Jaka Lola Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 10

Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membedah dan mengeluarkan jarum di pundaknya. Hidung kecil mancung itu menyedot dan mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, dua mata seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja.

Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki oleh dewi kahyangan, bukan iblis betina yang kejam.

Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu sambil berkata, "Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar dengan sinkang.”

Sebagai putera Pendekar Buta, tentu saja Swan Bu maklum akan hal ini, bahkan andai kata tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiri pun sanggup melakukannya. Sekarang dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, namun sebagian besar lagi untuk menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang jelas adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung mancung, mata bintang, serta nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!

Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Mengapa darah yang teracuni belum juga keluar dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah sinkangnya oleh racun jarum merah itu?

Dia menjadi tidak sabar lagi. Tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu, kemudian menyalurkan sinkang dan membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah!

Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu lalu membuka mata dan memandang heran, akan tetapi kedua matanya segera ditutupnya kembali. Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera juga makin kacau-balau. Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasakan betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, semakin lama semakin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu kaget dan bergidik.

Kiranya gadis yang berwajah bagai dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat-cepat dia mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan sinkang ke arah dada serta pundak kanan untuk menjaga diri. Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka berdua merasa betapa tenaga sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba saja Siu Bi menjerit perlahan, badannya serasa terbakar. Swan Bu bergoyang-goyang badannya, lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!

Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, dua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi sudah mengerahkan sinkang-nya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena dia mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang dia dapatkan dari kakeknya dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu. Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu.

Maka ketika ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu, malah merusak dan mengacaukan penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia sadari kekuatan mukjijat dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara hebat. Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang mengancamnya ini membuat kekacauan perasaannya yang tadi terganggu oleh kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia mengerahkan tenaga dalam untuk menolak bahaya itu. Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan sifatnya, lalu bertemu dan beradu dengan amat hebatnya.

Siu Bi kalah kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu membuat tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri. Sebaliknya Swan Bu yang lebih dulu menerima serangan, tidak terluput dari luka dalam, sehingga keduanya roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan terluka hebat di sebelah dalam tubuh. Pada saat Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka matanya. Tadinya dia serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam di antara ombak besar yang hendak menelan dirinya bersama Siu Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasakan kenikmatan yang luar biasa, merasakan kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya.

Kemudian Siu Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu amat marah dan memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu menjerit dan lenyap ditelan ombak. Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya. Dengan nafas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala yang terjadi. Tadi dia roboh berbareng dengan Siu Bi, di tengah hutan. Akan tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, akan tetapi di dalam sebuah ruangan yang sangat kasar, ruangan sebuah goa yang kotor dan lembab.

Dan di sudut sana, di dekat dinding batu goa, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis itu membelalak ketakutan dan bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang membuat Swan Bu terkejut adalah makhluk yang berdiri dekat Siu Bi. Makhluk mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga manusia hutan atau manusia gila. Makhluk ini seorang laki-laki, sukar menaksir usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi. Bertelanjang, kecuali sehelai cawat dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak bongkok, kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.

"He-heh-heh... ha-hah-hah... cantik... muda...," terdengar dia bicara, suaranya parau dan kata-katanya kurang jelas.

Tangan yang lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah robek. Sekali tangan itu menarik, terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam berwarna merah muda. Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu sekarang menjadi lirih sekali dan gerakannya begitu lemah. Teringatlah dia. Tentu Siu Bi juga terluka parah, sama seperti dia.

Siu Bi berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh, "Jangan... bunuh saja... bunuh aku..."

"He-he-he, Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!"

"Bedebah! Binatang! Aku tidak sudi... kau bunuh saja aku...!" Dalam kelemahannya, Siu Bi masih galak dan memaki kalang-kabut.

"Ha-hah-hah, kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, aku pun belum punya isteri... apa salahnya? Kau jadi isteriku... hah-hah-hah, dan dia itu jadi bujang kita..."

"Hee, tunggu dulu!" Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia jatuh terduduk dan mengeluh. Dadanya terasa sangat sakit. Maklumlah dia bahwa pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi dadanya, luka yang cukup parah. la tahu bahwa hal itu akan membuat dirinya kehilangan tenaga dalamnya untuk sementara. Mungkin untuk beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali kesehatannya.

Agaknya juga demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya mereka berdua akan menjadi orang-orang lemah, tidak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang liar itu kelihatannya kuat sekali.

"Heh-heh-heh, orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi bujang pun kurang berharga. Huh!"

Diam-diam agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa kakek liar atau gila itu tidak dapat disebut ahli ilmu silat karena tidak mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena luka dalam. Hal ini mendatangkan harapan. Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biar pun memiliki tenaga besar, lebih mudah dilawan apa bila dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus bisa mencari akal, agar supaya kakek itu... agar dia jangan mengganggu Siu Bi.

"Lopek, harap kau jangan mengganggu dia..."

"Eeehhhhh, kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau menjadi bujang kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia ini, dia isteriku yang muda... heh-heh-heh, yang cantik... heh-heh-heh. Aku laki-laki kesunyian, bertahun-tahun..., dia perempuan... tidak ada yang punya... cocok sekali...!"

"Lopek, tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!"

Tiba-tiba kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkul itu, cepat-cepat melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan gerakan yang cepat sekali.

"Apa kau bilang?! Perempuan ini punyamu? Bagaimana...? Apa maksudmu?"

Swan Bu menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot padanya. "Lopek, dia ini... dia isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri orang lain!"

"Heh...? Hoh...? Isterimu...?!" Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar jelas membayangkan kekecewaan besar.

