Pusaka Pulau Es Bagian 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pusaka Pulau Es Bagian 15

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 15

Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah dia meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata ayah bundanya masih hidup! Ia bukan anak yatim piatu. Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain.

Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.

Sebuah kereta meluncur berpapasan dengan Cu In. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.

“Enci Cu In...! Enci Cu In...!”

Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan dia segera dapat mengenali gadis yang memanggil dirinya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu beserta gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya.

Dan dia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa dia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah! Biar pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In. Maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya, ia pun segera menghampiri kereta itu.

Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti oleh seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.

“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, dia adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.”

Mendengar bahwa gadis itu adalah puterinya Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.

“Aku sudah mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilakan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”

“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.

Biar pun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja.

“Enci Cu In, apakah angkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.

“Ahh, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.

“Cadarmu itu meningatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kulihat,” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In. Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu.

Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya dianggap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar semenjak menjadi gadis remaja. Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta padanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh!

Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria yang jatuh cinta kepadanya, maka ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti suci-nya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Dan ketika teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya!

Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya akibat hatinya pernah disakiti oleh seorang laki-laki. Selama ini dia tidak pernah merasa benci terhadap laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik.

Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan suci-nya, ketika suci-nya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Setelah mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta suci-nya, sudah cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah suci-nya membunuh Keng Han.

Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam goa, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu. Namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanamkan oleh gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat.

Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur. Ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!

“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya. Han Li melihat betapa pandang mata Cu In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.

Cu In tersentak kaget dan baru sadar. Ia teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Ah, cadarku ini... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu...,” jawabnya terpaksa sekali.

“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, tetapi malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.

“Aku... sama sekali tidak cantik, aku... mukaku buruk sekali...,” berkata Cu In dengan terpatah-patah.

Melihat sikap yang gugup dari Cu In, Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu segera berkata, “Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tak akan memaksa dirimu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”

Kwi Hong juga seorang gadis yang meski pun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata, “Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, meski aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”

“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya,” kata Cu In.

Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang datang memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kai-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi putera mahkota itu.

Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biar pun dia hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.

Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.

“Itu ayah datang!” kata Kwi Hong.

Mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak. Ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa bahwa kedatangannya hanya mengganggu saja.

“Hai, bukankah itu nona Souw?” Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama-sama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buahnya.

“Ayah, ini nona Souw Cu In yang saya undang untuk berkunjung ke mari. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”

“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong,” kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.

Cu In bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang. “Harap Paduka suka memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu,” katanya lembut.

“Ahh sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami pun mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami karena malam nanti kami akan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”

“Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.

“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.

"Kali ini engkau tidak boleh menolak, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.

Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya. “Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”

Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan di dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang dipesiapkan untuk Cu In tinggal semalam itu.

Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bunga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan di dalam taman.

Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorang tokoh kang-ouw. Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah.

Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka pun mulai diayani para pelayan yang menghidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.

Karena sudah terbiasa, maka dia tidak canggung ketika makan, walau pun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang. Cadarnya ikut bergerak-gerak saat mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.

Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, dan tahu-tahu tidak jauh dari sana berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok yang terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.

“Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.

Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang. Pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.

Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun. Melihat serangan mendadak ini, maka dia pun cepat-cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.

“Tranggg...!”

Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang tadi digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.

Ketika serangan pertamanya gagal, Keng Han terpaksa melompati meja. Ia juga merasa terkejut sekali ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakaian pengemis!

Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum.

Baru sekarang dia sempat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.

“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!” Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.

Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biar pun tidak begitu lama, meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberi tahukan alasannya yang kuat?

“Dulu Pangeran Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”

“Keterangan itu bohong!” Mendadak Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dan dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selusin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”

“Aku tidak percaya…!” suara Keng Han sangat lantang, nyaris seperti berteriak.

“Anak muda…” Kai-ong ikut bicara. “Apa alasanmu tidak mempercayai keterangan Tao Toanio tadi?”

“Aku telah mendengar keterangan yang berbeda!” jawab Keng Han, masih dengan nada keras.

“Aha!” Kai-ong kembali bicara. “Jadi ada dua keterangan berlainan yang sudah engkau dengar. Kalau engkau hanya percaya kepada salah satu pihak tanpa mau mendengar pihak lain, itu berarti engkau tidak mau mencari kebenaran, melainkan berpihak dengan dasar penilaianmu sendiri, anak muda.”

Kwi Hong merasa kecewa bahwa keterangan ibunya tidak dipercaya, karena itu ia lalu berkata, “Han-ko, ibuku tidak pernah berbohong, dan kali ini pun ia berkata jujur.”

