Si Bangau Merah Bagian 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Si Bangau Merah Bagian 17

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 17

Apakah yang terjadi dengan diri Sian Lun? Mengapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap seperti itu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan?

Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai tiga kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria yang tampan, mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya, bahkan kalau pria itu menolak, mereka akan memaksanya.

Selain ilmu silat mereka lihai sekali, mereka juga pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apa lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es!

Mereka akan mendapat banyak sekali keuntungan jika berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh-musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es sebab pemuda itu merupakan murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.

Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Sejak dewasa, sudah sering kali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan birahinya. Dia pun sudah sering kali memandang kepada sumoi-nya, Tan Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah birahi.

Apa lagi setelah ia mendengar percakapan suhu dan subo-nya, yang ingin menjodohkan dia dengan Sian Li, sering kali ia membayangkan betapa senangnya bila ia bermesraan dengan sumoi-nya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan sering kali terbawa dalam mimpi.

Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja ia tidak merasa takut kepada sumoi-nya yang dalam hal kepandaian silat jauh lebih tangguh darinya, tentu sudah dia nyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Terasa amat menyiksa baginya, bagai seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya, atau seorang yang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya.

Berkobarnya nafsu birahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawannya dengan dua keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoi-nya yang cantik itu amat galak dan lihai!

Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan terbawa sejak lahir, merupakan alat bagi manusia untuk hidup di dunia. Nafsu birahi merupakan sesuatu yang amat penting, bahkan mutlak sebagai pendorong agar manusia tidak akan musnah, agar dapat berkembang biak.

Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah manusia atau makhluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.

Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu birahi ini, disertakan rasa nikmat sehingga semua makhluk termasuk manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri.

Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, tapi terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan dari pada nafsu birahi, malah nafsu birahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Kalau sudah begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri.

Semua agama serta filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia supaya sadar akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri di dalam diri. Namun, jarang ada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apa pun yang klta lakukan, di situ pasti terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan diri kita sendiri.

Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita.

Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, pada makanan, kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya.

Nafsu merupakan pembawaan yang diikut sertakan saat kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar. Akan tetapi, di samping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan, yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama sebagai manusia, yaitu mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini.

Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menaklukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa, menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi.

Tetapi, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran. Maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan untuk bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan.

Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan untuk mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tiada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, bagai api di dalam sekam yang tiap waktu akan dapat berkobar lagi.

Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena ‘kita’ inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanyalah untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu.

Setan memang amat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk menggoda kita. Bila kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, tidak akan mungkin kita mampu mengalahkan setan! Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat menundukkan segala yang ada. yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan!

Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat, menyerah dengan total dan mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita. Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu kehidupan manusia di dunia dan tak lagi menjadi majikan yang kejam, tak lagi menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan.

Menyerah tanpa syarat, bukan ‘menyerah demi untuk memperoleh sesuatu’, karena jika demikian halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja!


Sian Lun yang masih hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian Sam-li. Apa lagi ketiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang ke dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan masih ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka!

Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu birahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh. Kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan ketiga orang wanita itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak!

Dia merasa seakan-akan dia sudah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan memanjakannya hingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biar pun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu!

Hanya dalam waktu satu malam, Sian Lun sudah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas.

Dalam keadaan seperti inilah, Pangeran Gulam Sing datang mendekati dan menjanjikan kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia.

Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, dan diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoi-nya sendiri, dia lalu melakukannya dengan suka rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing.

Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika secara tiba-tiba suheng-nya menotoknya. Karena sama sekali tak menyangka bahwa suheng-nya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah. Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun.

Makin besar keheranan Sian Li pada saat dia dibawa oleh suheng-nya ke sarang Hek-I Lama! Dalam perjalanan tadi, saat suheng-nya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suheng-nya tentu bermaksud akan menyelamatkannya, mengira bahwa suheng-nya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama jubah hitam itu!

"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah tanpa tenaga sehingga untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.

"Kau diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian Lun.

Anehnya, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, para pendeta Lama yang berada di situ hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoi-nya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.

Sian Li membelalakkan mata ketika melihat suheng-nya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.

"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" kembali ia bertanya.

Kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walau pun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri.

Sian Lun tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan kaki tangan sumoi-nya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan dan memberontak."

"Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"

Pemuda itu menundukkan muka, dia tidak berani menentang pandang mata sumoi-nya secara langsung! Bagaimana pun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walau pun di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.

"Sumoi, tiada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu. Tak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita gunakan untuk membela negara dan bangsa."

Sian Li membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, dan jalan darahnya telah normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dia mencoba mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia.

Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoi-nya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah dibikin putus. Andai kata belenggu itu terbuat dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suheng-nya.

Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.

"Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."

"Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," berkata pula Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra dia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.

"Nih upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya.

Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya telah terjadi. Suheng-nya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suheng-nya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya seperti seekor serigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.

"Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya kau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuih, muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li membuang muka, dia tidak sudi lagi memandang wajah suheng-nya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan hatinya.

"Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun. "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya."

Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata sekarang nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar.

Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung.

Hal yang amat menyakitkan hatinya yaitu bila ia teringat kepada Sian Lun. Suheng-nya itu telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar hal ini? Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?

Sian Li tak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi!

Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan pada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat pada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan. Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan melihat domba!

Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han yang dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun.

Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya!

Sungguh mengherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Taihiap yang demikian saktinya.

Terdengar suara laki-laki di depan pintu sedang bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya, lalu beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul?

Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang sedang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh kemarahan dan kebencian.

Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.

"Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengarlah, engkau telah tertawan dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walau pun ia tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.

Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu mencurigai aku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggu dirimu? Pula, dalam keadaan terbelenggu ini, bagaimana mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau melarikan diri, maka aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan engkau akan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."

Sian Li mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."

Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!

"Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak supaya para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari." Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.

Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kaki untuk melancarkan jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi dia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di kamar itu.

"Cu Ki Bok, apa artinya ini? Katakan saja terus terang, mengapa engkau menolongku? Dengan pamrih apa? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk sekarang dan tewas di tangan kalian!"

"Sabar dan tenanglah, Nona. Percayalah, kali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya aku bersiasat dan membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak berdaya?"

"Lalu, kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"

Tentu saja Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali berjumpa, dia sudah jatuh hati pada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia mengaku cinta begitu saja, karena selain hal itu mentertawakan, juga sudah pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau bersiasat.

"Ada dua hal yang memaksa aku tak bisa membiarkan engkau tertawan dalam keadaan tersiksa dalam belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa, bukan penjahat, bahkan tenagamu dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan, engkau patut diperlakukan dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian Lun."

Bagaimana pun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda tampan murid Lulung Ma itu.

"Apa yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Mengapa dia bersikap seperti itu, berpihak kepada kalian dan mengkhianatiku?"

Cu Ki Bok menghela napas panjang. "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk lutut terhadap rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam Sing. Berjuang menentang penjajah Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu. Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menaluk karena terbujuk rayuan tiga orang wanita itu."

"Hemmm, kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"

"Aku murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan tetapi bukan penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya kerja sama di bidang menghadapi musuh, bukan untuk urusan lain. Aku amat tidak suka cara-cara pengecut dan curang."

Sian Li mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. Ada benarnya pula ucapan pemuda itu. Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa tidak ada gunanya mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andai kata ada muslihat di balik pertolongan pemuda ini tentulah hanya untuk menyenangkan hatinya supaya dia mau bekerja sama, membantu mereka dalam perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat sesuatu yang buruk dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.

"Hemm, kalau begitu, sekarang aku menjadi tawanan, dan tidak boleh keluar dari tempat ini? Apakah aku boleh keluar dari kamar ini dan dengan bebas melihat-lihat keadaan di dalam sarang kalian ini?"

"Nona, akulah yang bertugas menjaga dan mengamatimu, dan aku sudah memberi tahu kepada semua anggota Hek-I Lama agar engkau dibiarkan tinggal di sini dengan bebas, asalkan engkau tidak membikin ribut, tidak pula berusaha melarikan diri. Akulah yang bertanggung jawab atas dirimu, maka kalau Nona melarikan diri, berarti membikin susah padaku. Aku telah berusaha menghindarkan dirimu dari keadaan yang tidak enak, maka kuharap engkau juga suka menjaga agar aku tidak sampai mendapat kesusahan karena engkau lari."

Sian Li lantas mengangguk-angguk. "Baiklah, Cu Ki Bok. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Liem Sian Lun, jahanam itu. Aku harus membuat perhitungan dengan dia!" Sian Li mengepal tinju, marah sekali kalau teringat kepada suheng-nya itu.

