Raja Pedang Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 06

Akan tetapi anak itu bukannya lari, malah dengan perlahan sekarang ia memutar arahnya menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon. Dari atas pohon Kwa Hong dapat melihat dengan jelas sekali gerakan-gerakan semua ular itu dan hampir saja ia menjerit-jerit saking geli dan jijiknya. Tubuh Kwa Hong gemetar.

Selama hidupnya belum pernah anak yang tabah ini menderita ketakutan seperti di saat itu. Baru sekarang dia melihat bahwa anak laki-laki yang usianya hanya satu dua tahun lebih tua dari padanya itu sama sekali tidak dikejar oleh ular-ular itu, juga sama sekali tak diganggu, malah lebih patut dikatakan bahwa ular-ular itu adalah binatang peliharaannya. Buktinya, sekarang anak laki-laki itu berdiri dikelilingi ular-ular dalam jarak satu meter.

Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti menyuling. Dia menengok ke atas dan tertawa nakal melihat Kwa Hong bersembunyi di situ. Kemudian dia mulai meniup sulingnya lagi dan... ular-ular itu kini merayap ke arah pohon dan berebutan mereka mencoba untuk merayap naik! Bukan main takut, geli dan jijiknya hati Kwa Hong.

"Heeeiiiii!" teriaknya kepada anak laki-laki itu. "Suruh mereka pergi...! Usir mereka, jangan perbolehkan naik ke pohon...!"

Akan tetapi anak itu dengan sepasang mata memancarkan sinar kenakalan, malah makin memperkeras bunyi sulingnya dan ular-ular itu seperti gila dalam usahanya merayap naik ke atas pohon. Beberapa ekor di antaranya yang agaknya biasa menaiki pohon, sudah berhasil naik, mengeliat-geliat makin mendekati Kwa Hong.

Hampir saja Kwa Hong pingsan saking jijiknya. Tubuhnya terasa kaku-kaku dan tangan kakinya serasa lumpuh. la memeluk erat cabang pohon dan memandang ke arah ular-ular yang merayap naik itu dengan wajah pucat.
cerita silat karya kho ping hoo

Tapi dasar Kwa Hong berhati keras seperti baja, dia tidak menangis, padahal rasa jijik dan takut membuat ia ingin sekali menjerit-jerit. Apa lagi ketika ada seekor ular yang bersisik kehitaman dan agak panjang sudah berhasil merayap dekat dan kini, ular itu menjilat-jilat ke arah kakinya.

Kwa Hong meramkan matanya yang berkunang-kunang dan menjejakkan kakinya ke arah ular itu. Akan tetapi ular itu malah merayap ke arah kakinya, lalu naik melibat betisnya. Terasa dingin dan menggeliat-geliat di betis kiri! Tanpa tertahankan pula saking ngeri dan jijiknya, Kwa Hong menjerit dan... roboh terguling dari atas cabang pohon!

Pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong sudah berada dalam pondongan Koai Atong! Orang aneh ini dengan ginkang-nya yang tinggi melompat dan sudah melampaui kumpulan ular, kemudian dia hendak membawa lari Kwa Hong.

"He, tunggu dulu, jangan lari!" terdengar anak laki-laki itu membentak dan... aneh sekali, Koai Atong berhenti dan membungkuk dengan hormat kepada anak itu.

"Orang gendeng, kenapa kau berani lancang tangan? Apa kau kira aku sendiri tidak bisa menolongnya ketika dia jatuh dari pohon?" Anak laki-laki itu nampak marah dan menegur Koai Atong.

"Maaf, Tuan Muda, maaf. Dia ini adalah sahabatku, kukira tadi akan celaka, maka aku pun menolongnya. Maaf..."

Koai Atong nampaknya takut-takut dan menghormati sekali, bagaikan seorang anak kecil bertemu dengan anak lain yang lebih jagoan.

Anak laki-laki bermuka putih itu tersenyum mengejek. "Apa kau ingin dihajar lagi oleh suhu (guru)?"

Kwa Hong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Setelah sekarang Koai Atong berada di situ bersama dia, dia tidak takut lagi untuk menghadapi ular-ular itu. Apa lagi ia merasa mendongkol bukan main karena selain anak itu sudah mengganggunya, juga sikap anak itu terhadap Koai Atong benar-benar keterlaluan sekali, di samping keheranannya melihat betapa Koai Atong agaknya amat takut dan menghormat kepada bocah bermuka puth.

"Keparat tak kenal mampus!" teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke muka anak itu. "Penjahat macam engkau harus dibasmi!" Sambil berkata demikian Kwa Hong menyerang dengan kedua tangannya karena pedangnya sudah patah ketika ia menyerang Hek-hwa Kui-bo dahulu itu.

"Enci Hong, jangan...!” Koai Atong mencegah dan memegang lengan Kwa Hong.

Hal ini membuat Kwa Hong menjadi makin naik darah. la merenggutkan lengannya dan membentak.

"Kau boleh takut kepadanya, akan tetapi aku tidak!" Dan ia terus meloncat maju, memukul ke arah dada anak itu.

Bocah yang bermuka pucat itu hanya tersenyum mengejek. Sulingnya yang berbentuk ular itu bergerak ke depan dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong telah menjadi kaku tidak dapat bergerak lagi. Dalam segebrakan saja, dan dengan gerakan yang tak terduga cepatnya, bocah muka putih itu telah menotoknya!

Koai Atong melangkah maju dan sekali tepuk pada pundak Kwa Hong, orang aneh ini telah membebaskan totokannya.

"Enci Hong, jangan lawan Tuan Muda...," orang aneh itu mencegah lagi.

Akan tetapi anak yang berwatak keras seperti Kwa Hong, mana mau sudah begitu saja setelah ia merasa diperhina orang? la menjadi marah sekali dan dengan nekat ia lalu maju menyerang lagi.

"Ehh, budak perempuan, kau masih belum kapok?" Anak laki-laki yang bermuka pucat itu kembali menggerakkan sulingnya.

Akan tetapi mendadak suling itu menyeleweng ke kiri dan tubuh Kwa Hong juga terdorong mundur, seakan-akan ia tadi didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan. Anak laki-laki itu melangkah mundur dan berkata.

"Suhu... dia yang menyerang teecu..."

Ketika Kwa Hong sudah berdiri tegak, dia melihat seorang laki-laki tua bertubuh sedang, berpakaian sederhana seperti petani dengan baju yang berlengan panjang, sudah berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Sepasang mata orang tua ini bergerak-gerak liar ke sana ke mari.

Yang mengherankan hati Kwa Hong adalah sikap Koai Atong yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, sedangkan anak laki-laki tadi pun berdiri membungkuk-bungkuk. Kakek itu seakan-akan tidak melihat orang lain. Dia menoleh ke arah rombongan ular di belakang anak itu, lalu tangan kirinya bergerak.

Kwa Hong tidak tahu bagaimana terjadinya, demikian cepat gerakan ujung lengan baju orang tua itu, akan tetapi tahu-tahu seekor ular besar telah dibelit ujung lengan baju itu, kepala ular dipegangnya, kemudian... dengan lahapnya orang tua itu menggigit tubuh ular, mengambil dagingnya dan makan daging berdarah itu dengan enak sekali! Ular itu hanya berkelojotan di tangannya, menggeliat-geliat tanpa dapat melawan.

Pemandangan ini amat mengerikan hati Kwa Hong yang berdiri memandang dengan mata terbelalak. Setelah menghabiskan tiga gumpalan daging, kakek itu lalu melemparkan ular yang tadi berkelejotan dan mencoba untuk lari dari situ.

Ular-ular yang lain diam tidak ada yang berani bergerak. Sekali lagi dengan cara seperti tadi, yaitu dengan ujung lengan bajunya, kakek itu menangkap seekor ular berkulit hijau yang tampaknya berbisa sekali, lalu makan daging ular hidup ini seperti tadi pula.

Setelah melemparkan sisa ular itu barulah kakek ini berpaling kepada Koai Atong, dan dia pun bertanya, "Anak besar gila, mana gurumu?"

"Hamba... hamba tidak tahu di mana, Locianpwe. Hamba sedang hendak kembali mencari suhu...”

Kakek itu tidak peduli lagi kepada Koai Atong, lalu memandang kepada Kwa Hong dengan matanya yang tajam dan bergerak-gerak liar. Kwa Hong merasa ngeri, akan tetapi anak yang tabah ini balas memandang dengan matanya yang bening.

"Anak bernyali besar, siapa ayahmu?"

"Ayah bernama Kwa Tin Siong, berjuluk Hoa-san It-kiam," jawab Kwa Hong.

Kakek itu mendengus. "Huh, anak murid Hoa-san-pai. Apa becusnya? Akan tetapi nyalimu besar, tulangmu pun baik."

Tiba-tiba dia membalik kepada anak muka putih tadi.

"Kin-ji, lain kali kau tidak boleh mengganggu anak yang bernyali besar ini. Tak tahu malu, kau!"

"Ampun, Suhu..."
"Hayo usir semua cacing ini!"

Anak bermuka putih yang bernama Kin itu segera meniup sulingnya dan semua ular itu merayap pergi. Sebentar saja bersihlah tempat itu, bahkan dua ekor ular yang sudah hilang sebagian dagingnya tadi pun kini sudah merayap pergi memasuki semak-semak.

"Koai Atong, mengapa kau membawa-bawa anak ini?" bentak lagi kakek itu kepada Koai Atong.

Koai Atong mengangguk-anggukkan kepalanya. "Enci Hong ini... dia sahabat baik teecu, hendak teecu susulkan kepada ayahnya di Hoa-san..."

"Baik, kau tidak lekas pergi menanti apa lagi?"

Koai Atong memberi hormat berkali-kali dan berkata, "Terima kasih, Locianpwe... terima kasih..." la lalu berdiri, menyambar lengan Kwa Hong dan membawanya lari dari tempat itu.

Kwa Hong berkali-kali bertanya tentang kakek aneh itu, akan tetapi Koai Atong tidak mau menjawab. Setelah mereka lari sepuluh li lebih jauhnya, barulah Koai Atong melepaskan tangan Kwa Hong dan berhenti, napasnya terengah-engah.

"Aduh... hampir saja... hampir saja celaka..."

Mungkin karena rasa takut dan ngerinya yang sangat besar, orang aneh yang biasanya bersikap seperti kanak-kanak ini sekarang agak lebih normal sikapnya.

"Ada apa, Koai Atong? Siapakah kakek itu? Siapa pula bocah yang memelihara ular itu?" Kwa Hong bertanya.

Koai Atong berkali-kali menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas tanah. "Dia adalah Siauw-ong-kwi, tokoh terbesar dari utara, amat lihai dan ganas. Kau lihat tadi makanannya saja ular hidup. Bocah itu muridnya, lihai sekali, biar pun masih kecil tapi kepandaiannya tidak kalah olehku! Namanya Giam Kin. Hati-hatilah kau kalau bertemu dengan dua orang itu."

Setelah perasaan takutnya agak reda, timbul kembali sifat kanak-kanak dari Koai Atong. Ia mulai tertawa-tawa dan berkata, "Menyenangkan sekali ular-ular itu, ya? Kalau kita bisa menyuling seperti dia, waaah, senangnya!"

Kwa Hong bergidik. "Menyenangkan apa? Menjijikkan. Hih, hanya anak setan yang suka bermain-main dengan segala macam ular. Eh, Koai Atong, sekarang hayo lekas antar aku ke Hoa-san. Kalau kau tidak mau, aku pun tidak sudi lagi menjadi temanmu."

"He-he-heh, Enci Hong. Tentu saja kuantar. Biarlah kalau suhu akan marah karena lama aku tidak kembali, palihg-paling akan digebuk pantatku. Hayo, mari kugendong kau!"

