Pendekar Buta Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 07

Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia mencurahkan seluruh perhatiannya menggunakan pendengarannya yang mengikuti desir angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan, kekakuan dan kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera yang sedang pasang, tidak kentara perubahannya makin lama semakin sigap, semakin licin, makin kuat. Lingkaran-lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-lingkaran yang membalik gerakannya.

Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali ini pendengarannya kalah ‘awas’ oleh sepasang mata. Kiranya dara bersuara bidadari ini memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah kini dia dapat mendengar betapa tenaga lweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang penuh rahasia!

"Siuuuttt... cratt!"

Sebatang pedang menancap pada batang pohon di depan Kun Hong, batang pohon yang menutupi dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali. Apakah nona itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang pada batang pohon itu?

Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari tempat sembunyinya. Dia merasa malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia akan menjawab nanti apa bila ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan ‘mengintai’ dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman. Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis. Keharuman yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa harumnya seperti... seperti apakah gerangan?

Tiada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti harum bunga mawar? Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan, biar pun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana? Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala. Mendadak wajah Kun Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah dalam perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!

Kun Hong berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah oleh batang pohon. Pernapasannya saja dapat terdengar jelas olehnya, napas yang panjang-panjang dan halus sungguh pun desir napas itu menyatakan bahwa orangnya sedang mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah bermain pedang mempergunakan tenaga lweekang seperti itu.

Nona itu mencabut pedang yang tadi dilontarkan dan menancap pada pohon. Dari suara cabutan ini dengan kagum sekali Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu telah menancap setengahnya lebih ke dalam batang pohon, hal yang sekali lagi membuktikan akan hebatnya tenaga lweekang nona ini.

Dengan langkah gontai, seperti langkah orang yang baru sembuh dari pada penyakit yang lama diderita, lemas dan lesu, dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon, kembali ke tempat tadi. Lalu terdengar oleh Kun Hong betapa dara itu duduk menggerak-gerakkan tangan, agaknya menyusut peluh dengan sapu tangan sutera yang ia dengar tadi di antar datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum lambat-lambat, dengan teguk-teguk kecil, agaknya susu madu tadi.

Tak terasa lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa betapa lapar perutnya dan haus kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan atau minum lagi, yaitu sesudah menyikat habis makanan dan minuman hasil curian Loan Ki. Loan Ki juga tentunya lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ahh, di mana Loan Ki? Seakan-akan baru sadar dari pada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan Loan Ki dan hatinya terbuka, penuh kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki? Dan di mana ia?

"Benar-benar aku tiada guna..." Kun Hong memaki diri sendiri. "Loan Ki terjerumus dan hilang, belum tahu mati atau masih hidup dan... dan aku...aku terlongong saja di sini mau apa?"

Hampir marah Kun Hong terhadap dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah seperti tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu. Mukanya ditengadahkan ke arah angkasa, bibirnya bergerak-gerak dalam bisikan.

"Cui Bi... kau tentu suka memaafkan aku... nona yang di depan ini memang terlalu luar biasa..."

Setelah berbisik seperti itu, dia sudah hendak menggerakkan kaki sambil mengerahkan ginkang-nya agar dapat pergi dari tempat itu tanpa terdengar orang. Akan tetapi baru saja kakinya diangkat sambil dia membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu berhenti seperti tertahan oleh suara senandung di belakangnya. Suara bidadari itu bersenandung?

Biar pun hanya bersenandung, tidak bernyanyi nyaring, tetapi suara itu bagi pendengaran Kun Hong sedemikian merdunya. Dia menahan napas dan miringkan kepala untuk dapat menangkap kata-kata nyanyian dalam senandung itu.

Daun labu belum layu
anak sungai masih berlagu
kutunggu, tuanku.
Air sungai melimpah ruah
kuda betina menjerit resah
kutunggu, kekasihku.
Bahtera menanti kita
mengantar ke pantai kita
kutunggu, sahabatku!


Lemas kedua lutut Kun Hong. Tanpa terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh di atas tanah. Kulit mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apa lagi di sekitar dua lubang bekas mata yang tertutup kelopak (pelupuk mata).

Bukan main suara itu! Tadi baru mendengar suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan main, suara yang dapat menggetarkan dan menyinggung tali halus hatinya. Kini suara itu bersenandung, bukan main! Dada Kun Hong serasa hendak meledak oleh nikmat yang didatangkan oleh senandung itu. Dia sendiri adalah seorang ahli sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat mau pun sanjak-sanjak kuno. Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di ujung daun hijau di waktu subuh itu, dia pun pernah membacanya.

Sanjak lama, amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai makna yang membayangkan keadaan hati seseorang. Jelas, kini dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang, dibuai sedih oleh kesepian, dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan percakapan tentang jodoh dengan ibunya tadi?

Masih terngiang jelas di telinga Kun Hong suara yang nikmat tadi. Dia masih juga duduk bersimpuh ketika dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah gontai. Setelah langkah itu tak terdengar lagi dan keadaan di situ benar-benar sunyi tiada orang, Kun Hong melangkah ke luar dari tempat sembunyinya. Bagaikan didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh besi sembrani, kedua kakinya melangkah ke arah tempat di mana dara tadi bernyanyi.

Tongkatnya tertumbuk pada sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang halus dan dingin. Bau harum yang tadi masih mengambang di udara di sekitar tempat itu, kini lebih terasa. Kun Hong meraba bangku dingin halus, lalu duduk menghadapi meja, termenung.

Tanpa disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus di atas meja. Sapu tangan sutera! Agak basah dan hangat. Air mata? Keringat? Seperti dalam mimpi Kun Hong meremas sapu tangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya, hatinya merasa khawatir kalau-kalau remasannya akan merusakkan benda halus lemas berbau harum itu. Kemudian, dengan tangan gemetar sapu tangan itu dia dekatkan ke mukanya, bau harum mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui Bi terbayang dan muka Kun Hong menjadi merah sekali.

"Maaf, Cui Bi... dia… dia terlalu luar biasa..." setelah berkata demikian ia membenamkan mukanya ke dalam sapu tangan itu.

Ganda harum semerbak sapu tangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk kemudian tenggelam di alam lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap sapu tangan itu pada mukanya, seakan-akan yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi kekasihnya. Terluaplah segenap rindu birahi yang selama bertahun-tahun dia kekang, dia bendung, dia tahan.

"Cui Bi... Bi-moi... dewi pujaan... di mana kau...?" Kun Hong mengeluh, menciumi sapu tangan dan beberapa butir air mata menetes dari sepasang mata yang tak berbiji lagi itu.

Sedih perih membuat dia merasa nelangsa sekali ketika sadar bahwa kekasih yang amat dirindukannya itu telah tiada dan tak tertahankan lagi Kun Hong menitikkan air mata yang membasahi sapu tangan sutera berganda harum itu. Betapa pun kuat batin Kun Hong, dia tetap seorang manusia biasa. Sekali waktu tentu akan tunduk dan kalah oleh arus perasaannya yang mencengkeram hati, mencengkam pikiran. Apa lagi perasaan rindu dendam bagi seorang muda amatlah berat dilawan.

Kun Hong pemuda gemblengan itu, yang biar pun sudah buta namun masih mempunyai kegagahan dan kesaktian yang melebihi orang-orang melek, kini bagaikan dilolosi seluruh otot di tubuhnya, lemas dan berlutut menciumi sapu tangan sambil menitikkan air mata seperti lakunya seorang wanita berhati lemah!

Saking hebat dia dipengaruhi perasaan sendiri, dia menjadi lengah dan pendengarannya tidak dapat menangkap suara halus dari langkah kaki yang mendekati tempat itu, bahkan yang kini datang menghampiri dirinya. Langkah halus dan ringan dari sepasang kaki yang bersepatu merah, dan yang menghampirinya dari belakang.

"Pencuri busuk, berani kau memasuki tamanku? Hayo berlutut di depan nonamu!" Suara ini nyaring dan merdu, namun mengandung getaran galak dan tinggi hati.

Kun Hong terkejut setengah mati, seakan-akan disendal dari dunia lamunannya. Dengan gugup dia mencengkeram sapu tangan itu dan membalikkan tubuhnya dengan siap siaga karena ia mendengar suara pedang dicabut oleh wanita yang memakinya ini. Tongkatnya dipegang erat karena biar pun dari suaranya dia dapat mengenal seorang gadis remaja yang amat galak, akan tetapi gadis ini dapat datang tanpa dia ketahui, tanda bahwa ilmu kepandaiannya juga tinggi, maka dia harus siap menghadapi bahaya serangannya. Akan tetapi gadis itu mengeluarkan seruan tertahan pada saat melihat bahwa orang yang dibentaknya itu kiranya hanya seorang buta. Ia mendengus penuh ejekan lalu menyimpan kembali pedangnya.

