Kisah Sepasang Rajawali Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 26
Akhirnya senja telah tiba. Biar pun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang telah condong ke barat, sudah amat gelap sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

“Kita berhenti dulu di sini...” Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon.

Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah kelelahan.

“Dewi... Syanti Dewi... mengapa engkau begini bersusah payah untukku...” Tek Hoat mengeluh, hatinya terharu sekali.

“Janganlah mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?”

Hening sejenak. “Tujuh hari lamanya aku di kereta itu... dan selama itu engkau berada di bilik kereta depan?”

Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun, sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.

“Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?”

“Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Bilik belakang itu adalah tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika kau masih pingsan... aku merawatmu. Akan tetapi sesudah engkau siuman dan aku lalu masuk kembali ke bilik depan.”

Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu. “Dan aku... aku mengigau tentang dirimu, aku... aku bernyanyi... menyebut-nyebut namamu... kau... kau mendengar semua itu...?”

Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.

“Kalau begitu...” Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.

“Mengapa, Tek Hoat?”

“Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi.”

“Hemm, mengapa?”

“Engkau seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita dan berbudi mulia, sedangkan aku...”

“Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang perahu.”

“Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali, Dewi...”

“Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh-sungguh tak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri secara berlebihan tak ada gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan perubahan, bukan hanya sekedar penyesalan kosong belaka!”

“Maaf, akan tetapi kau... kau sungguh tidak tahu siapa aku?”

“Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah tahu lebih banyak tentang dirimu dari pada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku tak sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnya, aku lebih tahu dari pada engkau sendiri tentang dirimu.”

Tek Hoat memandang terbelalak heran. “Apa yang kau maksudkan, Dewi?”

Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya demikian hanyalah Gak Bun Beng. Baginya ada persamaan antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!

“Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kau ketahui sendiri tentang dirimu.”

Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling. “Kau berjumpa dengan ibuku? Di mana? Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?”

Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.

“Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin tahu terlebih dahulu, apakah engkau mengenal nama Gak Bun Beng?”

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram. “Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama itu!”

“Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati, bukan?”

“Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada keras.

“Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu... hal itu... akan amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut dihormati dan dikagumi...”

“Dewi! Apa maksudmu?”

“Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali bukan musuh besarnya. Katakanlah lebih dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu dan tentang Gak Bun Beng?”

“Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih hidup...”

“Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya... ehhh, kenapa kau?” Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.

“Tidak, tidak apa-apa, teruskan!” Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mendengar permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!

“Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari, bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan beberapa orang wanita itu berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Di antara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya mengetahui bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah tewas menebus dosanya. Namun ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka pemerkosanya.”

Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andai kata bukan puteri itu yang bercerita seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan marah dan akan membunuh yang bercerita itu.

“Dewi... Dewi... demi Tuhan...! Benarkah itu...?”

“Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?”

“Lalu... lalu bagaimana...? Lalu siapa orang itu? Siapa... pemerkosa Ibu dan... ayahku itu...?”

“Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she Wan.”

“Dan... dan Ang Thian Pa... ahhh, bisa jadi dialah kakekku... bekas ketua Bu-tong-pai... ahh, Ibuuu...!” Tek Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan.

Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-manggil.....

********************

Panglima Jayin dan para anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!

“Celaka, kita kena diperdaya musuh!” Jayin berseru dan dia kemudian menyebar orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.

“Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.

“Suhu, mengapa tidak semenjak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?” Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini mengakibatkan mala petaka.

“Betapa pun juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang merasa khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata.

Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring, “Heiiiii...! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini...!”

Semua orang menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su mau pun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan dengan Suma Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon. Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini amat menggirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut Kian Bu.

Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk bernapas lagi! Siang In teringat akan pertemuannya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikian menutupi mulutnya dia kemudian menceritakan dengan suara nyerocos tiada hentinya tentang pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.

“Kau ingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat itu. Engkau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!” Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik tangan Kian Bu pergi dari situ.

Semua orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah sekali. Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.

“Nah, kaulihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?” Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya.

Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan pula. Kian Bu yang sekarang adalah seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan, sudah pernah menghamba kepada nafsu birahi.

Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali, tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping hidung yang mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.

“Kau... menggemaskan...!” Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai lama tidak dilepaskannya.

Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tidak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari kerongkongannya hanya keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan kanannya menyambar ke depan.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.

“Kau... kau... jahat! Kau menjijikkan...!” Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri!

Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis tersedu-sedu.

“Ehhh, ada apa? Apa yang terjadi?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menerus menangis.

“Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?” tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan keras dan masih terus menangis, menyembunyikan mukanya di baju suhu-nya.

Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi. Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka!

Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah.

Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In! Dia merasa serba salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan. Ketika mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia amat terkejut dan khawatir sekali. Betapa pun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu masih belum sembuh.

Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui. Andai kata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru seorang Hong Kui, biar ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat, membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadi pun dia tidak dapat menahan diri!

Kini, Syanti Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini.

Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi barulah dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah sehingga tidur di atas pohon itu terasa amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon. Ketika dia memandang ke bawah, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan menengok ke kanan kiri.

“Tidak salahkah kau, Tambolon?” Terdengar nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu kalau puteri itu tidak berada di sini.”

“Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Kemana lagi kalau tidak ke hutan lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek Hoat yang sudah terluka.”

“Hehh, pemuda itu memang hebat!”

“Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan masih terkena pukulan dan tendangan. Andai kata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu melawan lagi.”

Mereka melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh dan dengan hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun cepat berhenti

Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak. “Aku mendengar suara orang!” bisiknya. Tambolon terkejut, memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.

“Tidak ada suara, Subo.”

“Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari belakang.”

Tambolon membalik dan memandang ke belakang. Sunyi-sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subo-nya yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka lihat tadi.

“Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka pergi.”

“Ke mana?”

“Aku sudah mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya ke sanalah mereka.”

“Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar kaki!” nenek itu mengomel lagi.

Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang walau pun tidak mendengar dengan telinganya, mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.

“Ssssttt...!” Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini.

Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon. Jantungnya berdebar tegang.

Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.

Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri jelita ini merupakan orang yang sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seakan-akan di dalam tangannya dia memegang kekuasaan atas Raja Bhutan. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali.

Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang mengambil air dengan periuk butut itu.

“Bressss...!”

“Aihhhh...!” Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika menoleh dia melihat Tambolon menubruknya.

Akan tetapi pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang barusan menghalanginya adalah pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat lihai itu.

“Keparat, berani engkau menghalangiku?” bentaknya.

“Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.

“Bu-koko...!” Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali. Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia menjauhkan diri dari mereka yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.

“Syanti Dewi, kau larilah cepat...!” Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sinkang yang amat dingin.

Tambolon terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram. Namun kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan Tambolon masih terlampau lambat.

Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), kemudian dirubah dengan jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa).

Dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biar pun dia memegang pedang, Tambolon yang kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar, dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu yang mengandung Swat-im Sinkang membuat dia menggigil dan jerilah raja liar ini.

“Subo, tolong...! Subo...!”

Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilarnya tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.

“Suboooo...!” Tambolon berteriak.

“Desss...!”

Tubuhnya terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja menggulingkan dirinya ke dekat subo-nya, tidak peduli pakaiannya sudah menjadi kotor semua.

“Subo... Subo... bangun, bangun..., tolonglah aku!” Sekarang ia mengguncang-guncang tubuh subo-nya.

“Aaaahhhh, plak-plak! Aduh...!”

Memang sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras, Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai bengkak-bengkak!

“Subo, ini aku...! Itu di sana barulah musuhku...!” Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya karena tamparan nenek itu.

“Apa...? Heeii..., kaukah itu? Siapa? Mana...?” Nenek itu masih juga bingung karena semangatnya masih tertinggal di luar setengahnya.

“Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!” Tambolon menuding.

Kini Nenek Durganini baru dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok dia lalu menghampiri Kian Bu.

“Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?!” Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

“Wirrr... siuuut...!” Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu.

Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.

“Plakkk!”

“Aihhh... dingin... dingin bukan main...!” Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya. “Coba kau lawan ini, orang muda yang banyak tingkah!”

Suma Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan sinkang-nya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan. Namun, sebagai seorang putera pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sinkang dia dapat melawan pengaruh sihir.

Dia sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan terpengaruh juga. Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan tetapi Kian Bu, biar pun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan kiri.

“Blarrrr... darrrrr...!”

Bukan main hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es. Biar pun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!

“Aihhhh...!” Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali hingga terdengar amat tajam seperti mengiris jantung. “Bocah lancang..., lihat ini...!”

Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi kemudian memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai, ibunya sendiri!

“Ibu...!” Dia berteriak, menggosok-gosok matanya.

“Hi-hi-hik, aku memang ibumu. Ke sinilah, Nak...!”

Kian Bu lari menghampiri.

“Desss...!”

Pemuda itu terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang bertenaga mukjijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena ‘ibunya’ memukul, masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan kepalanya.

Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih saja ibunya yang berdiri di situ.

“Ibu...!”

“Hayo berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.

“Subo, pergunakan pedangku!” Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya yang diterima oleh Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa Tambolon menyebut ibunya subo?

Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.

“Cessss...!”

Dingin sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang disangka ‘ibunya’ itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah mengangkat pedang hendak membacok kepalanya. Secara otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.

“Blarrrrr...!”

Pedang di tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.

“Aduhh... hu-hu-hu... celaka... Tambolon... Tambolon...! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa masuk angin kehujanan... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku... hu-huuu-huuhhh...” Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di bawah sebatang pohon besar!

Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan. Cepat-cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya?

Di sana, di sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit. Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang sedang memberi minum kepada pemuda itu!

“Dewi... ah, kau bilang Tambolon dan Durganini...? Ahh... aku harus melawan mereka... aku harus melindungimu...” Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu memaksa hendak bangkit.

Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya. “Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu belum lagi pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama...”

Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu.

Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.

“Iblis keji, kalian harus mampus!”

Kian Bu berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah bukan main, apa lagi dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jeri dan mereka lalu melarikan diri tunggang langgang.

Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya, meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.

Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat. Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana di pahanya. Pahanya berdarah, dibiarkannya saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus ke dagunya.

Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar amat menyedihkan.

Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya, karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu, bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas karena semuanya itu sudah diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada.....

********************

“Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng Ceng menegur Topeng Setan pada saat akhirnya dia dapat menyusul orang itu.

Topeng Setan diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena langkahnya kecil-kecil.

“Paman, kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir dia memegang lengan Topeng Setan.

Mereka sudah pergi jauh dan tiba di sebuah tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab, “Bagaimana aku bisa marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa, engkau tidak semestinya bersama dengan aku.”

“Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah payah bersama, menghadapi maut bersama dan engkau... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku dapat kau tinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal dengan siapa pun juga.”

“Eh, aku mendengar tadi kau... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi...”

“Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja.”

Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis itu. “Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung jenderal itu?”

“Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biar pun dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau, Paman.”

“Ehhh...? Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti aku?”

“Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku. Marilah kita ke sana, Paman...”

“Dan bagaimana dengan... dia...?”

