Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 24
SETELAH hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan upacara bertemunya sepasang pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong Ci Kok untuk mengadakan penyerangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di satu. Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya yang oleh Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kaisar itu.

“Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang berbahagia ini,” demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluarga itu. “Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini. Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya.”

“Siong-taijin,” kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, “Paduka telah berkenan hadir dalam perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga kehadiran paduka ini akan dapat menambah doa restu bagi kedua mempelai.”

“Ahh, kami dengan keluarga Kao-goanswe sudah bagaikan keluarga sendiri, harap saja Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan? Dan isterinya, Suma-siocia, tentunya puteri Suma-taihiap yang ke dua,” katanya dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian tanpa menduga sesuatu, dia pun menjawab. “Bukan yang ke dua, taijin, tetapi yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal.”

Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mana mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma-taihiap tidak main-main.”

Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak enak. “Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main- main.”

Pembesar itu menepuk paha dengan tangan kanan. Hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan itu.

“Sungguh sangat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu kehormatan sekarang tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu menjawab.

“Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin katakan tadi memang benar pernah terjadi!”

Pembesar itu pura-pura membelalakkan matanya. “Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....,” dia tak melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.

Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah mereka pun bangkit.

“Kami dapat menerangkan hal itu!” kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.

“Dan memang sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!” sambung Kao Kok Cu dengan suara tegas.

“Siong-taijin, maafkan saya,” kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. “Bolehkah saya mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?”

Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itu pun tak mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang kecewa, yaitu membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata, “Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap.”

Mendengar keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri Siong. Wajah Suma Kian Lee berubah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong untuk dapat melampiaskan dendam kecewanya.

Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata. “Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu walau pun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui bahwa dia seorang penjahat besar, murid dari iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil murid dan sekaligus mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan isterinya lagi.”

“Dan kami sekeluarga pun sudah tahu akan semua itu!” sambung Kao Kok Cu lantang. “Dan seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!”

Menteri Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu, yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka hanya dapat membatin, betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda!

Sementara itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.

Walau pun ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan pada waktu mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.

Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya sempat mendengar penuturan Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang malapetaka dan aib yang menimpa keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tak menyembunyikan apa-apa lagi karena bicara di antara keluarga.

“Dulu, bersama suamiku ini, aku pernah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar.” Suma Hui menutup ceritanya.

Kian Bu mengangguk. “Bagaimana pun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia.”

Kian Lee menarik napas panjang. “Semua adalah karena kesalahanku. Dulu aku terlalu kukuh dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu.” Dia mengepal tinju dengan gemas.

“Manusia boleh berusaha bagaimana pun, akan tetapi Thian yang berkuasa akhirnya menentukan,” kata Kao Kok Cu.

“Aku telah bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.

“Harap paman dan juga enci Hui dapat menenangkan hati. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok telah tewas tiga tahun yang lalu,” kata Ceng Liong.

Mereka semua, kecuali ayah bunda Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini. “Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?” tanya Suma Kian Lee.

“Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas.”

“Hek-i Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?” Suma Hui dan Cin Liong terkejut.

Ceng Liong mengangguk. “Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan musuh-musuhnya.” Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.

Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghitung. “Mereka semua ada lima orang yang memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, juga Si Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas pula oleh Cin Liong-koko. Jikalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!”

Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati sebelum merasa benar yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.

kisah para pendekar pulau es jilid 24


Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang menggemparkan.

Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pembesar itu adalah orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh, dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras.

Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda!

Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar ini, semenjak dari sebelah barat kota raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang perjalanan, ada seorang pendekar muda tengah menyebar maut di antara para penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.

Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kota Lok-yang. Sudah dua orang pembesar pembantunya yang didatangi oleh pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat kedudukan, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah pelacuran, rumah-rumah judi, dan kepala para maling, perampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan. Dia seolah-olah dapat merasakan, betapa pendekar ini sedang menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya!

Beberapa malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tak sempat melakukan sesuatu dan melarikan diri. Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih juga merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.

Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan menggunakan tiga ekor serigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga orang jagoan ini dengan makanan dan minuman yang berlimpah dan hadiah uang secukupnya. Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan perempuan!

Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik-cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita yang muda-muda dan manis-manis, yang kadang-kadang bertugas juga sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu sendiri.

Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya yang berbulu hitam lebat! Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita yang dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, mau pun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.

Dua orang temannya berusia lebih dari lima puluh. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan julukannya, di lengan kanannya juga ada gambar cacahan seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.

Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu saja mereka menganggapnya musuh. Mereka merasa keselamatan mereka masing-masing menjadi terancam. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka memperoleh banyak keuntungan.

Pertama, mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!

Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia mengilar. Ketika dia melihat wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu sedang kehausan dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar!

Kedua orang kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia jangan mengganggu wanita-wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada malam ke dua, kawan-kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan!

Pembesar itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya. Si Naga Besi lalu diantri dan laki-laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si Naga Besi.

Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang amat mudah ngantuk. Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu.

Naga Merah dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, mereka pun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah mendekam dalam kamar salah seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang oleh Koo-taijin.

Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti itu? Mereka tidak pernah mengira bahwa sedikit kelengahan mereka itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti biasa.

Dengan gerakan yang sangat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, kemudian melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang gelap. Tidak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik di dalam kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.

Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu ternyata sudah tertidur pulas, mendengkur di dalam pelukan seorang pelayan perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya. Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.

Ia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah. Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru.

Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang. Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyambar tengkuk wanita itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.

Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo-taijin dengan selembar selimut, lalu mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjinah.

Begitu terbebas dari totokan, Koo-taijin yang semenjak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak. “Tolooonggg....!”

Tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang tindih.

“Brukkk....!”

“Aduhh…., aduhhh....!” Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya ikut menjerit akibat tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang juga merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar pakaiannya dan bergegas memakainya.

Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa salah satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya.

Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, dia pun tidak percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.

“Perempuan hina, apa yang sedang kau lakukan ini?” Dan dia tak dapat lagi menahan kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.

“Bukkk....!”

Perempuan itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di atas kasur.

Koo-taijin semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil memaki-maki, “Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?”

Dan dia mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.

“Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar taijin?”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.

“Tolong.... penjahat.... pembunuh....!”

Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. “Taijin…! Taijin…! Apakah paduka berada di dalam?”

Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang melemparkan tubuh Koo-taijin tadi, yang ternyata barusan bersembunyi di atas tiang melintang di atas kamar itu.

Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh yang dinanti-nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan. Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.

“Bocah setan bosan hidup!” bentaknya.

Dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya kemudian menerjang maju, menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan kiri, lalu menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki kanannya.

“Tuk....! Bruukk!”

Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!

Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap mengeroyok!

Pemuda itu tidak mempedulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut tertarik dan terbanting.

“Ampun....ampunkan saya....!” Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.

“Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau sudah bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”

“Ampun.... ampun, taihiap....!” Pembesar itu meratap.

Sementara itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun saat melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedangnya sedangkan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang dari belakang.

“Wuuutt....! Singg....!”

Pedang menyambar kepala sedangkan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.

“Trang....! Cringg....!”

Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang memegang pedang terasa panas dan perih.

“Pembesar Koo, sekali ini aku ampuni nyawamu. Lekas kau rubah cara hidupmu dan menjadi pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku pasti datang mengambil kepalamu!”

Golok berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia mendekap mukanya, dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau. “Aduh.... aduh.... aduh....!”

Sementara itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tidak berani maju. Betapa pun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.

“Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.

“Trang.... trang....!”

Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!

Para pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari Koo-taijin, “Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merubah semua kesalahan!”

Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang terus mendekap hidungnya yang masih berdarah. Bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, kemudian melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.

“Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik. Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!”

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit- langit kamar. Terdengar suara keras pada saat atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!

Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar-benar bertobat, berubah menjadi seorang pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan keamanan untuk mengadakan pembersihan-pembersihan, membasmi sarang-sarang penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.

Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam-liong dan menghukum Koo-taijin itu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja. Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersemedhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biar pun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak kelihatan puas dan gembira.

Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya dengan suara menggetar, “Gangga.... ahhh, Gangga....!”

Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut enci-nya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Dia pun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu!

Hatinya semakin rindu dan semakin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu.

Untuk mengurangi kedukaan dan menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua pengalamannya.

Di PULAU ES dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun kepada setiap penjahat yang ditemuinya.

Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan enci-nya. Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan ‘pemuda’ yang dicintanya, Ganggananda.

“Aih.... Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh kerinduan sebelum dia tenggelam ke dalam semedhinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang karena selama beberapa hari ini dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak ada seorang pun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan yang lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!

Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi. Dia akan pergi ke kota Si’an yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang akan menyita waktunya.

Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas. Sejauh mata memandang, tak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka dia pun mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.

Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih dari buntalan. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya.

Dia menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walau pun perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, betapa rindu kepada Ganggananda dan justru kerinduan inilah yang mendukakan hatinya. Terngiang di telinganya pertanyaan enci-nya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.

“Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian enci-nya bertanya.

Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah, membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya?

Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah basah semua. Dia menangis dan tidak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil, seperti perempuan!

“Ciang Bun....!” Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.

“Gangga....? Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan kalau-kalau tadi pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!

“Gangga....!” Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir tersenyum.

“Ciang Bun....!” Katanya dengan air mata berlinang.

Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluk dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!

“Gangga.... ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!” Ciang Bun berbisik berkali-kali.

Dia mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya supaya tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.

“Ahhh....!” Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan menjambak-jambak rambutnya sambil menangis!

“Ciang Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada apakah....?”

Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang wanita cengeng!

“Ciang Bun, ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.

Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata. “Tahukah engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”

Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang heran. “Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau berada di belakangku.”

Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berubah, hatinya menjadi tenang kembali.

“Gangga, sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”

“Dan kau sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.

“Aku.... aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”

“Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?”

“Aku....? Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu sekali kepadamu.”

“Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah.”

“Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”

“Ehhh, mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”

“Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!”

Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya menolong pemuda itu sembuh, walau pun jantungnya terasa berdebar dan kedua pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.

“Tentu saja, aku pun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling mencinta, sahabat karib, bukan?”

“Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk menyembunyikan mukanya.

Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun. “Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?”

Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Tetapi, bagaimana pun, apa pun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya. Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya.

Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapa pun pahitnya, dari pada tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan, terus-menerus tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya seorang pendekar!

Maka, dia cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.

“Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku berterus terang dan kata-kataku menyinggung dan tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”

Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.

“Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah sepatutnya kalau dimaafkan.”

“Tapi.... tapi aku....” Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk membuat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.

“Engkau kenapa? Katakanlah!”

Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh bersikap lemah. “Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kau dengar.”

Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum. “Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma Ciang Bun. Bicaralah!”

“Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, tetapi bukan seperti yang kau maksudkan, tidak seperti yang kau sangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”

Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran. Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang Bun.”

“Tidak terasakah olehmu saat aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”

“Tapi aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.

“Itulah, Gangga, justru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya....”

Pemuda itu menundukkan mukanya, tidak menangis lagi tapi terbenam dalam kedukaan besar. Gangga Dewi memandang dan hatinya terharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.

“Ciang Bun,” katanya halus. “Sebetulnya apakah yang sedang kau derita itu? Kelainan dan penyakit bagaimanakah yang kau maksudkan?”

Ciang Bun menghela napas panjang. Betapa pun sukar dan beratnya, dia tetap harus berterus terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang sangat dicintanya ini.

“Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, tetapi aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku…. aku…. cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... Aku ingin hidup bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka mau pun duka, tidak akan terpisah lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!”

Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Tetapi hanya untuk mengguncang batinnya, menyadarkannya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.

“Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta diriku?”

“Aku cinta padamu, Gangga, walau pun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa muak dan membenciku.”

“Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik hatimu?” Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang-bintang yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.

Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya, maka dia berkata gagap, “Ya.... ya, begitulah....!”

Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri. “Hemm, jadi yang kau cinta hanyalah diriku sebagai seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, jika engkau hanya membutuhkan pemuda tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di mana pun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata demikian Gangga meloncat jauh dan lari.

Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa pengakuannya itu tentu akan berakibat hebat, namun begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, dia pun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.

“Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”

Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. “Mau bicara apa lagi?” tanyanya angkuh.

“Gangga, maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu, karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekali pun aku tidak mau!”

“Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, begitu bukan?”

“Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”

“Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!”

Gangga lalu menggunakan tangannya melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biar pun cuaca remang-remang akan tetapi cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perubahan itu dan dia pun terbelalak.
"Gangga....! Kau.... kau...."

“Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan? Selamat tinggal!”

Gangga Dewi meloncat dan terus lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong dengan wajah pucat. Gangga ialah seorang wanita! Kenyataan ini merupakan pukulan hebat baginya. Baru sekarang dia mengerti akan pertanyaan enci-nya apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja.

Kalau Gangga tadi bertanya seperti enci-nya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang pria. Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merubah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa.

Gangga seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung. Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak tahu.

Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah-olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik dan dipuja-pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.

“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk di atas tanah.

Cinta asmara didorong oleh nafsu birahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik alamiah yang memang ada dalam diri setiap makhluk antara jantan dan betina. Daya tarik alamiah ini memang sangat diperlukan guna perkembang biakan segala makhluk hidup. Dengan adanya daya tarik ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti juga halnya makan atau minum yang mengandung keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.

Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar.

Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus, sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa
.

Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan dengan gadis Gangga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya merana.

“Gangga....!” Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan berhenti berlari.

“Gangga.... ahhh, Gangga....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam ketidak tentuan yang menimbulkan duka…..

**********

Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tetap tinggal dan menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai-hang-san. Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apa lagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, bahkan belasan tahun lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya.

Seperti biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu, orang akan memandang rendah kepadanya. Seorang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja yang menjadi kesukaannya. Sedikit pun, dalam gerak gerik mau pun sikapnya, dia tak nampak seperti seorang pendekar. Akan tetapi, jika orang menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub.

Pendekar ini telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda pada saat dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mukjijat dari jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khikang amat kuatnya sehingga suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu sempat terganggu hebat dengan menimpanya mala petaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Malapetaka itu dikarenakan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.

Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat. Sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telah ditunangkan dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.

Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi, Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang.

Pemuda ini memang tekun sekali. Dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari ayahnya. Biar pun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya mau pun calon ayah mertuanya.

Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di dapur.

Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya kedua orang itu, akan tetapi melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik sebab datangnya menyelinap bagai orang bersembunyi.

Namun, dia tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Semenjak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya sendiri.

Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan yang akan tertimpa mala petaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali. Karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati mereka.

Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua orang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandang penuh perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka.

Yang bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali. Wajahnya cerah dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan tenaga sinkang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak usianya dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti kawannya yang nampak lebih tabah.

Kam Hong adalah seorang pendekar yang telah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.

“Dua orang sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah yang ji-wi bawa?”

Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini, si baju hijau cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya amat terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang.

Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke Lembah Naga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!

Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hong dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biar pun dia maklum bahwa adalah menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andai kata yang menjadi musuh guru-gurunya itu adalah seorang penjahat, atau setidaknya orang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tak diliputi keraguan lagi.

Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tak memiliki jiwa pendekar walau pun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak bagai seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian serta dendam yang besar. Ingin sekali ia dapat membalas dan jika mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas budi keluarga Cu yang sudah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri.

Namun dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sute-nya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama sekali dia tak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat betapa Kam Hong tidak mengenalnya, dia pun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.

Karena suheng-nya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat-cepat membalas penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap menghormat. “Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”

“Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong.”

“Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang sedang ditugaskan oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan menandingi locianpwe!” Sambil berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan nama.

Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang.

Dia sudah mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa menggunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa lawan bertanding dengan senjata. Pemuda ini pun cerdik karena jika mereka bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sinkang dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukanlah tandingan pendekar sakti yang tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu.

Tek Ciang yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kini pun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman dia memperoleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Dia pun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.

Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata datang sebagai musuh dan lawan. Apa lagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal.

Bagaimana pun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber. Dan dia pun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam.

Dia merasa menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena pernah dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan sebagai musuh.

“Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan bagiku menerima kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu? Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”

Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andai kata dia seorang diri yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan pesan yang sangat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main!

Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.

“Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada dua pilihan bagi kami. Pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan kami, maka locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. “Sobat-sobat muda, ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tak mau menerima kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan aku pun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Tetapi, harap ji-wi suka memberi tahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”

“Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu, locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,” jawab Tek Ciang lagi mendahului sute-nya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!” Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.

Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. “Kalau ji-wi memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”

Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Nyonya ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat saat dia memandang pada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.

“Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tak sombong? Guru-gurunya pun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”

“Nio-cu....!” Suaminya mencegah.

Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya dan dua orang pendatang itu, sudah marah. “Kalian minta agar suamiku menjadi tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!”

Nyonya itu menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimana pun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jeri! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.

“Tidak....!” Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya. “Nio-cu, ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.” Setelah berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang. “Ji-wi, silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”

Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.

“Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kita pun tidak mempergunakan pedang kita,” kata Tek Ciang.

Cepat dia menyarungkan pedangnya kembali. Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai dari pada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.

“Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”

Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang jelas menunjukkan kegagahan ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan. “Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat bermain-main lebih gembira lagi.”

“Locianpwe, awas serangan!” Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi kesempatan kepada sute-nya untuk bersungkan-sungkan lagi.

Melihat suheng-nya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju bersama, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi membantu suheng-nya.

Melihat gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya, maka dia pun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan.

Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka memperoleh latihan ginkang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sinkang.

Tetapi, dengan ilmu silat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu ternyata mereka sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan. Oleh karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.

“Wuuuuttt.... plakk!”

Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.

“Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.

“Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....,” jawab Kui Lok sejujurnya.

Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong mengelak dan menangkis.

“Akan tetapi.... aku tidak pernah mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan bersahabat....”

“Tugas saya hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa nama Kun-lun-pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula.

Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang. Terjangan Kam Hong yang tadi menggunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh dua orang muda itu tergetar dan terhuyung. Kesempatan itu digunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian.

Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan Pouw Kui Lok sudah menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.

“Desss....!”

Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak tangan Tek Ciang.

“Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.

Tek Ciang tersenyum mengejek. Cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan tercium bau amis dan dari perut pemuda itu keluar bunyi berkokok.

Kam Hong terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berubah agak pucat.

“Tahan dulu! Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”

“Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu apa pun yang kami gunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe,” kata Tek Ciang.

“Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!” Bu Ci San meloncat ke depan dan memutar sulingnya.

Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.

“Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran saat mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus melawan yang muda....”

“Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!” Mendadak muncul seorang pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua.

