Pendekar Buta Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 08

Tokoh muda ini bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan pertolongan Giam Kin yang menyelamatkan dirinya, disambung dengan jalinan cinta kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini. Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan begitu pula sebaliknya.

Meski Liu Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu, namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya dari hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai ular-ular berbisa.

Dalam kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila padanya, Liu Bwee Lan malah berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu dia minta dibuatkan tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau berbisa!

Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang yang cacat, kemudian tewas di puncak Thai-san, Liu Bwee Lan akhirnya menjadi pemilik Pulau Ching-coa-to. Semenjak menjadi pemilik pulau itu, wanita ini berganti nama menjadi Ching-toanio.

Hubungannya Liu Bwee Lan dengan Giam Kin menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga hartawan di kota raja dan yang ia beri nama Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan, ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu.

Orang berwatak seperti Ching-toanio ini tentu saja kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh pada anak kandungnya, Hui Siang. Ada pun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu belaka dan seberapa dapat dia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri.

Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada Ching-toanio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini.

Malah kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri, atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching-toanio melakukan perbuatan yang amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw yang sudah dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik itu ketika pada keesokan harinya, pada waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit, gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan dan halus seperti sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti pantat kuali!

Dalam hal ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan itu tanpa ada perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh bila Hui Kauw menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian jika dibandingkan dengan Hui Siang karena otaknya memang lebih cerdik.

Karena tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu selisihnya tidak banyak dengan si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang dia temukan di antara kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas.

Ibunya sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai mendalam. Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah pada waktu kecil ia merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh ibunya yang memaksa datang seorang guru sastera terkenal untuk melatih sastera kepada Hui Kauw. Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu.

Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni pulau Ching-coa-to, yaitu Ching-toanio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching-toanio memiliki harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya.

Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis lincah ini terjerumus ke dalam jurang pada saat ia sedang mencari jalan menuruni lembah curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor.

Tanah longsor ini bukan merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau itu sudah dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan daerah yang sukar dan berbahaya bagi orang-orang luar yang berniat akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil dari pada pemikiran orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio serta dibantu oleh orang-orang pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu dan lain-lain.

Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya melayang amat cepat ke bawah. Ia berusaha menggunakan ginkang-nya untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding karang sehingga tubuhnya terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!

"Byurrr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru saking dalamnya.

Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih merasa pening karena kejatuhannya dari tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andai kata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia berkecimpung semenjak kecil.

Ayahnya tinggal di pantai dan laut adalah tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup mulut serta hidungnya, kesadaran segera kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat tangan dan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu meluncur naik seperti seekor ikan hiu.

Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat ada enam orang laki-laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin menyerangnya! Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak, agaknya terkejut dan heran luar biasa betapa ada seorang manusia jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki.

Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ, "Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk siocia, kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu... lucu... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan beberapa pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"

Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar mata mereka kurang ajar. Agaknya perintah itu sangat menyenangkan hati mereka dan setelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah sekarang ia sengaja seperti orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.

"Heiii, tunggu, aku akan menolongmu, Nona manis!" teriak seorang lelaki yang berenang cepat sekali.

"Sam-ko, biarkan aku yang pondong dia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.

"Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dahulu dialah yang berhak mendapat upah, memondongnya ke tepi!" kata orang yang ke tiga dan ramailah mereka berlomba dan mulai menyelam.

Akan tetapi sama sekali tidak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini benar-benar mereka akan menghadapi seorang ‘iblis air’. Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana ke mari untuk menangkap gadis yang ‘tenggelam’ tadi, tiba-tiba saja di depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat.

Kagetlah mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang sangat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul kembali ke permukaan air, menjauhi bahaya pada waktu ‘ikan besar’ itu menyerang mereka.

Jika saja peristiwa itu terjadi di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi pergumulan hebat.

Tak lama kemudian, tampaklah kepala enam orang pembantunya tersembul ke luar, lalu berenang ke pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sibuk membantu mereka, menyeret mereka yang datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik sendiri.

Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka. Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya menakutkan!

"Eh-ehh-ehhh, kalian ini kenapakah? Kenapa begini...?"

"Celaka... anak iblis itu... agaknya ia anak siluman telaga... ikan-ikan mengeroyok kami... waduh, celaka...!" seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai hancur berkeping-keping.

Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka penakut, tolol, goblok dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di tepi telaga muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu.

Merasa ada sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunak-lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup, sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!

Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, tetapi dia selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian berikut mahkota kuno itu masih berada padanya.

