Rajawali Emas Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 19

Ketika Kun Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini terkejut sekali karena mengenal bahwa kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah dua orang penjahat yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu. Kun Hong bengong. Tahulah dia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji kepandaian dua orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit yang dihadapinya, terdengar Li Eng membentak keras dan mencabut pedangnya.

"Aturan dari mana semua ini? Biar Pangeran sekali pun, tidak boleh memaksa orang lain sesuka hatinya. Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan perbuatannya ini segera diturut oleh Hui Cu.

"Li Eng, jangan...!" Kun Hong mencegah.

"Paman Hong, betapa pun baik dan sabarnya hati orang, tidak mungkin bisa memenuhi kehendakmu, mau dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan kalau mereka hendak menggunakan kekerasan, boleh kita lihat. Orang-orang dari Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati demi membela kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun Hong ia bicara sungguh-sungguh, walau pun dengan nada keras dan menentang.

"Kalian tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang dara remaja itu sudah siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun tampaknya sudah siap untuk turun tangan.

"Kalau orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja? Kalau orang lain hendak membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng penasaran.

"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.

Sementara itu, ketujuh orang jagoan itu saling pandang. Mereka ini rata-rata memandang rendah terhadap Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini merupakan tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bukanlah jago-jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, melainkan tokoh-tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas tinggi.

Tiat-jiu Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang dahulu namanya bahkan lebih tenar dari pada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga sekeras besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor harimau. Di samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli bermain silat ruyung dengan ruyung bajanya yang besar dan berat.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya di perkumpulan Ngo-lian-kauw sudah tinggi, boleh dibilang ia merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian Kauwcu Kim-thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu sihir dari Ngo-lian-kauw.

Semenjak dulu perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk menempel pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan. Sekarang, melihat betapa Pangeran Kian Bun Ti merupakan satu-satunya orang terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini. Sebagai tokoh besar Ngo-lian-kauw, bahkan Thian It Tosu sendiri masuk menjadi pengawal Pangeran Kian Bun Ti.

Orang ke tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar dari Ho-pak. Dua orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka yang sama bentuknya sehingga orang luar akan sukar untuk membedakan mereka kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya. Bu Sek yang lebih tua bermuka kuning, sedangkan Bu Tai yang ke dua bermuka merah. Mereka berdua ini terkenal dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa Ho-pak). Ilmu pedang mereka amat terkenal sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah turun-temurun menjadi panglima perang.

Apa lagi kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu pedang pasangan yang amat sukar dilawan. Sebagai saudara kembar, mereka tidak hanya memiliki persamaan dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai hubungan rasa yang sangat erat sehingga permainan ilmu pedang mereka dapat digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah pedang.

Orang kelima adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang terbuat dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengemis. Kakek ini pendiam sekali dan kelihatan selalu seperti orang yang kurang semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut seorang jagoan. Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih.

Akan tetapi jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Apa bila orang mendengar namanya, apa lagi orang-orang kang-ouw, tentu akan terkejut setengah mati karena dia ini bukan lain adalah Bhong Lo-koai yang terkenal disebut Koai-tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian tenggara tidak ada yang dapat menandingi!

Orang keenam adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to Liong Ki Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah dan bertenaga amat besar. Juga dia ini mempunyai ilmu golok tunggal yang tidak dikenal asal-usulnya.

Dahulunya Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi ternyata ia hanya memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang berarti.

Betapa pun juga, tak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biar pun Si Murid ini tidak memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini benar-benar seorang yang tangguh dan kosen, sukar dikalahkan. Akhirnya dia ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal. Orang ke tujuh adalah orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi pakaiannya selalu serba merah!

Melihat mukanya yang terus menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain tak akan menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya lebih patut kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Namun kalau ada yang mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang lalu akan bergidik mengingat kekejaman kakek kurus ini yang bisa membunuh orang sambil tersenyum seperti orang menyembelih ayam saja!

Jangan dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang yang lain itu. Biar pun tidak pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya ternyata malah paling tinggi di antara mereka yang berada di situ. Dalam hal kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat besar di dunia persilatan!

Demikianlah kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah terlalu mengherankan apa bila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, tidaklah berkesan apa-apa pada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini pun hanya patut menjadi murid mereka.

Mendengar ucapan Li Eng dan melihat pula sikap dua orang gadis yang menantang itu, Sin-toa-to Liong Ki Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi. Ia melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik, kalian sombong sekali! Lebih baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai membuat guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.”

Li Eng adalah seorang yang juga memiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia lantas memandang Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata, "Keledai sombong! Keluarkan golok babimu itu, kutanggung dalam beberapa jurus kau akan minta ampun kepadaku!"

Berdiri alis Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku? Akulah Sin-toa-to Liong Ki Nam! Bila sudah kucabut, golok saktiku ini harus membikin melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya golok babi?"

