Jaka Lola Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 21

Pada saat itu dia merasa betapa tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air, lalu dibawa berenang sambil menyelam dengan kecepatan luar biasa. Beberapa menit kemudian Yo Wan tidak ingat apa-apa lagi. Yo Wan bermimpi. la melihat seorang lelaki sederhana, berpakaian seperti petani, tetapi berwajah tampan dan bersikap gagah, berdiri tegak bersama seorang wanita cantik yang wajahnya diliputi kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya, melambaikan tangan ketika mereka berjalan meninggalkannya.

"Ayah...! Ibu...!" Yo Wan memanggil, mengeluh karena tidak dapat menggerakkan tubuh untuk mengejar mereka. la merasa seperti dalam neraka. Api neraka membakarnya, tenaganya habis dan dia tak berdaya menyingkir dari api yang mengelilinginya itu. Dadanya terasa sesak, kepalanya panas dan serasa hampir meledak. Sekali lagi dia memanggil ayah ibunya untuk minta pertolongan, namun mereka sudah terlalu jauh, hanya nampak bayang-bayang mereka saja, tidak jelas lagi. Betapa pun, Yo Wan masih dapat mengenal mereka, ayahnya yang gagah berani, ibunya yang cantik peramah.

Tiba-tiba muncul bayangan seorang gadis jelita. Sejenak dia bingung dan tidak mengenal siapa gadis ini. Wajahnya aneh, sebentar seperti Siu Bi, kemudian berubah seperti Lee Si, berubah lagi seperti wajah Bu Cui Kim, akhirnya menjadi wajah Cui Sian.

Gembira hatinya. Berdebar jantungnya. Mulutnya bergerak hendak memanggil Cui Sian, akan tetapi rasa malu dan rendah diri menahan niatnya. Cui Sian puteri Raja Pedang, mana bisa disejajarkan dengan dia? Dia seorang jaka lola, miskin dan bodoh. Mendadak semua bayangan itu ienyap. Yo Wan kecewa dan menyesal, dia mencari-cari Cui Sian, namun gadis itu tetap tidak tampak lagi. Sadarlah dia dari mimpi, sebuah mimpi kacau balau ketika dia pingsan.

Kini terasa betapa tubuhnya panas sekali dan sakit-sakit. Dia mengeluh, lalu membuka matanya, merasa heran dan bingung. Teringat dia kini betapa dia tenggelam, menahan nafas, kemudian dibawa berenang di bawah permukaan air oleh Yosiko. Otomatis dia menahan nafasnya, takut kalau-kalau air memasuki hidung dan mulut. Akan tetapi dia tidak merasakan air lagi di sekeliling tubuhnya. Perlahan dibukanya mata yang tadi sudah dia tutup kembali. Sekali lagi dia melihat bahwa dia tidak berada di dalam air, kini lebih jelas.

Ada air tampak olehnya, namun di bawah, dan dia sedang rebah di atas sebuah perahu yang bergerak perlahan dan tenang. Badannya panas bagaikan terbakar, pundak kirinya sakit sekali. Teringatlah dia bahwa pundaknya terluka oleh senjata rahasia beracun yang dilepas oleh Yosiko. Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah? Apakah ini perjalanan menuju ke alam baka melalui sungai dan naik perahu? Kembali dia mengeluh, tenggorokannya terasa sangat haus. la mengumpulkan tenaga dalam tubuhnya yang lemas, mencoba untuk bangkit dan duduk.

"Uuhhhh..."

Pundak kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kanannya meraba, kiranya di pundak kiri sebelah belakang masih menancap sebatang anak panah! Teringatlah kini Yo Wan bahwa sebelum dia tenggelam, ada anak panah yang mengenai pundaknya.

"Ee-e-eeeh... tidak boleh bangun dulu... kau harus rebah terus, miring kanan..." tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita dan ada jari-jari tangan yang halus pula merangkul pundak kanannya, lalu dengan tekanan perlahan menyuruh dia rebah kembali, terlentang agak miring ke kanan agar anak panah di pundak kirinya tidak menyentuh lantai perahu.

Yo Wan serasa mengenal suara ini, dan ini membuat hatinya kecewa. Pada saat untuk pertama kali mendengar suara wanita itu tanpa melihat orangnya, sepenuh hatinya dia berharap bahwa orang itu Cui Sian adanya. Akan tetapi kini dia merasa pasti bahwa itu bukanlah suara Cui Sian, dan kenyataannya ini mengecewakan hatinya. Suara siapakah? Serasa mengenalnya, akan tetapi dia tidak dapat memastikan siapakah wanita ini. Setelah rebah, dia memutar leher dan memandang. Seorang gadis cantik jelita sedang sibuk mendayung perahu itu.

Gadis itu memandangnya dengan bibir tersenyum dan mata bersinar-sinar. Mata itu! la tidak mengenal wajah ini, akan tetapi dia mengenal benar mata itu. Di mana gerangan? Dan suara itu! Payah Yo Wan mengingat-ingat, namun dia tetap tidak tahu di mana dan bila mana dia pernah mendengar suara ini dan melihat mata itu. Rasa panas terasa menyesakkan nafasnya.

"Uhh-uhhh... panas... haus...," bisiknya.

Gadis itu dengan gerakan perlahan menancapkan sebatang bambu panjang ke bagian yang dangkal di pinggir sungai dan perahu itu kini terikat pada bambu. Kemudian dia menghampiri Yo Wan.

"Haus? Minumlah ini, jangan banyak-banyak. Kau sedang terserang demam, akan tetapi tidak berbahaya, jangan khawatir. Nanti setelah tiba di hutan Jeng-hwa-lim (Hutan Seribu Bunga), di sana banyak tanaman obat untuk mengusir demam, juga untuk menghentikan keluarnya darah. Karena itu, biar sementara kita diamkan anak panah itu, sesampainya di sana baru dicabut."

Gadis itu bicara dengan halus dan ramah seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan baik sejak bertahun-tahun. Tiada canggung, tiada keraguan, tidak sungkan-sungkan lagi. Siapakah gadis jelita ini? Matanya begitu tajam dan bening, bersinar-sinar seperti bintang pagi yang pada saat itu masih berkedap-kedip di angkasa, menghias pagi yang sangat dingin. Hidungnya kecil mancung, menjadi imbangan yang amat manis dari bibirnya yang lunak, merah dan berbentuk indah.

"Kau siapakah, Nona?" Tak tahan lagi Yo Wan bertanya, matanya memandang wajah itu, akan tetapi keningnya berkerut-kerut menahan sakit.

Sebelum menjawab, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Gerakan kecil ini membuat ujung lengan bajunya tersingkap sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sampai ke siku membayang di balik lengan baju. Jari-jemarinya kecil meruncing dengan kuku mengkilap terpelihara. Tangan halus itu dengan gerakan lembut dan mesra menyentuh kening Yo Wan seperti biasanya orang hendak melihat panas seorang terserang demam. Kemudian dicabutnya sehelai sapu tangan merah muda dari balik bajunya dan dihapusnya kening yang penuh keringat itu, terus ke pipi dan leher Yo Wan.

Walau pun sedang menderita demam dan sakit, perbuatan ini membuat jantung Yo Wan berdebar jengah dan malu. Siapakah gadis jelita ini yang begini mesra dan begini telaten merawatnya?

"Kau... kau siapa...?" tanyanya lagi.

"Kau minum dulu ini, bukankah tadi kau bilang haus?" kata si gadis yang tanpa ragu-ragu menyorongkan lengan kirinya yang kecil ke bawah leher Yo Wan dan mengangkat kepala pemuda itu sedikit ke atas, kemudian tangan kanannya mendekatkan sebuah cawan ke mulut Yo Wan.

Pemuda ini merasakan hal yang luar biasa aneh di dalam hatinya. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Betapa tidak? Meski pun usia Yo Wan sudah cukup dewasa, sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi baru kali ini lehernya dirangkul lengan seorang wanita!

Kepalanya seakan-akan bersandar kepada pundak dan dada orang, hidungnya mencium aroma harum yang asing baginya, dan hampir saja dia tidak sanggup menelan air yang diminumnya karena tenggorokannya serasa tercekik. Namun, sebagai seorang ahli tapa, dia dapat menenteramkan hatinya dan walau pun dia sedang menderita sakit, dia dapat merasakan betapa lengan kiri yang lembut dan kecil halus itu mengandung tenaga yang hebat!

"Siapakah kau, Nona?" tanyanya lagi setelah gadis itu merebahkannya kembali.

Si gadis tersenyum. Dekik kecil pada ujung mulut sebelah kiri membuatnya manis sekali. Dekik pipi kiri ini mengingatkan Yo Wan akan sesuatu, akan tetapi dia tidak tahu benar apa dan siapakah ‘sesuatu’ itu. Hanya saja dia merasa pasti bahwa dekik ini bukan baru sekarang dia lihat!

"Apakah kau tidak bisa menduga? Aku adalah adik dari ketua Kipas Hitam! Kau terluka dan hampir saja celaka di laut. Kakakku menolongmu, kemudian menyerahkan kepadaku untuk merawatmu sampai sembuh."

Yo Wan memandang penuh perhatian. Salahkah dugaannya? Apakah betul Yosiko ketua Kipas Hitam itu mempunyai seorang adik perempuan? Wajahnya serupa benar dan kini teringatlah dia bahwa sinar mata serta dekik pada ujung mulut itu dia lihat pada wajah Yosiko! Hemmm, gadis ini adalah Yosiko sendiri, dia hampir merasa pasti akan hal itu.

Hanya ada sebuah kemungkinan lagi, yaitu bisa juga gadis ini adiknya, akan tetapi adik kembar. Hanya adik kembar yang bisa mempunyai persamaan seperti ini, bagai pinang dibelah dua. Akan tetapi, andai kata benar adiknya, mengapa begini hebat? Sebaliknya, apa bila gadis ini adalah Yosiko sendiri, mengapa harus seaneh ini sikapnya?

la tidak mau meributkan soal itu, mengingat akan keadaannya. Akan tetapi dia pun tidak mau berhutang budi kepada kepala bajak. Dengan menahan rasa sakit, Yo Wan bangun lagi, tidak peduli akan cegahan gadis itu.

"Ehh, jangan bangun... kau mau apa...?" Gadis itu bertanya, memegang lengannya.

"Aku... aku harus pergi dari sini."

"Ehh, jangan! Kau masih terluka hebat, racun di pundakmu belum keluar habis, dan anak panah itu berbahaya sekali. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?"

"Aku harus menolong muda-mudi dari Lu-liang-san. Di manakah mereka? Dan apa yang terjadi?"

Kini mereka duduk berhadapan di atas perahu dan terlihatlah kini dengan jelas oleh Yo Wan bahwa gadis di depannya itu benar cantik jelita, akan tetapi pada wajah yang elok itu terbayang sifat liar dan terbuka, bebas dan lincah seperti terdapat pada wajah Siu Bi si gadis liar dari Go-bi-san. Gadis ini masih muda, tak akan lewat dua puluh tahun usianya. Melihat kulit muka serta kulit tangan yang agak gelap dapatlah diduga bahwa gadis ini banyak berada di alam terbuka, banyak terkena cahaya matahari. Bagian yang paling menarik pada wajahnya adalah mata dan mulutnya.

Mendengar pertanyaan Yo Wan tentang muda-mudi dari Lu-liang-san, segera mata gadis itu berkilat. "Bocah-bocah kurang ajar itu! Menyesal kenapa aku tidak membunuh mereka saja. Hemmm, semestinya kakakku membunuh mereka dan melempar mayat mereka ke laut agar menjadi makanan ikan hiu ketika mereka kena tawan!"

Yo Wan mengerutkan kening. Gadis ini benar-benar seperti Siu Bi, liar dan ganas. Akan tetapi ucapan itu melegakan hatiriya, karena dalam kegemasannya gadis itu sudah jelas menyatakan bahwa muda-mudi Lu-liang-san itu tidak tewas, malah mungkin telah bebas. Kelegaan hati ini membuatnya tersenyum, akan tetapi karena pundaknya tiba-tiba terasa nyeri, senyumnya menjadi senyum menyeringai masam.

"Apa yang terjadi? Siapakah orang-orang di dalam perahu yang menyerang kita... ehhh, yang menyerang aku dan kakakmu?"