“Dia siapa?”

“Musuh besarmu!”

“Ohhh..., dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!”

“Kalau tidak bertemu?”

“Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus.”

“Ceng Ceng, benar-benarkah engkau tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?”

Ceng Ceng menggeleng kepala. “Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku sebagai anak sendiri.”

“Hemmm...”

“Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?”

“Ke mana pun engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng.”

“Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan... wanita itu? Apakah Paman tidak dapat melupakan dia?”

“Sampai mati pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng.”

“Kenapa Paman membunuhnya?”

Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. “Maaf, Paman. Tak perlu dijawab pertanyaanku itu.”

“Aku telah gila, aku telah mabok... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng...” Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.

“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-susah?”

Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia kemudian menceritakan pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon. “Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman. Entah mengapa, tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu. Betapa pun, masih jauh lebih kuat dari pada sebelum itu. Paman lihat!” Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.

“Darrrrr...!” Batu itu pecah berkeping-keping!

Topeng Setan mengangguk-angguk. “Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali, engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya engkau memperoleh kekuatan sinkang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga itu.”

“Kau ajarkan aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman.”

“Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu.” Topeng Setan tidak mau menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat.

Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana, “Mungkin hanya penglihatanmu saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku.”

Biar pun sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah penginapan, para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah pemandangannya.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu demikian ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan lewat di dusun itu.

Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini sungguh pun diam-diam dia menjadi girang pula. “Siapakah jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?” tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga mendengarkan dengan penuh perhatian sungguh pun dia tidak ikut bicara.

“Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,” jawab pemilik warung itu.

Selanjutnya dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu sering kali memimpin pasukan mengadakan pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, disamping memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan diri ke pedalaman.

Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali.

Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.

“Ah-ehh-ehhh...!” Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.

“Keparat...!” Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke pintu bagaikan kilat.

Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat, pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya! Pemuda yang telah merusak hidupnya. Biar pun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi dia tidak akan pangling melihat wajahnya!

Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Namun tiba-tiba tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang menghantamnya dari samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini merangkulnya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!

“Eh, kau...?” Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!

“Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah baik-baik, jangan sampai kau kesalahan membunuh orang lain!”

“Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tidak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan lupa!”

“Hemmm, nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar...”

Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.

“Akan tetapi dia juga tinggi, dan wajahnya... wajahnya...” Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh besarnya itu.

Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda yang kedua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.

“Itu... dia...” Ceng Ceng kembali menjadi beringas memandang pemuda kedua yang baru masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul.

Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya. Sinkang mukjijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!

“Hemmm...!” Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah.

Dia menengok ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan... bukan main anehnya, uap dan angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan ‘tersedot’ ke arah kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya.

Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dia tahu pula bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biar pun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.

“Sabarlah... kau... salah lagi,” Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik, dia itu malah lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu..., juga lebih muda... jauh sekali. Kau ingatlah baik-baik...” Topeng Setan berkata berbisik-bisik.

Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan memandang dengan heran kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu...!

“Tapi... tetapi... ahhh, bagaimana ini...? Paman... aku... aku bingung...,” dia merintih dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran.

Badannya menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya terasa habis karena kecewa mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang, lalu jatuh pingsan!

Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu. Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas salah satu bangku panjang dan menggoyang-goyang tubuhnya.

Pada saat itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncullah seorang nenek yang agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng Ceng tadi, tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.

“Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?” Nenek itu mengomel dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam. “Apakah ada kamar di sini?” tanyanya sambil melangkah masuk.

Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat menghampiri. “Ada... ada... mari, silakan, Toanio,” katanya mengantar.

Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus kepadanya.

“Jangan kau khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara denganmu, Sobat.”

Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada orang-orang yang berniat baik itu, apa lagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya yang bersama Kao Kok Han. Biar pun masih remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki ilmu silat yang lumayan.

Ada pun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah isterinya yang kedua, yaitu Nenek Lulu. Kebetulan saja suami isteri pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya.

Ketika suami isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera mereka yang banyak berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka girang sekali akan tetapi kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan.

Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan, segera mengajak suami isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu bersama dua orang putera Jenderal Kao.



Topeng Setan hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar biasa, yang memiliki kepandaian mukjijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih senang menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.

Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu! Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biar pun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan betapa cantiknya dia di waktu mudanya.

“Apakah engkau suaminya...?” Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.

Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing dan dia gelagapan.

“Anu... anu... itu... ehh, benar... ahhh, bukan...!”

Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?

“Jangan khawatir,” nenek itu berkata. “Dia cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya takkan terancam, sungguh pun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan dia terlalu lemah...”

Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong, “Apa... apa... maksud Locianpwe...?”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan biasa saja, dan dia selalu tenang. “Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.

“Ya Tuhan...!” Topeng Setan berteriak.

Kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu bagai kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, bahkan hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang sangat terkenal sukar dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng kepalanya saking kagum.

“Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jikalau seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu muda!”

“Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat.”

Nenek Lulu menggelengkan kepala. “Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan dan minum? Lihatlah, dua orang muda Kao sudah menanti-nanti kita.” Mereka lalu menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.

Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah memasuki kamar itu. “Ceng Ceng... ah, Ceng Ceng...!” Dia berseru.

Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia menengok dan memandang.

“Paman...!” Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku... aku bingung sekali... aku... aku...” Dia menangis.

Topeng Setan gemetar menahan perasaan. “Ceng Ceng, sungguh tidak kusangka... kau... kau mengandung sampai keguguran... ya Tuhan...!”

“Akan tetapi aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat... agaknya khasiat anak ular naga...”

“Ya Tuhan..., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng...” Dalam suara Topeng Setan terdengar isak tertahan.

“Tidak apa-apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu? Andai kata tidak gugur karena anak ular naga itu... andai kata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!”

“Ahhh, jadi kau... kau sendiri tidak tahu bahwa... bahwa kau... mengandung, Ceng Ceng?”

“Tidak, Paman. Bagaimana aku bisa tahu?” jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.

“Jangan khawatir... jangan sedih... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!” Topeng Setan melepaskan rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih.

Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. “Aihhh, Paman. Kotor itu...! Mengapa kau lakukan itu? Untuk apa...?”

Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar, “Ceng Ceng, bagaimana pun juga ini adalah calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa...”

Tiba-tiba Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya dan berbisik, “Kau benar... dia itu... senasib dengan aku... hanya aku berhasil menjadi manusia dan dia tidak, gara-gara anak ular naga...”

“Sudahlah, Ceng Ceng. Aku bersumpah akan mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai dapat. Akan tetapi lebih dulu mari kupertemukan engkau dengan... keluargamu.”

“Apa...? Siapa...?” Ceng Ceng tentu saja terkejut sekali mendengar ini.

“Pendekar Super Sakti, kakekmu, dan... nenek tadi adalah isterinya. Mereka berada di luar...”

“Nenek tadi...? Dia... dia... nenekku sendiri...?”

“Kau tanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng. Kau punya hak bertemu dengan keluargamu.”

“Tidak...! Tidak, Paman. Aku malu bertemu dengan keluargaku, atau dengan siapa pun, sebelum... sebelum aku bertemu dengan si laknat itu...”

“Kalau begitu, mari kau ikut aku bersamaku, akan kubawa engkau bertemu dengan dia, agar engkau puas dan dapat membunuhnya sesuka hatimu!” Setelah berkata demikian, Topeng Setan memondong tubuh Ceng Ceng yang masih lemah itu dan melesat keluar melalui jendela kamar itu.

Bagaikan seekor burung garuda, Topeng Setan sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi begitu dia berada di atas genteng warung itu, tahu-tahu di depannya telah berdiri Pendekar Super Sakti dengan sikap tenang dan sinar mata tajam!

“Hemmm, beginikah caranya orang baik-baik pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau seperti orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat?” Dengan suara halus Pendekar Super Sakti menegur.

Topeng Setan kaget bukan main. Dia tahu bahwa memang cara mereka pergi tanpa pamit ini sangat tidak patut, dan hal ini dia lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan dan pembicaraan yang berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu demikian hebatnya sehingga tahu-tahu telah menghadang di atas genteng.

“Harap... harap Locianpwe maafkan kami... ehhh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali saya tidak bermaksud buruk...”

Ceng Ceng melorot turun dari pondongan Topeng Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar kaki satu itu. “Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau dianggap bersalah. Akan tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi yang amat penting, kami mengambil jalan ini, karena tidak ingin mengganggu Locianpwe sekalian. Saya... saya berterima kasih kepada Nenek... kepada Locianpwe yang menolong saya tadi...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Kalau dia tadi menghadang adalah karena dia merasa curiga dan dia mengira bahwa Topeng Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak memaksa si gadis yang baru keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia aneh itu menggunakan kekerasan terhadap si wanita muda. Kini melihat bahwa wanita muda itu sendiri yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa pelarian mereka berdua itu adalah kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar. Tertarik sekali hatinya terhadap dua orang yang merupakan sepasang manusia aneh penuh rahasia ini!

“Sudahlah, kalau kalian tidak ingin bertemu dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan tetapi karena aku sudah menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin bertanya apakah kalian pernah bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian Lee?”

Topeng Setan dan Ceng Ceng tentu saja tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan tidak menjawab, akan tetapi Ceng Ceng yang menjawab, “Saya sudah mengenalnya dengan baik, Locianpwe. Bahkan dia telah pernah menolong saya.”

“Bagus! Tahukah engkau di mana dia sekarang? Dia meninggalkan pulau dengan adiknya, Suma Kian Bu. Aku sudah mendengar bahwa Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul dan melindungi Syanti Dewi, namun tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian Lee.”

“Maaf, Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu ke mana dia. Pertemuan kami yang terakhir adalah di kota raja.”

“Hemm..., sayang...”

“Ceng Ceng, mari kita pergi.”

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Si Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng tangan gadis itu dan diajak meloncat turun lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Sampai lama Pendekar Super Sakti berdiri di atas genteng, termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia tidak dapat mendengar tentang Kian Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat dua orang muda itu.

Ceng Ceng memandang dengan terharu dan juga terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng Setan mengubur bungkusan gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia melihat betapa Topeng Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu, kemudian tiba-tiba Topeng Setan kelihatan beringas dan dengan kepalan tangannya dia menghantam batu karang di sebelah kanannya.

“Darrrrr...!” Batu karang itu hancur lebur dan debu mengepul tinggi.

“Paman...! Ada apakah, Paman?”

“Si keparat! Si jahanam keji! Aku akan menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia harus disiksa sepuas hatimu!”

“Paman, ke manakah kita akan mencari dia? Sudah sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak peristiwa itu aku mencarinya, namun sia-sia belaka.”

“Satu-satunya tempat untuk kita mencarinya adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat gurunya. Bukankah kau menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir? Nah, kita ke sana!”

Sebetulnya, hati Ceng Ceng sudah mulai reda untuk mencari pemuda itu. Hatinya sudah mulai tawar dan ingin dia beristirahat, ingin dia hidup tenang tenteram bersama Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia bertemu dengan pemuda laknat itu, hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan kegelapan, dia akan selalu merasa menjadi orang yang kotor dan hina dan ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah pemuda laknat itu, dengan nyawa pemuda jahanam itu!

