Pusaka Pulau Es Bagian 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 17

Tengah malam tiba. Bintang-bintang semakin jelas kelihatan, membuat Keng Han dan Cu In yang berada di atas atap menjadi kagum bukan main. Terutama sekali Keng Han. Sudah sering dia melihat malam penuh bintang, akan tetapi entah bagaimana, belum pernah nampak seindah malam ini. Dia tersenyum seorang diri, maklum mengapa hatinya demikian tenteram dan bahagia, walau pun sedang menghadapi tugas yang berbahaya. Bukan lain karena Cu In berada di situ, di dekatnya!

Terdengar bunyi langkah dua losin prajurit pengawal datang dari arah luar. Mereka itu adalah satu regu prajurit pengawal yang datang untuk menggantikan para prajurit yang sudah berjaga sejak sore tadi. Komandan prajurit yang baru datang menerima laporan dari komandan prajurit yang diganti bahwa tadi nampak bayangan yang mencurigakan berkelebat, akan tetapi kini suasana aman dan tenang sedangkan bayangan itu tidak dapat ditemukan.

“Mungkin hanya bayangan burung yang terbang lewat,” akhirnya komandan itu menutup keterangannya kepada komandan yang baru. “Betapa pun juga, harap menjaga dengan hati-hati dan waspada.”

Dia tidak menceritakan bahwa Keng Han dan Cu In sedang berada di atas atap karena dia sendiri tidak tahu di mana dua orang pengawal pribadi kaisar itu bersembunyi. Pergantian pengawal sudah dilakukan. Para prajurit pengawal yang baru nampak masih segar dan mereka mengepung kamar kaisar, bahkan kadang melakukan perondaan di sekeliling tempat itu.

Keng Han dan Cu In mendengar suara mereka dan melongok ke bawah. Mereka tahu bahwa ada pergantian pengawal, maka mereka tidak mengacuhkan lagi. Kedua orang muda ini terus bersembunyi di atas atap dengan waspada, mengawasi empat penjuru dengan tatapan tajam. Tak lama kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk seperti orang jatuh.

“Cu In, cepat kau periksa di bawah, biar aku yang menjaga di sini!” kata Keng Han.

Cu In melayang turun. Dia kaget bukan main melihat beberapa orang prajurit pengawal menyerang kawan-kawannya sendiri! Dia sama sekali tidak tahu bahwa di antara dua losin prajurit itu, yang empat belas orang adalah anak buah Pek-lian-pai yang sekarang menyamar sebagai prajurit, termasuk juga dua orang datuk sesat, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin!

Melihat sepuluh orang prajurit diserang oleh prajurit yang lain dan empat orang sudah roboh tak bergerak lagi, Cu In berseru, “Tahan...!”

Akan tetapi, para prajurit penyerang itu bahkan menyerangnya dan seorang di antara mereka yang memegang ruyung berseru, “Lo-mo, cepat bergerak dari atas!”

Tung-hai Lo-mo mengenal Cu In yang bercadar. Karena tahu betapa lihainya wanita itu, maka dia menyerahkannya kepada Lam-hai Koai-jin dan selosin anak buah Pek-lian-pai. Maka mendengar seruan Lam-hai Koai-jin, Tung-hai Lo-mo segera meloncat naik ke atas atap. Diperhitungkannya, kalau memasuki kamar lewat atap tentu tidak ada yang tahu dan kalau dia dapat membunuh kaisar dengan tangannya sendiri, tentu pahalanya besar dan Pangeran Tao Seng akan memberi hadiah yang besar.

Namun, begitu kakinya menginjak atap, terdengar bentakan nyaring yang mengejutkan hatinya. “Berhenti, siapa engkau?!”

Kiranya Keng Han sudah berdiri di depannya. Dia segera mengenal Keng Han, akan tapi pemuda itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek itu memakai samaran sebagai seorang prajurit biasa. Melihat Keng Han menghadang dengan pedang bengkok di tangannya, Tung-hai Lo-mo cepat menggerakkan tombaknya. Sebagai prajurit tentu saja dia tak mungkin membawa-bawa dayungnya, maka dia memilih memegang tombak dari pada senjata lain karena tombak itu dapat dipergunakan sebagai senjata dayungnya.

Melihat prajurit itu telah menyerangnya dengan tombak, Keng Han menangkis dengan pedang bengkoknya.

“Tranggg...!”

Keduanya terdorong mundur tiga langkah. Keng Han terkejut sekali. Orang yang dikirim ayahnya untuk membunuh kaisar ini ternyata lihai dan memiliki tenaga sinkang yang kuat!

Maka dia pun mengerahkan tenaganya dan segera mainkan pedangnya dengan ilmu silat Hong-in Bun-hoat. Pedang itu menyambar-nyambar dengan gerakan aneh seperti mencorat-coret di udara membuat huruf-huruf, akan tetapi akibatnya hebat, Tung-hai Lo-mo segera terdesak mundur. Datuk sesat ini berpikir bahwa kalau bertempur di atas, berbahaya baginya. Selain atap itu licin dan miring, juga dia tidak mempunyai kawan. Kalau di bawah terdapat selosin anak buah Pek-lian-pai dan masih ada Lam-hai Koai-jin pula.

Maka dia membabatkan tombaknya menyerampang kedua kaki lawan. Ketika Keng Han meloncat untuk menghindarkan sambaran tombak, kesempatan ini dipergunakan oleh Tung-hai Lomo untuk meloncat turun ke bawah!

“Pembunuh jahat, engkau hendak lari ke mana?” bentak Keng Han. Dia pun meloncat ke bawah melakukan pengejaran.

Melihat Keng Han meloncat turun, Tung-hai Lo-mo menggunakan tombak menyambut dengan tusukan yang cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Keng Han sudah waspada dan pada saat melihat lawannya menyambutnya dengan tusukan, dia pun memutar pedang bengkoknya untuk melindungi tubuhnya.

“Trang-tranggg...!” Bunga api berpercikan ketika kedua senjata itu bertemu dan mereka segera bertanding lagi dengan serunya.

Sementara itu, pertandingan antara Cu In melawan Lam-hai Koai-jin juga berlangsung seru. Akan tetapi karena Cu In membantu para prajurit pengawal yang diserang oleh orang-orang Pek-lian-pai yang menyamar, ia jadi terkeroyok, apa lagi ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin membuatnya terdesak. Akan tetapi, dengan sabuk suteranya gadis ini berhasil merobohkan lima orang anak buah Pek-lian-pai sehingga kini jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi. Mereka itu dapat dilawan para prajurit pengawal yang tulen sehingga Cu In hanya menghadapi Lam-hai Koai-jin seorang saja!

Lam-hai Koai-jin ialah seorang datuk selatan yang bertubuh gendut pendek. Permainan ruyungnya menggiriskan. Senjata berat itu dapat dia gerakkan dengan cepat sehingga mengeluarkan suara berdesing-desing.

Namun, lawannya adalah Cu In yang mempunyai ginkang yang luar biasa. Kecepatan gerakan Cu In membingungkan Lam-hai Koai-jin. Sabuk sutera putih yang dimainkan Cu In bagaikan kilat menyambar-nyambar, atau bagaikan seekor naga bermain di angkasa. Ujungnya melecut dan menotok sehingga datuk gendut pendek itu seolah terkepung oleh belasan ujung sabuk yang menyerangnya secara bertubi-tubi.

Baik Tung-hai Lo-mo mau pun Lam-hai Koai-jin kini mulai maklum bahwa usaha mereka mengalami gangguan. Apa lagi sekarang berdatangan pasukan pengawal lainnya yang mendengar akan perkelahian itu kemudian mereka datang berbondong-bondong untuk membantu teman-teman mereka.

Melihat ini, Tung-hai Lo-mo berseru, “Lari...!”

Dia sendiri sudah meloncat jauh ke belakang untuk melarikan diri. Lam-hai Koai-jin juga meloncat jauh mengikuti jejak kawannya. Para anak buah mereka juga ingin lari, akan tetapi kini bantuan sudah datang dan mereka terkepung dengan ketat sehingga tak lama kemudian, kedua belas orang anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu berhasil dirobohkan. Di antara mereka ada yang belum tewas dan hanya terluka, maka yang terluka lalu ditawan.

Pintu yang menuju ke kamar tidur kaisar terbuka dari dalam. Dua orang thaikam muncul. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, maka mereka membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi. Kaisar pun sudah terjaga dari tidur dan memerintahkan thaikam untuk memeriksa keadaan di luar.

