Suling Naga Bagian 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING NAGA BAGIAN 08



Dengan sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia enam puluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu.

Setelah puas meneliti, ia lalu membentak, "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"

"Omitohud...!" Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona.

Bukan main wanita ini, pikirnya. Biar pun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih saja membayangkan kecantikan walau pun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!

"Omitohud apa! Orang semacam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau ini sebelum kau mampus tanpa nama!"

"Omitohud... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua."

"Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!" bentak Teng Siang In.

Ia sudah menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sinkang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!

Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia tak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat, sehingga sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.

"Haiiittttt...!"

Tiba-tiba dia berteriak. Tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sinkang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sinkang-nya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sinkang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.

Akan tetapi nenek itu tertawa. "Heh-heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!"

Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mata Sai-cu Lama! Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu.

Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.

"Omitohud, kiranya engkau siluman betina...!" bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu.

Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan dia pun terbelalak melihat pedang itu.

"Ban-tok-kiam...! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?" bentaknya dengan terheran-heran.

Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?

"Ha-ha-ha, anggap saja pinceng adalah Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!" kata Sai-cu Lama dan dia memutar Ban-tok-kiam lagi, lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.

Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjata pun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh. Maka cepat ia menyambar sebatang ranting, lantas berteriak sambil memutar rantingnya, "Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"

Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujung ekornya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.

"Omitohud...!" Kakek itu berseru.

Kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya. Sambil mengerahkan tenaga dia pun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar..."

Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi.

Nenek Teng Siang In mulai khawatir. Lawan ini terlalu tangguh, tak bisa ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!

Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini. Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya.

Sementara itu, Sai-cu Lama sendiri masih bisa menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka dia pun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andai kata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walau pun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.

"Lumpuhlah kau! Kedua kakimu lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!" bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh!

Kalau saja dia tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu bisa berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.

"Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"

"Jahanam busuk lepaskan cucuku!" dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi.

Ia menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah pada bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia juga membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!

"Ayaaaa!" Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut.

Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu. Dalam keadaan yang begitu berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, sekarang racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!"

Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya. Maka dengan nekat, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut.

Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil sebagai isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda.

Tetapi, baru saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang tadi bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!

Seperti telah kita ketahui pada waktu kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat ikut mengeroyok kakek yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang pembesar bernama Hou Seng yang konon merajalela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka.

Sesuai dengan petunjuk suhu-nya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat perkelahian itu. Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya.

Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan mati-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka sekali turun tangan dia sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya.

Teng Sian In semenjak mudanya berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa kepandaian Lama yang kini menjadi lawannya itu hebat bukan main. Ia tidak ingin ada orang yang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau ada orang yang mati karena membantunya.

"Orang muda, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!" teriaknya dan ia masih menyerang dengan tendangan-tendangan ampuhnya.

"Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!" kata Hong Beng.

Dia pun sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biar pun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di udara, akan tetapi setiap ‘coretan’ merupakan serangan yang amat ampuh dan mendatangkan hawa dingin seperti es!

Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran "Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?" tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.

"Guru saya bernama Suma Ciang Bun..."

"Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!"

Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya! Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!

"Baik...!" Dan dia pun kini cepat mengerahkan tenaga sinkang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sinkang yang bersumber dari Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api.

Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin. Namun, itu pun sudah hebat karena dia sudah menguasai hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu asli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat.

Ilmu ini aslinya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-gerakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan.

Dia mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus. Dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu pula oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama langsung terdesak mundur!

Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.

Hong Beng juga pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia. Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau menggunakan senjata gelap dalam perkelahian.

Sekarang dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan yang pasti terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia percaya bahwa biar pun usianya baru kurang lebih dua belas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia berhasil dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak!

Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Saat bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan.

Mereka berdua masih berusaha mendesak terus. Tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng lalu bergerak-gerak ke depan menyambitkan batu-batu kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.

Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil. Selain batu-batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini kini sudah mampu bergerak lagi.

Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Walau pun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk rambut terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir.

Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah, tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu dengan tepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik.

Akan tetapi sasaran itu yang paling mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing itu saja. Ia lalu mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu pendeta ini akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah itu, tiba-tiba berteriak, "Sai-cu Lama, kau lihat baik-baik jimatku!"

Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu telah mengangkat tangan. Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut.

"Crottt...!"

"Aduhhhh...!"

Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena ketika benda itu menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip dengan perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan!

Sai-cu Lama telah terluka. Walau pun tidak terlalu dalam, namun dia semakin khawatir. Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia tentu akan celaka! Maka dia cepat memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga dua orang lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!

Hong Beng berseru marah, "Kakek jahat, kau hendak lari ke mana?" Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, "...jangan... kejar..."

Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka dia pun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.

"Bagaimana baiknya, locianpwe...?" tanyanya, bingung.

"Aku...keadaanku...payah...lekas bawa aku pulang... kita laporkan hal ini... kepada... Ceng Liong..." Ia menuding ke barat dan terkulai, pingsan.

Hong Beng cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang ditudingkan oleh nenek itu. Dia pun tadi sudah mendapat keterangan bahwa jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang pingsan. Tadinya mereka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan-jalan seperti biasa, atau bermain ke suatu tempat.

Sedikit pun mereka tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dalam pondongan seorang pemuda serta dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama mereka!

"Apa yang terjadi dengan ibu?" Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat betapa wajah ibunya sudah biru menghitam.

"Di mana anakku, Suma Lian? Di mana ia...?"

Melihat kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu melihat munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhu-nya kepadanya.

Seorang pria berusia sekitar tiga puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhu-nya, susiok (paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhu-nya.

Juga isteri susiok-nya itu menurut gurunya, mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali karena dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Dan dalam usia yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepasang matanya amat tajam dan sikapnya gesit dan gagah sekali. Akan tetapi, saat itu suami isteri yang hebat ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi.

"Saya melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung pendeta itu. Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak perempuan di punggungnya..."

"Cukup! bentak Kam Bi Eng, "ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku itu?"

"Dari sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara," jawab Hong Beng. Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!

Suma Ceng Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung. Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.

"Siapa kau?"

Hong Beng menjatuhkan diri berlutut. "Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyelidiki keadaan pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di sini untuk minta keterangan dan nasehat dari Susiok."

"Hemm, kau jaga dulu ibuku ini. Ia sudah... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah engkau dengan apa pahanya itu dilukai?"

"Dengan Ban-tok-kiam."

"Ban-tok-kiam? Bagaimana kau bisa tahu... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kau jaga ibuku dan aku akan mengejar kakek iblis itu!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap pula dari depan Hong Beng.

Pemuda ini semakin kagum dan dia pun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mendengarkan percakapan mereka dan percaya kepada pemuda ini yang mengaku murid keponakan majikannya. Gu Hong Beng menunggui tubuh nenek itu.

Wajah nenek itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka. Napasnya masih belum terhenti, namun terengah-engah dan tinggal satu-satu, tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan dirabanya pergelangan tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada denyut sama sekali.

Dia pun tahu bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andai kata nenek ini masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih dahulu dia akan menolong dan mengobati ibunya.

Tiba-tiba timbul pikiran Hong Beng untuk membantu nenek itu agar jalan darahnya lebih cepat dan biar pun hal itu bukan merupakan pertolongan terhadap nyawa nenek itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walau pun hanya untuk beberapa detik lamanya. Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan. Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut lengan kanan.

Harapannya terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak-gerak dan memandang dengan wajar padanya tanpa menoleh. Hong Beng mendekatkan mukanya karena melihat bibir itu bergerak-gerak. Nenek itu berbisik-bisik.

"Kau... berjanjilah untuk mentaati perintahku..."

Bukan main nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk, menghormati pesan seorang di ambang pintu kematian.

"Saya berjanji untuk mentaati, nek."

"...ber... bersumpah!"

Hong Beng terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan berkata, "Saya bersumpah, nek!"

Wajah yang sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum menyeramkan jadinya! "Bagus! Kelak kau... kau harus menjadi suami Suma Lian..."

Hampir saja Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, "Akan tetapi, nek! Nenek... ah, nenek...ini tidak bisa... nek...!" Percuma saja dia berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!

Pelayan yang berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para tetangga. Tak lama kemudian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan menjadi aneh sekali tentu!

Tak seorang pun mempedulikan Hong Beng yang duduk di ruang luar sambil bengong terlongong. Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau menangis. Dia memang merasa menyesal bukan main.

Bagaimana nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya? Dan dia sudah berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati perintahnya. Siapa tahu perintah terakhir itu begitu gila? Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon suami... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu? Suma Lian, benar, Suma Lian. Mana mungkin ini?

Suma Lian adalah puteri tunggal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia? Hanya anak yatim piatu, hanya keturunan tukang kayu sederhana. Seorang pemuda yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeser pun tidak, rumah tidak dan keluarga pun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum tentu diterima, apa lagi menjadi suami!

Dan siapa berani memberi tahukan pesan itu kepada keluarga susiok-nya? Biar sampai mati dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapa pun juga! Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang berupa perintah itu!

"Hayaaaa... nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila? Engkau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin berat rasanya..."

Baru saja dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan, dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan sangkut pautnya dengan orang lain.

Akan tetapi urusan pesan nenek itu? Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut. Bukan hanya diri Suma Lian langsung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan ikut terbawa akibat buruknya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pulau Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu!

Akan tetapi, kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang hampir mati dan tidak menetapi janjinya, tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri.

"Celaka, mengapa nasibku begini aneh dan buruk?" dan hampir saja Hong Beng menangis kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.

Mereka pulang dengan tangan kosong dan dengan muka sedikit pucat mengandung kegelisahan hati. Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi melihat banyaknya tetangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak mempedulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah.

Tangis di dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Para tamu wanita itu, para tetangga, harus memperlihatkan keprihatinan dan kesedihan mereka di depan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang saja menangis, tanpa diperintah lagi yang lain pun turut menangis. Otomatis air mata pun bercucuran! Namanya juga perempuan!

Makin berat rasa hati Hong Beng. Kedatangannya seolah-olah membawa bencana pada keluarga pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong, tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pembawa berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu dalam keadaan sekarat. Dan kini, bagaimana mungkin dia, si pembawa berita buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan terakhir nenek itu?

Akan tetapi, ada berita baik yang dapat disampaikannya kepada mereka, yaitu ke mana larinya Sai-cu Lama. Dia tahu hal ini! Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus mencarinya di istana kota raja? Wah, sedikitnya dia akan berjasa kalau memberi tahukan hal itu.

Hong Beng sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, tetapi pikirannya melarangnya. Mengapa harus memberi tahukan mereka? Biarlah dia sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak perempuan itu!

Ya, dia harus menolong Suma Lian, bukan memperisterinya seperti yang dipesankan oleh nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka rahasia itu hanya dengan maksud menyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud menuntut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa Suma Lian menjadi jodohnya.

Sekali saja berhubungan hati dengan wanita sudah cukuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan alang kepalang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau mengalaminya untuk ke dua kalinya. Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wanita mana sih yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaian pun tidak ada gunanya?

Buktinya, kepandaiannya itu tak mampu menyelamatkan nenek itu, tak dapat merampas Suma Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, bahkan seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhu-nya, dan sekarang ditambah lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup yang sudah ditentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja.

Dia akan pergi sekarang juga, untuk melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu betapa tangguhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,

"Paman, tolong nanti engkau beri tahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka menanyakan aku, bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian." Tanpa menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai dibanjiri tangis yang datang berlayat.

Kenapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis? Kenapa dalam urusan hidup dan mati kita pun masih menggunakan perhitungan rugi untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggota keluarga? Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?

Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggota keluarga meninggal dunia. Jawaban itu tentu, pertama: Karena mencinta yang mati dan merasa kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis?

Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi?

Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada dirinya sendiri karena ditinggalkan. Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya?

Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?

Kemudian jawaban yang pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kematiannya kita buat sedih? Bukankah kesedihan muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan.

Cinta bukan berarti belenggu ikatan batin. Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka.

Cinta membuat kita ingin melihat yang dicinta itu berbahagia! Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai bertahun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata ‘cinta’ ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku ‘cinta’
.

Keluarga Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan tidak sempat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ, karena mereka ingin cepat-cepat mengubur peti jenazah itu agar mereka dapat cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mereka berdua merasa terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu pergi untuk mencari Suma Lian.

Mereka merasa sangat menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan dari mana datangnya.

Walau pun pemuda itu sendiri pun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu dapat menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang tiba-tiba saja berada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan menculik Suma Lian.

Pedang Ban-tok-kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mungkin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas di tangannya.

Tidak ada lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu.

Setelah penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri ini pun segera meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.

********

Pegunungan Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat indah pemandangan alamnya, juga amat sulit didaki orang karena untuk mencapai puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam. Bahkan para pemburu pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang berbahaya itu, melainkan mencari binatang buruan di sekitar lereng pegunungan di mana terdapat banyak hutan-hutan yang luas.

Pegunungan ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-puncaknya, nampaklah bagian timur yang datar dan rendah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan utara yang penuh dengan pegunungan itu. Tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, maka yang nampak hanya pegunungan belaka, dan daerah-daerah tandus yang tinggi.

Karena di bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, pemandangan matahari terbit di puncak Tai-hang-san amat indahnya. Matahari terbit pagi sekali karena tidak terhalang apa-apa. Ketika pagi hari nampak matahari seperti muncul dari tanah yang merupakan garis di kejauhan sepanjang mata memandang, dan nampak bola merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin tinggi bola merah itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merah pun berganti keemasan, lalu jika sudah berubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.

Tapi, ketika bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang mengandung sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam. Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagian kecil saja dari alam, yang ikut berputar dalam arus kekuasaan alam yang sudah mengatur segala-galanya secara sempurna.

Betapa kita ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan tidak nampak di alam ini. Cahaya matahari, udara, bumi, pohon-pohonan, air. Semua sudah teratur sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan, saling menghidupkan, tidak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum alam.

Sayang bahwa kesadaran ini hanya kadang-kadang saja memasuki batin kita, dan sebagian besar dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipaling dahulukan!

Padahal, tanpa perlu pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekali pun, dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan menemukan keajaiban-keajaiban itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita, karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam!

Lihatlah, rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita, satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar mau pun tidak, seolah-olah hidup tersendiri.

Lalu apa sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan? Dan bukankah sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah kita alami?

Di mana ada pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya. Segala jenis nafsu mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling berebut kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk-muluk. Bahkan perang pun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pribadi
.
Hampir setiap pagi, di atas satu di antara puncak-puncak pegunungan itu, seorang pria selalu menyambut munculnya matahari sambil meniup sulingnya. Keadaan sekitarnya, pemandangan alam yang nampak di matanya, bunyi-bunyian antara binatang-binatang malam yang mulai mengendur dan berganti suara kokok ayam dan kicau burung yang memasuki telinganya, keharuman tanah yang dibasahi air embun, rumput dan daun-daun pohon yang memasuki hidungnya, perasaan hati yang tenang dan hening, semua itu seolah-olah memberi ilham kepadanya untuk mengalunkan suara sulingnya tanpa memainkan suatu lagu tertentu!

Semua yang didengarnya, dilihatnya dan diciumnya itu seolah-olah hendak ia masukkan ke dalam tiupan sulingnya, atau lebih tepat lagi, dia ingin mengiringi semua itu dengan alunan suara yang serasi, dan dia meniup dengan sepenuh perasaan, hanyut ke dalam suara buatan sulingnya sendiri.

Pria itu berusia tiga puluh tiga tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, namun sepasang matanya yang tajam itu seperti diselimuti kesayuan, seperti mata orang yang pernah dilanda duka. Pakaiannya sederhana sekali, namun bersih. Dia duduk di atas sebuah batu hitam, menghadap ke timur dan suara sulingnya akhirnya berhenti setelah matahari naik semakin tinggi dan cahayanya mulai menyilaukan mata.

Begitu suara sulingnya berhenti, ramailah terdengar suara burung-burung berkicau dan pergantian suara ini bukan membikin suasana menjadi buruk, bahkan kini suasana menjadi gembira sekali, seakan-akan burung-burung itu bergembira menyambut hari yang cerah. Suara suling tadi mendatangkan kesyahduan dan agaknya banyak burung ikut mendengarkan dan baru sekarang mereka semua berkicau dan ada yang mulai terbang meninggalkan pohon untuk pergi mencari makan.

Melihat sulingnya yang mengeluarkan cahaya ketika tertimpa sinar matahari yang mulai naik tinggi tentu akan membuat orang terkejut karena suling itu terbuat dari pada kayu menghitam yang diukir indah seperti bentuk naga akan tetapi tajam dan runcing seperti pedang. Dan memang benda itu adalah Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) dan pemegangnya adalah Pendekar Suling Naga Sim Houw!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sim Houw pernah pergi jauh ke daerah Himalaya untuk mengunjungi keluarga Cu Kang Bu yang masih merupakan keluarga mendiang ibunya. Ibunya, mendiang Cu Pek In, adalah keponakan dari pendekar Cu Kang Bu. Ketika berkunjung itulah dia berhasil mengalahkan mendiang Pek-bin Lo-sian dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam itu. Oleh karena pedang ini amat cocok untuk dipakai sebagai suling dan pedang, maka dia pun menyerahkan kembali suling emas yang diterima dari ibunya dulu, juga mengembalikan Koai-liong Po-kiam yang memang asalnya dari lembah keluarga Cu.

Sejak itu, dia pun merantau selama tujuh tahun. Pedangnya yang sudah mengalahkan entah berapa banyak tokoh-tokoh kaum sesat, membuat nama Pendekar Suling Naga semakin terkenal. Akan tetapi, semakin dia terkenal, Sim Houw menjadi semakin rendah hati. Dia yang sejak muda sudah biasa hidup di alam bebas, menyatukan diri dengan kebesaran alam, dapat melihat bahwa dirinya itu sesungguhnya bukan apa-apa, hanya kebetulan menjadi pewaris ilmu silat yang tinggi dan pusaka yang ampuh begitu saja.