Mulailah mereka dengan perjalanan jauh itu. Akan tetapi karena kini setelah kandungan Ceng Ceng yang diam-diam tak diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah keguguran, kesehatannya cepat pulih kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang juga bahwa kandungannya yang sama sekali tidak dikehendakinya itu telah keguguran. Andai kata dia tahu bahwa dia mengandung, tentu dia akan merasa makin tersiksa!

Keparat! Benar Topeng Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus! Kesehatannya telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat latihan dari Ban-tok Mo-li telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular naga, tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan kandungannya, juga mendatangkan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat diperolehnya dalam latihan selama sepuluh tahun!

Maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat dan setelah mereka tiba di sebelah utara kota raja, mulailah Ceng Ceng bertemu dengan tempat-tempat yang membuat dia terkenang akan semua pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.

“Paman, apakah engkau tahu, di mana adanya Istana Gurun Pasir?”

Topeng Setan mengangguk. “Perjalanan itu sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari tiga malam. Paling sukar adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu, kita harus membawa perbekalan cukup.”

Membayangkan kesukaran perjalanan itu, Ceng Ceng bergidik. Entah bagaimana, kini berkurang banyak gairahnya untuk mencari pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan berpikir dua kali, walau pun harus menyeberangi lautan api umpamanya, akan ditempuhnya juga asal dia dapat menemukan musuh besarnya itu. Sekarang dia agak ragu-ragu, apa lagi mengingat bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian lihainya, apa lagi di sana ada gurunya dan mungkin orang-orang lain!

“Sebelum kita menyeberangi gurun pasir, aku ingin melihat-lihat tempat-tempat yang pernah kukunjungi dulu, Paman. Lebih dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut di mana aku dulu ketika menolong Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka bawah tanah. Setelah itu, aku ingin pergi dulu ke tempat-tempat lain, antaranya mengunjungi benteng di mana dulu Jenderal Kao tinggal.”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengangguk. Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng Ceng merupakan pegangan hidupnya! Tidak pernah dia membantah kehendak gadis itu!

Agaknya Topeng Setan mengenal betul daerah ini, lebih kenal dari pada Ceng Ceng yang baru satu kali berkunjung ke situ. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sumur maut yang berada di tengah lautan pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan seperti dahulu, banyak tulang berserakan di sekitar tempat itu.

Ceng Ceng mendekati sumur itu dan melongok ke bawah. Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik. Pantas saja dia dianggap mati oleh Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam tempat seperti itu. Bulu kuduknya berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia terjungkal ke dalam sumur dan diselamatkan oleh seekor ular besar.

Ceng Ceng duduk di dekat sumur, mengenangkan segala peristiwa masa lalu. Tempat ini merupakan tempat yang bersejarah baginya. Sunyi senyap melengang, tidak ada kehidupan tampak di sekitar mereka berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak seperti berlomba lari berhembus angin semilir.

Topeng Setan juga duduk agak jauh dari Ceng Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat itu merupakan tempat yang mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng bangkit dan mengitari sumur di mana terdapat tumpukan batu-batu besar. Tiba-tiba dia melihat sesuatu.

“Heiii, apa ini? Ada tulisan orang!”

Mendengar ini, Topeng Setan mengangkat mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama mereka lalu membaca tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.

Kenyataan lebih pahit dari pada bayangan,
lebih kejam dari pada kenangan,
cinta hanya mendatangkan penderitaan!


“Ohhh...!” Ceng Ceng berseru ketika membaca tulisan itu.

“Hemm, ada orang laki-laki yang pernah datang di sini, mungkin tinggal beberapa hari di sini dan menuliskan sajak-sajak ini...” Topeng Setan berkata perlahan.

Ketika mereka memeriksa lebih teliti, kiranya ada banyak di antara batu-batu yang berserakan itu bekas ditulisi yang semua bernada keluh-kesah tentang cinta tak sampai.

“Heiii... ini... seperti gambarmu, Ceng Ceng!” Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran.

Ceng Ceng melompat mendekat. Mereka berdua memandang coretan wajah seorang wanita di atas permukaan batu kapur putih yang rata itu. Coretan itu menggunakan batu kemerahan dan biar pun hanya merupakan coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng Ceng.

“Benarkah gambar ini seperti aku?” Ceng Ceng bertanya ragu.

“Tak salah lagi, dan dia pandai benar melukis!”

“Kalau begitu engkau mendapat saingan, Paman!” Ceng Ceng menggoda.

“Aku...? Ahhh, banyak benar dia menulis...” Topeng Setan meneliti semua tulisan yang semua membayangkan kegagalan cinta itu.

Akan tetapi Ceng Ceng sudah duduk termenung di depan sajak pertama. Lama dia termenung, kemudian dia berseru. “Ah, ini tentu dia...!”

Topeng Setan kaget, menengok. “Dia?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang kita cari-cari!”

“Ohhh...! Tapi... tapi...” Topeng Setan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ceng Ceng kembali membaca sajak itu. Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia... dia cinta padaku? Demikian pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan kembali, mengenangkan kembali peristiwa di dalam goa itu. Pemuda yang gagah dan tampan itu mukanya beringas, jelas bahwa tidak sewajarnya, seperti keracunan hebat. Pemuda itu menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu jatuh cinta kepadanya? Mana mungkin?!

Dugaan Ceng Ceng itu membuat dia merasa makin bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda itu mencintanya? Akan tetapi benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali mengenang peristiwa di goa itu, dia seperti terlena, seperti terbuai, seperti... seperti timbul perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda itu! Akan tetapi perasaan halus yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan dan kebencian, dengan dendam dan sakit hati.

“Kalau begitu, kita sudah memperoleh jejaknya, Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan berada di sekitar tempat ini. Dugaan Paman benar bahwa kita harus mencari ke sini!” Ceng Ceng berteriak, jantungnya berdebar. Aneh, debar jantungnya itu menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia akan dapat membalas dendam, ataukah girang karena dia akan dapat berjumpa dengan pemuda itu?

Mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang tinggal dan di mana dahulu Ceng Ceng tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, mereka mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang lalu ketika para suku liar merampok desa itu, datang seorang bintang penolong yang amat lihai, seorang pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena pemuda itu datang mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan tetapi, di waktu malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang berjalan sendirian di luar dusun sambil meniup suling, atau kadang-kadang juga suka bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih.

Mendengar ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada kepada kampung terpencil itu di mana pemuda itu tinggal.

“Mengapa Ji-wi (Anda Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?”

“Kami adalah sahabatnya,” jawab Ceng Ceng.

Jawaban ini membuat Kepala Kampung cepat menghormat mereka dan dia sendiri lalu mengantarkan mereka berdua keluar kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi sungai yang membelah padang rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi. Yang ada hanya bekas-bekasnya, coret-coretan yang sama dengan di sumur maut, akan tetapi di sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang amat hebatnya. Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar pecah berantakan. Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.

“Hebat... dia hebat...” Topeng Setan mengangguk-angguk.

Ceng Ceng memegang tangan Topeng Setan. “Sudah kukatakan jika dia berilmu tinggi, Paman. Apakah sekiranya engkau akan mampu melawannya? Membantuku untuk menghadapinya?”

“Dia siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pemuda laknat itu!”

“Hemm... kita lihat sajalah nanti.”

Karena jelas bahwa pemuda yang mereka cari itu sudah pergi dari situ dan tidak ada orang tahu ke mana perginya, Ceng Ceng dan Topeng Setan berpamit dari orang-orang dusun itu kemudian melanjutkan perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari tentara kerajaan di perbatasan itu.

Ketika Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang ternyata adalah bekas anak buah Jenderal Kao, terkejut bukan main. Mereka memandang dengan mata terbelalak ketika gadis cantik yang muncul itu tersenyum dan berkata, “Apakah paman-paman masih ingat kepadaku? Aku Ceng Ceng!”

Mereka yang ingat kepadanya tentu saja terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa yang datang adalah setan atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut itu. Apa lagi kedatangannya bersama dengan seorang manusia berwajah setan!

“Nona... Nona... bukankah dahulu sudah... ehhh... tewas di sumur maut?” Seorang penjaga tua memberanikan diri bertanya, telunjuknya yang menuding kepada gadis itu menggigil.

Ceng Ceng tertawa. “Memang aku disangka mati, akan tetapi untungnya Thian masih melindungiku dan aku tidak mati, Paman. Aku masih hidup. Dan aku ingin mampir ke benteng ini. Siapakah yang menjadi komandan di sini sekarang?”

“Bukan Jenderal Kao lagi, Nona...”

“Aku tahu, belum lama ini aku berjumpa dengan Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi komandan di sini?”

“Thio-goanswe (Jenderal Thio),” jawab penjaga itu.

“Hemm, siapakah dia?”

“Dia adalah Panglima Thio Luk Cong yang kini menggantikan kedudukan Jenderal Kao.”

“Ahh, Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah mengenalnya pula!” Ceng Ceng berseru.

Mereka berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan Jenderal Thio yang tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu Jenderal Kao ketika membasmi pemberontak, segera menyambut dan menjamu mereka.

Dengan gembira mereka makan minum dan Ceng Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika dia menolong Jenderal Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut sehingga disangka mati. Dia dengan terus terang menceritakan betapa dia ditolong oleh seekor ular besar dan oleh Ban-tok Mo-li diangkat menjadi murid, dan betapa akhirnya dia berhasil keluar dari neraka di bawah tanah itu. Jenderal Thio dan beberapa orang perwira tinggi yang menemani mereka makan minum mendengarkan dengan penuh kagum.

“Sungguh aneh sekali ceritamu itu, Lihiap (Pendekar Wanita)!” Seorang perwira muda berseru kagum. “Dan di sini juga baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh lagi... ehhh...” Tiba-tiba dia menoleh kepada Jenderal Thio dengan gugup karena merasa bahwa dia telah kelepasan bicara.

Jenderal Thio tertawa sambil mengangguk-angguk. “Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan sahabat-sahabat baik, tidak ada halangannya menceritakan keanehan itu pada mereka ini.”

Perwira itu lalu bercerita dengan hati gembira. Dia masih muda dan tentu saja dia amat kagum akan kecantikan dan kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang normal, tentu saja ingin dia beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya memang aneh sekali.....

Kurang lebih seminggu yang lalu, terjadi hal yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati para prajurit dan para perwira di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah menara yang amat tinggi, tetapi menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan lagi setelah menara-menara baru yang lebih baik dan berada di pojok-pojok benteng dibangun, dan tidak ada yang berani naik ke menara tua itu karena anak tangganya sudah banyak yang runtuh dan sudah tua. Berbahaya sekali naik ke sana, bahkan tidak mungkin sampai di puncaknya karena anak tangga ke puncak itu pun sudah runtuh semua. Akan tetapi pada suatu malam terdengar suara orang meniup suling di puncak menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki bernyanyi dengan nada sedih!

