Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 03
Nenek Nirahai maklum bahwa dari semua datuk, yang paling lihai adalah Hek-i Mo-ong, maka ia pun sudah menerjang iblis ini dengan dahsyat. Pedang payungnya menyambar bagaikan halilintar, menyambar ke arah leher lawan.

Melihat berkelebatnya sinar senjata yang demikian menyilaukan mata, Hek-i Mo-ong terkejut dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar Super Sakti yang bernama Puteri Nirahai ini, maka dia tak berani memandang ringan dan tombak Long-ge-pang di tangannya diputar untuk menangkis.

“Cringg.... siuuuuttt.... singgg....!”

Pedang payung itu tertangkis, akan tetapi tangkisan itu bagaikan menambah dorongan tenaga yang membuat gerakan menyerong dan tahu-tahu telah menusuk ke arah ulu hati lawan dan begitu lawan mengelak dan melintangkan tombaknya, pedang payung itu kembali telah menusuk mata dua kali lalu ditutup dengan serangan tusukan pada pusar dengan ganas sekali!

“Hemmm....!” Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat mundur ke belakang.

Biar pun tubuhnya kebal, namun dia sungguh tidak berani kalau harus mencoba-coba untuk menerima tusukan pedang payung yang digerakkan oleh isteri Pendekar Super Sakti. Terlalu berbahaya itu! Dia pun memutar tombaknya dan balas menyerang.

Ilmu tombak dari Raja Iblis ini hebat sekali dan memang tingkat kepandaiannya pada masa itu sukar dicari tandingannya. Ujung tombak berbentuk gigi serigala itu berputaran dan menjadi belasan batang banyaknya saking hebatnya getaran yang disebabkan oleh tenaga sinkang-nya dan kini ujung tombak itu meluncur ke depan, ke arah tubuh nenek Nirahai tanpa dapat diduga bagian tubuh mana yang akan menjadi sasaran!

Tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong berhadapan dengan nenek Nirahai, isteri dari Pendekar Super Sakti. Sejak muda, nenek ini telah menjadi seorang pendekar, bahkan panglima yang tangguh. Bahkan ia pernah secara rahasia mencoba ilmu seluruh jagoan untuk memperdalam ilmu silatnya dan ialah yang menjadi ahli waris dari kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar wanita Mutiara Hitam. Juga ia mewarisi kitab-kitab dari Pendekar Suling Emas, walau pun hanya sebagian saja.

Di antara puluhan macam ilmu silat tinggi yang dikuasainya, yang terhebat adalah ilmu silat tangan kosong Sin-coa-kun, ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam, dan ilmu pedang gabungan antara Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat. Dari gabungan dua ilmu pedang yang bertentangan sifatnya ini, yaitu antara Pat-mo (Delapan Iblis) dan Pat-sian (Delapan Dewa), telah tercipta ilmu pedang yang luar biasa sekali. Kadang-kadang nampak ganas bagaikan iblis mengamuk, tetapi kadang-kadang nampak halus lembut seperti gerak-gerik dewa, namun di balik semua itu terkandung kekuatan yang dahsyat.

Terjadilah perkelahian yang sengit dan amat ramai antara dua tokoh besar itu dan Hek-i Mo-ong makin lama merasa makin penasaran. Dia belum terdesak dan tidak merasa kalah, akan tetapi dia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawannya ini, seorang nenek yang sudah tua renta.

Maka dicabutnyalah kipas merahnya, dikelebatkan kipas yang terkembang itu di depan muka nenek Nirahai dan dia pun membentak, “Lihat kipas ini. Merah, bukan? Merah sekali, dan engkau menjadi silau, engkau menurut segala kehendakku!”

Akan tetapi betapa pun kuatnya ilmu sihir yang dikuasai oleh Hek-i Mo-ong, sekali ini tidak menemui sasarannya. Dia lupa agaknya bahwa yang coba disihirnya ini adalah nenek Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang mahir dalam ilmu sihir yang tentu saja telah membuka rahasia tentang sihir, memberi tahu kepada isterinya itu bagaimana caranya menghalau kekuatan sihir dari lawan agar dirinya tidak sampai terpengaruh. Maka, usaha Hek-i Mo-ong itu tentu saja sia-sia.

“Nenek, lihat siapa aku ini!” Kembali Hek-i Mo-ong mengibaskan kipasnya ke arah muka nenek Nirahai.

Tetapi, karena dia terlalu yakin dengan hasil kekuatan sihirnya, hampir saja datuk yang memiliki kepandaian tinggi ini celaka. Bentakannya yang berisi sihir itu, yang disertai gerakan tangan dan juga bibir kemak-kemik, membaca mantera untuk merubah dirinya dalam pandangan nenek itu. Kalau nenek itu terpengaruh oleh sihirnya, tentu dia akan nampak sebagai orang berkepala naga dan tentu nenek itu akan menjadi ketakutan atau setidaknya terkejut sekali sehingga mudah baginya untuk merobohkannya.

Akan tetapi, ternyata akibatnya malah lain sekali dan sama sekali tak pernah diduga-duganya, dan hampir mencelakainya. Nenek itu kelihatan diam sedetik, akan tetapi bukan untuk menjadi kaget dan lengah, sebaliknya, tiba-tiba saja pedang payungnya berkelebat dan menusuk ke arah ulu hati Hek-i Mo-ong!

“Singgg....!”

Pedang itu berdesing dan sekiranya Hek-i Mo-ong tidak cepat menggerakkan lengan kiri menangkis, tentu dadanya akan tembus oleh pedang payung itu, betapa pun kebalnya.

“Brettt....!”

Lengan jubahnya robek dan kulit lengannya lecet sedikit. Dia meloncat mundur, akan tetapi nenek Nirahai menerjangnya lagi dengan dahsyat. Gabungan Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat itu hebat bukau main sehingga untuk beberapa jurus lamanya Raja Iblis itu terdesak hebat.

Melihat ini, Si Ulat Seribu cepat maju membantunya. Si Ulat Seribu ini telah berhasil merobohkan para pelayan Pulau Es dan melihat betapa Hek-i Mo-ong belum mampu mengalahkan nenek tua renta itu, ia menjadi penasaran dan maju mengeroyoknya. Dan Hek-i Mo-ong yang sudah kehilangan kecongkakannya itu tidak mencegahnya sehingga nenek itu kini dikeroyok oleh dua orang yang berilmu tiuggi.

Cin Liong juga sudah terlibat dalam perkelahian seru melawan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui. Ketua Eng-jiauw-pang itu memiliki ilmu silat yang lihai dan ganas. Kedua tangannya ditutup sarung tangan setinggi siku, amat berbahaya karena sarung tangan itu dapat dipergunakan untuk menangkis pedang. Jari-jarinya kini berubah menjadi jari-jari yang berkuku garuda, terbuat dari pada baja yang kuat. Alat yang sudah amat kuat ini digerakkan oleh tenaga sinkang yang dahsyat, maka tentu saja menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali.

Betapa pun juga, yang dihadapinya adalah Kao Cin Liong, jenderal muda yang sudah banyak pengalaman, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir yang amat lihai itu. Maka walau pun dia dibantu pula oleh tiga orang anak buahnya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang dan yang menggunakan senjata yang sama dengan ketua mereka, namun Cin Liong dapat menggerakkan pedangnya dengan hebat dan sama sekali tidak terdesak. Malah pemuda perkasa ini membalas serangan dengan serangan yang tidak kalah berbahayanya.

Perkelahian antara Cin Liong dan empat orang tokoh Eng-jiauw-pang ini berlangsung dengan seru juga, tetapi dibandingkan dengan nenek Nirahai, pemuda ini nampak lebih kuat menghadapi para pengeroyoknya. Betapa pun juga, di luar kalangan pertempuran itu masih terdapat belasan, bahkan puluhan orang dari pihak musuh yang sudah siap-siap menyerbu dan mengeroyok.

“Ha-ha-ha, nona manis, lebih baik engkau menyerah dalam pelukanku, dan engkau menjadi murid dan pengikutku, hidup senang bersamaku!” Berkali-kali Jai-hwa Siauw-ok menggoda Suma Hui ketika dia tadi menghadapi nona ini dengan tangan kosong.

Meski ilmu pedang Suma Hui sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun menghadapi datuk ini dia kalah pengalaman dan juga kalah matang gerakannya, apalagi dara ini selama mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi belum pernah mempergunakannya dalam perkelahian mati-matian. Kalau saja ia sudah berpengalaman, dengan modal tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang saja, tanpa pedang sekali pun kiranya tidak akan mudah bagi penjahat cabul itu untuk bersikap sembarangan dan memandang rendah kepadanya.

Lebih lagi yang membuat Suma Hui agak bingung adalah sikap jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang menggodanya dengan kata-kata tidak senonoh itu. Kedua tangan penjahat itu pun secara kurang ajar hendak meraba dadanya, mengusap pipinya, mencengkeram pinggulnya dan sebagainya, dan semua ini mendatangkan rasa malu dan marah luar biasa yang akibatnya mengacaukan gerakan sepasang pedang di tangan Suma Hui.

Ciang Bun yang sejak tadi melindungi Ceng Liong dan menghadapi pengeroyokan para anggota gerombolan, melihat hal ini dan dia pun menjadi marah. Usianya sudah lima belas tahun dan dia sudah tahu bahwa datuk yang melawan enci-nya itu selain lihai sekali, juga tidak sopan.

Maka dia lalu menarik tangan Ceng Liong mendekati enci-nya dan membantu enci-nya menghadapi Jai-hwa Siauw-ok. Setelah Ciang Bun maju membantu, mulailah Jai-hwa Siauw-ok kehilangan kegembiraannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa enci adik ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan!

Nenek Nirahai akhirnya harus mengakui bahwa dua orang lawannya itu, Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu, merupakan lawan yang terlampau berat baginya. Andai kata dahulu, mungkin ia masih akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi mereka, tetapi sekarang, tenaganya jauh berkurang dan terutama sekali daya tahannya. Napasnya mulai memburu dan lehernya penuh dengan keringat. Beberapa kali ia terhuyung dan hanya berkat ginkang-nya yang hebat sajalah ia berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.