Seperti juga semua manusia lain, tentu dia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dia kelihatan terkenal dan dikagumi orang, akan tetapi hidupnya selalu sebatang kara dan sampai hari itu, dia masih juga hidup menyendiri. Dia sudah tidak memiliki keluarga kecuali keluarga Cu yang tinggal jauh di Himalaya itu, dan kalau sampai berusia tiga puluh tiga tahun dia belum juga menikah, hal itu sama sekali bukan karena dia pantang menikah, melainkan karena dia belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang cocok untuk menjadi jodohnya, seorang yang saling mencinta dengan dia!

Dia tidak mau patah hati untuk kedua kalinya. Kegagalan cinta dan tali perjodohannya dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, membuat Sim Houw berhati-hati sekali dan tidak mau sembarangan jatuh hati kepada wanita sebelum dia yakin benar bahwa cintanya takkan bertepuk tangan sebelah. Dan sampai sekarang, dia masih merasa belum bertemu dengan jodohnya.

Kalau ada wanita yang menarik hatinya, ternyata wanita itu tidak cinta kepadanya, dan sebaliknya kalau ada gadis yang tertarik kepadanya, dia sendiri tidak mencinta gadis itu. Dia tidak mencari gadis yang cantik jelita, atau yang kepandaian silatnya setingkat dia. Dia tidak mempunyai syarat apa pun, kecuali saling mencinta. Dan bagi cinta, agaknya wajah dan kepandaian itu tidak dapat dipakai sebagai dasar atau ukuran. Cinta adalah urusan hati, sedangkan kepandaian dan kecantikan adalah urusan badan. Walau pun ada kaitannya, namun keindahan lahiriah itu tidak menjadi syarat yang menentukan bagi cinta.

Kadang-kadang timbul pula rasa kesepian di lubuk hati pria yang masih muda ini, dan rasa kesepian ini menakutkan sekali. Sebagai seorang pendekar sakti, belum pernah ia takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun, tetapi menghadapi kesepian ini kadang-kadang membuatnya merasa ngeri! Haruskah hidupnya selalu begini, seorang diri saja? Akan tetapi ada kalanya kesepian itu menjadi keheningan yang menyejukkan hati, yaitu di waktu pikirannya tenang dan tidak mengada-ada.

"Bagus sekali, mengapa berhenti?" Tiba-tiba terdengar suara halus.

Sejak tadi, pendekar ini tahu bahwa ada orang datang dari arah belakang dan orang itu berhenti sampai lama. Biar pun dia tadi masih meniup sulingnya, akan tetapi andai kata orang di belakangnya itu menyerangnya secara tiba-tiba, ia tentu akan dapat melindungi dirinya.

Karena sudah tahu bahwa di belakangnya ada orang, semestinya dia tidak kaget ketika mendengar teguran itu. Akan tetapi, kenyataannya Sim Houw terkejut dan terheran. Cepat dia menoleh karena tak disangkanya bahwa orang yang datang adalah seorang wanita dan teguran tadi pun sama sekali tidak menunjukkan nada permusuhan. Dan kekagetannya bertambah ketika dia menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang dara yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya dan dara itu manis sekali.

Kini gadis itu berdiri, baru saja keluar dari balik batang pohon di mana ia tadi mengintai, dan tersenyum. Memang luar biasa manisnya gadis ini kalau dia tersenyum. Wajahnya memang selalu cerah, sikapnya selalu gembira dan jenaka, akan tetapi kalau dia lagi tersenyum, mulut yang kecil itu dihias sepasang lesung pipit di kanan kiri sehingga Sim Houw terpesona dan sejenak timbul pikiran tahyul bahwa yang muncul ini bukan manusia melainkan seorang dewi!

Akhirnya dapat juga dia menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan itu dan dia pun bertanya, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya tadi, "Apa yang kau katakan tadi?"

"Aku berkata bahwa tiupan sulingmu itu bagus dan merdu bukan main, akan tetapi kenapa berhenti?"

Sim Houw tersenyum dan bangkit berdiri, menghadapi gadis itu. "Tiupanku hanya asal bunyi saja, bagaimana bisa bagus? Dan aku berhenti meniup karena memang sudah habis." Sukar dia menguraikan mengapa dia meniup suling, digerakkan oleh suasana dan suasana pula yang menghentikan tiupan sulingnya.

"Ehh, lagu apakah tadi? Indah sekali!" kembali gadis itu bertanya sambil mendekat.

"Lagu asal bunyi saja. Adik ini siapakah dan datang dari mana dan hendak ke mana? Sungguh aneh melihat seorang dara muda seperti engkau ini dapat datang ke puncak ini. Bagaimana kau bisa datang ke sini dan bersama siapa, ada keperluan apa?"

"Wah-wah-wah, pertanyaanmu datang bertubi seperti hujan deras saja. Kenapa kau bertanya-tanya? Apakah puncak ini milikmu?"

Ditanya demikian, Sim Houw lalu membelalakkan matanya. Suasana otomatis menjadi demikian gembira setelah gadis ini bicara. Mungkin karena wajahnya yang cerah itu, atau senyumnya yang manis, atau juga karena kata-katanya yang jenaka.

"Puncak ini? Puncak ini memang milikku, juga milikmu, dan milik siapa saja yang mau mengakuinya."

"Wah, jawabanmu aneh dan ngaco! Mana bisa semua orang boleh memilikinya asal mau mengakuinya?"

"Siapa pula yang mau memiliki gunung? Aku bertanya karena merasa heran bagaimana engkau bisa datang ke sini."

"Aku datang seorang diri tanpa kawan, dan apa anehnya?”

"Akan tetapi tidak mudah naik ke puncak ini, apa lagi bagi seorang..."

"Bagiku mudah saja!"

Mengertilah Sim Houw bahwa yang datang ini adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat cukup tinggi maka dapat dengan mudah mendaki puncak ini. "Kalau boleh aku bertanya, apakah keperluanmu datang ke sini?"

"Mencari orang! Dan sekarang, untuk pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu, aku mau membalas dengan satu pertanyaan saja. Setelah kau jawab, aku segera pergi dari sini dan tidak akan menganggumu lagi."

Sim Houw tersenyum lagi. Sikap dan cara bicara anak ini sungguh lucu sekali dan lincah jenaka. "Tanyalah, adik yang baik, jangankan hanya satu pertanyaan, biar selosin pun akan kujawab."

"Tak usah banyak-banyak, satu saja karena aku datang bukan untuk mengajak orang mengobrol. Begini paman yang baik. Aku mendengar bahwa orang yang sedang kucari itu berada di sekitar Pegunungan Tai-hang-san ini, dan ketika aku bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di bawah sana, mereka memberi tahu bahwa untuk mencari orang itu aku harus bertanya kepada seorang penyuling yang mungkin berada di puncak ini. Nah, aku pun datang di sini dan karena engkau pandai bermain suling, agaknya engkaulah penyuling itu. Tentu saja kecuali kalau ada penyuling lain lagi."

Hati Sim Houw mulai merasa tidak enak, namun dengan sikap tenang dia menyimpan Liong-siauw-kiam di sarungnya yang terselip di pinggang di balik bajunya yang panjang, dan dia bertanya. "Nona, siapakah yang kau cari itu?"

Dara itu bukan lain adalah Can Bi Lan. Setelah ia mendengar dari Kun Tek bahwa kalau hendak mencari Pendekar Suling Naga, ia harus pergi ke Tai-hang-san sebab pendekar itu suka berkeliaran di daerah itu, maka ia pun langsung saja pergi ke Tai-hang-san. Di sekitar kaki dan lereng pegunungan itu, ditanyainya penghuni dusun barang kali ada yang mengenal orang yang bernama Sim Houw berjuluk Pendekar Suling Naga.

"Yang kucari adalah Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw." Sepasang mata yang jernih tajam itu memandang penuh selidik. "Tahukah engkau, paman?"

Sim Houw mengangguk dan menekan hatinya yang agak menegang. Heran dia kenapa dicari oleh dara muda ini. Hatinya merasa tegang, padahal andai kata yang mencarinya itu beberapa orang yang kelihatan jahat dan mengambil sikap bermusuhan sekali pun, belum tentu dia akan kehilangan ketenangan.

"Nona," dia tidak menyebut lagi adik setelah mendengar betapa gadis itu menyebutnya ‘paman’. Memang, melihat keadaan gadis itu yang masih muda, sudah sepatutnyalah kalau dia disebut paman. "Kalau engkau hendak mencarinya, yang bernama Sim Houw adalah aku sendiri. Tidak tahu ada keperluan apakah?"

Bi Lan melongo dan kini sepasang matanya memandang pria itu dari kepala ke kaki dengan penuh selidik. "Luar biasa! Engkau pendekar yang namanya terkenal sekali itu? Ahhh, siapa kira..."

"Ternyata hanya begini saja, ya?" Sim Houw tersenyum pahit, tidak menyesal hanya merasa lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi terkenal. Lebih enak menjadi orang yang tidak dikenal, sehingga tidak ada yang kecewa atau heran melihat keadaannya.

"Ahhh, bukan begitu. Tapi hemm, bentuk badan dan wajah memang agak cocok dengan keterangan suci. Tubuhmu sedang dan wajahmu cukup tampan. Akan tetapi tidak setua ini! Kata suci, engkau seorang pemuda yang hebat, tampan dan lihai. Tapi walau pun engkau tampan, engkau tidak muda lagi dan pakaianmu begini sederhana, sama sekali bukan seperti pendekar."

"Kalau pendekar itu harus seperti bagaimana?" Sim Houw yang ketularan kejenakaan gadis itu, bertanya sambil berkelakar.

"Seperti... seperti...apa ya? Aku sendiripun tidak tahu."

Ia teringat akan Gu Hong Beng dari Cu Kun Tek. Keduanya adalah pendekar-pendekar muda, akan tetapi mereka pun seperti orang biasa. Hampir lupa ia bahwa pendekar pun orang, maka tentu tidak ada bedanya dengan orang lain.

"Nona, siapakah suci-mu itu? Dan apa keperluanmu mencari aku?"

"Beberapa tahun yang lalu suci pernah kalah olehmu... ahhh, pantas, sudah lewat beberapa tahun, tentu saja engkau menjadi lebih tua. Mungkin karena terlalu sederhana kau jadi kelihatan lebih tua. Berapa sih usiamu sekarang?"

Melihat betapa percakapan itu menjadi tidak karuan, malah bertanya umur segala, Sim Houw tidak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa dan sekarang nampak bahwa dia sesungguhnya belum tua karena begitu dia tertawa wajahnya nampak masih muda.

"Eh, kenapa kau malah tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku?" Pandang mata Bi Lan penuh kemarahan dan alisnya berkerut.

Tiba-tiba saja Sim Houw menghentikan suara ketawanya. Dia seperti melihat bahwa jika dia tertawa terus, tentu gadis itu akan langsung menyerangnya. Sekarang pun sudah menyerangnya dengan pandang mata yang lebih runcing dari pada mata pedang!

"Aku tidak mentertawakanmu, nona, melainkan ketawa karena kata-katamu yang lucu. Jika mau tahu usiaku, aku berusia tiga puluh tiga tahun sekarang. Nah, memang sudah tua, bukan?"

"Engkau tidak tua tidak muda, engkau... yah, cukupan. Belum tua tapi sudah masak, begitulah andai kata engkau ini buah."

"Siapa bilang belum tua? Sudah seratus tahun kurang..."

"Ehhh? Jadi kau tadi membohong ketika mengaku berumur tiga puluh tiga..."

"Seratus tahun kurang enam puluh tujuh kan berarti seratus tahun kurang." Sim Houw yang biasanya pendiam itu mendadak saja pandai berkelakar.

"Huh, kalau begitu aku pun seratus tahun kurang! Kau kira aku ini anak kecil, mudah saja dibohongi?"

"Kau memang bukan anak kecil, akan tetapi dibandingkan dengan aku, engkau ini yah, katakanlah remaja yang sudah matang. Usiamu tentu paling banyak enam belas tahun." Sengaja Sim Houw mengurangi taksirannya untuk menggoda. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita paling suka kalau dikatakan masih muda, dan ucapannya tadi bukan merayu, melainkan hanya untuk menggoda.

Akan tetapi Bi Lan girang sekali. "Masih kelihatan begitu muda? Padahal, aku sudah hampir delapan belas tahun! Eh, paman... bagaimana ya baiknya kupanggil paman atau kakak?"

"Terserah kepada yang panggil, itu adalah urusan orang yang akan memanggil, boleh kau sebut paman, kakak, kakek, asal jangan menyebut bibi saja."

"Aha, kau pandai berkelakar, ya? Lucu ya? Tidak lucu, ah!"

Kembali Sim Houw tertawa. Bukan main gembira hatinya. Selama hidup baru satu kali ini dia benar-benar merasa gembira bercakap-cakap dengan seseorang. Gadis remaja yang satu ini memang bukan main. Lucunya tidak dibuat-buat, memang sikapnya, kata-katanya dan pandang matanya, mulutnya, semua serba lucu dan menarik.

"Ehh, ketawa lagi! Aku jadi ragu-ragu apakah benar engkau yang dipanggil Pendekar Suling Naga! Masa ada pendekar kok begini sederhana dan suka berkelakar? Tidak berwibawa seujung rambut pun. Pantasnya kau ini..."

Gadis itu memandang seperti orang menimbang-nimbang, menggeleng sana-sini seperti seorang gadis remaja menaksir sepotong baju baru yang akan dipilihnya.

"Pantasnya jadi apa?" tanya Sim Houw yang sudah siap untuk tertawa lagi karena baru sikap gadis itu sudah begitu menyenangkan dan menggelikan. Dia tidak mungkin bisa marah dikatakan apa saja oleh gadis seperti ini!

"Hemm... jadi petani dusun, terlalu tampan dan kulitmu terlalu halus. Jadi seorang kutu buku! Yah, seorang kutu buku, yang kerjanya setiap hari hanya baca buku, melamun, baca buku sambil menangis sendiri, tertawa sendiri..."

"Wah, seperti orang gila? Menangis sendiri tertawa sendiri?"

"Bukan gila. Aku melihat semua kutu buku begitulah. Kalau cerita yang dibacanya itu menyedihkan dan mengharukan, dia menangis sendiri, kalau ada yang lucu, ketawa-ketawa sendiri, memang seperti orang gila, tapi bukan. Ehh, benarkah kau ini bernama Sim Houw dan yang dijuluki Pendekar Suling Naga?"

"Namaku memang Sim Houw dan tentang julukan itu adalah orang-orang lain yang menyebutnya, aku sendiri tidak pernah merasa menjadi pendekar."

"Akan tetapi kata suci-ku, Pendekar Suling Naga mempunyai sebuah pusaka, yaitu Liong-siauw-kiam!"

Sim Houw dapat menduga bahwa kedatangan gadis ini tentu ada hubungannya dengan pedang itu, maka dia pun mencabut Liong-siauw-kiam dari sarungnya. "Benda inilah yang disebut Liong-siauw-kiam, suling yang kutiup tadi."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. Ia melihat sebatang kayu semacam tongkat berbentuk naga, berlubang-lubang seperti suling, namun tajam juga runcing bagaikan pedang. Akan tetapi benda itu hanya dari kayu, buruk kehitaman pula. "Itu? Yang kau tiup tadi? Itukah yang disebut Liong-siauw-kiam dan diperebutkan oleh begitu banyak orang? Aihhh, apakah mereka semua itu sudah gila?"

Sim Houw menyarungkan lagi pedangnya, "Gila? Mereka siapa yang gila?"

"Tentu saja yang memperebutkannya dengan taruhan nyawa. Bukankah itu pedang yang tadinya berada di tangan kakek Pek-bin Lo-sian dan diperebutkan? Engkau juga termasuk yang mungkin gila, memperebutkan pedang kayu seperti itu dengan taruhan nyawa. Dijual tidak akan laku sepuluh tael perak! Engkau, suci-ku yang berjuluk Bi-kwi, juga Sam Kwi guru-guruku, mereka itu juga sudah gila. Aku pun termasuk yang sudah gila karena aku mau saja mewakili suci-ku untuk merampas pedang macam itu darimu. Kalau bukan karena mewakili suci, huh, diberi juga aku sendiri tidak sudi! Apa lagi harus merampas segala macam!"

Sim Houw terkejut, alisnya berkerut dan rasa kecewa yang amat besar menyelinap di dalam hatinya. Gadis ini murid Sam Kwi? Dan ia datang diutus oleh Bi-kwi, wanita iblis jahat itu untuk merampas pedang pusaka ini? Sungguh sukar untuk dipercaya. Dan pandangannya pun berubah!

Dia kini menganggap bahwa semua kelucuan gadis ini tadi dibuat-buat saja, sengaja untuk menjatuhkan hatinya, untuk merayunya! Dan memang gadis ini tadi telah berhasil menarik hatinya, membuat dia merasa suka sekali kepada gadis ini. Akan tetapi begitu dia mendengar bahwa gadis ini murid Sam-Kwi, segera dia usir semua rasa suka itu, walau pun dengan hati penuh penyesalan dan kekecewaan.

Tidaklah aneh sikap Sim Houw ini. Bukankah kita semua juga mendasari rasa suka dan tidak suka melalui penilaian dan semua penilaian ini dipengaruhi perhitungan untung atau rugi? Baik untung rugi batin mau pun untung rugi lahir. Kalau menguntungkan kita, maka kita menilai orang itu sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan kita, kita menilai orang itu sebagai orang tidak baik.

Kita suka atau tidak suka pada seseorang berdasarkan penilaian itu! Tak mengherankan apa bila seseorang itu bisa hari ini baik dan besok tidak baik, hari ini dibenci tapi besok disuka, sebab perbuatan-perbuatannya tentu saja bisa menguntungkan atau merugikan, hari ini menguntungkan, besok merugikan dan sebaliknya dan selanjutnya.