"Hah, kiranya hanya seorang jembel buta! Sungguh tidak punya guna para penjaga itu. Orang macam ini dikatakan menimbulkan onar? Hee, jembel buta, apakah kau bersama seorang gadis yang datang ke pulau kami secara menggelap? Hayo berlutut dan jawab baik-baik kalau tidak ingin nonamu turun tangan sendiri memberi hajaran kepadamu!"

Mengkal sekali rasa hati Kun Hong mendengar suara seorang dara muda begini galak memaki-maki dan menghinanya, akan tetapi dia tetap tersenyum sabar, bangkit berdiri dan menjura.

"Maaf, Nona. Aku seorang buta yang tidak mengenal jalan tanpa disengaja telah tersesat sampai di sini, harap Nona sudi memberi maaf."

"Maaf ? Enak saja bicara! Orang luar yang berani memasuki pulauku ini tak boleh keluar dalam keadaan hidup lagi. Kau jembel buta berani masuk ke sini dan seperti orang mabuk menangis menciumi sapu tangan. Hemmm, kiranya kau selain buta juga gila. Kau terlalu kotor untuk mampus di tanganku. Heeiii, A Man...!" Suara memanggil ini amat nyaring, mengandung tenaga khikang yang kuat sekali sehingga diam-diam Kun Hong kagum.

Kiranya gadis galak ini mempunyai kepandaian yang hebat juga, terang tidak di sebelah bawah tingkat Loan Ki! Dia makin terheran-heran mendapat kenyataan bahwa di pulau ini terdapat dua orang gadis yang suaranya jauh berbeda seperti bumi dan langit, namun yang keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat!

Suara seruan seperti itu tadi tentu dapat mencapai jarak yang jauh. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara orang menjawab berulang-ulang dan terdengar bunyi langkah-langkah kaki berlari-larian ke tempat itu, langkah-langkah ringan beberapa orang wanita. Kiranya pelayan-pelayan tadi, lima orang banyaknya dengan A Man di depan, telah lari datang mendengar panggilan itu.

"Ah, kiranya Siocia telah berada di sini...," terdengar gadis pelayan yang bernama A Man berkata.

Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat menangkap betapa dalam ucapan gadis pelayan ini terkandung rasa takut dan tunduk, berbeda dengan ketika gadis pelayan ini tadi bicara terhadap dara bersuara bidadari.

"A Man! Apa saja kerjamu dan para pelayan ini di sini? Sampai dalam taman kemasukan jembel buta gila kalian tidak ada yang tahu! Hemm, benar-benar kalian ini masing-masing patut dihukum sepuluh kali cambukan."

"Ampun, Siocia... hamba berlima tadi disuruh pergi oleh nona Hui Kauw... dan pada waktu hamba pergi, di sini ada nona Hui Kauw sedang berlatih silat, tidak ada... jembel ini... eh, itu adalah sapu tangan nona Hui Kauw! He pengemis buta, kau telah mencuri sapu tangan nona Hui Kauw?"

Tiba-tiba nona yang galak itu tertawa, dan suara ketawanya ini merdu sekali sungguh pun bagi Kun Hong tetap saja mengandung sifat yang liar dan kejam.

"Wah, kiranya enci Hui Kauw malah memberi sedekah sapu tangannya kepada pengemis buta ini? Hi-hik, A Man, kau lihat, biar pun buta dan pakaiannya kotor, pengemis ini masih muda dan wajahnya tampan juga, ya? Dan enci Hui Kauw memberikan sapu tangannya kepada pengemis ini. Pemberian sedekah yang aneh, hi-hi-hik!"

Merah wajah Kun Hong, apa lagi ketika mendengar betapa kelima orang pelayan itu pun sama-sama turut tertawa mengejek. Timbul kemarahan dalam hatinya karena dia merasa betapa gadis galak ini bersama pelayan-pelayan penjilat itu menghina dan mentertawai Hui Kauw, dara bersuara bidadari itu. Dengan suara kereng Kun Hong berkata,

"Kalian jangan lancang mulut! Nona itu tidak memberi hadiah sapu tangan padaku. Sapu tangan ini kutemukan di sini, tertinggal oleh nona itu tanpa disengaja. Alangkah jahatnya kalian menyangka yang bukan-bukan dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang gadis yang putih bersih!"

"Heee! Kau membela enci Hui Kauw? Bagus, bagus... memang cocok kau dan ia. A Man, hayo kau dan teman-temanmu mewakili aku memberi hajaran kepada pengemis buta ini, pukul sampai dia minta-minta ampun dan suka mengaku bahwa dia adalah pacar dari enci Hui Kauw!"

Kun Hong mendengar suara langkah seorang di antara para pelayan itu maju dan disusul bentakan suara pelayan ini yang tinggi melengking, "Pengemis buta, hayo kau berlutut mentaati perintah siocia!"

Kun Hong menggeleng kepala, bersandar kepada tongkatnya dan menggumam, "Kalian jahat... aku tidak sudi mencemarkan nama seorang yang tak berdosa..."

"Keparat, hayo lekas berlutut!" Sambaran angin sebuah tongkat mengarah kaki Kun Hong. Pemuda buta itu tidak mengelak.

"Krakk!" tongkat patah menjadi tiga potong.

Pelayan wanita itu menjerit kesakitan, kemudian meloncat mundur dengan muka pucat. Tongkatnya patah sedangkan telapak tangannya merah-merah dan terasa sakit.

Nona galak itu mendengus mengejek. A Man berteriak marah, "Jembel busuk, kau tidak mau berlutut? Kuhancurkan kepalamu!"

Kini pelayan kepala ini yang mengayunkan sebatang tongkat ke arah kepala Kun Hong. Kali ini Kun Hong hanya menggerakkan kepalanya ke samping dan sambaran tongkat itu tidak mengenai sasaran. A Man semakin marah, sampai lima kali tongkatnya menyambar kepala, namun selalu memukul angin!

Kembali nona galak itu mendengus, lalu disusul suaranya penuh kemarahan, "A Man, kau memalukan sekali. Kau yang memiliki dua buah mata tidak mampu mengalahkan seorang yang tak bermata? Percuma saja kau memiliki dua buah mata yang melirik ke sana-sini. Kalau ibu mendengar tentang hal ini, hemmm, kurasa kedua biji matamu akan dicokel ke luar!"

"...ampun, Siocia... biarlah kuhajar pengemis busuk ini."

"Nah, keluarkan ngo-coa-tin (barisan lima ular)," berkata pula si nona galak dengan nada memerintah. "Agaknya jembel buta ini berani masuk mengandalkan kepandaian, hemmm, dia harus mampus."

"Srattttt!" Lima batang pedang tercabut dari sarungnya hampir berbarengan.

Kemudian Kun Hong mendengar langkah-langkah kaki lima orang mengurungnya, gerak langkah yang teratur sekali dan langkah-langkah itu tidak pernah berhenti, terus mengitari dirinya, malah di antara derap langkah ini terdengar suara mendesis.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa lima orang pelayan wanita ini mengurungnya dengan pedang di tangan kanan dan agaknya seekor ular di tangan kiri. Dugaannya ini memang benar. Setiap orang pelayan memegang sebatang pedang dan di tangan kiri mereka terdapat seekor ular hijau yang mendesis-desis sedang lidahnya yang kehijauan itu menjilat-jilat ke luar.

Lima batang pedang menyambar cepat dari lima jurusan dan merupakan lima macam serangan yang berbeda-beda. Ada yang menusuk, membacok, membabat, dan lain-lain. Kun Hong terhuyung-huyung lima kali, akan tetapi semua serangan itu mengenai angin belaka.

Akan tetapi pedang itu secara berantai susul-menyusul mengirim serangan cepat, malah kini diselingi serangan dengan ular di tangan kiri yang menyambar ke depan dan gigi-gigi meruncing mengandung bisa itu menggigit-gigit mencari korban! Sementara itu, mereka masih terus melangkah berputar-putar di sekeliling Kun Hong.

