Suling Emas Naga Siluman Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 05
Keluarga Suling Emas di lembah ini adalah dari keluarga Cu, yaitu nama keturunan dari kakek pembuat suling emas, yang sebetulnya masih seorang pangeran dari Kerajaan Cin yang suka merantau dan akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di lembah itu.

Menurut dongeng keluarga Cu, setelah berkeluarga dengan puteri Nepal, kakek ini menetap di situ dan hidup sampai beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari dia menghilang, katanya untuk pergi bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar tentang dirinya.

Anak cucunya hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu tadi.

Yang ke dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu.

Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak saja, yaitu pemuda yang menyambut para tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak perempuan. Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai pakaian laki-laki, sungguh pun dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan.

Sebagai seorang anak yang berbakti, Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang mukjijat dan tinggi sekali.

Sudah belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri.

Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Sengjin, sungguh pun mereka mendengar namanya, dan mungkin juga Koksu Nepal itu pernah mendengar tentang nama mereka.

Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal, tetapi yang semenjak raja yang sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan Nepal.

Sam-ok tidak peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun tahu persis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya.

Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Sengjin.

Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tidak lama kemudian, para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.

Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang mencorong itu mengejutkan orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu memiliki kekuatan dalam yang hebat!

“Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan perintah Ayah,” kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya.

Tentu saja Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Sengjin, lebih-lebih dari para tamu lainnya, memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama, terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.

“Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!” Tiba-tiba orang termuda di antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur. “Dan inilah Yeti seperti yang diceritakan Toaso (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!”

Tiba-tiba terdengar suara merdu, “Tidak salah, dialah binatang itu!”

Semua orang menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, akan tetapi tiada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung rambut puteri-puteri istana!

“Dialah binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian harus merampasnya dari tangan Yeti keparat itu!” bentak lagi wanita ini.

Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata, “Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu. Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya.”

Mendengar ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah tidak percaya pada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, makhluk yang selama ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga Toaso-nya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?

“Siapakah namamu, orang muda?” tanyanya hati-hati. Memang tokoh ini selalu bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu.

Sim Hong Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab, “Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe.”

Sikap dan ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam, gerak-geriknya begitu tenang.

“Benarkah bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?”

Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang. “Harap jangan ada yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!”

“Huh, omongan apa itu! Kami semua sudah merasakan kebuasannya!” Tiba-tiba Ngo-ok mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia berkelahi melawan Yeti itu.

“Benar!” Su-ok berteriak, “Yeti itu makhluk buas seperti iblis!”

Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah dua orang itu. “Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga kesopanan dan bicara menanti giliran!” kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.

“Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang,” kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.

“Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang adalah bohong, Locianpwe!” kata Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas, bukan peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk membela diri, tentu saja ia harus mengalahkan lawannya, jika perlu mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?”

“Toaso,” tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?”

Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar, kemudian dia berkata, “Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan walau pun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di pahanya, dia menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang....“

Cu Han Bu mengangguk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di hadapannya. “Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?” Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.

“Hemm, terus terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab Toa-ok dengan suara halus.

“Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toaso-ku ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu kami dapat menjelaskannya, dan untuk jeri payah Cu-wi kami bersedia mengganti sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan.”

“Ah, mana ada aturan seperti itu?” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula. “Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!”

Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika dia berseru, “Perempuan buruk! Apakah kini Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa rangkap berani berkata seperti itu di sini?” Dia sudah melangkah maju, akan tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.

“Harap Toaso suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang seperti dia bicara demikian.” Agaknya Sang Toaso itu cukup segan terhadap adik iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut.

Cu Han Bu lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus. “Orang muda, apakah engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa memang kami yang berhak atas pedang itu.”

Sim Hong Bu cepat berkata. “Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang benar-benar dikembalikan kepada yang berhak.” Setelah berkata demikian, dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus. “Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar pedang itu.”

Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan sikap hormat kepada Cu Han Bu.

Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Pedang Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami.”

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk itu menerima pedang itu. Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu!

Maka kini Si Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat, sebatang pedang yang terbuat dari pada logam yang aneh sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang tak terlawan oleh apa pun!

“Sebatang pedang yang luar biasa!” katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada tuan rumah. “Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya.”

“Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran orang berikutnya.” Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain.

Pedang itu terus berpindah-pindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil berkata.

“Sudah lama sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam urusan pedang ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku curang.”

Cu Han Bu tersenyum tenang. “Sam-ok Ban-hwa Sengjin, kami pun mendengar akan namamu sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat menunjukkan rahasianya.”

Sam-ok memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata, “Kami tidak melihat ada rahasia apa pun pada pedang ini.”

Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu berkata. “Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami perlihatkan.”

Tuan rumah memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara. “Cu-wi, lihatlah baik-baik!”

Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah sinar berkilat keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas, kemudian menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!

“Bagus sekali!” Sim Hong Bu berteriak memuji. “Locianpwe, bagaimana hal itu dapat terjadi?”

Tuan rumah tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya, “Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga sinkang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan.”

Semua orang merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil berkata, “Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan pihak kami sendiri.” Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toaso-nya sungguh pun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di paha Yeti. “Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya kembali dari tangannya.”

Sim Hong Bu juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia kemudian menerima pedang itu, dan menyerahkan kepada Yeti sambil berkata, “Yeti, kalau engkau telah menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani memaksa, hanya aku akan kecewa.”

Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!

“Yeti, engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?” tanya Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap diam saja.

Girang dan legalah hati Hong Bu. “Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih budiman dari pada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!” Maka Hong Bu tidak ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu sambil berkata, “Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan barang orang lain, dan Yeti, biar pun bukan termasuk manusia, namun berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para pendekar.”

Cu Han Bu memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang, “Amat sukar menemukan makhluk seperti Yeti, namun lebih sukar lagi menemukan seorang anak seperti engkau, Sim Hong Bu.” Kemudian dia menerima pedang itu dan menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam.

Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk. “Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”

Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung.

Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu. Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat baik, masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!

Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah kemudian bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.

Kakek buyut dari ketiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara nenek moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang ahli perak, dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah seorang ahli pembuat pedang yang amat baik.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang pendek dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya, akan tetapi kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa malam tadi dia bermimpi melihat seekor naga terbang melayang turun dan kemudian menghilang ke belakang rumahnya, masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di belakang rumah mereka.

“Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ,” pintanya berkali-kali.

Karena melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat semula, lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu Hak.

Kakek yang sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru girang. “Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat. Ah, pantas saja bersemangat naga.”

Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata ‘naga’ itu ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.

“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan tetapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapa pun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan menganggap bahwa pedang itu telah lenyap begitu saja. Sampai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toaso kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi dengan hadiah sekadarnya.”

“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.

“Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu. Tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia melanjutkan. “Tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biar pun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu.” Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli ginkang yang luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai terbang saja!

Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam ‘penyakit’ yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andai kata harus kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu!

Sebelum Cu Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.

“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek (Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu.

Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lazim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk anaknya, sungguh pun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu itu.

Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali. Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu dengannya, padahal hampir semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.

“Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya,” kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya yang kereng.

Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biar pun usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!

“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang menyebutku dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”

Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!

“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang yang telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!” Baru saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim serangan dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.

Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini tubuhnya sedang melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan dahsyat!

“Bagus....!” Si Ulat Seribu memuji.

Selain terkejut Si Ulat Seribu juga gembira sekali karena ternyata lawannya ini pun merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Dia cepat mengelak dan kini kedua orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat buruk dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari setiap serangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya!

Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat Seribu tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat belaka, untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu silatnya yang aneh dan ginkang-nya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh melengkung-lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat gesitnya sehingga beberapa kali Tang Cun Ciu sendiri sampai terkejut.

Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih lebih unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih asli dan lebih tinggi. Bahkan dalam gerakan yang mengandalkan ginkang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja, namun intinya kalah kuat.

Itulah sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak hebat dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan diri dari serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan indah. Dan akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang menggetarkan jantung, tubuhnya mencelat ke atas menukik turun dan seperti garuda menyambar ular dia menyerang dari atas. Si Ulat Seribu berusaha menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya, akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toaso!”

Aneh sekali, biar pun dia amat dihormat dan disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat kepada adik mendiang suaminya ini, karena dia pun menahan serangannya dan berdiri memandang kepada Si Ulat Seribu dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah tidak menahan dan dia diserang lagi, tentu dia akan celaka, maka dia hanya melangkah mundur dan duduk kembali di atas kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Wajahnya yang buruk itu nampak semakin buruk.

“Siapa lagi di antara para tamu yang masih meragukan kepandaian kami? Boleh maju!” Karena kemenangannya, Cui-beng Sian-li menantang.

Para tamu itu terdiri dari orang-orang pandai, Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek melihat benar betapa lihainya wanita itu, memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi sehingga dia sendiri pun tidak berani sembrono untuk maju dalam pi-bu dan mencari penyakit seperti Si Ulat Seribu tadi. Akan tetapi di antara mereka terdapat Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang merasa bahwa merekalah yang merupakan orang-orang paling pandai di dunia persilatan.

Lima orang kakek sakti ini sudah saling pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun merasa tidak puas bahwa perjalanan susah payah mereka untuk merebut pedang pusaka itu berakhir seperti ini, hanya menjadi tamu di Lembah Suling Emas dan melihat pedang pusaka yang diinginkan itu kembali kepada pemiliknya. Tentu saja diam-diam mereka mencari akal untuk dapat merampas pedang itu, bahkan begitu mereka tahu bahwa tempat itu adalah Lembah Suling Emas yang tentu menyimpan banyak macam pusaka, diam-diam mereka merasa girang dan timbul keinginan mereka untuk dapat merampas pusaka-pusaka yang berada di tempat tersembunyi itu.

Akan tetapi mereka pun bukan orang-orang bodoh yang sembrono. Mereka maklum bahwa mereka berada di tempat berbahaya, tempat yang hanya mempunyai hubungan dengan dunia melalui jembatan terbang itu, dan bahwa pihak tuan rumah terdiri dari orang-orang yang lihai, maka semenjak mereka datang, mereka belum melihat cara yang baik untuk dapat memetik keuntungan dari kunjungan ini. Ketika melihat Si Ulat Seribu beraksi, diam-diam mereka menjadi girang. Mungkin inilah kesempatan itu, ialah dengan cara berpibu! Dalam pi-bu itu, kalau mereka berlima dapat mengalahkan pihak tuan rumah, bukankah mereka memperoleh kekuasaan? Dan menguji kepandaian pihak tuan rumah melalui pi-bu adalah cara yang halus dan tidak kentara!

Betapa pun juga, kegirangan mereka itu dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka menyaksikan sepak terjang wanita cantik yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu. Wanita itu saja sudah demikian lihainya! Dari gerakan Cui-beng Sian-li ketika melayani Si Ulat Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa tingkat kepandaian wanita itu saja sudah mampu mengimbangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok! Dan hal ini berarti bahwa yang agaknya dapat dipastikan untuk dapat menghadapi Cui-beng Sian-li hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toa-ok sendiri. Dan di pihak tuan rumah masih ada tiga orang saudara Cu itu yang mereka belum dapat mengukur sampai di mana kelihaian mereka.

Sam-ok Ban-hwa Sengjin adalah orang yang cerdik, paling cerdik di antara lima Im-kan Ngo-ok. Karena kecerdikannya itulah maka dia pernah diangkat menjadi Kok-su dari Negara Nepal. Dan di antara lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang dianggap sebagai pengatur siasat, bahkan Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan adik ke tiga ini. Maka kini empat pasang mata itu pun memandang kepada Sam-ok seolah-olah mereka menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga ini untuk mengaturnya.

