Pendekar Bongkok Bagian 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 11

Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lhasa, ibu kota di Tibet. Meski pun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena letak tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya orang-orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah kaum pedagang, dan yang mereka kunjungi hanya kota-kota besar seperti Lhasa. Yang berkunjung ke telaga Nam hanyalah orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.

Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya. Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya berbentuk bulat dengan kulit muka putih bersih. Sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali, dengan kedua mata yang tajam mencorong, tapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Hidungnya besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek.

Ada pun yang wanita adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyuman dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri-seri.

Anehnya, gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukanlah kain buntut. Agaknya memang sengaja dibuat tambal-tambalan dari bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sute-nya, Coa Bong Gan. Biar pun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin.

Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnya. Dan ia minta bantuan sute-nya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid supek-nya, yaitu Pek-sim Siansu.

Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan dapat mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Tentu mudah bagi mereka untuk menduga bahwa Pendekar Bongkok adalah julukan yang diberikan orang-orang kepada Sie Liong, maka mereka terus melakukan pengejaran.

Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka harus melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja betapa sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biar pun orang itu mempunyai cacat bongkok sekali pun.

“Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lhasa,” kata Bong Gan. “Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau pun kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.”

Bi Sian menyetujui pendapat sute-nya dan pergilah mereka menuju ke Lhasa. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak peduli akan pandangan orang saat melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar pun sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, tetapi ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Dia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!

Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukan kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanan yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.

Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang pada masa kecilnya menjadi anak angkat seorang hartawan dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya segera meninggalkan kebiasaan berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walau pun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena suci-nya tentu akan menegurnya.

Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!

Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, selalu terjadi perang di dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan suci-nya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas.

Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada suci-nya, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya.

Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung di dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sute-nya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak.

Dia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini. Dia telah mengambil keputusan bahwa sebelum dia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, dia tidak akan memikirkan urusan cinta!

Setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, baru pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu birahinya berkobar lagi. Dia berani mencari wanita untuk memuaskan gairah nafsu birahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli mau pun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya.

Tetapi hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia mendapat kesempatan karena biar pun sudah berpisah dari suhu-nya yang dia takuti, kini dia masih bersama suci-nya (kakak seperguruan). Sama sekali bukan dikarenakan dia takut pada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu.

Dia tidak ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu harapan dirinya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.

Pada saat berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu birahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Tapi celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian!

Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberi tahu mengenai keberadaannya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tak ada jalan lain kecuali harus membunuhnya! Dia pun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya, lalu dibunuhnya Yauw Sun Kok. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.

Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti yang telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk mendapatkan balas jasa.

Kalau mereka maju berdua, betapa pun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.

Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang dicintanya itu sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya.

Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.

Ketika dua orang muda itu sedang mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.

Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata, “Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute.”

Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak galak.

Mereka mendekatkan perahu ke pantai, lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak.

Melihat wajah suci-nya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa suci-nya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya apa bila mereka sudah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lain pun yang mengusik mereka. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar-debar serta gairah nafsunya timbul dan berkobar.

Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biar pun gairah nafsu sudah mencengkeram dirinya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu pasti bahwa apa bila dia menggunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan suci-nya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali.

Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta pada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.

“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.

Gadis ini merasa heran melihat betapa sute-nya memandang kepadanya tidak seperti biasa, tetapi dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.

Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu menjadi terkejut sehingga dia tersipu. “Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya. Kecerdikan dan ketenangan pemuda ini menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.

Melihat sikap sute-nya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan ia pun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang.

“Yahhhh... aku pun gembira sekali, sute. Memang sangat indah pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanya pun nyaman bukan main!”

“Aku merasa seperti di sorga, suci!”

Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. “Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu...”

“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”

Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. “Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”

“Karena ada engkau di dekatku, suci.”

“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri sambil bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”

Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka dan memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. “Maafkan aku, suci, tadi aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”

Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sute-nya itu.

“Sute, kau... barusan bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu...”

“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri...”

“Sute...!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena dia menganggap sute-nya terlalu berani, terlalu lancang.

“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”

Mendengar pengakuan sute-nya itu, wajah Bi Sian sebentar pucat dan sebentar merah. Memang dia sudah menduga bahwa sute-nya jatuh cinta kepadanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sute-nya sendiri, bermacam perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena dia menganggap sute-nya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak atau pun mengeluarkan kata-kata.

Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sute-nya. Kemudian terdengar suaranya lirih.

“Sute...!”

“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.

“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, aku melarang membicarakan tentang cinta lagi!”

“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar supaya ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku...”

“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku pun tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”

Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!

Hal ini meyakinkan hatinya bahwa suci-nya itu pun ‘ada hati’ padanya. Andaikan tidak, tak mungkin menunda waktu untuk menjawabnya. Bila gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan ‘tidak’, tentu ia tak akan menunda waktu. Jawabannya jelas ‘ya’, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.

“Baiklah, suci. Mulai saat ini nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”

Bi Sian menarik napas lega. Ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.

“Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lhasa,” katanya.

“Baik, suci,” kata Bong Gan.

Bong Gan tidak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat suci-nya marah atau jengkel…..

**********

Sejak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tiga tahun, tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat.

Pada waktu berusia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu.

Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah akhirnya dia pun jatuh cinta kepada pria itu. Bahkan dia melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu.

Kemudian, hatinya kembali tersiksa karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali dia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apa lagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.

Kebahagiaan sejenak kembali dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walau pun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, alangkah pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong!

Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin dia menyalahkan adiknya jika dia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andai kata dulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok!

Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Dia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.

“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan...?” Berulang kali Sie Lan Hong mengeluh dalam tangisnya.

Selama belasan hari dia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang!

Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong di dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia pun dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.

Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya?

Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?

“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.

Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Dia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang sangat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih.

Ia hidup dalam kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.

Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan lebih dulu. Satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana dahulu suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!

Tanpa mempedulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang. Dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan mengenai suaminya pada kunjungan terakhir.

Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu. Mereka juga mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada waktu kunjungannya yang terakhir kalinya itu.

“Dia tidak bermalam di sini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok, lalu pulang menjelang tengah malam.”

Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia juga membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, dan kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang...”

Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.

“Setelah dia minum agak banyak, dia memang mengomel dan mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tak suka melihat pemuda itu pelesir di sini, juga tentang kebenciannya terhadap seorang yang bongkok...”

Lan Hong tertarik sekali. “Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”

“Pada saat dia masuk, dia bertemu dengan seorang kongcu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”

“Siapakah pemuda itu? Apakah dia... bongkok?”

Dua orang pelacur itu tertawa.

“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”

“Apakah dia langganan lama di sini?”

“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal...”

“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.

“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu.

Tidak lama kemudian dua orang pelacur lainnya ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang lagi mereka bicarakan.

“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng, maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”

Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!

“Tolong kalian gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!” tanya Lan Hong, berusaha menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.

“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” berkata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.

“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka... suka mencium, hi-hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti... kuda jantan! Pakaiannya pesolek...”

Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apa pun ia meninggalkan tempat itu.

Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya. Dia membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnya.

Dia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan pada waktu itu adiknya membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya.

Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat dari Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, lalu memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.

Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah bukan main. Perjalanan itu benar-benar tidak mudah. Bagaimana pun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik.

Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat dia merasa kesal, di samping tubuhnya juga merasa lelah. Untunglah bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, ia pun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri.

Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, juga dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar menjadi jeri. Sampai hampir sebulan dalam perjalanan, nyonya muda ini masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.

Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada dusun lagi sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Apa lagi matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya dia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.

Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Dia sudah memasuki daerah Tibet, dan dia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lhasa dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lhasa masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!

Mengapa tadi aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini.

Dengan hati kecut ia pun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.

Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, mendadak dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang lelaki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan lukisan seekor kala putih yang menyeramkan pada bagian dada.

“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya... waw sexi banget!”

Sepuluh orang itu sudah mengepung dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan.

Walau pun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar-debar penuh rasa tegang dan gelisah. Akan tetapi, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.

“Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!”

“Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di antara mereka. “Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!” kata yang lain.

Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlomba untuk menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia pun cepat mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.

“Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!” bentaknya.

Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.

“Wah, pandai bermain pedang juga, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!” Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.

Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikkan tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.

“Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan lebih dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai dia terluka!”

Mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong segera memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika nyonya muda ini kembali menerjang dengan pedangnya, mereka pun menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Trangggg...!”

Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan ini segera digunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.

Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira, lalu berlari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka bagaikan segerombolan serigala yang sedang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu tidak akan terlepas dari terkaman mereka.

Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik dia mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.

Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak cepat-cepat menangkap wanita itu. Lan Hong berlari terus, menuruti jalan setapak hingga ia melihat sebuah kuil tua di depan.

Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong kemudian berlari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil itu dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan.

Sepuluh orang pria itu masih terus mengejar sambil tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Memang tempat yang enak untuk bersenang-senang!”

Lan Hong tidak mempedulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.

“Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam.

Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang kedua bertubuh sedang saja, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka masing-masing nampak sebatang pedang.

Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya...”

“Nona, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!” Mereka lalu berloncatan keluar.

Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan dia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan melindunginya. Dia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu mempunyai kepandaian yang cukup tinggi untuk dapat melawan pengeroyokan sepuluh orang yang buas itu.

Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.

“Heii, siapa kalian yang berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!” bentak salah seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.

Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan jari telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang.

“Hemm, sudah lama kami mendengar mengenai gerombolan Kala Putih yang jahat dan ternyata kabar itu benar. Gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan kumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan dan malu untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam kalian!”

Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan ketika mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya dia hendak mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi dia pun membentak.

“Kalian ini dua orang bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!”

Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, “Kami tak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!”

Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet dan mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.

Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu. Oleh karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka.

Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek sambil membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong saat Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.

Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah para murid Kun-lun-pai, sepuluh orang berpakaian hitam itu menjadi semakin marah. “Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?”

Ciang Sun tersenyum mengejek. “Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak peduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!”

“Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!”

“Persetan dengan Kala Putih yang jahat!” bentak Ciang Sun.

Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu.

Akan tetapi, para anggota Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak mereka. Maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, mereka pun segera mulai menyerang!

Ciang Sun dan sute-nya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka untuk menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebat dan sinarnya menyilaukan mata ketika tertimpa matahari sore.

Akan tetapi, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah. Kedua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulungan sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggota Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!

Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Dia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya sudah hilang ketika dia dikeroyok tadi.

Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu amat kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata.

Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diri pun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka!

Dia meloncat keluar dan langsung menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.

“Bukkk!”

Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, dia membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu.

Melihat tindakan Lan Hong ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi dia hanya bersenjata sebatang kayu, sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semuanya memegang golok.

“Nona, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!” teriak Kok Han dengan khawatir.

“Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!” jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya.

Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok membuat Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!

“Hati-hati...!” teriak Ciang Sun.

Pemuda bertubuh tinggi besar itu cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengeroyoknya. Pedangnya berkelebat ke kiri, merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, kemudian melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya.

Akan tetapi Lan Hong bangkit dan mengamuk lagi, tidak mempedulikan pahanya yang terasa nyeri. Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk bagaikan seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, “Tahan semua senjata!”

Mendengar suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu cepat-cepat berloncatan ke belakang. Ada yang menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru, “Toako datang...!”

Melihat para pengeroyoknya berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga telah meloncat ke belakang.

Wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya. Wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut. Akan tetapi dia nampak semakin manis, menarik dan gagah ketika dia berdiri tidak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.
cerita silat karya kho ping hoo

Orang yang baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule.

Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar dari pada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.

Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. “Heh, siapa yang berani membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?”

Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan, “Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!”

Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, kemudian raksasa itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kiranya kalian memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!”

“Kami tidak memperebutkan wanita!” bentak Ciang Sun marah. “Kami melindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!”

“Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Kala Putih. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.”

“Kami tak akan membiarkan siapa saja mengganggu wanita ini!” bentak pula Ciang Sun.

“Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding? Baiklah, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?”

Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, “Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!”

“Konga Sang,” kata Kok Han yang brewok gagah, “jika engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita, melainkan nyawa kita!”

“Kalian orang-orang muda sombong!” Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya.

Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak, “Kalau kalian berani, majulah!”

Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka mereka pun maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong, “Nona, engkau mundurlah!”

Lan Hong tahu diri. Ia pun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak buahnya, tentu lihai bukan main, dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya.

Maka ia pun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Dia mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apa pun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan mempertahankan diri sampai mati!

“Haiiiiiitt...!”

Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han menggunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan mereka pun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang bisa ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar.

Terjadilah perkelahian yang hebat. Pertarungan sekali ini lebih seru dari pada tadi ketika dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.

Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai. Permainan rantai orang itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka pun merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas sekali. Bahkan beberapa kali hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan oleh getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.

“Ha-ha-ha, mampuslah!” Tiba-tiba raksasa bule itu membentak, rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun.

Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.

“Bretttt...!”

Baju itu pun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka!

Pada saat itu, Kok Han sudah maju sambil menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan dia pun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat!

Ciang Sun cepat memutar pedangnya dan menyerang untuk melindungi sute-nya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai. Sekarang mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.

“Ha-ha-ha, kalian jaga baik-baik supaya pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!” Konga Sang berkata kepada anak buahnya. Dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.

Sambil menyeringai, anak buah Konga Sang mendekati Lan Hong. Dengan wajah pucat wanita ini memandang. Ia pun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan itu pun ia tidak akan menang.

Oleh karena itu, ia pun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, “Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!”

Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, yaitu dua orang yang bertubuh tinggi besar, terus melangkah maju sambil menyeringai.

“Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!”

Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, namun dia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat.

Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu merupakan dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu memiringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang kedua telah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah merangkulkan dua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.

“Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku...!” Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.

Pada saat itu, terdengar bentakan, “Kalian serigala-serigala yang jahat!”

Bentakan ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan, dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu mendadak saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah.

Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong.

Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang lelaki yang tinggi besar dan gagah perkasa. Usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya warna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.

“Lie susiok (paman guru Lie)!” seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.

“Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!” kata pria gagah perkasa itu.

Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat untuk menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!

“Hemm, siapa kau?” Konga Sang membentak saat melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan mencorong.

“Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, dan aku adalah murid Kun-lun-pai!”

“Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!”

“Tak perlu banyak cakap lagi, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”

“Manusia sombong!” Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek.

Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai itu melewati atas kepalanya, dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing!

Terkejutlah Konga Sang dan dia pun terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.

“Tranggg...!”

Terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang pada saat melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu adalah pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya bagian ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walau pun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.

Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan dia pun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadilah pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini.

Ternyata tenaga mereka seimbang, juga sekarang mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jeri terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya kena terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena dia pun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!

Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tersisa tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, meski pun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, Agaknya gegar otak!

Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!

Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih memiliki banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan bersama sepuluh orang anak buahnya saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih.

Karena itu, sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.

“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajaklah pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”

Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alis. Mengapa susiok mereka menyuruh mereka untuk melarikan diri? Padahal jelas bahwa susiok-nya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.

Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susiok-nya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.

“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka.

Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Karena itu, sebaliknya dari pada mengejar tiga orang itu, mereka kini malah membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!

Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam.

Lie Bouw Tek sebetulnya mempunyai ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jeri. Dia pun tahu akan hal ini. Dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya.

Karena itu, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, dia pun meloncat jauh dan menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulai diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.

Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali. “Kejar!” teriaknya.

Mereka pun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jeri menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar saat mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak bisa cepat. Apa lagi mereka terhalang oleh kegelapan malam. Akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas.

Konga Sang mengepal tinju dan berkata dengan geram. “Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”

Ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena dia pun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur…..

**********

Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan merupakan tempat yang aman dan baik sekali untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh yang datang, maka dari jauh pun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.

Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.

“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.

Lan Hong juga ikut berlutut sambil berkata, “Aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolongan taihiap.”

“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, dan tak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tak akan mengejar ke sini. Andai kata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”

Demikianlah, mereka sekarang duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat.

Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, hanya terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan ia pun merasa kagum.

Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa serta gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa.

Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi pada saat mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya langsung mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.

Tanpa ia ketahui, pria di depannya itu pun sejak tadi memperhatikannya, walau pun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum.

Wanita itu sungguh jelita! Tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.

Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang putih mulus dan mulut yang membayangkan kealiman. Tapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.

“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.

Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali kenapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita.

Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, akan tetapi dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan sama sekali belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.

“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”

“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang telah mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek.

Dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suheng-nya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.

Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai.

Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.

Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampai bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari sedang dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelamatkan kami semua.”

Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya saat mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci’ (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?

“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, Nona? Dan siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin Nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”

Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu. “Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona padaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari puteriku...”

Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan telah mempunyai seorang puteri pula! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untung baginya bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.

“Ahhh, maafkan aku, toanio (Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu... maaf...”

Lan Hong menundukkan wajah, bukan karena sedih melainkan karena malu sehingga ucapannya lirih sekali. “Dia sudah meninggal...”

“Ah, maafkan aku, toanio!” seru Lie Bouw Tek.

Ingin dia memukul kepalanya sendiri, mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri.

Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa amat heran dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu sekarang sudah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!

“Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,” kata Lan Hong.

Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan lagi, apa lagi untuk bertanya. Akan tetapi kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.

“Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?”

“Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lhasa.”

Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, kemudian dia berkata kepada kedua orang murid keponakannya. “Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi. Sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lhasa dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lhasa, maka biarlah aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lhasa, hal itu amat berbahaya karena Lhasa masih cukup jauh dari sini.”

Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk. “Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau enci ini ada temannya ke Lhasa. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.”

“Aku mengerti. Bagaimana, toanio, apakah engkau setuju apa bila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lhasa? Kebetulan sekali aku pun hendak pergi ke sana.”

“Tentu saja, ahhh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa sukarnya mencari adikku, dan betapa berbahayanya perjalanan ini. Aku berterima kasih sekali kepadamu, taihiap.”

“Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan aku pun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lhasa. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang besar...”

“Adikku mudah dicari. Dia... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok...”

Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, “Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?”

Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran. “Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Ahhh, ternyata Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!”

Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira bukan main. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?”

Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.

“Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya.”

Kini Ciang Sun yang menjawab. “Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Dia masih sangat muda, akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok, sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang membuat gempar dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kami pun pernah bertemu dengan dia. Baiklah, kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.”

Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan tentang pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama Jubah Merah.

Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh satu tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh tertotok.

Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu. Akan tetapi tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek In Tosu, lalu berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.

“Nanti dulu, bukankah Pek In Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?” tanya Lie Bouw Tek yang banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.

“Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek In Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, ketika itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanyalah seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tahun yang bongkok, dan Pek In Tosu tortolonglah.”

“Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?” Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.

“Tidak, susiok. Pada saat itu, nampaknya dia belum pernah mempelajari silat, atau pun kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan sangat cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung ilmu sihir sehingga Pek In Tosu kewalahan, anak itu kemudian menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu hingga mereka kalah oleh Pek In Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok.”

“Sungguh menarik sekali!” kata Lie Bouw Tek kagum.

“Ahh, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu oleh Sie Liong?” kata Lan Hong.

“Dua orang pandeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek In Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang pendeta Lama itu.”

“Dan bagaimana pula perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?”

“Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun dekat perbatasan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta pernikahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu akhirnya gagal oleh karena Pendekar Bongkok turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pendekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia kembali mengenali kami berdua. Ternyata dia kini telah menjadi seorang pendekar yang sakti!”

Lan Hong menarik napas panjang mendengar cerita kedua orang murid Kun-lun-pai itu. “Ya, memang setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu.”

“Ahhhh...!” Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak penuh kagum. “Pantas saja adikmu itu menjadi seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apa lagi juga menjadi murid Pek-sim Siansu! Ahh, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!”

Mendengar pujian-pujian pendekar Kun-lun-pai itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali saat mengingat akan nasib adiknya. Semenjak kecil adiknya sudah mengalami kesengsaraan. Bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!

Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali.

Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama kemudian mereka pun mengaso dengan duduk bersila…..

**********

Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka jalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong amat berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong makin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu.

Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan santun terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar atau pun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan pada saat memandangnya pun, pendekar itu selalu membatasi diri.

Karena senja sudah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka lalu memilih sebuah goa di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut goa dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap dalam goa. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk.

Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri. Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan.

Bagi Lan Hong, perasaannya yang sangat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalau pun akhirnya timbul perasaan cinta terhadap Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya.

Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya.

Dan selama itu, sama sekali ia tak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandang pun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, mendadak saja, tanpa disangkanya, dia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya sangat jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.

Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita. Bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa dibalik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, dibalik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat.

Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biar pun tergolong cantik akan tetapi tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Kenapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum kepada wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin untuk selama hidupnya?

“Toanio, engkau mengasolah, biarlah aku yang berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.

“Aku belum mengantuk, taihiap. Engkau mengasolah dan biar aku yang berjaga. Masa setiap kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.”

Lie Bouw Tek tersenyum. “Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungi wanita yang lemah.”

“Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.”

Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinarnya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.

“Toanio, ada sedikit permintaan dariku, dan kuharap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.”

Lan Hong balas memandang dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Bagaimana pun percayanya dia kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.

“Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”

“Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita telah melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kau pakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.”

“Ahh, sungguh aneh. Aku sendiri pun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.”

Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggota keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau mulai kini engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?”

Walau pun wajahnya berubah merah dan jantungnya berdebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk.

“Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”

“Dan aku akan menyebutmu siaw-moi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”

Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong pun mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh sesudah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.

“Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?”

Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.

“Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu.”

“Hemmm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”

Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak saat melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangannya.

“Ehhh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”

“Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!”

“Ahh, tidak mungkin! Aku tidak percaya!”

Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran. “Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?” Dalam suaranya terkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.

“Aku tidak mengatakan bahwa engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukah anak tiri, atau anak angkat?”

“Ehhh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!”

“Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?”

Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.

“Lie-toako, berapa kau kira usiaku sekarang?”

“Paling banyak dua puluh lima tahun.”

Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, “Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.”

“Apa?! Tidak mungkin sama sekali! Engkau... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!” Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli.

Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apa lagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya?

“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”

“Aihhh... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.”

“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, dan mungkin malah lebih tua dari padamu.”

“Ahh, tidak, tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”

“Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako. Berapa jumlah anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?”

Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.”

“Ahhh...!”

Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan dia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman pula. Janganlah mengharapkan yang bukan-bukan!

Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya bagaikan mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.

“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”

“Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”

“Hemm, sudah sedemikian lihainya walau pun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”

“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”

“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya baginya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apa lagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”

Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan. "Kurasa tidak, toako. Walau pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong."

“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini.

"Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?" Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.

"Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjulukan Koay Tojin."

"Benarkah?" Kembali pendekar itu terkejut. "Nama besar Koay Tojin sangat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Siansu."

"Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang merupakan sute dari Pek-sim Siansu, guru Sie Liong."

Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang. "Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang luar biasa, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Jika boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?"

Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.

"Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya." Di dalam suara itu terkandung keluhan.


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 12


Pendekar Bongkok Bagian 11

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 11

Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lhasa, ibu kota di Tibet. Meski pun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena letak tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya orang-orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah kaum pedagang, dan yang mereka kunjungi hanya kota-kota besar seperti Lhasa. Yang berkunjung ke telaga Nam hanyalah orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.

Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya. Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya berbentuk bulat dengan kulit muka putih bersih. Sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali, dengan kedua mata yang tajam mencorong, tapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Hidungnya besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek.

Ada pun yang wanita adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyuman dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri-seri.

Anehnya, gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukanlah kain buntut. Agaknya memang sengaja dibuat tambal-tambalan dari bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sute-nya, Coa Bong Gan. Biar pun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin.

Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnya. Dan ia minta bantuan sute-nya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid supek-nya, yaitu Pek-sim Siansu.

Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan dapat mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Tentu mudah bagi mereka untuk menduga bahwa Pendekar Bongkok adalah julukan yang diberikan orang-orang kepada Sie Liong, maka mereka terus melakukan pengejaran.

Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka harus melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja betapa sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biar pun orang itu mempunyai cacat bongkok sekali pun.

“Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lhasa,” kata Bong Gan. “Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau pun kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.”

Bi Sian menyetujui pendapat sute-nya dan pergilah mereka menuju ke Lhasa. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak peduli akan pandangan orang saat melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar pun sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, tetapi ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Dia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!

Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukan kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanan yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.

Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang pada masa kecilnya menjadi anak angkat seorang hartawan dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya segera meninggalkan kebiasaan berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walau pun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena suci-nya tentu akan menegurnya.

Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!

Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, selalu terjadi perang di dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan suci-nya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas.

Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada suci-nya, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya.

Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung di dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sute-nya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak.

Dia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini. Dia telah mengambil keputusan bahwa sebelum dia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, dia tidak akan memikirkan urusan cinta!

Setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, baru pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu birahinya berkobar lagi. Dia berani mencari wanita untuk memuaskan gairah nafsu birahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli mau pun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya.

Tetapi hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia mendapat kesempatan karena biar pun sudah berpisah dari suhu-nya yang dia takuti, kini dia masih bersama suci-nya (kakak seperguruan). Sama sekali bukan dikarenakan dia takut pada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu.

Dia tidak ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu harapan dirinya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.

Pada saat berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu birahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Tapi celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian!

Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberi tahu mengenai keberadaannya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tak ada jalan lain kecuali harus membunuhnya! Dia pun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya, lalu dibunuhnya Yauw Sun Kok. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.

Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti yang telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk mendapatkan balas jasa.

Kalau mereka maju berdua, betapa pun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya.

Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang dicintanya itu sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya.

Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.

Ketika dua orang muda itu sedang mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.

Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata, “Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute.”

Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak galak.

Mereka mendekatkan perahu ke pantai, lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak.

Melihat wajah suci-nya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa suci-nya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya apa bila mereka sudah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lain pun yang mengusik mereka. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar-debar serta gairah nafsunya timbul dan berkobar.

Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biar pun gairah nafsu sudah mencengkeram dirinya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu pasti bahwa apa bila dia menggunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan suci-nya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali.

Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta pada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.

“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.

Gadis ini merasa heran melihat betapa sute-nya memandang kepadanya tidak seperti biasa, tetapi dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.

Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu menjadi terkejut sehingga dia tersipu. “Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya. Kecerdikan dan ketenangan pemuda ini menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.

Melihat sikap sute-nya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan ia pun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang.

“Yahhhh... aku pun gembira sekali, sute. Memang sangat indah pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanya pun nyaman bukan main!”

“Aku merasa seperti di sorga, suci!”

Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. “Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu...”

“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”

Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. “Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”

“Karena ada engkau di dekatku, suci.”

“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri sambil bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”

Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka dan memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang. “Maafkan aku, suci, tadi aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”

Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sute-nya itu.

“Sute, kau... barusan bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu...”

“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri...”

“Sute...!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena dia menganggap sute-nya terlalu berani, terlalu lancang.

“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”

Mendengar pengakuan sute-nya itu, wajah Bi Sian sebentar pucat dan sebentar merah. Memang dia sudah menduga bahwa sute-nya jatuh cinta kepadanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sute-nya sendiri, bermacam perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena dia menganggap sute-nya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak atau pun mengeluarkan kata-kata.

Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sute-nya. Kemudian terdengar suaranya lirih.

“Sute...!”

“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.

“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, aku melarang membicarakan tentang cinta lagi!”

“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar supaya ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku...”

“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku pun tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”

Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!

Hal ini meyakinkan hatinya bahwa suci-nya itu pun ‘ada hati’ padanya. Andaikan tidak, tak mungkin menunda waktu untuk menjawabnya. Bila gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan ‘tidak’, tentu ia tak akan menunda waktu. Jawabannya jelas ‘ya’, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.

“Baiklah, suci. Mulai saat ini nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”

Bi Sian menarik napas lega. Ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.

“Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lhasa,” katanya.

“Baik, suci,” kata Bong Gan.

Bong Gan tidak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat suci-nya marah atau jengkel…..

**********

Sejak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tiga tahun, tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat.

Pada waktu berusia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu.

Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah akhirnya dia pun jatuh cinta kepada pria itu. Bahkan dia melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu.

Kemudian, hatinya kembali tersiksa karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali dia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apa lagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.

Kebahagiaan sejenak kembali dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walau pun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, alangkah pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong!

Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin dia menyalahkan adiknya jika dia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andai kata dulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok!

Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Dia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.

“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan...?” Berulang kali Sie Lan Hong mengeluh dalam tangisnya.

Selama belasan hari dia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang!

Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong di dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia pun dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.

Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya?

Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?

“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.

Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Dia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang sangat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih.

Ia hidup dalam kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.

Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan lebih dulu. Satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana dahulu suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!

Tanpa mempedulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang. Dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan mengenai suaminya pada kunjungan terakhir.

Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu. Mereka juga mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada waktu kunjungannya yang terakhir kalinya itu.

“Dia tidak bermalam di sini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok, lalu pulang menjelang tengah malam.”

Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia juga membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, dan kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang...”

Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.

“Setelah dia minum agak banyak, dia memang mengomel dan mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tak suka melihat pemuda itu pelesir di sini, juga tentang kebenciannya terhadap seorang yang bongkok...”

Lan Hong tertarik sekali. “Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”

“Pada saat dia masuk, dia bertemu dengan seorang kongcu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”

“Siapakah pemuda itu? Apakah dia... bongkok?”

Dua orang pelacur itu tertawa.

“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”

“Apakah dia langganan lama di sini?”

“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal...”

“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.

“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu.

Tidak lama kemudian dua orang pelacur lainnya ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang lagi mereka bicarakan.

“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng, maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”

Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!

“Tolong kalian gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!” tanya Lan Hong, berusaha menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.

“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” berkata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.

“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka... suka mencium, hi-hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti... kuda jantan! Pakaiannya pesolek...”

Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apa pun ia meninggalkan tempat itu.

Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya. Dia membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnya.

Dia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan pada waktu itu adiknya membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya.

Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat dari Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, lalu memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.

Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah bukan main. Perjalanan itu benar-benar tidak mudah. Bagaimana pun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik.

Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat dia merasa kesal, di samping tubuhnya juga merasa lelah. Untunglah bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, ia pun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri.

Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, juga dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar menjadi jeri. Sampai hampir sebulan dalam perjalanan, nyonya muda ini masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.

Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada dusun lagi sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Apa lagi matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya dia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.

Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Dia sudah memasuki daerah Tibet, dan dia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lhasa dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lhasa masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!

Mengapa tadi aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini.

Dengan hati kecut ia pun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.

Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, mendadak dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang lelaki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan lukisan seekor kala putih yang menyeramkan pada bagian dada.

“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya... waw sexi banget!”

Sepuluh orang itu sudah mengepung dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan.

Walau pun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar-debar penuh rasa tegang dan gelisah. Akan tetapi, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.

“Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!”

“Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di antara mereka. “Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!” kata yang lain.

Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlomba untuk menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia pun cepat mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.

“Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!” bentaknya.

Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.

“Wah, pandai bermain pedang juga, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!” Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan.

Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikkan tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.

“Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan lebih dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai dia terluka!”

Mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong segera memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika nyonya muda ini kembali menerjang dengan pedangnya, mereka pun menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Trangggg...!”

Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan ini segera digunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.

Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira, lalu berlari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka bagaikan segerombolan serigala yang sedang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu tidak akan terlepas dari terkaman mereka.

Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik dia mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.

Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak cepat-cepat menangkap wanita itu. Lan Hong berlari terus, menuruti jalan setapak hingga ia melihat sebuah kuil tua di depan.

Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong kemudian berlari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil itu dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan.

Sepuluh orang pria itu masih terus mengejar sambil tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Memang tempat yang enak untuk bersenang-senang!”

Lan Hong tidak mempedulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.

“Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam.

Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang kedua bertubuh sedang saja, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka masing-masing nampak sebatang pedang.

Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya...”

“Nona, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!” Mereka lalu berloncatan keluar.

Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan dia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan melindunginya. Dia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu mempunyai kepandaian yang cukup tinggi untuk dapat melawan pengeroyokan sepuluh orang yang buas itu.

Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.

“Heii, siapa kalian yang berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!” bentak salah seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.

Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan jari telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang.

“Hemm, sudah lama kami mendengar mengenai gerombolan Kala Putih yang jahat dan ternyata kabar itu benar. Gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan kumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan dan malu untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam kalian!”

Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan ketika mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya dia hendak mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi dia pun membentak.

“Kalian ini dua orang bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!”

Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, “Kami tak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!”

Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet dan mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.

Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu. Oleh karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka.

Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek sambil membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong saat Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan.

Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah para murid Kun-lun-pai, sepuluh orang berpakaian hitam itu menjadi semakin marah. “Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?”

Ciang Sun tersenyum mengejek. “Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak peduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!”

“Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!”

“Persetan dengan Kala Putih yang jahat!” bentak Ciang Sun.

Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu.

Akan tetapi, para anggota Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak mereka. Maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, mereka pun segera mulai menyerang!

Ciang Sun dan sute-nya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka untuk menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebat dan sinarnya menyilaukan mata ketika tertimpa matahari sore.

Akan tetapi, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah. Kedua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulungan sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggota Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur!

Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu. Dia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya sudah hilang ketika dia dikeroyok tadi.

Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu amat kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata.

Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diri pun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka!

Dia meloncat keluar dan langsung menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.

“Bukkk!”

Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, dia membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu.

Melihat tindakan Lan Hong ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi dia hanya bersenjata sebatang kayu, sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semuanya memegang golok.

“Nona, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!” teriak Kok Han dengan khawatir.

“Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!” jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya.

Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok membuat Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!

“Hati-hati...!” teriak Ciang Sun.

Pemuda bertubuh tinggi besar itu cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengeroyoknya. Pedangnya berkelebat ke kiri, merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, kemudian melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya.

Akan tetapi Lan Hong bangkit dan mengamuk lagi, tidak mempedulikan pahanya yang terasa nyeri. Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk bagaikan seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, “Tahan semua senjata!”

Mendengar suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu cepat-cepat berloncatan ke belakang. Ada yang menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru, “Toako datang...!”

Melihat para pengeroyoknya berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga telah meloncat ke belakang.

Wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya. Wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut. Akan tetapi dia nampak semakin manis, menarik dan gagah ketika dia berdiri tidak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.
cerita silat karya kho ping hoo

Orang yang baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule.

Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar dari pada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.

Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. “Heh, siapa yang berani membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?”

Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan, “Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!”

Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, kemudian raksasa itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kiranya kalian memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!”

“Kami tidak memperebutkan wanita!” bentak Ciang Sun marah. “Kami melindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!”

“Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Kala Putih. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.”

“Kami tak akan membiarkan siapa saja mengganggu wanita ini!” bentak pula Ciang Sun.

“Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding? Baiklah, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?”

Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, “Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!”

“Konga Sang,” kata Kok Han yang brewok gagah, “jika engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita, melainkan nyawa kita!”

“Kalian orang-orang muda sombong!” Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya.

Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak, “Kalau kalian berani, majulah!”

Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka mereka pun maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong, “Nona, engkau mundurlah!”

Lan Hong tahu diri. Ia pun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak buahnya, tentu lihai bukan main, dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya.

Maka ia pun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Dia mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apa pun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan mempertahankan diri sampai mati!

“Haiiiiiitt...!”

Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han menggunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan mereka pun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang bisa ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar.

Terjadilah perkelahian yang hebat. Pertarungan sekali ini lebih seru dari pada tadi ketika dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.

Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai. Permainan rantai orang itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka pun merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas sekali. Bahkan beberapa kali hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan oleh getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.

“Ha-ha-ha, mampuslah!” Tiba-tiba raksasa bule itu membentak, rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun.

Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.

“Bretttt...!”

Baju itu pun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka!

Pada saat itu, Kok Han sudah maju sambil menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan dia pun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat!

Ciang Sun cepat memutar pedangnya dan menyerang untuk melindungi sute-nya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai. Sekarang mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.

“Ha-ha-ha, kalian jaga baik-baik supaya pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!” Konga Sang berkata kepada anak buahnya. Dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.

Sambil menyeringai, anak buah Konga Sang mendekati Lan Hong. Dengan wajah pucat wanita ini memandang. Ia pun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan itu pun ia tidak akan menang.

