Pendekar Buta Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 21

Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia menyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw, "Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?"

Dengan suara tegas akan tetapi agak gemetar gadis itu menjawab, "Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku."

"Hui Kauw... Hui Kauw...." Kun Hong terharu sekali.

Untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan. Mereka diam saja tidak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan dari pada hati yang penuh keharuan dan kerinduan. Setelah mereda gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan ke kanan kiri lalu bertanya, "Mana dia?"

"Kau mencari siapa?"

"Janda itu... Yo-twaso, di mana dia?"

"Oh, kau maksudkan perempuan hina, pelacur itu?" kata Hui Kauw, suaranya terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.

"Perempuan hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?" Kun Hong bertanya dengan perasaan amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!

"Dia bukan perempuan baik-baik, Kun Hong. Bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan melarikan diri itu tiba-tiba saja bisa berada di dalam pondok perempuan itu? Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para perwira istana."

Teringatlah sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya, "Ah, habis bagaimana dengan para anggota Hwa-i Kaipang? Bagaimana jadinya dengan Hwa-i Lokai?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Hui Kauw menarik napas panjang. "Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh orang tewas, termasuk ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih menjadi buruan sampai sekarang."

Kun Hong membanting-banting kaki dan dia menangis di dalam hatinya. "Celaka, aku benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah... benar-benar celaka, dan benda yang kulindungi, yang sudah menjatuhkan korban banyak orang gagah itu sekarang masih tertinggal di rumah Yo-twaso..."

"Heee? Kau tinggalkan mahkota itu di sana? Tadi aku sudah merasa heran melihat kau menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak nampak. Wah, berbahaya kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira istana."

Kun Hong menggelengkan kepala. "Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-twaso orangnya baik, harap kau jangan keliru sangka yang bukan-bukan!"

"Dia baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan cabul."

"Hee? Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan membentur pohon, tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku sadar, aku sudah berada dalam pondok Yo-twaso, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-twaso?"

"Aku tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan kaisar, penghimpun para orang kang-ouw di istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan sesudah kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm, masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika aku merampas dan membawamu ke sini."

"Celaka...!" Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat hingga mengagetkan Hui Kauw. Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis. "Ah, celaka betul... Yo-twaso... Yo-twaso... kenapa engkau berkorban untukku sampai sehebat itu?" Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia benar-benar menangis.

Hui Kauw memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena dia menduga hal-hal yang hebat, "Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong?"

"Ahhh, Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia... dia telah berkorban untuk keselamatanku, dengan pengorbanan yang lebih hebat dari pada nyawa...! The Sun itulah orangnya yang sudah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada dalam pondok Yo-twaso dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat Yo-twaso... dan The Sun itu... ahhh, aku dapat membayangkan hal apa yang telah dilakukan oleh Yo-twaso untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-twaso tentu tahu bahwa kalau The Sun melihat aku di sana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-twaso mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan dia... ahh, dia mempergunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi..."

Bukan main kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini. "Wah... celaka... aku bahkan menendangnya dua kali! Dan kau... ketika rebah di kamar itu, kulihat mukamu berbedak langes hitam dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti seorang kakek lagi berbaring... wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-twaso sudah sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabui mata The Sun. Celaka, ahhh... alangkah bodohku... Kun Hong, kau maafkan kebodohanku..." Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas kesembronoannya telah menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang demikian berbudi.

Kun Hong memegang lengan Hui Kauw. "Hui Kauw, hayo antar aku ke sana, sekarang juga. Selain aku harus menghaturkan rasa terima kasihku, juga aku merasa khawatir akan keselamatan Yo-twaso dan A Wan, anaknya. Lagi pula, aku harus mengambil kembali tongkatku dan mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun dan kawan-kawannya."

Karena merasa sangat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw tak berani membantah lagi. Segera digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik ke atas genteng dan dua orang itu mempergunakan ginkang mereka berloncatan dari genteng ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap.

Waktu itu tengah malam sudah jauh terlewat, malah hari sudah hampir pagi. Ayam-ayam jantan sudah mulai berkokok dan sungguh pun belum kelihatan orang-orang keluar dari rumah masing-masing, tetapi kegelapan malam sudah mulai melepaskan dunia dari pada cengkramannya yang memabukkan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.

"A Wan, ada apakah...?" Kun Hong tidak sabar lagi dan segera mendorong pintu yang sudah berada di depannya. Bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.

"Ahhhhh...!" Tangan Hui Kauw yang menggandeng tangannya menggigil dan suara gadis ini gemetar.

"Ada apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?"

"Paman...!" A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.

“Kun Hong... dia... Yo-twaso itu... entah kenapa dia..."

"Mana Yo-twaso? Mana...?"

Hui Kauw menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun Hong maju.

"Dia di lantai...," bisiknya.

Kun Hong berlutut, tangannya meraba dan... begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, lalu meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, kemudian menutupi mukanya dengan tangan. Mulutnya berkata lirih,

"Yo-twaso... engkau sudah berkorban untukku... alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku. Yo-twaso, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku membalas ini semua kepada si keparat The Sun..."

"Tidak...!" Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang juga menangis perlahan saking terharunya.

A Wan berlari menghampiri dan memeluk tubuh ibunya, lalu memandang Kun Hong dan berkata lagi. "Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum... sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun. Ah, Ibu... Ibu...!"

Tiba-tiba Kun Hong yang sudah mampu menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali tarik dia sudah membuat A Wan berdiri pula. "Cukup bertangis-tangisan ini! Tanpa kegagahan, mana dapat kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi muridku!"

"Suhu (guru)...!" A Wan lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kun Hong, terisak-isak menahan tangisnya.

"Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi dengan ibumu!"

Sambil menahan isaknya A Wan kemudian menceritakan pengalamannya semenjak dia dan ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah. Kemudian betapa dia disuruh ibunya memanggil sinshe Thio, akan tetapi meski pun dia membujuk-bujuk namun sinshe itu tidak mau menolong, malah memaki dan memukulnya. Lalu dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak berani mengeluarkan suara tangisan, betapa ketika dia pulang, dia mendengar jerit ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, ibunya sudah menggantung lehernya dengan ikat pinggang.

Kun Hong menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata dengan suara tergetar, "Dia mencuci noda dengan nyawa. Hui Kauw, adakah orang yang lebih mulia dari padanya?"

Hui Kauw tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika dia memandang ke arah mayat nyonya Yo yang masih menggeletak di lantai. Perlahan-lahan dia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada di situ untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu. Semua ini dia lakukan penuh hormat dan dengan diam-diam, diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun Hong.

Ketika menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong. Diambilnya tongkat itu dan diserahkan kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.

"A Wan, dahulu kau dan ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-an, bagaimana kau dan ibumu bisa tinggal di kota raja ini?"

Dengan singkat anak itu lalu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita. Memang sangatlah buruk nasib dia dan ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu kiranya berlaku curang. Anak dan ibu ini tidak diantar ke Cin-an sebagaimana yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke kota raja!

Sesudah sampai di kota raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-wangwe, membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di kota raja yang besar dan ramai itu!

Dapat dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa sandaran!

Dengan amat sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan yang amat miskin dengan anaknya. Tentu saja banyak gangguan yang dia alami, namun janda muda ini berhati keras dan dapat menjaga diri sehingga biar pun ia dan anaknya hidup miskin dan serba kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu dia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.

"Ibu dan teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan teecu membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu kebetulan sekali kami bertemu lagi dengan Suhu," A Wan mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.

"Memang nasib ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan ibumu pergi menyusul arwah ayahmu di waktu dia masih muda. Mereka itu, ayah bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa sebagai ahli waris mereka engkau akan mewarisi pula budi pekerti ayahmu yang wataknya gagah perkasa dan ibumu yang suci budinya."

A Wan mendengarkan dengan kepala tertunduk untuk menyembunyikan mukanya yang kembali menjadi merah lagi.

"Wan-ji (anak Wan), ketika kau dan ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian itu?"

"Suhu maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?"

"Betul...," Kun Hong berdebar gembira. "Di mana berada benda itu?"

"Ada teecu simpan. Suhu jangan khawatir, teecu sembunyikan di tempat rahasia. Begitu melihat benda itu, teecu bisa menduga bahwa tentu Suhu sedang memperebutkan benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja teecu sembunyikan selagi Suhu pingsan. Tunggu sebentar Suhu, teecu hendak mengambilnya, teecu simpan di belakang rumah." Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.

"Kun Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo-twaso...," kata Hui Kauw terharu.

"Kau betul, Hui Kauw, dan kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah Yo-twaso. Sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang tuamu?"

Dua orang muda itu duduk berhadapan di atas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang. Suara Hui Kauw yang halus itu terdengar ketika dia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik. Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini sejak dia berpisah dari Kun Hong setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali mahkota kuno dari tangan Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-coa-to.
cerita silat karya kho ping hoo

Hui Kauw meninggalkan Pulau Ching-coa-to dengan perasaan hancur dan hati penuh duka nestapa. Memang baginya pulau itu bukanlah tempat yang mendatangkan kenangan indah dan andai kata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu, agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti burung terlepas dari sangkarnya. Ching-toanio dan Hui Siang bukan merupakan orang-orang yang mengasihinya, sungguh pun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching-toanio yang sudah memeliharanya semenjak dia kecil, sungguh pun wanita itu telah menculiknya dari tangan ayah bundanya yang asli.

Andai kata sebelum terjadi peristiwa keributan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu ia bisa berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan kebahagiaan baginya. Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain. Nasib sudah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta yang sekaligus menarik hatinya dan menjatuhkan cinta kasihnya. Harapannya untuk bisa hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching-toanio membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta.

Menyaksikan wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah jatuh benar-benar. Kebutaan mata Kun Hong sama sekali tidak mengecewakan hatinya, bahkan merupakan hiburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang dia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang laki-laki tentu menjemukan dan buruk sekali!