Sam-ok lalu bangkit dan sambil tersenyum dia menjura dan memuji. “Hebat.... hebat sekali. Sudah lama kami mendengar kebesaran nama majikan Lembah Suling Emas dan ternyata nama besar itu bukan kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak tahu diri sehingga membentur batu karang! Karena itu kami Im-kan Ngo-ok amat kagum sekali. Dan kami percaya bahwa tidak ada seorang pun di antara para tamu yang akan berani menganggap pihak tuan rumah kurang patut memiliki pedang pusaka itu.”

Cui-beng Sian-li yang masih berdiri itu tersenyum. Dia paling tidak suka mendengar orang bicara bertele-tele dan berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan berkata dengan suara mengejek. “Kalau Im-kan Ngo-ok hendak menguji kepandaian kami pun boleh saja! Perlu apa banyak bicara memuji-muji kosong? Kami tidak butuh pujian.”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dan nyaring, disusul suara melengking tinggi. “Cui-beng Sian-li bicara besar! Apa dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari bocah-bocah penakut? Biar aku mencobanya, Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio sudah berada di depan Cui-beng Sian-li.

Sungguh mereka merupakan dua orang wanita yang amat berlawanan. Yang seorang bertubuh ramping dan berwajah cantik, yang ke dua juga bertubuh ramping seperti tubuh wanita muda, akan tetapi karena mukanya ditutup topeng tengkorak, maka amat menyeramkan, bahkan lebih menakutkan dari pada wajah Si Ulat Seribu yang buruk itu. Dari balik topeng tengkorak itu mengintai sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong dan liar seperti mata setan, dan rambut di kepala itu telah putih semua.

Melihat Ji-ok telah maju, Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri. Dia sendiri merasa bahwa dia akan dapat menundukkan wanita cantik itu, akan tetapi karena Ji-ok juga wanita dan lebih tepat untuk menguji lawannya yang juga perempuan, maka dia pun mengalah dan mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.

Suara Ji-ok yang melengking nyaring itu membayangkan adanya khikang dan sinkang yang amat kuat, maka Cu Han Bu memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Cu Kang Bu. Pria tinggi besar dan gagah perkasa yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini lalu bangkit berdiri dan segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li yang agaknya sudah bersiap untuk menandingi Ji-ok.

“Harap Toaso yang sudah capek melayani lawan suka mengaso, biar aku saja yang menghadapi Ji-ok.”

Melihat munculnya adik iparnya ini, Cui-beng Sian-li mengangguk dan dia kembali ke tempat duduknya, lalu menyambar cawan araknya, mengisinya dengan arak dari guci dan meminumnya. Sementara itu, pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu kini sudah menghadapi Ji-ok. Suaranya lantang dan kasar ketika dia berkata dengan sikap gagah.

“Aku Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang tersohor kejam, jahat dan lihai! Maka sekarang dapat memperoleh kesempatan untuk bertanding, sungguh aku merasa girang!”

Semua orang terkejut. Betapa besar bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya yang bernama Cu Kang Bu ini. Orang ini memiliki watak yang sama dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dan gagah. Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan rahasia dalam hatinya. Maka begitu bertemu, dengan jujur dan dengan suara yang tidak mengandung ejekan melainkan sewajarnya, dia telah mengatakan Ji-ok kejam dan jahat! Julukannya adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) yang juga merupakan julukan yang terang-terangan, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.

Seperti semua tokoh di Lembah Suling Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak terkenal sama sekali, bahkan kalah terkenal dibandingkan dengan Cui-beng Sian-li yang menjadi Toaso-nya itu. Oleh karena itu, Ji-ok belum pernah mendengarnya dan tentu saja orang nomor dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang rendah.

Akan tetapi watak Im-kan Ngo-ok memang aneh. Mereka sudah menggunakan julukan Ngo-ok (Lima Jahat) dan ini bukan nama kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini bukan merupakan suatu hal buruk yang patut membuat mereka malu, sebaliknya malah, mereka itu seperti mengagungkan kejahatan dan malah merasa bangga kalau disebut jahat dan kejam! Oleh karena itu, ketika Cu Kang Bu secara jujur menyebutnya kejam dan jahat, Ji-ok tersenyum di balik kedoknya dan sepasang mata di balik kedok itu berseri-seri!

“Hi-hi-hi-hik, bagus sekali! Aku girang sekali mendengar bahwa namaku sampai dikenal di tempat yang tersembunyi ini. Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak mewakili pihak tuan rumah menguji kepandaianku? Bagaimana kalau sampai engkau terluka parah atau mati? Ketahuilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu ada yang mati!”

Cu Kang Bu tertawa dan wajahnya nampak tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bicaramu lucu sekali, Ji-ok! Pi-bu, kalah, menang, luka dan mati adalah hal-hal yang merupakan rangkaian tak terpisahkan. Sudah berani pi-bu tentu berani kalah, luka atau mati. Akan tetapi ingat, hal itu berlaku untuk kedua pihak. Bukan hanya aku yang mungkin luka atau mati, akan tetapi engkau juga.”

“Hi-hik, bagus! Kalau begitu bersiaplah engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru saja dia berkata demikian, tahu-tahu Ji-ok sudah menubruk maju, kedua tangannya membentuk cakar-cakar setan dan gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah kedua mata lawan sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah kemaluan! Bukan main bahayanya serangan ini, semacam serangan yang amat curang dan kotor, yang tidak akan dilakukan oleh ahli silat tinggi.

“Duk! Desss!”

Serangan maut itu sama sekali tidak dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan ditangkis dengan kekerasan! Kedua lengannya yang kuat itu menangkis dengan pengerahan tenaga dan adu lengan itu membuat Ji-ok meringis di balik kedoknya karena kedua lengannya yang kecil itu seolah-olah bertemu dengan dua batang baja besar yang amat kuat!

Ji-ok bukan seorang ahli silat sembarangan. Tangkisan yang amat kuat itu biar pun membuat kulitnya terasa nyeri, akan tetapi tidak sampai melukai lengannya dan dia yakin akan kekuatan lawan yang berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu, maka dia pun mengandalkan kecepatan gerakannya dan mulailah dia menghujani lawan dengan serangan-serangannya. Setiap serangan merupakan serangan maut yang mengerikan, dan sekali saja tangan Ji-ok mengenai sasaran, akan celakalah lawannya.

Pihak tuan rumah memandang dengan alis berkerut, maklum betapa kejinya serangan-serangan yang dilakukan oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas dinamakan pi-bu atau mengadu ilmu silat untuk mengukur kepandaian masing-masing, lebih patut dinamakan serangan-serangan yang mengarah nyawa lawan!

Akan tetapi, betapa terkejut hati Ji-ok ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu, betapa cepat dan kuatnya karena dia mengerahkan segenap tenaganya, tidak ada satu pun yang mampu membobol pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu bergerak dengan tenang sekali, mantap dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh benteng baja yang tercipta dari gerakan tubuhnya, setiap serangan dapat ditangkisnya dengan sangat mudah dan sekali-kali dia membalas dengan tamparan atau dorongan tangan yang mengandung kekuatan dahsyat!

Ji-ok bukan seorang bodoh. Setelah melakukan penyerangan hampir lima puluh jurus lamanya, dia sudah tahu bahwa tingkat kepandaian lawannya itu ternyata luar biasa tingginya dan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan! Maka dia pun kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah mempergunakan ilmunya yang terbaru, ilmu dahsyat sekali yang merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang)! Jari telunjuknya bergerak dan hawa yang seperti kilat cepatnya, amat dingin dan tajamnya seperti pedang pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang Bu! Hawa pukulan jari mukjijat ini mengeluarkan suara bercuitan amat mengerikan.

Cu Kang Bu maklum akan hebatnya pukulan itu, dia mengenal ilmu mukjijat. Cepat dia menangkis dengan dorongan telapak tangannya dari samping dan memutar lengan.

“Bretttt....!” Tetap saja lengan bajunya dekat pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan dari Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka, maka kulit pangkal lengannya ikut terobek dan mengeluarkan sedikit darah, seperti bekas dicakar kucing!

“Hi-hi-hik!” Ji-ok tertawa mengejek di balik kedoknya, akan tetapi suara tertawanya itu segera terhenti karena Cu Kang Bu kini sudah menyerangnya dengan hebat, kedua lengan yang besar kuat itu bergerak-gerak bergantian ke depan, kedua kakinya juga menggeser maju. Dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak berani menghadapi dengan kekerasan, maklum akan kekuatan lawan, maka dia sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke sana-sini, terus didesak oleh lawan.

Ji-ok menjadi marah sekali. Dia harus menang, demikian pikirnya. Di depan begitu banyak orang kang-ouw, akan rusaklah nama besarnya kalau sampai dia kalah oleh seorang lawan yang sama sekali tidak memiliki nama besar di dunia persilatan, walau pun sungguh harus diakui bahwa tingkat kepandaian lawannya ini benar-benar amat tinggi. Dia mengeluarkan bentakan yang menggetarkan seluruh tempat itu dan tiba-tiba, dalam keadaan terdesak itu dia mengirim serangan balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke depan seperti sepasang pedang dan ada hawa pukulan yang amat dingin menyambar dahsyat ke arah lawan!

Diam-diam Cu Kang Bu terkejut. Serangan ini adalah serangan mengadu nyawa, karena wanita berkedok tengkorak itu menyerang dengan sepenuh tenaga tanpa mempedulikan penjagaan diri lagi, pendeknya ingin membunuh lawan dengan taruhan nyawa sendiri! Tentu saja dia tidak sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati bersama lawan yang amat keji dan jahat ini. Dia pun mengeluarkan seruan panjang dan kedua tangannya dibuka menyambut terjangan ganas itu.

“Bressss....!”

Dua tenaga sakti bertemu amat hebatnya dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpelanting dan terbanting ke belakang sampai bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap berdiri, akan tetapi kedua lengannya berdarah karena kulitnya tergores seperti tergores pedang. Dia menderita luka tergores kulitnya dan mengeluarkan darah sedangkan Ji-ok terbanting keras, maka dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah yang menang, sungguh pun mengenai ilmu pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci yang amat ganas dan dahsyat!

Ji-ok sudah meloncat bangun kembali, dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tiba-tiba terdengar gerengan keras, nampak bayangan besar berkelebat dan tahu-tahu Yeti, makhluk raksasa itu telah berdiri di depannya dengan sikap beringas dan mengancam! Yeti mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar, menggereng dan memukul-mukul dada dengan tangan kiri seolah-olah menantang lawan, dan kemudian tangan kanannya menunjuk-nunjuk keluar sambil menggereng. Jelas sekali gerakannya ini, yaitu dia menantang Ji-ok kalau mau berkelahi, dan mengusir semua orang agar pergi meninggalkan tempat itu!

“Cuuuttt....!” Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok, yaitu telunjuk kirinya telah mengirim serangan ke arah Yeti. Makhluk itu menggereng saja, seolah-olah kurang cepat mengelak dan hawa pukulan dari telunjuk kiri itu mengenai dadanya, disusul telunjuk itu menotok dadanya.

“Dukkkk!”

Ji-ok berteriak dan meloncat ke belakang. Hampir patah telunjuknya ketika mengenai dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki kekebalan yang amat luar biasa sehingga ilmu pukulan itu tidak mempan. Dan pada saat itu Yeti menggerakkan lengannya. Hampir saja kepala wanita berkedok itu kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.

Melihat makhluk itu menyerang Ji-ok, Toa-ok sudah cepat bergerak ke depan, kedua tangannya membuat gerakan memutar dan ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti! Tubuh Yeti yang tinggi besar itu terbawa oleh angin dahsyat ini sampai terhuyung, akan tetapi ketika Toa-ok menampar dengan tangan kiri, Yeti juga menggerakkan tangannya dan tak dapat dicegah lagi dua dengan itu saling beradu.