"Mereka adalah orang-orang yang dipimpin oleh Jenderal Bun di Tai-goan, dipimpin oleh putera jenderal itu sendiri. Mereka berusaha hendak menangkap kakakku. Hemmm, tikus-tikus itu mana mampu menangkap ketua Kipas Hitam? Apa lagi membasmi Kipas Hitam! Kau lihat saja betapa kami akan menghancurkan mereka nanti."

Diam-diam Yo Wan terkejut. Kiranya mereka yang menyergap dia dengan Yosiko, yang sudah melukai pundaknya, adalah orang-orang pemerintah yang bermaksud membasmi bajak laut. Dan di dalam kegelapan malam tentu saja dia yang bersama-sama dengan Yosiko disangka bajak pula! Diam-diam dia mengeluh.

"Dan mereka itu, muda-mudi Lu-liang-san itu, bagaimana dengan mereka?"

"Uhh, mereka? Biar mereka itu dimakan setan neraka. Mereka sudah bergabung dengan orang-orang Tai-goan, menyebar kematian di antara anak buah kami. Awas bila mereka terjatuh ke tanganku!"

Yo Wan girang sekali. Tak salah dugaannya dan tidak salah pula ketika dia membantu muda-mudi Lu-liang-san itu. Mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang perkasa, sedangkan Yosiko, dan adiknya ini kalau benar adiknya, serta semua anak buahnya adalah bajak laut-bajak laut yang ganas dan patut dibasmi. Berpikir demikian, tiba-tiba saja dia merasa malu. Mengapa dia harus membiarkan dirinya dirawat oleh seorang pemimpin bajak laut? Bila para pendekar kang-ouw mengetahui hal ini, alangkah akan rendah dan malunya. Pikiran ini membuat dia serentak bangkit.

Gadis itu kaget. "Ehh, mau apa kau? Mau ke mana?"

"Aku harus pergi dari sini! Harus!" la mengeluh karena pundak kirinya sakit sekali.

Dengan tangan kanan dia meraba ke belakang pundak kirinya, memegang gagang anak panah dan mengerahkan tenaga mencabutnya. Anak panah itu tercabut, darah muncrat keluar dan gadis itu menjerit berbareng dengan robohnya tubuh Yo Wan, pingsan di atas perahu!

Gadis itu cepat menerima tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting, kemudian dengan cekatan dan kelihatan ringan sekali dia memondong tubuh Yo Wan ke darat dan berlari-larilah gadis itu menuju ke sebuah hutan yang penuh dengan bunga, hutan Jeng-hwa-lim. Bagaikan berlarian di dalam taman bunga miliknya sendiri, gadis itu dengan cepatnya menuju ke sebuah goa yang berada di hutan ini. Indah sekali tempat ini. Letaknya tepat di tepi Sungai Kuning yang terjun ke dalam air Laut Po-hai, sungguh lembah yang subur dan indah. Air sungai yang amat tenang itu mengalir tak jauh di depan goa.

Apa yang diceritakan oleh gadis itu kepada Yo Wan memang tidak bohong. Orang-orang di dalam perahu-perahu sunyi gelap pada malam hari itu, bukan lain adalah orang-orang Bun-goanswe yang sedang berusaha untuk membasmi dan menangkap ketua bajak laut, dipimpin langsung oleh Bun Hui, pemuda putera Bun-goanswe yang tampan dan gagah perkasa. Ada pun Hwat Ki dan Cui Kim, ketika sadar dari pada pengaruh obat memabukkan di dalam gedung tempat tinggal ketua Kipas Hitam, kembali dirobohkan oleh Yo Wan yang menyelamatkan mereka dari sambaran senjata-senjata rahasia ampuh serta berbahaya yang dilontarkan oleh si ketua Kipas Hitam.

Namun sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hwat Ki dan sumoinya sudah meloncat bangun lagi. Mereka tahu bahwa pemuda sederhana yang membantu mereka itu sudah terluka dan kini mengejar Yosiko, maka serentak mereka berdua pun meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi begitu tiba di depan gedung, mereka dihadang oleh banyak sekali anak buah bajak laut Kipas Hitam yang bersenjata lengkap. Kemarahan Hwat Ki dan sumoinya lalu memuncak. Mereka tadi telah memungut pedang masing-masing dan kini sambil berseru marah muda-mudi Lu-liang-pai ini mengamuk. Pedang mereka berkelebatan seperti dua ekor naga sakti yang menyambar-nyambar.

Akan tetapi, para pengeroyok mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan pula. Barisan bajak yang mengeroyok mereka berdua dipimpin oleh tiga orang kakek yang tadi dikalahkan Yo Wan. Karena maklum bahwa yang hendak dikeroyok adalah dua orang muda perkasa, maka yang maju adalah anggota-anggota bajak laut pilihan yang sedikit banyak sudah memiliki kepandaian silat lumayan.

Seorang demi seorang para bajak laut itu mulai roboh. Namun yang datang membantu jauh lebih banyak dari pada yang roboh, sedangkan muda-mudi Lu-liang-pai ini masih agak pening akibat pengaruh racun tadi. Karena itu keduanya lalu beradu punggung dan mempertahankan diri dari hujan senjata dari kanan kiri. Mereka masih dapat merobohkan seorang dua orang, akan tetapi tidak mampu keluar dari kepungan yang makin tebal itu.

Agaknya para bajak sudah mendapat instruksi dari atasannya untuk bertahan sampai dua orang itu dapat ditangkap atau dibunuh. Keadaan ini bukan tidak berbahaya. Hwat Ki maklum pula akan hal ini maka sambil mengeluarkan teriakan keras dia menubruk maju, tangan kirinya menggunakan pukulan-pukulan Jing-tok-ciang sehingga terdengar pekik berturut-turut ketika empat orang roboh oleh pukulan dahsyat ini!

Akan tetapi, pukulan yang dahsyat dan berhasil baik ini ternyata malah mendatangkan mala petaka, karena tiga orang kakek itu yang melihat akan hebatnya Jing-tok-ciang, lalu memberi aba-aba dan kini para bajak menggunakan obor untuk mengurung Hwat Ki dan Cui Kim!

Pucat wajah kakak beradik seperguruan ini. Menghadapi senjata-senjata tajam dari para pengeroyok, mereka masih mampu mempertahankan diri. Akan tetapi kalau sedemikian banyaknya pengeroyok menggunakan api untuk menyerang, celakalah mereka!

"Sumoi, terjang ke kiri, cari jalan keluar melalui darah mereka!" teriak Hwat Ki kepada adik seperguruan itu.

la mendapat akal untuk menggabung tenaga menerjang ke kiri, membuka jalan berdarah. Cui Kim mengerti akan maksud suheng-nya, karena itu dia segera memutar pedangnya sedemikian cepat sehingga seorang pengeroyok yang tidak sempat menangkis, terbabat putus bahu kiri berikut lengannya. Orang itu menjerit ngeri dan roboh.

Akan tetapi Cui Kim terpaksa kembali meloncat mundur karena ada empat orang yang menyorongkan obor kepadanya. la merasa ngeri juga dan takut. Api adalah benda yang amat berbahaya, sekali mencium ujung pakaiannya, akibatnya tentu amat mengerikan.

Hwat Ki juga berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi para bajak itu ternyata dipimpin oleh orang-orang yang pandai juga, karena agaknya mereka tahu akan niat dua orang muda ini sehingga begitu mereka berdua menerjang ke kiri, bagian ini diperkuat sehingga sukarlah untuk membobolkannya.

"Gunakan jala!" Tiba-tiba terdengar perintah dan para bajak itu kini menyeret jala ikan.

Ketika mereka mulai menggunakan benda ini, Cui Kim dan Hwat Ki makin kaget. Kiranya jala ikan itu mereka lemparkan ke arah kaki kakak beradik ini. Hwat Ki dan Cui Kim cepat meloncat, akan tetapi obor-obor menyala menyambut mereka sehingga terpaksa mereka turun lagi menginjak jala. Bisa dibayangkan sukarnya orang bersilat di atas jala-jala ikan yang malang-melintang.

Mendadak terdengar Cui Kim memekik karena gadis ini terlibat kakinya dan terguling! Seorang bajak laut cepat menubruk maju. Para bajak yang terdiri dari orang-orang kasar dan liar itu di dalam hatinya saling berlomba untuk dapat menangkap si gadis cantik dari Lu-liang-san supaya sebelum menyerahkannya kepada ketua, mereka bisa memuaskan kekurang ajaran mereka.

Bajak yang menubruk maju ini berseru girang. Dia merasa menang dalam perlombaan ini sebab dapat lebih dulu memeluk Cui Kim. Akan tetapi seruan girang itu berubah seketika menjadi pekik mengerikan ketika lehernya ditembusi pedang yang berada di tangan Cui Kim.

Sebagai seorang murid Lu-liang-pai yang terkasih, tentu saja gadis ini bukanlah seorang gadis sembarangan. Meski pun dia sudah terlibat dan jatuh terguling, akan tetapi dalam robohnya dia sudah langsung membalikkan tubuh dan bersiap dengan pedangnya. Maka begitu ada bajak yang menubruknya, pedangnya bergerak dan berhasil menusuk tembus leher si bajak sehingga bajak itu seketika lantas tewas sambil membawa nafsu kekurang ajarannya ke neraka!

Cui Kim kaget sekali ketika pedangnya sukar dicabut kembali. Agaknya pedang ini sudah menembus tulang, maka tidak begitu mudah dicabut. Padahal pada saat itu, tiga orang bajak yang melihat kawannya mati dalam keadaan mengerikan, segera maju dengan obor dan golok di tangan.

Cui Kim sudah meramkan mata menunggu datangnya sang maut. Akan tetapi ia segera membuka matanya kembali ketika di sampingnya roboh berdebukan tiga orang bajak laut itu. Cepat ia bangkit berdiri dan sekuat tenaga menarik pedangnya, sambil melirik girang kepada suheng-nya yang dapat menolongnya dalam waktu yang tepat sekali. Akan tetapi suheng-nya sudah terlihat lelah sekali, juga dia merasa amat lelah biar pun kini berhasil membebaskan kakinya dari libatan jala.

Pada saat kedua orang jago muda dari Lu-liang-pai ini amat terancam kedudukannya, mendadak terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah dan kacaulah barisan para bajak laut. Mereka yang mengeroyok Hwat Ki dan Cui Kim makin berkurang dan akhirnya sisa dari mereka yang roboh tewas, membuang obor mereka dan melarikan diri, menghilang ke dalam gelap setelah terdengar tanda suara seperti terompet. Apakah yang terjadi? Selagi Hwat Ki dan Cui Kim menduga-duga dengan hati lega akibat terbebas dari pada bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang memegang pedang yang berlepotan darah.

"Saudara Hwat Ki...! Syukur kau dan sumoi-mu selamat...!"

"Eh, Bun-lote (adik Bun)! Kiranya kau yang menolong kami? Dengan siapa kau datang?" kata Hwat Ki gembira ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Bun Hui.

"Bersama pasukan khusus dari Tai-goan, dibantu pasukan dari Cin-an! Bajak laut Kipas Hitam itu harus dibasmi, mereka mengganas di mana-mana. Kau melihat ketuanya? Di mana dia?"

"Lari, tadi dikejar oleh saudara baju putih yang lihai sekali. Mudah-mudahan tertangkap," kata Hwat Ki.

"Ke mana larinya?"

"Ke sana!" kata Cui Kim yang juga girang melihat putera jenderal ini, yang pernah dia jumpai ketika pemuda itu naik ke puncak Lu-liang-san untuk bertemu dengan suhu-nya.

"Mari kita kejar!"

Mereka bertiga mengejar ke luar dan ternyata di sekitar tempat itu sudah penuh dengan anak buah yang dibawa Bun Hui. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut di mana anak buah Bun Hui dengan perahu-perahu mereka mengepung Yosiko, mereka kecewa sekali mendengar betapa ketua Kipas Hitam itu berhasil melenyapkan diri sambil menyelam. Yang amat khawatir dan kaget hatinya adalah Hwat Ki dan Cui Kim. Mereka mendengar dari orang-orang kerajaan ini bahwa mereka berhasil memanah seorang pemuda, entah ketua Kipas Hitam entah bukan karena tadinya ada dua orang pemuda yang berenang seakan-akan berkejaran atau hendak melarikan diri. Hwat Ki dan sumoi-nya khawatir, jangan-jangan penolong mereka itu yang terkena anak panah!