Siapa dapat mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh Ching-toanio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda perkasa itu sebagai pihak mereka. Sebagai seorang laki-laki gagah, tentu saja Kun Hong merasa terhina sehingga menolak pernikahan yang hanya merupakan siasat. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk redam dan buyarlah semua khayal dan lamunan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun Hong.

Kini sia sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu sesudah membantunya mendapatkan mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhibur. Tidak saja ia telah berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga dia mendapat kenyataan bahwa Pendekar Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Dia tidak bertepuk tangan sebelah.

Kalau teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih besar dari pada keyakinan bahwa orang yang dicintanya itu ternyata membalas dengan cinta kasih yang sama besarnya pula?

Namun, duka dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka karena mengetahui tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!

Demikianlah, dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta, dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan kota raja. Selama hidup belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apa lagi ke kota raja, karena ia seakan-akan ‘dikurung’ oleh Ching-toanio di dalam pulau. Kalau nenek itu bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta.

Justru hal ini malah mendatangkan hiburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya. Selain minggat dari pulau Ching-coa-to, tujuan perjalanannya adalah untuk mencari ayah bundanya di kota raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya sejak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu.

Meski pun perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan keraguan dan kekhawatiran. Dia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ayah bundanya, juga tak tahu nama mereka. Yang pernah ia dengar dari pelayan tua di Ching-coa-to yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching-toa-nio dan membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching-toanio, bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching-toanio dari kota raja dan bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee!

Ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan ayah bundanya, apakah ia akan berhasil mencari seorang she Kwee di kota raja tanpa bahaya keliru cari? Bagai mana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja akan tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah ayah bundanya akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apa lagi kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir sampai di sini, Hui Kauw menjadi amat gelisah.

Para penjaga pintu gerbang tembok kota raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun kereng, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka pun tidak berani main gila.

Tentu saja hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya tidak menarik. Andai kata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia tak akan terluput dari pada godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu. Setelah diperiksa sebentar ia lalu diperbolehkan masuk.

Dapat dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia sudah memasuki kota raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan muda dengan muka cengar-cengir maju menyambutnya. Hampir semua pelayan rumah penginapan di kota raja mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda ini pun tentu saja dengan mudah dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kangouw.

"Nona mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan Nona mengikuti saya."

Hui Kauw merasa tidak senang dan sangat sebal melihat muka pelayan muda yang terus mesam-mesem ini. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan mengikuti pelayan itu. Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa menoleh ke sana ke mari.

Akan tetapi diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan di situ sehingga ia bisa mengetahui betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di kota raja adalah sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita.

Kamar itu biar pun kecil tetapi cukup bersih, biar pun baunya apek dan menyebalkan hati Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan diberikannya kepada pelayan itu. Setelah menerima persenan yang besar ini sikap pelayan itu otomatis berubah. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, mukanya berseri dan senyumnya melebar memamerkan deretan gigi menguning.

"Terima kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Apakah ada sesuatu perintah dari Nona? Barang kali Nona membutuhkan bantuan saya...," katanya menjilat.

Oleh karena pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata, "Barang kali kau bisa menunjukkan kepadaku di mana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja ini."

Biar pun Hui Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan pelayan itu sebab mukanya berubah-ubah. Mula-mula matanya terbelalak bagai orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, akhirnya keningnya berkerut bagaikan orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.

"Keluarga Kwee...? Kaya raya...? Ehm, di mana, ya? Nona, di sini banyak sekali keluarga Kwee. Yang kaya raya juga sangat banyak, apa lagi yang miskin. Keluarga mana yang Nona maksudkan? Siapa nama hartawan itu?"

Mendengar ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Dan kalau ia sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia tak akan bertanya-tanya lagi, pikirnya mengkal.

"Aku tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang hartawan she Kwee."

Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng. "Wah, susah kalau begitu, Nona. Di sini banyak hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!"

Hui Kauw menggerakkan tangan dan pada lain saat dia telah memperlihatkan dua potong uang emas. "Kau suka menerima hadiah ini?"

Pelayan itu bengong, tidak dapat segera menjawab, hanya kala-menjing di lehernya yang kecil itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya, dia tak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras.

Hui Kauw menahan senyum. "Aku tidak mempunyai kenalan di kota raja ini, oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga hartawan Kwee yang anak perempuannya pernah diculik orang belasan tahun yang lalu. Nah, emas ini menjadi milikmu apa bila kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru."

"Boleh... baik, Nona... akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan saya nanti." Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab, lalu cepat-cepat dia keluar dari kamar itu.

Hui Kauw juga melangkah ke luar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri dari pada segala kemungkinan.

Malam itu sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri di atas pembaringan. Jengkel juga hatinya menanti-nanti pelayan yang belum kunjung datang. Akan tetapi dia menghibur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan penyelidikan tentang orang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota sebesar itu. Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian, malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan pikirannya yang risau.

Sukar sekali ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan ayah bundanya. Masih hidupkah mereka? Andai kata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya, sukakah mereka menerimanya sebagai anak? Bagaimana nanti sikap mereka terhadap dia? Masih adakah kasih sayang mereka? Bagaimana nanti sikapnya sendiri terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat sepasang matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan.

Menjelang tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap. Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini semakin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya. Jemu sekali ia di dalam penginapan ini. Seribu kali dia lebih suka bermalam di sebuah hutan, di atas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya. Tapi, sebagai seorang gadis pendekar yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja dia tegang, selanjutnya sambil tersenyum mengejek dia tenang-tenang rebah sambil menunggu apa yang akan datang. Hatinya terasa geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan senjata tajam. Agaknya ada pencuri yang hendak membuka jendela kamar, pikirnya. Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya, terdengar lebih dari pada dua buah kaki yang berpijak di lantai.

Hemmm, apakah di kota raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok? Sungguh-sungguh berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan adalah tempat umum dan di sana banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini berani datang melakukan kejahatan di sini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak akan dikeroyok sampai mampus?

"Kraaakkk!"

Akhirnya daun jendela terbuka. Tiga sosok bayangan yang gerakannya ringan meloncat memasuki kamar melalui jendela itu. Diam-diam Hui Kauw terkejut karena gerakan tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat biasa, akan tetapi orang-orang yang mempunyai kepandaian lumayan. Akan tetapi ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya.

Hui Kauw lalu membentak halus. "Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup? Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!" Memang ia tidak mau mencari perkara di kota raja yang asing baginya ini. Tiga orang itu tidak bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di ruangan tengah.

"Nona muka hitam, jangan sombong," cela seorang di antara mereka.

"Hemm, benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran," kata orang ke dua.

Orang ke tiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah bangun dan duduk di pinggir pembaringannya, "Nona, kami bertiga sudah banyak mengalah, sengaja tidak membikin ribut di depan umum agar kau tak mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu pada waktu malam-malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu."

Hui Kauw mengerutkan kening, membentak, "Orang-orang kurang ajar, kalian bicara apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari sini!"

Gadis ini sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan sikap kereng dan dengan pedang di tangan.

Seorang di antara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, sambil cengar-cengir berkata, "Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar. Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari istana, kami mata-mata dan penyelidik yang bertugas di rumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyak mata-mata pengkhianat dan kaum pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang simpan kembali pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

"Siapa peduli tentang keadaan kalian? Siapa pun juga kalian, tidak patut memasuki kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besok dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, peduli apa dengan segala kedudukan kalian? Hayo minggat!"

"Ha-ha-ha, galak benar," orang ke dua yang kumisnya panjang tertawa,

"Biar pun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok atau maling tunggal yang datang dari luar kota raja hendak mengacau atau mencuri di sini. Nona tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang hartawan di kota raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke tanganmu?"

"Keparat, berani kalian menghina orang!"

Tubuh Hui Kauw bergerak dan terdengarlah suara…

"Plak-plak, blukk, ngekkk!"

Lalu terdengar pula susulan suara pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan melayangnya ketiga tubuh mereka keluar melalui lubang jendela. Mereka masih terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak dan akhirnya terdengar berderap-derap langkah mereka pergi meninggalkan tempat itu!

Hui Kauw tersenyum mengejek dan juga merasa geli hatinya. Begitu sajakah penyelidik-penyelidik dari istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan taplak meja di kamar itu. Dua tangannya baru saja ‘makan’ muka dan kepalannya menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu jendelanya kembali, menyimpan pedangnya kemudian merebahkan diri di atas pembaringan seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

Menjelang pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi. Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Kini dia terbangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya. Banyak orang berkumpul di luar kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang.

“Di sini kamarnya…!” terdengar suara.

Mendengar suara ini Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan sapu tangan, membereskan rambut beserta pakaiannya yang kusut, mengikatkan pedang di pinggangnya dan mengencangkan tali sepatunya. Malah untuk menjaga segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian di atas punggungnya.

"Duk-duk-duk!” Pintunya mulai digedor orang.

"Buka pintu! Kami pengawal istana hendak memeriksa!"

Huh, menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di kota raja berkeliaran segala anjing istana yang kerjanya hanya mengganggu orang. Hemmm, lihat mereka hendak apa terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal daun pintu terlepas dan daun-pintu terbuka lebar-lebar.

Dengan tenang Hui Kauw berdiri tegak. Sikapnya gagah dan matanya tajam menatap ke luar kamar. Kiranya di luar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang, dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong. Sebuah senjata ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya.

Melihat pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah Hui Kauw menduga bahwa tentunya orang ini pemimpin mereka itu. Dengan tenang dia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi-tinggi besar dan gagah-gagah itu.

"Hemmm, kiranya orang-orang lelaki di kota raja ini hanya kelihatannya saja gagah dan sombong," kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh penyesalan dan ejekan, "Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan berlagak membuat orang sukar tidur enak, dan sekarang pagi-pagi sekali serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?" Hui-Kauw sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi berada di dalam rombongan ini pula.

