Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 13
Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja sedang dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru daerah yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan.

Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.

Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.

Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!

Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.

Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan mengangguk.

“Maaf,” kata pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?”

Melihat keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.

“Ya, aku baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”

Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, “Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. “Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”

Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. “Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”

“Akan tetapi kita bukan burung....”

“Ha-ha, apa bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Namaku Suma Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.

Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.

Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.

“Tidak enak bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.”

“Rahasia apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.

“Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”

“Tukang korupsi?”

Hok Sim mengangguk. “Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.”

“Eh, mengapa begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya bukanlah ujian.”

“Memang bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya,” Tan Hok Sim menjawab marah.

“Lalu bagaimana dengan engkau, twako?”

“Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....”

“Ayahmu seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ahh, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!”

“Ahh, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”

“Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”

“Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”

“Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”

“Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”

“Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.

Tan Hok Sim membelalakkan matanya. “Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”

Ciang Bun menarik napas panjang. “Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”

Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?

“Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.”

Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?

“Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.”

Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. “Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?”

Ciang Bun tersenyum. “Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun?

Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.

Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apa pun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.....

********************

Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedung pun tidak berani banyak membuat gaduh agar tak mengganggu sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya. Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta pada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.

“Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?” bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang. “Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!”

“Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.”

Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Huh, kau kira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan mengganggu beliau!”

“Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....”

“Cukup!” Kepala jaga itu menghardik. “Lekas kau pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?”

Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok yang tinggi besar itu. “Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....”

“Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!”

Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. “Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkaulah yang perlu dihajar!”

Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu padanya, kemarahannya langsung memuncak. Sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.

Ciang Bun tenang-tenang saja. Tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.

“Dukk! Tukk! Plakkk!”

Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah.

Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahannya. Dia sekarang menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor beruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.

Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, maka pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.

“Desss....!”

Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya punggungnya mengalami salah urat ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.

“Berani kau melawan tentara?” bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.

“Tahan!” Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja. “Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Mereka pun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dan melihat pula betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka. Mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi mereka pun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.

Ciang Bun tidak pergi jauh tetapi mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.

Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya.

Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu.

Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itu pun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang. Akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka dia pun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar sedikit pun ketika berkata, “Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.”

Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.

“Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!”

Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak cepat menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang.

Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!

“Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!” Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.

“Ampun....,” rintihnya.

Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apa pun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekali pun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.

“Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini.”

Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar. Akan tetapi, melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.

“Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua,” kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya.

Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.

“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”

Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan dia pun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jeri, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, dan bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.

“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”

Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia kemudian berkata, “Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”

Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. “Ahh, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”

“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. “Justru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biar pun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok dengan uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapa pun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”

Wajah yang tadinya sudah mulai berseri itu berubah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi. “Ini.... ini.... kami tidak tahu....”

“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku pasti akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”

Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! “Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”

Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka dia pun bangkit berdiri dan berkata lagi, “Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga Jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, boleh renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”

Pemuda itu lalu menggunakan ginkang-nya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng itu telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin, “Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”

Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.

Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. “She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”

Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.

Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, sekarang benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tan Hok Sim. Dia pun lulus walau pun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan.

Hok Sim dikerumuni ternan-temannya. Kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biar pun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan dia pun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil dari pada ‘bualan’ teman barunya itu!

Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. “Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merubah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”

Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. “Ahh, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merubahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”

“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”

Ciang Bun tersenyum. Bagaimana pun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian. “Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”

“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merubah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”

“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”

“Bagaimana pun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biar pun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ahh, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”

“Aku pergi bersamamu, twako. Aku pun hendak melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”

Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan mereka pun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.

Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan.

Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu.

Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan dia pun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walau pun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.

“Tenanglah, twako,” dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang.

Mereka pun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar, “Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”

“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.

“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”

“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.

“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!” Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.

“Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!” bentak si muka hitam sambil melangkah maju.

“Tahan!” Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini. “Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!”

Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai. “Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya.” Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim.

Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!

“Huhh....!”

Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.

Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. “Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!” Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya.

Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca dari pada ilmu silat oleh ayahnya, juga andai kata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itu pun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim berloncatan, mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi baginya untuk mengelak.

“Dukkk!”

Lengan Tan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu bagaikan hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya.

“Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu.”

“Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!” bantah Hok Sim.

“Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau tak akan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?” Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya kemudian membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.

“Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!” kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.

Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biar pun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja.

Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.

“Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.

“Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan ingin membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini supaya tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa.”

Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya jika seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam akan membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali.

Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun.

Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.

“Tuk! Tukk!”

Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.

“Desss....!”

Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja, maka dia pun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.

“Bun-te, kau pakailah pedangku ini!” Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi.

Kini dia pun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapa pun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.

“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,” jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang.

Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya mereka pun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan sesuatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang sekarang memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.

“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam.

Dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.

“Plak-plak-plak! Desss....!”

Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh. Lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya.

“Tringgg.... wuuutt, crottt....!”

Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri.

Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan mereka pun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang sudah membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat.

Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi salah satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan dia pun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti enci-nya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.

Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.

“Plakkk!”

Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu. Isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia...

kisah para pendekar pulau es jilid 13


Melihat ini si muka hitam berubah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yang lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut. Dia pun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.

“Tranggg....!”

Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai, kemudian menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim. Akan tetapi, Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.

“Dukkk!”

Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sim terpelanting roboh. Sambil menyeringai Si muka hitam menubruk, akan tetapi pada saat itu nampak sinar putih berkelebat.

“Crottt.... aughhh....!”

Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam. Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.

Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.

“Orang muda, siapakah namamu....?”

Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab. “Namaku Suma Ciang Bun.”

Mata yang sudah sayu itu terbelalak. “Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?” Dan dia pun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.

Hok Sim bergidik. Biar pun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, tapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.

“Mengapa.... mengapa mereka.... harus dibunuh....?” Hok Sim bertanya dengan suara membayangkan kengerian.

Dengan sikap tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu, dan dia berkata, “Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat. Mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua, maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”

Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.

“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....,” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.

Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. “Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”

Mereka kemudian tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.

“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirubah. Malam itu tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”

Ciang Bun hanya tersenyum. “Hal itu terjadi karena kesadarannya....”

Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?

Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi makin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim sangatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.

“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”

Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walau pun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.

Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia dapat melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!

Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.

Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.

Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, yaitu sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan memutari kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.

“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.

“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”

“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.

Ciang Bun mengangkat muka, lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya, “Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya sama sekali selama ini.”

Wajah Hok Sim berubah menjadi merah dan dia pun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya. “Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggota keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....” Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.

Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.

Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-to dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.

Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun.

Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Pada saat Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.

“Ahhh, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.

“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,” Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang.

Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan ini pun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi dia pun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.

“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....,” kata ayah ini.

Hok Sim tersenyum. “Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”

Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupan untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.

Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pecan. Setelah itu dia baru akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak enci-nya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.

Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, enci-nya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapa pun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.

Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim dari pada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.

Dan dalam pergaulan yang beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan dia pun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biar pun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling mata dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya!

Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?

Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami ‘kemajuan’ seperti yang diharapkan keluarga itu.

“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiri pun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.

“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.

Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.

Tetapi Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.

“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.

Tentu saja ia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar sebab maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.

Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang.

Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.

“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.

“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.

“Benar sekali! Suma-taihiap, aku pun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.

Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka dia pun berkata, “Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”

“Aihh, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!” Seng Nio berkata.

Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan dia pun mulai bersajak bebas,

Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembus celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi

Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!

Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!

Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!


“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”

“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?” Seng Nio yang tidak begitu mengerti mengenai sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.

“Suma-taihiap dapat merubah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!” sambung Ci Loan.

Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka dia pun menjura kepada dua orang gadis itu.

“Ahh, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.

Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. “Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.”

Tanpa menanti jawaban Ci Loan langsung meninggalkan mereka. Karena sebelumnya memang sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.

Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.

Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, ingin sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula akan meninggalkan dia berduaan saja dengan pemuda itu.

Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!

“Taihiap....”

Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengandung daya pikat yang kuat.

“Ada apakah, nona?”

“Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”

Ciang Bun tersenyum menenangkan melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu. “Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”

“Aku hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat....”

Ciang Bun tersenyum. “Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “

“Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari pada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”

Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka dia pun berkata ramah. “Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”

“Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!” Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.

Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja dia pun mengelak sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.

“Tahan....!” Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”

Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan ia pun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.

Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya ‘masuk’ melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.

“Ihhhh....!” Seng Nio menjerit manja dan mukanya berubah merah.

Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berubah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.

“Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, oleh karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan amat cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andai kata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka.”

Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.

“Dukkk!”

Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu dapat tertangkis.

“Bagus! Sekarang lanjutkan, nona.”

Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirubah menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.

“Begini sebaiknya, nona,” kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. “Nah, sekarang engkau cobalah meniru gerakanku tadi.”

Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tenaganya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.

Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting. Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke dada pemuda itu!

“Ehhh, nona, maafkan aku tidak sengaja....”

“Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justru senang sekali begini....” dan kini kedua lengan Seng Nio merangkul leher!

“Ehh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?” Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu memperkuat rangkulannya.

“Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta kepadamu....”

“Ihhh....!” Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu terhuyung hampir jatuh. “Nona, jangan bersikap tidak sopan!”

Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak. “Tapi.... tapi aku cinta....”

“Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapa pun!” Ciang Bun membentak marah. “Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!”

Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja.

Melihat gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan dia pun termenung dengan bingung dan menyesal.

Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya?

Dia tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.

“Suma-taihiap....”

Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Dia pun cepat bangkit berdiri.

“Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?” Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali.

Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.

“Tan-siocia.... telah pergi....”

“Pergi? Ehh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”

“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”

“Kenapa dan ke mana?”

“Entah.... aku tidak tahu....” Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.

Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.

“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.

Ciang Bun menggeleng kepala. “Tidak apa-apa....”

“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”

“Tidak apa-apa....”

Hening sejenak dan Ciang Bun tak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.

“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”

Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?

“Belum....,” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah gadis di sampingnya itu.

“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”

Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.

“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”

Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.

“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan dia pun turun dari batu dan bangkit berdiri.

Ci Loan melompat turun dan menghampirinya. “Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap gadis akan berlomba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan aku pun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan....”

Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan dari pada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, dia pun merasa penasaran dan bertanya. “Kalau belum bertunangan bagaimana?”

Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. “Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”

“Keparat!” Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi.

Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan. “Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”

Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tidak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apa lagi sampai memakinya. Tadi dia mendapat laporan dari Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu. Akan tetapi karena memang di lubuk hatinya dia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, dia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan calon adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya dia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu ia pun menjadi marah sekali.

“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.

“Plakkk!”

Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!

“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?” Tiba-tiba muncullah Seng Nio.

Agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia telah dihina oleh Ciang Bun tadi. Melihat Ci Loan terpelanting, dia pun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.

“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?” Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.

Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat dari pada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.

“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.

Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!

“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?” Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.

“Mereka.... mereka di belakang....,” jawabnya gugup.

“Tapi kenapa....?” Tiba-tiba dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Ehhh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”

“Kami.... main kejar-kejaran....”

Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.

“Ehh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.

“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.

“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.

“Ehhh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.

“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka sekarang dia hendak membalas dendam.

“Ahhh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.

“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!” Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi.

Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan dia pun mencabut pedangnya.

“Dengarkan dulu....,” kata Ciang Bun.

Akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya. Dua orang gadis itu pun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka dia pun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.

Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.

“Siapa yang tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan hendak memperkosa tunanganku!” demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.

“Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?” Suma Hui bertanya heran dan penuh ketidak percayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.

Ciang Bun menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.

“Aku tidak perlu bercerita. Silakan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya.” Sambil berkata demikian, sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.

Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu. Timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!

“Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!”

Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya ini pun seorang pendekar yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?

“Aku tadi hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan cinta dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio ‘mendesak’ dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.

“Dan engkau, Loan-moi? Apa yang terjadi?” kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan.

Wajah gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun. Pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.

“Aku menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko.”

Hok Sim membanting kakinya dan menarik napas panjang. “Ah, akulah yang bodoh dan terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....”

“Sudahlah, mari kita pergi, enci Hui!” kata Ciang Bun. “Aku akan mengambil pakaianku lebih dulu di rumah, Tan-twako.”

Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu terdengar Hok Sim mengomel, “Ah, kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati.”

Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.

“Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!” tiba-tiba Seng Nio berkata.

“Bahkan kadang-kadang amat mesra!” tambah Ci Loan. “Kami sering membicarakan hal ini, dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu dari pada terhadap kami.”

Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa andai kata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!

“Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang menyamar pria!” kata pula Seng Nio.

"Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... ehhh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapa pun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!" Mereka pun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 14


Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 13

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 13
Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja sedang dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru daerah yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan.

Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.

Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.

Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!

Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.

Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan mengangguk.

“Maaf,” kata pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?”

Melihat keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.

“Ya, aku baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”

Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, “Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. “Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”

Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. “Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”

“Akan tetapi kita bukan burung....”

“Ha-ha, apa bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Namaku Suma Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.

Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.

Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.

“Tidak enak bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.”

“Rahasia apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.

“Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”

“Tukang korupsi?”

Hok Sim mengangguk. “Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.”

“Eh, mengapa begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya bukanlah ujian.”

“Memang bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya,” Tan Hok Sim menjawab marah.

“Lalu bagaimana dengan engkau, twako?”

“Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....”

“Ayahmu seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ahh, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!”

“Ahh, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”

“Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”

“Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”

“Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”

“Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”

“Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.

Tan Hok Sim membelalakkan matanya. “Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”

Ciang Bun menarik napas panjang. “Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”

Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?

“Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.”

Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?

“Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.”

Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. “Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?”

Ciang Bun tersenyum. “Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun?

Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.

Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apa pun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.....

********************

Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedung pun tidak berani banyak membuat gaduh agar tak mengganggu sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya. Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta pada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.

“Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?” bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang. “Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!”

“Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.”

Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Huh, kau kira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan mengganggu beliau!”

“Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....”

“Cukup!” Kepala jaga itu menghardik. “Lekas kau pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?”

Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok yang tinggi besar itu. “Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....”

“Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!”

Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. “Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkaulah yang perlu dihajar!”

Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu padanya, kemarahannya langsung memuncak. Sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.

Ciang Bun tenang-tenang saja. Tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.

“Dukk! Tukk! Plakkk!”

Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah.

Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahannya. Dia sekarang menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor beruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.

Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, maka pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.

“Desss....!”

Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya punggungnya mengalami salah urat ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.

“Berani kau melawan tentara?” bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.

“Tahan!” Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja. “Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Mereka pun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dan melihat pula betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka. Mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi mereka pun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.

Ciang Bun tidak pergi jauh tetapi mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.

Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya.

Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu.

Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itu pun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang. Akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka dia pun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar sedikit pun ketika berkata, “Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.”

Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.

“Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!”

Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak cepat menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang.

Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!

“Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!” Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.

“Ampun....,” rintihnya.

Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apa pun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekali pun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.

“Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini.”

Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar. Akan tetapi, melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.

“Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua,” kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya.

Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.

“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”

Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan dia pun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jeri, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, dan bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.

“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”

Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia kemudian berkata, “Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”

Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. “Ahh, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”

“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. “Justru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biar pun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok dengan uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapa pun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”

Wajah yang tadinya sudah mulai berseri itu berubah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi. “Ini.... ini.... kami tidak tahu....”

“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku pasti akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”

Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! “Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”

Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka dia pun bangkit berdiri dan berkata lagi, “Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga Jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, boleh renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”

Pemuda itu lalu menggunakan ginkang-nya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng itu telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin, “Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”

Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.

Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. “She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”

Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.

Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, sekarang benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tan Hok Sim. Dia pun lulus walau pun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan.

Hok Sim dikerumuni ternan-temannya. Kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biar pun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan dia pun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil dari pada ‘bualan’ teman barunya itu!

Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. “Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merubah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”

Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. “Ahh, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merubahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”

“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”

Ciang Bun tersenyum. Bagaimana pun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian. “Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”

“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merubah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”

“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”

“Bagaimana pun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biar pun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ahh, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”

“Aku pergi bersamamu, twako. Aku pun hendak melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”

Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan mereka pun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.

Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan.

Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu.

Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan dia pun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walau pun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.

“Tenanglah, twako,” dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang.

Mereka pun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar, “Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”

“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.

“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”

“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.

“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!” Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.

“Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!” bentak si muka hitam sambil melangkah maju.

“Tahan!” Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini. “Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!”

Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai. “Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya.” Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim.

Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!

“Huhh....!”

Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.

Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. “Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!” Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya.

Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca dari pada ilmu silat oleh ayahnya, juga andai kata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itu pun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim berloncatan, mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi baginya untuk mengelak.

“Dukkk!”

Lengan Tan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu bagaikan hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya.

“Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu.”

“Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!” bantah Hok Sim.

“Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau tak akan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?” Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya kemudian membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.

“Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!” kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.

Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biar pun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja.

Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.

“Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.

“Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan ingin membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini supaya tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa.”

Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya jika seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam akan membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali.

Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun.

Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.

“Tuk! Tukk!”

Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.

“Desss....!”

Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja, maka dia pun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.

“Bun-te, kau pakailah pedangku ini!” Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi.

Kini dia pun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapa pun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.

“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,” jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang.

Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya mereka pun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan sesuatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang sekarang memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.

“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam.

Dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.

“Plak-plak-plak! Desss....!”

Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh. Lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya.

“Tringgg.... wuuutt, crottt....!”

Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri.

Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan mereka pun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang sudah membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat.

Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi salah satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan dia pun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti enci-nya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.

Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.

“Plakkk!”

Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu. Isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia...

kisah para pendekar pulau es jilid 13


Melihat ini si muka hitam berubah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yang lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut. Dia pun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.

“Tranggg....!”

Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai, kemudian menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim. Akan tetapi, Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.

“Dukkk!”

Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sim terpelanting roboh. Sambil menyeringai Si muka hitam menubruk, akan tetapi pada saat itu nampak sinar putih berkelebat.

“Crottt.... aughhh....!”

Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam. Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.

Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.

“Orang muda, siapakah namamu....?”

Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab. “Namaku Suma Ciang Bun.”

Mata yang sudah sayu itu terbelalak. “Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?” Dan dia pun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.

Hok Sim bergidik. Biar pun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, tapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.

“Mengapa.... mengapa mereka.... harus dibunuh....?” Hok Sim bertanya dengan suara membayangkan kengerian.

Dengan sikap tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu, dan dia berkata, “Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat. Mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua, maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”

Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.

“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....,” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.

Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. “Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”

Mereka kemudian tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.

“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirubah. Malam itu tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”

Ciang Bun hanya tersenyum. “Hal itu terjadi karena kesadarannya....”

Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?

Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi makin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim sangatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.

“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”

Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walau pun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.

Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia dapat melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!

Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.

Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.

Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, yaitu sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan memutari kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.

“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.

“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”

“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.

Ciang Bun mengangkat muka, lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya, “Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya sama sekali selama ini.”

Wajah Hok Sim berubah menjadi merah dan dia pun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya. “Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggota keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....” Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.

Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.

Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-to dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.

Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun.

Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Pada saat Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.

“Ahhh, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”

Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.

“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,” Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang.

Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan ini pun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi dia pun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.

“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....,” kata ayah ini.

Hok Sim tersenyum. “Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”

Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupan untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.

Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pecan. Setelah itu dia baru akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak enci-nya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.

Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, enci-nya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapa pun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.

Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim dari pada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.

Dan dalam pergaulan yang beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan dia pun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biar pun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling mata dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya!

Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?

Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami ‘kemajuan’ seperti yang diharapkan keluarga itu.

“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiri pun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.

“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.

Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.

Tetapi Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.

“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.

Tentu saja ia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar sebab maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.

Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang.

Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.

“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.

“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.

“Benar sekali! Suma-taihiap, aku pun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.

Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka dia pun berkata, “Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”

“Aihh, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!” Seng Nio berkata.

Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan dia pun mulai bersajak bebas,

Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembus celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi

Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!

Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!

Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!


“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”

“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?” Seng Nio yang tidak begitu mengerti mengenai sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.

“Suma-taihiap dapat merubah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!” sambung Ci Loan.

Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka dia pun menjura kepada dua orang gadis itu.

“Ahh, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.

Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. “Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.”

Tanpa menanti jawaban Ci Loan langsung meninggalkan mereka. Karena sebelumnya memang sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.

Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.

Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, ingin sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula akan meninggalkan dia berduaan saja dengan pemuda itu.

Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!

“Taihiap....”

Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengandung daya pikat yang kuat.

“Ada apakah, nona?”

“Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”

Ciang Bun tersenyum menenangkan melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu. “Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”

“Aku hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat....”

Ciang Bun tersenyum. “Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “

“Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari pada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”

Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka dia pun berkata ramah. “Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”

“Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!” Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.

Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja dia pun mengelak sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.

“Tahan....!” Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”

Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan ia pun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.

Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya ‘masuk’ melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.

“Ihhhh....!” Seng Nio menjerit manja dan mukanya berubah merah.

Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berubah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.

“Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, oleh karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan amat cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andai kata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka.”

Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.

“Dukkk!”

Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu dapat tertangkis.

“Bagus! Sekarang lanjutkan, nona.”

Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirubah menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.

“Begini sebaiknya, nona,” kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. “Nah, sekarang engkau cobalah meniru gerakanku tadi.”

Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tenaganya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.

Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting. Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke dada pemuda itu!

“Ehhh, nona, maafkan aku tidak sengaja....”

“Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justru senang sekali begini....” dan kini kedua lengan Seng Nio merangkul leher!

“Ehh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?” Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu memperkuat rangkulannya.

“Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta kepadamu....”

“Ihhh....!” Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu terhuyung hampir jatuh. “Nona, jangan bersikap tidak sopan!”

Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak. “Tapi.... tapi aku cinta....”

“Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapa pun!” Ciang Bun membentak marah. “Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!”

Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja.

Melihat gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan dia pun termenung dengan bingung dan menyesal.

Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya?

Dia tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.

“Suma-taihiap....”

Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Dia pun cepat bangkit berdiri.

“Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?” Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali.

Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.

“Tan-siocia.... telah pergi....”

“Pergi? Ehh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”

“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”

“Kenapa dan ke mana?”

“Entah.... aku tidak tahu....” Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.

Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.

“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.

Ciang Bun menggeleng kepala. “Tidak apa-apa....”

“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”

“Tidak apa-apa....”

Hening sejenak dan Ciang Bun tak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.

“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”

Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?

“Belum....,” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah gadis di sampingnya itu.

“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”

Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.

“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”

Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.

“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan dia pun turun dari batu dan bangkit berdiri.

Ci Loan melompat turun dan menghampirinya. “Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap gadis akan berlomba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan aku pun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan....”

Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan dari pada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, dia pun merasa penasaran dan bertanya. “Kalau belum bertunangan bagaimana?”

Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. “Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”

“Keparat!” Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi.

Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan. “Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”

Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tidak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apa lagi sampai memakinya. Tadi dia mendapat laporan dari Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu. Akan tetapi karena memang di lubuk hatinya dia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, dia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan calon adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya dia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu ia pun menjadi marah sekali.

“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.

“Plakkk!”

Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!

“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?” Tiba-tiba muncullah Seng Nio.

Agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia telah dihina oleh Ciang Bun tadi. Melihat Ci Loan terpelanting, dia pun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.

“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?” Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.

Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat dari pada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.

“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.

Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!

“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?” Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.

“Mereka.... mereka di belakang....,” jawabnya gugup.

“Tapi kenapa....?” Tiba-tiba dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Ehhh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”

“Kami.... main kejar-kejaran....”

Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.

“Ehh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.

“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.

“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.

“Ehhh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.

“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka sekarang dia hendak membalas dendam.

“Ahhh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.

“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!” Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi.

Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan dia pun mencabut pedangnya.

“Dengarkan dulu....,” kata Ciang Bun.

Akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya. Dua orang gadis itu pun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka dia pun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.

Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.

“Siapa yang tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan hendak memperkosa tunanganku!” demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.

“Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?” Suma Hui bertanya heran dan penuh ketidak percayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.

Ciang Bun menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.

“Aku tidak perlu bercerita. Silakan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya.” Sambil berkata demikian, sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.

Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu. Timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!

“Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!”

Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya ini pun seorang pendekar yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?

“Aku tadi hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan cinta dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio ‘mendesak’ dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.

“Dan engkau, Loan-moi? Apa yang terjadi?” kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan.

Wajah gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun. Pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.

“Aku menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko.”

Hok Sim membanting kakinya dan menarik napas panjang. “Ah, akulah yang bodoh dan terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....”

“Sudahlah, mari kita pergi, enci Hui!” kata Ciang Bun. “Aku akan mengambil pakaianku lebih dulu di rumah, Tan-twako.”

Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu terdengar Hok Sim mengomel, “Ah, kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati.”

Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.

“Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!” tiba-tiba Seng Nio berkata.

“Bahkan kadang-kadang amat mesra!” tambah Ci Loan. “Kami sering membicarakan hal ini, dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu dari pada terhadap kami.”

Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa andai kata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!

“Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang menyamar pria!” kata pula Seng Nio.

"Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... ehhh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapa pun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!" Mereka pun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 14