Pendekar Bongkok Bagian 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 12

LAN HONG mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, dia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan dia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai dia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Dia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi. Dia sudah merasa demikian akrab, apa lagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong pun menarik napas panjang.

“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu... tewas karena terbunuh orang.”

“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu serta puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”

Lan Hong menggeleng kepalanya. “Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”

“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”

Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia pun tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.

“Mereka berdua tahu, toako. Justru karena pembunuhan itulah mereka kemudian pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu menuduh bahwa adikku Sie Liong yang telah membunuh ayahnya. Karena tuduhan inilah Sie Liong melarikan diri dan anakku itu lalu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuhnya, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”

“Ahh... ahhh...!”

Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh.

“Hong-moi... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu amat hebat, akan tetapi juga tertimpa mala petaka yang lebih hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihainya, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan kini puterimu bahkan mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”

“Tadinya... aku sendiri percaya bahwa dialah yang membunuh suamiku, tetapi... tetapi sekarang tidak lagi...”

“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari oleh banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”

Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Dia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Dia tertarik kepada pendekar ini dan kalau dia menghendaki pergaulan yang jujur, dia pun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan dia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekali pun!

Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaan dirinya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.

“Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Oleh karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan….” Ia berhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.

Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.

“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.

Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.

“Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu bila aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah, toako, demi menyelamatkan adikku.”

Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, pandang matanya mengeluarkan sinar mencorong, dan Bouw Tek mengepal tinju. “Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”

Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. “Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia lalu memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aihh, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi dan terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati dari pada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?”

“Aku percaya, aku percaya... aihh, si keparat!” kata Bouw Tek.

“Setelah aku menjadi isterinya, dia lalu meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan. Harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dia sampai mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu...”

“Hemm...” Bouw Tek mengerutkan alisnya.

Dia tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki lelaki yang telah menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia lalu berkata lirih, “Hemm, ternyata dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik...”

Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang sangat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap orang tua kami. Dia takut kalau Sie Liong kelak akan membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong ikut belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan sesudah sembuh dia menjadi bongkok.”

“Ahhh...! Hemm...!” Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki adalah suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.

“Agaknya, Sie Liong juga menyadari bahwa dia dibenci oleh kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan mulai suka mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu...” Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis.

Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa. Tidak lama kemudian, Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis. Ketika dia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, dia melanjutkan.

“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kami pun dihamburkan oleh suamiku itu dan aku pun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”

“Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”

“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dengan mudah Sie Liong bisa mengalahkannya tanpa melukainya. Suamiku sama sekali tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi amat sakti itu.”

“Dan adikmu masih tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”

Lan Hong menggeleng kepalanya. “Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, dia pun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan aku pun tentu saja terus merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapat perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, mendadak puteriku, Bi Sian pulang!” Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.

“Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin,” kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.

“Benar, toako. Dia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kau tahu, toako, antara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan….” Wanita itu berhenti lagi.

Bouw Tek dengan tenang menunggu kelanjutan cerita itu karena dia dapat merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.

“Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat membaca pikiran pendekar itu dan lantas menjawabnya. “Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang.”

Kembali Lan Hong diam, akan tetapi kini ia nampak demikian berduka. “Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.”

Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. “Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!”

“Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!” kata Bouw Tek penasaran.

“Gadis itu puteriku, toako...”

“Ahh, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?”

“Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran.”

“Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?”

Lan Hong menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu padanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, sebab bagaimana pun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.”

Lie Bouw Tek termenung. Memang keadaan serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya.

“Akan tetapi, tentunya Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu, dan karena itu dia membunuh musuh besarnya.”

Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadinya pembunuhan, aku pun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mengetahuinya! Dia menyangkal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan dia pun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.”

“Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?”

“Karena sebelumnya ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta supaya Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan itu, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, orang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Oleh karena itu, maka aku nekat melakukan perjalanan ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong sebab sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.”

“Ehhh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”

Lan Hong kemudian menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang telah diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya.

Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.

“Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Jika dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengarnya dariku. Apa bila bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sulit menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya supaya jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunuh dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian.”

“Hemmm...” Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau benar seperti yang kau sangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia harus membunuh suamimu yang baru dijumpainya?”

“Aku pun sudah memikirkan hal itu dan juga telah menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walau pun dia sute-nya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?”

Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.

“Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walau pun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia dapat melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok sambil mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?”

Lie Bouw Tek masih terus memandang dengan kagum, dan mendengar pertanyaan itu dia pun mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?”

“Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku lalu mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lhasa.”

Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menerima tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang tiba-tiba memusuhi Kun-lun-pai!

Dalam perantauannya di daerah ini, dia pun pernah mendengar bahwa para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri dan pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pendeta Lama itu masih ada hubungannya dengan hal itu.

“Setelah mendengar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Engkau jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Syukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dengan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa di antara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?”

“Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi aku pun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.”

“Kalau begitu, yang lebih penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus segera menceritakan semua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sute-nya sendiri, bukan oleh pamannya.”

