Si Bangau Merah Bagian 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Si Bangau Merah Bagian 13

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 13

Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan itu. Sambil memegang pedang masing-masing mereka mencari-cari dengan mata mereka. Namun penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.

Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan tetapi, mereka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung!

Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok.

Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring.

“Tawanan lolos! Tawanan lolos!”

“Itu mereka di taman...!”

“Kepung...!”

Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang melakukan pengejaran yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang.

“Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”

Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok, kemudian meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum.

Penolong mereka yang bercaping itu, hanya seorang diri tanpa senjata, sudah berhasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan lincah bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghalangi tiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!

“Mari cepat, Sumoi!” kata suheng-nya.

Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suheng-nya ia pun melarikan diri meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi tidak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!

Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka. Keduanya merasa sangat lelah dan mereka berhenti di luar sebuah dusun untuk melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya sedang meninggalkan dusun dan membawa alat pertanian untuk mulai bekerja di sawah ladang.

“Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu...” kata Sian Li terharu karena tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.

“Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,” kata pula Sian Lun, masih tertegun.

“Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”

Sian Lun menggeleng kepala. “Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apa lagi caping lebar itu telah menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita...”

“Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan bagi kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak sempat melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”

“Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo sering kali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar itu tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita sudah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh.”

“Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang sangat berharga dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakalan pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan.”

Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak dari saku bajunya. “Ini masih ada beberapa potong perak di dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenai pakaian... wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti...”

Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun untuk membeli makanan dan menanyakan jalan.

Sambil membeli makanan sederhana di kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka sudah meninggalkan pantai Sungai Yalu Cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Perjalanan melalui darat ke timur sangat sukar karena harus melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan raya yang biasa digunakan rombongan pedagang masih belasan li jauhnya dari situ.

Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu Cangpo. Mendengar ini, maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, lalu mempergunakan perahu menuju ke timur.

“Aihh, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?”

“Bagaimana nanti sajalah, Sumoi.”

Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun lebih menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata, “Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua).”

Anak itu menyerahkan sebuah buntalan. Melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang sekali. Itu adalah buntalan pakaiannya yang telah dirampas oleh orang-orang Hek-I Lama!

“Siapa yang menyuruhmu? Di mana dia sekarang?”

Anak itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan hanya menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah dan yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan buntalan, dia pergi.”

Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata, “Aku akan mencari dia!”

“Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kau temukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh.”

Sian Li dapat memaklumi kebenaran ucapan suheng-nya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin mereka mampu mengejarnya.

“Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita.”

“Tentu ada sebabnya dan hanya dia sendiri yang mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau ia menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya bila kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu, sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.”

Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoi-nya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya!

Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga mahal, kemudian mereka pun meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepian Sungai Yalu Cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan petunjuk lagi.

Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak lagi mendapat gangguan, dan dari seorang nelayan mereka bahkan mendapatkan petunjuk baru bahwa dari pada naik perahu, lebih cepat jika mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai.

Mereka menuruti petunjuk ini. Memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Pada waktu mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suheng-nya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula.

Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat, Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka biarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan bekal makanan dan air bersih. Sambil makan mereka berbincang membicarakan pengalaman mereka.

"Suheng, ingatkah Suheng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang kita di rumah penginapan itu?"

"Ya, kenapa?"

"Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata lalu melarikan diri secara aneh, karena kita sama sekali tidak melukai mereka."

"Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"

"Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"

"Ehhh, benarkah? Siapa dia?"

"Tentu orang bercaping itu juga!"

Sian Lun menatap wajah sumoi-nya, lalu mengangguk-angguk. "Mungkin dugaanmu itu benar sekali, Sumoi, akan tetapi tak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."

Sian Li menghela napas panjang. "Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."

Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan. Menurut petunjuk di dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat pada belokan Sungai Yalu Cangpo yang menikung ke selatan. Dan dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.....

********************

Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepian Sungai Yalu Cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai.

Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapat dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Tiada hentinya hiruk pikuk suara orang yang memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.

Pada saat memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak adik seperguruan itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah para pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai.

Mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka langsung merasa bagai bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri!

Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Bila kita berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apa lagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apa pun.

Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu. Maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena tujuh orang pedagang itu membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.

Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan sering menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Taihiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).

"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. “Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal aturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, malah hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apa lagi pada waktu mereka hendak mengambil semua gulungan sutera yang paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, kemudian mengatakan bahwa mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"

"Hemmm, memang sekarang keadaan mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran. Ada perampok, dan ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak. Katanya ada pula pasukan keamanan sendiri yang malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.

"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan kalian diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.

Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak mau menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggota rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku, muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hemm, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"

"Acun, ceritakan, bagaimana dengan sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan di kamar masing-masing Sian Lun dan Sian Li ikut mendengarkan penuh perhatian.

"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itulah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar, bahkan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini. Semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."

"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.

"Mampus apanya? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Taihiap itu tak pernah melukai orang, apa lagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar dan mempunyai kesaktian seperti itu, pasti sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.

"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?" tanya seorang.

"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.

"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami yang dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."

Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya segera keluar dari dalam kamar, saling pandang, lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.

Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu.

Sian Li cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata, "Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan merasa tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."

Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh pedagang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia juga datang dari daerah Shantung seperti kami?"

Karena datang dari propinsi yang sama, walau pun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab. "Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.

Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara yang demikian cantiknya, dengan bersemangat segera dia menjawab. "Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya yang berkelebatan secepat kilat dan ia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."

"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li, dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.

"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.

"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.

"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Taihiap itu!" berkata pula orang ke tiga.

