Suling Naga Bagian 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING NAGA BAGIAN 07



Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, mencengkeram dan mempermainkan manusia bagaikan badai mempermainkan daun-daun kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya.

Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik dari pada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputus asaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.

Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.

Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanyalah keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang ingin memiliki dan ingin menguasai, itu bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu birahi.

Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung birahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walau pun cinta kasih bisa mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan birahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah.

Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, birahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik antara Im dengan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang maha agung, karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam semesta ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, birahi hanyalah merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati
.

Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya ia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi ia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu. Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah.

Biar pun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran pada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.

**********

Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang pernah dia alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja.

Pernah dia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja.

Diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanya kebengisan nafsu birahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita. Oleh karena itu ia kagum melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu.

Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng, satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka ia pun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu.

Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan ia pun duduk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.

Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurang ajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan.

Ilmu silatnya juga hebat, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, ia juga berwatak pendekar, gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang sangat baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu? Ia tidak tahu!

"Aku suka padanya...," demikian ia mengeluh.

Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, dan suka bersahabat dengannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah.

Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandalkan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka?

Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walau pun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat, suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta sudah tentu lebih mendalam lagi, bantahnya. Akhirnya ia menjadi bingung sendiri dengan perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.

Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu. Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui suci-nya dengan penuh ketekunan. Kalau tidak sayang kepadanya, tidak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau mempedulikan dirinya yang yatim piatu.

Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari ketiga orang suhu-nya, mereka berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan. Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhu-nya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana keadaannya sekarang andai kata dulu Sam Kwi berhasil memperkosanya, andai kata tidak ada suci-nya yang menolongnya.

Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, tetapi lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakinan akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi kedua oleh Sam Kwi. Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itu pun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng?

Benarkah pemuda itu mencintanya? Akan tetapi dia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena dia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, tetapi pengakuan cinta itu membuat dia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.

Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah semakin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perutnya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya.

Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan makan minum, ia pun ingin mengaso di dalam rumah, biar pun gubuk kecil sekali pun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.

Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hatinya girang melihat dari jauh nampak beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama. Tentu sebuah dusun kecil, pikirnya dan ia pun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah.

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada beberapa pasang mata selalu mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar sedang menantinya. Dengan tenang dia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah yang terbesar.

Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu adalah seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.

"Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan sekarang membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?"

Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kalau engkau suka, silakan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku."

Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biar pun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap. Tentu saja ia merasa heran sekali.

Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap baunya. Agaknya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.

"Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang. Ha-ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri. Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu."

"Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?"

"Ohh? Kau maksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi."

Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikit pun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang harum sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.

"Silakan duduk, nona, silakan makan. He-he-heh, sungguh girang hatiku mendapatkan seorang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini."

Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, lalu ia pun duduk di kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,

"Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekali pun untuk menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali."

"Heh-heh, mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki sebagai orang paling tidak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang tua renta seperti aku, bukan? Nah, kini terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!"

Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menolak desakan kakek itu? Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan ia pun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,

"Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja. Kalau engkau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon."

"Heh-heh-heh, engkau lucu sekali, nona," kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu. Akan tetapi, gadis itu tetap menghabiskan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.

"Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!" kata Bi Lan menolak.

Pada waktu Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetulan ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pandang matanya dan terkekeh seperti tadi.

"Silakan, silakan...," katanya.

Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam mempunyai kepandaian yang tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan ia pun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.

"Ihhhh...!" Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya.

Perlu diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun.

Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan potongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang kuat bukan main! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.

"Siapakah engkau?" bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap mata pun.

Kakek itu tersenyum lebar. Kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah putih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, serta mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya. Nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.

"Kau...! Keparat busuk!" Bi Lan sudah memaki, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki ini cepat-cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya.

Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan sapu tangannya. "Tenanglah, sumoi..."

"Cih! Aku bukan sumoi-mu!" Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak lalu berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.

“Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa engkau mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan suci-mu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiri pun makan..."

"Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!"

"Bi Lan, pertemuan sekali ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncang hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi-mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu..."

"Tutup mulutmu!" bentak Bi Lan.

Ia pun menendang kursi yang menghalang di depannya, kemudian melompat keluar dari ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berbahaya dan jahat ini.

Tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang! Sedangkan Bhok Gun juga mengejar ke luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu.

Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari dua puluh orang, semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.

"Bhok Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!"

Bhok Gun tersenyum. "Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang lekas kau serahkan pedang pusakamu itu kepadaku..."

“Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!" bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang.

Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang secara bersama sambil mengepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat lincah Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan.

Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu bagai dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur.

Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang amat ganas. Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sinkang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggota Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam!

Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak, "Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menyerang!"

Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para anggota Ang-i Mo-pang yang memang sudah amat gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan.

Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan. Sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.

Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang diinginkannya itu, Bhok Gun memandang heran. Ia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pakaian itu.

"Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu? Hayo keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!" katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.

"Manusia jahanam! Tanpa senjata pun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!" Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya.

Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat ke samping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan bahkan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya.

Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal, debu pembius yang berada di sapu tangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biar pun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk menjaga diri dari serangan racun.

Karena terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat, dia terkejut dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun!

Guru pemuda ini juga seorang ahli racun, maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun dari Bi Lan itu dan diam-diam dia pun terheran-heran mengapa gadis ini dapat memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari ilmu pukulan beracun?

Bi Lan juga merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, suci-nya yang lihai itu. Kalau suci-nya muncul dan dia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri, apa lagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya. Akan tetapi, suci-nya tidak juga muncul, maka jalan terbaik adalah cepat-cepat merobohkan dulu Bhok Gun.

Kalau tidak dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun mau pun suci-nya. Maka ia pun cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suci-nya atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun.

Akan tetapi Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya suci-nya juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapa pun. Dugaannya benar karena Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya sehingga pemuda itu terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan.

Bi Lan memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut!

Biar pun senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke dua, "Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi musuh!"

Terdengar teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggota Ang-i Mo-pang.

Maka ia pun mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan sambaran tangan, dia pun berhasil merobohkan seorang anggota Ang-i Mo-pang dan merampas pedangnya. Dengan pedang inilah ia kemudian menghadapi pengeroyokan lima orang perwira dan Bhok Gun!

Gadis ini memang hebat bukan main. Semangatnya besar, mempunyai keberanian dan ketenangan sehingga biar pun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja dia dapat mengamuk bagaikan seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut.

Terdengar suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para pengeroyoknya. Lewat tiga puluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang dengan sangat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi Lan.

"Krakkk...!" Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang menyerang dengan pedang mereka.

"Haiiiittt!"

Bi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan bagai terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang dipelajarinya dari Kao Kok Cu! Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah menggunakan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.

“Desss...!"

Pinggang Bi Lan terkena tendangan hingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling! Sementara itu, empat orang perwira yang roboh sudah bangkit kembali dan Bi Lan terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun. Pinggangnya terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan tidak bergerak seperti patung, hanya melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini menjadi marah sekali.

Lima orang perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk mengundang Bhok Gun dan anggota Ang-i Mo-pang supaya memperkuat kedudukan guru itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!

Kini bukan hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan tetapi di bagian luar pun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang.

Melihat ini, Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apa lagi tendangan Bhok Gun masih terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi menyerah!

Pada saat itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak, "Sekumpulan laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, sungguh amat memalukan. Hanya laki-laki berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!"

Bhok Gun terkejut dan cepat memandang. Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya. Kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk menolongnya!

Beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.

"Keparat, berani kau mencampuri urusan kami?" Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala.

Serangannya ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka dia pun memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.

"Dukkk...!"

Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya, yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati).

Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu. Sebetulnya, kalau diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya.

Melihat pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan kemudian mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya, yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan tangan Bi Lan menjadi gentar dan menjauhkan diri.

"Nona, mari kita lekas pergi!" Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua orang pengepung dengan tendangan-tendangannya.

Kegagahan Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para pengepung menjadi ketakutan. Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa kewalahan untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi besar yang demikian gagah perkasa. Karena merasa gentar, mereka tidak banyak bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari pekarangan itu.

Bhok Gun serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu walau pun dia dibantu oleh para perwira dah anggota Ang-i Mo-pang, dan ke dua karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, dia pun tidak terlalu bernafsu untuk melakukan pengejaran.

Dia memang jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan. Terutama sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk ditundukkan, maka justru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan baginya. Andai kata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya, bahkan nampak benci kepadanya.

Sementara itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama permuda tinggi besar itu. Tidak tahu siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan jalan kecil yang menuju ke utara itu saja. Akan tetapi setelah mereka merasa yakin bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran, terpaksa mereka mengurangi kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang dan sepotong bulan di langit saja yang menurunkan sinar penerangan remang-remang.

Keduanya tidak banyak cakap, hanya melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan berhenti. Pemuda itu pun ikut berhenti. Mereka kini berada di sebuah jalan kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan rumah-rumah mereka. Sunyi sepi dan tidak ada sedikit pun angin sehingga batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak ada yang bergerak. Tak ada apa pun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.

"Engkau siapakah?" Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak gagu.

"Namaku Cu Kun Tek," jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang walau pun hanya nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya. Garis-garis dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup.

Jawaban yang singkat ini pun membuat Bi Lan mengerutkan alis. Sikap pemuda yang pendiam ini seakan-akan menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah. Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?

"Kenapa kau membantuku?" Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya, seperti orang menuntut.

"Engkau seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu." Jawaban ini pun singkat saja.

Suasana menjadi kaku. Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!

"Apa kau tidak tanya namaku?"

Barulah pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa canggung dan malu-malu. "Ehhh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat dan sanggup menghadapi pengeroyokan banyak orang lihai."

"Namaku Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali. Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!" kata Bi Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.

"Tidak mungkin!" Kun Tek membantah. "Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh bahwa aku jauh lebih tua."

"Hemm, kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kau pertaruhkan."

"Aku tidak pernah berjudi selama hidupku!" Kun Tek membantah, mendongkol juga melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.

"Memang tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir usiamu paling banyak lima belas tahun, jadi aku masih lebih tua dua tahun." Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena hatinya merasa dongkol, tidak benar-benar mengira usia pemuda itu lima belas tahun.

Cu Kun Tek balas menggoda. "Aha, kiranya baru tujuh belas tahun! Masih amat muda, hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilan belas tahun."

Keduanya berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan tidak enaknya. "Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?"

"Bukan anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!" Kun Tek berkata cepat.

"Baiklah, seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, walau pun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!"

Dengan marah Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.

"Aduhhhh...!"

Dengan sekali loncatan saja Kun Tek sudah berada di tepi lubang dan mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.

"Ah, kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang sakit? Kakimu? Mungkin terkilir, mana kubetulkan letak ototnya kembali."

Tanpa banyak cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali mengenai penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biar pun pijatan-pijatan itu menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itu pun menghilang.

"Bagaimana? Sudah enakan?"

Bi Lan hanya mengangguk.

"Wah, pakaianmu kotor semua. Mari kita mencari sumber air bersih di mana kau dapat mencuci tubuhmu dan pakaianmu. Lain kali yang hati-hatilah, di tempat gelap yang tidak dikenal lagi."

Bi Lan bangkit berdiri dibantu oleh Kun Tek yang memegang lengannya. "Engkau sih!" Bi Lan mengomel. "Sikapmu tadi kaku dan tidak bersahabat, menimbulkan rasa dongkol dalam hatiku."

"Tidak bersahabat? Aih, bukankah aku telah membantumu? Maafkanlah, sesungguhnya aku bersikap kaku karena aku ingin bersikap sopan kepadamu..."

Meski mendongkol karena pakaian dan tubuhnya kotor penuh lumpur, Bi Lan terheran-heran mendengar pengakuan itu.

"Bersikap sopan?" Ia mendesak, menuntut penjelasan.

Kun Tek menundukkan mukanya, merasa canggung dan malu, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah gadis itu dalam keremangan malam. "Kita baru saja berkenalan, kalau aku bersikap terlalu ramah, bukankah engkau akan menyangka yang bukan-bukan, bahwa aku seorang laki-laki yang ceriwis dan kurang ajar. Aku terus terang saja, aku belum pernah berkawan dengan seorang gadis, dan menurut ibuku, sebagai seorang pemuda aku tidak boleh bersikap... ehh, menjilat terhadap wanita..."

Bi Lan ingin tertawa keras, akan tetapi ditahannya dan ia hanya tersenyum. Pemuda ini sungguh seorang yang berwatak aneh dan jujur! "Siapa ingin kau menjilat dan bermuka-muka? Aku malah akan benci sekali jika engkau bermuka-muka dan bermanis di mulut saja."

Cu Kun Tek merasa betapa jantungnya berdebar girang. Gadis ini sekarang tidak marah lagi!

"Adik Bi Lan, mari kita mencari air bersih untuk engkau mencuci tubuh dan pakaianmu." Dia mendahului mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan sebuah anak sungai yang cukup bersih.

Karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang remang-remang, Bi Lan tidak merasa canggung atau malu untuk membersihkan tubuhnya, lalu menanggalkan semua pakaiannya yang sudah berlumuran lumpur itu dan berganti dengan bakaian bersih. Untung pakaiannya yang berada di dalam buntalan tidak terkena lumpur. Selama ia membersihkan dirinya, Kun Tek menjauhkan diri sampai tidak dapat melihat gadis itu dalam keremangan malam. Dia membuat api unggun agak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon.

Tak lama kemudian, Bi Lan datang mendekat dan duduk dekat api unggun. Rambutnya masih basah, tapi pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih, sedangkan yang kotor sudah dicucinya, kini dibentangkannya di atas cabang pohon. Mukanya nampak segar kemerahan tertimpa cahaya api unggun dan diam-diam Kun Tek merasa kagum bukan main. Gadis ini memang manis dan gagah perkasa, juga amat sederhana, wajar dan lugu dalam gerak-geriknya.

"Dingin...?" tanya Kun Tek karena melihat betapa kini gadis itu berusaha mengeringkan rambutnya yang masih basah. Hawa udara malam itu memang agak dingin.

Bi Lan mengangguk. "Tadi memang airnya dingin sekali. Akan tetapi sekarang tidak lagi, hangat dan nyaman dekat api unggun ini."

Mereka berdiam diri agak lama, kadang-kadang saling pandang saja sekilas. Sikap Kun Tek yang canggung dan malu-malu, yang tidak berani menentang pandang mata gadis itu terlalu lama, menularkan perasaan canggung pada hati gadis itu.

Biasanya Bi Lan tidak pernah merasa canggung berhadapan dengan siapa pun. Ia polos dan wajar. Akan tetapi melihat betapa pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini agaknya malu-malu kepadanya, hal itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dan dia pun menjadi malu-malu pula.

Ia sendiri merasa heran mengapa ada perasaan seperti ini terhadap pemuda yang baru dikenalnya ini, seolah-olah pemuda ini merupakan suatu keistimewaan. Padahal, apa bedanya pemuda ini dengan orang-orang lain? Mungkin karena sikap Kun Tek itulah! Dan ia pun tidak mengerti mengapa seorang pemuda gagah perkasa seperti ini bersikap demikian pemalu dan canggung terhadapnya.
Tiba-tiba pendengaran Bi Lan yang sangat tajam terlatih itu mendengar sesuatu yang membuatnya menahan senyum. Heran, mengapa dia pun menjadi suka merahasiakan hal yang demikian lucunya? Ia telah mendengar bunyi keruyuk dari perut pemuda itu! Biasanya, menghadapi peristiwa lucu seperti ini, dia tentu akan tertawa sejadi-jadinya dan tidak merahasiakan kegelian hatinya.

Dan suara keruyuk perut pemuda itu mengingatkannya bahwa ia pun sebenarnya sudah lapar sekali, apa lagi karena tadi berkelahi sehingga ia kehabisan tenaga, juga bekas tendangan Bhok Gun pada pinggangnya masih terasa nyeri. Ketika ia membersihkan tubuhnya tadi, ia meraba pinggangnya dan ternyata kulit di bagian itu matang biru dan memar.

"Aih, perutku lapar sekali," katanya sambil menekan senyum di hatinya. "Kau...?"

Pemuda itu mengangguk. "Aku juga lapar."

"Dan pinggangku terasa nyeri, tadi kena tendang si jahanam Bhok Gun."

"Bhok Gun? Laki-laki yang lihai itu? Orang apakah dia dan mengapa kau tadi dikeroyok? Siapa pula engkau ini, adik Bi Lan? Dari perguruan mana dan dari mana hendak ke mana?"

Kini Bi Lan memperoleh kesempatan untuk tertawa, melepas semua kegelian hati tanpa khawatir menyinggung seperti kalau ia mentertawakan keruyuk perut pemuda itu.

"Hi-hi-hik, kau menghujankan pertanyaan seperti itu. Kalau kujawab semua, tentu akan membuat perutku semakin lapar saja."

"Ohh, aku masih mempunyai dua buah bakpao yang kubeli siang tadi." Pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memang dia mempunyai dua buah bakpao yang cukup besar, yang dibungkus dalam kertas putih, "Sayang bakpao ini sudah dingin, akan tetapi masih baik." Dia menyerahkan bakpao itu kepada Bi Lan.

Tanpa malu-malu lagi Bi Lan mengambil sebuah dan makan dengan lahap. Bakpao itu memang enak, lunak, dan dagingnya gurih. Kun Tek memandang dengan girang melihat betapa gadis itu makan demikian enaknya sehingga dia tidak tega untuk makan bakpao yang ke dua. Setelah bakpao itu habis dimakan Bi Lan, Kun Tek menyerahkan lagi yang ke dua.

"Nih, makanlah ini, nona. Engkau lapar sekali."

Bi Lan memandang bakpao itu dengan mata masih ingin, karena selain bakpao itu enak, juga ia lapar sekali, belum cukup hanya oleh sebuah bakpao tadi. Akan tetapi ia teringat akan berkeruyuknya perut Kun Tek, maka ia menggeleng kepala.

"Tidak, engkau sendiri juga lapar. Makanlah yang itu."

"Aku dapat bertahan sampai besok, adik Bi Lan..."

Bi Lan tertawa dan pemuda itu memandang khawatir. Apa lagi yang kini ditertawakan, pikirnya.

"Hi-hik, Cu Kun Tek, engkau ini memang orang aneh. Perut lapar berpura-pura lagi, dan bagaimana pula itu caramu memanggil aku. Sebentar adik, sebentar nona. Mengapa susah-susah amat sih? Namaku Bi Lan, panggil saja namaku seperti aku memanggil namamu Kun Tek. Kan lebih santai?"

Kun Tek tersenyum dan baru sekali ini Bi Lan melihat senyumnya. Wajah yang gagah itu tidak berapa menyeramkan kalau tersenyum. Memang tampan walau pun kulit muka itu agak gelap kehitaman.

"Maaf, aku memang canggung menghadapi wanita. Belum pernah punya teman wanita sih. Baiklah, aku memanggilmu Bi Lan saja. Nih, kau makan saja ini, Bi Lan. Aku sudah sering kali menahan lapar, kalau sampai besok saja masih kuat."

"Tidak, sedikitnya engkau harus makan sebagian, baru aku mau. Aku malu kalau harus menjadi orang yang pelahap dan tamak. Aku tadi mendengar perutmu berkeruyuk, tak perlu berpura-pura lagi."

Terpaksa Kun Tek mengalah dan membagi bakpao itu menjadi dua. Mereka lalu makan bakpao dan agaknya bukit es yang menghalang di antara mereka kini sudah mencair sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai tanpa merasa sungkan-sungkan lagi seperti tadi.

"Bi Lan, sekarang ceritakanlah tentang dirimu, tentang peristiwa pengeroyokan tadi."

"Nanti dulu," bantah Bi Lan, kini merasa nyaman setelah perutnya kemasukan bakpao satu setengah potong dan kehangatan api unggun sungguh nikmat rasanya. "Aku ingin mendengar lebih dulu tentang kau, terutama sekali tentang ibumu yang menasehatkan bahwa engkau tidak boleh bermuka-muka kepada wanita. Siapakah ayah ibumu dan siapa gurumu?"

Kun Tek menarik napas panjang. Biasanya dia tidak suka memperkenalkan namanya karena menurut ayahnya, nama besar di dunia kang-ouw hanya memancing datangnya banyak musuh dan lawan saja. Karena itulah dalam peristiwa di dusun itu pun dia tidak mau memperkenalkan nama.

Sebagai putera tunggal majikan Lembah Naga Siluman, tentu saja ada sedikit perasaan manja dalam hati Kun Tek, akibat kemanjaan yang diberikan ibunya, dan ada pula sifat sedikit tinggi hati. Akan tetapi dia sendiri merasa heran kenapa kini berhadapan dengan Bi Lan, dia menjadi lembut dan mau saja mengalah.