Mereka semua terus melakukan pengejaran dan mencari-cari. Hwat Ki serta sumoi-nya memisahkan diri, juga mereka berdua mencari. Kalau Bun Hui dan para anak buahnya mencari jejak para bajak laut yang hendak mereka basmi, adalah kedua orang muda dari Lu-liang-san ini mencari jejak pemuda baju putih yang telah menolong mereka. Mereka berdua dapat membayangkan betapa bahayanya keadaan mereka ketika mereka roboh oleh makanan yang mengandung racun. Mereka sudah pingsan dan tidak berdaya sama sekali. Entah apa yang akan dilakukan oleh ketua Kipas Hitam pada mereka dalam keadaan pingsan itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya kalau saja tidak muncul pemuda baju putih yang begitu aneh, yang tadinya sudah mereka lihat di dalam restoran di dusun Leng-si-bun.

Melihat cara pemuda pakaian putih itu menggempur Yosiko dan membuat ketua Kipas Hitam itu terdesak hebat, sudah membuktikan bahwa pemuda baju putih itu lihai bukan main. Mereka mencari terus, mencari di sepanjang lembah Huang-ho, menyusuri pantai Sungai Kuning ini….
cerita silat karya kho ping hoo

Sementara itu, Yo Wan sadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa enak dan nyaman, akan tetapi lemas sekali. Segera dia ingat akan segala peristiwa yang menimpa dirinya, maka cepat-cepat dia membuka matanya. Heran dia ketika mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang terbuat dari kayu kasar sederhana, dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Akan tetapi harus dia akui bahwa goa ini bersih sekali, kering dan dari luar masuk bau semerbak harum dibawa oleh siliran angin.

Ketika melihat tubuhnya, dia merasa heran sekali karena bajunya sudah terganti dengan baju baru yang berwarna putih, terbuat dari sutera. Baju ini bersih dan baru, jauh berbeda dengan bajunya sendiri yang sudah agak kumal. Juga sepatunya yang lenyap ketika dia bergumul dengan Yosiko di dalam laut, kini telah mendapat penggantinya berupa sepatu baru yang mengkilap. Yo Wan terheran-heran. Tentu gadis adik Yosiko itu yang memberi semua ini, karena dia sudah teringat akan peristiwa di atas perahu. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekali. Tidak mungkin! Siapa yang menggantikan pakaiannya selagi dia pingsan? Apakah gadis jelita itu?

Teringat akan ini, Yo Wan melompat bangun, jantungnya berdebar-debar. Dia mengeluh karena merasa jantung serta isi dadanya seakan-akan ditusuk-tusuk pisau. Tiba-tiba dia terbatuk dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Terdengar suara kaki berlari-lari ringan memasuki goa. Gadis jelita itu masuk, bagaikan dewi, akan tetapi yang sedang cemas. Matanya yang indah terbelalak, kedua tangannya berkembang, dan mulutnya yang kecil berseru kaget.

"Ahh, kau sudah sadar... jangan berdiri, berbaringlah dulu. Yo Wan, kau terluka parah...!"

Hanya dengan pengerahan tenaga dalamnya Yo Wan sanggup menahan dorongan dari dalam untuk batuk dan muntah darah. Dia terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa dia benar-benar telah menderita luka yang hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi dia merasa malu apa bila harus berbaring lagi, malu karena gadis ini sudah menggantikan pakaiannya. Sungguh tak tahu malu! Wajahnya menjadi merah sekali dan hampir dia tidak berani menentang pandang mata itu.

"Aku... aku harus pergi..." Dia memaksa bibirnya berkata demikian, sungguh pun hatinya merasa tidak enak. Gadis itu sudah begitu baik padanya, agaknya sudah mengobati luka di pundaknya karena pundak itu tidak terasa sakit lagi.

Dengan tenang tetapi ramah dan bebas, gadis itu melangkah dekat, memegang tangan Yo Wan sambil menuntunnya setengah memaksa, duduk di atas pembaringan kayu. Yo Wan merasa halusnya kulit tangan. Kehangatan yang keluar dari jari-jari tangan kecil itu menjalari seluruh tubuhnya, membuat dia menjadi makin bingung dan memaksa dirinya untuk tidak membantah.

"Yo Wan, ketahuilah. Biar pun luka di pundakmu sudah tidak berbahaya lagi, akan tetapi agaknya anak panah itu terlalu dalam menghujam di tubuhmu, mungkin melukai bagian penting dalam dadamu. Tadi kau muntahkan banyak darah, sudah kubersihkan, terpaksa kuganti pakaianmu dengan pakaian bersih. Tetapi sekarang kau batuk-batuk lagi, maka kau berbaringlah! Aku bukan ahli pengobatan, akan tetapi aku juga maklum bahwa dalam keadaan seperti ini, tak baik kau mengerahkan tenaga dan menggerakkan tubuh. Lebih baik kau berbaring, biar kuberi minuman yang mengandung khasiat menguatkan tubuh, kemudian akan mencari seorang tabib yang pandai untuk mengobatimu."

Mendengar ucapan ini, diam-diam Yo Wan kaget dan bingung. Omongan gadis ini sama sekali tidak mengandung maksud buruk, bahkan amat baik dan membuat dia berhutang budi. "Kenapa... kenapa kau melakukan hal ini kepadaku?" tanyanya, suara lemah, akan tetapi karena maklum akan kebenaran kata-kata gadis itu, dia tidak ingin membantah lagi dan membaringkan tubuhnya.

Gadis itu memandang kepadanya, agaknya terheran mengapa Yo Wan masih bertanya macam itu. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, tiba-tiba warna merah menjalar ke arah kedua pipi sampai ke telinga, dan aneh sekali, gadis itu menundukkan muka sambil menyembunyikan senyum dikulum.

Apa-apaan ini, pikir Yo Wan, namun jantungnya berdebar lagi sehingga cepat-cepat dia harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaannya yang berdebar dan yang akan menjadi bahaya bagi keselamatannya.

"Yo Wan, kau telah mengalahkan ketua Kipas Hitam, ingatkah? Kepandaian kakakku itu bukan apa-apa bagimu, kau jauh lebih lihai, bahkan sepuluh kali lipat lebih lihai dari pada kakakku. Karena itu, sudah sewajarnya dan seharusnya kalau aku merawatmu."

Yo Wan meramkan matanya, mengingat-ingat. Teringat dia akan ucapan Yosiko ketika hendak bertanding menghadapi Hwat Ki. Yosiko menyatakan bahwa adik perempuannya menghendaki jodoh yang mampu mengalahkan Yosiko! Dan kini, adik Yosiko ini agaknya kagum akan kepandaiannya. Celaka! Hampir Yo Wan melompat bangun, kalau saja dia tidak merasa betapa dadanya yang sebelah kiri sakit sekali. Ini hanya berarti bahwa gadis liar dan bebas ini sudah memilihnya sebagai calon jodoh!

Ah, gerak-gerik gadis ini! Sepasang mata dan senyum itu! Salahkah dugaannya bahwa Yosiko ketua Kipas Hitam adalah penyamaran gadis ini? Akan tetapi mengapa gadis ini mengaku sebagai adiknya ketua Kipas Hitam? Andai kata betul gadis ini adiknya, dapat dipastikan bahwa mereka tentulah saudara kembar, karena wajah serta gerak-geriknya serupa benar. Hanya pakaian saja yang berbeda!

Sambil berbaring di atas dipan kayu itu, Yo Wan mengingat-ingat. Hatinya girang kalau dia teringat akan muda-mudi dari Lu-liang-san itu, terutama melihat betapa Tan Hwat Ki, cucu Raja Pedang, ternyata adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, patut menjadi cucu Raja Pedang, patut menjadi keponakan... Cui Sian! Berpikir sampai sini, mendadak saja semua lamunannya lenyap, yang nampak dan teringat hanyalah gadis puteri Raja Pedang itu, Cui Sian!

"Kenapa? Sakit sekalikah rasanya? Kau mengasolah, biar besok aku pergi mengundang seorang tabib yang pandai."

Yo Wan tidak menjawab, hanya mengangguk, akan tetapi keningnya berkerut. Dia sudah dirawat oleh keluarga bajak laut yang mengganas di pesisir Laut Po-hai! Dia berada di tangan orang jahat, akan tetapi ‘orang jahat’ itu justru merawat lukanya akibat serangan anak panah seorang anggota pasukan pemerintah!

Gadis ini amat mencurigakan. Apa alasannya merawat dia yang terang-terang memusuhi ketua Kipas Hitam? Tak mungkin! Gadis ini amat cantik jelita, dan kalau benar adik ketua Kipas Hitam, berarti seorang yang memiliki kedudukan, meski pun hanya menjadi ketua Hek-san-pang.

Mana mungkin seorang gadis jelita seperti ini mencintainya! Lalu apa pula kehendaknya? Merawat seorang musuh. Tentu ada apa-apanya yang tersembunyi di balik perawatan ini. Mendadak dia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang tak tertahankan. Ingat dia akan obat yang diminumnya tadi, yang diminumkan oleh gadis itu.

Kecurigaannya makin menebal. Jangan-jangan dia sudah diberi minum obat bius. Ia ingin melompat dan menangkap gadis itu, lalu memaksanya membuat pengakuan. Akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dia tahan lagi dan di lain saat Yo Wan sudah jatuh pulas.

Suara orang bercakap-cakap dengan bisikan-bisikan lirih membuat Yo Wan tersadar dari tidurnya. Akan tetapi Yo Wan tidak segera membuka mata, melainkan memperhatikan percakapan itu dengan rasa heran. Ada dua orang berbicara, seorang adalah gadis yang merawatnya, yang seorang lagi tentu seorang wanita pula, suaranya merdu dan tekanan kata-katanya tegas.

"Dia kelihatan lemah, aku tidak percaya...," kata suara ke dua.

"Pernahkah aku membohong?" kata suara si gadis, manja dan marah. "Dia amat hebat, kau sendiri tidak akan mampu menang..."

"Hemmm, sebelum mencoba, mana aku bisa percaya obrolanmu?"

Yo Wan membuka sedikit pelupuk matanya. Dari balik bulu matanya dia melihat pakaian-pakaian bergantungan di atas, agaknya pakaian-pakaian yang baru habis dicuci. Terlihat olehnya pakaiannya sendiri, dan pakaian sutera putih, pakaian Yosiko!

Ahhh, lagi-lagi pakaian ketua Kipas Hitam! Kalau pakaiannya berada di sini, bahkan bisa memberi pinjam pakaian kepadanya, orangnya tentu di sini pula. Dan siapa lagi kalau bukan gadis ini orangnya?

"Dia tidak tampan sekali, juga tidak muda lagi, sedikitnya enam tujuh tahun lebih tua dari padamu... hemmm, aku khawatir kau salah pilih..."

"Lihat, dia sadar..."

"Biar kucoba dia!"

Yo Wan cepat-cepat mempergunakan ginkang-nya untuk membuang tubuhnya dari atas pembaringan pada saat dia mendengar desir angin pukulan yang menggetar-getar. Angin pukulan itu tidak mengenai dirinya, hanya menyambar pembaringan kayu, akan tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada pembaringan itu, melainkan tikar yang menjadi tilam pembaringan seperti tertiup angin.

Diam-diam Yo Wan terkejut. Lweekang wanita itu hebat, akan tetapi jelas bahwa wanita itu tidak mengirimkan pukulan maut. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan mencoba atau mengujinya!

Cepat dia membalikkan tubuh dan memandang. Kiranya di samping gadis itu telah berdiri seorang wanita setengah tua yang cantik pula, sikapnya kereng, kedua matanya amat tajam membayangkan kekerasan hati, bentuk mukanya serupa benar dengan gadis itu, dan di punggung wanita setengah tua ini tersembul gagang sebuah pedang. Yang amat berbeda dengan gadis itu adalah pakaiannya. Kalau gadis itu mengenakan pakaian serba putih dengan hiasan warna merah muda, pakaian wanita setengah tua itu berwarna serba hitam.

