Pendekar Buta Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 03

Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas di dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali tersenyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan kulit di antara kedua matanya agak berkerut.

"In-kong (tuan penolong)... terima kasih atas budi In-kong yang sudah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak...," dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.

Kun Hong kaget mendengar suara ini. Cepat-cepat dia menarik kakinya, lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.

"Jangan berlutut... jangan berlebihan, yang bisa menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab itu bangkitlah, Twaso (kakak), aku tak berani menerima penghormatan seperti ini."

Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.

"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, keberaniannya timbul pula setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.

"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, ibu sudah melarang tetapi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita..."

"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. "Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"

Kun Hong tersenyum, membungkuk kemudian memondong anak itu dengan penuh kasih sayang. "Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, itu bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"

"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi... Paman buta..."

"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."

"Tak usahlah, Twaso, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku." Kun Hong mencegah. Dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.

"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai satu setel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan... dan... kau harus makan dulu..."

Suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan,

"In-kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku... aku tak dapat membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu serta memberi hidangan sekedarnya untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja... ah, In-kong, selama hidup aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"

Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, marilah kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah..."

"A Wan..." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka.

Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa, "Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia baik..."

"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu lalu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong.

Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya dia sudah merasa bingung apakah dia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan dia berjalan terlebih dahulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya.

Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya.

"Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng..."

Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.

"Sini, Paman, sini duduklah..." Anak itu pun mempersilakannya.

Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di atas tanah! Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.

"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."

Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twaso, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini... aku... aku tak perlu berganti pakaian."

Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."

"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata.

Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu merupakan satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana boleh dia pakai? Ah, dia mendapat akal.

Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tidak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan wanita itu mencuci kemudian menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai lagi pakaiannya sendiri kemudian mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, dia dapat memuaskan hati nyonya rumah. Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.

"Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini, sebentar akan kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"

"Tapi... tapi..." Kun Hong berusaha membantah.

"Harap In-kong jangan menolak, biar pun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam..." Suara itu mengandung permohonan yang mutlak dan tak dapat dia bantah lagi.

"Tapi badanku kotor semua... aku harus membersihkan badan dulu... begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"

Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itu pun turut tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu.

Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak amat lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk yang sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan, seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.

"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.

"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.

"Siapa mereka, A Wan?" tanya Kun Hong.

"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga penduduk dusun, Paman," jawab anak itu dengan singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang terhadap penduduk dusun dan anehnya, tak ada seorang pun di antara mereka yang menegur anak ini!

Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat dari pada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.

Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Terasa amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap mendadak menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat.

Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara."

Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.

"...peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Baju suamiku kuberikan kepada siapa pun juga, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau... kau selalu mengganggu... saudara misan yang durhaka!"

"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau mempedulikan. Semua ini karena aku masih ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Apa bila tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, semua ini akan kulaporkan kepada Song-wangwe (hartawan Song)!" Terdengar suara laki-laki memaki.

"Pergi...! Pergi...! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi...!" Wanita itu berseru marah.

"Ibu...! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tidak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.

"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur.

Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan tergesa meninggalkan tempat itu kemudian dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya. Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikit pun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang tangannya lagi.

Memang ibu A Wan terkejut dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang sudah sangat dikenalnya, tentu ia akan pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kongcu (tuan muda)!

Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan, "Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi supaya bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong."

"Terima kasih... terima kasih... aku menyusahkan saja," berkata Kun Hong dan dia tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya.

Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan amat pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja ia dengar tadi, dan telah mengambil keputusan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan tempat itu setelah pakaiannya sendiri kering.

Tidak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat dari pada tanah lempung dan sepasang sumpit dari bambu. Sungguh alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui.”

"A Wan!" ibunya menegurnya.

"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan yang jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tetapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku... aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah."

Hampir saja Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi..."

"Minta? Uhh, pernah aku minta, tapi bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan mencuri lagi karena ibu marah-marah," kata anak itu dengan suara manja.

Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun sekali lagi membuktikan alangkah miskinnya keluarga itu. Sesudah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan.

Senja sudah lewat. Ibu dan anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang pada sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

"Dia sudah tidur, Twaso. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.

