Jaka Lola Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 05

Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya saja. Setelah minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya lalu makan buah. Barulah Yo Wan berkata, "Nona, kau baik sekali padaku. Terima kasih, daging kelinci tadi amat gurih dan langsung mengenyangkan perut. Airnya jernih, segar sekali. Dan buah-buah ini pun manis. Kau memang baik”.

"Terima kasih segala, untuk apa? Tidak ada kau pun aku toh harus makan dan minum. Kau berkali-kali menolongku, aku pun tidak bilang terima kasih padamu."

Yo Wan tersenyum. Dekat dan bercakap dengan nona ini memaksanya untuk sering tersenyum. "Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona."

"Siapakah kau ini? Siapa namamu?"

Yo Wan menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal keadaan mereka berdua.

"Ahh, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tetapi masih belum saling mengenal. Namaku… orang menyebutku Jaka Lola, Nona."

"Jaka Lola? Ayah bundamu... sudah tiada?"

Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya, "Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?"

"Orang-orang di dusun itu, para petani itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Sedangkan namaku... ahh, kau juga tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?"

Kembali Yo Wan tersenyum. "Namaku Yo Wan, hidupku sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang."

Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak serta suara Yo Wan ia berkata, "Namaku Siu Bi, hidupku sebatang kara, tiada sanak kadang, tidak punya tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apa pun jadi!" Dan ia tertawa lagi.

Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan menambah gemilangnya sinar matahari pagi. "Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah she-mu (nama keturunan)"

"Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan mau pun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau bersiaplah dan keluarkan senjatamu!" kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang tadinya ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang.

Yo Wan terkejut. "Eh… ehh… ehhh, apa pula ini?"

"Artinya, aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."

"Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona."

"Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, tetap harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!"

Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.

"Wah, gila...!" Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu sudah mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang!

Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental. Ia merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. Dia terkejut sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya. Akan tetapi pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling pula dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata mempunyai ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Jika aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati.

Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.

"Dukkk!"

Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia kenapa pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu!

Mukanya seketika menjadi amat merah. Ia penasaran, masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la segera mengeluarkan seruan keras dan kembali maju menerjang, mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.

Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biar pun hanya terbuat dari kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apa bila kedua senjata itu bertemu.

Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia yang berjulukan Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu saja? Bukan pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang hanya patut dipakai mainan anak kecil. Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak semakin ganas dan dahsyat.

Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apa lagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan bila mana tidak mempergunakan sinkang yang kuat. Dia pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-eng-cu.

Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesak dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang. Sekarang Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.

"Benar-benar kau aneh sekali, Nona,” seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu.

Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, namun khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, dia mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan…

"Tar-tar-tar!" cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.

“Ayaaa...!" Siu Bi kaget bukan main. Apa lagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan.

Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Akan tetapi, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia malah makin bersemangat.

"Wah, benar-benar keras hati dia...,” pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po.

Seketika Yo Wan lenyap dari depan Siu Bi dan dalam kebingungannya, gadis itu cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu kembali lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya sehingga kepalanya menjadi pening!

"Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali...," berkali-kali Yo Wan berseru.

Namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.

"Awas pedangmu!" Yo Wan berseru dan lenyap.

Pada waktu Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit pundak. Ternyata cambuk lawannya yang sudah melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!

Dengan marah sekali Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, lalu membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.

“Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah..."

Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.

"Heee, nona Siu Bi... tunggu... pedangmu...!" Yo Wan mengambil pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah berlari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.

"Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!" Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya. "Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu."

Kemudian ia mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan hati gadis itu agak mendingin. Kalau sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik. Seorang gadis luar biasa yang masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Benarkah dia pun sebatang kara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalami mala petaka atau menjadi rusak.

Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi. "Nona Siu Bi! Tunggu...!" Yo Wan berseru sambil mengerahkan khikang hingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti melangkah. Di depan kakinya tergeletak sehelai sapu tangan sutera kuning. Bukankah ini sapu tangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya sapu tangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Sapu tangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke sana ke mari.

"Nona Siu Bi! Di mana kau...?!" la berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.

"Celaka, apa artinya ini...?" Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi sapu tangan di tangannya. "Jangan-jangan..." la tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi. Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi?

Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya. Akan tetapi sesudah ternyata dia kalah jauh, dia menjadi kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah dia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan.

Siu Bi menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, maka ia lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak goanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah goa yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.

Goa itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya langsung diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam goa itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak kelihatan. Siu Bi meraba-raba dan ketika mendapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung lengan bajunya.

Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apa lagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Secara otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena terkejut, maka sekaligus dia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak.

"Bukkk!" orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang.

Siu Bi melompat bangun. Akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang, terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!

Beberapa detik kemudian, dua orang lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam goa. Salah seorang di antara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar goa, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa.

"Ha-ha-ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"

Kawannya yang mukanya pucat tertawa masam. "Bidadari namun pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat."

"Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!"

Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tidak lama kemudian mereka tiba di pinggiran Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.

"Hee, kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"

Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan itu ke dalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

"Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!" katanya.

"Bidadari yang pukulannya seperti setan!" sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.

Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut. "Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."

"Lekas kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya toanio (nyonya) seorang yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat sekali dan agaknya mengandung racun yang aneh."

Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda. "Kau menjaga di sini, kami akan ke pulau," pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya.

Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.

"Keparat, aku harus membalas ini." la bangkit hendak memasuki bilik perahu.

"Bian-te, sabarlah," cegah si brewok.

"Perjalanan ini masih lama, agaknya aku tak akan kuat. Tidak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."

"Jangan bunuh dia, Bian-te...," cegah si rambut putih. "Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha-ha-ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."

"Aku tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, tentu aku sudah menjadi mayat. Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati."

"Bian-te, dia hendak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum kongcu."

"Kongcu tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kongcu mau bisa berbuat apa kepadaku?" Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya hanya saling pandang.

"Dia sudah terluka hebat dan agaknya betul-betul tak akan dapat ditolong, biarkanlah dia menebus kekalahan dan membalas dendam," kata si rambut putih sambil mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.

Siu Bi sudah kena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuat dia mabuk dan pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia hitam. Ketika gadis ini mempelajari Iweekang, latihannya dengan berjungkir balik sehingga dalam pengerahan Hek-in-kang, jalan darahnya membalik dan sinkang dalam tubuhnya membentuk hawa Hek-in-kang yang beracun hitam.

Oleh karena itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia telah mulai bergerak biar pun masih pening, dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut.

Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini. Untung baginya, pada saat tadi terkena racun Ang-hwa-tok, dia baru mengerahkan Hek-in-kang sehingga tenaga mukjijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun. Sekarang dengan sinkang ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi.

Mendadak ada orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main, cepat membuka matanya. Hampir dia menjerit ketika melihat bahwa yang menindihnya adalah seorang lelaki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya menyeringai liar, dari ujung bibirnya bertetesan darah menghitam!

Dia tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya. Dia menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik, maka cepat Siu Bi mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-in-kang.

Lambung dan leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam. Dia memekik keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Pada waktu Siu Bi melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus!

Siu Bi bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh kebencian ia lalu menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu bilik kecil. Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang enak-enakan duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi. Cepat-cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, langsung menyerbu ke dalam bilik.

Sesosok bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam keadaan seperti itu. Bagaikan dua ekor beruang luka mereka berteriak keras dan menyerbu ke dalam bilik.

Siu Bi menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-in-kang untuk melawan. Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. Dia mencoba untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-in-kang.

Namun dua orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih, adalah jagoan-jagoan dari Ching-coa-to. Mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.

"Gong-twako, kita tangkap hidup-hidup!" seru si brewok.

Si rambut putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil membunuh seorang kawan, bila dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup kepada kongcu mereka di Ching-coa-to, jasanya tidak kecil. Pertama, dapat menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-hwa-pai (Perkumpulan Kembang Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek kepada kongcu!

Siu Bi melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka dengan pukulan Hek-in-kang. Namun, kedua orang musuhnya ini amat kuat dan gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening.

Tiba-tiba tampak sinar merah. Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat. Kembali dia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba dia menjadi lemas dan roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih sudah berhasil merobohkannya dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh Ching-coa-to.

Siapa mereka ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah perkumpulan yang disebut Ang-hwa-pai. Sesuai nama perkumpulannya, para tokoh ini memiliki tanda setangkai bunga berwarna merah, menghias sebagai sulaman pada baju yang menutupi dada kiri. Ang-hwa-pai bersarang di Pulau Ching-coa-to, yaitu Pulau Ular Hijau.

Kiranya para pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-coa-to. Pulau ini adalah tempat tinggal Ching-toanio, ibu dari Giam Hui Siang dan ibu angkat dari Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-toanio meninggal dan kedua orang puterinya itu menikah serta meninggalkan Ching-coa-to, pulau itu menjadi kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-toanio yang hidup sebagai perampok dan bajak sungai.

Beberapa bulan kemudian, muncul seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman dengan pakaiannya yang serba merah. Wanita galak yang genit, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara Ang-hwa Sam-cimoi yang amat lihai ilmu silatnya.

Di dalam cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat dua orang saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-coa-to adalah Kui Ciauw inilah. Tentu saja para anak buah Ching-coa-to telah mengenalnya.

Di dunia hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-hwa Sam-cimoi yang bahkan lebih lihai dari pada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang sudah tewas pula? Karena percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-coa-to mengangkat Kui Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Ang-hwa-pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-hwa Nio-nio.

la lalu mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi. Malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, dengan memanfaatkan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini lantas merajalela, merampok membajak dan keadaan mereka menjadi makin kuat karena banyak perampok ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-hwa-pai, lalu menggabungkan diri.

Ang-hwa Nio-nio atau Kui Ciauw ini tidak pernah melupakan dendam hatinya terhadap Pendekar Buta yang sudah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam ilmunya. Bahkan ia lalu menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan menyerang ke Liong-thouw san.

Ang-hwa Nio-nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biar pun sudah berusia hampir setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki. Maka, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan ketua ini mengumpulkan pria yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih atau ‘selir’. Tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena dipaksa dengan ancaman maut.

Setelah muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya dalam mengumpulkan pemuda-pemuda tampan baru berhenti. Ouwyang Lam adalah seorang pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang bajak tunggal. Bersama ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-hwa-pai dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi, kali ini Ang-hwa Nio-nio betul-betul ‘jatuh hati’ kepada Ouwyang Lam.

Agaknya cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-hwa Nio-nio kali ini benar-benar jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lam selalu dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir atau membunuhi puluhan orang ‘selir’ laki-laki itu! la ingin memonopoli ketua Ang-hwa-pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia dan karena pemuda ini ingin pula mewarisi kepandaiannya.

Dan demikianlah kenyataannya. Ouwyang Lam lalu diambil sebagai ‘putera angkat’ oleh Ang-hwa Nio-nio, mendapat sebutan kongcu (tuan muda), dihormat oleh seluruh anggota Ang-hwa-pai dan selain kedudukan yang tinggi ini, juga pemuda yang cerdik ini setiap hari memeras ilmu-ilmu kesaktian dari ‘ibu angkat" alias kekasihnya ini untuk dimilikinya.

Terdorong cinta kasih yang membuatnya tergila-gila, Ang-hwa Nio-nio tidak segan-segan menurunkan semua ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Ouwyang Lam sangat hebat. Bahkan Ilmu Pedang Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang) yang menjadi kebanggaan Ang-hwa Sam-cimoi dahulu, telah diajarkan kepada Ouwyang Lam.

Dasar Ouwyang Lam memang pandai mengambil hati, maka dia bersumpah kepada kekasihnya bahwa kelak dia sendiri yang akan membalaskan dendam kekasihnya itu kepada Pendekar Buta. Tentu saja untuk ini dia memerlukan ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat berhasil. Tidak ini saja, malah pemuda tampan ini begitu dimanja sehingga segala permintaannya dituruti, termasuk pula kegemarannya akan wanita cantik. Ang-hwa Nio-nio yang sudah setengah tua itu tidak memiliki hati cemburu, bahkan rela membagi cinta kasih Ouwyang Lam.

Demikianlah sekelumit keadaan Ang-hwa-pai di Ching-coa-to. Kalau kepalanya bergerak ke utara, tak mungkin ekornya menuju selatan demikian kata orang-orang tua. Dengan pimpinan macam Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, dapat dibayangkan betapa bobrok moral para anak buah dan anggota Ang-hwa-pai.