“Para pembunuh menyamar sebagai prajurit pengawal datang menyerang, akan tetapi mereka semua sudah tertangkap!” Keng Han melapor kepada para thaikam dan mereka itu dapat melapor kepada Kaisar.

“Siapa yang menyuruh kalian? Hayo cepat katakan!” bentak Keng Han kepada empat orang penyerbu yang terluka dan sudah diikat kedua tangannya.

Akan tetapi empat orang itu diam saja tidak mau menjawab.

“Katakan kalian dari golongan apa?” tanya lagi Keng Han.

Seorang di antara mereka kini mengangkat muka memandang kepada Keng Han dan menjawab singkat. “Kami anggota Thian-li-pang!”

Keng Han dan Cu In terkejut sekali. Anggota Thian-li-pang? Mereka teringat kepada Han Li yang berada di rumah Pangeran Mahkota. Gadis itu puteri ketua Thian-li-pang!

“Mungkin mereka berbohong. Kita undang Han Li ke sini untuk mengenali mereka,” kata Cu In dan Keng Han menyetujui.

Keadaan kini sudah aman. Tidak mungkin ada pembunuh yang dapat masuk dari luar istana yang sudah dijaga ketat oleh pasukan. Kalau tadi mereka kebobolan adalah karena para penjahat itu menyamar sebagai prajurit-prajurit pengawal istana.

“Benar, sekarang di sini sudah aman. Kita serahkan kepada para prajurit untuk menjaga keamanan selanjutnya dan kita harus cepat pergi ke rumah Pangeran Mahkota. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan,” kata Keng Han.

Keduanya lalu pergi meninggalkan istana. Dari para penjaga di luar istana mereka mendapat kabar bahwa dua orang pembunuh yang lihai dan menyamar sebagai prajurit-prajurit itu telah berhasil lolos. Mereka tidak mempedulikannya lagi. Penjahat-penjahat itu pasti tidak berani masuk kembali ke istana, pikir mereka. Dengan cepat mereka lalu menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.

Di istana ini pun terjadi keributan. Menjelang tengah malam, ada bayangan tiga belas orang memasuki istana lewat pagar tembok belakang taman. Mereka segera ketahuan karena penjagaan sudah diatur dengan ketat dan terjadi pertempuran antara tiga belas orang itu dengan para prajurit.

Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek yang memegang pedang. Banyak prajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi.

Akan tetapi Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga di bagian belakang istana. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam, telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar.

Swat-hai Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.

“Tranggg...!”

Tiba-tiba pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu. Biar pun hanya tongkat bambu, tapi ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan tangannya terasa panas. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian pada penangkisnya. Ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh bila Swat-hai Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang muluk-muluk!” kata Kai-ong Lu Tong Ki.

“Kai-ong, jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan penjajah Mancu?”

“Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!”

Swat-hai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukannya sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit...!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm...!”

Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss...!”

Dua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar.

Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar, bahkan dapat terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu pula oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para prajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil, sebab ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah). Tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu lantas menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu.

Kwi Hong mengamuk lebih hebat lagi. Dengan pedangnya dia cepat mainkan Ngo-heng Sin-kiam sehingga lawan-lawannya menjadi kerepotan melindungi dirinya dari sambaran pedang yang ampuh itu. Tidak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong.

Han Li memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja. Akan tetapi, walau ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang penjajah, tamparan dan tendangan itu sudah cukup membuat empat orang terpelanting roboh.

Para prajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi korban senjata para prajurit. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li.

“Jangan, Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah.”

Mendengar ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka dibantu apa bila sedang bertanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu.

Akan tetapi sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang dan sinar tongkat.

“Tranggg…!” tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Sesosok tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan, dan yang meloncat itu adalah Swat-hai Lo-kwi. Dari ujung bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya sehingga menderita luka dalam.

“Sekarang aku memang mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas kekalahan ini!” Dan dia pun sudah melompat menjauh, melarikan diri dalam kegelapan malam.

Setelah semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dan dua belas orang itu ada yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang kemudian diberi tahu. Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan Pangeran Tao Kuang.

“Kamu datang dari perkumpulan mana?”

“Dari Thian-li-pang!” jawab orang itu dengan lantang.

“Bohong!” bentak Yo Han Li sambil bergegas menghampiri orang itu. “Kalau engkau dari Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!”

Orang itu hanya memandang kepada Han Li, akan tetapi tidak menjawab.

“Hayo katakan, siapa aku!” kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu.

Orang itu menjadi pucat wajahnya, kemudian menggeleng kepalanya dan menjawab, “Tidak... tidak tahu...”

“Nah, Paman Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggota Thian-li-pang.” Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.

“Bret-bret-bret...!”

Baju bagian dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).

“Dia dari Pat-kwa-pai!” seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu.

Han Li mengangguk. “Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai ada terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa mereka adalah murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang.”

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup.

Pada saat itu muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi Hong, ibunya dan Han Li bersama gurunya, juga melihat banyak tubuh menggeletak berserakan di tempat itu, mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.

“Mereka mengaku dari perkumpulan apa?” tanya Keng Han.

“Ada yang mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu.”

Keng Han dan Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk. “Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku dari Thian-li-pang.”

“Ahh, kita harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang,” kata Han Li. “Aku harus menjadi saksi di sana.”

“Untuk itulah kami datang ke sini. Selain hendak melihat keadaan di sini juga untuk menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang.”

“Baik, mari kita berangkat,” kata Han Li tegas. Gadis ini tentu saja ingin membersihkan nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar serta pangeran itu.

Setelah mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar.

Han Li lalu menghampiri orang itu dan bertanya, “Engkau dari perkumpulan apa?”

Orang itu menjawab tanpa ragu-ragu lagi. “Dari Thian-li-pang!”

Han Li lalu bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. “Kalau engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?”

Orang itu berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan menggeleng kepala sambil berkata, “Saya tidak tahu.”

Han Li memberi hormat kepada Kaisar. “Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong. Kalau dia memang orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba adalah puteri ketua Thian-li-pang.”

Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar berbentuk bunga teratai di dada itu.

“Dia seorang anggota Pek-lian-kauw, Yang Mulia,” kata Han Li.

“Benar, dia anggota Pek-lian-kauw!” kata Cu In.

Sekarang bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah para anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah anggota Pat-kwa-pai! Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Namun di luar istana sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang. Akibatnya, umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai dengan pemberontakannya dan sudah pula mengutus orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Setelah membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolaknya. Mereka keluar dari istana dan waktu itu sudah jauh lewat tengah malam. Mendadak mereka melihat panah api diluncurkan orang di udara.

“Apa itu?” tanya Cu In.

“Panah api! Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai.”

“Mengapa khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu sudah diaturnya dengan baik? Kita lihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam, kita berdua harus turun tangan membantu.”

“Kau benar, Cu In. Walau pun yang menggerakkan semua ini adalah ayah kandungku sendiri, akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andai yang memberontak itu para pejuang bangsa Han, meski pun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku tidak akan membantu siapa-siapa.”

Cu In mengangguk. “Aku setuju sekali dengan pendapatmu, Keng Han. Pemberontakan dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, dan mereka sudah menggunakan tokoh-tokoh sesat serta kumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kalau Thian-li-Pai yang bergerak, tentulah bukan menggunakan cara ini dan di belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran.”

Keduanya lalu berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua tidak beristirahat, melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu yang pasti akan terjadi.

“Kami melihat panah api diluncurkan ke udara,” kata Keng Han setelah mereka berdua menghadap sang pangeran.

“Kami juga sudah mengetahuinya. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di luar kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciangkun. Dia telah mengetahui semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik yang di dalam kota raja mau pun yang berada di luar.”

Cu In amat kaget mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The Ciangkun. ”Apakah yang dimaksudkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?” tanya Cu In.

“Benar,” jawab Pangeran Tao Kuang. “Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?”

“Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran,” kata Cu In.

“Bagus, kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh.”

“Baik,” kata Keng Han dan Cu In. Mereka lalu keluar dari istana itu.

“Cu In, benarkah engkau mengenal Panglima The itu?”

“Tentu saja mengenalnya. Dia itu ayah kandungku,” kata Cu In terus terang.

“Ehhh...?”

Keng Han menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu.

“Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh, dan engkau mencari musuh itu?”

“Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!”

Mereka berlari ke tempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The.