Diam-diam pemuda buta ini merasa kagum. Barisan lima orang wanita ini benar-benar kuat dan seorang ahli silat yang belum memiliki kesaktian, kiranya akan roboh binasa biar pun agaknya mampu membalas dan merobohkan dua tiga orang pengeroyok. Gerakan mereka amat teratur dan otomatis sehingga mereka akan merupakan satu orang dengan lima batang pedang dan lima ekor ular!

Kun Hong tahu bahwa terhadap serbuan pedang-pedang itu, dengan mudah dia akan bisa menghindarkan diri, akan tetapi menghadapi lima ekor ular hidup itu amatlah sukar. Ular tidak dapat disamakan dengan pedang, karena ular adalah makhluk hidup yang memiliki gerakan sendiri dan sama sekali tidak menurut cara ilmu silat.

Tentu saja dia tidak mau terancam bahaya. Begitu serangan lima orang pengeroyoknya makin menghebat, dia berseru panjang, tubuhnya lenyap terganti segulungan sinar merah dan... lima orang pengeroyoknya itu riuh rendah menjerit dan berloncatan mundur sambil terbelalak memandang kedua tangan mereka. Yang kanan memegang gagang pedang, yang kiri memegang ekor ular berdarah. Ternyata pedang-pedang dan kepala-kepala ular sudah putus dan menggeletak di atas tanah di depan kaki mereka!

"Aha, kiranya ada kepandaian juga si buta gila ini. Pantas saja begitu berani memasuki Ching-coa-to. Minggirlah kalian budak-budak tak berguna, biar kuhabiskan nyawa si buta sombong ini. Lihat bagaimana pedangku menembus jantungnya.”

Kun Hong hanya mendengar suara halus, disusul tiupan angin ke arah hatinya. Dia kaget sekali dan cepat mengelak selangkah ke kiri. Cara gadis ini mencabut pedang saja sudah membuktikan bahwa gadis galak ini benar-benar amat lihai, malah serangan pertamanya juga luar biasa cepatnya, hampir sukar ditangkap angin sambarannya.

Kun Hong tidak berani memandang rendah dan dia bersiap mempergunakan tongkatnya yang berisi pedang Ang-hong-kiam. Seperti juga menjadi penyakit watak para ahli silat lainnya, Kun Hong ingin pula mengetahui sampai di mana kepandaian gadis ini dan ilmu silat apakah yang dimainkannya. Oleh karena ini maka dia bersikap mempertahankan diri, terhuyung-huyung ke sana ke mari dalam langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang lawan yang amat lihai dan cepat.

Dia makin kagum. Gerakan-gerakan gadis ini halus dan lemas, mungkin kelihatan indah pula seperti Ilmu Silat Bidadari yang dimiliki Cui Bi dan juga Loan Ki. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang amat jauh karena ilmu pedang yang dimainkan gadis galak ini mengandung unsur-unsur gerakan penyerangan seekor ular yang sangat ganas dan liar. Gerakan berlenggang-lenggok, menggeliat geliat, menyerang secara tiba-tiba dan kadang kala berdiam diri seperti ular melingkar, benar-benar merupakan sifat-sifat seekor ular.

Memang dugaan Kun Hong ini tidak keliru. Gadis itu sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang berasal dari ciptaan Si Raja Ular Giam Kin! Ilmu pedangnya sangat ganas, keji dan juga curang sekali sehingga belum pernah dia mengalami kegagalan dalam pertempuran. Akan tetapi kali ini dia bertemu gurunya!
cerita silat karya kho ping hoo

Seperti yang kita ketahui, di samping ilmu kesaktian yang dia terima dari Raja Pedang Tan Beng San, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat, pada dasarnya Kun Hong mempunyai ilmu silat yang pertama kali dilatihnya, yaitu Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Tentu saja gerakan-gerakan seekor burung rajawali jauh lebih hebat, bahkan mampu mengatasi gerakan seekor ular karena dalam kenyataannya juga selalu seekor ular menjadi ‘mati kutunya’ kalau bertemu dengan seekor burung rajawali.

Kalau Kun Hong menghendaki, kiranya tidak sulit baginya untuk mengalahkan gadis galak ini. Diam-diam dia pun girang karena mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini juga amat lihai, malah lebih lihai dari pada Loan Ki, namun kiranya tidak selihai gadis bersuara bidadari. Dia girang karena dia menyukai gadis bidadari itu.

Dia mengerti bahwa kalau dia mengalahkan gadis sombong dan galak ini, sudah tentu gadis ini akan menjadi makin sakit hati. Padahal dia adalah seorang tamu tak diundang. Dan apa bila dia membikin malu dan sakit hati, tentu seluruh isi pulau, termasuk gadis bersuara bidadari akan marah dan memusuhinya.

Apa lagi kalau mendengar dari kata-kata gadis ini tadi, agaknya gadis ini masih keluarga dengan gadis yang bernama Hui Kauw, buktinya selain gadis galak itu menyebut ‘enci’, juga gadis ini menyebut ibu kepada nyonya yang oleh para pelayan dipanggil toanio. Hui Kauw juga menyebut ibu kepada nyonya itu, apakah kalau begitu gadis ini masih adik dari Hui Kauw? Sangat boleh jadi. Akan tetapi jika betul adiknya, kenapa mengeluarkan fitnah keji dan malah agaknya gadis ini membenci Hui Kauw?

"Nona, sudahlah. Aku datang ke sini bukan mencari permusuhan, semata-mata karena salah jalan...," Kun Hong mencoba untuk membujuk lawannya.

"Pengemis buta banyak cerewet! Lekas berlutut minta ampun dan mengaku bahwa kau adalah pacar enci Hui Kauw atau... kau mampus di ujung pedangku!" Gadis itu berseru karena ia merasa berada di atas angin.

Memang semenjak tadi Kun Hong hanya mengelak, malah jarang menangkis, tak pernah balas menyerang sama sekali sehingga menurut pikirannya, juga dalam pandangan lima orang pelayan tadi, pemuda buta itu repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang.

"Keji...! Dara remaja berwatak keji...!" Kun Hong berseru marah dan tiba-tiba sinar pedang merah bergulung-gulung menyelimuti diri gadis galak itu.

Hawa dingin menyambar-nyambar dan terdengar gadis itu beberapa kali menjerit karena merasa betapa hawa pedang dingin menyambar di dekat leher, kepala, dada dan muka, seakan-akan pedang yang tajam mengancam untuk mengulitinya! Ia heran, kaget, takut, dan merasa seram.

Barulah ia mengaku dalam hati bahwa orang buta ini kiranya mempunyai kesaktian yang begini hebatnya. Dia berusaha mempertahankan diri, namun karena tangannya gemetar, gerakannya lemah dan akhirnya dia menyerah saja sambil berloncatan karena ngeri dan takut.

Pada saat itu terdengar suara halus, "Hui Siang moi-moi (adik), kau bertempur dengan siapa dan kenapa bertempur?"

Begitu mendengar suara ini, tiba-tiba Kun Hong melompat jauh ke belakang, cepat-cepat menghentikan gerakannya. Gadis galak bernama Hui Siang itu kini berdiri dengan muka pucat, badan gemetar dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ngeri hatinya jika membayangkan keadaannya tadi dan ia pun memandang kepada si buta dengan terbelalak. Karena jelas baginya sekarang bahwa orang buta ini benar-benar lihai luar biasa, ia tidak berani lagi bersikap seperti tadi.

"Enci Hui Kauw... jembel buta inilah yang dikabarkan mengacau di pulau kita bersama seorang temannya yang entah ke mana. Dia amat kurang ajar, tadi mengaku bahwa dia adalah pacarmu, malah dia sudah memperlihatkan sehelai sapu tangan sutera, katanya pemberianmu. Tentu saja aku menjadi marah dan lantas menyerangnya, tetapi kiranya dia lihai... pantas dia begitu kurang ajar."

Berubah wajah Kun Hong, berdebar hatinya dan dia menekan perasaannya yang hendak terbakar oleh nafsu amarah. Gadis cilik ini benar-benar luar biasa jahatnya, amat pandai memutar balikkan fakta dan melakukan fitnah keji ke kanan kiri tanpa mengenal malu lagi. Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara A Man.

"Betul, nona Hui Kauw, apa yang diucapkan oleh siocia tadi. Si jembel buta ini kurang ajar sekali, menghina Nona dan kalau tidak salah, sapu tangan Nona masih berada di saku bajunya..." Suara A Man ini disusul suara empat orang pelayan lain yang membetulkan omongan ini.