Kao Cin Liong melihat keadaan nenek itu. Dia menjadi khawatir sekali dan tahulah dia bahwa mereka semua terancam bahaya maut. Dia teringat kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berada di dalam. Hatinya menjadi penasaran sekali.

Mengapa kong-couw-nya yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti itu diam saja dan membiarkan isteri dan cucu-cucunya terancam bahaya maut? Hawa panas naik dari pusarnya ketika hatinya dilanda penasaran dan kemarahan, maka dia pun kemudian mengerahkan tenaga saktinya dan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te. Tubuhnya merendah seperti hendak bertiarap dan dia pun lalu menancapkan pedangnya ke dalam tanah!

Lawannya, Eng-jiauw Siauw-ong si ketua Eng-jiauw-pang adalah seorang datuk kaum sesat yang telah banyak pengalaman dan tinggi ilmunya. Tadi pun dia sudah merasakan betapa lihainya pemuda ini sehingga dia dan beberapa orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang, tidak mampu mendesaknya sama sekali, apa lagi merobohkannya. Kini, melihat pemuda itu bersikap seperti itu, dia menjadi bingung.

Selamanya belum pernah dia melihat atau mendengar tentang Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah) ini. Dia melihat kesempatan baik untuk menyerang pemuda yang sedang merendahkan diri hampir tiarap dalam posisi yang kaku dan tidak menguntungkan itu. Juga tiga orang pembantunya merasa girang melihat kedudukan lawan yang disangkanya kelelahan itu. Mereka berempat menubruk maju dengan kedua tangan yang memakai sarung tangan kuku garuda itu diangkat lalu menyerang.

“Hyaaaaattt....!”

Lengkingan yang menggetarkan jantung terdengar dan tubuh Cin Liong mencelat ke depan, seperti seekor naga sakti yang menerjang awan. Ada kekuatan dahsyat keluar dari kedua tangan dan tubuhnya, yang menyapu empat orang itu bagaikan angin taufan. Tak ada kekuatan yang dapat menahan kedahsyatan ini, apalagi hanya kekuatan empat orang itu.

Eng-jiauw Siauw-ong dan tiga orang pembantunya merasa seperti disambar halilintar, dan tubuh mereka terlempar ke belakang, terbanting dan tak dapat bangkit kembali! Eng-jiauw Siauw-ong tewas seketika dengan dada pecah dan tiga orang pembantunya juga terluka parah dan andai kata di antara mereka ada yang tidak tewas, setidaknya tentu akan terluka parah dan cacat selama hidupnya.

Melihat seorang rekannya roboh lagi itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan penasaran. Pulau Es hanya dipertahankan oleh sekelompok kecil orang, dan ternyata dia telah kehilangan dua orang rekan dan sedikitnya dua puluh orang anak buah!

“Serbuuuuu....!” teriaknya sambil memberi komando kepada para anak buahnya yang semenjak tadi hanya menjadi penonton saja karena mereka itu tidak berani memasuki pertempuran tingkat tinggi itu. “Serbu ke dalam istana!”

Mendapat perintah dari Hek-i Mo-ong ini, sisa para anak buah yang masih kurang lebih tiga puluh orang itu kemudian serentak menyerbu, sebagian membantu para datuk dan sebagian pula menyerbu ke pintu gerbang istana.

“Cin Liong, bawa mereka!” Tiba-tiba nenek Nirahai berseru kepada jenderal muda itu.

Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek Nirahai. Memang dia melihat bahwa keadaan amat gawat. Walau pun dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawannya, akan tetapi dia sendiri tadi menerima perlawanan tenaga dahsyat yang menggetarkan isi dadanya, membuat dia sendiri harus berhati-hati dan tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga karena hal ini dapat membuat dia terluka di sebelah dalam tubuhnya. Dan pula, pihak lawan masih amat kuat, terutama dengan majunya semua anak buah musuh itu.

Dia menyambar pedangnya sambil menjawab, “Baik!”

Cin Liong lalu memutar pedang itu menerjang Jai-hwa Siauw-ok, membantu Suma Hui dan Ciang Bun yang mengeroyok penjahat cabul itu. Kalau tadinya kakak beradik ini sudah mampu mendesak datuk cabul itu, kini karena si datuk cabul dibantu oleh empat orang Korea dan Jepang, keadaan kakak beradik itu berbalik terdesak. Ceng Liong sendiri dengan tombak di tangan hanya melindungi tuhuhnya dari ancaman musuh. Ada dua orang anggota musuh yang mengepungnya dan terus mencari kesempatan untuk membunuh anak yang nekat dan berani ini.

Majunya Cin Liong membuyarkan kepungan terhadap Suma Hui dan Ciang Bun, bahkan Suma Hui dengan sepasang pedangnya mampu merobohkan seorang pengeroyok dan Ciang Bun juga berhasil menendang roboh seorang pengeroyok lain. Jai-hwa Siauw-ok terkejut dan meloncat mundur untuk menyusun kekuatan lagi.

Kesempatan ini digunakan oleh Cin Liong untuk berteriak kepada tiga orang muda itu. “Lari kalian ikuti aku!”

Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak mengerti apa yang dikehendaki Cin Liong. Akan tetapi karena mereka telah menyaksikan kehebatan pemuda itu dan melihat bahwa keadaan sudah terlalu mendesak, mereka pun secara membuta lalu menuruti permintaan Cin Liong. Melihat Cin Liong sudah melompat masuk melalui pintu samping, mereka bertiga pun berlarian dan melompat masuk.

Akan tetapi setelah tiba di dalam dan melihat Cin Liong menutupkan pintu samping itu, Suma Hui berseru kaget, “Kau mau apa? Aku tidak sudi melarikan diri!”

Cin Liong sudah lebih dulu menduga akan terjadinya hal ini. Biar pun baru sebentar mengenal gadis ini, tapi dia telah dapat menduga bahwa gadis ini memiliki kekerasan hati dan kegagahan luar biasa. Cucu ini tentu tidak akan jauh wataknya dari neneknya.

Kalau nenek Nirahai yang sudah tua renta itu saja marah mendengar usulnya untuk menyelamatkan dan meloloskan diri, apalagi dara yang penuh semangat dan masih muda ini. Tentu dia akan menentang kalau mendengar bahwa ia diajak melarikan diri meninggalkan musuh yang sedang menyerbu Pulau Es, apalagi harus meninggalkan nenek dan kakeknya berdua saja menghadapi ancaman musuh!

Dia sudah memperhitungkan sejak tadi apa yang harus dilakukan. Dia sudah berjanji kepada nenek buyutnya dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa.

“Bibi Hui, kau lihatlah baik-baik, alangkah gagahnya nenek buyut Nirahai menghadapi pengeroyokan musuh-musuhnya!” Berkata demikian, Cin Liong mendekati dara itu dan menudingkan telunjuknya keluar pintu samping setelah membuka sedikit daun pintu itu.

Suma Hui tentu saja menoleh dan memandang keluar penuh perhatian. Memang dia melihat betapa neneknya mengamuk bagai seekor naga betina. Para pengeroyoknya yang tak begitu tinggi ilmunya, jatuh berpelantingan kena disambar pedang payungnya. Hanya Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu yang masih bertahan, walau pun Si Ulat Seribu juga hanya berani mengeroyok dari jarak jauh saja.

“Tukkk....!” Mendadak tangan Cin Liong bergerak dan tubuh Suma Hui telah menjadi lemas tertotok pada saat ia lengah itu.

“Heiii! Apa yang kau lakukan?!” bentak Ciang Bun.

Dan Ceng Liong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya telah menusukkan tombaknya ke arah dada Cin Liong.

Cin Liong juga sudah menduga akan hal ini, maka cepat dia mengelak dan menangkap tombak Ceng Liong, kemudian berkata dengan suara berwibawa, “Kedua paman kecil, tenanglah. Ini adalah perintah nenek buyut Nirahai!” Berkata demikian, Cin Liong sudah memanggul tubuh Suma Hui yang pingsan.

Kedua orang muda itu saling pandang dengan bimbang, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Nirahai. “Kalian ikutilah Cin Liong dan jangan membantah!”

Mendengar suara nenek mereka itu, barulah Ciang Bun dan Ceng Liong percaya. Mereka mengangguk kepada Cin Liong dan pemuda ini merasa lega sekali. Cepat dia menutupkan daun pintu.

“Mari ikut, cepat!”

Sementara itu, di luar nenek Nirahai mengamuk makin sengit. Ia sengaja menjaga pintu samping itu dan merobohkan siapa saja yang hendak melakukan pengejaran terhadap Cin Liong dan tiga orang cucunya itu. Setelah melihat cucu-cucunya diselamatkan, wajah nenek ini berubah berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum, sepak terjangnya lebih hebat lagi seolah-olah kini ia dapat berpesta-pora dalam pertempuran itu setelah tidak ada ganjalan hati khawatir akan keselamatan cucu-cucunya.

Ia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa merobohkan Hek-i Mo-ong bukanlah merupakan hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat Seribu lebih dulu.

Saat Hek-i Mo-ong untuk kesekian kalinya membentak keras dan tombak Long-ge-pang menyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai menggunakan ginkang-nya, menyelinap di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak mengira bahwa nenek itu dapat lolos dari gulungan sinar tombaknya begitu saja. Namun, nenek Nirahai bukan sembarangan meloncat dan meloloskan diri dari kepungan gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu yang mengeroyoknya dari jarak aman.

Melihat sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia sudah merasa agak jeri karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya.

Karena maklum bahwa dia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka dia membiarkan Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan menggoyang tubuhnya.

“Cringgg.... prakk....!”

Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Tapi, ketika menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai.

Nenek ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, akan tetapi ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita memiliki kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.

Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan keseimbangan dan menjadi lengah.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak mau dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.

“Cappp....!”

Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, mendadak nenek itu membalik dan dengan pekik melengking nenek itu menggerakkan pedang payungnya.

“Trangggg....!”

Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sinkang Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jeri juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.

“Kejar....!” serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas.

Sekarang hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.

Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong tadi telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!

Dengan tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Dia melihat suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.

Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau terluka parah....,” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa kerongkongannya seperti tersumbat.

Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya!

Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersemedhi tanpa pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila. Kiranya.... ahhh, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya. Lumpuh!

Penyakit ini telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian buntung. Dia mengira bahwa penyakit itu telah lenyap bersama kaki kiri suaminya. Ternyata hanya karena kehebatan ilmu kepandaian suaminya, dan karena kuatnya sinkang-nya, maka penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!

“Suamiku....!” Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua lengan terbuka.

Nirahai terkulai di pangkuan suaminya. Darah mengucur dari punggungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah dia menjadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia.

“Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?” Nirahai masih sempat berbisik sambil memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.

Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya. “Engkau tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....,” bisiknya lirih dan ramah.

Akan tetapi nenek Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam bisikan, “Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”

Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan dia pun menghela napas panjang.

Kedua isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimana pun juga, dia melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biar pun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar.

Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu. Dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian dia pun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.

Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggota mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.

Biar pun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jeri.

Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka. Pada wajah itu sedikit pun tidak terbayang perasaan marah atau takut.

Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum.

Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan, “Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”

Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya, “Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”

“Namaku Suma Han....”

Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak, “Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang-orang muda itu!”

Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari-jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.

Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu.

“Desss....!”

Hasilnya, tubuh Jai-hwa Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya. Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, dia pun kini bergerak maju, merendahkan dirinya seperti hampir merangkak dan tiba-tiba dia pun melancarkan pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti.

Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorong ke depan menyambut pukulan maut itu.

“Wuuuuttt.... plakk....!”

Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar kemudian terbanting dan masih terguling-guling sampai tubuhnya menabrak dinding. Tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan keras sama keras, namun menggunakan kelembutan.

Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik. Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinya pun sudah menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.

Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian rekannya itu. Melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.

“Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya.

Kakek raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin lama, putaran itu menjadi makin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.

“Hyaaaaaattt....!”

Tombak itu menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karang pun akan hancur lebur tertimpa hantaman Long-ge-pang yang dipukulkan oleh tenaga sedahsyat itu.

Suma Han menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia kemudian menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat bututnya itu di atas kepala.

“Desss....!”

Seluruh ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak. Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut.

Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, tetapi ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih tetap duduk bersila dengan tenang.

Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.

“Trakkkk....!”

Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti hendak mengusir kepeningan. Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah.

Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya. Tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak bagai meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran.

Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadapinya seperti itu? Dia tidak percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalah pun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah!

Tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggunaan tenaga lemas saja. Siapa yang tidak akan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.

“Siuuuutttt.... darrrr....!”

Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar!

Nampak tubuh Pendekar Super Sakti bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih, “Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”

Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sinkang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa seram akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.

“Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihatlah mereka muncul!” Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi.

Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan. Bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.

“Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma Han menjawab halus.

Dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap. Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walau pun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantera dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.

Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu ‘bersilat’ atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, bagaikan anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.

Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan manteranya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu semakin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!

“Krekkk....!”

Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.

“Hek-i Mo-ong, cepat pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas mau pun yang terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.

Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri.

Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik, “Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka semua pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.

Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang, menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat memang tenaga Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah!

Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, “Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....”

Dan dia pun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening..

kisah para pendekar pulau es jilid 03


Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang dilakukan Cin Liong tadi. Begitu siuman, ia mengeluh lirih, mengejap-ngejapkan mata.

Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kanannya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah kirinya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.

“Apa yang telah terjadi....? Ahhh.... engkau.... engkau telah menotokku dengan curang!” Suma Hui lalu teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan.

Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.

“Plak! Plak! Plak! Plak!”

Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.

“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan enci-nya.

“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.

“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”

“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.

“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.

Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andai kata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebat!

Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, tetapi hanya sebagai peluapan amarah saja. Jika dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sinkang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapa pun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sinkang.

Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi. Melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.

“Baiklah....,” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.

“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta supaya aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”

“Tapi.... bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”

“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah.

Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah semua usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?

Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat pada waktu dia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya. Sikap dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.

“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang berani mencegah aku keluar!”

Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung jawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.”

Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.

“Tetapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”

“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!” Suma Ceng Liong juga mencela.

Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu.

Dia sendiri tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh, sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena dia pun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimana pun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri kini merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.

“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong.

Tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.

Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikit pun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorang pun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.

Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali dari pada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorang pun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.

“Mari kita cari di dalam!” Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali.

Setelah kini berada di luar, dialah yang menjadi pemimpin. Bagaimana pun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.

Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan ia pun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi.

Keadaan di dalam ruangan itu begitu sunyi. Kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tiada yang bergerak, tiada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.

“Nenek Nirahai....!” Tiba-tiba Suma Hui menjerit. Dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis.

Melihat enci-nya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya. Diam-diam dia pun merasa amat terharu dan menyesal, mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.

Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.

“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku ini? Di manakah kegagahan kong-kong....?”

Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerak pun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih.

Ciang Bun merangkul enci-nya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.

“Enci.... janganlah menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....,” keluhnya.

Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, “Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”

Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. “Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmu itulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.

“Enci....!” Ciang Bun menegur.

“Enci Hui....!” Ceng Liong juga menegur.

Akan tetapi, Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu. Biar pun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua orang neneknya.

“Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiri pun merasa menyesal harus meninggalkan medan perkelahian, tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?” katanya perlahan.

“Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami. Akan tetapi perintah itu membuat kita semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu. Mengapa engkau mentaatinya secara membuta saja?” Suma Hui membentak.

“Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang mengandung kebenaran dan kecerdasan.”

“Melarikan diri dari musuh kau anggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini seorang jenderal perang, mengapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah itu?”

“Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku sendiri sedikit banyak pernah belajar ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak pengecut. Demikian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan cerdas. Karena, andai kata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan nenek buyut? Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga kalau toh kita melawan, maka kita pun semua akan tewas bersama nenek buyut.”

“Lebih baik mati bersama nenek Nirahai dari pada meninggalkannya lari, membiarkan ia sendirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai titik darah penghabisan!” Suma Hui tetap ngotot.

“Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah mau pun kakek? Melawan musuh secara membuta sampai mati hanyalah tindakan orang nekat yang bodoh. Melarikan diri karena takut barulah pengecut, tetapi melarikan diri karena tahu akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas,” kata Ciang Bun memperingatkan enci-nya.

“Dan kita lari bukan karena takut, enci. Melainkan karena perintah nenek Nirahai yang memerintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita, dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah? Bukankah kalau demikian berarti enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?” Ceng Liong juga menegur.

Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Sebenarnya gadis ini memiliki kegagahan luar biasa, dan kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia merangkul dan menghiburnya, menyusut air mata itu!

“Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat mencari peti jenazah....?” Akhirnya Cin Liong berkata.

“Nenek Nirahai sudah mempunyai peti jenazah sendiri, di dalam kamarnya. Biar kita mengambilnya,” kata Ciang Bun.

Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu dan memasukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk bersila tanpa pernah bergerak. Dan empat orang muda itu pun tidak ada yang berani mengganggunya.

Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersembahyang di depan peti jenazah ini. Ceng Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, “Enci Hui, kenapa menangis? Kalau kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah mendiang nenek. Kalau tidak demikian, tentu kita semua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita akan mampu untuk membalaskan kematiannya, bukan?”

“Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati kita diracuni dendam?” Ciang Bun menegur adiknya.

Tiba-tiba terdengar suara halus, “Kematian adalah suatu kewajaran. Tidak perlu dibuat susah, tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, bawa mayat kami semua ke ruangan sembahyang kemudian bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus cepat meninggalkan pulau ini dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Perintahku terakhir ini sedikit pun tidak boleh kalian langgar!”

Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Tadinya mereka bingung karena suara itu bagaikan datang dari ke empat penjuru, atau kadang-kadang seperti datang dari atas. Setelah tiga orang cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang.

Akan tetapi selagi suara itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali. Akan tetapi jelas bahwa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena suaranya tentu saja amat dikenal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui! Dan kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu sadar akan hal ini dan dia pun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu meraba pergelangan tangannya.

“Beliau telah wafat....,” katanya lirih, penuh takjub dan hormat.

Kakeknya ini, melihat tubuh yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa suaranya masih terdengar? Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.

Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak. Seperti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat, matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak, kemudian terdengar dia berkata lirih, “Harap kalian suka ingat akan pesan kakek buyut tadi bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan.”

Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil memegangi tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, “Kong-kong, ampunkanlah Hui yang tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi....”

Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan dia pun mengejap-ngejapkan mata untuk menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia telah jatuh cinta.

Namun, pada saat itu pula dia pun melihat kejanggalan besar dalam cintanya ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Mencinta memang mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu diwujudkan menjadi suatu perjodohan? Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya? Walau pun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua dari pada ‘bibinya’ itu, bahkan jauh lebih tua.

Betapa pun juga, batinnya menyangkal adanya semua peraturan ini. Batinnya tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinya pun terasa perih sekali.

Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima mayat pelayan juga mereka angkut sekalian ke ruangan sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti, diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, yang mereka dudukkan di atas meja rendah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.

Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun, akan tetapi ia sudah dapat menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.

“Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua.”

“Apa maksudmu, enci Hui?” tanya Ciang Bun heran.

“Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar habis pula,” kata Suma Hui dengan sedih.

“Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!” Ceng Liong berseru kaget. “Istana Pulau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi begitu saja?”

Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang sesungguhnya berlawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja mereka merasa berat kalau harus membakar musnah Istana Pulau Es.

“Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong? Biar pun engkau hanya keponakan kami, akan tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih matang.” Akhirnya Suma Hui berpaling kepada keponakannya itu dan bertanya.

Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak pendekar-pendekar yang hebat.

“Kong-couw Suma Han adalah seorang pendekar sakti yang tentu telah memikirkan secara mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi, walau pun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai alasan-alasan yang sangat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikit pun tidak boleh kita langgar. Di balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir kepada beliau.”

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan mereka pun lalu sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan sembahyang guna memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek dan dua orang nenek mereka itu.

Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui sering kali menangis sedih dan Ciang Bun juga kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak ini pun menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikirnya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.

Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itu pun tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian tenggelam. Senja telah tiba. Empat orang muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua jenazah, baik yang di peti mau pun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah dan sekeliling para jenazah, semua telah disirami minyak bakar yang banyak disimpan di dalam gudang.

Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut keluarga Pendekar Super Sakti itu berlutut dan bersujud. Suma Hui tak dapat menahan tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tidak kuasa menahan air matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dengan kedua matanya tinggal kering, walau pun cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

“Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi.... ampunkanlah kami yang tidak berbakti, yang membiarkan kakek dan nenek tewas di tangan penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan harus meninggalkan Pulau Es.... semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek....”

Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman minyak bakar, maka dalam sekejap mata saja api telah berkobar dan menelan segala yang berada di dalam ruangan.

Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diselimuti api berkobar, demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu panas, cahaya api terlihat menyilaukan dan mereka pun teringat akan perintah terakhir dari Pendekar Super Sakti, maka mereka bertiga, dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es.

Belum lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!

Empat orang muda itu memandang dengan mata terbelalak lebar. Biar pun mereka juga sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan sembahyang itu dijadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa api akan dapat mengamuk secepat itu. Andai kata mereka tidak cepat-cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api!

Kiranya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini dan karenanya minta kepada mereka semua untuk cepat-cepat menyingkir meninggalkan pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah ini pun segera mereka ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada istana itu yang berada di tengah pulau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau! Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyembur ke atas seolah-olah api itu menyambar sumber minyak yang meluncur ke atas.

Pemandangan yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu melongo. Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es seolah-olah berubah menjadi emas, demikian megah dan agung dan ajaib dalam lautan api! Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka menjauh.

Dari jarak yang sangat jauh, mereka masih dapat menyaksikan pemandangan yang mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu bernyala, akan tetapi setelah lewat tengah malam, cahaya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh. Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es! Tenggelamkah pulau itu? Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan? Apa pun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari permukaan air!

“Pulau Es telah lenyap!” teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.

“Sungguh lenyap sama sekali....! Sudah tenggelamkah pulau kita itu?” Ciang Bun juga berteriak.

Suma Hui menangis kemudian terguling roboh, pingsan dalam pelukan Cin Liong yang dengan sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.

“Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja.”

Dengan beberapa kali mengurut jalan darahnya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu menangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat. Mereka sendiri dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu!

Dalam waktu dua hari saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau itu pun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka percaya. Baru dua hari yang lalu mereka masih berlatih silat di pulau itu!

Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasana menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya tangis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian malam. Air laut pun begitu tenang sehingga perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautan pun berkabung atas kematian Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es berikut istananya. Malam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.

Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya, bahkan dia selalu menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu.

Dalam peristiwa ini, Cin Liong kembali mendapatkan kenyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidupan ini! Pada suatu saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Semua kepandaian, kegagahan, nama besar, kemuliaan, harta benda, kedudukan, semua yang disayangnya, semua itu akan lenyap bersama dengan lenyapnya nyawa dari badan!

Karena itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang mengikat batin kita, dan mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.

Cin Liong menghela napas panjang ketika kelihatan jelas olehnya betapa dia pun akan kehilangan semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua ini pun akan lenyap? Kenapa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya?

Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan dari pada pikiran kita sendiri. Pikiran sendiri yang menciptakan ‘aku’, sumber dari pada segala konflik penyebab kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan kesemuanya itu pun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut.....

********************

Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dari hidup, dia pun sudah dapat terbebas dari pada kedukaan berhubung dengan kematian kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyapnya Pulau Es. Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari itu.

Matahari tersembul dari permukaan laut di timur, menciptakan jalur keemasan di atas air yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan berenang secepatnya menghindarkan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar.

Langit amat cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis yang terbang berlalu, bersimpang jalan dengan terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung camar memanggil kawannya. Sungguh merupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram. Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan berubah lagi.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari akhirnya akan lenyap di balik langit barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam. Air laut yang kini tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu menjadi air laut yang ganas, mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang mengerikan di mana-mana.

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Yang kekal hanyalah KENYATAAN. Dan kenyataan adalah apa adanya, tanpa sifat baik atau buruk. Hanya hidup di dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau duka, untung atau rugi. Baik atau pun buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri
.

“Marilah kita segera meninggalkan tempat ini,” akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian, dan seperti menyeret ketiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka. “Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus dilaporkan kepada orang-orang tua kalian.”

Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. “Mari kita berangkat.”

Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layar pun mereka pasang. Angin pagi mulai berhembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.

Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang harinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai daratan besar.

“Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat memulihkan kekuatan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku yang berjaga dan mengemudikan perahu lebih dulu.”

“Aku juga!” kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani membantah.

“Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih kekuatan, menggantikan kami berdua,” kata Cin Liong.

Dua orang pemuda itu pun mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka merebahkan diri dan sebentar saja mereka tertidur pulas. Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin.

Cin Liong mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin menghembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk.

Beberapa kali Suma Hui mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan diketahui oleh pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagai mana, walau pun bibinya jauh lebih muda dari padanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibinya ini.

Melihat betapa bekas tamparannya yang kemarin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong, dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan segala-galanya untuknya dan untuk kedua orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es saat menghadapi musuh-musuh berbahaya, hati Suma Hui terasa amat tidak enak juga. Ia tahu bahwa pemuda yang jauh lebih tua dari padanya ini, dan hanya karena ‘abu’ saja menjadi keponakannya ini, adalah seorang jenderal yang ternama dan juga seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itu pun ia dapat melihat betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang dia atau dua orang adiknya. Bahkan harus diakuinya bahwa andai kata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban pula.

Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri ketika dia melihat bekas tamparan tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Seorang pemuda yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya.

Suma Hui memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ketika dia menampari muka pemuda itu yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tak menemukan perlawanan sinkang pada wajah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima tamparan-tamparannya. Dan ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat betapa pemuda itu sedang memandang kepadanya.

“Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengantuk? Kalau begitu, istirahatlah, biarlah aku sendiri yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Mengasolah....”

Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. “Aku tidak mengantuk....”

Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang manis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar keemasan. Betapa cantik jelitanya!

Akan tetapi dia tak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sungguh mati, aku telah jatuh cinta padanya, batinnya mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mungkinnya hal ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!

Suma Hui juga merasa canggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut pandangan seorang bibi kepada seorang keponakan. Namun tidak berhasil! Mana mungkin memandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa yang lebih tua dari pada usianya sendiri? Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan pengalaman, dalam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!

“Cin Liong....”

Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat-cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang mata penuh penyesalan dari gadis itu.

“Ada apakah, Hui-i?”

“Kau.... kau maafkanlah perbuatanku kemarin....”

Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung dan bingung. “Maafkan....? Tidak ada apa pun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah maksudmu....?”

“Aku telah menamparmu kemarin!”

“Oohh, itu....?” Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan dia pun tersenyum. “Ahhh, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i. Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi.”

Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. “Cin Liong, jangan mengejekku!”

Cin Liong mengangkat alisnya. “Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ahh, aku memang telah salah besar kepadamu.... aku kurang ajar....”

“Tapi engkau hanya mentaati perintah mendiang nenek Nirahai.”

“Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan diam-diam lalu menotokmu....”

“Tapi, kalau kau beritahu pun aku tidak akan mau menurut.”

“Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan....”

“Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku....”

“Tapi aku menyinggung perasaanmu....”

“Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!”

“Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!”

Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya baru mengerti betapa lucunya keadaan mereka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hui sebaliknya berusaha mati-matian untuk membela Cin Liong!

“Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?”

“Dan engkau pun berkeras hendak membelaku, Hui-i?”

Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa dekatnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.

“Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi.”

“Hemm, aku baru mau memaafkan engkau kalau lebih dulu engkau memaafkan aku.”

“Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbuatanmu terhadap diriku.”

“Dan aku pun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong.”

Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagai mana, Cin Liong merasa betapa kegembiraan yang amat besar menyelinap di dalam hatinya, seolah-olah senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup di dalam ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya.

Dia tidak tahu betapa gadis itu pun merasa berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melupakan kedukaannya berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.

Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak ikan-ikan berseliweran. Apa pun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar saja.

Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan sepotong kain. Setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potongan-potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.

“Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!” kata Ceng Liong sambil menggeliat.

“Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!” kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam bilik.

Suma Hui tertawa. “Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!”

“Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan,” kata Cin Liong.

Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biar pun tanpa bumbu, hanya dengan rasa asin air laut, tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.

“Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah lagi.” Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus dikemudikan.

Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin Liong. Bahkan di atas salah sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan penjahat dan diserang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka melanjutkan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi yang lalu. Awan gelap memenuhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu yang menyeramkan.

Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu. “Mudah-mudahan bukan tanda akan datangnya badai,” katanya.

Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat dari pada itu. Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas empat buah perahu yang telah mengurung perahu kecil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu Pulau Es!

Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedikitnya empat puluh orang yang kelihatan kasar-kasar dan bengis-bengis!

Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.

“Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!” Ceng Liong mengeluarkan teriakan sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil. Sepasang matanya mencorong dan berapi-api, seperti seekor naga kecil yang siap untuk mengamuk, kelihatan gagah sekali ketika dia menyingsingkan kedua lengan bajunya!

“Kita lawan sampai titik darah terakhir!” Ciang Bun juga membentak marah dan sekali tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika mereka meninggalkan tempat itu.

“Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek kita yang tercinta!” Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut siang-kiam-nya.

Wajah tiga orang muda ini sedikit pun tidak membayangkan rasa takut, walau pun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka dia pun tersenyum dan mendekati Suma Hui.

“Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu kebahagiaan besar!” Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja.

Gadis itu menoleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi.

Suma Hui tersenyum mengangguk. “Bagiku juga, Cin Liong,” bisiknya.

Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar.

Sungguh perubahan yang amat tiba-tiba sehingga empat buah perahu besar itu pun terlanda badai dan nampak betapa anak buah mereka pun kebingungan dan sibuk menurunkan layar...


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 04


Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 03

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 03
Nenek Nirahai maklum bahwa dari semua datuk, yang paling lihai adalah Hek-i Mo-ong, maka ia pun sudah menerjang iblis ini dengan dahsyat. Pedang payungnya menyambar bagaikan halilintar, menyambar ke arah leher lawan.