Sambil memeras pakaian serta rambutnya, dia mengenangkan semua kejadian tadi dan tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tidak berani melakukan pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu!

Hatinya girang bukan main karena sekarang dia sudah sampai di tepi telaga. Kalau ada perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Tetapi, bagaimana ia dapat meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang buta itu datang ke pulau ini atas desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku harus mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya!

Ia mendongak memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tak melihat bayangan pemuda buta itu. Di depannya adalah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon buah. Amat girang hatinya melihat beberapa pohon penuh dengan buah yang sudah matang. Segera ia meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon yang tinggi.

Tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk jalan.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar yang berpakaian pendeta berwarna kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang berat. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar. Pakaiannya mewah sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi.

Akan tetapi Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini mengandung banyak rahasia, sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong. Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap.

Cepat ia merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang laki-laki itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lalu menyelinap di antara pepohonan mengikuti ketiga orang itu dengan hati-hati. Karena ia tidak berani mengikuti dari jarak dekat, ia tak dapat mendengar jelas apa isi percakapan dua orang itu.

Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tidak mungkin akan dapat ditemukan sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu.

Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan akhirnya ia bisa bersembunyi di balik jendela dan dapat mengintai serta mendengarkan percakapan di dalam.

Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan saja yang bentuknya bundar, ruangan yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup dan sengaja ditanam di sana. Sedikitnya ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar serta berukir dan pula, disulami sutera tebal berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang kaya.

Akan tetapi semua kemewahan itu sama sekali tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal ayahnya pun tak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.

Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tubuhnya kecil kurus seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Bangsa Mancu.

Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang dengan perawakan yang ramping menarik. Kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dari senyum dan lirikan mata mereka pada saat menyambut kedatangan dua orang ini, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang ‘besar’ dalam arti kata berpengaruh di dunia kang-ouw sehingga sikap mereka tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong.

Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat-cepat bangkit berdiri serta membungkuk menyambut kedatangan hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.

"Selamat datang... selamat datang... Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!" Dia menjura dengan sikap menghormat.

"Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu tertawa bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.

Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma sambil berkata, suaranya tenang dan sikapnya dingin, "Saudara Bouw Si Ma, aku adalah Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."

Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri... orang sendiri... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari kuperkenalkan..."

Akan tetapi hwesio tua itu segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidak sabaran hatinya.

"Bouw-sicu, pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to. Mengapa sekarang Ching-toanio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain untuk menyambut pinceng? Apa artinya penghormatan seperti ini?"

Jelas bahwa biar pun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Terang terhadap Bouw Si Ma tidak, juga terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak. Sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk membicarakan urusan rahasia yang sangat besar, agaknya dia merasa kecewa sekali tahu-tahu kini di tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing.

Kalau Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak-thian Lo-cu ini. Akan tetapi tiga orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benar-benar membuat hwesio itu merasa tak senang hatinya.

Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,

“Taisu tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti tadi telah diberi tahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong. Jiwi adalah orang-orang besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan tetapi, betapa rendah pun, kami adalah undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Taisu? Hemm, dia itulah yang tidak diundang, maka wajib disingkirkan."

Loan Ki kaget bukan main ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan itu. Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tamu tak diundang’ oleh wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat sepasang matanya terbelalak heran dan hatinya berdebar-debar.

Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak ke depan dengan telunjuk menuding, kemudian terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan, mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela.

Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di tempat semula, akan tetapi sudah tidak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari perutnya!

"Omitohud...! Bukankah itu ilmu yang disebut Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang)?"

Kemudian hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang sudah menjadi muridnya sambil berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng (pendeta asing) di Thian-tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan hoat-sut (ilmu sihir), amat berbahaya dan jika tingkatnya sudah tinggi, hawa pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa perlu menggunakan pedang sekali pun. Melihat toanio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, sungguh-sungguh mengagumkan dan sudah sepantasnya kalau mereka bertiga juga turut diundang oleh Ching-toanio. Aha, siapa kira orang-orang muda kini mendapat kemajuan begini hebat? Pinceng orang tua benar-benar sudah pikun, tidak sadar bahwa dunia ini semakin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda... ha-ha-ha-ha!"

Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum, "Benar pendapat Taisu. Sam-wi Lihiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."

"Benarkah? Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi adalah sumoi (adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang Hek-hwa Kui-bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-san dan roboh."

Orang tertua dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Suatu saat kami bertiga yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang sudah merobohkan mendiang Hek-hwa suci (kakak seperguruan)."