“Dessss....!”

Dan akibatnya, mereka berdua terpental ke belakang! Bukan main kagetnya hati Toa-ok. Dia tadi telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang paling kuat, namun Yeti itu dapat menangkisnya dan ternyata tenaga mereka seimbang! Dan dia tahu benar bahwa Yeti itu juga memiliki tenaga sinkang, bukan hanya tenaga otot seperti layaknya binatang buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan terheran-heran.

Seperti juga tadi, Yeti memukul-mukul dada sendiri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menunjuk keluar seperti orang mengusir. Ngo-ok berlima kini sudah mengepung Yeti dengan sikap mengancam. Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri dan berkata, suaranya berwibawa dan tegas, “Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan tidak membikin ribut di tempat kami!”

Lima orang datuk kaum sesat itu melirik ke arah Cu Han Bu. Ji-ok mengeluarkan suara ketawa mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga tersenyum menyeringai. Tentu saja di dalam hati mereka tidak sudi mentaati permintaan orang yang dianggap masih muda itu. Akan tetapi berbeda dengan saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok yang cerdik melihat betapa selain Cu Han Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat dan Cu Kang Bu sudah bangkit berdiri, juga Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai sekali, dan keluarga Cu itu pun tak boleh dipandang ringan, maka kalau mereka nekat, tentu mereka berlima akan mengalami rugi.

Toa-ok lalu tersenyum ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu sambil berkata, “Maaf.... maaf.... kami hanya main-main saja melihat Yeti menantang.”

Cu Han Bu memandang kepada Sim Hong Bu dan berkata, “Bujuklah dia agar jangan membikin ribut.”

Hong Bu lalu menghampiri Yeti, dipegangnya tangan Yeti itu sambil berkata. “Mari kita duduk kembali dan tidak perlu membikin ribut di tempat ini....”

Yeti masih menggereng-gereng, akan tetapi dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke pinggir.

“Pek In, kau bagi-bagikan pek-giok (batu kumala putih) itu kepada para tamu, masing-masing sebutir!” tiba-tiba Cu Han Bu berkata kepada pemuda tanggung tampan yang sejak tadi hanya menonton dengan anteng itu.

“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In. Pemuda tampan ini mengeluarkan sebuah kantung kuning, membuka tali mulut kantung dan merogoh dengan tangan kanan.

“Cu-wi, harap suka menerima pemberian hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya nyaring dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebutir batu berwarna putih bening sebesar gundu dan dia melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat Seribu. Bukan sembarang lemparan karena gundu itu berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah mata kanan Si Ulat Seribu! Tetapi wanita berwajah buruk ini dengan mudah menyambut dan menerima batu itu, memeriksanya penuh perhatian.

Cu Pek In sudah melempar-lemparkan batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah para tamu, setiap lemparan dilakukan dengan gaya yang indah namun batu itu meluncur dengan cepatnya ke arah sasaran. Karena mereka yang menjadi tamu adalah orang-orang kang-ouw yang rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka semua dapat menerima lontaran batu itu dengan mudah, tetapi diam-diam mereka pun terkejut karena mereka dapat merasakan betapa tenaga lontaran pemuda tanggung itu sudah mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat!

Hanya Hong Bu yang tidak diberi batu itu, demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu, pemuda tanggung yang tampan itu berkata halus. “Karena engkau dan Yeti telah mengembalikan pedang pusaka kami, maka Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah kepada kalian.”

Hong Bu tidak menjadi kecewa. Dia tidak mengharapkan dan membutuhkan hadiah. Dikembalikannya pedang pusaka kepada keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan bahkan sudah sepatutnya, maka dia tidak mengharapkan upah apa pun.

“Harap Cu-wi tidak memandang rendah batu kecil itu,” terdengar Cu Han Bu berkata kepada para tamu yang masih meneliti batu sebesar gundu di tangan mereka. “Itu adalah pek-giok tulen yang terdapat dalam tempat rahasia di Pegunungan Himalaya, dan sebagai orang-orang kang-ouw, tentu Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang tulen. Apabila terkena racun apa pun, dia akan berubah menjadi hijau. Dengan pek-giok di tangan, Cu-wi takkan sampai terjebak oleh makanan beracun.”

Semua orang tahu akan kegunaan pek-giok itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil itu ke dalam saku baju masing-masing.

“Sekarang kami persilakan Cu-wi untuk meninggalkan tempat kami. Jite dan Sam-te, kalian antar mereka keluar lembah. Sim Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di sini, kami akan bicara dengan kalian.”

Sebetulnya penahanan tuan rumah terhadap Sim Hong Bu ini ada maksudnya. Melihat betapa pemuda tanggung itu tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan para orang kang-ouw itu selain lihai juga di antara mereka banyak terdapat orang-orang jahat seperti Im-kan Ngo-ok, maka melepas pemuda itu bersama mereka merupakan hal yang amat berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi kalau pemuda itu membawa hadiah pusaka yang berharga, tentu akan dirampas oleh mereka. Biar pun ada Yeti yang agaknya melindungi pemuda itu, namun Yeti berada dalam keadaan terluka dan hal ini diketahui benar oleh pihak tuan rumah yang bermata tajam itu. Oleh karena itulah maka Cu Han Bu sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya dari tempat itu tidak berbareng dengan rombongan itu.

Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu lalu mengantar rombongan itu yang berjumlah delapan belas orang, diikuti pula oleh Tang Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika mereka memasuki lembah, kini mereka pun harus menggunakan satu-satunya jalan keluar, yaitu melalui jembatan tambang yang berbahaya di atas jurang yang amat lebar dan dalam itu. Setelah mereka semua menyeberang sampai ke seberang sana, tiba-tiba tali yang menjadi jembatan itu dikendurkan dan tali itu turun ke bawah sampai lenyap di balik kabut yang memenuhi jurang di bawah itu.

Ketika Cu Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut Istana Lembah Suling Emas itu, terjadi keributan di situ. Kiranya, setelah rombongan orang-orang kang-ouw itu pergi, tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh terpelanting. Sim Hong Bu terkejut sekali dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti. Ternyata Yeti itu telah roboh pingsan dan dari mulutnya keluar darah menetes-netes!

“Yeti....! Yeti....! Ah, Locianpwe, tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu Han Bu cepat menghampiri dan memeriksa keadaan Yeti dengan meraba dada, memeriksa urat nadi dan lain-lain. Dan tuan rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti ini telah parah sekali keadaannya, bukan hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga jalan darahnya kacau-balau dan ada tanda-tanda bahwa darahnya keracunan hebat!

“Mari kita membawanya ke dalam untuk dirawat,” katanya singkat dan dengan bantuan Hong Bu, mereka menggotong tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan merebahkannya ke atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar kosong.

Cu Han Bu lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat menolong Yeti. Ketika itulah dua orang adiknya dan twako-nya kembali dari mengantar para tamu dan mereka pun terkejut mendengar bahwa Yeti telah pingsan dengan tiba-tiba dan keadaannya payah sekali!

suling emas naga siluman jilid 05


"Agaknya luka oleh Koai-liong-pokiam yang lama itu telah membuat dia keracunan dan kini darahnya telah keracunan, juga perlawanannya terhadap banyak orang kang-ouw mendatangkan luka parah dalam tubuhnya. Dan lebih-lebih lagi ketika dia tadi beradu tenaga dengan Twa-ok, agaknya hal itu membuat lukanya semakin parah. Keadaannya mengkhawatirkan sekali, betapa pun juga, kita harus berdaya untuk menolongnya,” kata Cu Han Bu kepada adik-adiknya dan Toaso-nya.

Mereka berempat lalu pergi ke kamar itu dan Cu Han Bu sudah membawa obat-obat yang diperlukan. Namun ketika mereka tiba di depan kamar, mereka terkejut mendengar suara Hong Bu yang memanggil-manggil sambil meratap sedih. “Ouwyang-locianpwe....! Ouwyang-Locianpwe, kau.... sadarlah.”

Cu Pek In yang diam-diam datang pula di belakang ayahnya dan paman-pamannya, mendengar suara Hong Bu itu segera berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah menjadi gila!”

Akan tetapi ayahnya dan dua orang pamannya tidak mempedulikannya dan segera meloncat masuk kamar. Mereka melihat Hong Bu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh Yeti sambil menangis! Kiranya Hong Bu yang melihat keadaan Yeti yang terus mengeluarkan darah dari mulut itu menjadi sedemikian khawatir dan kasihan sehingga dia memanggil-manggil dengan nama itu karena dia yakin bahwa sesungguhnya Yeti adalah penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang riwayatnya dia baca dalam goa es. Apalagi ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti dalam keadaan tidak sadar, “Loan Si.... Loan Si....,“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.

Melihat masuknya keluarga Cu, Hong Bu sadar dan terkejut bahwa dia telah membuka rahasia itu, maka untuk menutupinya dia berkata, “Locianpwe, harap Locianpwe sudi menolong Yeti....“

Akan tetapi Cu Kang Bu yang kasar itu telah menangkap bahunya dan menariknya bangun. “Kau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?!” Pertanyaan itu amat keras dan agak membentak.

Akan tetapi Hong Bu adalah seorang anak yang luar biasa tabah dan tidak pernah mengenal takut. Makin diperlakukan dengan kasar, dia akan semakin melawan. Maka dengan mata melotot dia menatap orang yang mencengkeram bahunya itu tanpa menjawab! Melihat ini, Cu Kang Bu yang paling menghargai keberanian diam-diam merasa kagum sekali. Dan Cu Han Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu, engkau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe, ada hubungan apakah nama itu dengan Yeti ini?”

Ditanya secara halus, kemarahannya Hong Bu yang sudah dilepaskan bahunya itu menjadi cair, dan dengan muka menunduk dan halus dia berkata, “Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani bicara tentang itu....“

“Sim Hong Bu, engkau menyebut nama Ouwyang-locianpwe, apakah engkau hendak maksudkan bahwa Yeti ini adalah seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”

Diam-diam Hong Bu terkejut dan menyesal sekali bahwa dalam kekhawatirannya akan keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri dan menyebut-nyebut nama itu, Ouwyang Kwan telah bersusah payah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai Yeti, tentu ada sebabnya, maka jika dia sekarang membuka rahasia sungguh dia merasa bersalah besar terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong jiwanya berkali-kali itu.

“Tidak.... tidak tahu.... saya tidak berani bicara....,” ratapnya.

“Ahhh, tidak mungkin!” kata Cu Kang Bu keras.

“Dia ini.... Ouwyang Kwan....? Mana mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.

Tiba-tiba Yeti yang tadi tidak bergerak-gerak itu mengeluarkan suara gerengan, Hong Bu meloncat bangun dan menubruk dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengaar Yeti itu bicara, suaranya kaku dan aneh, seperti suara orang yang sudah hampir lupa akan bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku adalah.... Ouwyang.... Kwan....“

Mendengar ini, tiga orang pria itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan sambil menyebut, “Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu juga ikut menjatuhkan diri dan juga Cu Pek In lalu berlutut sambil memandang dengan mata terbelalak.

Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang Kwan benar adalah Yeti ini dan ternyata masih keluarga orang-orang gagah ini! Malah mereka menyebut Twa-pek, berarti bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti adalah kakak dari ayah tiga orang she Cu itu.

“Ouwyang Twa-pek.... kenapa Twapek menjadi begini....?” Cu Han Bu bertanya dengan suara halus penuh penghormatan.

“Kretttt....!”