"Hi-hi-hik, mungkin untuk menyembelih babi juga masih kurang tajam. Entah kalau untuk memotong leher ayam. Ehh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau bikin melayang dengan golokmu itu, ya? Asal jangan ayam tetangga masih boleh juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara mengejek dan menghina.

"Setan perempuan!"

Tampak sinar berkelebat disusul gulungan sinar yang menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan amat cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li Eng. Memang gerakannya hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi Li Eng, dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu sakti dari Im-kan-kok (Lembah Akhirat).

"Trangg! Tar-tar!"

Bunga api berpijar. Terpaksa Si Golok Sakti ini meloncat ke belakang untuk menghindari serangan ujung sabuk sutera hitam itu. Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut sekali karena telapak tangannya terasa menggetar ketika ujung sabuk suteranya menangkis golok lawan tadi. Ia pun maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh dibuat main-main. Akan tetapi ia masih mengejek, "Hi-hik, kenapa mundur? Takutkah?"

Di pihak Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah banyak pengalaman, ia pun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat menangkis serangan goloknya, bahkan mampu membalas dengan serangan sabuk sutera hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak takut. Ia mengeluarkan suara menggereng pada saat mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,

"Siluman betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya lalu diputar-putar di atas kepalanya, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang mengeluarkan suara mendesing-desing.

Tiba-tiba tampak sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan tahu-tahu terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke belakang dan ia berjungkir-balik lalu memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya penuh pertanyaan dan teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.

"Liong-kauwsu, sudah sering kali aku memberi tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu amarah karena membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan kemarahan sampai kau lupa bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli pilihan Pangeran. Andai kata kau dapat membunuh mereka, apakah yang akan dikatakan kelak oleh Pangeran?"

Muka yang merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia sudah menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja dia mencelakai dirinya sendiri. Memang, sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan persoalan ini, yaitu agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih.

Apa bila sampai dia salah tangan membunuh mereka, bukankah ia akan mendapat marah dari Pangeran? Bukan tak mungkin karena sudah mengecewakan dan menyusahkan hati Pangeran, lehernya sendiri akan terpenggal tanpa ia sanggup mempertahankannya lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya dan tidak berani berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Bhong Lo-koai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu bergerak perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu. Dua orang gadis ini adalah ahli-ahli silat tinggi. Mereka tidak dapat ditipu dengan gerakan yang tampaknya lemah dan lembut ini, segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang pedang di tangan gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa sedikit pun mengeluarkan suara dua batang pedang itu menempel pada tongkat, tak dapat dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani yang amat kuat.

"Nona berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah Pangeran, kalian akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang sipit itu makin meram.

Diam-diam kakek ini mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, karena selain ia harus menempel pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya. Tapi alangkah terkejutnya ketika dia menghadapi perlawanan tenaga lweekang yang juga tidak lemah, apa lagi dari pihak Li Eng.

Demikianlah, walau pun tampaknya tiga orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka yang saling tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk mencapai kemenangan. Suasana hening mencekam karena tiga orang itu diam tiada yang bergerak. Li Eng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini menganggap dia orang apakah maka mereka berani main gila? Dengan seruan nyaring dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke leher Bhong Lo-koai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.

Bhong Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya. Tiba-tiba saja tongkatnya melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, lalu bergerak menangkis sabuk sutera itu. Ia mengalami kekagetan hebat namun berhasil menyelamatkan diri. Ada pun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika tongkat itu menangkisnya. Malah Hui Cu terhuyung sedikit pada waktu pedangnya terlepas dari tempelan tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga lweekang dari kakek ini luar biasa.

Sekarang maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh. Baru dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong Lo-koai, memiliki kepandaian yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan agaknya kakek aneh ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apa lagi kalau tujuh orang itu semuanya maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari Bhong Lo-koai.

Akan tetapi urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tidak mungkin mereka menyerah menjadi selir Pangeran! Walau pun mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan melawan sekuat tenaga. Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu cepat memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,

"Anjing-anjing penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah sebelum leher kami putus!"

Ang-moko, yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya tersenyum saja, kini berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan marah kepada kalian, juga nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian ini tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini? Heh-heh-heh, memalukan sekali!"

"He, Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan. Habis apa kerjamu di sini?" teriak Souw Ki kasar.

Ang-moko tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pekerjaan besar, bukan segala macam usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk pekerjaan macam ini."

"Sudahlah, untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam. "Kita beramai tangkap dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup jangan sampai lolos atau terluka." Enam orang itu memasang kuda-kuda, ada pun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.

"Paman Hong, kalau nanti aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan Ibu bahwa anaknya mati sebagai seorang gagah!" berkata Li Eng tanpa mengalihkan perhatiannya kepada para jagoan yang sudah siap hendak menerjangnya itu.

"Sampaikan hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li Eng suaranya agak terharu dan sungguh-sungguh.