Mereka seperti mendapat contoh dan demikianlah, seluruh wilayah di sebelah barat dan selatan kota raja, penuh dengan orang-orang Ang-hwa-pai yang bergerak dan merajalela menjadi perampok atau bajak yang malang-melintang tanpa ada yang berani melawan mereka. Asal ada penjahat yang memakai tanda bunga merah di dada yang melakukan gerakan, tidak ada yang berani berkutik!

Ouwyang Lam amat pandai dan cerdik sehingga untuk memperkuat kedudukannya, dia tidak segan-segan mempergunakan uang untuk menyuap sana-sini, menghubungi para pembesar dan menghamburkan uang secara royal kepada para pembesar korup yang memenuhi negara pada masa itu. Para pembesar korup sangat berterima kasih dan menganggap orang-orang Ang-hwa-pai amat baik. Mereka tidak peduli bahwa uang yang dipakai menyogok dan menyuap mereka itu adalah uang hasil rampokan!

Siu Bi sungguh malang nasibnya, terjatuh ke tangan tiga orang tokoh Ang-hwa-pai. Akan tetapi baiknya ia memiliki wajah yang amat jelita sehingga hal ini menggerakkan hati dua orang penawannya untuk mencari jasa hendak mempersembahkan dia kepada Ouwyang Lam!

Tentu saja hal ini baik baginya, karena dalam keadaan pingsan di perahu itu, nasibnya sudah berada di tangan si rambut putih dan si brewok. Namun, mengingat akan hadiah dan kedudukan yang mungkin dinaikkan, dua orang itu tidak berani mengganggu Siu Bi, ingin mempersembahkan gadis ini kepada kongcu mereka dalam keadaan utuh! Mereka hanya mengikat kaki tangan Siu Bi, kemudian cepat-cepat mereka mendayung perahu, langsung menuju ke Ching-coa-to.

Dan inilah sebabnya mengapa Yo Wan sia-sia saja mengejar. la tidak mengira bahwa Siu Bi ditangkap orang di dalam goa kemudian dilarikan dengan perahu. Terlalu lama dia mencari-cari di dalam hutan, berputar-putar tanpa hasil. Baru setelah menjelang senja, ia sampai di pinggir Sungai Fen-ho, berdiri termangu-mangu di tepi sungai….
cerita silat karya kho ping hoo

Pada saat tersadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat kaki tangannya serta rebah di atas pembaringan dalam perahu, Siu Bi menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak merasakan sesuatu, juga tidak menderita luka. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk mengerahkan tenaga melepaskan diri dari belenggu, ia mendapat kenyataan bahwa tali-tali yang mengikat kaki tangannya amatlah kuat, tak mungkin diputus mempergunakan tenaga.

la mengeluh dan mulailah ia menyesal. Kenapa ia melarikan diri meninggalkan Yo Wan? Kalau ada Yo Wan di dekatnya, tak mungkin ia sampai mengalami bencana seperti ini. Lebih menyesal lagi ia mengapa pedangnya, Cui-beng-kiam, ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan. Kalau perginya membawa senjatanya yang ampuh itu lebih baik lagi. Kalau ia tidak bertanding melawan Yo Wan, kalau... kalau... ahh, tidak akan ada habisnya hal-hal yang sudah terlanjur dan sudah lalu disesalkan. Sesal kemudian tiada guna. Perahu itu dengan cepatnya meluncur sepanjang Sungai Fen-ho, sampai masuk Sungai Kuning di selatan. Kemudian membelok ke timur melalui Sungai Kuning yang lebar dan diam.

Selama beberapa hari melakukan perjalanan melalui air ini, Siu Bi tetap dalam belenggu. Akan tetapi gadis ini tidak diganggu dan karena mengharapkan sewaktu-waktu mendapat kesempatan membebaskan diri, Siu Bi tidak menolak suguhan makan minum yang setiap hari diberi oleh dua orang penawannya. la harus menjaga kesehatannya dan memelihara tenaga agar dapat dipergunakan sewaktu ada kesempatan.

Perjalanan dilanjutkan melalui darat. Kedua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu, merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah selatan dan barat dan kota raja.

Akhirnya mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-coa-to di tengah telaga. Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang lalu. Setelah Ang-hwa-pai berdiri dan pulau ini dijadikan pusat, pulau ini dibangun dan dari jauh saja sudah tampak bangunan-bangunar yang besar dan megah. Taman bunga yang dulu menjadi kebanggaan Ching-toanio dan puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil karena tempat ini terkenal pula sebagai tempat Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam bersenang-senang.

Siu Bi merasa heran dan kagum juga sesudah ia dibawa mendarat dari perahu yang menyeberangi telaga. Pulau itu benar-benar indah, juga megah. Apa lagi ketika mereka mendarat di pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang berpakaian lengkap, berseragam dan bersikap gagah. Di dada kiri mereka tampak sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah.

Si rambut putih yang agaknya mempunyai kedudukan lumayan tinggi di pulau ini, segera menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada pangcu (ketua) dan kongcu (tuan muda). Penjaga itu berlari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki pulau itu dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang penawannya.

Tak lama kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang berjalan datang dengan cepat. Siu Bi membelalakkan mata, menatap penuh perhatian.

la melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan dan kiri. Di tengah-tengah tampak berjalan dua orang.

Yang seorang adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biar pun terdiri dari sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi benar-benar tidak serasi karena warnanya merah darah dan berkembang-kembang, amat tidak cocok dengan kulit hitam itu. Apa lagi karena muka itu meski pun dibedaki dan ditutupi gincu, tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua.

Seorang nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah kakinya sedemikian ringannya seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa ginkang dari nenek ini luar biasa hebatnya. Orang kedua adalah seorang laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tegap, agak pendek namun wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan matanya bersinar-sinar.

Mereka ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio atau paicu, ketua dari Ang-hwa-pai, dan Ouwyang Lam atau kongcu yang sesungguhnya mempunyai kekuasaan tertinggi di sana karena si ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng!

Tempat itu kini penuh dengan para anggota Ang-hwa-pai dan semua orang memandang Siu Bi penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika ketua mereka muncul. Si rambut putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi. Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia menoleh kepada si rambut putih. Ada pun Ang-hwa Nio-nio segera menegur.

"Betulkah seperti yang kudengar bahwa bocah ini sudah membunuh A Bian? Mengapa kalian tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa ke sini?"

"Maaf, kami sengaja menangkap dan membawanya ke sini supaya mendapat putusan sendiri tentang hukumannya dari Paicu dan Kongcu," kata si rambut putih dengan nada suara menjilat. "Lagi pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang kematian A Bian kalau pembunuhnya tidak kami seret ke sini?"

"Hemmm, bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apa lagi hukumannya selain mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!" Tangan nenek ini bergerak, terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur ke arah dada Siu Bi.

Gadis ini terkejut bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke kiri.

"Srrrttt…!"

Pinggir bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Siu Bi berubah. la maklum bahwa nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihai ilmunya.

"Ihhh, kau berani mengelak?" Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi.

Kembali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Siu Bi. Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-in-kang di tubuhnya, maka ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring di atas tanah.

Muka nenek itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal yang seaneh ini. Biasanya, kalau pukulannya sudah dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apa lagi kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu yang terkena akan terluka dalam.

Akan tetapi gadis ini hanya terhuyung dan roboh, tetapi tidak terluka. Ini membuktikan bahwa gadis ini ‘ada isinya’. Saking penasaran, ia lalu mengerahkan tenaga dan hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouwyang Lam mencegah, menyentuh lengan nenek itu sambil berkata,

"Nio-nio, harap sabar dulu..."

"Apa?" Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati, perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan bencana!" kata Ang-hwa Nio-nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh hawa amarah dan kebencian. Sedikit pun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.

"Bukan begitu, Nio-nio. Ingat, Nona ini mempunyai kepandaian, akan tetapi menghadapi seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu, sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apa lagi sekarang kau hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan ternoda. Nio-nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas, agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Ehh, Nona, sesudah kau lancang tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap ke sini, kau hendak berkata apa lagi?"

Siu Bi mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang kepada wajah tampan itu. "Kenapa banyak cerewet lagi? Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuh kalian semua, tak seekor pun akan kuberi ampun!"

Inilah makian dan hinaan yang sangat hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah beraninya bocah ini. Sudah tertawan, sedang berada di tangan musuh dan tak berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, tapi masih begitu besar nyalinya. Benar-benar hal yang amat mengherankan untuk seorang gadis remaja seperti ini.

Akan tetapi Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik jelita dan gagah perkasa. Walau pun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis cantik, malah boleh jadi lebih cantik dari pada Siu Bi, akan tetapi takkan mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau.

Kalau dia bisa mendapatkan seorang seperti itu di sampingnya, selain dia mendapatkan pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan tambahan tenaga yang amat penting dan memperkuat kedudukan mereka. Memang Ouwyang Lam orangnya cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biar pun di hatinya dia mempunyai niat yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat baik dan peramah.

"Nona, karena kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari Ang-hwa-pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Kau kubebaskan dari belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!"

Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya itu tadi adalah sinar pedang di tangan Ouwyang Lam!

Siu Bi kagum. Ia maklum bahwa pemuda ini juga merupakan lawan yang berat. Namun, mana ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir rasa pegal.

Berhari-hari sudah dia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la mengerahkan tenaga sinkang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia lalu menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,

"Nah, aku telah siap. Siapa yang akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian hendak mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?" Ucapan ini merupakan tantangan yang mengandung ejekan.

Saking marahnya muka Ang-hwa Nio-nio yang hitam sampai berubah menjadi semakin hitam. Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-hwa-pai. Akan tetapi Ouwyang Lam tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,

"Nona, aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu."

Diam-diam Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini memiliki watak yang gagah, tidak seperti nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi pedang Cui-beng-kiam dia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.

”Aku mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-beng-kiam berada di sini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?"

Rasa kagum Ouwyang Lam makin besar dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang pendekar wanita yang gagah. Dia segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata, "Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah, Nona."

Siu Bi tak mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok, ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapa pun juga, ia ingat akan budi pemuda ini.

Biar pun merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh nenek yang lihai itu. Maka ia pun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa melukainya, apa lagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu memainkan ilmu silat biasa yang ia pelajari dari ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya sangat gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.

"Bagus!" Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya.

la juga menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah. Dalam sekejap mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata karena bayangan itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh menyambar-nyambar ke kanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya.

Diam-diam Ang-hwa Nio-nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya.

Sementara itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga jangankan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan Hek-in-kang. Akan tetapi kalau dia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.

"Kenapa tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)?" tiba-tiba saja nenek itu berseru menegur murid dan kekasihnya.

Melihat Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum juga mampu mengalahkan lawan, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu dirinya, merendahkan nama Ang-hwa Nio-nio sekaligus Ang-hwa-pai! Memang hal ini amat luar biasa bagi para anggota Ang-hwa-pai.

Biasanya, Ouwyang Kongcu adalah orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-hwa Nio-nio dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggota ini melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang Kongcu lebih dari sepuluh jurus. Namun sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu ternyata dapat menahan terjangan Ouwyang Kongcu sampai begitu lama tanpa terlihat terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang Kongcu dan bagi Ang-hwa Nio-nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat menawannya tentu karena hasil dari Ang-tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius lawan.

Mendengar seruan Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam menjadi ragu-ragu. Betapa pun juga, dia belum kalah dan biar pun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya dia pun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira dan kagum bukan main. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini hebat.

Tadinya dia sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.

Akan tetapi, di pihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Jika lawannya memiliki ‘simpanan’ yang belum dikeluarkan, ini berbahaya. la tidak mau didahului, maka tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring laksana pekik burung elang dan kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa.

Segera tampak sinar menghitam menyambar-nyambar. Dari dua lengan itu tampak uap hitam dan Ouwyang Lam merasakan sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia menangkis, lengannya terasa panas sekali dan nyeri sampai menembus ke ulu hati. Kagetlah dia dan sambil terhuyung-huyung dia mundur ke belakang dengan muka pucat.

Akan tetapi karena maklum bahwa lawannya ini betul-betul hebat, mempunyai simpanan ilmu dahsyat yang baru sekarang ini dikeluarkan, segera Ouwyang Kongcu mengerahkan tenaga mengusir rasa nyeri, berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul ke atas, lalu menukik ke bawah melakukan penyerangan balasan. Inilah sebuah jurus dari Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, ilmu silat Bintang Terbang yang di samping gerak-geriknya hebat sekali, juga mengandung hawa pukulan beracun, racun ang-tok (racun merah)!