Mendadak Yeti itu menggunakan kedua tangannya merobek bibirnya yang tebal dan terobeklah muka Yeti menjadi dua, dan nampak kini wajah seorang laki-laki yang tua, sedikitnya ada tujuh puluh tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya sudah putih semua, dan sepasang matanya kelihatan penuh kedukaan. Kiranya Yeti itu hanya merupakan kedok saja, kedok yang amat bagus dan agaknya sudah menempel pada muka pria itu karena ketika dirobek, ada sebagian leher dan pipi kakek itu yang lecet-lecet dan berdarah! Kedua mata tua itu berlinang air mata dan dari ujung mulutnya masih menetes-netes darah segar.

Dengan suara yang amat kaku karena puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu lalu berkata lirih dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian. “Aku.... aku seperti baru sadar dari mimpi buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku sadar bahwa aku telah berubah menjadi makhluk ganas....“

“Harap Twa-pek jangan berkata demikian. Twa-pek terlampau lelah dan terluka, biarlah kami merawat Twa-pek sampai sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek mengaso...,“ kata Cu Han Bu dengan lembut.

Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan tangan Yeti. “Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih dahulu menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan meninggalkan pesan untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu mengelus kepala Sim Hong Bu yang masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.

Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar. Ibunya she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia diberi hak untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang kepada cucu luar yang berbakat ini.

Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, terjadilah malapetaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri yang masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si, seorang wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu!

Karena dia bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan terjadilah perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan. Dalam pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai dengan julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam Lok memiliki ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu melerai dan melihat bahwa keluarga pihak mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu menegur Ouwyang Kwan dan minta maaf kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.

Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Namun, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!

“Aku.... aku berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas....,” demikian kakek yang menyamar sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar.

Semua orang mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para tokoh kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas karena dicuri dan dilarikan oleh seorang anggota keluarga mereka sendiri!

Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Melihat keadaan kakek itu yang payah, beberapa kali para anggota keluarga Cu itu hendak menghentikan ceritanya, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan bahwa ceritanya itu merupakan pesan terakhir!

Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih seru dan dahsyat lagi. Tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam, sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini, Ouwyang Kwan membuat lawannya terdesak hingga akhirnya Sin-ciang Eng-hiong tidak kuat melawan terus dan melarikan diri bersama isterinya.

Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau lebih tepat, kehebatan Koai-liong-pokiam karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat membuat lawannya repot. Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan tak akan mampu menandingi Kam Lok.

Dan akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya dan bersembunyi di dalam goa batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar sebelum dia dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus mencari dan bertemulah kedua orang musuh besar ini di dalam goa! Terjadilah perkelahian mati-matian yang amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok dan pendekar itu pun tewaslah!

Akan tetapi, kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Biar pun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak berhasil menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si hanya mencinta seuaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia tidak hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan timbul rasa bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya!

Segala bujuk rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk menggunakan kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang begitu rendahnya untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya sehingga dia tak tega untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela! Ternyata hal itu sama sekali tidak mungkin sehingga akibatnya ia sendiri yang merana dan mulailah dia menyalahkan perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama sekali tidak bersalah kepadanya itu.

Betapa pun juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang membuat dia makin merana. Api birahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa takutnya Loan Si melihat seekor beruang besar di luar goa, Ouwyang Kwan lalu mendapat akal. Diam-diam ia membunuh beruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu memakai kulit beruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merubah muka atau kulit muka beruang itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan. Dengan penyamaran ini, dia hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar dalam keadaan takut itu Loan Si mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya, dan menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya!

Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan setengah mati. Munculnya beruang setengah monyet setengah manusia itu amat mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh makhluk ini dari pada minta tolong kepada Ouwyang Kwan!

Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si menyerahkan dirinya kepada Yeti! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya tergila-gila, menolaknya mati-matian dan sekarang justru menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu mengerikan, menjijikkan dan menakutkan!

Akan tetapi, oleh karena yang menjadi Yeti itu adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan diri wanita yang membuatnya tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang dibiarkan membeku dalam tumpukan salju dan es di dalam goa itu! Walau pun dia masih menyamar sebagai Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya malam itu kepada Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain pihak, Loan Si juga merasa betapa dia jatuh cinta kepada makhluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa itu, saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan juga dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh wanita yang dicintanya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri dengan suka rela, bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi perasaan malu terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah menonton perbuatannya yang berjinah itu, jauh lebih besar dari pada rasa senangnya. Dia malu, dan dia merasa telah mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat pedang pusaka Koai-liong-pokiam menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang itu dan di lain saat pedang itu telah menembus jantungnya!

Bercerita sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku manusia berdosa.... aku telah menjadi Yeti, makhluk buas....!” demikian keluhnya.

Semua pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di dalam goa itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.

“Melihat wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku, bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang Koai-liong-pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku telah gila....!” Kembali Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah kakek itu!

Kemudian, dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak dada, Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun lalu mendudukkan wanita yang tercinta itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es seperti keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung, apalagi ketika ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan catatan Loan Si yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya, akan tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya sebelum membunuh diri, Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku catatan itu. Makin hancur rasa hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia, lebih patut menjadi makhluk buas Yeti!

“Pedang pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam jurang yang curam,” demikian katanya. “Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku merasa bahwa aku adalah Yeti, makhluk buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata, seolah-olah merasa ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.

“Kemudian, pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku masih mengenali pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu menyerangku. Agaknya selama aku lupa segalanya itu, hanya ilmu silat yang tak pernah kulupakan, bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun itu....!”

“Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek...,” terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu berkata ketika mendengar penuturan itu.

“Ya, engkaulah wanita itu. Dan aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini, akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai mengerti. Tubuhku telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata, namun agaknya tidak cukup kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ahhh, pedang yang kupakai membunuh Kam Lok dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu, kini ternyata mengantar pula nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak penasaran....”

Sampai di sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang dan akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual beli yang mahal, terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana. Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu menerima tugas untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat pengambilan kembali pedang ini menggegerkan dunia kang-ouw.

Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang sedang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang makhluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata makhluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah Pegunungan Himalaya.

Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat.

Dengan napas terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya amat panas itu memberi isyarat kepada Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul di dalam kamar itu, lalu berkata lemah sekali.

“Dia ini sudah kupilih menjadi muridku, jadi terhitung saudara kalian sendiri. Aku telah mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini baru kalian boleh buka setelah aku mati dan kupesan agar supaya kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai berhasil menguasainya dan karena ilmu ini kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam maka kuminta kelak kalau dia sudah menguasai ilmunya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya..." Mulut itu masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.

Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan kepada ‘Yeti’ ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit beruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.

“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua, engkau tak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat. Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh Lembah Suling Emas.”

Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu, disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.

“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhu-mu yang akan membimbingmu.”

Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai ‘anggota keluarga’ Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti…..

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya karena terdampar ke ‘pulau’ yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari ‘pulau’ itu!

Biar pun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andai kata tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup suling!

Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecil Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sinkang dan khikang!

Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang Suling Emas yang asli itu!

Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.

Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang sebenarnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan?

Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.

“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau sekarang belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang lagi meniup suling emasnya.

Kam Hong tersenyum. “Ahh, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sinkang dan khikang yang paling tinggi tingkatnya!”

“Aihhh....!” Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat mata seindah itu! “Kalau begitu, kau ajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”

Kam Hong tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah, tetapi merupakan latihan sinkang dan khikang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Maka, biarlah kini kuajarkan engkau latihan sinkang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini.”

Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sinkang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biar pun mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!

Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapa pun juga, giranglah hati Kam Hong karena biar pun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sinkang-nya sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.

Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya ke arah suara itu dan berlarilah dia secepatnya.

Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biar pun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.

Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.

“Ci Sian....!” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khikang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.

“Ci Sian, di mana engkau....?!” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.

Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya bagai ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!

“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!

Ke manakah perginya Ci Sian?

Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan mala petaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti burung dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat.

Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing. Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian.

Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu, Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan.

Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!

Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ahh, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!

Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam goa di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti sebuah istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah goa yang lain, di mulut goa yang aneh sekali.

Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah goa, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut goa itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu!

Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri saat melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Pasti seorang kakek bangsa asing, melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang sangat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.

Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang aneh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”

“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.

“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”

Jadi, kalau begitu ini bukan mimpi! Dia benar-benar sudah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri dan mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.

“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?” Dia berkata, tidak percaya bahwa seekor ular, betapa pun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang terjatuh dari tempat sedemikian tingginya.

“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelitmu sehingga dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”

Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilatkan lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.

“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan wajahnya berseri.

Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari semedhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”

Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik.”

Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun. “Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana?”

“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!”

“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya kau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!”

Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”

“Ahhh, yang suka meniup suling itu?”

“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”

“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam semedhiku. Dia berkepandaian hebat!”

“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”

Kakek itu menggeleng kepala. “Tak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, jika dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”

“Ahh.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini.”

“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”

“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”

“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di goa ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita.”

“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!”

“Bukan kalah dalam ilmu silat....”

“Habis, kalah dalam hal apakah?”

“Kalah dalam menebak teka-teki.”

“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali.

“Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kongkong-nya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia selalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.

Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara.”

Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa bangsa Nepal yang bernama Nilagangga. Semenjak masih muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia pulang kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah ‘menjauhkan’ diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi dari pada orang-orang lain!

Kebanggaan diri ini telah menjadi ‘kebudayaan’ kita manusia, sejak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kini pun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam ‘paling’ lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?

Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri!

Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, kemudian menyepi, dan menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke mana pun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini!

Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.

Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, kemudian kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!


“Pada suatu hari, ketika merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa aku sengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggota keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.

“Bagaimana teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali.

Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga dari pada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam goa itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan goa sebelum dapat menjawab teka-teki itu!

“Aku mengajukan teka-teki, tetapi dia sungguh hebat, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam goa ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”

Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andai kata kakek itu meninggalkan goa, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!

“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat menebaknya untukmu.”

“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!”

“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.

“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama ‘buta hurufnya’ dengan kakek tua renta itu.

“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”

Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.

“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita,” Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat!

Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.

“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”

“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Ayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang.”

“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....,” kakek itu mengomel.

Akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan jika mereka jatuh cinta!

Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya!

Betapa pun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.

Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biar pun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!

“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu malah mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.

Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?

“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”

“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”

Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta pada seorang wanita?”

Kakek itu mengingat-ingat. “Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, memanjakan dia, membahagiakan dia,” akhirnya dia berkata dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!

“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biar pun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!”

“Sudah kau temui jawaban teka-teki itu?”

Ci Sian mengangguk. “Agaknya tidak akan keliru lagi.”

“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun berseri dan penuh harap. “Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”

“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justru menjadi kebalikannya, yaitu dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”

Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling.

Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru serta mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!

“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.

“Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”

“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”

“Ehh, bocah bodoh. Jika engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika saja engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Kini engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?”

Ci Sian menelan ludah, kini hatinya tertarik juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular....”

“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua telapak tanganmu!”

Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu, kemudian mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.

“Plak! Plak!”

“Aduhhhh....!” Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.

“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian,” kata kakek itu.

Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tidak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing.

Biar pun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!

“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?”

“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.

“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!” See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.

"Ha-ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!"

Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian lalu memperingatkan. “Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tidak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu.”

“Ha-ha-ha-ha, benar sekali. Oleh karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu.”

“Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong.”

“Ahhh, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merubah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu.”

Hati Ci Sian menjadi tertarik. “Wanita yang memberimu teka-teki itu?”

“Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temanilah aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu.”

Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang bisa membawanya kembali pada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya?

Namun dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, dari pada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang!