Tiga orang laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya yang tidak menjadi gentar jika malam tadi mengalami hal seperti mereka?

Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tadi malam gadis bermuka hitam itu sudah membuat mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan tahu-tahu mereka mendapatkan diri sendiri telah berada di luar kamar! Tentu saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal seperti itu anehnya.

Semalam dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu pada seorang pengawal istana yang menjadi kepala mereka.

Pengawal istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, yang pagi-pagi sekali mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama! Seperti telah kita ketahui, semenjak masih sebagai pangeran, kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat. Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-jiu Souw Ki itulah.

Setelah Kian Bun Ti menjadi kaisar, hanya tinggal tiga orang di antara tujuh jagoannya yang masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal istana. Mereka ini adalah Tiat-jiu Souw Ki, Bhong Lo-koai dan Ang Mo-ko.

Dua orang kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada Tiat-jiu Souw Ki, akan tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar bila tidak menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam istana menjaga keselamatan kaisar.

Berbeda dengan Tiat-jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran di luar. Baginya, bertugas di luar istana memiliki kesempatan lebih banyak untuk dapat melampiaskan nafsu-nafsunya, mudah mencari ‘rejeki’ dengan memeras atau merampas, mudah pula mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah di antara hobby-nya (kegemarannya)!

Di bagian awal cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-jiu Souw Ki yang tadinya berhasil merampas kembali mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam istana kemudian ‘ketemu batunya’ saat Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkan dan mengalahkannya serta merampas kembali mahkota itu.

Hati Souw Ki amat penasaran. Dia, seorang pengawal kaisar, berjuluk Tiat-jiu (Si Tangan Besi), ahli bermain ruyung baja, masih dibantu pula oleh anak buah perampok-perampok Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang serta si tosu bopeng Ban Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak! Mulai saat itu Tiat-jiu Souw Ki menaruh hati benci terhadap wanita-wanita kang-ouw.

Maka begitu mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di kota raja itu terdapat seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita ke dua yang boleh begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajak sebelas orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu kamar Hui Kauw.

Melihat sikap Hui Kauw yang menantang dan kereng, Tiat-jiu Souw Ki menjadi panas perutnya. Dia seorang mata keranjang, dan agaknya kalau nona yang bentuk tubuhnya menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang kemarahannya sudah akan mencair kembali.

Akan tetapi kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya membuat Souw Ki semakin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.

"He, monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-jiu Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut menyerah!"

Sebetulnya Hui Kauw adalah seorang yang memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam sudah ia buktikan betapa wataknya sangat halus dan pemurah sehingga tiga orang laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah. Namun, sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan mukanya, ia tentu akan marah juga.

Demikian pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan mata yang bercahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke muka Souw Ki sambil berkata.

"Bangsat rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Mengenai maksud kedatanganku di kota raja adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Tadi malam aku masih mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum dapat menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!"

Dapat dibayangkan betapa marahnya Tiat-jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini. Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.

"Bangsat betina! Tidak biasa aku, Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya kau mengenal tangan besiku."

"Hemm, kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!" kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya.

Dia tahu bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu pula ia berkhawatir.

"Wah-wah, kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian maka berani malang-melintang di kota raja. Siapa hendak mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok minta ampun. Mari... mari... boleh kita bertanding di tempat yang lapang!"

Dia melangkah lebar ke ruangan dalam di mana terdapat ruangan yang lapang setelah meja kursi didorong ke pinggir tembok. Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti akan mendapatkan kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang dinanti bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina!

Hui Kauw dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan ini. Dia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang istana ini agar selanjutnya dia tidak mendapat banyak gangguan lagi.

Panas juga hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda, mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah. Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw lantas menggenjot tubuhnya dan melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki.

Pengawal istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, buktinya dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku tak akan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian, pikirnya.

Betapa pun juga, sesudah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut itu sudah merasa menyesal. Saat ini dia sedang berusaha mencari orang tuanya. Kedatangannya ke kota raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi! Sekarang, belum apa-apa dia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak bentrok dengan petugas-petugas istana!

"Tiat-jiu Souw Ki," katanya dengan suara lembut akibat penyesalan ini. "Terus terang saja, aku sebenarnya tidak suka ribut-ribut karena kedatanganku di kota raja ini bukan untuk mencari keributan dengan siapa pun juga. Anak buahmu kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku. Melihat julukanmu, tentulah kau pun seorang kang-ouw yang tahu akan sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri dan kita tidak saling ganggu."

Belasan tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.

"Ha-ha-ha, ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku Tiat-jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andai kata kau seorang tokoh sekali pun, kau juga masih harus menghormati aku, apa lagi kau sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki kota raja, baru aku mau menimbang-nimbang untuk mengampunimu."

Ucapan ini benar-benar amat sombong dan memandang rendah. Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata, "Tiat-jiu Souw Ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji tidak akan mengganggu kalian di mana saja kalian berada."

Orang yang sombong selalu tak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang menyangka bahwa gadis muka hitam itu merasa jeri terhadap dia!

"Ha-ha-ha, mana bisa urusan begitu gampang? Kau telah bersikap amat garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!"

"Kau memang terlalu sombong!" Hui Kauw membentak.

"Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!" Souw Ki menantang.

Hui Kauw maklum bahwa tidak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya.

"Lihat serangan!" dia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju sambil kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.

Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Dia bermaksud untuk mengalahkan dalam satu gebrakan ini saja karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang.

Hatinya girang bukan main ketika melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tak peduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampangkah? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.

"Ayaaaaa... celaka...!"

Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar kemudian malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw barusan memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Seakan-akan gadis itu membiarkan pergelangan tangan kirinya disambar, tapi tangan kanannya sudah cepat ‘memasuki’ lowongan kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga.

Andai kata tadi Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, walau pun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, akan tetapi dia sendiri juga pasti akan terkena pukulan maut yang akhirnya dapat mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!

Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek. "Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat apa bila kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini."

Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ilmu kepandaiannya pun tinggi, tentu saja dia tak menjadi gentar menghadapi bahaya yang tadi hampir membuatnya kalah itu. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri.

Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, mempunyai kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.

"Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!"

Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki kembali menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat julukan Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya.

Akan tetapi Hui Kauw memiliki keanehan yang telah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-coa-ong Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biar pun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang tapi cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayunkan kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan tetapi berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan!

Tiat-jiu Souw Ki menggeram. Tangan kirinya menyambar kaki dengan niat mencengkeram hancur kaki mungil itu, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya.

Serangan balasan yang amat dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan ginkang-nya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu, Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari ‘udara’ nona itu menendang ke arah belakang telinga kanan lawan.

"Setan!" Souw Ki memaki.

Terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi.

Ketika tendangannya luput Hui Kauw melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya yang kecil itu sangat cepat dan bertubi-tubi datangnya, bagai sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang serentak menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya.

Souw Ki terpaksa meloncat kian ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, sebab dia betul-betul kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Jangankan balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang.

Memang kembali Hui Kauw sudah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, dia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Apa bila dia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu mampu mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali dia hanya menampar saja.

Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang lantas menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampirinya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,

"Pergi kalian!"

Kakinya melayang dan... dua orang pembantu yang sial itu langsung terlempar kemudian mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini mencari korban dan melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.

"Tiat-jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang." Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.

"Wuuuttttt!" Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.

"Iblis betina, jangan mengira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku ini, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!"

Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini!

Ketika dia dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih dapat menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali.

Kekalahannya dari Bi-yan-cu Tan Loan Ki masih bisa dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!

Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini sungguh-sungguh tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja tapi mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka dia hanya berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap beringas.

Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.

"Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!"

"Weerrr!"

Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hui Kauw berkibar.

"Singgggg!"

Senjata itu lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat-cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biar pun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya.

Tangannya bergerak dan pada lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang di depan dada dari kiri ke kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.

Tiat-jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong.

Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya jika ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, sebab ia kalah tenaga dan senjatanya pun kalah berat. Dia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan.

Memang hebat juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya menggunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya. Biar pun ruyung itu merupakan senjata yang berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.

Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari Ching-toanio. Ilmu pedang Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya.

Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak jenis ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia bisa menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-thong-pai.

Malah sesudah menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis, ia banyak pula mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin. Ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apa bila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki.

Setelah lewat dari tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat dari pada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang.

Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!

Memang demikianlah kehendak Hui Kauw. Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja.

Tiat-jiu Souw Ki pantang mengalah, apa lagi dia berada di kota raja di mana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang masih lebih lihai dari padanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.

"Manusia tak tahu diri, lepaskan ruyung!" tiba-tiba Hui Kauw membentak.

Pedangnya berkelebat menyerang dan... Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang!

Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya itu akan menjadi buntung atau cacad. Akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, namun memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah.

Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti bahwa lawannya si gadis muda itu merupakan seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh belas kasihan kepadanya. Akan tetapi kesombongan sudah membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.

"Serbu! Tangkap pemberontak ini!"

Serentak sebelas orang anak buahnya segera maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui Kauw marah bukan main dan terpaksa dia harus mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan.

Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus dia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini akhirnya menarik datang para penjaga lainnya sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai.

Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi dia tetap waspada.

Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan.

Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan serta halus gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.

Orang ke dua adalah seorang kakek yang kurus kecil, usianya lima puluhan. Pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata. Mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bengkok.

Melihat kedua orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, ada pun orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah. Mungkin dia hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.

Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang di antara para pengawal kaisar.

Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat.

Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas memperlihatkan sebagai seorang ahli silat tinggi, The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok. Tentu saja mereka semua mengenal ‘The-kongcu’ ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi dari pada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.

Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang menjual lagak sambil cengar-cengir itu.

"Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong ini. Andai kata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam atau pun putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut." Ucapan ini halus, tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.

Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.

