Kisah Sepasang Rajawali Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 23
Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.

Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.

“Ahhh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu, “Ahh, benar, dia adalah Louw Ki Sun... aku pernah bertemu dengan dia...!” Ceng Ceng berseru lagi.

Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, “Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Tolong carikanlah air yang jernih... dia memerlukannya...”

Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.

Namun ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis?

“Paman, kau... kau... menangis?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.

“Ah, dia telah mati?” tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.

Topeng Setan mengangguk. “Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng.”

Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka.

Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah kakek itu dikubur di depan kuil tua itu dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, terpekur dan mengheningkan cipta.

Topeng Setan kemudian mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.

Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apa lagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang juga melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luar biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!

“Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu,” Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. “Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan.”

Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!

Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak.

Karena luasnya telaga maka biar pun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apa lagi terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman!

Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak ‘pesiar’ di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!

Namun, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.

Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.

“Begitu banyak orang...,” Ceng Ceng berbisik.

Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.

“Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di goa dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu.”

“Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kau kira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?”

“Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai.”

“Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,” kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu.

Topeng Setan menarik napas panjang. “Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...”

“Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.

“Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang sudah tidak mau lagi menggunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tak bisa dibandingkan dengan kita, juga dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.”

Topeng Setan menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...”

“Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan mala petaka bagi kehidupan manusia, Paman?”

“Kenyataannya demikianlah... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu... ahhh, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.

“Eh... engkau ini...? Moi-moi... Nona Ceng...?” Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.

Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.

“Ohhh... Pangeran... Yung Hwa...” Dia tergagap.

“Aih, Nona... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ahhh, mukamu masih pucat... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...”

Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepada Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, “Dia ini... eh, siapakah dia, Nona Ceng?”

Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, “Kiranya Paduka adalah seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini.”

“Topeng Setan...? Nama yang aneh...!” Pangeran Yung Hwa kelihatan seram.

“Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?” Ceng Ceng bertanya.

Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.

“Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, dan beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau... ahhh, kasihan Kakak Milana...”

“Kenapa, Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.

“Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ahhh, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana.”

Ceng Ceng kaget bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia amat kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.

“Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.

“Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!” Wajah yang tampan itu berseri.

“Mengapa, Pangeran?”

“Ahhh, engkau tidak tahu? Ceng-moi..., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi...”

“Ahhh, jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa memandang.

“Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan ternyata benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi...!” Pangeran itu kelihatan girang bukan main.

Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu. “Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Mengapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...”

“Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...”

“Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran.”

“Ouhhh...! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?”

Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. “Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...”

Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, “Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan sekarang pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa.”

“Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!” Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan!

Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.

Topeng Setan cepat mengangkat bangun pangeran itu. “Ahhh, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran.” Suara Topeng Setan mengandung keharuan. “Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng.”

“Terima kasih... terima kasih...! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?”

“Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran.”

“Aiihhh...?” Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. “Berebutan? Apa yang diperebutkan?”

“Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!” kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum mala petaka kehidupan menimpa dirinya.

Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. “Lucu...! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kau lihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ benar akan muncul anak naga? Ha-ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui pula dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi amat gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!”

Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. “Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?”

“Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...” Pangeran itu menuding ke kanan. “Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri... tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa perlu ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kau dengarlah...”

Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada waktu itu memang sangat indah pemandangannya. Lalu terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.

Merah nyala matahari,
membakar langit senja kala,
di atas Telaga Sungari.
Air terbakar merah seperti neraka,
sebagai isyarat munculnya sang naga,
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!


Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimana pun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!

“Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”

“Sajak yang indah sekali!” Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.

“Sajakmu memang bagus, Pangeran,” kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.

“Tunggulah sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hemm... aku maklum bahwa keindahan itu tak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kau tunggu sebentar, aku takkan lama...” Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.

Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.

“Paman, mari kita pergi...” Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.

“Ehhh...?” Topeng Setan berkata bingung.

“Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tak akan berhasil mendapatkan anak naga itu... Dia... dia... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini.”

Topeng Setan hanya mengangguk tanpa membantah, lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.

“Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...,” terdengar Topeng Setan berkata.

“Dia seperti orang gila saja...,” Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.

“Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...”

“Sudahlah, Paman. Sekarang aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana.”

Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu semakin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan jika perlu menggunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu!

Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya seram-seram dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan perlahan-lahan mendayung perahunya sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya, terus meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu jaraknya tidak terlalu jauh dari perahunya.

Penumpangnya hanya satu orang. Orang tua berpakaian tosu yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.

“Tarrrrr...!”

Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.

Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak, lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, dan tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!

“Hebat...!” Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian ginkang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.

Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan ‘terbanglah’ dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Ginkang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.

Tubuh tosu yang ‘menunggang’ empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.

“Huhhhh!” Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya ‘terbang’ terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.

“Hemmm...!” Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan... perahunya ‘selulup’ ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali di depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguh pun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!

Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.

“Cluppp...!” Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap.

Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, kemudian bertanya kepada Topeng Setan, “Paman, apakah dia mati?”

Topeng Setan mendengus, “Hemm, dia sudah kembali ke perahunya.”

Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya?

Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.

“Brakkkk...!”

Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang besar kedua perahu itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.

Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut, akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.

Perahu kedua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari bilik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon.

Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Mendadak jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.

Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.

Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, telah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.

“Itu dia...! Naga sudah muncul...!”

Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu, maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik.

Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, namun belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing.

Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.

Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apa bila yang dinanti-nanti itu muncul.

Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apa lagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya ‘naga’ itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong.

Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya ‘berdiri’ dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa!

Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.

“Koaaaakkk...!” Terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali.

Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.

Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular ‘naga’ itu sedemikian hebatnya. Saat mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Sementara itu, anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan.

Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu mengambil anak ‘naga’ itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?

Betapa pun lihainya seseorang, mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja telah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apa lagi mencuri anaknya dari dalam moncong!

Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguh pun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, akibat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada belasan orang!

“Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan berkata lirih. “Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?”

Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengancam.

“Aaiiihhh...!” Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit.

Cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.

“Apa... apa yang terjadi... eiiikkkhhh...!” Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri.

Tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih keluar bergumpal dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menyabet perahu.

“Braaakkkk...!” Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu.

Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas, akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sinkang-nya dapat melindungi tulang pahanya, akan tetapi biar pun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.

“Pakai pedang pendek ini...!” Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri.

Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke arah lidah ular naga itu.

“Crattt... plaaakkk!”

Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu, tetapi gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan. Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik melengking nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari!

Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu melepaskan diri.

Akan tetapi pada saat itu induk ular naga menjadi marah sekali. Biar pun matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular dan berusaha menghindar dan berenang.

Topeng Setan yang melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya menjadi terkejut. Dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.

“Plakkk...!”

Topeng Setan mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya. Topeng Setan terbelalak.

“Auhhhh....” Mulut Topeng Setan mengeluarkan suara ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi!

Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang paling penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan dipermainkan air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya.

Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air itu hendak berenang menjauh, mendadak kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tak dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.

Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, akan tetapi cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan tak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali Topeng Setan ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah.

Tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Namun karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.

Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kaklnya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar dan bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya hendak merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan!

Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan langsung menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak lagi, apa lagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar bermuka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.

“Bukkk!” Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.

“Byuuuurrr...!”

Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul telah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam! Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.

“Keparat...!” Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.

“Brakkkk...!” Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap!

Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.

“Paman...!” Ceng Ceng menjerit sambil memeluk tubuh mandi darah itu. “Kau... kau... lenganmu...?”

“Tidak apa, Ceng Ceng... tidak apa...” Topeng Setan berkata tenang.

“Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?” Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari dalam saku bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik topengnya yang buruk.

Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, namun masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang menyelam dan menghilang.

Melihat kesibukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apa lagi karena dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tak melihatnya biar pun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.

“Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...,” terdengar Topeng Setan berkata.

“Peduli dengan ular itu...!” Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati. “Aku... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu.”

“Ahhh... jangan berkata begitu...”

Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat!

Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.

“Jangan keroyok, biarkan dia!”

Mendengar ini, Tambolon bersama dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata, “Hai, cucuku gundul... engkau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari... mari sini... berikan ular itu kepadaku...!”

Ceng Ceng yang sudah selesai membalut, kini bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu.

Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya menjadi sadar dan dengan teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah pertandingan seru di atas perahu.

Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu.

Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya.

Selagi Topeng Setan masih belum tahu apakah dia harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlempar ke dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik.

Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang ditumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga itu.

“Desssss...!”

Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan hendak menangkap anak ular naga itu. Begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan tenaga sehingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.

Anak ular lalu itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya dan dijadikan rebutan!

Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu sangat takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia lalu berteriak kepada Hong Kui, “Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu...!”

Hong Kui terkejut dan marah. “Apa? Aku tidak sudi!” Dan dengan marah dia menarik sekuatnya.

Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat dari pada bagian ekornya.

“Prattttt...!”

Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.

Melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, Topeng Setan yang setengah pingsan karena penderitaannya itu tahu bahwa gadis itu terancam bahaya sebab tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa kini keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biar pun ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.

Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng Setan mengambil keputusan nekat. Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya yang terluka hebat dengan daya kemauannya yang membaja, Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari mereka.

Dengan pengerahan tenaga yang amat menakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang pernah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, tapi dia tidak mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan.

Dengan sinkang-nya yang sudah mencapai puncak, dia dapat ‘menyimpan’ hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ceng Ceng. Dasar sinkang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air.

Di antara mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat.

Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat bayangan mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri!

Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula dirinya tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, ia mengeluarkan hawa ‘simpanan’ yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas. Wuihhh.



Ceng Ceng gelagapan, akan tetapi dadanya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi menyelinap di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya! Dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri juga, karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas!

Keharuan memenuhi hati Ceng Ceng dan saat Topeng Setan melepaskan ‘ciumannya’, dia merangkul pinggang kakek itu serta merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke pantai.

Setiap kali Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng Setan lalu ‘menciumnya’ seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya, dia membayangkan wajah... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan menarik itulah yang menciumnya, akan tetapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul!

Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan napas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan meledak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan kuat.

Sementara itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng. Ada pun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok tiang layar dihantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan perahu.