Kalau saja kita dapat menghadapi apa dan siapa saja tanpa penilaian ini, tentu kita akan terbebas dari pada rasa suka atau tidak suka kepada sesuatu atau seseorang. Dengan kebebasan seperti ini, barulah sinar cinta kasih dapat menyinari batin
.

"Hemm, jadi engkau ini murid Sam Kwi? Dan datang ke sini mencari aku untuk mewakili suci-mu, mencoba untuk merampas Liong-siauw-kiam?" tanya Sim Houw. Dia terheran-heran mengapa Sam Kwi dan Bi-kwi mengutus seorang gadis yang tingkatnya masih seperti kanak-kanak ini.

Bi Lan mengangguk. "Akan tetapi menurut suci, ia pernah kalah olehmu dan menurut ceritanya, engkau lihai bukan main. Agaknya aku pun bukan tandinganmu dan aku akan gagal mengalahkan engkau untuk merampas pusaka itu."

"Kalau begitu, mengapa engkau datang juga, seorang diri tanpa pembantu pula? Apa yang memaksamu untuk nekat mencariku kalau engkau sudah merasa bahwa engkau tidak akan berhasil merampas Liong-siauw-kiam dari tanganku?" tanya pula Sim Houw, suaranya tidak lagi ramah karena dia menganggap gadis ini nekat atau jahat atau menggunakan siasat pula dengan modal kecantikan, kemanisan dan kepandaiannya bicara.

"Yang memaksa diriku adalah janji dan sumpahku kepada suci. Aku telah bersumpah kepada suci untuk merampaskan pusaka itu dari tanganmu, maka aku memaksa diri untuk datang juga mencarimu. Kalau aku gagal dan tewas di tanganmu, bagaimana pun juga aku sudah memenuhi janji dan sumpahku. Sebaliknya kalau aku tidak berani melakukannya, biar pun aku tetap hidup, aku akan menjadi orang yang mengingkari sumpahnya sendiri, dan berarti hidup tanpa isi. Bagiku, lebih baik mati melaksanakan sesuatu yang gagah dari pada hidup sebagai orang tanpa guna."

Kembali Sim Houw tertegun. Kata-kata itu semua keluar dari dalam hati anak itu sendiri ataukah memang sudah dihafalkan sebelumnya, merupakan siasat untuk menjatuhkan hatinya? Saking terpengaruh benar oleh ucapan Bi Lan, dia bengong terlongong saja.

"Heiiii! Kau mendengar atau tidak? Aku mau merampas Liong-siauw-kiam! Kau berikan kepadaku atau terpaksa aku menggunakan kekerasan merampasnya darimu!"

Ditegur demikian, barulah Sim Houw sadar. Bagaimana pun juga, anak perempuan ini murid Sam Kwi, agaknya tidak mungkin baik walau pun memiliki daya tarik yang luar biasa dari pribadinya. Dan karena kedatangannya untuk merampas Liong-siauw-kiam, maka harus dihadapi dengan kekerasan, biar pun sifatnya untuk memberi hajaran saja.

"Mau merampas Pedang Suling Naga? Boleh, silakan saja kalau kau mampu," katanya tenang.

Bi Lan sendiri memang masih belum percaya kalau orang yang di depannya ini memiliki ilmu kepandaian yang demikian dipuji-puji suci-nya, maka ia pun tidak main-main lagi dan ingin mengujinya sendiri. Mula-mula ia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan Sim Houw merasa ngeri juga mendengar, biar pun perlahan, bunyi berkerotokan pada kedua lengan itu. Seorang gadis begini muda dan cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang hanya pantas dimiliki orang sesat!

"Orang she Sim, awas sambut seranganku ini!" bentak Bi Lan dan ia telah menyerang dengan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan Jurus Lutung Hitam) yang hebat.

Ilmu ini adalah ilmu andalan Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) dan memang hebat sekali gerakannya. Mula-mula Bi Lan mempergunakan jurus Hek-wan Pai-san (Lutung Hitam Mendorong Gunung), kedua lengannya itu didorongkan ke arah dada lawan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Hebatnya dari ilmu ini, ketika Sim Houw menarik mundur tubuhnya untuk mengelak, kedua lengan gadis itu masih terus mulur sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka masih menuju ke dada lawan!

Kiranya lengan gadis muda itu dapat memanjang seperti karet. Dan ini pun kehebatan dari ilmu yang didapatnya dari ciptaan Hek-kwi-ong. Biar pun kedua lengan Bi Lan tidak dapat memanjang seperti kalau Hek-kwi-ong sendiri yang melakukannya, namun sudah sempat membuat Sim Houw terkejut.

"Ehhh...!" Serunya ketika di luar perhitungannya, kedua tangan yang sudah dielakkan itu masih mampu mengejar terus.

Terpaksa dia menggunakan kelincahan kakinya untuk melangkah ke kiri dan menarik kembali tubuhnya. Akan tetapi, Bi Lan sudah menyusulkan jurus Hek-wan-hoan-hwa (Lutung Hitam Mercari Bunga) dan kedua tangannya sudah membalik dan kalau tangan kanan mencengkeram ke kepala lawan, tangan kiri menghantam ke lambung kanan.

Gerakannya cepat dan kedua kakinya berloncatan lincah seperti gerakan seekor lutung. Ilmu silat ini berbeda dengan Ilmu Silat Kauwkun (Silat Monyet) yang mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mengandalkan tenaga sinkang dan juga keanehan kedua lengan yang dapat memanjang.

Namun kini Sim Houw telah mengetahui keistimewaan kedua lengan yang dapat mulur itu, maka menghadapi serangan-serangan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang itu, dia pun mengandalkan kelincahan tubuhnya dan kalau mengelak, ditambahnya jarak mengelak itu sehingga lebih jauh dari biasa. Dengan demikian, lima kali serangan dari lima jurus yang dipilihnya dari delapan belas jurus Hek-wan Sip-pat-ciang itu gagal mengenai tubuh Pendekar Suling Naga dan Bi Lan cepat sudah mengganti ilmu silatnya.

Kini, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan lebih dahsyat karena kini kedua kakinya yang melakukan penyerangan. Bukan serangan biasa, tetapi tendangan-tendangan yang susul-menyusul dan kedua kakinya itu datang dari segenap penjuru menendang, menyepak, mendorong dari samping dari depan dan secara langsung ke belakang. Kedua kakinya dengan hidup dan cepatnya melakukan serangan bertubi-tubi. Itulah Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), keahlian dari Im-kan-kwi ( Iblis Akhirat), orang ke dua dari Sam Kwi.

Kembali Sim Houw kagum, akan tetapi juga merasa sayang. Tendangan-tendangan itu memang dahsyat, akan tetapi kadang-kadang nampak amat kasar tanpa mengindahkan segi keluwesannya, tanpa memperhitungkan segi keindahan seni tarinya yang terdapat dalam semua gerakan ilmu silat. Kadang-kadang nampak lucu seperti seekor monyet menari-nari.

Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah karena dia sudah maklum bahwa biar pun masih muda, ternyata gadis ini memang telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi. Dia sudah tak begitu ingat lagi keadaan Bi-kwi beberapa tahun yang lalu ketika menyerangnya, akan tetapi agaknya gadis ini tidak kalah lihai dari suci-nya itu.

Saat Sim Houw menggunakan lengannya menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya, tubuh Bi Lan terhuyung-huyung dan berputaran. Ia terkejut sekali. Ilmu tendangannya itu, begitu tertangkis, membuat tubuhnya terputar kehilangan keseimbangan. Maka dengan gemas ia mengubah lagi ilmu serangannya, dan sekali ini mengeluarkan Ilmu Hun-kin-tok-ciang!

Dari telapak tangannya keluar lagi bunyi berkerotokan dan nampak pula ada uap agak kehitaman saat kedua tangan itu bergerak. Gerakannya kaku, seolah-olah kedua lengan gadis itu tidak dapat ditekuk, akan tetapi hebatnya luar biasa karena itulah ilmu silat dari Si Iblis Mayat Hidup, orang ke tiga dari Sam Kwi. Hun-kin-tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) memang mengandung hawa beracun, dan jari-jari tangan yang nampak kaku itu menotok sana-sini seperti sumpit-sumpit baja yang mampu membikin putus otot tubuh lawan kalau mengenai sasaran.

"Ihhh...!" Sim Houw mencela ilmu yang dianggapnya keji ini.

Dan dia pun kini menyambut, bukan hanya mengelak terus, melainkan menangkis dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan untuk merobohkan lawan tanpa melukai hebat. Akan tetapi, ternyata Bi Lan cukup lincah dan dapat pula menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Dan beberapa jurus kemudian, melihat betapa Ilmu Hun-kin-tok-ciang juga tidak sanggup membuat ia mendesak lawan, ia mempergunakan ilmu simpanannya, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun!

Inilah Ilmu Tiga Belas Jurus yang diciptakan bersama oleh Sam Kwi setelah mereka bertapa selama satu tahun. Ilmu yang sengaja mereka ciptakan untuk menghadapi Pendekar Suling Naga yang menurut penuturan murid mereka amat lihai itu.

Dan kini Sim Houw benar-benar terkejut. Hebat sekali memang ilmu itu. Ketika Bi Lan mulai menyerangnya, dari kedua tangan gadis itu keluar suara bercuitan dan ilmu ini memang menggunakan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang), hanya gerakan-gerakan silatnya saja yang mereka susun secara teliti. Dan memang ampuh bukan main.

Gerakan-gerakannya aneh, kedua tangan itu tiada ubahnya sepasang pedang yang menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Sim Houw hampir saja celaka ketika tangan kiri Bi Lan menyambar ke arah lambung. Untung dia masih sempat miringkan tubuhnya dan bajunya terkait robek oleh tangan yang berubah seperti pedang tajamnya itu!

"Aih, engkau sungguh nekat!" bentaknya marah.

"Serahkan Liong-siauw-kiam atau aku akan menyerangmu terus sampai mati!" bentak Bi Lan.

"Srattttt...!"

Pedang kayu berbentuk naga itu dicabut karena Sim Houw mulai merasa kewalahan menghadapi Sam Kwi Cap-sha-ciang. "Inilah pusaka itu, tetapi bukan untuk diserahkan kepada siapa pun juga, melainkan untuk melawan siapa saja yang berniat buruk."

Bi Lan melanjutkan serangannya dengan menggunakan Cap-sha-ciang itu, hatinya agak girang karena ternyata ilmu ciptaan tiga orang gurunya ini memang ampuh sehingga lawannya terdesak dan terpaksa mengeluarkan pedang itu. Kalau pedang kayu begitu saja, mana ia takut? Pedang baja saja ia tidak gentar, dapat menggunakan kekebalan Ilmu Kulit Baja yang sudah dipelajarinya dari Im-kan-kwi Apa lagi sebatang pedang kayu! Huh, mainan kanak-kanak pikirnya.

"Wirrr-wirrrrr...!"

Nampak sinar berkelebatan, sinar hijau kehitaman dan mula-mula terdengar desir angin, akan tetapi kemudian terdengar suara melengking-lengking.

Gadis itu menjadi kaget bukan main. Jurus-jurus Cap-sha-ciang yang hebat itu seketika seperti kacau gerakannya. Ia pun merasa tenaganya lemas karena jantungnya tergetar oleh suara suling itu! Baru ia tahu bahwa pusaka itu memang benar-benar hebat dan ampuh, ketika dimainkan oleh pendekar itu seolah-olah ada bayangan seekor naga yang mengamuk sambil melengking-lengking!

Dari pedang itu keluar tenaga yang hebat karena ketika dia dengan nekat mengadu tangannya yang terisi hawa Kiam-ciang (Tangan Pedang) dengan sinar itu, selain dia merasa tangannya menjadi nyeri, juga tubuhnya terdorong dan hampir saja dia roboh. Dengan amat marah dan penasaran, gadis itu menyerang lagi dengan tangan kirinya, menebaskan tangan itu ke arah leher lawan.

"Takkkk!"

Tangan itu tertangkis pedang suling dan menempel pada senjata itu. Ada tenaga sedot yang luar biasa kuatnya dari suling itu yang membuat tangannya melekat dan betapa pun ia hendak menarik tangannya, ia tak berhasil.

"Wuuuuttt...!"

Kini tangan kanannya yang menyambar. Tubuh lawan menyelinap ke arah belakang melalui kanannya.

Bi Lan mengejar dengan hantaman tangan yang mengandung hawa Kiam-ciang ke belakang, akan tetapi tangan kiri lawan menangkap pergelangan tangan kanannya dan tiba-tiba saja tubuhnya ditelikung dengan kedua lengannya ditarik ke belakang oleh lawan yang sudah berada di belakangnya!

Dengan keadaan seperti itu, tentu saja Bi Lan tidak berdaya. Akan tetapi ia adalah murid Sam Kwi yang juga pernah menerima gemblengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka ia masih belum kehabisan akal walau pun kedua lengannya sudah ditelikung ke belakang.

Tiba-tiba ia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan kakinya sudah menyepak ke belakang, lebih kuat dari sepakan seekor kuda! Dan tentu saja kaki itu menuju ke arah selangkangan lawan, tempat yang paling lemah dan berbahaya bagi kaum pria kalau diserang!

Kalau sepakan itu hanya sepakan biasa, tentu Sim Houw masih mampu menangkis dengan lututnya atau mengelak dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi sepakan itu adalah sepakan dari Ilmu Tendangan Pat-hong-twi yang hebat. Memang, kalau Sim Houw mau mendahului, dia bisa merobohkan Bi Lan lebih dahulu sehingga sepakannya kandas di tengah jalan, akan tetapi dia tidak ingin mencelakakan gadis ini, hanya ingin mengalahkannya tanpa melukainya untuk memberi hajaran. Melihat sepakan yang berbahaya ini, tidak ada lain jalan baginya kecuali melepaskan kedua lengan itu dan melompat jauh ke belakang.

Bi Lan cepat membalikkan tubuh. Dengan muka merah saking marahnya, dia mulai memasang kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya merendah seperti hendak tiarap dan itulah pembukaan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang pernah dia pelajarinya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

Mula-mula Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan pedang pusakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi. Tiba-tiba dengan suara bentakan panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagaikan seekor naga saja, langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, menyerang lawan seperti terbang saja!

Bukan main terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah mendengar tentang ilmu ini, bahkan pernah melihat dimainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya sendiri terpelanting ke kiri! Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!

"Rasakan kau sekarang!" seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju, kini gerakannya semakin aneh dan dari kedua telapak tangannya keluar angin berdesir.

Itulah Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Sang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu! Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke belakang karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.

"Heiii, berhenti dulu. Kau hebat! Apakah engkau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari Istana Gurun Pasir?"

Bi Lan bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.

"Kau sendiri pencuri perampok bajak copet maling!" Ia memaki-maki marah. "Selama hidup aku tak pernah mencuri! Jangan menuduh yang bukan-bukan kau!"

Sim Houw tidak dapat marah dimaki-maki karena cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan marah sekali pun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa memang pembawaan, pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekaii bukan suatu permainan sandiwara. Andai kata semua tadi hanya sandiwara atau rayuan tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi gadis ini tetap saja lucu!

"Apa anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi? Bukankah mereka terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?"

"Sam Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!"

"Kalau begitu, dari mana engkau dapat memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"

"Huh! Itu masih belum, sobat!" kata Bi Lan mengejek. "Kalau saja Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang pusakamu yang dari kayu itu!"

"Ban-tok-kiam! Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!" teriak Sim Houw semakin heran. "Bagaimana pula bisa menjadi milikmu?"

Kembali Bi Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang merah basah dan mungil itu berjebi.
"Kau ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan aku?"

"Tentu saja... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?"

"Kau boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!"

"Minta maaf?" Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang aneh-aneh dan di luar dugaan. "Untuk apa?"

"Karena kau tadi menuduh aku mencuri."

Hampir Sim Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan dia pun tersenyum. "Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi, lebih baik usap dulu keringatmu. Lihat, dahi dan lehermu basah semua!" Dia merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah membasahi pipi.

Bi Lan tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan dia pun lalu menyeka peluhnya dengan sapu tangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya. "Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng, adalah guru-guruku!"

"Wah, mana mungkin...!"

"Mungkin saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng sudah meminjamkan Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain."

Sukar untuk tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, tetapi agaknya tidak masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari pendekar sakti itu dan isterinya.

"Nona, ketahuilah bahwa aku menganggap keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani mengangkat tangan melawanmu dan bagiku engkau bukan seorang musuh. Sekarang mari kita duduk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau bisa menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, tapi di lain pihak engkau pun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi untuk merampas Liong-siauw-kiam."

Sim Houw sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila ketika dia meniup suling dan mempersilakan Bi Lan untuk duduk pula di atas batu-batu di depannya.

Akan tetapi Bi Lan menolak. "Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!"

"Kita bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini. Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sampai hidup sebagai orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri."

"Benar? Tidak bohong?"

Sim Houw menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah berbohong."

"Kalau perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?"

"Kalau perlu, boleh saja." Sim Houw tersenyum.

"Sumpah dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!"

Sim Houw tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti majikan Istana Gurun Pasir mau mengajarkan ilmu-ilmu kepadanya.

Akan tetapi karena menjadi murid Sam Kwi dan hidup di dalam lingkungan para datuk sesat, tentu saja dia pun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu dan aneh pada diri gadis ini.

"Baiklah, kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan membantumu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong."

Bi Lan tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga di sekitar tempat itu menjadi semakin harum!

Demikianlah keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka! Kalau segala macam rasa duka, kecewa, sesal dan sengsara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala keindahan di dalam kehidupan ini!

Bi Lan yang tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam, dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menangkap bau badan gadis yang berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang mampu menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah, mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium bau yang khas itu!