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 06


Suling Emas Naga Siluman Jilid 05

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 05
Keluarga Suling Emas di lembah ini adalah dari keluarga Cu, yaitu nama keturunan dari kakek pembuat suling emas, yang sebetulnya masih seorang pangeran dari Kerajaan Cin yang suka merantau dan akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di lembah itu.

Menurut dongeng keluarga Cu, setelah berkeluarga dengan puteri Nepal, kakek ini menetap di situ dan hidup sampai beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari dia menghilang, katanya untuk pergi bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar tentang dirinya.

Anak cucunya hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu tadi.

Yang ke dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu.

Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak saja, yaitu pemuda yang menyambut para tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak perempuan. Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai pakaian laki-laki, sungguh pun dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan.

Sebagai seorang anak yang berbakti, Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang mukjijat dan tinggi sekali.

Sudah belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri.

Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Sengjin, sungguh pun mereka mendengar namanya, dan mungkin juga Koksu Nepal itu pernah mendengar tentang nama mereka.

Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal, tetapi yang semenjak raja yang sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan Nepal.

Sam-ok tidak peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun tahu persis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya.

Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Sengjin.

Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tidak lama kemudian, para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.

Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang mencorong itu mengejutkan orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu memiliki kekuatan dalam yang hebat!

“Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan perintah Ayah,” kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya.

Tentu saja Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Sengjin, lebih-lebih dari para tamu lainnya, memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama, terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.

“Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!” Tiba-tiba orang termuda di antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur. “Dan inilah Yeti seperti yang diceritakan Toaso (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!”

Tiba-tiba terdengar suara merdu, “Tidak salah, dialah binatang itu!”

Semua orang menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, akan tetapi tiada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung rambut puteri-puteri istana!

“Dialah binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian harus merampasnya dari tangan Yeti keparat itu!” bentak lagi wanita ini.

Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata, “Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu. Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya.”

Mendengar ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah tidak percaya pada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, makhluk yang selama ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga Toaso-nya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?

“Siapakah namamu, orang muda?” tanyanya hati-hati. Memang tokoh ini selalu bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu.

Sim Hong Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab, “Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe.”

Sikap dan ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam, gerak-geriknya begitu tenang.

“Benarkah bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?”

Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang. “Harap jangan ada yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!”

“Huh, omongan apa itu! Kami semua sudah merasakan kebuasannya!” Tiba-tiba Ngo-ok mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia berkelahi melawan Yeti itu.

“Benar!” Su-ok berteriak, “Yeti itu makhluk buas seperti iblis!”

Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah dua orang itu. “Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga kesopanan dan bicara menanti giliran!” kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.

“Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang,” kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.

“Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang adalah bohong, Locianpwe!” kata Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas, bukan peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk membela diri, tentu saja ia harus mengalahkan lawannya, jika perlu mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?”

“Toaso,” tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?”

Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar, kemudian dia berkata, “Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan walau pun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di pahanya, dia menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang....“

Cu Han Bu mengangguk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di hadapannya. “Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?” Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.

“Hemm, terus terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab Toa-ok dengan suara halus.

“Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toaso-ku ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu kami dapat menjelaskannya, dan untuk jeri payah Cu-wi kami bersedia mengganti sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan.”

“Ah, mana ada aturan seperti itu?” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula. “Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!”

Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika dia berseru, “Perempuan buruk! Apakah kini Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa rangkap berani berkata seperti itu di sini?” Dia sudah melangkah maju, akan tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.

“Harap Toaso suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang seperti dia bicara demikian.” Agaknya Sang Toaso itu cukup segan terhadap adik iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut.

Cu Han Bu lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus. “Orang muda, apakah engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa memang kami yang berhak atas pedang itu.”

Sim Hong Bu cepat berkata. “Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang benar-benar dikembalikan kepada yang berhak.” Setelah berkata demikian, dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus. “Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar pedang itu.”

Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan sikap hormat kepada Cu Han Bu.

Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Pedang Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami.”

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk itu menerima pedang itu. Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu!

Maka kini Si Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat, sebatang pedang yang terbuat dari pada logam yang aneh sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang tak terlawan oleh apa pun!

“Sebatang pedang yang luar biasa!” katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada tuan rumah. “Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya.”

“Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran orang berikutnya.” Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain.

Pedang itu terus berpindah-pindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil berkata.

“Sudah lama sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam urusan pedang ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku curang.”

Cu Han Bu tersenyum tenang. “Sam-ok Ban-hwa Sengjin, kami pun mendengar akan namamu sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat menunjukkan rahasianya.”

Sam-ok memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata, “Kami tidak melihat ada rahasia apa pun pada pedang ini.”

Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu berkata. “Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami perlihatkan.”

Tuan rumah memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara. “Cu-wi, lihatlah baik-baik!”

Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah sinar berkilat keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas, kemudian menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!

“Bagus sekali!” Sim Hong Bu berteriak memuji. “Locianpwe, bagaimana hal itu dapat terjadi?”

Tuan rumah tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya, “Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga sinkang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan.”

Semua orang merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil berkata, “Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan pihak kami sendiri.” Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toaso-nya sungguh pun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di paha Yeti. “Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya kembali dari tangannya.”

Sim Hong Bu juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia kemudian menerima pedang itu, dan menyerahkan kepada Yeti sambil berkata, “Yeti, kalau engkau telah menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani memaksa, hanya aku akan kecewa.”

Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!

“Yeti, engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?” tanya Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap diam saja.

Girang dan legalah hati Hong Bu. “Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih budiman dari pada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!” Maka Hong Bu tidak ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu sambil berkata, “Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan barang orang lain, dan Yeti, biar pun bukan termasuk manusia, namun berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para pendekar.”

Cu Han Bu memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang, “Amat sukar menemukan makhluk seperti Yeti, namun lebih sukar lagi menemukan seorang anak seperti engkau, Sim Hong Bu.” Kemudian dia menerima pedang itu dan menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam.

Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk. “Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”

Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung.

Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu. Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat baik, masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!

Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah kemudian bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.

Kakek buyut dari ketiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara nenek moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang ahli perak, dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah seorang ahli pembuat pedang yang amat baik.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang pendek dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya, akan tetapi kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa malam tadi dia bermimpi melihat seekor naga terbang melayang turun dan kemudian menghilang ke belakang rumahnya, masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di belakang rumah mereka.

“Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ,” pintanya berkali-kali.

Karena melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat semula, lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu Hak.

Kakek yang sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru girang. “Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat. Ah, pantas saja bersemangat naga.”

Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata ‘naga’ itu ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.

“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan tetapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapa pun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan menganggap bahwa pedang itu telah lenyap begitu saja. Sampai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toaso kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi dengan hadiah sekadarnya.”

“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.

“Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu. Tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia melanjutkan. “Tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biar pun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu.” Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli ginkang yang luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai terbang saja!

Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam ‘penyakit’ yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andai kata harus kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu!

Sebelum Cu Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.

“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek (Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu.

Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lazim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk anaknya, sungguh pun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu itu.

Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali. Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu dengannya, padahal hampir semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.

“Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya,” kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya yang kereng.

Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biar pun usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!

“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang menyebutku dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”

Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!

“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang yang telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!” Baru saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim serangan dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.

Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini tubuhnya sedang melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan dahsyat!

“Bagus....!” Si Ulat Seribu memuji.

Selain terkejut Si Ulat Seribu juga gembira sekali karena ternyata lawannya ini pun merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Dia cepat mengelak dan kini kedua orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat buruk dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari setiap serangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya!

Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat Seribu tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat belaka, untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu silatnya yang aneh dan ginkang-nya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh melengkung-lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat gesitnya sehingga beberapa kali Tang Cun Ciu sendiri sampai terkejut.

Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih lebih unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih asli dan lebih tinggi. Bahkan dalam gerakan yang mengandalkan ginkang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja, namun intinya kalah kuat.

Itulah sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak hebat dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan diri dari serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan indah. Dan akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang menggetarkan jantung, tubuhnya mencelat ke atas menukik turun dan seperti garuda menyambar ular dia menyerang dari atas. Si Ulat Seribu berusaha menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya, akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toaso!”

Aneh sekali, biar pun dia amat dihormat dan disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat kepada adik mendiang suaminya ini, karena dia pun menahan serangannya dan berdiri memandang kepada Si Ulat Seribu dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah tidak menahan dan dia diserang lagi, tentu dia akan celaka, maka dia hanya melangkah mundur dan duduk kembali di atas kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Wajahnya yang buruk itu nampak semakin buruk.

“Siapa lagi di antara para tamu yang masih meragukan kepandaian kami? Boleh maju!” Karena kemenangannya, Cui-beng Sian-li menantang.

Para tamu itu terdiri dari orang-orang pandai, Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek melihat benar betapa lihainya wanita itu, memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi sehingga dia sendiri pun tidak berani sembrono untuk maju dalam pi-bu dan mencari penyakit seperti Si Ulat Seribu tadi. Akan tetapi di antara mereka terdapat Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang merasa bahwa merekalah yang merupakan orang-orang paling pandai di dunia persilatan.

Lima orang kakek sakti ini sudah saling pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun merasa tidak puas bahwa perjalanan susah payah mereka untuk merebut pedang pusaka itu berakhir seperti ini, hanya menjadi tamu di Lembah Suling Emas dan melihat pedang pusaka yang diinginkan itu kembali kepada pemiliknya. Tentu saja diam-diam mereka mencari akal untuk dapat merampas pedang itu, bahkan begitu mereka tahu bahwa tempat itu adalah Lembah Suling Emas yang tentu menyimpan banyak macam pusaka, diam-diam mereka merasa girang dan timbul keinginan mereka untuk dapat merampas pusaka-pusaka yang berada di tempat tersembunyi itu.

Akan tetapi mereka pun bukan orang-orang bodoh yang sembrono. Mereka maklum bahwa mereka berada di tempat berbahaya, tempat yang hanya mempunyai hubungan dengan dunia melalui jembatan terbang itu, dan bahwa pihak tuan rumah terdiri dari orang-orang yang lihai, maka semenjak mereka datang, mereka belum melihat cara yang baik untuk dapat memetik keuntungan dari kunjungan ini. Ketika melihat Si Ulat Seribu beraksi, diam-diam mereka menjadi girang. Mungkin inilah kesempatan itu, ialah dengan cara berpibu! Dalam pi-bu itu, kalau mereka berlima dapat mengalahkan pihak tuan rumah, bukankah mereka memperoleh kekuasaan? Dan menguji kepandaian pihak tuan rumah melalui pi-bu adalah cara yang halus dan tidak kentara!

Betapa pun juga, kegirangan mereka itu dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka menyaksikan sepak terjang wanita cantik yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu. Wanita itu saja sudah demikian lihainya! Dari gerakan Cui-beng Sian-li ketika melayani Si Ulat Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa tingkat kepandaian wanita itu saja sudah mampu mengimbangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok! Dan hal ini berarti bahwa yang agaknya dapat dipastikan untuk dapat menghadapi Cui-beng Sian-li hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toa-ok sendiri. Dan di pihak tuan rumah masih ada tiga orang saudara Cu itu yang mereka belum dapat mengukur sampai di mana kelihaian mereka.

Sam-ok Ban-hwa Sengjin adalah orang yang cerdik, paling cerdik di antara lima Im-kan Ngo-ok. Karena kecerdikannya itulah maka dia pernah diangkat menjadi Kok-su dari Negara Nepal. Dan di antara lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang dianggap sebagai pengatur siasat, bahkan Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan adik ke tiga ini. Maka kini empat pasang mata itu pun memandang kepada Sam-ok seolah-olah mereka menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga ini untuk mengaturnya.