Sejak tadi Cu In diam tak bergerak, akan tetapi otaknya bekerja keras. Dia memikirkan beberapa hal yang dialaminya sendiri, juga yang sudah dijalaninya bersama Keng Han. Entah apa sebabnya, dalam hatinya ada perasaan aneh terhadap pemuda yang menjadi murid keponakannya itu. Dia tidak ingin melihat pemuda itu celaka!

Sekarang di tempat ini terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Ada Kai-ong Lu Tong Ki yang tadi jelas sudah menangkis pedang bengkok Keng Han untuk melindungi Pangeran Mahkota. Bersama raja pengemis ini hadir pula muridnya, yang juga adalah puterinya Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau merah, yang kepandaiaannya sudah pernah dilihatnya begitu lihai.

Melawan dua orang ini saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk mendapat kemenangan. Apa lagi di situ masih ada Tao Kwi Hong yang memiliki ilmu silat aneh, juga Liang Siok Cu, ibu dara itu yang merupakan puteri Sin-tung Koai-jin Liang Cun, seorang datuk yang memiliki kepandaian tinggi pula.

Sukar bagi Cu In membayangkan murid keponakannya bisa lolos dari empat orang ini, belum lagi jika diingat adanya puluhan orang pasukan penjaga gedung ini yang tentu akan ikut mengepung dan menyerbu pemuda itu. Nasib Keng Han lebih banyak celaka dari pada selamat!

Selain itu, tiba-tiba dia teringat kepada Ang Hwa Nio-nio. Gurunya ini, yang kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, juga pernah memberi keterangan yang salah, menanamkan kebencian terhadap ayah kandungnya, bahkan menyuruhnya membunuh ayahnya sendiri.

Untung pada saat terakhir dia dapat menyadari bahwa semua yang telah didengarnya adalah kebohongan belaka, sebelum terlanjur ia melakukan tindakan yang keliru. Maka, ia pun tidak ingin Keng Han terlanjur melakukan kesalahan karena pernah mendengar keterangan yang tidak benar.

Sementara itu hati Keng Han sedang diliputi oleh kemarahan setinggi langit dan dendam sedalam lautan. Pandangannya seperti dibutakan oleh rasa penasaran. Sekian lama waktu telah dilaluinya serta sekian jauh jarak telah ditempuhnya, dan akhirnya ia hanya menerima keterangan bahwa ayahnya yang bersalah, bahkan sudah tewas pula!

“Aku tetap akan membunuh Pangeran Tao Kuang, apa pun kata kalian. Siapa pun yang menghalangiku, akan kubunuh juga,” katanya. Mata pemuda ini menyorot bengis, penuh nafsu membunuh.

Dengan pedang bengkok yang terhunus, Keng Han melangkah maju ke arah Pangeran Tao Kuang yang berdiri di belakang tiga orang yang melindunginya, yaitu Liang Siok Cu, Kwi Hong dan Kai-ong Lu Tong Ki. Akan tetapi, baru dua tindak dia melangkah, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Cu In sudah berdiri di hadapannya, menghalangi dia untuk melangkah lebih jauh.

Walau pun Keng Han tadi sudah sempat melihat keberadaan Cu In di tempat ini, tak urung ia terkejut bukan main melihat bibi gurunya telah berdiri di depannya, seolah-olah hendak menentangnya pula. Sebelum ia sempat bicara, gadis berpakaian putih ini telah mendahuluinya.

“Keng Han, cepatlah engkau pergi dari sini. Jangan melakukan perbuatan bodoh yang kelak akan kau sesali,” Cu In langsung memperingatkan pemuda itu. Kata-kata yang dia ucapkan ini setengah ditujukan kepada Keng Han, separuh lagi bagi dirinya sendiri.

“Su-i, kau… kau…” suara pemuda itu tergagap saking bingungnya.

“Keng Han, pergilah…” kembali Cu In memperingatkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut dan halus, nyaris seperti bisikan lirih.

Keng Han merasa sudah kepalang basah, karena itu dengan nekat dia berkata, “Su-i, aku tetap harus membunuh Pangeran Mahkota.”

“Aku melarangmu, Keng Han. Jika engkau tetap hendak berbuat nekat, maka engkau harus melawanku!” kali ini Cu In berkata dengan nada tegas.

Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur. “Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng.”

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini? Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan hanya tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup dan dalam keadaan segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe.“

Keng Han yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup. “Tidak... tidak… tidak benar...!”

“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan Ji itu? Dia bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda?” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya sudah dibohongi dan dipermainkan orang.

Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya.

Kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.

“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.

"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengan seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau ini puteranya! Akan tetapi aku jelaskan bahwa engkau sudah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”

Melihat semua orang kini berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana jika semua keterangan ini benar?

Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang berdiri di dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sulit baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula, dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan Pangeran itu bahwa ayahnyalah yang jahat!

Dan hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahwa ayah kandungnya sendiri menipunya supaya dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa sangat kecewa dan menyesal sekali.

“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.

“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran, bukan karena mendengar omongan orang!” Kai-ong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ.

Pangeran Tao kuang menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang kini menjadi mata gelap setelah mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”

“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong.

Tidak ada seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong! Tadi, pada saat mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ahh, betapa ia sudah tergila-gila dan amat mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!

“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya,” kata Pangeran Tao Kuang. ”Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”

“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han, ayah enci Han Li ini, dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”

“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beri tahukan aku dan Ibumu?”

"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberi tahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”

“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi hanya karena ia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur orang untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”

“Mungkin dia jeri melihat kehadiran kita semua,” kata Han Li.

“Ahh, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”

“Aihhh..., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia memang murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.

“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-iIlmu Pulau Es, dan Keng Han juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia telah menjadi murid suci-ku. Dia pernah bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”

“Pulau Hantu? Tapi ibu yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”

“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han adalah seorang yang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”

“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.

Tidak ada seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!

Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang lalu mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa amat khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.

Cu In juga berpamitan kepada Kwi Hong. “Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimana pun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam di sini. Aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”

Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah dijaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja.

Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah. Ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya…..

*********

Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang sebesar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi ia tidak tahu di mana rumah Hartawan Ji. Tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.

Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah betul Pangeran Tao Seng difitnah oleh Pangeran Tao Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang?

Juga ayah kandungnya itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu akan pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu mengenai kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.

Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka.

“Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin menghadap dan bicara dengannya.”

Para penjaga itu terheran-heran melihat ada seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima. Akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun.

Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan akan mengusir Cu In.

“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”

Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu. Akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.

“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.

“Tapi, Ayah. Jangan-jangan ia akan menyerang Ayah...” kata The Kong khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.

“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”

Tidak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In.

“Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan denganku. Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”

Cu In duduk di atas bangku, berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu dia bertanya, suaranya terdengar masih dingin, “Mengapa engkau hendak mencariku?”

Biar pun ia sudah tahu bahwa pria ini adalah ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.

“Mengapa, Cu In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Lagi pula ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah padanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”

“Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.

Cu In menghela napas panjang. “Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”

“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya The-ciangkun heran.

“Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng dijatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”

“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”

“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”

“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun bersama puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan oleh Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”

Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang sudah diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.

“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”

The-ciangkun menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Tak ada yang membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang ia masih hidup!”

“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji di kota raja ini?”

The-ciangkun membelalakkan matanya. “Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”

“Di mana rumahnya?”

“Rumahnya amat mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”

Cu In bangkit berdiri. “Terima kasih atas segala keterangan ini. Maaf, aku harus pergi sekarang.”

The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri. “Ehhh, Cu In, engkau akan pergi ke mana? Tinggallah saja di sini dan kalau engkau ada urusan, beri tahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”

Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya. “Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri tanpa bantuan siapa pun.”

“Tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”

“Benar, enci Cu In. Atau, jika engkau tidak mau tinggal di sini dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.

“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”

“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau tadi bertanya-tanya mengenai Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, aku harap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng adalah seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biar pun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”

“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!” Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu.

Ayah dan anak itu terus mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Melihat gadis itu keluar diantar langsung oleh The-ciangkun sendiri, para penjaga diam saja tidak berani mengganggunya…..

**********

Hati Keng Han bimbang dan ragu, tegang dan penasaran. Baru saja dia mendengar cerita yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Hartawan Ji! Haruskah dia mempercayai semua keterangan Pangeran Tao Kuang?

Akan tetapi setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa pula dia harus percaya kepada keterangan Hartawan Ji?

Lalu dia teringat bahwa Hartawan Ji, menurut Gulam Sang, adalah sekutu pemuda Tibet itu. Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja apa bila Hartawan Ji menghasut dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apa lagi kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya sangat mendendam kepada Pangeran Tao Kuang.

Akan tetapi kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya! Kenapa harus berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya.

Sepatutnya Pangeran Tao Seng tak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andai kata dia berkeras hendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.

Dengan hati kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan sebelah dalam, ia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama seorang pemuda yang telah dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram.

Gadis itu bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang sudah dikuasai oleh Gulam Sang, dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk Liong Siok Hwa pergi meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan Ji di kota raja.

Kedatangannya disambut hangat oleh Hartawan Ji yang langsung menceritakan tentang kunjungan Keng Han. Dia juga menceritakan mengenai siasatnya menyuruh Keng Han membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.

Mendengar cerita ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji, kemudian dia sendiri segera keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan mengintai ketika Keng Han datang.