"Memang aku adalah seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk bisa berlaku sewenang-wenang? Aku tak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan dan jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"

Kembali The Sun tersenyum-senyum yang amat mencurigakan hati Hui Kauw. Pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini sangat mencurigakan, dan segera menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.

"Nona harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan kota raja. Kau adalah orang asing, tetapi datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangan Nona di kota raja ini?"

Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini. Akan tetapi karena tadi sudah terlanjur dikeroyok, ia tidak dapat menekan kedongkolan hatinya begitu saja.

"Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"

"He-heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya," tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk. "Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lo-koai."

"Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun sudah pernah mendengar namanya pula," sambung The Sun.

"Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu," jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya.

The Sun dari Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga.

Hemmm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Biar kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.

"Bhong-lo-enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?”

Bhong Lo-koai tertawa, kemudian melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata, "Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tak dapat mengenal ilmu pedangmu."

Hui Kauw semakin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya.

"Aku hanya mau membela diri, sama sekali tak sudi mencari ribut dengan siapa pun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"

"Heh-heh-heh, lihat serangan!"

Bhong Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang ‘berisi’, tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.

Cepat Hui Kauw mengubah kedudukan kaki, agak miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenal ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.

Karena penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi. Kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung tubuh Hui Kauw dari empat jurusan! Bila tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkan gadis ini!

Namun benar-benar perhitungannya meleset. Ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapa pun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak sanggup menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat.

Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apa lagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai menggunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu.

Lima puluh jurus telah lewat. Mendafak kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu pedang itu melenting ke atas, lalu dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lo-koai menarik tongkatnya dan cepat melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari pada tusukan pedang.

"Tahan dulu!" demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya mengantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya. "Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?"

Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula dia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.

"Dia adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?" jawabnya dengan suara masih tetap dingin.

Mendadak kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang. "Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, jika begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik."

The Sun juga menjura dengan sikap hormat. "Kiranya Giam-lihiap adalah puteri angkat mendiang Giam lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tak berani menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan persahabatan!"

The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja lalu diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.

Hui Kauw merasa tidak enak sekali. Jangan dikira hatinya lantas menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sebagai sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biar pun memiliki kedudukan tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.

Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa.

Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,

"Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau sedang mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dulu pernah kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk."

"Betul ucapan The Sun ini, Nona," sambung pula Bhong Lo-koai. "Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu. Tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari karena khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak akibat salah mengerti."

Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja dia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi jika dibantu oleh The Sun, tentu lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis,

"Terima kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa di kota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali."

The Sun menoleh pada Bhong Lo-koai yang tampak termenung. "Lo-enghiong, kau yang lebih lama tinggal di sini dari pada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?"

"Nanti dulu... nanti dulu..." kakek itu meraba-raba keningnya, kemudian dia mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. "Kau maksudkan hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ahh... ahh... jangan-jangan yang engkau maksudkan adalah Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda-benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lampau, pada suatu malam kota raja gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada waktu itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar-benar aneh... dan... jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"

Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak bisa salah lagi, tentu mereka itulah ayah bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang dahulu masih bernama Liu Bwee Lan? Dan penolong sakti itu, tentu saja mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya dia menekan perasaan supaya mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian dia berkata dengan sikap gembira.

"Ahh, tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh... ahh, Bhong lo-enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"

The Sun dan Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, dia pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu?

The Sun tersenyum. "Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik pada Kwee-taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-taijin di rumahnya."

Orang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi ia tidak mempedulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya yang asli, yang selama ini sering dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.

"Aku tidak bermaksud merepotkah ji-wi, tapi..." dia bersungkan.

"Ah, tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apa lagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-taijin. Marilah."

Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap sangat menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai.

Hui Kauw merasa sungkan sekali. Akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, dia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!

Rumah Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan dia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada artinya.

Rumah depannya itu dijaga beberapa orang prajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu. Apa lagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah juga seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena bantuan mereka dibutuhkan oleh kaisar.

Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak yang digantung pada sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan lukisan ibu angkatnya.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.

"The-kongcu...!" dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis.

Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya telah tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.

"Nona Kwee, sepagi ini kau sudah tampak begini gembira dan segar cantik. Hendak ke manakah?" The Sun menegur.

Diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemmm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.

"Aku hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!" Dara lincah dan jelita itu berkata pula.

The Sun tersenyum dan menggeleng kepala. "Lain kali saja, sekarang aku lagi banyak urusan. Adik Kian, hati-hati bila berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota," pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.

"Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona mencari ayah," katanya dengan suaranya yang besar dan keras.

"Ayah sedang mandi, kami dipesan agar mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar."

"Baik, baik... tidak apa, hanya ada sedikit urusan," kata The Sun.

Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman. Hui Kauw merasa sangat canggung karena dua orang muda itu tiada henti memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga.

Dari percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apa lagi kalau dilihat pada wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi pemuda ini menyebut Kwee-taijin sebagai ayahnya. Kalau ayah mereka ini, yaitu Kwee-taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah ayahnya yang sejati, dengan sendirinya dua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian.

Makin berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat. "Taijin menanti para tamu di ruangan depan. Silakan sam-wi masuk."

The Sun dan Bhong Lo-koai bangkit berdiri. Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu. Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu berkata kepada The Sun,

"Kami juga akan berangkat, The-kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah selatan."

The Sun hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang berlarian ke luar rumah di mana menanti para pelayan yang sudah menyiapkan dua ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan tempat itu.

The Sun memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata lebih luas dan lebih mewah dari pada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui Kauw memandang lelaki setengah tua yang segera bangun dari kursinya menyambut kedatangan mereka bertiga.

Laki-laki ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Rambutnya sudah berwarna dua, akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya. Wajahnya kurus, kelihatan lebih kurus dari pada badannya yang berkerangka besar, tampan serta gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan terawat, kuku seorang sasterawan pada jaman itu. Senyumnya melebar, menyembunyikan sinar duka yang tergores pada wajahnya sebagai bekas kepahitan hidup.

"Ah, kiranya The-kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona ini?" pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus.

Sikap yang tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan amat mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat-cepat memberi hormat bersama The Sun dan Bhong Lo-koai.

"Kwee-taijin," kata Bhong Lo-koai setelah mereka dipersilakan duduk, "Justru kedatangan kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga dengan Kwee-taijin."

Hening sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, tetapi mendatangkan heran bagi Kwee-taijin. Kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh perhatian.

"Nona siapakah...?" Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu.

Rasa kecewa memenuhi hati Hui Kauw, membuat dia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini ayahnya, mengapa tak mengenalnya lagi? Bagaimana mungkin ia mengaku begitu saja sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah semua orang tak akan menyangka bahwa dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya?

Suaranya gemetar ketika ia berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya, urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apa bila diijinkan, saya mohon supaya Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan ini..."

Berubah wajah Kwee-taijin. Agaknya dia hendak marah, tetapi karena yang mengajukan permintaan yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya.

Ada pun Bhong Lo-koai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera berkata, "Kwee-taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri taijin lenyap diculik orang..."

"Ahh...!" Pembesar itu berseru kaget. "Kau tahu...? Di mana dia itu sebenarnya? Di mana anakku...?"

Kemudian pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu katanya, "Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."

Pelayan pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-taijin kembali menatap wajah Hui Kauw penuh perhatian dan seperti tadi, dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.

"Kau betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"

"Saya tahu betul, Taijin," jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul ibu kandungnya, akan mengenal dirinya.

Sementara itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lo-koai telah siap siaga menjaga segala kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu mendadak menjadi pucat ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah dalam, langkah seorang wanita.

Benar saja, tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik dan halus gerak-geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti terkena pesona...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 22


Pendekar Buta Jilid 21

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 21

Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia menyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw, "Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?"

Dengan suara tegas akan tetapi agak gemetar gadis itu menjawab, "Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah... suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku."

"Hui Kauw... Hui Kauw...." Kun Hong terharu sekali.

Untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan. Mereka diam saja tidak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan dari pada hati yang penuh keharuan dan kerinduan. Setelah mereda gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan ke kanan kiri lalu bertanya, "Mana dia?"

"Kau mencari siapa?"

"Janda itu... Yo-twaso, di mana dia?"

"Oh, kau maksudkan perempuan hina, pelacur itu?" kata Hui Kauw, suaranya terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.

"Perempuan hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?" Kun Hong bertanya dengan perasaan amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!

"Dia bukan perempuan baik-baik, Kun Hong. Bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan melarikan diri itu tiba-tiba saja bisa berada di dalam pondok perempuan itu? Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah melarikan diri dan dikejar-kejar oleh para perwira istana."

Teringatlah sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya, "Ah, habis bagaimana dengan para anggota Hwa-i Kaipang? Bagaimana jadinya dengan Hwa-i Lokai?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Hui Kauw menarik napas panjang. "Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh orang tewas, termasuk ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih menjadi buruan sampai sekarang."

Kun Hong membanting-banting kaki dan dia menangis di dalam hatinya. "Celaka, aku benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah... benar-benar celaka, dan benda yang kulindungi, yang sudah menjatuhkan korban banyak orang gagah itu sekarang masih tertinggal di rumah Yo-twaso..."

"Heee? Kau tinggalkan mahkota itu di sana? Tadi aku sudah merasa heran melihat kau menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak nampak. Wah, berbahaya kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira istana."

Kun Hong menggelengkan kepala. "Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-twaso orangnya baik, harap kau jangan keliru sangka yang bukan-bukan!"

"Dia baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan cabul."

"Hee? Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan membentur pohon, tidak ingat apa-apa lagi. Ketika aku sadar, aku sudah berada dalam pondok Yo-twaso, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-twaso?"

"Aku tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan kaisar, penghimpun para orang kang-ouw di istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan sesudah kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm, masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika aku merampas dan membawamu ke sini."

"Celaka...!" Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat hingga mengagetkan Hui Kauw. Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis. "Ah, celaka betul... Yo-twaso... Yo-twaso... kenapa engkau berkorban untukku sampai sehebat itu?" Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia benar-benar menangis.