Semenjak jaman dulu sampai sekarang, wanita memang mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua mau pun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apa lagi yang muda dan cantik jelita.

Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak!

Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun terlihat dibuat-buat dan tidak wajar
.

Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, tentang Sin-ciang Taihiap, mereka memiliki pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tak pernah dapat dikenal wajahnya. Kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, ia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apa lagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah ia membunuh penjahat, bahkan melukai secara parah pun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasehat.

"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun pula. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasehat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"

"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan, sekali pun dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakit yang membuatnya menjadi jahat setelah mereka itu bertemu dengan Sin-ciang Taihiap dan mendapat nasehat dari pendekar aneh itu."

"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.

"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li.

Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.

"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar mengenai kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Maka ketika melakukan perjalanan lewat di daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauwsu (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasanya ketika bertemu dengan gerombolan perampok, kami pun telah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran, dan meski jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Taihiap!"

"Dan dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong dirinya dan suheng-nya.

"Pendekar itu tidak bercaping, namun karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya yang panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."

"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasehat dari pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.

"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu lagi, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan sudah tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasehat dari pendekar sakti itu?"

"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.

"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapa pun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Taihiap."

Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apa lagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Taihiap itu?"

Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar yang aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia.

Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Taihiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini mau pun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.

Setelah mendengar dari para pedagang itu semua cerita yang kadang seperti dongeng saja tentang Sin-ciang Taihiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan, Sian Li ingin mendengar dari mereka mengenai orang-orang yang pernah ditentangnya selama ini.

"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek-I Lama?"

Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.

"Kenapa, Paman?" Karena terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula.

Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suheng-nya segera membaca tulisan itu.

Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali.’

Demikian bunyi tulisan itu, membuat Sian Li saling pandang dengan suheng-nya.

Sian Li mendekati lelaki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu lalu berbisik, "Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"

Orang itu menggelengkan kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka tak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat yang paling besar di daerah ini pun tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."

Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur.

Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya dia mengenang pendekar yang amat mengagumkan hatinya itu. Kini dia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong, bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai. Karena itu mereka berpesan agar dia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.

*********

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap pergi meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka. Dengan sikap hormat ia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima oleh Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan segera pergi lagi.

Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.

Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadilah kesalah pahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami ingin mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin.

Pimpinan Hek-I Lama


"Hemmm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."

"Suheng, lupakah Suheng akan nasehat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, tapi yang lebih penting adalah bahwa kita tak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasinya. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."

"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"

"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."

"Sumoi! Ingat, hal itu akan berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"

"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek-I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Kini kita mendapat kesempatan mengetahui lebih banyak tentang Hek-I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jeri, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng."

Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek-I Lama, ia mengharapkan munculnya Sin-ciang Taihiap untuk kembali menolongnya. Dia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, terus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.

Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoi-nya mengatakan dia jeri. "Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Jika engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."

Sian Li tersenyum menatap wajah suheng-nya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkan, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Tapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa pula maksud undangan mereka kepada kita."

Akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menunggu kedatangan kereta yang hendak menjemput mereka dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan.

Sian Li memang berjiwa petualang. Suasana yang mendebarkan hatinya itu merupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apa lagi kalau dia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Taihiap! Bahkan diam-diam dia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!

Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, tetapi belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu.

Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoi-nya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta.

Akan tetapi, kusir itu selalu menjawab "tidak tahu" untuk segala pertanyaannya, dan mengatakan bahwa ia hanya bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak-gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan, Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggota yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.

Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoi-nya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat!

Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu, sumoi-nya akan membuat mata orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa. Mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.

Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.

"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.

Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek-I Lama yang mengundang kita."

"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.

Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan suasananya di sana memang dalam keadaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah.

Pada saat itu telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpin para pendeta Lama berjubah hitam ini semuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan.

Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang yang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.

Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok! Mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dan para pendekar.

Pada waktu itu barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suheng-nya yang duduk di kursi terbesar.

Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas. Dia hanya duduk saja bersandar pada kursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.

Walau pun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, akan tetapi Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Ada pun Sian Li bersikap tenang, bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya.

Kini Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap dirinya dan suheng-nya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama takkan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sangat sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek-I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.

Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih memiliki hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.

Agaknya sekarang semua tamu sudah berkumpul. Senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek-I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kue manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta, Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya.

Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di sana, maka dia menggunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han terpaksa mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.

"Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek-I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang untuk mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan bisa kita kalahkan dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kang-ouw."

Lulung Ma memberi hormat, lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung Lama. Dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.

"Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib, sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan menjadi ancaman bagi negara-negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!"

Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan. Matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum yang memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali.

Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian Li dan Sian Lun semenjak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun.

Ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.

"Para pimpinan Hek-I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya. Suaranya lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat. Matanya bersinar tajam serta genit, dan bibirnya tersenyum-senyum. Pandang matanya terus menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.

Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek-I Lama, berterima kasih sekali kalau Toanio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."

Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama itu. Kiranya ketiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang dari Pek-lian-kauw!

Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Tetapi sayang, biar pun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, tetapi nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat.

Banyak tokoh-tokoh mereka yang suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan. Juga agama mereka merupakan agama yang aneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan tindakan sesat. Inilah sebabnya kenapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak mendapat dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.

"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan bukti surat kuasa sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek-I Lama. Maka kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki serta memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk dapat bekerja sama dengan kalian. Pek-lian-kauw sejak dulu selalu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui terlebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama."

Kembali Ji Kui, wanita yang merupakan saudara paling tua di antara mereka bertiga itu, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran ketiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya...


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 14