"Bohong dia!" Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan sekeras biasanya.

Tenaganya sangat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan ini cukup membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanya gelap. Celaka, pikirnya, gadis tolol! Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira, mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar nyongat ke sana-sini, lalu tertawa-tawa girang.

"Hah? Dia bohong, ya? Bukan isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak ada yang punya? Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau isteriku..." Kakek itu menggerakkan tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi.

Gadis ini menjadi pucat. "Tidak... tidak...! Bukan begitu...! Aku... aku... isterinya!"

Kembali tangan berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.

"Apa? Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?"

"Ohhh..." sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat betapa Swan Bu tersenyum-senyum!

"Dia tidak bohong bahwa aku isterinya, tetapi... tetapi dia bohong bahwa dia sangat... mencintaiku."

Muka liar itu berkerut-kerut. "Huh...? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai dahulu, baru aku mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu. Senang, kan?"

Kakek itu kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk, "Orang muda, kau ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku, biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi, untuk apa? Kau baik, ya? Berikan saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hah-hah!"

Swan Bu tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah orang yang berotak miring. Agaknya terlalu lama terasing di dalam hutan dan berubah seperti binatang. Akan tetapi agaknya masih belum lupa akan ‘kesopanan’ di antara manusia, antara lain bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai!

la melirik ke arah Siu Bi yang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata kelinci dikejar harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan aku bohong tadi.

"Lopek, terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka lagi kepadaku. Kalau sudah tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan kulepaskan dia dan boleh dia menjadi isterimu."

Kakek itu tiba-tiba memeluk Swan Bu dan... mencium pipinya. "Ha-ha-ha, anak baik! Kau baik sekali. Terima kasih, ya? Bagus… bagus, dia sudah tidak cinta lagi padamu, boleh menjadi isteriku..." Setelah berkata demikian dia meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena di situ tertinggal ludah dari mulut kakek gila.

Kini Siu Bi yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu bicara ia telah mendahului, suaranya penuh rasa takut, "Tidak, dia main-main saja! Aku... aku cinta kepadanya. Kakek baik, aku isterinya..,.. aku cinta padanya. Dan dia pun cinta kepadaku... kami hanya bertengkar sedikit... aku tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai."

Kakek itu tersentak kaget dan kecewa bukan main. "Aahhh? Kau lebih suka kepada dia yang lemah itu? Wah... celaka... aku tetap kesepian..."

"Kakek yang baik. Kau sudah tua, aku lebih patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi isterimu..."

"Heh, kau suka padaku?"

"Tentu saja, aku suka padamu seperti kepada ayahku sendiri. Tetapi aku... aku... cinta padanya, pada suamiku..."

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah kepada Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. Dia tersenyum lebar dan memandang Siu Bi dengan mata mengejek dan menggoda.

"Bagus! Aku memang tidak punya anak. Heh-heh-heh, bagus!"

Dan kakek itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling pandang, bingung akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara dari bahaya.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh ke arah Swan Bu dengan sikap marah. "Kau suaminya, kau anak mantuku. Tetapi kau tidak baik kepadanya, ya? Berani kau tidak mencinta anakku? Dia susah dan marah, tapi kau diam saja? Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi berani kau membikin marah anakku, kupecahkan kepalamu!"

Kedua tangannya yang berbulu itu diayun ke kanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu padas dan somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat.

"Nah, kepalamu akan seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia cinta padamu maka kau pun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu, dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang aku ingin sekali punya cucu, ha-ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki sebelum kesabaranku hilang!"

Swan Bu mengeluh di dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau tidak karuan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biar pun tadinya dia merasa geli dan gembira melihat gadis itu terpojok, akan tetapi kini dia dapat mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan seorang gadis.

"Lopek, kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani. Kami sedang terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami hampir mati kelaparan..."

Kakek itu mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. "Kau benar laparkah, anakku? Kucarikan buah-buahan untukmu, ya?"

Siu Bi sudah tidak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala macam tadi membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas lalu sebentar merah seperti dicat. la kini hanya mampu mengangguk-angguk saja.

"Ha-ha-ha, bagus. Tunggulah sebentar, akan kucarikan buah-buahan yang masak dan manis!" Kakek itu tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam goa itu. Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa.

Dari sini saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu mampu berlari cukup cepat sehingga dalam keadaan terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk melarikan diri, karena tentu akan tersusul. Kakek itu selain dapat berlari cepat, pasti juga sudah hafal akan keadaan di dalam hutan.

Tiba-tiba dia melihat Siu Bi dengan susah payah berusaha bangun, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik itu terbayang sikap mengancam dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi berteriak-teriak, akan tetapi suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga.

"Monyet kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau berani bilang .aku... aku… isterimu...? Keparat!"

Swan Bu tersenyum mengejek. "Kaulah yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan untuk menolong kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai isteriku. Kau marah, ya? Hemmm, apakah kau lebih suka menjadi isteri kakek itu?"

”Keparat! Kubunuh kau...!"

Siu Bi mengepal tinju dan terhuyung maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi dia mengeluh dan terguling roboh! Namun dengan terengah-engah dia bangun kembali, berusaha merangkak mendekati Swan Bu.

"Hemmm, perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarang pun masih untung. Masa kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik lekas bersila, menyehatkan kembali luka di dalam tubuh dengan pernafasan baru. Setelah kita sama-sama sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi kakek gila itu!"