"Nah, sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih dulu menceritakan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau bisa memperoleh pedang pusaka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu."

Kembali Sim Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang benar-benar langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.

"Namaku Sim Houw dan tentang pedang ini..."

"Nanti dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kau katakan tiga puluh tahun? Siapa isterimu?"

Tiba-tiba saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya, kemudian setelah dia mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan bahkan senyumnya sudah membayang lagi di bibirnya, "Aku tidak punya isteri..."

"Ahh...! Sudah... sudah matikah ia? Atau... bercerai?"

Sim Houw menggeleng kepalanya perlahan-lahan. "Aku belum pernah beristeri."

"Aneh, seusia engkau ini belum beristeri? Tetapi... suci-ku pun usianya sudah sebaya denganmu dan belum bersuami pula. Cuma... ia… ia mempunyai banyak sekali pacar! Berganti-ganti, apakah... apakah engkau pun begitu?"

"Begitu bagaimana maksudmu?" tanya Sim Houw hampir membentak.

"Seperti suci-ku itu? Berganti-ganti pacar?"

Kalau bukan gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu. "Tidak! Jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau sendiri, yang menjadi sumoi-nya, tidak sama dengan suci-mu itu, berganti-ganti pacar?"

"Aku sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!"

"Nah, engkau dengarkan saja, kalau begini terus ceritaku tidak akan ada habisnya! Aku bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari sini. Cukup bukan tentang diriku?"

Bi Lan yang tadi dibentak, sekarang mengangguk-angguk. "Sudah cukup jelas, terutama bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti pacar..." Dia tersenyum memandang kepada Sim Houw yang kini juga tersenyum senang. "Dan bagaimana tentang Liong-siauw-kiam itu?"

"Seorang kakek pertapa di Himalaya yang bernama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu mengenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi, telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada seseorang yang dianggapnya cukup pantas untuk memilikinya. Dia tidak suka kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi, dan dia lalu mulai mencari orang yang akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka ini kepada orang yang mampu mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang yang roboh di tangannya, luka atau mati, ketika dia mencari calon pemilik baru dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku."

Bi Lan mengangguk-angguk. "Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari kakek itu? Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena ilmu kepandaianmu memang amat hebat. Aku sendiri pun bukan lawanmu. Kalau kau mau membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii...! Mengapa...?"

Tiba-tiba gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda ini pun terloncat bangun.
Suling Naga Bagian 08

"Mengapa... apa...?" tanyanya bingung oleh karena gadis itu kembali telah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.

"Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau... engkau... bukan sebangsa jai-hwa-cat, ya?"

Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain.

"Kenapa kau bertanya begitu?" balasnya, tentu saja dia mendongkol karena jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.

"Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tetapi... tetapi... ahhh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"

Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw. "Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir."

"Sam Kwi bukan saja guru-guruku, tetapi juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena ada perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati."

Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak yang aneh. Begitu kecil sudah mengalami musibah yang demikian hebat.

"Nah, semenjak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggota pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali padaku. Akan tetapi suci-ku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya."

Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.

"Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi juga kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?"

"Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami dapat menghadapimu..."

"Ahh, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai..."

"Itulah Ilmu Sam Kwi Cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi lalu mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa..."

"Ahhh...! Betapa kejinya!" Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.

"Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam."

Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat.

"Kemudian bagaimana?"

Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian. "Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!"

"Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang paling penting padaku."

"Apa itu?"

"Namamu!"

Bi Lan tertawa. Ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar, atau setangkai bunga mawar hutan yang tidak pernah terawat dengan baik, walau pun hal itu tidak mengurangi keindahan dan keharumannya.

"Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."

"Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"

"Tentu saja, dan aku akan menyebut toako (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng dariku. Sim-toako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?"

"Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana pula engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"

"Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku bisa menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san."

"Cu Kun Tek?" Sim Houw berseru girang. "Wah, dia itu masih terhitung pamanku!"

"Apa? Bagaimana ini? Dia masih begitu muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?"

"Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian Cu Kun Tek adalah pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia semenjak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek? Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?"

"Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."

Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia dua belas tahun itu sekarang sudah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam!

Dia merasa amat gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya.

Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri. "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku disini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci." Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.

"Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap."

"Jadi kau tidak mau memberikan?" Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.

"Nanti dulu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi aku pun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada suci-mu. Dan ketika itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau… engkau…"

Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Memang aku pun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terserah."

"Di mana dia sekarang?"

"Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."

"Di kota raja?"

"Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan bergabung ke sana untuk mencari kedudukan. Kebetulan sekali aku pun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang sudah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku."

"Ahh, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"

“Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus merampasnya kembali, betapa pun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."

"Aih, begitu banyak masalah yang kau hadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."

"Terima kasih, toako. Kau baik sekali!" kata Bi Lan dengan hati girang.

Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Sim Houw masih menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak.

Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walau pun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, "Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu membimbing dan membantuku!"

Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan.

Akan tetapi, usianya sudah tiga puluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapan belas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap sebagai kakak! Apakah mungkin gadis ini kelak dapat membalas cintanya? Ataukah dia harus mengalami lagi nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan…..

**********

Ternyata kedua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Pada saat mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil bercakap-cakap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah, mendadak saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan dua puluh orang lebih anggota Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah!

Kiranya Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang terakhir ini gagal menangkap Bi Lan karena pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke Tai-hang-san dan diam-diam mereka mengikuti terus. Ketika dalam penyelidikan mereka kepada para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pendekar Suling Naga berada di puncak yang kini didaki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak menanti kembalinya Bi Lan.

Kalau Bi Lan berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu mereka menyerbu ke puncak. Bi-kwi yakin bahwa bagaimana pun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar janjinya dan tentu akan mau membantunya merampas pedang pusaka itu.

Karena itu, betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada siang hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar yang dicari-cari! Akan tetapi dalam suasana yang demikian akrab, berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.

Bi-kwi dan Bhok Gun tidak khawatir jika Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu merampas kembali pedang itu! Dan dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannya pun, mereka berdua yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan Sim Houw, apa lagi di situ ada dua puluh orang lebih anak buah mereka.

"Suci...!" Bi Lan berseru heran. "Engkau di sini...?" Dan alisnya berkerut ketika ia melihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ.

Bi-kwi tersenyum mengejek. "Aha, sumoi-ku yang manis. Kau kira aku begitu bodoh, membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga? Kiranya dia malah telah memikat hatimu sehingga engkau sudah lupa akan tugasmu merampas pusaka itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai berpacaran..."

"Bi-kwi, tutup mulutmu yang kotor!" Sim Houw membentak marah.

"Ha-ha-ha, siapa yang kotor? Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari Pendekar Suling Naga, ha-ha!" Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak demikian akrab dengan Sim Houw.

"Bhok Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!" Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api. "Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa saja dengan kalian yang tak tahu malu!"

"Cukup, Siauw-kwi!" kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih dan suci. "Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari Sam Kwi? Engkau dahulu sudah berjanji akan membantuku sampai berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedudukan jagoan nomor satu di dunia persilatan!"

"Aku hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau memang kebetulan aku menyaksikan tentu aku membantumu. Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah berada di tanganku!"

Gadis itu menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw kepadanya pada waktu mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau sewaktu-waktu Bi-kwi muncul.

Melihat betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran. Akan tetapi Bi-kwi menjadi girang sekali.

"Bagus sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Lekas berikan Liong-siauw-kiam itu kepadaku, adikku!" Suaranya menjadi manis sekali, dan ia sudah mengulurkan tangan.

"Nanti dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini padamu, akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita. Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan penyerahan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?"

"Benar, dan mana pedang itu? Ke sinikan!" kata Bi-kwi tak sabar lagi.

"Katakan dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak terikat dengan janji apa-apa lagi!" kata Bi Lan sambil mencabut sarung pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya.

"Baik. Kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah, berikan Liong-siauw-kiam itu padaku."

Bi Lan menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tiada tanda apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa dia sudah boleh menyerahkan pedang itu kepada suci-nya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh diberikan kepada Bi-kwi.

"Nah, terimalah ini sebagai pembayaran janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah bebas dari ikatan apa pun dengan dirimu," katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan.

Dengan demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu dari tangan sumoi-nya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai, cara mengambil pedang itu dari tangan sumoi-nya dilakukan seperti orang merampas.

Disambarnya pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia cepat melompat ke belakang. Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoi-nya bertindak curang dan menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia tetap kalah cepat, atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh Sim Houw sudah meluncur ke depan.

"Sumoi, awas...!" teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan dia pun sudah meloncat ke depan.

Bi-kwi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol!

Cepat Bi-kwi membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapa pun cepat reaksi gerakannya, tetap saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah terampas oleh Sim Houw.

"Bukkkk...!"

Pada saat itu, hantaman Bhok Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usaha membantu sumoi-nya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaganya dan memukul punggung Sim Houw.

Sim Houw maklum akan serangan ini, tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Maka, sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman pada punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sinkang-nya saja untuk melindungi punggung.

Terkena hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya. Dengan kemarahan meluap Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu.

Bhok Gun mempergunakan pedangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi meloncat berdiri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan dahsyatnya.

Dia mengelak dari sambaran pedang Bhok Gun, namun sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan bergulingan. Tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun berjatuhan akibat tertangkis oleh sinar pedang.

Setelah pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti, bahkan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi repot. Terjadilah perkelahian mati-matian.

Tanpa diperintah lagi, dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Melihat ini, sejak tadi Bi Lan sudah memperhatikan.

"Siauw-kwi, hayo kau bantu kami!" bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik seperguruannya itu.

Akan tetapi dengan tenang Bi Lan menjawab, "Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!" Berkata demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu!

"Kau pengkhianat...!" Bhok Gun berteriak marah ketika melihat betapa dua orang anak buahnya roboh terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.

"Bukan pengkhianat macam engkau yang curang!" balas Bi Lan dan gadis ini dengan enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada dua puluh lebih pengeroyok yang bukan merupakan tandingan yang berat baginya.

"Celaka! Kita tertipu...!" Tiba-tiba Bi-kwi berseru. "Mereka sudah merencanakan ini...!"

Menghadapi lawan seperti Sim Houw, walau pun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil sedikit melirik ke arah sumoi-nya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan mengerikan. Ia menangkis dengan lengannya, akan tetapi ternyata ujung suling pedang itu berkelebat ke atas. Terdengar kain robek disusul jerit tertahan Bi-kwi yang terluka pada pundaknya!

Melihat betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun menjadi gugup dan dia pun berseru nyaring "Mari kita pergi...!"

Betapa mendongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasehat suheng-nya itu dan bersama Bhok Gun, ia pun meloncat dan melarikan diri, diikuti terpincang-pincang oleh dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling menopang kawan yang terluka. Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga tersenyum, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua matanya.

Melihat kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya mengeluarkan darah. Ia cepat mendekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, ia pun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau mengganggu Sim Houw yang sedang semedhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu.

Tadi ia melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu ia pun melihat bahwa Sim Houw sengaja membiarkan punggungnya terpukul karena pemuda itu memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu serangan, dan ternyata usahanya itu pun berhasil dengan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukulan yang mengenai punggung itu, walau pun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai memuntahkan sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya.

Buktinya, dalam keadaan terluka tadi Sim Houw telah mampu mendesak dan melukai pundak Bi-kwi, biar pun suci-nya tadi mempergunakan Ilmu Cap-sha-kun dan Bhok Gun yang tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melarikan diri!

Sambil menunggui Sim Houw yang sedang mengobati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini mulai memperhatikan pria itu. Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang laki-laki, seorang jantan yang berwatak lemah lembut dan sederhana, tak pernah tinggi hati dan tidak suka berlagak walau pun jelas bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan namanya terkenal sebagai seorang pendekar sakti.

Seorang yang pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuat dirinya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak memiliki siapa pun di dunia ini, seperti dirinya.

Ah, mengapa ia mendadak saja termenung? Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang hanya akan membuatnya bersedih? Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak lama terlatih untuk mengatasi segala duka. Bahkan ketika ia menderita sakit keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis, kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya.

Ia pun sudah melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya dengan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja memperkosa dirinya. Budi kebaikan itu telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu.

Ia tidak akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap dirinya, biarlah perbuatan itu sebagai pembayar semua budi mereka terhadap dirinya sejak dia bertemu dengan mereka. Kemudian, dia pun tidak lagi berhutang budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam tadi. Soal dia tidak mampu mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali oleh Sim Houw, itu adalah masalah Bi-kwi sendiri dan dia tidak perlu mencampurinya.

Kini tinggal satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk membantunya. Ia percaya kepada pria ini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin, begitu besar percayanya kepada sahabat barunya ini, bahwa ia akan mampu mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk bisa dikembalikan kepada subo-nya di Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan mengunjungi suhu dan subo-nya itu di sana!

"Lan moi, kau sedang melamun apa?" tiba-tiba Bi Lan menoleh dan dia melihat Sim Houw sedang memandang kepadanya. Wajah Sim Houw sudah nampak segar, tanda bahwa pria itu sudah sehat kembali. "Kau tersenyum-senyum seorang diri."

"Sim-toako, bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuhkah?" Ia cepat menghampiri ketika Sim Houw bangkit berdiri.

Sim Houw meraba-raba dadanya dan mengangguk. "Pukulan orang itu amat kuat, hal yang sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun itu, cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian?"

"Benar, tetapi tak perlu kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok engkau dalam keadaan sudah terluka pun tidak mampu menang, malah mereka lari seperti dua ekor tikus dipotong ekornya."

Sim Houw tersenyum. Dia sudah sering mendengar orang mengambil perumpamaan ‘anjing dipukul’, akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya. "Adik Lan, apakah engkau pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melarikan diri?"

"Belum, akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus, potong ekornya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya karena ketakutan!"

Setelah keduanya ketawa, Sim Houw lalu bertanya, "Lan-moi, orang she Bhok itu murid siapakah? Biar pun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang Pek-bin Lo-sian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau pernah mendengar dari suci-mu siapa gurunya itu?"

Bi Lan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sim-toako, aku pun tidak pernah tahu atau mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu."

Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja, karena seperti yang pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang semakin akrab.

Biar pun ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Lan terhadap dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu menimbulkan kepercayaan baru dalam hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pendekar dan menentang kejahatan walau pun ia mengaku murid Sam Kwi.

Sebaliknya, Bi Lan semakin suka dan percaya kepada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan, Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata yang begitu lembut.

Dia merasa suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui mempunyai pengetahuan luas itu. Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sinkang, mengumpulkan hawa murni dengan cara yang benar. Ia yang hanya mendapat tuntunan selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi.

Sudah dua pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serangan air hujan.

Sim Houw ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Biar pun kuil itu sudah tua dan rusak, namun atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya, pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi Lan lari ke tempat itu.

Mereka akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapa pun pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup ketika berlari-larian tadi, tak mungkin dapat menghindar dari siraman air hujan. Namun keduanya merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil yang habis bermain di bawah siraman air hujan.

Berbahagialah orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu merupakan pertanda bahwa tubuh dan batinnya masih sehat. Sebaliknya, orang yang tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang lemah dan mereka yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah. Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang beruntung.

Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut.

Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering.

Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruang sebelah dalam, yang masih tertutup atap walau pun bocor di sana-sini.

Lantainya cukup bersih, oleh karena di tempat ini sering juga ada orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi kalau hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.

Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan kemudian membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan ia pun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga berganti pakaian, lalu mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.

"Kenapa kau tertawa?"

"Hi-hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?"

"Apa itu?"

"Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!"

Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian? Demikian pikirnya.

Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi ‘kehormatan’ sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya, kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri mau pun orang lain. Betapa sering kali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.

Sampai di jaman ini pun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian ‘sopan’ demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehormatan. Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi.

Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!


"Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan," kata Sim Houw. "Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana."

Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walau pun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, akan tetapi semakin menderita akibat menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.

Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya di dekat api unggun. "Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita."

"Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!" Bi Lan membantah. "Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam malam hujan begini?"

Sim Houw tersenyum. "Kau tunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi sebentar!" Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.

Bi Lan tak mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, lalu dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua buah panci itu dapat menampung air yang jernih.

Siapa tahu kalau-kalau nanti Sim-toako benar-benar bisa memperoleh bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih.

Tidak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang telah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya amat kotor terkena lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia lalu menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.

"Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan... ehhh, lekas kau tukar pakaian dulu, toako, kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!" kata Bi Lan dengan girang tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa.

Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang. Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari air hujan, dia melihat bahwa dengan menggunakan kedua tangannya, Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu menarik dan merobeknya begitu saja!

"Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memotong-motong dagingnya?"

"Aku tidak punya pisau..."

"Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan..."

"Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu."

"Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?"

Dia pun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar!

Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang telah dimasak sampai mendidih. Dan seperti biasa, perut kenyang mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.

"Kau tidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kau tidurlah."

"Dan kau, Sim-toako?"

"Aku sudah terbiasa beristirahat sambil duduk, dan aku juga perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku."

Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biar pun mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikit pun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan membayangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya. Maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar...


SELANJUTNYA SULING NAGA BAGIAN 09


Suling Naga Bagian 08

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING NAGA BAGIAN 08



Dengan sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia enam puluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu.

Setelah puas meneliti, ia lalu membentak, "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"

"Omitohud...!" Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona.

Bukan main wanita ini, pikirnya. Biar pun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih saja membayangkan kecantikan walau pun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!

"Omitohud apa! Orang semacam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau ini sebelum kau mampus tanpa nama!"

"Omitohud... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua."

"Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!" bentak Teng Siang In.

Ia sudah menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sinkang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!

Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia tak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat, sehingga sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.

"Haiiittttt...!"

Tiba-tiba dia berteriak. Tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sinkang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sinkang-nya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sinkang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.

Akan tetapi nenek itu tertawa. "Heh-heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!"

Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mata Sai-cu Lama! Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu.

Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.

"Omitohud, kiranya engkau siluman betina...!" bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu.

Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan dia pun terbelalak melihat pedang itu.

"Ban-tok-kiam...! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?" bentaknya dengan terheran-heran.

Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?

"Ha-ha-ha, anggap saja pinceng adalah Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!" kata Sai-cu Lama dan dia memutar Ban-tok-kiam lagi, lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.

Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjata pun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh. Maka cepat ia menyambar sebatang ranting, lantas berteriak sambil memutar rantingnya, "Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"

Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujung ekornya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.

"Omitohud...!" Kakek itu berseru.

Kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya. Sambil mengerahkan tenaga dia pun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar..."

Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi.

Nenek Teng Siang In mulai khawatir. Lawan ini terlalu tangguh, tak bisa ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!

Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini. Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya.

Sementara itu, Sai-cu Lama sendiri masih bisa menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka dia pun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andai kata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walau pun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.

"Lumpuhlah kau! Kedua kakimu lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!" bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh!

Kalau saja dia tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu bisa berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.

"Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"

"Jahanam busuk lepaskan cucuku!" dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi.

Ia menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah pada bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia juga membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!

"Ayaaaa!" Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut.

Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu. Dalam keadaan yang begitu berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, sekarang racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!"

Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya. Maka dengan nekat, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut.

Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil sebagai isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda.

Tetapi, baru saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang tadi bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!

Seperti telah kita ketahui pada waktu kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat ikut mengeroyok kakek yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang pembesar bernama Hou Seng yang konon merajalela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka.

Sesuai dengan petunjuk suhu-nya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat perkelahian itu. Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya.

Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan mati-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka sekali turun tangan dia sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya.

Teng Sian In semenjak mudanya berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa kepandaian Lama yang kini menjadi lawannya itu hebat bukan main. Ia tidak ingin ada orang yang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau ada orang yang mati karena membantunya.

"Orang muda, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!" teriaknya dan ia masih menyerang dengan tendangan-tendangan ampuhnya.

"Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!" kata Hong Beng.

Dia pun sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biar pun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di udara, akan tetapi setiap ‘coretan’ merupakan serangan yang amat ampuh dan mendatangkan hawa dingin seperti es!

Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran "Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?" tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.

"Guru saya bernama Suma Ciang Bun..."

"Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!"

Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya! Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!

"Baik...!" Dan dia pun kini cepat mengerahkan tenaga sinkang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sinkang yang bersumber dari Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api.

Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin. Namun, itu pun sudah hebat karena dia sudah menguasai hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu asli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat.

Ilmu ini aslinya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-gerakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan.

Dia mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus. Dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu pula oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama langsung terdesak mundur!

Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.

Hong Beng juga pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia. Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau menggunakan senjata gelap dalam perkelahian.

Sekarang dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan yang pasti terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia percaya bahwa biar pun usianya baru kurang lebih dua belas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia berhasil dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak!

Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Saat bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan.

Mereka berdua masih berusaha mendesak terus. Tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng lalu bergerak-gerak ke depan menyambitkan batu-batu kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.

Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil. Selain batu-batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini kini sudah mampu bergerak lagi.

Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Walau pun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk rambut terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir.

Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah, tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu dengan tepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik.

Akan tetapi sasaran itu yang paling mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing itu saja. Ia lalu mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu pendeta ini akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah itu, tiba-tiba berteriak, "Sai-cu Lama, kau lihat baik-baik jimatku!"

Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu telah mengangkat tangan. Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut.

"Crottt...!"

"Aduhhhh...!"

Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena ketika benda itu menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip dengan perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan!

Sai-cu Lama telah terluka. Walau pun tidak terlalu dalam, namun dia semakin khawatir. Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia tentu akan celaka! Maka dia cepat memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga dua orang lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!

Hong Beng berseru marah, "Kakek jahat, kau hendak lari ke mana?" Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, "...jangan... kejar..."

Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka dia pun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.

"Bagaimana baiknya, locianpwe...?" tanyanya, bingung.

"Aku...keadaanku...payah...lekas bawa aku pulang... kita laporkan hal ini... kepada... Ceng Liong..." Ia menuding ke barat dan terkulai, pingsan.

Hong Beng cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang ditudingkan oleh nenek itu. Dia pun tadi sudah mendapat keterangan bahwa jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang pingsan. Tadinya mereka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan-jalan seperti biasa, atau bermain ke suatu tempat.

Sedikit pun mereka tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dalam pondongan seorang pemuda serta dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama mereka!

"Apa yang terjadi dengan ibu?" Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat betapa wajah ibunya sudah biru menghitam.

"Di mana anakku, Suma Lian? Di mana ia...?"

Melihat kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu melihat munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhu-nya kepadanya.

Seorang pria berusia sekitar tiga puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhu-nya, susiok (paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhu-nya.

Juga isteri susiok-nya itu menurut gurunya, mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali karena dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Dan dalam usia yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepasang matanya amat tajam dan sikapnya gesit dan gagah sekali. Akan tetapi, saat itu suami isteri yang hebat ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi.

"Saya melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung pendeta itu. Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak perempuan di punggungnya..."

"Cukup! bentak Kam Bi Eng, "ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku itu?"

"Dari sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara," jawab Hong Beng. Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!

Suma Ceng Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung. Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.

"Siapa kau?"

Hong Beng menjatuhkan diri berlutut. "Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyelidiki keadaan pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di sini untuk minta keterangan dan nasehat dari Susiok."

"Hemm, kau jaga dulu ibuku ini. Ia sudah... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah engkau dengan apa pahanya itu dilukai?"

"Dengan Ban-tok-kiam."

"Ban-tok-kiam? Bagaimana kau bisa tahu... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kau jaga ibuku dan aku akan mengejar kakek iblis itu!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap pula dari depan Hong Beng.

Pemuda ini semakin kagum dan dia pun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mendengarkan percakapan mereka dan percaya kepada pemuda ini yang mengaku murid keponakan majikannya. Gu Hong Beng menunggui tubuh nenek itu.

Wajah nenek itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka. Napasnya masih belum terhenti, namun terengah-engah dan tinggal satu-satu, tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan dirabanya pergelangan tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada denyut sama sekali.

Dia pun tahu bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andai kata nenek ini masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih dahulu dia akan menolong dan mengobati ibunya.

Tiba-tiba timbul pikiran Hong Beng untuk membantu nenek itu agar jalan darahnya lebih cepat dan biar pun hal itu bukan merupakan pertolongan terhadap nyawa nenek itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walau pun hanya untuk beberapa detik lamanya. Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan. Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut lengan kanan.

Harapannya terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak-gerak dan memandang dengan wajar padanya tanpa menoleh. Hong Beng mendekatkan mukanya karena melihat bibir itu bergerak-gerak. Nenek itu berbisik-bisik.

"Kau... berjanjilah untuk mentaati perintahku..."

Bukan main nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk, menghormati pesan seorang di ambang pintu kematian.

"Saya berjanji untuk mentaati, nek."

"...ber... bersumpah!"

Hong Beng terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan berkata, "Saya bersumpah, nek!"

Wajah yang sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum menyeramkan jadinya! "Bagus! Kelak kau... kau harus menjadi suami Suma Lian..."

Hampir saja Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, "Akan tetapi, nek! Nenek... ah, nenek...ini tidak bisa... nek...!" Percuma saja dia berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!

Pelayan yang berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para tetangga. Tak lama kemudian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan menjadi aneh sekali tentu!

Tak seorang pun mempedulikan Hong Beng yang duduk di ruang luar sambil bengong terlongong. Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau menangis. Dia memang merasa menyesal bukan main.

Bagaimana nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya? Dan dia sudah berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati perintahnya. Siapa tahu perintah terakhir itu begitu gila? Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon suami... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu? Suma Lian, benar, Suma Lian. Mana mungkin ini?

Suma Lian adalah puteri tunggal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia? Hanya anak yatim piatu, hanya keturunan tukang kayu sederhana. Seorang pemuda yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeser pun tidak, rumah tidak dan keluarga pun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum tentu diterima, apa lagi menjadi suami!

Dan siapa berani memberi tahukan pesan itu kepada keluarga susiok-nya? Biar sampai mati dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapa pun juga! Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang berupa perintah itu!

"Hayaaaa... nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila? Engkau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin berat rasanya..."

Baru saja dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan, dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan sangkut pautnya dengan orang lain.

Akan tetapi urusan pesan nenek itu? Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut. Bukan hanya diri Suma Lian langsung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan ikut terbawa akibat buruknya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pulau Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu!

Akan tetapi, kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang hampir mati dan tidak menetapi janjinya, tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri.

"Celaka, mengapa nasibku begini aneh dan buruk?" dan hampir saja Hong Beng menangis kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.

Mereka pulang dengan tangan kosong dan dengan muka sedikit pucat mengandung kegelisahan hati. Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi melihat banyaknya tetangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak mempedulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah.

Tangis di dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Para tamu wanita itu, para tetangga, harus memperlihatkan keprihatinan dan kesedihan mereka di depan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang saja menangis, tanpa diperintah lagi yang lain pun turut menangis. Otomatis air mata pun bercucuran! Namanya juga perempuan!

Makin berat rasa hati Hong Beng. Kedatangannya seolah-olah membawa bencana pada keluarga pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong, tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pembawa berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu dalam keadaan sekarat. Dan kini, bagaimana mungkin dia, si pembawa berita buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan terakhir nenek itu?

Akan tetapi, ada berita baik yang dapat disampaikannya kepada mereka, yaitu ke mana larinya Sai-cu Lama. Dia tahu hal ini! Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus mencarinya di istana kota raja? Wah, sedikitnya dia akan berjasa kalau memberi tahukan hal itu.

Hong Beng sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, tetapi pikirannya melarangnya. Mengapa harus memberi tahukan mereka? Biarlah dia sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak perempuan itu!

Ya, dia harus menolong Suma Lian, bukan memperisterinya seperti yang dipesankan oleh nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka rahasia itu hanya dengan maksud menyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud menuntut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa Suma Lian menjadi jodohnya.

Sekali saja berhubungan hati dengan wanita sudah cukuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan alang kepalang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau mengalaminya untuk ke dua kalinya. Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wanita mana sih yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaian pun tidak ada gunanya?

Buktinya, kepandaiannya itu tak mampu menyelamatkan nenek itu, tak dapat merampas Suma Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, bahkan seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhu-nya, dan sekarang ditambah lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup yang sudah ditentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja.

Dia akan pergi sekarang juga, untuk melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu betapa tangguhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,

"Paman, tolong nanti engkau beri tahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka menanyakan aku, bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian." Tanpa menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai dibanjiri tangis yang datang berlayat.

Kenapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis? Kenapa dalam urusan hidup dan mati kita pun masih menggunakan perhitungan rugi untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggota keluarga? Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?

Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggota keluarga meninggal dunia. Jawaban itu tentu, pertama: Karena mencinta yang mati dan merasa kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis?

Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi?

Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada dirinya sendiri karena ditinggalkan. Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya?

Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?

Kemudian jawaban yang pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kematiannya kita buat sedih? Bukankah kesedihan muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan.

Cinta bukan berarti belenggu ikatan batin. Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka.

Cinta membuat kita ingin melihat yang dicinta itu berbahagia! Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai bertahun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata ‘cinta’ ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku ‘cinta’
.

Keluarga Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan tidak sempat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ, karena mereka ingin cepat-cepat mengubur peti jenazah itu agar mereka dapat cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mereka berdua merasa terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu pergi untuk mencari Suma Lian.

Mereka merasa sangat menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan dari mana datangnya.

Walau pun pemuda itu sendiri pun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu dapat menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang tiba-tiba saja berada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan menculik Suma Lian.

Pedang Ban-tok-kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mungkin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas di tangannya.

Tidak ada lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu.

Setelah penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri ini pun segera meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.

********

Pegunungan Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat indah pemandangan alamnya, juga amat sulit didaki orang karena untuk mencapai puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam. Bahkan para pemburu pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang berbahaya itu, melainkan mencari binatang buruan di sekitar lereng pegunungan di mana terdapat banyak hutan-hutan yang luas.

Pegunungan ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-puncaknya, nampaklah bagian timur yang datar dan rendah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan utara yang penuh dengan pegunungan itu. Tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, maka yang nampak hanya pegunungan belaka, dan daerah-daerah tandus yang tinggi.

Karena di bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, pemandangan matahari terbit di puncak Tai-hang-san amat indahnya. Matahari terbit pagi sekali karena tidak terhalang apa-apa. Ketika pagi hari nampak matahari seperti muncul dari tanah yang merupakan garis di kejauhan sepanjang mata memandang, dan nampak bola merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin tinggi bola merah itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merah pun berganti keemasan, lalu jika sudah berubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.

Tapi, ketika bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang mengandung sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam. Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagian kecil saja dari alam, yang ikut berputar dalam arus kekuasaan alam yang sudah mengatur segala-galanya secara sempurna.

Betapa kita ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan tidak nampak di alam ini. Cahaya matahari, udara, bumi, pohon-pohonan, air. Semua sudah teratur sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan, saling menghidupkan, tidak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum alam.

Sayang bahwa kesadaran ini hanya kadang-kadang saja memasuki batin kita, dan sebagian besar dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipaling dahulukan!

Padahal, tanpa perlu pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekali pun, dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan menemukan keajaiban-keajaiban itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita, karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam!

Lihatlah, rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita, satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar mau pun tidak, seolah-olah hidup tersendiri.

Lalu apa sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan? Dan bukankah sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah kita alami?

Di mana ada pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya. Segala jenis nafsu mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling berebut kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk-muluk. Bahkan perang pun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pribadi
.
Hampir setiap pagi, di atas satu di antara puncak-puncak pegunungan itu, seorang pria selalu menyambut munculnya matahari sambil meniup sulingnya. Keadaan sekitarnya, pemandangan alam yang nampak di matanya, bunyi-bunyian antara binatang-binatang malam yang mulai mengendur dan berganti suara kokok ayam dan kicau burung yang memasuki telinganya, keharuman tanah yang dibasahi air embun, rumput dan daun-daun pohon yang memasuki hidungnya, perasaan hati yang tenang dan hening, semua itu seolah-olah memberi ilham kepadanya untuk mengalunkan suara sulingnya tanpa memainkan suatu lagu tertentu!

Semua yang didengarnya, dilihatnya dan diciumnya itu seolah-olah hendak ia masukkan ke dalam tiupan sulingnya, atau lebih tepat lagi, dia ingin mengiringi semua itu dengan alunan suara yang serasi, dan dia meniup dengan sepenuh perasaan, hanyut ke dalam suara buatan sulingnya sendiri.

Pria itu berusia tiga puluh tiga tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, namun sepasang matanya yang tajam itu seperti diselimuti kesayuan, seperti mata orang yang pernah dilanda duka. Pakaiannya sederhana sekali, namun bersih. Dia duduk di atas sebuah batu hitam, menghadap ke timur dan suara sulingnya akhirnya berhenti setelah matahari naik semakin tinggi dan cahayanya mulai menyilaukan mata.

Begitu suara sulingnya berhenti, ramailah terdengar suara burung-burung berkicau dan pergantian suara ini bukan membikin suasana menjadi buruk, bahkan kini suasana menjadi gembira sekali, seakan-akan burung-burung itu bergembira menyambut hari yang cerah. Suara suling tadi mendatangkan kesyahduan dan agaknya banyak burung ikut mendengarkan dan baru sekarang mereka semua berkicau dan ada yang mulai terbang meninggalkan pohon untuk pergi mencari makan.

Melihat sulingnya yang mengeluarkan cahaya ketika tertimpa sinar matahari yang mulai naik tinggi tentu akan membuat orang terkejut karena suling itu terbuat dari pada kayu menghitam yang diukir indah seperti bentuk naga akan tetapi tajam dan runcing seperti pedang. Dan memang benda itu adalah Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) dan pemegangnya adalah Pendekar Suling Naga Sim Houw!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sim Houw pernah pergi jauh ke daerah Himalaya untuk mengunjungi keluarga Cu Kang Bu yang masih merupakan keluarga mendiang ibunya. Ibunya, mendiang Cu Pek In, adalah keponakan dari pendekar Cu Kang Bu. Ketika berkunjung itulah dia berhasil mengalahkan mendiang Pek-bin Lo-sian dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam itu. Oleh karena pedang ini amat cocok untuk dipakai sebagai suling dan pedang, maka dia pun menyerahkan kembali suling emas yang diterima dari ibunya dulu, juga mengembalikan Koai-liong Po-kiam yang memang asalnya dari lembah keluarga Cu.

Sejak itu, dia pun merantau selama tujuh tahun. Pedangnya yang sudah mengalahkan entah berapa banyak tokoh-tokoh kaum sesat, membuat nama Pendekar Suling Naga semakin terkenal. Akan tetapi, semakin dia terkenal, Sim Houw menjadi semakin rendah hati. Dia yang sejak muda sudah biasa hidup di alam bebas, menyatukan diri dengan kebesaran alam, dapat melihat bahwa dirinya itu sesungguhnya bukan apa-apa, hanya kebetulan menjadi pewaris ilmu silat yang tinggi dan pusaka yang ampuh begitu saja.

Seperti juga semua manusia lain, tentu dia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dia kelihatan terkenal dan dikagumi orang, akan tetapi hidupnya selalu sebatang kara dan sampai hari itu, dia masih juga hidup menyendiri. Dia sudah tidak memiliki keluarga kecuali keluarga Cu yang tinggal jauh di Himalaya itu, dan kalau sampai berusia tiga puluh tiga tahun dia belum juga menikah, hal itu sama sekali bukan karena dia pantang menikah, melainkan karena dia belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang cocok untuk menjadi jodohnya, seorang yang saling mencinta dengan dia!