Sementara itu, tempat persembunyian pasukan inti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan oleh para penyelidik. Dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu segera bertindak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang. “Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat. Lebih baik engkau menyerahlah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para prajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!”

Mendengar seruan ini, banyak prajurit pasukan yang berlari keluar dari benteng tanpa membawa senjata sambil mengacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan.

Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan, dengan nekat terus memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya, juga para anak buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The.

Cu In dan Keng Han melihat ini, tetapi mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglima Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton, tidak membantu ayah kandungnya. Memang Panglima The tidak perlu dibantu sebab belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.

Seorang pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak dan berseru. “Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!”

Mendengar dan melihat ini, para prajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama. Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah. Walau pun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, tetapi karena dikeroyok banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk melarikan diri!

Demikianlah watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu melarikan diri.

Gulam Sang mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu. Liong Siok Hwa yang datang bersama Gulam Sang itu, diterima oleh para tokoh Bu-tong-pai dengan hormat. Bahkan setelah Thian It Tosu keluar dari tempat pertapaannya, dia mengumumkan kepada para anggota bahwa mulai hari itu juga, Liong Siok Hwa diterima menjadi muridnya. Sebagai murid Thian It Tosu, tentu saja Siok Hwa boleh tinggal di perkampungan Bu-tong-pai sesuka hatinya.

Beberapa hari kemudian Bu-tong-pai kedatangan banyak tamu, antara lain Ji Wan-gwe, Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Lam-hai Koai-jin dan masih banyak orang lagi. Mereka semua adalah pelarian, setelah kalah dan gagal dalam usaha mereka menyerbu istana dan membunuh kaisar serta putera mahkota.

Thian It Tosu menerima mereka dengan senang hati dan mereka menjadi tamu-tamu kehormatan Bu-tong-pai. Mereka semua pergi ke Bu-tong-pai dan berkumpul di sana dengan tujuan untuk menyembunyikan diri dan agar dapat mengadakan pertemuan dan berunding. Dalam perundingan mereka, Ji Wangwe atau Pangeran Tao Seng menyesalkan para pembantunya yang ternyata sama sekali gagal dalam tugas mereka.

“Akan tetapi semua kegagalan itu bukan kesalahan kami, melainkan karena rahasia kita telah bocor dan pihak musuh mengetahui akan semua rencana kita. Aku yakin bahwa yang mengkhianati kita adalah Tao Keng Han!”

Tung-hai Lo-mo mengangguk dan berkata, “Memang benar. Kalau tidak ada pemuda itu tentu kami telah berhasil membunuh Kaisar! Pemuda itu telah mengkhianati Pangeran, ayahnya sendiri.”

Pangeran Tao Seng mengepal tinjunya. “Jika tahu akan begini jadinya, sudah kubunuh dia ketika dulu dia tertawan!”

“Tidak ada gunanya Ayah marah-marah. Kita masih mempunyai rencana kedua. Kalau rencana ini berhasil, keadaan kita menjadi semakin kuat sehingga kita akan mampu mengobarkan pemberontakan.”

“Hemmm, rencana apakah itu, Kongcu?” tanya Swat-hai Lo-kwi dan para tokoh lainnya yang juga ingin mengetahuinya.

“Begini,” kata Pangeran Tao Seng. “Bu-tong-pai telah sepenuhnya kita kuasai. Dengan membonceng kepada nama Bu-tong-pai, kita dapat mengumumkan bahwa Bu-tong-pai mengadakan pemilihan bengcu (pemimpin rakyat) baru. Tentu saja harus kita usahakan agar Gulam Sang yang akan menang dan menjadi bengcu baru. Nah, kalau kedudukan bengcu sudah di tangan kita, kiranya akan mudah bagi kita untuk menggerakkan semua orang di dunia kang-ouw untuk mulai dengan gerakan pemberontakan yang besar.”

“Pikiran yang sangat bagus! Akan tetapi bagaimana dengan bengcu yang sekarang?” tanya Tung-hai Lo-mo.

“Dalam pemilihan bengcu pada sepuluh tahun yang lalu, sebagian besar orang memilih Pendekar Tangan Sakti Yo Han yang kini menjadi ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia tak bersedia menjadi ketua. Maka pilihan lalu dijatuhkan kepada Bhe Seng Kok, seorang pendekar Siauw-lim-pai. Nah, kalau kita hendak merampas kedudukan bengcu, terlebih dahulu kita harus singkirkan Bhe Seng Kok ini. Kalau bengcu yang lama sudah tewas, tentu harus diadakan pemilihan bengcu baru. Dan Bu-tong-pai yang akan mempelopori pemilihan itu,” kata Gulam Sang.

Semua orang memandang pemuda Tibet ini dengan kagum. Dia agaknya tahu akan segala peristiwa di dunia persilatan.

“Akan tetapi siapa yang akan menyingkirkan ketua Bhe Seng Kok? Aku pun mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu tangguh sekali!”

“Aku yang akan melakukannya, dengan bantuan Tung-hai Lo-mo. Apa bila kita berdua yang menghadapinya, aku tanggung dia akan tewas!” kata pula Gulam Sang.

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya. “Murid Siauw-lim-pai? Ahhh, kalau sampai Siauw-lim-pai mengetahuinya dan memusuhi kita, akan celakalah. Kekuatan mereka besar sekali dan nama mereka sudah terkenal sehingga lain-lain aliran tentu akan berpihak kepada Siauw-lim-pai.”

“Harap Paduka tidak khawatir. Pembunuhan itu harus dilakukan dengan menggelap dan menyamar sehingga kalau pun ada yang melihatnya mereka tentu tidak akan mengenal kami. Kami membunuh dengan alasan sebagai balas dendam musuh lama. Sebagai seorang pendekar, kalau sampai Bhe Seng Kok tewas terbunuh oleh orang-orang yang mendendam, tentu tidak mengherankan semua orang dan hal itu wajar saja terjadi,” demikian kata Gulam Sang.

Mendengar ini, Pangeran Tao Seng menjadi lega hatinya dan dia menyerahkan saja urusan itu kepada anak angkatnya yang sudah dipercaya sepenuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Gulam Sang masih setia kepadanya, padahal perebutan tahta telah gagal, hal ini adalah disebabkan Gulam Sang masih membutuhkan harta kekayaannya untuk membiayai rencananya.

Setelah selesai perundingan itu, Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin berpamit untuk pulang ke tempat masing-masing dengan janji bahwa kelak pada pemilihan bengcu mereka pasti akan hadir dan siap membantu Gulam Sang. Tung-hai Lo-mo tinggal di situ untuk membantu Gulam Sang….
cerita silat karya kho ping hoo

Keng Han meninggalkan istana dan kota raja bersama Cu In. Biar pun tidak berjanji keduanya ternyata melakukan perjalanan bersama. Setelah mereka berada jauh dari kota raja, Keng Han menunda langkahnya dan berhenti. Melihat ini Cu In juga berhenti melangkah. Keduanya saling pandang. Keng Han lalu bertanya, dalam suaranya mengandung kekhawatiran kalau-kalau gadis itu akan meninggalkan dia lagi.

“Cu In, ke manakah tujuan perjalananmu kali ini?”

Cu In tidak menjawab, hanya menengok ke depan dan kanan kiri seperti orang mencari jawabannya dari pohon-pohon dan sawah ladang yang berada di kanan kirinya.

“Dan engkau sendiri, Keng Han. Engkau hendak ke manakah?” akhirnya dia bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

Keng Han menghela napas panjang. “Tujuan perjalananku meninggalkan Khitan adalah untuk mencari ayah kandungku, kemudian mengajaknya pulang ke Khitan karena ibu amat merindukannya. Tapi kenyataannya, ayahku seorang ambisius yang memberontak dan melakukan perbuatan jahat dengan usaha pembunuhan-pembunuhan itu. Bahkan sekarang ayah telah menjadi seorang pelarian dan buruan pemerintah, dan aku tidak tahu dia berada di mana. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, dan aku akan mengikuti saja ke mana engkau pergi, Cu In.”

Gadis itu menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Keng Han juga mengambil tempat duduk di depannya.

“Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi,” kata Cu In.

“Cu In, bukankah engkau mempunyai ayah dan ibu? Engkau berjanji akan menceritakan kepadaku tentang pengalamanmu. Dulu engkau mengatakan bahwa engkau yatim piatu dan engkau hendak membalas dendam kepada pembunuh orang tuamu. Akan tetapi kemudian engkau mengatakan bahwa engkau sudah bertemu dengan ayah bundamu. Bagaimanakah ini?”