Lan Hong mengangguk lemah. “Akan kulakukan itu, walau pun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.”

Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan goa, dekat api unggun. Bouw Tek semakin tertarik kepada Lan Hong. Dia tidak dapat menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan dirinya kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya.

Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu. Akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dia pun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!

**********

Semua mata memandang serta semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lhasa pada tengah hari itu untuk makan siang.

Seorang pelayan kedai itu menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.

“Amboi... manisnya...!”

“Lihat bentuk tubuhnya... seperti kijang emas...!”

“Matanya... ahhh, begitu jeli seperti bintang kejora!”

“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihatlah, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak dan membikin gemes!”

“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang... ha-ha-ha, seekor monyet!”

“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha-ha!”

“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”

“Atau saudaranya!”

“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”

Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat.

Ia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apa lagi mencintanya!

Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar, apa lagi suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka sudah tepat dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.

Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya dia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok!

Ingin dia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi dia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya tak akan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar.

Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh semua ejekan itu, seolah-olah pemuda itu tidak pernah mendengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walau pun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, ia pun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.

“Liong-ko, kedai ini cukup enak tempatnya, ya? Akan tetapi, entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”

Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling. Dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.

Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dari dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka. Jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dengan sikap yang berani dan berandalan.

Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh. “Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!”

Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.

“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suara mereka. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.

“Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”

“Akur...!” seru teman-temannya pula.

Ling Ling tidak dapat menahan lagi kemarahannya walau pun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.

“Hei, bung pelayan, ke sinilah!”

Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu duduk. “Bung pelayan, jika engkau tidak mau mengusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”

Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan sekarang terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot pada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu.

Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan.

Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata, “Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”

Pada waktu itu, Sie Liong sudah bangkit berdiri karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.

“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kami pun tak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.”

Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. “Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja? Nona ini harus minta maaf pada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”

Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.

“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”

“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan denganmu! Hayo ke sini dan rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.

Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, akan tetapi nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.

“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”

Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.

Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkan olehnya.

Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, ketiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.

“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!”

Si baju kuning langsung mengayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tapi tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.

“Dukkkk!”

Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, yang kesakitan bukan yang punya kepala, melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan semua buku tulang jari tangannya seperti remuk rasanya.

Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan mereka, ketiga orang pemuda berandalan itu mengepung.

Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.

Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.

Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biar pun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka sangat kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.

“Wuut-wuut-wuuut...!” Tiga batang golok menyambar.

“Trang-trang-trangggggg...!”

Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar serta lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!

Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu. Sekarang pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.

“Kim-sim-pai...!” terdengar orang berbisik-bisik.

Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (Perkumpulan Hati Emas), semua orang amat terkejut. Semua orang telah mengetahui bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggota pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi.

Pada saat mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, sekarang memandang dengan muka pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.

“Ha-ha-ha, kalian tiga cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa kalian, ataukah kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”

“Baik... baik...”

Ketiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw yang besar itu.

Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.

“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harga nyawa kalian!”

“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Sudahlah,” berkata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!”

Para tamu saling pandang. Mereka semua telah mendengar bahwa apa bila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya.

Maka, bangkitlah para tamu itu dan mereka pun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Meski tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan, menghasilkan derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.

Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan terus melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang tadi telah mendapatkan malu besar di depan para tamu, dan terutama sekali penghinaan yang barusan dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.

“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan derma, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?”

Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak melakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.

Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.

Sementara itu, walau pun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, akan tetapi sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi besar itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, Sie Liong sudah tertarik sekali.

Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to yang membantu Thai Yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu dulu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama!

Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah maka dia akan dapat memperoleh keterangan yang sangat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.

Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka pada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada yang dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.

“Brakkk…!”

“Hei, onta bongkok! Apakah telingamu juga sudah tuli?”

Sie Liong adalah seorang penyabar. Akan tetapi sekarang dia, dan terutama sekali Ling Ling, diganggu orang selagi makan. Dia lalu menoleh dan memandang kepada si baju kuning.

“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”

“Keparat, kau berani melawanku?”

Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu.

Melihat ini, Sie Liong menanggalkan kesabarannya. Tangan kanannya yang memegangi sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.

“Tukkk!”

Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang, lalu terguling-guling!

Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Tapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itu pun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika.

Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum.

Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biar pun hatinya menjadi besar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganya, akan tetapi Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, dia pun ikut melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sampai tidak dapat ditahannya dan ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum.

Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu. Diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.

Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik, “Liong-ko, awas... dia datang...!”

Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seakan-akan ada seekor beruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.

Sie Liong hanya sejenak saja memandang, kemudian dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walau pun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.

Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik!

Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka bisa membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok mau pun terhadap si gadls manis!

“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”

Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipaksa bertelanjang bulat di depan mereka, juga si bongkok!

Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah menjadi merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksasa yang berdiri jangkung di depannya itu.

“Losuhu, engkau adalah seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”

Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.

“Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Beruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Apa bila kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan menelanjangi kalian dengan paksa di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!”

“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. “Losuhu, jika bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!”

“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.

Dua pipi Sie Liong mulai berubah merah. Dia pun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggota Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor beruang.

Semua tamu memandang gelisah, bahkan wajah Ling Ling juga agak pucat. Ia khawatir kalau-kalau ‘jagonya’ sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.

“Losuhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa seharusnya engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, serta mendekatkan diri dengan Thian dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu malah seperti ini? Sebenarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”

Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggota Kim-sim-pang itu amat terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, yang bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran.

Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, tapi berani mengucapkan kata-kata seperti itu, dan di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!

“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau yang berani berkata seperti itu kepada Beruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!”

Berkata demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.

Sie Liong bersikap tenang saja. Dia sudah tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang mempunyai tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.

“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga.”

“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona manis ini kepada tiga orang pemuda ini!” Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan.

Gerakan pendeta ini memang mirip seekor beruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga sehingga dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri dan tubrukan itu pun luput.

“Hyaaaaahhhhh...!”

Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput. Dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi terjulur ke depan segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.

Karena serangan susulan ini sangat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong lalu menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.

“Dessss...!”

Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis hanya oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sinkang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting kemudian jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Bagaikan harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!

Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlomba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.

“Pengecut-pengecut busuk!” Sie Liong membentak marah.

Tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah.

Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak sudah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!

Ling Ling yang marah bukan main pada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!

Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung tambah seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawannya, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggota Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.

“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!” bentak orang itu.

Dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal, bahkan sudah tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng dia pun menyerang dengan tongkatnya.

Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Akan tetapi, ketika digunakan menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!

Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, dia pun tidak mau membuang banyak waktu lagi.

Dia mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya lantas mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.

“Krakkkk!”

Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggota Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah bergerak mendorong dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).

“Plakkk!”

Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada di dekat pundak lawan, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan!

Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sinkang yang sangat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Jika dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya tidak akan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.

Orang yang mempunyai julukan Beruang Hitam itu bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Kau... kaukah... yang berjuluk Pendekar Bongkok...?” Akhirnya dia bertanya.

Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk.

Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang. “Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!” Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan dia pun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.

“Beruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak perabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.

Beruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, “Nah, terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong!

Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong. Juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Akan tetapi, dengan tangan kirinya Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu dia menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Beruang Hitam sambil berseru.

“Bawalah pulang hio-louw mu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”

Hio-louw itu melayang ke arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong.

Beruang Ritam terhuyung dan biar pun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi dia pun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.

“Pendekar Bongkok...!” Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar.

Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit, kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, sekarang merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.

“Taihiap, harap, ampunkan kami...,” kata pemuda baju kuning.

“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta, tidak melihat seorang pendekar sakti...,” kata yang ke dua.

“Taihiap... Siocia (nona)... kami tidak berani lagi...,” berkata pula pemuda yang ke tiga.

Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.

“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong ini menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!

Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.

Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.

Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. “Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Uang selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.”

Ia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari kedai itu. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.

Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya, dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Lagi pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya.

Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan di dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat!

Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau pun terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling, walau pun hal itu akan menghancurkan hatinya.

Dari pada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling. Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang.

Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini.

Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik pada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan dia pun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.

“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lhasa.

Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andai kata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek.

Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam niatnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang sangat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.

“Kita sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling Ling dengan sikap manis.

“Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang jahat.”

Mereka memilih sebuah rumah penginapan, kemudian menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.

“Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!” katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. “Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?”

Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.

“Ahhh, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?” pemilik rumah makan itu bertanya.

“Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.

Pemilik rumah makan itu memandang heran, tapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakang kedai itu merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.

“Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lhasa ini, walau pun baru sekali kita bertemu, yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka untuk membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?”

Pemilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.

“Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatang kara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?”

Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.

“Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Ada pun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku hendak mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berapa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?”

Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang.

“Taihiap, semua orang di Lhasa tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, pasti dengan senang hati aku suka menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi... setelah peristiwa tadi terjadi, sangatlah berbahaya kalau dia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa dia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh ketiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?”

Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemilik rumah makan itu.

“Tentu saja kami pun tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu...”

Sejenak pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah. “Ahh, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka sekali menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap, dan boleh dipercaya!”

Wajah Sie Liong berseri gembira. “Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali padamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”

Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya karena berarti ia mempunyai seorang teman.

Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar akan tetapi bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.

Malam itu juga Sie Liong mengajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.

“Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling ketika berkemas.

“Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri.”

Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie Liong. “Aku sendiri? Dan engkau...?”

“Aku harus melakukan penyelidikan dan melaksanakan tugasku, Ling-moi. Engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...”

“Tidak, Liong-ko, tidak.... Aku tidak mau berpisah... aku tidak mau kau tinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke mana pun engkau pergi...!” Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan.