Oleh karena itu, ia pun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, “Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!”

Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, yaitu dua orang yang bertubuh tinggi besar, terus melangkah maju sambil menyeringai.

“Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!”

Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, namun dia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat.

Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu merupakan dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu memiringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang kedua telah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah merangkulkan dua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.

“Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku...!” Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali.

Pada saat itu, terdengar bentakan, “Kalian serigala-serigala yang jahat!”

Bentakan ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan, dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu mendadak saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah.

Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong.

Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang lelaki yang tinggi besar dan gagah perkasa. Usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya warna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.

“Lie susiok (paman guru Lie)!” seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.

“Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!” kata pria gagah perkasa itu.

Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat untuk menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!

“Hemm, siapa kau?” Konga Sang membentak saat melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan mencorong.

“Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, dan aku adalah murid Kun-lun-pai!”

“Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!”

“Tak perlu banyak cakap lagi, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”

“Manusia sombong!” Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek.

Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai itu melewati atas kepalanya, dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing!

Terkejutlah Konga Sang dan dia pun terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.

“Tranggg...!”

Terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang pada saat melihat betapa ujung rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu adalah pedang pusaka yang ampuh! Untung baginya bahwa yang buntung hanya bagian ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walau pun tanpa kaitan. Dengan marah dia mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan melancarkan serangan bertubi-tubi.

Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan dia pun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadilah pertempuran yang amat seru di antara kedua orang ini.

Ternyata tenaga mereka seimbang, juga sekarang mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jeri terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali pedangnya kena terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena dia pun tahu bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu, akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!

Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal tersisa tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan Hong pada tengkuknya, meski pun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi, Agaknya gegar otak!

Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!

Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih memiliki banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan bersama sepuluh orang anak buahnya saja. Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih.

Karena itu, sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.

“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajaklah pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”

Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alis. Mengapa susiok mereka menyuruh mereka untuk melarikan diri? Padahal jelas bahwa susiok-nya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.

Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susiok-nya menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.

“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han melindungi mereka.

Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh. Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Karena itu, sebaliknya dari pada mengejar tiga orang itu, mereka kini malah membantu pemimpin mereka mengeroyok Lie Bouw Tek!

Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Ang-seng-kiam.

Lie Bouw Tek sebetulnya mempunyai ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jeri. Dia pun tahu akan hal ini. Dia tahu pula bahwa kalau Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, dia akan menghadapi bahaya.

Karena itu, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita itu, kemudian setelah memutar pedangnya, dia pun meloncat jauh dan menghilang di balik semak belukar dan pohon-pohon yang mulai diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.

Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali. “Kejar!” teriaknya.

Mereka pun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jeri menghadapi tiga orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar saat mengejar dan mencari sehingga gerakan mereka tidak bisa cepat. Apa lagi mereka terhalang oleh kegelapan malam. Akhirnya mereka terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas.

Konga Sang mengepal tinju dan berkata dengan geram. “Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku! Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”

Ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena dia pun tahu betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan mengakibatkan pasukannya hancur…..

**********

Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka dapat melihat ke empat penjuru dan merupakan tempat yang aman dan baik sekali untuk melewatkan malam. Kalau ada musuh yang datang, maka dari jauh pun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.

Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri. Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.

“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.

Lan Hong juga ikut berlutut sambil berkata, “Aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolongan taihiap.”

“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, dan tak perlu dengan segala macam kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tak akan mengejar ke sini. Andai kata mereka datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam. Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”

Demikianlah, mereka sekarang duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah, terang dan hangat.

Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, hanya terhalang api unggun itu. Sinar api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan ia pun merasa kagum.

Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa serta gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa.

Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena tadi pada saat mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya langsung mengingatkan Lan Hong akan seekor harimau.

Tanpa ia ketahui, pria di depannya itu pun sejak tadi memperhatikannya, walau pun tidak kentara. Dan Lie Bouw Tek juga kagum.

Wanita itu sungguh jelita! Tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu, tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir, nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.

Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat. Wajahnya amat manis, dengan kulit yang putih mulus dan mulut yang membayangkan kealiman. Tapi sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh bayangan duka dan derita.

“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.

Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali kenapa dia demikian tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita.

Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka, akan tetapi dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja dijumpainya, bahkan sama sekali belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.

“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek (uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”

“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang telah mengutus kalian? Sudah pasti ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek.

Dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suheng-nya, yaitu ketua Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.

Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kun-lun-pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai.

Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satu-satunya tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tak bertugas di Kun-lun-pai melainkan menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk melakukan penyelidikan itu.

Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampai bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari sedang dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil. Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok muncul dan menyelamatkan kami semua.”

Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya saat mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci’ (kakak perempuan) kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?

“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, Nona? Dan siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu memperkenalkan diri. “Mungkin Nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai. Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”

Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih namun cukup jelas bagi tiga orang itu. “Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona padaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga mencari puteriku...”

Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan telah mempunyai seorang puteri pula! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar. Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untung baginya bahwa sinar api unggun memang sudah kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang lain.

“Ahhh, maafkan aku, toanio (Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu... maaf...”

Lan Hong menundukkan wajah, bukan karena sedih melainkan karena malu sehingga ucapannya lirih sekali. “Dia sudah meninggal...”

“Ah, maafkan aku, toanio!” seru Lie Bouw Tek.

Ingin dia memukul kepalanya sendiri, mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada dirinya sendiri.

Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa amat heran dan geli melihat betapa susiok mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu sekarang sudah beberapa kali minta maaf dan menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!

“Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,” kata Lan Hong.

Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan ucapan lagi, apa lagi untuk bertanya. Akan tetapi kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.

“Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?”

“Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lhasa.”

Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, kemudian dia berkata kepada kedua orang murid keponakannya. “Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi. Sesuai dengan tugas yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lhasa dan karena toanio ini hendak mencari keluarganya di Lhasa, maka biarlah aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan seorang diri ke Lhasa, hal itu amat berbahaya karena Lhasa masih cukup jauh dari sini.”

Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk. “Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau enci ini ada temannya ke Lhasa. Siapa tahu gerombolan Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.”

“Aku mengerti. Bagaimana, toanio, apakah engkau setuju apa bila aku menemanimu melakukan perjalanan ke Lhasa? Kebetulan sekali aku pun hendak pergi ke sana.”

