Pendekar Bongkok Bagian 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 03

Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang sebelah utara kota itu. Dia sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.

Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan baru melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tak ada seorang pun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.

Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran, tentu saja ke utara! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong pada malam hari itu, membawa sebuah buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbang pun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.

Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, dengan berkuda mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!

Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapat boncengan ke utara. Akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kehilangan jejak anak itu dan kembali lagi. Tidak ada orang yang melihatnya! Dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, dia pun pulang dengan wajah lesu.

Hatinya tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuat dirinya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, yang kedua, dan ini yang sangat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam terhadap kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu dia takuti? Anak itu bongkok dan cacat!

Seperti sudah diduganya, isterinya menjadi berduka. Dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.

Demikianlah, Sie Liong lalu melakukan perjalanan seorang diri, menuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, supaya tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang lalu mencelakakan dia.

Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah enci-nya, pada suatu pagi yang sejuk, dia berjalan melewati sebuah hutan besar. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan dari mana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, tetapi ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk dapat ditukarkan dengan makanan. Bahkan pernah pula dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.

Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan dia pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering!

Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan. Hatinya gembira karena semalam dia mendapat kenyataan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat hatinya merasa bahagia pada pagi hari itu.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka itu binatang-binatang sebangsa kera besar.

Tubuh dan pakaian mereka sangat kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.

“Aihh, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.

“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.

“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.

Wajah Sie Liong menjadi merah. Dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, mengapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, akan tetapi apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain, termasuk kalian!”

“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.

Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok itu sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong.

Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikit pun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walau pun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawan pun berarti hanya membunuh diri.

“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”

Betapa pun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia lalu menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”

“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di badanmu, akan tetapi buntalanmu itu harus kau tinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong hingga lepas dari punggungnya, kemudian mendorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.

Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. “Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?! Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!”

Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”

Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.

“Bukkk!”

Tendangan itu tepat mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan dia pun roboh pingsan.

Saat dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, sedangkan buntalan pakaiannya tak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tiada. Agaknya sesudah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.

Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri.

Ahh, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!

Hidup di dunia ini nampak berubah seketika, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.

Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotong pun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!

Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya.

Dia merasa aneh serta lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya. Dia takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya.

Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itu pun telanjang bulat, mengapa dia harus malu? Dia pun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.

Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.

Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu bila dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada orang yang mau menolongnya dan bagaimana dia bisa menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!

Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.

Sie Liong merasa bingung sekali. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimana pun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka dia pun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.

Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau yang menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menunggu sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik hati untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.

Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Dengan hati-hati Sie Liong lalu menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pepohonan dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu menghampirinya.

Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika di dalam keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur.

Akan tetapi, pada saat orang tadi sudah dekat, ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.

“Siapa itu?” Gadis itu menegur.

Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.

“Hayo katakan siapa itu! Maling ya..? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”

Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.

“Aku... aku bukan maling...” katanya lirih.

Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!

“Eiiiiihhh...!” Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itu pun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.

“Setaaan...! Setaaaaann...!” Ia menjerit-jerit.

Sie Liong kembali menyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit karena merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang!

“Sungguh sial,” gerutunya. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Tidak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki lain berusia dua puluh tahun lebih. Keduanya membawa parang, seolah siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegangan tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan sekali.

“Mana dia? Mana setan itu?” pemuda itu bertanya dengan lagak pemberani, akan tetapi jelas suaranya agak gemetar.

“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihatlah! Dia masih ada di sana...” gadis itu lalu merangkul ibunya.

Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon. Mereka lalu maju beberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.

“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.

“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.

Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya, juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia pun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.

“Maaf, paman... maafkan aku. Aku... aku bukan setan, aku manusia biasa yang sedang mengharapkan pertolongan kalian.”

Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, namun mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentulah orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!

“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.

“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku kena dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul oleh mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong lalu membalikkan badan untuk memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, tanpa disadari memperlihatkan pula pinggulnya yang telanjang karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.

“Iiihhh...!” Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, tapi masih mengintai juga dari celah-celah jari tangannya!

Kini pria setengah tua itu percaya karena dia sudah melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.

“Ambilkan satu stel pakaianmu, dan juga obor,” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.

“Baik, ayah.” Pemuda itu pun lari ke dalam.

Ayah, ibu beserta anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita, terutama gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan, dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.

“Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menunggu sampai cuaca gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci yang di sana itu suka memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”

Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukanlah seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.

“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.

“Namaku Liong, she Sie.”

Ketika itu, pemuda tadi sudah datang lagi sambil membawa obor di tangan kanan dan satu pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.

Dengan perasaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itu pun kakinya kepanjangan. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.

Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”

Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia sudah yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.

“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan ikut makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”

Sie Liong mengikuti mereka. Sekarang gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya gadis-gadis dusun.

Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali dalam sebulan sebab daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baik, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali.

Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.

“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, oleh karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang sedang aku pakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga sekarang aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”

Empat orang itu amat senang melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan dan santun, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak dusun yang kasar.