Dengan cepat sekali Koai Atong menggendong Kwa Hong di punggungnya dan orang aneh ini lalu menggunakan kepandaiannya untuk cepat berlari menuju ke Hoa-san.

Diam-diam Kwa Hong makin ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Kalau Koai Atong yang sudah begini lihai masih takut pada orang tua itu, sampai berapa hebat kepandaian Siauw-ong-kwi? Dan anak bermuka putih itu, benarkah lebih lihai dari pada Koai Atong?

Tentu saja dia tidak tahu bahwa tak mungkin anak bernama Giam Kin itu lebih lihai dari pada Koai Atong. Hanya karena Koai Atong amat takut kepada Siauw-ong-kwi, maka dia berkata demikian…..

*********

Pada masa itu, kekuasaan bangsa Mongol yang sedang menjajah daratan Tiongkok mulai menyuram. Di mana-mana timbul kekacauan serta pemberontakan-pemberontakan kecil yang merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Goan.

Sungai-sungai besar seperti Sungai Yang-ce atau Sungai Huang-ho, yang tadinya adalah pusat pengangkutan dan perdagangan, kini penuh dengan perampok-perampok dan para bajak sungai. Bajak dan perampok ini demikian beraninya sehingga, kalau dulu mereka hanya mengganggu perahu kecil yang tidak terjaga kuat, tetapi sekarang mereka ini tidak segan-segan untuk membajak perahu besar yang dijaga, bahkan mereka ini berani pula mengganggu perahu-perahu pembesar Goan.

Kota dan dusun yang terdapat di sepanjang Sungai Yang-ce, tidak luput dari gangguan para bajak dan rampok ini. Oleh karena itu, maka keadaannya sekarang menjadi sepi. Para pedagang tidak berani lagi melakukan perjalanan seorang diri, para pengiring barang tidak berani lagi kalau tidak terjaga oleh serombongan piauwsu (pengawal barang) yang kuat. Bahkan para pembesar yang melakukan perjalanan, selalu membawa pasukan yang bersenjata lengkap.

Dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce termasuk Propinsi Hu-pek, tadinya merupakan dusun yang ramai dan makmur, terkenal akan ikannya yang besar-besar dan banyak serta hasil hutannya yang amat kaya. Biasanya di dusun ini banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari lain daerah sehingga di pinggir sungai banyak diikat perahu-perahu besar dan di darat banyak terdapat kuda dan kereta.

Akan tetapi akhir-akhir ini dusun Kui-lin juga ikut menjadi sunyi sekali. Tak ada pedagang luar daerah yang berani datang melakukan perjalanan yang berbahaya. Para pedagang di Kui-lin sendiri selain mengalami perdagangan yang sepi, juga sering mendapat gangguan dari para penjahat sehingga mereka yang mempunyai cukup modal berbondong-bondong berpindahan ke kota-kota besar. Banyak pula yang menderita gulung tikar sehingga dusun Kui-lin sekarang menjadi dusun yang sunyi, hanya ditinggali para nelayan dan petani yang tidak punya apa-apa untuk dirampok lagi.

Maka agak mengherankan kalau orang melihat adanya sebuah warung arak yang menjual bermacam-macam makanan setiap hari dibuka di pinggir sungai di dusun itu. Akan tetapi sebetulnya tidak aneh karena yang memiliki warung itu adalah Phang Kwi si mata satu, seorang tokoh yang terkenal dalam dunia penjahat sehingga sebagai orang segolongan dia tidak pernah diganggu oleh para perampok dan bajak yang menjadi kawannya sendiri. Malah hampir semua langganan warung arak ini terdiri dari penjahat-penjahat belaka.

Suatu pagi yang sunyi, Phang Kwi masih enak-enak tidur mendengkur, warungnya belum dibuka. Hari baru pukul enam. Biasanya kalau belum jam delapan lewat, setelah matahari naik tinggi, Phang Kwi belum mau membuka warungnya.

Sudah setengah tahun dia membuka warung di tempat ini dan tak pernah ada orang yang berani mengganggunya. Tidak hanya takut akan kepalan tangan yang keras dari si mata satu, akan tetapi juga takut kalau si mata satu itu melaporkan kepada kepala mereka yang kesemuanya sudah dikenal baik oleh Phang Kwi.

Pernah ada tiga orang anggota bajak tidak mau membayar setelah makan dan minum di warung itu. Phang Kwi tidak mau melayani mereka, hanya melaporkan kepada kepala bajak yang dikenalnya baik. Tiga orang anggota bajak itu dihajar oleh kepalanya sendiri dan Phang Kwi mendapatkan uangnya. Semenjak itu, Para bajak dan rampok tidak berani lagi mengganggunya.

Akan tetapi pada pagi hari ini, selagi Phang Kwi masih tidur, pintu warungnya digedor orang! Enam orang penunggang kuda yang bersikap kasar-kasar turun dari kuda mereka masing-masing di depan warung. Dari mulut mereka terlontar sumpah serapah mengutuk buruknya jalan dan dinginnya hawa.

Seorang di antara mereka, yaitu pemimpinnya, adalah seorang bermuka merah, bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar dan sekantong piauw. Dia inilah yang disebut Ang-bin Piauw-to (Golok Piauw Muka Merah), seorang kepala perampok yang terkenal kejam dan lihai ilmu silatnya.

"Dar-dar-dar-dar!”

“Buka pintu, Phang Kwi, kura-kura yang malas!" seorang di antara anggota rombongan ini menggendor pintu sambil memaki-maki.

Phang Kwi amat kaget di dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mendengarkan dengan penuh perhatian, tukang warung ini mengomel panjang pendek.

"Bedebah... setan alas... Sepagi ini mengganggu orang yang sedang enak tidur. Minta dihancurkan kepalanya setan itu!"

Dengan langkah lebar dan muka merengut, Phang Kwi menuju ke pintu warungnya dan membuka daun pintunya. Akan tetapi mukanya yang merengut itu disambut gelak tawa oleh enam orang itu.

"Ha-ha-ha, kura-kura malas she Phang baru munculkan kepalanya!"

"Hei, Phang tua, ada tuan-tuan besar datang kau tidak lekas sambut, orang macam apa kau ini?"

"Phang Kwi, kau cuci muka dulu dan cuci tangan, baru keluarkan arak hangat."

Phang Kwi mulai hilang kerut mukanya, apa lagi ketika dia melihat pimpinan rombongan yang bermuka merah. Segera dia menjura dan berkata, "Ahai, kiranya Ang-twako yang datang berkunjung. Silakan masuk dan duduk. He, teman-teman, kalian baik-baik saja? Mana oleh-olehnya untuk aku?"

"Oleh-oleh apa? Jaman sedang sukar begini. Tapi nanti sebentar..."

"Sssttt, Lo-tan, tutup mulutmu!" Si muka merah membentak dan pembicara itu pun tidak melanjutkan kata-katanya.

Beramai-ramai mereka memasuki warung arak dan Phang Kwi sibuk melayani mereka, menghangatkan arak dan menghangatkan beberapa macam kue. Tentu saja dia tidak jadi marah sebab mereka ini adalah teman-teman baiknya, teman-teman ‘seperjuangan’ ketika dia dahulu masih menjadi anak buah dan pembantu Ang-bin Piauw-to di dalam hutan.

Memang Phang Kwi ini dulunya juga bukan orang baik-baik. Selain pernah menjadi anak buah Ang-bin Piauw-to menjadi perampok, pernah pula dia menjadi anggota bajak sungai.

"Mana daging ikan?" Si muka merah bertanya pada saat melihat bahwa hidangan yang dikeluarkan hanya roti kering dan beberapa macam kue saja. "Aku mendengar daerahmu ini mengeluarkan ikan yang enak."

“Wah, sukar sekarang ini, Twako. Para nelayan hanya mencari ikan untuk perut mereka sendiri saja. Aku pun hanya bisa membeli kalau memesan lebih dulu."

“Masa begitu? Biar kami mencari di pinggir sungai!"

Tiga orang anggota perampok segera pergi keluar. Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di pinggir sungai ketika secara kasar para perampok ini merampas ikan-ikan yang baru saja didapatkan oleh beberapa orang nelayan.

Seorang nelayan muda yang berusaha untuk membela haknya mendapat hadiah bacokan sehingga dia rebah mandi darah. Nelayan-nelayan lain menjadi ketakutan dan mereka ini hanya bisa menarik napas panjang dan mengertak gigi sambil menolong kawan mereka ketika tiga orang ini pergi membawa ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa.

Sementara itu, Phang Kwi mendekati Ang-bin Piauw-to sambil berbisik, "Ang-twako, apa yang dimaksudkan oleh Lo-tan tadi?"

Ang-bin Piauw-to tersenyum. "Sebetulnya bukan rahasia, hanya tak enak jika dibicarakan di luar warungmu. Kami sedang menanti lewatnya rombongan pedagang yang membawa barang dua kereta banyaknya. Mereka akan lewat di dusun ini, entah siang nanti entah sore hari.”

Berseri Phang Kwi. "Hebat. Akan tetapi mengapa mereka itu berani bepergian di waktu begini? Benar-benar aneh. Tentu ada pengawal-pengawal yang kuat..."

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan suara mengejek. "Hah, apa artinya pengawalan dari lima orang piauwsu (pengawal) Pek-coa Piauwkok?"

"Bagaimana pun juga, harap Twako berhati-hati. Apa bila orang sudah berani melakukan perjalanan di saat seperti sekarang ini, tentu mereka itu mempunyai andalan."

"Sudahlah, kalau kau takut jangan ikut-ikut. Kalau kau mau membantu tentu kau akan mendapat bagian."

"Siapa takut? Dengan Twako di sini siapa yang takut lagi? Ha-ha-ha!"

Tiga orang perampok yang sudah mendapatkan ikan tadi datang, dan makin gembiralah kawanan perampok ini. Mereka makan minum sambil menikmati daging ikan yang empuk dan gurih.

Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan tampak seorang tua bongkok bermuka lucu turun dari seekor keledai yang tua pula. Keledai itu sudah tua, tidak ada rambutnya lagi karena dimakan gudig. Telinga kirinya tinggal sepotong, telinga kanan panjang sekali, punggungnya juga bongkok seperti penunggangnya itu. Di dekat keledai berdiri seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka bodoh dan bermata sayu.

"Heh-heh-heh, sedap sekali baunya Gurih, enak...!"

Kakek itu terbongkok-bongkok berjalan lebih dulu memasuki warung arak, dengan wajah tampak gembira. Akan tetapi pemuda tadi nampaknya tidak segembira kakek itu. Melihat bahwa di antara tujuh orang yang sedang makan minum itu ada seorang yang berdiri menyambutnya, kakek itu tahu bahwa yang berdiri itu tentulah pemilik warung, maka dia segera berkata.

"Hei, sahabat. Lekas kau sediakan ikan yang gemuk, dimasak seperti yang sedang kalian makan itu. Wah, baunya gurih sekali. Cepatan, untuk dua orang!"

Phang Kwi memandang dengan muka mendongkol. Melihat pakaian mereka, sudah jelas bahwa kakek dan pemuda itu adalah orang-orang miskin, apa lagi jika dilihat bahwa yang ditunggangi kakek itu hanya seekor keledai tua, tanpa muatan apa-apa di punggungnya. Sekarang Phang Kwi sedang menjamu makan teman-teman lamanya, dan dia pun sudah minum banyak arak, tentu saja keberaniannya bertambah dan kegalakannya memuncak.

"Jangan mengemis di sini, aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada kalian!" katanya sambil bertolak pinggang.

Pemuda yang bermuka bodoh dan bermata sayu itu tiba-tiba melempar sebuah kantong di atas meja, suaranya gemerincing. Kakek itu sambil tertawa-tawa membuka kantong.