Setelah berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi. Dia bersila sambil meramkan matanya dan melakukan semedhi. Akan tetapi keadaan gadis itu amat mengganggunya sehingga kembali dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi dari balik bulu matanya. Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah oleh air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang agak pucat itu bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan, “…kubunuh kau... kubunuh kau..."

Terpaksa dia membuka matanya dan berkata tenang, "Kau tenanglah dan pikir baik-baik. Aku tidak takut kau bunuh, tetapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya apa bila aku melawan dan kau yang mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula...”

Siu Bi memandang marah. "Kubunuh kau kemudian aku melarikan diri!" katanya sambil merangkak makin dekat.

Akan tetapi Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia hanya berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga serangan tiba-tiba. Betapa pun juga, dia tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.

Agaknya kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, dia hendak membuntungi lengan tangannya tetapi belum berhasil, ditambah pertempuran yang juga belum dapat ditentukan kalah menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacau-balau mengenai anak segala oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan menganggapnya sebagai penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun tangan memukul.

Swan Bu yang tidak meram betul, tapi mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi yang berjongkok itu hampir tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang.

la menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar pun muncrat dari mulutnya.

”Tenanglah, bernafas yang panjang dan kumpulkan sinkang..." Swan Bu berkata khawatir sekali karena maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul ke dalam dadanya sendiri yang membuat lukanya semakin parah. la tidak ingat lagi bahwa gadis ini adalah musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh janggal betapa ia mengkhawatirkan keadaan gadis ini.

Namun Siu Bi tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi. Kini kedua tangannya bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah leher. Swan Bu maklum bahwa jika dia menangkis atau mengelak, maka gadis itu akan terluka semakin parah. Cepat dia menggerakkan kedua tangannya dan pada lain saat dia telah menangkap kedua pergelangan tangan Siu Bi.

"Lepaskan... lepaskan...!" Siu Bi meronta-ronta.

Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas, gadis itu akan kembali mengirim pukulan dari jarak dekat. Sekali dia kena pukul, mungkin dia tak akan kuat menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia memegang kedua pergelangan tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.

Selagi mereka bersitegang, berkutetan bagai orang bergulat itu tiba-tiba terdengar suara, "Heh-heh-heh, kalian berkelahi...?"

Siu Bi dan Swan Bu terkejut sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi, hanya dua akibatnya, Swan Bu akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!

"Lekas...," bisik Swan Bu.

Mendadak ia melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, kemudian kedua lengannya merangkul leher gadis itu, dipeluk dan didekapnya. Ketika matanya mengerling dan dia melihat kakek itu masih ragu-ragu berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik kepala Siu Bi ke atas dan... dia menciumi muka Siu Bi.

"Auhhh... ahhh..."

Hampir saja Siu Bi pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya, hidungnya, matanya. Serasa kepalanya disambar petir menjadi tujuh keliling, matanya melihat seribu bintang menari-nari dan telinganya mendengar seribu suara melengking-lengking, akhirnya… dia roboh pulas atau setengah pingsan di atas pangkuan dan dada Swan Bu!

"Heh-heh-heh, bagus... bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas mendapatkan cucu laki-laki, heh-heh-heh!"

Kakek itu melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang baru masak, kemerahan dan harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi kini terselip pada ikat pinggang kakek itu, berlepotan getah, agaknya pedang itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!

"Aku memanggang daging di luar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak bila mana sudah sembuh, kalian yang harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh bersusah-payah melayani anak dan mantu. Aturan mana ini?" Kakek itu mengomel panjang pendek.

"Maafkanlah, Lopek. Kini kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama sepekan, kami tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu."

Kakek itu masih saja tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam goa. Langkahnya bagai langkah monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir saja, pikirnya. Mereka berdua tadi sudah berada di ambang jurang maut! la melirik ke arah Siu Bi yang masih ‘pulas’ di atas pangkuannya. Swan Bu tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh.

Tanpa dia sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi yang pingsan itu hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di dada, cantik jelita dan menimbulkan iba. Sedikit pun wajah itu tidak lagi dinodai keliaran atau kemarahan, tidak lagi galak seperti pada waktu marah. Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk-tusuk, perasaannya diremas-remas dan seperti dalam mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.

"Siu Bi... jangan marah padaku, Siu Bi... jangan memusuhi aku..." la berbisik-bisik dekat telinga gadis itu.

Siu Bi bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam di mana tiada permusuhan antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka berada di dalam taman nan indah, bersendau-gurau, bermain-main dan suami tercinta membelai, mencumbu rayu. la pun membalas dengan mesra, penuh cinta kasih.

Siu Bi sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak ia bingung. la berada dalam pelukan Swan Bu, malah dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir Siu Bi menjerit. Sekarang semua teringat olehnya. Dengan seruan tertahan ia merenggut diri, berusaha melompat mundur akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat ia terguling guling.

"Kau... kau..." la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang ke arah Swan Bu melalui linangan air mata.

"Aku cinta padamu, Siu Bi." Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan dengan penuh perasaan. "Tetapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi si gila itu."

Sesudah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan matanya, nafasnya panjang-panjang. Di wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan. Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, lalu duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang ke arah Swan Bu.

Sukar baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek Hek Lojin terbayang di hadapan matanya. Cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang ke arah bagian dada yang terluka di sebelah dalam.

Tiga hari lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan luka masing-masing. Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan selalu memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.

Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, hanya diam tanpa memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak ‘mimpi’ itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api unggun di depan goa, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi. Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Pada saat menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Untuk sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.

"Ha-ha-ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis..."