Dia tidak mau patah hati untuk kedua kalinya. Kegagalan cinta dan tali perjodohannya dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, membuat Sim Houw berhati-hati sekali dan tidak mau sembarangan jatuh hati kepada wanita sebelum dia yakin benar bahwa cintanya takkan bertepuk tangan sebelah. Dan sampai sekarang, dia masih merasa belum bertemu dengan jodohnya.

Kalau ada wanita yang menarik hatinya, ternyata wanita itu tidak cinta kepadanya, dan sebaliknya kalau ada gadis yang tertarik kepadanya, dia sendiri tidak mencinta gadis itu. Dia tidak mencari gadis yang cantik jelita, atau yang kepandaian silatnya setingkat dia. Dia tidak mempunyai syarat apa pun, kecuali saling mencinta. Dan bagi cinta, agaknya wajah dan kepandaian itu tidak dapat dipakai sebagai dasar atau ukuran. Cinta adalah urusan hati, sedangkan kepandaian dan kecantikan adalah urusan badan. Walau pun ada kaitannya, namun keindahan lahiriah itu tidak menjadi syarat yang menentukan bagi cinta.

Kadang-kadang timbul pula rasa kesepian di lubuk hati pria yang masih muda ini, dan rasa kesepian ini menakutkan sekali. Sebagai seorang pendekar sakti, belum pernah ia takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun, tetapi menghadapi kesepian ini kadang-kadang membuatnya merasa ngeri! Haruskah hidupnya selalu begini, seorang diri saja? Akan tetapi ada kalanya kesepian itu menjadi keheningan yang menyejukkan hati, yaitu di waktu pikirannya tenang dan tidak mengada-ada.

"Bagus sekali, mengapa berhenti?" Tiba-tiba terdengar suara halus.

Sejak tadi, pendekar ini tahu bahwa ada orang datang dari arah belakang dan orang itu berhenti sampai lama. Biar pun dia tadi masih meniup sulingnya, akan tetapi andai kata orang di belakangnya itu menyerangnya secara tiba-tiba, ia tentu akan dapat melindungi dirinya.

Karena sudah tahu bahwa di belakangnya ada orang, semestinya dia tidak kaget ketika mendengar teguran itu. Akan tetapi, kenyataannya Sim Houw terkejut dan terheran. Cepat dia menoleh karena tak disangkanya bahwa orang yang datang adalah seorang wanita dan teguran tadi pun sama sekali tidak menunjukkan nada permusuhan. Dan kekagetannya bertambah ketika dia menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang dara yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya dan dara itu manis sekali.

Kini gadis itu berdiri, baru saja keluar dari balik batang pohon di mana ia tadi mengintai, dan tersenyum. Memang luar biasa manisnya gadis ini kalau dia tersenyum. Wajahnya memang selalu cerah, sikapnya selalu gembira dan jenaka, akan tetapi kalau dia lagi tersenyum, mulut yang kecil itu dihias sepasang lesung pipit di kanan kiri sehingga Sim Houw terpesona dan sejenak timbul pikiran tahyul bahwa yang muncul ini bukan manusia melainkan seorang dewi!

Akhirnya dapat juga dia menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan itu dan dia pun bertanya, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya tadi, "Apa yang kau katakan tadi?"

"Aku berkata bahwa tiupan sulingmu itu bagus dan merdu bukan main, akan tetapi kenapa berhenti?"

Sim Houw tersenyum dan bangkit berdiri, menghadapi gadis itu. "Tiupanku hanya asal bunyi saja, bagaimana bisa bagus? Dan aku berhenti meniup karena memang sudah habis." Sukar dia menguraikan mengapa dia meniup suling, digerakkan oleh suasana dan suasana pula yang menghentikan tiupan sulingnya.

"Ehh, lagu apakah tadi? Indah sekali!" kembali gadis itu bertanya sambil mendekat.

"Lagu asal bunyi saja. Adik ini siapakah dan datang dari mana dan hendak ke mana? Sungguh aneh melihat seorang dara muda seperti engkau ini dapat datang ke puncak ini. Bagaimana kau bisa datang ke sini dan bersama siapa, ada keperluan apa?"

"Wah-wah-wah, pertanyaanmu datang bertubi seperti hujan deras saja. Kenapa kau bertanya-tanya? Apakah puncak ini milikmu?"

Ditanya demikian, Sim Houw lalu membelalakkan matanya. Suasana otomatis menjadi demikian gembira setelah gadis ini bicara. Mungkin karena wajahnya yang cerah itu, atau senyumnya yang manis, atau juga karena kata-katanya yang jenaka.

"Puncak ini? Puncak ini memang milikku, juga milikmu, dan milik siapa saja yang mau mengakuinya."

"Wah, jawabanmu aneh dan ngaco! Mana bisa semua orang boleh memilikinya asal mau mengakuinya?"

"Siapa pula yang mau memiliki gunung? Aku bertanya karena merasa heran bagaimana engkau bisa datang ke sini."

"Aku datang seorang diri tanpa kawan, dan apa anehnya?”

"Akan tetapi tidak mudah naik ke puncak ini, apa lagi bagi seorang..."

"Bagiku mudah saja!"

Mengertilah Sim Houw bahwa yang datang ini adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat cukup tinggi maka dapat dengan mudah mendaki puncak ini. "Kalau boleh aku bertanya, apakah keperluanmu datang ke sini?"

"Mencari orang! Dan sekarang, untuk pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu, aku mau membalas dengan satu pertanyaan saja. Setelah kau jawab, aku segera pergi dari sini dan tidak akan menganggumu lagi."

Sim Houw tersenyum lagi. Sikap dan cara bicara anak ini sungguh lucu sekali dan lincah jenaka. "Tanyalah, adik yang baik, jangankan hanya satu pertanyaan, biar selosin pun akan kujawab."

"Tak usah banyak-banyak, satu saja karena aku datang bukan untuk mengajak orang mengobrol. Begini paman yang baik. Aku mendengar bahwa orang yang sedang kucari itu berada di sekitar Pegunungan Tai-hang-san ini, dan ketika aku bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di bawah sana, mereka memberi tahu bahwa untuk mencari orang itu aku harus bertanya kepada seorang penyuling yang mungkin berada di puncak ini. Nah, aku pun datang di sini dan karena engkau pandai bermain suling, agaknya engkaulah penyuling itu. Tentu saja kecuali kalau ada penyuling lain lagi."

Hati Sim Houw mulai merasa tidak enak, namun dengan sikap tenang dia menyimpan Liong-siauw-kiam di sarungnya yang terselip di pinggang di balik bajunya yang panjang, dan dia bertanya. "Nona, siapakah yang kau cari itu?"

Dara itu bukan lain adalah Can Bi Lan. Setelah ia mendengar dari Kun Tek bahwa kalau hendak mencari Pendekar Suling Naga, ia harus pergi ke Tai-hang-san sebab pendekar itu suka berkeliaran di daerah itu, maka ia pun langsung saja pergi ke Tai-hang-san. Di sekitar kaki dan lereng pegunungan itu, ditanyainya penghuni dusun barang kali ada yang mengenal orang yang bernama Sim Houw berjuluk Pendekar Suling Naga.

"Yang kucari adalah Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw." Sepasang mata yang jernih tajam itu memandang penuh selidik. "Tahukah engkau, paman?"

Sim Houw mengangguk dan menekan hatinya yang agak menegang. Heran dia kenapa dicari oleh dara muda ini. Hatinya merasa tegang, padahal andai kata yang mencarinya itu beberapa orang yang kelihatan jahat dan mengambil sikap bermusuhan sekali pun, belum tentu dia akan kehilangan ketenangan.

"Nona," dia tidak menyebut lagi adik setelah mendengar betapa gadis itu menyebutnya ‘paman’. Memang, melihat keadaan gadis itu yang masih muda, sudah sepatutnyalah kalau dia disebut paman. "Kalau engkau hendak mencarinya, yang bernama Sim Houw adalah aku sendiri. Tidak tahu ada keperluan apakah?"

Bi Lan melongo dan kini sepasang matanya memandang pria itu dari kepala ke kaki dengan penuh selidik. "Luar biasa! Engkau pendekar yang namanya terkenal sekali itu? Ahhh, siapa kira..."

"Ternyata hanya begini saja, ya?" Sim Houw tersenyum pahit, tidak menyesal hanya merasa lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi terkenal. Lebih enak menjadi orang yang tidak dikenal, sehingga tidak ada yang kecewa atau heran melihat keadaannya.

"Ahhh, bukan begitu. Tapi hemm, bentuk badan dan wajah memang agak cocok dengan keterangan suci. Tubuhmu sedang dan wajahmu cukup tampan. Akan tetapi tidak setua ini! Kata suci, engkau seorang pemuda yang hebat, tampan dan lihai. Tapi walau pun engkau tampan, engkau tidak muda lagi dan pakaianmu begini sederhana, sama sekali bukan seperti pendekar."

"Kalau pendekar itu harus seperti bagaimana?" Sim Houw yang ketularan kejenakaan gadis itu, bertanya sambil berkelakar.

"Seperti... seperti...apa ya? Aku sendiripun tidak tahu."

Ia teringat akan Gu Hong Beng dari Cu Kun Tek. Keduanya adalah pendekar-pendekar muda, akan tetapi mereka pun seperti orang biasa. Hampir lupa ia bahwa pendekar pun orang, maka tentu tidak ada bedanya dengan orang lain.

"Nona, siapakah suci-mu itu? Dan apa keperluanmu mencari aku?"

"Beberapa tahun yang lalu suci pernah kalah olehmu... ahhh, pantas, sudah lewat beberapa tahun, tentu saja engkau menjadi lebih tua. Mungkin karena terlalu sederhana kau jadi kelihatan lebih tua. Berapa sih usiamu sekarang?"

Melihat betapa percakapan itu menjadi tidak karuan, malah bertanya umur segala, Sim Houw tidak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa dan sekarang nampak bahwa dia sesungguhnya belum tua karena begitu dia tertawa wajahnya nampak masih muda.

"Eh, kenapa kau malah tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku?" Pandang mata Bi Lan penuh kemarahan dan alisnya berkerut.

Tiba-tiba saja Sim Houw menghentikan suara ketawanya. Dia seperti melihat bahwa jika dia tertawa terus, tentu gadis itu akan langsung menyerangnya. Sekarang pun sudah menyerangnya dengan pandang mata yang lebih runcing dari pada mata pedang!

"Aku tidak mentertawakanmu, nona, melainkan ketawa karena kata-katamu yang lucu. Jika mau tahu usiaku, aku berusia tiga puluh tiga tahun sekarang. Nah, memang sudah tua, bukan?"

"Engkau tidak tua tidak muda, engkau... yah, cukupan. Belum tua tapi sudah masak, begitulah andai kata engkau ini buah."

"Siapa bilang belum tua? Sudah seratus tahun kurang..."

"Ehhh? Jadi kau tadi membohong ketika mengaku berumur tiga puluh tiga..."

"Seratus tahun kurang enam puluh tujuh kan berarti seratus tahun kurang." Sim Houw yang biasanya pendiam itu mendadak saja pandai berkelakar.

"Huh, kalau begitu aku pun seratus tahun kurang! Kau kira aku ini anak kecil, mudah saja dibohongi?"

"Kau memang bukan anak kecil, akan tetapi dibandingkan dengan aku, engkau ini yah, katakanlah remaja yang sudah matang. Usiamu tentu paling banyak enam belas tahun." Sengaja Sim Houw mengurangi taksirannya untuk menggoda. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita paling suka kalau dikatakan masih muda, dan ucapannya tadi bukan merayu, melainkan hanya untuk menggoda.

Akan tetapi Bi Lan girang sekali. "Masih kelihatan begitu muda? Padahal, aku sudah hampir delapan belas tahun! Eh, paman... bagaimana ya baiknya kupanggil paman atau kakak?"

"Terserah kepada yang panggil, itu adalah urusan orang yang akan memanggil, boleh kau sebut paman, kakak, kakek, asal jangan menyebut bibi saja."

"Aha, kau pandai berkelakar, ya? Lucu ya? Tidak lucu, ah!"

Kembali Sim Houw tertawa. Bukan main gembira hatinya. Selama hidup baru satu kali ini dia benar-benar merasa gembira bercakap-cakap dengan seseorang. Gadis remaja yang satu ini memang bukan main. Lucunya tidak dibuat-buat, memang sikapnya, kata-katanya dan pandang matanya, mulutnya, semua serba lucu dan menarik.

"Ehh, ketawa lagi! Aku jadi ragu-ragu apakah benar engkau yang dipanggil Pendekar Suling Naga! Masa ada pendekar kok begini sederhana dan suka berkelakar? Tidak berwibawa seujung rambut pun. Pantasnya kau ini..."

Gadis itu memandang seperti orang menimbang-nimbang, menggeleng sana-sini seperti seorang gadis remaja menaksir sepotong baju baru yang akan dipilihnya.

"Pantasnya jadi apa?" tanya Sim Houw yang sudah siap untuk tertawa lagi karena baru sikap gadis itu sudah begitu menyenangkan dan menggelikan. Dia tidak mungkin bisa marah dikatakan apa saja oleh gadis seperti ini!

"Hemm... jadi petani dusun, terlalu tampan dan kulitmu terlalu halus. Jadi seorang kutu buku! Yah, seorang kutu buku, yang kerjanya setiap hari hanya baca buku, melamun, baca buku sambil menangis sendiri, tertawa sendiri..."

"Wah, seperti orang gila? Menangis sendiri tertawa sendiri?"

"Bukan gila. Aku melihat semua kutu buku begitulah. Kalau cerita yang dibacanya itu menyedihkan dan mengharukan, dia menangis sendiri, kalau ada yang lucu, ketawa-ketawa sendiri, memang seperti orang gila, tapi bukan. Ehh, benarkah kau ini bernama Sim Houw dan yang dijuluki Pendekar Suling Naga?"

"Namaku memang Sim Houw dan tentang julukan itu adalah orang-orang lain yang menyebutnya, aku sendiri tidak pernah merasa menjadi pendekar."

"Akan tetapi kata suci-ku, Pendekar Suling Naga mempunyai sebuah pusaka, yaitu Liong-siauw-kiam!"

Sim Houw dapat menduga bahwa kedatangan gadis ini tentu ada hubungannya dengan pedang itu, maka dia pun mencabut Liong-siauw-kiam dari sarungnya. "Benda inilah yang disebut Liong-siauw-kiam, suling yang kutiup tadi."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. Ia melihat sebatang kayu semacam tongkat berbentuk naga, berlubang-lubang seperti suling, namun tajam juga runcing bagaikan pedang. Akan tetapi benda itu hanya dari kayu, buruk kehitaman pula. "Itu? Yang kau tiup tadi? Itukah yang disebut Liong-siauw-kiam dan diperebutkan oleh begitu banyak orang? Aihhh, apakah mereka semua itu sudah gila?"

Sim Houw menyarungkan lagi pedangnya, "Gila? Mereka siapa yang gila?"

"Tentu saja yang memperebutkannya dengan taruhan nyawa. Bukankah itu pedang yang tadinya berada di tangan kakek Pek-bin Lo-sian dan diperebutkan? Engkau juga termasuk yang mungkin gila, memperebutkan pedang kayu seperti itu dengan taruhan nyawa. Dijual tidak akan laku sepuluh tael perak! Engkau, suci-ku yang berjuluk Bi-kwi, juga Sam Kwi guru-guruku, mereka itu juga sudah gila. Aku pun termasuk yang sudah gila karena aku mau saja mewakili suci-ku untuk merampas pedang macam itu darimu. Kalau bukan karena mewakili suci, huh, diberi juga aku sendiri tidak sudi! Apa lagi harus merampas segala macam!"

Sim Houw terkejut, alisnya berkerut dan rasa kecewa yang amat besar menyelinap di dalam hatinya. Gadis ini murid Sam Kwi? Dan ia datang diutus oleh Bi-kwi, wanita iblis jahat itu untuk merampas pedang pusaka ini? Sungguh sukar untuk dipercaya. Dan pandangannya pun berubah!

Dia kini menganggap bahwa semua kelucuan gadis ini tadi dibuat-buat saja, sengaja untuk menjatuhkan hatinya, untuk merayunya! Dan memang gadis ini tadi telah berhasil menarik hatinya, membuat dia merasa suka sekali kepada gadis ini. Akan tetapi begitu dia mendengar bahwa gadis ini murid Sam-Kwi, segera dia usir semua rasa suka itu, walau pun dengan hati penuh penyesalan dan kekecewaan.

Tidaklah aneh sikap Sim Houw ini. Bukankah kita semua juga mendasari rasa suka dan tidak suka melalui penilaian dan semua penilaian ini dipengaruhi perhitungan untung atau rugi? Baik untung rugi batin mau pun untung rugi lahir. Kalau menguntungkan kita, maka kita menilai orang itu sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan kita, kita menilai orang itu sebagai orang tidak baik.

Kita suka atau tidak suka pada seseorang berdasarkan penilaian itu! Tak mengherankan apa bila seseorang itu bisa hari ini baik dan besok tidak baik, hari ini dibenci tapi besok disuka, sebab perbuatan-perbuatannya tentu saja bisa menguntungkan atau merugikan, hari ini menguntungkan, besok merugikan dan sebaliknya dan selanjutnya.

Kalau saja kita dapat menghadapi apa dan siapa saja tanpa penilaian ini, tentu kita akan terbebas dari pada rasa suka atau tidak suka kepada sesuatu atau seseorang. Dengan kebebasan seperti ini, barulah sinar cinta kasih dapat menyinari batin
.

"Hemm, jadi engkau ini murid Sam Kwi? Dan datang ke sini mencari aku untuk mewakili suci-mu, mencoba untuk merampas Liong-siauw-kiam?" tanya Sim Houw. Dia terheran-heran mengapa Sam Kwi dan Bi-kwi mengutus seorang gadis yang tingkatnya masih seperti kanak-kanak ini.