Kun Hong menjadi gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Dia tak kuasa mencegah pertempuran yang pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua orang keponakannya itu sudah tentu lebih baik berjuang sampai mati dari pada menyerah untuk menjadi selir Pangeran mata keranjang itu.

Akan tetapi tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak. Biar pun tidak salah, dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal ini juga akan menyeret nama baik seluruh keluarga. Tidak boleh ia membiarkan dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini.

Dikumpulkannya tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik ke pusat pandangan mata kemudian dia membentak, "Li Eng dan Hui Cu! Simpan pedangmu dan jangan melawan."

Ketika ia berteriak demikian itu, para jagoan sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng dan Hui Cu. Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh kedua orang gadis itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis itu melompat ke dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.

"Baiklah, Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut. Berbareng pula keduanya menyimpan pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang saling pandang dan merasa terheran-heran.

Hanya dua orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara Kun Hong tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus mereka turut dan taati karena seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri yang melumpuhkan seluruh daya kemauan.

Kun Hong sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang menggelisahkan dan tegang tadi, ia sudah menggunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok sehingga ia telah ‘menyihir’ dua orang keponakannya sendiri sampai dua orang dara itu menuruti perintah tanpa syarat lagi!

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus perpustakaan. Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah kemudian hidup penuh kemuliaan di sini dibandingkan melawan kekuasaan Pangeran karena akan membuang nyawa sia-sia belaka."

"Kami bertiga menyerah untuk ditawan, bukannya menyerah untuk menerima kedudukan," jawab Kun Hong dengan suara dingin.

Kembali tujuh orang itu saling pandang, lalu Thian It Tosu mengangkat pundak.

"Kalian orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya Tan-taijin yang akan mengurus kalian. Serahkan senjata!"

Li Eng dan Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti, sedangkan pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang tidak ada yang tahu. Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah ini membawa-bawa pedang?

Mereka ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua orang gadis itu, "Jangan kalian kuatir, aku akan berdaya upaya untuk menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan kembali. Kita tidak berdosa. Jangan kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti dilindungi Tuhan Yang Maha Adil."

Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai bergerak ke depan menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li Eng dan Hui Cu sama sekali tidak mengira akan datangnya serangan mendadak ini, mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam keadaan tertotok.

Kiranya dua orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda. Karena mereka tidak ingin melihat dua orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi, keduanya lalu turun tangan menotok jalan darah mereka.

"He, apa yang kalian lakukan ini?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan kulaporkan ini, kalian akan dihukum! Kami sudah menyerah, kenapa kalian masih tetap merobohkan dua orang keponakanku? Jahat sekali kalian..."

Akan tetapi tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain jurusan sedangkan dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong berteriak-teriak sampai suaranya serak. Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji besi. Hanya ada sebuah bangku panjang dan sebuah meja kecil di kamar ini, selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri ke atas bangku dan dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.

Pembesar yang oleh Kaisar dikuasakan untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur dan setia, orangnya tinggi besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar.

Kiranya para pembaca masih ingat akan tokoh dalam cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin kaum Pek-lian-pai yang berjasa amat besar terhadap perjuangan. Malah dalam pergolakan belasan tahun yang lalu saat para bekas pejuang saling berebutan kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar, kembali Tan Hok memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang hendak merebut kekuasaan.

Akhirnya, Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal pribadinya. Kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan istana. Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar. Semua kata-katanya dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan disegani oleh seluruh kerabat istana.

Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat pertalian persahabatan yang sangat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini sering kali mengadakan hubungan.

Tan-taijin sering kali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin. Karena Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak memiliki keturunan, maka sering kali puteri tunggal Tan Beng San tinggal di situ sampai berbulan-bulan.

Malah atas anjurannya, juga karena terlalu disayang oleh ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis ini pun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan lain-lain.

Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka sesudah mereka menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka kemudian melaporkannya kepada Tan-taijin.

Mula-mula Tan-taijin mengomel pada saat mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota mengangkat seorang pemuda menjadi pengurus perpustakaan serta dua orang gadis begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala serba tergesa-gesa menurutkan nafsu hati.

Tetapi dia segera tertarik sekali mendengar bahwa ‘pemuda kepala batu’ yang menolak anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali.

Ia cukup mengenal watak pendekar-pendekar wanita yang tak boleh disamakan dengan wanita-wanita biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah para pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik.

Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.

Sebagai seorang tawanan, biar pun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, dua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya untuk menghadap Tan-taijin di ruangan tengah. Pada waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu yang amat terang.

Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesarannya karena ia sedang memeriksa seorang tahanan. Pembesar ini amat gagah dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan Kong saja. Sunguh-sungguh berwibawa! Setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.

Melihat seorang pemuda kurus dan tampaknya lemah digiring masuk, Tan-taijin langsung merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang!

Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani menentang segalanya. Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,

"Orang muda, kau berdirilah!"

Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.

"Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakanlah semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu."
cerita silat karya kho ping hoo

Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan di dalam hati Kun Hong. Akan tetapi, saat pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang angker serta sikap yang agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam dia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan. Mendengar pertanyaan yang sekaligus dapat mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat mukanya yang menunduk memandang lantai.