Cu In menghela napas panjang lagi. Kalau bukan kepada Keng Han, dia pasti segan menceritakan persoalan ayah ibunya. Akan tetapi ia amat tertarik dan percaya kepada Keng Han, maka ia merasa tidak tega untuk berbohong.

“Sejak kecil sekali aku dipelihara subo (ibu guru) dan subo selalu mengatakan bahwa ayah ibuku telah dibunuh orang. Setelah aku dewasa, subo mengatakan padaku bahwa pembunuh ayah bundaku adalah The Sun Tek yang tinggal di kota raja.”

“Ahhh...!” Keng Han berseru heran. “Kau maksudkan The Ciangkun yang memimpin pembasmian pemberontak itu?”

“Benar, dialah orangnya. Aku dapat mencarinya di kota raja dan aku sudah siap untuk membunuhnya, akan tetapi The Ciangkun menceritakan tentang hubungannya dengan Ang Hwa Nio-nio. Ternyata bahwa subo-ku adalah bekas kekasih The Sun Tek, dan bahwa aku adalah puteri mereka berdua! Muncul guruku atau ibuku yang memaksa aku harus membunuh The Sun Tek. Karena aku sudah tahu bahwa aku anak The Ciangkun, maka aku tidak mau melakukannya. Subo marah dan hendak membunuhku, akan tetapi dicegah ayahku. Hatiku demikian sakit rasanya. Kiranya ibuku mendendam sedemikian hebatnya kepada ayahku sehingga dia mendidik aku sebagai muridnya hanya dengan maksud supaya sesudah dewasa aku akan membunuh ayahku sendiri! Pembalasan dendam yang amat keji. Karena hatiku sakit, aku lalu meninggalkan mereka.”

Keng Han mendengarkan dengan penuh perhatian, menghela napas dan berulang kali menggeleng kepalanya. “Dan bagaimana engkau dapat terlibat dalam keluarga Putera Mahkota?”

“Aku bertemu dengan adik Yo Han Li yang sekereta dengan Kwi Hong. Ia memanggilku dan mereka membujuk aku agar suka berkunjung ke rumah Kwi Hong. Demikianlah, maka aku berada di sana ketika engkau hendak membunuh Pangeran Mahkota.”

Kembali Keng Han menghela napas. “Nasib kita hampir sama, Cu In. Engkau disuruh membunuh ayahmu oleh ibumu sendiri, dan aku hampir saja membunuh pangeran yang tak bersalah. Engkau mendapat kenyataan betapa kejam ibumu, dan aku pun mendapat kenyataan betapa kejam ayahku. Hemm, sekarang aku mulai mengerti kenapa Bi-kiam Niocu begitu membenci pria dan kalau ada pria mencintanya harus dibunuhnya. Tentu engkau pun demikian, bukan?”

“Memang subo-ku atau ibuku selalu mendidik kami berdua agar membenci kaum pria. Dikatakannya bahwa laki-laki itu semua palsu dan pembohong, tukang bujuk rayu yang berbahaya, maka kami diharuskan menjauhkan diri dari laki-laki dan kalau ada laki-laki yang menggoda, harus cepat dibunuh! Akan tetapi semenjak aku... bertemu denganmu, pandanganku sudah berubah. Seperti juga wanita, laki-laki itu ada yang jahat dan ada yang baik. Apa lagi setelah aku mengetahui mengapa ibu demikian membenci pria, aku tahu bahwa sebabnya hanya karena ia sakit hati dan dendam kepada seorang pria.”

“Akan tetapi, bagaimana ibumu dahulu sampai berpisah dari The Ciangkun?”

“Ayah dilarang orang tuanya mengambil ibuku yang seorang wanita kang-ouw sebagai isteri, dan dia sudah ditunangkan dengan wanita lain, seorang gadis bangsawan. Ayah membujuk ibu agar suka menjadi selir, akan tetapi ibu tidak mau dan mereka berpisah ketika ibuku sudah mengandung aku tiga bulan.”

Keng Han merasa terharu dan ikut bersedih akan nasib gadis ini.

“Ahh, sekarang aku mengerti pula mengapa engkau menutupi mukamu dengan cadar. Tentu agar tidak terlihat oleh pria sehingga tidak ada yang melihat dan menggodamu sehingga engkau akan terpaksa membunuhnya.”

Cu In mengangguk membenarkan. Pada saat itu pula terdengar seruan orang, “Cu In...! Engkau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, kiranya engkau berada di sini. Sungguh aku girang sekali bisa menemukan anakku di sini!”

Keng Han dan Cu In menoleh dan ternyata yang mengeluarkan ucapan itu bukan lain adalah Panglima The Sun Tek! Cu In bangkit berdiri dan Keng Han juga bangkit berdiri.

“Engkau tentu pemuda yang bernama Tao Keng Han. Aku sudah mendengar banyak tentang dirimu dan aku kagum sekali, orang muda.”

Keng Han cepat-cepat memberi hormat pula. “Sebaliknya saya pun mendengar bahwa berkat pimpinan Paman maka para pemberontak dapat diruntuhkan.”

“Dan ada urusan apakah engkau mencariku, Ciangkun?” tanya Cu In, suaranya dingin.

“Ah, Cu In. Engkau adalah puteriku. Aku ayah kandungmu! Tentu saja aku mencarimu.”

“Ibuku sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya, maka ayahku juga sebaiknya demikian. Biarlah aku menganggap diriku ini tidak memiliki ayah dan ibu lagi...” Dalam suaranya terkandung isak tangis.

“Cu In, harap engkau jangan berpendirian seperti itu. Ayahmu adalah seorang yang terhormat, gagah dan terpandang. Dan dia pun sudah bersusah payah mencarimu. Aku sendiri, kalau saja ayahku bersikap sebaik ayahmu, tentu akan menyambutnya dengan bahagia sekali,” kata Keng Han membujuk.

“Akan tetapi apa artinya seorang ayah bagiku, bila tanpa seorang ibu? Ibuku memusuhi ayah, apakah aku harus mengkhianati ibuku?” Pertanyaan Cu In ini ditujukan kepada ayahnya.

“Cu In, ketahuilah bahwa ibumu bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, tapi dengan satu syarat bahwa aku harus dapat mengajakmu pulang menemuinya. Karena itu, demi kebahagiaan kita, marilah kita pergi mengunjungi ibumu di Beng-san.”

“Ahh, itu bagus sekali! Aku ikut merasa girang, Cu In. Aku mau menemanimu ke sana.”

“Sebaiknya kita semua ke sana,” kata The Sun Tek. “Kai-ong dan muridnya juga sudah berangkat. Ketahuilah bahwa Bu-tong-pai mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke sana untuk mengadakan pemilihan bengcu baru.”

“Bengcu baru?” tanya Keng Han heran. “Lalu ke mana perginya bengcu yang lama?”

“Entahlah, itu pun menjadi pertanyaan di dalam hatiku. Beng-san tidak terlalu jauh dari Bu-tong-san. Setelah aku dapat memboyong isteriku, kita semua dapat singgah pula di Bu-tong-san untuk menghadiri pertemuan besar itu. Di sana tentu akan dapat terjawab mengapa diadakan pemilihan bengcu baru dan ke mana perginya bengcu yang lama. Bukankah yang menjadi bengcu adalah Bhe Seng Kok, tokoh Siauw-lim-pai?”

“Benar, Paman. Saya pun pernah mendengar bahwa bengcu yang sekarang bernama Bhe Seng Kok.”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat, Cu In. Kita mengunjungi ibumu dan aku akan memboyongnya ke kota raja. Dari sana kita sekalian pergi ke Bu-tong-pai untuk melihat pemilihan bengcu baru.”

Akhirnya, setelah dibujuk oleh Keng Han, Cu In mau juga pergi bersama ayahnya dan Keng Han. Mereka bertiga lalu melakukan perjalanan ke Beng-san dan Cu In menjadi penunjuk jalan. Selama dalam perjalanan ini, The Sun Tek mengerti dari sikap dan kata-kata Keng Han dan Cu In bahwa kedua orang muda ini saling menaruh hati! Akan tetapi dia diam-diam merasa girang karena diketahuinya bahwa Keng Han seorang pemuda yang baik sekali, walau pun dia itu putera Pangeran Tao Seng yang memberontak.