Yo Wan hendak bertanya, akan tetapi dia tidak diberi kesempatan lagi karena wanita itu telah menerjangnya dengan pedang di tangan. Serangan-serangannya sangat hebat dan ganas, namun amat indah seperti orang menari-nari. Menyaksikan ilmu pedang ini, jantung Yo Wan lantas berdebar. Ilmu pedang yang hebat! Serupa benar dengan ilmu pedang yang pernah dilihatnya dalam permainan pedang Cui Sian. Indah bagaikan tarian, namun mengandung daya serang yang sangat ganas! Dan gerakan kaki itu! Jelas adalah inti dari Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te, yang merupakan cabang dari Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun. Siapakah wanita ini?

Karena dia bertangan kosong, Yo Wan terpaksa memainkan langkah-langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Ruangan dalam goa itu remang-remang, hanya diterangi oleh sinar penerangan pelita sumbu minyak sederhana, maka untuk menyelamatkan diri tak cukup mengandalkan penglihatan yang menjadi silau oleh berkelebatnya kilatan pedang.

Namun Yo Wan telah memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan perasaannya yang peka serta pendengarannya yang amat tajam dia dapat mengetahui dari mana senjata lawan menyambar dan bagaimana sifat-sifat penyerangan lawannya yang cukup lihai ini. Berkali-kali wanita setengah tua itu mengeluarkan ucapan heran menyaksikan betapa Yo Wan selalu dapat menghindarkan serangannya, dan dari sikap heran menjadi penasaran, kemudian menjadi marah. Hal ini terbukti pada serangannya yang semakin gencar dan sungguh-sungguh, bahkan kini setiap sambaran pedangnya merupakan jurus-jurus maut.

Yo Wan terkejut dan khawatir. Dia merasa betapa nyeri di dalam dadanya masih hebat, punggungnya terasa panas dan setiap gerakan yang membutuhkan pengerahan tenaga agak banyak, terasa darah segar naik ke kerongkongannya. Dia maklum bahwa untuk membalas serangan wanita yang galak ini, tidak mungkin tanpa membahayakan lukanya sendiri. Maka, terpaksa dia hanya dapat mengelak dan seratus persen mengandalkan keampuhan langkah-langkah ajaib Si-cap-it Sin-po.

Masih untung bagi Yo Wan bahwa ruangan dalam goa itu cukup luas sehingga dengan leluasa dia dapat mainkan Si-cap-it Sin-po. Dan lebih untung lagi bahwa wanita setengah tua ini agaknya hanya paham Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te yang tentu saja tidak seluas Si-cap-it Sin-po yang mempunyai ragam sebanyak empat puluh satu langkah. Hui-thian Jip-te hanya mempunyai dua puluh empat langkah.

Dengan demikian, maka sebegitu jauh Yo Wan selalu masih dapat meloloskan diri, biar pun kadang-kadang dia seperti sudah terkurung dan hanya mampu lolos melalui lubang jarum! Makin lama gerakan Yo Wan makin lemah karena rasa nyeri dalam dada dan di punggungnya makin menghebat. Dia telah mempertahankan diri sampai lebih dari lima puluh jurus, selalu diserang tanpa dapat membalas kembali.

"Cukup!" teriak si gadis dengan suara gelisah. "Dia dapat mempertahahkan diri sampai puluhan jurus, padahal dia terluka hebat di punggungnya, dan racun masih belum bersih betul! Bukankah itu sudah luar biasa sekali? Mana ada orang lain yang dapat menahan seranganmu sampai puluhan jurus dengan tangan kosong?"

Akan tetapi wanita setengah tua itu agaknya sudah terlanjur marah dan penasaran. Dia hanya mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya, pedangnya terus mendesak dan melancarkan serangan yang hebat. Ketika itu Yo Wan sudah merasa pening kepalanya dan pandang matanya kabur. Pada waktu melangkah mundur, kakinya tertumbuk pembaringan sehingga tubuhnya terguling. Pedang di tangan wanita setengah tua itu menyambar ke arah lehernya.

"Tranggggg...!" Pedang itu tertangkis oleh pedang di tangan si gadis.

"Masa kau hendak berlaku curang terhadap dia?" Gadis itu memekik.

Si wanita setengah tua melompat mundur, lalu mendengus marah, "Hemmm, biarkan dia sembuh dan beri dia senjata. Dia harus bisa mengalahkah aku, baru hatiku puas!"

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan melompat keluar dari dalam goa itu. Gadis itu menarik napas panjang dan melemparkan pedangnya ke atas meja. Yo Wan sudah bangkit kembali dan dengan hati penuh kemarahan dia melompat maju, lalu menangkap tangan kanan gadis itu.

"Apa artinya semua ini? Siapa wanita itu tadi? Hayo kau lekas mengaku semuanya dan apa maksudmu menahan dan pura-pura menolongku di sini! Lekas kau mengaku, kalau tidak...!"

Gadis itu tersenyum manis. Bukan main cantiknya wajah di depan Yo Wan itu. Matanya terbuka, terbelalak lebar seperti orang kaget dan heran, mulutnya agak terbuka, dan dari balik sepasang bibirnya yang merah basah dan mungil itu terdengar suara seperti orang menahan tawa. Dia sama sekali tidak melawan ketika tangannya dipegang, bahkan dia merapatkan tubuhnya.

"Yo Wan, kau hebat! Dengan tangan kosong kau..."

"Cukup! Tak perlu kau melanjutkan permainan sandiwara ini. Hayo katakan semua, kalau tidak...!"

"Ihhh... dua kali kau bilang kalau tidak! Kalau tidak... kau mau apa sih?"

"Hemmm, biar pun kau sudah menolongku, mungkin pertolongan palsu, kalau kau tidak mau berterus terang, aku... aku akan mematahkan tanganmu ini!"

Mulut Yo Wan memang berkata demikian, akan tetapi hatinya ragu apakah ia akan tega merusak tangan yang berkulit halus dan hangat itu, apakah dia akan sanggup menyakiti gadis yang sejak bertemu telah menolong dan merawatnya ini.

Gadis itu semakin merapatkan tubuhnya sarnpai mukanya hampir menempel di dada Yo Wan. "Kau... betul-betul hendak mematahkan tanganku?"

"Kalau kau tidak berterus terang!"
"Wah, kau benar-benar amat tega..."

Ketika itu keduanya hampir berbareng merenggutkan tubuh masing-masing, melangkah mundur, bahkan si gadis cepat menyambar pedangnya dan melompat ke arah pintu goa itu. Tampak berkelebat bayangan orang yang amat gesit di luar goa itu. Akan tetapi ketika si gadis mengejar, bayangan itu telah lenyap. Dengan muka berkerut gadis itu kembali ke dalam goa.

"Siapa?" tanya Yo Wan. Gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Agaknya yang akan berani mengintai ke sini tentu hanya ibu seorang, akan tetapi kalau ibu tak mungkin melakukan perbuatan seperti pencuri begitu."

Yo Wan menarik napas panjang. "Nona, kuharap kau tidak mempermainkan aku lagi dan sukalah kau bercerita terus terang. Bukankah kau ini yang menyamar sebagai pria yang menjadi ketua Kipas Hitam dan bernama Yosiko?"

Gadis itu melemparkan pedangnya di atas meja kayu. Dia menghela napas, kemudian menggandeng tangan Yo Wan, diajaknya duduk di atas pembaringan kayu yang kasar. "Duduklah dan dengarkan ceritaku."

Yo Wan tidak membantah karena sebenarnya perlawanannya terhadap wanita setengah tua yang lihai tadi membuat tubuhnya lelah dan gemetar. Pula, dia memang ingin sekali mendengar penuturan gadis yang aneh ini, gadis yang membuat hatinya bingung karena biar pun gadis ini seorang bajak laut, gerak-geriknya tidak patut menjadi bajak laut yang kejam dan ganas, lagi pula kepandaiannya sangat lihai dan mengenal langkah-langkah Kim-tiauw-kun!

"Tiada gunanya menipu orang yang berpemandangan tajam seperti kau," gadis itu mulai bicara. "Aku memang Yosiko atau Yo-kongcu bila berpakaian pria, juga ketua dari Kipas Hitam."

la berhenti untuk melihat reaksi pada wajah Yo Wan. Akan tetapi oleh karena pemuda ini sudah menduga akan hal itu, maka wajahnya tak membayangkan sesuatu, tetap tenang saja.

"Hemmm, kalau begitu kita berdua masih satu she (nama keturunan)," komentar Yo Wan, keningnya berkerut karena sungguh tak sedap hatinya mendapat kenyataan bahwa dia mempunyai seorang kerabat yang kepala bajak!

Akan tetapi Yosiko tertawa. Tidak ada keindahan pada wajah manusia melebihi di waktu dia tertawa. Seorang yang buruk rupa sekali pun akan tampak menyenangkan apa bila sedang tertawa. Apa lagi tawa seorang gadis jelita seperti Yosiko!

"Namaku memang Yosiko akan tetapi sama sekali bukan she Yo! Yosiko adalah nama Jepang, ayahku seorang Jepang, seorang tokoh besar pendekar samurai yang dijuluki orang Samurai Merah!" Agaknya Yosiko bangga sekali ketika menyebut ayahnya. "Ibuku yang tadi datang menggempurmu adalah seorang pendekar wanita. Dahulu dia berjuluk Bi-yan-cu (Walet Cantik) Tan Loan Ki. Kepandaiannya hebat, bukan?"

Akan tetapi Yo Wan amat terkejut ketika mendengar nama-nama ini karena dia pernah mendengar dari suhu-nya bahwa Raja Pedang memiliki seorang keponakan perempuan yang menikah dengan seorang pendekar Jepang. Kiranya wanita setengah tua yang tadi menyerangnya adalah keponakan Si Raja Pedang. Pantas saja wanita itu beserta anak gadisnya ini mengerti akan ilmu pedang indah seperti yang dimiliki Cui Sian!

Akan tetapi Yo Wan masih belum percaya begitu saja, oleh karena dia merasa ragu-ragu mengapa keponakan Raja Pedang sampai menjadi bajak laut!

"Hemmm, kiranya baik ayah mau pun ibumu keduanya adalah pendekar-pendekar besar! Sayang anaknya menjadi kepala bajak!"

Bibir yang merah itu merengut. "Apa salahnya menjadi bajak? Kami menjadi bajak secara terang-terangan, kami menuntut pajak bagi lalu lintas laut, minta bagian dari saudagar yang banyak untungnya, apa salahnya? Mana lebih jahat dari pada menjadi pembesar-pembesar yang memeras rakyat melebihi bajak? Terlebih lagi aku menjadi kepala Kipas Hitam karena terpaksa, karena kami harus menuntut balas dan melanjutkan pekerjaan mendiang ayahku."

"Hemmm, jadi ayahmu sudah meninggal dunia dan dahulunya juga bajak laut? Ibumu juga?" tanya Yo Wan yang kini menjadi sangat terheran-heran. Bagaimana keponakan Raja Pedang bisa menikah dengan seorang kepala bajak? (Tentang Tan Loan Ki dan Samurai Merah, baca cerita PENDEKAR BUTA).

Ditanya demikian, wajah gadis itu menyuram, suaranya juga terdengar sangat sedih, dan sebelum menjawab dia menarik napas panjang. "Ayahku dahulunya bukan bajak. Sudah kukatakan, ayah seorang pendekar samurai dan karena tidak sudi diperbudak oleh kaum ningrat, ayah merantau ke Tiongkok dan di sini bertemu dengan ibuku, pendekar wanita Bi-yan-cu Tan Loan Ki. Mereka saling mencinta dan akhirnya ibu ikut dengan ayah ke Jepang. Akan tetapi, di negara Jepang, ayah menerima penghinaan dan ejekan dari para samurai lain karena sudah mengawini ibu, bukan gadis bangsa sendiri. Kemudian terjadi pertengkaran dan perkelahian. Karena dikeroyok, akhirnya ayah lari dan menjadi bajak laut antara laut Jepang dan Tiongkok. Akan tetapi, baru tiga tahun yang lalu ayah tewas karena keroyokan para pendekar Jepang dan Tiongkok. Aku melanjutkan pekerjaannya, memimpin Kipas Hitam dibantu ibu!"