Biar pun para prajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan sudah biasa menghadapi maut di medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan ini mereka merasa ngeri dan takut! Apa lagi karena menara ini terkenal sebagai tempat angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang prajurit yang tewas ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui sebabnya. Kadang-kadang di tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas puncak atau turun dari puncak, bayangan yang demikian cepat gerakannya, sehingga tidak mungkin kalau bayangan manusia. Semua prajurit di benteng itu mengira bahwa itu tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari prajurit yang mati berjaga itu.

“Keanehan itu terjadi setiap malam sampai tiga hari yang lalu,” demikian perwira muda itu melanjutkan ceritanya, tersenyum gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa Ceng Ceng amat tertarik dan tanpa berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng Ceng tertarik sekali oleh cerita itu karena dia menyangka tentu bayangan itu adalah pemuda yang dicarinya.

“Apakah sekarang dia masih berada di atas menara?” otomatis dia bertanya.

Perwira muda itu menggeleng kepala. “Sayang, hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga hari yang lalu, di benteng ini muncul pula seorang kakek yang luar biasa anehnya, punggungnya bongkok sekali...”

“Ahhh...!” Ceng Ceng dan Topeng Setan berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena mereka sudah menduga siapa adanya kakek bongkok itu.

“Dia datang dan bertanya kepada kami apakah kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi besar yang tampan... Dia datang di waktu lewat senja dan pada saat itu terdengar suara melengking dari atas menara, suara orang meniup suling dengan nada yang merawankan hati. Kami semua ketakutan, akan tetapi kami hendak mempermainkan kakek bongkok itu. Kami mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu berada di atas menara!”

“Hemmm...” Topeng Setan menggeram.

“Kami tadinya hanya ingin main-main saja, tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya bongkok dan lemah itu tiba-tiba menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan... dia terbang ke atas!”

“Terbang...?” Ceng Ceng juga tertarik sekali dan tak disadarinya dia bertanya.

“Ya, terbang! Dia terbang ke atas puncak menara yang amat tinggi itu! Tentu saja kami semua menjadi bengong dan ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang hantu yang mencari kawannya! Suara suling itu berhenti dan tidak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berkelebat, melayang turun dari puncak menara itu dan lenyap entah ke mana. Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu tidak pernah muncul lagi.” Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri menceritakan peristiwa itu.

Keadaan menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio yang sudah berpengalaman luas lalu berkata, “Tentu saja cerita itu mungkin berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang berada di menara itu adalah seorang kang-ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan bukan tidak mungkin bahwa kakek yang datang itu adalah gurunya.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Mungkin sekali... bahkan, kuyakin begitulah!”

Topeng Setan menoleh kepadanya dan Ceng Ceng juga memandangnya. “Bagaimana pendapatmu, Paman?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya kepada orang bertopeng itu.

“Huh? Oh, mungkin sekali begitulah,” akhirnya dia berkata seperti orang baru sadar dari lamunannya.

Setelah mendengar cerita itu, Ceng Ceng melamun. Agaknya tidak keliru lagi, tentu pemuda laknat itulah pemuda yang bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak cinta gagal itu! Siapa lagi kalau bukan dia? Akan tetapi sekarang pemuda itu telah berkumpul dengan gurunya, Si Dewa Bongkok yang lihai dan tentu diajak pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari pemuda itu harus di tempat tinggal gurunya.

Akan tetapi, pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apa lagi kini ditambah gurunya dan mungkin tokoh-tokoh lain di dalam Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng melirik ke arah ‘pembantunya’ yang duduk melamun sambil memegang cawan arak karena mereka semua sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya, karena kalau dia seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda laknat itu saja tidak mungkin dia menang. Jagoannya ini makin lihai saja. Entah bagaimana agaknya tiap hari tambah maju saja ilmu kepandaian orang ini. Dapatkah Si Buruk Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan muridnya? Dapatkah Si Buruk Rupa ini diandalkannya? Si Buruk Rupa... ah, buruk?

Belum tentu! Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa melebihi semua pria yang pernah dilihatnya! Ahh, apa pula yang dipikirkannya ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat setia.

Betapa pun juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong itu.

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan benteng itu. Mereka berdua menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.

Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, di mana orang-orang golongan beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini. Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu di situ, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya dengan sedih.

Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan...

“Ahhhhh...!”

Topeng Setan terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.

“Kenapa, Ceng Ceng?”

“Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana aku bersembunyi, dan aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu di mana pemuda laknat itu masih terkurung.”

Topeng Setan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing mempergunakan racun-racun jahat.

“Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?”

“Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, yaitu di dalam kerangkeng itu.”

“Hemm... kalau begitu... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di dalam kerangkeng?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu! “Aku tidak tahu, akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku... aku merasa kasihan. Maka aku kemudian menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana di mana aku membawa kerangkeng itu sembunyi di dalam goa.”

Topeng Setan menggeleng kepala. “Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang bahaya untuk menolong orang yang tidak kau kenal?”

Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, ia takkan menyimpan rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri dan dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekali pun.

“Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku... eh, terus terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, sangat gagah dan tampan...”

“Tampan mana jika dibandingkan dengan... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?” tiba-tiba Topeng Setan bertanya.

“Hemmm... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya, menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu. Dia gagah dan tampan, aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata bersembunyi moral yang bejat!”

Hening sejenak dan Topeng Setan menundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya, “Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”

“Setelah bersembunyi di dalam goa, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya, akan tetapi dia menolak dengan keras...”

“Ehhh?” Topeng Setan terkejut. “Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia menolak? Mengapa?”

“Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan.”

“Hemmm... lalu bagaimana?”

“Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan... dan... dia menubrukku, dia memeluk dan menciumiku...”

“Hemmm, bedebah...!”

“Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat bangun, lalu dia memandangku dengan mata merah, seperti orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya dia meloncat keluar dari dalam goa! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan...”

“Hemm, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?”

“Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan goa, lalu dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia saja. Dia amat kuat dan dia... dia lalu menggagahi aku, dia... dia memperkosaku... Paman, ahhh, Paman...”

“Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau memang layak mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan menampar kepalanya sendiri.

“Plakkk...!” Dan dia roboh terpelanting.

“Paman...!” Ceng Ceng terkejut dan menubruk. “Ehhh, Paman, mengapa...? Mengapa Paman menampar kepala sendiri?”

Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mukjijat dari Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mukjijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata, “Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan kakimu!”

“Tapi... tapi... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah Paman mampu melawan mereka?”

“Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!”

“Paman... Paman... engkaulah orang termulia di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya merangkul kaki Topeng Setan dan berlutut.

Dada yang bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang berlutut di depan kakinya itu. Dengan halus dia lalu membangunkan Ceng Ceng.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”

“Nanti dulu, Paman. Aku... aku ingin sekali... menengok tempat itu. Sekali lagi...”

“Tempat apa? Di mana?”

“Goa itu...”

“Ya Tuhan!” Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya. “Kau... kau malah ingin melihat tempat itu, tempat di mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?”

“Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman.” Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya, seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah!

Topeng Setan menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke goa jauh di depan. Ketika tiba di depan goa, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, lalu memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan memasuki goa besar itu. Tiba-tiba dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.

“Ada apa, Ceng Ceng?” Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar, agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa seram memasuki goa ini!

“Sssttt... Paman... ada asap... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia... harap Paman waspada dan suka membantuku!”

Ceng Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam goa itu. Tidak salah lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap memasuki bagian yang paling dalam dari goa itu dan... ternyata tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan dibentangkan di situ.

Tiba-tiba Topeng Setan berbisik, “Ssssttt... mari keluar, ada suara orang di luar!”

Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar goa dan mereka cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan goa itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara seorang wanita, “Aihhh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?”

Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu makin dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo!

Dara cilik itu sedang berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di jalan tak jauh dari tempat itu.

“Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!” Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan dari belakang.

Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang matanya yang lebar jeli itu terbelalak.

“Ehhh, kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu dengan sikap manja. “Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?”

Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu. “Kelak kalau aku sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal di dalam goa itu?”

Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali. “Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas mempunyai ayah seperti dia yang tak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya... ehhh, siapa dia ini? Tentu jahat sekali, Subo.” Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.

“Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar,” jawab Ceng Ceng.

Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan. “Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah tampan, boleh aku membuka topengmu?”

Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.

“Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!” Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.

“Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.

“Hemmm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?” Topeng Setan bertanya.

“Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biar pun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng?”

Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu. “Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”

Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata, “Subo mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!”

Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan bertanya, “Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam goa itu?”

Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan... ehhh, mana kelinciku yang gemuk tadi?” Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi.

“Wah, celaka, rugi besar aku...” Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.

“Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...,” kata Topeng Setan menawarkan.

“Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,” katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan dendeng.

Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata, “Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini! “Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Karena itu, kau menanti saja di goa ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini.”

“Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!”

Ceng Ceng merangkul pundak ‘muridnya’ itu. “Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan...”

“Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekali pun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!”

Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu. “Ehh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?”

“Mengapa tidak? Ehh, apa Paman pandai terbang?”

“Terbang?”

“Ya, terbang di angkasa.”

“Tentu saja tidak bisa!”

“Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!”

“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng menegur. “Masa kau bisa terbang?”

Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.

“Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”

“Ehh, mana burung itu?”

“Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?”

Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi. “Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua omonganku.”

“Baik, Subo, baik. Ahhh, Subo manis sekali!”

Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andai kata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.

“Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini.”

Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subo-nya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit nyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun.

Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.

Setelah mengambil pakaiannya dari dalam goa, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam. “Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana...!”

Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.

Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar ‘muridnya’ itu tidak benar-benar mengejarnya.

“Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali.”

“Memang, tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan.”

Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa. “Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!” Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.

“Subo...! Hiiiii!!” Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.

“Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan.”

Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subo-nya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subo-nya, membantu subo-nya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subo-nya dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauw-nya dan kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.

Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan ‘angker’ dan keramat.

“Hati-hati, Paman...” Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas.

Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!”

“Baik, Subo...!” Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turut masuk. Akan tetapi karena dilarang subo-nya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.

“Mari kita masuk, Paman...” Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh.

Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!

Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya.

Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.

“Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng berbisik.

“Hemm... mungkin begitu...” jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik.

Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jeri! Apa lagi dia. Dia sudah merasa seram dan longak-longok memandang ke sana-sini.

“Sregggg...! Sregggg...!”

Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu mendadak dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.

Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu adalah seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka secara otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.

Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika mereka lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan. Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri.

Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap.

Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu.

Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mukjijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.

Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut sekali karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini, tadi menyapu sambil bersilat! Semua ‘serangan’ ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!

“Sreggg! Sreggg!”

Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan semedhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!

Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas.

Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mukjijat, khasiat anak naga itu.

Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mukjijatnya itu, sungguh pun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seluruh tenaga mukjijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sinkang-nya.

“Paman...” Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!

“Ahh, di mana dia...?” Ceng Ceng memandang ke kanan kiri.

Dia sampai lupa pada Topeng Setan karena digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah ‘dipancing’ untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!

“Paman...!” Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan.

Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan seram, bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi tembok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.