Melihat berkelebatnya sinar senjata yang demikian menyilaukan mata, Hek-i Mo-ong terkejut dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar Super Sakti yang bernama Puteri Nirahai ini, maka dia tak berani memandang ringan dan tombak Long-ge-pang di tangannya diputar untuk menangkis.

“Cringg.... siuuuuttt.... singgg....!”

Pedang payung itu tertangkis, akan tetapi tangkisan itu bagaikan menambah dorongan tenaga yang membuat gerakan menyerong dan tahu-tahu telah menusuk ke arah ulu hati lawan dan begitu lawan mengelak dan melintangkan tombaknya, pedang payung itu kembali telah menusuk mata dua kali lalu ditutup dengan serangan tusukan pada pusar dengan ganas sekali!

“Hemmm....!” Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat mundur ke belakang.

Biar pun tubuhnya kebal, namun dia sungguh tidak berani kalau harus mencoba-coba untuk menerima tusukan pedang payung yang digerakkan oleh isteri Pendekar Super Sakti. Terlalu berbahaya itu! Dia pun memutar tombaknya dan balas menyerang.

Ilmu tombak dari Raja Iblis ini hebat sekali dan memang tingkat kepandaiannya pada masa itu sukar dicari tandingannya. Ujung tombak berbentuk gigi serigala itu berputaran dan menjadi belasan batang banyaknya saking hebatnya getaran yang disebabkan oleh tenaga sinkang-nya dan kini ujung tombak itu meluncur ke depan, ke arah tubuh nenek Nirahai tanpa dapat diduga bagian tubuh mana yang akan menjadi sasaran!

Tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong berhadapan dengan nenek Nirahai, isteri dari Pendekar Super Sakti. Sejak muda, nenek ini telah menjadi seorang pendekar, bahkan panglima yang tangguh. Bahkan ia pernah secara rahasia mencoba ilmu seluruh jagoan untuk memperdalam ilmu silatnya dan ialah yang menjadi ahli waris dari kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar wanita Mutiara Hitam. Juga ia mewarisi kitab-kitab dari Pendekar Suling Emas, walau pun hanya sebagian saja.

Di antara puluhan macam ilmu silat tinggi yang dikuasainya, yang terhebat adalah ilmu silat tangan kosong Sin-coa-kun, ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam, dan ilmu pedang gabungan antara Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat. Dari gabungan dua ilmu pedang yang bertentangan sifatnya ini, yaitu antara Pat-mo (Delapan Iblis) dan Pat-sian (Delapan Dewa), telah tercipta ilmu pedang yang luar biasa sekali. Kadang-kadang nampak ganas bagaikan iblis mengamuk, tetapi kadang-kadang nampak halus lembut seperti gerak-gerik dewa, namun di balik semua itu terkandung kekuatan yang dahsyat.

Terjadilah perkelahian yang sengit dan amat ramai antara dua tokoh besar itu dan Hek-i Mo-ong makin lama merasa makin penasaran. Dia belum terdesak dan tidak merasa kalah, akan tetapi dia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawannya ini, seorang nenek yang sudah tua renta.

Maka dicabutnyalah kipas merahnya, dikelebatkan kipas yang terkembang itu di depan muka nenek Nirahai dan dia pun membentak, “Lihat kipas ini. Merah, bukan? Merah sekali, dan engkau menjadi silau, engkau menurut segala kehendakku!”

Akan tetapi betapa pun kuatnya ilmu sihir yang dikuasai oleh Hek-i Mo-ong, sekali ini tidak menemui sasarannya. Dia lupa agaknya bahwa yang coba disihirnya ini adalah nenek Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang mahir dalam ilmu sihir yang tentu saja telah membuka rahasia tentang sihir, memberi tahu kepada isterinya itu bagaimana caranya menghalau kekuatan sihir dari lawan agar dirinya tidak sampai terpengaruh. Maka, usaha Hek-i Mo-ong itu tentu saja sia-sia.

“Nenek, lihat siapa aku ini!” Kembali Hek-i Mo-ong mengibaskan kipasnya ke arah muka nenek Nirahai.

Tetapi, karena dia terlalu yakin dengan hasil kekuatan sihirnya, hampir saja datuk yang memiliki kepandaian tinggi ini celaka. Bentakannya yang berisi sihir itu, yang disertai gerakan tangan dan juga bibir kemak-kemik, membaca mantera untuk merubah dirinya dalam pandangan nenek itu. Kalau nenek itu terpengaruh oleh sihirnya, tentu dia akan nampak sebagai orang berkepala naga dan tentu nenek itu akan menjadi ketakutan atau setidaknya terkejut sekali sehingga mudah baginya untuk merobohkannya.

Akan tetapi, ternyata akibatnya malah lain sekali dan sama sekali tak pernah diduga-duganya, dan hampir mencelakainya. Nenek itu kelihatan diam sedetik, akan tetapi bukan untuk menjadi kaget dan lengah, sebaliknya, tiba-tiba saja pedang payungnya berkelebat dan menusuk ke arah ulu hati Hek-i Mo-ong!

“Singgg....!”

Pedang itu berdesing dan sekiranya Hek-i Mo-ong tidak cepat menggerakkan lengan kiri menangkis, tentu dadanya akan tembus oleh pedang payung itu, betapa pun kebalnya.

“Brettt....!”

Lengan jubahnya robek dan kulit lengannya lecet sedikit. Dia meloncat mundur, akan tetapi nenek Nirahai menerjangnya lagi dengan dahsyat. Gabungan Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat itu hebat bukau main sehingga untuk beberapa jurus lamanya Raja Iblis itu terdesak hebat.

Melihat ini, Si Ulat Seribu cepat maju membantunya. Si Ulat Seribu ini telah berhasil merobohkan para pelayan Pulau Es dan melihat betapa Hek-i Mo-ong belum mampu mengalahkan nenek tua renta itu, ia menjadi penasaran dan maju mengeroyoknya. Dan Hek-i Mo-ong yang sudah kehilangan kecongkakannya itu tidak mencegahnya sehingga nenek itu kini dikeroyok oleh dua orang yang berilmu tiuggi.

Cin Liong juga sudah terlibat dalam perkelahian seru melawan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui. Ketua Eng-jiauw-pang itu memiliki ilmu silat yang lihai dan ganas. Kedua tangannya ditutup sarung tangan setinggi siku, amat berbahaya karena sarung tangan itu dapat dipergunakan untuk menangkis pedang. Jari-jarinya kini berubah menjadi jari-jari yang berkuku garuda, terbuat dari pada baja yang kuat. Alat yang sudah amat kuat ini digerakkan oleh tenaga sinkang yang dahsyat, maka tentu saja menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali.

Betapa pun juga, yang dihadapinya adalah Kao Cin Liong, jenderal muda yang sudah banyak pengalaman, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir yang amat lihai itu. Maka walau pun dia dibantu pula oleh tiga orang anak buahnya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang dan yang menggunakan senjata yang sama dengan ketua mereka, namun Cin Liong dapat menggerakkan pedangnya dengan hebat dan sama sekali tidak terdesak. Malah pemuda perkasa ini membalas serangan dengan serangan yang tidak kalah berbahayanya.

Perkelahian antara Cin Liong dan empat orang tokoh Eng-jiauw-pang ini berlangsung dengan seru juga, tetapi dibandingkan dengan nenek Nirahai, pemuda ini nampak lebih kuat menghadapi para pengeroyoknya. Betapa pun juga, di luar kalangan pertempuran itu masih terdapat belasan, bahkan puluhan orang dari pihak musuh yang sudah siap-siap menyerbu dan mengeroyok.

“Ha-ha-ha, nona manis, lebih baik engkau menyerah dalam pelukanku, dan engkau menjadi murid dan pengikutku, hidup senang bersamaku!” Berkali-kali Jai-hwa Siauw-ok menggoda Suma Hui ketika dia tadi menghadapi nona ini dengan tangan kosong.

Meski ilmu pedang Suma Hui sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun menghadapi datuk ini dia kalah pengalaman dan juga kalah matang gerakannya, apalagi dara ini selama mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi belum pernah mempergunakannya dalam perkelahian mati-matian. Kalau saja ia sudah berpengalaman, dengan modal tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang saja, tanpa pedang sekali pun kiranya tidak akan mudah bagi penjahat cabul itu untuk bersikap sembarangan dan memandang rendah kepadanya.

Lebih lagi yang membuat Suma Hui agak bingung adalah sikap jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang menggodanya dengan kata-kata tidak senonoh itu. Kedua tangan penjahat itu pun secara kurang ajar hendak meraba dadanya, mengusap pipinya, mencengkeram pinggulnya dan sebagainya, dan semua ini mendatangkan rasa malu dan marah luar biasa yang akibatnya mengacaukan gerakan sepasang pedang di tangan Suma Hui.

Ciang Bun yang sejak tadi melindungi Ceng Liong dan menghadapi pengeroyokan para anggota gerombolan, melihat hal ini dan dia pun menjadi marah. Usianya sudah lima belas tahun dan dia sudah tahu bahwa datuk yang melawan enci-nya itu selain lihai sekali, juga tidak sopan.

Maka dia lalu menarik tangan Ceng Liong mendekati enci-nya dan membantu enci-nya menghadapi Jai-hwa Siauw-ok. Setelah Ciang Bun maju membantu, mulailah Jai-hwa Siauw-ok kehilangan kegembiraannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa enci adik ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan!

Nenek Nirahai akhirnya harus mengakui bahwa dua orang lawannya itu, Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu, merupakan lawan yang terlampau berat baginya. Andai kata dahulu, mungkin ia masih akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi mereka, tetapi sekarang, tenaganya jauh berkurang dan terutama sekali daya tahannya. Napasnya mulai memburu dan lehernya penuh dengan keringat. Beberapa kali ia terhuyung dan hanya berkat ginkang-nya yang hebat sajalah ia berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.

Kao Cin Liong melihat keadaan nenek itu. Dia menjadi khawatir sekali dan tahulah dia bahwa mereka semua terancam bahaya maut. Dia teringat kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berada di dalam. Hatinya menjadi penasaran sekali.