Bi Lan mengangguk. "Akan tetapi menurut suci, ia pernah kalah olehmu dan menurut ceritanya, engkau lihai bukan main. Agaknya aku pun bukan tandinganmu dan aku akan gagal mengalahkan engkau untuk merampas pusaka itu."

"Kalau begitu, mengapa engkau datang juga, seorang diri tanpa pembantu pula? Apa yang memaksamu untuk nekat mencariku kalau engkau sudah merasa bahwa engkau tidak akan berhasil merampas Liong-siauw-kiam dari tanganku?" tanya pula Sim Houw, suaranya tidak lagi ramah karena dia menganggap gadis ini nekat atau jahat atau menggunakan siasat pula dengan modal kecantikan, kemanisan dan kepandaiannya bicara.

"Yang memaksa diriku adalah janji dan sumpahku kepada suci. Aku telah bersumpah kepada suci untuk merampaskan pusaka itu dari tanganmu, maka aku memaksa diri untuk datang juga mencarimu. Kalau aku gagal dan tewas di tanganmu, bagaimana pun juga aku sudah memenuhi janji dan sumpahku. Sebaliknya kalau aku tidak berani melakukannya, biar pun aku tetap hidup, aku akan menjadi orang yang mengingkari sumpahnya sendiri, dan berarti hidup tanpa isi. Bagiku, lebih baik mati melaksanakan sesuatu yang gagah dari pada hidup sebagai orang tanpa guna."

Kembali Sim Houw tertegun. Kata-kata itu semua keluar dari dalam hati anak itu sendiri ataukah memang sudah dihafalkan sebelumnya, merupakan siasat untuk menjatuhkan hatinya? Saking terpengaruh benar oleh ucapan Bi Lan, dia bengong terlongong saja.

"Heiiii! Kau mendengar atau tidak? Aku mau merampas Liong-siauw-kiam! Kau berikan kepadaku atau terpaksa aku menggunakan kekerasan merampasnya darimu!"

Ditegur demikian, barulah Sim Houw sadar. Bagaimana pun juga, anak perempuan ini murid Sam Kwi, agaknya tidak mungkin baik walau pun memiliki daya tarik yang luar biasa dari pribadinya. Dan karena kedatangannya untuk merampas Liong-siauw-kiam, maka harus dihadapi dengan kekerasan, biar pun sifatnya untuk memberi hajaran saja.

"Mau merampas Pedang Suling Naga? Boleh, silakan saja kalau kau mampu," katanya tenang.

Bi Lan sendiri memang masih belum percaya kalau orang yang di depannya ini memiliki ilmu kepandaian yang demikian dipuji-puji suci-nya, maka ia pun tidak main-main lagi dan ingin mengujinya sendiri. Mula-mula ia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan Sim Houw merasa ngeri juga mendengar, biar pun perlahan, bunyi berkerotokan pada kedua lengan itu. Seorang gadis begini muda dan cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang hanya pantas dimiliki orang sesat!

"Orang she Sim, awas sambut seranganku ini!" bentak Bi Lan dan ia telah menyerang dengan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan Jurus Lutung Hitam) yang hebat.

Ilmu ini adalah ilmu andalan Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) dan memang hebat sekali gerakannya. Mula-mula Bi Lan mempergunakan jurus Hek-wan Pai-san (Lutung Hitam Mendorong Gunung), kedua lengannya itu didorongkan ke arah dada lawan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Hebatnya dari ilmu ini, ketika Sim Houw menarik mundur tubuhnya untuk mengelak, kedua lengan gadis itu masih terus mulur sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka masih menuju ke dada lawan!

Kiranya lengan gadis muda itu dapat memanjang seperti karet. Dan ini pun kehebatan dari ilmu yang didapatnya dari ciptaan Hek-kwi-ong. Biar pun kedua lengan Bi Lan tidak dapat memanjang seperti kalau Hek-kwi-ong sendiri yang melakukannya, namun sudah sempat membuat Sim Houw terkejut.

"Ehhh...!" Serunya ketika di luar perhitungannya, kedua tangan yang sudah dielakkan itu masih mampu mengejar terus.

Terpaksa dia menggunakan kelincahan kakinya untuk melangkah ke kiri dan menarik kembali tubuhnya. Akan tetapi, Bi Lan sudah menyusulkan jurus Hek-wan-hoan-hwa (Lutung Hitam Mercari Bunga) dan kedua tangannya sudah membalik dan kalau tangan kanan mencengkeram ke kepala lawan, tangan kiri menghantam ke lambung kanan.

Gerakannya cepat dan kedua kakinya berloncatan lincah seperti gerakan seekor lutung. Ilmu silat ini berbeda dengan Ilmu Silat Kauwkun (Silat Monyet) yang mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mengandalkan tenaga sinkang dan juga keanehan kedua lengan yang dapat memanjang.

Namun kini Sim Houw telah mengetahui keistimewaan kedua lengan yang dapat mulur itu, maka menghadapi serangan-serangan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang itu, dia pun mengandalkan kelincahan tubuhnya dan kalau mengelak, ditambahnya jarak mengelak itu sehingga lebih jauh dari biasa. Dengan demikian, lima kali serangan dari lima jurus yang dipilihnya dari delapan belas jurus Hek-wan Sip-pat-ciang itu gagal mengenai tubuh Pendekar Suling Naga dan Bi Lan cepat sudah mengganti ilmu silatnya.

Kini, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan lebih dahsyat karena kini kedua kakinya yang melakukan penyerangan. Bukan serangan biasa, tetapi tendangan-tendangan yang susul-menyusul dan kedua kakinya itu datang dari segenap penjuru menendang, menyepak, mendorong dari samping dari depan dan secara langsung ke belakang. Kedua kakinya dengan hidup dan cepatnya melakukan serangan bertubi-tubi. Itulah Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), keahlian dari Im-kan-kwi ( Iblis Akhirat), orang ke dua dari Sam Kwi.

Kembali Sim Houw kagum, akan tetapi juga merasa sayang. Tendangan-tendangan itu memang dahsyat, akan tetapi kadang-kadang nampak amat kasar tanpa mengindahkan segi keluwesannya, tanpa memperhitungkan segi keindahan seni tarinya yang terdapat dalam semua gerakan ilmu silat. Kadang-kadang nampak lucu seperti seekor monyet menari-nari.

Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah karena dia sudah maklum bahwa biar pun masih muda, ternyata gadis ini memang telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi. Dia sudah tak begitu ingat lagi keadaan Bi-kwi beberapa tahun yang lalu ketika menyerangnya, akan tetapi agaknya gadis ini tidak kalah lihai dari suci-nya itu.

Saat Sim Houw menggunakan lengannya menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya, tubuh Bi Lan terhuyung-huyung dan berputaran. Ia terkejut sekali. Ilmu tendangannya itu, begitu tertangkis, membuat tubuhnya terputar kehilangan keseimbangan. Maka dengan gemas ia mengubah lagi ilmu serangannya, dan sekali ini mengeluarkan Ilmu Hun-kin-tok-ciang!

Dari telapak tangannya keluar lagi bunyi berkerotokan dan nampak pula ada uap agak kehitaman saat kedua tangan itu bergerak. Gerakannya kaku, seolah-olah kedua lengan gadis itu tidak dapat ditekuk, akan tetapi hebatnya luar biasa karena itulah ilmu silat dari Si Iblis Mayat Hidup, orang ke tiga dari Sam Kwi. Hun-kin-tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) memang mengandung hawa beracun, dan jari-jari tangan yang nampak kaku itu menotok sana-sini seperti sumpit-sumpit baja yang mampu membikin putus otot tubuh lawan kalau mengenai sasaran.

"Ihhh...!" Sim Houw mencela ilmu yang dianggapnya keji ini.

Dan dia pun kini menyambut, bukan hanya mengelak terus, melainkan menangkis dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan untuk merobohkan lawan tanpa melukai hebat. Akan tetapi, ternyata Bi Lan cukup lincah dan dapat pula menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Dan beberapa jurus kemudian, melihat betapa Ilmu Hun-kin-tok-ciang juga tidak sanggup membuat ia mendesak lawan, ia mempergunakan ilmu simpanannya, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun!

Inilah Ilmu Tiga Belas Jurus yang diciptakan bersama oleh Sam Kwi setelah mereka bertapa selama satu tahun. Ilmu yang sengaja mereka ciptakan untuk menghadapi Pendekar Suling Naga yang menurut penuturan murid mereka amat lihai itu.

Dan kini Sim Houw benar-benar terkejut. Hebat sekali memang ilmu itu. Ketika Bi Lan mulai menyerangnya, dari kedua tangan gadis itu keluar suara bercuitan dan ilmu ini memang menggunakan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang), hanya gerakan-gerakan silatnya saja yang mereka susun secara teliti. Dan memang ampuh bukan main.

Gerakan-gerakannya aneh, kedua tangan itu tiada ubahnya sepasang pedang yang menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Sim Houw hampir saja celaka ketika tangan kiri Bi Lan menyambar ke arah lambung. Untung dia masih sempat miringkan tubuhnya dan bajunya terkait robek oleh tangan yang berubah seperti pedang tajamnya itu!

"Aih, engkau sungguh nekat!" bentaknya marah.

"Serahkan Liong-siauw-kiam atau aku akan menyerangmu terus sampai mati!" bentak Bi Lan.

"Srattttt...!"

Pedang kayu berbentuk naga itu dicabut karena Sim Houw mulai merasa kewalahan menghadapi Sam Kwi Cap-sha-ciang. "Inilah pusaka itu, tetapi bukan untuk diserahkan kepada siapa pun juga, melainkan untuk melawan siapa saja yang berniat buruk."

Bi Lan melanjutkan serangannya dengan menggunakan Cap-sha-ciang itu, hatinya agak girang karena ternyata ilmu ciptaan tiga orang gurunya ini memang ampuh sehingga lawannya terdesak dan terpaksa mengeluarkan pedang itu. Kalau pedang kayu begitu saja, mana ia takut? Pedang baja saja ia tidak gentar, dapat menggunakan kekebalan Ilmu Kulit Baja yang sudah dipelajarinya dari Im-kan-kwi Apa lagi sebatang pedang kayu! Huh, mainan kanak-kanak pikirnya.

"Wirrr-wirrrrr...!"

Nampak sinar berkelebatan, sinar hijau kehitaman dan mula-mula terdengar desir angin, akan tetapi kemudian terdengar suara melengking-lengking.

Gadis itu menjadi kaget bukan main. Jurus-jurus Cap-sha-ciang yang hebat itu seketika seperti kacau gerakannya. Ia pun merasa tenaganya lemas karena jantungnya tergetar oleh suara suling itu! Baru ia tahu bahwa pusaka itu memang benar-benar hebat dan ampuh, ketika dimainkan oleh pendekar itu seolah-olah ada bayangan seekor naga yang mengamuk sambil melengking-lengking!

Dari pedang itu keluar tenaga yang hebat karena ketika dia dengan nekat mengadu tangannya yang terisi hawa Kiam-ciang (Tangan Pedang) dengan sinar itu, selain dia merasa tangannya menjadi nyeri, juga tubuhnya terdorong dan hampir saja dia roboh. Dengan amat marah dan penasaran, gadis itu menyerang lagi dengan tangan kirinya, menebaskan tangan itu ke arah leher lawan.

"Takkkk!"

Tangan itu tertangkis pedang suling dan menempel pada senjata itu. Ada tenaga sedot yang luar biasa kuatnya dari suling itu yang membuat tangannya melekat dan betapa pun ia hendak menarik tangannya, ia tak berhasil.

"Wuuuuttt...!"

Kini tangan kanannya yang menyambar. Tubuh lawan menyelinap ke arah belakang melalui kanannya.

Bi Lan mengejar dengan hantaman tangan yang mengandung hawa Kiam-ciang ke belakang, akan tetapi tangan kiri lawan menangkap pergelangan tangan kanannya dan tiba-tiba saja tubuhnya ditelikung dengan kedua lengannya ditarik ke belakang oleh lawan yang sudah berada di belakangnya!

Dengan keadaan seperti itu, tentu saja Bi Lan tidak berdaya. Akan tetapi ia adalah murid Sam Kwi yang juga pernah menerima gemblengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka ia masih belum kehabisan akal walau pun kedua lengannya sudah ditelikung ke belakang.

Tiba-tiba ia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan kakinya sudah menyepak ke belakang, lebih kuat dari sepakan seekor kuda! Dan tentu saja kaki itu menuju ke arah selangkangan lawan, tempat yang paling lemah dan berbahaya bagi kaum pria kalau diserang!

Kalau sepakan itu hanya sepakan biasa, tentu Sim Houw masih mampu menangkis dengan lututnya atau mengelak dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi sepakan itu adalah sepakan dari Ilmu Tendangan Pat-hong-twi yang hebat. Memang, kalau Sim Houw mau mendahului, dia bisa merobohkan Bi Lan lebih dahulu sehingga sepakannya kandas di tengah jalan, akan tetapi dia tidak ingin mencelakakan gadis ini, hanya ingin mengalahkannya tanpa melukainya untuk memberi hajaran. Melihat sepakan yang berbahaya ini, tidak ada lain jalan baginya kecuali melepaskan kedua lengan itu dan melompat jauh ke belakang.

Bi Lan cepat membalikkan tubuh. Dengan muka merah saking marahnya, dia mulai memasang kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya merendah seperti hendak tiarap dan itulah pembukaan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang pernah dia pelajarinya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!

Mula-mula Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan pedang pusakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi. Tiba-tiba dengan suara bentakan panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagaikan seekor naga saja, langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, menyerang lawan seperti terbang saja!

Bukan main terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah mendengar tentang ilmu ini, bahkan pernah melihat dimainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya sendiri terpelanting ke kiri! Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!

"Rasakan kau sekarang!" seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju, kini gerakannya semakin aneh dan dari kedua telapak tangannya keluar angin berdesir.

Itulah Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Sang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu! Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke belakang karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.

"Heiii, berhenti dulu. Kau hebat! Apakah engkau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari Istana Gurun Pasir?"

Bi Lan bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.

"Kau sendiri pencuri perampok bajak copet maling!" Ia memaki-maki marah. "Selama hidup aku tak pernah mencuri! Jangan menuduh yang bukan-bukan kau!"

Sim Houw tidak dapat marah dimaki-maki karena cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan marah sekali pun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa memang pembawaan, pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekaii bukan suatu permainan sandiwara. Andai kata semua tadi hanya sandiwara atau rayuan tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi gadis ini tetap saja lucu!

"Apa anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi? Bukankah mereka terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?"

"Sam Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!"

"Kalau begitu, dari mana engkau dapat memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"

"Huh! Itu masih belum, sobat!" kata Bi Lan mengejek. "Kalau saja Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang pusakamu yang dari kayu itu!"

"Ban-tok-kiam! Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!" teriak Sim Houw semakin heran. "Bagaimana pula bisa menjadi milikmu?"

Kembali Bi Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang merah basah dan mungil itu berjebi.
"Kau ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan aku?"

"Tentu saja... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?"

"Kau boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!"

"Minta maaf?" Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang aneh-aneh dan di luar dugaan. "Untuk apa?"

"Karena kau tadi menuduh aku mencuri."

Hampir Sim Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan dia pun tersenyum. "Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi, lebih baik usap dulu keringatmu. Lihat, dahi dan lehermu basah semua!" Dia merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah membasahi pipi.

Bi Lan tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan dia pun lalu menyeka peluhnya dengan sapu tangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya. "Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng, adalah guru-guruku!"

"Wah, mana mungkin...!"

"Mungkin saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng sudah meminjamkan Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain."

Sukar untuk tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, tetapi agaknya tidak masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari pendekar sakti itu dan isterinya.

"Nona, ketahuilah bahwa aku menganggap keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani mengangkat tangan melawanmu dan bagiku engkau bukan seorang musuh. Sekarang mari kita duduk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau bisa menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, tapi di lain pihak engkau pun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi untuk merampas Liong-siauw-kiam."

Sim Houw sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila ketika dia meniup suling dan mempersilakan Bi Lan untuk duduk pula di atas batu-batu di depannya.

Akan tetapi Bi Lan menolak. "Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!"

"Kita bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini. Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sampai hidup sebagai orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri."

"Benar? Tidak bohong?"

Sim Houw menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah berbohong."

"Kalau perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?"

"Kalau perlu, boleh saja." Sim Houw tersenyum.

"Sumpah dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!"

Sim Houw tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti majikan Istana Gurun Pasir mau mengajarkan ilmu-ilmu kepadanya.

Akan tetapi karena menjadi murid Sam Kwi dan hidup di dalam lingkungan para datuk sesat, tentu saja dia pun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu dan aneh pada diri gadis ini.

"Baiklah, kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan membantumu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong."

Bi Lan tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga di sekitar tempat itu menjadi semakin harum!

Demikianlah keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka! Kalau segala macam rasa duka, kecewa, sesal dan sengsara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala keindahan di dalam kehidupan ini!

Bi Lan yang tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam, dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menangkap bau badan gadis yang berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang mampu menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah, mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium bau yang khas itu!

"Nah, sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih dulu menceritakan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau bisa memperoleh pedang pusaka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu."

Kembali Sim Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang benar-benar langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.

"Namaku Sim Houw dan tentang pedang ini..."

"Nanti dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kau katakan tiga puluh tahun? Siapa isterimu?"

Tiba-tiba saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya, kemudian setelah dia mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan bahkan senyumnya sudah membayang lagi di bibirnya, "Aku tidak punya isteri..."

"Ahh...! Sudah... sudah matikah ia? Atau... bercerai?"

Sim Houw menggeleng kepalanya perlahan-lahan. "Aku belum pernah beristeri."

"Aneh, seusia engkau ini belum beristeri? Tetapi... suci-ku pun usianya sudah sebaya denganmu dan belum bersuami pula. Cuma... ia… ia mempunyai banyak sekali pacar! Berganti-ganti, apakah... apakah engkau pun begitu?"