"Guruku adalah ayah ibuku sendiri," dia mulai bercerita. "Ayahku bernama Cu Kang Bu dan tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Aku dalam perjalanan merantau dan kebetulan sekali aku melihat peristiwa di dusun itu dan lalu turun tangan membantumu melihat kau dikeroyok begitu banyak orang lihai. Nah, sekarang giliranmu bercerita."

"Wah, sedikit amat kau cerita tentang dirimu!"

"Habis, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan, Bi Lan."

Orang ini sungguh tidak ingin menonjolkan diri, pikir Bi Lan yang merasa semakin suka kepada Kun Tek.

"Dan perbuatanmu di dusun ketika menolong sepasang pengantin dusun itu kau anggap tidak patut diceritakan?"

Kun Tek membelalakkan matanya memandang gadis itu. "Ehhh? Kau juga tahu tentang peristiwa itu?"

"Tentu saja, dari awal sampai akhir. Sejak kau memasuki ruangan itu, menghajar Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya, sampai engkau meninggalkan ruangan tanpa memperkenalkan diri." Bi Lan tersenyum. "Engkau sungguh gagah, Kun Tek."

Kun Tek menundukkan mukanya, agak tersipu. "Ahhh, perbuatan seperti itu kan sudah seharusnya kita lakukan? Kalau tidak kita lakukan, lalu untuk apa kita bersusah payah mempelajari ilmu dan memiliki kepandaian silat? Nah, aku siap mendengarkan ceritamu, Bi Lan."

"Pertama-tama, aku sudah tidak punya ayah ibu lagi."

"Aduh kasihan! Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Mereka telah meninggal dunia, tewas terbunuh orang-orang jahat ketika aku masih kecil."

"Ahhh! Siapakah orang-orang jahat itu, Bi Lan? Aku akan membantumu menghukum mereka itu!"

Bi Lan tersenyum. "Ehh, bagaimana engkau begitu sembrono, Kun Tek? Bagaimana kalau keluargaku yang jahat, lalu mereka yang membunuh ayah ibuku itu yang benar dan baik?"

"Mana mungkin. Bukankah engkau tadi yang mengatakan sendiri bahwa ayah ibumu dibunuh orang jahat?"

"Itu kan aku yang mengatakan, sebab mereka telah membunuh orang tuaku. Siapa tahu mereka juga mengatakan bahwa justru kami orang jahatnya. Bagaimana engkau berani mempercayai aku begitu saja?"

Cu Kun Tek tersenyum. "Memang benar kata-katamu, Bi Lan. Semua orang, baik atau buruk, tentu akan mengatakan jahat kepada musuhnya. Akan tetapi aku kan sudah berhadapan denganmu dan aku yakin bahwa orang seperti engkau ini tidak mungkin jahat."

"Kenapa engkau begitu yakin?"

Kun Tek menatap wajah gadis itu. "Karena sikapmu, karena wajahmu, karena matamu dan mulutmu... ahhh, sudahlah, Bi Lan, kau lanjutkan ceritamu. Mengapa orang tuamu dibunuh orang jahat?"

"Pada waktu aku masih kecil, saat berusia sepuluh tahun, bersama ayah ibu aku pergi meninggalkan kampung halaman kami di Yunan Selatan karena di sana dilanda perang. Di tengah jalan, kami dihadang sepasukan orang Birma. Ayah ibu terbunuh oleh mereka dan aku sendiri ditolong oleh tiga orang sakti yang kemudian mengambil aku sebagai murid dan mereka bertiga telah membasmi semua orang yang telah membunuh orang tuaku itu."

"Ahh, syukurlah kalau musuh-musuhmu sudah terbasmi. Siapakah tiga orang sakti yang menjadi gurumu itu?"

"Mereka berjuluk Sam Kwi."

Kun Tek tidak menyembunyikan perasaan kagetnya mendengar nama itu. Dia pernah mendengar dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kaum sesat di dunia persilatan, dan di antaranya yang menonjol adalah nama Sam Kwi.

"Kau… kau maksudkan... Sam Kwi... para datuk kaum sesat itu?" tanyanya ragu sambil memandang wajah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengangguk. "Benar sekali. Nah, engkau tentu mulai meragukan pendapatmu bahwa aku orang-orang baik sekarang."

Kun Tek menggeleng kepala. "Aku tidak percaya! Sungguh tidak mungkin seorang gadis seperti engkau ini menjadi murid tiga orang datuk sesat yang jahat." Dia berhenti sebentar tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, lalu melanjutkan, "Seorang gadis yang berwatak gagah dan memiliki sifat baik seperti engkau tentu tidak akan mau menjadi murid datuk-datuk sesat yang kabarnya amat jahat seperti iblis itu. Aku tidak percaya."

Bi Lan tersenyum. "Kun Tek, coba bayangkan ini. Andai kata engkau sendiri menjadi aku, dalam usia sepuluh tahun, melihat ayah ibu dibunuh orang-orang jahat, kemudian engkau sendiri diselamatkan oleh tiga orang datuk itu, yang juga membalaskan sakit hatimu dengan membasmi semua penjahat itu, dan lalu tiga orang itu memeliharamu, mendidikmu dengan ilmu silat, apakah engkau akan menolaknya?" Dia memandang tajam. "Boleh jadi Sam Kwi amat jahat terhadap orang-orang lain, akan tetapi terhadap diriku mereka itu baik sekali." Bi Lan masih merasa berhutang budi kepada tiga orang kakek itu, maka kepada siapa pun juga ia tidak sudi menceritakan usaha mereka untuk memperkosanya.

Kun Tek mengangguk-angguk, dapat membayangkan keadaan gadis itu dan dia pun tak dapat menyalahkannya, bahkan kini dapat mengerti mengapa seorang gadis seperti Bi Lan ini menjadi murid Sam Kwi yang terkenal jahat. Makin heranlah hatinya. Kalau Bi Lan menjadi murid tiga orang datuk sesat, kenapa gadis ini tidak mengikuti jejak guru-gurunya dan bahkan menjadi seorang gadis yang berwatak gagah dan begini baik budi?

"Aku mengerti sekarang. Bi Lan dan maafkan kata-kataku tadi. Dan sekarang, ceritakan kenapa engkau dikeroyok oleh orang-orang lihai itu? Siapakah mereka?"

"Lelaki yang lihai sekali itu, yang telah menendang pinggangku, masih terhitung seorang suheng-ku sendiri..."

"Ehhh...?" Kembali Kun Tek terkejut, akan tetapi dia segera teringat siapa adanya guru-guru gadis ini, maka dia pun tidak begitu heran lagi. "Siapa dia?"

"Namanya Bhok Gun, dia cucu murid mendiang Pek-bin Lo-Sian, paman guru dari Sam Kwi. Dia memang memusuhiku dan tadi dia ingin menangkapku, dibantu oleh para anak buahnya, yaitu para anggota Ang-i Mo-pang, dan dibantu lagi oleh para perwira yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana datangnya."

"Sungguh mengherankan keadaanmu, Bi Lan. Engkau, seorang gadis perkasa yang baik budi, bukan saja menjadi murid orang-orang seperti Sam Kwi, akan tetapi juga dimusuhi oleh seorang suheng sendiri! Kenapa dia memusuhimu?"

"Karena dia cinta padaku."

"Wah? Apa lagi ini? Dia cinta padamu maka dia memusuhimu? Aku tidak mengerti."

"Dia cinta padaku, itu menurut pengakuannya dan dia hendak memaksa aku menjadi isterinya, sekutunya untuk bekerja sama membantu seorang pembesar di kota raja. Aku menolak dan dia lalu memusuhiku."

"Hemmm, dan itu dia katakan mencinta? Mana ada cinta macam itu?" Kun Tek berseru marah.

Melihat kemarahan pemuda itu, Bi Lan tersenyum dan tertarik untuk membicarakan soal cinta yang juga tidak dimengertinya itu dengan pemuda ini. "Kun Tek, engkau lebih tua dariku dua tahun, tentu engkau lebih berpengalaman dan tahu tentang cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana seharusnya cinta itu?"

Kun Tek sering kali bicara tentang kehidupan, tentang cinta dan sebagainya dengan ibunya. Sekarang dia mengerutkan alisnya, sikapnya seperti seorang guru besar sedang memikirkan persoalan yang amat rumit, kemudian berkata, "Cinta itu sesuatu yang suci, mencinta berarti tidak akan memusuhi orang yang dicinta. Mencinta orang berarti ingin melihat yang dicintanya itu hidup berbahagia."

"Bagaimana kalau orang yang dicinta tidak membalas?" Dara ini teringat akan Hong Beng yang mengaku cinta kepadanya dan yang tidak dibalasnya. "Apakah dia tidak akan merasa kecewa dan marah seperti halnya Bhok Gun itu?"

"Hemm, tentu saja kecewa dan patah hati, akan tetapi tidak marah dan tidak membenci orang yang menolak cintanya. Mungkin yang ada hanya duka dan kecewa. Kalau dia marah-marah lalu memusuhi orang yang dicintanya seperti yang dilakukan Bhok Gun itu, jelas dia itu tidak mencinta dan dia jahat sekali!"

Bi Lan menahan ketawanya melihat betapa pemuda itu menarik muka seperti seorang guru besar memberi kuliah. "Dan bagaimana kalau engkau sendiri yang jatuh cinta? Bagaimana kalau engkau mencinta orang? Apa yang akan kau lakukan kalau orang yang kau cinta itu tidak membalas cintamu, Kun Tek?"

"Aku tidak akan jatuh cinta!" Jawab Kun Tek dengan singkat dan tegas, dan mukanya berubah merah.

"Begitukah? Akan tetapi seandainya engkau yang jatuh cinta, lalu bagaimana sikapmu terhadap orang yang kau cinta itu kalau ia tidak membalas cintamu?"

"Aku akan tetap mencintanya, melindunginya dengan taruhan nyawa, aku ingin melihat ia berbahagia."

"Biar pun ia tidak menjadi isterimu dan biar pun ia hidup di samping laki-laki lain?"

"Ya..."

"Dan engkau akan merana selama hidupmu, kecewa dan putus asa?"

"Tidak, aku...aku… ahhh, aku tidak akan jatuh cinta! Jatuh cinta itu suatu kebodohan!"

"Wah, ini sesuatu yang baru bagiku!" Bi Lan berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ternyata Kun Tek ialah orang yang penuh kejutan dalam membicarakan soal cinta. "Jatuh cinta itu suatu kebodohan? Mengapa?"

"Karena jatuh cinta itu sama dengan mengundang datangnya kesengsaraan dan duka nestapa. Sekali orang jatuh cinta, berarti ia telah terperosok dengan sebelah kakinya ke dalam jurang yang akan membuat hidupnya merana."

Bi Lan sengaja menarik mukanya seperti orang merasa ngeri. "Ihhh! Jadi, menurut pendapatmu, tidak ada orang berbahagia karena mencinta dan dicinta?"

Kun Tek teringat akan keadaan ayah ibunya. Ia tahu bahwa dalam banyak hal, ayahnya selalu mengalah kepada ibunya, dan ayahnya telah banyak menyimpan kedongkolan hatinya karena kekerasan hati dan kerewelan ibunya, dan semua itu dilakukan ayahnya karena dia mencinta isterinya. Dia menggeleng kepala.

"Tidak ada! Cinta mendatangkan ikatan yang membuat orang selalu menderita duka. Dan kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya sekali waktu akan teruji dan runtuh, dan sang pria yang akan menderita patah hati karena cinta, tenggelam dalam duka."

Bi Lan merasa tersinggung dan menahan kemarahannya. Dia masih tersenyum ketika bertanya, "Jadi, menurut pendapatmu, semua wanita itu tidak setia dan oleh karenanya engkau tidak mau jatuh cinta?"

"Begitulah. Aku hanya akan jatuh cinta kalau ada wanita yang setia sampai mati, yang lemah-lembut dan baik budinya, cantik jelita lahir dan batin, yang mencinta suaminya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, yang selalu menyenangkan hati suaminya, tidak ada cacat celanya..."

"Perempuan begitu bukan manusia! Tetapi harus dipesan langsung ke surga, di antara bidadari dan malaikat! Pendapat seperti itu hanyalah pendapat orang gila yang tolol, sombong dan keras kepala."

Melihat Bi Lan sudah bangkit berdiri, membanting kaki dan mukanya membayangkan kemarahan itu, Kun Tek terkejut dan terheran-heran. "Kau... kau marah-marah, Bi Lan? Kenapa?"

Bi Lan segera teringat akan keadaan dirinya dan dia sadar kembali. Kenapa dia harus marah-marah? Biarlah pemuda ini berpendapat apa yang disukainya, biar pun pendapat itu tolol dan merendahkan kaum wanita. Hemm, ia ingin sekali membuat pemuda itu kecelik, membuat pemuda itu tersandung pendapatnya sendiri dan bertekuk lutut! Ia pun menarik napas panjang dan duduk kembali.

"Maaf, aku lupa diri... ahhh, aku sudah mengantuk, aku ingin tidur."

"Tidurlah, beristirahatlah, biar aku yang berjaga di sini."

Bi Lan kemudian merebahkan dirinya miring di dekat api unggun, berbantal buntalan pakaiannya. Melihat ini, Kun Tek cepat membuka buntalan pakaiannya. "Aku, membawa selimut tipis, kau pakailah ini," katanya sambil menyerahkan selimut itu.

"Tidak, aku tidak perlu selimut. Api itu sudah cukup hangat," kata Bi Lan. Suaranya masih ketus karena hatinya masih panas. Kalau dia memaksa diri untuk tidur, hal itu hanyalah untuk mencegah agar dia jangan sampai lupa diri dan marah-marah lagi.

"Terserah kepadamu, Bi Lan," berkata Kun Tek yang duduk kembali termenung sambil memandang api unggun, menambahkan kayu bakar yang tadi dikumpulkannya.

Ia melirik ke arah tubuh Bi Lan. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Oleh karena rebah miring, nampak jelas lekuk lengkung tubuh gadis itu yang bagaikan setangkai bunga yang sudah mulai mekar. Rambutnya yang tadinya dibiarkan terurai menutupi sebagian lehernya, dan di antara celah-celah gumpalan rambut nampak kulit leher yang mulus dan kuning lembut, bagai mengeluarkan kehangatan, seperti mengeluarkan kehangatan yang lebih nyaman dari pada kehangatan api unggun. Rambut itu terus menyelimuti pundak dan punggung.

Tiba-tiba Bi Lan membuka mata dan cepat-cepat Kun Tek memutar leher mengalihkan pandangannya kembali kepada api unggun. Dia tidak mau gadis itu melihatnya sedang memperhatikan.

"Kun Tek, benarkah engkau takkan jatuh cinta kecuali kalau ada gadis... yang... bagai mana tadi? Gadis yang setia sampai mati, yang lemah lembut dan baik budi, yang cantik lahir batin, yang mencinta dengan tubuh dan nyawa. Bagaimana kalau ada gadis seperti itu turun dari kahyangan dan menjumpaimu? Engkau akan jatuh cinta kepadanya?”

"Mungkin ya, mungkin juga tidak."

"Lho! Kok mungkin juga tidak? Bagaimana pula ini?" Bi Lan kembali bangkit duduk saking herannya mendengar jawaban itu. Kantuknya hilang seketika dan ia telah duduk memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

"Tergantung cocok atau tidaknya seleraku."

Hampir saja Bi Lan memukul pemuda itu, akan tetapi ia masih menahan perasaannya dan berseru, "Engkau memang orang gi..." ia masih sempat menahan makiannya. Pemuda ini baru saja dikenalnya, belum ada satu hari, tidak baik kalau ia mengeluarkan kemarahannya secara terbuka.

"Apa...?"

"Orang aneh sekali, belum pernah aku jumpa orang seaneh kau. Hemm, sekarang aku mau tidur!" Dan dengan keras Bi Lan membanting tubuhnya kembali di atas tanah berumput, membalikkan tubuh, miring membelakangi pemuda itu dan selanjutnya tidak mau menengok lagi. Begitu mengkal rasa hatinya, gemas dan dongkol tapi ditekan dan ditahannya.

Sementara itu, Kun Tek duduk termenung memandang api. Hati dan pikirannya penuh dengan diri Bi Lan. Gadis yang aneh sekali, pikirnya, aneh dan menarik. Baru saja mengenalnya sudah berani memaki-makinya. Gila, tolol, sombong dan keras kepala!

Kalau saja dia dimaki seperti itu oleh orang lain, tanpa sebab tertentu, agaknya dia tidak akan dapat menahan diri dan akan menghajar orang itu. Akan tetapi sungguh aneh. Kenapa dia dimaki-maki oleh gadis ini dan sama sekali tidak ada rasa marah di hatinya, melainkan bingung dan menyesal? Apakah karena mendengar akan nasib gadis ini yang ayah bundanya telah mati terbunuh orang ketika masih kecil membuat dia merasa kasihan dan mengalah?

Sementara itu, Bi Lan yang tidur miring membelakangi pemuda itu, merasa mendongkol sekali. Biar pun Kun Tek tidak menujukan pandangannya tentang perempuan itu kepada dirinya, akan tetapi ia merasa mendongkol dan seperti mewakili semua perempuan yang dipandang rendah oleh Kun Tek. Sombongnya!

Ia pun merasa penasaran. Hampir semua pria yang dijumpainya, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan suka, akan tetapi Kun Tek bersikap seolah-olah dia hanya terbuat dari angin saja! Dianggap angin lalu! Tidak memperlihatkan kemarahan, tidak pernah memuji, apa lagi kelihatan tertarik. Bahkan jelas memandang rendah kepadanya ketika mengatakan bahwa dia takkan jatuh cinta kecuali kepada perempuan khayalnya tadi. Tanpa cacat cela! Serba sempurna! Phuahhh! Dengan hati penuh kemurungan dan kesebalan, akhirnya Bi Lan tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidur pulas.

**********

Rasa dongkol itu agaknya tidak juga terhapus oleh tidurnya. Begitu ia terbangun dari tidurnya, Bi Lan sudah teringat lagi dan merasa tak senang dan dongkol. Akan tetapi, pada saat ia bangkit duduk dan melihat kain yang menyelimuti tubuhnya, rasa panas dongkol itu menjadi agak dingin. Semalam Kun Tek telah menyelimuti tubuhnya!

Ia menoleh ke kanan kiri. Pemuda itu tak nampak, akan tetapi buntalan pakaiannya masih berada di situ. Sinar matahari pagi telah mengusir kegelapan malam dan api unggun sudah padam, baru saja padam karena masih berasap, agaknya padam setelah ditinggalkan pemuda itu.

Bi Lan menggeliat, seperti seekor kucing betina baru bangun dari tidurnya. Dan ia pun menyeringai karena ketika ia menggeliat, terasa pinggangnya masih nyeri. Keparat Bhok Gun, dia memaki dalam hatinya. Dilipatnya kain selimut itu dan diletakkannya di atas buntalan pakaian Kun Tek, lalu ia duduk melamun.

Pemuda macam itu yang demikian sombong, perlu apa didekati, pikirnya. Menurut hatinya yang panas, ia ingin pergi sekarang juga tanpa pamit. Akan tetapi, pikirannya mengatakan lain. Terlalu enak bagi Kun Tek kalau dibiarkan mengembang kempiskan hidungnya dengan sombong, melanjutkan pendapatnya yang memandang rendah kaum wanita. Pemuda seperti itu harus diberi pelajaran, harus dibuktikan bahwa pendapatnya itu hanya timbul sebagai suatu kepongahan, kesombongan, dan gertakan atau bualan belaka. Ia harus dapat membuat dia bertekuk lutut untuk membuktikan kepalsuan pendapatnya yang sombong itu.

"Bi Lan, kau sudah bangun? Nih, lihat apa yang kudapatkan!" Tiba-tiba terdengar suara Kun Tek dari jauh dan nampak pemuda itu berlari-lari datang sambil memanggul seekor kijang muda yang sudah mati. Binatang itu dia turunkan di depan kaki Bi Lan dan dia berkata, "Bi Lan, ketika aku mandi, nampak binatang ini turun minum air di hulu sungai, maka aku berhasil merobohkannya dengan lemparan batu. Apakah kau dapat memasak dagingnya?"

Tadinya Bi Lan hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan niat hatinya, maka dia tersenyum manis dan menjawab, "Tentu saja bisa. Tapi bumbu-bumbunya..."

