Pendekar Bongkok Bagian 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 04

“Trakkk!”

Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek gembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia mempunyai tenaga gajah yang sukar dilawan.

Pada saat itu pula, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek gembel. Kakek gembel itu terkekeh keras sehingga kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek gembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga dia tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.

“Tokkk!”

Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan dia pun terbelalak keheranan.

Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Mengapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina.

Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi sangat marah. Biar pun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, sekarang dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek gembel.

“Waduh, jebol perut ini...!” teriak kakek gembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus!

Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.

“Takkk!”

Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Pada waktu Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek gembel itu, melainkan menembus baju gembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?

Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang sekarang menghadapi tiga orang kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya sedang meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek gembel!

“Si-sute dan Ngo-sute, hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama.

Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol. Akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang gembel yang amat sakti, maka mereka pun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan yang halus.

“Siancai...! Tidak malukah kalian sebagai lima orang pendeta yang mestinya menjauhi kekerasan, kini malah mempergunakan kekerasan untuk menyerang orang lain?”

Lima orang pendeta Lama itu terkejut. Suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khikang yang terasa menggetarkan jantung, maka mereka pun berloncatan mundur untuk memandang siapa yang muncul itu.

Kiranya dia adalah seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh puluh lima tahun. Rambutnya putih semua, riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih. Tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar. Pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhnya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.

“Supek...!” Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek yang baru datang itu.

“Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!” Kakek gembel berseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan!

Himalaya San Lojin juga memberi hormat kepada kakek gembel itu.

“Terima kasih atas bantuan susiok!”

“Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, dan ternyata ada Lama Jubah Merah yang berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh-heh!”

Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Siansu, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek gembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apa lagi muncul paman guru dan uwa gurunya!

Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdenyutan kepala itu!

“Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.

“Siancai...!” Pek In Tosu yang terluka pundaknya, mengeluarkan sedikit darah, berkata sambil menarik napas panjang. “Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kau putar balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang datang menyerang, lalu membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apa pun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang ke sini untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?”

“Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama.

“Kami harus menangkap dan membawa Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”

“Siancai...!” Pek-sim Siansu berkata, suaranya tetap halus sekali.

Namun kembali lima orang Lama itu bergidik karena isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.

“Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun yang akan diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentulah dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal sekali!”

Mendengar ini, lima orang Lama itu saling pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami adalah utusan Dalai Lama, akan tetapi sudah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!” Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.

“Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan amat membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin.

Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Siansu. Akan tetapi kalau Pek Sim Siansu hidup sebagai orang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran. Memang ada kelainan pada diri Koay Tojin. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting!

Padahal dalam ilmu kepandaian silat mau pun kekuatan sihir, ia tak kalah dibandingkan dengan suheng-nya itu. Mungkin justru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu.

Hidupnya berkeliaran seperti gembel dan kadang-kadang dia melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita terlebih dulu. Akan tetapi dia pun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, malah dia lebih dikenal sebagai seorang sinting.

“Sute, engkau pun sampai kini masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”

“Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Tetapi sekarang, coba dengar, dia berceramah menguliahi aku supaya aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”

Biar pun gembel tua itu nampak ugal-ugalan, tetapi diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka dia pun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, “Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu jahat bukan main, dan lebih jahat lagi karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andai kata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”

“Siancai... Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Siansu kepada Himalaya Sam Lojin.

Pek In Tosu lalu menceritakan mengenai Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama. Kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.

“Kebetulan supek sudah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In Tosu kepada supeknya.

Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Siansu lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena pada waktu mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Siansu, berusia hanya tiga tahun lebih tua dari mereka.

Pek-sim Siansu memang mempunyai berbagai macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek In Tosu, dan kini menderita luka pukulan beracun, dia pun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya.

Pek-sim Siansu mengerutkan alisnya dan berkata. “Ahh, biar pun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati, tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto akan sembuhkan dia.”

“Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.

Biar pun di dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, namun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.

“Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek gembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.”

“Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,” kata Pek-sin Tosu.

“Heh-heh-heh, engkau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biarlah engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”

Pek-sim Siansu menarik napas panjang. “Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu hal yang baik sekali walau pun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?”

“Namaku Sie Liong, locianpwe.”

“Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dengarlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh bila kita berkelahi dengan orang lain hanya karena kemarahan, kebencian atau dendam. Engkau tadi sudah melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan lima orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikit pun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan untuk membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya bila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkau pun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian tadi. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dendam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itu pun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab-sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biar pun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti bumi dan langit.”

Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam telah mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Siansu. Walau pun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sute-nya masih hahah-heheh, Pek-sim Siansu lalu tersenyum.

“Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.”

Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira. “Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih...” Dan tiba-tiba kakek itu pun menangis terisak-isak seperti anak kecil!

Tentu saja Sie Liong terkejut sekali melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedang Pek-sim Siansu memandang sute-nya sambil tersenyum.

“Lanjutkan, sute.”

Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan lagi. “Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng barani mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”

“Siancai...! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.”

“Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!”

“Siancai..., munafik lebih keji dari pada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat makhluk-makhluk hidup yang bergerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.”

“Nah-nah-nah...!” Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan ke arah suheng-nya. “Kalau begitu suheng juga membunuh!”

“Memang, hal itu pinto akui, sute. Akan tetapi, biar pun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit. Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biar pun semua itu mengandung makhluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andai kata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan supaya tidak termasuk dan termakan. Semua makhluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biar pun membunuh makhluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, walau pun sayuran itu pun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan harus dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama makhluk hidup hanya karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau pun karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”

“Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh...”

“Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk semakin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan bisa merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dan dalam.”

“Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”

Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Siansu tertawa.

“Ha-ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendengar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pinto pun ingin pula menyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!”

Pek-sim Siansu juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda.

Pek-sim Siansu demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar matanya dan senyumnya penuh kasih sayang. Akan tetapi sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja. Hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.

Melihat betapa supek dan susiok mereka itu sudah saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gembira. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka.

Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu. Akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan Sam Lojin dia pun tidak mampu mengikutinya dengan baik.

Dia hanya merasa heran kenapa hatinya tertarik kepada si gembel yang berotak miring ini. Akan tetapi dia pun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang amat berwibawa itu. Dia merasa heran, mengapa kakek itu mau saja melayani gembel tua yang disebut sute-nya.

“Suheng, coba kau sambut jurus tongkatku ini!” Tiba-tiba Koay Tojin berseru, kemudian tongkatnya bergerak.

Anehnya, gerakan itu lambat saja, bahkan seperti main-main. Akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu-deru dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Siansu, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana pun lawan akan mengelak!

Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.