"Begitu bagaimana maksudmu?" tanya Sim Houw hampir membentak.

"Seperti suci-ku itu? Berganti-ganti pacar?"

Kalau bukan gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu. "Tidak! Jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau sendiri, yang menjadi sumoi-nya, tidak sama dengan suci-mu itu, berganti-ganti pacar?"

"Aku sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!"

"Nah, engkau dengarkan saja, kalau begini terus ceritaku tidak akan ada habisnya! Aku bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari sini. Cukup bukan tentang diriku?"

Bi Lan yang tadi dibentak, sekarang mengangguk-angguk. "Sudah cukup jelas, terutama bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti pacar..." Dia tersenyum memandang kepada Sim Houw yang kini juga tersenyum senang. "Dan bagaimana tentang Liong-siauw-kiam itu?"

"Seorang kakek pertapa di Himalaya yang bernama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu mengenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi, telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada seseorang yang dianggapnya cukup pantas untuk memilikinya. Dia tidak suka kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi, dan dia lalu mulai mencari orang yang akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka ini kepada orang yang mampu mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang yang roboh di tangannya, luka atau mati, ketika dia mencari calon pemilik baru dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku."

Bi Lan mengangguk-angguk. "Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari kakek itu? Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena ilmu kepandaianmu memang amat hebat. Aku sendiri pun bukan lawanmu. Kalau kau mau membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii...! Mengapa...?"

Tiba-tiba gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda ini pun terloncat bangun.
Suling Naga Bagian 08

"Mengapa... apa...?" tanyanya bingung oleh karena gadis itu kembali telah memandang kepadanya dengan mata melotot marah.

"Mengapa engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau... engkau... bukan sebangsa jai-hwa-cat, ya?"

Kembali Sim Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang lain.

"Kenapa kau bertanya begitu?" balasnya, tentu saja dia mendongkol karena jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling dibencinya.

"Karena sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina. Tetapi... tetapi... ahhh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"

Ucapan yang disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw. "Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir."

"Sam Kwi bukan saja guru-guruku, tetapi juga penolongku dan penyelamat nyawaku. Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena ada perang pemberontakan dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh mereka sampai mati."

Gadis itu memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak yang aneh. Begitu kecil sudah mengalami musibah yang demikian hebat.

"Nah, semenjak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua anggota pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali padaku. Akan tetapi suci-ku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku, akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya."

Sim Houw mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini memiliki dasar watak yang baik dan kuat.

"Lalu bagaimana engkau sampai bisa hutang budi juga kepada Bi-kwi, padahal ia yang hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan itu?"

"Bi-kwi bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami dapat menghadapimu..."

"Ahh, ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai..."

"Itulah Ilmu Sam Kwi Cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu, mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi lalu mengadakan pesta makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa..."

"Ahhh...! Betapa kejinya!" Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.

"Hal seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan kembali Liongsiauw-kiam."

Sim Houw mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum sesat.

"Kemudian bagaimana?"

Dengan singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin Lo-sian. "Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan engkau juga seorang seperti mereka itu!"

"Hemmm, tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu yang paling penting padaku."

"Apa itu?"

"Namamu!"

Bi Lan tertawa. Ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar, atau setangkai bunga mawar hutan yang tidak pernah terawat dengan baik, walau pun hal itu tidak mengurangi keindahan dan keharumannya.

"Aku lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."

"Dan sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"

"Tentu saja, dan aku akan menyebut toako (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng dariku. Sim-toako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara apa?"

"Begini Lan-moi (adik Lan), bagaimana pula engkau bisa tahu bahwa aku berada di Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"

"Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu kepadaku bahwa mungkin aku bisa menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san."

"Cu Kun Tek?" Sim Houw berseru girang. "Wah, dia itu masih terhitung pamanku!"

"Apa? Bagaimana ini? Dia masih begitu muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi pamanmu?"

"Ayahnya yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian Cu Kun Tek adalah pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu dengan dia semenjak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek? Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?"

"Dia penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."

Tentu saja hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia dua belas tahun itu sekarang sudah menjadi seorang pendekar yang boleh dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam!

Dia merasa amat gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi gurunya.

Tiba-tiba Bi Lan bangkit berdiri. "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama aku disini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci." Ia menengadahkan tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.

"Nanti dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh sayap."

"Jadi kau tidak mau memberikan?" Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.

"Nanti dulu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi aku pun akan ikut menyaksikan ketika engkau menyerahkannya kepada suci-mu. Dan ketika itu, setelah engkau menyerahkan pedang berarti engkau… engkau…"

Bi Lan berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Memang aku pun tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh merampasnya kembali dari tangannya, terserah."

"Di mana dia sekarang?"

"Menurut rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."

"Di kota raja?"

"Ya, di istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama Hou Seng, dan mereka akan bergabung ke sana untuk mencari kedudukan. Kebetulan sekali aku pun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang sudah merampas Ban-tok-kiam dari tanganku."

"Ahh, kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"

“Menurut keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku harus merampasnya kembali, betapa pun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."

"Aih, begitu banyak masalah yang kau hadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."

"Terima kasih, toako. Kau baik sekali!" kata Bi Lan dengan hati girang.

Hari itu juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Sim Houw masih menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua makan dulu sebelum meninggalkan puncak.

Sedikit ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walau pun hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, "Sim-toako, aku merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu membimbing dan membantuku!"

Kedukaan tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi Lan.

Akan tetapi, usianya sudah tiga puluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak delapan belas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia dianggap sebagai kakak! Apakah mungkin gadis ini kelak dapat membalas cintanya? Ataukah dia harus mengalami lagi nasib seperti cinta pertamanya, mengulang kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan…..

**********

Ternyata kedua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Pada saat mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil bercakap-cakap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah, mendadak saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan dua puluh orang lebih anggota Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah!

Kiranya Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang terakhir ini gagal menangkap Bi Lan karena pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke Tai-hang-san dan diam-diam mereka mengikuti terus. Ketika dalam penyelidikan mereka kepada para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pendekar Suling Naga berada di puncak yang kini didaki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak menanti kembalinya Bi Lan.

Kalau Bi Lan berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu mereka menyerbu ke puncak. Bi-kwi yakin bahwa bagaimana pun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar janjinya dan tentu akan mau membantunya merampas pedang pusaka itu.

Karena itu, betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada siang hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar yang dicari-cari! Akan tetapi dalam suasana yang demikian akrab, berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.

Bi-kwi dan Bhok Gun tidak khawatir jika Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu merampas kembali pedang itu! Dan dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannya pun, mereka berdua yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan Sim Houw, apa lagi di situ ada dua puluh orang lebih anak buah mereka.

"Suci...!" Bi Lan berseru heran. "Engkau di sini...?" Dan alisnya berkerut ketika ia melihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ.

Bi-kwi tersenyum mengejek. "Aha, sumoi-ku yang manis. Kau kira aku begitu bodoh, membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga? Kiranya dia malah telah memikat hatimu sehingga engkau sudah lupa akan tugasmu merampas pusaka itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai berpacaran..."

"Bi-kwi, tutup mulutmu yang kotor!" Sim Houw membentak marah.

"Ha-ha-ha, siapa yang kotor? Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari Pendekar Suling Naga, ha-ha!" Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak demikian akrab dengan Sim Houw.

"Bhok Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!" Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api. "Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa saja dengan kalian yang tak tahu malu!"

"Cukup, Siauw-kwi!" kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih dan suci. "Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari Sam Kwi? Engkau dahulu sudah berjanji akan membantuku sampai berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedudukan jagoan nomor satu di dunia persilatan!"

"Aku hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau memang kebetulan aku menyaksikan tentu aku membantumu. Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah berada di tanganku!"

Gadis itu menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw kepadanya pada waktu mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau sewaktu-waktu Bi-kwi muncul.

Melihat betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran. Akan tetapi Bi-kwi menjadi girang sekali.

"Bagus sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Lekas berikan Liong-siauw-kiam itu kepadaku, adikku!" Suaranya menjadi manis sekali, dan ia sudah mengulurkan tangan.

"Nanti dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini padamu, akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita. Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan penyerahan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?"

"Benar, dan mana pedang itu? Ke sinikan!" kata Bi-kwi tak sabar lagi.

"Katakan dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak terikat dengan janji apa-apa lagi!" kata Bi Lan sambil mencabut sarung pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya.

"Baik. Kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah, berikan Liong-siauw-kiam itu padaku."

Bi Lan menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tiada tanda apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa dia sudah boleh menyerahkan pedang itu kepada suci-nya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh diberikan kepada Bi-kwi.

"Nah, terimalah ini sebagai pembayaran janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah bebas dari ikatan apa pun dengan dirimu," katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan.

Dengan demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu dari tangan sumoi-nya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai, cara mengambil pedang itu dari tangan sumoi-nya dilakukan seperti orang merampas.

Disambarnya pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia cepat melompat ke belakang. Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoi-nya bertindak curang dan menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia tetap kalah cepat, atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh Sim Houw sudah meluncur ke depan.

"Sumoi, awas...!" teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan dia pun sudah meloncat ke depan.

Bi-kwi terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol!

Cepat Bi-kwi membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapa pun cepat reaksi gerakannya, tetap saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah terampas oleh Sim Houw.

"Bukkkk...!"

Pada saat itu, hantaman Bhok Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usaha membantu sumoi-nya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaganya dan memukul punggung Sim Houw.

Sim Houw maklum akan serangan ini, tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Maka, sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman pada punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sinkang-nya saja untuk melindungi punggung.

Terkena hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya. Dengan kemarahan meluap Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu.

Bhok Gun mempergunakan pedangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi meloncat berdiri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan dahsyatnya.

Dia mengelak dari sambaran pedang Bhok Gun, namun sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan bergulingan. Tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun berjatuhan akibat tertangkis oleh sinar pedang.

Setelah pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti, bahkan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi repot. Terjadilah perkelahian mati-matian.

Tanpa diperintah lagi, dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Melihat ini, sejak tadi Bi Lan sudah memperhatikan.

"Siauw-kwi, hayo kau bantu kami!" bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik seperguruannya itu.

Akan tetapi dengan tenang Bi Lan menjawab, "Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!" Berkata demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu!

"Kau pengkhianat...!" Bhok Gun berteriak marah ketika melihat betapa dua orang anak buahnya roboh terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.

"Bukan pengkhianat macam engkau yang curang!" balas Bi Lan dan gadis ini dengan enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada dua puluh lebih pengeroyok yang bukan merupakan tandingan yang berat baginya.

"Celaka! Kita tertipu...!" Tiba-tiba Bi-kwi berseru. "Mereka sudah merencanakan ini...!"

Menghadapi lawan seperti Sim Houw, walau pun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil sedikit melirik ke arah sumoi-nya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan mengerikan. Ia menangkis dengan lengannya, akan tetapi ternyata ujung suling pedang itu berkelebat ke atas. Terdengar kain robek disusul jerit tertahan Bi-kwi yang terluka pada pundaknya!

Melihat betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun menjadi gugup dan dia pun berseru nyaring "Mari kita pergi...!"

Betapa mendongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasehat suheng-nya itu dan bersama Bhok Gun, ia pun meloncat dan melarikan diri, diikuti terpincang-pincang oleh dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling menopang kawan yang terluka. Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa terbahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga tersenyum, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua matanya.

Melihat kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya mengeluarkan darah. Ia cepat mendekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, ia pun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau mengganggu Sim Houw yang sedang semedhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu.

Tadi ia melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu ia pun melihat bahwa Sim Houw sengaja membiarkan punggungnya terpukul karena pemuda itu memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu serangan, dan ternyata usahanya itu pun berhasil dengan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukulan yang mengenai punggung itu, walau pun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai memuntahkan sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya.

Buktinya, dalam keadaan terluka tadi Sim Houw telah mampu mendesak dan melukai pundak Bi-kwi, biar pun suci-nya tadi mempergunakan Ilmu Cap-sha-kun dan Bhok Gun yang tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melarikan diri!

Sambil menunggui Sim Houw yang sedang mengobati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini mulai memperhatikan pria itu. Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang laki-laki, seorang jantan yang berwatak lemah lembut dan sederhana, tak pernah tinggi hati dan tidak suka berlagak walau pun jelas bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan namanya terkenal sebagai seorang pendekar sakti.

Seorang yang pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuat dirinya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak memiliki siapa pun di dunia ini, seperti dirinya.

Ah, mengapa ia mendadak saja termenung? Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang hanya akan membuatnya bersedih? Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak lama terlatih untuk mengatasi segala duka. Bahkan ketika ia menderita sakit keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis, kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya.

Ia pun sudah melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya dengan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja memperkosa dirinya. Budi kebaikan itu telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu.

Ia tidak akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap dirinya, biarlah perbuatan itu sebagai pembayar semua budi mereka terhadap dirinya sejak dia bertemu dengan mereka. Kemudian, dia pun tidak lagi berhutang budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam tadi. Soal dia tidak mampu mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali oleh Sim Houw, itu adalah masalah Bi-kwi sendiri dan dia tidak perlu mencampurinya.

Kini tinggal satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk membantunya. Ia percaya kepada pria ini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin, begitu besar percayanya kepada sahabat barunya ini, bahwa ia akan mampu mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk bisa dikembalikan kepada subo-nya di Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan mengunjungi suhu dan subo-nya itu di sana!

"Lan moi, kau sedang melamun apa?" tiba-tiba Bi Lan menoleh dan dia melihat Sim Houw sedang memandang kepadanya. Wajah Sim Houw sudah nampak segar, tanda bahwa pria itu sudah sehat kembali. "Kau tersenyum-senyum seorang diri."

"Sim-toako, bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuhkah?" Ia cepat menghampiri ketika Sim Houw bangkit berdiri.

Sim Houw meraba-raba dadanya dan mengangguk. "Pukulan orang itu amat kuat, hal yang sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun itu, cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian?"

"Benar, tetapi tak perlu kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok engkau dalam keadaan sudah terluka pun tidak mampu menang, malah mereka lari seperti dua ekor tikus dipotong ekornya."

Sim Houw tersenyum. Dia sudah sering mendengar orang mengambil perumpamaan ‘anjing dipukul’, akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya. "Adik Lan, apakah engkau pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melarikan diri?"

"Belum, akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus, potong ekornya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya karena ketakutan!"

Setelah keduanya ketawa, Sim Houw lalu bertanya, "Lan-moi, orang she Bhok itu murid siapakah? Biar pun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang Pek-bin Lo-sian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau pernah mendengar dari suci-mu siapa gurunya itu?"

Bi Lan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sim-toako, aku pun tidak pernah tahu atau mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu."

Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja, karena seperti yang pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang semakin akrab.

Biar pun ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Lan terhadap dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu menimbulkan kepercayaan baru dalam hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pendekar dan menentang kejahatan walau pun ia mengaku murid Sam Kwi.

Sebaliknya, Bi Lan semakin suka dan percaya kepada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan, Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata yang begitu lembut.

Dia merasa suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui mempunyai pengetahuan luas itu. Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sinkang, mengumpulkan hawa murni dengan cara yang benar. Ia yang hanya mendapat tuntunan selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi.

Sudah dua pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serangan air hujan.

Sim Houw ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Biar pun kuil itu sudah tua dan rusak, namun atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya, pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi Lan lari ke tempat itu.

Mereka akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapa pun pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup ketika berlari-larian tadi, tak mungkin dapat menghindar dari siraman air hujan. Namun keduanya merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil yang habis bermain di bawah siraman air hujan.

Berbahagialah orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu merupakan pertanda bahwa tubuh dan batinnya masih sehat. Sebaliknya, orang yang tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang lemah dan mereka yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah. Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang beruntung.

Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut.

Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering.

Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruang sebelah dalam, yang masih tertutup atap walau pun bocor di sana-sini.

Lantainya cukup bersih, oleh karena di tempat ini sering juga ada orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi kalau hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.

Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan kemudian membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan ia pun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga berganti pakaian, lalu mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.

"Kenapa kau tertawa?"

"Hi-hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?"

"Apa itu?"

"Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!"

Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian? Demikian pikirnya.

Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi ‘kehormatan’ sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya, kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri mau pun orang lain. Betapa sering kali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.

Sampai di jaman ini pun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian ‘sopan’ demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehormatan. Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi.

Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!


"Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan," kata Sim Houw. "Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana."

Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walau pun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, akan tetapi semakin menderita akibat menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.

Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya di dekat api unggun. "Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita."

"Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!" Bi Lan membantah. "Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam malam hujan begini?"

Sim Houw tersenyum. "Kau tunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi sebentar!" Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.

Bi Lan tak mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, lalu dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua buah panci itu dapat menampung air yang jernih.

Siapa tahu kalau-kalau nanti Sim-toako benar-benar bisa memperoleh bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih.

Tidak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang telah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya amat kotor terkena lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia lalu menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.

"Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan... ehhh, lekas kau tukar pakaian dulu, toako, kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!" kata Bi Lan dengan girang tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa.

Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang. Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari air hujan, dia melihat bahwa dengan menggunakan kedua tangannya, Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu menarik dan merobeknya begitu saja!

"Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memotong-motong dagingnya?"

"Aku tidak punya pisau..."

"Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan..."

"Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu."

"Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?"

Dia pun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar!

Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang telah dimasak sampai mendidih. Dan seperti biasa, perut kenyang mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.

"Kau tidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kau tidurlah."

"Dan kau, Sim-toako?"

"Aku sudah terbiasa beristirahat sambil duduk, dan aku juga perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku."

Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biar pun mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikit pun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan membayangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya. Maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar...


SELANJUTNYA SULING NAGA BAGIAN 09