BERSAMBUNG KE JILID 27


Kisah Sepasang Rajawali Jilid 26

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 26
Akhirnya senja telah tiba. Biar pun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang telah condong ke barat, sudah amat gelap sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

“Kita berhenti dulu di sini...” Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon.

Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah kelelahan.

“Dewi... Syanti Dewi... mengapa engkau begini bersusah payah untukku...” Tek Hoat mengeluh, hatinya terharu sekali.

“Janganlah mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?”

Hening sejenak. “Tujuh hari lamanya aku di kereta itu... dan selama itu engkau berada di bilik kereta depan?”

Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun, sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.

“Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?”

“Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Bilik belakang itu adalah tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika kau masih pingsan... aku merawatmu. Akan tetapi sesudah engkau siuman dan aku lalu masuk kembali ke bilik depan.”

Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu. “Dan aku... aku mengigau tentang dirimu, aku... aku bernyanyi... menyebut-nyebut namamu... kau... kau mendengar semua itu...?”

Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.

“Kalau begitu...” Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.

“Mengapa, Tek Hoat?”

“Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi.”

“Hemm, mengapa?”

“Engkau seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita dan berbudi mulia, sedangkan aku...”

“Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang perahu.”

“Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali, Dewi...”

“Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh-sungguh tak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri secara berlebihan tak ada gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan perubahan, bukan hanya sekedar penyesalan kosong belaka!”

“Maaf, akan tetapi kau... kau sungguh tidak tahu siapa aku?”

“Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah tahu lebih banyak tentang dirimu dari pada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku tak sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnya, aku lebih tahu dari pada engkau sendiri tentang dirimu.”

Tek Hoat memandang terbelalak heran. “Apa yang kau maksudkan, Dewi?”

Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya demikian hanyalah Gak Bun Beng. Baginya ada persamaan antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!

“Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kau ketahui sendiri tentang dirimu.”

Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling. “Kau berjumpa dengan ibuku? Di mana? Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?”

Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.

“Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin tahu terlebih dahulu, apakah engkau mengenal nama Gak Bun Beng?”

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram. “Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama itu!”

“Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati, bukan?”

“Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada keras.

“Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu... hal itu... akan amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut dihormati dan dikagumi...”

“Dewi! Apa maksudmu?”

“Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali bukan musuh besarnya. Katakanlah lebih dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu dan tentang Gak Bun Beng?”

“Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih hidup...”

“Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya... ehhh, kenapa kau?” Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.

“Tidak, tidak apa-apa, teruskan!” Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mendengar permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!

“Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari, bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan beberapa orang wanita itu berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Di antara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya mengetahui bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah tewas menebus dosanya. Namun ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka pemerkosanya.”

Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andai kata bukan puteri itu yang bercerita seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan marah dan akan membunuh yang bercerita itu.

“Dewi... Dewi... demi Tuhan...! Benarkah itu...?”

“Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?”

“Lalu... lalu bagaimana...? Lalu siapa orang itu? Siapa... pemerkosa Ibu dan... ayahku itu...?”

“Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she Wan.”

“Dan... dan Ang Thian Pa... ahhh, bisa jadi dialah kakekku... bekas ketua Bu-tong-pai... ahh, Ibuuu...!” Tek Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan.

Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-manggil.....

********************

Panglima Jayin dan para anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!

“Celaka, kita kena diperdaya musuh!” Jayin berseru dan dia kemudian menyebar orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.

“Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.

“Suhu, mengapa tidak semenjak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?” Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini mengakibatkan mala petaka.

“Betapa pun juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang merasa khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata.

Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring, “Heiiiii...! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini...!”

Semua orang menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su mau pun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan dengan Suma Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon. Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini amat menggirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut Kian Bu.

Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk bernapas lagi! Siang In teringat akan pertemuannya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikian menutupi mulutnya dia kemudian menceritakan dengan suara nyerocos tiada hentinya tentang pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.

“Kau ingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat itu. Engkau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!” Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik tangan Kian Bu pergi dari situ.

Semua orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah sekali. Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.

“Nah, kaulihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?” Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya.

Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan pula. Kian Bu yang sekarang adalah seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan, sudah pernah menghamba kepada nafsu birahi.

Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali, tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping hidung yang mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.

“Kau... menggemaskan...!” Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai lama tidak dilepaskannya.

Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tidak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari kerongkongannya hanya keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan kanannya menyambar ke depan.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.

“Kau... kau... jahat! Kau menjijikkan...!” Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri!

Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis tersedu-sedu.

“Ehhh, ada apa? Apa yang terjadi?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menerus menangis.

“Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?” tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan keras dan masih terus menangis, menyembunyikan mukanya di baju suhu-nya.

Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi. Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka!

Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah.

Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In! Dia merasa serba salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan. Ketika mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia amat terkejut dan khawatir sekali. Betapa pun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu masih belum sembuh.

Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui. Andai kata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru seorang Hong Kui, biar ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat, membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadi pun dia tidak dapat menahan diri!

Kini, Syanti Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini.

Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi barulah dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah sehingga tidur di atas pohon itu terasa amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon. Ketika dia memandang ke bawah, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan menengok ke kanan kiri.

“Tidak salahkah kau, Tambolon?” Terdengar nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu kalau puteri itu tidak berada di sini.”

“Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Kemana lagi kalau tidak ke hutan lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek Hoat yang sudah terluka.”

“Hehh, pemuda itu memang hebat!”

“Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan masih terkena pukulan dan tendangan. Andai kata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu melawan lagi.”

Mereka melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh dan dengan hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun cepat berhenti

Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak. “Aku mendengar suara orang!” bisiknya. Tambolon terkejut, memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.

“Tidak ada suara, Subo.”

“Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari belakang.”

Tambolon membalik dan memandang ke belakang. Sunyi-sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subo-nya yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka lihat tadi.

“Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka pergi.”

“Ke mana?”

“Aku sudah mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya ke sanalah mereka.”

“Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar kaki!” nenek itu mengomel lagi.

Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang walau pun tidak mendengar dengan telinganya, mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.

“Ssssttt...!” Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini.

Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon. Jantungnya berdebar tegang.

Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.

Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri jelita ini merupakan orang yang sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seakan-akan di dalam tangannya dia memegang kekuasaan atas Raja Bhutan. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali.

Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang mengambil air dengan periuk butut itu.

“Bressss...!”

“Aihhhh...!” Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika menoleh dia melihat Tambolon menubruknya.

Akan tetapi pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang barusan menghalanginya adalah pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat lihai itu.

“Keparat, berani engkau menghalangiku?” bentaknya.

“Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.

“Bu-koko...!” Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali. Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia menjauhkan diri dari mereka yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.

“Syanti Dewi, kau larilah cepat...!” Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sinkang yang amat dingin.

Tambolon terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram. Namun kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan Tambolon masih terlampau lambat.

Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), kemudian dirubah dengan jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa).

Dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biar pun dia memegang pedang, Tambolon yang kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar, dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu yang mengandung Swat-im Sinkang membuat dia menggigil dan jerilah raja liar ini.

“Subo, tolong...! Subo...!”

Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilarnya tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.

“Suboooo...!” Tambolon berteriak.

“Desss...!”

Tubuhnya terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja menggulingkan dirinya ke dekat subo-nya, tidak peduli pakaiannya sudah menjadi kotor semua.

“Subo... Subo... bangun, bangun..., tolonglah aku!” Sekarang ia mengguncang-guncang tubuh subo-nya.

“Aaaahhhh, plak-plak! Aduh...!”

Memang sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras, Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai bengkak-bengkak!

“Subo, ini aku...! Itu di sana barulah musuhku...!” Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya karena tamparan nenek itu.

“Apa...? Heeii..., kaukah itu? Siapa? Mana...?” Nenek itu masih juga bingung karena semangatnya masih tertinggal di luar setengahnya.

“Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!” Tambolon menuding.

Kini Nenek Durganini baru dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok dia lalu menghampiri Kian Bu.

“Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?!” Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

“Wirrr... siuuut...!” Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu.

Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.

“Plakkk!”

“Aihhh... dingin... dingin bukan main...!” Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya. “Coba kau lawan ini, orang muda yang banyak tingkah!”

Suma Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan sinkang-nya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan. Namun, sebagai seorang putera pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sinkang dia dapat melawan pengaruh sihir.

Dia sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan terpengaruh juga. Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan tetapi Kian Bu, biar pun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan kiri.

“Blarrrr... darrrrr...!”

Bukan main hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es. Biar pun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!

“Aihhhh...!” Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali hingga terdengar amat tajam seperti mengiris jantung. “Bocah lancang..., lihat ini...!”

Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi kemudian memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai, ibunya sendiri!

“Ibu...!” Dia berteriak, menggosok-gosok matanya.

“Hi-hi-hik, aku memang ibumu. Ke sinilah, Nak...!”

Kian Bu lari menghampiri.

“Desss...!”

Pemuda itu terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang bertenaga mukjijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena ‘ibunya’ memukul, masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan kepalanya.

Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih saja ibunya yang berdiri di situ.

“Ibu...!”

“Hayo berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.

“Subo, pergunakan pedangku!” Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya yang diterima oleh Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa Tambolon menyebut ibunya subo?

Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.

“Cessss...!”

Dingin sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang disangka ‘ibunya’ itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah mengangkat pedang hendak membacok kepalanya. Secara otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.

“Blarrrrr...!”

Pedang di tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.

“Aduhh... hu-hu-hu... celaka... Tambolon... Tambolon...! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa masuk angin kehujanan... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku... hu-huuu-huuhhh...” Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di bawah sebatang pohon besar!

Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan. Cepat-cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya?

Di sana, di sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit. Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang sedang memberi minum kepada pemuda itu!

“Dewi... ah, kau bilang Tambolon dan Durganini...? Ahh... aku harus melawan mereka... aku harus melindungimu...” Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu memaksa hendak bangkit.

Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya. “Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu belum lagi pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama...”

Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu.

Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.

“Iblis keji, kalian harus mampus!”

Kian Bu berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah bukan main, apa lagi dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jeri dan mereka lalu melarikan diri tunggang langgang.

Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya, meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.

Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat. Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana di pahanya. Pahanya berdarah, dibiarkannya saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus ke dagunya.

Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar amat menyedihkan.

Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya, karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu, bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas karena semuanya itu sudah diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada.....

********************

“Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng Ceng menegur Topeng Setan pada saat akhirnya dia dapat menyusul orang itu.

Topeng Setan diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena langkahnya kecil-kecil.

“Paman, kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir dia memegang lengan Topeng Setan.

Mereka sudah pergi jauh dan tiba di sebuah tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab, “Bagaimana aku bisa marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa, engkau tidak semestinya bersama dengan aku.”

“Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah payah bersama, menghadapi maut bersama dan engkau... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku dapat kau tinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal dengan siapa pun juga.”

“Eh, aku mendengar tadi kau... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi...”

“Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja.”

Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis itu. “Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung jenderal itu?”

“Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biar pun dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau, Paman.”

“Ehhh...? Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti aku?”

“Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku. Marilah kita ke sana, Paman...”

“Dan bagaimana dengan... dia...?”

“Dia siapa?”

“Musuh besarmu!”