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 18


Pusaka Pulau Es Bagian 17

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 17

Tengah malam tiba. Bintang-bintang semakin jelas kelihatan, membuat Keng Han dan Cu In yang berada di atas atap menjadi kagum bukan main. Terutama sekali Keng Han. Sudah sering dia melihat malam penuh bintang, akan tetapi entah bagaimana, belum pernah nampak seindah malam ini. Dia tersenyum seorang diri, maklum mengapa hatinya demikian tenteram dan bahagia, walau pun sedang menghadapi tugas yang berbahaya. Bukan lain karena Cu In berada di situ, di dekatnya!

Terdengar bunyi langkah dua losin prajurit pengawal datang dari arah luar. Mereka itu adalah satu regu prajurit pengawal yang datang untuk menggantikan para prajurit yang sudah berjaga sejak sore tadi. Komandan prajurit yang baru datang menerima laporan dari komandan prajurit yang diganti bahwa tadi nampak bayangan yang mencurigakan berkelebat, akan tetapi kini suasana aman dan tenang sedangkan bayangan itu tidak dapat ditemukan.

“Mungkin hanya bayangan burung yang terbang lewat,” akhirnya komandan itu menutup keterangannya kepada komandan yang baru. “Betapa pun juga, harap menjaga dengan hati-hati dan waspada.”

Dia tidak menceritakan bahwa Keng Han dan Cu In sedang berada di atas atap karena dia sendiri tidak tahu di mana dua orang pengawal pribadi kaisar itu bersembunyi. Pergantian pengawal sudah dilakukan. Para prajurit pengawal yang baru nampak masih segar dan mereka mengepung kamar kaisar, bahkan kadang melakukan perondaan di sekeliling tempat itu.

Keng Han dan Cu In mendengar suara mereka dan melongok ke bawah. Mereka tahu bahwa ada pergantian pengawal, maka mereka tidak mengacuhkan lagi. Kedua orang muda ini terus bersembunyi di atas atap dengan waspada, mengawasi empat penjuru dengan tatapan tajam. Tak lama kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk seperti orang jatuh.

“Cu In, cepat kau periksa di bawah, biar aku yang menjaga di sini!” kata Keng Han.

Cu In melayang turun. Dia kaget bukan main melihat beberapa orang prajurit pengawal menyerang kawan-kawannya sendiri! Dia sama sekali tidak tahu bahwa di antara dua losin prajurit itu, yang empat belas orang adalah anak buah Pek-lian-pai yang sekarang menyamar sebagai prajurit, termasuk juga dua orang datuk sesat, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin!

Melihat sepuluh orang prajurit diserang oleh prajurit yang lain dan empat orang sudah roboh tak bergerak lagi, Cu In berseru, “Tahan...!”

Akan tetapi, para prajurit penyerang itu bahkan menyerangnya dan seorang di antara mereka yang memegang ruyung berseru, “Lo-mo, cepat bergerak dari atas!”

Tung-hai Lo-mo mengenal Cu In yang bercadar. Karena tahu betapa lihainya wanita itu, maka dia menyerahkannya kepada Lam-hai Koai-jin dan selosin anak buah Pek-lian-pai. Maka mendengar seruan Lam-hai Koai-jin, Tung-hai Lo-mo segera meloncat naik ke atas atap. Diperhitungkannya, kalau memasuki kamar lewat atap tentu tidak ada yang tahu dan kalau dia dapat membunuh kaisar dengan tangannya sendiri, tentu pahalanya besar dan Pangeran Tao Seng akan memberi hadiah yang besar.

Namun, begitu kakinya menginjak atap, terdengar bentakan nyaring yang mengejutkan hatinya. “Berhenti, siapa engkau?!”

Kiranya Keng Han sudah berdiri di depannya. Dia segera mengenal Keng Han, akan tapi pemuda itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek itu memakai samaran sebagai seorang prajurit biasa. Melihat Keng Han menghadang dengan pedang bengkok di tangannya, Tung-hai Lo-mo cepat menggerakkan tombaknya. Sebagai prajurit tentu saja dia tak mungkin membawa-bawa dayungnya, maka dia memilih memegang tombak dari pada senjata lain karena tombak itu dapat dipergunakan sebagai senjata dayungnya.

Melihat prajurit itu telah menyerangnya dengan tombak, Keng Han menangkis dengan pedang bengkoknya.

“Tranggg...!”

Keduanya terdorong mundur tiga langkah. Keng Han terkejut sekali. Orang yang dikirim ayahnya untuk membunuh kaisar ini ternyata lihai dan memiliki tenaga sinkang yang kuat!

Maka dia pun mengerahkan tenaganya dan segera mainkan pedangnya dengan ilmu silat Hong-in Bun-hoat. Pedang itu menyambar-nyambar dengan gerakan aneh seperti mencorat-coret di udara membuat huruf-huruf, akan tetapi akibatnya hebat, Tung-hai Lo-mo segera terdesak mundur. Datuk sesat ini berpikir bahwa kalau bertempur di atas, berbahaya baginya. Selain atap itu licin dan miring, juga dia tidak mempunyai kawan. Kalau di bawah terdapat selosin anak buah Pek-lian-pai dan masih ada Lam-hai Koai-jin pula.

Maka dia membabatkan tombaknya menyerampang kedua kaki lawan. Ketika Keng Han meloncat untuk menghindarkan sambaran tombak, kesempatan ini dipergunakan oleh Tung-hai Lomo untuk meloncat turun ke bawah!

“Pembunuh jahat, engkau hendak lari ke mana?” bentak Keng Han. Dia pun meloncat ke bawah melakukan pengejaran.

Melihat Keng Han meloncat turun, Tung-hai Lo-mo menggunakan tombak menyambut dengan tusukan yang cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Keng Han sudah waspada dan pada saat melihat lawannya menyambutnya dengan tusukan, dia pun memutar pedang bengkoknya untuk melindungi tubuhnya.

“Trang-tranggg...!” Bunga api berpercikan ketika kedua senjata itu bertemu dan mereka segera bertanding lagi dengan serunya.

Sementara itu, pertandingan antara Cu In melawan Lam-hai Koai-jin juga berlangsung seru. Akan tetapi karena Cu In membantu para prajurit pengawal yang diserang oleh orang-orang Pek-lian-pai yang menyamar, ia jadi terkeroyok, apa lagi ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin membuatnya terdesak. Akan tetapi, dengan sabuk suteranya gadis ini berhasil merobohkan lima orang anak buah Pek-lian-pai sehingga kini jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi. Mereka itu dapat dilawan para prajurit pengawal yang tulen sehingga Cu In hanya menghadapi Lam-hai Koai-jin seorang saja!

Lam-hai Koai-jin ialah seorang datuk selatan yang bertubuh gendut pendek. Permainan ruyungnya menggiriskan. Senjata berat itu dapat dia gerakkan dengan cepat sehingga mengeluarkan suara berdesing-desing.

Namun, lawannya adalah Cu In yang mempunyai ginkang yang luar biasa. Kecepatan gerakan Cu In membingungkan Lam-hai Koai-jin. Sabuk sutera putih yang dimainkan Cu In bagaikan kilat menyambar-nyambar, atau bagaikan seekor naga bermain di angkasa. Ujungnya melecut dan menotok sehingga datuk gendut pendek itu seolah terkepung oleh belasan ujung sabuk yang menyerangnya secara bertubi-tubi.

Baik Tung-hai Lo-mo mau pun Lam-hai Koai-jin kini mulai maklum bahwa usaha mereka mengalami gangguan. Apa lagi sekarang berdatangan pasukan pengawal lainnya yang mendengar akan perkelahian itu kemudian mereka datang berbondong-bondong untuk membantu teman-teman mereka.

Melihat ini, Tung-hai Lo-mo berseru, “Lari...!”

Dia sendiri sudah meloncat jauh ke belakang untuk melarikan diri. Lam-hai Koai-jin juga meloncat jauh mengikuti jejak kawannya. Para anak buah mereka juga ingin lari, akan tetapi kini bantuan sudah datang dan mereka terkepung dengan ketat sehingga tak lama kemudian, kedua belas orang anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu berhasil dirobohkan. Di antara mereka ada yang belum tewas dan hanya terluka, maka yang terluka lalu ditawan.

Pintu yang menuju ke kamar tidur kaisar terbuka dari dalam. Dua orang thaikam muncul. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, maka mereka membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi. Kaisar pun sudah terjaga dari tidur dan memerintahkan thaikam untuk memeriksa keadaan di luar.