"Kami tidak mengemis. Heh-heh-heh, kami membeli, sahabat."

Bukan hanya mata Phang Kwi yang melotot lebar, enam pasang mata Ang-bin Piauw-to dan kawan-kawannya juga melebar. Kantong yang dibuka oleh kakek itu ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak!

"Orang tua, ikan tidak ada lagi," kata Phang Kwi, masih terheran-heran.

"Sahabat tua, kalau tidak menjadi celaan marilah duduk makan bersama kami. Ikan di sini cukup banyak." Tiba-tiba Ang-bin Piauw-to berkata dengan ramah kepada kakek itu.

Si kakek menutup lagi kantongnya, memasukkannya dalam saku baju pemuda tadi dan sambil tertawa-tawa, dia lalu maju menghampiri meja para perampok dan duduk di dekat Ang-bin Piauw-to. Pemuda tinggi besar itu duduk di sampingnya.

"He-heh-heh, kalian orang-orang mengerti aturan. Memang bertemu di jalan harus saling menyalam, tapi bertemu di meja makan harus saling menawarkan makanan. Ha-ha-ha!"

Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu ‘menyikat’ masakan ikan dan arak yang dihidangkan. Juga pemuda itu dengan gembulnya, seakan-akan dia tak pernah makan masakan yang sesedap itu, mencontoh perbuatan kakek tadi.

Para perampok saling melirik. Diam-diam mereka mendongkol sekali karena dua orang itu, meski pun yang satu tua bangka dan kurus bongkok sedangkan satunya lagi pemuda tinggi besar, akan tetapi takaran makannya ternyata tidak berbeda, keduanya gembul luar biasa.

"Silakan minum lagi, sahabat tua." Ang-bin Piauw-to terus mengisi cawan arak di depan kakek itu.

Phang Kwi maklum akan maksud kawannya ini. Sambil tersenyum ia juga mengisi cawan arak di depan pemuda itu, sehingga kakek dan pemuda itu tanpa mereka ketahui telah ‘diloloh’ oleh kawanan perampok.

Makin banyak minum arak, kakek itu makin gembira dan terus tertawa-tawa. Akan tetapi sebaliknya, pemuda raksasa itu semakin pendiam. Sementara itu, para perampok makin sering saling lirik dan tersenyum-senyum karena maklum bahwa dengan ‘umpan’ ikan dan arak mereka akan mendapatkan ‘ikan besar’.

Yang membuat mereka mendongkol adalah kekuatan minum arak dua orang itu. Biar pun telah cukup banyak menenggak arak, mereka belum juga roboh atau mabuk. Akan tetapi, Ang-bin Piauw-to bersikap sabar dan mengajak kakek itu mengobrol.

"Kek, kau dan orang muda ini datang dari mana dan hendak ke manakah? Kiranya sudah sepatutnya kita berkenalan."

"He-heh-heh, tentu saja, tentu saja. Sudah makan bersama belum saling mengenal. Aku she Tan bernama Sam, dan dia ini pembantuku bernama Hok, tidak punya she (nama keturunan) maka kuberi saja she-ku kepadanya, maka dia kini bernama Tan Hok. Kami tidak punya tempat tinggal tertentu, langit biru atap kami, bumi lantai kami, he-heh-heh..."

Semua perampok tertawa. Dalam hal tempat tinggal kakek dan pembantunya itu ternyata senasib dengan mereka.

"Apa pekerjaanmu, Kek?" Ang-bin Piauw-to bertanya lagi.

Kakek yang bernama Tan Sam itu tertawa lagi. "He-heh-heh, tukang pancing... ya benar, kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan gemuk?"

Berubah wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya bahwa mungkin juga kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andai kata betul bajak sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat?

"Tan-lopek, kalau begitu, kau mencari rejeki di sepanjang Sungai Yang-ce?" Dia mencoba untuk menyelidik.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di lautan, di darat, di mana saja ada ikan besar, tentu akan kudatangi untuk kupancing. Bukankah begitu Hok-ji (anak Hok)?" Kakek itu menepuk-nepuk pundak pembantunya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu, hanya mengangguk diam.

"Jika begitu," sambung Ang-bin Piauw-to dengan bernafsu sedangkan para anak buahnya mendengarkan penuh perhatian karena maklum apa yang dipikirkan oleh kepala mereka, "tentu kau sudah kenal baik dengan Lui Cai si Bajul Besi, dan dengan Kiang Hun si Naga Sungai, juga Thio Ek Sui si Cucut Mata Merah?"

Tiga nama kepala bajak yang paling terkenal disebut oleh kepala rampok ini.

Akan tetapi kakek itu memandangnya dengan matanya yang sipit berseri seakan-akan mendengarkan orang melawak. "Mereka itu betul-betul manusia ataukah badut-badut? Kok namanya aneh sekali. Bajul Besi? Wah, belum pernah aku melihatnya, mendengar pun belum. Kalau bajul biasa yang panjangnya tiga kali orang saja aku pernah melihatnya, malah bajul buntung (buaya tak berekor = penjahat) sering kali aku lihat, tapi bajul besi? Belum, belum pernah setua ini aku melihatnya. Lalu yang ke dua, Naga Sungai? Heran sekali, tentang naga-naga ini kiranya belum pernah ada orang melihat aslinya. Pernah aku melihat gambar-gambarnya beserta patung-patungnya, akan tetapi kalau bertemu kiranya hanya dalam... mimpi! Sepanjang pendengaranku, naga itu adanya hanya di laut, kalau ada naga sungai, agaknya hanya... belut saja!" Kakek itu tertawa-tawa, akan tetapi para perampok itu mana berani mentertawakan Kiang Hun Si Naga Sungai?

"Kemudian apa lagi tadi? Cucut Mata Merah? Ha-ha-ha-ha, tentu selamanya ikan itu tak pernah mendapatkan mangsa, terlalu lapar dan menangis sehingga matanya merah. Atau boleh jadi semalam suntuk dia pelesir di rumahnya naga sungai, tidak tidur maka matanya merah. He-heh-heh... ehh, Hok-ji, apakah kau pernah mendengar pula tentang bajul besi dan lain-lain itu?"

Tan Hok, yang semenjak datangnya belum pernah mengeluarkan kata-kata itu, sekarang memandang ke langit-langit ruangan dan menuding sambil berkata, "Itu... buaya kecil."

Semua orang memandang dan meledaklah ketawa mereka. Yang disebut buaya kecil itu bukan lain adalah seekor cecak yang merayap di atas. Tiba-tiba cecak itu, mungkin akibat kaget karena mendengar orang-orang tertawa riuh, melepaskan kotoran dan... kebetulan sekali tahi cecak jatuh ke dalam cawan arak Ang-bin Piauw-to!

"Keparat...!" Ang-bin Piauw-to memaki marah.

"Ha-ha-he-heh, sobat muka merah, buaya kecil memberi hadiah kepadamu. He-heh-heh! Tan Sam tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali, suara ketawa Tan Hok yang semenjak tadi muram saja. Ketawanya keras dan mendadak, akan tetapi matanya tetap sayu.

"Yang kecil memberi hadiah yang besar, aneh…”

Ang-bin Piauw-to dengan sangat marah mengambil sebatang senjata piauw. Senjata ini kecil saja, panjangnya satu dim, ujungnya runcing, kepalanya bundar dengan ronce-ronce merah. Begitu tangannya digerakkan, senjata ini melayang ke atas ke arah cecak.

“Aduh bagusnya, barang apa yang melayang itu?" Si kakek menunjuk dengan jarinya ke arah piauw yang melayang menyambar cecak.

"Cappp…!"

Senjata runcing itu menancap, bukan di badan cecak melainkan di pian, hanya beberapa sentimeter jauhnya dari binatang yang amat ketakutan dan kaget itu.

"Ha-ha-ha, tidak kena... tidak kena...!"

Semua orang terheran, lebih lagi Ang-bin Piauw-to. Jarak antara tempat dia duduk dan cecak itu takkan lebih dari pada lima meter, mengapa sambitannya tidak kena? Biasanya, dalam jarak seratus langkah, belum pernah piauw-nya tidak mengenai sasaran, apa lagi sasaran tak bergerak seperti cecak itu.

Kawan-kawannya mengira bahwa dia terlalu banyak minum. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to sendiri tidak merasa demikian. Mungkin aku terlalu marah, pikirnya. la mengambil piauw ke dua dan….

"Serrrrr... cappp!"

Kembali piauw-nya menancap pian dan kali ini ekor cecak itu terbawa piauw tertancap pada papan, sedangkan cecaknya sendiri yang sudah buntung lari dan lenyap.

"Ha-ha-ha-ha!" Tan Sam tertawa sambil tiada hentinya sejak tadi dia menudingi cecak itu. "Buaya kecil menjadi bajul buntung kecil, Ha-ha-ha, cocok benar. Sayangnya dia masih berlari dengan empat kaki, kalau dengan dua kaki pasti lebih lucu lagi!"

"Buaya kecil dicaplok buntutnya oleh yang besar, sudah biasa!" berkata Tan Hok seperti bicara pada diri sendiri, wajahnya tetap bodoh dan matanya sayu.

Dua orang perampok marah bukan main. Terang bahwa si kakek itu mengejek, dan bocah itu malahan menghina. Seorang perampok yang bertubuh pendek kecil mencengkeram ke arah pundak Tan Sam, sedangkan perampok lain yang bertubuh tiriggi besar, tapi tidak sebesar tubuh Tan Hok raksasa muda itu, mengangkat kepalan tangannya yang besar untuk memukul kepala Tan Hok.

Kakek dan pemuda itu agaknya tidak berdaya. Mereka tentu akan celaka kalau terkena serangan-serangan tadi. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to membentak.

"Mundur kalian!"

Sesudah dua orang anak buahnya mundur, dengan senyum mengejek Ang-bin Piauw-to berkata, "Dua orang ini adalah tamu agung kita, jangan diganggu dulu." Dalam kata-kata ini terkandung ejekan atau sindiran bahwa belum tiba saatnya untuk ‘turun tangan’.

Kemudian dia berpaling kepada Tan Hok sambil bertanya. "Orang muda, kau tadi hendak maksudkan bahwa aku adalah buaya besar? Begitukah?"

Hening sejenak. Para kawanan perampok mendelik ke arah Tan Hok yang memandang bodoh, sedangkan Tan Sam hanya tersenyum-senyum sambil mainkan matanya.

Jawaban Tan Hok sungguh tidak disangka-sangka orang yang tentu saja mengharapkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Akan tetapi dengan suaranya yang lantang pemuda raksasa itu menjawab, "Tuan bermuka merah, kau ini merasa menjadi buaya ataukah bukan?"

"Tentu saja bukan!"

"Kalau bukan ya sudah, kenapa masih ribut-ribut lagi?"

Phang Kwi si pemilik warung tak dapat menahan ledakan ketawanya, akan tetapi seketika dia berhenti tertawa seperti jangkerik terinjak ketika Ang-bin Piauw-to melotot kepadanya. Kepala perampok ini menoleh ke arah Tan Sam dan berkata.

"Kakek Tan Sam, tadi kau mentertawakan perbuatanku menyambit cecak dengan piauw, mengapa?"

Tan Sam tertawa lagi, tertawa bebas dan lepas. "Selain cecak itu menjadi lucu kehilangan buntutnya, juga aku heran kenapa kau tidak mengarah kepalanya, melainkan buntutnya!"

Diam-diam Ang-bin Piauw-to menjadi malu sekali sampai mukanya menjadi makin merah. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa sambitannya yang kedua kalinya tadi sebenarnya memang gagal. Tadi dia mengarah kepala binatang itu, aneh sekali entah mengapa kali ini dia selalu gagal. Bukan kepala yang terkena, melainkan buntutnya.