Pada waktu Siu Bi menangkis dengan tenaga Hek-in-kang, keduanya terhuyung mundur dengan muka berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini sudah mengeluarkan kepandaian dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang mengandung racun hitam kini bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah.

Akan tetapi keduanya menyesal bukan main karena apa bila dilanjutkan, mereka berdua terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya, yang kalah tentu akan celaka, apa bila tidak tewas paling sedikit tentu akan terluka parah di sebelah dalam tubuh!

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Ang-hwa Nio-nio berseru.

Tubuhnya segera melayang menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, dua orang muda itu terpaksa meloncat ke belakang.

"Kau mau mengeroyok?" Siu Bi mendahului membentak.

Bentakan yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian, biar pun ia tidak akan mundur, akan tetapi boleh dipastikan bahwa ia akan kalah dan roboh.

Dalam pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa tidak akan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apa lagi kalau nenek ini yang agaknya malah lebih lihai lagi dari pada si pemuda, turun tangan mengeroyoknya.

Akan tetapi Ang-hwa Nio-nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya kereng dan suaranya berwibawa, "Bocah, kau jangan sombong terhadap Ang-hwa Nio-nio! Kau tadi mainkan Hek-in-kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?"

Siu Bi kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mampu mengenal Hek-in-kang. Banyak orang lihai dia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya, puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka semua tidak mengenal ilmunya. Bagaimana nenek genit ini dapat mengenal Hek-in-kang? Malah tahu pula bahwa Hek-in-kang adalah ilmu mendiang kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula?

Setelah nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah dia hendak menyombongkan kakeknya yang dia tahu amat lihai dan sangat terkenal di dunia kang-ouw.

"Hek Lojin adalah kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?" jawab Siu Bi dengan nada suara sombong dan tidak mau kalah.

”Kakekmu?!" Keriput-keriput pada wajah nenek itu semakin mendalam. ”Bagaimana bisa jadi? Maksudmu kakek guru? Kau mengenal The Sun?"

Berdebar jantung Siu Bi. Terang bahwa nenek ini bukanlah orang asing bagi ayah dan kakeknya. Biar pun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai ayahnya karena ia pun maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan ayahnya, akan tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu.

Meski pun Siu Bi seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la sangat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan menjawab,

"Dia adalah ayahku." Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut ‘dia’ saja.

Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak dia memandang Siu Bi dengan mata terbelalak, mulut ternganga, lalu perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia kemudian lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.

"Aihhh, siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"

Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba saja perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul dugaan yang mengerikan dalam hatinya. Jangan jangan... jangan jangan... dia tidak saja bukan anaknya The Sun, akan tetapi juga bukan anak ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah ibu kandungnya!

Dengan muka pucat diam-diam dia berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik sehingga ia tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata ‘orang-orang sendiri’ tadi.

Adalah Ouwyang Lam yang juga amat terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan, "Nio-nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?"

Ang-hwa Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.

"Mari kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan semua keteranganku di rumah... ahhh, untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu, anakku..."

Mual rasa perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya ‘anakku’. Akan tetapi karena bekas lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapa pun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kutang di balik baju… ehh, udang di balik batu!

"Sungguh aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau memang benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Ini penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.”

"Ohhh, mereka tidak tahu...."

"Kalau pun tidak tahu, bila sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan kepada mereka?"

Ang-hwa Nio-nio segera sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke sana ke mari mencari-cari. Akhirnya dia dapat menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan si brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!

"Kami... kami betul-betul tidak tahu...," kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tak karuan.

"Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri tegak."

Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-nio bergerak. Terdengar jerit dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu lantas terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka berubah merah laksana darah dan nafas mereka sudah putus! Kedua orang itu sudah terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga beracun ang-tok sepenuhnya!

Ang-hwa Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi. "Nah, itulah hukuman mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari... marilah ikut bibi Kui Ciauw, sahabat baik ayahmu..."

Siu Bi merasa begitu lega, seolah-olah batu sebesar gunung yang tadi menindih hatinya diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nio-nio, adalah sahabat baik ‘ayahnya’, jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Oleh karena hati yang lega dan puas ini, dia tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada ‘bibi Kui Ciauw’ dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!

Sikap Kui Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang silam wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-hwa Sam-cimoi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah). Mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya.

Kemudian mereka semua ini dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.

Dia tadi sudah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini, maka sebagai orang segolongan, tentu saja dia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga dari pada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu Bi.

Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas pulau dan memasuki gedung besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio serta Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding, membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana.

Setelah mereka bertiga duduk di ruang tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Ang-hwa Nio-nio mulai bercerita, "Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwa-pai, namun kau boleh menyebutku bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapa namamu tadi?

"Namaku Siu Bi."

"The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa memiliki seorang anak secantik engkau. Dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya bahkan lebih hebat dari pada ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah ayah dan kakekmu sama sekali tidak pernah bercerita tentang aku?"

Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Ah, bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tidak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"

Mendengar disebutnya musuh besarnya ini, bangkitlah semangat Siu Bi. "Aku memang sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta. Aku hendak membalaskan dendam mendiang kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Tadi kau bilang... mendiang kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah meninggal?"

Siu Bi mengangguk dan wanita itu meramkan sepasang matanya. "Ahh, sungguh sayang sekali. Akan tetapi, sekarang ada kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari sama-sama kita menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, kita cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang penasaran!"

Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang luar biasa tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini dia bergidik juga. "Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, juga lengan isterinya serta anak-anaknya."

"Aku akan membantumu..."

"Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."

"Dia lihai sekali."

"Tidak peduli. Aku tidak takut!"

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya. Dia tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar untuk diajak berunding. Dia mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.

”Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang kedua matanya buta saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita memiliki kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."

Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi pun dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar dia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya. "Mengapakah kalian juga bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya."

Ang-hwa Nio-nio girang melihat hasil bujukan dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi penjelasan.

"Siu Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, sebelum kau dilahirkan, ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena ayahmu tidak sanggup menangkan musuhnya, maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Tetapi ternyata kakekmu juga kalah, malah lengannya dibuntungi. Ada pun aku sendiri, bersama dua orang adik perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, dua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku kemudian bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayah dan kakekmu. Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan satu golongan?"

Siu Bi diam-diam terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Dia semakin ragu-ragu, apakah dia akan dapat menangkap musuh besar itu? Dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apa lagi dengan adanya Ang-hwa Nio-nio akan lebih mudah baginya untuk bisa mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-hwa Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.

"Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama ke Liong-thouw-san mencari musuh besar kita."

Ang-hwa Nio-nio tertawa. "Hi-hi-hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat Siu Bi. Tak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus lebih dulu menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di antaranya ada pamanku Ang Moko yang telah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih dahulu, karena pada saat ini kami sedang menunggu kedatangan musuh-musuh kami yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?"

"Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui pokok persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun itu? Aku pernah mendengar dari kakek bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar."

Ang-hwa Nio-nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk, "Sebetulnya, dengan Kun-lun-pai langsung kami tak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-goanswe sehingga menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami."

"Jenderal Bun di Tai-goan?" tanya Siu Bi, kaget.

Tercenganglah Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. "Kau kenal dia?"

"Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu para petani yang ditindas."

"Dia memang sombong!" kata Ouwyang Lam. "Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu putera dari ketua Kun-lun-pai dan sahabat baik Pendekar Buta, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti kita!"

Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun.

"Apakah yang terjadi?" tanyanya.

"Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar, malah kami tak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tertinggi di wilayah ini, apa bila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwa-pai mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu sudah bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?"

"Hemmm, lalu apa yang terjadi?"

"Agaknya urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal Bun. Kun-lun-pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa sesudah negara menjadi aman, tidak semestinya kami mengacau. Tentu saja aku tidak sanggup menahan kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Karena itu, dalam beberapa hari ini kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai ke sini. Apa bila terjadi keributan dengan pihak Kun-lun-pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi."

Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apa lagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai ia tak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini merupakan orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.

"Baiklah, tentu aku akan membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jenderal Bun, aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan."

Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta pora. Diam-diam Siu Bi merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu benar-benar sangat ramah kepadanya, bahkan pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung bisa bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, sebab jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil gemilang tujuan perjalanannya.

Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan sangat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya.

Baru saja mereka selesai makan dan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada dua orang tosu sedang menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke pulau.

"Mereka mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu," penjaga itu mengakhiri laporannya.

Ouwyang Lam meloncat berdiri. "Biarkan aku saja yang pergi menemui mereka," katanya kepada Ang-hwa Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. "Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-lun-pai?"

Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke pulau ini, tentu dengan maksud mencari perkara, dia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau dia dipercaya mewakili tuan rumah. Dia menoleh ke arah Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,

"Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."

Pemuda itu sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang sikapnya kereng dan angker. Perahu mereka yang kecil telah berada di darat dan tak jauh dari tempat itu tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian.

Semenjak terjadi peristiwa ada utusan Kun-lun-pai tewas di situ, mereka telah menerima perintah dari ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono apa bila bertemu dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan tetapi langsung melaporkan pada ketua. Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-hwa-pai tidak mengganggu dua orang tosu itu.

Saat melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, dua orang tosu itu menjadi tercengang dan saling pandang. Apa lagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka kemudian menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

Ouwyang Lam segera bertanya, "Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?"

Tosu yang bertahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, "Betul, orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah ketua kami mengantar seorang suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang berkunjung."

Ouwyang Lam tertawa. "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beri tahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan aku."

"Hemmm, begitukah?" Kung Thi Tosu berkata sambil menatap tajam wajah Ouwyang Lam. "Sudah lama pinto mendengar nama Ouwyang Kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke sini. Di manakah suheng kami itu?"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Totiang, apa kau kira aku ini seorang gembala keledai maka kau tanya-tanya kepadaku mengenai keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para tosu."

Meski pun terdengar lemas akan tetapi jawaban ini sangat menghina dan menyakitkan hati karena menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi semakin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.

"Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman, kemudian ketua kami mengutus suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara halus, mengingat kita sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang sangat hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di seberang dan suheng seorang diri yang datang ke sini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda, lekas katakan di mana adanya Kun Be Suheng”.

Berubah wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.

”Aku tidak tahu yang mana itu suheng-mu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang kurang ajar yang mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas.”

”Keparat! Jadi kau... kau membunuh suheng...?" Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah sekali. "Kalau begitu Ang-hwa-pai memang benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan..."

Ouwyang Lam tertawa mengejek. "Tosu bau, dengarlah baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran atau pun pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang hendak dikacau orang lain, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"

"Ang-hwa-pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”

Ouwyang Lam menoleh ke arah Siu Bi. "Kau lihatlah, betapa menjemukan. Apa kau mau membantuku melempar mereka ke dalam telaga?"

Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan aneh lagi. Semenjak tadi dia pun sudah jemu menyaksikan tingkah orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di pihak benar.

Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, dan sama sekali bukan karena kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam urusan ini Kun-lun-pai terlalu memandang rendah terhadap Ang-hwa-pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apa lagi menegur. Orang-orang Kun-lun-pai mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.

"Mari...!" kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.

Dua orang tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar diadili.

Akan tetapi mereka keliru apa bila mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangan, dia telah menyambut terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat, memaksa dua orang tosu itu mengelak sambil menyusul dengan serangan dari samping.

Akan tetapi, pada saat itu pula Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu sehingga terpaksa tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan hati kedua orang tosu Kun-lun-pai. Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang Kongcu yang terkenal kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki dan tangan sambil mengeluarkan Ilmu Silat Kun-lun-pai.

Mereka adalah tosu-tosu tingkat ke empat di Kun-lun-pai, ilmu kepandaian mereka tinggi. Meski pun mereka percaya bahwa suheng mereka tewas, akan tetapi mereka mengira bahwa tewasnya sang suheng itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu adalah karena bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini!

Setelah bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang tosu itu kaget dan mendapatkan kenyataan bahwa kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan hendak menangkap, menyerang saja mereka tidak mampu lagi, hanya dapat mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena kedua orang muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa.

Kung Lo Tosu menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan lawannya, dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan main. Ada pun Kung Thi Tosu juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum yang aneh.