"Nama saya Kwa Kun Hong dan berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Tapi kebetulan terdengar oleh Pangeran dan kami menerima undangan. Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa dua keponakan saya untuk menjadi selirnya sedangkan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.”

Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tak merasa takut ini, Tan-taijin diam-diam kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong?

Pada saat itu, pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar bagai bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya. Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.

"Pek-hu (uwa), kau tolonglah... aku mendengar ada dua orang gadis muda jelita berasal dari Hoa-san-pai sedang ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!"

Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda itu mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan, "Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya. Yang sudah punya banyak ingin tambah terus, dan aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"

Semakin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.

Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Ahh, kiranya aku mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini? Apakah dia tukang colong ayam istana? Ataukah tukang copet? Jangan-jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!" Jelas bahwa pemuda ini sedang sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.

Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justru dua gadis yang kau bicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."

Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri di atas paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas. Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong.

"Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu.

Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang menaruh curiga padanya. Kiranya pemuda ini dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu dirampasnya.

Kening pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau adalah seorang pemuda sastrawan yang lemah. Mengapa kau menyembunyikan pedang?"

Sekarang marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab, "Pedang tetap pedang, benda yang tak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, mengapa takkan kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk... membunuh orang atau untuk beraksi seperti dia itu!"

Matanya memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta memandanginya seperti seorang ahli!

"Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?"

Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung, bukan karena keindahannya namun karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih. Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Dia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali tersinggung dan marah, padahal menghadapi segala sesuatu biasanya ia tenang dan sabar saja. Pada saat bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.

Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal yang aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini tak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala?

"Kwa Kun Hong," berkata pula pembesar itu dengan suara kereng, "Pangeran Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal telah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak taat dan tidak menghormat kepada putera Kaisar. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, kenapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati memberontak?"

"Eh-ehh, orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar suara pemuda tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar.

Kun Hong mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu, jawaban yang diselimuti oleh kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi.

"Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau mau hukum, terserah. Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel dari pada menjadi pembesar di istana! Menjadi ketua pengemis paling tidak masih mengingat akan nasib para pengemis, meski tampak hina namun merupakan pekerjaan yang mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut dirinya sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang sangat banyak jumlahnya di kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor? Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelaparan, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong? Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang telanjang dan harus kedinginan? Padahal..." Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, kemudian dia menyambung lebih bersemangat lagi,

"padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, tak akan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang orang-orang yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Di waktu perang? Ahh, ada rakyat yang maju! Di waktu banjir? Musim kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tetapi kalau sudah mabuk penghidupan mewah dan enak, segera rakyat dilupakan!"

Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong menjadi semakin bersemangat.

"Ah, Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium wangi masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Cobalah Taijin tengok ke dusun-dusun, dan juga ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin mata Taijin akan terbuka dan tidak berani lagi menari-nari di atas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja..."

"Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!"
Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan…
"Plak! Plak!" kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri.
Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.

"Jangan, Tan-ji...! Mundurlah! Bagaimana pun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan keadilan!"

"Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ahh, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu dengan marah lalu meninggalkan ruangan.

Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.

"Huh, laki-laki macam apa dia? Pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu Kun Hong dengan hati mengkal.

Tan-taijin tersenyum ketika berkata, "Kau maafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja. Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Taihiap?"

"Saya... anaknya..." jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali dia tidak mengira bahwa agaknya pembesar ini mengenal ayahnya.

"Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai putera Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kau bilang mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu..." Pembesar itu mengingat-ingat, "apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!"

Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!

"Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu ialah puteri Paman Thio Ki," katanya cepat dan kini mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.

Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. "Ahh, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu beserta semua orang-orang Hoa-san-pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu."

Kun Hong merasa girang sekali, tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.

"Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan sebagai tamuku!"

Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.

Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali.

Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai takkan dapat menerima hal itu, malah dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang memiliki hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main.

Paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dahulu, baru pada keesokan harinya ia boleh bicara dengan Pangeran Mahkota. Jika ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran Mahkota takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andai kata Pangeran tetap menyesal, ia masih dapat menggunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun.

Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita!

Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil melarikan diri.

Seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang malah menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat bergelimpangan!

Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai. Juga dia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi?

Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang kepandaian Ang-moko dan Bhong Lo-koai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.

Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas untuk membujuk secara halus, lebih dahulu Bhong Lo-koai mengikat tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu.

Pada malam hari itu juga, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa kedua orang dara remaja yang dirindukannya itu sudah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu...


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 20


Rajawali Emas Jilid 19

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 19

Ketika Kun Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini terkejut sekali karena mengenal bahwa kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah dua orang penjahat yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu. Kun Hong bengong. Tahulah dia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji kepandaian dua orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit yang dihadapinya, terdengar Li Eng membentak keras dan mencabut pedangnya.

