Pusaka Pulau Es Bagian 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 08

PEGUNUNGAN Bu-tong-san merupakan pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Semenjak dahulu Bu-tong-pai memiliki pendekar-pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati oleh semua perguruan lain dan juga para pendekar.

Biasanya, Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti seorang hartawan. Ada yang sikapnya lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan.

Undangan yang, dilakukan oleh Butong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tong-pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang sangat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekali pun, hanya karena mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw, banyak pula yang turut datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh pihak Bu-tong-pai tentulah para jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja.

Ketika itu yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Ada pun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang dahulu pernah datang berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan.

Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tong-pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan. Dia tak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya.

Seperti para tamu lainnya, Yo Han juga disambut oleh dua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda.

Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya sehingga terjadilah pertemuan dalam suasana yang cukup menggembirakan di antara mereka.

Anehnya, Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada orang yang menanyakan kepada Thian Yang Cu, atau Bhok Im Cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang semedhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu.

Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul. Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit.

Thian It Tosu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada para tamu dan berkata dengan suara parau, “Harap Cu-wi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak.”

Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah disiapkan. Thian Yang Cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir.

“Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu mendadak menderita sakit batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.”

Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapa pun lihainya seseorang, apa lagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit. Dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu meski pun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.

“Seperti yang Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan diri untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kaisar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah oleh penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!”

Ketika Thian Yang Cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena mereka masing-masing saling berbicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian Yang Cu, membisikkan sesuatu. Thian Yang Cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya sudah tiba tentu akan diberi tahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap menyiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar.”

Mendadak terdengar suara lembut. “Omitohud...!”

Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai.

“Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul dari Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biar pun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan.”

Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali. Seperti tadi, mereka semua lantas saling bicara sendiri dengan gaduhnya.

Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi sudah merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan lain-lainnya, juga sudah bangkit berdiri. Suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.

“Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!”

Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakan Yo Han untuk bicara.

“Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong-pai ialah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah meski sekarang belum tiba saatnya, melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini amat tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang tapi sebenarnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!”

Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian Yang Cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara, “Yo-pangcu dari Thian-li-pang harus suka bicara terus terang. Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap dijelaskan siapa yang dianggap golongan sesat supaya persoalan menjadi terang.”

Karena ditantang untuk berterus terang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah, “Perlukah hal itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang turut hadir di sini. Dan mengenai perkumpulan golongan sesat, siapa belum tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Bagaimana pun juga, kami tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!”

Sekarang Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata, “Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri yang mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan pihak kita masih terpecah belah. Mengapa kita tak mengajak dua perkumpulan itu turut berjuang? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!”

“Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu. Selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Semua orang akan menyangka kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka!” kata Yo Han dengan lantang pula.

Dari pihak Pek-lian-pai muncul Thian Yang Ji, seorang tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak,

“Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek-lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian-li-pang. Kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang.”

“Benar, Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang!” terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang.

Yo Han tersenyum mengejek. “Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak semauku sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!”

Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau, “Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan serta perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan mana pun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Semu pihak yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.”

Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhan ketua itu dengan mendiang gurunya, Gosang Lama, seperti yang sudah dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang.

Pada waktu dia menoleh, dia terbelalak heran, juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya.

“Hong-moi, kau di sini?”

“Han-ko, engkau juga di sini, mau apakah? Apa engkau juga hendak memberontak?”

“Ahh, tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.”

“Hemmm, tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko. Dia lihai bukan main dan kau lihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.”

“Aku tidak takut. Bahkan biarlah orang sebanyak ini bisa menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guruku yang tidak berdosa.”

“Jangan, Han-ko. Biar aku membubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang dia berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.

“Heiii, apa yang aku dengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan bala tentara kerajaan yang tentu akan membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!”

Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa dia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan.

Melihat ini, Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru, “Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang betul. Kita ini bukan apa-apa jika sudah berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggota kita semua yang dikumpulkan jika melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa masih belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!”

“Nah, itu baru kata-kata yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya sekarang kita bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!” kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.

Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai beserta beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lainnya telah pergi meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan.

Hal ini membuat Thian It Tosu marah sekali. Dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot. Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring,

“Bu-tong Pangcu, saya bernama Si Keng Han. Saya datang bukan untuk segala macam urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai. Apa sebabnya Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah?”