"Jangan khawatir. Buntalan pakaianku itu adalah sebuah almari yang cukup lengkap. Lihat ini, ada garam, ada bawang, ada kecap, bahkan aku membawa sebuah panci," katanya gembira dan ketika dia mengangkat muka menatap wajah gadis itu, hampir saja Kun Tek terpesona.

Wajah itu, wajah yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka, namun begitu manis luar biasa. Rambutnya yang kemarin riap-riapan itu kini sudah kering dan awut-awutan, akan tetapi menambah kemanisannya. Apa lagi gadis itu tersenyum dan nampak lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dengan bibir yang merah basah dan kedua pipi yang agak kemerahan, sepasang mata yang begitu bening dan bersinar tajam. Bukan main!

"Kau kenapa, Kun Tek?"

"Tidak apa-apa...," pemuda itu agak panik. "Hanya... sayang sekali aku tak mempunyai beras atau gandum..."

"Kijang muda ini cukup gemuk dan kurasa dagingnya cukup untuk mengenyangkan kita, malah takkan termakan habis."

"Biar sebagian kubikin dendeng agar dapat dibawa sebagai bekal."

"Aku mau mandi dulu," kata Bi Lan.

"Pergilah, aku akan mengulitinya. Mandinya di tempat kau membersihkan tubuh dan pakaianmu semalam, Bi Lan. Airnya jernih dan sejuk."

"Baik, akan tetapi kau jangan ke sana selagi aku mandi," kata Bi Lan sambil mengerling dan menahan senyum, sikap yang manja dan menarik sekali.

Kembali lagi Kun Tek melongo, kagum melihat segala keindahan wanita yang berada di depannya itu.

"Mau apa ke sana? Aku... aku tidak sekurang ajar itu, Bi Lan."

"Siapa tahu? Laki-laki biasanya suka mengintai, biasanya memang kurang ajar," kata Bi Lan dan tanpa menanti jawaban Kun Tek, sambil terkekeh ia lalu lari menuju ke anak sungai yang berada tak jauh dari tempat itu, namun tidak nampak karena terhalang oleh sekelompok pohon.

Sambil mandi, Bi Lan mengepal tinju. "Pasti akan kujatuhkan kau, manusia sombong!" katanya.

Ia kemudian teringat betapa suci-nya, Bi-kwi, pernah bercakap-cakap tentang laki-laki dengannya, pada saat hati suci-nya itu sedang puas dan senang. Mula-mula ia yang menegur suci-nya, kenapa suci-nya suka bermain-main dengan pria, berganti-ganti pria.

"Aku suka mempermainkan pria, siapa saja yang menarik hatiku."

"Ahh, bagaimana kalau kelak ada yang menolakmu, suci? Bukankah engkau akan malu sebagai wanita yang ditolak pria?"

"Hemm, laki-laki mana yang mampu menolak? Kalau diusahakan, kita kaum wanita, asalkan tidak cacat atau buruk sekali rupanya, akan mampu menundukkan laki-laki yang mana pun juga. Betapa pun gagah dan kuatnya pria, akan mudah bertekuk lutut kalau kita hadapi dengan senyum, dengan kerling mata memikat, dengan gerak-gerik yang luwes dan menggairahkan."

Mengingat akan ucapan suci-nya itulah sekarang Bi Lan mengambil keputusan untuk menjatuhkan Kun Tek, hanya untuk membuktikan bahwa pendapat Kun Tek mengenai wanita tidak benar, bahwa Kun Tek dapat jatuh cinta kepada seorang wanita, bukan seorang perempuan khayal. Ia merasa penasaran dan ingin memberi pelajaran kepada pemuda yang dianggapnya membual dan sombong itu.

Setelah selesai mandi, Bi Lan membereskan pakaiannya, mematut-matut diri sambil menyisiri rambutnya. Ia nampak semakin segar dan cantik jelita walau pun pakaiannya sederhana ketika dengan langkah perlahan ia kembali ke tempat di mana Kun Tek sibuk menguliti kijang tadi.

"Sudah selesaikah engkau menguliti kijang itu?" tanya Bi Lan dengan suara halus dan manis.

Kun Tek yang sedang berjongkok dan sibuk itu menoleh dan mengangkat mukanya. Dengan gembira sambil diam-diam mentertawakan pemuda itu, Bi Lan melihat betapa sepasang mata pemuda itu kini kehilangan sinar yang dingin dan acuh itu. Sinar mata itu kini penuh semangat memandang kepadanya, penuh kekaguman.

Dan memang Kun Tek terpesona. Karena Bi Lan datang dari arah timur, maka sinar matahari pagi nampak di belakang gadis itu, seperti cahaya keemasan mengantar dara manis itu, membuat ia nampak gilang-gemilang seperti seorang dewi pagi turun dari kahyangan menyeberang ke bumi melalui cahaya matahari!

"Kau... kenapa, Kun Tek?" Bi Lan menegur, menahan tawanya dan hanya tersenyum manis melihat betapa pemuda itu berjongkok seperti patung memandang kepadanya, tangan kanan memegang pisau berlumur darah, tangan kiri memegang sepotong tulang.
"Mau diapakan tulang itu?"

"Apa...? Tu... tulang...?" Kun Tek tergagap.

Dan baru dia melihat bahwa dia masih memegang tulang dan baru ia sadar bahwa dia melongo seperti orang bodoh, terlongong seperti orang bengong. "Eh, ini... aku sudah selesai menguliti kijang dan sedang menyayati dagingnya. Kau... kau nampak..."

"Ya...?" Senyum itu semakin manis. "Nampak bagaimana...?"

"Anu... nampak...segar sekali!"

Bi Lan tertawa renyah dan menghampiri pemuda itu. Pesona itu membuyar dan Kun Tek menyerahkan potongan-potongan daging kepada Bi Lan. "Cukupkah sebegini? Kalau cukup, lainnya akan kubuat dendeng."

"Cukup, kita berdua menghabiskan daging sebegini pun sudah akan kenyang sekali," jawab Bi Lan.

Kun Tek sudah menyalakan lagi api unggun dan sudah menyiapkan semua keperluan masak seperti panci, bumbu-bumbunya dan dia lalu membawa kulit, tulang-tulang dan sebagian daging yang akan dibuatnya dendeng, lalu pergi agak menjauh.

Tak lama kemudian, setelah keduanya bekerja tanpa bicara, mereka pun menghadapi masakan daging kijang yang dibuat oleh Bi Lan. Semenjak kecil, Bi Lan yang melayani gurunya memang sudah biasa memasak, bahkan biasa masak bahan-bahan yang sederhana menjadi masakan yang cukup enak.

Dengan bumbu seadanya, sekarang ia telah membuat dua macam masakan saja, yaitu daging panggang dan masakan yang ada kuahnya. Dan karena mereka berdua merasa lapar sekali, ditambah suasana yang amat menyenangkan hati, keduanya makan dengan lahap. Apa lagi Kun Tek. Dia makan dengan lahap dan kelihatan nikmat sekali.

"Lunak sekali masakanmu, Bi Lan. Daging kuah ini gurih dan sedap, dan panggang dagingnya juga enak. Kau memang pandai memasak!" puji Kun Tek sambil meggerogoti daging panggang.

Bi Lan tersenyum. "Terima kasih atas pujianmu, Kun Tek. Bagaimana dengan wanita khayalmu itu, Kun Tek?"

"Wanita khayal...? Apa... apa maksudmu, Bi Lan?" Kun Tek benar terkejut mendengar pertanyaan yang tak diduga-duganya itu.

"Wanita khayalmu yang tanpa cacat itu. Apakah ia pun pandai masak?" Bi Lan menatap tajam wajah Kun Tek yang kulitnya menjadi semakin gelap ketika dia teringat akan makna pertanyaan itu.

"Tentu saja... tentu saja seorang wanita harus pandai masak, kalau tidak, dia tidak lengkap menjadi seorang wanita, bukankah begitu?" Kun Tek dibesarkan di daerah barat di mana kaum wanita bertugas di dapur, tidak seperti suku bangsa di selatan yang kedudukannya terbalik, yaitu kaum prianya yang biasa memasak di dapur sedangkan para wanitanya biasa pula memikul air dan bekerja di sawah.

Mereka selesai makan dan ketika Bi Lan hendak mencuci tangannya, dia mengeluh. Ketika bangkit dari duduk di atas tanah itu, gerakan ini mendatangkan rasa nyeri yang menusuk pada pinggangnya. "Aduhhh..."

Kun Tek terkejut dan cepat menghampiri. "Kau kenapa, Bi Lan?" Dan melihat gadis itu menekan-nekan pinggangnya yang kiri, dia pun bertanya, "Apakah pinggang yang kena tendang lawan itu masih terasa nyeri?"

Bi Lan mengangguk dan menyeringai kesakitan. "Nyeri sekali pada saat aku memutar pinggang, seperti tertusuk rasanya."

"Wah, jangan-jangan ada yang terkilir di situ. Kalau terkilir harus cepat-cepat dibetulkan letak otot-ototnya, Bi Lan, kalau tidak bisa membengkak dan semakin berbahaya."

Bi Lan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam. "Engkau mau mengobati pinggangku? Malam tadi engkau sudah mengobati kakiku yang terkilir, engkau tentu ahli membetulkan otot yang terkilir."

Kun Tek tersenyum dan mengangguk. "Aku pernah mempelajarinya dari ayah. Kalau engkau mau, tentu saja aku suka sekali mencoba untuk memeriksa dan membetulkan letak otot yang terkilir."

"Tentu saja aku mau, kenapa kau bertanya lagi. Siapa orangnya diobati sampai sembuh tidak mau?"

"Tapi... untuk memeriksa dan membetulkan bagian yang terkilir, aku harus melihatnya, menyentuhnya dan membetulkannya dengan pijatan-pijatan dan urutan-urutan, aku… aku harus... menangani bagian pinggangmu yang terkilir itu."

Diam-diam Bi Lan tertawa dalam hatinya. "Kalau begitu mengapa? Nah, kau lakukanlah cepat agar nyerinya segera hilang."

Tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan lalu sedikit menurunkan celananya di bagian kanan dan menarik ke atas bajunya di bagian itu juga sehingga nampaklah kulit pinggangnya yang putih mulus, ke bawah sampai di lekuk pinggul dan ke atas sampai pada permulaan bukit dada.

Walau pun jantungnya berdebar seperti diguncang-guncang keras, Kun Tek menekan perasaannya dan dengan sikap biasa seolah-olah dia hanya akan mengobati lengan atau kaki saja, dia mulai memeriksa bagian pinggang itu dengan jari-jari tangannya yang terlatih. Setelah memijit sana mengelus sini, tak lama kemudian dia dapat meraba dan menentukan bahwa memang ada otot yang terkilir, akan tetapi tidak berapa parah dan mungkin rasa nyeri itu hanya karena memar saking keras dan kuatnya tendangan. Akan tetapi, cukup lama baginya meraba-raba itu sehingga mukanya penuh keringat, dan terasa jelas oleh Bi Lan betapa jari-jari tangan itu gemetar dan panas dingin!

Bi Lan menahan senyum, senyum kemenangan melihat betapa pemuda itu kini mulai mengobati pinggangnya dengan tekanan dan pijatan jari-jari tangannya yang gemetar. Ketika ia menoleh, ia melihat betapa pemuda itu telah memejamkan kedua matanya!

"Aduhhh... jangan kuat-kuat... di situ nyeri...!" Bi Lan sengaja merintih, lalu bertanya dengan nada suara heran, "Kun Tek, kenapa engkau memejamkan kedua matamu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan Kun Tek. Dia cepat membuka matanya, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu, yang seolah-olah sinarnya menusuk dan menjenguk ke dalam jantungnya, dia cepat memejamkan kembali kedua matanya.

"Ah, aku sudah terbiasa, ketika belajar dulu. Dengan memejamkan kedua mata, jari-jari tanganku lebih peka..."

"Tapi saat engkau mengobati kakiku yang terkilir, matamu tidak kau pejamkan! Jangan-jangan engkau memejamkan matamu agar tidak melihat pinggangku!"

"Ahh, kenapa?" bantah Kun Tek tanpa membuka matanya.

Bi Lan tertawa dalam hatinya. "Siapa tahu, pinggangku buruk."

"Pinggangmu bagus sekali!"

"Kulitnya kasar dan hitam."

"Tidak, halus dan putih mulus."

"Mungkin bau keringatku tidak enak sehingga kau muak."

"Bau keringatmu sedap, Bi Lan."

Hampir Bi Lan tak mampu menahan ketawanya dan ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia telah menjalankan siasat seperti yang pernah didengarnya dari suci-nya, si ahli pemikat laki-laki itu. Ternyata baru sebegitu saja, ia sudah merasa dapat menguasai Kun Tek!

Memang pinggangnya masih terasa agak sakit, akan tetapi tidaklah begitu nyeri dan sebetulnya tidak perlu disembuhkan dengan pijat. Tadi ia hanya berpura-pura saja untuk memancing Kun Tek dan ternyata siasatnya itu berhasil baik. Dia berhasil membuat pemuda ini berpeluh dan gemetar, bahkan lalu memuji-mujinya.

"Sudah cukup, Kun Tek, sekarang tidak terasa nyeri lagi. Terima kasih."

Ada dua macam perasaan menyelinap di hati pemuda itu pada waktu Bi Lan berkata demikian. Ada rasa lega karena dia seperti terbebas dari ketegangan yang membuat dia berpeluh dan gemetar, akan tetapi ada rasa kecewa pula bahwa jari-jari tangannya harus meninggalkan buah pinggang yang ramping, gempal, lunak, halus dan hangat itu.

"Tidak perlu berterima kasih, Bi Lan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik dan sudah sepatutnya kalau kita saling menolong?"

Bi Lan mau melanjutkan siasatnya untuk mencoba dan menjatuhkan Kun Tek agar ia dapat memberi pelajaran kepada laki-laki yang sombong ini. Ia kemudian bangkit dan mengemasi buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung kembali.

"Sekarang telah tiba saatnya aku melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, Kun Tek. Engkau baik sekali dan terima kasih." Berkata demikian, Bi Lan lalu meloncat pergi.

"Ehhh, Bi Lan, nanti dulu..." Kun Tek berseru dengan kaget. Keputusan Bi Lan yang mendadak untuk meninggalkannya itu sungguh mengejutkan hatinya. "Engkau hendak ke mana?"

"Aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Kita dapat melakukan perjalanan bersama..."

"Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali!"

"Aku akan membantumu, Bi Lan, sampai engkau berhasil dalam urusan itu!"

Bi Lan tersenyum manis. "Engkau memang seorang yang baik budi, Kun Tek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak kalau harus mengganggumu selalu. Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa..."

"Kita sahabat baik!"

Bi Lan mempermanis senyumnya sehingga nampak lesung pipit di kanan kiri. Manis sekali. "Memang, engkau seorang sahabatku yang baik sekali. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau harus bersusah payah selalu untukku. Nah, selamat tinggal!"

"Bi Lan...!" Kun Tek berseru akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

"Bi Lan...! " Kun Tek berteriak lagi.

Dan dia pun cepat mengumpulkan barang-barangnya, berkemas sambil kadang-kadang menengok ke depan, ke arah perginya Bi Lan yang sekarang sudah tidak nampak lagi bayangannya itu. Hati Kun Tek terasa panik dan khawatir sekali kalau-kalau dia akan kehilangan gadis itu dan tidak akan bertemu lagi dengannya.

Tetapi sebelum dia berlari untuk melakukan pengejaran, tiba-tiba berkelebat bayangan yang agaknya sejak tadi bersembunyi di balik semak-semak di seberang ladang itu dan bayangan ini membentak, "Manusia tak tahu malu, berhenti dulu aku mau bicara!"

Kun Tek terkejut, tidak menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada orang bersembunyi di belakang semak-semak. Ketika dia membalikkan tubuhnya, ternyata orang itu adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia, seorang pemuda bermuka bersih cerah, berkulit kuning. Seorang pemuda yang tampan walau pun pakaiannya yang berwarna biru itu amat sederhana.

Dengan alis berkerut, Kun Tek memandang tajam dan menegur, "Siapakah engkau dan ada urusan apa dengan aku maka engkau datang-datang mengatakan aku tidak tahu malu?"

Pemuda ini bukan lain adalah Gu Hong Beng! Pemuda ini merana sejak ditinggal pergi Bi Lan. Sakit sekali rasa hatinya oleh penolakan Bi Lan terhadap cintanya. Dia merasa hidupnya seakan-akan menjadi kosong dan sunyi. Dia melanjutkan perjalanan untuk memenuhi perintah gurunya, menuju ke kota raja, namun semangatnya sudah menipis sekali.

Malam tadi secara kebetulan sekali dia telah mengambil jalan yang sama dengan Bi Lan sehingga ketika Bi Lan yang ditolong oleh Kun Tek berhenti di tempat mereka kemudian melewatkan malam, dari jauh Hong Beng dapat melihat api unggun mereka. Pemuda ini curiga melihat api unggun itu dan dengan hati-hati dia mendekati. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Bi Lan sedang tidur dan rebah miring di dekat api unggun, dan hati yang tadinya menjadi girang itu tiba-tiba berubah panas penuh rasa cemburu ketika dia melihat seorang pemuda tinggi besar menggunakan kain untuk menyelimuti tubuh Bi Lan yang tidur pulas!

Dan dia pun segera mengenal pemuda tinggi besar itu sebagai pemuda yang dipuji-puji oleh Bi Lan, pemuda yang turun tangan menghajar Phoa Wan-gwe dan tukang-tukang pukulnya. Dengan hati panas penuh rasa cemburu, Hong Beng lalu bersembunyi dan melakukan pengintaian. Dia merasa tidak enak kalau harus muncul menemui Bi Lan pada saat itu, apa lagi melihat gadis itu sedang tidur nyenyak.

Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dua orang muda itu, ingin melihat sampai sejauh mana hubungan di antara mereka yang nampaknya sudah akrab itu. Panas sekali hatinya. Tak disangkanya Bi Lan yang baru saja meninggalkannya, kini sudah bersahabat dengan seorang pria lain, dan mengingat betapa Bi Lan memuji-muji pemuda tinggi besar itu, hatinya penuh rasa iri dan cemburu.

Dia melihat segala yang terjadi dari tempat sembunyinya. Dia memang tidak melihat pemuda itu melakukan sesuatu, kecuali menyelimuti tubuh Bi Lan dengan kain, tetapi itu pun dilakukannya dengan sikap sopan. Kemudian melihat betapa mereka berdua itu bercakap-cakap yang tak dapat didengar suaranya karena tempat sembunyinya cukup jauh.

Dan hatinya semakin panas melihat betapa mereka berdua itu makan bersama dengan sikap yang demikian gembira. Namun, ketika dia melihat betapa pemuda itu mengobati pinggang Bi Lan dengan jalan meraba dan memijat pinggang yang telanjang itu, hampir dia tidak dapat menahan diri yang dibakar oleh api cemburu!

Dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu melakukan semacam pengobatan, akan tetapi caranya yang membuat dia tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Pemuda itu begitu saja, dengan tangan telanjang, meraba dan memijat pinggang yang tidak tertutup itu. Kenapa Bi Lan membiarkan tubuhnya dipegang-pegang? Dan pemuda itu, betapa kurang ajar dan tidak sopan sekali!

Pada waktu dia melihat Bi Lan pergi meninggalkan pemuda itu dan melihat pemuda itu agaknya hendak mengejar, memanggil-manggil nama Bi Lan begitu saja, dia pun cepat meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan lari menghampiri Kun Tek. Tibalah saatnya untuk turun tangan menghajar pemuda tidak sopan itu, karena kalau Bi Lan masih berada di situ, tentu saja dia merasa malu untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Kini Bi Lan tidak ada dan dia boleh menumpahkan semua perasaan hatinya yang panas dan penuh cemburu kepada pemuda itu.

Sejenak dua orang itu berdiri saling berhadapan dan saling memperhatikan dengan sinar mata tajam. Dua orang pemuda yang sebaya dan sama-sama tampan dan gagah. Hanya bedanya, kalau wajah Hong Beng diliputi kemarahan dan kebencian, sebaliknya wajah Kun Tek mengandung keheranan dan penasaran.

"Gadis yang baru pergi tadi, apamukah ia? Isterimukah?" Hong Beng bertanya dengan suaranya yang ketus.

Kerut merut di antara alis yang tebal di wajah Kun Tek semakin mendalam dan sinar matanya menyambar marah ke arah penanya itu. "Hemm, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"

"Sangkut-pautnya dekat sekali!" kata Hong Beng semakin marah. "Gadis itu, Can Bi Lan, adalah seorang sahabatku!"

Kun Tek terbelalak dan memandang penuh selidik. Kalau pemuda ini sahabat baik Bi Lan, kenapa mengambil sikap bermusuh dengannya? "Begitukah? Akupun sahabat Bi Lan, sahabat baiknya."