Ka Chong Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang serta mendengar semua ini dengan hati berdebar.
cerita silat karya kho ping hoo

Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian pada enam orang itu yang mulai minum-minum, dengan dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik serta berpakaian sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa di dalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin khawatirlah dia karena sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu pergi meninggalkan pulau berbahaya ini.

Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan sekali. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh besar yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di utara, yaitu Pak-thian Lo-cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-san.

Seperti Ang Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka, juga Bouw Si Ma ini menaruh dendam terhadap Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak-thian Lo-cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-ong-kwi karena Siauw-ong-kwi adalah sute (adik seperguruan) Pak-thian Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan pula.

Sebagai saudara tingkat tua di dalam perguruan, tentu saja Bouw Si Ma mengenal pula Ching-toanio dan sering kali mengunjungi pulau ini, apa lagi semenjak Giam Kin tewas di puncak Thai-san. Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching-toanio. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka sering kali mereka mengincar kedudukan di kota raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah kaisar pertama dari Ahala Beng meninggal dunia.

Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan selama belasan tahun mereka merantau ke See-thian (dunia barat) sehingga mereka tidak tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek-hwa Kui-bo yang tewas pula di Thai-san.

Kini ketiga orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman. Akan tetapi selain mereka pelajari ilmu kepandaian yang hebat, seperti juga halnya Hek-hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh tahun!

Setelah merantau ke See-thian dan bertemu dengan guru mereka, yaitu seorang pendeta di Thian-tiok yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-cimoi meningkat hebat sehingga melampaui tingkat kepandaian Hek-hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian.

Bouw Si Ma yang mewakili Ching-toa-nio dalam hal mencari orang pandai untuk sekutu, dengan amat cerdiknya segera menggandeng tiga orang enci adik ini. Apa lagi mengingat bahwa mereka bertiga juga memiliki dendam yang sama di Thai-san atas kematian kakak seperguruan mereka.

Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat. Ilmu ini merupakan inti dari pada Ilmu Pedang Hwa-seng Kiam-sut, yang telah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan kekuatan hoat-sut, hawa pukulannya saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang.

Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu ini.

Ia bernama Sublai dalam Bahasa Mongol, dan dalam dunia kang-ouw dia menggunakan nama Han dan disebut Souw Bu Lai. Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orang-orang Mongol kebanyakan, karena gurunya merupakan tokoh Mongol nomor satu.

Sebagai orang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan Tiongkok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai memainkan delapan belas macam senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan anak panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.

Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, yaitu seorang pendeta Buddha yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah pernah menerima hadiah tongkat kependetaannya di Tibet. Sayang seribu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha.

Dulu dia bercita-cita menjadi orang yang tertinggi kedudukannya di samping kaisar melalui keagamaan. Sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia lalu bercita-cita untuk membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu Lai yang menjadi muridnya.

Sering kali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya itu menjadi kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang malah melebihi kaisar sendiri!

Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi dari pada tingkat si empat besar yang dulu ditonjolkan di dunia kangouw, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang si tokoh timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek-hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat dari pada baja pilihan di Himalaya, juga amat berat tapi kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali!

Pokoknya, enam orang yang tengah berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai kepentingan bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu berusaha membalas dendam kepada Thai-san-pai dan usaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh.

Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menunggu datangnya Ching-toanio yang sudah diberi tahu oleh salah seorang pelayan, muncullah Ching-toanio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau ini segera menjura dengan hormat sekali sambil berkata,

"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya sudah mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku. Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu adalah mata-mata pihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."

Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis keenam orang itu mengerling ke sana ke mari dengan pandang mata penuh selidik.

"He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.

"Iblis betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.

Sebelum yang lainnya tahu apa yang mereka maksudkan itu, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat ke arah jendela pula.

"Brakkkkk!"

Angin dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat Ngo Kui Biau sudah meloncat masuk kembali sambil melemparkan tubuh seorang gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki!

Gadis ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguh pun kedua matanya masih terbalalak lebar saking heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah jendela.

Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak, akan tetapi angin pukulan itu membuat daun jendela pecah dan tiba-tiba saja ada berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha mengelak, akan tetapi gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap kemudian ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu.

Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan muka takut, malah tersenyum-senyum kecil dengan mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.

"Bocah liar, siapa yang suruh kau memata-matai pulau kami?!" Ching-toanio menghardik, suaranya penuh ancaman.

Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan mata-mata. Aku sengaja datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya niat buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?"