“Para pembunuh menyamar sebagai prajurit pengawal datang menyerang, akan tetapi mereka semua sudah tertangkap!” Keng Han melapor kepada para thaikam dan mereka itu dapat melapor kepada Kaisar.

“Siapa yang menyuruh kalian? Hayo cepat katakan!” bentak Keng Han kepada empat orang penyerbu yang terluka dan sudah diikat kedua tangannya.

Akan tetapi empat orang itu diam saja tidak mau menjawab.

“Katakan kalian dari golongan apa?” tanya lagi Keng Han.

Seorang di antara mereka kini mengangkat muka memandang kepada Keng Han dan menjawab singkat. “Kami anggota Thian-li-pang!”

Keng Han dan Cu In terkejut sekali. Anggota Thian-li-pang? Mereka teringat kepada Han Li yang berada di rumah Pangeran Mahkota. Gadis itu puteri ketua Thian-li-pang!

“Mungkin mereka berbohong. Kita undang Han Li ke sini untuk mengenali mereka,” kata Cu In dan Keng Han menyetujui.

Keadaan kini sudah aman. Tidak mungkin ada pembunuh yang dapat masuk dari luar istana yang sudah dijaga ketat oleh pasukan. Kalau tadi mereka kebobolan adalah karena para penjahat itu menyamar sebagai prajurit-prajurit pengawal istana.

“Benar, sekarang di sini sudah aman. Kita serahkan kepada para prajurit untuk menjaga keamanan selanjutnya dan kita harus cepat pergi ke rumah Pangeran Mahkota. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan,” kata Keng Han.

Keduanya lalu pergi meninggalkan istana. Dari para penjaga di luar istana mereka mendapat kabar bahwa dua orang pembunuh yang lihai dan menyamar sebagai prajurit-prajurit itu telah berhasil lolos. Mereka tidak mempedulikannya lagi. Penjahat-penjahat itu pasti tidak berani masuk kembali ke istana, pikir mereka. Dengan cepat mereka lalu menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.

Di istana ini pun terjadi keributan. Menjelang tengah malam, ada bayangan tiga belas orang memasuki istana lewat pagar tembok belakang taman. Mereka segera ketahuan karena penjagaan sudah diatur dengan ketat dan terjadi pertempuran antara tiga belas orang itu dengan para prajurit.

Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek yang memegang pedang. Banyak prajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi.

Akan tetapi Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga di bagian belakang istana. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam, telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar.

Swat-hai Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.

“Tranggg...!”

Tiba-tiba pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu. Biar pun hanya tongkat bambu, tapi ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan tangannya terasa panas. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian pada penangkisnya. Ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh bila Swat-hai Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang muluk-muluk!” kata Kai-ong Lu Tong Ki.

“Kai-ong, jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan penjajah Mancu?”

“Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!”

Swat-hai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukannya sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit...!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm...!”

Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss...!”

Dua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah, sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar.

Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar, bahkan dapat terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu pula oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para prajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil, sebab ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah). Tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu lantas menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu.

Kwi Hong mengamuk lebih hebat lagi. Dengan pedangnya dia cepat mainkan Ngo-heng Sin-kiam sehingga lawan-lawannya menjadi kerepotan melindungi dirinya dari sambaran pedang yang ampuh itu. Tidak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong.

Han Li memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja. Akan tetapi, walau ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang penjajah, tamparan dan tendangan itu sudah cukup membuat empat orang terpelanting roboh.

Para prajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi korban senjata para prajurit. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li.

“Jangan, Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah.”

Mendengar ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka dibantu apa bila sedang bertanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu.

Akan tetapi sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang dan sinar tongkat.

“Tranggg…!” tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Sesosok tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan, dan yang meloncat itu adalah Swat-hai Lo-kwi. Dari ujung bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya sehingga menderita luka dalam.

“Sekarang aku memang mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas kekalahan ini!” Dan dia pun sudah melompat menjauh, melarikan diri dalam kegelapan malam.

Setelah semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dan dua belas orang itu ada yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang kemudian diberi tahu. Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan Pangeran Tao Kuang.

“Kamu datang dari perkumpulan mana?”

“Dari Thian-li-pang!” jawab orang itu dengan lantang.

“Bohong!” bentak Yo Han Li sambil bergegas menghampiri orang itu. “Kalau engkau dari Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!”

Orang itu hanya memandang kepada Han Li, akan tetapi tidak menjawab.

“Hayo katakan, siapa aku!” kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu.

Orang itu menjadi pucat wajahnya, kemudian menggeleng kepalanya dan menjawab, “Tidak... tidak tahu...”

“Nah, Paman Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggota Thian-li-pang.” Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.

“Bret-bret-bret...!”

Baju bagian dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).

“Dia dari Pat-kwa-pai!” seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu.

Han Li mengangguk. “Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai ada terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa mereka adalah murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang.”

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup.

Pada saat itu muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi Hong, ibunya dan Han Li bersama gurunya, juga melihat banyak tubuh menggeletak berserakan di tempat itu, mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.

“Mereka mengaku dari perkumpulan apa?” tanya Keng Han.

“Ada yang mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu.”

Keng Han dan Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk. “Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku dari Thian-li-pang.”

“Ahh, kita harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang,” kata Han Li. “Aku harus menjadi saksi di sana.”

“Untuk itulah kami datang ke sini. Selain hendak melihat keadaan di sini juga untuk menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang.”

“Baik, mari kita berangkat,” kata Han Li tegas. Gadis ini tentu saja ingin membersihkan nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar serta pangeran itu.

Setelah mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar.

Han Li lalu menghampiri orang itu dan bertanya, “Engkau dari perkumpulan apa?”

Orang itu menjawab tanpa ragu-ragu lagi. “Dari Thian-li-pang!”

Han Li lalu bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. “Kalau engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?”

Orang itu berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan menggeleng kepala sambil berkata, “Saya tidak tahu.”

Han Li memberi hormat kepada Kaisar. “Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong. Kalau dia memang orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba adalah puteri ketua Thian-li-pang.”

Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar berbentuk bunga teratai di dada itu.

“Dia seorang anggota Pek-lian-kauw, Yang Mulia,” kata Han Li.

“Benar, dia anggota Pek-lian-kauw!” kata Cu In.

Sekarang bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah para anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah anggota Pat-kwa-pai! Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Namun di luar istana sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang. Akibatnya, umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai dengan pemberontakannya dan sudah pula mengutus orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Setelah membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolaknya. Mereka keluar dari istana dan waktu itu sudah jauh lewat tengah malam. Mendadak mereka melihat panah api diluncurkan orang di udara.

“Apa itu?” tanya Cu In.

“Panah api! Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai.”

“Mengapa khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu sudah diaturnya dengan baik? Kita lihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam, kita berdua harus turun tangan membantu.”

“Kau benar, Cu In. Walau pun yang menggerakkan semua ini adalah ayah kandungku sendiri, akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andai yang memberontak itu para pejuang bangsa Han, meski pun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku tidak akan membantu siapa-siapa.”

Cu In mengangguk. “Aku setuju sekali dengan pendapatmu, Keng Han. Pemberontakan dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, dan mereka sudah menggunakan tokoh-tokoh sesat serta kumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kalau Thian-li-Pai yang bergerak, tentulah bukan menggunakan cara ini dan di belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran.”

Keduanya lalu berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua tidak beristirahat, melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu yang pasti akan terjadi.

“Kami melihat panah api diluncurkan ke udara,” kata Keng Han setelah mereka berdua menghadap sang pangeran.

“Kami juga sudah mengetahuinya. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di luar kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciangkun. Dia telah mengetahui semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik yang di dalam kota raja mau pun yang berada di luar.”

Cu In amat kaget mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The Ciangkun. ”Apakah yang dimaksudkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?” tanya Cu In.

“Benar,” jawab Pangeran Tao Kuang. “Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?”

“Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran,” kata Cu In.

“Bagus, kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh.”

“Baik,” kata Keng Han dan Cu In. Mereka lalu keluar dari istana itu.

“Cu In, benarkah engkau mengenal Panglima The itu?”

“Tentu saja mengenalnya. Dia itu ayah kandungku,” kata Cu In terus terang.

“Ehhh...?”

Keng Han menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu.

“Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh, dan engkau mencari musuh itu?”

“Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!”