Akan tetapi kata-katanya terhenti di situ karena mendadak Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat. Tiga kali pukulan Hek-in-kang, biar pun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi juga telah berhasil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek itu.

"Aduhh... auhhh..." tubuh kakek itu bergulingan, dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-beng-kiam datang menyambar dan tubuh kakek itu rebah tidak bergerak lagi. Darah menyemprot ke luar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun yang secara perlahan-lahan menjadi padam.

Dengan pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi segera berlari memasuki goa. Di bawah cahaya remang-remang dia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi sangat beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.

"Swan Bu, terimalah pembalasan kakekku!" Siu Bi berseru.

Swan Bu terkejut dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata. Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas sikunya, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling, pingsan.

Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba dia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang tidak bergerak dan mukanya pucat seperti mayat.

Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah di dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian dia menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya.

Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang mata itu memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek, amat menusuk perasaan.

"Siu Bi... kini kau sudah puas...? Ahh, alangkah cantiknya engkau... alangkah manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari..." Seperti orang gila, mulut Swan Bu tersenyum-senyum.

Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian dengan sekali renggut dia melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu berlari keluar dari goa. Isak tangisnya terdengar bergema di dalam goa ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk.

Sejenak Swan Bu merasa kepalanya nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi.

Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar goa tidak tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang di atas tanah, kepalanya terpisah dari badan. Puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih….
cerita silat karya kho ping hoo

Lee Si melarikan diri di dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, berlari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia. Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin dia dapat berhadapan dengan ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia... tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!

Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan tetapi saat tiba-tiba ia mendengar suara makian ayahnya, dan melihat ayahnya muncul di atas genteng, kagetnya bukan main dan sekaligus dia pun tahu bahwa para penjahat itu agaknya sengaja memancing ayahnya datang supaya orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina ini.

la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut! Dia sudah mengenal watak ayahnya yang keras. Tidak mungkin ayahnya dapat diberi penjelasan sesudah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan dia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati?

Tidak, belum waktunya. la harus bisa membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut teman-temannya itu sebelum dia sendiri mati. Dengan pakaian kusut serta hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee Si beriari terus secepatnya.

Tujuan perjalanannya sekarang adalah... ke Liong-thouw-san! Ia harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah bisa membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya dengan tenang.

Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk di sana. Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.

Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah merasa amat lelah, Lee Si melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya.

Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang pria muda dan tampan duduk menyendiri di satu pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh, dia hendak berteduh di luar saja.

"Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah... kok pergi lagi...?"

"lya... nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa mengobrol, mari ke sinilah!" kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.

Lee Si yang baru saja mengalami mala petaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguh pun hatinya sudah amat panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada di sana tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.

Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh di situ.

“Hee, nona manis, berhenti dulu...!"

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.

"Hemmm, manusia-manusia keparat ini tak akan kapok kalau tidak diberi hajaran!" pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.

Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biar mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan membawa senjata, dia tidak takut. Dia berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa bagai seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan.

Mendadak berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.

"Sahabat-sahabat harap berhenti dahulu untuk bicara!" laki-laki ini berkata dengan suara tenang.

Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang, namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.

Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan mata dan membentak. "Heh, bukankah kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?"

Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam sekali menerobos di antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara dengan suara lantang,

"Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu kumpulan tukang pukul ini menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa semua rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan tapi seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Beberapa hari sudah aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar..."

"Setan muda, mampuslah kau!”

Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika ‘komandan’ itu menggerakkan golok besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu.

Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan sedikit miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu hanya menyambar lewat di atas kepalanya, beberapa sentimeter saja selisihnya.

Akan tetapi tanpa ditarik kembali golok itu sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat ke arah pinggang, disusul jotosan tangan kiri yang keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!

"Bagus!" Pemuda itu berseru.

Tubuhnya melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggangnya itu meluncur lewat di bawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak menendang ke arah kepalan tangan kiri lawan!

"Bagus...!" Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si.

Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah dia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang untuk menangkis pukulan selagi tubuh masih berada di udara hanya mampu dilakukan oleh seorang yang ahli.

Namun orang she Gak itu pun ternyata lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang amat keras.

Agaknya di samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendangan pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang hendak di ‘makan’ oleh tendangan kaki kiri ini!

"Hebat...!" kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.

Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang hebat. Dengan gerakan tangan kiri yang sangat luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuhnya miring-miring seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya. Malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, dan sekali renggut gagang golok telah pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan ke bawah dengan jari-jari tangan terbuka.

"Dukkk!"

Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Kalau menurut perhitungan dan logika, tentunya si tangan yang akan remuk, setidaknya tulangnya tentu akan patah-patah dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian.

Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahannya di tengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, dan yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!

Pemuda itu melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton. Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat ‘komandan’ mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka lalu menerjang pemuda itu dengan bermacam-macam senjata. Dua orang bersenjata pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang bersenjata golok dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjatakan sebatang pecut baja. Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi.

Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja menonton pemuda itu dikeroyok lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya. Kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah bersiap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.

Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu dia berkata, "Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus. Kalian boleh hidup, akan tetapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!"

Tiba-tiba pemuda itu berkelebat. Tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang pengeroyoknya, yang tampak hanya sesosok bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh merintih-rintih.

Kiranya selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Bila mana pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar dari pada membalikkan telapak tangan.

"Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!" seru pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian dia membungkuk ke depan Lee Si sambil berkata,

"Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!" Sehabis berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu besar...



BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 11


Jaka Lola Jilid 10

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 10

Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membedah dan mengeluarkan jarum di pundaknya. Hidung kecil mancung itu menyedot dan mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, dua mata seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja.

Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki oleh dewi kahyangan, bukan iblis betina yang kejam.

Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu sambil berkata, "Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar dengan sinkang.”

Sebagai putera Pendekar Buta, tentu saja Swan Bu maklum akan hal ini, bahkan andai kata tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiri pun sanggup melakukannya. Sekarang dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, namun sebagian besar lagi untuk menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang jelas adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung mancung, mata bintang, serta nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!

Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Mengapa darah yang teracuni belum juga keluar dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah sinkangnya oleh racun jarum merah itu?

Dia menjadi tidak sabar lagi. Tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu, kemudian menyalurkan sinkang dan membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah!

Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu lalu membuka mata dan memandang heran, akan tetapi kedua matanya segera ditutupnya kembali. Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera juga makin kacau-balau. Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasakan betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, semakin lama semakin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu kaget dan bergidik.

Kiranya gadis yang berwajah bagai dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat-cepat dia mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan sinkang ke arah dada serta pundak kanan untuk menjaga diri. Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka berdua merasa betapa tenaga sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba saja Siu Bi menjerit perlahan, badannya serasa terbakar. Swan Bu bergoyang-goyang badannya, lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!

Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, dua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi sudah mengerahkan sinkang-nya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena dia mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang dia dapatkan dari kakeknya dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu. Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu.

Maka ketika ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu, malah merusak dan mengacaukan penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia sadari kekuatan mukjijat dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara hebat. Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang mengancamnya ini membuat kekacauan perasaannya yang tadi terganggu oleh kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia mengerahkan tenaga dalam untuk menolak bahaya itu. Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan sifatnya, lalu bertemu dan beradu dengan amat hebatnya.

Siu Bi kalah kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu membuat tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri. Sebaliknya Swan Bu yang lebih dulu menerima serangan, tidak terluput dari luka dalam, sehingga keduanya roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan terluka hebat di sebelah dalam tubuh. Pada saat Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka matanya. Tadinya dia serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam di antara ombak besar yang hendak menelan dirinya bersama Siu Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasakan kenikmatan yang luar biasa, merasakan kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya.

Kemudian Siu Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu amat marah dan memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu menjerit dan lenyap ditelan ombak. Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya. Dengan nafas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala yang terjadi. Tadi dia roboh berbareng dengan Siu Bi, di tengah hutan. Akan tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, akan tetapi di dalam sebuah ruangan yang sangat kasar, ruangan sebuah goa yang kotor dan lembab.

Dan di sudut sana, di dekat dinding batu goa, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis itu membelalak ketakutan dan bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang membuat Swan Bu terkejut adalah makhluk yang berdiri dekat Siu Bi. Makhluk mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga manusia hutan atau manusia gila. Makhluk ini seorang laki-laki, sukar menaksir usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi. Bertelanjang, kecuali sehelai cawat dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak bongkok, kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.

"He-heh-heh... ha-hah-hah... cantik... muda...," terdengar dia bicara, suaranya parau dan kata-katanya kurang jelas.

Tangan yang lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah robek. Sekali tangan itu menarik, terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam berwarna merah muda. Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu sekarang menjadi lirih sekali dan gerakannya begitu lemah. Teringatlah dia. Tentu Siu Bi juga terluka parah, sama seperti dia.

Siu Bi berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh, "Jangan... bunuh saja... bunuh aku..."

"He-he-he, Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!"

"Bedebah! Binatang! Aku tidak sudi... kau bunuh saja aku...!" Dalam kelemahannya, Siu Bi masih galak dan memaki kalang-kabut.

"Ha-hah-hah, kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, aku pun belum punya isteri... apa salahnya? Kau jadi isteriku... hah-hah-hah, dan dia itu jadi bujang kita..."

"Hee, tunggu dulu!" Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia jatuh terduduk dan mengeluh. Dadanya terasa sangat sakit. Maklumlah dia bahwa pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi dadanya, luka yang cukup parah. la tahu bahwa hal itu akan membuat dirinya kehilangan tenaga dalamnya untuk sementara. Mungkin untuk beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali kesehatannya.

Agaknya juga demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya mereka berdua akan menjadi orang-orang lemah, tidak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang liar itu kelihatannya kuat sekali.

"Heh-heh-heh, orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi bujang pun kurang berharga. Huh!"

Diam-diam agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa kakek liar atau gila itu tidak dapat disebut ahli ilmu silat karena tidak mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena luka dalam. Hal ini mendatangkan harapan. Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biar pun memiliki tenaga besar, lebih mudah dilawan apa bila dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus bisa mencari akal, agar supaya kakek itu... agar dia jangan mengganggu Siu Bi.

"Lopek, harap kau jangan mengganggu dia..."

"Eeehhhhh, kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau menjadi bujang kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia ini, dia isteriku yang muda... heh-heh-heh, yang cantik... heh-heh-heh. Aku laki-laki kesunyian, bertahun-tahun..., dia perempuan... tidak ada yang punya... cocok sekali...!"

"Lopek, tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!"

Tiba-tiba kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkul itu, cepat-cepat melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan gerakan yang cepat sekali.

"Apa kau bilang?! Perempuan ini punyamu? Bagaimana...? Apa maksudmu?"

Swan Bu menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot padanya. "Lopek, dia ini... dia isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri orang lain!"