"Aturan dari mana semua ini? Biar Pangeran sekali pun, tidak boleh memaksa orang lain sesuka hatinya. Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan perbuatannya ini segera diturut oleh Hui Cu.

"Li Eng, jangan...!" Kun Hong mencegah.

"Paman Hong, betapa pun baik dan sabarnya hati orang, tidak mungkin bisa memenuhi kehendakmu, mau dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan kalau mereka hendak menggunakan kekerasan, boleh kita lihat. Orang-orang dari Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati demi membela kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun Hong ia bicara sungguh-sungguh, walau pun dengan nada keras dan menentang.

"Kalian tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang dara remaja itu sudah siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun tampaknya sudah siap untuk turun tangan.

"Kalau orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja? Kalau orang lain hendak membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng penasaran.

"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.

Sementara itu, ketujuh orang jagoan itu saling pandang. Mereka ini rata-rata memandang rendah terhadap Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini merupakan tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka bukanlah jago-jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, melainkan tokoh-tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas tinggi.

Tiat-jiu Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang dahulu namanya bahkan lebih tenar dari pada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga sekeras besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor harimau. Di samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli bermain silat ruyung dengan ruyung bajanya yang besar dan berat.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya di perkumpulan Ngo-lian-kauw sudah tinggi, boleh dibilang ia merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian Kauwcu Kim-thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu sihir dari Ngo-lian-kauw.

Semenjak dulu perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk menempel pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan. Sekarang, melihat betapa Pangeran Kian Bun Ti merupakan satu-satunya orang terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini. Sebagai tokoh besar Ngo-lian-kauw, bahkan Thian It Tosu sendiri masuk menjadi pengawal Pangeran Kian Bun Ti.

Orang ke tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar dari Ho-pak. Dua orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka yang sama bentuknya sehingga orang luar akan sukar untuk membedakan mereka kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya. Bu Sek yang lebih tua bermuka kuning, sedangkan Bu Tai yang ke dua bermuka merah. Mereka berdua ini terkenal dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa Ho-pak). Ilmu pedang mereka amat terkenal sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah turun-temurun menjadi panglima perang.

Apa lagi kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu pedang pasangan yang amat sukar dilawan. Sebagai saudara kembar, mereka tidak hanya memiliki persamaan dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai hubungan rasa yang sangat erat sehingga permainan ilmu pedang mereka dapat digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah pedang.

Orang kelima adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang terbuat dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengemis. Kakek ini pendiam sekali dan kelihatan selalu seperti orang yang kurang semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut seorang jagoan. Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih.

Akan tetapi jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Apa bila orang mendengar namanya, apa lagi orang-orang kang-ouw, tentu akan terkejut setengah mati karena dia ini bukan lain adalah Bhong Lo-koai yang terkenal disebut Koai-tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian tenggara tidak ada yang dapat menandingi!

Orang keenam adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to Liong Ki Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah dan bertenaga amat besar. Juga dia ini mempunyai ilmu golok tunggal yang tidak dikenal asal-usulnya.

Dahulunya Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi ternyata ia hanya memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang berarti.

Betapa pun juga, tak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biar pun Si Murid ini tidak memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini benar-benar seorang yang tangguh dan kosen, sukar dikalahkan. Akhirnya dia ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal. Orang ke tujuh adalah orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi pakaiannya selalu serba merah!

Melihat mukanya yang terus menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain tak akan menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya lebih patut kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Namun kalau ada yang mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang lalu akan bergidik mengingat kekejaman kakek kurus ini yang bisa membunuh orang sambil tersenyum seperti orang menyembelih ayam saja!

Jangan dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang yang lain itu. Biar pun tidak pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya ternyata malah paling tinggi di antara mereka yang berada di situ. Dalam hal kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat besar di dunia persilatan!

Demikianlah kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah terlalu mengherankan apa bila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura menyerang Pangeran, tidaklah berkesan apa-apa pada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini pun hanya patut menjadi murid mereka.

Mendengar ucapan Li Eng dan melihat pula sikap dua orang gadis yang menantang itu, Sin-toa-to Liong Ki Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi. Ia melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik, kalian sombong sekali! Lebih baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai membuat guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.”

Li Eng adalah seorang yang juga memiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia lantas memandang Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata, "Keledai sombong! Keluarkan golok babimu itu, kutanggung dalam beberapa jurus kau akan minta ampun kepadaku!"

Berdiri alis Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku? Akulah Sin-toa-to Liong Ki Nam! Bila sudah kucabut, golok saktiku ini harus membikin melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya golok babi?"

"Hi-hi-hik, mungkin untuk menyembelih babi juga masih kurang tajam. Entah kalau untuk memotong leher ayam. Ehh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau bikin melayang dengan golokmu itu, ya? Asal jangan ayam tetangga masih boleh juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara mengejek dan menghina.

"Setan perempuan!"

Tampak sinar berkelebat disusul gulungan sinar yang menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan amat cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li Eng. Memang gerakannya hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi Li Eng, dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu sakti dari Im-kan-kok (Lembah Akhirat).