"Orang tua she Tan, apakah kau juga pandai menyambit dengan piauw?"

Kakek itu longang-longok, nampak bingung. "Piauw itu apa sih?"

Semua perampok tertawa besar.

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan dua batang piauw-nya dari kantong. "Inilah yang disebut piauw. Ketahuilah, nama julukanku adalah Ang-bin Piauw-to, karena aku sangat pandai menyambit piauw dan main silat dengan golok."

Kakek dan pemuda itu mengambil piauw tadi seorang satu, melihat-lihat dan nampaknya kagum.

"Hok-ji, apa kau bisa menyambitkan piauw ini?" tanya kakek itu kepada pembantunya.

"Apa sukarnya menyambit? Tinggal melempar saja!" katanya.

Kembali perampok tertawa lebar.

"Bertaruh... bertaruh...!” kata beberapa orang serentak.

“Boleh sekali...!" Tan Sam terkekeh. “Mari bertaruh menyambit dengan piauw ini. Berapa taruhannya?"

Ang-bin Piauw-to hendak mempermainkan dua orang itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan seadanya perak yang disimpan di dalam kantongnya, lalu menaruhnya di atas meja. "Hanya ini milikku, hayo keluarkan perakmu. Biar aku kalian keroyok berdua."

"Baik." Kakek itu mengeluarkan sejumlah perak yang sama banyaknya, menaruh di atas meja, lalu memandang kepala rampok itu. "Mengeroyok bagaimana maksudmu?"

"Kita pasang sehelai daun pada dinding itu, kemudian dalam jarak lima puluh langkah kita masing-masing melempar sebatang piauw ke arah daun yang dijadikan sasaran. Kau dan pembantumu masing-masing menyambit satu kali, andai kata ada seorang di antara kalian yang bisa mengenai daun, dianggap kena, meski pun yang seorang lagi menyeleweng sambitannya. Aku hanya menyambit satu kali saja."

"Akur!" Kakek itu nampak gembira bukan main dan mengedip-ngedipkan matanya kepada pemuda raksasa dengan muka yang jelas memperlihatkan keyakinan akan memenangkan pertandingan ini. "Kau sambitlah lebih dulu."

Daun sebesar telapak tangan ditempelkan pada dinding warung itu dan jarak lima puluh langkah diukur. Para perampok dan pemilik warung dengan gembira berdiri di kanan kiri, agak jauh dari tempat sasaran. Sesudah mengeluarkan piauw-nya, kepala perampok itu sambil tersenyum-senyum lalu berkata.

"Lihat sambitanku!"

Tangan kanannya bergerak dan piauw itu lalu meluncur seperti anak panah, cepat sekali sampai hampir tidak kelihatan, tahu-tahu telah menancap di tengah daun. Tepuk tangan kawan-kawannya menyambut keahlian ini. Tan Sam mulai plonga-plongo, saling pandang dengan pembantunya.

"Waaah, kok bisa kebetulan kena di tengah-tengahnya...," ia mengeluh.

Para perampok tertawa.

"Kakek bodoh, mana ada ucapan kebetulan? Memang Twako berjuluk Ang-bin Piauw-to, seratus kali sambit pasti seratus kali kena!" kata seorang anggota perampok. "Hayo lekas kau sambitkan piauw-mu, dan kau juga, badut muda!"

Tan Sam memandang pada pembantunya. "Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan sekali kena di tengah-tengahnya. Hok-ji, marilah kita menyambit berbarengan saja, secara untung-untungan, tidak kena daun juga tidak apa-apa asal bisa kena kaki bajul buntung!" Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung, "Satu... dua..." Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.

"... tiga...!"

Dua buah piauw meluncur ke depan. Akan tetapi terdengar suara gelak terbahak ketika para perampok melihat bahwa dua buah piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus dan mengenai dinding, jauh di kanan kiri daun.

"Aduh...!"

"Aaauuuuuhhh...!"

Terdengar dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata telah terkena hantaman piauw yang membalik! Untungnya hanya terkena kepala piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

Anehnya, yang terkena hantaman piauw ini ialah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan Sam dan Tan Hok! Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar piauw, mereka terpaksa menahan kesakitan dan menahan kemarahan.

Ang-bin Piauw-to tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.

"Nanti dulu!" kata kakek Tan Sam "Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku kalau belum bisa menang!"

Kepala perampok itu memandangnya dengan heran. Apakah otak kakek ini sudah miring, pikirnya, "Boleh, berapa taruhannya?”

"Semua perak di atas meja itu,” tantang Tan Sam.

"Bagus, perlu ditambah?"

"Sesukamu, kalau masih ada padamu, keluarkan semua."

Sekarang para perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya.

Melihat perak yang amat banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluarkan sebagian potongan emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.

"Bagaimana cara pertandingan?" tanya Tan Sam. "Apakah masih seperti tadi!"

“Boleh saja,” jawab Ang-bin Piauw-to yang merasa yakin akan kemenangannya.

"Akan tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tidak pandai menyambitkan piauw."

"Siapa bilang? Piauw-mu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang. Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kanannya dengan ukuran jarak tertentu, masa tidak akan kena?"

Para perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.

"Nah, kau lihat. Aku mulai!" kata Ang-bin Piauw-to sambil mengayun tangannya.

"Nanti dulu!" Tan Sam mencegahnya.

"Aku mau melihat dulu piauw-mu, apakah sama dengan piauw yang kau berikan padaku ini."

"Tentu saja sama!" jawab kepala rampok itu marah sambil menunjukkan piauw-nya yang beronce merah.

"Ahh, tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai piauw-mu, kan celaka." Sambil berkata demikian kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah pada piauw-nya sehingga piauw itu berubah gundul dan buruk.

Tentu saja para perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang digunakan kepala rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang kakek itu malah mencopoti ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?

"Bagus, kau pintar, orang tua," kata Ang-bin Piauw-to mengejek. "Sekarang sudah jelas, piauw yang beronce punyaku, yang gundul punyamu. Nah, siapa menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut?”

"Tidak usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku, baru adil namanya."

Karena yakin akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok yang berkepala batu, Ang-bin Piauw-to tidak banyak membantah.

"Berbareng pun baik," katanya mengejek sambil bersiap-siap.

Daun baru sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau Ang-bin Piauw-to mengincar sasaran daun, adalah kakek itu tidak menghadapi daun, bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar. Sambil
tertawa-tawa para perampok menyingkirkan diri jauh-jauh supaya jangan terkena piauw kakek yang kesasar lagi.

"Aku menghitung sampai tiga, baru lepas," kata kakek itu. Lawannya mengangguk sambil tersenyum mengejek.

"Satu... dua... tiga...!!"

“Serrr…!"

Piauw meluncur dari tangan Ang-bin Piauw-to, cepat dan lurus ke arah daun yang telah ditempel pada dinding. Di samping ini, juga piauw di tangan kakek itu telah dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung.

Piauw ini berjungkir-balik dan berputar-putar. Mula-mula menuju arah kanan, akan tetapi piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya.

Di dekat daun, kedua piauw itu bersilang, lalu terdengar suara nyaring dan dua piauw itu menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi jauh dari daun!

Semua orang bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, tiba-tiba menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka setelah memandang jelas ke arah daun yang sekarang terpaku oleh piauw itu. Apa yang mereka lihat?

Ternyata piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah piauw yang tidak beronce merah, sedangkan piauw yang menyeleweng ke sisi adalah piauw beronce! Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan kakek Tan Sam!

"Ha, bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!" Tan Hok memuji dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas meja yang tadi dipertaruhkan.

Para perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Sraaattt!"

Tiba-tiba nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-bin Piauw-to sudah mencabut golok besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya nampak berkilauan pada waktu dikelebatkan.

"Jangan ambil!" seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi.

Nampaknya pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok itu meluncur terus dan…

"Crakk!" meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan jatuh ke atas lantai.

Tan Hok dan Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para perampok tertawa bergelak.

"Twako, untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku," kata anggota perarnpok yang tadi hendak menyerang Tan Sam. "Aku harus membalasnya untuk kakiku."

"Betul, Twako, anjing tua ini pun bagianku!" berkata pula perampok yang kakinya terkena hantaman piauw Tan Sam tadi. Ang-bin Piauw-to hanya tersenyum, kemudian melangkah mundur dan mengambil perak yang tersebar di lantai.

"Ahhh, jangan... jangan bunuh mereka di sini. Warungku tak akan laku lagi,” Phang Kwi mencegah khawatir.

"Diam!" bentak kepala perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan.

Dengan mulut menyeringai dua orang perampok itu telah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan sikap amat mengancam. Tan Hok tampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.

"He, kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu... aku yang menang mengapa diambil...?"

"Kau dan pembantumu akan kami bunuh!" bentak perampok yang menghadapinya.

"Aduh... kenapa begitu? Jangan...!" si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok.

"Celaka, Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di bumi..."

Melihat sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.

“Kau takut? Hayo lekas minta ampun!"

Tan Sam melirik ke arah pembantunya. "Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita memberi hormat minta ampun." Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok.

Terjadilah hal aneh. Dua orang perampok yang menghadapi kakek dan pembantunya ini tiba-tiba terhuyung mundur, seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang perampok itu makin marah.

Memang, di dunia ini hanya orang-orang bodoh saja yang berani bersikap sombong dan membanggakan kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, sebenarnya makin bodohlah dia. Bodoh karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai.

Andai kata dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan membutakan mata mereka.

"Keparat, jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!" bentak perampok yang mengancam Tan Hok. "Hayo kalian berlutut minta ampun, baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!"

Kembali Tan Sam melirik ke arah Tan Hok. "Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut."

Keduanya lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.

"Aduhhh...!"

“Ahhhhh...!"

Rasa ulu hati dua orang perampok itu seperti disodok toya baja saja. Mereka terjengkang ke belakang, roboh dan memuntahkan darah segar.

"Celaka!"

Ang-bin Piauw-to baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Iweekang yang tinggi!

Akan tetapi, juga karena kesombongannya, dan hendak mengandalkan jumlah kawan yang banyak, kepala perampok ini lalu mencabut goloknya sambil memberi aba-aba.

"Keroyok! Bunuh dua ekor anjing ini!"

Kawan-kawannya, juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. Dia tertawa dan berseru.

"Perampok-perampok jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggota Pek-lian-pai seperti aku, siapa lagi yang akan membasminya?"

Kedua tangannya segera bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar jerit-jerit kesakitan ketika para perampok itu terkena oleh sambaran Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), kecuali Ang-bin Piauw-to dan Phang Kwi yang dapat mengelak.

Makin terkejut hati Ang-bin Piauw-to mendengar disebutnya perkumpulan Pek-lian-pai yang sedang memberontak untuk meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol itu. Namun dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang kakek Tan Sam. Ada pun Phang Kwi maju dengan ruyungnya menyerbu Tan Hok.

Sungguh-sungguh amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Semua gerakannya tidak seperti orang yang pandai silat, hanya mempunyai langkah-langkah kaki berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini sungguh luar biasa sekali, baik tenaga luar mau pun tenaga dalamnya.

Ruyung di tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat tenaga dan... ruyung itu patah! Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok yang keras bagaikan serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai tulangnya patah-patah. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan.

Berbeda dengan Tan Hok, kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya. Lebih cepat dari pada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan kakek itu dikejar sinar golok. Serangan kepala perampok itu baru berlangsung dua puluh jurus, terdengar suara keras, goloknya terlempar menancap dinding dan tubuh kepala perampok itu terjengkang ke belakang. Mukanya pucat sebab dia telah menderita luka pada dadanya oleh tamparan kakek yang lihai ini...