"Adik Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan kelihaian kita. Hayo berlomba lempar mereka ke telaga!" Ouwyang Lam berkata sambil tertawa.

Siu Bi memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan tosu Kun-lun-pai. Mendengar ajakan ini, ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung Lo Tosu ke air telaga di depannya.

Tepat pada saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh dua orang tosu Kun-lun-pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan, tenggelam dan beberapa saat kemudian timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak berani ke pinggir karena para anggota Ang-hwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.

"Mereka sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi," kata Siu Bi, kakinya bergerak dan... perahu kecil itu sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air, dekat kedua orang tosu yang gelagapan itu.

Cepat mereka berenang mendekati dan meraih perahu, terus mendayung perahu dengan kedua tangan mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga, diikuti sorak-sorai dan ejekan para anggota Ang-hwa-pai.

Dapat dibayangkan alangkah malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu. Mereka terus berusaha sedapat mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi pulau dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Setelah perahu mereka bergerak sampai tengah telaga, jauh dari pulau itu, barulah mereka menyumpah-nyumpah dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.

"Pemuda jahanam, gadis liar!" Kung Thi Tosu memaki gemas. "Awas kalian orang-orang Ang-hwa-pai, Kun-lun-pai tidak akan mendiamkan saja penghinaan ini!"

"Sudahlah, Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke Kun-lun untuk melapor kepada sucouw (kakek guru)." Kung Lo Tosu menghibur.

Mereka terus mendayung perahu menggunakan kedua lengan. Karena mereka memiliki kepandaian tinggi dan tenaga mereka besar, walau pun perahu hanya didayung dengan tangan, perahu dapat meluncur cepat menuju ke darat.

Tiba-tiba saja dari sebelah kanan terlihat meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung ke kanan kiri sambil berdiri saja. Akan tetapi perahunya dapat meluncur laksana digerakkan tenaga raksasa!

Melihat ini saja, dua orang tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini tentulah seorang berilmu. Sebaliknya, gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua orang tosu yang mendayung perahu dengan hanya memakai tangan itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera membuang muka. Mereka menyangka bahwa gadis yang lihai ini tentulah juga anggota Ang-hwa-pai, sama dengan gadis remaja yang tadi merobohkan Kung Lo Tosu. Mereka tak mau mencari penyakit, tak mau mencari gara-gara, maka lebih aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.

Akan tetapi, tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu mereka. Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa kedua tosu itu menahan lajunya perahu dan memandang.

Yang berdiri di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis yang cantik manis. Senyumnya selalu menghias bibir, sepasang matanya nampak tajam serta berpengaruh, dan di balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang hitam dikuncir ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga.

Dengan mempergunakan dayung, gadis itu menahan perahunya, memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke depan dada, lalu berkata, suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus pula.

"Maaf, Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, tetapi saya mohon bertanya, telaga ini telaga apakah namanya dan pulau di depan itu pulau apa, siapa yang tinggal di sana?"

Kung Thi Tosu dan sute-nya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya, "Nona bukan orang sana? Bukan anggota Ang-hwa-pai?"

Sekarang gadis itu yang memandang heran, "Bukan, Totiang. Kalau saya orang pulau itu, masa masih bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu nama telaga dan pulau itu."

"Wah, kalau begitu lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Sangat berbahaya, Nona. Pulau di depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru saja terlepas dari bahaya maut."

"Akan tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!" sambung Kung Lo Tosu.

Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.

"Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-hwa-pai. Siapa sangka sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang adalah anak murid Kun-lun-pai? Harap Ji-wi Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?"

"Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak pinto kenal, maaf," kata Kung Thi Tosu.

Nona itu mengangguk. "Memang seharusnya begitu. Akan tetapi biar pun Ji-wi Totiang tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai tak akan asing mendengar nama saya dan tak akan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari Thai-san."

Dua orang tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan) merupakan sahabat baik ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.

"Ternyata Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Di antara sahabat sendiri, tentu saja pinto suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran."

Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai.

Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam. "Hemmm, terlalu sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"

"Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami."

"Memang sebaiknya begitu. Ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu saja saya tidak berhak mencampuri, tapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar sekali dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm..."

"Harap Nona jangan main-main di tempat ini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja sudah begitu lihai, belum lagi ketua mereka, Si nenek Ang-hwa Nio-nio. Juga anggota mereka jumlahnya banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona cepat meninggalkan tempat ini agar jangan sampai mengalami penghinaan."

Gadis itu tersenyum. "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang. Mendayung perahu hanya dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar!”

Sesudah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu kedua tosu. Tenaga dorongannya kuat bukan main sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya.

Kung Thi Tosu dan sute-nya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan terus dia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, dua orang tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona berperahu yang sudah kembali menggerakkan perahunya ke tengah telaga.

Kung Thi Tosu menarik nafas panjang. "Sute, perjalanan kita kali ini benar-benar sudah membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita sudah bertemu dengan tiga orang muda yang mempunyai kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun lagi kalau kita sudah kembali ke gunung," Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.

Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.

Sebagai puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja sejak kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.

Hanya satu hal yang menjengkelkan ayah bunda Cui Sian, yang membuat ibunya sering kali menangis sedih, yaitu watak bandel gadis ini mengenai perjodohan. Banyak sekali pendekar-pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang tergila-gila kepadanya. Sudah banyak pula datang lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak baiknya, kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Sian!

"Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui Bi...," demikian keputusan Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.

Ketua Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang ini mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil berkali-kali menarik nafas, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka pada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal.

Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya sendiri! Cerita tentang Cui Bi ini agaknya membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat dia tidak mau berbicara tentang perjodohan, bahkan membuat dia seperti membenci perjodohan.

"Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan mala petaka yang menimpa diri cici-nya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapa pun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau dia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa lagi, dia tentu akan mau sendiri," demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai kepada isterinya.

"Tapi... tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..." Isterinya tidak dapat melanjutkan kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata.

Kembali Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik nafas panjang. "Di dalam perjodohan, usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu |odohnya. Dia kini sudah dewasa dan mengenai kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri."

Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa dia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari ibunya dia menerima pedang Liong-cu-kiam yang pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,

"Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-thouw-san, Hoa-san, Kun-lun dan kalau kau pergi ke kota raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."

"Bekas tunangan cici Cui Bi?" Cui Sian mengerutkan kening.

Ayahnya tertawa. "Apa salahnya? Dahulu tunangan, tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai itu adalah sahabat baikku."

Setelah menerima nasehat-nasehat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian serta emas secukupnya, dengan hati gembira tentu saja.

Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai besar yang bersahabat dengan ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang tosu itu sebagai sahabat dan dia ikut merasa mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda Ching-coa-to. Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling pulau...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 06


Jaka Lola Jilid 05

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 05

Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya saja. Setelah minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya lalu makan buah. Barulah Yo Wan berkata, "Nona, kau baik sekali padaku. Terima kasih, daging kelinci tadi amat gurih dan langsung mengenyangkan perut. Airnya jernih, segar sekali. Dan buah-buah ini pun manis. Kau memang baik”.

"Terima kasih segala, untuk apa? Tidak ada kau pun aku toh harus makan dan minum. Kau berkali-kali menolongku, aku pun tidak bilang terima kasih padamu."

Yo Wan tersenyum. Dekat dan bercakap dengan nona ini memaksanya untuk sering tersenyum. "Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona."

"Siapakah kau ini? Siapa namamu?"

Yo Wan menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal keadaan mereka berdua.

"Ahh, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tetapi masih belum saling mengenal. Namaku… orang menyebutku Jaka Lola, Nona."

"Jaka Lola? Ayah bundamu... sudah tiada?"

Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya, "Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?"

"Orang-orang di dusun itu, para petani itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Sedangkan namaku... ahh, kau juga tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?"

Kembali Yo Wan tersenyum. "Namaku Yo Wan, hidupku sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang."

Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak serta suara Yo Wan ia berkata, "Namaku Siu Bi, hidupku sebatang kara, tiada sanak kadang, tidak punya tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apa pun jadi!" Dan ia tertawa lagi.

Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan menambah gemilangnya sinar matahari pagi. "Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah she-mu (nama keturunan)"

"Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan mau pun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau bersiaplah dan keluarkan senjatamu!" kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang tadinya ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang.

Yo Wan terkejut. "Eh… ehh… ehhh, apa pula ini?"

"Artinya, aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."

"Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona."

"Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, tetap harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!"

Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.

"Wah, gila...!" Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu sudah mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang!

Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental. Ia merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. Dia terkejut sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya. Akan tetapi pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling pula dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata mempunyai ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Jika aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati.

Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.

"Dukkk!"

Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia kenapa pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu!

Mukanya seketika menjadi amat merah. Ia penasaran, masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la segera mengeluarkan seruan keras dan kembali maju menerjang, mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.

Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biar pun hanya terbuat dari kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apa bila kedua senjata itu bertemu.

Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia yang berjulukan Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu saja? Bukan pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang hanya patut dipakai mainan anak kecil. Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak semakin ganas dan dahsyat.

Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apa lagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan bila mana tidak mempergunakan sinkang yang kuat. Dia pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-eng-cu.

Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesak dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang. Sekarang Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.

"Benar-benar kau aneh sekali, Nona,” seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu.

Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, namun khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, dia mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan…

"Tar-tar-tar!" cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.

“Ayaaa...!" Siu Bi kaget bukan main. Apa lagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan.

Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Akan tetapi, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia malah makin bersemangat.

"Wah, benar-benar keras hati dia...,” pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po.

Seketika Yo Wan lenyap dari depan Siu Bi dan dalam kebingungannya, gadis itu cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu kembali lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya sehingga kepalanya menjadi pening!

"Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali...," berkali-kali Yo Wan berseru.

Namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.

"Awas pedangmu!" Yo Wan berseru dan lenyap.

Pada waktu Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit pundak. Ternyata cambuk lawannya yang sudah melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!

Dengan marah sekali Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, lalu membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.

“Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah..."

Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.

"Heee, nona Siu Bi... tunggu... pedangmu...!" Yo Wan mengambil pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah berlari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.

"Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!" Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya. "Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu."

Kemudian ia mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan hati gadis itu agak mendingin. Kalau sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik. Seorang gadis luar biasa yang masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Benarkah dia pun sebatang kara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalami mala petaka atau menjadi rusak.

Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi. "Nona Siu Bi! Tunggu...!" Yo Wan berseru sambil mengerahkan khikang hingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti melangkah. Di depan kakinya tergeletak sehelai sapu tangan sutera kuning. Bukankah ini sapu tangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya sapu tangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Sapu tangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke sana ke mari.

"Nona Siu Bi! Di mana kau...?!" la berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.

"Celaka, apa artinya ini...?" Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi sapu tangan di tangannya. "Jangan-jangan..." la tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi. Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi?

Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya. Akan tetapi sesudah ternyata dia kalah jauh, dia menjadi kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah dia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan.

Siu Bi menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, maka ia lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak goanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah goa yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.

Goa itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya langsung diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam goa itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak kelihatan. Siu Bi meraba-raba dan ketika mendapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung lengan bajunya.

Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apa lagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Secara otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena terkejut, maka sekaligus dia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak.

"Bukkk!" orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang.

Siu Bi melompat bangun. Akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang, terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!

Beberapa detik kemudian, dua orang lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam goa. Salah seorang di antara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar goa, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa.

"Ha-ha-ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"

Kawannya yang mukanya pucat tertawa masam. "Bidadari namun pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat."

"Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!"

Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tidak lama kemudian mereka tiba di pinggiran Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.

"Hee, kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"

Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan itu ke dalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

"Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!" katanya.

"Bidadari yang pukulannya seperti setan!" sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.

Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut. "Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."

"Lekas kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya toanio (nyonya) seorang yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat sekali dan agaknya mengandung racun yang aneh."

Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda. "Kau menjaga di sini, kami akan ke pulau," pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya.

Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.

"Keparat, aku harus membalas ini." la bangkit hendak memasuki bilik perahu.

"Bian-te, sabarlah," cegah si brewok.

"Perjalanan ini masih lama, agaknya aku tak akan kuat. Tidak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."

"Jangan bunuh dia, Bian-te...," cegah si rambut putih. "Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha-ha-ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."

"Aku tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, tentu aku sudah menjadi mayat. Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati."

"Bian-te, dia hendak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum kongcu."