Pertanyaan itu dia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum. Bukan main bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau goa naga masih saja begitu tenang dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau setidaknya murid orang pandai.

"Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa?!" Ching-toanio membentak.

"Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja semua orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Ada pun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"

Tiga orang laki-laki yang berada di sana tersenyum, bahkan Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini telah menyuramkan ‘sinar’ mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.

"Budak! Kau berani kurang ajar di hadapan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?" teriak Ching-toanio.

Bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, langsung mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki.

Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri bila ia tidak cepat-cepat menggunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sulit dari ilmu silat keturunan Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya mencelat seperti dilemparkan ke atas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya.

Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, akan tetapi angin pukulan yang dilontarkan nyonya itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada pada punggungnya.

“Brettt!”

Terdengar suara dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.

"Oho! Bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?" terdengar suara parau dari Souw Bu Lai.

Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka sekali melihat dia telah mengenalnya, apa lagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kang-ouw.

Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran ketika melihat cara Loan Ki bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi. Maka, ketika dia melihat Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini cepat berseru, "Toanio, tahan dulu!"

Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki, "Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li Kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"

"Hemmm, bagus jika kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal pun sudah terlambat!"

Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapa pun juga ia tak akan mampu melawan. Baru seorang nyonya galak itu saja sudah begitu hebat, apa lagi yang lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Dari pada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.

"Aha, bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada dan mengedikkan kepala serta meraba gagang pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata, "Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"

Akan tetapi mulutnya berkata bangga. "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini."

Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh birahi. Tetapi alangkah kagetnya hati Loan Ki ketika dia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan mata, membuatnya berkejap beberapa kali. Ketika ia membuka mata, kiranya Ching-toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.

"Budak liar! Hayo lekas katakan, kau ini apanya ketua Thai-san-pai?" bentak Ching-toanio, suaranya mengandung ancaman maut.

Biar pun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik dan otaknya tajam. Dia sering kali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu pula bahwa ketua Thai-san-pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apa lagi dari golongan hitam.

Setelah berpikir beberapa detik lamanya, dia lantas tertawa dengan nada sombong sekali. "Hi-hi-hik, biar pun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku? Apakah kalian hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu malu!"

Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini. "He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui?" Tanya Ka Chong Hoatsu.

"Hemm, hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik. Majikan yang menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah ayahku, dan nonamu Tan Loan Ki ini adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa yang berani menentang ayahku?"

"Ha-ha-ha, Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!" kata hwesio tua itu dan semua orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui.

Mereka menarik napas lega kemudian menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching-toanio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia.

Pertama, dia tahu persis bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu.

Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki sambil berkata, "Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang bilang bahwa kalau tidak bertempur dulu takkan saling mengenal? Ayahmu dengan kami adalah segolongan, karena itu tidak bisa kami memusuhimu. Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno itu?"

Loan Ki tidak goblok untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Ia pun tersenyum ramah dan berkata, "Wah, ayah tentunya girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Bagus, dan karena cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, maka biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini telah dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk kuberikan kepada ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar jumlah mereka ditambah sepuluh kali, tidak akan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena sudah kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-coa-to."

Bagai lagak seorang anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang sebetulnya tak pernah terjadi, yaitu tentang pengeroyokan. Padahal kalau tak ada Kun Hong, mana mungkin ia bisa mendapatkan mahkota itu?

"Ho-ho, memang tidak mudah, tapi bolehkah pinceng melihat sebentar?" Tongkat hwesio itu menyelonong ke depan. Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!

"Ha-ha-ha, tenanglah, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah benar-benar ini mahkota yang asli."

Dengan enak hwesio itu mengambil mahkota, lalu melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada di situ, mengagumi keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena ternyata hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai dari padanya.

Setelah semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan muka cemberut. "Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio, lain kali aku balas!"

Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak. Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis ini. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.

"Kau mau apa?" tanya Loan Ki dengan alis berkerut.

Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih berkilat di balik kumis panjang, kumis model Mongol. "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku..."

"...kau Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau percaya!" tukas Loan Ki galak.

Souw Bu Lai tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memang, aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran yang berasal dari Mongol. Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona."

"Wah, sudahlah, aku tak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, pulang kembali ke darat."

"Kau datang tanpa diundang, pulang pun tidak usah minta diantar," jawab Ching-toanio cemberut.