Mereka berlari ke tempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The.

Sementara itu, tempat persembunyian pasukan inti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan oleh para penyelidik. Dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu segera bertindak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang. “Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat. Lebih baik engkau menyerahlah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para prajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!”

Mendengar seruan ini, banyak prajurit pasukan yang berlari keluar dari benteng tanpa membawa senjata sambil mengacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan.

Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan, dengan nekat terus memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya, juga para anak buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The.

Cu In dan Keng Han melihat ini, tetapi mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglima Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton, tidak membantu ayah kandungnya. Memang Panglima The tidak perlu dibantu sebab belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.

Seorang pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak dan berseru. “Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!”

Mendengar dan melihat ini, para prajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama. Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah. Walau pun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, tetapi karena dikeroyok banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk melarikan diri!

Demikianlah watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu melarikan diri.

Gulam Sang mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu. Liong Siok Hwa yang datang bersama Gulam Sang itu, diterima oleh para tokoh Bu-tong-pai dengan hormat. Bahkan setelah Thian It Tosu keluar dari tempat pertapaannya, dia mengumumkan kepada para anggota bahwa mulai hari itu juga, Liong Siok Hwa diterima menjadi muridnya. Sebagai murid Thian It Tosu, tentu saja Siok Hwa boleh tinggal di perkampungan Bu-tong-pai sesuka hatinya.

Beberapa hari kemudian Bu-tong-pai kedatangan banyak tamu, antara lain Ji Wan-gwe, Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Lam-hai Koai-jin dan masih banyak orang lagi. Mereka semua adalah pelarian, setelah kalah dan gagal dalam usaha mereka menyerbu istana dan membunuh kaisar serta putera mahkota.

Thian It Tosu menerima mereka dengan senang hati dan mereka menjadi tamu-tamu kehormatan Bu-tong-pai. Mereka semua pergi ke Bu-tong-pai dan berkumpul di sana dengan tujuan untuk menyembunyikan diri dan agar dapat mengadakan pertemuan dan berunding. Dalam perundingan mereka, Ji Wangwe atau Pangeran Tao Seng menyesalkan para pembantunya yang ternyata sama sekali gagal dalam tugas mereka.

“Akan tetapi semua kegagalan itu bukan kesalahan kami, melainkan karena rahasia kita telah bocor dan pihak musuh mengetahui akan semua rencana kita. Aku yakin bahwa yang mengkhianati kita adalah Tao Keng Han!”

Tung-hai Lo-mo mengangguk dan berkata, “Memang benar. Kalau tidak ada pemuda itu tentu kami telah berhasil membunuh Kaisar! Pemuda itu telah mengkhianati Pangeran, ayahnya sendiri.”

Pangeran Tao Seng mengepal tinjunya. “Jika tahu akan begini jadinya, sudah kubunuh dia ketika dulu dia tertawan!”

“Tidak ada gunanya Ayah marah-marah. Kita masih mempunyai rencana kedua. Kalau rencana ini berhasil, keadaan kita menjadi semakin kuat sehingga kita akan mampu mengobarkan pemberontakan.”

“Hemmm, rencana apakah itu, Kongcu?” tanya Swat-hai Lo-kwi dan para tokoh lainnya yang juga ingin mengetahuinya.

“Begini,” kata Pangeran Tao Seng. “Bu-tong-pai telah sepenuhnya kita kuasai. Dengan membonceng kepada nama Bu-tong-pai, kita dapat mengumumkan bahwa Bu-tong-pai mengadakan pemilihan bengcu (pemimpin rakyat) baru. Tentu saja harus kita usahakan agar Gulam Sang yang akan menang dan menjadi bengcu baru. Nah, kalau kedudukan bengcu sudah di tangan kita, kiranya akan mudah bagi kita untuk menggerakkan semua orang di dunia kang-ouw untuk mulai dengan gerakan pemberontakan yang besar.”

“Pikiran yang sangat bagus! Akan tetapi bagaimana dengan bengcu yang sekarang?” tanya Tung-hai Lo-mo.

“Dalam pemilihan bengcu pada sepuluh tahun yang lalu, sebagian besar orang memilih Pendekar Tangan Sakti Yo Han yang kini menjadi ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia tak bersedia menjadi ketua. Maka pilihan lalu dijatuhkan kepada Bhe Seng Kok, seorang pendekar Siauw-lim-pai. Nah, kalau kita hendak merampas kedudukan bengcu, terlebih dahulu kita harus singkirkan Bhe Seng Kok ini. Kalau bengcu yang lama sudah tewas, tentu harus diadakan pemilihan bengcu baru. Dan Bu-tong-pai yang akan mempelopori pemilihan itu,” kata Gulam Sang.

Semua orang memandang pemuda Tibet ini dengan kagum. Dia agaknya tahu akan segala peristiwa di dunia persilatan.

“Akan tetapi siapa yang akan menyingkirkan ketua Bhe Seng Kok? Aku pun mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu tangguh sekali!”

“Aku yang akan melakukannya, dengan bantuan Tung-hai Lo-mo. Apa bila kita berdua yang menghadapinya, aku tanggung dia akan tewas!” kata pula Gulam Sang.

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya. “Murid Siauw-lim-pai? Ahhh, kalau sampai Siauw-lim-pai mengetahuinya dan memusuhi kita, akan celakalah. Kekuatan mereka besar sekali dan nama mereka sudah terkenal sehingga lain-lain aliran tentu akan berpihak kepada Siauw-lim-pai.”

“Harap Paduka tidak khawatir. Pembunuhan itu harus dilakukan dengan menggelap dan menyamar sehingga kalau pun ada yang melihatnya mereka tentu tidak akan mengenal kami. Kami membunuh dengan alasan sebagai balas dendam musuh lama. Sebagai seorang pendekar, kalau sampai Bhe Seng Kok tewas terbunuh oleh orang-orang yang mendendam, tentu tidak mengherankan semua orang dan hal itu wajar saja terjadi,” demikian kata Gulam Sang.

Mendengar ini, Pangeran Tao Seng menjadi lega hatinya dan dia menyerahkan saja urusan itu kepada anak angkatnya yang sudah dipercaya sepenuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Gulam Sang masih setia kepadanya, padahal perebutan tahta telah gagal, hal ini adalah disebabkan Gulam Sang masih membutuhkan harta kekayaannya untuk membiayai rencananya.

Setelah selesai perundingan itu, Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin berpamit untuk pulang ke tempat masing-masing dengan janji bahwa kelak pada pemilihan bengcu mereka pasti akan hadir dan siap membantu Gulam Sang. Tung-hai Lo-mo tinggal di situ untuk membantu Gulam Sang….
cerita silat karya kho ping hoo

Keng Han meninggalkan istana dan kota raja bersama Cu In. Biar pun tidak berjanji keduanya ternyata melakukan perjalanan bersama. Setelah mereka berada jauh dari kota raja, Keng Han menunda langkahnya dan berhenti. Melihat ini Cu In juga berhenti melangkah. Keduanya saling pandang. Keng Han lalu bertanya, dalam suaranya mengandung kekhawatiran kalau-kalau gadis itu akan meninggalkan dia lagi.

“Cu In, ke manakah tujuan perjalananmu kali ini?”

Cu In tidak menjawab, hanya menengok ke depan dan kanan kiri seperti orang mencari jawabannya dari pohon-pohon dan sawah ladang yang berada di kanan kirinya.

“Dan engkau sendiri, Keng Han. Engkau hendak ke manakah?” akhirnya dia bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

Keng Han menghela napas panjang. “Tujuan perjalananku meninggalkan Khitan adalah untuk mencari ayah kandungku, kemudian mengajaknya pulang ke Khitan karena ibu amat merindukannya. Tapi kenyataannya, ayahku seorang ambisius yang memberontak dan melakukan perbuatan jahat dengan usaha pembunuhan-pembunuhan itu. Bahkan sekarang ayah telah menjadi seorang pelarian dan buruan pemerintah, dan aku tidak tahu dia berada di mana. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, dan aku akan mengikuti saja ke mana engkau pergi, Cu In.”

Gadis itu menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Keng Han juga mengambil tempat duduk di depannya.

“Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi,” kata Cu In.

“Cu In, bukankah engkau mempunyai ayah dan ibu? Engkau berjanji akan menceritakan kepadaku tentang pengalamanmu. Dulu engkau mengatakan bahwa engkau yatim piatu dan engkau hendak membalas dendam kepada pembunuh orang tuamu. Akan tetapi kemudian engkau mengatakan bahwa engkau sudah bertemu dengan ayah bundamu. Bagaimanakah ini?”