Mengapa kong-couw-nya yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti itu diam saja dan membiarkan isteri dan cucu-cucunya terancam bahaya maut? Hawa panas naik dari pusarnya ketika hatinya dilanda penasaran dan kemarahan, maka dia pun kemudian mengerahkan tenaga saktinya dan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te. Tubuhnya merendah seperti hendak bertiarap dan dia pun lalu menancapkan pedangnya ke dalam tanah!

Lawannya, Eng-jiauw Siauw-ong si ketua Eng-jiauw-pang adalah seorang datuk kaum sesat yang telah banyak pengalaman dan tinggi ilmunya. Tadi pun dia sudah merasakan betapa lihainya pemuda ini sehingga dia dan beberapa orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang, tidak mampu mendesaknya sama sekali, apa lagi merobohkannya. Kini, melihat pemuda itu bersikap seperti itu, dia menjadi bingung.

Selamanya belum pernah dia melihat atau mendengar tentang Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah) ini. Dia melihat kesempatan baik untuk menyerang pemuda yang sedang merendahkan diri hampir tiarap dalam posisi yang kaku dan tidak menguntungkan itu. Juga tiga orang pembantunya merasa girang melihat kedudukan lawan yang disangkanya kelelahan itu. Mereka berempat menubruk maju dengan kedua tangan yang memakai sarung tangan kuku garuda itu diangkat lalu menyerang.

“Hyaaaaattt....!”

Lengkingan yang menggetarkan jantung terdengar dan tubuh Cin Liong mencelat ke depan, seperti seekor naga sakti yang menerjang awan. Ada kekuatan dahsyat keluar dari kedua tangan dan tubuhnya, yang menyapu empat orang itu bagaikan angin taufan. Tak ada kekuatan yang dapat menahan kedahsyatan ini, apalagi hanya kekuatan empat orang itu.

Eng-jiauw Siauw-ong dan tiga orang pembantunya merasa seperti disambar halilintar, dan tubuh mereka terlempar ke belakang, terbanting dan tak dapat bangkit kembali! Eng-jiauw Siauw-ong tewas seketika dengan dada pecah dan tiga orang pembantunya juga terluka parah dan andai kata di antara mereka ada yang tidak tewas, setidaknya tentu akan terluka parah dan cacat selama hidupnya.

Melihat seorang rekannya roboh lagi itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan penasaran. Pulau Es hanya dipertahankan oleh sekelompok kecil orang, dan ternyata dia telah kehilangan dua orang rekan dan sedikitnya dua puluh orang anak buah!

“Serbuuuuu....!” teriaknya sambil memberi komando kepada para anak buahnya yang semenjak tadi hanya menjadi penonton saja karena mereka itu tidak berani memasuki pertempuran tingkat tinggi itu. “Serbu ke dalam istana!”

Mendapat perintah dari Hek-i Mo-ong ini, sisa para anak buah yang masih kurang lebih tiga puluh orang itu kemudian serentak menyerbu, sebagian membantu para datuk dan sebagian pula menyerbu ke pintu gerbang istana.

“Cin Liong, bawa mereka!” Tiba-tiba nenek Nirahai berseru kepada jenderal muda itu.

Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek Nirahai. Memang dia melihat bahwa keadaan amat gawat. Walau pun dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawannya, akan tetapi dia sendiri tadi menerima perlawanan tenaga dahsyat yang menggetarkan isi dadanya, membuat dia sendiri harus berhati-hati dan tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga karena hal ini dapat membuat dia terluka di sebelah dalam tubuhnya. Dan pula, pihak lawan masih amat kuat, terutama dengan majunya semua anak buah musuh itu.

Dia menyambar pedangnya sambil menjawab, “Baik!”

Cin Liong lalu memutar pedang itu menerjang Jai-hwa Siauw-ok, membantu Suma Hui dan Ciang Bun yang mengeroyok penjahat cabul itu. Kalau tadinya kakak beradik ini sudah mampu mendesak datuk cabul itu, kini karena si datuk cabul dibantu oleh empat orang Korea dan Jepang, keadaan kakak beradik itu berbalik terdesak. Ceng Liong sendiri dengan tombak di tangan hanya melindungi tuhuhnya dari ancaman musuh. Ada dua orang anggota musuh yang mengepungnya dan terus mencari kesempatan untuk membunuh anak yang nekat dan berani ini.

Majunya Cin Liong membuyarkan kepungan terhadap Suma Hui dan Ciang Bun, bahkan Suma Hui dengan sepasang pedangnya mampu merobohkan seorang pengeroyok dan Ciang Bun juga berhasil menendang roboh seorang pengeroyok lain. Jai-hwa Siauw-ok terkejut dan meloncat mundur untuk menyusun kekuatan lagi.

Kesempatan ini digunakan oleh Cin Liong untuk berteriak kepada tiga orang muda itu. “Lari kalian ikuti aku!”

Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak mengerti apa yang dikehendaki Cin Liong. Akan tetapi karena mereka telah menyaksikan kehebatan pemuda itu dan melihat bahwa keadaan sudah terlalu mendesak, mereka pun secara membuta lalu menuruti permintaan Cin Liong. Melihat Cin Liong sudah melompat masuk melalui pintu samping, mereka bertiga pun berlarian dan melompat masuk.

Akan tetapi setelah tiba di dalam dan melihat Cin Liong menutupkan pintu samping itu, Suma Hui berseru kaget, “Kau mau apa? Aku tidak sudi melarikan diri!”

Cin Liong sudah lebih dulu menduga akan terjadinya hal ini. Biar pun baru sebentar mengenal gadis ini, tapi dia telah dapat menduga bahwa gadis ini memiliki kekerasan hati dan kegagahan luar biasa. Cucu ini tentu tidak akan jauh wataknya dari neneknya.

Kalau nenek Nirahai yang sudah tua renta itu saja marah mendengar usulnya untuk menyelamatkan dan meloloskan diri, apalagi dara yang penuh semangat dan masih muda ini. Tentu dia akan menentang kalau mendengar bahwa ia diajak melarikan diri meninggalkan musuh yang sedang menyerbu Pulau Es, apalagi harus meninggalkan nenek dan kakeknya berdua saja menghadapi ancaman musuh!

Dia sudah memperhitungkan sejak tadi apa yang harus dilakukan. Dia sudah berjanji kepada nenek buyutnya dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa.

“Bibi Hui, kau lihatlah baik-baik, alangkah gagahnya nenek buyut Nirahai menghadapi pengeroyokan musuh-musuhnya!” Berkata demikian, Cin Liong mendekati dara itu dan menudingkan telunjuknya keluar pintu samping setelah membuka sedikit daun pintu itu.

Suma Hui tentu saja menoleh dan memandang keluar penuh perhatian. Memang dia melihat betapa neneknya mengamuk bagai seekor naga betina. Para pengeroyoknya yang tak begitu tinggi ilmunya, jatuh berpelantingan kena disambar pedang payungnya. Hanya Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu yang masih bertahan, walau pun Si Ulat Seribu juga hanya berani mengeroyok dari jarak jauh saja.

“Tukkk....!” Mendadak tangan Cin Liong bergerak dan tubuh Suma Hui telah menjadi lemas tertotok pada saat ia lengah itu.

“Heiii! Apa yang kau lakukan?!” bentak Ciang Bun.

Dan Ceng Liong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya telah menusukkan tombaknya ke arah dada Cin Liong.

Cin Liong juga sudah menduga akan hal ini, maka cepat dia mengelak dan menangkap tombak Ceng Liong, kemudian berkata dengan suara berwibawa, “Kedua paman kecil, tenanglah. Ini adalah perintah nenek buyut Nirahai!” Berkata demikian, Cin Liong sudah memanggul tubuh Suma Hui yang pingsan.

Kedua orang muda itu saling pandang dengan bimbang, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Nirahai. “Kalian ikutilah Cin Liong dan jangan membantah!”

Mendengar suara nenek mereka itu, barulah Ciang Bun dan Ceng Liong percaya. Mereka mengangguk kepada Cin Liong dan pemuda ini merasa lega sekali. Cepat dia menutupkan daun pintu.

“Mari ikut, cepat!”

Sementara itu, di luar nenek Nirahai mengamuk makin sengit. Ia sengaja menjaga pintu samping itu dan merobohkan siapa saja yang hendak melakukan pengejaran terhadap Cin Liong dan tiga orang cucunya itu. Setelah melihat cucu-cucunya diselamatkan, wajah nenek ini berubah berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum, sepak terjangnya lebih hebat lagi seolah-olah kini ia dapat berpesta-pora dalam pertempuran itu setelah tidak ada ganjalan hati khawatir akan keselamatan cucu-cucunya.

Ia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa merobohkan Hek-i Mo-ong bukanlah merupakan hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat Seribu lebih dulu.

Saat Hek-i Mo-ong untuk kesekian kalinya membentak keras dan tombak Long-ge-pang menyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai menggunakan ginkang-nya, menyelinap di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak mengira bahwa nenek itu dapat lolos dari gulungan sinar tombaknya begitu saja. Namun, nenek Nirahai bukan sembarangan meloncat dan meloloskan diri dari kepungan gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu yang mengeroyoknya dari jarak aman.

Melihat sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia sudah merasa agak jeri karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya.

Karena maklum bahwa dia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka dia membiarkan Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan menangkis serangan itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan menggoyang tubuhnya.

“Cringgg.... prakk....!”

Tubuh Si Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Tapi, ketika menangkis dan sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai.

Nenek ini cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, akan tetapi ia tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita memiliki kelemahan masing-masing terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.

Dan kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat! Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan keseimbangan dan menjadi lengah.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak mau dilewatkan oleh Hek-i Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat, dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.

“Cappp....!”

Tombak itu menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, mendadak nenek itu membalik dan dengan pekik melengking nenek itu menggerakkan pedang payungnya.

“Trangggg....!”

Nampak bunga api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sinkang Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jeri juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu telah terluka parah.

“Kejar....!” serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas.

Sekarang hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es, lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai terluka parah.

Nenek Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong tadi telah menembus sebuah paru-parunya dan nyawanya tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!

Dengan tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Dia melihat suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul tebal.