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 07


Raja Pedang Jilid 06

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 06

Akan tetapi anak itu bukannya lari, malah dengan perlahan sekarang ia memutar arahnya menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon. Dari atas pohon Kwa Hong dapat melihat dengan jelas sekali gerakan-gerakan semua ular itu dan hampir saja ia menjerit-jerit saking geli dan jijiknya. Tubuh Kwa Hong gemetar.

Selama hidupnya belum pernah anak yang tabah ini menderita ketakutan seperti di saat itu. Baru sekarang dia melihat bahwa anak laki-laki yang usianya hanya satu dua tahun lebih tua dari padanya itu sama sekali tidak dikejar oleh ular-ular itu, juga sama sekali tak diganggu, malah lebih patut dikatakan bahwa ular-ular itu adalah binatang peliharaannya. Buktinya, sekarang anak laki-laki itu berdiri dikelilingi ular-ular dalam jarak satu meter.

Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti menyuling. Dia menengok ke atas dan tertawa nakal melihat Kwa Hong bersembunyi di situ. Kemudian dia mulai meniup sulingnya lagi dan... ular-ular itu kini merayap ke arah pohon dan berebutan mereka mencoba untuk merayap naik! Bukan main takut, geli dan jijiknya hati Kwa Hong.

"Heeeiiiii!" teriaknya kepada anak laki-laki itu. "Suruh mereka pergi...! Usir mereka, jangan perbolehkan naik ke pohon...!"

Akan tetapi anak itu dengan sepasang mata memancarkan sinar kenakalan, malah makin memperkeras bunyi sulingnya dan ular-ular itu seperti gila dalam usahanya merayap naik ke atas pohon. Beberapa ekor di antaranya yang agaknya biasa menaiki pohon, sudah berhasil naik, mengeliat-geliat makin mendekati Kwa Hong.

Hampir saja Kwa Hong pingsan saking jijiknya. Tubuhnya terasa kaku-kaku dan tangan kakinya serasa lumpuh. la memeluk erat cabang pohon dan memandang ke arah ular-ular yang merayap naik itu dengan wajah pucat.
cerita silat karya kho ping hoo

Tapi dasar Kwa Hong berhati keras seperti baja, dia tidak menangis, padahal rasa jijik dan takut membuat ia ingin sekali menjerit-jerit. Apa lagi ketika ada seekor ular yang bersisik kehitaman dan agak panjang sudah berhasil merayap dekat dan kini, ular itu menjilat-jilat ke arah kakinya.

Kwa Hong meramkan matanya yang berkunang-kunang dan menjejakkan kakinya ke arah ular itu. Akan tetapi ular itu malah merayap ke arah kakinya, lalu naik melibat betisnya. Terasa dingin dan menggeliat-geliat di betis kiri! Tanpa tertahankan pula saking ngeri dan jijiknya, Kwa Hong menjerit dan... roboh terguling dari atas cabang pohon!

Pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong sudah berada dalam pondongan Koai Atong! Orang aneh ini dengan ginkang-nya yang tinggi melompat dan sudah melampaui kumpulan ular, kemudian dia hendak membawa lari Kwa Hong.

"He, tunggu dulu, jangan lari!" terdengar anak laki-laki itu membentak dan... aneh sekali, Koai Atong berhenti dan membungkuk dengan hormat kepada anak itu.

"Orang gendeng, kenapa kau berani lancang tangan? Apa kau kira aku sendiri tidak bisa menolongnya ketika dia jatuh dari pohon?" Anak laki-laki itu nampak marah dan menegur Koai Atong.

"Maaf, Tuan Muda, maaf. Dia ini adalah sahabatku, kukira tadi akan celaka, maka aku pun menolongnya. Maaf..."

Koai Atong nampaknya takut-takut dan menghormati sekali, bagaikan seorang anak kecil bertemu dengan anak lain yang lebih jagoan.

Anak laki-laki bermuka putih itu tersenyum mengejek. "Apa kau ingin dihajar lagi oleh suhu (guru)?"

Kwa Hong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Setelah sekarang Koai Atong berada di situ bersama dia, dia tidak takut lagi untuk menghadapi ular-ular itu. Apa lagi ia merasa mendongkol bukan main karena selain anak itu sudah mengganggunya, juga sikap anak itu terhadap Koai Atong benar-benar keterlaluan sekali, di samping keheranannya melihat betapa Koai Atong agaknya amat takut dan menghormat kepada bocah bermuka puth.

"Keparat tak kenal mampus!" teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke muka anak itu. "Penjahat macam engkau harus dibasmi!" Sambil berkata demikian Kwa Hong menyerang dengan kedua tangannya karena pedangnya sudah patah ketika ia menyerang Hek-hwa Kui-bo dahulu itu.

"Enci Hong, jangan...!” Koai Atong mencegah dan memegang lengan Kwa Hong.

Hal ini membuat Kwa Hong menjadi makin naik darah. la merenggutkan lengannya dan membentak.

"Kau boleh takut kepadanya, akan tetapi aku tidak!" Dan ia terus meloncat maju, memukul ke arah dada anak itu.

Bocah yang bermuka pucat itu hanya tersenyum mengejek. Sulingnya yang berbentuk ular itu bergerak ke depan dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong telah menjadi kaku tidak dapat bergerak lagi. Dalam segebrakan saja, dan dengan gerakan yang tak terduga cepatnya, bocah muka putih itu telah menotoknya!

Koai Atong melangkah maju dan sekali tepuk pada pundak Kwa Hong, orang aneh ini telah membebaskan totokannya.

"Enci Hong, jangan lawan Tuan Muda...," orang aneh itu mencegah lagi.

Akan tetapi anak yang berwatak keras seperti Kwa Hong, mana mau sudah begitu saja setelah ia merasa diperhina orang? la menjadi marah sekali dan dengan nekat ia lalu maju menyerang lagi.

"Ehh, budak perempuan, kau masih belum kapok?" Anak laki-laki yang bermuka pucat itu kembali menggerakkan sulingnya.

Akan tetapi mendadak suling itu menyeleweng ke kiri dan tubuh Kwa Hong juga terdorong mundur, seakan-akan ia tadi didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan. Anak laki-laki itu melangkah mundur dan berkata.

"Suhu... dia yang menyerang teecu..."

Ketika Kwa Hong sudah berdiri tegak, dia melihat seorang laki-laki tua bertubuh sedang, berpakaian sederhana seperti petani dengan baju yang berlengan panjang, sudah berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Sepasang mata orang tua ini bergerak-gerak liar ke sana ke mari.

Yang mengherankan hati Kwa Hong adalah sikap Koai Atong yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, sedangkan anak laki-laki tadi pun berdiri membungkuk-bungkuk. Kakek itu seakan-akan tidak melihat orang lain. Dia menoleh ke arah rombongan ular di belakang anak itu, lalu tangan kirinya bergerak.

Kwa Hong tidak tahu bagaimana terjadinya, demikian cepat gerakan ujung lengan baju orang tua itu, akan tetapi tahu-tahu seekor ular besar telah dibelit ujung lengan baju itu, kepala ular dipegangnya, kemudian... dengan lahapnya orang tua itu menggigit tubuh ular, mengambil dagingnya dan makan daging berdarah itu dengan enak sekali! Ular itu hanya berkelojotan di tangannya, menggeliat-geliat tanpa dapat melawan.

Pemandangan ini amat mengerikan hati Kwa Hong yang berdiri memandang dengan mata terbelalak. Setelah menghabiskan tiga gumpalan daging, kakek itu lalu melemparkan ular yang tadi berkelejotan dan mencoba untuk lari dari situ.

Ular-ular yang lain diam tidak ada yang berani bergerak. Sekali lagi dengan cara seperti tadi, yaitu dengan ujung lengan bajunya, kakek itu menangkap seekor ular berkulit hijau yang tampaknya berbisa sekali, lalu makan daging ular hidup ini seperti tadi pula.

Setelah melemparkan sisa ular itu barulah kakek ini berpaling kepada Koai Atong, dan dia pun bertanya, "Anak besar gila, mana gurumu?"

"Hamba... hamba tidak tahu di mana, Locianpwe. Hamba sedang hendak kembali mencari suhu...”

Kakek itu tidak peduli lagi kepada Koai Atong, lalu memandang kepada Kwa Hong dengan matanya yang tajam dan bergerak-gerak liar. Kwa Hong merasa ngeri, akan tetapi anak yang tabah ini balas memandang dengan matanya yang bening.

"Anak bernyali besar, siapa ayahmu?"

"Ayah bernama Kwa Tin Siong, berjuluk Hoa-san It-kiam," jawab Kwa Hong.

Kakek itu mendengus. "Huh, anak murid Hoa-san-pai. Apa becusnya? Akan tetapi nyalimu besar, tulangmu pun baik."

Tiba-tiba dia membalik kepada anak muka putih tadi.

"Kin-ji, lain kali kau tidak boleh mengganggu anak yang bernyali besar ini. Tak tahu malu, kau!"

"Ampun, Suhu..."
"Hayo usir semua cacing ini!"

Anak bermuka putih yang bernama Kin itu segera meniup sulingnya dan semua ular itu merayap pergi. Sebentar saja bersihlah tempat itu, bahkan dua ekor ular yang sudah hilang sebagian dagingnya tadi pun kini sudah merayap pergi memasuki semak-semak.

"Koai Atong, mengapa kau membawa-bawa anak ini?" bentak lagi kakek itu kepada Koai Atong.

Koai Atong mengangguk-anggukkan kepalanya. "Enci Hong ini... dia sahabat baik teecu, hendak teecu susulkan kepada ayahnya di Hoa-san..."

"Baik, kau tidak lekas pergi menanti apa lagi?"

Koai Atong memberi hormat berkali-kali dan berkata, "Terima kasih, Locianpwe... terima kasih..." la lalu berdiri, menyambar lengan Kwa Hong dan membawanya lari dari tempat itu.

Kwa Hong berkali-kali bertanya tentang kakek aneh itu, akan tetapi Koai Atong tidak mau menjawab. Setelah mereka lari sepuluh li lebih jauhnya, barulah Koai Atong melepaskan tangan Kwa Hong dan berhenti, napasnya terengah-engah.

"Aduh... hampir saja... hampir saja celaka..."

Mungkin karena rasa takut dan ngerinya yang sangat besar, orang aneh yang biasanya bersikap seperti kanak-kanak ini sekarang agak lebih normal sikapnya.

"Ada apa, Koai Atong? Siapakah kakek itu? Siapa pula bocah yang memelihara ular itu?" Kwa Hong bertanya.

Koai Atong berkali-kali menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas tanah. "Dia adalah Siauw-ong-kwi, tokoh terbesar dari utara, amat lihai dan ganas. Kau lihat tadi makanannya saja ular hidup. Bocah itu muridnya, lihai sekali, biar pun masih kecil tapi kepandaiannya tidak kalah olehku! Namanya Giam Kin. Hati-hatilah kau kalau bertemu dengan dua orang itu."

Setelah perasaan takutnya agak reda, timbul kembali sifat kanak-kanak dari Koai Atong. Ia mulai tertawa-tawa dan berkata, "Menyenangkan sekali ular-ular itu, ya? Kalau kita bisa menyuling seperti dia, waaah, senangnya!"

Kwa Hong bergidik. "Menyenangkan apa? Menjijikkan. Hih, hanya anak setan yang suka bermain-main dengan segala macam ular. Eh, Koai Atong, sekarang hayo lekas antar aku ke Hoa-san. Kalau kau tidak mau, aku pun tidak sudi lagi menjadi temanmu."

"He-he-heh, Enci Hong. Tentu saja kuantar. Biarlah kalau suhu akan marah karena lama aku tidak kembali, palihg-paling akan digebuk pantatku. Hayo, mari kugendong kau!"