"Trangg! Tar-tar!"

Bunga api berpijar. Terpaksa Si Golok Sakti ini meloncat ke belakang untuk menghindari serangan ujung sabuk sutera hitam itu. Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut sekali karena telapak tangannya terasa menggetar ketika ujung sabuk suteranya menangkis golok lawan tadi. Ia pun maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh dibuat main-main. Akan tetapi ia masih mengejek, "Hi-hik, kenapa mundur? Takutkah?"

Di pihak Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah banyak pengalaman, ia pun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat menangkis serangan goloknya, bahkan mampu membalas dengan serangan sabuk sutera hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak takut. Ia mengeluarkan suara menggereng pada saat mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,

"Siluman betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya lalu diputar-putar di atas kepalanya, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang mengeluarkan suara mendesing-desing.

Tiba-tiba tampak sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan tahu-tahu terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke belakang dan ia berjungkir-balik lalu memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya penuh pertanyaan dan teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.

"Liong-kauwsu, sudah sering kali aku memberi tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu amarah karena membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan kemarahan sampai kau lupa bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli pilihan Pangeran. Andai kata kau dapat membunuh mereka, apakah yang akan dikatakan kelak oleh Pangeran?"

Muka yang merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia sudah menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja dia mencelakai dirinya sendiri. Memang, sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan persoalan ini, yaitu agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih.

Apa bila sampai dia salah tangan membunuh mereka, bukankah ia akan mendapat marah dari Pangeran? Bukan tak mungkin karena sudah mengecewakan dan menyusahkan hati Pangeran, lehernya sendiri akan terpenggal tanpa ia sanggup mempertahankannya lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya dan tidak berani berkata apa-apa lagi.

Sementara itu Bhong Lo-koai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu bergerak perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu. Dua orang gadis ini adalah ahli-ahli silat tinggi. Mereka tidak dapat ditipu dengan gerakan yang tampaknya lemah dan lembut ini, segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang pedang di tangan gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa sedikit pun mengeluarkan suara dua batang pedang itu menempel pada tongkat, tak dapat dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani yang amat kuat.

"Nona berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah Pangeran, kalian akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang sipit itu makin meram.

Diam-diam kakek ini mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, karena selain ia harus menempel pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya. Tapi alangkah terkejutnya ketika dia menghadapi perlawanan tenaga lweekang yang juga tidak lemah, apa lagi dari pihak Li Eng.

Demikianlah, walau pun tampaknya tiga orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka yang saling tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk mencapai kemenangan. Suasana hening mencekam karena tiga orang itu diam tiada yang bergerak. Li Eng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini menganggap dia orang apakah maka mereka berani main gila? Dengan seruan nyaring dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke leher Bhong Lo-koai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.

Bhong Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya. Tiba-tiba saja tongkatnya melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, lalu bergerak menangkis sabuk sutera itu. Ia mengalami kekagetan hebat namun berhasil menyelamatkan diri. Ada pun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika tongkat itu menangkisnya. Malah Hui Cu terhuyung sedikit pada waktu pedangnya terlepas dari tempelan tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga lweekang dari kakek ini luar biasa.

Sekarang maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh. Baru dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong Lo-koai, memiliki kepandaian yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan agaknya kakek aneh ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apa lagi kalau tujuh orang itu semuanya maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari Bhong Lo-koai.

Akan tetapi urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tidak mungkin mereka menyerah menjadi selir Pangeran! Walau pun mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan melawan sekuat tenaga. Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu cepat memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,

"Anjing-anjing penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah sebelum leher kami putus!"

Ang-moko, yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya tersenyum saja, kini berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan marah kepada kalian, juga nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian ini tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini? Heh-heh-heh, memalukan sekali!"

"He, Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan. Habis apa kerjamu di sini?" teriak Souw Ki kasar.

Ang-moko tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pekerjaan besar, bukan segala macam usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk pekerjaan macam ini."

"Sudahlah, untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam. "Kita beramai tangkap dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup jangan sampai lolos atau terluka." Enam orang itu memasang kuda-kuda, ada pun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.

"Paman Hong, kalau nanti aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan Ibu bahwa anaknya mati sebagai seorang gagah!" berkata Li Eng tanpa mengalihkan perhatiannya kepada para jagoan yang sudah siap hendak menerjangnya itu.

"Sampaikan hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li Eng suaranya agak terharu dan sungguh-sungguh.

Kun Hong menjadi gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Dia tak kuasa mencegah pertempuran yang pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua orang keponakannya itu sudah tentu lebih baik berjuang sampai mati dari pada menyerah untuk menjadi selir Pangeran mata keranjang itu.

Akan tetapi tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak. Biar pun tidak salah, dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal ini juga akan menyeret nama baik seluruh keluarga. Tidak boleh ia membiarkan dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini.