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 22


Jaka Lola Jilid 21

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 21

Pada saat itu dia merasa betapa tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air, lalu dibawa berenang sambil menyelam dengan kecepatan luar biasa. Beberapa menit kemudian Yo Wan tidak ingat apa-apa lagi. Yo Wan bermimpi. la melihat seorang lelaki sederhana, berpakaian seperti petani, tetapi berwajah tampan dan bersikap gagah, berdiri tegak bersama seorang wanita cantik yang wajahnya diliputi kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya, melambaikan tangan ketika mereka berjalan meninggalkannya.

"Ayah...! Ibu...!" Yo Wan memanggil, mengeluh karena tidak dapat menggerakkan tubuh untuk mengejar mereka. la merasa seperti dalam neraka. Api neraka membakarnya, tenaganya habis dan dia tak berdaya menyingkir dari api yang mengelilinginya itu. Dadanya terasa sesak, kepalanya panas dan serasa hampir meledak. Sekali lagi dia memanggil ayah ibunya untuk minta pertolongan, namun mereka sudah terlalu jauh, hanya nampak bayang-bayang mereka saja, tidak jelas lagi. Betapa pun, Yo Wan masih dapat mengenal mereka, ayahnya yang gagah berani, ibunya yang cantik peramah.

Tiba-tiba muncul bayangan seorang gadis jelita. Sejenak dia bingung dan tidak mengenal siapa gadis ini. Wajahnya aneh, sebentar seperti Siu Bi, kemudian berubah seperti Lee Si, berubah lagi seperti wajah Bu Cui Kim, akhirnya menjadi wajah Cui Sian.

Gembira hatinya. Berdebar jantungnya. Mulutnya bergerak hendak memanggil Cui Sian, akan tetapi rasa malu dan rendah diri menahan niatnya. Cui Sian puteri Raja Pedang, mana bisa disejajarkan dengan dia? Dia seorang jaka lola, miskin dan bodoh. Mendadak semua bayangan itu ienyap. Yo Wan kecewa dan menyesal, dia mencari-cari Cui Sian, namun gadis itu tetap tidak tampak lagi. Sadarlah dia dari mimpi, sebuah mimpi kacau balau ketika dia pingsan.

Kini terasa betapa tubuhnya panas sekali dan sakit-sakit. Dia mengeluh, lalu membuka matanya, merasa heran dan bingung. Teringat dia kini betapa dia tenggelam, menahan nafas, kemudian dibawa berenang di bawah permukaan air oleh Yosiko. Otomatis dia menahan nafasnya, takut kalau-kalau air memasuki hidung dan mulut. Akan tetapi dia tidak merasakan air lagi di sekeliling tubuhnya. Perlahan dibukanya mata yang tadi sudah dia tutup kembali. Sekali lagi dia melihat bahwa dia tidak berada di dalam air, kini lebih jelas.

Ada air tampak olehnya, namun di bawah, dan dia sedang rebah di atas sebuah perahu yang bergerak perlahan dan tenang. Badannya panas bagaikan terbakar, pundak kirinya sakit sekali. Teringatlah dia bahwa pundaknya terluka oleh senjata rahasia beracun yang dilepas oleh Yosiko. Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah? Apakah ini perjalanan menuju ke alam baka melalui sungai dan naik perahu? Kembali dia mengeluh, tenggorokannya terasa sangat haus. la mengumpulkan tenaga dalam tubuhnya yang lemas, mencoba untuk bangkit dan duduk.

"Uuhhhh..."

Pundak kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kanannya meraba, kiranya di pundak kiri sebelah belakang masih menancap sebatang anak panah! Teringatlah kini Yo Wan bahwa sebelum dia tenggelam, ada anak panah yang mengenai pundaknya.

"Ee-e-eeeh... tidak boleh bangun dulu... kau harus rebah terus, miring kanan..." tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita dan ada jari-jari tangan yang halus pula merangkul pundak kanannya, lalu dengan tekanan perlahan menyuruh dia rebah kembali, terlentang agak miring ke kanan agar anak panah di pundak kirinya tidak menyentuh lantai perahu.

Yo Wan serasa mengenal suara ini, dan ini membuat hatinya kecewa. Pada saat untuk pertama kali mendengar suara wanita itu tanpa melihat orangnya, sepenuh hatinya dia berharap bahwa orang itu Cui Sian adanya. Akan tetapi kini dia merasa pasti bahwa itu bukanlah suara Cui Sian, dan kenyataannya ini mengecewakan hatinya. Suara siapakah? Serasa mengenalnya, akan tetapi dia tidak dapat memastikan siapakah wanita ini. Setelah rebah, dia memutar leher dan memandang. Seorang gadis cantik jelita sedang sibuk mendayung perahu itu.

Gadis itu memandangnya dengan bibir tersenyum dan mata bersinar-sinar. Mata itu! la tidak mengenal wajah ini, akan tetapi dia mengenal benar mata itu. Di mana gerangan? Dan suara itu! Payah Yo Wan mengingat-ingat, namun dia tetap tidak tahu di mana dan bila mana dia pernah mendengar suara ini dan melihat mata itu. Rasa panas terasa menyesakkan nafasnya.

"Uhh-uhhh... panas... haus...," bisiknya.

Gadis itu dengan gerakan perlahan menancapkan sebatang bambu panjang ke bagian yang dangkal di pinggir sungai dan perahu itu kini terikat pada bambu. Kemudian dia menghampiri Yo Wan.

"Haus? Minumlah ini, jangan banyak-banyak. Kau sedang terserang demam, akan tetapi tidak berbahaya, jangan khawatir. Nanti setelah tiba di hutan Jeng-hwa-lim (Hutan Seribu Bunga), di sana banyak tanaman obat untuk mengusir demam, juga untuk menghentikan keluarnya darah. Karena itu, biar sementara kita diamkan anak panah itu, sesampainya di sana baru dicabut."

Gadis itu bicara dengan halus dan ramah seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan baik sejak bertahun-tahun. Tiada canggung, tiada keraguan, tidak sungkan-sungkan lagi. Siapakah gadis jelita ini? Matanya begitu tajam dan bening, bersinar-sinar seperti bintang pagi yang pada saat itu masih berkedap-kedip di angkasa, menghias pagi yang sangat dingin. Hidungnya kecil mancung, menjadi imbangan yang amat manis dari bibirnya yang lunak, merah dan berbentuk indah.

"Kau siapakah, Nona?" Tak tahan lagi Yo Wan bertanya, matanya memandang wajah itu, akan tetapi keningnya berkerut-kerut menahan sakit.

Sebelum menjawab, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Gerakan kecil ini membuat ujung lengan bajunya tersingkap sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sampai ke siku membayang di balik lengan baju. Jari-jemarinya kecil meruncing dengan kuku mengkilap terpelihara. Tangan halus itu dengan gerakan lembut dan mesra menyentuh kening Yo Wan seperti biasanya orang hendak melihat panas seorang terserang demam. Kemudian dicabutnya sehelai sapu tangan merah muda dari balik bajunya dan dihapusnya kening yang penuh keringat itu, terus ke pipi dan leher Yo Wan.

Walau pun sedang menderita demam dan sakit, perbuatan ini membuat jantung Yo Wan berdebar jengah dan malu. Siapakah gadis jelita ini yang begini mesra dan begini telaten merawatnya?

"Kau... kau siapa...?" tanyanya lagi.

"Kau minum dulu ini, bukankah tadi kau bilang haus?" kata si gadis yang tanpa ragu-ragu menyorongkan lengan kirinya yang kecil ke bawah leher Yo Wan dan mengangkat kepala pemuda itu sedikit ke atas, kemudian tangan kanannya mendekatkan sebuah cawan ke mulut Yo Wan.

Pemuda ini merasakan hal yang luar biasa aneh di dalam hatinya. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Betapa tidak? Meski pun usia Yo Wan sudah cukup dewasa, sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi baru kali ini lehernya dirangkul lengan seorang wanita!

Kepalanya seakan-akan bersandar kepada pundak dan dada orang, hidungnya mencium aroma harum yang asing baginya, dan hampir saja dia tidak sanggup menelan air yang diminumnya karena tenggorokannya serasa tercekik. Namun, sebagai seorang ahli tapa, dia dapat menenteramkan hatinya dan walau pun dia sedang menderita sakit, dia dapat merasakan betapa lengan kiri yang lembut dan kecil halus itu mengandung tenaga yang hebat!

"Siapakah kau, Nona?" tanyanya lagi setelah gadis itu merebahkannya kembali.

Si gadis tersenyum. Dekik kecil pada ujung mulut sebelah kiri membuatnya manis sekali. Dekik pipi kiri ini mengingatkan Yo Wan akan sesuatu, akan tetapi dia tidak tahu benar apa dan siapakah ‘sesuatu’ itu. Hanya saja dia merasa pasti bahwa dekik ini bukan baru sekarang dia lihat!

"Apakah kau tidak bisa menduga? Aku adalah adik dari ketua Kipas Hitam! Kau terluka dan hampir saja celaka di laut. Kakakku menolongmu, kemudian menyerahkan kepadaku untuk merawatmu sampai sembuh."

Yo Wan memandang penuh perhatian. Salahkah dugaannya? Apakah betul Yosiko ketua Kipas Hitam itu mempunyai seorang adik perempuan? Wajahnya serupa benar dan kini teringatlah dia bahwa sinar mata serta dekik pada ujung mulut itu dia lihat pada wajah Yosiko! Hemmm, gadis ini adalah Yosiko sendiri, dia hampir merasa pasti akan hal itu.

Hanya ada sebuah kemungkinan lagi, yaitu bisa juga gadis ini adiknya, akan tetapi adik kembar. Hanya adik kembar yang bisa mempunyai persamaan seperti ini, bagai pinang dibelah dua. Akan tetapi, andai kata benar adiknya, mengapa begini hebat? Sebaliknya, apa bila gadis ini adalah Yosiko sendiri, mengapa harus seaneh ini sikapnya?

la tidak mau meributkan soal itu, mengingat akan keadaannya. Akan tetapi dia pun tidak mau berhutang budi kepada kepala bajak. Dengan menahan rasa sakit, Yo Wan bangun lagi, tidak peduli akan cegahan gadis itu.

"Ehh, jangan bangun... kau mau apa...?" Gadis itu bertanya, memegang lengannya.

"Aku... aku harus pergi dari sini."

"Ehh, jangan! Kau masih terluka hebat, racun di pundakmu belum keluar habis, dan anak panah itu berbahaya sekali. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?"

"Aku harus menolong muda-mudi dari Lu-liang-san. Di manakah mereka? Dan apa yang terjadi?"

Kini mereka duduk berhadapan di atas perahu dan terlihatlah kini dengan jelas oleh Yo Wan bahwa gadis di depannya itu benar cantik jelita, akan tetapi pada wajah yang elok itu terbayang sifat liar dan terbuka, bebas dan lincah seperti terdapat pada wajah Siu Bi si gadis liar dari Go-bi-san. Gadis ini masih muda, tak akan lewat dua puluh tahun usianya. Melihat kulit muka serta kulit tangan yang agak gelap dapatlah diduga bahwa gadis ini banyak berada di alam terbuka, banyak terkena cahaya matahari. Bagian yang paling menarik pada wajahnya adalah mata dan mulutnya.

Mendengar pertanyaan Yo Wan tentang muda-mudi dari Lu-liang-san, segera mata gadis itu berkilat. "Bocah-bocah kurang ajar itu! Menyesal kenapa aku tidak membunuh mereka saja. Hemmm, semestinya kakakku membunuh mereka dan melempar mayat mereka ke laut agar menjadi makanan ikan hiu ketika mereka kena tawan!"

Yo Wan mengerutkan kening. Gadis ini benar-benar seperti Siu Bi, liar dan ganas. Akan tetapi ucapan itu melegakan hatiriya, karena dalam kegemasannya gadis itu sudah jelas menyatakan bahwa muda-mudi Lu-liang-san itu tidak tewas, malah mungkin telah bebas. Kelegaan hati ini membuatnya tersenyum, akan tetapi karena pundaknya tiba-tiba terasa nyeri, senyumnya menjadi senyum menyeringai masam.

"Apa yang terjadi? Siapakah orang-orang di dalam perahu yang menyerang kita... ehhh, yang menyerang aku dan kakakmu?"