“Bagus sekali!” seru Pek-sim Siansu memuji, bukan sekedar untuk menyenangkan hati sute-nya, melainkan memuji karena kagum.

Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sute-nya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan mau pun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justru akan memperkuat getaran tongkat sute-nya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga.

Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sute-nya. Dua batang tongkat butut lalu bertemu. Akan tetapi Pek-sim Siansu tidak menangkis, melainkan menggunakan sinkang sehingga membuat tongkatnya menempel pada tongkat sute-nya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sute-nya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sute-nya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.

“Hemmm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” bertanya sang suheng.

“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.”

“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.”

“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi.

Kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Siansu, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut tanpa jeda. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu!

Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu tak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah akibat terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek gembel gila itu.

“Siancai...! Sungguh dahsyat...!” kata Pek-sim Siansu.

Kakek ini pun menggerakkan tongkat bututnya. Ke mana pun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Siansu sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat.

Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, bagai dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur dan menghentikan serangannya.

“Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau mempunyai ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?”

“Siancai..., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.”

“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!”

Koay Tojin pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah kepala suheng-nya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana, bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak terduga-duga andai kata yang dipukul mengelak.

Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Siansu justru tidak mengelak, melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini, dan tahu pula bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak, malah menangkis supaya jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya sambil diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.

Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Siansu. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.

Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu.

Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.

“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!” Mendadak dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya.

Tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada dua kakinya yang terjepit.

Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek gembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah yang cukup banyak dan agak menghitam!

Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.

“Siancai... siancai... siancai...!” Pek-sim Siansu memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dadanya. “Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”

Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tadi tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”

“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...” kata Pek-sim Siansu lirih.

Tiga orang kakek itu melihat dan... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut bukan main.

Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara kedua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Siansu hancur. Hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Siansu, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.

“Siancai... Bukan main hebatnya susiok...” berkata Pek In Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali...!”

Pek-sim Siansu dapat membaca isi hati murid keponakan ini. “Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimana pun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak pada yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”

“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.

Pek-sim Siansu tersenyum. “Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapa pun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kita pun bisa saja memilih seorang murid yang baik, supaya kelak dia dapat menahan kejahatan yang datang dari mana pun juga.”

Pada saat itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe... harap suka tolong saya...”

Pek In Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Siansu mencegahnya. “Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”

Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kakinya terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti sedang kebanjiran darah dan mulai merasa pening. Juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tiada rasanya lagi, mukanya pun terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, dia pun merasa mendongkol.

“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”

Kini Pek-sim Siansu mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya, tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukan pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung muntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”

Mendengar penjelasan ini, Sie Liong merasa girang sekali. “Ahh, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”

Pek-sim Siansu mengangguk-angguk dan dia pun kembali duduk bersila di depan tiga orang murid keponakannya.

“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?” Pek In Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu.

Pek-sim Siansu tersenyum. Diam-diam dia memuji pandangan murid keponakannya yang tajam dan telah memperoleh kemajuan pesat ini.

“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.

“Akan tetapi..., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apa lagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.

“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Siansu. “Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”

“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.

Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.

“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apa lagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimana pun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa dulu mendiang suhu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya,” kata Pek In Tosu.

“Memang nampaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan kita.”

“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.

Supeknya tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah engkau sudah berapa usiamu? Orang-orang setua kita ini tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukan pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.

“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan semua ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.

Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka. Selanjutnya dia tak mendengar apa-apa lagi, karena sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar…..

**********

Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini.

Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlomba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki.

Akan tetapi, agaknya dia memang sudah biasa dengan daerah ini. Kudanya pun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit, di mana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah bila mereka sudah tiba di puncak.

Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apa lagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal.

Keduanya sungguh menikmati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat dari pada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.

Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menggigit tengkuknya. Dia bangkit dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut.

“Semut jahil kau!” katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya.

Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.

Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk asli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda.

Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecil pun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apa lagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang sayang sekali kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri menyusuri padang-padang rumput dan lembah-lembah.

Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka. Berhari-hari dia menangis dan mendesak ayah ibunya supaya mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping paman kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong. Akan tetapi, lambat laun ia mampu juga melupakan Sie Liong.

Pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat. Ketika melihat kudanya makan rumput, tiba-tiba Bi Sian merasa perutnya menjadi lapar sekali.

Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya pada kepala gadis cilik itu.

“Hayo kita pulang, hari sudah sore,” bisik Bi Sian dan dia pun memasangkan kembali kendali kudanya.

Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak mempedulikan mereka.

Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.

“Perlahan dulu, nona. Berikan kuda ini kepada kami!” katanya.

Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.

“Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?!” bentaknya.

“Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.”

Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, tetapi ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biar pun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi semenjak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah mempunyai ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walau pun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar.

Sambil tertawa-tawa si brewok itu mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.

“Bukkk!”

Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan dia pun terjengkang. Biar pun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu sudah meringkusnya.

“Lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan. Pemuda yang pernah berkelahi dengan dia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya!

Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang.

“Hemmm, bocah lancang, siapa kau?!” bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.

Tapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Ia pun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang, “Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun, komandan keamanan di Sung-jan!”

“Ahhh...!” Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.

“Maaf... maafkan kami... kongcu...” Si brewok berkata dengan suara gemetar.

Lu Ki Cong melangkah maju lagi. “Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Dia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?”

“Maaf... maaf...” Sekarang lima orang itu cepat-cepat melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.

“Kalian patut dihajar!”

Ki Cong lalu melangkah maju. Tangan kakinya bergerak, menampar serta menendang. Lima orang itu jatuh bangun, kemudian mereka melarikan diri tunggang langgang, pergi meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.

Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tidak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!

“Terima kasih...” katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu sudah memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.

Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. “Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?” Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya.

Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian. Dia pun segera menarik tangannya dengan renggutan, lalu melangkah mundur. Alisnya berkerut.
cerita silat karya kho ping hoo

“Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!” bentaknya marah.

“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, di antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...”

“Aku tidak peduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.

“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?”

Mendadak sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang bagaikan bernyala. “Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”

Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersyukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tadi tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau sudah diperkosa! Dan engkau sedikit pun tidak berterima kasih kepadaku!”

“Hemm, sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”

“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul serta mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.

“Plakkk!”

Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.

“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian.

Gadis cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong telah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.

Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda remaja itu.

“Tokkk!”

Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong pun berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Ia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek gembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.

“Kau... kau berani memukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.

Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.

“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”

“Gembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?”

“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, ada orang yang menghinamu, dikatakannya engkau tak bisa memukul sendiri. Sekarang tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”

Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.

“Plakk!”

Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.

Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Dia pun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek gembel. Bi Sian mendekati.

“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka atau tongkat wasiat?”

“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”

Bi Sian makin mendekat, sedikit pun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.