"Heh...? Hoh...? Isterimu...?!" Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar jelas membayangkan kekecewaan besar.

"Bohong dia!" Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan sekeras biasanya.

Tenaganya sangat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan ini cukup membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanya gelap. Celaka, pikirnya, gadis tolol! Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira, mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar nyongat ke sana-sini, lalu tertawa-tawa girang.

"Hah? Dia bohong, ya? Bukan isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak ada yang punya? Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau isteriku..." Kakek itu menggerakkan tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi.

Gadis ini menjadi pucat. "Tidak... tidak...! Bukan begitu...! Aku... aku... isterinya!"

Kembali tangan berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.

"Apa? Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?"

"Ohhh..." sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat betapa Swan Bu tersenyum-senyum!

"Dia tidak bohong bahwa aku isterinya, tetapi... tetapi dia bohong bahwa dia sangat... mencintaiku."

Muka liar itu berkerut-kerut. "Huh...? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai dahulu, baru aku mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu. Senang, kan?"

Kakek itu kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk, "Orang muda, kau ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku, biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi, untuk apa? Kau baik, ya? Berikan saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hah-hah!"

Swan Bu tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah orang yang berotak miring. Agaknya terlalu lama terasing di dalam hutan dan berubah seperti binatang. Akan tetapi agaknya masih belum lupa akan ‘kesopanan’ di antara manusia, antara lain bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai!

la melirik ke arah Siu Bi yang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata kelinci dikejar harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan aku bohong tadi.

"Lopek, terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka lagi kepadaku. Kalau sudah tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan kulepaskan dia dan boleh dia menjadi isterimu."

Kakek itu tiba-tiba memeluk Swan Bu dan... mencium pipinya. "Ha-ha-ha, anak baik! Kau baik sekali. Terima kasih, ya? Bagus… bagus, dia sudah tidak cinta lagi padamu, boleh menjadi isteriku..." Setelah berkata demikian dia meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena di situ tertinggal ludah dari mulut kakek gila.

Kini Siu Bi yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu bicara ia telah mendahului, suaranya penuh rasa takut, "Tidak, dia main-main saja! Aku... aku cinta kepadanya. Kakek baik, aku isterinya..,.. aku cinta padanya. Dan dia pun cinta kepadaku... kami hanya bertengkar sedikit... aku tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai."

Kakek itu tersentak kaget dan kecewa bukan main. "Aahhh? Kau lebih suka kepada dia yang lemah itu? Wah... celaka... aku tetap kesepian..."

"Kakek yang baik. Kau sudah tua, aku lebih patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi isterimu..."

"Heh, kau suka padaku?"

"Tentu saja, aku suka padamu seperti kepada ayahku sendiri. Tetapi aku... aku... cinta padanya, pada suamiku..."

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah kepada Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. Dia tersenyum lebar dan memandang Siu Bi dengan mata mengejek dan menggoda.

"Bagus! Aku memang tidak punya anak. Heh-heh-heh, bagus!"

Dan kakek itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling pandang, bingung akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara dari bahaya.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh ke arah Swan Bu dengan sikap marah. "Kau suaminya, kau anak mantuku. Tetapi kau tidak baik kepadanya, ya? Berani kau tidak mencinta anakku? Dia susah dan marah, tapi kau diam saja? Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi berani kau membikin marah anakku, kupecahkan kepalamu!"

Kedua tangannya yang berbulu itu diayun ke kanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu padas dan somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat.

"Nah, kepalamu akan seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia cinta padamu maka kau pun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu, dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang aku ingin sekali punya cucu, ha-ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki sebelum kesabaranku hilang!"

Swan Bu mengeluh di dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau tidak karuan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biar pun tadinya dia merasa geli dan gembira melihat gadis itu terpojok, akan tetapi kini dia dapat mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan seorang gadis.

"Lopek, kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani. Kami sedang terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami hampir mati kelaparan..."

Kakek itu mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. "Kau benar laparkah, anakku? Kucarikan buah-buahan untukmu, ya?"

Siu Bi sudah tidak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala macam tadi membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas lalu sebentar merah seperti dicat. la kini hanya mampu mengangguk-angguk saja.

"Ha-ha-ha, bagus. Tunggulah sebentar, akan kucarikan buah-buahan yang masak dan manis!" Kakek itu tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam goa itu. Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa.

Dari sini saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu mampu berlari cukup cepat sehingga dalam keadaan terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk melarikan diri, karena tentu akan tersusul. Kakek itu selain dapat berlari cepat, pasti juga sudah hafal akan keadaan di dalam hutan.

Tiba-tiba dia melihat Siu Bi dengan susah payah berusaha bangun, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik itu terbayang sikap mengancam dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi berteriak-teriak, akan tetapi suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga.

"Monyet kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau berani bilang .aku... aku… isterimu...? Keparat!"

Swan Bu tersenyum mengejek. "Kaulah yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan untuk menolong kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai isteriku. Kau marah, ya? Hemmm, apakah kau lebih suka menjadi isteri kakek itu?"

”Keparat! Kubunuh kau...!"

Siu Bi mengepal tinju dan terhuyung maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi dia mengeluh dan terguling roboh! Namun dengan terengah-engah dia bangun kembali, berusaha merangkak mendekati Swan Bu.

"Hemmm, perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarang pun masih untung. Masa kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik lekas bersila, menyehatkan kembali luka di dalam tubuh dengan pernafasan baru. Setelah kita sama-sama sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi kakek gila itu!"