Dia adalah Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya. Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.

Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. “Houw-ji, kenapa engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.

“Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya adalah murid suhu. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka itu pun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi menurut teecu sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi mereka.”

“Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”

Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhu-nya dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi suhu-nya.

“Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan bahwa teecu tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak boleh melihat asal-usul seseorang, tetapi melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Meski murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya, suhu?”

Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja dia pun seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya sekarang mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau dia pun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasa curiga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.

“Baiklah, kalau begitu coba kau hadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam ilmu silatnya di situ.

Pouw Kui Lok yang tidak ingin menderita kekalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain dia mempunyai ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I Cin-jin, juga dia telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. Dan di Lembah Naga Siluman dia pun digembleng oleh keluarga Cu dengan ilmu pedang yang khas dari keluarga itu.

Melihat lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedangnya yang kini sudah merupakan ilmu pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dia pun melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam milik ayahnya, atau tak sehebat Suling Emas milik suhu-nya, akan tetapi juga bukan pedang sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu, maka pedangnya itu merupakan senjata yang amat ampuh.

“Silakan!” tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

“Sambutlah seranganku!” teriak Kui Lok.

Dia mengelebatkan pedangnya, selanjutnya pedang itu diputar dan berubahlah pedang di tangannya menjadi segulung sinar yang tebal dan panjang. Sim Houw menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang bertemu, diikuti muncratnya bunga api. Mereka menarik pedang masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang masing-masing tidak rusak.

Mulailah mereka saling serang dengan pedang masing-masing. Semakin lama gerakan mereka makin cepat, yang nampak hanya dua gulung sinar pedang yang membungkus bayangan kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya pedang, terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim Houw itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!

Louw Tek Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tidak disangkanya bahwa pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga tahun lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Dia merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak kesukaran. Kini, murid pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui Lok tidak mampu mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam Hong sendirian saja? Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga memiliki kepandaian lihai sekali!

Mulailah dia merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas berat ini berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Boleh jadi mereka berdua kini telah memiliki tingkat kepandaian yang sulit dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan dengan keluarga Kam, masih terlampau berat lawan itu.

Pertandingan pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main. Setiap jurus serangannya dipatahkan oleh lawan dengan sangat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal semua jurus serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus ilmu pedangnya yang didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim Houw, bahkan pemuda ini adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut!

Apalagi setelah dia mempelajari Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang berasal dari satu sumber, amat dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui Lok mempergunakan ilmu pedang dari Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi seorang guru atau setidaknya orang yang jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari Kun-lun-pai, pihak lawan tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut, baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan.

Betapa pun juga, ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan yang luar biasa sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak hebat. Dia kini hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa dapat membalas sedikit pun, hanya main mundur.

Tiba-tiba, ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat ke atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu ginkang dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya. Dia maklum akan kehebatan ginkang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya karena tidak diberi kesempatan, dan dia dapat menduga bahwa dari atas, tentu lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga Siluman Mencakar Bumi, serangan yang paling tepat dilakukan dalam keadaan melompat dan menukik seperti itu. Dan serangan ini amat berbahaya.

Benar saja, dari atas, tubuh Kui Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan jurus Kun-lun-pai, melainkan dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke arah ubun-ubun dengan gerakan diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim Houw sudah mengenal jurus ini, menangkis dengan pedangnya kemudian menjatuhkan diri dan bergulingan sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.

Melihat sute-nya kewalahan, Tek Ciang mendadak meloncat ke depan, tangan kirinya meluncur dan mulutnya beseru, “Mundurlah, sute....!”

Mulutnya berkata demikian dan tangannya sudah meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit dan terdapat sinar menyambar ke tubuh Sim Houw yang sedang bergulingan itu. Tek Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh sute-nya mundur seolah-olah dia bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada saat itu pihak lawan sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama saja dengan dikeroyok!

Melihat serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan tetapi dia kurang cepat.

“Brettt….!” terdengar suara dan baju di pundaknya robek oleh serangan aneh itu yang dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.

“Ihhhh.... itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!” tiba-tiba Bu Ci Sian berseru kaget. “Iblis ini tentunya ada hubungannya dengan Ngo-ok!” Berkata demikian, Bu Ci Sian hendak menerjang, akan tetapi kembali suaminya mencegah dan memberi isyarat dengan mencabut suling emasnya. Melihat suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak melanjutkan serangannya.

Sementara itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju melawan Tek Ciang yang juga telah mencabut pedangnya. Tek Ciang lebih cerdik dari pada Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal ilmu dari Lembah Naga Siluman hingga semua serangan dari Kui Lok dapat dipatahkannya dengan mudah.

Maka, dia pun tidak mau mempergunakan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang dengan Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari Pedang tangan kiri ini.

Akan tetapi kali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan kehebatan lawan, Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari dan sedang dimatangkan, dan ilmu pedang ini memang hebat sekali, mampu menandingi serangan lawan, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.

“Sute, lekas bantu aku!” berkali-kali Tek Ciang berseru.

Kui Lok merasa serba salah. Jika dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja Tek Ciang terancam bahaya sedangkan dia hanya berdiri menonton, sungguh amat tidak enak. Dia sudah menggerakkan pedangnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara istimewa!

Alunan suara suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di dalam kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Tak lama kemudian, suara itu pun disusul oleh lengkingan suling lainnya yang lebih tinggi akan tetapi yang mengikuti lagu suling pertama.

Dua orang muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata Pendekar Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup suling emas mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan subo-nya, lalu duduk bersila dan pemuda ini pun mengeluarkan suara bersenandung dengan mulutnya yang mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!

Tek Ciang yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesempatan yang baik sekali untuk melaksanakan niat busuknya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan menerjang, maksudnya hendak membunuh Kam Hong dengan sekali tusukan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah suara suling yang halus itu mempunyai tenaga mukjijat yang menolaknya dan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa mempedulikan suara suling yang bagaikan menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia berusaha untuk menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia meloncat, dia pun terbanting jatuh lagi.

“Suheng, jangan....!” Kui Lok berseru kaget dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin sakit rasa telinga dan jantungnya.

Akan tetapi Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan tetapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan dilontarkan ke belakang. Segera dia terbanting dan muntah darah, pedangnya terlepas dan pingsan...