Hui Kauw memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena dia menduga hal-hal yang hebat, "Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong?"

"Ahhh, Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia... dia telah berkorban untuk keselamatanku, dengan pengorbanan yang lebih hebat dari pada nyawa...! The Sun itulah orangnya yang sudah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada dalam pondok Yo-twaso dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat Yo-twaso... dan The Sun itu... ahhh, aku dapat membayangkan hal apa yang telah dilakukan oleh Yo-twaso untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-twaso tentu tahu bahwa kalau The Sun melihat aku di sana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-twaso mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan dia... ahh, dia mempergunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi..."

Bukan main kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini. "Wah... celaka... aku bahkan menendangnya dua kali! Dan kau... ketika rebah di kamar itu, kulihat mukamu berbedak langes hitam dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti seorang kakek lagi berbaring... wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-twaso sudah sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabui mata The Sun. Celaka, ahhh... alangkah bodohku... Kun Hong, kau maafkan kebodohanku..." Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas kesembronoannya telah menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang demikian berbudi.

Kun Hong memegang lengan Hui Kauw. "Hui Kauw, hayo antar aku ke sana, sekarang juga. Selain aku harus menghaturkan rasa terima kasihku, juga aku merasa khawatir akan keselamatan Yo-twaso dan A Wan, anaknya. Lagi pula, aku harus mengambil kembali tongkatku dan mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun dan kawan-kawannya."

Karena merasa sangat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw tak berani membantah lagi. Segera digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik ke atas genteng dan dua orang itu mempergunakan ginkang mereka berloncatan dari genteng ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap.

Waktu itu tengah malam sudah jauh terlewat, malah hari sudah hampir pagi. Ayam-ayam jantan sudah mulai berkokok dan sungguh pun belum kelihatan orang-orang keluar dari rumah masing-masing, tetapi kegelapan malam sudah mulai melepaskan dunia dari pada cengkramannya yang memabukkan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.

"A Wan, ada apakah...?" Kun Hong tidak sabar lagi dan segera mendorong pintu yang sudah berada di depannya. Bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.

"Ahhhhh...!" Tangan Hui Kauw yang menggandeng tangannya menggigil dan suara gadis ini gemetar.

"Ada apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?"

"Paman...!" A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.

“Kun Hong... dia... Yo-twaso itu... entah kenapa dia..."

"Mana Yo-twaso? Mana...?"

Hui Kauw menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun Hong maju.

"Dia di lantai...," bisiknya.

Kun Hong berlutut, tangannya meraba dan... begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, lalu meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, kemudian menutupi mukanya dengan tangan. Mulutnya berkata lirih,

"Yo-twaso... engkau sudah berkorban untukku... alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku. Yo-twaso, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku membalas ini semua kepada si keparat The Sun..."

"Tidak...!" Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang juga menangis perlahan saking terharunya.

A Wan berlari menghampiri dan memeluk tubuh ibunya, lalu memandang Kun Hong dan berkata lagi. "Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum... sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun. Ah, Ibu... Ibu...!"

Tiba-tiba Kun Hong yang sudah mampu menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali tarik dia sudah membuat A Wan berdiri pula. "Cukup bertangis-tangisan ini! Tanpa kegagahan, mana dapat kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi muridku!"

"Suhu (guru)...!" A Wan lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kun Hong, terisak-isak menahan tangisnya.

"Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi dengan ibumu!"

Sambil menahan isaknya A Wan kemudian menceritakan pengalamannya semenjak dia dan ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah. Kemudian betapa dia disuruh ibunya memanggil sinshe Thio, akan tetapi meski pun dia membujuk-bujuk namun sinshe itu tidak mau menolong, malah memaki dan memukulnya. Lalu dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak berani mengeluarkan suara tangisan, betapa ketika dia pulang, dia mendengar jerit ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, ibunya sudah menggantung lehernya dengan ikat pinggang.

Kun Hong menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata dengan suara tergetar, "Dia mencuci noda dengan nyawa. Hui Kauw, adakah orang yang lebih mulia dari padanya?"

Hui Kauw tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika dia memandang ke arah mayat nyonya Yo yang masih menggeletak di lantai. Perlahan-lahan dia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada di situ untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu. Semua ini dia lakukan penuh hormat dan dengan diam-diam, diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun Hong.

Ketika menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong. Diambilnya tongkat itu dan diserahkan kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.

"A Wan, dahulu kau dan ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-an, bagaimana kau dan ibumu bisa tinggal di kota raja ini?"

Dengan singkat anak itu lalu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita. Memang sangatlah buruk nasib dia dan ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu kiranya berlaku curang. Anak dan ibu ini tidak diantar ke Cin-an sebagaimana yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke kota raja!

Sesudah sampai di kota raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-wangwe, membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di kota raja yang besar dan ramai itu!

Dapat dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa sandaran!

Dengan amat sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan yang amat miskin dengan anaknya. Tentu saja banyak gangguan yang dia alami, namun janda muda ini berhati keras dan dapat menjaga diri sehingga biar pun ia dan anaknya hidup miskin dan serba kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu dia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.

"Ibu dan teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan teecu membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu kebetulan sekali kami bertemu lagi dengan Suhu," A Wan mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.

"Memang nasib ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan ibumu pergi menyusul arwah ayahmu di waktu dia masih muda. Mereka itu, ayah bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa sebagai ahli waris mereka engkau akan mewarisi pula budi pekerti ayahmu yang wataknya gagah perkasa dan ibumu yang suci budinya."

A Wan mendengarkan dengan kepala tertunduk untuk menyembunyikan mukanya yang kembali menjadi merah lagi.

"Wan-ji (anak Wan), ketika kau dan ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian itu?"

"Suhu maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?"

"Betul...," Kun Hong berdebar gembira. "Di mana berada benda itu?"

"Ada teecu simpan. Suhu jangan khawatir, teecu sembunyikan di tempat rahasia. Begitu melihat benda itu, teecu bisa menduga bahwa tentu Suhu sedang memperebutkan benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja teecu sembunyikan selagi Suhu pingsan. Tunggu sebentar Suhu, teecu hendak mengambilnya, teecu simpan di belakang rumah." Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.

"Kun Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo-twaso...," kata Hui Kauw terharu.

"Kau betul, Hui Kauw, dan kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah Yo-twaso. Sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang tuamu?"

Dua orang muda itu duduk berhadapan di atas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang. Suara Hui Kauw yang halus itu terdengar ketika dia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik. Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini sejak dia berpisah dari Kun Hong setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali mahkota kuno dari tangan Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-coa-to.
cerita silat karya kho ping hoo

Hui Kauw meninggalkan Pulau Ching-coa-to dengan perasaan hancur dan hati penuh duka nestapa. Memang baginya pulau itu bukanlah tempat yang mendatangkan kenangan indah dan andai kata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu, agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti burung terlepas dari sangkarnya. Ching-toanio dan Hui Siang bukan merupakan orang-orang yang mengasihinya, sungguh pun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching-toanio yang sudah memeliharanya semenjak dia kecil, sungguh pun wanita itu telah menculiknya dari tangan ayah bundanya yang asli.

Andai kata sebelum terjadi peristiwa keributan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu ia bisa berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan kebahagiaan baginya. Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain. Nasib sudah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta yang sekaligus menarik hatinya dan menjatuhkan cinta kasihnya. Harapannya untuk bisa hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching-toanio membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta.

Menyaksikan wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah jatuh benar-benar. Kebutaan mata Kun Hong sama sekali tidak mengecewakan hatinya, bahkan merupakan hiburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang dia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang laki-laki tentu menjemukan dan buruk sekali!

Siapa dapat mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh Ching-toanio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda perkasa itu sebagai pihak mereka. Sebagai seorang laki-laki gagah, tentu saja Kun Hong merasa terhina sehingga menolak pernikahan yang hanya merupakan siasat. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk redam dan buyarlah semua khayal dan lamunan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun Hong.

Kini sia sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu sesudah membantunya mendapatkan mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhibur. Tidak saja ia telah berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga dia mendapat kenyataan bahwa Pendekar Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Dia tidak bertepuk tangan sebelah.

Kalau teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih besar dari pada keyakinan bahwa orang yang dicintanya itu ternyata membalas dengan cinta kasih yang sama besarnya pula?

Namun, duka dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka karena mengetahui tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!

Demikianlah, dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta, dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan kota raja. Selama hidup belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apa lagi ke kota raja, karena ia seakan-akan ‘dikurung’ oleh Ching-toanio di dalam pulau. Kalau nenek itu bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta.

Justru hal ini malah mendatangkan hiburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya. Selain minggat dari pulau Ching-coa-to, tujuan perjalanannya adalah untuk mencari ayah bundanya di kota raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya sejak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu.

Meski pun perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan keraguan dan kekhawatiran. Dia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ayah bundanya, juga tak tahu nama mereka. Yang pernah ia dengar dari pelayan tua di Ching-coa-to yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching-toa-nio dan membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching-toanio, bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching-toanio dari kota raja dan bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee!

Ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan ayah bundanya, apakah ia akan berhasil mencari seorang she Kwee di kota raja tanpa bahaya keliru cari? Bagai mana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja akan tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah ayah bundanya akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apa lagi kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir sampai di sini, Hui Kauw menjadi amat gelisah.

Para penjaga pintu gerbang tembok kota raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun kereng, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka pun tidak berani main gila.

Tentu saja hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya tidak menarik. Andai kata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia tak akan terluput dari pada godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu. Setelah diperiksa sebentar ia lalu diperbolehkan masuk.

Dapat dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia sudah memasuki kota raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan muda dengan muka cengar-cengir maju menyambutnya. Hampir semua pelayan rumah penginapan di kota raja mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda ini pun tentu saja dengan mudah dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kangouw.