"Tidak perlu engkau mengelabui aku. Engkau baru saja bertemu dengannya, karena ketika kami berdua melihat engkau turun tangan terhadap Phoa Wan-gwe, dia belum mengenalmu."

"Ah, kiranya engkau pun bersama Bi Lan ketika melihat aku melawan anak buah Phoa Wan-gwe? Kalau begitu tentu benar seorang sahabat. Siapakah engkau, sobat?"

"Aku Gu Hong Beng."

"Namaku Cu Kun Tek."

"Engkau seorang pemuda yang tidak sopan dan kurang ajar! Engkau sangat tidak tahu malu!"

Tentu saja Kun Tek kembali terbelalak dan dia mulai marah. "Saudara Gu Hong Beng, seingatku, baru sekarang kita saling berhadapan. Aku belum pernah mengganggumu, tapi mengapa engkau datang-datang memaki-maki aku? Jelaskan, apa kesalahanku maka engkau memaki aku?"

"Engkau masih pura-pura tidak tahu? Apa yang kau lakukan terhadap nona Can Bi Lan tadi? Kau kira aku tidak tahu? Sejak semalam aku sudah berada tak jauh dari sini dan menyaksikan semua perbutanmu yang tidak senonoh."

"Eh-eh-eh, apakah engkau ini orang gila? Aku tidak melakukan sesuatu yang tidak baik, kenapa mulutmu kotor sekali memaki-maki orang?"

"Hemm, dasar muka tebal! Engkau tadi meraba-raba dan memijati pinggang Bi Lan begitu saja, tanpa kain penutup, apakah kau kira perbuatan macam itu pantas dan patut dilakukan oleh seorang yang mengaku sopan? Engkau memang laki-laki ceriwis dan keji, mempergunakan kelemahan seorang gadis yang masih hijau untuk merayu. Orang macam engkau ini harus dihajar!" Berkata demikian, Hong Beng yang menjadi semakin marah karena membayangkan apa yang terjadi tadi, sudah menerjang dengan dahsyat.

"Ahh, manusia tolol!"

Kun Tek mengelak dengan lompatan ke samping. Diam-diam dia terkejut sekali karena serangan Hong Beng tadi benar-benar sangat dahsyat dan berbahaya. Baru angin pukulan saja menyambar sedemikian kuatnya. "Aku mengobatinya karena pinggangnya terkilir, dan kau menuduh yang bukan-bukan!"

"Aku bukanlah anak kecil," kata pula Hong Beng marah, "aku juga tahu bahwa engkau melakukan pengobatan, akan tetapi itu hanya dalih agar engkau dapat meraba-raba tubuhnya. Keparat, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa yang boleh melakukan seperti itu hanya antara suami isteri saja? Engkau memang seorang berwatak cabul. Jai-hwa-cat!"

Dimaki jai-hwa-cat atau penjahat pemetik bunga, sebutan bagi penjahat yang suka memperkosa wanita, Kun Tek marah bukan main. "Jahanam bermulut kotor, kau kira aku takut padamu?"

Dan dia pun maju menyerang, membalas serangan Hong Beng tadi. Hong Beng sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang.

"Dukkkk...!"

Keduanya terpental ke belakang dan Kun Tek terkejut bukan main ketika merasa betapa lengannya dijalari hawa yang amat panas. Cepat dia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan. Di lain pihak, Hong Beng juga terkejut karena lawannya memiliki tenaga yang amat kuat sehingga dia pun terdorong mundur.

Segera kedua orang pemuda ini terlibat dalam perkelahian seru. Mereka berdua sama sekali tidak sadar bahwa perkelahian yang seru dan mati-matian itu hanya disebabkan oleh hal yang sepele saja! Oleh karena cemburu! Mereka berkelahi seolah-olah sedang saling memperebutkan Bi Lan.
Suling Naga Bagian 07

Setelah Hong Beng mengeluarkan ilmu-ilmu silat dari Pulau Es, Kun Tek terkejut dan terdesak. Dia tidak mengenal ilmu silat itu, hanya merasa betapa ilmu silat lawannya itu makin lama semakin kuat. Karena maklum betapa lihainya lawan, Cu Kun Tek yang kini menjadi penasaran dan marah sekali, langsung mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan dan hawa yang menyeramkan.

Begitu dia mengelebatkan pedang itu, segera terdengar suara mengaum keras yang amat mengejutkan hati Hong Beng. Pemuda ini segera tahu bahwa lawannya memiliki sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dia tidak merasa jeri, akan tetapi bersikap hati-hati sekali.

"Tahan senjata...!" Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja muncullah Bi Lan di situ.

Melihat gadis yang sesungguhnya menjadi penyebab perkelahian mereka, dua orang pemuda itu menjadi terkejut. Muka mereka berubah merah dan keduanya tidak tahu harus berkata apa.

Bi Lan berdiri di antara mereka, memandang ke kanan kiri, bergantian, lalu menatap wajah Kun Tek. Dipandang seperti itu, Kun Tek menjadi gugup dan untuk menenangkan perasaannya yang bingung, dia kemudian menyarungkan kembali pedang pusakanya dan disimpannya ke dalam buntalan pakaiannya.

"Kun Tek, apa artinya semua ini? Baru sebentar saja kau kutinggalkan, tahu-tahu sudah berkelahi mati-matian!" Bi Lan menegur.

"Bukan aku yang mencari permusuhan, akan tetapi dia ini datang-datang seperti orang gila menuduh aku yang bukan-bukan dan menyerangku. Tentu saja aku membela diri, tidak sudi mati konyol dalam serangan tangan yang keji."

Bi Lan menghadapi Hong Beng yang menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah. "Dan apa pula artinya perbuatanmu ini, Hong Beng? Datang-datang engkau menyerang Kun Tek, padahal engkau sendiri sudah tahu bahwa dia bukan orang jahat ketika dia membantu keluarga mempelai yang diganggu oleh Phoa Wan-gwe? Apa maksudmu?"

"Bi Lan, aku... aku melihat betapa dia tidak sopan ketika mengobatimu... dan aku... aku tidak tahan. Dia terlalu kurang ajar, maka setelah engkau pergi, aku segera keluar dan menyerangnya."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tak senang kepada Hong Beng. Pertama, bahwa Hong Beng diam-diam telah mengintai mereka, dan kedua, ia menganggap Hong Beng hendak mencampuri urusan pribadinya!

"Hong Beng, engkau sungguh lancang tangan. Aku tidak minta perlindunganmu, dan Kun Tek ini sama sekali tidak kurang ajar, melainkan mengobati pinggangku dan apa yang dilakukannya itu atas persetujuanku. Apa sangkut-pautnya dengan dirimu?"

Melihat betapa gadis yang dicintanya itu marah-marah dan memarahinya di depan pemuda lain itu, Hong Beng semakin menundukkan mukanya. Hatinya terasa seperti disayat-sayat dan dia pun sadar bahwa tindakannya tadi sebenarnya terburu nafsu, terdorong oleh cemburu yang berkobar-kobar.

"Bi Lan, memang seharusnya aku tahu diri... saudara Kun Tek, kau maafkanlah aku. Selamat tinggal!" Hong Beng lalu melompat dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu supaya tidak tampak oleh mereka bahwa kedua matanya menjadi panas dan basah.

Kun Tek memandang kagum. "Hebat, dia seorang pemuda yang hebat, ilmu silatnya luar biasa, jauh lebih tinggi dariku dan lihat betapa hebat ginkang-nya ketika dia lari."

"Tentu saja, dia adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es."

"Ahhh...!" Kun Tek terbelalak dan mengangguk-angguk, "Pantas saja tadi pukulannya mengandung tenaga panas seperti api. Pernah aku mendengar dari ayah tentang dua ilmu sinkang amat hebat dari Pulau Es yang disebut Hwi-yang Sinkang yang panas sekali dan Swat-im Sinkang yang dingin sekali. Sayang aku tidak sempat berkenalan lebih baik dengan dia. Akan tetapi, kenapa dia bersikap begitu aneh dan menyerangku seperti orang gila saja?"

"Karena cemburu."

"Cemburu?"

"Dia mencintaku akan tetapi aku menolaknya. Agaknya dia cemburu ketika melihat cara engkau mengobati pinggangku tadi."

"Ahhhh...!" Muka pemuda itu menjadi merah. Hening sejenak, dalam suasana yang sunyi menegangkan.

"Kun Tek, aku kembali untuk bertanya kepadamu apakah engkau mengenal orang yang sedang kucari."

"Siapakah dia?" bertanya Kun Tek, merasa lega bahwa percakapan beralih sehingga suasana menegangkan tadi pun terputus.

"Julukannya Suling Naga, Pendekar Suling Naga!"

"Suling Naga...?" Sepasang mata Kun Tek terbelalak. "Tentu saja aku mengenalnya! Bukankah namanya Sim Houw?"

"Mungkin, aku tidak tahu, hanya julukannya Pendekar Suling Naga. Tahukah engkau di mana dia dan di mana aku dapat bertemu dengannya?"

"Bi Lan, ada urusan apakah engkau mencari Pendekar Suling Naga Sim Houw?"

Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. "Urusan pribadi. Kalau engkau tahu, katakan saja di mana aku dapat bertemu dengan dia."

"Dia seorang pendekar perantau, Bi Lan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi menurut ayah, pendekar itu suka berkelana dan bertapa di sekitar puncak Tai-hang-san."

"Terima kasih, Kun Tek dan selamat tinggal."

"Nanti dulu, Bi Lan!"

"Ada apa lagi?"

"Baru saja engkau menyelamatkan diriku dari tangan Hong Beng dan aku sungguh merasa menyesal sekali dengan peristiwa yang terjadi dengan dia. Dia seorang murid keluarga Pulau Es dan sahabat baikmu..."

"Aku tadi dongkol padanya. Dia terlalu cemburu, ada hak apa dia mencampuri urusan pribadiku? Dia cemburu tanpa alasan! Engkau dan aku adalah dua sahabat baik, dan engkau mengobati aku dengan hati jujur dan bersih. Tidak ada alasan baginya untuk mencemburuimu."

Kun Tek menarik napas panjang. "Dia tak bersalah, Bi Lan, dan memang ada alasannya maka dia mencemburui aku."

"Heiii? Apa maksudmu?"

"Maksudku, dia beralasan untuk cemburu karena… memang sesungguhnya akupun... jatuh cinta padamu, Bi Lan."

"Ehh...?"

Ingin Bi Lan tertawa gembira. Inilah saat yang dinanti-nanti. Memang ia sudah berusaha untuk menjatuhkan Kun Tek. Saat meninggalkan pemuda itu pun termasuk siasatnya, akan tetapi tak pernah disangkanya ia akan berhasil secepat dan semudah itu.

"Mana mungkin? Kita baru semalam berkenalan, Kun Tek!"

"Mengenalmu satu malam bagiku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun, Bi Lan."

"Tapi... tapi bagaimana engkau bisa begini yakin?"

"Ketika kita bercakap-cakap, ketika kita makan bersama, ketika aku mengobatimu, lalu ketika engkau pergi meninggalkan aku. Perasaanku takkan menipuku, Bi Lan. Ketika engkau pergi, aku merasa begitu hampa dan berduka, aku takut kehilangan engkau, dan sekarang pun aku takut kehilangan engkau karena aku cinta padamu, Bi Lan."

Bi Lan memandang tajam. "Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi, tidak pula cantik lahir batin, banyak cacat celanya!"

"Aku yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam hatiku."

Kini Bi Lan tersenyum, senyum sinis dan mengejek. "Hemm... hemmm... lalu ke mana larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?"

Pemuda itu terbelalak. "Perempuan khayal...?"

"Ya, lupakah engkau bahwa engkau tak akan pernah jatuh cinta kecuali kepada seorang perempuan yang seperti dalam khayalanmu itu, yang tanpa cacat cela dan segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?"

Kun Tek teringat dan dia merasa terpukul sekali. "Aku telah bodoh selama ini, Bi Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan..."

"Cukup! Engkau memang tolol, bodoh, dan sombong. Aku tidak sudi... aku tidak dapat menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalanmu yang bukan dari darah daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!" Dan dengan cepat Bi Lan pergi dan berlari cepat.

Kun Tek menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung, tenggelam dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan, juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia bisa menenangkan pikirannya, nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.

"Aku memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan tadi," bisiknya duka.

Kini nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu.

Kemudian dalam pengakuan cintanya, dengan amat tolol dia mengatakan bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah mengatakan bahwa Bi Lan tidaklah seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan penuh cacat cela. Sungguh amat tolol! Hatinya sekarang merasa berduka sekali. merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati, segala sesuatu nampak kurang menarik lagi.

Beginilah kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya terbang melayang meninggalkannya.

Sementara itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi ‘hajaran’ kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya! Kemudian, ia berhasil menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut dan menyatakan cinta kepadanya.

Tadinya ia hendak mentertawakannya, merasa girang sebab berhasil memberi hajaran. Eh, tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang amat menyinggung perasaannya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal ia baru saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda tolol dan sombong!

Agaknya lari cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat kemarahan Bi Lan mereda pula. Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran, tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus.

Lereng bukit itu sunyi sekali dan ia pun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai sapu tangan diusapnya keringat dari leher dan mukanya, kemudian ia duduk termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi.

Ada tiga orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun, yang ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga adalah Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi jodoh seorang di antaranya.

Bhok Gun yang tertua di antara mereka, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi.

Akan tetapi pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu akan selalu dirongrong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita lain.

Rayuan-rayuan mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan! Tidak, ia tidak akan sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apa lagi perkenalannya dengan Bhok Gun itu hanya melalui suci-nya yang menjadi kekasih Bhok Gun.

Masih muak kalau dia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar aneh. Bagaimana pun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok Gun.

Lain lagi halnya dengan dua orang pemuda lainnya dan kini diam-diam ia membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sukar membayangkan betapa akan jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu.

Gu Hong Beng sudah dikenalnya dengan baik. Ia seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walau pun pemuda ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es!

Sayang wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walau pun budi bahasanya halus. Akan tetapi dia sangat pencemburu, seperti yang sudah dibuktikan ketika dia menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang tanpa ditutup kain, yang memang disengajanya untuk ‘menjatuhkan’ Kun Tek sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukan oleh Kun Tek untuk mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun Tek!

Ahh, ia takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu, yang tidak mempunyai rasa humor sedikit pun dalam hidup. Sama saja dengan memiliki suami patung hidup, betapa pun lihainya dalam ilmu silat!

Bagaimana dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biar pun mukanya berkulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong dan besar kepala. Tidak, ia pun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek.

Sampai lama gadis itu bengong saja, sampai akhirnya teringat akan nasibnya sendiri. Sebetulnya, dia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi, kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh Bi-kwi, suci-nya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana diperkosa oleh Sam Kwi.

Dan ia sudah berjanji kepada suci-nya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat ia akan membantu pula suci-nya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya. Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san.

Persoalan merampas pusaka untuk membalas budi suci-nya seperti pernah ia janjikan, sekarang telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subo-nya hanya dipinjamkan kepadanya, sekarang dirampas orang! Dan perampasnya adalah seorang pendeta Lama yang demikian lihai!

Dengan dibantu Hong Beng saja dia tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau harus menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apa pun resikonya, ia harus bisa merampas kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka itu! Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam Kwi.

Berangkatlah dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak gembira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran mengenai masalah-masalah yang menyulitkan itu pun sudah ditinggalkannya! Ia akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya, terserah saja pada keadaan. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang belum terjadi!

Keadaan batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat dia dapat menikmati hidup. Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru. Kebanyakan dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan.

Kita terluka parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu, maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap. Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan, maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa bahwa hidup adalah sekarang, saat ini!

Hidup adalah saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati, tak perlu diingat lagi, walau pun dari pengalaman-pengalaman masa yang lalu dapat membuat kita lebih waspada dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan bekerja.

Dan bekerja adalah sekarang ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini! Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita menjadi waspada sekali terhadap saat ini, yaitu terhadap hidup ini. Kita dapat menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?

Ada orang tua yang menasehati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak-anak kita harus sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu.

Mungkin dia menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya, hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tidak pernah diberi kesempatan untuk bersenang atau bersuka!

Orang tua yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya pasti akan memberi kebebasan pada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia. Sekarang! Bukan besok atau kelak kalau sudah tua.

Bukan berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tidak mungkin didapat tanpa kebebasan!


Dalam keadaan gembira dan merasa bahagia karena sama sekali tak ada kotoran yang mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan yang amat jauh melalui pegunungan, hutan-hutan serta banyak kota dan dusun…..

**********

Dusun Hong-cun merupakan sebuah dusun yang sangat makmur di luar kota Cin-an. Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Namun pada musim-musim lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi penduduknya.

Ada sebuah rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an. Rumah ini adalah rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini, Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es.

Suma Ceng Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada seorang pun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun.

Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis, yaitu Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar yang kini sudah berusia tiga puluh dua tahun itu.

Seperti kita ketahui, kurang lebih tiga belas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Eng. Isterinya ini pun, yang usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita gemblengan yang sukar dicari tandingannya.

Setelah setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini diberikan oleh karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap!

Pada waktu itu, Suma Lian telah berusia dua belas tahun, seorang gadis cilik yang mungil, akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari ayah ibunya.

Biar pun baru berusia dua belas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidak adilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.

Padahal yang diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri. Untuk menolong orang-orang miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang lain.

Di samping ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula seorang nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun. Ia juga bukan nenek sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibunda dari Suma Ceng Liong! Setelah suaminya (Suma Kian Bu) meninggal dunia dan menjadi janda, Teng Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah memanjakan cucu itu.

Dusun Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an. Karena tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai. Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini.

Semenjak neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu berlatih ilmu silat! Bahkan nenek ini sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya sangat sayang kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!

"Terlalu berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau dia sudah dewasa," demikian pesannya kepada ibunya.

"Ayaaaa... kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur sebaik-baiknya," jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol.

Ibunya ini galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah berusia tiga puluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi.

Suatu hari, pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan latihan silat yang tertutup. Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di tempat udara terbuka.

Suma Lian yang berusia dua belas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri, akan tetapi bukan hanya berjungkir balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang. Itulah gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendangan Soan-hong-twi yang amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimana pun juga. Kaki lebih panjang dari lengan, maka jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan berbahayalah bagi lawan.


Bentakan-bentakan itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk dan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Suma Lian itu memang seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu menggunakan banyak tenaga dari otot-otot bagian perut sehingga perlu dikeluarkan teriakan-teriakan itu untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang selain menciptakan tenaga dalam, juga melindungi isi perut.

"Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. Kepalamu jangan kau angkat, melainkan didongakkan dan dilempar ke belakang hingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!"

Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.

Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar. Wajahnya menyeramkan karena penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.

"Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha selalu memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahukan di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat untuk melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?"

Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab, "Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu."

"Omitohud...! Suma...? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.

Orang itu tersenyum. "Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es."

"Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?"

"Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini."

Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarga Pulau Es.

Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.

Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.

Akan tetapi, ketika dia sampai di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khikang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali.

Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalau pun ada orang di atas jalan depan rumah itu, takkan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang.

Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali.

Pada saat Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya.

Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan padanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi ‘kekasih’ kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat.

Usianya tentu baru dua belas atau tiga belas tahun, dan mempunyai wajah yang cantik manis. Kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai ‘oleh-oleh’ kedatangannya, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng. Andai kata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri. Bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu birahinya seperti yang akan dilakukan oleh pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya.

Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik dan anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan adalah keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan.

Dia akan bangga jika diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es. Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu.

Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan ia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi.

Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itu pun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!

Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk. "Untuk dapat melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau harus menendangkan kaki kiri lebih dulu ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu bisa tertangkis, tenaga tangkisannya dapat kau sambut dan kau pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk."

"Wah, gerakan itu amat sukar, nek!" Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh.

Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih ilmu silat, ia memang keras sekali.

"Apa? Baru sebegitu saja engkau mengeluh. Ingatlah, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimana pun juga! Tahu?"

Memang sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, ia pun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!

Melihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya sekarang diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.

"Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?"

Melihat senyum neneknya, kekerasan hati Suma Lian juga sudah luluh. "Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadi pun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek."

"Baik, kau lihat baik-baik, cucuku!"

Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!

"Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau...?" Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.

Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok.

Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah, jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.

Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Ia pun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.

Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan dia pun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!

Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walau pun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekali pun! Dia lalu menggunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya.

Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walau pun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali...