"Hi-hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tak boleh pinjam, curi pun masih bisa." Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan ke arah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 09


Pendekar Buta Jilid 08

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 08

Tokoh muda ini bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan pertolongan Giam Kin yang menyelamatkan dirinya, disambung dengan jalinan cinta kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini. Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan begitu pula sebaliknya.

Meski Liu Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu, namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya dari hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai ular-ular berbisa.

Dalam kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila padanya, Liu Bwee Lan malah berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu dia minta dibuatkan tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau berbisa!

Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang yang cacat, kemudian tewas di puncak Thai-san, Liu Bwee Lan akhirnya menjadi pemilik Pulau Ching-coa-to. Semenjak menjadi pemilik pulau itu, wanita ini berganti nama menjadi Ching-toanio.

Hubungannya Liu Bwee Lan dengan Giam Kin menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga hartawan di kota raja dan yang ia beri nama Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan, ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu.

Orang berwatak seperti Ching-toanio ini tentu saja kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh pada anak kandungnya, Hui Siang. Ada pun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu belaka dan seberapa dapat dia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri.

Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada Ching-toanio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini.

Malah kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri, atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching-toanio melakukan perbuatan yang amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw yang sudah dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik itu ketika pada keesokan harinya, pada waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit, gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan dan halus seperti sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti pantat kuali!

Dalam hal ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan itu tanpa ada perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh bila Hui Kauw menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian jika dibandingkan dengan Hui Siang karena otaknya memang lebih cerdik.

Karena tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu selisihnya tidak banyak dengan si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang dia temukan di antara kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas.

Ibunya sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai mendalam. Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah pada waktu kecil ia merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh ibunya yang memaksa datang seorang guru sastera terkenal untuk melatih sastera kepada Hui Kauw. Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu.

Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni pulau Ching-coa-to, yaitu Ching-toanio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching-toanio memiliki harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya.

Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis lincah ini terjerumus ke dalam jurang pada saat ia sedang mencari jalan menuruni lembah curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor.

Tanah longsor ini bukan merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau itu sudah dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan daerah yang sukar dan berbahaya bagi orang-orang luar yang berniat akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil dari pada pemikiran orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio serta dibantu oleh orang-orang pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu dan lain-lain.

Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya melayang amat cepat ke bawah. Ia berusaha menggunakan ginkang-nya untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding karang sehingga tubuhnya terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!

"Byurrr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru saking dalamnya.

Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih merasa pening karena kejatuhannya dari tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andai kata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia berkecimpung semenjak kecil.

Ayahnya tinggal di pantai dan laut adalah tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup mulut serta hidungnya, kesadaran segera kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat tangan dan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu meluncur naik seperti seekor ikan hiu.

Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat ada enam orang laki-laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin menyerangnya! Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak, agaknya terkejut dan heran luar biasa betapa ada seorang manusia jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki.

Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ, "Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk siocia, kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu... lucu... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan beberapa pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"

Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar mata mereka kurang ajar. Agaknya perintah itu sangat menyenangkan hati mereka dan setelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah sekarang ia sengaja seperti orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.

"Heiii, tunggu, aku akan menolongmu, Nona manis!" teriak seorang lelaki yang berenang cepat sekali.

"Sam-ko, biarkan aku yang pondong dia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.

"Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dahulu dialah yang berhak mendapat upah, memondongnya ke tepi!" kata orang yang ke tiga dan ramailah mereka berlomba dan mulai menyelam.

Akan tetapi sama sekali tidak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini benar-benar mereka akan menghadapi seorang ‘iblis air’. Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana ke mari untuk menangkap gadis yang ‘tenggelam’ tadi, tiba-tiba saja di depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat.

Kagetlah mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang sangat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul kembali ke permukaan air, menjauhi bahaya pada waktu ‘ikan besar’ itu menyerang mereka.

Jika saja peristiwa itu terjadi di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi pergumulan hebat.

Tak lama kemudian, tampaklah kepala enam orang pembantunya tersembul ke luar, lalu berenang ke pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sibuk membantu mereka, menyeret mereka yang datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik sendiri.

Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka. Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya menakutkan!

"Eh-ehh-ehhh, kalian ini kenapakah? Kenapa begini...?"

"Celaka... anak iblis itu... agaknya ia anak siluman telaga... ikan-ikan mengeroyok kami... waduh, celaka...!" seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai hancur berkeping-keping.

Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka penakut, tolol, goblok dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di tepi telaga muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu.

Merasa ada sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunak-lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup, sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!

Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, tetapi dia selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian berikut mahkota kuno itu masih berada padanya.