"Mereka adalah orang-orang yang dipimpin oleh Jenderal Bun di Tai-goan, dipimpin oleh putera jenderal itu sendiri. Mereka berusaha hendak menangkap kakakku. Hemmm, tikus-tikus itu mana mampu menangkap ketua Kipas Hitam? Apa lagi membasmi Kipas Hitam! Kau lihat saja betapa kami akan menghancurkan mereka nanti."

Diam-diam Yo Wan terkejut. Kiranya mereka yang menyergap dia dengan Yosiko, yang sudah melukai pundaknya, adalah orang-orang pemerintah yang bermaksud membasmi bajak laut. Dan di dalam kegelapan malam tentu saja dia yang bersama-sama dengan Yosiko disangka bajak pula! Diam-diam dia mengeluh.

"Dan mereka itu, muda-mudi Lu-liang-san itu, bagaimana dengan mereka?"

"Uhh, mereka? Biar mereka itu dimakan setan neraka. Mereka sudah bergabung dengan orang-orang Tai-goan, menyebar kematian di antara anak buah kami. Awas bila mereka terjatuh ke tanganku!"

Yo Wan girang sekali. Tak salah dugaannya dan tidak salah pula ketika dia membantu muda-mudi Lu-liang-san itu. Mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang perkasa, sedangkan Yosiko, dan adiknya ini kalau benar adiknya, serta semua anak buahnya adalah bajak laut-bajak laut yang ganas dan patut dibasmi. Berpikir demikian, tiba-tiba saja dia merasa malu. Mengapa dia harus membiarkan dirinya dirawat oleh seorang pemimpin bajak laut? Bila para pendekar kang-ouw mengetahui hal ini, alangkah akan rendah dan malunya. Pikiran ini membuat dia serentak bangkit.

Gadis itu kaget. "Ehh, mau apa kau? Mau ke mana?"

"Aku harus pergi dari sini! Harus!" la mengeluh karena pundak kirinya sakit sekali.

Dengan tangan kanan dia meraba ke belakang pundak kirinya, memegang gagang anak panah dan mengerahkan tenaga mencabutnya. Anak panah itu tercabut, darah muncrat keluar dan gadis itu menjerit berbareng dengan robohnya tubuh Yo Wan, pingsan di atas perahu!

Gadis itu cepat menerima tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting, kemudian dengan cekatan dan kelihatan ringan sekali dia memondong tubuh Yo Wan ke darat dan berlari-larilah gadis itu menuju ke sebuah hutan yang penuh dengan bunga, hutan Jeng-hwa-lim. Bagaikan berlarian di dalam taman bunga miliknya sendiri, gadis itu dengan cepatnya menuju ke sebuah goa yang berada di hutan ini. Indah sekali tempat ini. Letaknya tepat di tepi Sungai Kuning yang terjun ke dalam air Laut Po-hai, sungguh lembah yang subur dan indah. Air sungai yang amat tenang itu mengalir tak jauh di depan goa.

Apa yang diceritakan oleh gadis itu kepada Yo Wan memang tidak bohong. Orang-orang di dalam perahu-perahu sunyi gelap pada malam hari itu, bukan lain adalah orang-orang Bun-goanswe yang sedang berusaha untuk membasmi dan menangkap ketua bajak laut, dipimpin langsung oleh Bun Hui, pemuda putera Bun-goanswe yang tampan dan gagah perkasa. Ada pun Hwat Ki dan Cui Kim, ketika sadar dari pada pengaruh obat memabukkan di dalam gedung tempat tinggal ketua Kipas Hitam, kembali dirobohkan oleh Yo Wan yang menyelamatkan mereka dari sambaran senjata-senjata rahasia ampuh serta berbahaya yang dilontarkan oleh si ketua Kipas Hitam.

Namun sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hwat Ki dan sumoinya sudah meloncat bangun lagi. Mereka tahu bahwa pemuda sederhana yang membantu mereka itu sudah terluka dan kini mengejar Yosiko, maka serentak mereka berdua pun meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi begitu tiba di depan gedung, mereka dihadang oleh banyak sekali anak buah bajak laut Kipas Hitam yang bersenjata lengkap. Kemarahan Hwat Ki dan sumoinya lalu memuncak. Mereka tadi telah memungut pedang masing-masing dan kini sambil berseru marah muda-mudi Lu-liang-pai ini mengamuk. Pedang mereka berkelebatan seperti dua ekor naga sakti yang menyambar-nyambar.

Akan tetapi, para pengeroyok mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan pula. Barisan bajak yang mengeroyok mereka berdua dipimpin oleh tiga orang kakek yang tadi dikalahkan Yo Wan. Karena maklum bahwa yang hendak dikeroyok adalah dua orang muda perkasa, maka yang maju adalah anggota-anggota bajak laut pilihan yang sedikit banyak sudah memiliki kepandaian silat lumayan.

Seorang demi seorang para bajak laut itu mulai roboh. Namun yang datang membantu jauh lebih banyak dari pada yang roboh, sedangkan muda-mudi Lu-liang-pai ini masih agak pening akibat pengaruh racun tadi. Karena itu keduanya lalu beradu punggung dan mempertahankan diri dari hujan senjata dari kanan kiri. Mereka masih dapat merobohkan seorang dua orang, akan tetapi tidak mampu keluar dari kepungan yang makin tebal itu.

Agaknya para bajak sudah mendapat instruksi dari atasannya untuk bertahan sampai dua orang itu dapat ditangkap atau dibunuh. Keadaan ini bukan tidak berbahaya. Hwat Ki maklum pula akan hal ini maka sambil mengeluarkan teriakan keras dia menubruk maju, tangan kirinya menggunakan pukulan-pukulan Jing-tok-ciang sehingga terdengar pekik berturut-turut ketika empat orang roboh oleh pukulan dahsyat ini!

Akan tetapi, pukulan yang dahsyat dan berhasil baik ini ternyata malah mendatangkan mala petaka, karena tiga orang kakek itu yang melihat akan hebatnya Jing-tok-ciang, lalu memberi aba-aba dan kini para bajak menggunakan obor untuk mengurung Hwat Ki dan Cui Kim!

Pucat wajah kakak beradik seperguruan ini. Menghadapi senjata-senjata tajam dari para pengeroyok, mereka masih mampu mempertahankan diri. Akan tetapi kalau sedemikian banyaknya pengeroyok menggunakan api untuk menyerang, celakalah mereka!

"Sumoi, terjang ke kiri, cari jalan keluar melalui darah mereka!" teriak Hwat Ki kepada adik seperguruan itu.

la mendapat akal untuk menggabung tenaga menerjang ke kiri, membuka jalan berdarah. Cui Kim mengerti akan maksud suheng-nya, karena itu dia segera memutar pedangnya sedemikian cepat sehingga seorang pengeroyok yang tidak sempat menangkis, terbabat putus bahu kiri berikut lengannya. Orang itu menjerit ngeri dan roboh.

Akan tetapi Cui Kim terpaksa kembali meloncat mundur karena ada empat orang yang menyorongkan obor kepadanya. la merasa ngeri juga dan takut. Api adalah benda yang amat berbahaya, sekali mencium ujung pakaiannya, akibatnya tentu amat mengerikan.

Hwat Ki juga berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi para bajak itu ternyata dipimpin oleh orang-orang yang pandai juga, karena agaknya mereka tahu akan niat dua orang muda ini sehingga begitu mereka berdua menerjang ke kiri, bagian ini diperkuat sehingga sukarlah untuk membobolkannya.

"Gunakan jala!" Tiba-tiba terdengar perintah dan para bajak itu kini menyeret jala ikan.

Ketika mereka mulai menggunakan benda ini, Cui Kim dan Hwat Ki makin kaget. Kiranya jala ikan itu mereka lemparkan ke arah kaki kakak beradik ini. Hwat Ki dan Cui Kim cepat meloncat, akan tetapi obor-obor menyala menyambut mereka sehingga terpaksa mereka turun lagi menginjak jala. Bisa dibayangkan sukarnya orang bersilat di atas jala-jala ikan yang malang-melintang.

Mendadak terdengar Cui Kim memekik karena gadis ini terlibat kakinya dan terguling! Seorang bajak laut cepat menubruk maju. Para bajak yang terdiri dari orang-orang kasar dan liar itu di dalam hatinya saling berlomba untuk dapat menangkap si gadis cantik dari Lu-liang-san supaya sebelum menyerahkannya kepada ketua, mereka bisa memuaskan kekurang ajaran mereka.

Bajak yang menubruk maju ini berseru girang. Dia merasa menang dalam perlombaan ini sebab dapat lebih dulu memeluk Cui Kim. Akan tetapi seruan girang itu berubah seketika menjadi pekik mengerikan ketika lehernya ditembusi pedang yang berada di tangan Cui Kim.

Sebagai seorang murid Lu-liang-pai yang terkasih, tentu saja gadis ini bukanlah seorang gadis sembarangan. Meski pun dia sudah terlibat dan jatuh terguling, akan tetapi dalam robohnya dia sudah langsung membalikkan tubuh dan bersiap dengan pedangnya. Maka begitu ada bajak yang menubruknya, pedangnya bergerak dan berhasil menusuk tembus leher si bajak sehingga bajak itu seketika lantas tewas sambil membawa nafsu kekurang ajarannya ke neraka!

Cui Kim kaget sekali ketika pedangnya sukar dicabut kembali. Agaknya pedang ini sudah menembus tulang, maka tidak begitu mudah dicabut. Padahal pada saat itu, tiga orang bajak yang melihat kawannya mati dalam keadaan mengerikan, segera maju dengan obor dan golok di tangan.

Cui Kim sudah meramkan mata menunggu datangnya sang maut. Akan tetapi ia segera membuka matanya kembali ketika di sampingnya roboh berdebukan tiga orang bajak laut itu. Cepat ia bangkit berdiri dan sekuat tenaga menarik pedangnya, sambil melirik girang kepada suheng-nya yang dapat menolongnya dalam waktu yang tepat sekali. Akan tetapi suheng-nya sudah terlihat lelah sekali, juga dia merasa amat lelah biar pun kini berhasil membebaskan kakinya dari libatan jala.

Pada saat kedua orang jago muda dari Lu-liang-pai ini amat terancam kedudukannya, mendadak terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah dan kacaulah barisan para bajak laut. Mereka yang mengeroyok Hwat Ki dan Cui Kim makin berkurang dan akhirnya sisa dari mereka yang roboh tewas, membuang obor mereka dan melarikan diri, menghilang ke dalam gelap setelah terdengar tanda suara seperti terompet. Apakah yang terjadi? Selagi Hwat Ki dan Cui Kim menduga-duga dengan hati lega akibat terbebas dari pada bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang memegang pedang yang berlepotan darah.

"Saudara Hwat Ki...! Syukur kau dan sumoi-mu selamat...!"

"Eh, Bun-lote (adik Bun)! Kiranya kau yang menolong kami? Dengan siapa kau datang?" kata Hwat Ki gembira ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Bun Hui.

"Bersama pasukan khusus dari Tai-goan, dibantu pasukan dari Cin-an! Bajak laut Kipas Hitam itu harus dibasmi, mereka mengganas di mana-mana. Kau melihat ketuanya? Di mana dia?"

"Lari, tadi dikejar oleh saudara baju putih yang lihai sekali. Mudah-mudahan tertangkap," kata Hwat Ki.

"Ke mana larinya?"

"Ke sana!" kata Cui Kim yang juga girang melihat putera jenderal ini, yang pernah dia jumpai ketika pemuda itu naik ke puncak Lu-liang-san untuk bertemu dengan suhu-nya.

"Mari kita kejar!"

Mereka bertiga mengejar ke luar dan ternyata di sekitar tempat itu sudah penuh dengan anak buah yang dibawa Bun Hui. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut di mana anak buah Bun Hui dengan perahu-perahu mereka mengepung Yosiko, mereka kecewa sekali mendengar betapa ketua Kipas Hitam itu berhasil melenyapkan diri sambil menyelam. Yang amat khawatir dan kaget hatinya adalah Hwat Ki dan Cui Kim. Mereka mendengar dari orang-orang kerajaan ini bahwa mereka berhasil memanah seorang pemuda, entah ketua Kipas Hitam entah bukan karena tadinya ada dua orang pemuda yang berenang seakan-akan berkejaran atau hendak melarikan diri. Hwat Ki dan sumoi-nya khawatir, jangan-jangan penolong mereka itu yang terkena anak panah!

