Si Bangau Merah Bagian 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Si Bangau Merah Bagian 16

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 16

Seperti Yo Han, sekarang ia pun memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu. Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.

Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat dua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.

"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang-orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Jika boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"

Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apa lagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.

"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami sudah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, tetapi karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."

Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan lalu kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, namun siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biar pun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."

"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.

Gak Ciang Hun memandang pada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa terpesona dan sangat kagum. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi sudah mampu menyambut dua kali pukulan ibunya. Selain itu, ternyata gadis itu juga amat cantik jelita dan nampaknya cerdik bukan main.

"Nona, bagaimana Nona dapat mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"

"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari keluarga pendekar Pulau Es."

Wanita itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang pada gadis itu.

"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"

Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani sekali. Dia tersenyum mengejek. "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, mengapa main bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"

Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata, "Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibuku menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa amat terkejut dan heran sekali mendengar bahwa Nona mengenali ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"

Sian Li tersenyum. "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sinkang, lalu tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang. Namun setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."

Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat. "Jika begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"

"Katakan lebih dahulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap ‘jual mahal’ untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.

"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es ini dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.

"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"

"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."

Sekarang Sian Li terbelalak. "Aihh...? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun Beng?"

Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga sudah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu. Setelah Ayah meninggal, Ibu tak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."

Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu. "Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat..."

"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan. "Engkau sudah mengetahui siapa adanya kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."

"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku yang bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."

Wanita itu membelalakkan matanya. Wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada hubungan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan sejak kedua pamanmu meninggal dunia..."

Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.

"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan lagi. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Bila Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya malah hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."

"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata yang bersinar-sinar. "Masih begini muda tetapi telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggota keluarga Pulau Es?"

"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak baik, marilah kita bicara di dalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.

Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dulu bernama Souw Hui Lian, yaitu murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada dua orang gurunya, dan demikian pula sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang Hun.

Sepasang Pendekar Gak yang berjulukan Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu merupakan putera tunggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai.

Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh tujuh tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan akhirnya memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.

Mereka sekarang duduk di dalam pondok, di mana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.

"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"

Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini pun maklum akan perasaan hati Yo Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."

Mendengar ucapan Sian Li itu, Yo Han lalu mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan wajahnya dan disebut Sin-ciang Taihiap, bukan karena dia sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam.

Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Taihiap terkenal. Bila mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Taihiap pun akan lenyap bersama dia.

Terhadap orang-orang golongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasia dirinya itu, apa lagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin pula mereka akan melakukan kecurangan. Dia tak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Jika ada dua orang ibu dan anak yang juga berkepandaian tinggi ini bisa saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.

"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di saat saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Yo Han berhenti, tidak tahu harus menceritakan apa lagi. Melihat ini, Sian Li lalu membantunya.

"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu lagi di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membawa kebahagiaan?”

Souw Hui Lian mengangguk-angguk. "Memang sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"

"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan lebih dahulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.

"Ahh, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...," kata Yo Han merendah.

Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, bukan? Ataukah belum pernah?"

"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, tapi tidak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena dia selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.

"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han.

Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. "Saya tak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...," katanya. “Saya mohon setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, Jiwi akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Taihiap."

Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan sekarang orangnya berada di depan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberi tahu, tentu mereka tidak akan percaya.

Ciang Hun cepat-cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"

Yo Han cepat membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."

"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biar pun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biar pun dia penentang kejahatan yang gigih, tapi dia tidak suka akan kekerasan. Apa lagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"

"Ihh, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han.

Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.

"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian bisa saling berjumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.

"Bibi, aku sedang bersama seorang Suheng-ku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun..."

"Ahhh, kakakmu?" tanya Ciang Hun.

"Bukan, Toako, meski pun namanya mirip dengan namaku. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suheng-ku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."

"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyonya Gak.

"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi," Sian Li menjelaskan.

"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suheng-mu itu?"

"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek-I Lama dan para anggota pengemis tongkat hitam. Kami lalu bentrok dengan mereka sehingga Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang Taihiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."

"Wah, wah! Kalau begitu kita harus cepat menolong suheng-mu itu! Kita harus segera membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa gembira dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.

"Benar, kita harus cepat membebaskan suheng-mu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.

"Itulah persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka amat banyak, merupakan persekutuan, lagi pula di antara para pimpinan Hek-I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."

Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia makin yakin bahwa gadis yang ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suheng-nya sendiri.

"Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suheng-mu, " katanya dengan nada suara penuh keyakinan.