"Kongcu tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kongcu mau bisa berbuat apa kepadaku?" Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya hanya saling pandang.

"Dia sudah terluka hebat dan agaknya betul-betul tak akan dapat ditolong, biarkanlah dia menebus kekalahan dan membalas dendam," kata si rambut putih sambil mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.

Siu Bi sudah kena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuat dia mabuk dan pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia hitam. Ketika gadis ini mempelajari Iweekang, latihannya dengan berjungkir balik sehingga dalam pengerahan Hek-in-kang, jalan darahnya membalik dan sinkang dalam tubuhnya membentuk hawa Hek-in-kang yang beracun hitam.

Oleh karena itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia telah mulai bergerak biar pun masih pening, dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut.

Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini. Untung baginya, pada saat tadi terkena racun Ang-hwa-tok, dia baru mengerahkan Hek-in-kang sehingga tenaga mukjijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun. Sekarang dengan sinkang ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi.

Mendadak ada orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main, cepat membuka matanya. Hampir dia menjerit ketika melihat bahwa yang menindihnya adalah seorang lelaki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya menyeringai liar, dari ujung bibirnya bertetesan darah menghitam!

Dia tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya. Dia menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik, maka cepat Siu Bi mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-in-kang.

Lambung dan leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam. Dia memekik keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Pada waktu Siu Bi melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus!

Siu Bi bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh kebencian ia lalu menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu bilik kecil. Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang enak-enakan duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi. Cepat-cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, langsung menyerbu ke dalam bilik.

Sesosok bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam keadaan seperti itu. Bagaikan dua ekor beruang luka mereka berteriak keras dan menyerbu ke dalam bilik.

Siu Bi menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-in-kang untuk melawan. Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. Dia mencoba untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-in-kang.

Namun dua orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih, adalah jagoan-jagoan dari Ching-coa-to. Mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.

"Gong-twako, kita tangkap hidup-hidup!" seru si brewok.

Si rambut putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil membunuh seorang kawan, bila dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup kepada kongcu mereka di Ching-coa-to, jasanya tidak kecil. Pertama, dapat menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-hwa-pai (Perkumpulan Kembang Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek kepada kongcu!

Siu Bi melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka dengan pukulan Hek-in-kang. Namun, kedua orang musuhnya ini amat kuat dan gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening.

Tiba-tiba tampak sinar merah. Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat. Kembali dia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba dia menjadi lemas dan roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih sudah berhasil merobohkannya dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh Ching-coa-to.

Siapa mereka ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah perkumpulan yang disebut Ang-hwa-pai. Sesuai nama perkumpulannya, para tokoh ini memiliki tanda setangkai bunga berwarna merah, menghias sebagai sulaman pada baju yang menutupi dada kiri. Ang-hwa-pai bersarang di Pulau Ching-coa-to, yaitu Pulau Ular Hijau.

Kiranya para pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-coa-to. Pulau ini adalah tempat tinggal Ching-toanio, ibu dari Giam Hui Siang dan ibu angkat dari Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-toanio meninggal dan kedua orang puterinya itu menikah serta meninggalkan Ching-coa-to, pulau itu menjadi kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-toanio yang hidup sebagai perampok dan bajak sungai.

Beberapa bulan kemudian, muncul seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman dengan pakaiannya yang serba merah. Wanita galak yang genit, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara Ang-hwa Sam-cimoi yang amat lihai ilmu silatnya.

Di dalam cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat dua orang saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-coa-to adalah Kui Ciauw inilah. Tentu saja para anak buah Ching-coa-to telah mengenalnya.

Di dunia hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-hwa Sam-cimoi yang bahkan lebih lihai dari pada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang sudah tewas pula? Karena percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-coa-to mengangkat Kui Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Ang-hwa-pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-hwa Nio-nio.

la lalu mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi. Malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, dengan memanfaatkan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini lantas merajalela, merampok membajak dan keadaan mereka menjadi makin kuat karena banyak perampok ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-hwa-pai, lalu menggabungkan diri.

Ang-hwa Nio-nio atau Kui Ciauw ini tidak pernah melupakan dendam hatinya terhadap Pendekar Buta yang sudah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam ilmunya. Bahkan ia lalu menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan menyerang ke Liong-thouw san.

Ang-hwa Nio-nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biar pun sudah berusia hampir setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki. Maka, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan ketua ini mengumpulkan pria yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih atau ‘selir’. Tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena dipaksa dengan ancaman maut.

Setelah muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya dalam mengumpulkan pemuda-pemuda tampan baru berhenti. Ouwyang Lam adalah seorang pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang bajak tunggal. Bersama ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-hwa-pai dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi, kali ini Ang-hwa Nio-nio betul-betul ‘jatuh hati’ kepada Ouwyang Lam.

Agaknya cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-hwa Nio-nio kali ini benar-benar jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lam selalu dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir atau membunuhi puluhan orang ‘selir’ laki-laki itu! la ingin memonopoli ketua Ang-hwa-pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia dan karena pemuda ini ingin pula mewarisi kepandaiannya.

Dan demikianlah kenyataannya. Ouwyang Lam lalu diambil sebagai ‘putera angkat’ oleh Ang-hwa Nio-nio, mendapat sebutan kongcu (tuan muda), dihormat oleh seluruh anggota Ang-hwa-pai dan selain kedudukan yang tinggi ini, juga pemuda yang cerdik ini setiap hari memeras ilmu-ilmu kesaktian dari ‘ibu angkat" alias kekasihnya ini untuk dimilikinya.

Terdorong cinta kasih yang membuatnya tergila-gila, Ang-hwa Nio-nio tidak segan-segan menurunkan semua ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Ouwyang Lam sangat hebat. Bahkan Ilmu Pedang Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang) yang menjadi kebanggaan Ang-hwa Sam-cimoi dahulu, telah diajarkan kepada Ouwyang Lam.

Dasar Ouwyang Lam memang pandai mengambil hati, maka dia bersumpah kepada kekasihnya bahwa kelak dia sendiri yang akan membalaskan dendam kekasihnya itu kepada Pendekar Buta. Tentu saja untuk ini dia memerlukan ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat berhasil. Tidak ini saja, malah pemuda tampan ini begitu dimanja sehingga segala permintaannya dituruti, termasuk pula kegemarannya akan wanita cantik. Ang-hwa Nio-nio yang sudah setengah tua itu tidak memiliki hati cemburu, bahkan rela membagi cinta kasih Ouwyang Lam.

Demikianlah sekelumit keadaan Ang-hwa-pai di Ching-coa-to. Kalau kepalanya bergerak ke utara, tak mungkin ekornya menuju selatan demikian kata orang-orang tua. Dengan pimpinan macam Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, dapat dibayangkan betapa bobrok moral para anak buah dan anggota Ang-hwa-pai.

Mereka seperti mendapat contoh dan demikianlah, seluruh wilayah di sebelah barat dan selatan kota raja, penuh dengan orang-orang Ang-hwa-pai yang bergerak dan merajalela menjadi perampok atau bajak yang malang-melintang tanpa ada yang berani melawan mereka. Asal ada penjahat yang memakai tanda bunga merah di dada yang melakukan gerakan, tidak ada yang berani berkutik!

Ouwyang Lam amat pandai dan cerdik sehingga untuk memperkuat kedudukannya, dia tidak segan-segan mempergunakan uang untuk menyuap sana-sini, menghubungi para pembesar dan menghamburkan uang secara royal kepada para pembesar korup yang memenuhi negara pada masa itu. Para pembesar korup sangat berterima kasih dan menganggap orang-orang Ang-hwa-pai amat baik. Mereka tidak peduli bahwa uang yang dipakai menyogok dan menyuap mereka itu adalah uang hasil rampokan!

Siu Bi sungguh malang nasibnya, terjatuh ke tangan tiga orang tokoh Ang-hwa-pai. Akan tetapi baiknya ia memiliki wajah yang amat jelita sehingga hal ini menggerakkan hati dua orang penawannya untuk mencari jasa hendak mempersembahkan dia kepada Ouwyang Lam!

Tentu saja hal ini baik baginya, karena dalam keadaan pingsan di perahu itu, nasibnya sudah berada di tangan si rambut putih dan si brewok. Namun, mengingat akan hadiah dan kedudukan yang mungkin dinaikkan, dua orang itu tidak berani mengganggu Siu Bi, ingin mempersembahkan gadis ini kepada kongcu mereka dalam keadaan utuh! Mereka hanya mengikat kaki tangan Siu Bi, kemudian cepat-cepat mereka mendayung perahu, langsung menuju ke Ching-coa-to.

Dan inilah sebabnya mengapa Yo Wan sia-sia saja mengejar. la tidak mengira bahwa Siu Bi ditangkap orang di dalam goa kemudian dilarikan dengan perahu. Terlalu lama dia mencari-cari di dalam hutan, berputar-putar tanpa hasil. Baru setelah menjelang senja, ia sampai di pinggir Sungai Fen-ho, berdiri termangu-mangu di tepi sungai….
cerita silat karya kho ping hoo

Pada saat tersadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat kaki tangannya serta rebah di atas pembaringan dalam perahu, Siu Bi menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak merasakan sesuatu, juga tidak menderita luka. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk mengerahkan tenaga melepaskan diri dari belenggu, ia mendapat kenyataan bahwa tali-tali yang mengikat kaki tangannya amatlah kuat, tak mungkin diputus mempergunakan tenaga.

la mengeluh dan mulailah ia menyesal. Kenapa ia melarikan diri meninggalkan Yo Wan? Kalau ada Yo Wan di dekatnya, tak mungkin ia sampai mengalami bencana seperti ini. Lebih menyesal lagi ia mengapa pedangnya, Cui-beng-kiam, ia tinggalkan di depan kaki Yo Wan. Kalau perginya membawa senjatanya yang ampuh itu lebih baik lagi. Kalau ia tidak bertanding melawan Yo Wan, kalau... kalau... ahh, tidak akan ada habisnya hal-hal yang sudah terlanjur dan sudah lalu disesalkan. Sesal kemudian tiada guna. Perahu itu dengan cepatnya meluncur sepanjang Sungai Fen-ho, sampai masuk Sungai Kuning di selatan. Kemudian membelok ke timur melalui Sungai Kuning yang lebar dan diam.

Selama beberapa hari melakukan perjalanan melalui air ini, Siu Bi tetap dalam belenggu. Akan tetapi gadis ini tidak diganggu dan karena mengharapkan sewaktu-waktu mendapat kesempatan membebaskan diri, Siu Bi tidak menolak suguhan makan minum yang setiap hari diberi oleh dua orang penawannya. la harus menjaga kesehatannya dan memelihara tenaga agar dapat dipergunakan sewaktu ada kesempatan.

Perjalanan dilanjutkan melalui darat. Kedua orang itu dengan mudah mendapatkan tiga ekor kuda dari kawan-kawan mereka yang memang banyak terdapat di sekitar daerah itu, merajalela dan boleh dibilang menguasai keadaan di sebelah selatan dan barat dan kota raja.

Akhirnya mereka menyeberang telaga dan mendarat di Pulau Ching-coa-to di tengah telaga. Pulau ini sekarang berubah keadaannya jika dibandingkan belasan tahun yang lalu. Setelah Ang-hwa-pai berdiri dan pulau ini dijadikan pusat, pulau ini dibangun dan dari jauh saja sudah tampak bangunan-bangunar yang besar dan megah. Taman bunga yang dulu menjadi kebanggaan Ching-toanio dan puteri-puterinya, terpelihara baik-baik, malah dilengkapi pondok-pondok mungil karena tempat ini terkenal pula sebagai tempat Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam bersenang-senang.

Siu Bi merasa heran dan kagum juga sesudah ia dibawa mendarat dari perahu yang menyeberangi telaga. Pulau itu benar-benar indah, juga megah. Apa lagi ketika mereka mendarat di pulau, mereka disambut oleh sepasukan penjaga yang berpakaian lengkap, berseragam dan bersikap gagah. Di dada kiri mereka tampak sebuah lencana, yaitu sulaman berbentuk bunga merah.

Si rambut putih yang agaknya mempunyai kedudukan lumayan tinggi di pulau ini, segera menyuruh seorang penjaga lari melapor kepada pangcu (ketua) dan kongcu (tuan muda). Penjaga itu berlari cepat. Siu Bi digiring berjalan memasuki pulau itu dengan perlahan, diiringkan sepasukan penjaga dan diapit oleh kedua orang penawannya.