“Jika engkau sebatang kara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaian pun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu,” kata sang ayah.

“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.

Sie Liong memandang keluarga ini dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.

Pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Tapi, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan sekarang menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan.

Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi hormat kepada mereka.

“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini tidak akan aku lupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi maafkan aku, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat pada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”

Pada malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah dan tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikan dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga.

Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami kejadian dalam kehidupan ini sejak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pengalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.

Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang yang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam.

Agaknya, dia perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia gunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu oleh pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Kini mulai timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.

Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik hati itu, dan dia pun kembali melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh.

Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ.

Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Maka, tanpa disadari, ia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan dia pun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tak terasa begitu nyeri lagi karena tidak lagi ‘diserang’ oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.

Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan ia pun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia membuat irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!

Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian sudah dibikin hancur dan kacau balau oleh suara ketukan bambu, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.

“Tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam!

Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali. Hanya seorang bocah bongkok! Dan rahasia ilmu mereka telah ketahuan dan telah menjadi kacau balau!

Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itu pun tidak ada gunanya lagi.

“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet.

Tiba-tiba tubuh Thay Ku Lama sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok, cepat sekali dia menyerang anak itu dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang!

Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Orang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya hanya seorang anak-anak yang lemah!

“Siancai...! Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sinkang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek-in Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.

“Desss...!”

Thay Ku Lama terpelanting dan tubuhnya lantas terguling-guling. Ternyata dalam usaha menyelamatkan anak bongkok itu, Pek In Tosu telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadi pun sudah menyerempet dada Sie Liong sehingga anak ini juga terpelanting dan terbanting keras!

Thay Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jeri. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.

“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”

Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sute-nya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.

“Siancai...! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...” kata Pek In Tosu.

Tosu ini segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu sudah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak, akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali.

Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka sudah diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.

“Sudahlah, harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan lagi mencampuri urusan para Lama itu.”

Dua orang itu pun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi dari sana untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu, lalu berlutut.

“Thian Yang Maha Agung... Sungguh kasihan sekali anak ini...” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.

Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar oleh hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang sangat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali ia mulai menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.

Perlahan-lahan ia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, biar pun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Dia tidak mampu menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dan dia harus mencarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengajanya, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!

Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimana pun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan ia pun memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak.

Ketika Sie Liong bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!

“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.

Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Terasa nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapa hwesio tadi memukul aku?”

Pek In Tosu menarik napas panjang. Dia semakin suka serta merasa kagum pada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”

Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata. Dia lalu mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.

“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku pun tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.”

“Siancai...! Tanpa kau sadari, tadi engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka. Oleh karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”

Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau pundaknya tidak cepat ditangkap oleh Pek In Tosu.

“Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”

Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya bagaikan terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja…..

**********

Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, serta jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.

Mereka duduk bersila di padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu.

Orang ke dua juga seorang tosu. Tubuhnya tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Akan tetapi muka kakek ini licin tanpa rambut sedikit pun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Dia berjuluk Swat Hwa Cinjin.

Orang ketiga bernama Hek Bin Tosu. Sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar. Wajahnya nampak serius serta bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.

Mereka bertiga inilah yang dulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindari bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet.

Tidak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama sakti yang melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja ada dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.

“Siancai...! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru.

Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan. Akan tetapi biar pun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu, kemudian bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.

“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Pada saat kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, meski sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”

“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagai mana orang-orang yang sudah memiliki tingkat demikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.

“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa di Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.

Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapa pun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”

Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, juga ikut mendengarkan walau pun dia harus menahan rasa nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya terasa nyeri.

Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu sudah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas langsung memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya itu banyak berkurang, walau pun belum lenyap sama sekali.

“Ketika itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak mau memberikan putera mereka yang tunggal, apa lagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Maka terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun lalu membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas pada waktu mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, sejak itulah terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa ini menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”

“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka lantas bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”

“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka secara membuta sehingga apa pun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapa pun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”

“Ahh…” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu kenapa dia justru menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya pada saat para Lama hendak menculiknya?”

“Ini pun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka permusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, akan tetapi kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar mau pun dalam.”

Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunannya masing-masing. Tidak mereka sangka bahwa dalam usia yang sangat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.

“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita sedang menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia kini berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.

“Siancai...! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama itu sehingga dia sudah menderita luka parah yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”

Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri.

Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya.

Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini.

Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, dia pun segera berkata.

“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri sedang menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu supaya selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
cerita silat karya kho ping hoo

“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In Tosu.

Bagaimana pun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya. Apa lagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang menakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!

Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini sebab dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.

Tiba-tiba muncul angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Sie Liong hanya melihat bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan.

Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain.

Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering bagai tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang lengkap dan amat terkenal, yang belakangan mengamuk di Kun-lun-san itu.

Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lantas menggeser duduk mereka. Sekarang mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu dengan sikap yang tenang sekali.

Sie Liong membuka matanya lebar-lebar. Hatinya merasa tegang, akan tetapi dia pun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.