“Kakek, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”

“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...”

Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia lalu mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.

“Kek, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini dapat terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”

Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”

“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, tentu untuk melindungi diriku sendiri. Kedua, dapat kupergunakan pula untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”

“Paman kecil bongkok?”

“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!”

“Sie Liong... anak... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.

“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Sudah berbulan-bulan ia melarikan diri dari rumah ayah, kini entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”

Koay Tojin mengelus jenggotnya, lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya. “Engkau sungguh mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?”

“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang.

Bi Sian mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.

Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya. Sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.

“Kau benar-benar mau? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apa pun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak gembel seperti aku!”

“Apa sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian dengan penuh semangat.

Dia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.

“Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”

“Aku setuju!”

“Dan mentaati semua perintahku!”

“Setuju!”

“Ha-ha-ha-ha...” Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perutnya yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutnya ternganga.

Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek yang tadinya menengadah itu kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.

“Hu-hu-huuhhh...”

Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput. Dia sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, dia mulai curiga, akan tetapi dia tidak merasa takut, melainkan geli.

“Kek, kenapa menangis?”

Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan mata kemerahan dan muka yang basah air mata, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.

Tangis, seperti juga tawa, memang memiliki daya tular yang ampuh. Biar pun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh, tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi.

Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.

“Hei, kakek, kenapa kau menangis? Mengapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu lebih dulu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap sebagai orang gila!”

Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, dia pun berkata sambil mencela. “Mengapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis dengan menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa peduli pendapat orang lain?”

“Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberi tahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.”

“Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku sedang gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...” Kembali dia menangis.

Bi Sian mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.”

“Apa?!” Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. “Aku bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orang pun tak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut... aku takut mati...”

“Hemm, engkau takut mati, kek?”

Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. “Apa kau tidak takut mati?”

Anak perempuan itu menggelengkan kepala, pandang matanya jujur terbuka dan tidak pura-pura.

“Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau urusan kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Lalu kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!”

Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. “Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...”

Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi ini agaknya memang benar-benar sinting!

“Wah, jangan begitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sudah sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biar aku yang berlutut memberi hormat kepadamu.”

“Tidak! Tidak!” Koay Tojin bersikeras. “Sebelum engkau mau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!”

Bi Sian seorang anak yang baru berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Dia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justru kepolosannya itu yang membuat dia memiliki pemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.

“Gampang saja, kek. Jangan pikirkan mengenai mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!”

Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan. Akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan ‘mengolahnya’ di dalam benaknya.

“Jangan pikirkan... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsan pun tidak pernah takut, apa lagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan...! Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!”

Dia pun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh itu turun, ditangkap dan dilemparkan kembali, makin lama semakin tinggi.

Pada mulanya Bi Sian agak merasa ngeri juga. Akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya lalu disambut dengan cekatan dan lunak, ia pun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Ketika tubuhnya dilempar ke atas, dia merasa seperti menjadi seekor burung yang sedang terbang tinggi. Maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya supaya ketika dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.

“Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!” berkali-kali ia berteriak dengan gembira.

Kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Muridnya itu benar-benar tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka dia pun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi.

Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Semakin tinggi lemparan itu, maka membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.

Akan tetapi, betapa pun saktinya, Koay Tojin tetap merupakan seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, karena itu permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Mendadak dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.

“Heiii...!” Bi Sian berteriak kaget.

Akan tetapi tubuhnya sudah terlanjur masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon sehingga mengeluarkan suara berkeresakan keras. Dengan ngawur Bi Sian mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!

Koay Tojin sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tidak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.

“Heiiiiii! Guruku... ehh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?”

“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”

Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking gembira dan lega hatinya. “Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!”

Kakek itu lalu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, kemudian membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.

“Suhu nakal.”

“Suhu...? Siapa suhu (guru)?”

Bi Sian memandang wajah kakek itu. “Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”

“O ya benar! Engkau muridku, aku suhu-mu. Kenapa kau bilang aku nakal?”

“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”

Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. “Ahh, itu tidak apa-apa. Engkau harus terbiasa hidup di atas pohon, karena sering kali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman kalau tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”

Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. “Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium oleh harimau?”

“Wah, sudah sering!”

“Bagaimana rasanya, suhu?”

“Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher, dan pada waktu aku terbangun... wah, di depan mukaku sudah nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!”

“Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?”

“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati dulu bau harum dan sedap calon mangsanya. Untunglah bauku agak tidak enak, apek, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apek, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguannya itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!”

Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!”

Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. “Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”

Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkir balikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.

“Pertahankan keadaan seperti ini sekuatmu. Kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”

“Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”

“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan masih ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!”

Dan Koay Tojin sendiri pun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kini kepalanya berhadapan persis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak sekitar dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.

“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”

“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”

“Bagus, sungguh nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”

“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut memberi hormat kepada suhu-nya.”

“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”

“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”

“Ahh, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!”

Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.

Bi Sian lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main. Dia tertawa bergelak sambil dua tangannya bertolak pinggang.

“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”

Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”

Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau ini persis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”

“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru oleh murid kalau bukan gurunya?”

“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”

“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...”

“...sampai dunia kiamat!” Koay Tojin menyambut sambil terkekeh.

Bi Sian tersenyum juga. Alangkah lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhu-nya sudah mulai menular padanya?

“Katakan apa tuntutanmu!”

“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”

“Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku.”

“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku.”

“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati...! Ehh, apa yang kukatakan ini? Mati... hih, aku takut... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”

“Dan ke tiga...”

“Banyak amat!”

“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”

“Waah, heh-heh-heh, aku memang gelandangan dan gembel, akan tetapi aku pun tidak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apa pun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?”

“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”

“Tentu saja?”

“Hemm, mana mungkin? Seperti sekarang ini, aku butuh sekali minum karena merasa haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?”

“Heh-heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”

Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Dia menerima mangkuk itu dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.

“Suhu, dari mana suhu bisa memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, sekarang keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih asli!

Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itu pun dia lontarkan ke udara dan lenyap!

“Kuambil dari udara... heh-heh-heh!”

Bi Sian terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!”

“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”

“Mengapa tidak boleh?”

“Tidak perlu kuberi tahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau dapat berpamit dari mereka.”

“Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda saja!”

“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Jika engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.”

“Tapi sayang sekali jika kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!”

“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.”

“Mana mungkin, suhu?”

“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”

Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kau rasakan nanti, pikirnya. Ingin berlomba dengan kudaku yang larinya cepat bagaikan angin? Bagaimana pun juga, ia tidak percaya suhu-nya akan mampu menandingi kecepatan kudanya.

Ia pun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. “Mari kita berangkat, dan cepatlah, suhu. Hari sudah mulai sore!”

Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda itu berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh.

Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhu-nya tertinggal jauh. Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu sedang berjalan tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!

Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya matanya terbelalak melihat suhu-nya tetap berada di belakang kudanya, bahkan kini memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya!

Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhu-nya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini.

Akan tetapi suhu-nya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.

Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong!

Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan sama sekali? Bukankah tadi lima orang ‘perampok’ itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?

“Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”

Bi Sian terkejut. “Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampok yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!”

“Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!”

“Kalian mau apa menghadang perjalananku?” Bi Sian membentak kepada lima orang itu. “Minggir!”

Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!”

Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya sudah terjadi. Dia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.

“Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kau suruh menggangguku tadi, kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk bisa menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!”

Lu Ki Cong tak menjawab, akan tetapi lima orang tukang pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam.

Koay Tojin hanya tersenyum lebar, lalu dia berkata kepada Bi Sian, “Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, sekarang hajarlah mereka, jangan beri ampun seorang pun, terutama tikus cilik di belakang itu!”

Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadi pun ia tak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Cong pun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?

“Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...”

“Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak kotor!” Kakek itu menyerahkan tongkatnya.

Besarlah hati Bi Sian. Dia merasa percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu. Gurunya memerintahkan supaya ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya.

Dan tongkat itu agaknya sebuah tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu bisa menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhu-nya. Kini tongkat itu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya.

Tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian langsung menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimana pun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit serta langkah yang teratur dan kuat.

Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat.

Kalau tadi mereka ‘dihajar’ oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menaklukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.

Tadi Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar serta membunuh kakek gembel yang sudah menghina dirinya, juga sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!

Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, salah seorang di antara mereka yang brewokan maju dan mengulur tangannya. Orang ini hendak menangkis, lalu menangkap dan merampas tongkat butut ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya.

Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak bisa digerakkan seperti bertemu dengan suatu benda yang tak nampak. Sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.

“Plakkk!”

Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika ‘mimisan’.

Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi kembali terjadi keanehan ketika mendadak dua orang itu terhenti gerakan mereka, dan seperti patung tak mampu lagi melanjutkan gerakan mereka.

Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang ke arah kepala.

“Tukkk! Tukkk!”

Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!

“Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!”

Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Ia pun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.

Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, serangan dua orang itu juga tertahan dan mereka tidak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.

Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biar pun tidak sampai terluka parah akan tetapi pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.

“Bocah setan, berani kau memukul kami?” bentak si brewok.

“Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!”

Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biar pun lima orang itu kini sudah marah, bahkan mereka telah mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian.

Meski pun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah berlatih silat dan mempunyai tenaga cukup kuat, sedangkan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh mereka pun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!

Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya. Ia pun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.

“Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!” teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya.

Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang sudah dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.

“Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya. Biar tahu rasa monyet itu, heh-heh-heh!” Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya.

Bi Sian terus menghajar Ki Cong hingga pemuda itu berdarah hidungnya, babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru. Akhirnya pemuda itu pun menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis!

Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biar pun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik serta menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!

Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walau pun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh seorang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek gembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu!

Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara tawa gelak Koay Tojin mengikuti mereka, membuat mereka semakin takut dan berusaha berlari secepatnya sampai jatuh bangun!

Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya mandi peluh, akan tetapi wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas.

Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walau pun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain.

Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhu-nya ini seorang manusia luar biasa! Ia pun tahu benar bahwa suhu-nya yang tadi sudah membantunya, maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kali pun mendapat balasan pukulan dari mereka.

“Sudahlah, suhu. Apa sih yang sedang kau tertawakan begitu hebatnya?” katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan dia pun bangkit berdiri.

“Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau sudah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!”

Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak membuat susah suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi.”

Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka ia pun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan.

Karena itu, hari sudah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia pun menurut saja petunjuk suhu-nya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.

“Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin sekali akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!”

Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali dia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.

“Aku mulai khawatir, mengapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum pulang juga. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.

“Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar lagi. Tidak perlu khawatir.”

“Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...”

“Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Walau pun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah mempunyai kepandaian yang cukup untuk dapat melindungi diri sendiri. Dan ia pun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.”

Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong jadi terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh harapan.

Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

“Bi Sian...!” teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.

“Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkanlah baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku sudah mendapatkan seorang guru. Guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!”

“Bi Sian...!” Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu.

Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa sangat penasaran dan cepat melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.

Mendadak terdengar suara anak mereka dari atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”

Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka. Tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan dia pun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itu pun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.

Akan tetapi semua usahanya untuk mencari Bi Sian sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Dia pun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin.

Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa!

Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya bisa menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali.

“Aku akan mencarinya..., aku akan mencarinya sampai jumpa kemudian membawanya pulang...” Dia menghibur isterinya berkali-kali.

Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang, namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.

Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.

Mendengar ini, semakin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang sudah dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian gembel serta bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Dia pun minta maaf kepada Lu-ciangkun, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 05


Pendekar Bongkok Bagian 04

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 04

“Trakkk!”

Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek gembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia mempunyai tenaga gajah yang sukar dilawan.

Pada saat itu pula, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek gembel. Kakek gembel itu terkekeh keras sehingga kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek gembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga dia tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.

“Tokkk!”

Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan dia pun terbelalak keheranan.

Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Mengapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina.

Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi sangat marah. Biar pun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, sekarang dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek gembel.

“Waduh, jebol perut ini...!” teriak kakek gembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus!

Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.

“Takkk!”

Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Pada waktu Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek gembel itu, melainkan menembus baju gembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?

Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang sekarang menghadapi tiga orang kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya sedang meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek gembel!

“Si-sute dan Ngo-sute, hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama.

Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol. Akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang gembel yang amat sakti, maka mereka pun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan yang halus.

“Siancai...! Tidak malukah kalian sebagai lima orang pendeta yang mestinya menjauhi kekerasan, kini malah mempergunakan kekerasan untuk menyerang orang lain?”

Lima orang pendeta Lama itu terkejut. Suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khikang yang terasa menggetarkan jantung, maka mereka pun berloncatan mundur untuk memandang siapa yang muncul itu.

Kiranya dia adalah seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh puluh lima tahun. Rambutnya putih semua, riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih. Tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar. Pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhnya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.

“Supek...!” Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek yang baru datang itu.

“Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!” Kakek gembel berseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan!

Himalaya San Lojin juga memberi hormat kepada kakek gembel itu.

“Terima kasih atas bantuan susiok!”

“Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, dan ternyata ada Lama Jubah Merah yang berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh-heh!”

Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Siansu, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek gembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apa lagi muncul paman guru dan uwa gurunya!

Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdenyutan kepala itu!

“Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.

“Siancai...!” Pek In Tosu yang terluka pundaknya, mengeluarkan sedikit darah, berkata sambil menarik napas panjang. “Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kau putar balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang datang menyerang, lalu membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apa pun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang ke sini untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?”

“Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama.

“Kami harus menangkap dan membawa Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”

“Siancai...!” Pek-sim Siansu berkata, suaranya tetap halus sekali.

Namun kembali lima orang Lama itu bergidik karena isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.

“Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun yang akan diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentulah dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal sekali!”

Mendengar ini, lima orang Lama itu saling pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru, “Kami adalah utusan Dalai Lama, akan tetapi sudah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!” Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.

“Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan amat membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin.

Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Siansu. Akan tetapi kalau Pek Sim Siansu hidup sebagai orang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran. Memang ada kelainan pada diri Koay Tojin. Dia dikenal sebagai seorang yang sinting!

Padahal dalam ilmu kepandaian silat mau pun kekuatan sihir, ia tak kalah dibandingkan dengan suheng-nya itu. Mungkin justru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu.

Hidupnya berkeliaran seperti gembel dan kadang-kadang dia melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita terlebih dulu. Akan tetapi dia pun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, malah dia lebih dikenal sebagai seorang sinting.

“Sute, engkau pun sampai kini masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”

“Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Tetapi sekarang, coba dengar, dia berceramah menguliahi aku supaya aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”

Biar pun gembel tua itu nampak ugal-ugalan, tetapi diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka dia pun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata, “Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu jahat bukan main, dan lebih jahat lagi karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andai kata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”

“Siancai... Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Siansu kepada Himalaya Sam Lojin.

Pek In Tosu lalu menceritakan mengenai Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama. Kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.

“Kebetulan supek sudah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In Tosu kepada supeknya.

Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Siansu lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena pada waktu mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Siansu, berusia hanya tiga tahun lebih tua dari mereka.

Pek-sim Siansu memang mempunyai berbagai macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek In Tosu, dan kini menderita luka pukulan beracun, dia pun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya.

Pek-sim Siansu mengerutkan alisnya dan berkata. “Ahh, biar pun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati, tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto akan sembuhkan dia.”

“Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.

Biar pun di dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, namun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.

“Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek gembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.”

“Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,” kata Pek-sin Tosu.

“Heh-heh-heh, engkau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biarlah engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”

Pek-sim Siansu menarik napas panjang. “Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu hal yang baik sekali walau pun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?”

“Namaku Sie Liong, locianpwe.”

“Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dengarlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh bila kita berkelahi dengan orang lain hanya karena kemarahan, kebencian atau dendam. Engkau tadi sudah melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan lima orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikit pun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan untuk membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya bila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkau pun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian tadi. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dendam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itu pun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab-sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biar pun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti bumi dan langit.”

Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam telah mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Siansu. Walau pun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sute-nya masih hahah-heheh, Pek-sim Siansu lalu tersenyum.

“Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.”

Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira. “Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih...” Dan tiba-tiba kakek itu pun menangis terisak-isak seperti anak kecil!

Tentu saja Sie Liong terkejut sekali melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedang Pek-sim Siansu memandang sute-nya sambil tersenyum.

“Lanjutkan, sute.”

Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan lagi. “Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng barani mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?”

“Siancai...! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi.”

“Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!”

“Siancai..., munafik lebih keji dari pada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat makhluk-makhluk hidup yang bergerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup.”

“Nah-nah-nah...!” Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang-amangkan ke arah suheng-nya. “Kalau begitu suheng juga membunuh!”

“Memang, hal itu pinto akui, sute. Akan tetapi, biar pun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit. Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biar pun semua itu mengandung makhluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andai kata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan supaya tidak termasuk dan termakan. Semua makhluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biar pun membunuh makhluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, walau pun sayuran itu pun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan harus dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama makhluk hidup hanya karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau pun karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam.”

“Bagaimana kalau aku minum arak? Itu tidak membunuh...”

“Sute, mengapa dianjurkan agar minuman arak dijauhi? Karena dari minum arak orang menjadi mabok dan dalam mabok dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Bermabok-mabokan memberi jalan kepada nafsu untuk semakin merajalela menguasai batin. Juga, bermabok-mabokan bisa merusak kesehatan. Kalau hal seperti ini tetap dilaksanakan, bukankah itu merupakan kebodohan besar merusak diri sendiri? Ingat, sute. Tubuh kita merupakan Kuil Suci yang dihuni oleh jiwa. Sudah sepatutnya kalau kita merawat Kuil Suci ini sebaik-baiknya, tidak dikotori dan tidak dirusak, kita pelihara sebaiknya luar dan dalam.”

“Suheng, keteranganmu sudah cukup jelas. Sekarang, kebetulan kita saling bertemu, aku minta sedikit petunjuk tentang ilmu silat kepadamu. Nah, bersiaplah, suheng!”

Koay Tojin meloncat berdiri dan menudingkan tongkat bututnya ke langit. Melihat ini, Pek-sim Siansu tertawa.

“Ha-ha-ha, sejak dulu engkau masih saja keranjingan ilmu silat, sute. Orang-orang tua bangka seperti kita ini, perlu apa mementingkan ilmu kekerasan seperti itu? Akan tetapi, pinto mendengar bahwa engkau telah memperoleh ilmu yang amat hebat, maka pinto pun ingin pula menyaksikan kehebatan ilmumu itu, sute. Nah, perlihatkan kepada pinto!”

Pek-sim Siansu juga bangkit berdiri dan dengan tenang dia menghampiri kakek sinting itu, berdiri tegak dengan tongkat butut di tangannya. Kedua orang kakek itu sungguh amat berbeda.

Pek-sim Siansu demikian anggun dan rapi bersih, penuh wibawa akan tetapi juga penuh kelembutan dan keramahan, sinar matanya dan senyumnya penuh kasih sayang. Akan tetapi sebaliknya, Koay Tojin berpakaian tidak karuan, butut dan kotor, berdirinya juga sembarangan saja. Hanya ada satu persamaan antara mereka, yaitu bahwa keduanya memiliki sinar mata mencorong dan keduanya sama-sama memegang sebatang tongkat butut.

Melihat betapa supek dan susiok mereka itu sudah saling berhadapan dengan tongkat di tangan, Himalaya Sam Lojin mengamati dengan wajah berseri gembira. Sungguh beruntung, pikir mereka. Kesempatan seperti ini sungguh langka.

Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan hati ingin tahu. Akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan Sam Lojin dia pun tidak mampu mengikutinya dengan baik.

Dia hanya merasa heran kenapa hatinya tertarik kepada si gembel yang berotak miring ini. Akan tetapi dia pun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang amat berwibawa itu. Dia merasa heran, mengapa kakek itu mau saja melayani gembel tua yang disebut sute-nya.