"Nona mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan Nona mengikuti saya."

Hui Kauw merasa tidak senang dan sangat sebal melihat muka pelayan muda yang terus mesam-mesem ini. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan mengikuti pelayan itu. Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa menoleh ke sana ke mari.

Akan tetapi diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan di situ sehingga ia bisa mengetahui betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di kota raja adalah sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita.

Kamar itu biar pun kecil tetapi cukup bersih, biar pun baunya apek dan menyebalkan hati Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan diberikannya kepada pelayan itu. Setelah menerima persenan yang besar ini sikap pelayan itu otomatis berubah. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, mukanya berseri dan senyumnya melebar memamerkan deretan gigi menguning.

"Terima kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Apakah ada sesuatu perintah dari Nona? Barang kali Nona membutuhkan bantuan saya...," katanya menjilat.

Oleh karena pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata, "Barang kali kau bisa menunjukkan kepadaku di mana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja ini."

Biar pun Hui Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan pelayan itu sebab mukanya berubah-ubah. Mula-mula matanya terbelalak bagai orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, akhirnya keningnya berkerut bagaikan orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.

"Keluarga Kwee...? Kaya raya...? Ehm, di mana, ya? Nona, di sini banyak sekali keluarga Kwee. Yang kaya raya juga sangat banyak, apa lagi yang miskin. Keluarga mana yang Nona maksudkan? Siapa nama hartawan itu?"

Mendengar ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Dan kalau ia sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia tak akan bertanya-tanya lagi, pikirnya mengkal.

"Aku tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang hartawan she Kwee."

Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng. "Wah, susah kalau begitu, Nona. Di sini banyak hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!"

Hui Kauw menggerakkan tangan dan pada lain saat dia telah memperlihatkan dua potong uang emas. "Kau suka menerima hadiah ini?"

Pelayan itu bengong, tidak dapat segera menjawab, hanya kala-menjing di lehernya yang kecil itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya, dia tak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras.

Hui Kauw menahan senyum. "Aku tidak mempunyai kenalan di kota raja ini, oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga hartawan Kwee yang anak perempuannya pernah diculik orang belasan tahun yang lalu. Nah, emas ini menjadi milikmu apa bila kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru."

"Boleh... baik, Nona... akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan saya nanti." Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab, lalu cepat-cepat dia keluar dari kamar itu.

Hui Kauw juga melangkah ke luar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika dia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri dari pada segala kemungkinan.

Malam itu sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri di atas pembaringan. Jengkel juga hatinya menanti-nanti pelayan yang belum kunjung datang. Akan tetapi dia menghibur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan penyelidikan tentang orang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota sebesar itu. Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian, malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan pikirannya yang risau.

Sukar sekali ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan ayah bundanya. Masih hidupkah mereka? Andai kata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya, sukakah mereka menerimanya sebagai anak? Bagaimana nanti sikap mereka terhadap dia? Masih adakah kasih sayang mereka? Bagaimana nanti sikapnya sendiri terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat sepasang matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan.

Menjelang tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap. Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini semakin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya. Jemu sekali ia di dalam penginapan ini. Seribu kali dia lebih suka bermalam di sebuah hutan, di atas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya. Tapi, sebagai seorang gadis pendekar yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja dia tegang, selanjutnya sambil tersenyum mengejek dia tenang-tenang rebah sambil menunggu apa yang akan datang. Hatinya terasa geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan senjata tajam. Agaknya ada pencuri yang hendak membuka jendela kamar, pikirnya. Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya, terdengar lebih dari pada dua buah kaki yang berpijak di lantai.

Hemmm, apakah di kota raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok? Sungguh-sungguh berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan adalah tempat umum dan di sana banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini berani datang melakukan kejahatan di sini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak akan dikeroyok sampai mampus?

"Kraaakkk!"

Akhirnya daun jendela terbuka. Tiga sosok bayangan yang gerakannya ringan meloncat memasuki kamar melalui jendela itu. Diam-diam Hui Kauw terkejut karena gerakan tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat biasa, akan tetapi orang-orang yang mempunyai kepandaian lumayan. Akan tetapi ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya.

Hui Kauw lalu membentak halus. "Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup? Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!" Memang ia tidak mau mencari perkara di kota raja yang asing baginya ini. Tiga orang itu tidak bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di ruangan tengah.

"Nona muka hitam, jangan sombong," cela seorang di antara mereka.

"Hemm, benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran," kata orang ke dua.

Orang ke tiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah bangun dan duduk di pinggir pembaringannya, "Nona, kami bertiga sudah banyak mengalah, sengaja tidak membikin ribut di depan umum agar kau tak mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu pada waktu malam-malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu."

Hui Kauw mengerutkan kening, membentak, "Orang-orang kurang ajar, kalian bicara apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari sini!"

Gadis ini sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan sikap kereng dan dengan pedang di tangan.

Seorang di antara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, sambil cengar-cengir berkata, "Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar. Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari istana, kami mata-mata dan penyelidik yang bertugas di rumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyak mata-mata pengkhianat dan kaum pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang simpan kembali pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan."

"Siapa peduli tentang keadaan kalian? Siapa pun juga kalian, tidak patut memasuki kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besok dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, peduli apa dengan segala kedudukan kalian? Hayo minggat!"

"Ha-ha-ha, galak benar," orang ke dua yang kumisnya panjang tertawa,

"Biar pun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok atau maling tunggal yang datang dari luar kota raja hendak mengacau atau mencuri di sini. Nona tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang hartawan di kota raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke tanganmu?"

"Keparat, berani kalian menghina orang!"

Tubuh Hui Kauw bergerak dan terdengarlah suara…

"Plak-plak, blukk, ngekkk!"

Lalu terdengar pula susulan suara pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan melayangnya ketiga tubuh mereka keluar melalui lubang jendela. Mereka masih terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak dan akhirnya terdengar berderap-derap langkah mereka pergi meninggalkan tempat itu!

Hui Kauw tersenyum mengejek dan juga merasa geli hatinya. Begitu sajakah penyelidik-penyelidik dari istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan taplak meja di kamar itu. Dua tangannya baru saja ‘makan’ muka dan kepalannya menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu jendelanya kembali, menyimpan pedangnya kemudian merebahkan diri di atas pembaringan seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

Menjelang pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi. Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Kini dia terbangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya. Banyak orang berkumpul di luar kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang.

“Di sini kamarnya…!” terdengar suara.

Mendengar suara ini Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan sapu tangan, membereskan rambut beserta pakaiannya yang kusut, mengikatkan pedang di pinggangnya dan mengencangkan tali sepatunya. Malah untuk menjaga segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian di atas punggungnya.

"Duk-duk-duk!” Pintunya mulai digedor orang.

"Buka pintu! Kami pengawal istana hendak memeriksa!"

Huh, menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di kota raja berkeliaran segala anjing istana yang kerjanya hanya mengganggu orang. Hemmm, lihat mereka hendak apa terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal daun pintu terlepas dan daun-pintu terbuka lebar-lebar.

Dengan tenang Hui Kauw berdiri tegak. Sikapnya gagah dan matanya tajam menatap ke luar kamar. Kiranya di luar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang, dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong. Sebuah senjata ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya.

Melihat pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah Hui Kauw menduga bahwa tentunya orang ini pemimpin mereka itu. Dengan tenang dia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi-tinggi besar dan gagah-gagah itu.

"Hemmm, kiranya orang-orang lelaki di kota raja ini hanya kelihatannya saja gagah dan sombong," kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh penyesalan dan ejekan, "Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan berlagak membuat orang sukar tidur enak, dan sekarang pagi-pagi sekali serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?" Hui-Kauw sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi berada di dalam rombongan ini pula.

Tiga orang laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya yang tidak menjadi gentar jika malam tadi mengalami hal seperti mereka?

Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tadi malam gadis bermuka hitam itu sudah membuat mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan tahu-tahu mereka mendapatkan diri sendiri telah berada di luar kamar! Tentu saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal seperti itu anehnya.

Semalam dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu pada seorang pengawal istana yang menjadi kepala mereka.

Pengawal istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, yang pagi-pagi sekali mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama! Seperti telah kita ketahui, semenjak masih sebagai pangeran, kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat. Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-jiu Souw Ki itulah.

Setelah Kian Bun Ti menjadi kaisar, hanya tinggal tiga orang di antara tujuh jagoannya yang masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal istana. Mereka ini adalah Tiat-jiu Souw Ki, Bhong Lo-koai dan Ang Mo-ko.

Dua orang kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada Tiat-jiu Souw Ki, akan tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar bila tidak menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam istana menjaga keselamatan kaisar.

Berbeda dengan Tiat-jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran di luar. Baginya, bertugas di luar istana memiliki kesempatan lebih banyak untuk dapat melampiaskan nafsu-nafsunya, mudah mencari ‘rejeki’ dengan memeras atau merampas, mudah pula mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah di antara hobby-nya (kegemarannya)!

Di bagian awal cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-jiu Souw Ki yang tadinya berhasil merampas kembali mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam istana kemudian ‘ketemu batunya’ saat Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkan dan mengalahkannya serta merampas kembali mahkota itu.

Hati Souw Ki amat penasaran. Dia, seorang pengawal kaisar, berjuluk Tiat-jiu (Si Tangan Besi), ahli bermain ruyung baja, masih dibantu pula oleh anak buah perampok-perampok Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang serta si tosu bopeng Ban Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak! Mulai saat itu Tiat-jiu Souw Ki menaruh hati benci terhadap wanita-wanita kang-ouw.

Maka begitu mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di kota raja itu terdapat seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita ke dua yang boleh begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajak sebelas orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu kamar Hui Kauw.

Melihat sikap Hui Kauw yang menantang dan kereng, Tiat-jiu Souw Ki menjadi panas perutnya. Dia seorang mata keranjang, dan agaknya kalau nona yang bentuk tubuhnya menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang kemarahannya sudah akan mencair kembali.