Melihat betapa tiga orang calon lawan itu telah duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya tadi memberi isyarat melalui gerakan tangan dan tubuh.

Mereka berlima tidak berani memandang rendah pada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati sekali.

Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Bila Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiap siagaan untuk berkelahi.

Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.

“Sam Lojin, sekali lagi kami menegaskan bahwa pimpinan kami, yaitu yang mulia Dalai Lama, memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.

“Siancai! Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”

“Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berbicara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biar pun kata-katanya halus dan sopan, akan tetapi mengandung ejekan.

“Maafkan kami. Kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”

Marahlah Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.

“Siancai...! Terserah pada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.

Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah. Kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti sudah pulas dalam semedhi.

Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa amat mendongkol kepada lima orang pendeta Lama itu. Biar pun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.

Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang membuat hatinya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.

Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, kemudian menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu.

Dia melihat betapa tubuh kelima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan masih dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu terus naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!

“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru.

Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari semedhi!

Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri kemudian dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.

“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang sangat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kecoa-kecoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itu pun mampu mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu bila dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andai kata kalian pandai terbang sekali pun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!”

Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena walau pun dia mendongkol dan tidak suka terhadap lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, namun orang lain yang hanya ‘meminjam’ mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!

Lima orang pendeta Lama itu demikian terkejut, marah dan malu mendengar teguran yang keluar dari mulut anak kecil itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh mereka pun meluncur turun.

Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit. Mata mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah-olah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. “Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”

Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.

Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang. Ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai itu, kemarahan mereka pun memuncak dan untuk sementara mereka tidak mempedulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin, melainkan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.

“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai sudah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?”

“Siancai...” Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju dan menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai.

Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangannya di dada dan berkata dengan penuh hormat. “Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami jika kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”

Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”

Kini Thian Hwat Tosu kembali menghadapi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi losuhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkan saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi losuhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kami pun akan melupakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”

Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, tapi mengkhawatirkan bila terjadi kesalah pahaman. Oleh karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan dia pun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.

“Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kau maksudkan. Kami pun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa telah memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencampuri urusan kami yang tak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”

Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga terkandung pandangannya yang congkak.

“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”

“Omitohud...! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kami pun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai demikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”

Thian Khi Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suaranya yang keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapa pun juga akan kami hadapi!”

“Omitohud...!” Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”

“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah serentak berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,

“Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”

Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suheng-nya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju bersama, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suheng-nya sekali pun.

Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apa lagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka, yaitu ilmu dalam bentuk barisan yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).

Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang luar biasa kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kiam-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sute-nya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!

Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang. Di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan amat rapi.

“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang berniat untuk memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya telah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.

Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek. Dengan berjajar mereka pun melangkah maju menghadapi lima belas orang itu.

Setelah mereka saling berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka pun sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka sudah berlatih sampai matang.

Melihat ini, lima orang pandeta Lama itu pun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri. Mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melindungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat pula mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.

Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu, yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, kalau melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi.

Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin. Begitu pimpinan mereka memberi aba-aba, maka lima belas orang itu langsung bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak!

Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan bagai kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal amat hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat pula oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya!

Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing.

Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya dia sembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan.

Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian kemudian diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.

Serangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai terhadap lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima sama sekali tak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis.

Terdengar bunyi nyaring berdenting-denting, kemudian disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata pada saat lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pendeta Lama. Karena memang tenaga sinkang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu langsung terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!

Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang beberapa kali, akan tetapi selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke belakang, bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung.

Kesempatan ini digunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya dan golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat.

Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama juga memutar sepasang pedangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang.

Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya sehingga senjata istimewa ini segera menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya sehingga terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini ternyata memiliki tenaga raksasa.

Biar pun cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dapat pula dihindari oleh lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak bahwa pertempuran ini tidak seimbang sama sekali.

Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini lantas mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa mereka pun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang disertai terdengarnya suara bentakan nyaring.
“Tahan senjata!”

Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka mereka pun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan sekarang mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.

“Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu ilmu kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.

Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. “Omitohud...! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Baru mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, dan kini bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!”

Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. “Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”

“Sute, harap tenangkan hatimu!” Thian Hwat Tosu menegur sute-nya, kemudian ketua Kun-lun-pai ini melangkah ke depan dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. “Siancai... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami yang tadi lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan pada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak terus berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi lagi.”

Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, di samping janji.

“Omitohud... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau ternyata kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau di antara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, engkau temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.”

Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum lalu melangkah maju mendampingi suheng-nya, yaitu Thay Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah semenjak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.

“Ha-ha-ha!” Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”

Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat bahwa wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meledakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”

Akan tetapi, sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, sekarang sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dengan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.

“Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan para orang gagah yang tak pernah mencampuri mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Kun-lun-pai. Jika sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Oleh karena itulah kami bertiga minta supaya Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar.”

Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dengan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama.

Jika sekarang pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya kelima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!

Dan sebaliknya andai kata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri!