Cu In menghela napas panjang lagi. Kalau bukan kepada Keng Han, dia pasti segan menceritakan persoalan ayah ibunya. Akan tetapi ia amat tertarik dan percaya kepada Keng Han, maka ia merasa tidak tega untuk berbohong.

“Sejak kecil sekali aku dipelihara subo (ibu guru) dan subo selalu mengatakan bahwa ayah ibuku telah dibunuh orang. Setelah aku dewasa, subo mengatakan padaku bahwa pembunuh ayah bundaku adalah The Sun Tek yang tinggal di kota raja.”

“Ahhh...!” Keng Han berseru heran. “Kau maksudkan The Ciangkun yang memimpin pembasmian pemberontak itu?”

“Benar, dialah orangnya. Aku dapat mencarinya di kota raja dan aku sudah siap untuk membunuhnya, akan tetapi The Ciangkun menceritakan tentang hubungannya dengan Ang Hwa Nio-nio. Ternyata bahwa subo-ku adalah bekas kekasih The Sun Tek, dan bahwa aku adalah puteri mereka berdua! Muncul guruku atau ibuku yang memaksa aku harus membunuh The Sun Tek. Karena aku sudah tahu bahwa aku anak The Ciangkun, maka aku tidak mau melakukannya. Subo marah dan hendak membunuhku, akan tetapi dicegah ayahku. Hatiku demikian sakit rasanya. Kiranya ibuku mendendam sedemikian hebatnya kepada ayahku sehingga dia mendidik aku sebagai muridnya hanya dengan maksud supaya sesudah dewasa aku akan membunuh ayahku sendiri! Pembalasan dendam yang amat keji. Karena hatiku sakit, aku lalu meninggalkan mereka.”

Keng Han mendengarkan dengan penuh perhatian, menghela napas dan berulang kali menggeleng kepalanya. “Dan bagaimana engkau dapat terlibat dalam keluarga Putera Mahkota?”

“Aku bertemu dengan adik Yo Han Li yang sekereta dengan Kwi Hong. Ia memanggilku dan mereka membujuk aku agar suka berkunjung ke rumah Kwi Hong. Demikianlah, maka aku berada di sana ketika engkau hendak membunuh Pangeran Mahkota.”

Kembali Keng Han menghela napas. “Nasib kita hampir sama, Cu In. Engkau disuruh membunuh ayahmu oleh ibumu sendiri, dan aku hampir saja membunuh pangeran yang tak bersalah. Engkau mendapat kenyataan betapa kejam ibumu, dan aku pun mendapat kenyataan betapa kejam ayahku. Hemm, sekarang aku mulai mengerti kenapa Bi-kiam Niocu begitu membenci pria dan kalau ada pria mencintanya harus dibunuhnya. Tentu engkau pun demikian, bukan?”

“Memang subo-ku atau ibuku selalu mendidik kami berdua agar membenci kaum pria. Dikatakannya bahwa laki-laki itu semua palsu dan pembohong, tukang bujuk rayu yang berbahaya, maka kami diharuskan menjauhkan diri dari laki-laki dan kalau ada laki-laki yang menggoda, harus cepat dibunuh! Akan tetapi semenjak aku... bertemu denganmu, pandanganku sudah berubah. Seperti juga wanita, laki-laki itu ada yang jahat dan ada yang baik. Apa lagi setelah aku mengetahui mengapa ibu demikian membenci pria, aku tahu bahwa sebabnya hanya karena ia sakit hati dan dendam kepada seorang pria.”

“Akan tetapi, bagaimana ibumu dahulu sampai berpisah dari The Ciangkun?”

“Ayah dilarang orang tuanya mengambil ibuku yang seorang wanita kang-ouw sebagai isteri, dan dia sudah ditunangkan dengan wanita lain, seorang gadis bangsawan. Ayah membujuk ibu agar suka menjadi selir, akan tetapi ibu tidak mau dan mereka berpisah ketika ibuku sudah mengandung aku tiga bulan.”

Keng Han merasa terharu dan ikut bersedih akan nasib gadis ini.

“Ahh, sekarang aku mengerti pula mengapa engkau menutupi mukamu dengan cadar. Tentu agar tidak terlihat oleh pria sehingga tidak ada yang melihat dan menggodamu sehingga engkau akan terpaksa membunuhnya.”

Cu In mengangguk membenarkan. Pada saat itu pula terdengar seruan orang, “Cu In...! Engkau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, kiranya engkau berada di sini. Sungguh aku girang sekali bisa menemukan anakku di sini!”

Keng Han dan Cu In menoleh dan ternyata yang mengeluarkan ucapan itu bukan lain adalah Panglima The Sun Tek! Cu In bangkit berdiri dan Keng Han juga bangkit berdiri.

“Engkau tentu pemuda yang bernama Tao Keng Han. Aku sudah mendengar banyak tentang dirimu dan aku kagum sekali, orang muda.”

Keng Han cepat-cepat memberi hormat pula. “Sebaliknya saya pun mendengar bahwa berkat pimpinan Paman maka para pemberontak dapat diruntuhkan.”

“Dan ada urusan apakah engkau mencariku, Ciangkun?” tanya Cu In, suaranya dingin.

“Ah, Cu In. Engkau adalah puteriku. Aku ayah kandungmu! Tentu saja aku mencarimu.”

“Ibuku sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya, maka ayahku juga sebaiknya demikian. Biarlah aku menganggap diriku ini tidak memiliki ayah dan ibu lagi...” Dalam suaranya terkandung isak tangis.

“Cu In, harap engkau jangan berpendirian seperti itu. Ayahmu adalah seorang yang terhormat, gagah dan terpandang. Dan dia pun sudah bersusah payah mencarimu. Aku sendiri, kalau saja ayahku bersikap sebaik ayahmu, tentu akan menyambutnya dengan bahagia sekali,” kata Keng Han membujuk.

“Akan tetapi apa artinya seorang ayah bagiku, bila tanpa seorang ibu? Ibuku memusuhi ayah, apakah aku harus mengkhianati ibuku?” Pertanyaan Cu In ini ditujukan kepada ayahnya.

“Cu In, ketahuilah bahwa ibumu bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, tapi dengan satu syarat bahwa aku harus dapat mengajakmu pulang menemuinya. Karena itu, demi kebahagiaan kita, marilah kita pergi mengunjungi ibumu di Beng-san.”

“Ahh, itu bagus sekali! Aku ikut merasa girang, Cu In. Aku mau menemanimu ke sana.”

“Sebaiknya kita semua ke sana,” kata The Sun Tek. “Kai-ong dan muridnya juga sudah berangkat. Ketahuilah bahwa Bu-tong-pai mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke sana untuk mengadakan pemilihan bengcu baru.”

“Bengcu baru?” tanya Keng Han heran. “Lalu ke mana perginya bengcu yang lama?”

“Entahlah, itu pun menjadi pertanyaan di dalam hatiku. Beng-san tidak terlalu jauh dari Bu-tong-san. Setelah aku dapat memboyong isteriku, kita semua dapat singgah pula di Bu-tong-san untuk menghadiri pertemuan besar itu. Di sana tentu akan dapat terjawab mengapa diadakan pemilihan bengcu baru dan ke mana perginya bengcu yang lama. Bukankah yang menjadi bengcu adalah Bhe Seng Kok, tokoh Siauw-lim-pai?”

“Benar, Paman. Saya pun pernah mendengar bahwa bengcu yang sekarang bernama Bhe Seng Kok.”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat, Cu In. Kita mengunjungi ibumu dan aku akan memboyongnya ke kota raja. Dari sana kita sekalian pergi ke Bu-tong-pai untuk melihat pemilihan bengcu baru.”

Akhirnya, setelah dibujuk oleh Keng Han, Cu In mau juga pergi bersama ayahnya dan Keng Han. Mereka bertiga lalu melakukan perjalanan ke Beng-san dan Cu In menjadi penunjuk jalan. Selama dalam perjalanan ini, The Sun Tek mengerti dari sikap dan kata-kata Keng Han dan Cu In bahwa kedua orang muda ini saling menaruh hati! Akan tetapi dia diam-diam merasa girang karena diketahuinya bahwa Keng Han seorang pemuda yang baik sekali, walau pun dia itu putera Pangeran Tao Seng yang memberontak.


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 18