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 25


Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 24

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 24
SETELAH hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan upacara bertemunya sepasang pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong Ci Kok untuk mengadakan penyerangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di satu. Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya yang oleh Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kaisar itu.

“Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang berbahagia ini,” demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluarga itu. “Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini. Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya.”

“Siong-taijin,” kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, “Paduka telah berkenan hadir dalam perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga kehadiran paduka ini akan dapat menambah doa restu bagi kedua mempelai.”

“Ahh, kami dengan keluarga Kao-goanswe sudah bagaikan keluarga sendiri, harap saja Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan? Dan isterinya, Suma-siocia, tentunya puteri Suma-taihiap yang ke dua,” katanya dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian tanpa menduga sesuatu, dia pun menjawab. “Bukan yang ke dua, taijin, tetapi yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal.”

Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mana mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma-taihiap tidak main-main.”

Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak enak. “Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main- main.”

Pembesar itu menepuk paha dengan tangan kanan. Hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan itu.

“Sungguh sangat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu kehormatan sekarang tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu menjawab.

“Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin katakan tadi memang benar pernah terjadi!”

Pembesar itu pura-pura membelalakkan matanya. “Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....,” dia tak melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.

Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah mereka pun bangkit.

“Kami dapat menerangkan hal itu!” kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.

“Dan memang sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!” sambung Kao Kok Cu dengan suara tegas.

“Siong-taijin, maafkan saya,” kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. “Bolehkah saya mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?”

Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itu pun tak mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang kecewa, yaitu membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata, “Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap.”

Mendengar keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri Siong. Wajah Suma Kian Lee berubah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong untuk dapat melampiaskan dendam kecewanya.

Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata. “Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu walau pun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui bahwa dia seorang penjahat besar, murid dari iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil murid dan sekaligus mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan isterinya lagi.”

“Dan kami sekeluarga pun sudah tahu akan semua itu!” sambung Kao Kok Cu lantang. “Dan seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!”

Menteri Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu, yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka hanya dapat membatin, betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda!

Sementara itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.

Walau pun ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan pada waktu mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.

Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya sempat mendengar penuturan Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang malapetaka dan aib yang menimpa keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tak menyembunyikan apa-apa lagi karena bicara di antara keluarga.

“Dulu, bersama suamiku ini, aku pernah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar.” Suma Hui menutup ceritanya.

Kian Bu mengangguk. “Bagaimana pun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia.”

Kian Lee menarik napas panjang. “Semua adalah karena kesalahanku. Dulu aku terlalu kukuh dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu.” Dia mengepal tinju dengan gemas.

“Manusia boleh berusaha bagaimana pun, akan tetapi Thian yang berkuasa akhirnya menentukan,” kata Kao Kok Cu.

“Aku telah bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.

“Harap paman dan juga enci Hui dapat menenangkan hati. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok telah tewas tiga tahun yang lalu,” kata Ceng Liong.

Mereka semua, kecuali ayah bunda Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini. “Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?” tanya Suma Kian Lee.

“Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas.”

“Hek-i Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?” Suma Hui dan Cin Liong terkejut.

Ceng Liong mengangguk. “Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan musuh-musuhnya.” Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.

Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghitung. “Mereka semua ada lima orang yang memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, juga Si Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas pula oleh Cin Liong-koko. Jikalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!”

Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati sebelum merasa benar yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.

kisah para pendekar pulau es jilid 24


Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang menggemparkan.

Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pembesar itu adalah orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh, dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras.

Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda!

Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar ini, semenjak dari sebelah barat kota raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang perjalanan, ada seorang pendekar muda tengah menyebar maut di antara para penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.

Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kota Lok-yang. Sudah dua orang pembesar pembantunya yang didatangi oleh pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat kedudukan, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah pelacuran, rumah-rumah judi, dan kepala para maling, perampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan. Dia seolah-olah dapat merasakan, betapa pendekar ini sedang menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya!

Beberapa malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tak sempat melakukan sesuatu dan melarikan diri. Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih juga merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.

Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan menggunakan tiga ekor serigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga orang jagoan ini dengan makanan dan minuman yang berlimpah dan hadiah uang secukupnya. Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan perempuan!

Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik-cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita yang muda-muda dan manis-manis, yang kadang-kadang bertugas juga sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu sendiri.

Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya yang berbulu hitam lebat! Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita yang dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, mau pun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.

Dua orang temannya berusia lebih dari lima puluh. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan julukannya, di lengan kanannya juga ada gambar cacahan seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.

Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu saja mereka menganggapnya musuh. Mereka merasa keselamatan mereka masing-masing menjadi terancam. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka memperoleh banyak keuntungan.

Pertama, mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!

Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia mengilar. Ketika dia melihat wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu sedang kehausan dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar!

Kedua orang kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia jangan mengganggu wanita-wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada malam ke dua, kawan-kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan!

Pembesar itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya. Si Naga Besi lalu diantri dan laki-laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si Naga Besi.

Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang amat mudah ngantuk. Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu.

Naga Merah dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, mereka pun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah mendekam dalam kamar salah seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang oleh Koo-taijin.

Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti itu? Mereka tidak pernah mengira bahwa sedikit kelengahan mereka itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti biasa.

Dengan gerakan yang sangat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, kemudian melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang gelap. Tidak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik di dalam kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.

Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu ternyata sudah tertidur pulas, mendengkur di dalam pelukan seorang pelayan perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya. Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.

Ia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah. Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru.

Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang. Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyambar tengkuk wanita itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.

Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo-taijin dengan selembar selimut, lalu mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjinah.

Begitu terbebas dari totokan, Koo-taijin yang semenjak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak. “Tolooonggg....!”

Tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang tindih.

“Brukkk....!”

“Aduhh…., aduhhh....!” Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya ikut menjerit akibat tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang juga merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar pakaiannya dan bergegas memakainya.

Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa salah satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya.

Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, dia pun tidak percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.

“Perempuan hina, apa yang sedang kau lakukan ini?” Dan dia tak dapat lagi menahan kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.

“Bukkk....!”

Perempuan itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di atas kasur.

Koo-taijin semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil memaki-maki, “Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?”

Dan dia mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.

“Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar taijin?”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.

“Tolong.... penjahat.... pembunuh....!”

Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. “Taijin…! Taijin…! Apakah paduka berada di dalam?”

Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang melemparkan tubuh Koo-taijin tadi, yang ternyata barusan bersembunyi di atas tiang melintang di atas kamar itu.

Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh yang dinanti-nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan. Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.

“Bocah setan bosan hidup!” bentaknya.

Dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya kemudian menerjang maju, menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan kiri, lalu menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki kanannya.

“Tuk....! Bruukk!”

Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!

Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap mengeroyok!

Pemuda itu tidak mempedulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut tertarik dan terbanting.

“Ampun....ampunkan saya....!” Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.

“Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau sudah bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”

“Ampun.... ampun, taihiap....!” Pembesar itu meratap.

Sementara itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun saat melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedangnya sedangkan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang dari belakang.

“Wuuutt....! Singg....!”

Pedang menyambar kepala sedangkan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.

“Trang....! Cringg....!”

Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang memegang pedang terasa panas dan perih.

“Pembesar Koo, sekali ini aku ampuni nyawamu. Lekas kau rubah cara hidupmu dan menjadi pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku pasti datang mengambil kepalamu!”

Golok berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia mendekap mukanya, dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau. “Aduh.... aduh.... aduh....!”

Sementara itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tidak berani maju. Betapa pun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.

“Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.

“Trang.... trang....!”

Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!

Para pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari Koo-taijin, “Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merubah semua kesalahan!”

Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang terus mendekap hidungnya yang masih berdarah. Bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, kemudian melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.

“Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik. Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!”

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit- langit kamar. Terdengar suara keras pada saat atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!

Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar-benar bertobat, berubah menjadi seorang pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan keamanan untuk mengadakan pembersihan-pembersihan, membasmi sarang-sarang penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.

Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam-liong dan menghukum Koo-taijin itu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja. Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersemedhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biar pun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak kelihatan puas dan gembira.

Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya dengan suara menggetar, “Gangga.... ahhh, Gangga....!”

Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut enci-nya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Dia pun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu!

Hatinya semakin rindu dan semakin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu.

Untuk mengurangi kedukaan dan menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua pengalamannya.

Di PULAU ES dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun kepada setiap penjahat yang ditemuinya.

Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan enci-nya. Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan ‘pemuda’ yang dicintanya, Ganggananda.

“Aih.... Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh kerinduan sebelum dia tenggelam ke dalam semedhinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang karena selama beberapa hari ini dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak ada seorang pun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan yang lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!

Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi. Dia akan pergi ke kota Si’an yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang akan menyita waktunya.

Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas. Sejauh mata memandang, tak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka dia pun mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.

Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih dari buntalan. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya.

Dia menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walau pun perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, betapa rindu kepada Ganggananda dan justru kerinduan inilah yang mendukakan hatinya. Terngiang di telinganya pertanyaan enci-nya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.

“Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian enci-nya bertanya.

Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah, membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya?

Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah basah semua. Dia menangis dan tidak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil, seperti perempuan!

“Ciang Bun....!” Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.

“Gangga....? Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan kalau-kalau tadi pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!

“Gangga....!” Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir tersenyum.

“Ciang Bun....!” Katanya dengan air mata berlinang.

Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluk dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!

“Gangga.... ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!” Ciang Bun berbisik berkali-kali.

Dia mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya supaya tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.

“Ahhh....!” Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan menjambak-jambak rambutnya sambil menangis!

“Ciang Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada apakah....?”

Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang wanita cengeng!

“Ciang Bun, ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.

Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata. “Tahukah engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”

Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang heran. “Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau berada di belakangku.”

Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berubah, hatinya menjadi tenang kembali.

“Gangga, sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”

“Dan kau sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.

“Aku.... aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”

“Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?”

“Aku....? Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu sekali kepadamu.”

“Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah.”

“Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”

“Ehhh, mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”

“Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!”

Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya menolong pemuda itu sembuh, walau pun jantungnya terasa berdebar dan kedua pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.

“Tentu saja, aku pun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling mencinta, sahabat karib, bukan?”

“Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk menyembunyikan mukanya.

Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun. “Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?”

Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Tetapi, bagaimana pun, apa pun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya. Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya.

Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapa pun pahitnya, dari pada tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan, terus-menerus tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya seorang pendekar!

Maka, dia cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.

“Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku berterus terang dan kata-kataku menyinggung dan tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”

Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.

“Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah sepatutnya kalau dimaafkan.”

“Tapi.... tapi aku....” Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk membuat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.

“Engkau kenapa? Katakanlah!”

Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh bersikap lemah. “Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kau dengar.”

Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum. “Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma Ciang Bun. Bicaralah!”

“Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, tetapi bukan seperti yang kau maksudkan, tidak seperti yang kau sangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”

Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran. Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang Bun.”

“Tidak terasakah olehmu saat aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”

“Tapi aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.

“Itulah, Gangga, justru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya....”

Pemuda itu menundukkan mukanya, tidak menangis lagi tapi terbenam dalam kedukaan besar. Gangga Dewi memandang dan hatinya terharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.

“Ciang Bun,” katanya halus. “Sebetulnya apakah yang sedang kau derita itu? Kelainan dan penyakit bagaimanakah yang kau maksudkan?”

Ciang Bun menghela napas panjang. Betapa pun sukar dan beratnya, dia tetap harus berterus terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang sangat dicintanya ini.

“Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, tetapi aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku…. aku…. cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... Aku ingin hidup bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka mau pun duka, tidak akan terpisah lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!”

Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Tetapi hanya untuk mengguncang batinnya, menyadarkannya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.

“Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta diriku?”

“Aku cinta padamu, Gangga, walau pun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa muak dan membenciku.”

“Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik hatimu?” Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang-bintang yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.

Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya, maka dia berkata gagap, “Ya.... ya, begitulah....!”

Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri. “Hemm, jadi yang kau cinta hanyalah diriku sebagai seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, jika engkau hanya membutuhkan pemuda tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di mana pun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata demikian Gangga meloncat jauh dan lari.

Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa pengakuannya itu tentu akan berakibat hebat, namun begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, dia pun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.

“Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”

Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. “Mau bicara apa lagi?” tanyanya angkuh.

“Gangga, maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu, karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekali pun aku tidak mau!”

“Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, begitu bukan?”

“Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”

“Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!”

Gangga lalu menggunakan tangannya melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biar pun cuaca remang-remang akan tetapi cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perubahan itu dan dia pun terbelalak.
"Gangga....! Kau.... kau...."

“Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan? Selamat tinggal!”

Gangga Dewi meloncat dan terus lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong dengan wajah pucat. Gangga ialah seorang wanita! Kenyataan ini merupakan pukulan hebat baginya. Baru sekarang dia mengerti akan pertanyaan enci-nya apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja.

Kalau Gangga tadi bertanya seperti enci-nya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang pria. Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merubah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa.

Gangga seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung. Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak tahu.

Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah-olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik dan dipuja-pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.

“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk di atas tanah.

Cinta asmara didorong oleh nafsu birahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik alamiah yang memang ada dalam diri setiap makhluk antara jantan dan betina. Daya tarik alamiah ini memang sangat diperlukan guna perkembang biakan segala makhluk hidup. Dengan adanya daya tarik ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti juga halnya makan atau minum yang mengandung keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.

Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar.

Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus, sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa
.

Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan dengan gadis Gangga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya merana.

“Gangga....!” Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan berhenti berlari.

“Gangga.... ahhh, Gangga....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam ketidak tentuan yang menimbulkan duka…..

**********

Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tetap tinggal dan menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai-hang-san. Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apa lagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, bahkan belasan tahun lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya.

Seperti biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu, orang akan memandang rendah kepadanya. Seorang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja yang menjadi kesukaannya. Sedikit pun, dalam gerak gerik mau pun sikapnya, dia tak nampak seperti seorang pendekar. Akan tetapi, jika orang menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub.

Pendekar ini telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda pada saat dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mukjijat dari jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khikang amat kuatnya sehingga suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu sempat terganggu hebat dengan menimpanya mala petaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Malapetaka itu dikarenakan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.

Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat. Sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telah ditunangkan dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.

Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi, Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang.

Pemuda ini memang tekun sekali. Dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari ayahnya. Biar pun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya mau pun calon ayah mertuanya.

Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di dapur.

Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya kedua orang itu, akan tetapi melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik sebab datangnya menyelinap bagai orang bersembunyi.

Namun, dia tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Semenjak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya sendiri.

Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan yang akan tertimpa mala petaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali. Karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati mereka.

Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua orang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandang penuh perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka.

Yang bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali. Wajahnya cerah dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan tenaga sinkang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak usianya dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti kawannya yang nampak lebih tabah.

Kam Hong adalah seorang pendekar yang telah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.

“Dua orang sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah yang ji-wi bawa?”

Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini, si baju hijau cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya amat terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang.

Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke Lembah Naga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!

Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hong dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biar pun dia maklum bahwa adalah menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andai kata yang menjadi musuh guru-gurunya itu adalah seorang penjahat, atau setidaknya orang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tak diliputi keraguan lagi.

Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tak memiliki jiwa pendekar walau pun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak bagai seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian serta dendam yang besar. Ingin sekali ia dapat membalas dan jika mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas budi keluarga Cu yang sudah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri.

Namun dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sute-nya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama sekali dia tak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat betapa Kam Hong tidak mengenalnya, dia pun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.

Karena suheng-nya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat-cepat membalas penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap menghormat. “Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”

“Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong.”

“Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang sedang ditugaskan oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan menandingi locianpwe!” Sambil berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan nama.

Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang.

Dia sudah mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa menggunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa lawan bertanding dengan senjata. Pemuda ini pun cerdik karena jika mereka bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sinkang dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukanlah tandingan pendekar sakti yang tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu.

Tek Ciang yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kini pun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman dia memperoleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Dia pun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.

Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata datang sebagai musuh dan lawan. Apa lagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal.

Bagaimana pun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber. Dan dia pun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam.

Dia merasa menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena pernah dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan sebagai musuh.

“Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan bagiku menerima kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu? Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”

Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andai kata dia seorang diri yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan pesan yang sangat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main!

Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.

“Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada dua pilihan bagi kami. Pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan kami, maka locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. “Sobat-sobat muda, ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tak mau menerima kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan aku pun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Tetapi, harap ji-wi suka memberi tahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”

“Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu, locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,” jawab Tek Ciang lagi mendahului sute-nya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!” Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.

Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. “Kalau ji-wi memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”

Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Nyonya ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat saat dia memandang pada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.

“Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tak sombong? Guru-gurunya pun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”

“Nio-cu....!” Suaminya mencegah.

Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya dan dua orang pendatang itu, sudah marah. “Kalian minta agar suamiku menjadi tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!”

Nyonya itu menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimana pun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jeri! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.

“Tidak....!” Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya. “Nio-cu, ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.” Setelah berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang. “Ji-wi, silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”

Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.

“Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kita pun tidak mempergunakan pedang kita,” kata Tek Ciang.

Cepat dia menyarungkan pedangnya kembali. Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai dari pada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.

“Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”

Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang jelas menunjukkan kegagahan ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan. “Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat bermain-main lebih gembira lagi.”

“Locianpwe, awas serangan!” Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi kesempatan kepada sute-nya untuk bersungkan-sungkan lagi.

Melihat suheng-nya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju bersama, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi membantu suheng-nya.

Melihat gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya, maka dia pun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan.

Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka memperoleh latihan ginkang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sinkang.

Tetapi, dengan ilmu silat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu ternyata mereka sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan. Oleh karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.

“Wuuuuttt.... plakk!”

Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.

“Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.

“Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....,” jawab Kui Lok sejujurnya.

Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong mengelak dan menangkis.

“Akan tetapi.... aku tidak pernah mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan bersahabat....”

“Tugas saya hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa nama Kun-lun-pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula.

Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang. Terjangan Kam Hong yang tadi menggunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh dua orang muda itu tergetar dan terhuyung. Kesempatan itu digunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian.

Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan Pouw Kui Lok sudah menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.

“Desss....!”

Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak tangan Tek Ciang.

“Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.

Tek Ciang tersenyum mengejek. Cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan tercium bau amis dan dari perut pemuda itu keluar bunyi berkokok.

Kam Hong terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berubah agak pucat.

“Tahan dulu! Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”

“Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu apa pun yang kami gunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe,” kata Tek Ciang.

“Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!” Bu Ci San meloncat ke depan dan memutar sulingnya.

Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.

“Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran saat mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus melawan yang muda....”

“Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!” Mendadak muncul seorang pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua.