Sambil memeras pakaian serta rambutnya, dia mengenangkan semua kejadian tadi dan tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tidak berani melakukan pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu!

Hatinya girang bukan main karena sekarang dia sudah sampai di tepi telaga. Kalau ada perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Tetapi, bagaimana ia dapat meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang buta itu datang ke pulau ini atas desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku harus mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya!

Ia mendongak memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tak melihat bayangan pemuda buta itu. Di depannya adalah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon buah. Amat girang hatinya melihat beberapa pohon penuh dengan buah yang sudah matang. Segera ia meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon yang tinggi.

Tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk jalan.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar yang berpakaian pendeta berwarna kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang berat. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar. Pakaiannya mewah sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi.

Akan tetapi Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini mengandung banyak rahasia, sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong. Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap.

Cepat ia merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang laki-laki itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lalu menyelinap di antara pepohonan mengikuti ketiga orang itu dengan hati-hati. Karena ia tidak berani mengikuti dari jarak dekat, ia tak dapat mendengar jelas apa isi percakapan dua orang itu.

Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tidak mungkin akan dapat ditemukan sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu.

Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan akhirnya ia bisa bersembunyi di balik jendela dan dapat mengintai serta mendengarkan percakapan di dalam.

Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan saja yang bentuknya bundar, ruangan yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup dan sengaja ditanam di sana. Sedikitnya ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar serta berukir dan pula, disulami sutera tebal berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang kaya.

Akan tetapi semua kemewahan itu sama sekali tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal ayahnya pun tak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.

Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tubuhnya kecil kurus seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Bangsa Mancu.

Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang dengan perawakan yang ramping menarik. Kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dari senyum dan lirikan mata mereka pada saat menyambut kedatangan dua orang ini, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang ‘besar’ dalam arti kata berpengaruh di dunia kang-ouw sehingga sikap mereka tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong.

Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat-cepat bangkit berdiri serta membungkuk menyambut kedatangan hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.

"Selamat datang... selamat datang... Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!" Dia menjura dengan sikap menghormat.

"Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu tertawa bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.

Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma sambil berkata, suaranya tenang dan sikapnya dingin, "Saudara Bouw Si Ma, aku adalah Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."

Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri... orang sendiri... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari kuperkenalkan..."

Akan tetapi hwesio tua itu segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidak sabaran hatinya.

"Bouw-sicu, pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to. Mengapa sekarang Ching-toanio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain untuk menyambut pinceng? Apa artinya penghormatan seperti ini?"

Jelas bahwa biar pun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Terang terhadap Bouw Si Ma tidak, juga terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak. Sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk membicarakan urusan rahasia yang sangat besar, agaknya dia merasa kecewa sekali tahu-tahu kini di tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing.

Kalau Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak-thian Lo-cu ini. Akan tetapi tiga orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benar-benar membuat hwesio itu merasa tak senang hatinya.

Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,

“Taisu tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti tadi telah diberi tahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong. Jiwi adalah orang-orang besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan tetapi, betapa rendah pun, kami adalah undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Taisu? Hemm, dia itulah yang tidak diundang, maka wajib disingkirkan."

Loan Ki kaget bukan main ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan itu. Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tamu tak diundang’ oleh wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat sepasang matanya terbelalak heran dan hatinya berdebar-debar.

Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak ke depan dengan telunjuk menuding, kemudian terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan, mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela.

Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di tempat semula, akan tetapi sudah tidak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari perutnya!

"Omitohud...! Bukankah itu ilmu yang disebut Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang)?"

Kemudian hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang sudah menjadi muridnya sambil berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng (pendeta asing) di Thian-tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan hoat-sut (ilmu sihir), amat berbahaya dan jika tingkatnya sudah tinggi, hawa pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa perlu menggunakan pedang sekali pun. Melihat toanio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, sungguh-sungguh mengagumkan dan sudah sepantasnya kalau mereka bertiga juga turut diundang oleh Ching-toanio. Aha, siapa kira orang-orang muda kini mendapat kemajuan begini hebat? Pinceng orang tua benar-benar sudah pikun, tidak sadar bahwa dunia ini semakin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda... ha-ha-ha-ha!"

Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum, "Benar pendapat Taisu. Sam-wi Lihiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."

"Benarkah? Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi adalah sumoi (adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang Hek-hwa Kui-bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-san dan roboh."

Orang tertua dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Suatu saat kami bertiga yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang sudah merobohkan mendiang Hek-hwa suci (kakak seperguruan)."