Ia melihat apa yang terjadi, mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han membunuh Pangeran Mahkota.

Di rumah Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah itu, siap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Ketiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding bersama Gulam Sang.

“Kenapa mesti repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang rendah pemuda yang dibicarakan.

Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata, “Lam-hai Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan dapat menundukkannya.”

“Sebaiknya diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu adalah ayah kandungnya, dia akan menaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat merobohkannya dengan sihir. Jika semua itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi Locianpwe muncul dan membantu kami.”

“Bagus! Kita atur seperti yang direncakan oleh Gulam Sang,” jawab Ji Wan-gwe dengan girang.

Meski pun Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan benar-benar telah membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil tidak pernah dikenalnya itu.

Kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan oleh setiap orang. Kekuasaan akan menjamin kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan sebab sekali orang memegang kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan bisa tercapai. Dan untuk mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tak segan menggunakan segala macam cara.

Seperti Pangeran Tao Seng itu, atau yang sekarang memakai nama Ji Wan-gwe. Demi mencapai cita-citanya mendapatkan kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya.

Demikianlah, ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya. Dia tidak takut dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu menjadi terkejut.

Akan tetapi Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata, “Ah, kiranya engkau sudah kembali, Tao kongcu? Silakan duduk!”

Keng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.

“Kongcu tentu belum makan juga. Mari silakan makan minum bersama kami sebelum kita bicara.”

Akan tetapi Keng Han tidak menjawab, hanya matanya memandang kepada Hartawan Ji dengan tajam dan penuh selidik. Hartawan Ji menuangkan secawan arak, kemudian memberikan kepada Keng Han.

“Ahh, lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai penghormatan kami. Silakan, Kongcu!”

Bagaimana pun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, juga baginya persoalannya belum jelas siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang. Keng Han mengangkat cawan dan minum isinya sampai habis. Melihat ini, mata Gulam Sang mencorong serta mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.

Kini dia menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Nah, bagaimana dengan usahamu, Kongcu? Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu itu?”

“Tidak. Akan tetapi kini aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka menjawabnya dengan terus terang,” kata Keng Han, matanya tidak berkedip menatap wajah Pangeran Tao Seng sehingga pangeran itu menjadi resah juga.

“Tentu saja. Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”

“Bila aku katakan bahwa Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng, benarkah dugaanku ini? Engkau adalah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi Hartawan Ji! Nah, jawab sejujurnya, benarkah demikian?”

Tao Seng atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah diberi tahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari Pangeran Tao Kuang. Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar hal ini dan bertanya dengan suara heran.

“Ehh, sebetulnya hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Tao Kongcu?”

“Sudahlah, tak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangeran Tao Seng, berarti engkau adalah ayah kandungku! Juga aku pun sudah mendengar bahwa engkau sama sekali tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”

“Benar, akan tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”

“Ketika aku datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasutku supaya aku membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu. Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini jahat. Aku malu mempunyai ayah sepertimu!”

“Keng Han, engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau anak kandungku, maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua, mengapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera mahkota? Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil? Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera. Mahkota. Akan tetapi usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua puluh tahun!”

Keng Han diam saja. Walau pun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, akan tetapi kalau mengingat penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.

“Nah, setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Jika mereka berdua tewas, sebagai pangeran tertua aku berhak atas tahta kerajaan! Dan kemudian aku mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu, melainkan menghasutmu supaya engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya. Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”

“Hemmm, setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.

“Sudahlah, Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”

“Tidak! Aku tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam urusan itu!”

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah bengis. “Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”

“Aku minta kepadamu supaya engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu teringat kepadamu dan engkau tidak mempedulikannya sama sekali!”

“Bodoh kau! Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao Seng.

“Aku tidak menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau sekarang juga ikut denganku ke Khitan menemui ibu!”

“Kalau aku tidak mau?”

“Akan kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.

Tiba-tiba Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkat dan sikap menantang. “Enak saja engkau bicara, Keng Han! Engkau hendak memaksa ayahku begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”

Keng Han tercengang. “Ayahmu...?”

“Ya, aku adalah anak angkat dari Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan berbakti padanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka karena hendak memaksa ayahnya sendiri seperti itu!”

“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak Gulam Sang dengan tangan kanannya.

Dorongan itu mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun membalas sambil mencabut pedangnya. Hebat dan luar biasa dahsyat serangan Gulam Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han.

Keng Han mengelak mundur. Karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu mencabut pedang bengkoknya, kemudian segera menangkis ketika pedang Gulam Sang menyambar lagi ke arah lehernya.

"Trang... trang...!”

Dua kali pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan Gulam Sang tergetar hebat. Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu...


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 16