“Ohhh..., dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!”

“Kalau tidak bertemu?”

“Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus.”

“Ceng Ceng, benar-benarkah engkau tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?”

Ceng Ceng menggeleng kepala. “Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku sebagai anak sendiri.”

“Hemmm...”

“Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?”

“Ke mana pun engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng.”

“Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan... wanita itu? Apakah Paman tidak dapat melupakan dia?”

“Sampai mati pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng.”

“Kenapa Paman membunuhnya?”

Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. “Maaf, Paman. Tak perlu dijawab pertanyaanku itu.”

“Aku telah gila, aku telah mabok... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng...” Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.

“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-susah?”

Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia kemudian menceritakan pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon. “Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman. Entah mengapa, tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu. Betapa pun, masih jauh lebih kuat dari pada sebelum itu. Paman lihat!” Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.

“Darrrrr...!” Batu itu pecah berkeping-keping!

Topeng Setan mengangguk-angguk. “Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali, engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya engkau memperoleh kekuatan sinkang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga itu.”

“Kau ajarkan aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman.”

“Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu.” Topeng Setan tidak mau menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat.

Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana, “Mungkin hanya penglihatanmu saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku.”

Biar pun sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah penginapan, para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah pemandangannya.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu demikian ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan lewat di dusun itu.

Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini sungguh pun diam-diam dia menjadi girang pula. “Siapakah jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?” tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga mendengarkan dengan penuh perhatian sungguh pun dia tidak ikut bicara.

“Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,” jawab pemilik warung itu.

Selanjutnya dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu sering kali memimpin pasukan mengadakan pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, disamping memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan diri ke pedalaman.

Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali.

Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.

“Ah-ehh-ehhh...!” Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.

“Keparat...!” Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke pintu bagaikan kilat.

Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat, pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya! Pemuda yang telah merusak hidupnya. Biar pun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi dia tidak akan pangling melihat wajahnya!

Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Namun tiba-tiba tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang menghantamnya dari samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini merangkulnya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!

“Eh, kau...?” Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!

“Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah baik-baik, jangan sampai kau kesalahan membunuh orang lain!”

“Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tidak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan lupa!”

“Hemmm, nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar...”

Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.

“Akan tetapi dia juga tinggi, dan wajahnya... wajahnya...” Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh besarnya itu.

Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda yang kedua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.

“Itu... dia...” Ceng Ceng kembali menjadi beringas memandang pemuda kedua yang baru masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul.

Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya. Sinkang mukjijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!

“Hemmm...!” Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah.

Dia menengok ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan... bukan main anehnya, uap dan angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan ‘tersedot’ ke arah kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya.

Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dia tahu pula bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biar pun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.

“Sabarlah... kau... salah lagi,” Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik, dia itu malah lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu..., juga lebih muda... jauh sekali. Kau ingatlah baik-baik...” Topeng Setan berkata berbisik-bisik.

Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan memandang dengan heran kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu...!

“Tapi... tetapi... ahhh, bagaimana ini...? Paman... aku... aku bingung...,” dia merintih dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran.

Badannya menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya terasa habis karena kecewa mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang, lalu jatuh pingsan!

Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu. Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas salah satu bangku panjang dan menggoyang-goyang tubuhnya.

Pada saat itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncullah seorang nenek yang agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng Ceng tadi, tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.

“Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?” Nenek itu mengomel dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam. “Apakah ada kamar di sini?” tanyanya sambil melangkah masuk.

Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat menghampiri. “Ada... ada... mari, silakan, Toanio,” katanya mengantar.

Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus kepadanya.

“Jangan kau khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara denganmu, Sobat.”

Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada orang-orang yang berniat baik itu, apa lagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya yang bersama Kao Kok Han. Biar pun masih remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki ilmu silat yang lumayan.

Ada pun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah isterinya yang kedua, yaitu Nenek Lulu. Kebetulan saja suami isteri pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya.

Ketika suami isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera mereka yang banyak berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka girang sekali akan tetapi kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan.

Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan, segera mengajak suami isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu bersama dua orang putera Jenderal Kao.



Topeng Setan hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar biasa, yang memiliki kepandaian mukjijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih senang menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.

Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu! Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biar pun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan betapa cantiknya dia di waktu mudanya.

“Apakah engkau suaminya...?” Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.

Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing dan dia gelagapan.

“Anu... anu... itu... ehh, benar... ahhh, bukan...!”

Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?

“Jangan khawatir,” nenek itu berkata. “Dia cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya takkan terancam, sungguh pun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan dia terlalu lemah...”

Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong, “Apa... apa... maksud Locianpwe...?”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan biasa saja, dan dia selalu tenang. “Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.

“Ya Tuhan...!” Topeng Setan berteriak.

Kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu bagai kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, bahkan hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang sangat terkenal sukar dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng kepalanya saking kagum.

“Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jikalau seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu muda!”

“Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat.”

Nenek Lulu menggelengkan kepala. “Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan dan minum? Lihatlah, dua orang muda Kao sudah menanti-nanti kita.” Mereka lalu menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.

Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah memasuki kamar itu. “Ceng Ceng... ah, Ceng Ceng...!” Dia berseru.

Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia menengok dan memandang.

“Paman...!” Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku... aku bingung sekali... aku... aku...” Dia menangis.

Topeng Setan gemetar menahan perasaan. “Ceng Ceng, sungguh tidak kusangka... kau... kau mengandung sampai keguguran... ya Tuhan...!”

“Akan tetapi aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat... agaknya khasiat anak ular naga...”

“Ya Tuhan..., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng...” Dalam suara Topeng Setan terdengar isak tertahan.

“Tidak apa-apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu? Andai kata tidak gugur karena anak ular naga itu... andai kata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!”

“Ahhh, jadi kau... kau sendiri tidak tahu bahwa... bahwa kau... mengandung, Ceng Ceng?”

“Tidak, Paman. Bagaimana aku bisa tahu?” jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.

“Jangan khawatir... jangan sedih... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!” Topeng Setan melepaskan rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih.

Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. “Aihhh, Paman. Kotor itu...! Mengapa kau lakukan itu? Untuk apa...?”

Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar, “Ceng Ceng, bagaimana pun juga ini adalah calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa...”

Tiba-tiba Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya dan berbisik, “Kau benar... dia itu... senasib dengan aku... hanya aku berhasil menjadi manusia dan dia tidak, gara-gara anak ular naga...”

“Sudahlah, Ceng Ceng. Aku bersumpah akan mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai dapat. Akan tetapi lebih dulu mari kupertemukan engkau dengan... keluargamu.”

“Apa...? Siapa...?” Ceng Ceng tentu saja terkejut sekali mendengar ini.

“Pendekar Super Sakti, kakekmu, dan... nenek tadi adalah isterinya. Mereka berada di luar...”

“Nenek tadi...? Dia... dia... nenekku sendiri...?”

“Kau tanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng. Kau punya hak bertemu dengan keluargamu.”

“Tidak...! Tidak, Paman. Aku malu bertemu dengan keluargaku, atau dengan siapa pun, sebelum... sebelum aku bertemu dengan si laknat itu...”

“Kalau begitu, mari kau ikut aku bersamaku, akan kubawa engkau bertemu dengan dia, agar engkau puas dan dapat membunuhnya sesuka hatimu!” Setelah berkata demikian, Topeng Setan memondong tubuh Ceng Ceng yang masih lemah itu dan melesat keluar melalui jendela kamar itu.

Bagaikan seekor burung garuda, Topeng Setan sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi begitu dia berada di atas genteng warung itu, tahu-tahu di depannya telah berdiri Pendekar Super Sakti dengan sikap tenang dan sinar mata tajam!

“Hemmm, beginikah caranya orang baik-baik pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau seperti orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat?” Dengan suara halus Pendekar Super Sakti menegur.

Topeng Setan kaget bukan main. Dia tahu bahwa memang cara mereka pergi tanpa pamit ini sangat tidak patut, dan hal ini dia lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan dan pembicaraan yang berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu demikian hebatnya sehingga tahu-tahu telah menghadang di atas genteng.

“Harap... harap Locianpwe maafkan kami... ehhh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali saya tidak bermaksud buruk...”

Ceng Ceng melorot turun dari pondongan Topeng Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar kaki satu itu. “Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau dianggap bersalah. Akan tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi yang amat penting, kami mengambil jalan ini, karena tidak ingin mengganggu Locianpwe sekalian. Saya... saya berterima kasih kepada Nenek... kepada Locianpwe yang menolong saya tadi...”

Pendekar Super Sakti tersenyum. Kalau dia tadi menghadang adalah karena dia merasa curiga dan dia mengira bahwa Topeng Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak memaksa si gadis yang baru keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia aneh itu menggunakan kekerasan terhadap si wanita muda. Kini melihat bahwa wanita muda itu sendiri yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa pelarian mereka berdua itu adalah kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar. Tertarik sekali hatinya terhadap dua orang yang merupakan sepasang manusia aneh penuh rahasia ini!

“Sudahlah, kalau kalian tidak ingin bertemu dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan tetapi karena aku sudah menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin bertanya apakah kalian pernah bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian Lee?”

Topeng Setan dan Ceng Ceng tentu saja tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan tidak menjawab, akan tetapi Ceng Ceng yang menjawab, “Saya sudah mengenalnya dengan baik, Locianpwe. Bahkan dia telah pernah menolong saya.”

“Bagus! Tahukah engkau di mana dia sekarang? Dia meninggalkan pulau dengan adiknya, Suma Kian Bu. Aku sudah mendengar bahwa Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul dan melindungi Syanti Dewi, namun tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian Lee.”

“Maaf, Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu ke mana dia. Pertemuan kami yang terakhir adalah di kota raja.”

“Hemm..., sayang...”

“Ceng Ceng, mari kita pergi.”

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Si Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng tangan gadis itu dan diajak meloncat turun lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Sampai lama Pendekar Super Sakti berdiri di atas genteng, termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia tidak dapat mendengar tentang Kian Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat dua orang muda itu.

Ceng Ceng memandang dengan terharu dan juga terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng Setan mengubur bungkusan gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia melihat betapa Topeng Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu, kemudian tiba-tiba Topeng Setan kelihatan beringas dan dengan kepalan tangannya dia menghantam batu karang di sebelah kanannya.

“Darrrrr...!” Batu karang itu hancur lebur dan debu mengepul tinggi.

“Paman...! Ada apakah, Paman?”

“Si keparat! Si jahanam keji! Aku akan menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia harus disiksa sepuas hatimu!”

“Paman, ke manakah kita akan mencari dia? Sudah sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak peristiwa itu aku mencarinya, namun sia-sia belaka.”

“Satu-satunya tempat untuk kita mencarinya adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat gurunya. Bukankah kau menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir? Nah, kita ke sana!”

Sebetulnya, hati Ceng Ceng sudah mulai reda untuk mencari pemuda itu. Hatinya sudah mulai tawar dan ingin dia beristirahat, ingin dia hidup tenang tenteram bersama Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia bertemu dengan pemuda laknat itu, hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan kegelapan, dia akan selalu merasa menjadi orang yang kotor dan hina dan ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah pemuda laknat itu, dengan nyawa pemuda jahanam itu!