Ka Chong Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang serta mendengar semua ini dengan hati berdebar.
cerita silat karya kho ping hoo

Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian pada enam orang itu yang mulai minum-minum, dengan dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik serta berpakaian sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa di dalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin khawatirlah dia karena sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu pergi meninggalkan pulau berbahaya ini.

Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan sekali. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh besar yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di utara, yaitu Pak-thian Lo-cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-san.

Seperti Ang Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka, juga Bouw Si Ma ini menaruh dendam terhadap Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak-thian Lo-cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-ong-kwi karena Siauw-ong-kwi adalah sute (adik seperguruan) Pak-thian Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan pula.

Sebagai saudara tingkat tua di dalam perguruan, tentu saja Bouw Si Ma mengenal pula Ching-toanio dan sering kali mengunjungi pulau ini, apa lagi semenjak Giam Kin tewas di puncak Thai-san. Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching-toanio. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka sering kali mereka mengincar kedudukan di kota raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah kaisar pertama dari Ahala Beng meninggal dunia.

Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan selama belasan tahun mereka merantau ke See-thian (dunia barat) sehingga mereka tidak tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek-hwa Kui-bo yang tewas pula di Thai-san.

Kini ketiga orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman. Akan tetapi selain mereka pelajari ilmu kepandaian yang hebat, seperti juga halnya Hek-hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh tahun!

Setelah merantau ke See-thian dan bertemu dengan guru mereka, yaitu seorang pendeta di Thian-tiok yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-cimoi meningkat hebat sehingga melampaui tingkat kepandaian Hek-hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian.

Bouw Si Ma yang mewakili Ching-toa-nio dalam hal mencari orang pandai untuk sekutu, dengan amat cerdiknya segera menggandeng tiga orang enci adik ini. Apa lagi mengingat bahwa mereka bertiga juga memiliki dendam yang sama di Thai-san atas kematian kakak seperguruan mereka.

Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat. Ilmu ini merupakan inti dari pada Ilmu Pedang Hwa-seng Kiam-sut, yang telah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan kekuatan hoat-sut, hawa pukulannya saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang.

Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu ini.

Ia bernama Sublai dalam Bahasa Mongol, dan dalam dunia kang-ouw dia menggunakan nama Han dan disebut Souw Bu Lai. Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orang-orang Mongol kebanyakan, karena gurunya merupakan tokoh Mongol nomor satu.

Sebagai orang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan Tiongkok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai memainkan delapan belas macam senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan anak panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.

Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, yaitu seorang pendeta Buddha yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah pernah menerima hadiah tongkat kependetaannya di Tibet. Sayang seribu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha.

Dulu dia bercita-cita menjadi orang yang tertinggi kedudukannya di samping kaisar melalui keagamaan. Sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia lalu bercita-cita untuk membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu Lai yang menjadi muridnya.

Sering kali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya itu menjadi kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang malah melebihi kaisar sendiri!

Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi dari pada tingkat si empat besar yang dulu ditonjolkan di dunia kangouw, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang si tokoh timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek-hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat dari pada baja pilihan di Himalaya, juga amat berat tapi kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali!

Pokoknya, enam orang yang tengah berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai kepentingan bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu berusaha membalas dendam kepada Thai-san-pai dan usaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh.

Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menunggu datangnya Ching-toanio yang sudah diberi tahu oleh salah seorang pelayan, muncullah Ching-toanio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau ini segera menjura dengan hormat sekali sambil berkata,

"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya sudah mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku. Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu adalah mata-mata pihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."

Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis keenam orang itu mengerling ke sana ke mari dengan pandang mata penuh selidik.

"He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.

"Iblis betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.

Sebelum yang lainnya tahu apa yang mereka maksudkan itu, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat ke arah jendela pula.

"Brakkkkk!"

Angin dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat Ngo Kui Biau sudah meloncat masuk kembali sambil melemparkan tubuh seorang gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki!

Gadis ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguh pun kedua matanya masih terbalalak lebar saking heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah jendela.

Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak, akan tetapi angin pukulan itu membuat daun jendela pecah dan tiba-tiba saja ada berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha mengelak, akan tetapi gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap kemudian ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu.

Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan muka takut, malah tersenyum-senyum kecil dengan mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.

"Bocah liar, siapa yang suruh kau memata-matai pulau kami?!" Ching-toanio menghardik, suaranya penuh ancaman.

Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan mata-mata. Aku sengaja datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya niat buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?"