Thian It Tosu mengelus-elus jenggotnya. “Siancai, siapakah gurumu?” tanyanya dengan suara yang parau.

“Guruku bernama Gosang Lama!”

“Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!” jawab Thian It Tosu, kelihatan bingung sekali.

Thian Yang Cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya. “Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi ia sudah berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, tetapi Gosang Lama sendiri. Dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu!”

Thian Yang Cu melompat ke depan diikuti Bhok Im Cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang.

“Kalian mundurlah!” kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian ia berdiri dan menghadapi Keng Han. “Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami. Oleh karena itu, kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!”

Keng Han merasa tidak enak kalau hanya berdiam diri. Bagaimana pun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia telah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidak-tidaknya, dia kini harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.

“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku!” katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.

“Ha-ha-ha, siancai...! Walau pun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya kalau engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.”

Yo Han memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, padahal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras.

Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah. Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau memang guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah.

Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepatnya kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya.

Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.

Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sinkang-nya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang.

Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walau dia sendiri pun juga terdorong ke belakang.

Sementara itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi sangat penasaran. Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkilauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih).

Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang. Selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang mempunyai keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.

“Harap tahan dulu!” serunya lantang.

Thian It Tosu sudah amat marah itu menegur, “Yo-pangcu, apakah engkau hendak turut mencampuri urusan Bu-tong-pai?”

“Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu-tong-pai, tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya jika yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?”

Thian It Tosu mengerutkan alis. “Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai.”

“Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang.”

Setelah berkata demikian, Yo Han kemudian menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat, melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.

“Orang muda, dengarlah nasehatku baik-baik. Apa yang sedang kau lakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran.”

Keng Han mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa amat suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Apa bila ayah kandungnya sekarang telah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini akan ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.

“Paman, harap Paman tidak turut campur urusan kami. Bagaimana Paman tadi dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah memang sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai.”

“Membalas dendam itu sendiri adalah perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendam mu itu? Bukankah jika begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan menambah besar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih amat muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kau lakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan.”

Kembali Keng Han merasa terpukul sekali. Nasehat itu hampir sama dengan nasehat yang diterimanya dari Dalai Lama.

Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya. “Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhu-mu tentu akan mengampunimu kalau dia sudah menginsafi kesalahannya.”

Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong.

Ada pun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata, “Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini.” Melihat dua orang tokoh dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia lalu menambahkan sambil menoleh ke arah mereka. “Bila masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, Yo Han pun langsung melangkah pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa sekarang Thian It Tosu melanjutkan perundingannya hanya dengan orang-orang yang sebagian besar berasal dari golongan sesat….
cerita silat karya kho ping hoo

“Orang muda, perlahan dulu!”

Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong, terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasehatinya.

“Ada keperluan apakah Paman menyusul perjalananku?” tanya Keng Han dengan sikap hormat.

“Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?”

“Namaku Kwi Hong, Paman,” kata Kwi Hong ramah. “Paman berani sekali menentang para pemberontak itu, untung tadi tidak terjadi perkelahian.”

“Engkau lebih berani lagi, Nona. Engkau bahkan mengancam mereka semua sehingga dapat menyadarkan banyak orang.”

“Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Jika ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?”

“Paman,” kata Keng Han. “Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?”

“Begini, Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?”

“Benar sekali.”

“Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?”

“Sama sekali bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding goa di sana.”

“Ahhh, engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!”

Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dan dipimpin oleh Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.

“Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang!” kata Thian Yang Ji dengan marah.

“Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang pura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!” kata pula Koai Tosu.

Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang membuat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih bisa demikian tenangnya. Ketua Thian-li-pang ini benar-benar seorang gagah perkasa. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga.

“Mempergunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyokan untuk mendapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali!” kata Kwi Hong dengan lantang.

“Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seakan-akan engkau membela kerajaan Mancu. Apakah engkau adalah seorang antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu!” kata Koai Tosu menantang gadis itu.

“Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu di dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut kepadamu!” kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini lalu membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.

“To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya dia yang disebut orang Si Bangau Emas!” kata Thian Yang Ji memperingatkan kawannya.

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?” tanya Koai Tosu.

“Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!”

“Ha-ha-ha, masih muda tetapi mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona!” Koai Tosu juga mencabut pedangnya.

Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan lagi. Apa lagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sin-kiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu.

Sementara itu, Thian Yang Ji berkata kepada Yo Han, “Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata!” kata-kata ini dilanjutkan dengan tangannya yang cepat mencabut pedangnya.

“Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!” jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata. Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat dijadikan senjata!

“Bagus, engkau sendiri yang mengatakan, jangan bilang bahwa pinto curang!” kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya, namun dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu.

Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini.

“Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu!” katanya.

Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya. “Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!”

Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sebenarnya bertemu lawan yang tangguh. Meski gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, akan tetapi ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur.

Oleh karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, pemuda itu juga memperhatikan jalannya perkelahian antara Yo Han dan Thian Yang Ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian Yang Ji. Meski ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian Yang Ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian Yang Ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar.

Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.

“Jangan curang!” Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu.

Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali.

Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong sudah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga ia masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh.

Sebaliknya, perkelahian antara Yo Han melawan Thian Yang Ji justru membuat tosu itu terdesak. Walau pun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi menghadapi ilmu Bu-kek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat.

Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah pertandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat-beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya.

Akan tetapi, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Bila saja Keng Han tidak memiliki sinkang yang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu.

Tiba-tiba Thian Yang Ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu.

Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong.

Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apa lagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai main mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Keadaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot dengan pengeroyokan itu.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tidak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru, “Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!”

Dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok oleh banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun serentak menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan langsung terdesak hebat oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu.

Melihat ini, Thian Yang Ji terkejut bukan main. Ia cepat memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, ia berteriak, “Gulam Sang, cepat melarikan diri!”

Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini, kemudian melompat ke belakang. Sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian Yang Ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang?

Dia teringat akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama supaya kelak bekerja sama dengan putera suhu-nya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gurunya! Menurut penjelasan Dalai Lama, putera gurunya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan bila dia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya.

Koai Tosu juga melarikan diri bersama Thian Yang Ji, lalu diikuti teman-temannya yang belum roboh. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah lenyap dari pandangan.

“Jangan kejar!” teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu.

Perwira itu menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat. “Tuan Puteri tidak apa-apa? Tidak terluka?”

“Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, jika tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?”

“Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.”

Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah pucat saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota?

Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong. “Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.”

“Ahh, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.”

Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu pandang, dan melihat pemuda itu diam saja tanpa mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata, “Han-ko, mengapa engkau diam saja?”

“Engkau... engkau adalah puteri istana... dan aku...” Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya.

“Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu kenapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.”

“Akan tetapi, Tuan Puteri...”

“Aihh, sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?”

“Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat.”

Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata, “Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.”

“Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini dan pulang ke kota raja,” kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah!

Keng Han merasa tidak enak jika diam saja. “Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.”

“Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?”

“Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali bila aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.”

“Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya.”

Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah!

“Baik, Hong-moi.”

Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kudanya tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang.

Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur, “Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali.”

Tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan yang dihormati, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.

“Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?”

Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.

“Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga bahwa Pangeran Mahkota bernama Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar?

“Dan siapakah nama kaisar sekarang, Paman?”

“Ahh, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing.”

Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan amat hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya,

“Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?”

“Pangeran Tao Seng?” Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah, dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

“Ahhh, dibuang? Ke manakah?”

“Mana aku tahu? Bahkan mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apa lagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan.”

Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangkanya menjadi pangeran mahkota atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan!

“Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?”

“Ahh, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan dia minta tolong kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.”

“Ohh, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika tadi berkelahi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau dapat menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku sempat melihat engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun pula. Benarkah?”

Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dalam keadaan sedang dikeroyok oleh banyak orang. “Benar, Paman. Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun.”

“Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!”

Yo Han segera mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat lantas menyambar sehingga Keng Han amat terkejut. Cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan di dalam tubuhnya bekerja.

“Wuuuttttt... dessss...!” Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.

“Ahh, bukankah kedua tanganmu itu tadi menggunakan tenaga Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang?”

Karena sudah terlanjur ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan. “Memang aku juga mempelajari sinkang itu dari coretan di dinding goa.”

“Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencari dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh digunakan untuk kejahatan.”

“Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!” Keng Han berkata penuh semangat. Ia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang penjahat?

Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi?