SELANJUTNYA SULING NAGA BAGIAN 08


Suling Naga Bagian 07

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING NAGA BAGIAN 07



Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, mencengkeram dan mempermainkan manusia bagaikan badai mempermainkan daun-daun kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya.

Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik dari pada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputus asaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.

Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.

Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanyalah keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang ingin memiliki dan ingin menguasai, itu bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu birahi.

Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung birahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walau pun cinta kasih bisa mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan birahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah.

Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, birahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik antara Im dengan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang maha agung, karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam semesta ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, birahi hanyalah merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati
.

Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya ia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi ia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu. Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah.

Biar pun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran pada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.

**********

Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang pernah dia alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja.

Pernah dia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja.

Diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanya kebengisan nafsu birahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita. Oleh karena itu ia kagum melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu.

Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng, satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka ia pun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu.

Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan ia pun duduk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.

Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurang ajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan.

Ilmu silatnya juga hebat, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, ia juga berwatak pendekar, gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang sangat baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu? Ia tidak tahu!

"Aku suka padanya...," demikian ia mengeluh.

Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, dan suka bersahabat dengannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah.

Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandalkan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka?

Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walau pun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat, suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta sudah tentu lebih mendalam lagi, bantahnya. Akhirnya ia menjadi bingung sendiri dengan perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.

Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu. Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui suci-nya dengan penuh ketekunan. Kalau tidak sayang kepadanya, tidak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau mempedulikan dirinya yang yatim piatu.

Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari ketiga orang suhu-nya, mereka berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan. Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhu-nya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana keadaannya sekarang andai kata dulu Sam Kwi berhasil memperkosanya, andai kata tidak ada suci-nya yang menolongnya.

Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, tetapi lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakinan akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi kedua oleh Sam Kwi. Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itu pun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng?

Benarkah pemuda itu mencintanya? Akan tetapi dia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena dia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, tetapi pengakuan cinta itu membuat dia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.

Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah semakin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perutnya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya.

Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan makan minum, ia pun ingin mengaso di dalam rumah, biar pun gubuk kecil sekali pun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.

Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hatinya girang melihat dari jauh nampak beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama. Tentu sebuah dusun kecil, pikirnya dan ia pun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah.

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada beberapa pasang mata selalu mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar sedang menantinya. Dengan tenang dia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah yang terbesar.

Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu adalah seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.

"Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan sekarang membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?"

Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kalau engkau suka, silakan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku."

Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biar pun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap. Tentu saja ia merasa heran sekali.

Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap baunya. Agaknya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.

"Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang. Ha-ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri. Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu."

"Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?"

"Ohh? Kau maksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi."

Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikit pun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang harum sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.

"Silakan duduk, nona, silakan makan. He-he-heh, sungguh girang hatiku mendapatkan seorang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini."

Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, lalu ia pun duduk di kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,

"Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekali pun untuk menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali."

"Heh-heh, mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki sebagai orang paling tidak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang tua renta seperti aku, bukan? Nah, kini terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!"

Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menolak desakan kakek itu? Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan ia pun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,

"Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja. Kalau engkau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon."

"Heh-heh-heh, engkau lucu sekali, nona," kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu. Akan tetapi, gadis itu tetap menghabiskan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.

"Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!" kata Bi Lan menolak.

Pada waktu Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetulan ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pandang matanya dan terkekeh seperti tadi.

"Silakan, silakan...," katanya.

Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam mempunyai kepandaian yang tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan ia pun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.

"Ihhhh...!" Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya.

Perlu diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun.

Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan potongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang kuat bukan main! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.

"Siapakah engkau?" bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap mata pun.

Kakek itu tersenyum lebar. Kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah putih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, serta mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya. Nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.

"Kau...! Keparat busuk!" Bi Lan sudah memaki, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki ini cepat-cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya.

Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan sapu tangannya. "Tenanglah, sumoi..."

"Cih! Aku bukan sumoi-mu!" Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak lalu berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.

“Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa engkau mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan suci-mu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiri pun makan..."

"Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!"

"Bi Lan, pertemuan sekali ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncang hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi-mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu..."

"Tutup mulutmu!" bentak Bi Lan.

Ia pun menendang kursi yang menghalang di depannya, kemudian melompat keluar dari ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berbahaya dan jahat ini.

Tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang! Sedangkan Bhok Gun juga mengejar ke luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu.

Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari dua puluh orang, semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.

"Bhok Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!"

Bhok Gun tersenyum. "Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang lekas kau serahkan pedang pusakamu itu kepadaku..."

“Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!" bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang.

Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang secara bersama sambil mengepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat lincah Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan.

Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu bagai dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur.

Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang amat ganas. Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sinkang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggota Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam!

Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak, "Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menyerang!"

Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para anggota Ang-i Mo-pang yang memang sudah amat gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan.

Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan. Sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.

Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang diinginkannya itu, Bhok Gun memandang heran. Ia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pakaian itu.

"Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu? Hayo keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!" katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.

"Manusia jahanam! Tanpa senjata pun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!" Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya.

Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat ke samping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan bahkan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya.

Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal, debu pembius yang berada di sapu tangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biar pun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk menjaga diri dari serangan racun.

Karena terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat, dia terkejut dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun!

Guru pemuda ini juga seorang ahli racun, maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun dari Bi Lan itu dan diam-diam dia pun terheran-heran mengapa gadis ini dapat memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari ilmu pukulan beracun?

Bi Lan juga merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, suci-nya yang lihai itu. Kalau suci-nya muncul dan dia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri, apa lagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya. Akan tetapi, suci-nya tidak juga muncul, maka jalan terbaik adalah cepat-cepat merobohkan dulu Bhok Gun.

Kalau tidak dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun mau pun suci-nya. Maka ia pun cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suci-nya atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun.

Akan tetapi Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya suci-nya juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapa pun. Dugaannya benar karena Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya sehingga pemuda itu terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan.

Bi Lan memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut!

Biar pun senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke dua, "Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi musuh!"

Terdengar teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggota Ang-i Mo-pang.

Maka ia pun mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan sambaran tangan, dia pun berhasil merobohkan seorang anggota Ang-i Mo-pang dan merampas pedangnya. Dengan pedang inilah ia kemudian menghadapi pengeroyokan lima orang perwira dan Bhok Gun!

Gadis ini memang hebat bukan main. Semangatnya besar, mempunyai keberanian dan ketenangan sehingga biar pun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja dia dapat mengamuk bagaikan seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut.

Terdengar suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para pengeroyoknya. Lewat tiga puluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang dengan sangat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi Lan.

"Krakkk...!" Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang menyerang dengan pedang mereka.

"Haiiiittt!"

Bi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan bagai terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang dipelajarinya dari Kao Kok Cu! Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah menggunakan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.

“Desss...!"

Pinggang Bi Lan terkena tendangan hingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling! Sementara itu, empat orang perwira yang roboh sudah bangkit kembali dan Bi Lan terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun. Pinggangnya terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan tidak bergerak seperti patung, hanya melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini menjadi marah sekali.

Lima orang perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk mengundang Bhok Gun dan anggota Ang-i Mo-pang supaya memperkuat kedudukan guru itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!

Kini bukan hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan tetapi di bagian luar pun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang.

Melihat ini, Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apa lagi tendangan Bhok Gun masih terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi menyerah!

Pada saat itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak, "Sekumpulan laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, sungguh amat memalukan. Hanya laki-laki berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!"

Bhok Gun terkejut dan cepat memandang. Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya. Kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk menolongnya!

Beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.

"Keparat, berani kau mencampuri urusan kami?" Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala.

Serangannya ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka dia pun memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.

"Dukkk...!"

Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya, yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati).

Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu. Sebetulnya, kalau diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya.

Melihat pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan kemudian mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya, yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan tangan Bi Lan menjadi gentar dan menjauhkan diri.

"Nona, mari kita lekas pergi!" Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua orang pengepung dengan tendangan-tendangannya.

Kegagahan Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para pengepung menjadi ketakutan. Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa kewalahan untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi besar yang demikian gagah perkasa. Karena merasa gentar, mereka tidak banyak bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari pekarangan itu.

Bhok Gun serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu walau pun dia dibantu oleh para perwira dah anggota Ang-i Mo-pang, dan ke dua karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, dia pun tidak terlalu bernafsu untuk melakukan pengejaran.

Dia memang jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan. Terutama sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk ditundukkan, maka justru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan baginya. Andai kata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya, bahkan nampak benci kepadanya.

Sementara itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama permuda tinggi besar itu. Tidak tahu siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan jalan kecil yang menuju ke utara itu saja. Akan tetapi setelah mereka merasa yakin bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran, terpaksa mereka mengurangi kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang dan sepotong bulan di langit saja yang menurunkan sinar penerangan remang-remang.

Keduanya tidak banyak cakap, hanya melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan berhenti. Pemuda itu pun ikut berhenti. Mereka kini berada di sebuah jalan kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan rumah-rumah mereka. Sunyi sepi dan tidak ada sedikit pun angin sehingga batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak ada yang bergerak. Tak ada apa pun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.

"Engkau siapakah?" Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak gagu.

"Namaku Cu Kun Tek," jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang walau pun hanya nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya. Garis-garis dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup.

Jawaban yang singkat ini pun membuat Bi Lan mengerutkan alis. Sikap pemuda yang pendiam ini seakan-akan menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah. Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?

"Kenapa kau membantuku?" Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya, seperti orang menuntut.

"Engkau seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu." Jawaban ini pun singkat saja.

Suasana menjadi kaku. Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!

"Apa kau tidak tanya namaku?"

Barulah pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa canggung dan malu-malu. "Ehhh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat dan sanggup menghadapi pengeroyokan banyak orang lihai."

"Namaku Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali. Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!" kata Bi Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.

"Tidak mungkin!" Kun Tek membantah. "Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh bahwa aku jauh lebih tua."

"Hemm, kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kau pertaruhkan."

"Aku tidak pernah berjudi selama hidupku!" Kun Tek membantah, mendongkol juga melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.

"Memang tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir usiamu paling banyak lima belas tahun, jadi aku masih lebih tua dua tahun." Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena hatinya merasa dongkol, tidak benar-benar mengira usia pemuda itu lima belas tahun.

Cu Kun Tek balas menggoda. "Aha, kiranya baru tujuh belas tahun! Masih amat muda, hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilan belas tahun."

Keduanya berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan tidak enaknya. "Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?"

"Bukan anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!" Kun Tek berkata cepat.

"Baiklah, seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, walau pun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!"

Dengan marah Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.

"Aduhhhh...!"

Dengan sekali loncatan saja Kun Tek sudah berada di tepi lubang dan mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.

"Ah, kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang sakit? Kakimu? Mungkin terkilir, mana kubetulkan letak ototnya kembali."

Tanpa banyak cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali mengenai penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biar pun pijatan-pijatan itu menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itu pun menghilang.

"Bagaimana? Sudah enakan?"

Bi Lan hanya mengangguk.

"Wah, pakaianmu kotor semua. Mari kita mencari sumber air bersih di mana kau dapat mencuci tubuhmu dan pakaianmu. Lain kali yang hati-hatilah, di tempat gelap yang tidak dikenal lagi."

Bi Lan bangkit berdiri dibantu oleh Kun Tek yang memegang lengannya. "Engkau sih!" Bi Lan mengomel. "Sikapmu tadi kaku dan tidak bersahabat, menimbulkan rasa dongkol dalam hatiku."

"Tidak bersahabat? Aih, bukankah aku telah membantumu? Maafkanlah, sesungguhnya aku bersikap kaku karena aku ingin bersikap sopan kepadamu..."

Meski mendongkol karena pakaian dan tubuhnya kotor penuh lumpur, Bi Lan terheran-heran mendengar pengakuan itu.

"Bersikap sopan?" Ia mendesak, menuntut penjelasan.

Kun Tek menundukkan mukanya, merasa canggung dan malu, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah gadis itu dalam keremangan malam. "Kita baru saja berkenalan, kalau aku bersikap terlalu ramah, bukankah engkau akan menyangka yang bukan-bukan, bahwa aku seorang laki-laki yang ceriwis dan kurang ajar. Aku terus terang saja, aku belum pernah berkawan dengan seorang gadis, dan menurut ibuku, sebagai seorang pemuda aku tidak boleh bersikap... ehh, menjilat terhadap wanita..."

Bi Lan ingin tertawa keras, akan tetapi ditahannya dan ia hanya tersenyum. Pemuda ini sungguh seorang yang berwatak aneh dan jujur! "Siapa ingin kau menjilat dan bermuka-muka? Aku malah akan benci sekali jika engkau bermuka-muka dan bermanis di mulut saja."

Cu Kun Tek merasa betapa jantungnya berdebar girang. Gadis ini sekarang tidak marah lagi!

"Adik Bi Lan, mari kita mencari air bersih untuk engkau mencuci tubuh dan pakaianmu." Dia mendahului mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan sebuah anak sungai yang cukup bersih.

Karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang remang-remang, Bi Lan tidak merasa canggung atau malu untuk membersihkan tubuhnya, lalu menanggalkan semua pakaiannya yang sudah berlumuran lumpur itu dan berganti dengan bakaian bersih. Untung pakaiannya yang berada di dalam buntalan tidak terkena lumpur. Selama ia membersihkan dirinya, Kun Tek menjauhkan diri sampai tidak dapat melihat gadis itu dalam keremangan malam. Dia membuat api unggun agak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon.

Tak lama kemudian, Bi Lan datang mendekat dan duduk dekat api unggun. Rambutnya masih basah, tapi pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih, sedangkan yang kotor sudah dicucinya, kini dibentangkannya di atas cabang pohon. Mukanya nampak segar kemerahan tertimpa cahaya api unggun dan diam-diam Kun Tek merasa kagum bukan main. Gadis ini memang manis dan gagah perkasa, juga amat sederhana, wajar dan lugu dalam gerak-geriknya.

"Dingin...?" tanya Kun Tek karena melihat betapa kini gadis itu berusaha mengeringkan rambutnya yang masih basah. Hawa udara malam itu memang agak dingin.

Bi Lan mengangguk. "Tadi memang airnya dingin sekali. Akan tetapi sekarang tidak lagi, hangat dan nyaman dekat api unggun ini."

Mereka berdiam diri agak lama, kadang-kadang saling pandang saja sekilas. Sikap Kun Tek yang canggung dan malu-malu, yang tidak berani menentang pandang mata gadis itu terlalu lama, menularkan perasaan canggung pada hati gadis itu.

Biasanya Bi Lan tidak pernah merasa canggung berhadapan dengan siapa pun. Ia polos dan wajar. Akan tetapi melihat betapa pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini agaknya malu-malu kepadanya, hal itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dan dia pun menjadi malu-malu pula.

Ia sendiri merasa heran mengapa ada perasaan seperti ini terhadap pemuda yang baru dikenalnya ini, seolah-olah pemuda ini merupakan suatu keistimewaan. Padahal, apa bedanya pemuda ini dengan orang-orang lain? Mungkin karena sikap Kun Tek itulah! Dan ia pun tidak mengerti mengapa seorang pemuda gagah perkasa seperti ini bersikap demikian pemalu dan canggung terhadapnya.
Tiba-tiba pendengaran Bi Lan yang sangat tajam terlatih itu mendengar sesuatu yang membuatnya menahan senyum. Heran, mengapa dia pun menjadi suka merahasiakan hal yang demikian lucunya? Ia telah mendengar bunyi keruyuk dari perut pemuda itu! Biasanya, menghadapi peristiwa lucu seperti ini, dia tentu akan tertawa sejadi-jadinya dan tidak merahasiakan kegelian hatinya.

Dan suara keruyuk perut pemuda itu mengingatkannya bahwa ia pun sebenarnya sudah lapar sekali, apa lagi karena tadi berkelahi sehingga ia kehabisan tenaga, juga bekas tendangan Bhok Gun pada pinggangnya masih terasa nyeri. Ketika ia membersihkan tubuhnya tadi, ia meraba pinggangnya dan ternyata kulit di bagian itu matang biru dan memar.

"Aih, perutku lapar sekali," katanya sambil menekan senyum di hatinya. "Kau...?"

Pemuda itu mengangguk. "Aku juga lapar."

"Dan pinggangku terasa nyeri, tadi kena tendang si jahanam Bhok Gun."

"Bhok Gun? Laki-laki yang lihai itu? Orang apakah dia dan mengapa kau tadi dikeroyok? Siapa pula engkau ini, adik Bi Lan? Dari perguruan mana dan dari mana hendak ke mana?"

Kini Bi Lan memperoleh kesempatan untuk tertawa, melepas semua kegelian hati tanpa khawatir menyinggung seperti kalau ia mentertawakan keruyuk perut pemuda itu.

"Hi-hi-hik, kau menghujankan pertanyaan seperti itu. Kalau kujawab semua, tentu akan membuat perutku semakin lapar saja."

"Ohh, aku masih mempunyai dua buah bakpao yang kubeli siang tadi." Pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memang dia mempunyai dua buah bakpao yang cukup besar, yang dibungkus dalam kertas putih, "Sayang bakpao ini sudah dingin, akan tetapi masih baik." Dia menyerahkan bakpao itu kepada Bi Lan.

Tanpa malu-malu lagi Bi Lan mengambil sebuah dan makan dengan lahap. Bakpao itu memang enak, lunak, dan dagingnya gurih. Kun Tek memandang dengan girang melihat betapa gadis itu makan demikian enaknya sehingga dia tidak tega untuk makan bakpao yang ke dua. Setelah bakpao itu habis dimakan Bi Lan, Kun Tek menyerahkan lagi yang ke dua.

"Nih, makanlah ini, nona. Engkau lapar sekali."

Bi Lan memandang bakpao itu dengan mata masih ingin, karena selain bakpao itu enak, juga ia lapar sekali, belum cukup hanya oleh sebuah bakpao tadi. Akan tetapi ia teringat akan berkeruyuknya perut Kun Tek, maka ia menggeleng kepala.

"Tidak, engkau sendiri juga lapar. Makanlah yang itu."

"Aku dapat bertahan sampai besok, adik Bi Lan..."

Bi Lan tertawa dan pemuda itu memandang khawatir. Apa lagi yang kini ditertawakan, pikirnya.

"Hi-hik, Cu Kun Tek, engkau ini memang orang aneh. Perut lapar berpura-pura lagi, dan bagaimana pula itu caramu memanggil aku. Sebentar adik, sebentar nona. Mengapa susah-susah amat sih? Namaku Bi Lan, panggil saja namaku seperti aku memanggil namamu Kun Tek. Kan lebih santai?"

Kun Tek tersenyum dan baru sekali ini Bi Lan melihat senyumnya. Wajah yang gagah itu tidak berapa menyeramkan kalau tersenyum. Memang tampan walau pun kulit muka itu agak gelap kehitaman.

"Maaf, aku memang canggung menghadapi wanita. Belum pernah punya teman wanita sih. Baiklah, aku memanggilmu Bi Lan saja. Nih, kau makan saja ini, Bi Lan. Aku sudah sering kali menahan lapar, kalau sampai besok saja masih kuat."

"Tidak, sedikitnya engkau harus makan sebagian, baru aku mau. Aku malu kalau harus menjadi orang yang pelahap dan tamak. Aku tadi mendengar perutmu berkeruyuk, tak perlu berpura-pura lagi."

Terpaksa Kun Tek mengalah dan membagi bakpao itu menjadi dua. Mereka lalu makan bakpao dan agaknya bukit es yang menghalang di antara mereka kini sudah mencair sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai tanpa merasa sungkan-sungkan lagi seperti tadi.

"Bi Lan, sekarang ceritakanlah tentang dirimu, tentang peristiwa pengeroyokan tadi."

"Nanti dulu," bantah Bi Lan, kini merasa nyaman setelah perutnya kemasukan bakpao satu setengah potong dan kehangatan api unggun sungguh nikmat rasanya. "Aku ingin mendengar lebih dulu tentang kau, terutama sekali tentang ibumu yang menasehatkan bahwa engkau tidak boleh bermuka-muka kepada wanita. Siapakah ayah ibumu dan siapa gurumu?"

Kun Tek menarik napas panjang. Biasanya dia tidak suka memperkenalkan namanya karena menurut ayahnya, nama besar di dunia kang-ouw hanya memancing datangnya banyak musuh dan lawan saja. Karena itulah dalam peristiwa di dusun itu pun dia tidak mau memperkenalkan nama.

Sebagai putera tunggal majikan Lembah Naga Siluman, tentu saja ada sedikit perasaan manja dalam hati Kun Tek, akibat kemanjaan yang diberikan ibunya, dan ada pula sifat sedikit tinggi hati. Akan tetapi dia sendiri merasa heran kenapa kini berhadapan dengan Bi Lan, dia menjadi lembut dan mau saja mengalah.