Makin mendidih darah di dalam dada Kun Hong, Hemmm, kiranya para pelayan ini amat menjilat-jilat nona muda yang bernama Hui Siang. Dan mereka ini merupakan sekutu yang diam-diam memusuhi Hui Kauw, si gadis bersuara bidadari. Diam-diam dia merasa amat kasihan kepada nona bidadari yang suaranya sudah menggores kulit dada menembus kalbunya itu.

Tiba-tiba terdengar olehnya desir angin lembut dan tercium ganda harum semerbak yang amat dikenalnya. Diam-diam dia kagum. Nona bidadari itu sekali menggerakkan tubuh telah berada di depannya!

Dia mendengar sambaran tangan diayun ke arah mukanya. Otaknya bekerja cepat. Tentu nona yang bernama Hui Kauw ini marah dan merasa terhina, maka kini mengayun tangan menamparnya. Hal yang wajar. Dia hanya mengerahkan tenaga menjaga tulang muka karena maklum akan kelihaian nona bidadari ini. Sengaja dia tidak menjaga kulit.

"Plakk!"

Kun Hong merasa pipi kirinya panas-panas, telinganya mendengar bunyi mengiang, lalu bibirnya merasa sesuatu yang asin, tentu darah yang keluar dari luka di belakang pipi dan mengalir keluar dari mulutnya, merembet ke pinggir bibir. Dia tersenyum, sama sekali tak merasa sakit hati atau marah karena dia yakin benar bahwa nona itu memukulnya karena merasa terhina. Penghinaan yang paling berat dan paling besar bagi seorang gadis.

Kun Hong mendengar betapa gadis itu melangkah mundur empat langkah, lalu terdengar suaranya marah dan menyesal, namun bagi Kun Hong tetap saja mengandung getaran halus yang mencerminkan budi luhur.

"Orang buta, Thian (Tuhan) sudah menciptakan kau menjadi buta. Bukankah itu cukup untuk mengingatkan kau bahwa orang tidak boleh berbuat dosa? Masih kurang beratkah hukuman yang jatuh kepada dirimu itu sehingga kau tidak segan-segan untuk menambah dosa-dosamu dengan mengucapkan penghinaan terhadap diriku? Apa salahku kepadamu dan mengapa pula kau yang baru sekali ini berjumpa denganku datang-datang melakukan fitnah keji? Kau memiliki kepandaian, biar buta tentu bukan seorang bodoh, jawablah!"

Tiba-tiba saja Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona bidadari itu betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena dia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan orang seperti nona bidadari ini. Dugaannya tak salah, tidak keliru pula dia menjadi seperti tergila-gila. Memang sesungguhnya nona ini seorang bidadari yang menjelma di permukaan bumi.

Bukan main indah dan bersihnya ucapan itu. Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak, hal yang baru kali ini dia rasakan dan lakukan semenjak dia menjadi buta. Kemudian dia ingat bahwa mungkin sekali sikapnya ini menambah perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri menghentikan tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada sebagai penghormatan seorang terpelajar, lalu katanya,

"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu dari pada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andai kata betul fitnah keji tadi, aku rela dan patut dihukum mati." Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung, "Tentu Nona tahu akan pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"

Agaknya ucapan ini berpengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya menjatuhkan marah terhadap seorang asing tanpa menyelidik terlebih dahulu. Dia segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar.

"Adik Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"

"Enci Hui Kauw, kau malah membela dia? Uhh, benar-benar aneh apa bila kau malah membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya, dia membawa sapu tanganmu, dari mana dia dapatkan itu?" Kata-kata ini mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan tuduhan yang bukan-bukan.

Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tadi aku berlatih seorang diri di sini dan sapu tangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku pergi dan sapu tangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan sapu tanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal ini?"

"Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku melihat dia menciumi sapu tanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah amat aneh kelakuannya itu, Enci yang baik? Dia mengaku pacarmu, dan melihat sapu tangan itu... diciuminya... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."

"Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada enci-mu sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak marah.

"Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu, lantas memukul kepala Kun Hong.

Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin. Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.

"Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dahulu. Aku sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" kata Hui Kauw yang melihat penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali.

Diam-diam ia pun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta itu. Tetapi sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan oleh si buta!

Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu datang mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada ibu, kalian berlima menjadi saksi!"

Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat penurut dan takut, malah sikap mereka amat menjilat-jilat. Kun Hong mendengar langkah mereka cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona bidadari yang masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung.

Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula dengan Kun Hong. Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang, tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik, mulai dari kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.

Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi. Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis galak itu? Kenapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi sapu tangan seorang nona yang asing baginya?

Dengan hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan sapu tangan sutera yang harum itu, lalu melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan sapu tangan itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,

"Ini sapu tanganmu, Nona... maafkan aku... telah menimbulkan hal tidak enak bagimu..."

Hui Kauw menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali dia menghela napas. Kemudian terdengar dia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri sendiri, "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak duka dari pada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa, manis suka hanya sekejap mata.”

Kun Hong tetap tunduk. Kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat ia nampak lebih tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan derita batin yang ditanggung nona muda ini.

Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang.

Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat yang terlarang bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat keributan? Apa kehendakmu sebetulnya?"

Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dan penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Nona yang bersuara dan berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin kagum.

"Sesungguhnya, tiada seujung rambut pun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada penghuni Pulau Ching-coa-to ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah merampas makanan dan minuman. Siapa kira perbuatan ini malah akan berakibat panjang..."

Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan, juga penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya!

Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas.

"Alangkah senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Juga alangkah gembiranya sekali waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"

"Bukan apa-apa, hanya bertemu di perjalanan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan dia adalah seorang gadis berjiwa pendekar."

"Ahh, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan makanan walau pun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi berdasarkan pribudi yang mengandung welas asih. Ia tentu bukan orang jahat."

Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara bidadari, ucapan-ucapannya bijaksana laksana seorang ahli filsafat. Rasa kekagumannya membuat dia lancang berkata, "Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan langit..."

Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tidak dapat melihat betapa senyum itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan aku... aku seorang buruk rupa..."

"Nona, meski pun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabui aku. Kau seribu kali lebih cantik jelita dari pada adikmu..." Kembali ucapan ini terlontar keluar dari bibirnya tanpa pengendalian, akan tetapi setelah sadar Kun Hong tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.

"Pandangan seorang buta... ah, andai kata kedua matamu bisa melihat, mungkin berbeda ucapanmu... ahhh, alangkah besar inginku melihat engkau tidak buta untuk sebentar saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi..." Nona itu menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.

"Sahabat buta, siapakah namamu?"

"Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."

"Hemmm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa buta... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau... eh, menangis dan menciumi sapu tanganku. Betulkah itu?"

Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan keberatan untuk berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapa pun juga. Akan tetapi kalau kali ini dia membohong, berarti dia seolah-olah melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.

"Kalau begitu... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa... bahwa kau mengatakan aku ini pacarmu?"

"Tidak...! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri... dengarkanlah baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan ibumu, aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan aku juga mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Lalu kau pergi... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan sapu tangan itu di atas meja... dan aku... ahhh, mungkin aku sudah gila... aku teringat akan seorang yang telah tiada di dunia ini, aku terharu... dan mungkin aku menangis sambil menciumi sapu tangan itu. Kau maafkan aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap dirimu, maafkan aku."

Hening lagi sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya... asmara yang telah menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai yang berilmu tinggi, sampai menjadi begini tentu akibat penderitaan batin. Hemmm, saudara Kwa, silahkan duduk."

"Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku mohon pertolonganmu supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas dari pada bahaya. Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."

Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong memiringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya, "Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"

Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat orang tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang yang tidak bermata!

Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan ini karena hatinya diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka? Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.

Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan menjadi tawanan? Baiklah kita mengikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita berkenalan terlebih dahulu dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman. Pemilik Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan Ching-toanio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (ching).

Biar pun usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching-toanio adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dulu ketika ia masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik serta ilmu silatnya juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan sangat cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang baik karena memang dia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok yang terkenal dan semenjak kecil sudah tertanam bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika dia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan lalu berdikari dan menjadi perampok tunggal. Pada suatu hari, seorang diri dia melakukan perampokan di kota raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena sangatlah berbahaya melakukan perampokan di kota raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai. Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga hartawan. Malah karena amat tertarik melihat seorang anak kecil berusia kurang lebih satu tahun, dia lalu membawa atau menculik bayi ini pula!

Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan berwatak seperti iblis...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 08


Pendekar Buta Jilid 07

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 07

Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia mencurahkan seluruh perhatiannya menggunakan pendengarannya yang mengikuti desir angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan, kekakuan dan kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera yang sedang pasang, tidak kentara perubahannya makin lama semakin sigap, semakin licin, makin kuat. Lingkaran-lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-lingkaran yang membalik gerakannya.

Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali ini pendengarannya kalah ‘awas’ oleh sepasang mata. Kiranya dara bersuara bidadari ini memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah kini dia dapat mendengar betapa tenaga lweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang penuh rahasia!

"Siuuuttt... cratt!"

Sebatang pedang menancap pada batang pohon di depan Kun Hong, batang pohon yang menutupi dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali. Apakah nona itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang pada batang pohon itu?

Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari tempat sembunyinya. Dia merasa malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia akan menjawab nanti apa bila ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan ‘mengintai’ dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman. Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis. Keharuman yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa harumnya seperti... seperti apakah gerangan?

Tiada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti harum bunga mawar? Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan, biar pun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana? Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala. Mendadak wajah Kun Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah dalam perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!

Kun Hong berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah oleh batang pohon. Pernapasannya saja dapat terdengar jelas olehnya, napas yang panjang-panjang dan halus sungguh pun desir napas itu menyatakan bahwa orangnya sedang mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah bermain pedang mempergunakan tenaga lweekang seperti itu.

Nona itu mencabut pedang yang tadi dilontarkan dan menancap pada pohon. Dari suara cabutan ini dengan kagum sekali Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu telah menancap setengahnya lebih ke dalam batang pohon, hal yang sekali lagi membuktikan akan hebatnya tenaga lweekang nona ini.

Dengan langkah gontai, seperti langkah orang yang baru sembuh dari pada penyakit yang lama diderita, lemas dan lesu, dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon, kembali ke tempat tadi. Lalu terdengar oleh Kun Hong betapa dara itu duduk menggerak-gerakkan tangan, agaknya menyusut peluh dengan sapu tangan sutera yang ia dengar tadi di antar datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum lambat-lambat, dengan teguk-teguk kecil, agaknya susu madu tadi.

Tak terasa lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa betapa lapar perutnya dan haus kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan atau minum lagi, yaitu sesudah menyikat habis makanan dan minuman hasil curian Loan Ki. Loan Ki juga tentunya lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ahh, di mana Loan Ki? Seakan-akan baru sadar dari pada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan Loan Ki dan hatinya terbuka, penuh kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki? Dan di mana ia?

"Benar-benar aku tiada guna..." Kun Hong memaki diri sendiri. "Loan Ki terjerumus dan hilang, belum tahu mati atau masih hidup dan... dan aku...aku terlongong saja di sini mau apa?"

Hampir marah Kun Hong terhadap dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah seperti tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu. Mukanya ditengadahkan ke arah angkasa, bibirnya bergerak-gerak dalam bisikan.

"Cui Bi... kau tentu suka memaafkan aku... nona yang di depan ini memang terlalu luar biasa..."

Setelah berbisik seperti itu, dia sudah hendak menggerakkan kaki sambil mengerahkan ginkang-nya agar dapat pergi dari tempat itu tanpa terdengar orang. Akan tetapi baru saja kakinya diangkat sambil dia membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu berhenti seperti tertahan oleh suara senandung di belakangnya. Suara bidadari itu bersenandung?

Biar pun hanya bersenandung, tidak bernyanyi nyaring, tetapi suara itu bagi pendengaran Kun Hong sedemikian merdunya. Dia menahan napas dan miringkan kepala untuk dapat menangkap kata-kata nyanyian dalam senandung itu.

Daun labu belum layu
anak sungai masih berlagu
kutunggu, tuanku.
Air sungai melimpah ruah
kuda betina menjerit resah
kutunggu, kekasihku.
Bahtera menanti kita
mengantar ke pantai kita
kutunggu, sahabatku!


Lemas kedua lutut Kun Hong. Tanpa terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh di atas tanah. Kulit mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apa lagi di sekitar dua lubang bekas mata yang tertutup kelopak (pelupuk mata).

Bukan main suara itu! Tadi baru mendengar suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan main, suara yang dapat menggetarkan dan menyinggung tali halus hatinya. Kini suara itu bersenandung, bukan main! Dada Kun Hong serasa hendak meledak oleh nikmat yang didatangkan oleh senandung itu. Dia sendiri adalah seorang ahli sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat mau pun sanjak-sanjak kuno. Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di ujung daun hijau di waktu subuh itu, dia pun pernah membacanya.

Sanjak lama, amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai makna yang membayangkan keadaan hati seseorang. Jelas, kini dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang, dibuai sedih oleh kesepian, dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan percakapan tentang jodoh dengan ibunya tadi?

Masih terngiang jelas di telinga Kun Hong suara yang nikmat tadi. Dia masih juga duduk bersimpuh ketika dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah gontai. Setelah langkah itu tak terdengar lagi dan keadaan di situ benar-benar sunyi tiada orang, Kun Hong melangkah ke luar dari tempat sembunyinya. Bagaikan didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh besi sembrani, kedua kakinya melangkah ke arah tempat di mana dara tadi bernyanyi.

Tongkatnya tertumbuk pada sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang halus dan dingin. Bau harum yang tadi masih mengambang di udara di sekitar tempat itu, kini lebih terasa. Kun Hong meraba bangku dingin halus, lalu duduk menghadapi meja, termenung.

Tanpa disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus di atas meja. Sapu tangan sutera! Agak basah dan hangat. Air mata? Keringat? Seperti dalam mimpi Kun Hong meremas sapu tangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya, hatinya merasa khawatir kalau-kalau remasannya akan merusakkan benda halus lemas berbau harum itu. Kemudian, dengan tangan gemetar sapu tangan itu dia dekatkan ke mukanya, bau harum mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui Bi terbayang dan muka Kun Hong menjadi merah sekali.

"Maaf, Cui Bi... dia… dia terlalu luar biasa..." setelah berkata demikian ia membenamkan mukanya ke dalam sapu tangan itu.

Ganda harum semerbak sapu tangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk kemudian tenggelam di alam lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap sapu tangan itu pada mukanya, seakan-akan yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi kekasihnya. Terluaplah segenap rindu birahi yang selama bertahun-tahun dia kekang, dia bendung, dia tahan.

"Cui Bi... Bi-moi... dewi pujaan... di mana kau...?" Kun Hong mengeluh, menciumi sapu tangan dan beberapa butir air mata menetes dari sepasang mata yang tak berbiji lagi itu.

Sedih perih membuat dia merasa nelangsa sekali ketika sadar bahwa kekasih yang amat dirindukannya itu telah tiada dan tak tertahankan lagi Kun Hong menitikkan air mata yang membasahi sapu tangan sutera berganda harum itu. Betapa pun kuat batin Kun Hong, dia tetap seorang manusia biasa. Sekali waktu tentu akan tunduk dan kalah oleh arus perasaannya yang mencengkeram hati, mencengkam pikiran. Apa lagi perasaan rindu dendam bagi seorang muda amatlah berat dilawan.

Kun Hong pemuda gemblengan itu, yang biar pun sudah buta namun masih mempunyai kegagahan dan kesaktian yang melebihi orang-orang melek, kini bagaikan dilolosi seluruh otot di tubuhnya, lemas dan berlutut menciumi sapu tangan sambil menitikkan air mata seperti lakunya seorang wanita berhati lemah!

Saking hebat dia dipengaruhi perasaan sendiri, dia menjadi lengah dan pendengarannya tidak dapat menangkap suara halus dari langkah kaki yang mendekati tempat itu, bahkan yang kini datang menghampiri dirinya. Langkah halus dan ringan dari sepasang kaki yang bersepatu merah, dan yang menghampirinya dari belakang.

"Pencuri busuk, berani kau memasuki tamanku? Hayo berlutut di depan nonamu!" Suara ini nyaring dan merdu, namun mengandung getaran galak dan tinggi hati.

Kun Hong terkejut setengah mati, seakan-akan disendal dari dunia lamunannya. Dengan gugup dia mencengkeram sapu tangan itu dan membalikkan tubuhnya dengan siap siaga karena ia mendengar suara pedang dicabut oleh wanita yang memakinya ini. Tongkatnya dipegang erat karena biar pun dari suaranya dia dapat mengenal seorang gadis remaja yang amat galak, akan tetapi gadis ini dapat datang tanpa dia ketahui, tanda bahwa ilmu kepandaiannya juga tinggi, maka dia harus siap menghadapi bahaya serangannya. Akan tetapi gadis itu mengeluarkan seruan tertahan pada saat melihat bahwa orang yang dibentaknya itu kiranya hanya seorang buta. Ia mendengus penuh ejekan lalu menyimpan kembali pedangnya.