“Suheng, coba kau sambut jurus tongkatku ini!” Tiba-tiba Koay Tojin berseru, kemudian tongkatnya bergerak.

Anehnya, gerakan itu lambat saja, bahkan seperti main-main. Akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan angin menderu-deru dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Siansu, sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana pun lawan akan mengelak!

Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.

“Bagus sekali!” seru Pek-sim Siansu memuji, bukan sekedar untuk menyenangkan hati sute-nya, melainkan memuji karena kagum.

Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sute-nya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar dielakkan mau pun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justru akan memperkuat getaran tongkat sute-nya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga.

Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut tongkat sute-nya. Dua batang tongkat butut lalu bertemu. Akan tetapi Pek-sim Siansu tidak menangkis, melainkan menggunakan sinkang sehingga membuat tongkatnya menempel pada tongkat sute-nya dan dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sute-nya dan setiap tusukan dapat didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sute-nya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.

“Hemmm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” bertanya sang suheng.

“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang igamu, suheng.”

“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua ini, sute.”

“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah menyerang lagi.

Kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar ke arah tubuh Pek-sim Siansu, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut tanpa jeda. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu!

Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar ke atas itu tak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada ranting yang kurang kuat patah-patah akibat terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek gembel gila itu.

“Siancai...! Sungguh dahsyat...!” kata Pek-sim Siansu.

Kakek ini pun menggerakkan tongkat bututnya. Ke mana pun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar, selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Siansu sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat.

Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan jantung, bagai dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin melangkah mundur dan menghentikan serangannya.

“Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau mempunyai ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak membalas?”

“Siancai..., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri saja sudah repot sekali? Hampir saja pinto tak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.”

“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!”

Koay Tojin pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke arah kepala suheng-nya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana, bahkan kasar seperti gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak terduga-duga andai kata yang dipukul mengelak.

Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim Siansu justru tidak mengelak, melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini, dan tahu pula bahwa di balik kesederhanaannya tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak, malah menangkis supaya jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya sambil diam-diam dia mengerahkan tenaga saktinya.

Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas kepala Pek-sim Siansu. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.

Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia melemparkan tongkat itu.

Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.

“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!” Mendadak dia sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya.

Tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu. Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah, bergantung pada dua kakinya yang terjepit.

Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek gembel itu sambil terkekeh menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Seketika Sie Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah yang cukup banyak dan agak menghitam!

Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.

“Siancai... siancai... siancai...!” Pek-sim Siansu memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dadanya. “Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”

Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tadi tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”

“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...” kata Pek-sim Siansu lirih.

Tiga orang kakek itu melihat dan... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut bukan main.

Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara kedua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Siansu hancur. Hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Siansu, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.

“Siancai... Bukan main hebatnya susiok...” berkata Pek In Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali...!”

Pek-sim Siansu dapat membaca isi hati murid keponakan ini. “Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimana pun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak pada yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”

“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.

Pek-sim Siansu tersenyum. “Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapa pun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kita pun bisa saja memilih seorang murid yang baik, supaya kelak dia dapat menahan kejahatan yang datang dari mana pun juga.”

Pada saat itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe... harap suka tolong saya...”

Pek In Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Siansu mencegahnya. “Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”

Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kakinya terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti sedang kebanjiran darah dan mulai merasa pening. Juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tiada rasanya lagi, mukanya pun terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, dia pun merasa mendongkol.

“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”

Kini Pek-sim Siansu mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya, tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukan pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung muntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”

Mendengar penjelasan ini, Sie Liong merasa girang sekali. “Ahh, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”

Pek-sim Siansu mengangguk-angguk dan dia pun kembali duduk bersila di depan tiga orang murid keponakannya.

“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?” Pek In Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu.

Pek-sim Siansu tersenyum. Diam-diam dia memuji pandangan murid keponakannya yang tajam dan telah memperoleh kemajuan pesat ini.

“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.

“Akan tetapi..., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apa lagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.

“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Siansu. “Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”

“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.

Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.

“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apa lagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimana pun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa dulu mendiang suhu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya,” kata Pek In Tosu.

“Memang nampaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan kita.”

“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.

Supeknya tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah engkau sudah berapa usiamu? Orang-orang setua kita ini tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukan pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.

“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan semua ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.

Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka. Selanjutnya dia tak mendengar apa-apa lagi, karena sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar…..

**********

Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini.

Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlomba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki.

Akan tetapi, agaknya dia memang sudah biasa dengan daerah ini. Kudanya pun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit, di mana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah bila mereka sudah tiba di puncak.

Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apa lagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal.

Keduanya sungguh menikmati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat dari pada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.

Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menggigit tengkuknya. Dia bangkit dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut.

“Semut jahil kau!” katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya.

Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.

Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk asli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda.

Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecil pun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apa lagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang sayang sekali kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri menyusuri padang-padang rumput dan lembah-lembah.

Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka. Berhari-hari dia menangis dan mendesak ayah ibunya supaya mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping paman kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong. Akan tetapi, lambat laun ia mampu juga melupakan Sie Liong.

Pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat. Ketika melihat kudanya makan rumput, tiba-tiba Bi Sian merasa perutnya menjadi lapar sekali.

Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya pada kepala gadis cilik itu.

“Hayo kita pulang, hari sudah sore,” bisik Bi Sian dan dia pun memasangkan kembali kendali kudanya.

Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak mempedulikan mereka.

Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.

“Perlahan dulu, nona. Berikan kuda ini kepada kami!” katanya.

Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.

“Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?!” bentaknya.

“Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.”

Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, tetapi ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biar pun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi semenjak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah mempunyai ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walau pun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar.

Sambil tertawa-tawa si brewok itu mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.

“Bukkk!”

Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan dia pun terjengkang. Biar pun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu sudah meringkusnya.

“Lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan. Pemuda yang pernah berkelahi dengan dia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya!

Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang.

“Hemmm, bocah lancang, siapa kau?!” bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.

Tapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Ia pun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang, “Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun, komandan keamanan di Sung-jan!”

“Ahhh...!” Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.

“Maaf... maafkan kami... kongcu...” Si brewok berkata dengan suara gemetar.

Lu Ki Cong melangkah maju lagi. “Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Dia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?”

“Maaf... maaf...” Sekarang lima orang itu cepat-cepat melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.

“Kalian patut dihajar!”

Ki Cong lalu melangkah maju. Tangan kakinya bergerak, menampar serta menendang. Lima orang itu jatuh bangun, kemudian mereka melarikan diri tunggang langgang, pergi meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.

Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tidak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!

“Terima kasih...” katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu sudah memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.

Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. “Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?” Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya.

Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian. Dia pun segera menarik tangannya dengan renggutan, lalu melangkah mundur. Alisnya berkerut.
cerita silat karya kho ping hoo

“Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!” bentaknya marah.

“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, di antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...”

“Aku tidak peduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.

“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?”

Mendadak sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang bagaikan bernyala. “Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”

Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersyukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tadi tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau sudah diperkosa! Dan engkau sedikit pun tidak berterima kasih kepadaku!”

“Hemm, sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”

“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul serta mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.

“Plakkk!”

Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.

“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian.

Gadis cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong telah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.

Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda remaja itu.

“Tokkk!”

Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong pun berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Ia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek gembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.

“Kau... kau berani memukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.

Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.

“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”

“Gembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?”

“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, ada orang yang menghinamu, dikatakannya engkau tak bisa memukul sendiri. Sekarang tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”

Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.

“Plakk!”

Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak dia pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.

Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Dia pun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek gembel. Bi Sian mendekati.

“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka atau tongkat wasiat?”

“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”

Bi Sian makin mendekat, sedikit pun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.

“Kakek, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”

“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...”

Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia lalu mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.

“Kek, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini dapat terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”

Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”

“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, tentu untuk melindungi diriku sendiri. Kedua, dapat kupergunakan pula untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”

“Paman kecil bongkok?”

“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!”

“Sie Liong... anak... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.

“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Sudah berbulan-bulan ia melarikan diri dari rumah ayah, kini entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”

Koay Tojin mengelus jenggotnya, lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya. “Engkau sungguh mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?”

“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang.

Bi Sian mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.

Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya. Sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.

“Kau benar-benar mau? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apa pun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak gembel seperti aku!”

“Apa sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian dengan penuh semangat.

Dia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.

“Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!”

“Aku setuju!”

“Dan mentaati semua perintahku!”

“Setuju!”

“Ha-ha-ha-ha...” Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perutnya yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutnya ternganga.

Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek yang tadinya menengadah itu kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.

“Hu-hu-huuhhh...”

Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput. Dia sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, dia mulai curiga, akan tetapi dia tidak merasa takut, melainkan geli.

“Kek, kenapa menangis?”

Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan mata kemerahan dan muka yang basah air mata, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.

Tangis, seperti juga tawa, memang memiliki daya tular yang ampuh. Biar pun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh, tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi.

Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.

“Hei, kakek, kenapa kau menangis? Mengapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu lebih dulu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap sebagai orang gila!”

Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, dia pun berkata sambil mencela. “Mengapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis dengan menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa peduli pendapat orang lain?”

“Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberi tahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting.”

“Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku sedang gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...” Kembali dia menangis.

Bi Sian mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.”

“Apa?!” Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. “Aku bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orang pun tak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut... aku takut mati...”

“Hemm, engkau takut mati, kek?”

Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian. “Apa kau tidak takut mati?”

Anak perempuan itu menggelengkan kepala, pandang matanya jujur terbuka dan tidak pura-pura.

“Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau urusan kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Lalu kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!”

Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. “Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...”

Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi ini agaknya memang benar-benar sinting!

“Wah, jangan begitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sudah sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biar aku yang berlutut memberi hormat kepadamu.”

“Tidak! Tidak!” Koay Tojin bersikeras. “Sebelum engkau mau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!”

Bi Sian seorang anak yang baru berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Dia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justru kepolosannya itu yang membuat dia memiliki pemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.

“Gampang saja, kek. Jangan pikirkan mengenai mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!”

Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan. Akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan ‘mengolahnya’ di dalam benaknya.

“Jangan pikirkan... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsan pun tidak pernah takut, apa lagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan...! Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!”

Dia pun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh itu turun, ditangkap dan dilemparkan kembali, makin lama semakin tinggi.

Pada mulanya Bi Sian agak merasa ngeri juga. Akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya lalu disambut dengan cekatan dan lunak, ia pun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Ketika tubuhnya dilempar ke atas, dia merasa seperti menjadi seekor burung yang sedang terbang tinggi. Maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya supaya ketika dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.

“Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!” berkali-kali ia berteriak dengan gembira.

Kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Muridnya itu benar-benar tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka dia pun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi.

Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Semakin tinggi lemparan itu, maka membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.

Akan tetapi, betapa pun saktinya, Koay Tojin tetap merupakan seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, karena itu permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Mendadak dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.

“Heiii...!” Bi Sian berteriak kaget.

Akan tetapi tubuhnya sudah terlanjur masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon sehingga mengeluarkan suara berkeresakan keras. Dengan ngawur Bi Sian mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!

Koay Tojin sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tidak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.

“Heiiiiii! Guruku... ehh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?”

“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”

Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking gembira dan lega hatinya. “Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!”

Kakek itu lalu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, kemudian membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.

“Suhu nakal.”

“Suhu...? Siapa suhu (guru)?”

Bi Sian memandang wajah kakek itu. “Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”

“O ya benar! Engkau muridku, aku suhu-mu. Kenapa kau bilang aku nakal?”

“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”

Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. “Ahh, itu tidak apa-apa. Engkau harus terbiasa hidup di atas pohon, karena sering kali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman kalau tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”

Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. “Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium oleh harimau?”

“Wah, sudah sering!”

“Bagaimana rasanya, suhu?”

“Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher, dan pada waktu aku terbangun... wah, di depan mukaku sudah nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!”

“Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?”

“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati dulu bau harum dan sedap calon mangsanya. Untunglah bauku agak tidak enak, apek, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apek, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguannya itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!”

Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!”

Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. “Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”

Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkir balikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.

“Pertahankan keadaan seperti ini sekuatmu. Kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”

“Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”

“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan masih ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!”

Dan Koay Tojin sendiri pun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kini kepalanya berhadapan persis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak sekitar dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.

“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”

“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”

“Bagus, sungguh nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”

“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut memberi hormat kepada suhu-nya.”

“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”

“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”

“Ahh, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!”

Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.

Bi Sian lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main. Dia tertawa bergelak sambil dua tangannya bertolak pinggang.

“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”

Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”

Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau ini persis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”

“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru oleh murid kalau bukan gurunya?”

“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”

“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...”

“...sampai dunia kiamat!” Koay Tojin menyambut sambil terkekeh.

Bi Sian tersenyum juga. Alangkah lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhu-nya sudah mulai menular padanya?

“Katakan apa tuntutanmu!”

“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”

“Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku.”

“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku.”

“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati...! Ehh, apa yang kukatakan ini? Mati... hih, aku takut... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”

“Dan ke tiga...”

“Banyak amat!”

“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”

“Waah, heh-heh-heh, aku memang gelandangan dan gembel, akan tetapi aku pun tidak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apa pun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?”

“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”

“Tentu saja?”

“Hemm, mana mungkin? Seperti sekarang ini, aku butuh sekali minum karena merasa haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?”