Sie Liong tersenyum dan memegang tangan gadis itu, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.

“Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, ancaman bahaya sudah muncul. Apa lagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh...”

“Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekali pun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apa pun juga, asalkan kita jangan saling berpisah...”

“Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan menyesal selamanya. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimana pun, engkau harus dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul...”

“Liong-koko... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu... ahhh, aku... aku... jangan tinggalkan aku, koko...” Dan Ling Ling menangis!

Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Semua demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.

“Ling-moi! Apakah sekarang engkau mulai membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?”

Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka amat pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata.

“Maaf... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah... aku taat... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu... ahhh, mana dapat aku membayangkan itu...” Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi tetapi seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.

Sie Liong membiarkan hingga gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu.

Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.

“Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.”

“Tapi... tapi... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan membolehkan aku hidup di sampingmu?”

Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain.

Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberi tahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.

“Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili.”

Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari sesudah awan gelap tercurah menjadi hujan.

“Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”

Pertanyaan ini tak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyelesaikan tugas itu. Dia hanya mendengar dari pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to bahwa Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang yang harus diselidikinya itu, merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet!

Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin satu minggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apa lagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!

Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. “Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menunggu engkau datang menjemputku? Seminggu?”

“Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu...”

“Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan sudah sangat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?”

Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk mengecewakan hatinya. Andai kata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka dia pun mengangguk.

“Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.”

Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya sudah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?

“Aku akan sabar menanti, koko.”

Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu.

Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada ‘adik angkatnya’ itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin agar adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan datang untuk membuat perhitungan. Sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak.

Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantarkan oleh pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali…..

**********

Bi Sian memasuki kota Lhasa dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet.

Istana Potala, tempat tinggal Dalai Lama

Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lhasa saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan dia pun kagum dan bangga.

Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan bibirnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan seperti menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!

Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini dan walau pun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, akan tetapi gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.

Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apa lagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu birahinya membakar dirinya, akan tetapi dia tidak berani apa-apa, menyentuh pun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!

Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lhasa, Bong Gan mengerutkan alis, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.

“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.

“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”

Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena dia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Tadi dia pun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.

“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran

Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang.

“Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri saat kau serang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andai kata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.”

Bi Sian menarik napas panjang. “Ahhh, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali. Kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”

Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sute-nya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tiang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu.

Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Oleh karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruang itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang, sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum.

Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Tetapi sebaliknya, dia pun tidak dapat memperhatikan isi ruangan itu dan keadaan di luar.

Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik. Akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, lalu pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk.

Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun cepat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya.

Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yaitu wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih dari pada cantik!

Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.

Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat berisi dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ramping itu bagai pohon yang-liu sedang tertiup angin. Lenggangnya mempesona, bagai lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggulnya yang menari-nari setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan.

Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi serta denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!

Ketika memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah enam puluh tahun tetapi masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu.

Gadis itu pun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itu pun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat!

Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di hadapannya, membelakangi meja Bong Gan.

Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu. Bong Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.

Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan. Dia pun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan ia pun mengerling ke arah meja itu.

Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, juga dengan pedang di punggung, tentu saja ia pun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apa lagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.

Melihat betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan dia pun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.

Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz dan Han yang memang mempunyai kecantikan istimewa.

Yang berada di sampingnya adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula, yang telah mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan amat tampan gagah itu.

Seperti telah diceritakan pada bagian depan, Thai Yang Suhu mendapatkan tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai ‘siluman merah’ dan menculik gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sin-to.

Akan tetapi, ketika gerombolan ini sedang mengumpulkan gadis-gadis dan bersembunyi di Bukit Onta, muncullah Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai Yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sin-to tewas di tangan Pendekar Bongkok.

Thai Yang Suhu bersama Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar, tidak mampu menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju Lhasa karena Thai Yang Suhu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.

Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai Yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah!

Gairahnya segera bangkit. Pek Lan sudah menentukan pilihan untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Meski ia melakukan perjalanan bersama Thai Yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, akan tetapi setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha keras untuk menundukkannya.

Thai Yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan dia pun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiri pun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan menunjukkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah, Thai Yang Suhu mengambil sikap tidak peduli.

Setelah selesai makan, Bong Gan menggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa ia pun menanggapi perasaan hati Bong Gan!

Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat. Dia mengambil keputusan untuk malam nanti mencari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang sangat mempesona ini.

Pada waktu pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian ini, segera bertanya, “Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah barangkali engkau pernah melihat atau mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?”

Bi Sian tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, maka dia pun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimana pun juga, pertanyaan itu takkan mendatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.

Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Dua matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.

“Kongcu... ehh, apakah dia... ehh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”

Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.

“Benar dia! Di manakah dia?”

“Dia...? Ahhh, saya tidak tahu, kongcu...” Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu...” Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil membawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.

Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. “Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan...”

Bong Gan mengangguk dan mengikuti sucinya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 13


Pendekar Bongkok Bagian 12

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 12

LAN HONG mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, dia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan dia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai dia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Dia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi. Dia sudah merasa demikian akrab, apa lagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong pun menarik napas panjang.