Setelah berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi. Dia bersila sambil meramkan matanya dan melakukan semedhi. Akan tetapi keadaan gadis itu amat mengganggunya sehingga kembali dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi dari balik bulu matanya. Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah oleh air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang agak pucat itu bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan, “…kubunuh kau... kubunuh kau..."

Terpaksa dia membuka matanya dan berkata tenang, "Kau tenanglah dan pikir baik-baik. Aku tidak takut kau bunuh, tetapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya apa bila aku melawan dan kau yang mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula...”

Siu Bi memandang marah. "Kubunuh kau kemudian aku melarikan diri!" katanya sambil merangkak makin dekat.

Akan tetapi Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia hanya berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga serangan tiba-tiba. Betapa pun juga, dia tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.

Agaknya kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, dia hendak membuntungi lengan tangannya tetapi belum berhasil, ditambah pertempuran yang juga belum dapat ditentukan kalah menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacau-balau mengenai anak segala oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan menganggapnya sebagai penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun tangan memukul.

Swan Bu yang tidak meram betul, tapi mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi yang berjongkok itu hampir tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang.

la menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar pun muncrat dari mulutnya.

”Tenanglah, bernafas yang panjang dan kumpulkan sinkang..." Swan Bu berkata khawatir sekali karena maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul ke dalam dadanya sendiri yang membuat lukanya semakin parah. la tidak ingat lagi bahwa gadis ini adalah musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh janggal betapa ia mengkhawatirkan keadaan gadis ini.

Namun Siu Bi tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi. Kini kedua tangannya bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah leher. Swan Bu maklum bahwa jika dia menangkis atau mengelak, maka gadis itu akan terluka semakin parah. Cepat dia menggerakkan kedua tangannya dan pada lain saat dia telah menangkap kedua pergelangan tangan Siu Bi.

"Lepaskan... lepaskan...!" Siu Bi meronta-ronta.

Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas, gadis itu akan kembali mengirim pukulan dari jarak dekat. Sekali dia kena pukul, mungkin dia tak akan kuat menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia memegang kedua pergelangan tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.

Selagi mereka bersitegang, berkutetan bagai orang bergulat itu tiba-tiba terdengar suara, "Heh-heh-heh, kalian berkelahi...?"

Siu Bi dan Swan Bu terkejut sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi, hanya dua akibatnya, Swan Bu akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!

"Lekas...," bisik Swan Bu.

Mendadak ia melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, kemudian kedua lengannya merangkul leher gadis itu, dipeluk dan didekapnya. Ketika matanya mengerling dan dia melihat kakek itu masih ragu-ragu berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik kepala Siu Bi ke atas dan... dia menciumi muka Siu Bi.

"Auhhh... ahhh..."

Hampir saja Siu Bi pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya, hidungnya, matanya. Serasa kepalanya disambar petir menjadi tujuh keliling, matanya melihat seribu bintang menari-nari dan telinganya mendengar seribu suara melengking-lengking, akhirnya… dia roboh pulas atau setengah pingsan di atas pangkuan dan dada Swan Bu!

"Heh-heh-heh, bagus... bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas mendapatkan cucu laki-laki, heh-heh-heh!"

Kakek itu melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang baru masak, kemerahan dan harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi kini terselip pada ikat pinggang kakek itu, berlepotan getah, agaknya pedang itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!

"Aku memanggang daging di luar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak bila mana sudah sembuh, kalian yang harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh bersusah-payah melayani anak dan mantu. Aturan mana ini?" Kakek itu mengomel panjang pendek.

"Maafkanlah, Lopek. Kini kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama sepekan, kami tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu."

Kakek itu masih saja tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam goa. Langkahnya bagai langkah monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir saja, pikirnya. Mereka berdua tadi sudah berada di ambang jurang maut! la melirik ke arah Siu Bi yang masih ‘pulas’ di atas pangkuannya. Swan Bu tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh.

Tanpa dia sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi yang pingsan itu hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di dada, cantik jelita dan menimbulkan iba. Sedikit pun wajah itu tidak lagi dinodai keliaran atau kemarahan, tidak lagi galak seperti pada waktu marah. Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk-tusuk, perasaannya diremas-remas dan seperti dalam mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.

"Siu Bi... jangan marah padaku, Siu Bi... jangan memusuhi aku..." la berbisik-bisik dekat telinga gadis itu.

Siu Bi bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam di mana tiada permusuhan antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka berada di dalam taman nan indah, bersendau-gurau, bermain-main dan suami tercinta membelai, mencumbu rayu. la pun membalas dengan mesra, penuh cinta kasih.

Siu Bi sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak ia bingung. la berada dalam pelukan Swan Bu, malah dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir Siu Bi menjerit. Sekarang semua teringat olehnya. Dengan seruan tertahan ia merenggut diri, berusaha melompat mundur akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat ia terguling guling.

"Kau... kau..." la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang ke arah Swan Bu melalui linangan air mata.

"Aku cinta padamu, Siu Bi." Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan dengan penuh perasaan. "Tetapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi si gila itu."

Sesudah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan matanya, nafasnya panjang-panjang. Di wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan. Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, lalu duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang ke arah Swan Bu.

Sukar baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek Hek Lojin terbayang di hadapan matanya. Cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang ke arah bagian dada yang terluka di sebelah dalam.

Tiga hari lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan luka masing-masing. Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan selalu memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.

Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, hanya diam tanpa memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak ‘mimpi’ itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api unggun di depan goa, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi. Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Pada saat menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Untuk sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.

"Ha-ha-ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis..."