Dengan cepat sekali Koai Atong menggendong Kwa Hong di punggungnya dan orang aneh ini lalu menggunakan kepandaiannya untuk cepat berlari menuju ke Hoa-san.

Diam-diam Kwa Hong makin ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Kalau Koai Atong yang sudah begini lihai masih takut pada orang tua itu, sampai berapa hebat kepandaian Siauw-ong-kwi? Dan anak bermuka putih itu, benarkah lebih lihai dari pada Koai Atong?

Tentu saja dia tidak tahu bahwa tak mungkin anak bernama Giam Kin itu lebih lihai dari pada Koai Atong. Hanya karena Koai Atong amat takut kepada Siauw-ong-kwi, maka dia berkata demikian…..

*********

Pada masa itu, kekuasaan bangsa Mongol yang sedang menjajah daratan Tiongkok mulai menyuram. Di mana-mana timbul kekacauan serta pemberontakan-pemberontakan kecil yang merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Goan.

Sungai-sungai besar seperti Sungai Yang-ce atau Sungai Huang-ho, yang tadinya adalah pusat pengangkutan dan perdagangan, kini penuh dengan perampok-perampok dan para bajak sungai. Bajak dan perampok ini demikian beraninya sehingga, kalau dulu mereka hanya mengganggu perahu kecil yang tidak terjaga kuat, tetapi sekarang mereka ini tidak segan-segan untuk membajak perahu besar yang dijaga, bahkan mereka ini berani pula mengganggu perahu-perahu pembesar Goan.

Kota dan dusun yang terdapat di sepanjang Sungai Yang-ce, tidak luput dari gangguan para bajak dan rampok ini. Oleh karena itu, maka keadaannya sekarang menjadi sepi. Para pedagang tidak berani lagi melakukan perjalanan seorang diri, para pengiring barang tidak berani lagi kalau tidak terjaga oleh serombongan piauwsu (pengawal barang) yang kuat. Bahkan para pembesar yang melakukan perjalanan, selalu membawa pasukan yang bersenjata lengkap.

Dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce termasuk Propinsi Hu-pek, tadinya merupakan dusun yang ramai dan makmur, terkenal akan ikannya yang besar-besar dan banyak serta hasil hutannya yang amat kaya. Biasanya di dusun ini banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari lain daerah sehingga di pinggir sungai banyak diikat perahu-perahu besar dan di darat banyak terdapat kuda dan kereta.

Akan tetapi akhir-akhir ini dusun Kui-lin juga ikut menjadi sunyi sekali. Tak ada pedagang luar daerah yang berani datang melakukan perjalanan yang berbahaya. Para pedagang di Kui-lin sendiri selain mengalami perdagangan yang sepi, juga sering mendapat gangguan dari para penjahat sehingga mereka yang mempunyai cukup modal berbondong-bondong berpindahan ke kota-kota besar. Banyak pula yang menderita gulung tikar sehingga dusun Kui-lin sekarang menjadi dusun yang sunyi, hanya ditinggali para nelayan dan petani yang tidak punya apa-apa untuk dirampok lagi.

Maka agak mengherankan kalau orang melihat adanya sebuah warung arak yang menjual bermacam-macam makanan setiap hari dibuka di pinggir sungai di dusun itu. Akan tetapi sebetulnya tidak aneh karena yang memiliki warung itu adalah Phang Kwi si mata satu, seorang tokoh yang terkenal dalam dunia penjahat sehingga sebagai orang segolongan dia tidak pernah diganggu oleh para perampok dan bajak yang menjadi kawannya sendiri. Malah hampir semua langganan warung arak ini terdiri dari penjahat-penjahat belaka.

Suatu pagi yang sunyi, Phang Kwi masih enak-enak tidur mendengkur, warungnya belum dibuka. Hari baru pukul enam. Biasanya kalau belum jam delapan lewat, setelah matahari naik tinggi, Phang Kwi belum mau membuka warungnya.

Sudah setengah tahun dia membuka warung di tempat ini dan tak pernah ada orang yang berani mengganggunya. Tidak hanya takut akan kepalan tangan yang keras dari si mata satu, akan tetapi juga takut kalau si mata satu itu melaporkan kepada kepala mereka yang kesemuanya sudah dikenal baik oleh Phang Kwi.

Pernah ada tiga orang anggota bajak tidak mau membayar setelah makan dan minum di warung itu. Phang Kwi tidak mau melayani mereka, hanya melaporkan kepada kepala bajak yang dikenalnya baik. Tiga orang anggota bajak itu dihajar oleh kepalanya sendiri dan Phang Kwi mendapatkan uangnya. Semenjak itu, Para bajak dan rampok tidak berani lagi mengganggunya.

Akan tetapi pada pagi hari ini, selagi Phang Kwi masih tidur, pintu warungnya digedor orang! Enam orang penunggang kuda yang bersikap kasar-kasar turun dari kuda mereka masing-masing di depan warung. Dari mulut mereka terlontar sumpah serapah mengutuk buruknya jalan dan dinginnya hawa.

Seorang di antara mereka, yaitu pemimpinnya, adalah seorang bermuka merah, bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar dan sekantong piauw. Dia inilah yang disebut Ang-bin Piauw-to (Golok Piauw Muka Merah), seorang kepala perampok yang terkenal kejam dan lihai ilmu silatnya.

"Dar-dar-dar-dar!”

“Buka pintu, Phang Kwi, kura-kura yang malas!" seorang di antara anggota rombongan ini menggendor pintu sambil memaki-maki.

Phang Kwi amat kaget di dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mendengarkan dengan penuh perhatian, tukang warung ini mengomel panjang pendek.

"Bedebah... setan alas... Sepagi ini mengganggu orang yang sedang enak tidur. Minta dihancurkan kepalanya setan itu!"

Dengan langkah lebar dan muka merengut, Phang Kwi menuju ke pintu warungnya dan membuka daun pintunya. Akan tetapi mukanya yang merengut itu disambut gelak tawa oleh enam orang itu.

"Ha-ha-ha, kura-kura malas she Phang baru munculkan kepalanya!"

"Hei, Phang tua, ada tuan-tuan besar datang kau tidak lekas sambut, orang macam apa kau ini?"

"Phang Kwi, kau cuci muka dulu dan cuci tangan, baru keluarkan arak hangat."

Phang Kwi mulai hilang kerut mukanya, apa lagi ketika dia melihat pimpinan rombongan yang bermuka merah. Segera dia menjura dan berkata, "Ahai, kiranya Ang-twako yang datang berkunjung. Silakan masuk dan duduk. He, teman-teman, kalian baik-baik saja? Mana oleh-olehnya untuk aku?"

"Oleh-oleh apa? Jaman sedang sukar begini. Tapi nanti sebentar..."

"Sssttt, Lo-tan, tutup mulutmu!" Si muka merah membentak dan pembicara itu pun tidak melanjutkan kata-katanya.

Beramai-ramai mereka memasuki warung arak dan Phang Kwi sibuk melayani mereka, menghangatkan arak dan menghangatkan beberapa macam kue. Tentu saja dia tidak jadi marah sebab mereka ini adalah teman-teman baiknya, teman-teman ‘seperjuangan’ ketika dia dahulu masih menjadi anak buah dan pembantu Ang-bin Piauw-to di dalam hutan.

Memang Phang Kwi ini dulunya juga bukan orang baik-baik. Selain pernah menjadi anak buah Ang-bin Piauw-to menjadi perampok, pernah pula dia menjadi anggota bajak sungai.

"Mana daging ikan?" Si muka merah bertanya pada saat melihat bahwa hidangan yang dikeluarkan hanya roti kering dan beberapa macam kue saja. "Aku mendengar daerahmu ini mengeluarkan ikan yang enak."

“Wah, sukar sekarang ini, Twako. Para nelayan hanya mencari ikan untuk perut mereka sendiri saja. Aku pun hanya bisa membeli kalau memesan lebih dulu."

“Masa begitu? Biar kami mencari di pinggir sungai!"

Tiga orang anggota perampok segera pergi keluar. Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di pinggir sungai ketika secara kasar para perampok ini merampas ikan-ikan yang baru saja didapatkan oleh beberapa orang nelayan.

Seorang nelayan muda yang berusaha untuk membela haknya mendapat hadiah bacokan sehingga dia rebah mandi darah. Nelayan-nelayan lain menjadi ketakutan dan mereka ini hanya bisa menarik napas panjang dan mengertak gigi sambil menolong kawan mereka ketika tiga orang ini pergi membawa ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa.

Sementara itu, Phang Kwi mendekati Ang-bin Piauw-to sambil berbisik, "Ang-twako, apa yang dimaksudkan oleh Lo-tan tadi?"

Ang-bin Piauw-to tersenyum. "Sebetulnya bukan rahasia, hanya tak enak jika dibicarakan di luar warungmu. Kami sedang menanti lewatnya rombongan pedagang yang membawa barang dua kereta banyaknya. Mereka akan lewat di dusun ini, entah siang nanti entah sore hari.”

Berseri Phang Kwi. "Hebat. Akan tetapi mengapa mereka itu berani bepergian di waktu begini? Benar-benar aneh. Tentu ada pengawal-pengawal yang kuat..."

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan suara mengejek. "Hah, apa artinya pengawalan dari lima orang piauwsu (pengawal) Pek-coa Piauwkok?"

"Bagaimana pun juga, harap Twako berhati-hati. Apa bila orang sudah berani melakukan perjalanan di saat seperti sekarang ini, tentu mereka itu mempunyai andalan."

"Sudahlah, kalau kau takut jangan ikut-ikut. Kalau kau mau membantu tentu kau akan mendapat bagian."

"Siapa takut? Dengan Twako di sini siapa yang takut lagi? Ha-ha-ha!"

Tiga orang perampok yang sudah mendapatkan ikan tadi datang, dan makin gembiralah kawanan perampok ini. Mereka makan minum sambil menikmati daging ikan yang empuk dan gurih.

Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan tampak seorang tua bongkok bermuka lucu turun dari seekor keledai yang tua pula. Keledai itu sudah tua, tidak ada rambutnya lagi karena dimakan gudig. Telinga kirinya tinggal sepotong, telinga kanan panjang sekali, punggungnya juga bongkok seperti penunggangnya itu. Di dekat keledai berdiri seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka bodoh dan bermata sayu.

"Heh-heh-heh, sedap sekali baunya Gurih, enak...!"

Kakek itu terbongkok-bongkok berjalan lebih dulu memasuki warung arak, dengan wajah tampak gembira. Akan tetapi pemuda tadi nampaknya tidak segembira kakek itu. Melihat bahwa di antara tujuh orang yang sedang makan minum itu ada seorang yang berdiri menyambutnya, kakek itu tahu bahwa yang berdiri itu tentulah pemilik warung, maka dia segera berkata.

"Hei, sahabat. Lekas kau sediakan ikan yang gemuk, dimasak seperti yang sedang kalian makan itu. Wah, baunya gurih sekali. Cepatan, untuk dua orang!"

Phang Kwi memandang dengan muka mendongkol. Melihat pakaian mereka, sudah jelas bahwa kakek dan pemuda itu adalah orang-orang miskin, apa lagi jika dilihat bahwa yang ditunggangi kakek itu hanya seekor keledai tua, tanpa muatan apa-apa di punggungnya. Sekarang Phang Kwi sedang menjamu makan teman-teman lamanya, dan dia pun sudah minum banyak arak, tentu saja keberaniannya bertambah dan kegalakannya memuncak.

"Jangan mengemis di sini, aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada kalian!" katanya sambil bertolak pinggang.

Pemuda yang bermuka bodoh dan bermata sayu itu tiba-tiba melempar sebuah kantong di atas meja, suaranya gemerincing. Kakek itu sambil tertawa-tawa membuka kantong.