Bagaimana pun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematian ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tak pernah menengok ibunya. Kiranya ia telah dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 09


Pusaka Pulau Es Bagian 08

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 08

PEGUNUNGAN Bu-tong-san merupakan pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Semenjak dahulu Bu-tong-pai memiliki pendekar-pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati oleh semua perguruan lain dan juga para pendekar.

Biasanya, Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti seorang hartawan. Ada yang sikapnya lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan.

Undangan yang, dilakukan oleh Butong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tong-pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang sangat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekali pun, hanya karena mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw, banyak pula yang turut datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh pihak Bu-tong-pai tentulah para jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja.

Ketika itu yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Ada pun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang dahulu pernah datang berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan.

Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tong-pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan. Dia tak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya.

Seperti para tamu lainnya, Yo Han juga disambut oleh dua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda.

Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya sehingga terjadilah pertemuan dalam suasana yang cukup menggembirakan di antara mereka.

Anehnya, Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada orang yang menanyakan kepada Thian Yang Cu, atau Bhok Im Cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang semedhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu.

Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul. Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit.

Thian It Tosu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada para tamu dan berkata dengan suara parau, “Harap Cu-wi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak.”

Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah disiapkan. Thian Yang Cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir.

“Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu mendadak menderita sakit batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.”

Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapa pun lihainya seseorang, apa lagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit. Dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu meski pun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.

“Seperti yang Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan diri untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kaisar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah oleh penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!”

Ketika Thian Yang Cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena mereka masing-masing saling berbicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian Yang Cu, membisikkan sesuatu. Thian Yang Cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya sudah tiba tentu akan diberi tahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap menyiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar.”

Mendadak terdengar suara lembut. “Omitohud...!”

Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai.

“Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul dari Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biar pun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan.”

Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali. Seperti tadi, mereka semua lantas saling bicara sendiri dengan gaduhnya.

Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi sudah merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan lain-lainnya, juga sudah bangkit berdiri. Suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.

“Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!”

Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakan Yo Han untuk bicara.

“Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong-pai ialah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah meski sekarang belum tiba saatnya, melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini amat tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang tapi sebenarnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!”

Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian Yang Cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara, “Yo-pangcu dari Thian-li-pang harus suka bicara terus terang. Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap dijelaskan siapa yang dianggap golongan sesat supaya persoalan menjadi terang.”

Karena ditantang untuk berterus terang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah, “Perlukah hal itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang turut hadir di sini. Dan mengenai perkumpulan golongan sesat, siapa belum tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Bagaimana pun juga, kami tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!”

Sekarang Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata, “Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri yang mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan pihak kita masih terpecah belah. Mengapa kita tak mengajak dua perkumpulan itu turut berjuang? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!”

“Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu. Selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Semua orang akan menyangka kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka!” kata Yo Han dengan lantang pula.

Dari pihak Pek-lian-pai muncul Thian Yang Ji, seorang tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak,

“Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek-lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian-li-pang. Kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang.”

“Benar, Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang!” terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang.

Yo Han tersenyum mengejek. “Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak semauku sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!”

Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau, “Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan serta perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan mana pun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Semu pihak yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.”

Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhan ketua itu dengan mendiang gurunya, Gosang Lama, seperti yang sudah dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang.

Pada waktu dia menoleh, dia terbelalak heran, juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya.

“Hong-moi, kau di sini?”

“Han-ko, engkau juga di sini, mau apakah? Apa engkau juga hendak memberontak?”

“Ahh, tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.”

“Hemmm, tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko. Dia lihai bukan main dan kau lihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.”

“Aku tidak takut. Bahkan biarlah orang sebanyak ini bisa menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guruku yang tidak berdosa.”

“Jangan, Han-ko. Biar aku membubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang dia berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.

“Heiii, apa yang aku dengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan bala tentara kerajaan yang tentu akan membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!”

Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa dia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan.

Melihat ini, Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru, “Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang betul. Kita ini bukan apa-apa jika sudah berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggota kita semua yang dikumpulkan jika melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa masih belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!”

“Nah, itu baru kata-kata yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya sekarang kita bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!” kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.

Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai beserta beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lainnya telah pergi meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan.

Hal ini membuat Thian It Tosu marah sekali. Dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot. Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring,

“Bu-tong Pangcu, saya bernama Si Keng Han. Saya datang bukan untuk segala macam urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai. Apa sebabnya Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah?”