Mereka semua terus melakukan pengejaran dan mencari-cari. Hwat Ki serta sumoi-nya memisahkan diri, juga mereka berdua mencari. Kalau Bun Hui dan para anak buahnya mencari jejak para bajak laut yang hendak mereka basmi, adalah kedua orang muda dari Lu-liang-san ini mencari jejak pemuda baju putih yang telah menolong mereka. Mereka berdua dapat membayangkan betapa bahayanya keadaan mereka ketika mereka roboh oleh makanan yang mengandung racun. Mereka sudah pingsan dan tidak berdaya sama sekali. Entah apa yang akan dilakukan oleh ketua Kipas Hitam pada mereka dalam keadaan pingsan itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya kalau saja tidak muncul pemuda baju putih yang begitu aneh, yang tadinya sudah mereka lihat di dalam restoran di dusun Leng-si-bun.

Melihat cara pemuda pakaian putih itu menggempur Yosiko dan membuat ketua Kipas Hitam itu terdesak hebat, sudah membuktikan bahwa pemuda baju putih itu lihai bukan main. Mereka mencari terus, mencari di sepanjang lembah Huang-ho, menyusuri pantai Sungai Kuning ini….
cerita silat karya kho ping hoo

Sementara itu, Yo Wan sadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa enak dan nyaman, akan tetapi lemas sekali. Segera dia ingat akan segala peristiwa yang menimpa dirinya, maka cepat-cepat dia membuka matanya. Heran dia ketika mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang terbuat dari kayu kasar sederhana, dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Akan tetapi harus dia akui bahwa goa ini bersih sekali, kering dan dari luar masuk bau semerbak harum dibawa oleh siliran angin.

Ketika melihat tubuhnya, dia merasa heran sekali karena bajunya sudah terganti dengan baju baru yang berwarna putih, terbuat dari sutera. Baju ini bersih dan baru, jauh berbeda dengan bajunya sendiri yang sudah agak kumal. Juga sepatunya yang lenyap ketika dia bergumul dengan Yosiko di dalam laut, kini telah mendapat penggantinya berupa sepatu baru yang mengkilap. Yo Wan terheran-heran. Tentu gadis adik Yosiko itu yang memberi semua ini, karena dia sudah teringat akan peristiwa di atas perahu. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekali. Tidak mungkin! Siapa yang menggantikan pakaiannya selagi dia pingsan? Apakah gadis jelita itu?

Teringat akan ini, Yo Wan melompat bangun, jantungnya berdebar-debar. Dia mengeluh karena merasa jantung serta isi dadanya seakan-akan ditusuk-tusuk pisau. Tiba-tiba dia terbatuk dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Terdengar suara kaki berlari-lari ringan memasuki goa. Gadis jelita itu masuk, bagaikan dewi, akan tetapi yang sedang cemas. Matanya yang indah terbelalak, kedua tangannya berkembang, dan mulutnya yang kecil berseru kaget.

"Ahh, kau sudah sadar... jangan berdiri, berbaringlah dulu. Yo Wan, kau terluka parah...!"

Hanya dengan pengerahan tenaga dalamnya Yo Wan sanggup menahan dorongan dari dalam untuk batuk dan muntah darah. Dia terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa dia benar-benar telah menderita luka yang hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi dia merasa malu apa bila harus berbaring lagi, malu karena gadis ini sudah menggantikan pakaiannya. Sungguh tak tahu malu! Wajahnya menjadi merah sekali dan hampir dia tidak berani menentang pandang mata itu.

"Aku... aku harus pergi..." Dia memaksa bibirnya berkata demikian, sungguh pun hatinya merasa tidak enak. Gadis itu sudah begitu baik padanya, agaknya sudah mengobati luka di pundaknya karena pundak itu tidak terasa sakit lagi.

Dengan tenang tetapi ramah dan bebas, gadis itu melangkah dekat, memegang tangan Yo Wan sambil menuntunnya setengah memaksa, duduk di atas pembaringan kayu. Yo Wan merasa halusnya kulit tangan. Kehangatan yang keluar dari jari-jari tangan kecil itu menjalari seluruh tubuhnya, membuat dia menjadi makin bingung dan memaksa dirinya untuk tidak membantah.

"Yo Wan, ketahuilah. Biar pun luka di pundakmu sudah tidak berbahaya lagi, akan tetapi agaknya anak panah itu terlalu dalam menghujam di tubuhmu, mungkin melukai bagian penting dalam dadamu. Tadi kau muntahkan banyak darah, sudah kubersihkan, terpaksa kuganti pakaianmu dengan pakaian bersih. Tetapi sekarang kau batuk-batuk lagi, maka kau berbaringlah! Aku bukan ahli pengobatan, akan tetapi aku juga maklum bahwa dalam keadaan seperti ini, tak baik kau mengerahkan tenaga dan menggerakkan tubuh. Lebih baik kau berbaring, biar kuberi minuman yang mengandung khasiat menguatkan tubuh, kemudian akan mencari seorang tabib yang pandai untuk mengobatimu."

Mendengar ucapan ini, diam-diam Yo Wan kaget dan bingung. Omongan gadis ini sama sekali tidak mengandung maksud buruk, bahkan amat baik dan membuat dia berhutang budi. "Kenapa... kenapa kau melakukan hal ini kepadaku?" tanyanya, suara lemah, akan tetapi karena maklum akan kebenaran kata-kata gadis itu, dia tidak ingin membantah lagi dan membaringkan tubuhnya.

Gadis itu memandang kepadanya, agaknya terheran mengapa Yo Wan masih bertanya macam itu. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, tiba-tiba warna merah menjalar ke arah kedua pipi sampai ke telinga, dan aneh sekali, gadis itu menundukkan muka sambil menyembunyikan senyum dikulum.

Apa-apaan ini, pikir Yo Wan, namun jantungnya berdebar lagi sehingga cepat-cepat dia harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaannya yang berdebar dan yang akan menjadi bahaya bagi keselamatannya.

"Yo Wan, kau telah mengalahkan ketua Kipas Hitam, ingatkah? Kepandaian kakakku itu bukan apa-apa bagimu, kau jauh lebih lihai, bahkan sepuluh kali lipat lebih lihai dari pada kakakku. Karena itu, sudah sewajarnya dan seharusnya kalau aku merawatmu."

Yo Wan meramkan matanya, mengingat-ingat. Teringat dia akan ucapan Yosiko ketika hendak bertanding menghadapi Hwat Ki. Yosiko menyatakan bahwa adik perempuannya menghendaki jodoh yang mampu mengalahkan Yosiko! Dan kini, adik Yosiko ini agaknya kagum akan kepandaiannya. Celaka! Hampir Yo Wan melompat bangun, kalau saja dia tidak merasa betapa dadanya yang sebelah kiri sakit sekali. Ini hanya berarti bahwa gadis liar dan bebas ini sudah memilihnya sebagai calon jodoh!

Ah, gerak-gerik gadis ini! Sepasang mata dan senyum itu! Salahkah dugaannya bahwa Yosiko ketua Kipas Hitam adalah penyamaran gadis ini? Akan tetapi mengapa gadis ini mengaku sebagai adiknya ketua Kipas Hitam? Andai kata betul gadis ini adiknya, dapat dipastikan bahwa mereka tentulah saudara kembar, karena wajah serta gerak-geriknya serupa benar. Hanya pakaian saja yang berbeda!

Sambil berbaring di atas dipan kayu itu, Yo Wan mengingat-ingat. Hatinya girang kalau dia teringat akan muda-mudi dari Lu-liang-san itu, terutama melihat betapa Tan Hwat Ki, cucu Raja Pedang, ternyata adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, patut menjadi cucu Raja Pedang, patut menjadi keponakan... Cui Sian! Berpikir sampai sini, mendadak saja semua lamunannya lenyap, yang nampak dan teringat hanyalah gadis puteri Raja Pedang itu, Cui Sian!

"Kenapa? Sakit sekalikah rasanya? Kau mengasolah, biar besok aku pergi mengundang seorang tabib yang pandai."

Yo Wan tidak menjawab, hanya mengangguk, akan tetapi keningnya berkerut. Dia sudah dirawat oleh keluarga bajak laut yang mengganas di pesisir Laut Po-hai! Dia berada di tangan orang jahat, akan tetapi ‘orang jahat’ itu justru merawat lukanya akibat serangan anak panah seorang anggota pasukan pemerintah!

Gadis ini amat mencurigakan. Apa alasannya merawat dia yang terang-terang memusuhi ketua Kipas Hitam? Tak mungkin! Gadis ini amat cantik jelita, dan kalau benar adik ketua Kipas Hitam, berarti seorang yang memiliki kedudukan, meski pun hanya menjadi ketua Hek-san-pang.

Mana mungkin seorang gadis jelita seperti ini mencintainya! Lalu apa pula kehendaknya? Merawat seorang musuh. Tentu ada apa-apanya yang tersembunyi di balik perawatan ini. Mendadak dia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang tak tertahankan. Ingat dia akan obat yang diminumnya tadi, yang diminumkan oleh gadis itu.

Kecurigaannya makin menebal. Jangan-jangan dia sudah diberi minum obat bius. Ia ingin melompat dan menangkap gadis itu, lalu memaksanya membuat pengakuan. Akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dia tahan lagi dan di lain saat Yo Wan sudah jatuh pulas.

Suara orang bercakap-cakap dengan bisikan-bisikan lirih membuat Yo Wan tersadar dari tidurnya. Akan tetapi Yo Wan tidak segera membuka mata, melainkan memperhatikan percakapan itu dengan rasa heran. Ada dua orang berbicara, seorang adalah gadis yang merawatnya, yang seorang lagi tentu seorang wanita pula, suaranya merdu dan tekanan kata-katanya tegas.

"Dia kelihatan lemah, aku tidak percaya...," kata suara ke dua.

"Pernahkah aku membohong?" kata suara si gadis, manja dan marah. "Dia amat hebat, kau sendiri tidak akan mampu menang..."

"Hemmm, sebelum mencoba, mana aku bisa percaya obrolanmu?"

Yo Wan membuka sedikit pelupuk matanya. Dari balik bulu matanya dia melihat pakaian-pakaian bergantungan di atas, agaknya pakaian-pakaian yang baru habis dicuci. Terlihat olehnya pakaiannya sendiri, dan pakaian sutera putih, pakaian Yosiko!

Ahhh, lagi-lagi pakaian ketua Kipas Hitam! Kalau pakaiannya berada di sini, bahkan bisa memberi pinjam pakaian kepadanya, orangnya tentu di sini pula. Dan siapa lagi kalau bukan gadis ini orangnya?

"Dia tidak tampan sekali, juga tidak muda lagi, sedikitnya enam tujuh tahun lebih tua dari padamu... hemmm, aku khawatir kau salah pilih..."

"Lihat, dia sadar..."

"Biar kucoba dia!"

Yo Wan cepat-cepat mempergunakan ginkang-nya untuk membuang tubuhnya dari atas pembaringan pada saat dia mendengar desir angin pukulan yang menggetar-getar. Angin pukulan itu tidak mengenai dirinya, hanya menyambar pembaringan kayu, akan tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada pembaringan itu, melainkan tikar yang menjadi tilam pembaringan seperti tertiup angin.

Diam-diam Yo Wan terkejut. Lweekang wanita itu hebat, akan tetapi jelas bahwa wanita itu tidak mengirimkan pukulan maut. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan mencoba atau mengujinya!

Cepat dia membalikkan tubuh dan memandang. Kiranya di samping gadis itu telah berdiri seorang wanita setengah tua yang cantik pula, sikapnya kereng, kedua matanya amat tajam membayangkan kekerasan hati, bentuk mukanya serupa benar dengan gadis itu, dan di punggung wanita setengah tua ini tersembul gagang sebuah pedang. Yang amat berbeda dengan gadis itu adalah pakaiannya. Kalau gadis itu mengenakan pakaian serba putih dengan hiasan warna merah muda, pakaian wanita setengah tua itu berwarna serba hitam.