Sam-ok lalu bangkit dan sambil tersenyum dia menjura dan memuji. “Hebat.... hebat sekali. Sudah lama kami mendengar kebesaran nama majikan Lembah Suling Emas dan ternyata nama besar itu bukan kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak tahu diri sehingga membentur batu karang! Karena itu kami Im-kan Ngo-ok amat kagum sekali. Dan kami percaya bahwa tidak ada seorang pun di antara para tamu yang akan berani menganggap pihak tuan rumah kurang patut memiliki pedang pusaka itu.”

Cui-beng Sian-li yang masih berdiri itu tersenyum. Dia paling tidak suka mendengar orang bicara bertele-tele dan berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan berkata dengan suara mengejek. “Kalau Im-kan Ngo-ok hendak menguji kepandaian kami pun boleh saja! Perlu apa banyak bicara memuji-muji kosong? Kami tidak butuh pujian.”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dan nyaring, disusul suara melengking tinggi. “Cui-beng Sian-li bicara besar! Apa dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari bocah-bocah penakut? Biar aku mencobanya, Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio sudah berada di depan Cui-beng Sian-li.

Sungguh mereka merupakan dua orang wanita yang amat berlawanan. Yang seorang bertubuh ramping dan berwajah cantik, yang ke dua juga bertubuh ramping seperti tubuh wanita muda, akan tetapi karena mukanya ditutup topeng tengkorak, maka amat menyeramkan, bahkan lebih menakutkan dari pada wajah Si Ulat Seribu yang buruk itu. Dari balik topeng tengkorak itu mengintai sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong dan liar seperti mata setan, dan rambut di kepala itu telah putih semua.

Melihat Ji-ok telah maju, Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri. Dia sendiri merasa bahwa dia akan dapat menundukkan wanita cantik itu, akan tetapi karena Ji-ok juga wanita dan lebih tepat untuk menguji lawannya yang juga perempuan, maka dia pun mengalah dan mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.

Suara Ji-ok yang melengking nyaring itu membayangkan adanya khikang dan sinkang yang amat kuat, maka Cu Han Bu memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Cu Kang Bu. Pria tinggi besar dan gagah perkasa yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini lalu bangkit berdiri dan segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li yang agaknya sudah bersiap untuk menandingi Ji-ok.

“Harap Toaso yang sudah capek melayani lawan suka mengaso, biar aku saja yang menghadapi Ji-ok.”

Melihat munculnya adik iparnya ini, Cui-beng Sian-li mengangguk dan dia kembali ke tempat duduknya, lalu menyambar cawan araknya, mengisinya dengan arak dari guci dan meminumnya. Sementara itu, pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu kini sudah menghadapi Ji-ok. Suaranya lantang dan kasar ketika dia berkata dengan sikap gagah.

“Aku Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang tersohor kejam, jahat dan lihai! Maka sekarang dapat memperoleh kesempatan untuk bertanding, sungguh aku merasa girang!”

Semua orang terkejut. Betapa besar bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya yang bernama Cu Kang Bu ini. Orang ini memiliki watak yang sama dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dan gagah. Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan rahasia dalam hatinya. Maka begitu bertemu, dengan jujur dan dengan suara yang tidak mengandung ejekan melainkan sewajarnya, dia telah mengatakan Ji-ok kejam dan jahat! Julukannya adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) yang juga merupakan julukan yang terang-terangan, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.

Seperti semua tokoh di Lembah Suling Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak terkenal sama sekali, bahkan kalah terkenal dibandingkan dengan Cui-beng Sian-li yang menjadi Toaso-nya itu. Oleh karena itu, Ji-ok belum pernah mendengarnya dan tentu saja orang nomor dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang rendah.

Akan tetapi watak Im-kan Ngo-ok memang aneh. Mereka sudah menggunakan julukan Ngo-ok (Lima Jahat) dan ini bukan nama kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini bukan merupakan suatu hal buruk yang patut membuat mereka malu, sebaliknya malah, mereka itu seperti mengagungkan kejahatan dan malah merasa bangga kalau disebut jahat dan kejam! Oleh karena itu, ketika Cu Kang Bu secara jujur menyebutnya kejam dan jahat, Ji-ok tersenyum di balik kedoknya dan sepasang mata di balik kedok itu berseri-seri!

“Hi-hi-hi-hik, bagus sekali! Aku girang sekali mendengar bahwa namaku sampai dikenal di tempat yang tersembunyi ini. Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak mewakili pihak tuan rumah menguji kepandaianku? Bagaimana kalau sampai engkau terluka parah atau mati? Ketahuilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu ada yang mati!”

Cu Kang Bu tertawa dan wajahnya nampak tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bicaramu lucu sekali, Ji-ok! Pi-bu, kalah, menang, luka dan mati adalah hal-hal yang merupakan rangkaian tak terpisahkan. Sudah berani pi-bu tentu berani kalah, luka atau mati. Akan tetapi ingat, hal itu berlaku untuk kedua pihak. Bukan hanya aku yang mungkin luka atau mati, akan tetapi engkau juga.”

“Hi-hik, bagus! Kalau begitu bersiaplah engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru saja dia berkata demikian, tahu-tahu Ji-ok sudah menubruk maju, kedua tangannya membentuk cakar-cakar setan dan gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah kedua mata lawan sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah kemaluan! Bukan main bahayanya serangan ini, semacam serangan yang amat curang dan kotor, yang tidak akan dilakukan oleh ahli silat tinggi.

“Duk! Desss!”

Serangan maut itu sama sekali tidak dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan ditangkis dengan kekerasan! Kedua lengannya yang kuat itu menangkis dengan pengerahan tenaga dan adu lengan itu membuat Ji-ok meringis di balik kedoknya karena kedua lengannya yang kecil itu seolah-olah bertemu dengan dua batang baja besar yang amat kuat!

Ji-ok bukan seorang ahli silat sembarangan. Tangkisan yang amat kuat itu biar pun membuat kulitnya terasa nyeri, akan tetapi tidak sampai melukai lengannya dan dia yakin akan kekuatan lawan yang berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu, maka dia pun mengandalkan kecepatan gerakannya dan mulailah dia menghujani lawan dengan serangan-serangannya. Setiap serangan merupakan serangan maut yang mengerikan, dan sekali saja tangan Ji-ok mengenai sasaran, akan celakalah lawannya.

Pihak tuan rumah memandang dengan alis berkerut, maklum betapa kejinya serangan-serangan yang dilakukan oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas dinamakan pi-bu atau mengadu ilmu silat untuk mengukur kepandaian masing-masing, lebih patut dinamakan serangan-serangan yang mengarah nyawa lawan!

Akan tetapi, betapa terkejut hati Ji-ok ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu, betapa cepat dan kuatnya karena dia mengerahkan segenap tenaganya, tidak ada satu pun yang mampu membobol pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu bergerak dengan tenang sekali, mantap dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh benteng baja yang tercipta dari gerakan tubuhnya, setiap serangan dapat ditangkisnya dengan sangat mudah dan sekali-kali dia membalas dengan tamparan atau dorongan tangan yang mengandung kekuatan dahsyat!

Ji-ok bukan seorang bodoh. Setelah melakukan penyerangan hampir lima puluh jurus lamanya, dia sudah tahu bahwa tingkat kepandaian lawannya itu ternyata luar biasa tingginya dan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan! Maka dia pun kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah mempergunakan ilmunya yang terbaru, ilmu dahsyat sekali yang merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang)! Jari telunjuknya bergerak dan hawa yang seperti kilat cepatnya, amat dingin dan tajamnya seperti pedang pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang Bu! Hawa pukulan jari mukjijat ini mengeluarkan suara bercuitan amat mengerikan.

Cu Kang Bu maklum akan hebatnya pukulan itu, dia mengenal ilmu mukjijat. Cepat dia menangkis dengan dorongan telapak tangannya dari samping dan memutar lengan.

“Bretttt....!” Tetap saja lengan bajunya dekat pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan dari Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka, maka kulit pangkal lengannya ikut terobek dan mengeluarkan sedikit darah, seperti bekas dicakar kucing!

“Hi-hi-hik!” Ji-ok tertawa mengejek di balik kedoknya, akan tetapi suara tertawanya itu segera terhenti karena Cu Kang Bu kini sudah menyerangnya dengan hebat, kedua lengan yang besar kuat itu bergerak-gerak bergantian ke depan, kedua kakinya juga menggeser maju. Dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak berani menghadapi dengan kekerasan, maklum akan kekuatan lawan, maka dia sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke sana-sini, terus didesak oleh lawan.

Ji-ok menjadi marah sekali. Dia harus menang, demikian pikirnya. Di depan begitu banyak orang kang-ouw, akan rusaklah nama besarnya kalau sampai dia kalah oleh seorang lawan yang sama sekali tidak memiliki nama besar di dunia persilatan, walau pun sungguh harus diakui bahwa tingkat kepandaian lawannya ini benar-benar amat tinggi. Dia mengeluarkan bentakan yang menggetarkan seluruh tempat itu dan tiba-tiba, dalam keadaan terdesak itu dia mengirim serangan balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke depan seperti sepasang pedang dan ada hawa pukulan yang amat dingin menyambar dahsyat ke arah lawan!

Diam-diam Cu Kang Bu terkejut. Serangan ini adalah serangan mengadu nyawa, karena wanita berkedok tengkorak itu menyerang dengan sepenuh tenaga tanpa mempedulikan penjagaan diri lagi, pendeknya ingin membunuh lawan dengan taruhan nyawa sendiri! Tentu saja dia tidak sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati bersama lawan yang amat keji dan jahat ini. Dia pun mengeluarkan seruan panjang dan kedua tangannya dibuka menyambut terjangan ganas itu.

“Bressss....!”

Dua tenaga sakti bertemu amat hebatnya dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpelanting dan terbanting ke belakang sampai bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap berdiri, akan tetapi kedua lengannya berdarah karena kulitnya tergores seperti tergores pedang. Dia menderita luka tergores kulitnya dan mengeluarkan darah sedangkan Ji-ok terbanting keras, maka dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah yang menang, sungguh pun mengenai ilmu pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci yang amat ganas dan dahsyat!

Ji-ok sudah meloncat bangun kembali, dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tiba-tiba terdengar gerengan keras, nampak bayangan besar berkelebat dan tahu-tahu Yeti, makhluk raksasa itu telah berdiri di depannya dengan sikap beringas dan mengancam! Yeti mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar, menggereng dan memukul-mukul dada dengan tangan kiri seolah-olah menantang lawan, dan kemudian tangan kanannya menunjuk-nunjuk keluar sambil menggereng. Jelas sekali gerakannya ini, yaitu dia menantang Ji-ok kalau mau berkelahi, dan mengusir semua orang agar pergi meninggalkan tempat itu!

“Cuuuttt....!” Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok, yaitu telunjuk kirinya telah mengirim serangan ke arah Yeti. Makhluk itu menggereng saja, seolah-olah kurang cepat mengelak dan hawa pukulan dari telunjuk kiri itu mengenai dadanya, disusul telunjuk itu menotok dadanya.

“Dukkkk!”

Ji-ok berteriak dan meloncat ke belakang. Hampir patah telunjuknya ketika mengenai dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki kekebalan yang amat luar biasa sehingga ilmu pukulan itu tidak mempan. Dan pada saat itu Yeti menggerakkan lengannya. Hampir saja kepala wanita berkedok itu kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.

Melihat makhluk itu menyerang Ji-ok, Toa-ok sudah cepat bergerak ke depan, kedua tangannya membuat gerakan memutar dan ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti! Tubuh Yeti yang tinggi besar itu terbawa oleh angin dahsyat ini sampai terhuyung, akan tetapi ketika Toa-ok menampar dengan tangan kiri, Yeti juga menggerakkan tangannya dan tak dapat dicegah lagi dua dengan itu saling beradu.