“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu... tewas karena terbunuh orang.”

“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di sana terdapat adik kandungmu serta puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”

Lan Hong menggeleng kepalanya. “Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”

“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”

Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia pun tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.

“Mereka berdua tahu, toako. Justru karena pembunuhan itulah mereka kemudian pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu menuduh bahwa adikku Sie Liong yang telah membunuh ayahnya. Karena tuduhan inilah Sie Liong melarikan diri dan anakku itu lalu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuhnya, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”

“Ahh... ahhh...!”

Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh.

“Hong-moi... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu amat hebat, akan tetapi juga tertimpa mala petaka yang lebih hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihainya, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan kini puterimu bahkan mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”

“Tadinya... aku sendiri percaya bahwa dialah yang membunuh suamiku, tetapi... tetapi sekarang tidak lagi...”

“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari oleh banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”

Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Dia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Dia tertarik kepada pendekar ini dan kalau dia menghendaki pergaulan yang jujur, dia pun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan dia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekali pun!

Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaan dirinya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.

“Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Oleh karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan….” Ia berhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.

Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang.

“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.

Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.

“Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu bila aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah, toako, demi menyelamatkan adikku.”

Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, pandang matanya mengeluarkan sinar mencorong, dan Bouw Tek mengepal tinju. “Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!”

Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. “Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia lalu memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aihh, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi dan terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati dari pada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?”

“Aku percaya, aku percaya... aihh, si keparat!” kata Bouw Tek.

“Setelah aku menjadi isterinya, dia lalu meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan. Harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dia sampai mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu...”

“Hemm...” Bouw Tek mengerutkan alisnya.

Dia tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki lelaki yang telah menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia lalu berkata lirih, “Hemm, ternyata dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik...”

Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang sangat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap orang tua kami. Dia takut kalau Sie Liong kelak akan membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong ikut belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan sesudah sembuh dia menjadi bongkok.”

“Ahhh...! Hemm...!” Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki adalah suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.

“Agaknya, Sie Liong juga menyadari bahwa dia dibenci oleh kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan mulai suka mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu...” Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis.

Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa. Tidak lama kemudian, Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis. Ketika dia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, dia melanjutkan.

“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kami pun dihamburkan oleh suamiku itu dan aku pun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.”

“Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”

“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dengan mudah Sie Liong bisa mengalahkannya tanpa melukainya. Suamiku sama sekali tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi amat sakti itu.”

“Dan adikmu masih tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”

Lan Hong menggeleng kepalanya. “Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, dia pun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan aku pun tentu saja terus merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapat perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, mendadak puteriku, Bi Sian pulang!” Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.

“Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin,” kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.

“Benar, toako. Dia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kau tahu, toako, antara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan….” Wanita itu berhenti lagi.

Bouw Tek dengan tenang menunggu kelanjutan cerita itu karena dia dapat merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.

“Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat membaca pikiran pendekar itu dan lantas menjawabnya. “Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang.”

Kembali Lan Hong diam, akan tetapi kini ia nampak demikian berduka. “Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.”

Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. “Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!”

“Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!” kata Bouw Tek penasaran.

“Gadis itu puteriku, toako...”

“Ahh, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?”

“Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran.”

“Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?”

Lan Hong menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu padanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, sebab bagaimana pun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.”

Lie Bouw Tek termenung. Memang keadaan serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya.

“Akan tetapi, tentunya Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu, dan karena itu dia membunuh musuh besarnya.”

Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadinya pembunuhan, aku pun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mengetahuinya! Dia menyangkal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan dia pun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.”

“Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?”

“Karena sebelumnya ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta supaya Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan itu, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, orang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Oleh karena itu, maka aku nekat melakukan perjalanan ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong sebab sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku.”

“Ehhh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”

Lan Hong kemudian menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan yang telah diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya.

Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.

“Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Jika dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengarnya dariku. Apa bila bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sulit menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya supaya jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunuh dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian.”

“Hemmm...” Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau benar seperti yang kau sangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia harus membunuh suamimu yang baru dijumpainya?”

“Aku pun sudah memikirkan hal itu dan juga telah menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walau pun dia sute-nya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?”

Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.

“Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walau pun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia dapat melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok sambil mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?”

Lie Bouw Tek masih terus memandang dengan kagum, dan mendengar pertanyaan itu dia pun mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana pula adanya sute dari puterimu itu?”

“Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku lalu mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lhasa.”

Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menerima tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang tiba-tiba memusuhi Kun-lun-pai!

Dalam perantauannya di daerah ini, dia pun pernah mendengar bahwa para pendeta Lama di Tibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri dan pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pendeta Lama itu masih ada hubungannya dengan hal itu.

“Setelah mendengar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Engkau jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Syukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dengan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa di antara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?”

“Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi aku pun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.”