"Hah, kiranya hanya seorang jembel buta! Sungguh tidak punya guna para penjaga itu. Orang macam ini dikatakan menimbulkan onar? Hee, jembel buta, apakah kau bersama seorang gadis yang datang ke pulau kami secara menggelap? Hayo berlutut dan jawab baik-baik kalau tidak ingin nonamu turun tangan sendiri memberi hajaran kepadamu!"

Mengkal sekali rasa hati Kun Hong mendengar suara seorang dara muda begini galak memaki-maki dan menghinanya, akan tetapi dia tetap tersenyum sabar, bangkit berdiri dan menjura.

"Maaf, Nona. Aku seorang buta yang tidak mengenal jalan tanpa disengaja telah tersesat sampai di sini, harap Nona sudi memberi maaf."

"Maaf ? Enak saja bicara! Orang luar yang berani memasuki pulauku ini tak boleh keluar dalam keadaan hidup lagi. Kau jembel buta berani masuk ke sini dan seperti orang mabuk menangis menciumi sapu tangan. Hemmm, kiranya kau selain buta juga gila. Kau terlalu kotor untuk mampus di tanganku. Heeiii, A Man...!" Suara memanggil ini amat nyaring, mengandung tenaga khikang yang kuat sekali sehingga diam-diam Kun Hong kagum.

Kiranya gadis galak ini mempunyai kepandaian yang hebat juga, terang tidak di sebelah bawah tingkat Loan Ki! Dia makin terheran-heran mendapat kenyataan bahwa di pulau ini terdapat dua orang gadis yang suaranya jauh berbeda seperti bumi dan langit, namun yang keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat!

Suara seruan seperti itu tadi tentu dapat mencapai jarak yang jauh. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara orang menjawab berulang-ulang dan terdengar bunyi langkah-langkah kaki berlari-larian ke tempat itu, langkah-langkah ringan beberapa orang wanita. Kiranya pelayan-pelayan tadi, lima orang banyaknya dengan A Man di depan, telah lari datang mendengar panggilan itu.

"Ah, kiranya Siocia telah berada di sini...," terdengar gadis pelayan yang bernama A Man berkata.

Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat menangkap betapa dalam ucapan gadis pelayan ini terkandung rasa takut dan tunduk, berbeda dengan ketika gadis pelayan ini tadi bicara terhadap dara bersuara bidadari.

"A Man! Apa saja kerjamu dan para pelayan ini di sini? Sampai dalam taman kemasukan jembel buta gila kalian tidak ada yang tahu! Hemm, benar-benar kalian ini masing-masing patut dihukum sepuluh kali cambukan."

"Ampun, Siocia... hamba berlima tadi disuruh pergi oleh nona Hui Kauw... dan pada waktu hamba pergi, di sini ada nona Hui Kauw sedang berlatih silat, tidak ada... jembel ini... eh, itu adalah sapu tangan nona Hui Kauw! He pengemis buta, kau telah mencuri sapu tangan nona Hui Kauw?"

Tiba-tiba nona yang galak itu tertawa, dan suara ketawanya ini merdu sekali sungguh pun bagi Kun Hong tetap saja mengandung sifat yang liar dan kejam.

"Wah, kiranya enci Hui Kauw malah memberi sedekah sapu tangannya kepada pengemis buta ini? Hi-hik, A Man, kau lihat, biar pun buta dan pakaiannya kotor, pengemis ini masih muda dan wajahnya tampan juga, ya? Dan enci Hui Kauw memberikan sapu tangannya kepada pengemis ini. Pemberian sedekah yang aneh, hi-hi-hik!"

Merah wajah Kun Hong, apa lagi ketika mendengar betapa kelima orang pelayan itu pun sama-sama turut tertawa mengejek. Timbul kemarahan dalam hatinya karena dia merasa betapa gadis galak ini bersama pelayan-pelayan penjilat itu menghina dan mentertawai Hui Kauw, dara bersuara bidadari itu. Dengan suara kereng Kun Hong berkata,

"Kalian jangan lancang mulut! Nona itu tidak memberi hadiah sapu tangan padaku. Sapu tangan ini kutemukan di sini, tertinggal oleh nona itu tanpa disengaja. Alangkah jahatnya kalian menyangka yang bukan-bukan dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang gadis yang putih bersih!"

"Heee! Kau membela enci Hui Kauw? Bagus, bagus... memang cocok kau dan ia. A Man, hayo kau dan teman-temanmu mewakili aku memberi hajaran kepada pengemis buta ini, pukul sampai dia minta-minta ampun dan suka mengaku bahwa dia adalah pacar dari enci Hui Kauw!"

Kun Hong mendengar suara langkah seorang di antara para pelayan itu maju dan disusul bentakan suara pelayan ini yang tinggi melengking, "Pengemis buta, hayo kau berlutut mentaati perintah siocia!"

Kun Hong menggeleng kepala, bersandar kepada tongkatnya dan menggumam, "Kalian jahat... aku tidak sudi mencemarkan nama seorang yang tak berdosa..."

"Keparat, hayo lekas berlutut!" Sambaran angin sebuah tongkat mengarah kaki Kun Hong. Pemuda buta itu tidak mengelak.

"Krakk!" tongkat patah menjadi tiga potong.

Pelayan wanita itu menjerit kesakitan, kemudian meloncat mundur dengan muka pucat. Tongkatnya patah sedangkan telapak tangannya merah-merah dan terasa sakit.

Nona galak itu mendengus mengejek. A Man berteriak marah, "Jembel busuk, kau tidak mau berlutut? Kuhancurkan kepalamu!"

Kini pelayan kepala ini yang mengayunkan sebatang tongkat ke arah kepala Kun Hong. Kali ini Kun Hong hanya menggerakkan kepalanya ke samping dan sambaran tongkat itu tidak mengenai sasaran. A Man semakin marah, sampai lima kali tongkatnya menyambar kepala, namun selalu memukul angin!

Kembali nona galak itu mendengus, lalu disusul suaranya penuh kemarahan, "A Man, kau memalukan sekali. Kau yang memiliki dua buah mata tidak mampu mengalahkan seorang yang tak bermata? Percuma saja kau memiliki dua buah mata yang melirik ke sana-sini. Kalau ibu mendengar tentang hal ini, hemmm, kurasa kedua biji matamu akan dicokel ke luar!"

"...ampun, Siocia... biarlah kuhajar pengemis busuk ini."

"Nah, keluarkan ngo-coa-tin (barisan lima ular)," berkata pula si nona galak dengan nada memerintah. "Agaknya jembel buta ini berani masuk mengandalkan kepandaian, hemmm, dia harus mampus."

"Srattttt!" Lima batang pedang tercabut dari sarungnya hampir berbarengan.

Kemudian Kun Hong mendengar langkah-langkah kaki lima orang mengurungnya, gerak langkah yang teratur sekali dan langkah-langkah itu tidak pernah berhenti, terus mengitari dirinya, malah di antara derap langkah ini terdengar suara mendesis.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa lima orang pelayan wanita ini mengurungnya dengan pedang di tangan kanan dan agaknya seekor ular di tangan kiri. Dugaannya ini memang benar. Setiap orang pelayan memegang sebatang pedang dan di tangan kiri mereka terdapat seekor ular hijau yang mendesis-desis sedang lidahnya yang kehijauan itu menjilat-jilat ke luar.

Lima batang pedang menyambar cepat dari lima jurusan dan merupakan lima macam serangan yang berbeda-beda. Ada yang menusuk, membacok, membabat, dan lain-lain. Kun Hong terhuyung-huyung lima kali, akan tetapi semua serangan itu mengenai angin belaka.

Akan tetapi pedang itu secara berantai susul-menyusul mengirim serangan cepat, malah kini diselingi serangan dengan ular di tangan kiri yang menyambar ke depan dan gigi-gigi meruncing mengandung bisa itu menggigit-gigit mencari korban! Sementara itu, mereka masih terus melangkah berputar-putar di sekeliling Kun Hong.