“Dessss....!”

Dan akibatnya, mereka berdua terpental ke belakang! Bukan main kagetnya hati Toa-ok. Dia tadi telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang paling kuat, namun Yeti itu dapat menangkisnya dan ternyata tenaga mereka seimbang! Dan dia tahu benar bahwa Yeti itu juga memiliki tenaga sinkang, bukan hanya tenaga otot seperti layaknya binatang buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan terheran-heran.

Seperti juga tadi, Yeti memukul-mukul dada sendiri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menunjuk keluar seperti orang mengusir. Ngo-ok berlima kini sudah mengepung Yeti dengan sikap mengancam. Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri dan berkata, suaranya berwibawa dan tegas, “Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan tidak membikin ribut di tempat kami!”

Lima orang datuk kaum sesat itu melirik ke arah Cu Han Bu. Ji-ok mengeluarkan suara ketawa mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga tersenyum menyeringai. Tentu saja di dalam hati mereka tidak sudi mentaati permintaan orang yang dianggap masih muda itu. Akan tetapi berbeda dengan saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok yang cerdik melihat betapa selain Cu Han Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat dan Cu Kang Bu sudah bangkit berdiri, juga Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai sekali, dan keluarga Cu itu pun tak boleh dipandang ringan, maka kalau mereka nekat, tentu mereka berlima akan mengalami rugi.

Toa-ok lalu tersenyum ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu sambil berkata, “Maaf.... maaf.... kami hanya main-main saja melihat Yeti menantang.”

Cu Han Bu memandang kepada Sim Hong Bu dan berkata, “Bujuklah dia agar jangan membikin ribut.”

Hong Bu lalu menghampiri Yeti, dipegangnya tangan Yeti itu sambil berkata. “Mari kita duduk kembali dan tidak perlu membikin ribut di tempat ini....”

Yeti masih menggereng-gereng, akan tetapi dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke pinggir.

“Pek In, kau bagi-bagikan pek-giok (batu kumala putih) itu kepada para tamu, masing-masing sebutir!” tiba-tiba Cu Han Bu berkata kepada pemuda tanggung tampan yang sejak tadi hanya menonton dengan anteng itu.

“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In. Pemuda tampan ini mengeluarkan sebuah kantung kuning, membuka tali mulut kantung dan merogoh dengan tangan kanan.

“Cu-wi, harap suka menerima pemberian hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya nyaring dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebutir batu berwarna putih bening sebesar gundu dan dia melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat Seribu. Bukan sembarang lemparan karena gundu itu berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah mata kanan Si Ulat Seribu! Tetapi wanita berwajah buruk ini dengan mudah menyambut dan menerima batu itu, memeriksanya penuh perhatian.

Cu Pek In sudah melempar-lemparkan batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah para tamu, setiap lemparan dilakukan dengan gaya yang indah namun batu itu meluncur dengan cepatnya ke arah sasaran. Karena mereka yang menjadi tamu adalah orang-orang kang-ouw yang rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka semua dapat menerima lontaran batu itu dengan mudah, tetapi diam-diam mereka pun terkejut karena mereka dapat merasakan betapa tenaga lontaran pemuda tanggung itu sudah mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat!

Hanya Hong Bu yang tidak diberi batu itu, demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu, pemuda tanggung yang tampan itu berkata halus. “Karena engkau dan Yeti telah mengembalikan pedang pusaka kami, maka Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah kepada kalian.”

Hong Bu tidak menjadi kecewa. Dia tidak mengharapkan dan membutuhkan hadiah. Dikembalikannya pedang pusaka kepada keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan bahkan sudah sepatutnya, maka dia tidak mengharapkan upah apa pun.

“Harap Cu-wi tidak memandang rendah batu kecil itu,” terdengar Cu Han Bu berkata kepada para tamu yang masih meneliti batu sebesar gundu di tangan mereka. “Itu adalah pek-giok tulen yang terdapat dalam tempat rahasia di Pegunungan Himalaya, dan sebagai orang-orang kang-ouw, tentu Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang tulen. Apabila terkena racun apa pun, dia akan berubah menjadi hijau. Dengan pek-giok di tangan, Cu-wi takkan sampai terjebak oleh makanan beracun.”

Semua orang tahu akan kegunaan pek-giok itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil itu ke dalam saku baju masing-masing.

“Sekarang kami persilakan Cu-wi untuk meninggalkan tempat kami. Jite dan Sam-te, kalian antar mereka keluar lembah. Sim Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di sini, kami akan bicara dengan kalian.”

Sebetulnya penahanan tuan rumah terhadap Sim Hong Bu ini ada maksudnya. Melihat betapa pemuda tanggung itu tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan para orang kang-ouw itu selain lihai juga di antara mereka banyak terdapat orang-orang jahat seperti Im-kan Ngo-ok, maka melepas pemuda itu bersama mereka merupakan hal yang amat berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi kalau pemuda itu membawa hadiah pusaka yang berharga, tentu akan dirampas oleh mereka. Biar pun ada Yeti yang agaknya melindungi pemuda itu, namun Yeti berada dalam keadaan terluka dan hal ini diketahui benar oleh pihak tuan rumah yang bermata tajam itu. Oleh karena itulah maka Cu Han Bu sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya dari tempat itu tidak berbareng dengan rombongan itu.

Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu lalu mengantar rombongan itu yang berjumlah delapan belas orang, diikuti pula oleh Tang Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika mereka memasuki lembah, kini mereka pun harus menggunakan satu-satunya jalan keluar, yaitu melalui jembatan tambang yang berbahaya di atas jurang yang amat lebar dan dalam itu. Setelah mereka semua menyeberang sampai ke seberang sana, tiba-tiba tali yang menjadi jembatan itu dikendurkan dan tali itu turun ke bawah sampai lenyap di balik kabut yang memenuhi jurang di bawah itu.

Ketika Cu Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut Istana Lembah Suling Emas itu, terjadi keributan di situ. Kiranya, setelah rombongan orang-orang kang-ouw itu pergi, tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh terpelanting. Sim Hong Bu terkejut sekali dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti. Ternyata Yeti itu telah roboh pingsan dan dari mulutnya keluar darah menetes-netes!

“Yeti....! Yeti....! Ah, Locianpwe, tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu Han Bu cepat menghampiri dan memeriksa keadaan Yeti dengan meraba dada, memeriksa urat nadi dan lain-lain. Dan tuan rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti ini telah parah sekali keadaannya, bukan hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga jalan darahnya kacau-balau dan ada tanda-tanda bahwa darahnya keracunan hebat!

“Mari kita membawanya ke dalam untuk dirawat,” katanya singkat dan dengan bantuan Hong Bu, mereka menggotong tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan merebahkannya ke atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar kosong.

Cu Han Bu lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat menolong Yeti. Ketika itulah dua orang adiknya dan twako-nya kembali dari mengantar para tamu dan mereka pun terkejut mendengar bahwa Yeti telah pingsan dengan tiba-tiba dan keadaannya payah sekali!

suling emas naga siluman jilid 05


"Agaknya luka oleh Koai-liong-pokiam yang lama itu telah membuat dia keracunan dan kini darahnya telah keracunan, juga perlawanannya terhadap banyak orang kang-ouw mendatangkan luka parah dalam tubuhnya. Dan lebih-lebih lagi ketika dia tadi beradu tenaga dengan Twa-ok, agaknya hal itu membuat lukanya semakin parah. Keadaannya mengkhawatirkan sekali, betapa pun juga, kita harus berdaya untuk menolongnya,” kata Cu Han Bu kepada adik-adiknya dan Toaso-nya.

Mereka berempat lalu pergi ke kamar itu dan Cu Han Bu sudah membawa obat-obat yang diperlukan. Namun ketika mereka tiba di depan kamar, mereka terkejut mendengar suara Hong Bu yang memanggil-manggil sambil meratap sedih. “Ouwyang-locianpwe....! Ouwyang-Locianpwe, kau.... sadarlah.”

Cu Pek In yang diam-diam datang pula di belakang ayahnya dan paman-pamannya, mendengar suara Hong Bu itu segera berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah menjadi gila!”

Akan tetapi ayahnya dan dua orang pamannya tidak mempedulikannya dan segera meloncat masuk kamar. Mereka melihat Hong Bu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh Yeti sambil menangis! Kiranya Hong Bu yang melihat keadaan Yeti yang terus mengeluarkan darah dari mulut itu menjadi sedemikian khawatir dan kasihan sehingga dia memanggil-manggil dengan nama itu karena dia yakin bahwa sesungguhnya Yeti adalah penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang riwayatnya dia baca dalam goa es. Apalagi ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti dalam keadaan tidak sadar, “Loan Si.... Loan Si....,“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.

Melihat masuknya keluarga Cu, Hong Bu sadar dan terkejut bahwa dia telah membuka rahasia itu, maka untuk menutupinya dia berkata, “Locianpwe, harap Locianpwe sudi menolong Yeti....“

Akan tetapi Cu Kang Bu yang kasar itu telah menangkap bahunya dan menariknya bangun. “Kau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?!” Pertanyaan itu amat keras dan agak membentak.

Akan tetapi Hong Bu adalah seorang anak yang luar biasa tabah dan tidak pernah mengenal takut. Makin diperlakukan dengan kasar, dia akan semakin melawan. Maka dengan mata melotot dia menatap orang yang mencengkeram bahunya itu tanpa menjawab! Melihat ini, Cu Kang Bu yang paling menghargai keberanian diam-diam merasa kagum sekali. Dan Cu Han Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu, engkau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe, ada hubungan apakah nama itu dengan Yeti ini?”

Ditanya secara halus, kemarahannya Hong Bu yang sudah dilepaskan bahunya itu menjadi cair, dan dengan muka menunduk dan halus dia berkata, “Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani bicara tentang itu....“

“Sim Hong Bu, engkau menyebut nama Ouwyang-locianpwe, apakah engkau hendak maksudkan bahwa Yeti ini adalah seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”

Diam-diam Hong Bu terkejut dan menyesal sekali bahwa dalam kekhawatirannya akan keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri dan menyebut-nyebut nama itu, Ouwyang Kwan telah bersusah payah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai Yeti, tentu ada sebabnya, maka jika dia sekarang membuka rahasia sungguh dia merasa bersalah besar terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong jiwanya berkali-kali itu.

“Tidak.... tidak tahu.... saya tidak berani bicara....,” ratapnya.

“Ahhh, tidak mungkin!” kata Cu Kang Bu keras.

“Dia ini.... Ouwyang Kwan....? Mana mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.

Tiba-tiba Yeti yang tadi tidak bergerak-gerak itu mengeluarkan suara gerengan, Hong Bu meloncat bangun dan menubruk dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengaar Yeti itu bicara, suaranya kaku dan aneh, seperti suara orang yang sudah hampir lupa akan bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku adalah.... Ouwyang.... Kwan....“

Mendengar ini, tiga orang pria itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan sambil menyebut, “Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu juga ikut menjatuhkan diri dan juga Cu Pek In lalu berlutut sambil memandang dengan mata terbelalak.

Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang Kwan benar adalah Yeti ini dan ternyata masih keluarga orang-orang gagah ini! Malah mereka menyebut Twa-pek, berarti bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti adalah kakak dari ayah tiga orang she Cu itu.

“Ouwyang Twa-pek.... kenapa Twapek menjadi begini....?” Cu Han Bu bertanya dengan suara halus penuh penghormatan.

“Kretttt....!”