“Heh-heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”

Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Dia menerima mangkuk itu dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.

“Suhu, dari mana suhu bisa memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, sekarang keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih asli!

Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itu pun dia lontarkan ke udara dan lenyap!

“Kuambil dari udara... heh-heh-heh!”

Bi Sian terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!”

“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”

“Mengapa tidak boleh?”

“Tidak perlu kuberi tahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau dapat berpamit dari mereka.”

“Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda saja!”

“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Jika engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.”

“Tapi sayang sekali jika kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!”

“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.”

“Mana mungkin, suhu?”

“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”

Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kau rasakan nanti, pikirnya. Ingin berlomba dengan kudaku yang larinya cepat bagaikan angin? Bagaimana pun juga, ia tidak percaya suhu-nya akan mampu menandingi kecepatan kudanya.

Ia pun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah. “Mari kita berangkat, dan cepatlah, suhu. Hari sudah mulai sore!”

Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda itu berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh.

Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhu-nya tertinggal jauh. Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu sedang berjalan tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!

Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya matanya terbelalak melihat suhu-nya tetap berada di belakang kudanya, bahkan kini memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum kepadanya!

Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhu-nya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini.

Akan tetapi suhu-nya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.

Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka ia mengenal Lu Ki Cong!

Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan sama sekali? Bukankah tadi lima orang ‘perampok’ itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?

“Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”

Bi Sian terkejut. “Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampok yang tadi malah dihajar oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!”

“Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!”

“Kalian mau apa menghadang perjalananku?” Bi Sian membentak kepada lima orang itu. “Minggir!”

Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan berteriak kepada lima orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!”

Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya sudah terjadi. Dia melompat turun dari atas kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.

“Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antek-antekmu yang sengaja kau suruh menggangguku tadi, kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang mengundurkan mereka untuk bisa menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan jahat sekali!”

Lu Ki Cong tak menjawab, akan tetapi lima orang tukang pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay Tojin dengan sikap mengancam.

Koay Tojin hanya tersenyum lebar, lalu dia berkata kepada Bi Sian, “Bi Sian, bukankah engkau ingin menghajar tikus-tikus itu? Nah, sekarang hajarlah mereka, jangan beri ampun seorang pun, terutama tikus cilik di belakang itu!”

Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima orang tukang pukul itu. Tadi pun ia tak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Cong pun ia kalah tenaga. Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?

“Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...”

“Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini agar tanganmu tidak kotor!” Kakek itu menyerahkan tongkatnya.

Besarlah hati Bi Sian. Dia merasa percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang seperti sinting itu. Gurunya memerintahkan supaya ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia membantunya.

Dan tongkat itu agaknya sebuah tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu bisa menghajar Ki Cong tanpa dipegang oleh suhu-nya. Kini tongkat itu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya.

Tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian langsung menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimana pun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit serta langkah yang teratur dan kuat.

Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat.

Kalau tadi mereka ‘dihajar’ oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menaklukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.

Tadi Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar serta membunuh kakek gembel yang sudah menghina dirinya, juga sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!

Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, salah seorang di antara mereka yang brewokan maju dan mengulur tangannya. Orang ini hendak menangkis, lalu menangkap dan merampas tongkat butut ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya.

Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak bisa digerakkan seperti bertemu dengan suatu benda yang tak nampak. Sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.

“Plakkk!”

Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika ‘mimisan’.

Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi kembali terjadi keanehan ketika mendadak dua orang itu terhenti gerakan mereka, dan seperti patung tak mampu lagi melanjutkan gerakan mereka.

Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang ke arah kepala.

“Tukkk! Tukkk!”

Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!

“Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!”

Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Ia pun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.

Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, serangan dua orang itu juga tertahan dan mereka tidak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu.

Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biar pun tidak sampai terluka parah akan tetapi pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.

“Bocah setan, berani kau memukul kami?” bentak si brewok.

“Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!”

Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biar pun lima orang itu kini sudah marah, bahkan mereka telah mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian.

Meski pun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah berlatih silat dan mempunyai tenaga cukup kuat, sedangkan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh mereka pun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol!

Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya. Ia pun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.

“Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!” teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya.

Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang sudah dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.

“Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya. Biar tahu rasa monyet itu, heh-heh-heh!” Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya.

Bi Sian terus menghajar Ki Cong hingga pemuda itu berdarah hidungnya, babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru. Akhirnya pemuda itu pun menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis!

Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biar pun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik serta menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!

Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walau pun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh seorang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek gembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu!

Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara tawa gelak Koay Tojin mengikuti mereka, membuat mereka semakin takut dan berusaha berlari secepatnya sampai jatuh bangun!

Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya mandi peluh, akan tetapi wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas.

Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walau pun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain.

Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhu-nya ini seorang manusia luar biasa! Ia pun tahu benar bahwa suhu-nya yang tadi sudah membantunya, maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kali pun mendapat balasan pukulan dari mereka.

“Sudahlah, suhu. Apa sih yang sedang kau tertawakan begitu hebatnya?” katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan dia pun bangkit berdiri.

“Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau sudah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!”

Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak membuat susah suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi.”

Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka ia pun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan.

Karena itu, hari sudah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia pun menurut saja petunjuk suhu-nya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.

“Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin sekali akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!”

Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali dia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.

“Aku mulai khawatir, mengapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum pulang juga. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.

“Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar lagi. Tidak perlu khawatir.”

“Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...”

“Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Walau pun perempuan dan masih kecil, akan tetapi Bi Sian sudah mempunyai kepandaian yang cukup untuk dapat melindungi diri sendiri. Dan ia pun ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.”

Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong jadi terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah pintu dengan penuh harapan.

Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu cepat menengok dan... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

“Bi Sian...!” teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.

“Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkanlah baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku sudah mendapatkan seorang guru. Guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang. Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!”

“Bi Sian...!” Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu.

Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa sangat penasaran dan cepat melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggil-manggil nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.

Mendadak terdengar suara anak mereka dari atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah. Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”

Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka. Tentu saja Yauw Sun Kok terkejut bukan main dan dia pun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itu pun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi menghilang seperti setan.

Akan tetapi semua usahanya untuk mencari Bi Sian sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Dia pun dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin.

Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan siapa Koay Tojin itu, orang macam apa!

Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok hanya bisa menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali.

“Aku akan mencarinya..., aku akan mencarinya sampai jumpa kemudian membawanya pulang...” Dia menghibur isterinya berkali-kali.

Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang, namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.

Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang lima orang tukang pukulnya.

Mendengar ini, semakin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang sudah dipilih sebagai murid oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua renta yang berpakaian gembel serta bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya. Dia pun minta maaf kepada Lu-ciangkun, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 05