"Guruku adalah ayah ibuku sendiri," dia mulai bercerita. "Ayahku bernama Cu Kang Bu dan tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Aku dalam perjalanan merantau dan kebetulan sekali aku melihat peristiwa di dusun itu dan lalu turun tangan membantumu melihat kau dikeroyok begitu banyak orang lihai. Nah, sekarang giliranmu bercerita."

"Wah, sedikit amat kau cerita tentang dirimu!"

"Habis, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan, Bi Lan."

Orang ini sungguh tidak ingin menonjolkan diri, pikir Bi Lan yang merasa semakin suka kepada Kun Tek.

"Dan perbuatanmu di dusun ketika menolong sepasang pengantin dusun itu kau anggap tidak patut diceritakan?"

Kun Tek membelalakkan matanya memandang gadis itu. "Ehhh? Kau juga tahu tentang peristiwa itu?"

"Tentu saja, dari awal sampai akhir. Sejak kau memasuki ruangan itu, menghajar Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya, sampai engkau meninggalkan ruangan tanpa memperkenalkan diri." Bi Lan tersenyum. "Engkau sungguh gagah, Kun Tek."

Kun Tek menundukkan mukanya, agak tersipu. "Ahhh, perbuatan seperti itu kan sudah seharusnya kita lakukan? Kalau tidak kita lakukan, lalu untuk apa kita bersusah payah mempelajari ilmu dan memiliki kepandaian silat? Nah, aku siap mendengarkan ceritamu, Bi Lan."

"Pertama-tama, aku sudah tidak punya ayah ibu lagi."

"Aduh kasihan! Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Mereka telah meninggal dunia, tewas terbunuh orang-orang jahat ketika aku masih kecil."

"Ahhh! Siapakah orang-orang jahat itu, Bi Lan? Aku akan membantumu menghukum mereka itu!"

Bi Lan tersenyum. "Ehh, bagaimana engkau begitu sembrono, Kun Tek? Bagaimana kalau keluargaku yang jahat, lalu mereka yang membunuh ayah ibuku itu yang benar dan baik?"

"Mana mungkin. Bukankah engkau tadi yang mengatakan sendiri bahwa ayah ibumu dibunuh orang jahat?"

"Itu kan aku yang mengatakan, sebab mereka telah membunuh orang tuaku. Siapa tahu mereka juga mengatakan bahwa justru kami orang jahatnya. Bagaimana engkau berani mempercayai aku begitu saja?"

Cu Kun Tek tersenyum. "Memang benar kata-katamu, Bi Lan. Semua orang, baik atau buruk, tentu akan mengatakan jahat kepada musuhnya. Akan tetapi aku kan sudah berhadapan denganmu dan aku yakin bahwa orang seperti engkau ini tidak mungkin jahat."

"Kenapa engkau begitu yakin?"

Kun Tek menatap wajah gadis itu. "Karena sikapmu, karena wajahmu, karena matamu dan mulutmu... ahhh, sudahlah, Bi Lan, kau lanjutkan ceritamu. Mengapa orang tuamu dibunuh orang jahat?"

"Pada waktu aku masih kecil, saat berusia sepuluh tahun, bersama ayah ibu aku pergi meninggalkan kampung halaman kami di Yunan Selatan karena di sana dilanda perang. Di tengah jalan, kami dihadang sepasukan orang Birma. Ayah ibu terbunuh oleh mereka dan aku sendiri ditolong oleh tiga orang sakti yang kemudian mengambil aku sebagai murid dan mereka bertiga telah membasmi semua orang yang telah membunuh orang tuaku itu."

"Ahh, syukurlah kalau musuh-musuhmu sudah terbasmi. Siapakah tiga orang sakti yang menjadi gurumu itu?"

"Mereka berjuluk Sam Kwi."

Kun Tek tidak menyembunyikan perasaan kagetnya mendengar nama itu. Dia pernah mendengar dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kaum sesat di dunia persilatan, dan di antaranya yang menonjol adalah nama Sam Kwi.

"Kau… kau maksudkan... Sam Kwi... para datuk kaum sesat itu?" tanyanya ragu sambil memandang wajah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengangguk. "Benar sekali. Nah, engkau tentu mulai meragukan pendapatmu bahwa aku orang-orang baik sekarang."

Kun Tek menggeleng kepala. "Aku tidak percaya! Sungguh tidak mungkin seorang gadis seperti engkau ini menjadi murid tiga orang datuk sesat yang jahat." Dia berhenti sebentar tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, lalu melanjutkan, "Seorang gadis yang berwatak gagah dan memiliki sifat baik seperti engkau tentu tidak akan mau menjadi murid datuk-datuk sesat yang kabarnya amat jahat seperti iblis itu. Aku tidak percaya."

Bi Lan tersenyum. "Kun Tek, coba bayangkan ini. Andai kata engkau sendiri menjadi aku, dalam usia sepuluh tahun, melihat ayah ibu dibunuh orang-orang jahat, kemudian engkau sendiri diselamatkan oleh tiga orang datuk itu, yang juga membalaskan sakit hatimu dengan membasmi semua penjahat itu, dan lalu tiga orang itu memeliharamu, mendidikmu dengan ilmu silat, apakah engkau akan menolaknya?" Dia memandang tajam. "Boleh jadi Sam Kwi amat jahat terhadap orang-orang lain, akan tetapi terhadap diriku mereka itu baik sekali." Bi Lan masih merasa berhutang budi kepada tiga orang kakek itu, maka kepada siapa pun juga ia tidak sudi menceritakan usaha mereka untuk memperkosanya.

Kun Tek mengangguk-angguk, dapat membayangkan keadaan gadis itu dan dia pun tak dapat menyalahkannya, bahkan kini dapat mengerti mengapa seorang gadis seperti Bi Lan ini menjadi murid Sam Kwi yang terkenal jahat. Makin heranlah hatinya. Kalau Bi Lan menjadi murid tiga orang datuk sesat, kenapa gadis ini tidak mengikuti jejak guru-gurunya dan bahkan menjadi seorang gadis yang berwatak gagah dan begini baik budi?

"Aku mengerti sekarang. Bi Lan dan maafkan kata-kataku tadi. Dan sekarang, ceritakan kenapa engkau dikeroyok oleh orang-orang lihai itu? Siapakah mereka?"

"Lelaki yang lihai sekali itu, yang telah menendang pinggangku, masih terhitung seorang suheng-ku sendiri..."

"Ehhh...?" Kembali Kun Tek terkejut, akan tetapi dia segera teringat siapa adanya guru-guru gadis ini, maka dia pun tidak begitu heran lagi. "Siapa dia?"

"Namanya Bhok Gun, dia cucu murid mendiang Pek-bin Lo-Sian, paman guru dari Sam Kwi. Dia memang memusuhiku dan tadi dia ingin menangkapku, dibantu oleh para anak buahnya, yaitu para anggota Ang-i Mo-pang, dan dibantu lagi oleh para perwira yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana datangnya."

"Sungguh mengherankan keadaanmu, Bi Lan. Engkau, seorang gadis perkasa yang baik budi, bukan saja menjadi murid orang-orang seperti Sam Kwi, akan tetapi juga dimusuhi oleh seorang suheng sendiri! Kenapa dia memusuhimu?"

"Karena dia cinta padaku."

"Wah? Apa lagi ini? Dia cinta padamu maka dia memusuhimu? Aku tidak mengerti."

"Dia cinta padaku, itu menurut pengakuannya dan dia hendak memaksa aku menjadi isterinya, sekutunya untuk bekerja sama membantu seorang pembesar di kota raja. Aku menolak dan dia lalu memusuhiku."

"Hemmm, dan itu dia katakan mencinta? Mana ada cinta macam itu?" Kun Tek berseru marah.

Melihat kemarahan pemuda itu, Bi Lan tersenyum dan tertarik untuk membicarakan soal cinta yang juga tidak dimengertinya itu dengan pemuda ini. "Kun Tek, engkau lebih tua dariku dua tahun, tentu engkau lebih berpengalaman dan tahu tentang cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana seharusnya cinta itu?"

Kun Tek sering kali bicara tentang kehidupan, tentang cinta dan sebagainya dengan ibunya. Sekarang dia mengerutkan alisnya, sikapnya seperti seorang guru besar sedang memikirkan persoalan yang amat rumit, kemudian berkata, "Cinta itu sesuatu yang suci, mencinta berarti tidak akan memusuhi orang yang dicinta. Mencinta orang berarti ingin melihat yang dicintanya itu hidup berbahagia."

"Bagaimana kalau orang yang dicinta tidak membalas?" Dara ini teringat akan Hong Beng yang mengaku cinta kepadanya dan yang tidak dibalasnya. "Apakah dia tidak akan merasa kecewa dan marah seperti halnya Bhok Gun itu?"

"Hemm, tentu saja kecewa dan patah hati, akan tetapi tidak marah dan tidak membenci orang yang menolak cintanya. Mungkin yang ada hanya duka dan kecewa. Kalau dia marah-marah lalu memusuhi orang yang dicintanya seperti yang dilakukan Bhok Gun itu, jelas dia itu tidak mencinta dan dia jahat sekali!"

Bi Lan menahan ketawanya melihat betapa pemuda itu menarik muka seperti seorang guru besar memberi kuliah. "Dan bagaimana kalau engkau sendiri yang jatuh cinta? Bagaimana kalau engkau mencinta orang? Apa yang akan kau lakukan kalau orang yang kau cinta itu tidak membalas cintamu, Kun Tek?"

"Aku tidak akan jatuh cinta!" Jawab Kun Tek dengan singkat dan tegas, dan mukanya berubah merah.

"Begitukah? Akan tetapi seandainya engkau yang jatuh cinta, lalu bagaimana sikapmu terhadap orang yang kau cinta itu kalau ia tidak membalas cintamu?"

"Aku akan tetap mencintanya, melindunginya dengan taruhan nyawa, aku ingin melihat ia berbahagia."

"Biar pun ia tidak menjadi isterimu dan biar pun ia hidup di samping laki-laki lain?"

"Ya..."

"Dan engkau akan merana selama hidupmu, kecewa dan putus asa?"

"Tidak, aku...aku… ahhh, aku tidak akan jatuh cinta! Jatuh cinta itu suatu kebodohan!"

"Wah, ini sesuatu yang baru bagiku!" Bi Lan berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ternyata Kun Tek ialah orang yang penuh kejutan dalam membicarakan soal cinta. "Jatuh cinta itu suatu kebodohan? Mengapa?"

"Karena jatuh cinta itu sama dengan mengundang datangnya kesengsaraan dan duka nestapa. Sekali orang jatuh cinta, berarti ia telah terperosok dengan sebelah kakinya ke dalam jurang yang akan membuat hidupnya merana."

Bi Lan sengaja menarik mukanya seperti orang merasa ngeri. "Ihhh! Jadi, menurut pendapatmu, tidak ada orang berbahagia karena mencinta dan dicinta?"

Kun Tek teringat akan keadaan ayah ibunya. Ia tahu bahwa dalam banyak hal, ayahnya selalu mengalah kepada ibunya, dan ayahnya telah banyak menyimpan kedongkolan hatinya karena kekerasan hati dan kerewelan ibunya, dan semua itu dilakukan ayahnya karena dia mencinta isterinya. Dia menggeleng kepala.

"Tidak ada! Cinta mendatangkan ikatan yang membuat orang selalu menderita duka. Dan kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya sekali waktu akan teruji dan runtuh, dan sang pria yang akan menderita patah hati karena cinta, tenggelam dalam duka."

Bi Lan merasa tersinggung dan menahan kemarahannya. Dia masih tersenyum ketika bertanya, "Jadi, menurut pendapatmu, semua wanita itu tidak setia dan oleh karenanya engkau tidak mau jatuh cinta?"

"Begitulah. Aku hanya akan jatuh cinta kalau ada wanita yang setia sampai mati, yang lemah-lembut dan baik budinya, cantik jelita lahir dan batin, yang mencinta suaminya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, yang selalu menyenangkan hati suaminya, tidak ada cacat celanya..."

"Perempuan begitu bukan manusia! Tetapi harus dipesan langsung ke surga, di antara bidadari dan malaikat! Pendapat seperti itu hanyalah pendapat orang gila yang tolol, sombong dan keras kepala."

Melihat Bi Lan sudah bangkit berdiri, membanting kaki dan mukanya membayangkan kemarahan itu, Kun Tek terkejut dan terheran-heran. "Kau... kau marah-marah, Bi Lan? Kenapa?"

Bi Lan segera teringat akan keadaan dirinya dan dia sadar kembali. Kenapa dia harus marah-marah? Biarlah pemuda ini berpendapat apa yang disukainya, biar pun pendapat itu tolol dan merendahkan kaum wanita. Hemm, ia ingin sekali membuat pemuda itu kecelik, membuat pemuda itu tersandung pendapatnya sendiri dan bertekuk lutut! Ia pun menarik napas panjang dan duduk kembali.

"Maaf, aku lupa diri... ahhh, aku sudah mengantuk, aku ingin tidur."

"Tidurlah, beristirahatlah, biar aku yang berjaga di sini."

Bi Lan kemudian merebahkan dirinya miring di dekat api unggun, berbantal buntalan pakaiannya. Melihat ini, Kun Tek cepat membuka buntalan pakaiannya. "Aku, membawa selimut tipis, kau pakailah ini," katanya sambil menyerahkan selimut itu.

"Tidak, aku tidak perlu selimut. Api itu sudah cukup hangat," kata Bi Lan. Suaranya masih ketus karena hatinya masih panas. Kalau dia memaksa diri untuk tidur, hal itu hanyalah untuk mencegah agar dia jangan sampai lupa diri dan marah-marah lagi.

"Terserah kepadamu, Bi Lan," berkata Kun Tek yang duduk kembali termenung sambil memandang api unggun, menambahkan kayu bakar yang tadi dikumpulkannya.

Ia melirik ke arah tubuh Bi Lan. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Oleh karena rebah miring, nampak jelas lekuk lengkung tubuh gadis itu yang bagaikan setangkai bunga yang sudah mulai mekar. Rambutnya yang tadinya dibiarkan terurai menutupi sebagian lehernya, dan di antara celah-celah gumpalan rambut nampak kulit leher yang mulus dan kuning lembut, bagai mengeluarkan kehangatan, seperti mengeluarkan kehangatan yang lebih nyaman dari pada kehangatan api unggun. Rambut itu terus menyelimuti pundak dan punggung.

Tiba-tiba Bi Lan membuka mata dan cepat-cepat Kun Tek memutar leher mengalihkan pandangannya kembali kepada api unggun. Dia tidak mau gadis itu melihatnya sedang memperhatikan.

"Kun Tek, benarkah engkau takkan jatuh cinta kecuali kalau ada gadis... yang... bagai mana tadi? Gadis yang setia sampai mati, yang lemah lembut dan baik budi, yang cantik lahir batin, yang mencinta dengan tubuh dan nyawa. Bagaimana kalau ada gadis seperti itu turun dari kahyangan dan menjumpaimu? Engkau akan jatuh cinta kepadanya?”

"Mungkin ya, mungkin juga tidak."

"Lho! Kok mungkin juga tidak? Bagaimana pula ini?" Bi Lan kembali bangkit duduk saking herannya mendengar jawaban itu. Kantuknya hilang seketika dan ia telah duduk memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

"Tergantung cocok atau tidaknya seleraku."

Hampir saja Bi Lan memukul pemuda itu, akan tetapi ia masih menahan perasaannya dan berseru, "Engkau memang orang gi..." ia masih sempat menahan makiannya. Pemuda ini baru saja dikenalnya, belum ada satu hari, tidak baik kalau ia mengeluarkan kemarahannya secara terbuka.

"Apa...?"

"Orang aneh sekali, belum pernah aku jumpa orang seaneh kau. Hemm, sekarang aku mau tidur!" Dan dengan keras Bi Lan membanting tubuhnya kembali di atas tanah berumput, membalikkan tubuh, miring membelakangi pemuda itu dan selanjutnya tidak mau menengok lagi. Begitu mengkal rasa hatinya, gemas dan dongkol tapi ditekan dan ditahannya.

Sementara itu, Kun Tek duduk termenung memandang api. Hati dan pikirannya penuh dengan diri Bi Lan. Gadis yang aneh sekali, pikirnya, aneh dan menarik. Baru saja mengenalnya sudah berani memaki-makinya. Gila, tolol, sombong dan keras kepala!

Kalau saja dia dimaki seperti itu oleh orang lain, tanpa sebab tertentu, agaknya dia tidak akan dapat menahan diri dan akan menghajar orang itu. Akan tetapi sungguh aneh. Kenapa dia dimaki-maki oleh gadis ini dan sama sekali tidak ada rasa marah di hatinya, melainkan bingung dan menyesal? Apakah karena mendengar akan nasib gadis ini yang ayah bundanya telah mati terbunuh orang ketika masih kecil membuat dia merasa kasihan dan mengalah?

Sementara itu, Bi Lan yang tidur miring membelakangi pemuda itu, merasa mendongkol sekali. Biar pun Kun Tek tidak menujukan pandangannya tentang perempuan itu kepada dirinya, akan tetapi ia merasa mendongkol dan seperti mewakili semua perempuan yang dipandang rendah oleh Kun Tek. Sombongnya!

Ia pun merasa penasaran. Hampir semua pria yang dijumpainya, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan suka, akan tetapi Kun Tek bersikap seolah-olah dia hanya terbuat dari angin saja! Dianggap angin lalu! Tidak memperlihatkan kemarahan, tidak pernah memuji, apa lagi kelihatan tertarik. Bahkan jelas memandang rendah kepadanya ketika mengatakan bahwa dia takkan jatuh cinta kecuali kepada perempuan khayalnya tadi. Tanpa cacat cela! Serba sempurna! Phuahhh! Dengan hati penuh kemurungan dan kesebalan, akhirnya Bi Lan tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidur pulas.

**********

Rasa dongkol itu agaknya tidak juga terhapus oleh tidurnya. Begitu ia terbangun dari tidurnya, Bi Lan sudah teringat lagi dan merasa tak senang dan dongkol. Akan tetapi, pada saat ia bangkit duduk dan melihat kain yang menyelimuti tubuhnya, rasa panas dongkol itu menjadi agak dingin. Semalam Kun Tek telah menyelimuti tubuhnya!

Ia menoleh ke kanan kiri. Pemuda itu tak nampak, akan tetapi buntalan pakaiannya masih berada di situ. Sinar matahari pagi telah mengusir kegelapan malam dan api unggun sudah padam, baru saja padam karena masih berasap, agaknya padam setelah ditinggalkan pemuda itu.

Bi Lan menggeliat, seperti seekor kucing betina baru bangun dari tidurnya. Dan ia pun menyeringai karena ketika ia menggeliat, terasa pinggangnya masih nyeri. Keparat Bhok Gun, dia memaki dalam hatinya. Dilipatnya kain selimut itu dan diletakkannya di atas buntalan pakaian Kun Tek, lalu ia duduk melamun.

Pemuda macam itu yang demikian sombong, perlu apa didekati, pikirnya. Menurut hatinya yang panas, ia ingin pergi sekarang juga tanpa pamit. Akan tetapi, pikirannya mengatakan lain. Terlalu enak bagi Kun Tek kalau dibiarkan mengembang kempiskan hidungnya dengan sombong, melanjutkan pendapatnya yang memandang rendah kaum wanita. Pemuda seperti itu harus diberi pelajaran, harus dibuktikan bahwa pendapatnya itu hanya timbul sebagai suatu kepongahan, kesombongan, dan gertakan atau bualan belaka. Ia harus dapat membuat dia bertekuk lutut untuk membuktikan kepalsuan pendapatnya yang sombong itu.

"Bi Lan, kau sudah bangun? Nih, lihat apa yang kudapatkan!" Tiba-tiba terdengar suara Kun Tek dari jauh dan nampak pemuda itu berlari-lari datang sambil memanggul seekor kijang muda yang sudah mati. Binatang itu dia turunkan di depan kaki Bi Lan dan dia berkata, "Bi Lan, ketika aku mandi, nampak binatang ini turun minum air di hulu sungai, maka aku berhasil merobohkannya dengan lemparan batu. Apakah kau dapat memasak dagingnya?"

Tadinya Bi Lan hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan niat hatinya, maka dia tersenyum manis dan menjawab, "Tentu saja bisa. Tapi bumbu-bumbunya..."