Thian It Tosu mengelus-elus jenggotnya. “Siancai, siapakah gurumu?” tanyanya dengan suara yang parau.

“Guruku bernama Gosang Lama!”

“Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!” jawab Thian It Tosu, kelihatan bingung sekali.

Thian Yang Cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya. “Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi ia sudah berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, tetapi Gosang Lama sendiri. Dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu!”

Thian Yang Cu melompat ke depan diikuti Bhok Im Cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang.

“Kalian mundurlah!” kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian ia berdiri dan menghadapi Keng Han. “Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami. Oleh karena itu, kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!”

Keng Han merasa tidak enak kalau hanya berdiam diri. Bagaimana pun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia telah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidak-tidaknya, dia kini harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.

“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku!” katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.

“Ha-ha-ha, siancai...! Walau pun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya kalau engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.”

Yo Han memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, padahal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras.

Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah. Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau memang guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah.

Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepatnya kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya.

Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.

Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sinkang-nya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang.

Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walau dia sendiri pun juga terdorong ke belakang.

Sementara itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi sangat penasaran. Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkilauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih).

Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang. Selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang mempunyai keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.

“Harap tahan dulu!” serunya lantang.

Thian It Tosu sudah amat marah itu menegur, “Yo-pangcu, apakah engkau hendak turut mencampuri urusan Bu-tong-pai?”

“Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu-tong-pai, tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya jika yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?”

Thian It Tosu mengerutkan alis. “Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai.”

“Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang.”

Setelah berkata demikian, Yo Han kemudian menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat, melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.

“Orang muda, dengarlah nasehatku baik-baik. Apa yang sedang kau lakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran.”

Keng Han mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa amat suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Apa bila ayah kandungnya sekarang telah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini akan ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.

“Paman, harap Paman tidak turut campur urusan kami. Bagaimana Paman tadi dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah memang sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai.”

“Membalas dendam itu sendiri adalah perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendam mu itu? Bukankah jika begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan menambah besar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih amat muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kau lakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan.”

Kembali Keng Han merasa terpukul sekali. Nasehat itu hampir sama dengan nasehat yang diterimanya dari Dalai Lama.

Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya. “Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhu-mu tentu akan mengampunimu kalau dia sudah menginsafi kesalahannya.”

Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong.

Ada pun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata, “Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini.” Melihat dua orang tokoh dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia lalu menambahkan sambil menoleh ke arah mereka. “Bila masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, Yo Han pun langsung melangkah pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa sekarang Thian It Tosu melanjutkan perundingannya hanya dengan orang-orang yang sebagian besar berasal dari golongan sesat….
cerita silat karya kho ping hoo

“Orang muda, perlahan dulu!”

Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong, terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasehatinya.

“Ada keperluan apakah Paman menyusul perjalananku?” tanya Keng Han dengan sikap hormat.

“Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?”

“Namaku Kwi Hong, Paman,” kata Kwi Hong ramah. “Paman berani sekali menentang para pemberontak itu, untung tadi tidak terjadi perkelahian.”

“Engkau lebih berani lagi, Nona. Engkau bahkan mengancam mereka semua sehingga dapat menyadarkan banyak orang.”

“Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Jika ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?”

“Paman,” kata Keng Han. “Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?”

“Begini, Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?”

“Benar sekali.”

“Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?”

“Sama sekali bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding goa di sana.”

“Ahhh, engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!”

Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dan dipimpin oleh Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.

“Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang!” kata Thian Yang Ji dengan marah.

“Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang pura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!” kata pula Koai Tosu.

Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang membuat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih bisa demikian tenangnya. Ketua Thian-li-pang ini benar-benar seorang gagah perkasa. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga.

“Mempergunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyokan untuk mendapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali!” kata Kwi Hong dengan lantang.

“Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seakan-akan engkau membela kerajaan Mancu. Apakah engkau adalah seorang antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu!” kata Koai Tosu menantang gadis itu.

“Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu di dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut kepadamu!” kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini lalu membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.

“To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya dia yang disebut orang Si Bangau Emas!” kata Thian Yang Ji memperingatkan kawannya.

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?” tanya Koai Tosu.

“Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!”

“Ha-ha-ha, masih muda tetapi mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona!” Koai Tosu juga mencabut pedangnya.

Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan lagi. Apa lagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sin-kiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu.

Sementara itu, Thian Yang Ji berkata kepada Yo Han, “Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata!” kata-kata ini dilanjutkan dengan tangannya yang cepat mencabut pedangnya.

“Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!” jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata. Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat dijadikan senjata!

“Bagus, engkau sendiri yang mengatakan, jangan bilang bahwa pinto curang!” kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya, namun dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu.

Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini.

“Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu!” katanya.

Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya. “Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!”

Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sebenarnya bertemu lawan yang tangguh. Meski gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, akan tetapi ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur.

Oleh karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, pemuda itu juga memperhatikan jalannya perkelahian antara Yo Han dan Thian Yang Ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian Yang Ji. Meski ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian Yang Ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian Yang Ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar.

Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.

“Jangan curang!” Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu.

Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali.

Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong sudah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga ia masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh.

Sebaliknya, perkelahian antara Yo Han melawan Thian Yang Ji justru membuat tosu itu terdesak. Walau pun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi menghadapi ilmu Bu-kek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat.

Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah pertandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat-beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya.

Akan tetapi, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Bila saja Keng Han tidak memiliki sinkang yang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu.

Tiba-tiba Thian Yang Ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu.

Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong.

Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apa lagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai main mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Keadaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot dengan pengeroyokan itu.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tidak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru, “Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!”

Dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok oleh banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun serentak menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan langsung terdesak hebat oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu.

Melihat ini, Thian Yang Ji terkejut bukan main. Ia cepat memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, ia berteriak, “Gulam Sang, cepat melarikan diri!”

Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini, kemudian melompat ke belakang. Sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian Yang Ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang?

Dia teringat akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama supaya kelak bekerja sama dengan putera suhu-nya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gurunya! Menurut penjelasan Dalai Lama, putera gurunya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan bila dia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya.

Koai Tosu juga melarikan diri bersama Thian Yang Ji, lalu diikuti teman-temannya yang belum roboh. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah lenyap dari pandangan.

“Jangan kejar!” teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu.

Perwira itu menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat. “Tuan Puteri tidak apa-apa? Tidak terluka?”

“Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, jika tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?”

“Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.”

Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah pucat saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota?

Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong. “Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.”

“Ahh, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.”

Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu pandang, dan melihat pemuda itu diam saja tanpa mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata, “Han-ko, mengapa engkau diam saja?”

“Engkau... engkau adalah puteri istana... dan aku...” Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya.

“Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu kenapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.”

“Akan tetapi, Tuan Puteri...”

“Aihh, sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?”

“Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat.”

Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata, “Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.”

“Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini dan pulang ke kota raja,” kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah!

Keng Han merasa tidak enak jika diam saja. “Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.”

“Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?”

“Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali bila aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.”

“Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya.”

Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah!

“Baik, Hong-moi.”

Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kudanya tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang.

Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur, “Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali.”

Tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan yang dihormati, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.

“Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?”

Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.

“Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga bahwa Pangeran Mahkota bernama Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar?

“Dan siapakah nama kaisar sekarang, Paman?”

“Ahh, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing.”

Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan amat hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya,

“Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?”

“Pangeran Tao Seng?” Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah, dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

“Ahhh, dibuang? Ke manakah?”

“Mana aku tahu? Bahkan mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apa lagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan.”

Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangkanya menjadi pangeran mahkota atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan!

“Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?”

“Ahh, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan dia minta tolong kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.”

“Ohh, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika tadi berkelahi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau dapat menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku sempat melihat engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun pula. Benarkah?”

Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dalam keadaan sedang dikeroyok oleh banyak orang. “Benar, Paman. Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun.”

“Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!”

Yo Han segera mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat lantas menyambar sehingga Keng Han amat terkejut. Cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan di dalam tubuhnya bekerja.

“Wuuuttttt... dessss...!” Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.

“Ahh, bukankah kedua tanganmu itu tadi menggunakan tenaga Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang?”

Karena sudah terlanjur ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan. “Memang aku juga mempelajari sinkang itu dari coretan di dinding goa.”

“Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencari dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh digunakan untuk kejahatan.”

“Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!” Keng Han berkata penuh semangat. Ia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia bisa menjadi seorang penjahat?

Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi?

Bagaimana pun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematian ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tak pernah menengok ibunya. Kiranya ia telah dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 09