Si Tangan Sakti Bagian 04

Cerita silat karya kho ping hoo

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI TANGAN SAKTI BAGIAN 04

Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu, kemudian berkata. "Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggota keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Selain itu, para anggota keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau turut dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai."

"Jika benar begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Pek-lian-kauw dan lain-lain!" kata Kao Hong Li.

Ayahnya menghela napas panjang. "Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua."

Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang sudah berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasehati yang muda agar tidak tergesa-gesa mengambil tindakan.

"Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri," kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. "Bagaimana pun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng, hal itu bukanlah urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan kehebohan di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi, dan kita juga sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri."

Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alis dan dia pun mengeluarkan pendapatnya. "Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biar pun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Dan melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi itu, tidak mungkin ia begitu tolol menantang kita selagi semua anggota keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar."

"Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita," kata Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong.

Demikianlah, para anggota tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu. Mereka menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan.

Jika ada pihak golongan sesat yang datang memusuhi seorang atau dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh sebab memang mereka selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggota dari tiga keluarga besar selagi mereka semua berkumpul, sungguh ini hanya bisa dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut.

Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari tiga keluarga itu sudah pasti takkan mengeroyoknya. Agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak.

Memang, andai kata yang menghadapi gadis tadi adalah Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang. Akan tetapi siapa pun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apa lagi membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-beng-pai itu, maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.

Sampai jauh malam barulah para anggota tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.

Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggota keluarga yang melihat gadis itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali.

Tan Sin Hong menghiburnya. "Sudahlah, anak kita toh bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri."

"Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya," isterinya membantah.

Semua anggota kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.

Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong. "Lihatlah Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apa lagi jika mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi."

Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggota keluarga yang mendengarkan.

Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang semenjak kecil itu. Juga dia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.

Harap Ayah dan Ibu tidak khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati,' demikian ia mengakhiri suratnya.

"Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!" seru Can Bi Lan. "Biar pun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li, akan tetapi ke mana dia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tanpa pernah berhasil!"

"Memang semenjak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!" kata Kao Hong Li. "Bagaimana pun juga, ia masih belum matang benar meski pun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan dapat menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?"

Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. "Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan."

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata, "Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong. Sian Li sudah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biar pun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik."

Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.

Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. "Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang sambil menyelidiki Pao-beng-pai?"

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu.

Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu, wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat. "Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kau lakukan itu baik dan benar, Ciang Hun."

Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya. "Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!"

Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu, dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah ia persiapkan sejak ia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li lalu saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekali pun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka.

Bukan karena mereka tidak setuju, karena betapa pun Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang juga merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun.

Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata, "Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga lagi bermaksud pergi ke kota raja untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun."

"Pangeran?" Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. "Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberi tahu kami?"

Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu. Dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa dia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!

Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan oleh kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya. "Ayah, kami memang belum memberi tahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu."

"Tapi... tapi kenapa seorang pangeran...?" Kao Cin Liong berkata lirih.

Ia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan, yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong. Maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!

Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. "Jika seorang pangeran, kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami pun sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li."

Kao Cin Liong hanya menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanyalah membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.

Sementara itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya. Dan kini dia mendengar sendiri dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya pasrah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Jika memang anaknya berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.

Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggota keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggota keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi.

Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalam urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak.

Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka yang tersayang itu sebenarnya sudah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga supaya suami isteri ini tidak merasa menyesal.

"Kita harus mengambil seorang murid lagi!" tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.

"Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun." Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.

"Kita harus mencarinya," berkata suaminya. "Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas."

"Hemm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan. Kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri yang akan kita warisi ilmu-ilmu kita."

"Benar, akan tetapi baik Suma Lian mau pun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga memiliki guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, juga aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita supaya kelak dapat diteruskan serta dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat." Pendekar itu menarik napas panjang.

Isterinya tersenyum. "Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang nanti menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya."

Suaminya mengangguk-angguk. "Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai kita berhasil menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?"

Isterinya memandang dengan wajah berseri. "Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, jika melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai."

Sepasang suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. Tanpa perlu sepatah kata pun, mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing.
Si tangan sakti bagian 04

Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah mau pun buruan para pendekar, bila sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.

Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa. Bahkan di beberapa tempat terdapat pula lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalam rawa itu. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, maka jangan harap akan dapat selamat jika tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar.

Pada saat malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seakan-akan laksaan iblis berpesta pora di sana. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan)!

Akan tetapi, jika ada orang yang mempunyai kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah ini, maka dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu.

Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya.

Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.

Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat mulai dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja, setiap hari tentu dibutuhkan tenaga belasan orang!

Pagi hari itu cuaca amat cerah. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang berhembus dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.

Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan suara seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar, yang cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau, menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.

Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki. Ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu.

Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok. Dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekali pun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di sana. Terlalu besar bahayanya!

Karena itulah, maka ketiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka menemui jalan buntu, akan tetapi ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.

Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga merasa penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas terbabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!

"Hemm, kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok. "Tadi pun kita sudah lewat di sini."

"Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?" orang kedua mengomel.

"Jelaslah bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga berupa semacam jebakan. Kita harus berhati-hati," kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

"Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani membuat jebakan di dalam hutan ini untuk menghina kita?" orang ke dua bertanya penasaran.

Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu. Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.

"Kalian tenang dan bersabarlah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. "Kita sendiri yang bersalah, kita terlalu tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah kini sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini."

Ketiga orang itu berhenti melangkah, nampak seperti kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka ialah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit, kerasnya tulang serta lihainya ilmu silat.

"Hemm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?" si muka hitam mengomel lagi.

"Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. "Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon."

Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.

"Ahhh, bukan main...! Betapa megahnya sarang mereka...! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!"

Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah merasa tertarik, dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Nampaknya tak jauh lagi dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.

"Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon.

Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.

"Wah, sekarang baru enak jalannya!" katanya.

Ia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apa lagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.

"Tolooonggg...! Twako.... Ji-ko, tolong...!" Dia berkaok bagaikan seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali.

Melihat hal ini, si muka hitam terkejut. Segera dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan itu, memegangi dengan kedua tangannya kemudian ia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.

Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tanpa dapat dielakkannya lagi, dia pun turut terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.

"Tolong...! Twako (Kakak Tertua) tolong...!"

Sekarang si muka hitam juga ikut berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Ada pun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.

Ketika melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!

"Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya mendongkol.

Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu tersadar. Mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka pun tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam. Mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.

Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu pada sebatang pohon yang besar, lalu melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.

Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang pada dahan kayu, dibantu si kumis tipis. Biar pun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.

"Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan," sang kakak mengomel.

"Aihh, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri bila dikenang kembali!" kata si gendut.

"Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!" kata si muka hitam.

"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain," kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.

Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena kini mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tidak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.

Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali buntu, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak menggunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada. Jalan buntu!

"Jahanam! Kita bertiga diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering sehingga tubuhnya terasa kaku dan gatal-gatal.

"Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" berkata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.

Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel sambil menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu.

Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tidak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.

Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar. "Kalian jangan sembarang bicara! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!"

Dia memandang ke arah seberang sana, lalu memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khikang dan berteriak lantang.

"Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!"

Suara itu terdengar lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khikang, dan gemanya terdengar membalik dari sekeliling tempat itu.

"Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan," tiba-tiba terdengar suara lembut.

Mereka bertiga kaget sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, hanya tahu-tahu sudah di situ, tersenyum manis.

Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!

Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. "Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?"

Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah. "Aku adalah manusia biasa. Aku salah seorang di antara prajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)."

"Bukan main!" kata si muka hitam yang sejak tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. "Apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita bagaikan engkau ini, Nona?"

Gadis itu menggelengkan kepala. "Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku."

"Nanti dulu!" si gendut berteriak. "Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!"

"Aku juga!" kata si muka hitam.

Mereka berdua tadi bertanya apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini. Kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.

Gadis itu tersenyum dan nampaklah deretan giginya yang berkilauan. "Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya sangat jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana."

Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh ketiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.

Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.

Setelah melewati hutan itu, mendadak saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih. Di dekat situ terdapat pula sebuah air terjun kecil yang bersih pula airnya.

Seperti berebut saja, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus oleh kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka di dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor. Kini mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.

Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang berkumis tipis itu duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak keterangan yang dapat dia peroleh dari gadis itu.

Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, sedang mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.

"Aku tidak boleh banyak bicara. Nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas," demikian katanya mengakhiri keterangannya.

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dulunya dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang banyak orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia menunjuk ke arah kedua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.

Gadis itu kembali tersenyum. "Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberi tahu, bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya sehingga kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang untuk menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi."

Si tinggi kurus menghela napas panjang. "Sudahlah, bagaimana pun juga kamilah yang bersalah sebab tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?"

"Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini."

Dua orang yang membersihkan diri sekarang sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini sudah mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka menggunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.

Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walau pun masih tidak mungkin diloncati orang meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.

"Wah, kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.

"Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.

Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. "Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya."

"Maksudmu, Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.

"Menyeberangi jurang ini," kata gadis itu dengan sikap tenang.

Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang sambil terbelalak. "Akan tetapi, siapakah yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?" tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.

"Tidak meloncati, melainkan menyeberang."

"Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya...," kata pula si muka hitam.

"Tunggu dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya mulai tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.

Gadis berpakaian putih itu lalu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.

Tidak lama kemudian, dari seberang sana terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncullah seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.

"Singgg... wirrrrr...!"

Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali, hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.

Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru kini mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan yang kuat tetapi mengait kendur sehingga dari seberang sana, dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.

"Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini," kata gadis pakaian putih.

"Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.

Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, tetapi belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tidak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan bahwa nyawa akan melayang ketika badan terbanting hancur di dasar jurang!

Gadis itu tersenyum mengejek. "Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang ke sana dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai."

Setelah berkata demikian, ia kemudian melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata. "Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang."

Setelah berkata demikian, lalu ia pun mulai melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.

"Jangan membikin malu saja," kata si tinggi kurus.

Dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti pula oleh si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang telah menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan tinggi, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apa lagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.

Setelah mereka semua tiba di seberang jurang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walau pun wajahnya tersenyum dan berusaha memperlihatkan ketenangan dan kegagahan, tapi jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang, walau pun tadi ia pun sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, karena membayangkan akibatnya kalau-kalau sampai terjatuh...


JILID SELANJUTNYA SI TANGAN SAKTI BAGIAN 05


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.