"Jangan khawatir. Buntalan pakaianku itu adalah sebuah almari yang cukup lengkap. Lihat ini, ada garam, ada bawang, ada kecap, bahkan aku membawa sebuah panci," katanya gembira dan ketika dia mengangkat muka menatap wajah gadis itu, hampir saja Kun Tek terpesona.

Wajah itu, wajah yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka, namun begitu manis luar biasa. Rambutnya yang kemarin riap-riapan itu kini sudah kering dan awut-awutan, akan tetapi menambah kemanisannya. Apa lagi gadis itu tersenyum dan nampak lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dengan bibir yang merah basah dan kedua pipi yang agak kemerahan, sepasang mata yang begitu bening dan bersinar tajam. Bukan main!

"Kau kenapa, Kun Tek?"

"Tidak apa-apa...," pemuda itu agak panik. "Hanya... sayang sekali aku tak mempunyai beras atau gandum..."

"Kijang muda ini cukup gemuk dan kurasa dagingnya cukup untuk mengenyangkan kita, malah takkan termakan habis."

"Biar sebagian kubikin dendeng agar dapat dibawa sebagai bekal."

"Aku mau mandi dulu," kata Bi Lan.

"Pergilah, aku akan mengulitinya. Mandinya di tempat kau membersihkan tubuh dan pakaianmu semalam, Bi Lan. Airnya jernih dan sejuk."

"Baik, akan tetapi kau jangan ke sana selagi aku mandi," kata Bi Lan sambil mengerling dan menahan senyum, sikap yang manja dan menarik sekali.

Kembali lagi Kun Tek melongo, kagum melihat segala keindahan wanita yang berada di depannya itu.

"Mau apa ke sana? Aku... aku tidak sekurang ajar itu, Bi Lan."

"Siapa tahu? Laki-laki biasanya suka mengintai, biasanya memang kurang ajar," kata Bi Lan dan tanpa menanti jawaban Kun Tek, sambil terkekeh ia lalu lari menuju ke anak sungai yang berada tak jauh dari tempat itu, namun tidak nampak karena terhalang oleh sekelompok pohon.

Sambil mandi, Bi Lan mengepal tinju. "Pasti akan kujatuhkan kau, manusia sombong!" katanya.

Ia kemudian teringat betapa suci-nya, Bi-kwi, pernah bercakap-cakap tentang laki-laki dengannya, pada saat hati suci-nya itu sedang puas dan senang. Mula-mula ia yang menegur suci-nya, kenapa suci-nya suka bermain-main dengan pria, berganti-ganti pria.

"Aku suka mempermainkan pria, siapa saja yang menarik hatiku."

"Ahh, bagaimana kalau kelak ada yang menolakmu, suci? Bukankah engkau akan malu sebagai wanita yang ditolak pria?"

"Hemm, laki-laki mana yang mampu menolak? Kalau diusahakan, kita kaum wanita, asalkan tidak cacat atau buruk sekali rupanya, akan mampu menundukkan laki-laki yang mana pun juga. Betapa pun gagah dan kuatnya pria, akan mudah bertekuk lutut kalau kita hadapi dengan senyum, dengan kerling mata memikat, dengan gerak-gerik yang luwes dan menggairahkan."

Mengingat akan ucapan suci-nya itulah sekarang Bi Lan mengambil keputusan untuk menjatuhkan Kun Tek, hanya untuk membuktikan bahwa pendapat Kun Tek mengenai wanita tidak benar, bahwa Kun Tek dapat jatuh cinta kepada seorang wanita, bukan seorang perempuan khayal. Ia merasa penasaran dan ingin memberi pelajaran kepada pemuda yang dianggapnya membual dan sombong itu.

Setelah selesai mandi, Bi Lan membereskan pakaiannya, mematut-matut diri sambil menyisiri rambutnya. Ia nampak semakin segar dan cantik jelita walau pun pakaiannya sederhana ketika dengan langkah perlahan ia kembali ke tempat di mana Kun Tek sibuk menguliti kijang tadi.

"Sudah selesaikah engkau menguliti kijang itu?" tanya Bi Lan dengan suara halus dan manis.

Kun Tek yang sedang berjongkok dan sibuk itu menoleh dan mengangkat mukanya. Dengan gembira sambil diam-diam mentertawakan pemuda itu, Bi Lan melihat betapa sepasang mata pemuda itu kini kehilangan sinar yang dingin dan acuh itu. Sinar mata itu kini penuh semangat memandang kepadanya, penuh kekaguman.

Dan memang Kun Tek terpesona. Karena Bi Lan datang dari arah timur, maka sinar matahari pagi nampak di belakang gadis itu, seperti cahaya keemasan mengantar dara manis itu, membuat ia nampak gilang-gemilang seperti seorang dewi pagi turun dari kahyangan menyeberang ke bumi melalui cahaya matahari!

"Kau... kenapa, Kun Tek?" Bi Lan menegur, menahan tawanya dan hanya tersenyum manis melihat betapa pemuda itu berjongkok seperti patung memandang kepadanya, tangan kanan memegang pisau berlumur darah, tangan kiri memegang sepotong tulang.
"Mau diapakan tulang itu?"

"Apa...? Tu... tulang...?" Kun Tek tergagap.

Dan baru dia melihat bahwa dia masih memegang tulang dan baru ia sadar bahwa dia melongo seperti orang bodoh, terlongong seperti orang bengong. "Eh, ini... aku sudah selesai menguliti kijang dan sedang menyayati dagingnya. Kau... kau nampak..."

"Ya...?" Senyum itu semakin manis. "Nampak bagaimana...?"

"Anu... nampak...segar sekali!"

Bi Lan tertawa renyah dan menghampiri pemuda itu. Pesona itu membuyar dan Kun Tek menyerahkan potongan-potongan daging kepada Bi Lan. "Cukupkah sebegini? Kalau cukup, lainnya akan kubuat dendeng."

"Cukup, kita berdua menghabiskan daging sebegini pun sudah akan kenyang sekali," jawab Bi Lan.

Kun Tek sudah menyalakan lagi api unggun dan sudah menyiapkan semua keperluan masak seperti panci, bumbu-bumbunya dan dia lalu membawa kulit, tulang-tulang dan sebagian daging yang akan dibuatnya dendeng, lalu pergi agak menjauh.

Tak lama kemudian, setelah keduanya bekerja tanpa bicara, mereka pun menghadapi masakan daging kijang yang dibuat oleh Bi Lan. Semenjak kecil, Bi Lan yang melayani gurunya memang sudah biasa memasak, bahkan biasa masak bahan-bahan yang sederhana menjadi masakan yang cukup enak.

Dengan bumbu seadanya, sekarang ia telah membuat dua macam masakan saja, yaitu daging panggang dan masakan yang ada kuahnya. Dan karena mereka berdua merasa lapar sekali, ditambah suasana yang amat menyenangkan hati, keduanya makan dengan lahap. Apa lagi Kun Tek. Dia makan dengan lahap dan kelihatan nikmat sekali.

"Lunak sekali masakanmu, Bi Lan. Daging kuah ini gurih dan sedap, dan panggang dagingnya juga enak. Kau memang pandai memasak!" puji Kun Tek sambil meggerogoti daging panggang.

Bi Lan tersenyum. "Terima kasih atas pujianmu, Kun Tek. Bagaimana dengan wanita khayalmu itu, Kun Tek?"

"Wanita khayal...? Apa... apa maksudmu, Bi Lan?" Kun Tek benar terkejut mendengar pertanyaan yang tak diduga-duganya itu.

"Wanita khayalmu yang tanpa cacat itu. Apakah ia pun pandai masak?" Bi Lan menatap tajam wajah Kun Tek yang kulitnya menjadi semakin gelap ketika dia teringat akan makna pertanyaan itu.

"Tentu saja... tentu saja seorang wanita harus pandai masak, kalau tidak, dia tidak lengkap menjadi seorang wanita, bukankah begitu?" Kun Tek dibesarkan di daerah barat di mana kaum wanita bertugas di dapur, tidak seperti suku bangsa di selatan yang kedudukannya terbalik, yaitu kaum prianya yang biasa memasak di dapur sedangkan para wanitanya biasa pula memikul air dan bekerja di sawah.

Mereka selesai makan dan ketika Bi Lan hendak mencuci tangannya, dia mengeluh. Ketika bangkit dari duduk di atas tanah itu, gerakan ini mendatangkan rasa nyeri yang menusuk pada pinggangnya. "Aduhhh..."

Kun Tek terkejut dan cepat menghampiri. "Kau kenapa, Bi Lan?" Dan melihat gadis itu menekan-nekan pinggangnya yang kiri, dia pun bertanya, "Apakah pinggang yang kena tendang lawan itu masih terasa nyeri?"

Bi Lan mengangguk dan menyeringai kesakitan. "Nyeri sekali pada saat aku memutar pinggang, seperti tertusuk rasanya."

"Wah, jangan-jangan ada yang terkilir di situ. Kalau terkilir harus cepat-cepat dibetulkan letak otot-ototnya, Bi Lan, kalau tidak bisa membengkak dan semakin berbahaya."

Bi Lan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam. "Engkau mau mengobati pinggangku? Malam tadi engkau sudah mengobati kakiku yang terkilir, engkau tentu ahli membetulkan otot yang terkilir."

Kun Tek tersenyum dan mengangguk. "Aku pernah mempelajarinya dari ayah. Kalau engkau mau, tentu saja aku suka sekali mencoba untuk memeriksa dan membetulkan letak otot yang terkilir."

"Tentu saja aku mau, kenapa kau bertanya lagi. Siapa orangnya diobati sampai sembuh tidak mau?"

"Tapi... untuk memeriksa dan membetulkan bagian yang terkilir, aku harus melihatnya, menyentuhnya dan membetulkannya dengan pijatan-pijatan dan urutan-urutan, aku… aku harus... menangani bagian pinggangmu yang terkilir itu."

Diam-diam Bi Lan tertawa dalam hatinya. "Kalau begitu mengapa? Nah, kau lakukanlah cepat agar nyerinya segera hilang."

Tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan lalu sedikit menurunkan celananya di bagian kanan dan menarik ke atas bajunya di bagian itu juga sehingga nampaklah kulit pinggangnya yang putih mulus, ke bawah sampai di lekuk pinggul dan ke atas sampai pada permulaan bukit dada.

Walau pun jantungnya berdebar seperti diguncang-guncang keras, Kun Tek menekan perasaannya dan dengan sikap biasa seolah-olah dia hanya akan mengobati lengan atau kaki saja, dia mulai memeriksa bagian pinggang itu dengan jari-jari tangannya yang terlatih. Setelah memijit sana mengelus sini, tak lama kemudian dia dapat meraba dan menentukan bahwa memang ada otot yang terkilir, akan tetapi tidak berapa parah dan mungkin rasa nyeri itu hanya karena memar saking keras dan kuatnya tendangan. Akan tetapi, cukup lama baginya meraba-raba itu sehingga mukanya penuh keringat, dan terasa jelas oleh Bi Lan betapa jari-jari tangan itu gemetar dan panas dingin!

Bi Lan menahan senyum, senyum kemenangan melihat betapa pemuda itu kini mulai mengobati pinggangnya dengan tekanan dan pijatan jari-jari tangannya yang gemetar. Ketika ia menoleh, ia melihat betapa pemuda itu telah memejamkan kedua matanya!

"Aduhhh... jangan kuat-kuat... di situ nyeri...!" Bi Lan sengaja merintih, lalu bertanya dengan nada suara heran, "Kun Tek, kenapa engkau memejamkan kedua matamu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan Kun Tek. Dia cepat membuka matanya, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu, yang seolah-olah sinarnya menusuk dan menjenguk ke dalam jantungnya, dia cepat memejamkan kembali kedua matanya.

"Ah, aku sudah terbiasa, ketika belajar dulu. Dengan memejamkan kedua mata, jari-jari tanganku lebih peka..."

"Tapi saat engkau mengobati kakiku yang terkilir, matamu tidak kau pejamkan! Jangan-jangan engkau memejamkan matamu agar tidak melihat pinggangku!"

"Ahh, kenapa?" bantah Kun Tek tanpa membuka matanya.

Bi Lan tertawa dalam hatinya. "Siapa tahu, pinggangku buruk."

"Pinggangmu bagus sekali!"

"Kulitnya kasar dan hitam."

"Tidak, halus dan putih mulus."

"Mungkin bau keringatku tidak enak sehingga kau muak."

"Bau keringatmu sedap, Bi Lan."

Hampir Bi Lan tak mampu menahan ketawanya dan ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia telah menjalankan siasat seperti yang pernah didengarnya dari suci-nya, si ahli pemikat laki-laki itu. Ternyata baru sebegitu saja, ia sudah merasa dapat menguasai Kun Tek!

Memang pinggangnya masih terasa agak sakit, akan tetapi tidaklah begitu nyeri dan sebetulnya tidak perlu disembuhkan dengan pijat. Tadi ia hanya berpura-pura saja untuk memancing Kun Tek dan ternyata siasatnya itu berhasil baik. Dia berhasil membuat pemuda ini berpeluh dan gemetar, bahkan lalu memuji-mujinya.

"Sudah cukup, Kun Tek, sekarang tidak terasa nyeri lagi. Terima kasih."

Ada dua macam perasaan menyelinap di hati pemuda itu pada waktu Bi Lan berkata demikian. Ada rasa lega karena dia seperti terbebas dari ketegangan yang membuat dia berpeluh dan gemetar, akan tetapi ada rasa kecewa pula bahwa jari-jari tangannya harus meninggalkan buah pinggang yang ramping, gempal, lunak, halus dan hangat itu.

"Tidak perlu berterima kasih, Bi Lan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik dan sudah sepatutnya kalau kita saling menolong?"

Bi Lan mau melanjutkan siasatnya untuk mencoba dan menjatuhkan Kun Tek agar ia dapat memberi pelajaran kepada laki-laki yang sombong ini. Ia kemudian bangkit dan mengemasi buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung kembali.

"Sekarang telah tiba saatnya aku melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, Kun Tek. Engkau baik sekali dan terima kasih." Berkata demikian, Bi Lan lalu meloncat pergi.

"Ehhh, Bi Lan, nanti dulu..." Kun Tek berseru dengan kaget. Keputusan Bi Lan yang mendadak untuk meninggalkannya itu sungguh mengejutkan hatinya. "Engkau hendak ke mana?"

"Aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Kita dapat melakukan perjalanan bersama..."

"Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali!"

"Aku akan membantumu, Bi Lan, sampai engkau berhasil dalam urusan itu!"

Bi Lan tersenyum manis. "Engkau memang seorang yang baik budi, Kun Tek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak kalau harus mengganggumu selalu. Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa..."

"Kita sahabat baik!"

Bi Lan mempermanis senyumnya sehingga nampak lesung pipit di kanan kiri. Manis sekali. "Memang, engkau seorang sahabatku yang baik sekali. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau harus bersusah payah selalu untukku. Nah, selamat tinggal!"

"Bi Lan...!" Kun Tek berseru akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

"Bi Lan...! " Kun Tek berteriak lagi.

Dan dia pun cepat mengumpulkan barang-barangnya, berkemas sambil kadang-kadang menengok ke depan, ke arah perginya Bi Lan yang sekarang sudah tidak nampak lagi bayangannya itu. Hati Kun Tek terasa panik dan khawatir sekali kalau-kalau dia akan kehilangan gadis itu dan tidak akan bertemu lagi dengannya.

Tetapi sebelum dia berlari untuk melakukan pengejaran, tiba-tiba berkelebat bayangan yang agaknya sejak tadi bersembunyi di balik semak-semak di seberang ladang itu dan bayangan ini membentak, "Manusia tak tahu malu, berhenti dulu aku mau bicara!"

Kun Tek terkejut, tidak menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada orang bersembunyi di belakang semak-semak. Ketika dia membalikkan tubuhnya, ternyata orang itu adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia, seorang pemuda bermuka bersih cerah, berkulit kuning. Seorang pemuda yang tampan walau pun pakaiannya yang berwarna biru itu amat sederhana.

Dengan alis berkerut, Kun Tek memandang tajam dan menegur, "Siapakah engkau dan ada urusan apa dengan aku maka engkau datang-datang mengatakan aku tidak tahu malu?"

Pemuda ini bukan lain adalah Gu Hong Beng! Pemuda ini merana sejak ditinggal pergi Bi Lan. Sakit sekali rasa hatinya oleh penolakan Bi Lan terhadap cintanya. Dia merasa hidupnya seakan-akan menjadi kosong dan sunyi. Dia melanjutkan perjalanan untuk memenuhi perintah gurunya, menuju ke kota raja, namun semangatnya sudah menipis sekali.

Malam tadi secara kebetulan sekali dia telah mengambil jalan yang sama dengan Bi Lan sehingga ketika Bi Lan yang ditolong oleh Kun Tek berhenti di tempat mereka kemudian melewatkan malam, dari jauh Hong Beng dapat melihat api unggun mereka. Pemuda ini curiga melihat api unggun itu dan dengan hati-hati dia mendekati. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Bi Lan sedang tidur dan rebah miring di dekat api unggun, dan hati yang tadinya menjadi girang itu tiba-tiba berubah panas penuh rasa cemburu ketika dia melihat seorang pemuda tinggi besar menggunakan kain untuk menyelimuti tubuh Bi Lan yang tidur pulas!

Dan dia pun segera mengenal pemuda tinggi besar itu sebagai pemuda yang dipuji-puji oleh Bi Lan, pemuda yang turun tangan menghajar Phoa Wan-gwe dan tukang-tukang pukulnya. Dengan hati panas penuh rasa cemburu, Hong Beng lalu bersembunyi dan melakukan pengintaian. Dia merasa tidak enak kalau harus muncul menemui Bi Lan pada saat itu, apa lagi melihat gadis itu sedang tidur nyenyak.

Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dua orang muda itu, ingin melihat sampai sejauh mana hubungan di antara mereka yang nampaknya sudah akrab itu. Panas sekali hatinya. Tak disangkanya Bi Lan yang baru saja meninggalkannya, kini sudah bersahabat dengan seorang pria lain, dan mengingat betapa Bi Lan memuji-muji pemuda tinggi besar itu, hatinya penuh rasa iri dan cemburu.

Dia melihat segala yang terjadi dari tempat sembunyinya. Dia memang tidak melihat pemuda itu melakukan sesuatu, kecuali menyelimuti tubuh Bi Lan dengan kain, tetapi itu pun dilakukannya dengan sikap sopan. Kemudian melihat betapa mereka berdua itu bercakap-cakap yang tak dapat didengar suaranya karena tempat sembunyinya cukup jauh.

Dan hatinya semakin panas melihat betapa mereka berdua itu makan bersama dengan sikap yang demikian gembira. Namun, ketika dia melihat betapa pemuda itu mengobati pinggang Bi Lan dengan jalan meraba dan memijat pinggang yang telanjang itu, hampir dia tidak dapat menahan diri yang dibakar oleh api cemburu!

Dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu melakukan semacam pengobatan, akan tetapi caranya yang membuat dia tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Pemuda itu begitu saja, dengan tangan telanjang, meraba dan memijat pinggang yang tidak tertutup itu. Kenapa Bi Lan membiarkan tubuhnya dipegang-pegang? Dan pemuda itu, betapa kurang ajar dan tidak sopan sekali!

Pada waktu dia melihat Bi Lan pergi meninggalkan pemuda itu dan melihat pemuda itu agaknya hendak mengejar, memanggil-manggil nama Bi Lan begitu saja, dia pun cepat meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan lari menghampiri Kun Tek. Tibalah saatnya untuk turun tangan menghajar pemuda tidak sopan itu, karena kalau Bi Lan masih berada di situ, tentu saja dia merasa malu untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Kini Bi Lan tidak ada dan dia boleh menumpahkan semua perasaan hatinya yang panas dan penuh cemburu kepada pemuda itu.

Sejenak dua orang itu berdiri saling berhadapan dan saling memperhatikan dengan sinar mata tajam. Dua orang pemuda yang sebaya dan sama-sama tampan dan gagah. Hanya bedanya, kalau wajah Hong Beng diliputi kemarahan dan kebencian, sebaliknya wajah Kun Tek mengandung keheranan dan penasaran.

"Gadis yang baru pergi tadi, apamukah ia? Isterimukah?" Hong Beng bertanya dengan suaranya yang ketus.

Kerut merut di antara alis yang tebal di wajah Kun Tek semakin mendalam dan sinar matanya menyambar marah ke arah penanya itu. "Hemm, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"

"Sangkut-pautnya dekat sekali!" kata Hong Beng semakin marah. "Gadis itu, Can Bi Lan, adalah seorang sahabatku!"

Kun Tek terbelalak dan memandang penuh selidik. Kalau pemuda ini sahabat baik Bi Lan, kenapa mengambil sikap bermusuh dengannya? "Begitukah? Akupun sahabat Bi Lan, sahabat baiknya."