“Kalau begitu, yang lebih penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus segera menceritakan semua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sute-nya sendiri, bukan oleh pamannya.”

Lan Hong mengangguk lemah. “Akan kulakukan itu, walau pun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya.”

Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan goa, dekat api unggun. Bouw Tek semakin tertarik kepada Lan Hong. Dia tidak dapat menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan dirinya kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya.

Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu. Akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dia pun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!

**********

Semua mata memandang serta semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lhasa pada tengah hari itu untuk makan siang.

Seorang pelayan kedai itu menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.

“Amboi... manisnya...!”

“Lihat bentuk tubuhnya... seperti kijang emas...!”

“Matanya... ahhh, begitu jeli seperti bintang kejora!”

“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihatlah, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak dan membikin gemes!”

“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang... ha-ha-ha, seekor monyet!”

“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha-ha!”

“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”

“Atau saudaranya!”

“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”

Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat.

Ia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apa lagi mencintanya!

Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar, apa lagi suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka sudah tepat dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.

Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya dia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok!

Ingin dia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi dia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya tak akan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar.

Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh semua ejekan itu, seolah-olah pemuda itu tidak pernah mendengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walau pun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, ia pun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.

“Liong-ko, kedai ini cukup enak tempatnya, ya? Akan tetapi, entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”

Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling. Dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.

Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dari dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka. Jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dengan sikap yang berani dan berandalan.

Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh. “Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!”

Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.

“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suara mereka. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.

“Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”

“Akur...!” seru teman-temannya pula.

Ling Ling tidak dapat menahan lagi kemarahannya walau pun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.

“Hei, bung pelayan, ke sinilah!”

Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu duduk. “Bung pelayan, jika engkau tidak mau mengusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”

Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan sekarang terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot pada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu.

Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan.

Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata, “Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”

Pada waktu itu, Sie Liong sudah bangkit berdiri karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.

“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kami pun tak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.”

Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. “Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja? Nona ini harus minta maaf pada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”

Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.

“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”

“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan denganmu! Hayo ke sini dan rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.

Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, akan tetapi nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.

“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”

Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.

Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkan olehnya.

Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, ketiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.

“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!”

Si baju kuning langsung mengayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tapi tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.

“Dukkkk!”

Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, yang kesakitan bukan yang punya kepala, melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan semua buku tulang jari tangannya seperti remuk rasanya.

Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan mereka, ketiga orang pemuda berandalan itu mengepung.

Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.

Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.

Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biar pun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka sangat kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.

“Wuut-wuut-wuuut...!” Tiga batang golok menyambar.

“Trang-trang-trangggggg...!”

Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar serta lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!

Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu. Sekarang pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.

“Kim-sim-pai...!” terdengar orang berbisik-bisik.

Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (Perkumpulan Hati Emas), semua orang amat terkejut. Semua orang telah mengetahui bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggota pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi.

Pada saat mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, sekarang memandang dengan muka pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.

“Ha-ha-ha, kalian tiga cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa kalian, ataukah kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”

“Baik... baik...”

Ketiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw yang besar itu.

Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.

“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harga nyawa kalian!”

“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Sudahlah,” berkata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!”

Para tamu saling pandang. Mereka semua telah mendengar bahwa apa bila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya.

Maka, bangkitlah para tamu itu dan mereka pun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Meski tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan, menghasilkan derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.

Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan terus melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang tadi telah mendapatkan malu besar di depan para tamu, dan terutama sekali penghinaan yang barusan dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.

“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan derma, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?”

Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak melakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.

Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.

Sementara itu, walau pun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, akan tetapi sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi besar itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, Sie Liong sudah tertarik sekali.

Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to yang membantu Thai Yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu dulu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama!

Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah maka dia akan dapat memperoleh keterangan yang sangat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.

Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka pada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada yang dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.

“Brakkk…!”

“Hei, onta bongkok! Apakah telingamu juga sudah tuli?”

Sie Liong adalah seorang penyabar. Akan tetapi sekarang dia, dan terutama sekali Ling Ling, diganggu orang selagi makan. Dia lalu menoleh dan memandang kepada si baju kuning.

“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”

“Keparat, kau berani melawanku?”

Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu.

Melihat ini, Sie Liong menanggalkan kesabarannya. Tangan kanannya yang memegangi sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.

“Tukkk!”

Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang, lalu terguling-guling!

Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Tapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itu pun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika.

Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum.

Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biar pun hatinya menjadi besar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganya, akan tetapi Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, dia pun ikut melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sampai tidak dapat ditahannya dan ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum.

Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu. Diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.

Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik, “Liong-ko, awas... dia datang...!”

Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seakan-akan ada seekor beruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.

Sie Liong hanya sejenak saja memandang, kemudian dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walau pun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.

Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik!

Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka bisa membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok mau pun terhadap si gadls manis!

“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”

Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipaksa bertelanjang bulat di depan mereka, juga si bongkok!

Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah menjadi merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksasa yang berdiri jangkung di depannya itu.