Tak lama kemudian rombongan ini berhenti dan dari depan tampak serombongan orang berjalan datang dengan cepat. Siu Bi membelalakkan mata, menatap penuh perhatian.

la melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang telanjang di tangan, berjalan dengan teratur di kanan dan kiri. Di tengah-tengah tampak berjalan dua orang.

Yang seorang adalah wanita tua yang berkulit hitam dan pakaiannya biar pun terdiri dari sutera mahal dan amat mewah, akan tetapi benar-benar tidak serasi karena warnanya merah darah dan berkembang-kembang, amat tidak cocok dengan kulit hitam itu. Apa lagi karena muka itu meski pun dibedaki dan ditutupi gincu, tetap saja memperlihatkan keriput-keriput usia tua.

Seorang nenek yang amat pesolek dan sinar matanya tajam dan liar. Akan tetapi langkah kakinya sedemikian ringannya seakan-akan tidak menginjak bumi, menandakan bahwa ginkang dari nenek ini luar biasa hebatnya. Orang kedua adalah seorang laki-laki muda, kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tegap, agak pendek namun wajahnya tampan sekali dengan kulit yang putih kuning, alis hitam panjang dan matanya bersinar-sinar.

Mereka ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio atau paicu, ketua dari Ang-hwa-pai, dan Ouwyang Lam atau kongcu yang sesungguhnya mempunyai kekuasaan tertinggi di sana karena si ketua itu berada di telapak tangan si pemuda ganteng!

Tempat itu kini penuh dengan para anggota Ang-hwa-pai dan semua orang memandang Siu Bi penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika ketua mereka muncul. Si rambut putih dan si brewok juga segera berlutut memberi hormat, lalu berdiri lagi. Pandang mata Ouwyang Lam untuk sejenak menjelajahi Siu Bi, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia menoleh kepada si rambut putih. Ada pun Ang-hwa Nio-nio segera menegur.

"Betulkah seperti yang kudengar bahwa bocah ini sudah membunuh A Bian? Mengapa kalian tidak segera membunuhnya dan perlu apa dibawa-bawa ke sini?"

"Maaf, kami sengaja menangkap dan membawanya ke sini supaya mendapat putusan sendiri tentang hukumannya dari Paicu dan Kongcu," kata si rambut putih dengan nada suara menjilat. "Lagi pula, bagaimana kami dapat membuktikan tentang kematian A Bian kalau pembunuhnya tidak kami seret ke sini?"

"Hemmm, bocah yang berani membunuh seorang pembantuku, apa lagi hukumannya selain mampus? Biar aku sendiri membunuhnya!" Tangan nenek ini bergerak, terdengar angin bercuitan ketika angin pukulan meluncur ke arah dada Siu Bi.

Gadis ini terkejut bukan main. Hebat pukulan ini dan karena kedua tangannya masih dibelenggu, hanya kedua kakinya saja yang bebas, ia terpaksa melompat cepat ke kiri.

"Srrrttt…!"

Pinggir bajunya tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Siu Bi berubah. la maklum bahwa nenek ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihai ilmunya.

"Ihhh, kau berani mengelak?" Nenek itu memekik, suaranya melengking tinggi.

Kembali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Siu Bi. Gadis ini kembali mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia telah siap dan mengerahkan Hek-in-kang di tubuhnya, maka ia tidak mengalami luka, hanya terhuyung dan roboh miring di atas tanah.

Muka nenek itu berubah. Baru kali ini ia mengalami hal yang seaneh ini. Biasanya, kalau pukulannya sudah dilakukan, tentu seorang lawan akan roboh binasa. Apa lagi kalau pukulannya yang mengandung hawa racun merah ini mengenai sasaran, tentu yang terkena akan terluka dalam.

Akan tetapi gadis ini hanya terhuyung dan roboh, tetapi tidak terluka. Ini membuktikan bahwa gadis ini ‘ada isinya’. Saking penasaran, ia lalu mengerahkan tenaga dan hendak memukul lagi. Akan tetapi Ouwyang Lam mencegah, menyentuh lengan nenek itu sambil berkata,

"Nio-nio, harap sabar dulu..."

"Apa?" Kau masih belum puas dengan mereka itu dan hendak mengambil dia? Hati-hati, perempuan seperti ia bukan untuk hiburan, sekali ia lolos akan mendatangkan bencana!" kata Ang-hwa Nio-nio sambil menuding ke arah Siu Bi yang sudah melompat bangun lagi dan memandang mereka dengan mata terbelalak penuh hawa amarah dan kebencian. Sedikit pun gadis ini tidak memperlihatkan rasa takut.

"Bukan begitu, Nio-nio. Ingat, Nona ini mempunyai kepandaian, akan tetapi menghadapi seorang nona muda, dua orang kita menawannya dan membelenggunya seperti itu, sudah merupakan hal yang meremehkan nama besar kita. Apa lagi sekarang kau hendak membunuhnya dalam keadaan terbelenggu, aku khawatir nama besarmu akan ternoda. Nio-nio, biarkan aku menghadapinya setelah belenggunya dilepas, agaknya ia lihai, patut aku berlatih dengannya. Ehh, Nona, sesudah kau lancang tangan membunuh seorang pembantu kami dan kau telah ditangkap ke sini, kau hendak berkata apa lagi?"

Siu Bi mengerutkan alisnya, matanya seolah-olah mengeluarkan api ketika memandang kepada wajah tampan itu. "Kenapa banyak cerewet lagi? Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mampus? Pura-pura akan membebaskan, hemmm, kalau benar-benar kedua kakiku bebas, aku akan membunuh kalian semua, tak seekor pun akan kuberi ampun!"

Inilah makian dan hinaan yang sangat hebat. Semua orang sampai melongo. Alangkah beraninya bocah ini. Sudah tertawan, sedang berada di tangan musuh dan tak berdaya, nyawanya tergantung di ujung rambut, tapi masih begitu besar nyalinya. Benar-benar hal yang amat mengherankan untuk seorang gadis remaja seperti ini.

Akan tetapi Ouwyang Lam tertawa girang. Hatinya amat tertarik kepada gadis ini. Cantik jelita dan gagah perkasa. Walau pun baginya tidaklah sukar untuk mencari gadis cantik, malah boleh jadi lebih cantik dari pada Siu Bi, akan tetapi takkan mudah mendapatkan seorang gadis yang begini gagah perkasa dan bernyali harimau.

Kalau dia bisa mendapatkan seorang seperti itu di sampingnya, selain dia mendapatkan pasangan yang setimpal, juga gadis ini dapat merupakan tambahan tenaga yang amat penting dan memperkuat kedudukan mereka. Memang Ouwyang Lam orangnya cerdik, penuh tipu muslihat dan akal yang halus sehingga biar pun di hatinya dia mempunyai niat yang tidak baik, namun pada lahirnya dia bisa kelihatan amat baik dan peramah.

"Nona, karena kau seorang gagah, maka kuberi kesempatan untuk membela diri. Kami dari Ang-hwa-pai juga orang-orang gagah dan menghargai kegagahan. Kau kubebaskan dari belenggu dan boleh membela diri dengan kepandaianmu!"

Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu belenggu pada kedua tangan Siu Bi sudah putus. Kiranya itu tadi adalah sinar pedang di tangan Ouwyang Lam!

Siu Bi kagum. Ia maklum bahwa pemuda ini juga merupakan lawan yang berat. Namun, mana ia menjadi gentar karenanya? la tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir rasa pegal.

Berhari-hari sudah dia dibelenggu dan hal ini membuat kedua lengannya terasa pegal. la mengerahkan tenaga sinkang untuk mendorong peredaran darahnya, terutama di bagian kedua lengan sehingga ia dapat mengusir semua rasa kaku dan dapat bergerak lincah kembali. Setelah merasa dirinya sehat kembali, ia lalu menghadapi Ouwyang Lam dan berkata,

"Nah, aku telah siap. Siapa yang akan maju menghadapi aku? Ataukah barangkali kalian hendak mengandalkan kegagahan dengan cara pengeroyokan?" Ucapan ini merupakan tantangan yang mengandung ejekan.

Saking marahnya muka Ang-hwa Nio-nio yang hitam sampai berubah menjadi semakin hitam. Gadis ini benar-benar memandang rendah Ang-hwa-pai. Akan tetapi Ouwyang Lam tersenyum dan melangkah maju. Pedangnya masih berada di tangan, akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berkata halus,

"Nona, aku sudah siap dengan pedangku. Harap kau suka mengeluarkan senjatamu."

Diam-diam Siu Bi menghargai sikap pemuda tampan ini, setidaknya pemuda ini memiliki watak yang gagah, tidak seperti nenek yang tak tahu malu menyerangnya ketika masih terbelenggu kedua tangannya tadi. Akan tetapi pedang Cui-beng-kiam dia tinggalkan di depan kaki Yo Wan.

”Aku mengandalkan kedua kepalan tangan dan kakiku. Kalau pedangku Cui-beng-kiam berada di sini, mana orang-orangmu mampu menghinaku?"

Rasa kagum Ouwyang Lam makin besar dan dia yakin bahwa gadis ini tentulah seorang pendekar wanita yang gagah. Dia segera menyimpan kembali pedangnya dan berkata, "Kalau begitu, marilah kita main-main dengan tangan kosong. Majulah, Nona."

Siu Bi tak mau sungkan-sungkan lagi. Setelah sekarang ia ditantang dan tidak dikeroyok, ini merupakan keuntungannya dan ia harus membela diri sekuat tenaga. Sambil berseru panjang ia lalu menerjang maju. Akan tetapi betapa pun juga, ia ingat akan budi pemuda ini.

Biar pun merupakan seorang musuh, pemuda ini harus ia akui telah menolong nyawanya tadi ketika ia hendak dibunuh dalam keadaan terbelenggu oleh nenek yang lihai itu. Maka ia pun hanya ingin merobohkan pemuda ini saja, kalau mungkin tanpa melukainya, apa lagi membunuhnya. Oleh karena inilah maka ia lalu memainkan ilmu silat biasa yang ia pelajari dari ayahnya dan dari Hek Lojin. Gerakannya sangat gesit, serangannya ganas dan dahsyat, juga tenaga dalamnya amat kuat.

"Bagus!" Ouwyang Lam berseru ketika menyaksikan ketangkasan lawannya.

la juga menggerakkan kaki tangannya, bersilat dengan gaya yang indah. Dalam sekejap mata saja, keduanya sudah saling terjang, saling serang dengan hebat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata karena bayangan itu sudah menjadi satu. Angin pukulan dan gerakan tubuh menyambar-nyambar ke kanan kiri dan empat puluh jurus lewat dengan amat cepatnya.

Diam-diam Ang-hwa Nio-nio mendongkol melihat murid dan kekasihnya itu tidak segera menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, yaitu Ilmu Silat Bintang Terbang yang merupakan ilmu silat tertinggi yang dimilikinya.

Sementara itu, diam-diam Siu Bi mengeluh. Kiranya pemuda ini benar-benar lihai sekali sehingga jangankan bicara tentang merobohkan tanpa melukai, mengalahkan pemuda ini saja masih merupakan hal yang belum tentu kecuali kalau ia mainkan Hek-in-kang. Akan tetapi kalau dia keluarkan ilmu ini, tak mungkin lagi mengalahkan tanpa membahayakan jiwa lawannya.

"Kenapa tidak keluarkan Hui-seng (Bintang Terbang)?" tiba-tiba saja nenek itu berseru menegur murid dan kekasihnya.

Melihat Ouwyang Lam sampai puluhan jurus belum juga mampu mengalahkan lawan, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran. Hal ini akan membikin malu dirinya, merendahkan nama Ang-hwa Nio-nio sekaligus Ang-hwa-pai! Memang hal ini amat luar biasa bagi para anggota Ang-hwa-pai.

Biasanya, Ouwyang Kongcu adalah orang yang amat lihai, hanya kalah oleh Ang-hwa Nio-nio dan begitu ia turun tangan semua tentu beres. Belum pernah para anggota ini melihat ada lawan yang mampu melawan Ouwyang Kongcu lebih dari sepuluh jurus. Namun sekarang, dara remaja yang menjadi tawanan dua orang pembantu itu ternyata dapat menahan terjangan Ouwyang Kongcu sampai begitu lama tanpa terlihat terdesak! Tentu saja hal ini tidak mengherankan bagi Ouwyang Kongcu dan bagi Ang-hwa Nio-nio karena kedua orang ini cukup maklum bahwa dua orang pembantu mereka sama sekali bukanlah lawan gadis ini. Mereka dapat menawannya tentu karena hasil dari Ang-tok-san yaitu bubuk racun merah yang dapat membius lawan.