Sampai lama barulah terdengar jawaban lirih. "...di sini juga... disini juga…”

Kun Hong menghela napas panjang. Tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah tempat kami duduk, makan dan tidur..."

"Maaf, Twaso, sejak tadi aku belum mendengar twako (kakak) pulang. Ke manakah dia?"

Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia sudah... sudah tidak ada..."

"Tidak ada? Ke mana?" Kun Hong tidak menduga buruk.

"...sudah meninggal dunia... tiga bulan yang lalu..."

"Ahhh...!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam.

Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin.

Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata wanita akan mengincarnya, penuh rasa cemburu. Setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria akan memandangnya secara lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan.

Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup dan menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.

Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twaso, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?"

Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."

Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.

"...baru dua puluh tiga umurku.”

Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, "Twaso, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."

"...kenapa...? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya..."

Kun Hong menggelengkan kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Twaso, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun..."

Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia pun menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"In-kong... engkau juga begitu...? Ahh, kalau begitu lekas kau pukulkan saja tongkatmu itu kepadaku... kau bunuh saja aku, In-kong ... apa artinya hidup kalau semua orang... juga kau yang kumuliakan... memandang serendah itu kepadaku...? Kau bunuhlah aku... kau bunuhlah…"

Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri bagaikan patung, serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu... ibu."

"In-kong... kau bunuhlah kami... biar terbebas kami dari pada penderitaan ini..."

Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis sambil memeluki kedua kakinya.

"Kau salah sangka... kau salah mengerti...," katanya sambil duduk kembali. "Aku sama sekali tidak pernah memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twaso..."

"In-kong..." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong.

Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur sambil mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.

"Tenanglah, duduklah Twaso, dan mari kita bicara baik-baik."

Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya. "...ohhh... maafkan aku, In-kong..."

Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan ibunya sekarang.

"Twaso, agaknya kau tadi sudah salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang akibat kehadiranku di sini malam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan dari pada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twaso!"

"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Peduli apa dengan omongan orang asalkan kita betul-betul bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak peduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."

Kun Hong menarik napas panjang, semakin kagum. Wanita ini biar pun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.

"Twaso, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir... akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau menikah lagi."

"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi... mereka hanya ingin mempermainkan saja, In-kong. Aku tidak sudi... apa lagi Song-wangwe, aku tidak sudi. Biarlah, dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."

Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang wataknya seperti itu. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik hanya karena kecantikannya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu tidak semua laki-laki berwatak demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi seperti itulah sifat dan watak sebagian besar laki-laki.

"Susah kalau begitu. Twaso, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"

"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu keparat yang membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang selalu membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu terdengar marah ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.

"Orang yang datang tadi? Hemmm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twaso?"

Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita…..

Tadinya dia hidup bahagia bersama suaminya, seorang petani muda she Yo. Walau pun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan sebidang sawah milik mereka, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan.

Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir. Mereka merupakan korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.

Akan tetapi, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan sangat terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal hingga di dusun-dusun sekitarnya.

Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Dia seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak akan dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.

Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang ‘berbudi’ itu membuat surat perjanjian jual beli kemudian menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol.

Dengan ditandainya surat perjanjian yang tidak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti sudah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya ‘menyerahkan’ isteri yang cantik manis itu menjadi ‘penghibur’ tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.

Tentu saja Yo Kui menjadi marah luar biasa dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.

Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya, ada pun bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah. Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga!

Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok pada masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, terlebih lagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, bahkan agaknya orang lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang di waktu itu merubah diri dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar!

Oleh karena inilah maka tidak mengherankan bila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana dan periksa sini, lalu keluarlah keputusan ‘pengadilan’, bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wangwe dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!

Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia sudah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan. Isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian lagi untuk pembeli obat dan makan.

Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan sesudah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!
cerita silat karya kho ping hoo

"Demikianlah, In-kong..." janda muda itu mengakhiri cerita sambil menghapus air matanya yang bercucuran deras. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja... setelah suamiku meninggal, lalu bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujuk diriku menjadi isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, yang setiap hari membujuk-bujukku supaya menyerah kepada hartawan Song..."

Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya setelah mendengar penuturan janda muda ini.

"…akan tetapi… aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan...," janda itu melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati dari pada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong... jika saja aku tidak melihat A Wan... ah... agaknya telah lama aku menyusul suamiku..." Dia menangis lagi, sekarang lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.

"Besarkan hatimu, Twaso, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil selalu akan menolong manusia yang sengsara. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andai kata kau dan anakmu datang kepadanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"

"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia pasti mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa..."

Percakapan terhenti dan janda muda itu biar pun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung.

"Inkong... kau tidurlah..."

"Biarlah, Twaso, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang."

"Aku hendak menyelesaikan ini dulu...," jawab janda muda itu.

Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tidak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh keterenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu.

Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...!

Memang aneh! Janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda buta itu dengan hati penuh belas kasihan.

Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Dia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.

"In-kong...?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur.

Ingin dia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan, kemudian merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.

Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersemedhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Hatinya baru lega pada waktu janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersemedhi dengan bebas.

Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu beserta anak yang tidur di hadapannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasakan perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini.

Duka mau pun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapa pun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak pada saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur di ranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?

Kun Hong merasa badannya sangat segar. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan serta membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.

Mendadak Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, bahkan dari suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan berat itu dapat diduga bahwa orang-orang itu sedang marah!

"Perempuan tidak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.

"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar.

Janda muda itu dan anaknya terkejut lalu bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itu pun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.

"Celaka, In-kong..., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah..."

Benar-benar seorang yang berpribudi, pikir Kun Hong. Terang orang-orang itu beralamat tidak baik bagi si janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!

"Tenanglah, Twaso... tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus selalu ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."

"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.

"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu... kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu kembali terdengar. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau, sekarang malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"

"Kreeeeettttt...!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam.

Semua mata mereka yang merubung di depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat.

"Wah, tak tahu malu... tak tahu malu... berjinah dengan jembel buta... kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!"

Sementara itu tanpa mempedulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu. Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe..."

Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apa lagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan kelima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi.

Keenam orang itu, yaitu Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah bagai cacing yang terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang terasa nyeri.

Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain bagai orang dikeroyok oleh ribuan ekor semut. Ada pun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang sangat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.

"Aduhh... a... a... aduhhh... lepaskan..." dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan tidak dapat ditundukkan.

Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan.

Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.

"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai akhirnya mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan pada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh-uh saja dan pada waktu Kun Hong mengangkat dia kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!

"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.

"In-kong, jangan... kasihan dia...," janda itu berseru penuh kengerian.

Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung.

"Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tidak malukah engkau? Manusia keji, ahhh, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"

"Am... Am... ampun... ampun..." dengan seluruh tubuh yang menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.

Kun Hong menengok ke kanan kiri, mengetahui bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ, menonton.

"Dengar kalian semua, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut untuk dijadikan orang-orang yang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, bahkan turut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar di lain waktu kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"

Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo antar aku ke rumah majikanmu!"

Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata, "Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biarlah mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini, jangan ikut aku ke rumah Song-wangwe. Aku hanya titip Yo-twaso dan anaknya!"

Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan kemudian mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang sangat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang sangat penting.

Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan ‘si janda Yo’! Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat.

Sambil mengomel panjang pendek kenapa si Lao Tiu begitu kurang ajar membangunkan dirinya sepagi itu, Song-wangwe keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis, yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.

Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lainnya. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur, karena itu hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!

"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Ehh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? He-heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."

Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya. Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya.

Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila? Lepaskan Song-wangwe!”

Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.

"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong kemudian mendorong terus kedua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui.

Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana caranya harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.

"Jangan serang... uh-uhh... jangan serang... goblok...!" Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.

Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman pada waktu mereka melihat si buta itu datang lagi, kini sambil menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga yang tak berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!

Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih terdengar merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga dia pun tak mampu bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.

"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.

Hartawan itu diam saja. Maka Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo jawab!"

"Tidak... ti... tidak tahu...," suaranya gemetar tubuhnya menggigil.