Yo Wan hendak bertanya, akan tetapi dia tidak diberi kesempatan lagi karena wanita itu telah menerjangnya dengan pedang di tangan. Serangan-serangannya sangat hebat dan ganas, namun amat indah seperti orang menari-nari. Menyaksikan ilmu pedang ini, jantung Yo Wan lantas berdebar. Ilmu pedang yang hebat! Serupa benar dengan ilmu pedang yang pernah dilihatnya dalam permainan pedang Cui Sian. Indah bagaikan tarian, namun mengandung daya serang yang sangat ganas! Dan gerakan kaki itu! Jelas adalah inti dari Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te, yang merupakan cabang dari Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun. Siapakah wanita ini?

Karena dia bertangan kosong, Yo Wan terpaksa memainkan langkah-langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Ruangan dalam goa itu remang-remang, hanya diterangi oleh sinar penerangan pelita sumbu minyak sederhana, maka untuk menyelamatkan diri tak cukup mengandalkan penglihatan yang menjadi silau oleh berkelebatnya kilatan pedang.

Namun Yo Wan telah memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan perasaannya yang peka serta pendengarannya yang amat tajam dia dapat mengetahui dari mana senjata lawan menyambar dan bagaimana sifat-sifat penyerangan lawannya yang cukup lihai ini. Berkali-kali wanita setengah tua itu mengeluarkan ucapan heran menyaksikan betapa Yo Wan selalu dapat menghindarkan serangannya, dan dari sikap heran menjadi penasaran, kemudian menjadi marah. Hal ini terbukti pada serangannya yang semakin gencar dan sungguh-sungguh, bahkan kini setiap sambaran pedangnya merupakan jurus-jurus maut.

Yo Wan terkejut dan khawatir. Dia merasa betapa nyeri di dalam dadanya masih hebat, punggungnya terasa panas dan setiap gerakan yang membutuhkan pengerahan tenaga agak banyak, terasa darah segar naik ke kerongkongannya. Dia maklum bahwa untuk membalas serangan wanita yang galak ini, tidak mungkin tanpa membahayakan lukanya sendiri. Maka, terpaksa dia hanya dapat mengelak dan seratus persen mengandalkan keampuhan langkah-langkah ajaib Si-cap-it Sin-po.

Masih untung bagi Yo Wan bahwa ruangan dalam goa itu cukup luas sehingga dengan leluasa dia dapat mainkan Si-cap-it Sin-po. Dan lebih untung lagi bahwa wanita setengah tua ini agaknya hanya paham Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te yang tentu saja tidak seluas Si-cap-it Sin-po yang mempunyai ragam sebanyak empat puluh satu langkah. Hui-thian Jip-te hanya mempunyai dua puluh empat langkah.

Dengan demikian, maka sebegitu jauh Yo Wan selalu masih dapat meloloskan diri, biar pun kadang-kadang dia seperti sudah terkurung dan hanya mampu lolos melalui lubang jarum! Makin lama gerakan Yo Wan makin lemah karena rasa nyeri dalam dada dan di punggungnya makin menghebat. Dia telah mempertahankan diri sampai lebih dari lima puluh jurus, selalu diserang tanpa dapat membalas kembali.

"Cukup!" teriak si gadis dengan suara gelisah. "Dia dapat mempertahahkan diri sampai puluhan jurus, padahal dia terluka hebat di punggungnya, dan racun masih belum bersih betul! Bukankah itu sudah luar biasa sekali? Mana ada orang lain yang dapat menahan seranganmu sampai puluhan jurus dengan tangan kosong?"

Akan tetapi wanita setengah tua itu agaknya sudah terlanjur marah dan penasaran. Dia hanya mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya, pedangnya terus mendesak dan melancarkan serangan yang hebat. Ketika itu Yo Wan sudah merasa pening kepalanya dan pandang matanya kabur. Pada waktu melangkah mundur, kakinya tertumbuk pembaringan sehingga tubuhnya terguling. Pedang di tangan wanita setengah tua itu menyambar ke arah lehernya.

"Tranggggg...!" Pedang itu tertangkis oleh pedang di tangan si gadis.

"Masa kau hendak berlaku curang terhadap dia?" Gadis itu memekik.

Si wanita setengah tua melompat mundur, lalu mendengus marah, "Hemmm, biarkan dia sembuh dan beri dia senjata. Dia harus bisa mengalahkah aku, baru hatiku puas!"

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan melompat keluar dari dalam goa itu. Gadis itu menarik napas panjang dan melemparkan pedangnya ke atas meja. Yo Wan sudah bangkit kembali dan dengan hati penuh kemarahan dia melompat maju, lalu menangkap tangan kanan gadis itu.

"Apa artinya semua ini? Siapa wanita itu tadi? Hayo kau lekas mengaku semuanya dan apa maksudmu menahan dan pura-pura menolongku di sini! Lekas kau mengaku, kalau tidak...!"

Gadis itu tersenyum manis. Bukan main cantiknya wajah di depan Yo Wan itu. Matanya terbuka, terbelalak lebar seperti orang kaget dan heran, mulutnya agak terbuka, dan dari balik sepasang bibirnya yang merah basah dan mungil itu terdengar suara seperti orang menahan tawa. Dia sama sekali tidak melawan ketika tangannya dipegang, bahkan dia merapatkan tubuhnya.

"Yo Wan, kau hebat! Dengan tangan kosong kau..."

"Cukup! Tak perlu kau melanjutkan permainan sandiwara ini. Hayo katakan semua, kalau tidak...!"

"Ihhh... dua kali kau bilang kalau tidak! Kalau tidak... kau mau apa sih?"

"Hemmm, biar pun kau sudah menolongku, mungkin pertolongan palsu, kalau kau tidak mau berterus terang, aku... aku akan mematahkan tanganmu ini!"

Mulut Yo Wan memang berkata demikian, akan tetapi hatinya ragu apakah ia akan tega merusak tangan yang berkulit halus dan hangat itu, apakah dia akan sanggup menyakiti gadis yang sejak bertemu telah menolong dan merawatnya ini.

Gadis itu semakin merapatkan tubuhnya sarnpai mukanya hampir menempel di dada Yo Wan. "Kau... betul-betul hendak mematahkan tanganku?"

"Kalau kau tidak berterus terang!"
"Wah, kau benar-benar amat tega..."

Ketika itu keduanya hampir berbareng merenggutkan tubuh masing-masing, melangkah mundur, bahkan si gadis cepat menyambar pedangnya dan melompat ke arah pintu goa itu. Tampak berkelebat bayangan orang yang amat gesit di luar goa itu. Akan tetapi ketika si gadis mengejar, bayangan itu telah lenyap. Dengan muka berkerut gadis itu kembali ke dalam goa.

"Siapa?" tanya Yo Wan. Gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Agaknya yang akan berani mengintai ke sini tentu hanya ibu seorang, akan tetapi kalau ibu tak mungkin melakukan perbuatan seperti pencuri begitu."

Yo Wan menarik napas panjang. "Nona, kuharap kau tidak mempermainkan aku lagi dan sukalah kau bercerita terus terang. Bukankah kau ini yang menyamar sebagai pria yang menjadi ketua Kipas Hitam dan bernama Yosiko?"

Gadis itu melemparkan pedangnya di atas meja kayu. Dia menghela napas, kemudian menggandeng tangan Yo Wan, diajaknya duduk di atas pembaringan kayu yang kasar. "Duduklah dan dengarkan ceritaku."

Yo Wan tidak membantah karena sebenarnya perlawanannya terhadap wanita setengah tua yang lihai tadi membuat tubuhnya lelah dan gemetar. Pula, dia memang ingin sekali mendengar penuturan gadis yang aneh ini, gadis yang membuat hatinya bingung karena biar pun gadis ini seorang bajak laut, gerak-geriknya tidak patut menjadi bajak laut yang kejam dan ganas, lagi pula kepandaiannya sangat lihai dan mengenal langkah-langkah Kim-tiauw-kun!

"Tiada gunanya menipu orang yang berpemandangan tajam seperti kau," gadis itu mulai bicara. "Aku memang Yosiko atau Yo-kongcu bila berpakaian pria, juga ketua dari Kipas Hitam."

la berhenti untuk melihat reaksi pada wajah Yo Wan. Akan tetapi oleh karena pemuda ini sudah menduga akan hal itu, maka wajahnya tak membayangkan sesuatu, tetap tenang saja.

"Hemmm, kalau begitu kita berdua masih satu she (nama keturunan)," komentar Yo Wan, keningnya berkerut karena sungguh tak sedap hatinya mendapat kenyataan bahwa dia mempunyai seorang kerabat yang kepala bajak!

Akan tetapi Yosiko tertawa. Tidak ada keindahan pada wajah manusia melebihi di waktu dia tertawa. Seorang yang buruk rupa sekali pun akan tampak menyenangkan apa bila sedang tertawa. Apa lagi tawa seorang gadis jelita seperti Yosiko!

"Namaku memang Yosiko akan tetapi sama sekali bukan she Yo! Yosiko adalah nama Jepang, ayahku seorang Jepang, seorang tokoh besar pendekar samurai yang dijuluki orang Samurai Merah!" Agaknya Yosiko bangga sekali ketika menyebut ayahnya. "Ibuku yang tadi datang menggempurmu adalah seorang pendekar wanita. Dahulu dia berjuluk Bi-yan-cu (Walet Cantik) Tan Loan Ki. Kepandaiannya hebat, bukan?"

Akan tetapi Yo Wan amat terkejut ketika mendengar nama-nama ini karena dia pernah mendengar dari suhu-nya bahwa Raja Pedang memiliki seorang keponakan perempuan yang menikah dengan seorang pendekar Jepang. Kiranya wanita setengah tua yang tadi menyerangnya adalah keponakan Si Raja Pedang. Pantas saja wanita itu beserta anak gadisnya ini mengerti akan ilmu pedang indah seperti yang dimiliki Cui Sian!

Akan tetapi Yo Wan masih belum percaya begitu saja, oleh karena dia merasa ragu-ragu mengapa keponakan Raja Pedang sampai menjadi bajak laut!

"Hemmm, kiranya baik ayah mau pun ibumu keduanya adalah pendekar-pendekar besar! Sayang anaknya menjadi kepala bajak!"

Bibir yang merah itu merengut. "Apa salahnya menjadi bajak? Kami menjadi bajak secara terang-terangan, kami menuntut pajak bagi lalu lintas laut, minta bagian dari saudagar yang banyak untungnya, apa salahnya? Mana lebih jahat dari pada menjadi pembesar-pembesar yang memeras rakyat melebihi bajak? Terlebih lagi aku menjadi kepala Kipas Hitam karena terpaksa, karena kami harus menuntut balas dan melanjutkan pekerjaan mendiang ayahku."

"Hemmm, jadi ayahmu sudah meninggal dunia dan dahulunya juga bajak laut? Ibumu juga?" tanya Yo Wan yang kini menjadi sangat terheran-heran. Bagaimana keponakan Raja Pedang bisa menikah dengan seorang kepala bajak? (Tentang Tan Loan Ki dan Samurai Merah, baca cerita PENDEKAR BUTA).

Ditanya demikian, wajah gadis itu menyuram, suaranya juga terdengar sangat sedih, dan sebelum menjawab dia menarik napas panjang. "Ayahku dahulunya bukan bajak. Sudah kukatakan, ayah seorang pendekar samurai dan karena tidak sudi diperbudak oleh kaum ningrat, ayah merantau ke Tiongkok dan di sini bertemu dengan ibuku, pendekar wanita Bi-yan-cu Tan Loan Ki. Mereka saling mencinta dan akhirnya ibu ikut dengan ayah ke Jepang. Akan tetapi, di negara Jepang, ayah menerima penghinaan dan ejekan dari para samurai lain karena sudah mengawini ibu, bukan gadis bangsa sendiri. Kemudian terjadi pertengkaran dan perkelahian. Karena dikeroyok, akhirnya ayah lari dan menjadi bajak laut antara laut Jepang dan Tiongkok. Akan tetapi, baru tiga tahun yang lalu ayah tewas karena keroyokan para pendekar Jepang dan Tiongkok. Aku melanjutkan pekerjaannya, memimpin Kipas Hitam dibantu ibu!"


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 22