Mulailah mereka dengan perjalanan jauh itu. Akan tetapi karena kini setelah kandungan Ceng Ceng yang diam-diam tak diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah keguguran, kesehatannya cepat pulih kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang juga bahwa kandungannya yang sama sekali tidak dikehendakinya itu telah keguguran. Andai kata dia tahu bahwa dia mengandung, tentu dia akan merasa makin tersiksa!

Keparat! Benar Topeng Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus! Kesehatannya telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat latihan dari Ban-tok Mo-li telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular naga, tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan kandungannya, juga mendatangkan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat diperolehnya dalam latihan selama sepuluh tahun!

Maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat dan setelah mereka tiba di sebelah utara kota raja, mulailah Ceng Ceng bertemu dengan tempat-tempat yang membuat dia terkenang akan semua pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.

“Paman, apakah engkau tahu, di mana adanya Istana Gurun Pasir?”

Topeng Setan mengangguk. “Perjalanan itu sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari tiga malam. Paling sukar adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu, kita harus membawa perbekalan cukup.”

Membayangkan kesukaran perjalanan itu, Ceng Ceng bergidik. Entah bagaimana, kini berkurang banyak gairahnya untuk mencari pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan berpikir dua kali, walau pun harus menyeberangi lautan api umpamanya, akan ditempuhnya juga asal dia dapat menemukan musuh besarnya itu. Sekarang dia agak ragu-ragu, apa lagi mengingat bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian lihainya, apa lagi di sana ada gurunya dan mungkin orang-orang lain!

“Sebelum kita menyeberangi gurun pasir, aku ingin melihat-lihat tempat-tempat yang pernah kukunjungi dulu, Paman. Lebih dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut di mana aku dulu ketika menolong Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka bawah tanah. Setelah itu, aku ingin pergi dulu ke tempat-tempat lain, antaranya mengunjungi benteng di mana dulu Jenderal Kao tinggal.”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengangguk. Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng Ceng merupakan pegangan hidupnya! Tidak pernah dia membantah kehendak gadis itu!

Agaknya Topeng Setan mengenal betul daerah ini, lebih kenal dari pada Ceng Ceng yang baru satu kali berkunjung ke situ. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sumur maut yang berada di tengah lautan pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan seperti dahulu, banyak tulang berserakan di sekitar tempat itu.

Ceng Ceng mendekati sumur itu dan melongok ke bawah. Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik. Pantas saja dia dianggap mati oleh Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam tempat seperti itu. Bulu kuduknya berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia terjungkal ke dalam sumur dan diselamatkan oleh seekor ular besar.

Ceng Ceng duduk di dekat sumur, mengenangkan segala peristiwa masa lalu. Tempat ini merupakan tempat yang bersejarah baginya. Sunyi senyap melengang, tidak ada kehidupan tampak di sekitar mereka berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak seperti berlomba lari berhembus angin semilir.

Topeng Setan juga duduk agak jauh dari Ceng Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat itu merupakan tempat yang mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng bangkit dan mengitari sumur di mana terdapat tumpukan batu-batu besar. Tiba-tiba dia melihat sesuatu.

“Heiii, apa ini? Ada tulisan orang!”

Mendengar ini, Topeng Setan mengangkat mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama mereka lalu membaca tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.

Kenyataan lebih pahit dari pada bayangan,
lebih kejam dari pada kenangan,
cinta hanya mendatangkan penderitaan!


“Ohhh...!” Ceng Ceng berseru ketika membaca tulisan itu.

“Hemm, ada orang laki-laki yang pernah datang di sini, mungkin tinggal beberapa hari di sini dan menuliskan sajak-sajak ini...” Topeng Setan berkata perlahan.

Ketika mereka memeriksa lebih teliti, kiranya ada banyak di antara batu-batu yang berserakan itu bekas ditulisi yang semua bernada keluh-kesah tentang cinta tak sampai.

“Heiii... ini... seperti gambarmu, Ceng Ceng!” Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran.

Ceng Ceng melompat mendekat. Mereka berdua memandang coretan wajah seorang wanita di atas permukaan batu kapur putih yang rata itu. Coretan itu menggunakan batu kemerahan dan biar pun hanya merupakan coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng Ceng.

“Benarkah gambar ini seperti aku?” Ceng Ceng bertanya ragu.

“Tak salah lagi, dan dia pandai benar melukis!”

“Kalau begitu engkau mendapat saingan, Paman!” Ceng Ceng menggoda.

“Aku...? Ahhh, banyak benar dia menulis...” Topeng Setan meneliti semua tulisan yang semua membayangkan kegagalan cinta itu.

Akan tetapi Ceng Ceng sudah duduk termenung di depan sajak pertama. Lama dia termenung, kemudian dia berseru. “Ah, ini tentu dia...!”

Topeng Setan kaget, menengok. “Dia?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang kita cari-cari!”

“Ohhh...! Tapi... tapi...” Topeng Setan tidak melanjutkan kata-katanya.

Ceng Ceng kembali membaca sajak itu. Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia... dia cinta padaku? Demikian pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan kembali, mengenangkan kembali peristiwa di dalam goa itu. Pemuda yang gagah dan tampan itu mukanya beringas, jelas bahwa tidak sewajarnya, seperti keracunan hebat. Pemuda itu menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu jatuh cinta kepadanya? Mana mungkin?!

Dugaan Ceng Ceng itu membuat dia merasa makin bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda itu mencintanya? Akan tetapi benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali mengenang peristiwa di goa itu, dia seperti terlena, seperti terbuai, seperti... seperti timbul perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda itu! Akan tetapi perasaan halus yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan dan kebencian, dengan dendam dan sakit hati.

“Kalau begitu, kita sudah memperoleh jejaknya, Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan berada di sekitar tempat ini. Dugaan Paman benar bahwa kita harus mencari ke sini!” Ceng Ceng berteriak, jantungnya berdebar. Aneh, debar jantungnya itu menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia akan dapat membalas dendam, ataukah girang karena dia akan dapat berjumpa dengan pemuda itu?

Mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang tinggal dan di mana dahulu Ceng Ceng tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, mereka mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang lalu ketika para suku liar merampok desa itu, datang seorang bintang penolong yang amat lihai, seorang pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena pemuda itu datang mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan tetapi, di waktu malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang berjalan sendirian di luar dusun sambil meniup suling, atau kadang-kadang juga suka bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih.

Mendengar ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada kepada kampung terpencil itu di mana pemuda itu tinggal.

“Mengapa Ji-wi (Anda Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?”

“Kami adalah sahabatnya,” jawab Ceng Ceng.

Jawaban ini membuat Kepala Kampung cepat menghormat mereka dan dia sendiri lalu mengantarkan mereka berdua keluar kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi sungai yang membelah padang rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi. Yang ada hanya bekas-bekasnya, coret-coretan yang sama dengan di sumur maut, akan tetapi di sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang amat hebatnya. Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar pecah berantakan. Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.

“Hebat... dia hebat...” Topeng Setan mengangguk-angguk.

Ceng Ceng memegang tangan Topeng Setan. “Sudah kukatakan jika dia berilmu tinggi, Paman. Apakah sekiranya engkau akan mampu melawannya? Membantuku untuk menghadapinya?”

“Dia siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pemuda laknat itu!”

“Hemm... kita lihat sajalah nanti.”

Karena jelas bahwa pemuda yang mereka cari itu sudah pergi dari situ dan tidak ada orang tahu ke mana perginya, Ceng Ceng dan Topeng Setan berpamit dari orang-orang dusun itu kemudian melanjutkan perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari tentara kerajaan di perbatasan itu.

Ketika Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang ternyata adalah bekas anak buah Jenderal Kao, terkejut bukan main. Mereka memandang dengan mata terbelalak ketika gadis cantik yang muncul itu tersenyum dan berkata, “Apakah paman-paman masih ingat kepadaku? Aku Ceng Ceng!”

Mereka yang ingat kepadanya tentu saja terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa yang datang adalah setan atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut itu. Apa lagi kedatangannya bersama dengan seorang manusia berwajah setan!

“Nona... Nona... bukankah dahulu sudah... ehhh... tewas di sumur maut?” Seorang penjaga tua memberanikan diri bertanya, telunjuknya yang menuding kepada gadis itu menggigil.

Ceng Ceng tertawa. “Memang aku disangka mati, akan tetapi untungnya Thian masih melindungiku dan aku tidak mati, Paman. Aku masih hidup. Dan aku ingin mampir ke benteng ini. Siapakah yang menjadi komandan di sini sekarang?”

“Bukan Jenderal Kao lagi, Nona...”

“Aku tahu, belum lama ini aku berjumpa dengan Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi komandan di sini?”

“Thio-goanswe (Jenderal Thio),” jawab penjaga itu.

“Hemm, siapakah dia?”

“Dia adalah Panglima Thio Luk Cong yang kini menggantikan kedudukan Jenderal Kao.”

“Ahh, Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah mengenalnya pula!” Ceng Ceng berseru.

Mereka berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan Jenderal Thio yang tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu Jenderal Kao ketika membasmi pemberontak, segera menyambut dan menjamu mereka.

Dengan gembira mereka makan minum dan Ceng Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika dia menolong Jenderal Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut sehingga disangka mati. Dia dengan terus terang menceritakan betapa dia ditolong oleh seekor ular besar dan oleh Ban-tok Mo-li diangkat menjadi murid, dan betapa akhirnya dia berhasil keluar dari neraka di bawah tanah itu. Jenderal Thio dan beberapa orang perwira tinggi yang menemani mereka makan minum mendengarkan dengan penuh kagum.

“Sungguh aneh sekali ceritamu itu, Lihiap (Pendekar Wanita)!” Seorang perwira muda berseru kagum. “Dan di sini juga baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh lagi... ehhh...” Tiba-tiba dia menoleh kepada Jenderal Thio dengan gugup karena merasa bahwa dia telah kelepasan bicara.

Jenderal Thio tertawa sambil mengangguk-angguk. “Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan sahabat-sahabat baik, tidak ada halangannya menceritakan keanehan itu pada mereka ini.”

Perwira itu lalu bercerita dengan hati gembira. Dia masih muda dan tentu saja dia amat kagum akan kecantikan dan kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang normal, tentu saja ingin dia beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya memang aneh sekali.....

Kurang lebih seminggu yang lalu, terjadi hal yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati para prajurit dan para perwira di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah menara yang amat tinggi, tetapi menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan lagi setelah menara-menara baru yang lebih baik dan berada di pojok-pojok benteng dibangun, dan tidak ada yang berani naik ke menara tua itu karena anak tangganya sudah banyak yang runtuh dan sudah tua. Berbahaya sekali naik ke sana, bahkan tidak mungkin sampai di puncaknya karena anak tangga ke puncak itu pun sudah runtuh semua. Akan tetapi pada suatu malam terdengar suara orang meniup suling di puncak menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki bernyanyi dengan nada sedih!