Suaminya masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau terluka parah....,” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa kerongkongannya seperti tersumbat.

Suara itu mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya!

Hal ini dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersemedhi tanpa pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya duduk bersila. Kiranya.... ahhh, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya. Lumpuh!

Penyakit ini telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian buntung. Dia mengira bahwa penyakit itu telah lenyap bersama kaki kiri suaminya. Ternyata hanya karena kehebatan ilmu kepandaian suaminya, dan karena kuatnya sinkang-nya, maka penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!

“Suamiku....!” Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua lengan terbuka.

Nirahai terkulai di pangkuan suaminya. Darah mengucur dari punggungnya membasahi pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah dia menjadi pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia.

“Suamiku.... engkau.... beratkah penyakitmu....?” Nirahai masih sempat berbisik sambil memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.

Pendekar Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya. “Engkau tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....,” bisiknya lirih dan ramah.

Akan tetapi nenek Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat keluar dalam bisikan, “Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”

Nirahai telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan dia pun menghela napas panjang.

Kedua isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimana pun juga, dia melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biar pun dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa yang telah terjadi di luar.

Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu. Dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian dia pun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.

Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggota mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.

Biar pun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jeri.

Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka. Pada wajah itu sedikit pun tidak terbayang perasaan marah atau takut.

Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum.

Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan, “Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”

Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya, “Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”

“Namaku Suma Han....”

Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak, “Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang-orang muda itu!”

Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari-jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.

Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu.

“Desss....!”

Hasilnya, tubuh Jai-hwa Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya. Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, dia pun kini bergerak maju, merendahkan dirinya seperti hampir merangkak dan tiba-tiba dia pun melancarkan pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti.

Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorong ke depan menyambut pukulan maut itu.

“Wuuuuttt.... plakk....!”

Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar kemudian terbanting dan masih terguling-guling sampai tubuhnya menabrak dinding. Tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan keras sama keras, namun menggunakan kelembutan.

Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik. Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinya pun sudah menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.

Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian rekannya itu. Melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.

“Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya.

Kakek raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin lama, putaran itu menjadi makin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.

“Hyaaaaaattt....!”

Tombak itu menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karang pun akan hancur lebur tertimpa hantaman Long-ge-pang yang dipukulkan oleh tenaga sedahsyat itu.

Suma Han menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia kemudian menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat bututnya itu di atas kepala.

“Desss....!”

Seluruh ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak. Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut.

Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, tetapi ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih tetap duduk bersila dengan tenang.

Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.

“Trakkkk....!”

Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti hendak mengusir kepeningan. Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah.

Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya. Tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak bagai meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran.

Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadapinya seperti itu? Dia tidak percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalah pun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah!

Tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggunaan tenaga lemas saja. Siapa yang tidak akan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.

“Siuuuutttt.... darrrr....!”

Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar!

Nampak tubuh Pendekar Super Sakti bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih, “Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”

Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sinkang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa seram akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.

“Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihatlah mereka muncul!” Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi.

Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan. Bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.

“Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma Han menjawab halus.

Dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap. Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walau pun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantera dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.

Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu ‘bersilat’ atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, bagaikan anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.

Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan manteranya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu semakin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!

“Krekkk....!”

Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.

“Hek-i Mo-ong, cepat pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas mau pun yang terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.

Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri.

Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik, “Mari kita pergi!”

Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka semua pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.

Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang, menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat memang tenaga Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah!

Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, “Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....”

Dan dia pun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening..

kisah para pendekar pulau es jilid 03


Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang dilakukan Cin Liong tadi. Begitu siuman, ia mengeluh lirih, mengejap-ngejapkan mata.

Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kanannya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah kirinya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.

“Apa yang telah terjadi....? Ahhh.... engkau.... engkau telah menotokku dengan curang!” Suma Hui lalu teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan.

Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.

“Plak! Plak! Plak! Plak!”

Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.

“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan enci-nya.

“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.

“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”

“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.

“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.

Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andai kata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebat!

Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, tetapi hanya sebagai peluapan amarah saja. Jika dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sinkang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapa pun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sinkang.

Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi. Melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.

“Baiklah....,” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.

“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta supaya aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”

“Tapi.... bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”

“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah.

Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah semua usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?

Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat pada waktu dia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya. Sikap dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.

“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang berani mencegah aku keluar!”

Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung jawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.”

Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.

“Tetapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”

“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!” Suma Ceng Liong juga mencela.

Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu.

Dia sendiri tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh, sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena dia pun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimana pun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri kini merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.

“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong.

Tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.

Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikit pun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorang pun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.

Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali dari pada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorang pun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.

“Mari kita cari di dalam!” Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali.

Setelah kini berada di luar, dialah yang menjadi pemimpin. Bagaimana pun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.

Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan ia pun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi.

Keadaan di dalam ruangan itu begitu sunyi. Kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tiada yang bergerak, tiada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.

“Nenek Nirahai....!” Tiba-tiba Suma Hui menjerit. Dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis.

Melihat enci-nya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya. Diam-diam dia pun merasa amat terharu dan menyesal, mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.

Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.

“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku ini? Di manakah kegagahan kong-kong....?”

Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerak pun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih.

Ciang Bun merangkul enci-nya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.

“Enci.... janganlah menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....,” keluhnya.

Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, “Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”

Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. “Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmu itulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.

“Enci....!” Ciang Bun menegur.

“Enci Hui....!” Ceng Liong juga menegur.

Akan tetapi, Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu. Biar pun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua orang neneknya.

“Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiri pun merasa menyesal harus meninggalkan medan perkelahian, tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?” katanya perlahan.

“Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami. Akan tetapi perintah itu membuat kita semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu. Mengapa engkau mentaatinya secara membuta saja?” Suma Hui membentak.

“Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang mengandung kebenaran dan kecerdasan.”

“Melarikan diri dari musuh kau anggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini seorang jenderal perang, mengapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah itu?”

“Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku sendiri sedikit banyak pernah belajar ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak pengecut. Demikian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan cerdas. Karena, andai kata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan nenek buyut? Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga kalau toh kita melawan, maka kita pun semua akan tewas bersama nenek buyut.”

“Lebih baik mati bersama nenek Nirahai dari pada meninggalkannya lari, membiarkan ia sendirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai titik darah penghabisan!” Suma Hui tetap ngotot.

“Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah mau pun kakek? Melawan musuh secara membuta sampai mati hanyalah tindakan orang nekat yang bodoh. Melarikan diri karena takut barulah pengecut, tetapi melarikan diri karena tahu akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas,” kata Ciang Bun memperingatkan enci-nya.

“Dan kita lari bukan karena takut, enci. Melainkan karena perintah nenek Nirahai yang memerintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita, dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah? Bukankah kalau demikian berarti enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?” Ceng Liong juga menegur.

Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Sebenarnya gadis ini memiliki kegagahan luar biasa, dan kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia merangkul dan menghiburnya, menyusut air mata itu!

“Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat mencari peti jenazah....?” Akhirnya Cin Liong berkata.

“Nenek Nirahai sudah mempunyai peti jenazah sendiri, di dalam kamarnya. Biar kita mengambilnya,” kata Ciang Bun.

Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu dan memasukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk bersila tanpa pernah bergerak. Dan empat orang muda itu pun tidak ada yang berani mengganggunya.

Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersembahyang di depan peti jenazah ini. Ceng Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, “Enci Hui, kenapa menangis? Kalau kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah mendiang nenek. Kalau tidak demikian, tentu kita semua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita akan mampu untuk membalaskan kematiannya, bukan?”

“Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati kita diracuni dendam?” Ciang Bun menegur adiknya.

Tiba-tiba terdengar suara halus, “Kematian adalah suatu kewajaran. Tidak perlu dibuat susah, tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, bawa mayat kami semua ke ruangan sembahyang kemudian bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus cepat meninggalkan pulau ini dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Perintahku terakhir ini sedikit pun tidak boleh kalian langgar!”

Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Tadinya mereka bingung karena suara itu bagaikan datang dari ke empat penjuru, atau kadang-kadang seperti datang dari atas. Setelah tiga orang cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang.

Akan tetapi selagi suara itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali. Akan tetapi jelas bahwa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena suaranya tentu saja amat dikenal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui! Dan kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu sadar akan hal ini dan dia pun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu meraba pergelangan tangannya.

“Beliau telah wafat....,” katanya lirih, penuh takjub dan hormat.

Kakeknya ini, melihat tubuh yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa suaranya masih terdengar? Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.

Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak. Seperti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat, matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak, kemudian terdengar dia berkata lirih, “Harap kalian suka ingat akan pesan kakek buyut tadi bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan.”

Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil memegangi tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, “Kong-kong, ampunkanlah Hui yang tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi....”

Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan dia pun mengejap-ngejapkan mata untuk menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia telah jatuh cinta.

Namun, pada saat itu pula dia pun melihat kejanggalan besar dalam cintanya ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Mencinta memang mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu diwujudkan menjadi suatu perjodohan? Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya? Walau pun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua dari pada ‘bibinya’ itu, bahkan jauh lebih tua.

Betapa pun juga, batinnya menyangkal adanya semua peraturan ini. Batinnya tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinya pun terasa perih sekali.

Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima mayat pelayan juga mereka angkut sekalian ke ruangan sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti, diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, yang mereka dudukkan di atas meja rendah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.

Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun, akan tetapi ia sudah dapat menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.

“Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua.”

“Apa maksudmu, enci Hui?” tanya Ciang Bun heran.

“Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar habis pula,” kata Suma Hui dengan sedih.

“Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!” Ceng Liong berseru kaget. “Istana Pulau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi begitu saja?”

Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang sesungguhnya berlawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja mereka merasa berat kalau harus membakar musnah Istana Pulau Es.

“Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong? Biar pun engkau hanya keponakan kami, akan tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih matang.” Akhirnya Suma Hui berpaling kepada keponakannya itu dan bertanya.

Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak pendekar-pendekar yang hebat.

“Kong-couw Suma Han adalah seorang pendekar sakti yang tentu telah memikirkan secara mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi, walau pun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai alasan-alasan yang sangat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikit pun tidak boleh kita langgar. Di balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir kepada beliau.”