“Losuhu, engkau adalah seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”

Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.

“Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Beruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Apa bila kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan menelanjangi kalian dengan paksa di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!”

“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. “Losuhu, jika bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!”

“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.

Dua pipi Sie Liong mulai berubah merah. Dia pun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggota Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor beruang.

Semua tamu memandang gelisah, bahkan wajah Ling Ling juga agak pucat. Ia khawatir kalau-kalau ‘jagonya’ sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.

“Losuhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa seharusnya engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, serta mendekatkan diri dengan Thian dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu malah seperti ini? Sebenarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”

Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggota Kim-sim-pang itu amat terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, yang bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran.

Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, tapi berani mengucapkan kata-kata seperti itu, dan di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!

“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau yang berani berkata seperti itu kepada Beruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!”

Berkata demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.

Sie Liong bersikap tenang saja. Dia sudah tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang mempunyai tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.

“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga.”

“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona manis ini kepada tiga orang pemuda ini!” Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan.

Gerakan pendeta ini memang mirip seekor beruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga sehingga dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri dan tubrukan itu pun luput.

“Hyaaaaahhhhh...!”

Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput. Dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi terjulur ke depan segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.

Karena serangan susulan ini sangat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong lalu menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.

“Dessss...!”

Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis hanya oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sinkang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting kemudian jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Bagaikan harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!

Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlomba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.

“Pengecut-pengecut busuk!” Sie Liong membentak marah.

Tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah.

Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak sudah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!

Ling Ling yang marah bukan main pada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!

Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung tambah seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawannya, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggota Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.

“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!” bentak orang itu.

Dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal, bahkan sudah tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng dia pun menyerang dengan tongkatnya.

Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Akan tetapi, ketika digunakan menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!

Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, dia pun tidak mau membuang banyak waktu lagi.

Dia mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya lantas mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.

“Krakkkk!”

Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggota Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah bergerak mendorong dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).

“Plakkk!”

Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada di dekat pundak lawan, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan!

Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sinkang yang sangat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Jika dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya tidak akan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.

Orang yang mempunyai julukan Beruang Hitam itu bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. “Kau... kaukah... yang berjuluk Pendekar Bongkok...?” Akhirnya dia bertanya.

Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk.

Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang. “Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!” Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan dia pun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.

“Beruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak perabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.

Beruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, “Nah, terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong!

Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong. Juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Akan tetapi, dengan tangan kirinya Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu dia menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Beruang Hitam sambil berseru.

“Bawalah pulang hio-louw mu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”

Hio-louw itu melayang ke arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong.

Beruang Ritam terhuyung dan biar pun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi dia pun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.

“Pendekar Bongkok...!” Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar.

Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit, kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, sekarang merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.

“Taihiap, harap, ampunkan kami...,” kata pemuda baju kuning.

“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta, tidak melihat seorang pendekar sakti...,” kata yang ke dua.

“Taihiap... Siocia (nona)... kami tidak berani lagi...,” berkata pula pemuda yang ke tiga.

Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.

“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong ini menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!

Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.

Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.

Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. “Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Uang selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.”

Ia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari kedai itu. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.

Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya, dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Lagi pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya.

Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan di dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat!

Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau pun terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling, walau pun hal itu akan menghancurkan hatinya.

Dari pada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling. Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang.

Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini.

Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik pada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan dia pun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.

“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lhasa.

Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andai kata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek.

Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam niatnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang sangat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.

“Kita sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling Ling dengan sikap manis.

“Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang jahat.”

Mereka memilih sebuah rumah penginapan, kemudian menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.

“Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!” katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. “Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?”

Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.

“Ahhh, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?” pemilik rumah makan itu bertanya.

“Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.

Pemilik rumah makan itu memandang heran, tapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakang kedai itu merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.

“Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lhasa ini, walau pun baru sekali kita bertemu, yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka untuk membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?”

Pemilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.

“Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatang kara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?”

Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.

“Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Ada pun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku hendak mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berapa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?”

Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang.

“Taihiap, semua orang di Lhasa tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, pasti dengan senang hati aku suka menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi... setelah peristiwa tadi terjadi, sangatlah berbahaya kalau dia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa dia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh ketiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?”

Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemilik rumah makan itu.

“Tentu saja kami pun tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu...”

Sejenak pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah. “Ahh, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka sekali menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap, dan boleh dipercaya!”

Wajah Sie Liong berseri gembira. “Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali padamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”

Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya karena berarti ia mempunyai seorang teman.

Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar akan tetapi bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.

Malam itu juga Sie Liong mengajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.

“Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling ketika berkemas.

“Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri.”

Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie Liong. “Aku sendiri? Dan engkau...?”

“Aku harus melakukan penyelidikan dan melaksanakan tugasku, Ling-moi. Engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...”

“Tidak, Liong-ko, tidak.... Aku tidak mau berpisah... aku tidak mau kau tinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke mana pun engkau pergi...!” Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan.