Cu Ki Bok mengerutkan alisnya. "Nona Sian Li, jika kebetulan engkau bertemu dengan suheng-mu itu tentu saja..."

"Dia bukan suheng-ku lagi! Mungkin aku akan membunuh jahanam itu kalau bertemu dengan dia!"

"Nah, itulah yang kurisaukan. Kalau Nona bertemu dan bicara dengan dia, hal itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau sampai Nona menyerangnya, padahal kini Sian Lun sudah menjadi sekutu kami, tentu semua orang akan membantunya dan Nona akan dipersalahkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa urusan antara Nona dengan Sian Lun merupakan urusan pribadi, sebaiknya Nona bersabar hati dan menunggu sampai kelak setelah kalian berada di luar lingkungan kami, barulah Nona bisa membuat perhitungan. Jangan di sini, Nona.”

Sian Li mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. Sian Lun kini telah menjadi sekutu mereka. Kalau dia menyerang Sian Lun, tentu mereka akan membantunya, bahkan pemuda di depannya ini tentu saja terpaksa harus berpihak kepada Sian Lun pula.

"Baiklah, aku tidak akan menyerangnya. Akan tetapi setidaknya ajaklah dia ke sini agar aku dapat bertanya sendiri kepadanya. Dengan begitu, hatiku baru akan puas dan yakin bahwa dia benar-benar telah menyeleweng."

"Akan kuusahakan, Nona."

Pemuda itu lalu mengajak Sian Li keluar dari kamarnya. Dan kini, dalam keadaan sadar dan tidak terbelenggu, gadis itu mendapat kesempatan mengamati keadaan di sarang Hek-I Lama itu.

Tempat itu merupakan perkampungan besar dan di tengah-tengah terdapat bangunan induk yang bentuknya seperti kuil. Bangunan induk itu besar sekali, sedangkan tempat di mana ia dikurung merupakan bangunan di sebelah kiri bangunan induk.

Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah-rumah yang bentuknya sama, dan itulah tempat tinggal para anggota Hek-I Lama. Terdapat pula bangunan baru berupa pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anggota pasukan Nepal, juga tempat para tamu dari pengemis tongkat hitam.

Setelah keluar dari rumah tempat ia di tahan, nampaklah oleh Sian Li betapa melarikan diri dari situ merupakan hal yang tidak mungkin. Banyak sekali anggota gerombolan itu berkeliaran, dan penjagaan juga diadakan dengan amat ketatnya. Baru rumah di mana ia dikurung itu saja dijaga oleh sedikitnya dua puluh orang! Tak mungkin ia dapat pergi tanpa diketahui dan sekali ketahuan, tentu ia akan dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang.

Cu Ki Bok berkata benar. Alangkah bodohnya bila ia berusaha melarikan diri. Sebaiknya bersabar menunggu kesempatan yang lebih baik. Selama tak diganggu, ia akan tinggal di situ, menanti kesempatan melarikan diri, atau menunggu sampai munculnya Yo Han karena dia merasa yakin bahwa Yo Han pasti tidak akan membiarkan saja dia menjadi tawanan gerombolan. Teringat akan Yo Han, Sian Li tersenyum. Bekas suheng-nya itu hebat bukan main!

"Kenapa Nona tersenyum?" tanya Cu Ki Bok. Ketika gadis itu memandang kepadanya, pemuda itu pun tersenyum. "Senang melihat Nona gembira," sambungnya.

"Tempat ini indah sekali, dan penjagaannya sangat kuat. Engkau benar sekali, Ki Bok. Aku harus menunggu dengan sabar dan tidak akan mencoba kebodohan melarikan diri. Dan kalau engkau beritikad baik, jangan sebut Nona kepadaku. Namaku Sian Li."

Wajah pemuda itu berseri. "Aku tahu bahwa engkau adalah gadis yang selain gagah perkasa dan cerdik, juga berhati mulia, Nona... ehh, Sian Li. Sungguh aku akan merasa bahagia sekali kalau akhirnya akan dapat menjauhkanmu dari bencana dan ancaman bahaya. Nah, sekarang engkau akan kutinggal. Akan tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan mencoba untuk membuat keributan. Nona... eh, kau akan selalu diawasi, Sian Li. Dan seperti yang kukatakan tadi, aku yang diserahi tugas menjagamu dan bertanggung jawab."