Biar pun para prajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan sudah biasa menghadapi maut di medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan ini mereka merasa ngeri dan takut! Apa lagi karena menara ini terkenal sebagai tempat angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang prajurit yang tewas ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui sebabnya. Kadang-kadang di tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas puncak atau turun dari puncak, bayangan yang demikian cepat gerakannya, sehingga tidak mungkin kalau bayangan manusia. Semua prajurit di benteng itu mengira bahwa itu tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari prajurit yang mati berjaga itu.

“Keanehan itu terjadi setiap malam sampai tiga hari yang lalu,” demikian perwira muda itu melanjutkan ceritanya, tersenyum gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa Ceng Ceng amat tertarik dan tanpa berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng Ceng tertarik sekali oleh cerita itu karena dia menyangka tentu bayangan itu adalah pemuda yang dicarinya.

“Apakah sekarang dia masih berada di atas menara?” otomatis dia bertanya.

Perwira muda itu menggeleng kepala. “Sayang, hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga hari yang lalu, di benteng ini muncul pula seorang kakek yang luar biasa anehnya, punggungnya bongkok sekali...”

“Ahhh...!” Ceng Ceng dan Topeng Setan berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena mereka sudah menduga siapa adanya kakek bongkok itu.

“Dia datang dan bertanya kepada kami apakah kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi besar yang tampan... Dia datang di waktu lewat senja dan pada saat itu terdengar suara melengking dari atas menara, suara orang meniup suling dengan nada yang merawankan hati. Kami semua ketakutan, akan tetapi kami hendak mempermainkan kakek bongkok itu. Kami mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu berada di atas menara!”

“Hemmm...” Topeng Setan menggeram.

“Kami tadinya hanya ingin main-main saja, tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya bongkok dan lemah itu tiba-tiba menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan... dia terbang ke atas!”

“Terbang...?” Ceng Ceng juga tertarik sekali dan tak disadarinya dia bertanya.

“Ya, terbang! Dia terbang ke atas puncak menara yang amat tinggi itu! Tentu saja kami semua menjadi bengong dan ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang hantu yang mencari kawannya! Suara suling itu berhenti dan tidak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berkelebat, melayang turun dari puncak menara itu dan lenyap entah ke mana. Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu tidak pernah muncul lagi.” Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri menceritakan peristiwa itu.

Keadaan menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio yang sudah berpengalaman luas lalu berkata, “Tentu saja cerita itu mungkin berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang berada di menara itu adalah seorang kang-ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan bukan tidak mungkin bahwa kakek yang datang itu adalah gurunya.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Mungkin sekali... bahkan, kuyakin begitulah!”

Topeng Setan menoleh kepadanya dan Ceng Ceng juga memandangnya. “Bagaimana pendapatmu, Paman?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya kepada orang bertopeng itu.

“Huh? Oh, mungkin sekali begitulah,” akhirnya dia berkata seperti orang baru sadar dari lamunannya.

Setelah mendengar cerita itu, Ceng Ceng melamun. Agaknya tidak keliru lagi, tentu pemuda laknat itulah pemuda yang bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak cinta gagal itu! Siapa lagi kalau bukan dia? Akan tetapi sekarang pemuda itu telah berkumpul dengan gurunya, Si Dewa Bongkok yang lihai dan tentu diajak pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari pemuda itu harus di tempat tinggal gurunya.

Akan tetapi, pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apa lagi kini ditambah gurunya dan mungkin tokoh-tokoh lain di dalam Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng melirik ke arah ‘pembantunya’ yang duduk melamun sambil memegang cawan arak karena mereka semua sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya, karena kalau dia seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda laknat itu saja tidak mungkin dia menang. Jagoannya ini makin lihai saja. Entah bagaimana agaknya tiap hari tambah maju saja ilmu kepandaian orang ini. Dapatkah Si Buruk Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan muridnya? Dapatkah Si Buruk Rupa ini diandalkannya? Si Buruk Rupa... ah, buruk?

Belum tentu! Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa melebihi semua pria yang pernah dilihatnya! Ahh, apa pula yang dipikirkannya ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat setia.

Betapa pun juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong itu.

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan benteng itu. Mereka berdua menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.

Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, di mana orang-orang golongan beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini. Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu di situ, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya dengan sedih.

Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan...

“Ahhhhh...!”

Topeng Setan terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.

“Kenapa, Ceng Ceng?”

“Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana aku bersembunyi, dan aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu di mana pemuda laknat itu masih terkurung.”

Topeng Setan mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing mempergunakan racun-racun jahat.

“Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?”

“Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, yaitu di dalam kerangkeng itu.”

“Hemm... kalau begitu... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di dalam kerangkeng?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu! “Aku tidak tahu, akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku... aku merasa kasihan. Maka aku kemudian menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana di mana aku membawa kerangkeng itu sembunyi di dalam goa.”

Topeng Setan menggeleng kepala. “Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang bahaya untuk menolong orang yang tidak kau kenal?”

Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, ia takkan menyimpan rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri dan dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekali pun.

“Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku... eh, terus terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, sangat gagah dan tampan...”

“Tampan mana jika dibandingkan dengan... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?” tiba-tiba Topeng Setan bertanya.

“Hemmm... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya, menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu. Dia gagah dan tampan, aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata bersembunyi moral yang bejat!”

Hening sejenak dan Topeng Setan menundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya, “Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”

“Setelah bersembunyi di dalam goa, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya, akan tetapi dia menolak dengan keras...”

“Ehhh?” Topeng Setan terkejut. “Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia menolak? Mengapa?”

“Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan.”

“Hemmm... lalu bagaimana?”

“Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan... dan... dia menubrukku, dia memeluk dan menciumiku...”

“Hemmm, bedebah...!”

“Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat bangun, lalu dia memandangku dengan mata merah, seperti orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya dia meloncat keluar dari dalam goa! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan...”

“Hemm, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?”

“Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan goa, lalu dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia saja. Dia amat kuat dan dia... dia lalu menggagahi aku, dia... dia memperkosaku... Paman, ahhh, Paman...”

“Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau memang layak mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan menampar kepalanya sendiri.

“Plakkk...!” Dan dia roboh terpelanting.

“Paman...!” Ceng Ceng terkejut dan menubruk. “Ehhh, Paman, mengapa...? Mengapa Paman menampar kepala sendiri?”

Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mukjijat dari Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mukjijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata, “Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan kakimu!”

“Tapi... tapi... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah Paman mampu melawan mereka?”

“Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!”

“Paman... Paman... engkaulah orang termulia di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya merangkul kaki Topeng Setan dan berlutut.

Dada yang bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang berlutut di depan kakinya itu. Dengan halus dia lalu membangunkan Ceng Ceng.

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”

“Nanti dulu, Paman. Aku... aku ingin sekali... menengok tempat itu. Sekali lagi...”

“Tempat apa? Di mana?”

“Goa itu...”

“Ya Tuhan!” Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya. “Kau... kau malah ingin melihat tempat itu, tempat di mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?”

“Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman.” Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya, seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah!

Topeng Setan menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke goa jauh di depan. Ketika tiba di depan goa, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, lalu memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan memasuki goa besar itu. Tiba-tiba dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.

“Ada apa, Ceng Ceng?” Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar, agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa seram memasuki goa ini!

“Sssttt... Paman... ada asap... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia... harap Paman waspada dan suka membantuku!”

Ceng Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam goa itu. Tidak salah lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap memasuki bagian yang paling dalam dari goa itu dan... ternyata tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan dibentangkan di situ.

Tiba-tiba Topeng Setan berbisik, “Ssssttt... mari keluar, ada suara orang di luar!”

Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar goa dan mereka cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan goa itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara seorang wanita, “Aihhh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?”

Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu makin dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo!

Dara cilik itu sedang berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di jalan tak jauh dari tempat itu.

“Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!” Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan dari belakang.

Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang matanya yang lebar jeli itu terbelalak.

“Ehhh, kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu dengan sikap manja. “Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?”

Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu. “Kelak kalau aku sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal di dalam goa itu?”

Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali. “Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas mempunyai ayah seperti dia yang tak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya... ehhh, siapa dia ini? Tentu jahat sekali, Subo.” Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.

“Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar,” jawab Ceng Ceng.

Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan. “Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah tampan, boleh aku membuka topengmu?”

Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.

“Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!” Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.

“Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.

“Hemmm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?” Topeng Setan bertanya.

“Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biar pun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng?”

Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu. “Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”

Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata, “Subo mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!”

Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan bertanya, “Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam goa itu?”

Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan... ehhh, mana kelinciku yang gemuk tadi?” Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi.

“Wah, celaka, rugi besar aku...” Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.

“Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...,” kata Topeng Setan menawarkan.

“Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,” katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan dendeng.

Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata, “Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana?”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini! “Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Karena itu, kau menanti saja di goa ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini.”

“Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!”

Ceng Ceng merangkul pundak ‘muridnya’ itu. “Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan...”

“Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekali pun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!”

Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu. “Ehh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?”

“Mengapa tidak? Ehh, apa Paman pandai terbang?”

“Terbang?”

“Ya, terbang di angkasa.”

“Tentu saja tidak bisa!”

“Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!”

“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng menegur. “Masa kau bisa terbang?”

Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.

“Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”

“Ehh, mana burung itu?”

“Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?”

Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi. “Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua omonganku.”

“Baik, Subo, baik. Ahhh, Subo manis sekali!”

Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andai kata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.

“Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini.”

Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subo-nya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit nyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun.

Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.

Setelah mengambil pakaiannya dari dalam goa, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam. “Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana...!”

Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.

Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar ‘muridnya’ itu tidak benar-benar mengejarnya.

“Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali.”

“Memang, tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan.”

Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa. “Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!” Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.

“Subo...! Hiiiii!!” Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.

“Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan.”

Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subo-nya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subo-nya, membantu subo-nya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subo-nya dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauw-nya dan kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.

Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan ‘angker’ dan keramat.

“Hati-hati, Paman...” Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas.

Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!”

“Baik, Subo...!” Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turut masuk. Akan tetapi karena dilarang subo-nya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.

“Mari kita masuk, Paman...” Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh.

Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!

Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya.

Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.

“Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng berbisik.

“Hemm... mungkin begitu...” jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik.

Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jeri! Apa lagi dia. Dia sudah merasa seram dan longak-longok memandang ke sana-sini.

“Sregggg...! Sregggg...!”

Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu mendadak dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.

Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu adalah seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka secara otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.

Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika mereka lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan. Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri.

Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap.

Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu.

Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mukjijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.

Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut sekali karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini, tadi menyapu sambil bersilat! Semua ‘serangan’ ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!

“Sreggg! Sreggg!”

Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan semedhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!

Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas.

Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mukjijat, khasiat anak naga itu.

Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mukjijatnya itu, sungguh pun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seluruh tenaga mukjijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sinkang-nya.

“Paman...” Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!

“Ahh, di mana dia...?” Ceng Ceng memandang ke kanan kiri.

Dia sampai lupa pada Topeng Setan karena digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah ‘dipancing’ untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!

“Paman...!” Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan.

Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan seram, bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi tembok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.


BERSAMBUNG KE JILID 27