Mendengar seruan Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam menjadi ragu-ragu. Betapa pun juga, dia belum kalah dan biar pun dia tidak dapat mendesak gadis itu, namun sebaliknya dia pun tidak terdesak. Mereka sama kuat dan hal ini membuat hatinya gembira dan kagum bukan main. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini hebat.

Tadinya dia sama sekali tidak mengira bahwa Siu Bi akan begini kosen sehingga dapat mengimbangi permainan silatnya. Tentu saja hal ini membuat rasa sayangnya terhadap Siu Bi makin menebal. la tidak tega untuk mempergunakan ilmu silat yang lebih dahsyat, khawatir kalau-kalau melukai Siu Bi dan membikin gadis itu menjadi sakit hati. la hendak membaiki gadis ini, hendak memikat hatinya karena dia betul-betul jatuh hati yang baru pertama kali ini dia alami.

Akan tetapi, di pihak Siu Bi, seruan itu merupakan tanda bahaya. Jika lawannya memiliki ‘simpanan’ yang belum dikeluarkan, ini berbahaya. la tidak mau didahului, maka tiba-tiba Siu Bi mengeluarkan seruan nyaring laksana pekik burung elang dan kedua lengannya bergerak aneh, diputar-putar secara luar biasa.

Segera tampak sinar menghitam menyambar-nyambar. Dari dua lengan itu tampak uap hitam dan Ouwyang Lam merasakan sambaran hawa pukulan yang amat dahsyat. Ketika dia menangkis, lengannya terasa panas sekali dan nyeri sampai menembus ke ulu hati. Kagetlah dia dan sambil terhuyung-huyung dia mundur ke belakang dengan muka pucat.

Akan tetapi karena maklum bahwa lawannya ini betul-betul hebat, mempunyai simpanan ilmu dahsyat yang baru sekarang ini dikeluarkan, segera Ouwyang Kongcu mengerahkan tenaga mengusir rasa nyeri, berbareng dia membentak keras dan tubuhnya mumbul ke atas, lalu menukik ke bawah melakukan penyerangan balasan. Inilah sebuah jurus dari Ilmu Silat Hui-seng Kun-hoat, ilmu silat Bintang Terbang yang di samping gerak-geriknya hebat sekali, juga mengandung hawa pukulan beracun, racun ang-tok (racun merah)!

Pada waktu Siu Bi menangkis dengan tenaga Hek-in-kang, keduanya terhuyung mundur dengan muka berubah. Tahulah mereka bahwa masing-masing kini sudah mengeluarkan kepandaian dan tenaga simpanan. Ilmu Pukulan Hek-in-kang yang mengandung racun hitam kini bertemu tanding dengan hawa pukulan racun merah.

Akan tetapi keduanya menyesal bukan main karena apa bila dilanjutkan, mereka berdua terpaksa akan mempergunakan dua macam ilmu dahsyat ini dan akibatnya, yang kalah tentu akan celaka, apa bila tidak tewas paling sedikit tentu akan terluka parah di sebelah dalam tubuh!

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Ang-hwa Nio-nio berseru.

Tubuhnya segera melayang menengahi kedua orang muda yang sedang bertanding itu. Karena nenek ini menggunakan kedua tangan mendorong, dua orang muda itu terpaksa meloncat ke belakang.

"Kau mau mengeroyok?" Siu Bi mendahului membentak.

Bentakan yang merupakan gertak belaka karena sesungguhnya di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau nenek ini benar-benar mengeroyoknya. Kalau benar demikian, biar pun ia tidak akan mundur, akan tetapi boleh dipastikan bahwa ia akan kalah dan roboh.

Dalam pertemuan tenaga dengan pemuda itu tadi saja sudah dapat ia bayangkan bahwa tidak akan mudah baginya mengalahkan Ouwyang Lam. Apa lagi kalau nenek ini yang agaknya malah lebih lihai lagi dari pada si pemuda, turun tangan mengeroyoknya.

Akan tetapi Ang-hwa Nio-nio tidak bergerak menyerang. Wajahnya kereng dan suaranya berwibawa, "Bocah, kau jangan sombong terhadap Ang-hwa Nio-nio! Kau tadi mainkan Hek-in-kang, orang tua Hek Lojin masih terhitung apamukah?"

Siu Bi kaget. Baru kali ini semenjak ia turun gunung, ada orang yang mampu mengenal Hek-in-kang. Banyak orang lihai dia temui, termasuk Jenderal Bun, isterinya, puteranya dan Si Jaka Lola. Akan tetapi mereka semua tidak mengenal ilmunya. Bagaimana nenek genit ini dapat mengenal Hek-in-kang? Malah tahu pula bahwa Hek-in-kang adalah ilmu mendiang kakeknya, Hek Lojin yang dikenalnya pula?

Setelah nenek ini mengetahui semuanya, agaknya tidak perlu lagi berbohong, malah dia hendak menyombongkan kakeknya yang dia tahu amat lihai dan sangat terkenal di dunia kang-ouw.

"Hek Lojin adalah kakekku. Mau apa kau tanya-tanya?" jawab Siu Bi dengan nada suara sombong dan tidak mau kalah.

”Kakekmu?!" Keriput-keriput pada wajah nenek itu semakin mendalam. ”Bagaimana bisa jadi? Maksudmu kakek guru? Kau mengenal The Sun?"

Berdebar jantung Siu Bi. Terang bahwa nenek ini bukanlah orang asing bagi ayah dan kakeknya. Biar pun di dalam hati ia tidak mau lagi mengakui The Sun sebagai ayahnya karena ia pun maklum sekarang bahwa The Sun memang bukan ayahnya, akan tetapi agaknya nama The Sun dan Hek Lojin akan dapat menolongnya pada saat itu.

Meski pun Siu Bi seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la sangat cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di pulau orang, musuh-musuhnya lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan perasaannya dan menjawab,

"Dia adalah ayahku." Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut ‘dia’ saja.

Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak dia memandang Siu Bi dengan mata terbelalak, mulut ternganga, lalu perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia kemudian lari merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.

"Aihhh, siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"

Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba saja perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul dugaan yang mengerikan dalam hatinya. Jangan jangan... jangan jangan... dia tidak saja bukan anaknya The Sun, akan tetapi juga bukan anak ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah ibu kandungnya!

Dengan muka pucat diam-diam dia berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik sehingga ia tidak mampu bertanya apa yang dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata ‘orang-orang sendiri’ tadi.

Adalah Ouwyang Lam yang juga amat terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan, "Nio-nio, apakah artinya ini? Siapakah Nona ini?"

Ang-hwa Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.

"Mari kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan semua keteranganku di rumah... ahhh, untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu, anakku..."

Mual rasa perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya ‘anakku’. Akan tetapi karena bekas lawan bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapa pun juga, ia masih ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kutang di balik baju… ehh, udang di balik batu!

"Sungguh aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau memang benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu memperlakukan aku sedemikian rupa? Ini penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.”

"Ohhh, mereka tidak tahu...."

"Kalau pun tidak tahu, bila sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan kepada mereka?"

Ang-hwa Nio-nio segera sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke sana ke mari mencari-cari. Akhirnya dia dapat menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan si brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!

"Kami... kami betul-betul tidak tahu...," kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tak karuan.

"Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid orang tua Hek Lojin sebagai tawanan? Ahh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita takkan dapat lama berdiri tegak."

Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-nio bergerak. Terdengar jerit dua kali dan tubuh dua orang pembantu itu lantas terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka berubah merah laksana darah dan nafas mereka sudah putus! Kedua orang itu sudah terkena pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga beracun ang-tok sepenuhnya!

Ang-hwa Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi. "Nah, itulah hukuman mereka yang berani menghinamu, anakku. Mari, mari... marilah ikut bibi Kui Ciauw, sahabat baik ayahmu..."

Siu Bi merasa begitu lega, seolah-olah batu sebesar gunung yang tadi menindih hatinya diangkat orang ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nio-nio, adalah sahabat baik ‘ayahnya’, jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Oleh karena hati yang lega dan puas ini, dia tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada ‘bibi Kui Ciauw’ dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!

Sikap Kui Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah aneh. Belasan tahun yang silam wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-hwa Sam-cimoi (Tiga Kakak Beradik Bunga Merah). Mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin, melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya.

Kemudian mereka semua ini dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah. la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.

Dia tadi sudah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini, maka sebagai orang segolongan, tentu saja dia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh lebih berharga dari pada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu Bi.

Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas pulau dan memasuki gedung besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio serta Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal, gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding, membuat gedung itu kelihatan seperti sebuah istana.

Setelah mereka bertiga duduk di ruang tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Ang-hwa Nio-nio mulai bercerita, "Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwa-pai, namun kau boleh menyebutku bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman seperjuangan dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapa namamu tadi?

"Namaku Siu Bi."

"The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa memiliki seorang anak secantik engkau. Dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya bahkan lebih hebat dari pada ayahmu sendiri. Siu Bi, apakah ayah dan kakekmu sama sekali tidak pernah bercerita tentang aku?"

Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Ah, bagaimana mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tidak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"

Mendengar disebutnya musuh besarnya ini, bangkitlah semangat Siu Bi. "Aku memang sengaja turun gunung untuk mencari Pendekar Buta. Aku hendak membalaskan dendam mendiang kakek dan membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."

Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Tadi kau bilang... mendiang kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah meninggal?"

Siu Bi mengangguk dan wanita itu meramkan sepasang matanya. "Ahh, sungguh sayang sekali. Akan tetapi, sekarang ada kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari sama-sama kita menggempur Pendekar Buta, kita hancurkan kepalanya, kita cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh yang penasaran!"

Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang luar biasa tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini dia bergidik juga. "Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan membuntungi lengannya, juga lengan isterinya serta anak-anaknya."

"Aku akan membantumu..."

"Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."

"Dia lihai sekali."

"Tidak peduli. Aku tidak takut!"

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya. Dia tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar untuk diajak berunding. Dia mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera berkata sambil tersenyum.

”Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang kedua matanya buta saja takut? Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita memiliki kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."

Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi pun dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi tidak enak sendiri mendengar dia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya. "Mengapakah kalian juga bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya."

Ang-hwa Nio-nio girang melihat hasil bujukan dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi penjelasan.

"Siu Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, sebelum kau dilahirkan, ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan karena ayahmu tidak sanggup menangkan musuhnya, maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Tetapi ternyata kakekmu juga kalah, malah lengannya dibuntungi. Ada pun aku sendiri, bersama dua orang adik perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami, akan tetapi dalam pertempuran itu, dua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil menyelamatkan diri. Karena itulah, aku kemudian bersumpah untuk membalas dendam atas kematian saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayah dan kakekmu. Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan satu golongan?"

Siu Bi diam-diam terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Dia semakin ragu-ragu, apakah dia akan dapat menangkap musuh besar itu? Dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan orang-orang pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apa lagi dengan adanya Ang-hwa Nio-nio akan lebih mudah baginya untuk bisa mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-hwa Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.

"Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama ke Liong-thouw-san mencari musuh besar kita."

Ang-hwa Nio-nio tertawa. "Hi-hi-hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat Siu Bi. Tak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus lebih dulu menghubungi teman-teman segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di antaranya ada pamanku Ang Moko yang telah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami lebih dahulu, karena pada saat ini kami sedang menunggu kedatangan musuh-musuh kami yang datang dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau membantu kami, bukan?"

"Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui pokok persoalannya. Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun itu? Aku pernah mendengar dari kakek bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar."

Ang-hwa Nio-nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk, "Sebetulnya, dengan Kun-lun-pai langsung kami tak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-goanswe sehingga menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami."

"Jenderal Bun di Tai-goan?" tanya Siu Bi, kaget.

Tercenganglah Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. "Kau kenal dia?"

"Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu para petani yang ditindas."

"Dia memang sombong!" kata Ouwyang Lam. "Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentang-mentang) jenderal itu putera dari ketua Kun-lun-pai dan sahabat baik Pendekar Buta, sama sekali tidak memandang mata kepada orang-orang seperti kita!"

Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin tak senang kepada keluarga Bun.