Sian Li mengangguk tegas. "Baiklah, Ki Bok. Dan aku sudah berjanji, bukan? Aku tidak akan suka melanggar janjiku sendiri."

Ki Bok tersenyum dan pergi meninggalkannya. Hemm, pemuda itu semakin tampan bila tersenyum, pikir Sian Li. Sayang pemuda sebaik itu berada di tengah orang-orang Hek-I Lama, tempat yang sungguh tidak sesuai dengan dirinya. Dan ia teringat betapa Ki Bok juga telah menguasai ilmu kepandaian silat yang tangguh.

Sian Li berjalan-jalan, dan kemana pun ia pergi di dalam kampung para pendeta Lama itu, ia tahu bahwa semua mata mengamatinya. Dia selalu dibayangi secara diam-diam.

Pada saat ia tiba di pintu gerbang, satu-satunya pintu gerbang di perkampungan itu, ia melihat betapa di situ terdapat puluhan orang penjaga! Dan perkampungan itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi, bahkan di sudut-sudutnya terdapat menara di mana terdapat penjaga pula. Seperti benteng saja. Belum lagi perondaan yang dia lihat dilakukan oleh pasukan kecil Hek-I Lama.

Sukarlah untuk dapat melarikan diri dari perkampungan itu, dan agaknya lebih sukar lagi untuk menyusup masuk! Walau pun demikian, dia yakin bahwa Yo Han akan mampu menyerbu masuk dan menemukan dirinya.

Benar seperti dikatakan Ki Bok, kemana pun ia pergi, sampai ke pintu gerbang pun, tidak ada orang yang melarangnya, namun makin dekat dengan pintu gerbang, semakin banyak orang membayangi dan mengamatinya. Agaknya semua anggota Hek-I Lama sudah mendapat perintah untuk mengamatinya, akan tetapi tanpa mengganggunya.

Diam-diam dia bersyukur dan berterima kasih kepada Cu Ki Bok. Akan tetapi karena teringat betapa ia ditipu Sian Lun, bahkan lalu dibelenggu oleh bekas suheng-nya itu, ia amat membenci Sian Lun. Ia berusaha untuk menemui bekas suheng itu, sekarang ia tidak sudi lagi mengaku suheng kepadanya, namun usahanya sia-sia saja.

Ia sampai pula di pemondokan para orang Nepal, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu lagi ketika melihat betapa mata orang-orang Nepal itu memandang padanya seperti sekumpulan serigala memandang seekor domba muda yang gemuk. Juga ia merasa jijik ketika melihat sekelompok anggota pengemis tongkat hitam yang berpakaian butut dan dekil, kotor sekali dan jorok.

Dengan berindap-indap ia kini menghampiri bangunan yang berbentuk kuil. Baru tiba di pekarangan saja sudah mendengar suara orang berdoa, diiringi ketukan kayu berirama. Dan ketika ia tiba di ambang pintu gerbang masuk, nampak asap tebal mengepul tebal dari ruangan depan yang menjadi ruangan sembahyang seperti pada kuil-kuil biasa.

Kiranya bangunan induk ini di bagian depannya memang merupakan kuil yang luas dengan ruangan sembahyang yang mewah. Dan di tempat ini, penjagaan lebih ketat lagi walau pun penjaganya tidak tampak berjaga, melainkan para pendeta yang bertugas di situ.

Ia dibiarkan masuk ke ruangan ke dua di belakang ruangan sembahyang dan ternyata ruangan ini lebih luas lagi. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat sebuah peti mati berada di tengah ruangan ini, lengkap dengan meja sembahyang dan dikelilingi pendeta-pendeta Lama yang berdoa. Ada orang mati di sini!

Dan setelah dia menjenguk ke dalam, barulah dia tahu mengapa tadi dalam perjalanan berkeliaran di perkampungan itu, dia tidak bertemu dengan tokoh-tokoh persekutuan itu. Kiranya mereka semua berkumpul di ruangan ini, agaknya melayat yang mati!

Dan semua orang itu agaknya tidak mempedulikan Sian Li yang berada di luar pintu. Dengan terang-terangan Sian Li memandang ke arah kelompok yang duduk di ruangan itu. Ia melihat mereka lengkap semua! Lulung Lama, Cu Ki Bok, Hek-pang Sin-kai ketua perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam, Pangeran Gulam Sing dengan dikawal oleh dua orang jagoannya yaitu Badhu dan Sagha. Ada pula Pek-lian Sam-li bersama Liem Sian Lun yang duduk di tengah-tengah antara mereka.