Melihat ekor ular itu yang masih berdarah itu, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah itu, bibir yang selalu merah basah dan yang sudah sangat dikenalnya dengan ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui.

Sedikit pun wanita itu tidak kelihatan merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular! Terbukalah matanya bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing dan merayunya dan dia merasa alangkah bodoh dirinya. Tetapi biar pun kenyataan ini membuat dia kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak melenyapkan rasa tertariknya. Wanita itu sudah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya!

Kalau tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, ia yakin bahwa sebetulnya tidak ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu kesenangan karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan menyenangkan hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu memasuki perutnya!

Topeng Setan sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sampai terasa di ubun-ubun kepalanya, kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular naga juga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung. Akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.

“Cepat kau makan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng Ceng.” Topeng Setan berkata.

Ceng Ceng menoleh kepadanya. Wajahnya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat lengan kiri yang buntung itu dan mendadak Ceng Ceng memandang ular di tangannya dengan wajah beringas. “Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!” Ceng Ceng lalu melemparkan ular itu ke telaga!

“Aihhh... kau... kau gila...!” Topeng Setan berteriak kaget sekali.

Cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi Topeng Setan untuk menangkap dan membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.

“Kau harus makan daging ular ini dan minum darahnya.” dia berkata.

“Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman.”

“Kau harus!”

“Tidak...!”

“Aku akan memaksamu!”

Ceng Ceng yang pada dasarnya berhati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia meloncat bangun sambil mengepal kedua tangannya. “Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani.”

“Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng.”

Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah menahannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.

“Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kau pergunakan sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu...”

Topeng Setan mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang basah, lalu dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari darah dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.

“Cairan ini mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijikkan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu secepatnya kau minum.”

Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek, “Aku tidak mau!”

“Maaf...!” Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.

“Aaaahhhh!” Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali!

Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.

“Maaf, terpaksa aku...!” Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng.

Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia dicekoki cairan ular yang menjijikkan itu. Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki perutnya.

“Kau maafkanlah aku, Ceng Ceng...”

Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apa lagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

“Mengapa kau minta maaf?” tanyanya pendek.

“Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu.”

“Engkau memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman.”

“Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, dan mencekokkan obat itu kepadamu.”

“Sudahlah, obat sudah masuk ke perutku, mengapa diributkan lagi?”

“Dan maafkan aku... aku tadi terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu...” Topeng Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ.

Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.

Ceng Ceng merebut kayu kering itu. Dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

“Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air.”

Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk. “Kini bagaimana... perasaan tubuhmu, Ceng Ceng?”

Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat-cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya, “Rasanya enak dan hangat... dan rasa muak itu lenyap, Paman.”

“Hemm... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng.” Suara itu terdengar girang.

Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk. “Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman...!”

Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung. “Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar...”

Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak. “Kau... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?”

Topeng Setan menggelengkan kepalanya. “Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi menimpa diri kita tidak mengandung suka atau pun duka, tidak mengandung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau pun duka hanyalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapa pun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku tidak akan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikirkan? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan perasaan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka.”

Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?

“Paman, setelah segala pengorbanan besar yang kau derita karena aku, setelah segala yang kau lakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kau lakukan untukku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman.”

Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng.

“Tidak...! Tidak..., janganlah kau minta itu... Kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti... akan tetapi yang satu ini... jangan pernah kau memaksa aku menanggalkan topengku...”

“Kenapa, Paman? Antara kita... mengapa engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?”

“Aku... aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan..., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati...”

Ceng Ceng menundukkan muka, menarik napas panjang. “Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguh pun aku yakin bahwa betapa pun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apa lagi jijik dan muak, apa lagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang... kau bunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?”

Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak lagi memaksanya membuka topeng. Dia duduk kembali bersandar batang pohon, kemudian menjawab, “Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku... aku telah membunuhnya...”

“Kasihan sekali engkau, Paman...”

Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata, “Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kau pelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau... kau temui Pangeran Yung Hwa itu...”

“Eh, mengapa, Paman?” Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

“Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau telah mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia... dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi, tampan dan baik hati. Dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kau pergilah kepadanya...”

Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras. “Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku... aku tidak berharga...”

“Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, putera dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa mau pun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini. Kau kembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee...?”

“Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!”

“Ehhh...?!” Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar hal ini. “Putera Pendekar Super Sakti itu... pamanmu?”

Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta padanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia ternyata adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.

“Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa she-ku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super Sakti, dia... ayahku itu... dia amat jahat, Paman....”

Ceng Ceng kemudian menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya, betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya.

Betapa dia mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan.

Setelah mendengar semua itu, Topeng Setan lalu menarik napas panjang. “Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekali pun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau menjumpainya, Ceng Ceng...”

“Paman...! Janganlah engkau berkata demikian, Paman...!” Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.

“Eh, ehhh... Ceng Ceng, kenapa...?” Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar.

Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah. “Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apa lagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanyalah seorang yang menanti kematian...”

“Eh, apa maksudmu?”

“Paman... aku... aku telah tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada kematian. Aku telah ternoda, aku telah diperkosa orang...” Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam goa itu ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.

“Dia kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman... Dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kau kubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang kau gambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Dan setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman, sesudah itu, aku... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat ini...?”

Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, tampak seluruh urat di dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.

Ceng Ceng memandang dengan amat heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar ceritanya. Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis.

Dan akhirnya Ceng Ceng menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis. Dia melepaskan seluruh kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan penderitaan yang menimpanya.

Dengan lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tanngannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.

“Paman... Paman... ahh... Paman... hu-hu-huuuhh...” Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.

“Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan kebahagiaan...”

“Paman, kau bilang tadi... kau akan meninggalkan aku... kau menyuruh aku pergi ke kota raja...”

“Sekarang tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Janganlah kau khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu.”

“Paman... uhu-hu-huuu, Paman...” Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu.

“Paman, mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa...?” Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu. “Dan mengapa dia... dia begitu jahat... dia merusak hidupku... mengapa...?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.

“Kita harus segera pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng.”

“Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu.” Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya.

Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali.

Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling berkaitan dan tidak akan ada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya.

Sebagai contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir mau pun batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu, akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi.

Reaksi dari kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini, maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi.

Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.

Sekali kita membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing dan menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang terjadi tidak bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguh pun kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita. Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan atau menyalahkan.

Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi ‘bukan apa-apa’, dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita! Oleh karena itu pula, dengan membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguh pun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup.

********************

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar dari istana oleh Puteri Milana, akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan atas usul jenderal yang gagah perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi lalu dikawal oleh dua losin pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu mengawal Syanti Dewi yang menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah. Berangkatlah mereka membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan yang amat jauh itu ke Bhutan.

Kepala atau komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah berusia empat puluh tahun yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal kepercayaan Jenderal Kao Liang. Dia memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid Hoa-san-pai dan juga mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat digunakan sebagai ‘jimat’ di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar puteri jelita itu.

Pengawal Can Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar puteri itu, yang dia tahu diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar, dan tentu akan menarik hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan tetapi, mengandalkan ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan mengandalkan nama Jenderal Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi, pengawal ini melakukan perjalanan dengan hati tenang sungguh pun dia selalu berhati-hati.

Dua hari kemudian, mereka berhenti di sebuah dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir di sebelah selatan dan barat kota raja Peking. Setelah melapor kepada kepala dusun setempat, kepala dusun dengan penuh kehormatan lalu memerintahkan penginapan tunggal di dusun itu untuk mengosongkan semua kamar dan memberikannya kepada rombongan ini.

Dusun ini berada di dekat hutan yang menjadi markas para kaum sesat yang dipimpin oleh Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba di dusun, seorang di antara anggota Tiat-ciang-pang yang kini telah bergabung menjadi anak buah perkumpulan kaum sesat itu, cepat lari ke markasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan pengawal lewat dan bermalam di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan seorang puteri yang menurut kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan melarikan diri dari istana Kaisar. Kabar seperti itu memang cepat sekali tersiar sehingga tidak mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah itu.

Kalau saja Ceng Ceng berada di tempat itu, tentu dia akan girang sekali mendengar berita ini. Akan tetapi pada waktu itu, Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan telah terjadi perubahan besar sekali di pusat kaum sesat daerah kota raja ini. Baru beberapa hari yang lalu, markas kaum sesat itu telah diambil-alih dan dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka!

Seperti kita ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga berusaha menangkap anak ular naga di Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa mereka gagal, naga yang terluka menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular itu lenyap setelah yang terakhir berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo membawa anak buahnya mendarat.

Mereka melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan mereka langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena Hek-tiauw Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini. Karena menduga bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan bersembunyi di sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi ternyata dia dan rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu dari pada Ceng Ceng dan Topeng Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan lukanya Topeng Setan.

Setelah tiba di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau Neraka ini dapat menguasai para kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban. Kaum sesat di tempat itu sudah terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa kakek raksasa mengerikan itu adalah Ketua Pulau Neraka, apa lagi sesudah menyaksikan kelihaian anak buahnya.

Setelah mendengar bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo lalu mengatur untuk menyambut kedatangan dua orang itu yang diharapkan masih menyimpan anak ular naga Telaga Sungari. Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw Lo-mo mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri Bhutan bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu. Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri Bhutan itu.

Dia pernah mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara angkat Puteri Bhutan yang menimbulkan kegemparan itu. Maka kini mendengar puteri itu lewat di dekat tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik ini untuk menawan Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia pergunakan sebagai sandera untuk memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga kepadanya!

Dan selain anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus memaksa Topeng Setan mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang kini telah lengkap karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam, baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah dilarikan oleh Topeng Setan, maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini berada di tangan Topeng Setan! Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun Pasir itu di tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha sekuat tenaga dan mau melakukan apa pun juga untuk menangkap dan memaksa mereka menyerahkan dua buah benda keramat itu.

Baru saja anak buah Pulau Neraka yang diutus oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk menangkap Puteri Bhutan yang hanya dikawal oleh dua losin prajurit itu, tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kucing. Lirih saja suara ini yang datangnya dari atas genteng dan yang bagi orang lain tentu akan dianggap suara kucing asli, akan tetapi kakek raksasa ini sudah hafal akan suara sumoi-nya, maka sambil tersenyum lebar dia menggerakkan tangannya seperti orang tidak sabar dan berseru, “Sudahlah, Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa mesti banyak lagak!”