"Apakah yang terjadi?" tanyanya.

"Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar, malah kami tak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tertinggi di wilayah ini, apa bila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwa-pai mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu sudah bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kepandaian?"

"Hemmm, lalu apa yang terjadi?"

"Agaknya urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal Bun. Kun-lun-pai mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa sesudah negara menjadi aman, tidak semestinya kami mengacau. Tentu saja aku tidak sanggup menahan kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Karena itu, dalam beberapa hari ini kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai ke sini. Apa bila terjadi keributan dengan pihak Kun-lun-pai yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi."

Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apa lagi karena jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai ia tak mempunyai hubungan apa-apa, sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini merupakan orang segolongan dengannya, sama-sama musuh besar Pendekar Buta.

"Baiklah, tentu aku akan membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jenderal Bun, aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan."

Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta pora. Diam-diam Siu Bi merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu benar-benar sangat ramah kepadanya, bahkan pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung bisa bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam, sebab jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil gemilang tujuan perjalanannya.

Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan sangat manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya.

Baru saja mereka selesai makan dan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada dua orang tosu sedang menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke pulau.

"Mereka mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu," penjaga itu mengakhiri laporannya.

Ouwyang Lam meloncat berdiri. "Biarkan aku saja yang pergi menemui mereka," katanya kepada Ang-hwa Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. "Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang Kun-lun-pai?"

Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke pulau ini, tentu dengan maksud mencari perkara, dia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau dia dipercaya mewakili tuan rumah. Dia menoleh ke arah Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,

"Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."

Pemuda itu sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai. Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang sikapnya kereng dan angker. Perahu mereka yang kecil telah berada di darat dan tak jauh dari tempat itu tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian.

Semenjak terjadi peristiwa ada utusan Kun-lun-pai tewas di situ, mereka telah menerima perintah dari ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono apa bila bertemu dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan tetapi langsung melaporkan pada ketua. Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-hwa-pai tidak mengganggu dua orang tosu itu.

Saat melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, dua orang tosu itu menjadi tercengang dan saling pandang. Apa lagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka kemudian menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

Ouwyang Lam segera bertanya, "Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?"

Tosu yang bertahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, "Betul, orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah ketua kami mengantar seorang suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu, harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang berkunjung."

Ouwyang Lam tertawa. "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beri tahukan saja kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan aku."

"Hemmm, begitukah?" Kung Thi Tosu berkata sambil menatap tajam wajah Ouwyang Lam. "Sudah lama pinto mendengar nama Ouwyang Kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke sini. Di manakah suheng kami itu?"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Totiang, apa kau kira aku ini seorang gembala keledai maka kau tanya-tanya kepadaku mengenai keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain. Pulau kami bukan tempat bagi para tosu."

Meski pun terdengar lemas akan tetapi jawaban ini sangat menghina dan menyakitkan hati karena menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi semakin pucat mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.

"Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman, kemudian ketua kami mengutus suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi peringatan secara halus, mengingat kita sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang sangat hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di seberang dan suheng seorang diri yang datang ke sini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul. Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda, lekas katakan di mana adanya Kun Be Suheng”.

Berubah wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.

”Aku tidak tahu yang mana itu suheng-mu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang kurang ajar yang mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia sudah tewas.”

”Keparat! Jadi kau... kau membunuh suheng...?" Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah sekali. "Kalau begitu Ang-hwa-pai memang benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan..."

Ouwyang Lam tertawa mengejek. "Tosu bau, dengarlah baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran atau pun pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku sendiri yang hendak dikacau orang lain, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"

"Ang-hwa-pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”

Ouwyang Lam menoleh ke arah Siu Bi. "Kau lihatlah, betapa menjemukan. Apa kau mau membantuku melempar mereka ke dalam telaga?"

Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan aneh lagi. Semenjak tadi dia pun sudah jemu menyaksikan tingkah orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di pihak benar.

Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, dan sama sekali bukan karena kedudukannya, atau karena partainya yang besar. Dalam urusan ini Kun-lun-pai terlalu memandang rendah terhadap Ang-hwa-pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apa lagi menegur. Orang-orang Kun-lun-pai mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.

"Mari...!" kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.

Dua orang tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau ini sebagai utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar diadili.

Akan tetapi mereka keliru apa bila mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangan, dia telah menyambut terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat, memaksa dua orang tosu itu mengelak sambil menyusul dengan serangan dari samping.

Akan tetapi, pada saat itu pula Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu sehingga terpaksa tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan hati kedua orang tosu Kun-lun-pai. Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang Kongcu yang terkenal kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki dan tangan sambil mengeluarkan Ilmu Silat Kun-lun-pai.

Mereka adalah tosu-tosu tingkat ke empat di Kun-lun-pai, ilmu kepandaian mereka tinggi. Meski pun mereka percaya bahwa suheng mereka tewas, akan tetapi mereka mengira bahwa tewasnya sang suheng itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu adalah karena bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini!

Setelah bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang tosu itu kaget dan mendapatkan kenyataan bahwa kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan hendak menangkap, menyerang saja mereka tidak mampu lagi, hanya dapat mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena kedua orang muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa.

Kung Lo Tosu menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan lawannya, dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan main. Ada pun Kung Thi Tosu juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum yang aneh.

"Adik Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan kelihaian kita. Hayo berlomba lempar mereka ke telaga!" Ouwyang Lam berkata sambil tertawa.

Siu Bi memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan tosu Kun-lun-pai. Mendengar ajakan ini, ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung Lo Tosu ke air telaga di depannya.

Tepat pada saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh dua orang tosu Kun-lun-pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan, tenggelam dan beberapa saat kemudian timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak berani ke pinggir karena para anggota Ang-hwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.

"Mereka sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi," kata Siu Bi, kakinya bergerak dan... perahu kecil itu sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air, dekat kedua orang tosu yang gelagapan itu.

Cepat mereka berenang mendekati dan meraih perahu, terus mendayung perahu dengan kedua tangan mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga, diikuti sorak-sorai dan ejekan para anggota Ang-hwa-pai.

Dapat dibayangkan alangkah malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu. Mereka terus berusaha sedapat mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi pulau dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Setelah perahu mereka bergerak sampai tengah telaga, jauh dari pulau itu, barulah mereka menyumpah-nyumpah dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.

"Pemuda jahanam, gadis liar!" Kung Thi Tosu memaki gemas. "Awas kalian orang-orang Ang-hwa-pai, Kun-lun-pai tidak akan mendiamkan saja penghinaan ini!"

"Sudahlah, Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke Kun-lun untuk melapor kepada sucouw (kakek guru)." Kung Lo Tosu menghibur.

Mereka terus mendayung perahu menggunakan kedua lengan. Karena mereka memiliki kepandaian tinggi dan tenaga mereka besar, walau pun perahu hanya didayung dengan tangan, perahu dapat meluncur cepat menuju ke darat.

Tiba-tiba saja dari sebelah kanan terlihat meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung ke kanan kiri sambil berdiri saja. Akan tetapi perahunya dapat meluncur laksana digerakkan tenaga raksasa!

Melihat ini saja, dua orang tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini tentulah seorang berilmu. Sebaliknya, gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua orang tosu yang mendayung perahu dengan hanya memakai tangan itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera membuang muka. Mereka menyangka bahwa gadis yang lihai ini tentulah juga anggota Ang-hwa-pai, sama dengan gadis remaja yang tadi merobohkan Kung Lo Tosu. Mereka tak mau mencari penyakit, tak mau mencari gara-gara, maka lebih aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.

Akan tetapi, tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu mereka. Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa kedua tosu itu menahan lajunya perahu dan memandang.

Yang berdiri di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis yang cantik manis. Senyumnya selalu menghias bibir, sepasang matanya nampak tajam serta berpengaruh, dan di balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang hitam dikuncir ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga.

Dengan mempergunakan dayung, gadis itu menahan perahunya, memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke depan dada, lalu berkata, suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus pula.

"Maaf, Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, tetapi saya mohon bertanya, telaga ini telaga apakah namanya dan pulau di depan itu pulau apa, siapa yang tinggal di sana?"

Kung Thi Tosu dan sute-nya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya, "Nona bukan orang sana? Bukan anggota Ang-hwa-pai?"

Sekarang gadis itu yang memandang heran, "Bukan, Totiang. Kalau saya orang pulau itu, masa masih bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu nama telaga dan pulau itu."

"Wah, kalau begitu lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Sangat berbahaya, Nona. Pulau di depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru saja terlepas dari bahaya maut."

"Akan tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!" sambung Kung Lo Tosu.

Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.

"Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-hwa-pai. Siapa sangka sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang adalah anak murid Kun-lun-pai? Harap Ji-wi Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah terjadi antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?"

"Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak pinto kenal, maaf," kata Kung Thi Tosu.

Nona itu mengangguk. "Memang seharusnya begitu. Akan tetapi biar pun Ji-wi Totiang tidak mengenal saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai tak akan asing mendengar nama saya dan tak akan marah kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan Cui Sian dari Thai-san."

Dua orang tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan) merupakan sahabat baik ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.

"Ternyata Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Di antara sahabat sendiri, tentu saja pinto suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran."

Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai.

Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam. "Hemmm, terlalu sekali mereka itu. Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"

"Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami."

"Memang sebaiknya begitu. Ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu saja saya tidak berhak mencampuri, tapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi. Mereka itu kurang ajar sekali dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm..."

"Harap Nona jangan main-main di tempat ini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja sudah begitu lihai, belum lagi ketua mereka, Si nenek Ang-hwa Nio-nio. Juga anggota mereka jumlahnya banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona cepat meninggalkan tempat ini agar jangan sampai mengalami penghinaan."

Gadis itu tersenyum. "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang. Mendayung perahu hanya dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar!”

Sesudah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu kedua tosu. Tenaga dorongannya kuat bukan main sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya.

Kung Thi Tosu dan sute-nya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan terus dia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, dua orang tosu itu dapat mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona berperahu yang sudah kembali menggerakkan perahunya ke tengah telaga.

Kung Thi Tosu menarik nafas panjang. "Sute, perjalanan kita kali ini benar-benar sudah membuka mata kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita sudah bertemu dengan tiga orang muda yang mempunyai kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun lagi kalau kita sudah kembali ke gunung," Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.

Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.

Sebagai puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja sejak kecilnya Cui Sian telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis yang sakti. Wataknya pendiam seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.

Hanya satu hal yang menjengkelkan ayah bunda Cui Sian, yang membuat ibunya sering kali menangis sedih, yaitu watak bandel gadis ini mengenai perjodohan. Banyak sekali pendekar-pendekar muda, bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang tergila-gila kepadanya. Sudah banyak pula datang lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak baiknya, kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui Sian!

"Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui Bi...," demikian keputusan Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.

Ketua Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang ini mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil berkali-kali menarik nafas, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya. Teringatlah mereka pada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara gagal.

Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan (sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta) sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya sendiri! Cerita tentang Cui Bi ini agaknya membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat dia tidak mau berbicara tentang perjodohan, bahkan membuat dia seperti membenci perjodohan.

"Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan mala petaka yang menimpa diri cici-nya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapa pun juga, jodoh adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau dia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa lagi, dia tentu akan mau sendiri," demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai kepada isterinya.

"Tapi... tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..." Isterinya tidak dapat melanjutkan kata-katanya, menahan isak dan menghapus air mata.

Kembali Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik nafas panjang. "Di dalam perjodohan, usia tidak menjadi soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita. Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu |odohnya. Dia kini sudah dewasa dan mengenai kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri."

Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika ibunya malam hari itu memberi tahu bahwa dia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari ibunya dia menerima pedang Liong-cu-kiam yang pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,

"Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-thouw-san, Hoa-san, Kun-lun dan kalau kau pergi ke kota raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."

"Bekas tunangan cici Cui Bi?" Cui Sian mengerutkan kening.

Ayahnya tertawa. "Apa salahnya? Dahulu tunangan, tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik, karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai itu adalah sahabat baikku."

Setelah menerima nasehat-nasehat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah Cui Sian turun gunung, membawa bekal pakaian serta emas secukupnya, dengan hati gembira tentu saja.

Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai besar yang bersahabat dengan ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang tosu itu sebagai sahabat dan dia ikut merasa mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda Ching-coa-to. Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling pulau...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 06