Ia melihat lagi ke arah peti mati besar itu. Aih! Semua orang melayat dan Dobhin Lama tidak nampak di antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah Hitam itu yang berada di dalam peti mati? Tentu kakek tua renta itu tewas setelah bertanding melawan Yo Han!

Ia melihat Sian Lun mengangkat muka memandang kepadanya, akan tetapi suheng-nya itu menunduk kembali. Sian Li ingin menghampiri bekas suheng itu, memaki-makinya, atau menyeretnya dan menyerangnya. Akan tetapi ia teringat akan janjinya kepada Ki Bok.

Pada saat itu, dia melihat Ki Bok juga memandang kepadanya. Bahkan pemuda itu lalu bangkit dan dengan tenang menghampirinya, keluar dari pintu kemudian dengan suara lirih berkata,

"Harap jangan memasuki ruangan berkabung ini, Sian Li. Kecuali kalau engkau hendak melayat.”

“Dobhin Lama?" tanya Sian Li, juga berbisik sambil memandang ke arah peti mati.

Ki Bok mengangguk. "Supek sudah terlalu tua. Pertandingan dengan Sin-cang Taihiap telah menghabiskan tenaganya. Ia meninggal akibat kehabisan tenaga dan napas, tidak terluka. Pendekar aneh itu terlalu lihai baginya..."

Diam-diam Sian Li merasa bangga dan girang bukan main. Akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu melirik ke arah Sian Lun yang masih menunduk, dan berkata, "Aku masih ingin bicara dengan jahanam itu."

Ki Bok mengangguk. "Tentu akan kuusahakan, akan tetapi tidak sekarang. Nanti setelah selesai pengurusan jenasah Supek. Engkau tidak hendak melayat dan duduk di dalam?"

Sian Li menggeleng kepala. Untuk apa ia masuk ke ruangan itu dan melihat Sian Lun di antara tiga wanita cabul itu? Ia khawatir tidak akan dapat menahan hatinya untuk tidak menyerang bekas suheng-nya itu. Pula, tidak perlu berkabung terhadap kematian Ketua Hek-I Lama yang menyebabkan Sian Lun tersesat dan ia sendiri tertawan. Ia kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar lagi.

Senja telah mendatang, dan lampu-lampu penerangan mulai dipasang di perkampungan itu. Sian Li kembali ke kamarnya. Seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan pakaian pengganti kepadanya, juga mempersiapkan air untuk mandi.

Sian Li merasa senang. Ternyata Ki Bok memegang janjinya. Dia diperlakukan seperti seorang tamu terhormat, dilayani semua keperluannya walau pun diam-diam ia tidak pernah dilepaskan dari pengamatan tajam. Kepada pelayan itu ia pun dapat memesan semua keperluannya, minta disediakan makan malam.

Bagaimana pun juga, Sian Li tetap berhati-hati, lebih dulu memeriksa semua makanan dan minuman sebelum memakan dan meminumnya. Penerangan dalam kamarnya juga cukup terang dan suasana cukup menyenangkan.

Malam itu sore-sore bulan sudah muncul. Udara cerah dan langit pun bersih, bulan tiga perempat menyinarkan cahaya lembut. Sian Li tidak betah berada di kamarnya. Dia keluar dan berjalan-jalan di taman bunga dalam perkampungan itu. Sebuah taman yang cukup luas dan terpelihara baik-baik. Agaknya, para pendeta Lama ini bukanlah orang-orang kasar, melainkan suka pula akan kedamaian dan keindahan.

Agaknya para tokoh masih berada di ruangan berkabung, dari mana terdengar doa-doa untuk si mati. Sian Li melihat banyak pula penjaga di taman itu, bahkan ia bisa menduga bahwa begitu ia memasuki taman, maka tempat itu telah dikepung para anggota Hek-I Lama yang bertugas mengamatinya. Ia kemudian menduga-duga, apakah Ki Bok juga ikut mengamatinya, ataukah pemuda itu sudah begitu percaya kepadanya sehingga ikut berkabung di ruangan itu.