Diam-diam pemuda buta ini merasa kagum. Barisan lima orang wanita ini benar-benar kuat dan seorang ahli silat yang belum memiliki kesaktian, kiranya akan roboh binasa biar pun agaknya mampu membalas dan merobohkan dua tiga orang pengeroyok. Gerakan mereka amat teratur dan otomatis sehingga mereka akan merupakan satu orang dengan lima batang pedang dan lima ekor ular!

Kun Hong tahu bahwa terhadap serbuan pedang-pedang itu, dengan mudah dia akan bisa menghindarkan diri, akan tetapi menghadapi lima ekor ular hidup itu amatlah sukar. Ular tidak dapat disamakan dengan pedang, karena ular adalah makhluk hidup yang memiliki gerakan sendiri dan sama sekali tidak menurut cara ilmu silat.

Tentu saja dia tidak mau terancam bahaya. Begitu serangan lima orang pengeroyoknya makin menghebat, dia berseru panjang, tubuhnya lenyap terganti segulungan sinar merah dan... lima orang pengeroyoknya itu riuh rendah menjerit dan berloncatan mundur sambil terbelalak memandang kedua tangan mereka. Yang kanan memegang gagang pedang, yang kiri memegang ekor ular berdarah. Ternyata pedang-pedang dan kepala-kepala ular sudah putus dan menggeletak di atas tanah di depan kaki mereka!

"Aha, kiranya ada kepandaian juga si buta gila ini. Pantas saja begitu berani memasuki Ching-coa-to. Minggirlah kalian budak-budak tak berguna, biar kuhabiskan nyawa si buta sombong ini. Lihat bagaimana pedangku menembus jantungnya.”

Kun Hong hanya mendengar suara halus, disusul tiupan angin ke arah hatinya. Dia kaget sekali dan cepat mengelak selangkah ke kiri. Cara gadis ini mencabut pedang saja sudah membuktikan bahwa gadis galak ini benar-benar amat lihai, malah serangan pertamanya juga luar biasa cepatnya, hampir sukar ditangkap angin sambarannya.

Kun Hong tidak berani memandang rendah dan dia bersiap mempergunakan tongkatnya yang berisi pedang Ang-hong-kiam. Seperti juga menjadi penyakit watak para ahli silat lainnya, Kun Hong ingin pula mengetahui sampai di mana kepandaian gadis ini dan ilmu silat apakah yang dimainkannya. Oleh karena ini maka dia bersikap mempertahankan diri, terhuyung-huyung ke sana ke mari dalam langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang lawan yang amat lihai dan cepat.

Dia makin kagum. Gerakan-gerakan gadis ini halus dan lemas, mungkin kelihatan indah pula seperti Ilmu Silat Bidadari yang dimiliki Cui Bi dan juga Loan Ki. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang amat jauh karena ilmu pedang yang dimainkan gadis galak ini mengandung unsur-unsur gerakan penyerangan seekor ular yang sangat ganas dan liar. Gerakan berlenggang-lenggok, menggeliat geliat, menyerang secara tiba-tiba dan kadang kala berdiam diri seperti ular melingkar, benar-benar merupakan sifat-sifat seekor ular.

Memang dugaan Kun Hong ini tidak keliru. Gadis itu sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang berasal dari ciptaan Si Raja Ular Giam Kin! Ilmu pedangnya sangat ganas, keji dan juga curang sekali sehingga belum pernah dia mengalami kegagalan dalam pertempuran. Akan tetapi kali ini dia bertemu gurunya!
cerita silat karya kho ping hoo

Seperti yang kita ketahui, di samping ilmu kesaktian yang dia terima dari Raja Pedang Tan Beng San, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat, pada dasarnya Kun Hong mempunyai ilmu silat yang pertama kali dilatihnya, yaitu Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Tentu saja gerakan-gerakan seekor burung rajawali jauh lebih hebat, bahkan mampu mengatasi gerakan seekor ular karena dalam kenyataannya juga selalu seekor ular menjadi ‘mati kutunya’ kalau bertemu dengan seekor burung rajawali.

Kalau Kun Hong menghendaki, kiranya tidak sulit baginya untuk mengalahkan gadis galak ini. Diam-diam dia pun girang karena mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini juga amat lihai, malah lebih lihai dari pada Loan Ki, namun kiranya tidak selihai gadis bersuara bidadari. Dia girang karena dia menyukai gadis bidadari itu.

Dia mengerti bahwa kalau dia mengalahkan gadis sombong dan galak ini, sudah tentu gadis ini akan menjadi makin sakit hati. Padahal dia adalah seorang tamu tak diundang. Dan apa bila dia membikin malu dan sakit hati, tentu seluruh isi pulau, termasuk gadis bersuara bidadari akan marah dan memusuhinya.

Apa lagi kalau mendengar dari kata-kata gadis ini tadi, agaknya gadis ini masih keluarga dengan gadis yang bernama Hui Kauw, buktinya selain gadis galak itu menyebut ‘enci’, juga gadis ini menyebut ibu kepada nyonya yang oleh para pelayan dipanggil toanio. Hui Kauw juga menyebut ibu kepada nyonya itu, apakah kalau begitu gadis ini masih adik dari Hui Kauw? Sangat boleh jadi. Akan tetapi jika betul adiknya, kenapa mengeluarkan fitnah keji dan malah agaknya gadis ini membenci Hui Kauw?

"Nona, sudahlah. Aku datang ke sini bukan mencari permusuhan, semata-mata karena salah jalan...," Kun Hong mencoba untuk membujuk lawannya.

"Pengemis buta banyak cerewet! Lekas berlutut minta ampun dan mengaku bahwa kau adalah pacar enci Hui Kauw atau... kau mampus di ujung pedangku!" Gadis itu berseru karena ia merasa berada di atas angin.

Memang semenjak tadi Kun Hong hanya mengelak, malah jarang menangkis, tak pernah balas menyerang sama sekali sehingga menurut pikirannya, juga dalam pandangan lima orang pelayan tadi, pemuda buta itu repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang.

"Keji...! Dara remaja berwatak keji...!" Kun Hong berseru marah dan tiba-tiba sinar pedang merah bergulung-gulung menyelimuti diri gadis galak itu.

Hawa dingin menyambar-nyambar dan terdengar gadis itu beberapa kali menjerit karena merasa betapa hawa pedang dingin menyambar di dekat leher, kepala, dada dan muka, seakan-akan pedang yang tajam mengancam untuk mengulitinya! Ia heran, kaget, takut, dan merasa seram.

Barulah ia mengaku dalam hati bahwa orang buta ini kiranya mempunyai kesaktian yang begini hebatnya. Dia berusaha mempertahankan diri, namun karena tangannya gemetar, gerakannya lemah dan akhirnya dia menyerah saja sambil berloncatan karena ngeri dan takut.

Pada saat itu terdengar suara halus, "Hui Siang moi-moi (adik), kau bertempur dengan siapa dan kenapa bertempur?"

Begitu mendengar suara ini, tiba-tiba Kun Hong melompat jauh ke belakang, cepat-cepat menghentikan gerakannya. Gadis galak bernama Hui Siang itu kini berdiri dengan muka pucat, badan gemetar dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ngeri hatinya jika membayangkan keadaannya tadi dan ia pun memandang kepada si buta dengan terbelalak. Karena jelas baginya sekarang bahwa orang buta ini benar-benar lihai luar biasa, ia tidak berani lagi bersikap seperti tadi.

"Enci Hui Kauw... jembel buta inilah yang dikabarkan mengacau di pulau kita bersama seorang temannya yang entah ke mana. Dia amat kurang ajar, tadi mengaku bahwa dia adalah pacarmu, malah dia sudah memperlihatkan sehelai sapu tangan sutera, katanya pemberianmu. Tentu saja aku menjadi marah dan lantas menyerangnya, tetapi kiranya dia lihai... pantas dia begitu kurang ajar."

Berubah wajah Kun Hong, berdebar hatinya dan dia menekan perasaannya yang hendak terbakar oleh nafsu amarah. Gadis cilik ini benar-benar luar biasa jahatnya, amat pandai memutar balikkan fakta dan melakukan fitnah keji ke kanan kiri tanpa mengenal malu lagi. Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara A Man.

"Betul, nona Hui Kauw, apa yang diucapkan oleh siocia tadi. Si jembel buta ini kurang ajar sekali, menghina Nona dan kalau tidak salah, sapu tangan Nona masih berada di saku bajunya..." Suara A Man ini disusul suara empat orang pelayan lain yang membetulkan omongan ini.