“Suheng...!” Dari atas genteng melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan tahu-tahu di depan kakek raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang cantik jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang tertimpa sinar lampu yang terang.

Sejenak Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoi-nya itu dengan kagum, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoi-nya lebih teliti lagi. “Ehhh, engkau sudah sembuh...!”

Lauw Hong Kui mencibirkan bibirnya yang merah basah itu kepada suheng-nya, dan sikapnya manja serta mengejek. “Suheng, setelah engkau kejam meninggalkan aku terancam bahaya maut dan darahku keracunan, apa kau kira aku tidak mampu mencari obatnya sendiri?”

“Salahmu sendiri!” Hek-tiauw Lo-mo mengomel. “Engkau mencuri ilmu dari kitabku...”

“Huh, kitab itu pun kitab curian,” Lauw Hong Kui mencela.

“Jangan kurang ajar kau! Setelah mencuri ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan, apa yang kau harapkan dariku? Hal itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi racun itu pun tidak akan membunuhmu, karena itu aku diam saja.” Hek-tiauw Lo-mo memandang lebih teliti wajah sumoi-nya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat sekali. “Sudahlah, Sumoi, sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh obat yang mencuci bersih darahmu?”

Dengan sikap angkuh dan lagak bangga Lauw Hong Kui bertolak pinggang dan berkata, “Suheng tidak berhasil di Telaga Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa Suheng gagal, bahkan hampir celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis itu!”

“Eh, eh... kau juga berada di sana?”

“Tentu saja! Dan berhasil!”

“Berhasil? Kau mau bilang bahwa anak naga itu...”

Mendadak tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar dan sumoi-nya tidak mampu lagi mengelak karena pergelangan tangannya sudah dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari tangan kakek itu lalu menotok sana-sini membuat sumoi-nya tak dapat bergerak, lalu tangannya meraba-raba dari ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati di antara dua tonjolan buah dada wanita itu.

“Hemm, kau sudah sembuh sama sekali akan tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu hawanya terasa olehku. Kau bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah obat apa yang telah menyembuhkan keracunan darahmu,” kata kakek itu dan dia membebaskan kembali sumoi-nya.

Setelah dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li memandang suheng-nya dan dengan mata berapi dia berkata penuh kemarahan, “Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku seperti tadi, aku akan membunuhmu!”

“Heh-heh, kau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melakukan itu, anak manis. Sekarang ceritakan saja obat apa yang telah menyembuhkanmu?”

“Apa lagi kalau bukan anak naga itu? Akan tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah makan seluruhnya, apa kau kira aku demikian tolol untuk muncul di depanmu? Tentu engkau akan merampas khasiatnya dengan cara makan dagingku dan minum darahku.”

“Ahhhh! Masa aku melakukan hal itu? Engkau adalah sumoi-ku.”

“Huhhh, seperti aku tidak mengenalmu saja, Suheng. Akan tetapi karena aku hanya memperoleh ekor anak naga itu dan telah kumakan habis, andai kata engkau makan dagingku dan minum seluruh darahku pun tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng, sisa anak naga itu, sebagian besarnya karena aku hanya memperoleh ekor sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar bersama Si Topeng Setan yang lihai.”

“Aku tahu... hemmm...!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah genteng.

“Suheng, jangan...!” Lauw Hong Kui mencegah, akan tetapi terlambat.

Tampak sinar berkelebat dan sebatang golok terbang yang panjangnya hanya satu kaki meluncur ke arah bayangan seorang pemuda yang berdiri di atas genteng. Akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu mengulur tangan kiri dan menangkap hui-to (golok terbang) itu pada gagangnya, lalu dia melayang turun dan melemparkan golok kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, “Lo-mo, beginikah kau menyambut tamu?”

“Hehhh!” Hek-tiauw Lo-mo mendengus. Tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to yang menyambar ke arah dadanya.

“Krekkk!” Hui-to itu patah-patah menjadi tiga potong dan semua potongannya, berikut gagangnya, menancap di atas lantai.

Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia menjadi terkejut. “Ah, kiranya engkau, keparat!” bentaknya dan dia sudah siap untuk menyerang.

“Suheng, jangan! Dia adalah sahabatku, sahabatku yang sangat baik!” Lauw Hong Kui meloncat di depan suheng-nya, menghadang dan melindungi Kian Bu.

“Lo-mo, kalau tidak melihat muka sumoi-mu dan tidak menerima undangannya, apakah kau kira aku sudi datang mengunjungimu sebagai tamu?” Kian Bu juga berkata dengan nada suara mengejek.

“Sumoi, apa artinya ini? Tahukah kau siapa pemuda ini?”

“Dia adalah Suma Kian Bu yang telah membantuku mencari anak naga.”

“Dia adalah putera dari Majikan Pulau Es, goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang menjadi musuhku ini?”

“Kalau dia adalah benar putera Pendekar Super Sakti, aku malah merasa bangga dapat menjadi... ehh, sahabat baik.”

“Minggirlah, aku akan membunuhnya!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.