“Tentu saja, ahhh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa sukarnya mencari adikku, dan betapa berbahayanya perjalanan ini. Aku berterima kasih sekali kepadamu, taihiap.”

“Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan aku pun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat menemukan adikmu di Lhasa. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang banyak di tempat yang besar...”

“Adikku mudah dicari. Dia... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok...”

Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, “Nanti dulu, enci. Apakah adikmu itu bernama Sie Liong?”

Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran. “Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Ahhh, ternyata Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami pernah bertemu dengan dia!”

Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira bukan main. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?”

Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.

“Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku mendengar namanya.”

Kini Ciang Sun yang menjawab. “Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Dia masih sangat muda, akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok, kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok, sehingga kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang membuat gempar dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kami pun pernah bertemu dengan dia. Baiklah, kami ceritakan saja pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.”

Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan tentang pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta Lama Jubah Merah.

Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh satu tahun. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya dan roboh tertotok.

Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu. Akan tetapi tosu itu, yang tadi diseret-seret dan yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek In Tosu, lalu berbalik menyelamatkan mereka. Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.

“Nanti dulu, bukankah Pek In Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?” tanya Lie Bouw Tek yang banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.

“Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek In Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, ketika itu muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanyalah seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga belas tahun yang bongkok, dan Pek In Tosu tortolonglah.”

“Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?” Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.

“Tidak, susiok. Pada saat itu, nampaknya dia belum pernah mempelajari silat, atau pun kalau pernah, masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan sangat cerdik. Mendengar dua orang pendeta Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung ilmu sihir sehingga Pek In Tosu kewalahan, anak itu kemudian menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu hingga mereka kalah oleh Pek In Tosu dan melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok.”

“Sungguh menarik sekali!” kata Lie Bouw Tek kagum.

“Ahh, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu oleh Sie Liong?” kata Lan Hong.

“Dua orang pandeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek In Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang pendeta Lama itu.”

“Dan bagaimana pula perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?”

“Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun dekat perbatasan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta pernikahan puteranya. Akan tetapi pernikahan itu akhirnya gagal oleh karena Pendekar Bongkok turun tangan mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan. Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pendekar Bongkok yang menggagalkan pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia kembali mengenali kami berdua. Ternyata dia kini telah menjadi seorang pendekar yang sakti!”

Lan Hong menarik napas panjang mendengar cerita kedua orang murid Kun-lun-pai itu. “Ya, memang setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Menurut pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu.”

“Ahhhh...!” Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak penuh kagum. “Pantas saja adikmu itu menjadi seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya Sam Lojin sudah hebat apa lagi juga menjadi murid Pek-sim Siansu! Ahh, sungguh hebat sekali adikmu itu, toanio!”

Mendengar pujian-pujian pendekar Kun-lun-pai itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan diam-diam ia merasa sedih sekali saat mengingat akan nasib adiknya. Semenjak kecil adiknya sudah mengalami kesengsaraan. Bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!

Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun. Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali.

Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama kemudian mereka pun mengaso dengan duduk bersila…..

**********

Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka jalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong amat berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong makin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu.

Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan santun terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar atau pun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan pada saat memandangnya pun, pendekar itu selalu membatasi diri.

Karena senja sudah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka lalu memilih sebuah goa di daerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut goa dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap dalam goa. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk.

Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri. Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan.

Bagi Lan Hong, perasaannya yang sangat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalau pun akhirnya timbul perasaan cinta terhadap Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya.

Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya.

Dan selama itu, sama sekali ia tak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka memandang pun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, mendadak saja, tanpa disangkanya, dia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya sangat jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.

Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita. Bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa dibalik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, dibalik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat.

Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biar pun tergolong cantik akan tetapi tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Kenapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum kepada wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin untuk selama hidupnya?

“Toanio, engkau mengasolah, biarlah aku yang berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu.

“Aku belum mengantuk, taihiap. Engkau mengasolah dan biar aku yang berjaga. Masa setiap kali kita bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.”

Lie Bouw Tek tersenyum. “Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungi wanita yang lemah.”

“Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.”

Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinarnya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.

“Toanio, ada sedikit permintaan dariku, dan kuharap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.”

Lan Hong balas memandang dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Bagaimana pun percayanya dia kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.

“Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”

“Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita telah melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kau pakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing.”

“Ahh, sungguh aneh. Aku sendiri pun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.”

Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggota keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau mulai kini engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?”

Walau pun wajahnya berubah merah dan jantungnya berdebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk.

“Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”

“Dan aku akan menyebutmu siaw-moi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”

Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong pun mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh sesudah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.

“Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?”

Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.

“Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu.”

“Hemmm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”

Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak saat melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangannya.

“Ehhh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”

“Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!”

“Ahh, tidak mungkin! Aku tidak percaya!”

Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran. “Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membobong?” Dalam suaranya terkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.

“Aku tidak mengatakan bahwa engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukah anak tiri, atau anak angkat?”

“Ehhh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!”

“Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?”

Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis.

“Lie-toako, berapa kau kira usiaku sekarang?”

“Paling banyak dua puluh lima tahun.”

Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, “Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.”

“Apa?! Tidak mungkin sama sekali! Engkau... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!” Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli.

Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apa lagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya?

“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”

“Aihhh... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi.”

“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, dan mungkin malah lebih tua dari padamu.”

“Ahh, tidak, tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”

“Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako. Berapa jumlah anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?”

Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi.”

“Ahhh...!”

Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan dia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman pula. Janganlah mengharapkan yang bukan-bukan!

Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya bagaikan mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.

“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”

“Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”

“Hemm, sudah sedemikian lihainya walau pun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”

“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”

“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya baginya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apa lagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun.”

Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan. "Kurasa tidak, toako. Walau pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong."

“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini.

"Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?" Di dalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.

"Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjulukan Koay Tojin."

"Benarkah?" Kembali pendekar itu terkejut. "Nama besar Koay Tojin sangat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Siansu."

"Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang merupakan sute dari Pek-sim Siansu, guru Sie Liong."

Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang. "Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang luar biasa, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Jika boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?"

Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara.

"Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya." Di dalam suara itu terkandung keluhan.


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 12


Loading...