"Tidak perlu engkau mengelabui aku. Engkau baru saja bertemu dengannya, karena ketika kami berdua melihat engkau turun tangan terhadap Phoa Wan-gwe, dia belum mengenalmu."

"Ah, kiranya engkau pun bersama Bi Lan ketika melihat aku melawan anak buah Phoa Wan-gwe? Kalau begitu tentu benar seorang sahabat. Siapakah engkau, sobat?"

"Aku Gu Hong Beng."

"Namaku Cu Kun Tek."

"Engkau seorang pemuda yang tidak sopan dan kurang ajar! Engkau sangat tidak tahu malu!"

Tentu saja Kun Tek kembali terbelalak dan dia mulai marah. "Saudara Gu Hong Beng, seingatku, baru sekarang kita saling berhadapan. Aku belum pernah mengganggumu, tapi mengapa engkau datang-datang memaki-maki aku? Jelaskan, apa kesalahanku maka engkau memaki aku?"

"Engkau masih pura-pura tidak tahu? Apa yang kau lakukan terhadap nona Can Bi Lan tadi? Kau kira aku tidak tahu? Sejak semalam aku sudah berada tak jauh dari sini dan menyaksikan semua perbutanmu yang tidak senonoh."

"Eh-eh-eh, apakah engkau ini orang gila? Aku tidak melakukan sesuatu yang tidak baik, kenapa mulutmu kotor sekali memaki-maki orang?"

"Hemm, dasar muka tebal! Engkau tadi meraba-raba dan memijati pinggang Bi Lan begitu saja, tanpa kain penutup, apakah kau kira perbuatan macam itu pantas dan patut dilakukan oleh seorang yang mengaku sopan? Engkau memang laki-laki ceriwis dan keji, mempergunakan kelemahan seorang gadis yang masih hijau untuk merayu. Orang macam engkau ini harus dihajar!" Berkata demikian, Hong Beng yang menjadi semakin marah karena membayangkan apa yang terjadi tadi, sudah menerjang dengan dahsyat.

"Ahh, manusia tolol!"

Kun Tek mengelak dengan lompatan ke samping. Diam-diam dia terkejut sekali karena serangan Hong Beng tadi benar-benar sangat dahsyat dan berbahaya. Baru angin pukulan saja menyambar sedemikian kuatnya. "Aku mengobatinya karena pinggangnya terkilir, dan kau menuduh yang bukan-bukan!"

"Aku bukanlah anak kecil," kata pula Hong Beng marah, "aku juga tahu bahwa engkau melakukan pengobatan, akan tetapi itu hanya dalih agar engkau dapat meraba-raba tubuhnya. Keparat, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa yang boleh melakukan seperti itu hanya antara suami isteri saja? Engkau memang seorang berwatak cabul. Jai-hwa-cat!"

Dimaki jai-hwa-cat atau penjahat pemetik bunga, sebutan bagi penjahat yang suka memperkosa wanita, Kun Tek marah bukan main. "Jahanam bermulut kotor, kau kira aku takut padamu?"

Dan dia pun maju menyerang, membalas serangan Hong Beng tadi. Hong Beng sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang.

"Dukkkk...!"

Keduanya terpental ke belakang dan Kun Tek terkejut bukan main ketika merasa betapa lengannya dijalari hawa yang amat panas. Cepat dia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan. Di lain pihak, Hong Beng juga terkejut karena lawannya memiliki tenaga yang amat kuat sehingga dia pun terdorong mundur.

Segera kedua orang pemuda ini terlibat dalam perkelahian seru. Mereka berdua sama sekali tidak sadar bahwa perkelahian yang seru dan mati-matian itu hanya disebabkan oleh hal yang sepele saja! Oleh karena cemburu! Mereka berkelahi seolah-olah sedang saling memperebutkan Bi Lan.
Suling Naga Bagian 07

Setelah Hong Beng mengeluarkan ilmu-ilmu silat dari Pulau Es, Kun Tek terkejut dan terdesak. Dia tidak mengenal ilmu silat itu, hanya merasa betapa ilmu silat lawannya itu makin lama semakin kuat. Karena maklum betapa lihainya lawan, Cu Kun Tek yang kini menjadi penasaran dan marah sekali, langsung mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan dan hawa yang menyeramkan.

Begitu dia mengelebatkan pedang itu, segera terdengar suara mengaum keras yang amat mengejutkan hati Hong Beng. Pemuda ini segera tahu bahwa lawannya memiliki sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dia tidak merasa jeri, akan tetapi bersikap hati-hati sekali.

"Tahan senjata...!" Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja muncullah Bi Lan di situ.

Melihat gadis yang sesungguhnya menjadi penyebab perkelahian mereka, dua orang pemuda itu menjadi terkejut. Muka mereka berubah merah dan keduanya tidak tahu harus berkata apa.

Bi Lan berdiri di antara mereka, memandang ke kanan kiri, bergantian, lalu menatap wajah Kun Tek. Dipandang seperti itu, Kun Tek menjadi gugup dan untuk menenangkan perasaannya yang bingung, dia kemudian menyarungkan kembali pedang pusakanya dan disimpannya ke dalam buntalan pakaiannya.

"Kun Tek, apa artinya semua ini? Baru sebentar saja kau kutinggalkan, tahu-tahu sudah berkelahi mati-matian!" Bi Lan menegur.

"Bukan aku yang mencari permusuhan, akan tetapi dia ini datang-datang seperti orang gila menuduh aku yang bukan-bukan dan menyerangku. Tentu saja aku membela diri, tidak sudi mati konyol dalam serangan tangan yang keji."

Bi Lan menghadapi Hong Beng yang menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah. "Dan apa pula artinya perbuatanmu ini, Hong Beng? Datang-datang engkau menyerang Kun Tek, padahal engkau sendiri sudah tahu bahwa dia bukan orang jahat ketika dia membantu keluarga mempelai yang diganggu oleh Phoa Wan-gwe? Apa maksudmu?"

"Bi Lan, aku... aku melihat betapa dia tidak sopan ketika mengobatimu... dan aku... aku tidak tahan. Dia terlalu kurang ajar, maka setelah engkau pergi, aku segera keluar dan menyerangnya."

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tak senang kepada Hong Beng. Pertama, bahwa Hong Beng diam-diam telah mengintai mereka, dan kedua, ia menganggap Hong Beng hendak mencampuri urusan pribadinya!

"Hong Beng, engkau sungguh lancang tangan. Aku tidak minta perlindunganmu, dan Kun Tek ini sama sekali tidak kurang ajar, melainkan mengobati pinggangku dan apa yang dilakukannya itu atas persetujuanku. Apa sangkut-pautnya dengan dirimu?"

Melihat betapa gadis yang dicintanya itu marah-marah dan memarahinya di depan pemuda lain itu, Hong Beng semakin menundukkan mukanya. Hatinya terasa seperti disayat-sayat dan dia pun sadar bahwa tindakannya tadi sebenarnya terburu nafsu, terdorong oleh cemburu yang berkobar-kobar.

"Bi Lan, memang seharusnya aku tahu diri... saudara Kun Tek, kau maafkanlah aku. Selamat tinggal!" Hong Beng lalu melompat dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu supaya tidak tampak oleh mereka bahwa kedua matanya menjadi panas dan basah.

Kun Tek memandang kagum. "Hebat, dia seorang pemuda yang hebat, ilmu silatnya luar biasa, jauh lebih tinggi dariku dan lihat betapa hebat ginkang-nya ketika dia lari."

"Tentu saja, dia adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es."

"Ahhh...!" Kun Tek terbelalak dan mengangguk-angguk, "Pantas saja tadi pukulannya mengandung tenaga panas seperti api. Pernah aku mendengar dari ayah tentang dua ilmu sinkang amat hebat dari Pulau Es yang disebut Hwi-yang Sinkang yang panas sekali dan Swat-im Sinkang yang dingin sekali. Sayang aku tidak sempat berkenalan lebih baik dengan dia. Akan tetapi, kenapa dia bersikap begitu aneh dan menyerangku seperti orang gila saja?"

"Karena cemburu."

"Cemburu?"

"Dia mencintaku akan tetapi aku menolaknya. Agaknya dia cemburu ketika melihat cara engkau mengobati pinggangku tadi."

"Ahhhh...!" Muka pemuda itu menjadi merah. Hening sejenak, dalam suasana yang sunyi menegangkan.

"Kun Tek, aku kembali untuk bertanya kepadamu apakah engkau mengenal orang yang sedang kucari."

"Siapakah dia?" bertanya Kun Tek, merasa lega bahwa percakapan beralih sehingga suasana menegangkan tadi pun terputus.

"Julukannya Suling Naga, Pendekar Suling Naga!"

"Suling Naga...?" Sepasang mata Kun Tek terbelalak. "Tentu saja aku mengenalnya! Bukankah namanya Sim Houw?"

"Mungkin, aku tidak tahu, hanya julukannya Pendekar Suling Naga. Tahukah engkau di mana dia dan di mana aku dapat bertemu dengannya?"

"Bi Lan, ada urusan apakah engkau mencari Pendekar Suling Naga Sim Houw?"

Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. "Urusan pribadi. Kalau engkau tahu, katakan saja di mana aku dapat bertemu dengan dia."

"Dia seorang pendekar perantau, Bi Lan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi menurut ayah, pendekar itu suka berkelana dan bertapa di sekitar puncak Tai-hang-san."

"Terima kasih, Kun Tek dan selamat tinggal."

"Nanti dulu, Bi Lan!"

"Ada apa lagi?"

"Baru saja engkau menyelamatkan diriku dari tangan Hong Beng dan aku sungguh merasa menyesal sekali dengan peristiwa yang terjadi dengan dia. Dia seorang murid keluarga Pulau Es dan sahabat baikmu..."

"Aku tadi dongkol padanya. Dia terlalu cemburu, ada hak apa dia mencampuri urusan pribadiku? Dia cemburu tanpa alasan! Engkau dan aku adalah dua sahabat baik, dan engkau mengobati aku dengan hati jujur dan bersih. Tidak ada alasan baginya untuk mencemburuimu."

Kun Tek menarik napas panjang. "Dia tak bersalah, Bi Lan, dan memang ada alasannya maka dia mencemburui aku."

"Heiii? Apa maksudmu?"

"Maksudku, dia beralasan untuk cemburu karena… memang sesungguhnya akupun... jatuh cinta padamu, Bi Lan."

"Ehh...?"

Ingin Bi Lan tertawa gembira. Inilah saat yang dinanti-nanti. Memang ia sudah berusaha untuk menjatuhkan Kun Tek. Saat meninggalkan pemuda itu pun termasuk siasatnya, akan tetapi tak pernah disangkanya ia akan berhasil secepat dan semudah itu.

"Mana mungkin? Kita baru semalam berkenalan, Kun Tek!"

"Mengenalmu satu malam bagiku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun, Bi Lan."

"Tapi... tapi bagaimana engkau bisa begini yakin?"

"Ketika kita bercakap-cakap, ketika kita makan bersama, ketika aku mengobatimu, lalu ketika engkau pergi meninggalkan aku. Perasaanku takkan menipuku, Bi Lan. Ketika engkau pergi, aku merasa begitu hampa dan berduka, aku takut kehilangan engkau, dan sekarang pun aku takut kehilangan engkau karena aku cinta padamu, Bi Lan."

Bi Lan memandang tajam. "Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi, tidak pula cantik lahir batin, banyak cacat celanya!"

"Aku yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam hatiku."

Kini Bi Lan tersenyum, senyum sinis dan mengejek. "Hemm... hemmm... lalu ke mana larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?"

Pemuda itu terbelalak. "Perempuan khayal...?"

"Ya, lupakah engkau bahwa engkau tak akan pernah jatuh cinta kecuali kepada seorang perempuan yang seperti dalam khayalanmu itu, yang tanpa cacat cela dan segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?"

Kun Tek teringat dan dia merasa terpukul sekali. "Aku telah bodoh selama ini, Bi Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan..."

"Cukup! Engkau memang tolol, bodoh, dan sombong. Aku tidak sudi... aku tidak dapat menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalanmu yang bukan dari darah daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!" Dan dengan cepat Bi Lan pergi dan berlari cepat.

Kun Tek menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung, tenggelam dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan, juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia bisa menenangkan pikirannya, nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.

"Aku memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan tadi," bisiknya duka.

Kini nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu.

Kemudian dalam pengakuan cintanya, dengan amat tolol dia mengatakan bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah mengatakan bahwa Bi Lan tidaklah seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan penuh cacat cela. Sungguh amat tolol! Hatinya sekarang merasa berduka sekali. merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati, segala sesuatu nampak kurang menarik lagi.

Beginilah kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya terbang melayang meninggalkannya.

Sementara itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi ‘hajaran’ kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya! Kemudian, ia berhasil menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut dan menyatakan cinta kepadanya.

Tadinya ia hendak mentertawakannya, merasa girang sebab berhasil memberi hajaran. Eh, tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang amat menyinggung perasaannya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal ia baru saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda tolol dan sombong!

Agaknya lari cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat kemarahan Bi Lan mereda pula. Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran, tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus.

Lereng bukit itu sunyi sekali dan ia pun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai sapu tangan diusapnya keringat dari leher dan mukanya, kemudian ia duduk termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi.

Ada tiga orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun, yang ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga adalah Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi jodoh seorang di antaranya.

Bhok Gun yang tertua di antara mereka, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi.

Akan tetapi pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu akan selalu dirongrong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita lain.

Rayuan-rayuan mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan! Tidak, ia tidak akan sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apa lagi perkenalannya dengan Bhok Gun itu hanya melalui suci-nya yang menjadi kekasih Bhok Gun.

Masih muak kalau dia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar aneh. Bagaimana pun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok Gun.

Lain lagi halnya dengan dua orang pemuda lainnya dan kini diam-diam ia membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sukar membayangkan betapa akan jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu.

Gu Hong Beng sudah dikenalnya dengan baik. Ia seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walau pun pemuda ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es!

Sayang wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walau pun budi bahasanya halus. Akan tetapi dia sangat pencemburu, seperti yang sudah dibuktikan ketika dia menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang tanpa ditutup kain, yang memang disengajanya untuk ‘menjatuhkan’ Kun Tek sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukan oleh Kun Tek untuk mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun Tek!

Ahh, ia takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu, yang tidak mempunyai rasa humor sedikit pun dalam hidup. Sama saja dengan memiliki suami patung hidup, betapa pun lihainya dalam ilmu silat!

Bagaimana dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biar pun mukanya berkulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong dan besar kepala. Tidak, ia pun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek.

Sampai lama gadis itu bengong saja, sampai akhirnya teringat akan nasibnya sendiri. Sebetulnya, dia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi, kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh Bi-kwi, suci-nya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana diperkosa oleh Sam Kwi.

Dan ia sudah berjanji kepada suci-nya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat ia akan membantu pula suci-nya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya. Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san.

Persoalan merampas pusaka untuk membalas budi suci-nya seperti pernah ia janjikan, sekarang telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subo-nya hanya dipinjamkan kepadanya, sekarang dirampas orang! Dan perampasnya adalah seorang pendeta Lama yang demikian lihai!

Dengan dibantu Hong Beng saja dia tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau harus menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apa pun resikonya, ia harus bisa merampas kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka itu! Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam Kwi.

Berangkatlah dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak gembira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran mengenai masalah-masalah yang menyulitkan itu pun sudah ditinggalkannya! Ia akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya, terserah saja pada keadaan. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang belum terjadi!

Keadaan batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat dia dapat menikmati hidup. Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru. Kebanyakan dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan.

Kita terluka parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu, maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap. Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan, maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa bahwa hidup adalah sekarang, saat ini!

Hidup adalah saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati, tak perlu diingat lagi, walau pun dari pengalaman-pengalaman masa yang lalu dapat membuat kita lebih waspada dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan bekerja.

Dan bekerja adalah sekarang ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini! Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita menjadi waspada sekali terhadap saat ini, yaitu terhadap hidup ini. Kita dapat menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?

Ada orang tua yang menasehati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak-anak kita harus sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu.

Mungkin dia menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya, hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tidak pernah diberi kesempatan untuk bersenang atau bersuka!

Orang tua yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya pasti akan memberi kebebasan pada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia. Sekarang! Bukan besok atau kelak kalau sudah tua.

Bukan berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tidak mungkin didapat tanpa kebebasan!


Dalam keadaan gembira dan merasa bahagia karena sama sekali tak ada kotoran yang mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan yang amat jauh melalui pegunungan, hutan-hutan serta banyak kota dan dusun…..

**********

Dusun Hong-cun merupakan sebuah dusun yang sangat makmur di luar kota Cin-an. Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Namun pada musim-musim lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi penduduknya.

Ada sebuah rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an. Rumah ini adalah rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini, Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es.

Suma Ceng Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada seorang pun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun.

Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis, yaitu Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar yang kini sudah berusia tiga puluh dua tahun itu.

Seperti kita ketahui, kurang lebih tiga belas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Eng. Isterinya ini pun, yang usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita gemblengan yang sukar dicari tandingannya.

Setelah setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini diberikan oleh karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap!

Pada waktu itu, Suma Lian telah berusia dua belas tahun, seorang gadis cilik yang mungil, akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari ayah ibunya.

Biar pun baru berusia dua belas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidak adilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.

Padahal yang diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri. Untuk menolong orang-orang miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang lain.

Di samping ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula seorang nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun. Ia juga bukan nenek sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibunda dari Suma Ceng Liong! Setelah suaminya (Suma Kian Bu) meninggal dunia dan menjadi janda, Teng Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah memanjakan cucu itu.

Dusun Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an. Karena tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai. Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini.

Semenjak neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu berlatih ilmu silat! Bahkan nenek ini sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya sangat sayang kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!

"Terlalu berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau dia sudah dewasa," demikian pesannya kepada ibunya.

"Ayaaaa... kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur sebaik-baiknya," jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol.

Ibunya ini galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah berusia tiga puluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi.

Suatu hari, pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan latihan silat yang tertutup. Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di tempat udara terbuka.

Suma Lian yang berusia dua belas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri, akan tetapi bukan hanya berjungkir balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang. Itulah gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendangan Soan-hong-twi yang amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimana pun juga. Kaki lebih panjang dari lengan, maka jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan berbahayalah bagi lawan.


Bentakan-bentakan itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk dan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Suma Lian itu memang seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu menggunakan banyak tenaga dari otot-otot bagian perut sehingga perlu dikeluarkan teriakan-teriakan itu untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang selain menciptakan tenaga dalam, juga melindungi isi perut.

"Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. Kepalamu jangan kau angkat, melainkan didongakkan dan dilempar ke belakang hingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!"

Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.

Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar. Wajahnya menyeramkan karena penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.

"Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha selalu memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahukan di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat untuk melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?"

Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab, "Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu."

"Omitohud...! Suma...? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.

Orang itu tersenyum. "Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es."

"Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?"

"Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini."

Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarga Pulau Es.

Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.

Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.

Akan tetapi, ketika dia sampai di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khikang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali.

Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalau pun ada orang di atas jalan depan rumah itu, takkan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang.

Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali.

Pada saat Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya.

Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan padanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi ‘kekasih’ kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat.

Usianya tentu baru dua belas atau tiga belas tahun, dan mempunyai wajah yang cantik manis. Kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai ‘oleh-oleh’ kedatangannya, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng. Andai kata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri. Bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu birahinya seperti yang akan dilakukan oleh pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya.

Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik dan anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan adalah keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan.

Dia akan bangga jika diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es. Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu.

Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan ia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi.

Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itu pun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!

Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk. "Untuk dapat melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau harus menendangkan kaki kiri lebih dulu ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu bisa tertangkis, tenaga tangkisannya dapat kau sambut dan kau pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk."

"Wah, gerakan itu amat sukar, nek!" Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh.

Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih ilmu silat, ia memang keras sekali.

"Apa? Baru sebegitu saja engkau mengeluh. Ingatlah, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimana pun juga! Tahu?"

Memang sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, ia pun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!

Melihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya sekarang diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.

"Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?"

Melihat senyum neneknya, kekerasan hati Suma Lian juga sudah luluh. "Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadi pun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek."

"Baik, kau lihat baik-baik, cucuku!"

Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!

"Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau...?" Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.

Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok.

Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah, jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.

Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Ia pun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.

Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan dia pun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!

Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walau pun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekali pun! Dia lalu menggunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya.

Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walau pun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali...


SELANJUTNYA SULING NAGA BAGIAN 08