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan mereka pun lalu sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan sembahyang guna memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek dan dua orang nenek mereka itu.

Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui sering kali menangis sedih dan Ciang Bun juga kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak ini pun menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikirnya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.

Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itu pun tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian tenggelam. Senja telah tiba. Empat orang muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua jenazah, baik yang di peti mau pun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah dan sekeliling para jenazah, semua telah disirami minyak bakar yang banyak disimpan di dalam gudang.

Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut keluarga Pendekar Super Sakti itu berlutut dan bersujud. Suma Hui tak dapat menahan tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tidak kuasa menahan air matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dengan kedua matanya tinggal kering, walau pun cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

“Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi.... ampunkanlah kami yang tidak berbakti, yang membiarkan kakek dan nenek tewas di tangan penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan harus meninggalkan Pulau Es.... semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek....”

Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman minyak bakar, maka dalam sekejap mata saja api telah berkobar dan menelan segala yang berada di dalam ruangan.

Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diselimuti api berkobar, demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu panas, cahaya api terlihat menyilaukan dan mereka pun teringat akan perintah terakhir dari Pendekar Super Sakti, maka mereka bertiga, dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es.

Belum lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!

Empat orang muda itu memandang dengan mata terbelalak lebar. Biar pun mereka juga sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan sembahyang itu dijadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa api akan dapat mengamuk secepat itu. Andai kata mereka tidak cepat-cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api!

Kiranya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini dan karenanya minta kepada mereka semua untuk cepat-cepat menyingkir meninggalkan pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah ini pun segera mereka ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada istana itu yang berada di tengah pulau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau! Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyembur ke atas seolah-olah api itu menyambar sumber minyak yang meluncur ke atas.

Pemandangan yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu melongo. Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es seolah-olah berubah menjadi emas, demikian megah dan agung dan ajaib dalam lautan api! Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka menjauh.

Dari jarak yang sangat jauh, mereka masih dapat menyaksikan pemandangan yang mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu bernyala, akan tetapi setelah lewat tengah malam, cahaya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh. Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es! Tenggelamkah pulau itu? Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan? Apa pun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari permukaan air!

“Pulau Es telah lenyap!” teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.

“Sungguh lenyap sama sekali....! Sudah tenggelamkah pulau kita itu?” Ciang Bun juga berteriak.

Suma Hui menangis kemudian terguling roboh, pingsan dalam pelukan Cin Liong yang dengan sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.

“Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja.”

Dengan beberapa kali mengurut jalan darahnya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu menangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat. Mereka sendiri dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu!

Dalam waktu dua hari saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau itu pun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka percaya. Baru dua hari yang lalu mereka masih berlatih silat di pulau itu!

Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasana menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya tangis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian malam. Air laut pun begitu tenang sehingga perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautan pun berkabung atas kematian Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es berikut istananya. Malam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.

Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya, bahkan dia selalu menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu.

Dalam peristiwa ini, Cin Liong kembali mendapatkan kenyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidupan ini! Pada suatu saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Semua kepandaian, kegagahan, nama besar, kemuliaan, harta benda, kedudukan, semua yang disayangnya, semua itu akan lenyap bersama dengan lenyapnya nyawa dari badan!

Karena itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang mengikat batin kita, dan mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.

Cin Liong menghela napas panjang ketika kelihatan jelas olehnya betapa dia pun akan kehilangan semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua ini pun akan lenyap? Kenapa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya?

Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan dari pada pikiran kita sendiri. Pikiran sendiri yang menciptakan ‘aku’, sumber dari pada segala konflik penyebab kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan kesemuanya itu pun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut.....

********************

Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dari hidup, dia pun sudah dapat terbebas dari pada kedukaan berhubung dengan kematian kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyapnya Pulau Es. Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari itu.

Matahari tersembul dari permukaan laut di timur, menciptakan jalur keemasan di atas air yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan berenang secepatnya menghindarkan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar.

Langit amat cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis yang terbang berlalu, bersimpang jalan dengan terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung camar memanggil kawannya. Sungguh merupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram. Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan berubah lagi.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari akhirnya akan lenyap di balik langit barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam. Air laut yang kini tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu menjadi air laut yang ganas, mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang mengerikan di mana-mana.

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Yang kekal hanyalah KENYATAAN. Dan kenyataan adalah apa adanya, tanpa sifat baik atau buruk. Hanya hidup di dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau duka, untung atau rugi. Baik atau pun buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri
.

“Marilah kita segera meninggalkan tempat ini,” akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian, dan seperti menyeret ketiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka. “Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus dilaporkan kepada orang-orang tua kalian.”

Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. “Mari kita berangkat.”

Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layar pun mereka pasang. Angin pagi mulai berhembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.

Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang harinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai daratan besar.

“Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat memulihkan kekuatan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku yang berjaga dan mengemudikan perahu lebih dulu.”

“Aku juga!” kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani membantah.

“Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih kekuatan, menggantikan kami berdua,” kata Cin Liong.

Dua orang pemuda itu pun mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka merebahkan diri dan sebentar saja mereka tertidur pulas. Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin.

Cin Liong mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin menghembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk.

Beberapa kali Suma Hui mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan diketahui oleh pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagai mana, walau pun bibinya jauh lebih muda dari padanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibinya ini.

Melihat betapa bekas tamparannya yang kemarin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong, dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan segala-galanya untuknya dan untuk kedua orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es saat menghadapi musuh-musuh berbahaya, hati Suma Hui terasa amat tidak enak juga. Ia tahu bahwa pemuda yang jauh lebih tua dari padanya ini, dan hanya karena ‘abu’ saja menjadi keponakannya ini, adalah seorang jenderal yang ternama dan juga seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itu pun ia dapat melihat betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang dia atau dua orang adiknya. Bahkan harus diakuinya bahwa andai kata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban pula.

Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri ketika dia melihat bekas tamparan tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Seorang pemuda yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya.

Suma Hui memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ketika dia menampari muka pemuda itu yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tak menemukan perlawanan sinkang pada wajah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima tamparan-tamparannya. Dan ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat betapa pemuda itu sedang memandang kepadanya.

“Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengantuk? Kalau begitu, istirahatlah, biarlah aku sendiri yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Mengasolah....”

Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. “Aku tidak mengantuk....”

Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang manis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar keemasan. Betapa cantik jelitanya!

Akan tetapi dia tak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sungguh mati, aku telah jatuh cinta padanya, batinnya mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mungkinnya hal ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!

Suma Hui juga merasa canggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut pandangan seorang bibi kepada seorang keponakan. Namun tidak berhasil! Mana mungkin memandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa yang lebih tua dari pada usianya sendiri? Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan pengalaman, dalam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!

“Cin Liong....”

Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat-cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang mata penuh penyesalan dari gadis itu.

“Ada apakah, Hui-i?”

“Kau.... kau maafkanlah perbuatanku kemarin....”

Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung dan bingung. “Maafkan....? Tidak ada apa pun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah maksudmu....?”

“Aku telah menamparmu kemarin!”

“Oohh, itu....?” Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan dia pun tersenyum. “Ahhh, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i. Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi.”

Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. “Cin Liong, jangan mengejekku!”

Cin Liong mengangkat alisnya. “Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ahh, aku memang telah salah besar kepadamu.... aku kurang ajar....”

“Tapi engkau hanya mentaati perintah mendiang nenek Nirahai.”

“Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan diam-diam lalu menotokmu....”

“Tapi, kalau kau beritahu pun aku tidak akan mau menurut.”

“Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan....”

“Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku....”

“Tapi aku menyinggung perasaanmu....”

“Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!”

“Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!”

Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya baru mengerti betapa lucunya keadaan mereka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hui sebaliknya berusaha mati-matian untuk membela Cin Liong!

“Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?”

“Dan engkau pun berkeras hendak membelaku, Hui-i?”

Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa dekatnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.

“Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi.”

“Hemm, aku baru mau memaafkan engkau kalau lebih dulu engkau memaafkan aku.”

“Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbuatanmu terhadap diriku.”

“Dan aku pun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong.”

Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagai mana, Cin Liong merasa betapa kegembiraan yang amat besar menyelinap di dalam hatinya, seolah-olah senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup di dalam ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya.

Dia tidak tahu betapa gadis itu pun merasa berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melupakan kedukaannya berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.

Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak ikan-ikan berseliweran. Apa pun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar saja.

Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan sepotong kain. Setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potongan-potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.

“Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!” kata Ceng Liong sambil menggeliat.

“Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!” kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam bilik.

Suma Hui tertawa. “Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!”

“Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan,” kata Cin Liong.

Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biar pun tanpa bumbu, hanya dengan rasa asin air laut, tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.

“Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah lagi.” Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus dikemudikan.

Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin Liong. Bahkan di atas salah sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan penjahat dan diserang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka melanjutkan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi yang lalu. Awan gelap memenuhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu yang menyeramkan.

Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu. “Mudah-mudahan bukan tanda akan datangnya badai,” katanya.

Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat dari pada itu. Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas empat buah perahu yang telah mengurung perahu kecil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu Pulau Es!

Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedikitnya empat puluh orang yang kelihatan kasar-kasar dan bengis-bengis!

Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.

“Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!” Ceng Liong mengeluarkan teriakan sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil. Sepasang matanya mencorong dan berapi-api, seperti seekor naga kecil yang siap untuk mengamuk, kelihatan gagah sekali ketika dia menyingsingkan kedua lengan bajunya!

“Kita lawan sampai titik darah terakhir!” Ciang Bun juga membentak marah dan sekali tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika mereka meninggalkan tempat itu.

“Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek kita yang tercinta!” Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut siang-kiam-nya.

Wajah tiga orang muda ini sedikit pun tidak membayangkan rasa takut, walau pun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka dia pun tersenyum dan mendekati Suma Hui.

“Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu kebahagiaan besar!” Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja.

Gadis itu menoleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi.

Suma Hui tersenyum mengangguk. “Bagiku juga, Cin Liong,” bisiknya.

Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar.

Sungguh perubahan yang amat tiba-tiba sehingga empat buah perahu besar itu pun terlanda badai dan nampak betapa anak buah mereka pun kebingungan dan sibuk menurunkan layar...


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 04