“Enak saja engkau bicara, Lo-mo. Dahulu waktu aku masih kecil pun engkau tak mampu membunuhku, apa lagi sekarang,” jawab Kian Bu, sedikit pun tidak menjadi takut.

“Suheng, harap jangan mengumbar keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!” Lauw Hong Kui mencela suheng-nya. “Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya tinggal kita dua saudara? Aku akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan kita akan saling gempur mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat, Suheng telah melihat sendiri betapa banyak orang-orang berilmu telah bermunculan di Telaga Sungari. Bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga kedudukan Suheng lebih kuat setelah Suci meninggal dunia?”

Hek-tiauw Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia meninggalkan Pulau Neraka karena tak betah tinggal di tempat yang amat berbahaya itu. Sumoi-nya yang pertama telah tewas dan sumoi-nya yang masih muda ini juga amat lihai, terutama sekali senjata-senjata rahasianya yang amat berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu yang boleh diandalkan, apa lagi mengingat betapa akhir-akhir ini, ketika menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam, sumoi-nya ini juga langsung turun tangan membantunya. Dia menarik napas panjang dan mengendurkan lagi kedua tangannya.

“Sudahlah, selama dia menjadi sahabatmu, aku tidak akan mengganggunya.” Dan Hek-tiauw Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut lalu memasuki kamarnya.

Kian Bu mengerutkan alisnya. “Enci, aku tidak suka tinggal di tempat suheng-mu ini.”

“Eh, Kian Bu, kenapa engkau pun meniru watak Suheng yang pemarah?” Dengan sikap manja Hong Kui menggandeng lengan pemuda itu. “Ingat, kita ke sini untuk menanti munculnya Topeng Setan dan dara liar itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak naga itu dapat terjatuh ke tangan kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja engkau menjadi tamu di rumahku...” Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui Hong akhirnya dapat mengajak Kian Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap dan mewah.

Kian Bu juga tidak membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak akan segembira itu melayani dan menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta. Dia sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya itu. Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati dan menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya.

Dia tahu bahwa di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan nafsu birahi yang mengasyikkan. Jika dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di rumah Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil keputusan untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri itu.

Ketika dia menyaksikan perebutan anak ular naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah menganjurkan kepada kekasihnya itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada Ceng Ceng yang dia tahu amat membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus dan Hong Kui hanya mendapat bagian sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh Ceng Ceng, diam-diam dia merasa girang sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak menyatakannya di depan kekasihnya.

Kemudian Hong Kui menyatakan ketidak puasan hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian ekor anak naga itu dan wanita ini menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka parah itu tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di selatan kota raja di mana gadis itu menjadi ketuanya. Mendengar bahwa Hong Kui hendak mengejar Ceng Ceng ke sana, dia sengaja menyatakan persetujuannya, tetapi diam-diam tentu saja bersiap untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah kekasihnya ini mengganggu Ceng Ceng.

Siapa kira, di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka tahulah dia bahwa Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar datang ke tempat itu. Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui untuk bermalam dan tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu, menanti kalau Ceng Ceng benar datang di tempat berbahaya itu.

Sayang bahwa kedatangan mereka agak terlambat sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang bermalam di dusun tidak jauh dari tempat itu. Kalau dia mendengarnya, tentu dia terkejut sekali dan akan turun tangan mencegahnya.

Akan tetapi di dusun di mana rombongan Puteri Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama sekali tak diduga-duga oleh Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri. Siang tadi dusun itu kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh dan rombongan ini tentu akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya karena rombongan ini dipimpin oleh Raja Tambolon!

Seperti diketahui, Raja Tambolon yang dibantu oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak buahnya yang terdiri dari orang-orang liar di daerah utara, untuk ikut memperebutkan anak naga di Telaga Sungari, akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak memperoleh hasil. Ketika melihat bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan tahu bahwa nona Lu Ceng adalah bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota raja, lalu melakukan pengejaran ke tempat itu. Dia dan para pembantunya menyamar sebagai serombongan pelancong dan karena mereka royal mengeluarkan uang, mereka tidak menarik perhatian dan kecurigaan orang lain.

Di tengah perjalanan, rombongan ini bertemu dengan lima orang wanita yang sudah mengenal Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita ini bukanlah sembarangan wanita, oleh karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina Sungai Loan) yang namanya sudah terkenal sekali di sepanjang Sungai Loan-ho. Mendengar bahwa Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih kekuasaan karena mendengar bahwa perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum sesat kini dipimpin oleh seorang wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya adalah cabang atas Sungai Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon menjadi girang dan segera mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja sama.

Biar pun pihaknya sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam keadaan seperti itu, di mana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai. Dia menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga.

Demikianlah, rombongan yang kini bertambah dengan lima orang wanita itu memasuki dusun, beberapa jam lebih dulu dari pada kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan sekali, satu-satunya rumah penginapan yang diminta atau diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala dusun karena rumah penginapan itu harus diberikan kepada rombongan Puteri Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan Tambolon ini!

Tentu saja raja liar Rambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa rumah penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari kota raja yang mengawal Puteri Bhutan, dia cepat memberi isyarat kepada para pembantunya agar supaya mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun!