Bermusuhan dengan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dengan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama sangat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dengan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.

“Siancai...!” berkata Thian Hwa Tosu sambil menjura. “Sungguh ucapan yang bijaksana sekali. Kami akan menjadi orang-orang yang tak mengenal budi bila tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah.

Meski pun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suheng-nya. Dia pun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, dan membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu benteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!

Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi jauh lebih ringan, tak perlu menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kami pun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, dengan menyadarkan ketua Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kami pun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dengan kami, sebagai tamu undangan untuk kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?”

Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, “Siancai...! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu.”

Wajah Thay Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sesungguhnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi berkokok seperti seekor katak besar!

“Hmm, apakah yang memaksa kalian menolak undangan kami yang telah kami lakukan dengan merendahkan diri?” tanyanya dengan suara membentak.

Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak memiliki urusan apa pun dengan Dalai Lama, sehingga andai kata beliau yang mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimana pun juga, kami bukanlah anggotanya mau pun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undangan itu.”

“Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. “Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!”

Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.

“Siancai... memang sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”

“Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama.

Dia sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.

Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biar pun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai menggunakan segala macam senjata, namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apa lagi membawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian saja pun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh.

Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, mau pun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam.

Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tak pernah berkelahi, tak pernah menggunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Selama ini bahkan mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada ‘sumbernya’, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.

Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walau pun andai kata ada nafsu itu pun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.

Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itu pun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaiannya. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi yang mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sinkang mereka amat kuat dan di samping itu, mereka pun pandai ilmu sihir.

Thay Ku Lama mempunyai pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut. Pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat dan mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas.

Ada pun orang ke dua, Thay Si Lama, di samping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki ginkang yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja.

Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain permainan senjata rantai bajanya berbahaya sekali, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biar pun kurus kering, akan tetapi tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya.

Dan yang lebih dari pada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.

Sebetulnya jika dibuat perbandingan, tingkat kepandaian mereka masing-masing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andai kata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorang pun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.

Akan tetapi, kini mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok. Dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan.

Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.

Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang sangat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini semenjak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga.

Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk bisa mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih serta lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, dia pun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak.

Akan tetapi satu hal yang dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih, walau pun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.

Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau ketiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Meski tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, akan tetapi dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak.

Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, sangatlah hebat. Menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu, dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari salah seorang di antara lima orang pendeta Lama itu.

Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.

Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang berkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia pun terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri, karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan dia pun terjungkal dan terguling-guling!

Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling akibat tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut!

Dia membelalakkan matanya agar bisa memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.

Ketika menengadah, Sie Liong melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian gembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Rambutnya riap-riapan berwarna putih, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali.

Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka dia pun lalu duduk saja bersila, tidak mempedulikan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.

“Heh-heh-heh...!” Kakek itu terkekeh geli.

Tongkat bututnya lalu bergerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong. Lalu nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dengan garis tengah dua meter lebih.

“Engkau tinggal saja di dalam ruangan ini. Siapa pun tak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”

Sie Liong mendongkol. Agaknya ia baru bertemu dengan seorang gembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan dia pun tidak menjawab, hanya membuka mata menonton pertempuran yang masih berjalan terus.

Agaknya kakek gembel itu pun sekarang tidak mempedulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba saja Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.

Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah. Akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek gembel tertawa semakin keras. Sie Liong pun basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludah pun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!

Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan walau pun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.

“Tokk!”

Dan dia pun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali pula kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar pun dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apa lagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.

Memang telah terjadi perubahan pada pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga dalam menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang menggunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka.

Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang sudah kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih itu terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!

Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan mendadak seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.

Tiba-tiba tongkat butut kakek gembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang ‘melanggar’ lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itu pun tordorong keluar!

Pada saat para anggota Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu terus berlompatan. Agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!

Tidak demikian dengan para pendeta Lama. Pada suatu ketika, ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama.

Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksasa itu memasuki lingkaran, kakek gembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itu pun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia pun terdorong keluar oleh tongkat butut.

Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 04


Pendekar Bongkok Bagian 03

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 03

Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang sebelah utara kota itu. Dia sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.

Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan baru melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tak ada seorang pun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.

Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran, tentu saja ke utara! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong pada malam hari itu, membawa sebuah buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbang pun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.

Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, dengan berkuda mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong!

Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapat boncengan ke utara. Akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kehilangan jejak anak itu dan kembali lagi. Tidak ada orang yang melihatnya! Dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, dia pun pulang dengan wajah lesu.

Hatinya tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuat dirinya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, yang kedua, dan ini yang sangat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam terhadap kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu dia takuti? Anak itu bongkok dan cacat!

Seperti sudah diduganya, isterinya menjadi berduka. Dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk bisa mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.

Demikianlah, Sie Liong lalu melakukan perjalanan seorang diri, menuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, supaya tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang lalu mencelakakan dia.

Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah enci-nya, pada suatu pagi yang sejuk, dia berjalan melewati sebuah hutan besar. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan dari mana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, tetapi ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk dapat ditukarkan dengan makanan. Bahkan pernah pula dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.

Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan dia pun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering!

Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan. Hatinya gembira karena semalam dia mendapat kenyataan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat hatinya merasa bahagia pada pagi hari itu.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka itu binatang-binatang sebangsa kera besar.

Tubuh dan pakaian mereka sangat kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.

“Aihh, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.

“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.

“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.

Wajah Sie Liong menjadi merah. Dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan. “Paman-paman adalah orang-orang dewasa, mengapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, akan tetapi apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain, termasuk kalian!”

“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.

Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok itu sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong.

Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikit pun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walau pun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawan pun berarti hanya membunuh diri.

“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”

Betapa pun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia lalu menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya. “Tidak.”

“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di badanmu, akan tetapi buntalanmu itu harus kau tinggalkan!” berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong hingga lepas dari punggungnya, kemudian mendorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.

Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. “Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah. “Apa?! Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!”

Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”

Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.

“Bukkk!”

Tendangan itu tepat mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan dia pun roboh pingsan.

Saat dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi. Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, sedangkan buntalan pakaiannya tak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tiada. Agaknya sesudah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.

Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri.

Ahh, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya! Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya!

Hidup di dunia ini nampak berubah seketika, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.

Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotong pun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!

Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu. Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya.

Dia merasa aneh serta lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya. Dia takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya.

Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itu pun telanjang bulat, mengapa dia harus malu? Dia pun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.

Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.

Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu bila dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada orang yang mau menolongnya dan bagaimana dia bisa menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!

Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih.

Sie Liong merasa bingung sekali. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimana pun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka dia pun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.

Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau yang menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menunggu sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik hati untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang menampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.

Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Dengan hati-hati Sie Liong lalu menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pepohonan dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu menghampirinya.

Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika di dalam keremangan senja itu dia melihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur.

Akan tetapi, pada saat orang tadi sudah dekat, ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.

“Siapa itu?” Gadis itu menegur.

Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.

“Hayo katakan siapa itu! Maling ya..? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”

Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.

“Aku... aku bukan maling...” katanya lirih.

Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!

“Eiiiiihhh...!” Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itu pun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.

“Setaaan...! Setaaaaann...!” Ia menjerit-jerit.

Sie Liong kembali menyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit karena merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang!

“Sungguh sial,” gerutunya. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Tidak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki lain berusia dua puluh tahun lebih. Keduanya membawa parang, seolah siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegangan tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan sekali.

“Mana dia? Mana setan itu?” pemuda itu bertanya dengan lagak pemberani, akan tetapi jelas suaranya agak gemetar.

“Tadi di sana, di belakang pohon itu! Nah, lihatlah! Dia masih ada di sana...” gadis itu lalu merangkul ibunya.

Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon. Mereka lalu maju beberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.

“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.

“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.

Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya, juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, dia pun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.

“Maaf, paman... maafkan aku. Aku... aku bukan setan, aku manusia biasa yang sedang mengharapkan pertolongan kalian.”

Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, namun mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentulah orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!

“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang ke sini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.

“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku kena dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul oleh mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah di sini.”

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong lalu membalikkan badan untuk memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, tanpa disadari memperlihatkan pula pinggulnya yang telanjang karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.

“Iiihhh...!” Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, tapi masih mengintai juga dari celah-celah jari tangannya!

Kini pria setengah tua itu percaya karena dia sudah melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.

“Ambilkan satu stel pakaianmu, dan juga obor,” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.

“Baik, ayah.” Pemuda itu pun lari ke dalam.

Ayah, ibu beserta anak perempuan itu masih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena di situ ada dua orang wanita, terutama gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan, dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.

“Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menunggu sampai cuaca gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang ke sini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci yang di sana itu suka memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”

Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukanlah seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.

“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.

“Namaku Liong, she Sie.”

Ketika itu, pemuda tadi sudah datang lagi sambil membawa obor di tangan kanan dan satu pasang pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.

Dengan perasaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itu pun kakinya kepanjangan. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.

Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka. “Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”

Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia sudah yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.

“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan ikut makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”

Sie Liong mengikuti mereka. Sekarang gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lazimnya gadis-gadis dusun.

Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali dalam sebulan sebab daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka. Akan tetapi, di antara orang-orang yang demikian ramah dan baik, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali.

Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.

“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku sudah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, oleh karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang sedang aku pakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga sekarang aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”

Empat orang itu amat senang melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan dan santun, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak dusun yang kasar.

“Jika engkau sebatang kara, biarlah engkau tinggal di sini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaian pun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu,” kata sang ayah.

“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah di sini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.

Sie Liong memandang keluarga ini dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati. Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok.

Pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya. Tapi, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan sekarang menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan.

Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi hormat kepada mereka.

“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini tidak akan aku lupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong tak akan pernah melupakannya. Akan tetapi maafkan aku, aku masih ingin melanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat pada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”

Pada malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalam sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah dan tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikan dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong monolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga.

Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun. Bermacam-macam sudah dia mengalami kejadian dalam kehidupan ini sejak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pengalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya.

Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang yang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri. Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apa lagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam.

Agaknya, dia perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia gunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu oleh pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Kini mulai timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.

Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik hati itu, dan dia pun kembali melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh.

Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu. Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ.

Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Maka, tanpa disadari, ia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar. Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan dia pun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tak terasa begitu nyeri lagi karena tidak lagi ‘diserang’ oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.

Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan ia pun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia membuat irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!

Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian sudah dibikin hancur dan kacau balau oleh suara ketukan bambu, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.

“Tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam!

Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali. Hanya seorang bocah bongkok! Dan rahasia ilmu mereka telah ketahuan dan telah menjadi kacau balau!

Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itu pun tidak ada gunanya lagi.

“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?” bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet.

Tiba-tiba tubuh Thay Ku Lama sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok, cepat sekali dia menyerang anak itu dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang!

Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Orang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali pun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apa lagi kini yang dipukulnya hanya seorang anak-anak yang lemah!

“Siancai...! Engkau terlalu keji, Lama!” terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sinkang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek-in Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.

“Desss...!”

Thay Ku Lama terpelanting dan tubuhnya lantas terguling-guling. Ternyata dalam usaha menyelamatkan anak bongkok itu, Pek In Tosu telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadi pun sudah menyerempet dada Sie Liong sehingga anak ini juga terpelanting dan terbanting keras!

Thay Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia marasa jeri. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.

“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”

Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sute-nya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.

“Siancai...! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali...” kata Pek In Tosu.

Tosu ini segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai. Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu sudah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak, akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali.

Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka sudah diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.

“Sudahlah, harap ji-wi segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan lagi mencampuri urusan para Lama itu.”

Dua orang itu pun cepat-cepat memberi hormat, lalu pergi dari sana untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu, lalu berlutut.

“Thian Yang Maha Agung... Sungguh kasihan sekali anak ini...” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.

Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar oleh hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang sangat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali ia mulai menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.

Perlahan-lahan ia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, biar pun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Dia tidak mampu menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dan dia harus mencarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya. Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengajanya, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama!

Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok ini terkena pukulan beracun. Bagaimana pun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan ia pun memandang kagum. Anak itu tidak mengeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak.

Ketika Sie Liong bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!

“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.

Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk. “Terasa nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapa hwesio tadi memukul aku?”

Pek In Tosu menarik napas panjang. Dia semakin suka serta merasa kagum pada anak bongkok itu. “Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”

Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata. Dia lalu mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.

“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku pun tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.”

“Siancai...! Tanpa kau sadari, tadi engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka. Oleh karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”

Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau pundaknya tidak cepat ditangkap oleh Pek In Tosu.

“Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”

Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya bagaikan terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja…..

**********

Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Di sana sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, serta jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.

Mereka duduk bersila di padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang di antara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu.

Orang ke dua juga seorang tosu. Tubuhnya tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Akan tetapi muka kakek ini licin tanpa rambut sedikit pun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Dia berjuluk Swat Hwa Cinjin.

Orang ketiga bernama Hek Bin Tosu. Sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar. Wajahnya nampak serius serta bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.

Mereka bertiga inilah yang dulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindari bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet.

Tidak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama sakti yang melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja ada dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.

“Siancai...! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?” Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru.

Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan. Akan tetapi biar pun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu, kemudian bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.

“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Pada saat kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa di sana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, meski sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”

“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagai mana orang-orang yang sudah memiliki tingkat demikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua di antara mereka.

“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa di Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.

Pek In Tosu menarik napas panjang. “Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapa pun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”

Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, juga ikut mendengarkan walau pun dia harus menahan rasa nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya terasa nyeri.

Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu sudah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas langsung memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya itu banyak berkurang, walau pun belum lenyap sama sekali.

“Ketika itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak mau memberikan putera mereka yang tunggal, apa lagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Maka terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun lalu membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu. Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas pada waktu mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, sejak itulah terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa ini menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”

“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka lantas bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”

“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka secara membuta sehingga apa pun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapa pun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”

“Ahh…” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu kenapa dia justru menyuruh Lima Harimau Tibet menggangu kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya pada saat para Lama hendak menculiknya?”

“Ini pun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka permusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, akan tetapi kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar mau pun dalam.”

Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunannya masing-masing. Tidak mereka sangka bahwa dalam usia yang sangat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.

“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita sedang menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia kini berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.

“Siancai...! Agaknya, Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pendeta Lama itu sehingga dia sudah menderita luka parah yang sangat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada di antara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”

Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri.

Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya.

Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu. Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini.

Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, dia pun segera berkata.

“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri sedang menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu supaya selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.” Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.
cerita silat karya kho ping hoo

“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In Tosu.

Bagaimana pun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya. Apa lagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang menakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!

Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini sebab dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.

Tiba-tiba muncul angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Sie Liong hanya melihat bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan.