"Hayo lekas kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan juga tentang kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo cepat ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja... hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"

Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara yang tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 04


Pendekar Buta Jilid 03

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 03

Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas di dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali tersenyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan kulit di antara kedua matanya agak berkerut.

"In-kong (tuan penolong)... terima kasih atas budi In-kong yang sudah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak...," dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.

Kun Hong kaget mendengar suara ini. Cepat-cepat dia menarik kakinya, lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.

"Jangan berlutut... jangan berlebihan, yang bisa menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab itu bangkitlah, Twaso (kakak), aku tak berani menerima penghormatan seperti ini."

Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.

"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, keberaniannya timbul pula setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.

"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, ibu sudah melarang tetapi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita..."

"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. "Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"

Kun Hong tersenyum, membungkuk kemudian memondong anak itu dengan penuh kasih sayang. "Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, itu bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"

"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi... Paman buta..."

"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."

"Tak usahlah, Twaso, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku." Kun Hong mencegah. Dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.

"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai satu setel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan... dan... kau harus makan dulu..."

Suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan,

"In-kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku... aku tak dapat membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu serta memberi hidangan sekedarnya untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja... ah, In-kong, selama hidup aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"

Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, marilah kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah..."

"A Wan..." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka.

Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa, "Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia baik..."

"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu lalu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong.

Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya dia sudah merasa bingung apakah dia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan dia berjalan terlebih dahulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya.

Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya.

"Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng..."

Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.

"Sini, Paman, sini duduklah..." Anak itu pun mempersilakannya.

Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di atas tanah! Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.

"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."

Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twaso, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini... aku... aku tak perlu berganti pakaian."

Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."

"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata.

Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu merupakan satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana boleh dia pakai? Ah, dia mendapat akal.

Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tidak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan wanita itu mencuci kemudian menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai lagi pakaiannya sendiri kemudian mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, dia dapat memuaskan hati nyonya rumah. Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.

"Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini, sebentar akan kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"

"Tapi... tapi..." Kun Hong berusaha membantah.

"Harap In-kong jangan menolak, biar pun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam..." Suara itu mengandung permohonan yang mutlak dan tak dapat dia bantah lagi.

"Tapi badanku kotor semua... aku harus membersihkan badan dulu... begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"

Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itu pun turut tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu.

Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak amat lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk yang sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan, seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.

"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.

"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.

"Siapa mereka, A Wan?" tanya Kun Hong.

"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga penduduk dusun, Paman," jawab anak itu dengan singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang terhadap penduduk dusun dan anehnya, tak ada seorang pun di antara mereka yang menegur anak ini!

Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat dari pada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.

Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Terasa amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap mendadak menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat.

Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara."

Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.

"...peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Baju suamiku kuberikan kepada siapa pun juga, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau... kau selalu mengganggu... saudara misan yang durhaka!"

"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau mempedulikan. Semua ini karena aku masih ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Apa bila tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, semua ini akan kulaporkan kepada Song-wangwe (hartawan Song)!" Terdengar suara laki-laki memaki.

"Pergi...! Pergi...! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi...!" Wanita itu berseru marah.

"Ibu...! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tidak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.

"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur.

Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan tergesa meninggalkan tempat itu kemudian dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya. Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikit pun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang tangannya lagi.

Memang ibu A Wan terkejut dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang sudah sangat dikenalnya, tentu ia akan pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kongcu (tuan muda)!

Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan, "Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi supaya bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong."

"Terima kasih... terima kasih... aku menyusahkan saja," berkata Kun Hong dan dia tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya.

Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan amat pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja ia dengar tadi, dan telah mengambil keputusan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan tempat itu setelah pakaiannya sendiri kering.

Tidak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat dari pada tanah lempung dan sepasang sumpit dari bambu. Sungguh alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui.”

"A Wan!" ibunya menegurnya.

"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan yang jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tetapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku... aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah."

Hampir saja Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi..."

"Minta? Uhh, pernah aku minta, tapi bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan mencuri lagi karena ibu marah-marah," kata anak itu dengan suara manja.

Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun sekali lagi membuktikan alangkah miskinnya keluarga itu. Sesudah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan.

Senja sudah lewat. Ibu dan anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang pada sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

"Dia sudah tidur, Twaso. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.