Di dekat empang ikan emas terdapat bangku-bangku yang terlindung oleh atap. Sian Li duduk di situ sambil termenung. Bulan menari-nari di air yang digerakkan perlahan oleh ikan-ikan yang berkejaran. Dia teringat akan Yo Han dan kembali bibirnya tersenyum.

Senang sekali mengingat pemuda itu, orang yang paling disayangnya ketika dia masih kecil. Dan sekarang, sesudah mereka kembali saling berjumpa dalam keadaan sudah sama dewasa, ia tidak tahu!

Yang jelas, penyelewengan Sian Lun hanya membuatnya marah, sama sekali tidak membuat ia bersedih. Diam-diam ia malah merasa gembira sebab hal ini membuktikan bahwa meski pun tadinya ia sayang kepada Sian Lun, kesayangan itu adalah keakraban antara kakak beradik seperguruan yang selalu ingin akrab dalam pergaulan, dalam latihan bersama. Ia tidak pernah mencinta Sian Lun! Dan Yo Han? Dia tidak tahu, yang jelas, ia merasa bangga, kagum dan juga senang sekali dapat bertemu kembali dengan Yo Han!

Yo Han takkan membiarkan ia terancam bahaya! Ia yakin bahwa pemuda itu pasti akan datang menyelamatkannya. Ia teringat betapa sejak kecil, ketika ia baru berusia empat tahun, dan Yo Han juga hanya seorang anak remaja yang lemah, Yo Han sudah berani membelanya mati-matian, bahkan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri dengan menukar dirinya menjadi tawanan iblis betina Ang-I Moli. Kali ini pun Yo Han pasti akan menolongnya!

Kini ia mencoba mengenang kembali apa yang dapat diingatnya ketika ia masih kecil, ketika Yo Han masih menjadi murid ayah ibunya. Samar-samar masih teringat olehnya betapa dahulu ia sering digendong oleh Yo Han, diajak bermain-main, dihibur dan selalu disenangkan hatinya.

"Nona, alangkah cantiknya engkau...!"

Tentu saja Sian Li terkejut dan serentak sadar dari lamunan ketika tiba-tiba mendengar kata-kata pujian yang lembut itu. Ia meloncat berdiri dan membalik karena suara itu tadi datang dari belakang dan ia berhadapan dengan pria tinggi besar gagah perkasa itu. Pangeran Gulam Sing! Kalau saja ia tidak ingat akan janjinya kepada Cu Ki Bok, tentu Sian Li sudah menerjang dan menyerang pangeran Nepal yang dibencinya ini.

"Mau apa engkau? Pergi, aku tidak ingin bicara denganmu!" bentaknya, lalu dia duduk kembali, membelakangi pangeran itu.

"Aduh, alangkah cantiknya! Marah-Marah semakin cantik jelita. Bukan main!" Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Han yang patah-patah sehingga terdengar lucu, namun cukup membuat kedua pipi Sian Li menjadi merah oleh perasaan malu dan marah.

"Manusia biadab! Jangan mencari perkara, atau aku akan kehilangan kesabaran dan akan membunuhmu!” Sian Li membentak lagi.

Sekarang dia memutar duduknya, menghadapi pangeran itu dengan sinar mata berapi. Wajahnya tertimpa sinar bulan dan nampak cantik bukan main.

Pangeran itu mengerutkan alis. Sebelum bangsa Han dijajah Mancu, memang Kerajaan Beng menganggap orang asing adalah bangsa yang biadab. Maka tentu saja Pangeran Gulam Sing merasa dihina sekali. Akan tetapi dia malah tertawa, suara tawanya bening dan aneh.

"Nona Tan Sian Li, aku seorang pangeran! Pandanglah wajahku baik-baik, aku seorang pangeran Nepal, bukan bangsa biadab. Seluruh bangsa Nepal akan menghormati dan memuliakan aku kalau melihatku, bahkan tidak mampu bergerak. Engkau juga, Nona! Pandang aku baik-baik, aku seorang pangeran dan engkau harus tunduk kepadaku!"

Pangeran tinggi besar itu kini melangkah maju menghampiri Sian Li. Gadis itu hendak meloncat bangun, akan tetapi aneh, ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya! Terngiang di dalam telinganya perintah pangeran itu bahwa ia harus tunduk dan tidak mampu bergerak. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya pada saat pangeran itu sudah memegang kedua tangannya dan menariknya bangkit berdiri...


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 18