Dikumpulkannya tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik ke pusat pandangan mata kemudian dia membentak, "Li Eng dan Hui Cu! Simpan pedangmu dan jangan melawan."

Ketika ia berteriak demikian itu, para jagoan sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng dan Hui Cu. Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh kedua orang gadis itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis itu melompat ke dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.

"Baiklah, Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut. Berbareng pula keduanya menyimpan pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang saling pandang dan merasa terheran-heran.

Hanya dua orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara Kun Hong tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus mereka turut dan taati karena seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri yang melumpuhkan seluruh daya kemauan.

Kun Hong sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang menggelisahkan dan tegang tadi, ia sudah menggunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok sehingga ia telah ‘menyihir’ dua orang keponakannya sendiri sampai dua orang dara itu menuruti perintah tanpa syarat lagi!

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus perpustakaan. Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah kemudian hidup penuh kemuliaan di sini dibandingkan melawan kekuasaan Pangeran karena akan membuang nyawa sia-sia belaka."

"Kami bertiga menyerah untuk ditawan, bukannya menyerah untuk menerima kedudukan," jawab Kun Hong dengan suara dingin.

Kembali tujuh orang itu saling pandang, lalu Thian It Tosu mengangkat pundak.

"Kalian orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya Tan-taijin yang akan mengurus kalian. Serahkan senjata!"

Li Eng dan Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti, sedangkan pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang tidak ada yang tahu. Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah ini membawa-bawa pedang?

Mereka ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua orang gadis itu, "Jangan kalian kuatir, aku akan berdaya upaya untuk menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan kembali. Kita tidak berdosa. Jangan kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti dilindungi Tuhan Yang Maha Adil."

Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai bergerak ke depan menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li Eng dan Hui Cu sama sekali tidak mengira akan datangnya serangan mendadak ini, mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam keadaan tertotok.

Kiranya dua orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda. Karena mereka tidak ingin melihat dua orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi, keduanya lalu turun tangan menotok jalan darah mereka.

"He, apa yang kalian lakukan ini?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan kulaporkan ini, kalian akan dihukum! Kami sudah menyerah, kenapa kalian masih tetap merobohkan dua orang keponakanku? Jahat sekali kalian..."

Akan tetapi tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain jurusan sedangkan dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong berteriak-teriak sampai suaranya serak. Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji besi. Hanya ada sebuah bangku panjang dan sebuah meja kecil di kamar ini, selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri ke atas bangku dan dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.

Pembesar yang oleh Kaisar dikuasakan untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur dan setia, orangnya tinggi besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar.

Kiranya para pembaca masih ingat akan tokoh dalam cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin kaum Pek-lian-pai yang berjasa amat besar terhadap perjuangan. Malah dalam pergolakan belasan tahun yang lalu saat para bekas pejuang saling berebutan kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar, kembali Tan Hok memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang hendak merebut kekuasaan.

Akhirnya, Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal pribadinya. Kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan istana. Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar. Semua kata-katanya dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan disegani oleh seluruh kerabat istana.

Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat pertalian persahabatan yang sangat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu, tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini sering kali mengadakan hubungan.

Tan-taijin sering kali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin. Karena Tan-taijin sendiri yang menikah dengan seorang gadis kota raja tidak memiliki keturunan, maka sering kali puteri tunggal Tan Beng San tinggal di situ sampai berbulan-bulan.

Malah atas anjurannya, juga karena terlalu disayang oleh ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis ini pun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur dan lain-lain.

Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka sesudah mereka menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka kemudian melaporkannya kepada Tan-taijin.

Mula-mula Tan-taijin mengomel pada saat mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota mengangkat seorang pemuda menjadi pengurus perpustakaan serta dua orang gadis begitu saja menjadi selir. Watak orang muda omelnya, segala serba tergesa-gesa menurutkan nafsu hati.

Tetapi dia segera tertarik sekali mendengar bahwa ‘pemuda kepala batu’ yang menolak anugerah besar ini ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali.

Ia cukup mengenal watak pendekar-pendekar wanita yang tak boleh disamakan dengan wanita-wanita biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah para pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan pemecahannya yang baik.

Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.

Sebagai seorang tawanan, biar pun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, dua tangan Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya untuk menghadap Tan-taijin di ruangan tengah. Pada waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu yang amat terang.

Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesarannya karena ia sedang memeriksa seorang tahanan. Pembesar ini amat gagah dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan Kong saja. Sunguh-sungguh berwibawa! Setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.

Melihat seorang pemuda kurus dan tampaknya lemah digiring masuk, Tan-taijin langsung merasa kecewa. Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang!

Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani menentang segalanya. Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan nyaring,

"Orang muda, kau berdirilah!"

Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.

"Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga menjadi seorang tahanan. Ceritakanlah semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku akan dapat membebaskanmu."
cerita silat karya kho ping hoo

Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan di dalam hati Kun Hong. Akan tetapi, saat pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang angker serta sikap yang agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam dia mengeluh dan tidak dapat banyak mengharapkan keadilan. Mendengar pertanyaan yang sekaligus dapat mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun Hong menjawab singkat tanpa mengangkat mukanya yang menunduk memandang lantai.

