kepalanya yang dicukur gundul tertutup kain berwarna kuning pula. Melihat kepalanya yang tak berambut, mudah diduga bahwa dia adalah seorang penganut Agama Budha, seorang wiku yang bertapa di gunung-gunung, wajahnya tenang dan sinar matanya lembut.

Memang dia adalah seorang pertapa, seorang pendeta Agama Budha yang berasal dari barat, dari daerah Sriwijaya. Dia sampai di lereng Lawu dalam usahanya mencari dan mengumpulkan daun-daun dan akar-akar obat karena Wiku Jaladara ini adalah seorang ahli pengobatan. Secara tidak disengaja ia bertemu dengan Kismoro yang sedang mencari daun penawar racun.

Terjadilah tanya jawab dan mendengar bahwa Kismoro sedang berusaha mencarikan obat bagi seorang yang menjadi korban racun. Wiku Jaladara segera menawarkan bantuannya. Tentu saja penawaran ini diterima dengan girang oleh Kismoro dan segera ia mengajak sang pertapa pulang ke pondoknya setelah mereka mengumpulkan daun-daun obat menurut petunjuk sang wiku.

Atas pandang mata penuh pertanyaan dari isterinya, Kismoro segera berkata, "Isteriku, inilah bapa Wiku Jaladara yang berkenan hendak menolong tamu kita."

"Wah, syukurlah..... syukurlah.....aku sudah khawatir sekali, kang. Tamu kita sejak pagi tadi merintih saja....."

Sang pertapa lalu diantar masuk ke dalam bilik. Benar saja laporan Wiyanti, setibanya di dalam bilik, mereka melihat Jokowanengpati rebah telentang dan merintih perlahan. Wiku Jaladara menghampiri dan memandang penuh perhatian, kemudian meraba lengan dan dahinya lalu mengangguk-angguk.

"Dia teracun perutnya. Aneh dia masih dapat bertahan. Eh, nini, lekas kau godok daun-daun ini sampai mendidih, biarkan airnya menguap tinggal setengahnya. Airnya beri tiga batok."

Wiyanti cepat melaksanakan permintaan pertapa ini. Sehari itu sang wiku berdiam di dalam pondok dan Jokowanengpati diberi minum jamu sampai enam kali, dilayani penuh perhatian oleh Wiyanti dan Kismoro. Menjelang senja, Jokowanengpati muntahkan darah hitam dan setelah itu ia dapat tidur nyenyak, napasnya teratur dan tenang, tubuhnya tidak panas lagi.

Dalam keadaan masih belum sadar ia disuapi nasi encer dan sayur asam oleh Wiyanti atas petunjuk Wiku Jaladara. Banyak sekali makannya pemuda itu sehingga Wiyanti dan suaminya tersenyum geli, juga girang karena ini merupakan tanda bahwa si tamu telah sembuh. Menjelang senja hari itu, untuk terakhir kalinya Wiku Jaladara datang ke bilik memeriksa keadaan Jokowanengpati yang masih tidur nyenyak. Ia meraba dahi dan dada, lalu menarik napas lega dan berkata kepada suami isteri yang berada di dalam bilik pula.

"Ia sudah sembuh, hanya tinggal istirahat dan dalam beberapa hari tentu sehat kembali. Saya akan pergi sekarang."

"Ah, bapa wiku yang mulia. Kami harap bapa sudi bermalam di sini," kata Kismoro menahan.

BADAI LAUT SELATAN JILID 09