Pertanyaan itu dia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum. Bukan main bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau goa naga masih saja begitu tenang dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau setidaknya murid orang pandai.

"Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa?!" Ching-toanio membentak.

"Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja semua orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Ada pun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"

Tiga orang laki-laki yang berada di sana tersenyum, bahkan Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini telah menyuramkan ‘sinar’ mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.

"Budak! Kau berani kurang ajar di hadapan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?" teriak Ching-toanio.

Bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, langsung mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki.

Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri bila ia tidak cepat-cepat menggunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sulit dari ilmu silat keturunan Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya mencelat seperti dilemparkan ke atas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya.

Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, akan tetapi angin pukulan yang dilontarkan nyonya itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada pada punggungnya.

“Brettt!”

Terdengar suara dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.

"Oho! Bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?" terdengar suara parau dari Souw Bu Lai.

Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka sekali melihat dia telah mengenalnya, apa lagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kang-ouw.

Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran ketika melihat cara Loan Ki bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi. Maka, ketika dia melihat Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini cepat berseru, "Toanio, tahan dulu!"

Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki, "Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li Kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"

"Hemmm, bagus jika kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal pun sudah terlambat!"

Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapa pun juga ia tak akan mampu melawan. Baru seorang nyonya galak itu saja sudah begitu hebat, apa lagi yang lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Dari pada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.

"Aha, bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada dan mengedikkan kepala serta meraba gagang pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata, "Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"

Akan tetapi mulutnya berkata bangga. "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini."

Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh birahi. Tetapi alangkah kagetnya hati Loan Ki ketika dia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan mata, membuatnya berkejap beberapa kali. Ketika ia membuka mata, kiranya Ching-toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.

"Budak liar! Hayo lekas katakan, kau ini apanya ketua Thai-san-pai?" bentak Ching-toanio, suaranya mengandung ancaman maut.

Biar pun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik dan otaknya tajam. Dia sering kali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu pula bahwa ketua Thai-san-pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apa lagi dari golongan hitam.

Setelah berpikir beberapa detik lamanya, dia lantas tertawa dengan nada sombong sekali. "Hi-hi-hik, biar pun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku? Apakah kalian hendak mengeroyokku? Cih, tidak tahu malu!"

Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini. "He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui?" Tanya Ka Chong Hoatsu.

"Hemm, hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik. Majikan yang menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah ayahku, dan nonamu Tan Loan Ki ini adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa yang berani menentang ayahku?"

"Ha-ha-ha, Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!" kata hwesio tua itu dan semua orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui.

Mereka menarik napas lega kemudian menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching-toanio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia.

Pertama, dia tahu persis bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu.

Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki sambil berkata, "Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang bilang bahwa kalau tidak bertempur dulu takkan saling mengenal? Ayahmu dengan kami adalah segolongan, karena itu tidak bisa kami memusuhimu. Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno itu?"

Loan Ki tidak goblok untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Ia pun tersenyum ramah dan berkata, "Wah, ayah tentunya girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Bagus, dan karena cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, maka biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini telah dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk kuberikan kepada ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku? Hemm, biar jumlah mereka ditambah sepuluh kali, tidak akan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena sudah kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-coa-to."

Bagai lagak seorang anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang sebetulnya tak pernah terjadi, yaitu tentang pengeroyokan. Padahal kalau tak ada Kun Hong, mana mungkin ia bisa mendapatkan mahkota itu?

"Ho-ho, memang tidak mudah, tapi bolehkah pinceng melihat sebentar?" Tongkat hwesio itu menyelonong ke depan. Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!

"Ha-ha-ha, tenanglah, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah benar-benar ini mahkota yang asli."

Dengan enak hwesio itu mengambil mahkota, lalu melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada di situ, mengagumi keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena ternyata hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai dari padanya.

Setelah semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan muka cemberut. "Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio, lain kali aku balas!"

Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak. Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis ini. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.

"Kau mau apa?" tanya Loan Ki dengan alis berkerut.

Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih berkilat di balik kumis panjang, kumis model Mongol. "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku..."

"...kau Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya? Tapi aku masih belum mau percaya!" tukas Loan Ki galak.

Souw Bu Lai tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama? Memang, aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran yang berasal dari Mongol. Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona."

"Wah, sudahlah, aku tak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, pulang kembali ke darat."

"Kau datang tanpa diundang, pulang pun tidak usah minta diantar," jawab Ching-toanio cemberut.

"Hi-hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tak boleh pinjam, curi pun masih bisa." Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan ke arah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 09