Akan tetapi kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya membuat Souw Ki semakin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.

"He, monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-jiu Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut menyerah!"

Sebetulnya Hui Kauw adalah seorang yang memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam sudah ia buktikan betapa wataknya sangat halus dan pemurah sehingga tiga orang laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah. Namun, sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan mukanya, ia tentu akan marah juga.

Demikian pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan mata yang bercahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke muka Souw Ki sambil berkata.

"Bangsat rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Mengenai maksud kedatanganku di kota raja adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Tadi malam aku masih mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum dapat menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!"

Dapat dibayangkan betapa marahnya Tiat-jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini. Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.

"Bangsat betina! Tidak biasa aku, Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya kau mengenal tangan besiku."

"Hemm, kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!" kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya.

Dia tahu bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu pula ia berkhawatir.

"Wah-wah, kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian maka berani malang-melintang di kota raja. Siapa hendak mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok minta ampun. Mari... mari... boleh kita bertanding di tempat yang lapang!"

Dia melangkah lebar ke ruangan dalam di mana terdapat ruangan yang lapang setelah meja kursi didorong ke pinggir tembok. Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti akan mendapatkan kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang dinanti bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina!

Hui Kauw dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan ini. Dia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang istana ini agar selanjutnya dia tidak mendapat banyak gangguan lagi.

Panas juga hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda, mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah. Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw lantas menggenjot tubuhnya dan melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki.

Pengawal istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, buktinya dia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku tak akan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian, pikirnya.

Betapa pun juga, sesudah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut itu sudah merasa menyesal. Saat ini dia sedang berusaha mencari orang tuanya. Kedatangannya ke kota raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi! Sekarang, belum apa-apa dia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak bentrok dengan petugas-petugas istana!

"Tiat-jiu Souw Ki," katanya dengan suara lembut akibat penyesalan ini. "Terus terang saja, aku sebenarnya tidak suka ribut-ribut karena kedatanganku di kota raja ini bukan untuk mencari keributan dengan siapa pun juga. Anak buahmu kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku. Melihat julukanmu, tentulah kau pun seorang kang-ouw yang tahu akan sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri dan kita tidak saling ganggu."

Belasan tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.

"Ha-ha-ha, ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku Tiat-jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andai kata kau seorang tokoh sekali pun, kau juga masih harus menghormati aku, apa lagi kau sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki kota raja, baru aku mau menimbang-nimbang untuk mengampunimu."

Ucapan ini benar-benar amat sombong dan memandang rendah. Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata, "Tiat-jiu Souw Ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji tidak akan mengganggu kalian di mana saja kalian berada."

Orang yang sombong selalu tak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang menyangka bahwa gadis muka hitam itu merasa jeri terhadap dia!

"Ha-ha-ha, mana bisa urusan begitu gampang? Kau telah bersikap amat garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!"

"Kau memang terlalu sombong!" Hui Kauw membentak.

"Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!" Souw Ki menantang.

Hui Kauw maklum bahwa tidak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya.

"Lihat serangan!" dia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju sambil kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.

Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri ke arah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Dia bermaksud untuk mengalahkan dalam satu gebrakan ini saja karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang.

Hatinya girang bukan main ketika melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tak peduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampangkah? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.

"Ayaaaaa... celaka...!"

Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar kemudian malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka. Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw barusan memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Seakan-akan gadis itu membiarkan pergelangan tangan kirinya disambar, tapi tangan kanannya sudah cepat ‘memasuki’ lowongan kedudukan lawan dan menyodok ke arah lambung di bawah iga.

Andai kata tadi Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, walau pun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, akan tetapi dia sendiri juga pasti akan terkena pukulan maut yang akhirnya dapat mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!

Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek. "Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat apa bila kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini."

Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ilmu kepandaiannya pun tinggi, tentu saja dia tak menjadi gentar menghadapi bahaya yang tadi hampir membuatnya kalah itu. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri.

Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, mempunyai kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.

"Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!"

Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki kembali menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat julukan Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya.

Akan tetapi Hui Kauw memiliki keanehan yang telah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-coa-ong Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi. Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biar pun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang tapi cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayunkan kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan tetapi berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan!

Tiat-jiu Souw Ki menggeram. Tangan kirinya menyambar kaki dengan niat mencengkeram hancur kaki mungil itu, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya.

Serangan balasan yang amat dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan ginkang-nya yang mengagumkan. Tanpa menarik kakinya yang menendang itu, Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah sehingga tubuhnya mumbul ke atas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari ‘udara’ nona itu menendang ke arah belakang telinga kanan lawan.

"Setan!" Souw Ki memaki.

Terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi.

Ketika tendangannya luput Hui Kauw melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya yang kecil itu sangat cepat dan bertubi-tubi datangnya, bagai sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang serentak menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya.

Souw Ki terpaksa meloncat kian ke mari sambil kedua tangannya sibuk bergerak untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, sebab dia betul-betul kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Jangankan balas menyerang, bernapas pun agaknya hampir tidak ada kesempatan. Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang.

Memang kembali Hui Kauw sudah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, dia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Apa bila dia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu mampu mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali dia hanya menampar saja.

Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang lantas menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampirinya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,

"Pergi kalian!"

Kakinya melayang dan... dua orang pembantu yang sial itu langsung terlempar kemudian mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini mencari korban dan melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.

"Tiat-jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang." Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.

"Wuuuttttt!" Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.

"Iblis betina, jangan mengira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku ini, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!"

Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini!

Ketika dia dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih dapat menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali.

Kekalahannya dari Bi-yan-cu Tan Loan Ki masih bisa dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!

Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini sungguh-sungguh tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja tapi mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka dia hanya berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu di atas kepala dengan sikap beringas.

Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.

"Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!"

"Weerrr!"

Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hui Kauw berkibar.

"Singgggg!"

Senjata itu lewat di atas telinga Hui Kauw yang cepat-cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biar pun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya.

Tangannya bergerak dan pada lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding ke atas di belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang di depan dada dari kiri ke kanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.

Tiat-jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong.

Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya jika ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, sebab ia kalah tenaga dan senjatanya pun kalah berat. Dia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan.

Memang hebat juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya menggunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya. Biar pun ruyung itu merupakan senjata yang berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.

Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari Ching-toanio. Ilmu pedang Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya.

Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak jenis ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia bisa menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-thong-pai.

Malah sesudah menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis, ia banyak pula mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin. Ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini. Tidaklah heran apa bila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki.

Setelah lewat dari tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat dari pada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang.

Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap di antara gulungan bayang ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!

Memang demikianlah kehendak Hui Kauw. Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja.

Tiat-jiu Souw Ki pantang mengalah, apa lagi dia berada di kota raja di mana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang masih lebih lihai dari padanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.

"Manusia tak tahu diri, lepaskan ruyung!" tiba-tiba Hui Kauw membentak.

Pedangnya berkelebat menyerang dan... Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang!

Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya itu akan menjadi buntung atau cacad. Akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, namun memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah.

Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti bahwa lawannya si gadis muda itu merupakan seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh belas kasihan kepadanya. Akan tetapi kesombongan sudah membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.

"Serbu! Tangkap pemberontak ini!"

Serentak sebelas orang anak buahnya segera maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui Kauw marah bukan main dan terpaksa dia harus mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan.

Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus dia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini akhirnya menarik datang para penjaga lainnya sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai.

Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi dia tetap waspada.

Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan.

Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan serta halus gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.

Orang ke dua adalah seorang kakek yang kurus kecil, usianya lima puluhan. Pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata. Mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bengkok.

Melihat kedua orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, ada pun orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah. Mungkin dia hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.

Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat di jalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang di antara para pengawal kaisar.

Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari ke luar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan. Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat.

Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas memperlihatkan sebagai seorang ahli silat tinggi, The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok. Tentu saja mereka semua mengenal ‘The-kongcu’ ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi dari pada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.

Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang menjual lagak sambil cengar-cengir itu.

"Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong ini. Andai kata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam atau pun putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut." Ucapan ini halus, tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.

Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tak sedap di hatinya maka ia pun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.

"Memang aku adalah seorang asing di sini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk bisa berlaku sewenang-wenang? Aku tak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan dan jangan ganggu aku, aku pun tidak ingin bertempur dengan siapa pun juga!"

Kembali The Sun tersenyum-senyum yang amat mencurigakan hati Hui Kauw. Pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini sangat mencurigakan, dan segera menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.

"Nona harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan kota raja. Kau adalah orang asing, tetapi datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangan Nona di kota raja ini?"

Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini. Akan tetapi karena tadi sudah terlanjur dikeroyok, ia tidak dapat menekan kedongkolan hatinya begitu saja.

"Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapa pun juga dan tidak berniat membikin ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!"

"He-heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya," tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk. "Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lo-koai."

"Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun sudah pernah mendengar namanya pula," sambung The Sun.

"Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu," jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya.

The Sun dari Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, di depan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga.

Hemmm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Biar kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.

"Bhong-lo-enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?”

Bhong Lo-koai tertawa, kemudian melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata, "Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tak dapat mengenal ilmu pedangmu."

Hui Kauw semakin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya.

"Aku hanya mau membela diri, sama sekali tak sudi mencari ribut dengan siapa pun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!"

"Heh-heh-heh, lihat serangan!"

Bhong Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang ‘berisi’, tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.

Cepat Hui Kauw mengubah kedudukan kaki, agak miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenal ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.

Karena penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi. Kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung tubuh Hui Kauw dari empat jurusan! Bila tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkan gadis ini!

Namun benar-benar perhitungannya meleset. Ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapa pun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak sanggup menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat.

Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang ini pun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu. Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apa lagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai menggunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu.