Dia adalah Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya. Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.

Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. “Houw-ji, kenapa engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.

“Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya adalah murid suhu. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka itu pun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi menurut teecu sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi mereka.”

“Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”

Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhu-nya dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi suhu-nya.

“Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan bahwa teecu tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak boleh melihat asal-usul seseorang, tetapi melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Meski murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya, suhu?”

Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja dia pun seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya sekarang mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau dia pun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasa curiga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.

“Baiklah, kalau begitu coba kau hadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam ilmu silatnya di situ.

Pouw Kui Lok yang tidak ingin menderita kekalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain dia mempunyai ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I Cin-jin, juga dia telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. Dan di Lembah Naga Siluman dia pun digembleng oleh keluarga Cu dengan ilmu pedang yang khas dari keluarga itu.

Melihat lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedangnya yang kini sudah merupakan ilmu pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dia pun melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam milik ayahnya, atau tak sehebat Suling Emas milik suhu-nya, akan tetapi juga bukan pedang sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu, maka pedangnya itu merupakan senjata yang amat ampuh.

“Silakan!” tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

“Sambutlah seranganku!” teriak Kui Lok.

Dia mengelebatkan pedangnya, selanjutnya pedang itu diputar dan berubahlah pedang di tangannya menjadi segulung sinar yang tebal dan panjang. Sim Houw menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang bertemu, diikuti muncratnya bunga api. Mereka menarik pedang masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang masing-masing tidak rusak.

Mulailah mereka saling serang dengan pedang masing-masing. Semakin lama gerakan mereka makin cepat, yang nampak hanya dua gulung sinar pedang yang membungkus bayangan kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya pedang, terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim Houw itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!

Louw Tek Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tidak disangkanya bahwa pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga tahun lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Dia merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak kesukaran. Kini, murid pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui Lok tidak mampu mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam Hong sendirian saja? Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga memiliki kepandaian lihai sekali!

Mulailah dia merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas berat ini berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Boleh jadi mereka berdua kini telah memiliki tingkat kepandaian yang sulit dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan dengan keluarga Kam, masih terlampau berat lawan itu.

Pertandingan pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main. Setiap jurus serangannya dipatahkan oleh lawan dengan sangat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal semua jurus serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus ilmu pedangnya yang didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim Houw, bahkan pemuda ini adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut!

Apalagi setelah dia mempelajari Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang berasal dari satu sumber, amat dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui Lok mempergunakan ilmu pedang dari Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi seorang guru atau setidaknya orang yang jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari Kun-lun-pai, pihak lawan tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut, baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan.

Betapa pun juga, ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan yang luar biasa sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak hebat. Dia kini hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa dapat membalas sedikit pun, hanya main mundur.

Tiba-tiba, ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat ke atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu ginkang dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya. Dia maklum akan kehebatan ginkang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya karena tidak diberi kesempatan, dan dia dapat menduga bahwa dari atas, tentu lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga Siluman Mencakar Bumi, serangan yang paling tepat dilakukan dalam keadaan melompat dan menukik seperti itu. Dan serangan ini amat berbahaya.

Benar saja, dari atas, tubuh Kui Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan jurus Kun-lun-pai, melainkan dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke arah ubun-ubun dengan gerakan diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim Houw sudah mengenal jurus ini, menangkis dengan pedangnya kemudian menjatuhkan diri dan bergulingan sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.

Melihat sute-nya kewalahan, Tek Ciang mendadak meloncat ke depan, tangan kirinya meluncur dan mulutnya beseru, “Mundurlah, sute....!”

Mulutnya berkata demikian dan tangannya sudah meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit dan terdapat sinar menyambar ke tubuh Sim Houw yang sedang bergulingan itu. Tek Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh sute-nya mundur seolah-olah dia bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada saat itu pihak lawan sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama saja dengan dikeroyok!

Melihat serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan tetapi dia kurang cepat.

“Brettt….!” terdengar suara dan baju di pundaknya robek oleh serangan aneh itu yang dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.

“Ihhhh.... itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!” tiba-tiba Bu Ci Sian berseru kaget. “Iblis ini tentunya ada hubungannya dengan Ngo-ok!” Berkata demikian, Bu Ci Sian hendak menerjang, akan tetapi kembali suaminya mencegah dan memberi isyarat dengan mencabut suling emasnya. Melihat suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak melanjutkan serangannya.

Sementara itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju melawan Tek Ciang yang juga telah mencabut pedangnya. Tek Ciang lebih cerdik dari pada Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal ilmu dari Lembah Naga Siluman hingga semua serangan dari Kui Lok dapat dipatahkannya dengan mudah.

Maka, dia pun tidak mau mempergunakan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang dengan Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari Pedang tangan kiri ini.

Akan tetapi kali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan kehebatan lawan, Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari dan sedang dimatangkan, dan ilmu pedang ini memang hebat sekali, mampu menandingi serangan lawan, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.

“Sute, lekas bantu aku!” berkali-kali Tek Ciang berseru.

Kui Lok merasa serba salah. Jika dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja Tek Ciang terancam bahaya sedangkan dia hanya berdiri menonton, sungguh amat tidak enak. Dia sudah menggerakkan pedangnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara istimewa!

Alunan suara suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di dalam kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Tak lama kemudian, suara itu pun disusul oleh lengkingan suling lainnya yang lebih tinggi akan tetapi yang mengikuti lagu suling pertama.

Dua orang muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata Pendekar Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup suling emas mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan subo-nya, lalu duduk bersila dan pemuda ini pun mengeluarkan suara bersenandung dengan mulutnya yang mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!

Tek Ciang yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesempatan yang baik sekali untuk melaksanakan niat busuknya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan menerjang, maksudnya hendak membunuh Kam Hong dengan sekali tusukan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah suara suling yang halus itu mempunyai tenaga mukjijat yang menolaknya dan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa mempedulikan suara suling yang bagaikan menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia berusaha untuk menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia meloncat, dia pun terbanting jatuh lagi.

“Suheng, jangan....!” Kui Lok berseru kaget dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin sakit rasa telinga dan jantungnya.

Akan tetapi Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan tetapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan dilontarkan ke belakang. Segera dia terbanting dan muntah darah, pedangnya terlepas dan pingsan...


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 25