Sie Liong tersenyum dan memegang tangan gadis itu, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.

“Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, ancaman bahaya sudah muncul. Apa lagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh...”

“Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekali pun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apa pun juga, asalkan kita jangan saling berpisah...”

“Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan menyesal selamanya. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimana pun, engkau harus dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul...”

“Liong-koko... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu... ahhh, aku... aku... jangan tinggalkan aku, koko...” Dan Ling Ling menangis!

Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Semua demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.

“Ling-moi! Apakah sekarang engkau mulai membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?”

Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka amat pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata.

“Maaf... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah... aku taat... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu... ahhh, mana dapat aku membayangkan itu...” Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi tetapi seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.

Sie Liong membiarkan hingga gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu.

Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.

“Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku.”

“Tapi... tapi... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan membolehkan aku hidup di sampingmu?”

Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain.

Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberi tahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.

“Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili.”

Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari sesudah awan gelap tercurah menjadi hujan.

“Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”

Pertanyaan ini tak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyelesaikan tugas itu. Dia hanya mendengar dari pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to bahwa Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang yang harus diselidikinya itu, merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet!

Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin satu minggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apa lagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!

Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. “Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menunggu engkau datang menjemputku? Seminggu?”

“Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu...”

“Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan sudah sangat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?”

Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk mengecewakan hatinya. Andai kata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka dia pun mengangguk.

“Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.”

Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya sudah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?

“Aku akan sabar menanti, koko.”

Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu.

Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada ‘adik angkatnya’ itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin agar adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan datang untuk membuat perhitungan. Sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak.

Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantarkan oleh pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali…..

**********

Bi Sian memasuki kota Lhasa dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet.

Istana Potala, tempat tinggal Dalai Lama

Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lhasa saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan dia pun kagum dan bangga.

Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan bibirnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan seperti menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!

Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini dan walau pun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, akan tetapi gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.

Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apa lagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu birahinya membakar dirinya, akan tetapi dia tidak berani apa-apa, menyentuh pun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!

Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lhasa, Bong Gan mengerutkan alis, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.

“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.

“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”

Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena dia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Tadi dia pun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.

“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran

Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang.

“Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri saat kau serang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andai kata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.”

Bi Sian menarik napas panjang. “Ahhh, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali. Kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”

Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sute-nya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tiang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu.

Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Oleh karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruang itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang, sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum.

Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Tetapi sebaliknya, dia pun tidak dapat memperhatikan isi ruangan itu dan keadaan di luar.

Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik. Akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, lalu pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk.

Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun cepat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya.

Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yaitu wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih dari pada cantik!

Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.

Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat berisi dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ramping itu bagai pohon yang-liu sedang tertiup angin. Lenggangnya mempesona, bagai lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggulnya yang menari-nari setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan.

Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi serta denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!

Ketika memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah enam puluh tahun tetapi masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu.

Gadis itu pun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itu pun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat!

Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di hadapannya, membelakangi meja Bong Gan.

Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu. Bong Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.

Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan. Dia pun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan ia pun mengerling ke arah meja itu.

Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, juga dengan pedang di punggung, tentu saja ia pun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apa lagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.

Melihat betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan dia pun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.

Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz dan Han yang memang mempunyai kecantikan istimewa.

Yang berada di sampingnya adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula, yang telah mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan amat tampan gagah itu.

Seperti telah diceritakan pada bagian depan, Thai Yang Suhu mendapatkan tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai ‘siluman merah’ dan menculik gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sin-to.

Akan tetapi, ketika gerombolan ini sedang mengumpulkan gadis-gadis dan bersembunyi di Bukit Onta, muncullah Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai Yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sin-to tewas di tangan Pendekar Bongkok.

Thai Yang Suhu bersama Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar, tidak mampu menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju Lhasa karena Thai Yang Suhu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.

Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai Yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah!

Gairahnya segera bangkit. Pek Lan sudah menentukan pilihan untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Meski ia melakukan perjalanan bersama Thai Yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, akan tetapi setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha keras untuk menundukkannya.

Thai Yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan dia pun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiri pun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan menunjukkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah, Thai Yang Suhu mengambil sikap tidak peduli.

Setelah selesai makan, Bong Gan menggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa ia pun menanggapi perasaan hati Bong Gan!

Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat. Dia mengambil keputusan untuk malam nanti mencari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang sangat mempesona ini.

Pada waktu pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian ini, segera bertanya, “Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah barangkali engkau pernah melihat atau mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?”

Bi Sian tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, maka dia pun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimana pun juga, pertanyaan itu takkan mendatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.

Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Dua matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.

“Kongcu... ehh, apakah dia... ehh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”

Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.

“Benar dia! Di manakah dia?”

“Dia...? Ahhh, saya tidak tahu, kongcu...” Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu...” Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil membawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan.

Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. “Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan...”

Bong Gan mengangguk dan mengikuti sucinya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 13


Loading...