Mendadak Yeti itu menggunakan kedua tangannya merobek bibirnya yang tebal dan terobeklah muka Yeti menjadi dua, dan nampak kini wajah seorang laki-laki yang tua, sedikitnya ada tujuh puluh tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya sudah putih semua, dan sepasang matanya kelihatan penuh kedukaan. Kiranya Yeti itu hanya merupakan kedok saja, kedok yang amat bagus dan agaknya sudah menempel pada muka pria itu karena ketika dirobek, ada sebagian leher dan pipi kakek itu yang lecet-lecet dan berdarah! Kedua mata tua itu berlinang air mata dan dari ujung mulutnya masih menetes-netes darah segar.

Dengan suara yang amat kaku karena puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu lalu berkata lirih dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian. “Aku.... aku seperti baru sadar dari mimpi buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku sadar bahwa aku telah berubah menjadi makhluk ganas....“

“Harap Twa-pek jangan berkata demikian. Twa-pek terlampau lelah dan terluka, biarlah kami merawat Twa-pek sampai sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek mengaso...,“ kata Cu Han Bu dengan lembut.

Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan tangan Yeti. “Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih dahulu menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan meninggalkan pesan untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu mengelus kepala Sim Hong Bu yang masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.

Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar. Ibunya she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia diberi hak untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang kepada cucu luar yang berbakat ini.

Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, terjadilah malapetaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri yang masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si, seorang wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu!

Karena dia bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan terjadilah perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan. Dalam pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai dengan julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam Lok memiliki ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu melerai dan melihat bahwa keluarga pihak mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu menegur Ouwyang Kwan dan minta maaf kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.

Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Namun, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!

“Aku.... aku berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas....,” demikian kakek yang menyamar sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar.

Semua orang mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para tokoh kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas karena dicuri dan dilarikan oleh seorang anggota keluarga mereka sendiri!

Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Melihat keadaan kakek itu yang payah, beberapa kali para anggota keluarga Cu itu hendak menghentikan ceritanya, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan bahwa ceritanya itu merupakan pesan terakhir!

Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih seru dan dahsyat lagi. Tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam, sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini, Ouwyang Kwan membuat lawannya terdesak hingga akhirnya Sin-ciang Eng-hiong tidak kuat melawan terus dan melarikan diri bersama isterinya.

Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau lebih tepat, kehebatan Koai-liong-pokiam karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat membuat lawannya repot. Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan tak akan mampu menandingi Kam Lok.

Dan akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya dan bersembunyi di dalam goa batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar sebelum dia dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus mencari dan bertemulah kedua orang musuh besar ini di dalam goa! Terjadilah perkelahian mati-matian yang amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok dan pendekar itu pun tewaslah!

Akan tetapi, kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Biar pun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak berhasil menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si hanya mencinta seuaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia tidak hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan timbul rasa bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya!

Segala bujuk rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk menggunakan kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang begitu rendahnya untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya sehingga dia tak tega untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela! Ternyata hal itu sama sekali tidak mungkin sehingga akibatnya ia sendiri yang merana dan mulailah dia menyalahkan perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama sekali tidak bersalah kepadanya itu.

Betapa pun juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang membuat dia makin merana. Api birahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa takutnya Loan Si melihat seekor beruang besar di luar goa, Ouwyang Kwan lalu mendapat akal. Diam-diam ia membunuh beruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu memakai kulit beruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merubah muka atau kulit muka beruang itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan. Dengan penyamaran ini, dia hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar dalam keadaan takut itu Loan Si mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya, dan menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya!

Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan setengah mati. Munculnya beruang setengah monyet setengah manusia itu amat mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh makhluk ini dari pada minta tolong kepada Ouwyang Kwan!

Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si menyerahkan dirinya kepada Yeti! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya tergila-gila, menolaknya mati-matian dan sekarang justru menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu mengerikan, menjijikkan dan menakutkan!

Akan tetapi, oleh karena yang menjadi Yeti itu adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan diri wanita yang membuatnya tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang dibiarkan membeku dalam tumpukan salju dan es di dalam goa itu! Walau pun dia masih menyamar sebagai Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya malam itu kepada Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain pihak, Loan Si juga merasa betapa dia jatuh cinta kepada makhluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa itu, saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan juga dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh wanita yang dicintanya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri dengan suka rela, bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi perasaan malu terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah menonton perbuatannya yang berjinah itu, jauh lebih besar dari pada rasa senangnya. Dia malu, dan dia merasa telah mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat pedang pusaka Koai-liong-pokiam menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang itu dan di lain saat pedang itu telah menembus jantungnya!

Bercerita sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku manusia berdosa.... aku telah menjadi Yeti, makhluk buas....!” demikian keluhnya.

Semua pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di dalam goa itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.

“Melihat wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku, bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang Koai-liong-pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku telah gila....!” Kembali Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah kakek itu!

Kemudian, dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak dada, Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun lalu mendudukkan wanita yang tercinta itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es seperti keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung, apalagi ketika ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan catatan Loan Si yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya, akan tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya sebelum membunuh diri, Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku catatan itu. Makin hancur rasa hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia, lebih patut menjadi makhluk buas Yeti!

“Pedang pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam jurang yang curam,” demikian katanya. “Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku merasa bahwa aku adalah Yeti, makhluk buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata, seolah-olah merasa ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.

“Kemudian, pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku masih mengenali pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu menyerangku. Agaknya selama aku lupa segalanya itu, hanya ilmu silat yang tak pernah kulupakan, bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun itu....!”

“Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek...,” terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu berkata ketika mendengar penuturan itu.

“Ya, engkaulah wanita itu. Dan aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini, akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai mengerti. Tubuhku telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata, namun agaknya tidak cukup kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ahhh, pedang yang kupakai membunuh Kam Lok dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu, kini ternyata mengantar pula nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak penasaran....”

Sampai di sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang dan akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual beli yang mahal, terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana. Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu menerima tugas untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat pengambilan kembali pedang ini menggegerkan dunia kang-ouw.

Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang sedang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang makhluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata makhluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah Pegunungan Himalaya.

Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat.

Dengan napas terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya amat panas itu memberi isyarat kepada Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul di dalam kamar itu, lalu berkata lemah sekali.

“Dia ini sudah kupilih menjadi muridku, jadi terhitung saudara kalian sendiri. Aku telah mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini baru kalian boleh buka setelah aku mati dan kupesan agar supaya kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai berhasil menguasainya dan karena ilmu ini kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam maka kuminta kelak kalau dia sudah menguasai ilmunya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya..." Mulut itu masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.

Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan kepada ‘Yeti’ ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit beruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.

“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua, engkau tak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat. Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh Lembah Suling Emas.”

Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu, disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.

“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhu-mu yang akan membimbingmu.”

Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai ‘anggota keluarga’ Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti…..

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya karena terdampar ke ‘pulau’ yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari ‘pulau’ itu!

Biar pun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andai kata tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup suling!

Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecil Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sinkang dan khikang!

Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang Suling Emas yang asli itu!

Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.

Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang sebenarnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan?

Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.

“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau sekarang belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang lagi meniup suling emasnya.

Kam Hong tersenyum. “Ahh, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sinkang dan khikang yang paling tinggi tingkatnya!”

“Aihhh....!” Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat mata seindah itu! “Kalau begitu, kau ajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”

Kam Hong tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah, tetapi merupakan latihan sinkang dan khikang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Maka, biarlah kini kuajarkan engkau latihan sinkang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini.”

Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sinkang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biar pun mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!

Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapa pun juga, giranglah hati Kam Hong karena biar pun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sinkang-nya sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.

Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya ke arah suara itu dan berlarilah dia secepatnya.

Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biar pun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.

Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.

“Ci Sian....!” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khikang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.

“Ci Sian, di mana engkau....?!” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.

Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya bagai ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!

“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!

Ke manakah perginya Ci Sian?

Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan mala petaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti burung dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat.

Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing. Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian.

Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu, Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan.

Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!

Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ahh, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!

Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam goa di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti sebuah istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah goa yang lain, di mulut goa yang aneh sekali.

Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah goa, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut goa itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu!

Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri saat melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Pasti seorang kakek bangsa asing, melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang sangat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.

Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang aneh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”

“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.

“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”

Jadi, kalau begitu ini bukan mimpi! Dia benar-benar sudah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri dan mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.

“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?” Dia berkata, tidak percaya bahwa seekor ular, betapa pun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang terjatuh dari tempat sedemikian tingginya.

“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelitmu sehingga dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”

Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilatkan lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.

“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan wajahnya berseri.

Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari semedhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”

Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik.”

Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun. “Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana?”

“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!”

“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya kau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!”

Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”

“Ahhh, yang suka meniup suling itu?”

“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”

“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam semedhiku. Dia berkepandaian hebat!”

“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”

Kakek itu menggeleng kepala. “Tak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, jika dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”

“Ahh.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini.”

“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”

“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”

“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di goa ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita.”

“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!”

“Bukan kalah dalam ilmu silat....”

“Habis, kalah dalam hal apakah?”

“Kalah dalam menebak teka-teki.”

“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali.

“Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kongkong-nya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia selalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.

Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara.”

Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa bangsa Nepal yang bernama Nilagangga. Semenjak masih muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia pulang kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah ‘menjauhkan’ diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi dari pada orang-orang lain!

Kebanggaan diri ini telah menjadi ‘kebudayaan’ kita manusia, sejak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kini pun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam ‘paling’ lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?

Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri!

Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, kemudian menyepi, dan menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke mana pun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini!

Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.

Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, kemudian kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!


“Pada suatu hari, ketika merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa aku sengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggota keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.

“Bagaimana teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali.

Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga dari pada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam goa itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan goa sebelum dapat menjawab teka-teki itu!

“Aku mengajukan teka-teki, tetapi dia sungguh hebat, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam goa ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”

Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andai kata kakek itu meninggalkan goa, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!

“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat menebaknya untukmu.”

“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!”

“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.

“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama ‘buta hurufnya’ dengan kakek tua renta itu.

“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”

Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.

“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita,” Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat!

Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.

“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”

“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Ayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang.”

“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....,” kakek itu mengomel.

Akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan jika mereka jatuh cinta!

Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya!

Betapa pun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.

Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biar pun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!

“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu malah mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.

Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?

“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”

“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”

Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta pada seorang wanita?”

Kakek itu mengingat-ingat. “Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, memanjakan dia, membahagiakan dia,” akhirnya dia berkata dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!

“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biar pun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!”

“Sudah kau temui jawaban teka-teki itu?”

Ci Sian mengangguk. “Agaknya tidak akan keliru lagi.”

“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun berseri dan penuh harap. “Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”

“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justru menjadi kebalikannya, yaitu dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”

Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling.

Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru serta mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!

“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.

“Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”

“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”

“Ehh, bocah bodoh. Jika engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika saja engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Kini engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?”

Ci Sian menelan ludah, kini hatinya tertarik juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular....”

“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua telapak tanganmu!”

Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu, kemudian mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.

“Plak! Plak!”

“Aduhhhh....!” Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.

“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian,” kata kakek itu.

Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tidak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing.

Biar pun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!

“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?”

“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.

“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!” See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.

"Ha-ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!"

Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian lalu memperingatkan. “Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tidak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu.”

“Ha-ha-ha-ha, benar sekali. Oleh karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu.”

“Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong.”

“Ahhh, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merubah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu.”

Hati Ci Sian menjadi tertarik. “Wanita yang memberimu teka-teki itu?”

“Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temanilah aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu.”

Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang bisa membawanya kembali pada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya?

Namun dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, dari pada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang!


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 06