Akan tetapi Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apa lagi karena memang puteri itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal karena Sang Puteri dapat melarikan diri.

Tambolon tidak akan dapat menjadi raja dari para suku bangsa liar kalau saja dia tidak pandai dan cerdik. Dia bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan badan dan ilmu kepandaian silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang dapat bersikap cerdik dan hati-hati.

Dia maklum bahwa biar pun kekuatan rombongannya sudah lebih dari cukup untuk menyergap dan merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia tidak mau melakukan hal itu, mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari kota raja dan kalau dia menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar oleh kota raja, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang pandai untuk menangkap atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri kalau harus menghadapi bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia tahu banyak membantu pemerintah.

Oleh karena itu, dia lalu minta bantuan gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu untuk menawan Syanti Dewi secara halus. Nenek itu terkekeh girang. Durganini sudah terlalu tua dan sudah pikun, biar pun dia lihai sekali, baik ilmu silat mau pun tenaga saktinya, terutama sekali ilmu sihirnya. Namun karena sudah terlalu pikun, Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja sendiri saja, karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan.

Oleh karena itu, dia minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang dipimpin oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini berusia rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan kekasaran sungguh pun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak cantik juga dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang menikah. Lima orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka mengantar Durganini yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang telah mereka tinggalkan tadi.

Sementara itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah di atas pembaringan di dalam kamar rumah penginapan itu merasa gelisah hatinya. Biar pun ada dua puluh empat orang pengawal anak buah dan kepercayaan ayah angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada saat itu menjaga dan mengawalnya, namun hatinya merasa tidak enak. Dia mengingat akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bhutan dan merasa betapa lebih senang dan merasa lebih aman ketika dia melakukan perjalanan bersama adik angkatnya, Lu Ceng atau Candra Dewi.

Entah bagaimana, dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan. Dia merasa kehilangan karena di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan banyak orang jahat dan musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang yang amat baik kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Lu Ceng adik angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng laki-laki yang pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus dan sopan gerak-geriknya.

Puteri Milana yang demikian gagah perkasa dan bernasib menyedihkan. Kemudian Ang Tek Hoat, pemuda yang takkan dapat dia lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah mengorbankan diri sendiri untuk menolongnya, pemuda yang oleh semua orang dianggap jahat dan menjadi pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah berjasa membunuh pangeran pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita Puteri Milana ibu pemuda itu, ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es!

Dia membayangkan sinar mata sayu dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda itu. Teringat akan ini, Syanti Dewi menarik napas panjang. Betapa banyaknya kedukaan di dunia ini bagi manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana karena cinta kasihnya dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu merana. Dan Kian Bu patah hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia suka kepada pemuda ini seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik karena pemuda perkasa itu masih amat muda.

Renungan-renungan ini membuat Puteri Syanti Dewi merasa gelisah. Bagaimana mungkin dia dapat melupakan semua orang itu dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi lain sama sekali dan dia harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan mulai hidup baru di Bhutan? Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh ayahnya demi negara? Dia merasa ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan keindahan alam luas, kenikmatan kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan seperti menghadapi sebuah penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia, sebagai seorang wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas berupa istana megah itu sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara!

Syanti Dewi makin gelisah dan akhirnya dia turun dari pembaringan, membuka pintu samping dan berkata kepada pengawal yang berjaga di luar pintu bahwa dia ingin berjalan-jalan ke dalam taman bunga kecil di samping rumah penginapan itu. Pengawal itu mengangguk dan menjaga serta mengawasi dari jauh. Taman itu menembus ke samping rumah dan depan rumah penginapan itu telah terjaga oleh lima orang temannya. Puteri itu selalu dalam pengawasan dan tidak akan ada sesuatu dapat menimpanya.

Angin malam semilir lembut mengusap wajah Syanti Dewi, mengusir kegelisahannya yang tadi terselimut oleh kenangan yang mendatangkan rasa gelisah di hati. Kewaspadaan membuat dara ini dapat melihat dan mendengar dengan jelas keadaan di sekelilingnya dan telinganya menangkap suara tidak wajar yang arahnya datang dari depan. Dia lalu melangkah perlahan menuju ke depan sehingga akhirnya dia dapat menyelinap di belakang serumpun pohon kembang dan mengintai keluar.

Dia terheran-heran melihat lima orang pengawalnya itu semua berlutut di depan seorang nenek tua renta berpakaian hitam yang datang bersama lima orang wanita setengah tua yang sikapnya galak. Lebih lagi heran dan kagetnya ketika dia melihat berturut-turut semua pengawalnya yang keseluruhannya berjumlah dua losin orang itu berdatangan dan terdengar nenek itu berkata, suaranya agak pelo karena mulutnya sudah tidak bergigi lagi, nadanya tinggi dan mendesis setengah berbisik, akan tetapi terdengar jelas memasuki telinga bahkan sampai menyusup ke dalam jantung.