Lima puluh jurus telah lewat. Mendafak kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu pedang itu melenting ke atas, lalu dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lo-koai menarik tongkatnya dan cepat melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari pada tusukan pedang.

"Tahan dulu!" demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya mengantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya. "Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?"

Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula dia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.

"Dia adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?" jawabnya dengan suara masih tetap dingin.

Mendadak kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang. "Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, jika begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik."

The Sun juga menjura dengan sikap hormat. "Kiranya Giam-lihiap adalah puteri angkat mendiang Giam lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tak berani menaruh curiga. Sesungguhnya di antara kita masih ada hubungan persahabatan!"

The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw. Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja lalu diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.

Hui Kauw merasa tidak enak sekali. Jangan dikira hatinya lantas menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sebagai sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biar pun memiliki kedudukan tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.

Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa.

Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,

"Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau sedang mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dulu pernah kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk."

"Betul ucapan The Sun ini, Nona," sambung pula Bhong Lo-koai. "Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu. Tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari karena khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak akibat salah mengerti."

Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja dia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi jika dibantu oleh The Sun, tentu lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis,

"Terima kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa di kota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali."

The Sun menoleh pada Bhong Lo-koai yang tampak termenung. "Lo-enghiong, kau yang lebih lama tinggal di sini dari pada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?"

"Nanti dulu... nanti dulu..." kakek itu meraba-raba keningnya, kemudian dia mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. "Kau maksudkan hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ahh... ahh... jangan-jangan yang engkau maksudkan adalah Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda-benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lampau, pada suatu malam kota raja gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada waktu itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar-benar aneh... dan... jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?"

Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak bisa salah lagi, tentu mereka itulah ayah bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang dahulu masih bernama Liu Bwee Lan? Dan penolong sakti itu, tentu saja mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya dia menekan perasaan supaya mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian dia berkata dengan sikap gembira.

"Ahh, tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh... ahh, Bhong lo-enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, di mana rumahnya?"

The Sun dan Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, dia pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu?

The Sun tersenyum. "Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik pada Kwee-taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-taijin di rumahnya."

Orang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi ia tidak mempedulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya yang asli, yang selama ini sering dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.

"Aku tidak bermaksud merepotkah ji-wi, tapi..." dia bersungkan.

"Ah, tidak apa, Nona. Bukankah di antara kita adalah di antara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apa lagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-taijin. Marilah."

Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap sangat menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai.

Hui Kauw merasa sungkan sekali. Akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, dia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!

Rumah Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan dia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada artinya.

Rumah depannya itu dijaga beberapa orang prajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu. Apa lagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah juga seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena bantuan mereka dibutuhkan oleh kaisar.

Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak yang digantung pada sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada di sini tidak mampu melawan keindahan kumpulan lukisan ibu angkatnya.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.

"The-kongcu...!" dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis.

Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya telah tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.

"Nona Kwee, sepagi ini kau sudah tampak begini gembira dan segar cantik. Hendak ke manakah?" The Sun menegur.

Diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemmm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.

"Aku hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!" Dara lincah dan jelita itu berkata pula.

The Sun tersenyum dan menggeleng kepala. "Lain kali saja, sekarang aku lagi banyak urusan. Adik Kian, hati-hati bila berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota," pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.

"Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona mencari ayah," katanya dengan suaranya yang besar dan keras.

"Ayah sedang mandi, kami dipesan agar mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar."

"Baik, baik... tidak apa, hanya ada sedikit urusan," kata The Sun.

Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman. Hui Kauw merasa sangat canggung karena dua orang muda itu tiada henti memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga.

Dari percakapan ini ia dapat menduga bahwa dara remaja itu tentu adik si pemuda, apa lagi kalau dilihat pada wajah mereka memang terdapat persamaan. Akan tetapi pemuda ini menyebut Kwee-taijin sebagai ayahnya. Kalau ayah mereka ini, yaitu Kwee-taijin yang dimaksudkan itu, benar-benar adalah ayahnya yang sejati, dengan sendirinya dua orang muda ini adalah adik-adiknya! Berpikir sampai di sini, hatinya berdebar tidak karuan dan ia pun balas memandang penuh perhatian.

Makin berdebar hatinya ketika muncul pelayan yang berkata hormat. "Taijin menanti para tamu di ruangan depan. Silakan sam-wi masuk."

The Sun dan Bhong Lo-koai bangkit berdiri. Hui Kauw juga mengikuti gerakan dua orang itu. Dua orang anak muda tadi pun berdiri dan sambil tersenyum manis dara remaja itu berkata kepada The Sun,

"Kami juga akan berangkat, The-kongcu. Kalau kau sudah selesai dengan urusanmu dan ada waktu, kami akan girang sekali jika kau menyusul kami ke hutan sebelah selatan."

The Sun hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang dua orang muda itu yang berlarian ke luar rumah di mana menanti para pelayan yang sudah menyiapkan dua ekor kuda besar. Sebentar kemudian terdengarlah derap kuda mereka meninggalkan tempat itu.

The Sun memberi isyarat kepada Hui Kauw untuk ikut memasuki ruangan depan yang ternyata lebih luas dan lebih mewah dari pada ruangan tamu. Dengan mata tak berkedip Hui Kauw memandang lelaki setengah tua yang segera bangun dari kursinya menyambut kedatangan mereka bertiga.

Laki-laki ini usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Rambutnya sudah berwarna dua, akan tetapi yang amat menarik adalah alisnya yang sudah putih seluruhnya. Wajahnya kurus, kelihatan lebih kurus dari pada badannya yang berkerangka besar, tampan serta gerak-geriknya halus. Jari-jari tangan yang diangkat ke dada untuk memberi hormat itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan terawat, kuku seorang sasterawan pada jaman itu. Senyumnya melebar, menyembunyikan sinar duka yang tergores pada wajahnya sebagai bekas kepahitan hidup.

"Ah, kiranya The-kongcu dan Bhong-losu yang datang berkunjung. Tidak tahu siapa Nona ini?" pembesar itu menyambut dengan suaranya yang halus.

Sikap yang tidak angkuh dan halus itu serta merta mendatangkan kesan baik dan amat mengharukan di hati Hui Kauw yang cepat-cepat memberi hormat bersama The Sun dan Bhong Lo-koai.

"Kwee-taijin," kata Bhong Lo-koai setelah mereka dipersilakan duduk, "Justru kedatangan kami berdua ini untuk mengantar Nona ini yang katanya masih terhitung keluarga dengan Kwee-taijin."

Hening sejenak, hening yang mencekam hati Hui Kauw, tetapi mendatangkan heran bagi Kwee-taijin. Kedua orang jagoan itu hanya menanti sambil memandang penuh perhatian.

"Nona siapakah...?" Sepasang mata itu mengeluarkan sinar menyusuri wajah dan bentuk tubuh Hui Kauw, lalu kembali ke wajah gadis itu dan menjadi ragu-ragu dan malah curiga ketika melihat muka yang menghitam itu.

Rasa kecewa memenuhi hati Hui Kauw, membuat dia ingin sekali menangis. Kalau benar dia ini ayahnya, mengapa tak mengenalnya lagi? Bagaimana mungkin ia mengaku begitu saja sebagai puterinya? Puteri seorang bangsawan kaya raya? Apakah semua orang tak akan menyangka bahwa dia seorang penipu? Apa buktinya bahwa ia anak pembesar ini? Dan bagaimana pula kalau ternyata bukan anaknya?

Suaranya gemetar ketika ia berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Taijin. Sesungguhnya, urusan ini mengharuskan kehadiran Nyonya Taijin. Apa bila diijinkan, saya mohon supaya Nyonya Taijin dipersilakan datang, baru saya akan bicara tentang urusan ini..."

Berubah wajah Kwee-taijin. Agaknya dia hendak marah, tetapi karena yang mengajukan permintaan yang aneh ini adalah seorang gadis, dia dapat menahan kesabarannya.

Ada pun Bhong Lo-koai dan The Sun tidak heran mendengar ini malah The Sun segera berkata, "Kwee-taijin, Nona ini tahu bahwa belasan tahun yang lalu puteri taijin lenyap diculik orang..."

"Ahh...!" Pembesar itu berseru kaget. "Kau tahu...? Di mana dia itu sebenarnya? Di mana anakku...?"

Kemudian pembesar ini sadar akan kegugupannya, maka dia segera bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu katanya, "Pergi menghadap nyonya besar dan katakan bahwa aku minta ia datang ke ruangan depan sekarang juga."

Pelayan pergi dan keadaan hening kembali. Kini Kwee-taijin kembali menatap wajah Hui Kauw penuh perhatian dan seperti tadi, dia menjadi curiga dan ragu-ragu melihat wajah yang hitam itu karena sepanjang ingatannya, dia tidak mempunyai keluarga atau anak kemenakan yang berwajah hitam seperti nona ini.

"Kau betul-betul tahu tentang puteriku yang diculik orang itu?"

"Saya tahu betul, Taijin," jawab Hui Kauw perlahan dan di dalam hatinya nona ini berdoa semoga nyonya pembesar ini kalau memang betul-betul ibu kandungnya, akan mengenal dirinya.

Sementara itu, diam-diam The Sun dan Bhong Lo-koai telah siap siaga menjaga segala kemungkinan untuk melindungi pembesar itu dan isterinya, karena mereka pun merasa curiga kepada nona muka hitam itu. Dengan pandang mata tajam The Sun menatap wajah Hui Kauw dan melihat betapa wajah nona yang kehitaman itu mendadak menjadi pucat ketika terdengar langkah ringan dan halus dari sebelah dalam, langkah seorang wanita.

Benar saja, tak lama kemudian muncullah seorang wanita setengah tua yang masih amat cantik dan halus gerak-geriknya, tapi bermata sayu tanda penderitaan batin dan wajahnya yang pucat menandakan kesehatan yang buruk. Begitu melihat wajah nyonya ini, seketika Hui Kauw memandang dengan mata terbelalak dan ia seperti terkena pesona...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 22