Akan tetapi kata-katanya terhenti di situ karena mendadak Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat. Tiga kali pukulan Hek-in-kang, biar pun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi juga telah berhasil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek itu.

"Aduhh... auhhh..." tubuh kakek itu bergulingan, dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-beng-kiam datang menyambar dan tubuh kakek itu rebah tidak bergerak lagi. Darah menyemprot ke luar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun yang secara perlahan-lahan menjadi padam.

Dengan pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi segera berlari memasuki goa. Di bawah cahaya remang-remang dia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi sangat beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.

"Swan Bu, terimalah pembalasan kakekku!" Siu Bi berseru.

Swan Bu terkejut dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata. Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas sikunya, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling, pingsan.

Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba dia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang tidak bergerak dan mukanya pucat seperti mayat.

Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah di dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian dia menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya.

Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang mata itu memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek, amat menusuk perasaan.

"Siu Bi... kini kau sudah puas...? Ahh, alangkah cantiknya engkau... alangkah manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari..." Seperti orang gila, mulut Swan Bu tersenyum-senyum.

Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian dengan sekali renggut dia melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu berlari keluar dari goa. Isak tangisnya terdengar bergema di dalam goa ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk.

Sejenak Swan Bu merasa kepalanya nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi.

Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar goa tidak tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang di atas tanah, kepalanya terpisah dari badan. Puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih….
cerita silat karya kho ping hoo

Lee Si melarikan diri di dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, berlari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia. Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin dia dapat berhadapan dengan ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia... tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!

Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan tetapi saat tiba-tiba ia mendengar suara makian ayahnya, dan melihat ayahnya muncul di atas genteng, kagetnya bukan main dan sekaligus dia pun tahu bahwa para penjahat itu agaknya sengaja memancing ayahnya datang supaya orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina ini.

la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut! Dia sudah mengenal watak ayahnya yang keras. Tidak mungkin ayahnya dapat diberi penjelasan sesudah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan dia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati?

Tidak, belum waktunya. la harus bisa membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut teman-temannya itu sebelum dia sendiri mati. Dengan pakaian kusut serta hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee Si beriari terus secepatnya.

Tujuan perjalanannya sekarang adalah... ke Liong-thouw-san! Ia harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah bisa membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya dengan tenang.

Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk di sana. Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.

Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah merasa amat lelah, Lee Si melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya.

Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang pria muda dan tampan duduk menyendiri di satu pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh, dia hendak berteduh di luar saja.

"Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah... kok pergi lagi...?"

"lya... nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa mengobrol, mari ke sinilah!" kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.

Lee Si yang baru saja mengalami mala petaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguh pun hatinya sudah amat panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada di sana tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.

Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh di situ.

“Hee, nona manis, berhenti dulu...!"

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.

"Hemmm, manusia-manusia keparat ini tak akan kapok kalau tidak diberi hajaran!" pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.

Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biar mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan membawa senjata, dia tidak takut. Dia berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa bagai seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan.

Mendadak berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.

"Sahabat-sahabat harap berhenti dahulu untuk bicara!" laki-laki ini berkata dengan suara tenang.

Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang, namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.

Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan mata dan membentak. "Heh, bukankah kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?"

Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam sekali menerobos di antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara dengan suara lantang,

"Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu kumpulan tukang pukul ini menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa semua rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan tapi seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Beberapa hari sudah aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar..."

"Setan muda, mampuslah kau!”

Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika ‘komandan’ itu menggerakkan golok besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu.

Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan sedikit miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu hanya menyambar lewat di atas kepalanya, beberapa sentimeter saja selisihnya.

Akan tetapi tanpa ditarik kembali golok itu sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat ke arah pinggang, disusul jotosan tangan kiri yang keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!

"Bagus!" Pemuda itu berseru.

Tubuhnya melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggangnya itu meluncur lewat di bawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak menendang ke arah kepalan tangan kiri lawan!

"Bagus...!" Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si.

Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah dia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang untuk menangkis pukulan selagi tubuh masih berada di udara hanya mampu dilakukan oleh seorang yang ahli.

Namun orang she Gak itu pun ternyata lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang amat keras.

Agaknya di samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendangan pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang hendak di ‘makan’ oleh tendangan kaki kiri ini!

"Hebat...!" kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.

Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang hebat. Dengan gerakan tangan kiri yang sangat luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuhnya miring-miring seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya. Malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, dan sekali renggut gagang golok telah pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan ke bawah dengan jari-jari tangan terbuka.

"Dukkk!"

Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Kalau menurut perhitungan dan logika, tentunya si tangan yang akan remuk, setidaknya tulangnya tentu akan patah-patah dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian.

Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahannya di tengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, dan yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!

Pemuda itu melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton. Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat ‘komandan’ mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka lalu menerjang pemuda itu dengan bermacam-macam senjata. Dua orang bersenjata pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang bersenjata golok dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjatakan sebatang pecut baja. Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi.

Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja menonton pemuda itu dikeroyok lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya. Kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah bersiap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.

Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu dia berkata, "Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus. Kalian boleh hidup, akan tetapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!"

Tiba-tiba pemuda itu berkelebat. Tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang pengeroyoknya, yang tampak hanya sesosok bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh merintih-rintih.

Kiranya selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Bila mana pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar dari pada membalikkan telapak tangan.

"Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!" seru pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian dia membungkuk ke depan Lee Si sambil berkata,

"Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!" Sehabis berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu besar...



BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 11