Dua di antara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain.

Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering bagai tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang lengkap dan amat terkenal, yang belakangan mengamuk di Kun-lun-san itu.

Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lantas menggeser duduk mereka. Sekarang mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu dengan sikap yang tenang sekali.

Sie Liong membuka matanya lebar-lebar. Hatinya merasa tegang, akan tetapi dia pun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.

Melihat betapa tiga orang calon lawan itu telah duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya tadi memberi isyarat melalui gerakan tangan dan tubuh.

Mereka berlima tidak berani memandang rendah pada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati sekali.

Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Bila Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiap siagaan untuk berkelahi.

Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.

“Sam Lojin, sekali lagi kami menegaskan bahwa pimpinan kami, yaitu yang mulia Dalai Lama, memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!” tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.

“Siancai! Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”

“Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berbicara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biar pun kata-katanya halus dan sopan, akan tetapi mengandung ejekan.

“Maafkan kami. Kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silakan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”

Marahlah Lima Hariman Tibet itu! “Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.

“Siancai...! Terserah pada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.

Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah. Kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti sudah pulas dalam semedhi.

Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa amat mendongkol kepada lima orang pendeta Lama itu. Biar pun dia tidak mengerti betul akan urusan di antara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.

Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang membuat hatinya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.

Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, kemudian menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu.

Dia melihat betapa tubuh kelima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan masih dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu terus naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!

“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru.

Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari semedhi!

Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri kemudian dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.

“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang sangat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kecoa-kecoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itu pun mampu mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu bila dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andai kata kalian pandai terbang sekali pun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!”

Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena walau pun dia mendongkol dan tidak suka terhadap lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, namun orang lain yang hanya ‘meminjam’ mulut dan suaranya! Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!

Lima orang pendeta Lama itu demikian terkejut, marah dan malu mendengar teguran yang keluar dari mulut anak kecil itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh mereka pun meluncur turun.

Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit. Mata mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah-olah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring. “Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”

Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.

Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang. Ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai itu, kemarahan mereka pun memuncak dan untuk sementara mereka tidak mempedulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin, melainkan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.

“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai sudah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?”

“Siancai...” Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju dan menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai.

Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangannya di dada dan berkata dengan penuh hormat. “Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami jika kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”

Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab, “Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”

Kini Thian Hwat Tosu kembali menghadapi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata, “Ngo-wi losuhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkan saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi losuhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kami pun akan melupakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini.”

Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, tapi mengkhawatirkan bila terjadi kesalah pahaman. Oleh karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan dia pun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.

“Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kau maksudkan. Kami pun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa telah memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencampuri urusan kami yang tak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”

Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga terkandung pandangannya yang congkak.

“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”

“Omitohud...! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kami pun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai demikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”

Thian Khi Tosu yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suaranya yang keras. “Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapa pun juga akan kami hadapi!”

“Omitohud...!” Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”

“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!” Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah serentak berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,

“Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”

Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suheng-nya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju bersama, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suheng-nya sekali pun.

Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apa lagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka, yaitu ilmu dalam bentuk barisan yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).

Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang luar biasa kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kiam-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sute-nya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh!

Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang. Di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan amat rapi.

“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang berniat untuk memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya telah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.

Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek. Dengan berjajar mereka pun melangkah maju menghadapi lima belas orang itu.

Setelah mereka saling berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka pun sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka sudah berlatih sampai matang.

Melihat ini, lima orang pandeta Lama itu pun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri. Mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melindungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat pula mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.

Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu, yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, kalau melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi.

Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin. Begitu pimpinan mereka memberi aba-aba, maka lima belas orang itu langsung bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak!

Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan bagai kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal amat hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat pula oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya!

Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing.

Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya dia sembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan.

Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian kemudian diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya.

Serangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai terhadap lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima sama sekali tak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis.

Terdengar bunyi nyaring berdenting-denting, kemudian disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata pada saat lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pendeta Lama. Karena memang tenaga sinkang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu langsung terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat!

Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang beberapa kali, akan tetapi selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke belakang, bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung.

Kesempatan ini digunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu. Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya dan golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat.

Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama juga memutar sepasang pedangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang.

Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya sehingga senjata istimewa ini segera menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya sehingga terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini ternyata memiliki tenaga raksasa.

Biar pun cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dapat pula dihindari oleh lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak bahwa pertempuran ini tidak seimbang sama sekali.

Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini lantas mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa mereka pun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang disertai terdengarnya suara bentakan nyaring.
“Tahan senjata!”

Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka mereka pun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan sekarang mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.

“Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu ilmu kepandaian seorang lawan seorang!” bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang.

Mendengar ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju. “Omitohud...! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Baru mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, dan kini bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!”

Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah. “Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!”

“Sute, harap tenangkan hatimu!” Thian Hwat Tosu menegur sute-nya, kemudian ketua Kun-lun-pai ini melangkah ke depan dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu. “Siancai... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami yang tadi lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan terima kasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan pada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak terus berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan satu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya pihak Kun-lun-pai tidak akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi lagi.”

Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, di samping janji.

“Omitohud... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau ternyata kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau di antara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, engkau temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar.”

Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum lalu melangkah maju mendampingi suheng-nya, yaitu Thay Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah semenjak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.

“Ha-ha-ha!” Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa. “Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi.”

Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat bahwa wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meledakkan cambuknya di atas kepala dan berseru, “Tosu, keluarkan senjatamu!”

Akan tetapi, sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, sekarang sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dengan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.

“Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan para orang gagah yang tak pernah mencampuri mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Kun-lun-pai. Jika sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Oleh karena itulah kami bertiga minta supaya Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar.”

Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dengan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama.

Jika sekarang pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya kelima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!

Dan sebaliknya andai kata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dengan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri!

Bermusuhan dengan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dengan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama sangat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dengan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.

“Siancai...!” berkata Thian Hwa Tosu sambil menjura. “Sungguh ucapan yang bijaksana sekali. Kami akan menjadi orang-orang yang tak mengenal budi bila tidak mentaatinya. Terima kasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!” Ucapan terakhir ini merupakan perintah.

Meski pun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suheng-nya. Dia pun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, dan membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu benteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat!

Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi jauh lebih ringan, tak perlu menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kami pun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, dengan menyadarkan ketua Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kami pun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dengan kami, sebagai tamu undangan untuk kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?”

Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab, “Siancai...! Terima kasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu.”

Wajah Thay Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sesungguhnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi berkokok seperti seekor katak besar!

“Hmm, apakah yang memaksa kalian menolak undangan kami yang telah kami lakukan dengan merendahkan diri?” tanyanya dengan suara membentak.

Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah, “Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak memiliki urusan apa pun dengan Dalai Lama, sehingga andai kata beliau yang mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimana pun juga, kami bukanlah anggotanya mau pun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undangan itu.”

“Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!” bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya memang keras. “Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!”

Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.

“Siancai... memang sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan.”

“Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!” bentak Thay Ku Lama.

Dia sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.

Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biar pun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai menggunakan segala macam senjata, namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apa lagi membawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian saja pun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh.

Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, mau pun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam.

Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tak pernah berkelahi, tak pernah menggunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Selama ini bahkan mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada ‘sumbernya’, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.

Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walau pun andai kata ada nafsu itu pun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.

Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itu pun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaiannya. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi yang mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sinkang mereka amat kuat dan di samping itu, mereka pun pandai ilmu sihir.

Thay Ku Lama mempunyai pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut. Pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat dan mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas.

Ada pun orang ke dua, Thay Si Lama, di samping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki ginkang yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja.

Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain permainan senjata rantai bajanya berbahaya sekali, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biar pun kurus kering, akan tetapi tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya.

Dan yang lebih dari pada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.

Sebetulnya jika dibuat perbandingan, tingkat kepandaian mereka masing-masing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andai kata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorang pun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.

Akan tetapi, kini mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok. Dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan.

Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.

Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang sangat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini semenjak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga.

Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk bisa mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih serta lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, dia pun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak.

Akan tetapi satu hal yang dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih, walau pun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.

Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau ketiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Meski tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, akan tetapi dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak.

Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, sangatlah hebat. Menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu, dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari salah seorang di antara lima orang pendeta Lama itu.

Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.

Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang berkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia pun terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri, karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan dia pun terjungkal dan terguling-guling!

Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling akibat tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut!

Dia membelalakkan matanya agar bisa memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.

Ketika menengadah, Sie Liong melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian gembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Rambutnya riap-riapan berwarna putih, dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali.

Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka dia pun lalu duduk saja bersila, tidak mempedulikan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.

“Heh-heh-heh...!” Kakek itu terkekeh geli.

Tongkat bututnya lalu bergerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong. Lalu nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dengan garis tengah dua meter lebih.

“Engkau tinggal saja di dalam ruangan ini. Siapa pun tak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”

Sie Liong mendongkol. Agaknya ia baru bertemu dengan seorang gembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan dia pun tidak menjawab, hanya membuka mata menonton pertempuran yang masih berjalan terus.

Agaknya kakek gembel itu pun sekarang tidak mempedulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba saja Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.

Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah. Akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek gembel tertawa semakin keras. Sie Liong pun basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludah pun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!

Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan walau pun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.

“Tokk!”

Dan dia pun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali pula kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar pun dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apa lagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.

Memang telah terjadi perubahan pada pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga dalam menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang menggunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka.

Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang sudah kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih itu terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!

Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan mendadak seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.

Tiba-tiba tongkat butut kakek gembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang ‘melanggar’ lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itu pun tordorong keluar!

Pada saat para anggota Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu terus berlompatan. Agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!

Tidak demikian dengan para pendeta Lama. Pada suatu ketika, ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama.

Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksasa itu memasuki lingkaran, kakek gembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itu pun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia pun terdorong keluar oleh tongkat butut.

Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 04


Loading...