"Kebetulan kita bisa saling berjumpa di sini," berkata pula Nyonya Gak. "Mari kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka untuk membebaskan suheng-mu itu, Sian Li."

"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Tetapi, Ketua Hek-I Lama sudah menantang Sin-ciang Taihiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan membebaskan Suheng-ku dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang Taihiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."

"Ahh, jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.

"Benar, Toako, Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian. Tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek-I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap."

"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.

"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan di sini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."

Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya. Bagai seorang pemimpin mengatur siasat, dia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga.

"Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan siapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"

"Baik, Ibu!" kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.

"Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri supaya dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun telah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri kalau ada bahaya," wanita gagah itu menerangkan.

"Aihh, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikan diri, apa lagi kita sudah saling berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan dibebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."

Wanita itu terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang-orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur beserta guru-guru kalian?"

Sian Li menoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."

"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja sama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan yang jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan supaya saya membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."

Sian Li tersenyum. "Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian juga, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"

"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati, maka suheng-mu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan liciknya bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam begini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."

"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat tadi bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani dari pada hidup sebagai seekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan cara pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"

"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya kita dengarkan juga pendapat Bibi Gak yang terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.

"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing digebuk atau seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Apa bila bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau tandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanyalah merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.

"Ah, benar sekali pendapat Bibi barusan. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek-I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita pun tidak perlu melarikan diri."

Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan Yo Han telah terluka. Andai kata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suheng-nya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi.

Mendadak Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"

"Apa yang kau lihat?" tanya nyonya itu.

"Ada dua orang pendeta berjubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."

"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"

"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang lain naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."

"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak main curang!"

Nyonya Gak bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, jika nanti mereka mulai memperlihatkan kecurangan, akan mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja maka kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biarlah Sin-ciang Taihiap yang keluar menandingi Ketua Hek-I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apa bila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dulu dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul mendadak nanti. Yo Han, kau sambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."

Yo Han dan Sian Li kagum sekali. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang telah berpengalaman. Bersikap tenang dan bisa mengatur segalanya dengan teliti dan tegas.

Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tak bisa percaya. Inilah Sin-ciang Taihiap yang namanya telah menggetarkan daerah perbatasan itu!

Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, beserta Cu Ki Bok. Meski pun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, akan tetapi ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang, Yo Han yang sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.

Meski dia telah menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apa lagi yang muncul di hadapannya adalah Ketua Hek-I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi hormat dan membungkuk.

"Selamat datang, Jiwi Locianpwe." Yo Han hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh!

Pemuda itu memandang kearah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Taihiap!

Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau roda besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suheng-nya bicara.

"Ha-ha-ha! Omitohud, selain lihai ilmu silatnya, kiranya Sin-ciang Taihiap juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau kelak dapat bekerja sama denganmu!"

"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara mengenai tantangan Ketua Hek-I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap kearah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu.

Kakek yang tinggi kurus dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa di antara mereka semua, Ketua Hek-I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu.

Pandang mata Sin-ciang Taihiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andai kata dia tidak kalah sekali pun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suheng-nya.

Dobhin Lama yang telah tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Taihiap. Sebetulnya tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan sudah memesan agar sute-nya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Taihiap.

Kini ia telah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun Dobhin Lama tidak pernah menemukan lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira serta timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.

"Omitohud...!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Taihiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."

Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu. Dia pun memberi hormat. "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan juga menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."

"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"

"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah Mancu!"

"Bagus! Janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Sekarang majulah, Sin-ciang Taihiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaianmu sama tingginya dengan nama besarmu."

Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi, lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak.

Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang sangat berbahaya karena kekuatan sihir mereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokoh persilatan Tibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak seberapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan mengandalkan sinkang yang diperkuat oleh ilmu sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali.

Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek Hoat-keng, yaitu ilmu sakti yang menjadi andalan mendiang gurunya. Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia sama sekali tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya.

Namun, dengan menguasai Bu-kek Hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan segala macam senjata lagi. Tenaga sinkang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya, terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sinkang-nya. Bagian yang tidak dilindungi sinkang yang dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, tetapi akibat lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.

"Locianpwe, saya sudah siap," katanya.

Dia pun berdiri dengan sikap tenang. Kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring menghadapi lawan, kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada kirinya. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus ‘Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus’.

"Sin-ciang Taihiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"

Yo Han menggeleng kepala. "Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tak ingin membunuh siapa pun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."

"Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang terlalu tinggi hati? Nah, pinceng telah mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"

Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak, maka terdengarlah sambaran angin yang berdengung bagaikan ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang!

Yo Han telah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser, maka sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas.

Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang lebih pantas menjadi kakeknya. Karena itu, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas. Serangan itu datang bertubi-tubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali.

Akan tetapi, Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang itu berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka dan dapat memperlihatkan mukanya.

Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani memandang rendah padanya sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?

"Sin-ciang Taihiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang terlalu lemah bagimu?"

"Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua dari pada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."

"Bagus! Nah, sambutlah ini!"

Kakek itu kembali menyerang. Tongkatnya membuat gerakan berputar dengan ujungnya membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu tiba-tiba ujung itu meluncur kearah dada Yo Han!

Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan mempergunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu. Ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Salah satu di antara keampuhannya adalah hadirnya tenaga mukjijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi pun ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!

"Plakkk!"

Tangkisan yang disertai tenaga sinkang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung di dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah!

Keduanya saling pandang dengan rasa kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang muda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa girang dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi lawannya yang hebat itu.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di pekarangan itu bergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok.

Lulung Lama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Taihiap, karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apa lagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.

Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum bukan main. Walau pun lawannya sudah tua sekali, tetapi semua serangan balasannya bagai membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar sekali ditembus.

Mereka saling serang dan saling desak, tapi tidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih sudah terlewat! Dan selama itu, keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka sekarang tidak lagi mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sinkang.

Akhirnya, keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah mandi keringat dan napasnya mulai terengah saking kehabisan tenaga. Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali.

Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan jurusnya yang terhebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.

Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya, mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.

"Brakkkk...!"

Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya ke atas tanah.

"Omitohud... pinceng mengaku kalah...!" Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama. "Sute... bebaskan pemuda itu..."

Dia mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya, kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepada Yo Han. "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"

Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat. Hatinya merasa terharu dan juga kagum sekali. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe sudah mengalah dan menepati janji."

Lulung Lama bertepuk tangan. Dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta Lama jubah hitam. Sian Lun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing oleh dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.

Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan sudah berada di dekat Yo Han. Melihat munculnya sumoi-nya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi, tolonglah aku..."

Sian Li menghampiri Sian Lun, lalu berlutut dan meraba pundak suheng-nya itu untuk memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi, pada saat itu mendadak saja Sian Lun menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoi-nya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya, tahu-tahu dia sudah tertotok dan lemas. Sian Lun sudah merangkul pinggang Sian Li dan membawanya meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok!

Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai. Begitu melihat Sian Li ditangkap oleh suheng-nya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.

"Sin-ciang Taihiap, mereka bertindak curang!" teriak nyonya itu.

Yo Han memang tertegun dan amat bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoi-nya. Akan tetapi, pada saat itu muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama jubah hitam yang dibantu oleh para anggota pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan juga muncul tiga orang wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.

"Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru.

Tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.

"Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak bergerak.

Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimana pun juga, tiga orang itu mulai terdesak.

"Mari kita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han.

Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian juga tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya. Padahal dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekali pun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun.

Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoi-nya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri.

"Baik, Bibi Gak!" katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan di antara para pengeroyok yang roboh satu demi satu.

Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok berani yang mendekati mereka. Mereka lari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya sudah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi jurang.

"Mari, kita lari lewat tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!" kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain. Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.

Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah goa besar. Setelah mereka bertiga tiba di goa, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga tali itu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.

"Tidak ada seorang pun manusia yang mampu menuruni tebing ini tanpa tangga tali, kecuali kalau dia bisa terbang seperti burung," kata Nyonya Gak. "Dari goa ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong yang menembus goa sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."

Yo Han duduk di atas batu dalam goa, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li," suaranya mengandung kekhawatiran.

Ciang Hun berkata dengan suara marah. "Tentu nanti kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya! Yang amat kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya, kemudian menawannya. Apa artinya ini?"

Nyonya Gak juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li dengan suheng-nya dan orang macam apa suheng-nya itu?"

Yo Han menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Pada waktu Li-moi dan suheng-nya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan suheng-nya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."

Nyonya Gak mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."

"Bagaimana pun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan Sian Li, Bibi."

"Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek-I Lama," kata Ciang Hun dengan kagum. "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimana pun juga, kepandaianmu ada batasnya. Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku akan membantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, namun kita harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."

"Benar ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya takkan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol," kata Nyonya Gak.

"Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka akan suka membantu saya," kata Yo Han.

Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Taihiap yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menalukkan mereka dan menasehati, dengan cara kasar mau pun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil jalan hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar. Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan goa itu melalui sebuah terowongan pendek di bawah tanah yang sudah dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa...


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 17