Makin mendidih darah di dalam dada Kun Hong, Hemmm, kiranya para pelayan ini amat menjilat-jilat nona muda yang bernama Hui Siang. Dan mereka ini merupakan sekutu yang diam-diam memusuhi Hui Kauw, si gadis bersuara bidadari. Diam-diam dia merasa amat kasihan kepada nona bidadari yang suaranya sudah menggores kulit dada menembus kalbunya itu.

Tiba-tiba terdengar olehnya desir angin lembut dan tercium ganda harum semerbak yang amat dikenalnya. Diam-diam dia kagum. Nona bidadari itu sekali menggerakkan tubuh telah berada di depannya!

Dia mendengar sambaran tangan diayun ke arah mukanya. Otaknya bekerja cepat. Tentu nona yang bernama Hui Kauw ini marah dan merasa terhina, maka kini mengayun tangan menamparnya. Hal yang wajar. Dia hanya mengerahkan tenaga menjaga tulang muka karena maklum akan kelihaian nona bidadari ini. Sengaja dia tidak menjaga kulit.

"Plakk!"

Kun Hong merasa pipi kirinya panas-panas, telinganya mendengar bunyi mengiang, lalu bibirnya merasa sesuatu yang asin, tentu darah yang keluar dari luka di belakang pipi dan mengalir keluar dari mulutnya, merembet ke pinggir bibir. Dia tersenyum, sama sekali tak merasa sakit hati atau marah karena dia yakin benar bahwa nona itu memukulnya karena merasa terhina. Penghinaan yang paling berat dan paling besar bagi seorang gadis.

Kun Hong mendengar betapa gadis itu melangkah mundur empat langkah, lalu terdengar suaranya marah dan menyesal, namun bagi Kun Hong tetap saja mengandung getaran halus yang mencerminkan budi luhur.

"Orang buta, Thian (Tuhan) sudah menciptakan kau menjadi buta. Bukankah itu cukup untuk mengingatkan kau bahwa orang tidak boleh berbuat dosa? Masih kurang beratkah hukuman yang jatuh kepada dirimu itu sehingga kau tidak segan-segan untuk menambah dosa-dosamu dengan mengucapkan penghinaan terhadap diriku? Apa salahku kepadamu dan mengapa pula kau yang baru sekali ini berjumpa denganku datang-datang melakukan fitnah keji? Kau memiliki kepandaian, biar buta tentu bukan seorang bodoh, jawablah!"

Tiba-tiba saja Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona bidadari itu betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena dia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan orang seperti nona bidadari ini. Dugaannya tak salah, tidak keliru pula dia menjadi seperti tergila-gila. Memang sesungguhnya nona ini seorang bidadari yang menjelma di permukaan bumi.

Bukan main indah dan bersihnya ucapan itu. Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak, hal yang baru kali ini dia rasakan dan lakukan semenjak dia menjadi buta. Kemudian dia ingat bahwa mungkin sekali sikapnya ini menambah perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri menghentikan tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada sebagai penghormatan seorang terpelajar, lalu katanya,

"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu dari pada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andai kata betul fitnah keji tadi, aku rela dan patut dihukum mati." Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung, "Tentu Nona tahu akan pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"

Agaknya ucapan ini berpengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya menjatuhkan marah terhadap seorang asing tanpa menyelidik terlebih dahulu. Dia segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar.

"Adik Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"

"Enci Hui Kauw, kau malah membela dia? Uhh, benar-benar aneh apa bila kau malah membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya, dia membawa sapu tanganmu, dari mana dia dapatkan itu?" Kata-kata ini mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan tuduhan yang bukan-bukan.

Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tadi aku berlatih seorang diri di sini dan sapu tangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku pergi dan sapu tangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan sapu tanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal ini?"

"Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku melihat dia menciumi sapu tanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah amat aneh kelakuannya itu, Enci yang baik? Dia mengaku pacarmu, dan melihat sapu tangan itu... diciuminya... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."

"Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada enci-mu sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak marah.

"Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu, lantas memukul kepala Kun Hong.

Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin. Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.

"Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dahulu. Aku sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" kata Hui Kauw yang melihat penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali.

Diam-diam ia pun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta itu. Tetapi sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan oleh si buta!

Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu datang mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada ibu, kalian berlima menjadi saksi!"

Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat penurut dan takut, malah sikap mereka amat menjilat-jilat. Kun Hong mendengar langkah mereka cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona bidadari yang masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung.

Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula dengan Kun Hong. Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang, tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik, mulai dari kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.

Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi. Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis galak itu? Kenapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi sapu tangan seorang nona yang asing baginya?

Dengan hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan sapu tangan sutera yang harum itu, lalu melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan sapu tangan itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,

"Ini sapu tanganmu, Nona... maafkan aku... telah menimbulkan hal tidak enak bagimu..."

Hui Kauw menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali dia menghela napas. Kemudian terdengar dia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri sendiri, "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak duka dari pada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa, manis suka hanya sekejap mata.”

Kun Hong tetap tunduk. Kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat ia nampak lebih tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan derita batin yang ditanggung nona muda ini.

Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang.

Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat yang terlarang bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat keributan? Apa kehendakmu sebetulnya?"

Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dan penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Nona yang bersuara dan berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin kagum.

"Sesungguhnya, tiada seujung rambut pun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada penghuni Pulau Ching-coa-to ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah merampas makanan dan minuman. Siapa kira perbuatan ini malah akan berakibat panjang..."

Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan, juga penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya!

Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas.

"Alangkah senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Juga alangkah gembiranya sekali waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"

"Bukan apa-apa, hanya bertemu di perjalanan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan dia adalah seorang gadis berjiwa pendekar."

"Ahh, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan makanan walau pun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi berdasarkan pribudi yang mengandung welas asih. Ia tentu bukan orang jahat."

Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara bidadari, ucapan-ucapannya bijaksana laksana seorang ahli filsafat. Rasa kekagumannya membuat dia lancang berkata, "Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan langit..."

Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tidak dapat melihat betapa senyum itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan aku... aku seorang buruk rupa..."

"Nona, meski pun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabui aku. Kau seribu kali lebih cantik jelita dari pada adikmu..." Kembali ucapan ini terlontar keluar dari bibirnya tanpa pengendalian, akan tetapi setelah sadar Kun Hong tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.

"Pandangan seorang buta... ah, andai kata kedua matamu bisa melihat, mungkin berbeda ucapanmu... ahhh, alangkah besar inginku melihat engkau tidak buta untuk sebentar saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi..." Nona itu menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.

"Sahabat buta, siapakah namamu?"

"Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."

"Hemmm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa buta... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau... eh, menangis dan menciumi sapu tanganku. Betulkah itu?"

Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan keberatan untuk berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapa pun juga. Akan tetapi kalau kali ini dia membohong, berarti dia seolah-olah melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.

"Kalau begitu... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa... bahwa kau mengatakan aku ini pacarmu?"

"Tidak...! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri... dengarkanlah baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan ibumu, aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan aku juga mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Lalu kau pergi... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan sapu tangan itu di atas meja... dan aku... ahhh, mungkin aku sudah gila... aku teringat akan seorang yang telah tiada di dunia ini, aku terharu... dan mungkin aku menangis sambil menciumi sapu tangan itu. Kau maafkan aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap dirimu, maafkan aku."

Hening lagi sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya... asmara yang telah menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai yang berilmu tinggi, sampai menjadi begini tentu akibat penderitaan batin. Hemmm, saudara Kwa, silahkan duduk."

"Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku mohon pertolonganmu supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas dari pada bahaya. Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."

Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong memiringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya, "Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"

Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat orang tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang yang tidak bermata!

Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan ini karena hatinya diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka? Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.

Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan menjadi tawanan? Baiklah kita mengikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita berkenalan terlebih dahulu dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman. Pemilik Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan Ching-toanio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (ching).

Biar pun usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching-toanio adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dulu ketika ia masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik serta ilmu silatnya juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan sangat cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang baik karena memang dia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok yang terkenal dan semenjak kecil sudah tertanam bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika dia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan lalu berdikari dan menjadi perampok tunggal. Pada suatu hari, seorang diri dia melakukan perampokan di kota raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena sangatlah berbahaya melakukan perampokan di kota raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai. Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga hartawan. Malah karena amat tertarik melihat seorang anak kecil berusia kurang lebih satu tahun, dia lalu membawa atau menculik bayi ini pula!

Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan berwatak seperti iblis...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 08