Sampai lama barulah terdengar jawaban lirih. "...di sini juga... disini juga…”

Kun Hong menghela napas panjang. Tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah tempat kami duduk, makan dan tidur..."

"Maaf, Twaso, sejak tadi aku belum mendengar twako (kakak) pulang. Ke manakah dia?"

Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia sudah... sudah tidak ada..."

"Tidak ada? Ke mana?" Kun Hong tidak menduga buruk.

"...sudah meninggal dunia... tiga bulan yang lalu..."

"Ahhh...!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam.

Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin.

Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata wanita akan mengincarnya, penuh rasa cemburu. Setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria akan memandangnya secara lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan.

Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup dan menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.

Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twaso, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?"

Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."

Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.

"...baru dua puluh tiga umurku.”

Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, "Twaso, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."

"...kenapa...? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya..."

Kun Hong menggelengkan kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Twaso, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun..."

Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia pun menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"In-kong... engkau juga begitu...? Ahh, kalau begitu lekas kau pukulkan saja tongkatmu itu kepadaku... kau bunuh saja aku, In-kong ... apa artinya hidup kalau semua orang... juga kau yang kumuliakan... memandang serendah itu kepadaku...? Kau bunuhlah aku... kau bunuhlah…"

Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri bagaikan patung, serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu... ibu."

"In-kong... kau bunuhlah kami... biar terbebas kami dari pada penderitaan ini..."

Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis sambil memeluki kedua kakinya.

"Kau salah sangka... kau salah mengerti...," katanya sambil duduk kembali. "Aku sama sekali tidak pernah memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twaso..."

"In-kong..." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong.

Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur sambil mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.

"Tenanglah, duduklah Twaso, dan mari kita bicara baik-baik."

Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya. "...ohhh... maafkan aku, In-kong..."

Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan ibunya sekarang.

"Twaso, agaknya kau tadi sudah salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang akibat kehadiranku di sini malam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan dari pada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twaso!"

"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Peduli apa dengan omongan orang asalkan kita betul-betul bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak peduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."

Kun Hong menarik napas panjang, semakin kagum. Wanita ini biar pun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.

"Twaso, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir... akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau menikah lagi."

"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi... mereka hanya ingin mempermainkan saja, In-kong. Aku tidak sudi... apa lagi Song-wangwe, aku tidak sudi. Biarlah, dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."

Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang wataknya seperti itu. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik hanya karena kecantikannya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu tidak semua laki-laki berwatak demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi seperti itulah sifat dan watak sebagian besar laki-laki.

"Susah kalau begitu. Twaso, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"

"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu keparat yang membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang selalu membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu terdengar marah ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.

"Orang yang datang tadi? Hemmm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twaso?"

Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita…..

Tadinya dia hidup bahagia bersama suaminya, seorang petani muda she Yo. Walau pun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan sebidang sawah milik mereka, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan.

Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir. Mereka merupakan korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.

Akan tetapi, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan sangat terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal hingga di dusun-dusun sekitarnya.

Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Dia seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak akan dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.

Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang ‘berbudi’ itu membuat surat perjanjian jual beli kemudian menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol.

Dengan ditandainya surat perjanjian yang tidak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti sudah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya ‘menyerahkan’ isteri yang cantik manis itu menjadi ‘penghibur’ tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.

Tentu saja Yo Kui menjadi marah luar biasa dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.

Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya, ada pun bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah. Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga!

Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok pada masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, terlebih lagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, bahkan agaknya orang lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang di waktu itu merubah diri dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar!

Oleh karena inilah maka tidak mengherankan bila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana dan periksa sini, lalu keluarlah keputusan ‘pengadilan’, bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wangwe dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!

Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia sudah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan. Isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian lagi untuk pembeli obat dan makan.

Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan sesudah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!
cerita silat karya kho ping hoo

"Demikianlah, In-kong..." janda muda itu mengakhiri cerita sambil menghapus air matanya yang bercucuran deras. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja... setelah suamiku meninggal, lalu bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujuk diriku menjadi isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, yang setiap hari membujuk-bujukku supaya menyerah kepada hartawan Song..."

Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya setelah mendengar penuturan janda muda ini.

"…akan tetapi… aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan...," janda itu melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati dari pada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong... jika saja aku tidak melihat A Wan... ah... agaknya telah lama aku menyusul suamiku..." Dia menangis lagi, sekarang lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.

"Besarkan hatimu, Twaso, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil selalu akan menolong manusia yang sengsara. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andai kata kau dan anakmu datang kepadanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"

"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia pasti mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa..."

Percakapan terhenti dan janda muda itu biar pun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung.

"Inkong... kau tidurlah..."

"Biarlah, Twaso, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang."

"Aku hendak menyelesaikan ini dulu...," jawab janda muda itu.

Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tidak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh keterenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu.

Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...!

Memang aneh! Janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda buta itu dengan hati penuh belas kasihan.

Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Dia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.

"In-kong...?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur.

Ingin dia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan, kemudian merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.

Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersemedhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Hatinya baru lega pada waktu janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersemedhi dengan bebas.

Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu beserta anak yang tidur di hadapannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasakan perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini.

Duka mau pun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapa pun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak pada saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur di ranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?

Kun Hong merasa badannya sangat segar. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan serta membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.

Mendadak Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, bahkan dari suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan berat itu dapat diduga bahwa orang-orang itu sedang marah!

"Perempuan tidak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.

"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar.

Janda muda itu dan anaknya terkejut lalu bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itu pun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.

"Celaka, In-kong..., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah..."

Benar-benar seorang yang berpribudi, pikir Kun Hong. Terang orang-orang itu beralamat tidak baik bagi si janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!

"Tenanglah, Twaso... tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus selalu ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."

"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.

"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu... kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu kembali terdengar. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau, sekarang malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"

"Kreeeeettttt...!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam.

Semua mata mereka yang merubung di depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat.

"Wah, tak tahu malu... tak tahu malu... berjinah dengan jembel buta... kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!"

Sementara itu tanpa mempedulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu. Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe..."

Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apa lagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan kelima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi.

Keenam orang itu, yaitu Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah bagai cacing yang terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang terasa nyeri.

Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain bagai orang dikeroyok oleh ribuan ekor semut. Ada pun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang sangat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.

"Aduhh... a... a... aduhhh... lepaskan..." dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan tidak dapat ditundukkan.

Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan.

Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.

"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai akhirnya mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan pada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh-uh saja dan pada waktu Kun Hong mengangkat dia kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!

"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.

"In-kong, jangan... kasihan dia...," janda itu berseru penuh kengerian.

Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung.

"Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tidak malukah engkau? Manusia keji, ahhh, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"

"Am... Am... ampun... ampun..." dengan seluruh tubuh yang menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.

Kun Hong menengok ke kanan kiri, mengetahui bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ, menonton.

"Dengar kalian semua, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut untuk dijadikan orang-orang yang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, bahkan turut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar di lain waktu kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"

Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo antar aku ke rumah majikanmu!"

Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata, "Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biarlah mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini, jangan ikut aku ke rumah Song-wangwe. Aku hanya titip Yo-twaso dan anaknya!"

Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan kemudian mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang sangat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang sangat penting.

Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan ‘si janda Yo’! Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat.

Sambil mengomel panjang pendek kenapa si Lao Tiu begitu kurang ajar membangunkan dirinya sepagi itu, Song-wangwe keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis, yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.

Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lainnya. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur, karena itu hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!

"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Ehh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? He-heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."

Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya. Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya.

Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila? Lepaskan Song-wangwe!”

Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.

"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong kemudian mendorong terus kedua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui.

Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana caranya harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.

"Jangan serang... uh-uhh... jangan serang... goblok...!" Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.

Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman pada waktu mereka melihat si buta itu datang lagi, kini sambil menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga yang tak berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!

Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih terdengar merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga dia pun tak mampu bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.

"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.

Hartawan itu diam saja. Maka Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo jawab!"

"Tidak... ti... tidak tahu...," suaranya gemetar tubuhnya menggigil.

"Hayo lekas kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan juga tentang kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo cepat ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja... hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"

Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara yang tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 04