"Kami tidak mengemis. Heh-heh-heh, kami membeli, sahabat."

Bukan hanya mata Phang Kwi yang melotot lebar, enam pasang mata Ang-bin Piauw-to dan kawan-kawannya juga melebar. Kantong yang dibuka oleh kakek itu ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak!

"Orang tua, ikan tidak ada lagi," kata Phang Kwi, masih terheran-heran.

"Sahabat tua, kalau tidak menjadi celaan marilah duduk makan bersama kami. Ikan di sini cukup banyak." Tiba-tiba Ang-bin Piauw-to berkata dengan ramah kepada kakek itu.

Si kakek menutup lagi kantongnya, memasukkannya dalam saku baju pemuda tadi dan sambil tertawa-tawa, dia lalu maju menghampiri meja para perampok dan duduk di dekat Ang-bin Piauw-to. Pemuda tinggi besar itu duduk di sampingnya.

"He-heh-heh, kalian orang-orang mengerti aturan. Memang bertemu di jalan harus saling menyalam, tapi bertemu di meja makan harus saling menawarkan makanan. Ha-ha-ha!"

Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu ‘menyikat’ masakan ikan dan arak yang dihidangkan. Juga pemuda itu dengan gembulnya, seakan-akan dia tak pernah makan masakan yang sesedap itu, mencontoh perbuatan kakek tadi.

Para perampok saling melirik. Diam-diam mereka mendongkol sekali karena dua orang itu, meski pun yang satu tua bangka dan kurus bongkok sedangkan satunya lagi pemuda tinggi besar, akan tetapi takaran makannya ternyata tidak berbeda, keduanya gembul luar biasa.

"Silakan minum lagi, sahabat tua." Ang-bin Piauw-to terus mengisi cawan arak di depan kakek itu.

Phang Kwi maklum akan maksud kawannya ini. Sambil tersenyum ia juga mengisi cawan arak di depan pemuda itu, sehingga kakek dan pemuda itu tanpa mereka ketahui telah ‘diloloh’ oleh kawanan perampok.

Makin banyak minum arak, kakek itu makin gembira dan terus tertawa-tawa. Akan tetapi sebaliknya, pemuda raksasa itu semakin pendiam. Sementara itu, para perampok makin sering saling lirik dan tersenyum-senyum karena maklum bahwa dengan ‘umpan’ ikan dan arak mereka akan mendapatkan ‘ikan besar’.

Yang membuat mereka mendongkol adalah kekuatan minum arak dua orang itu. Biar pun telah cukup banyak menenggak arak, mereka belum juga roboh atau mabuk. Akan tetapi, Ang-bin Piauw-to bersikap sabar dan mengajak kakek itu mengobrol.

"Kek, kau dan orang muda ini datang dari mana dan hendak ke manakah? Kiranya sudah sepatutnya kita berkenalan."

"He-heh-heh, tentu saja, tentu saja. Sudah makan bersama belum saling mengenal. Aku she Tan bernama Sam, dan dia ini pembantuku bernama Hok, tidak punya she (nama keturunan) maka kuberi saja she-ku kepadanya, maka dia kini bernama Tan Hok. Kami tidak punya tempat tinggal tertentu, langit biru atap kami, bumi lantai kami, he-heh-heh..."

Semua perampok tertawa. Dalam hal tempat tinggal kakek dan pembantunya itu ternyata senasib dengan mereka.

"Apa pekerjaanmu, Kek?" Ang-bin Piauw-to bertanya lagi.

Kakek yang bernama Tan Sam itu tertawa lagi. "He-heh-heh, tukang pancing... ya benar, kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan gemuk?"

Berubah wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya bahwa mungkin juga kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andai kata betul bajak sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat?

"Tan-lopek, kalau begitu, kau mencari rejeki di sepanjang Sungai Yang-ce?" Dia mencoba untuk menyelidik.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di lautan, di darat, di mana saja ada ikan besar, tentu akan kudatangi untuk kupancing. Bukankah begitu Hok-ji (anak Hok)?" Kakek itu menepuk-nepuk pundak pembantunya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu, hanya mengangguk diam.

"Jika begitu," sambung Ang-bin Piauw-to dengan bernafsu sedangkan para anak buahnya mendengarkan penuh perhatian karena maklum apa yang dipikirkan oleh kepala mereka, "tentu kau sudah kenal baik dengan Lui Cai si Bajul Besi, dan dengan Kiang Hun si Naga Sungai, juga Thio Ek Sui si Cucut Mata Merah?"

Tiga nama kepala bajak yang paling terkenal disebut oleh kepala rampok ini.

Akan tetapi kakek itu memandangnya dengan matanya yang sipit berseri seakan-akan mendengarkan orang melawak. "Mereka itu betul-betul manusia ataukah badut-badut? Kok namanya aneh sekali. Bajul Besi? Wah, belum pernah aku melihatnya, mendengar pun belum. Kalau bajul biasa yang panjangnya tiga kali orang saja aku pernah melihatnya, malah bajul buntung (buaya tak berekor = penjahat) sering kali aku lihat, tapi bajul besi? Belum, belum pernah setua ini aku melihatnya. Lalu yang ke dua, Naga Sungai? Heran sekali, tentang naga-naga ini kiranya belum pernah ada orang melihat aslinya. Pernah aku melihat gambar-gambarnya beserta patung-patungnya, akan tetapi kalau bertemu kiranya hanya dalam... mimpi! Sepanjang pendengaranku, naga itu adanya hanya di laut, kalau ada naga sungai, agaknya hanya... belut saja!" Kakek itu tertawa-tawa, akan tetapi para perampok itu mana berani mentertawakan Kiang Hun Si Naga Sungai?

"Kemudian apa lagi tadi? Cucut Mata Merah? Ha-ha-ha-ha, tentu selamanya ikan itu tak pernah mendapatkan mangsa, terlalu lapar dan menangis sehingga matanya merah. Atau boleh jadi semalam suntuk dia pelesir di rumahnya naga sungai, tidak tidur maka matanya merah. He-heh-heh... ehh, Hok-ji, apakah kau pernah mendengar pula tentang bajul besi dan lain-lain itu?"

Tan Hok, yang semenjak datangnya belum pernah mengeluarkan kata-kata itu, sekarang memandang ke langit-langit ruangan dan menuding sambil berkata, "Itu... buaya kecil."

Semua orang memandang dan meledaklah ketawa mereka. Yang disebut buaya kecil itu bukan lain adalah seekor cecak yang merayap di atas. Tiba-tiba cecak itu, mungkin akibat kaget karena mendengar orang-orang tertawa riuh, melepaskan kotoran dan... kebetulan sekali tahi cecak jatuh ke dalam cawan arak Ang-bin Piauw-to!

"Keparat...!" Ang-bin Piauw-to memaki marah.

"Ha-ha-he-heh, sobat muka merah, buaya kecil memberi hadiah kepadamu. He-heh-heh! Tan Sam tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali, suara ketawa Tan Hok yang semenjak tadi muram saja. Ketawanya keras dan mendadak, akan tetapi matanya tetap sayu.

"Yang kecil memberi hadiah yang besar, aneh…”

Ang-bin Piauw-to dengan sangat marah mengambil sebatang senjata piauw. Senjata ini kecil saja, panjangnya satu dim, ujungnya runcing, kepalanya bundar dengan ronce-ronce merah. Begitu tangannya digerakkan, senjata ini melayang ke atas ke arah cecak.

“Aduh bagusnya, barang apa yang melayang itu?" Si kakek menunjuk dengan jarinya ke arah piauw yang melayang menyambar cecak.

"Cappp…!"

Senjata runcing itu menancap, bukan di badan cecak melainkan di pian, hanya beberapa sentimeter jauhnya dari binatang yang amat ketakutan dan kaget itu.

"Ha-ha-ha, tidak kena... tidak kena...!"

Semua orang terheran, lebih lagi Ang-bin Piauw-to. Jarak antara tempat dia duduk dan cecak itu takkan lebih dari pada lima meter, mengapa sambitannya tidak kena? Biasanya, dalam jarak seratus langkah, belum pernah piauw-nya tidak mengenai sasaran, apa lagi sasaran tak bergerak seperti cecak itu.

Kawan-kawannya mengira bahwa dia terlalu banyak minum. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to sendiri tidak merasa demikian. Mungkin aku terlalu marah, pikirnya. la mengambil piauw ke dua dan….

"Serrrrr... cappp!"

Kembali piauw-nya menancap pian dan kali ini ekor cecak itu terbawa piauw tertancap pada papan, sedangkan cecaknya sendiri yang sudah buntung lari dan lenyap.

"Ha-ha-ha-ha!" Tan Sam tertawa sambil tiada hentinya sejak tadi dia menudingi cecak itu. "Buaya kecil menjadi bajul buntung kecil, Ha-ha-ha, cocok benar. Sayangnya dia masih berlari dengan empat kaki, kalau dengan dua kaki pasti lebih lucu lagi!"

"Buaya kecil dicaplok buntutnya oleh yang besar, sudah biasa!" berkata Tan Hok seperti bicara pada diri sendiri, wajahnya tetap bodoh dan matanya sayu.

Dua orang perampok marah bukan main. Terang bahwa si kakek itu mengejek, dan bocah itu malahan menghina. Seorang perampok yang bertubuh pendek kecil mencengkeram ke arah pundak Tan Sam, sedangkan perampok lain yang bertubuh tiriggi besar, tapi tidak sebesar tubuh Tan Hok raksasa muda itu, mengangkat kepalan tangannya yang besar untuk memukul kepala Tan Hok.

Kakek dan pemuda itu agaknya tidak berdaya. Mereka tentu akan celaka kalau terkena serangan-serangan tadi. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to membentak.

"Mundur kalian!"

Sesudah dua orang anak buahnya mundur, dengan senyum mengejek Ang-bin Piauw-to berkata, "Dua orang ini adalah tamu agung kita, jangan diganggu dulu." Dalam kata-kata ini terkandung ejekan atau sindiran bahwa belum tiba saatnya untuk ‘turun tangan’.

Kemudian dia berpaling kepada Tan Hok sambil bertanya. "Orang muda, kau tadi hendak maksudkan bahwa aku adalah buaya besar? Begitukah?"

Hening sejenak. Para kawanan perampok mendelik ke arah Tan Hok yang memandang bodoh, sedangkan Tan Sam hanya tersenyum-senyum sambil mainkan matanya.

Jawaban Tan Hok sungguh tidak disangka-sangka orang yang tentu saja mengharapkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Akan tetapi dengan suaranya yang lantang pemuda raksasa itu menjawab, "Tuan bermuka merah, kau ini merasa menjadi buaya ataukah bukan?"

"Tentu saja bukan!"

"Kalau bukan ya sudah, kenapa masih ribut-ribut lagi?"

Phang Kwi si pemilik warung tak dapat menahan ledakan ketawanya, akan tetapi seketika dia berhenti tertawa seperti jangkerik terinjak ketika Ang-bin Piauw-to melotot kepadanya. Kepala perampok ini menoleh ke arah Tan Sam dan berkata.

"Kakek Tan Sam, tadi kau mentertawakan perbuatanku menyambit cecak dengan piauw, mengapa?"

Tan Sam tertawa lagi, tertawa bebas dan lepas. "Selain cecak itu menjadi lucu kehilangan buntutnya, juga aku heran kenapa kau tidak mengarah kepalanya, melainkan buntutnya!"

Diam-diam Ang-bin Piauw-to menjadi malu sekali sampai mukanya menjadi makin merah. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa sambitannya yang kedua kalinya tadi sebenarnya memang gagal. Tadi dia mengarah kepala binatang itu, aneh sekali entah mengapa kali ini dia selalu gagal. Bukan kepala yang terkena, melainkan buntutnya.