"Nama saya Kwa Kun Hong dan berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Tapi kebetulan terdengar oleh Pangeran dan kami menerima undangan. Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa dua keponakan saya untuk menjadi selirnya sedangkan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.”

Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tak merasa takut ini, Tan-taijin diam-diam kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin Siong?

Pada saat itu, pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan sepasang mata bersinar-sinar bagai bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya. Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.

"Pek-hu (uwa), kau tolonglah... aku mendengar ada dua orang gadis muda jelita berasal dari Hoa-san-pai sedang ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!"

Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda itu mencari dan melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan, "Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya. Yang sudah punya banyak ingin tambah terus, dan aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"

Semakin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.

Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Ahh, kiranya aku mengganggu Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini? Apakah dia tukang colong ayam istana? Ataukah tukang copet? Jangan-jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!" Jelas bahwa pemuda ini sedang sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.

Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justru dua gadis yang kau bicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."

Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri di atas paha kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas. Tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah mengambil pedang di balik baju Kun Hong.

"Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu.

Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang menaruh curiga padanya. Kiranya pemuda ini dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu dirampasnya.

Kening pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau adalah seorang pemuda sastrawan yang lemah. Mengapa kau menyembunyikan pedang?"

Sekarang marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab, "Pedang tetap pedang, benda yang tak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian orang suci kepadaku, mengapa takkan kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk... membunuh orang atau untuk beraksi seperti dia itu!"

Matanya memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta memandanginya seperti seorang ahli!

"Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?"

Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung, bukan karena keindahannya namun karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih. Saking marahnya Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara. Dia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali tersinggung dan marah, padahal menghadapi segala sesuatu biasanya ia tenang dan sabar saja. Pada saat bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.

Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya. Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal yang aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini tak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala?

"Kwa Kun Hong," berkata pula pembesar itu dengan suara kereng, "Pangeran Mahkota begitu baik kepadamu, belum kenal telah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat. Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak taat dan tidak menghormat kepada putera Kaisar. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis, kenapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan dan punya hati memberontak?"

"Eh-ehh, orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar suara pemuda tampan itu yang membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar.

Kun Hong mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu, jawaban yang diselimuti oleh kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan tadi.

"Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau mau hukum, terserah. Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel dari pada menjadi pembesar di istana! Menjadi ketua pengemis paling tidak masih mengingat akan nasib para pengemis, meski tampak hina namun merupakan pekerjaan yang mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut dirinya sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang sangat banyak jumlahnya di kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor? Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelaparan, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong? Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang telanjang dan harus kedinginan? Padahal..." Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, kemudian dia menyambung lebih bersemangat lagi,

"padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, tak akan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang orang-orang yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Di waktu perang? Ahh, ada rakyat yang maju! Di waktu banjir? Musim kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tetapi kalau sudah mabuk penghidupan mewah dan enak, segera rakyat dilupakan!"

Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong menjadi semakin bersemangat.

"Ah, Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium wangi masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Cobalah Taijin tengok ke dusun-dusun, dan juga ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin mata Taijin akan terbuka dan tidak berani lagi menari-nari di atas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja..."

"Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!"
Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan…
"Plak! Plak!" kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri.
Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.

"Jangan, Tan-ji...! Mundurlah! Bagaimana pun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan keadilan!"

"Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ahh, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu dengan marah lalu meninggalkan ruangan.

Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.

"Huh, laki-laki macam apa dia? Pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu Kun Hong dengan hati mengkal.

Tan-taijin tersenyum ketika berkata, "Kau maafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja. Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Taihiap?"

"Saya... anaknya..." jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali dia tidak mengira bahwa agaknya pembesar ini mengenal ayahnya.

"Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai putera Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kau bilang mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu..." Pembesar itu mengingat-ingat, "apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!"

Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!

"Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu ialah puteri Paman Thio Ki," katanya cepat dan kini mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.

Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. "Ahh, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu beserta semua orang-orang Hoa-san-pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu."

Kun Hong merasa girang sekali, tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.

"Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan sebagai tamuku!"

Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.

Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali.

Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai takkan dapat menerima hal itu, malah dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang memiliki hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main.

Paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dahulu, baru pada keesokan harinya ia boleh bicara dengan Pangeran Mahkota. Jika ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran Mahkota takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andai kata Pangeran tetap menyesal, ia masih dapat menggunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun.

Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita!

Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil melarikan diri.

Seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang malah menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat bergelimpangan!

Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai. Juga dia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi?

Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang kepandaian Ang-moko dan Bhong Lo-koai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.

Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas untuk membujuk secara halus, lebih dahulu Bhong Lo-koai mengikat tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu.

Pada malam hari itu juga, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa kedua orang dara remaja yang dirindukannya itu sudah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu...


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 20


Loading...