"Orang tua she Tan, apakah kau juga pandai menyambit dengan piauw?"

Kakek itu longang-longok, nampak bingung. "Piauw itu apa sih?"

Semua perampok tertawa besar.

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan dua batang piauw-nya dari kantong. "Inilah yang disebut piauw. Ketahuilah, nama julukanku adalah Ang-bin Piauw-to, karena aku sangat pandai menyambit piauw dan main silat dengan golok."

Kakek dan pemuda itu mengambil piauw tadi seorang satu, melihat-lihat dan nampaknya kagum.

"Hok-ji, apa kau bisa menyambitkan piauw ini?" tanya kakek itu kepada pembantunya.

"Apa sukarnya menyambit? Tinggal melempar saja!" katanya.

Kembali perampok tertawa lebar.

"Bertaruh... bertaruh...!” kata beberapa orang serentak.

“Boleh sekali...!" Tan Sam terkekeh. “Mari bertaruh menyambit dengan piauw ini. Berapa taruhannya?"

Ang-bin Piauw-to hendak mempermainkan dua orang itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan seadanya perak yang disimpan di dalam kantongnya, lalu menaruhnya di atas meja. "Hanya ini milikku, hayo keluarkan perakmu. Biar aku kalian keroyok berdua."

"Baik." Kakek itu mengeluarkan sejumlah perak yang sama banyaknya, menaruh di atas meja, lalu memandang kepala rampok itu. "Mengeroyok bagaimana maksudmu?"

"Kita pasang sehelai daun pada dinding itu, kemudian dalam jarak lima puluh langkah kita masing-masing melempar sebatang piauw ke arah daun yang dijadikan sasaran. Kau dan pembantumu masing-masing menyambit satu kali, andai kata ada seorang di antara kalian yang bisa mengenai daun, dianggap kena, meski pun yang seorang lagi menyeleweng sambitannya. Aku hanya menyambit satu kali saja."

"Akur!" Kakek itu nampak gembira bukan main dan mengedip-ngedipkan matanya kepada pemuda raksasa dengan muka yang jelas memperlihatkan keyakinan akan memenangkan pertandingan ini. "Kau sambitlah lebih dulu."

Daun sebesar telapak tangan ditempelkan pada dinding warung itu dan jarak lima puluh langkah diukur. Para perampok dan pemilik warung dengan gembira berdiri di kanan kiri, agak jauh dari tempat sasaran. Sesudah mengeluarkan piauw-nya, kepala perampok itu sambil tersenyum-senyum lalu berkata.

"Lihat sambitanku!"

Tangan kanannya bergerak dan piauw itu lalu meluncur seperti anak panah, cepat sekali sampai hampir tidak kelihatan, tahu-tahu telah menancap di tengah daun. Tepuk tangan kawan-kawannya menyambut keahlian ini. Tan Sam mulai plonga-plongo, saling pandang dengan pembantunya.

"Waaah, kok bisa kebetulan kena di tengah-tengahnya...," ia mengeluh.

Para perampok tertawa.

"Kakek bodoh, mana ada ucapan kebetulan? Memang Twako berjuluk Ang-bin Piauw-to, seratus kali sambit pasti seratus kali kena!" kata seorang anggota perampok. "Hayo lekas kau sambitkan piauw-mu, dan kau juga, badut muda!"

Tan Sam memandang pada pembantunya. "Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan sekali kena di tengah-tengahnya. Hok-ji, marilah kita menyambit berbarengan saja, secara untung-untungan, tidak kena daun juga tidak apa-apa asal bisa kena kaki bajul buntung!" Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung, "Satu... dua..." Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.

"... tiga...!"

Dua buah piauw meluncur ke depan. Akan tetapi terdengar suara gelak terbahak ketika para perampok melihat bahwa dua buah piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus dan mengenai dinding, jauh di kanan kiri daun.

"Aduh...!"

"Aaauuuuuhhh...!"

Terdengar dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata telah terkena hantaman piauw yang membalik! Untungnya hanya terkena kepala piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

Anehnya, yang terkena hantaman piauw ini ialah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan Sam dan Tan Hok! Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar piauw, mereka terpaksa menahan kesakitan dan menahan kemarahan.

Ang-bin Piauw-to tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.

"Nanti dulu!" kata kakek Tan Sam "Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku kalau belum bisa menang!"

Kepala perampok itu memandangnya dengan heran. Apakah otak kakek ini sudah miring, pikirnya, "Boleh, berapa taruhannya?”

"Semua perak di atas meja itu,” tantang Tan Sam.

"Bagus, perlu ditambah?"

"Sesukamu, kalau masih ada padamu, keluarkan semua."

Sekarang para perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya.

Melihat perak yang amat banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluarkan sebagian potongan emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.

"Bagaimana cara pertandingan?" tanya Tan Sam. "Apakah masih seperti tadi!"

“Boleh saja,” jawab Ang-bin Piauw-to yang merasa yakin akan kemenangannya.

"Akan tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tidak pandai menyambitkan piauw."

"Siapa bilang? Piauw-mu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang. Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kanannya dengan ukuran jarak tertentu, masa tidak akan kena?"

Para perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.

"Nah, kau lihat. Aku mulai!" kata Ang-bin Piauw-to sambil mengayun tangannya.

"Nanti dulu!" Tan Sam mencegahnya.

"Aku mau melihat dulu piauw-mu, apakah sama dengan piauw yang kau berikan padaku ini."

"Tentu saja sama!" jawab kepala rampok itu marah sambil menunjukkan piauw-nya yang beronce merah.

"Ahh, tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai piauw-mu, kan celaka." Sambil berkata demikian kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah pada piauw-nya sehingga piauw itu berubah gundul dan buruk.

Tentu saja para perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang digunakan kepala rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang kakek itu malah mencopoti ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?

"Bagus, kau pintar, orang tua," kata Ang-bin Piauw-to mengejek. "Sekarang sudah jelas, piauw yang beronce punyaku, yang gundul punyamu. Nah, siapa menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut?”

"Tidak usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku, baru adil namanya."

Karena yakin akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok yang berkepala batu, Ang-bin Piauw-to tidak banyak membantah.

"Berbareng pun baik," katanya mengejek sambil bersiap-siap.

Daun baru sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau Ang-bin Piauw-to mengincar sasaran daun, adalah kakek itu tidak menghadapi daun, bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar. Sambil
tertawa-tawa para perampok menyingkirkan diri jauh-jauh supaya jangan terkena piauw kakek yang kesasar lagi.

"Aku menghitung sampai tiga, baru lepas," kata kakek itu. Lawannya mengangguk sambil tersenyum mengejek.

"Satu... dua... tiga...!!"

“Serrr…!"

Piauw meluncur dari tangan Ang-bin Piauw-to, cepat dan lurus ke arah daun yang telah ditempel pada dinding. Di samping ini, juga piauw di tangan kakek itu telah dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung.

Piauw ini berjungkir-balik dan berputar-putar. Mula-mula menuju arah kanan, akan tetapi piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya.

Di dekat daun, kedua piauw itu bersilang, lalu terdengar suara nyaring dan dua piauw itu menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi jauh dari daun!

Semua orang bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, tiba-tiba menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka setelah memandang jelas ke arah daun yang sekarang terpaku oleh piauw itu. Apa yang mereka lihat?

Ternyata piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah piauw yang tidak beronce merah, sedangkan piauw yang menyeleweng ke sisi adalah piauw beronce! Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan kakek Tan Sam!

"Ha, bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!" Tan Hok memuji dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas meja yang tadi dipertaruhkan.

Para perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Sraaattt!"

Tiba-tiba nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-bin Piauw-to sudah mencabut golok besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya nampak berkilauan pada waktu dikelebatkan.

"Jangan ambil!" seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi.

Nampaknya pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok itu meluncur terus dan…

"Crakk!" meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan jatuh ke atas lantai.

Tan Hok dan Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para perampok tertawa bergelak.

"Twako, untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku," kata anggota perarnpok yang tadi hendak menyerang Tan Sam. "Aku harus membalasnya untuk kakiku."

"Betul, Twako, anjing tua ini pun bagianku!" berkata pula perampok yang kakinya terkena hantaman piauw Tan Sam tadi. Ang-bin Piauw-to hanya tersenyum, kemudian melangkah mundur dan mengambil perak yang tersebar di lantai.

"Ahhh, jangan... jangan bunuh mereka di sini. Warungku tak akan laku lagi,” Phang Kwi mencegah khawatir.

"Diam!" bentak kepala perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan.

Dengan mulut menyeringai dua orang perampok itu telah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan sikap amat mengancam. Tan Hok tampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.

"He, kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu... aku yang menang mengapa diambil...?"

"Kau dan pembantumu akan kami bunuh!" bentak perampok yang menghadapinya.

"Aduh... kenapa begitu? Jangan...!" si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok.

"Celaka, Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di bumi..."

Melihat sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.

“Kau takut? Hayo lekas minta ampun!"

Tan Sam melirik ke arah pembantunya. "Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita memberi hormat minta ampun." Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok.

Terjadilah hal aneh. Dua orang perampok yang menghadapi kakek dan pembantunya ini tiba-tiba terhuyung mundur, seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang perampok itu makin marah.

Memang, di dunia ini hanya orang-orang bodoh saja yang berani bersikap sombong dan membanggakan kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, sebenarnya makin bodohlah dia. Bodoh karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai.

Andai kata dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan membutakan mata mereka.

"Keparat, jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!" bentak perampok yang mengancam Tan Hok. "Hayo kalian berlutut minta ampun, baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!"

Kembali Tan Sam melirik ke arah Tan Hok. "Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut."

Keduanya lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.

"Aduhhh...!"

“Ahhhhh...!"

Rasa ulu hati dua orang perampok itu seperti disodok toya baja saja. Mereka terjengkang ke belakang, roboh dan memuntahkan darah segar.

"Celaka!"

Ang-bin Piauw-to baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Iweekang yang tinggi!

Akan tetapi, juga karena kesombongannya, dan hendak mengandalkan jumlah kawan yang banyak, kepala perampok ini lalu mencabut goloknya sambil memberi aba-aba.

"Keroyok! Bunuh dua ekor anjing ini!"

Kawan-kawannya, juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. Dia tertawa dan berseru.

"Perampok-perampok jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggota Pek-lian-pai seperti aku, siapa lagi yang akan membasminya?"

Kedua tangannya segera bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar jerit-jerit kesakitan ketika para perampok itu terkena oleh sambaran Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), kecuali Ang-bin Piauw-to dan Phang Kwi yang dapat mengelak.

Makin terkejut hati Ang-bin Piauw-to mendengar disebutnya perkumpulan Pek-lian-pai yang sedang memberontak untuk meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol itu. Namun dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang kakek Tan Sam. Ada pun Phang Kwi maju dengan ruyungnya menyerbu Tan Hok.

Sungguh-sungguh amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Semua gerakannya tidak seperti orang yang pandai silat, hanya mempunyai langkah-langkah kaki berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini sungguh luar biasa sekali, baik tenaga luar mau pun tenaga dalamnya.

Ruyung di tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat tenaga dan... ruyung itu patah! Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok yang keras bagaikan serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai tulangnya patah-patah. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan.

Berbeda dengan Tan Hok, kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya. Lebih cepat dari pada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan kakek itu dikejar sinar golok. Serangan kepala perampok itu baru berlangsung dua puluh jurus, terdengar suara keras, goloknya terlempar menancap dinding dan tubuh kepala perampok itu terjengkang ke belakang. Mukanya pucat sebab dia telah menderita luka pada dadanya oleh tamparan kakek yang lihai ini...


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 07


Loading...