“Aku adalah permaisuri, kalian para pengawal tidak cepat berlutut memberi hormat? Aku adalah Thaihouw yang sengaja datang untuk memeriksa apakah kalian benar-benar baik dalam pengawalanmu terhadap Puteri Bhutan.” Nenek berkulit hitam berpakaian hitam itu berkata.

Syanti Dewi sendiri belum pernah bertemu atau melihat permaisuri Kaisar, karena ketika dia dihadapkan Kaisar, dia sama sekali sebagai seorang puteri bangsawan yang tahu akan tata susila tidak berani mengangkat muka dan meliarkan pandang mata, maka sekarang pun dia tidak akan mengenal permaisuri.

Akan tetapi, betapa pun juga, sampai mati dia tidak akan mau percaya bahwa nenek tua renta yang berwajah bengis menyeramkan, yang berpakaian hitam berkulit hitam dan lebih menyerupai iblis betina dari pada manusia ini adalah permaisuri Kaisar dengan lima orang pengawalnya! Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah ketika dia melihat Can Siok, komandan pasukan pengawalnya yang baru datang berlari keluar, menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu dan berseru hormat, “Thaihouw...!” Juga semua pengawal kini telah berlutut di depan nenek itu!

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang puteri Bhutan. Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan di antara Pegunungan Himalaya dan di sana banyak terdapat pertapa-pertapa dan ahli-ahli ilmu kebatinan termasuk ahli-ahli sihir. Maka puteri ini tidak asing dengan segala peristiwa yang tidak wajar dan berbau ilmu sihir. Begitu dia menyaksikan keadaan di depan rumah penginapan itu, di mana dua losin orang pengawalnya berlutut di depan seorang nenek hitam dan menganggap nenek itu permaisuri, dia sudah dapat menduga bahwa tentu ada permainan sihir di sini.

“Heh-heh-heh, bagus sekali para pengawal yang setia!” Nenek hitam itu terdengar berkata, suaranya berbisik mendesis seperti suara ular.

“Sekarang lekas kau ambil Puteri Bhutan itu, Kaisar menghendaki agar dia ikut dengan aku sekarang juga.”

Begitu mendengar kata-kata ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa nenek iblis itu sengaja datang hendak menangkapnya secara halus, menggunakan ilmu sihir. Maka dia cepat pergi meninggalkan tempat persembunyiannya itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan kembang di dalam taman, lalu dengan jantung berdebar dia menggunakan kepandaiannya untuk meloncati pagar taman yang tidak begitu tinggi. Dia kemudian lari menyelinap di antara rumah-rumah penghuni dusun itu. Karena tidak mengenal jalan, dia tidak berani lari di tempat terbuka, dan dia hanya bersembunyi di balik-balik rumah, dan berpindah ke tempat lain kalau mendengar suara orang-orang mencarinya di tempat yang berdekatan.

Di sudut dusun itu, Syanti Dewi melihat ada sebuah rumah rusak yang kosong, maka dimasukinya rumah kosong ini dan dia bersembunyi di situ, mengintai dari balik pintu rumah yang terbuka karena daun pintunya tinggal sebelah. Jantungnya berdebar dan kakinya menggigil. Dia tidak lagi berani keluar dari rumah rusak itu karena takut terlihat orang dan tertangkap.

Pagi cepat datang dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Syanti Dewi masih berdiri mengintai di balik daun pintu yang tinggal sebelah. Dusun itu masih sunyi dan Syanti Dewi ingin minta tolong penduduk dusun kalau dia melihat mereka keluar. Di antara orang banyak, tentu nenek iblis itu tidak berani berlagak, pikirnya.

Tetapi tiba-tiba dia menahan napas melihat munculnya seorang wanita, yaitu seorang di antara lima wanita pengawal nenek itu malam tadi, dan wanita ini datang menuju ke rumah rusak itu diikuti oleh lima orang pengawalnya sendiri yang kini agaknya sudah menjadi kaki tangan mereka! Syanti Dewi maklum bahwa para prajurit pengawalnya itu berada di bawah pengaruh sihir nenek itu, maka dari mereka jelas dia tidak dapat mengharapkan perlindungan lagi.


BERSAMBUNG KE JILID 24


Kisah Sepasang Rajawali Jilid 23

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 23
Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.

Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.

“Ahhh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu, “Ahh, benar, dia adalah Louw Ki Sun... aku pernah bertemu dengan dia...!” Ceng Ceng berseru lagi.

Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, “Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Tolong carikanlah air yang jernih... dia memerlukannya...”

Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.

Namun ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis?

“Paman, kau... kau... menangis?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.

“Ah, dia telah mati?” tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.

Topeng Setan mengangguk. “Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng.”

Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka.

Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah kakek itu dikubur di depan kuil tua itu dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, terpekur dan mengheningkan cipta.

Topeng Setan kemudian mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.

Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apa lagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang juga melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luar biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!

“Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu,” Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. “Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan.”

Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!

Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak.

Karena luasnya telaga maka biar pun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apa lagi terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman!

Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak ‘pesiar’ di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!

Namun, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.

Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.

“Begitu banyak orang...,” Ceng Ceng berbisik.

Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.

“Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di goa dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu.”

“Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kau kira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?”

“Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai.”

“Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,” kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu.

Topeng Setan menarik napas panjang. “Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...”

“Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.

“Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang sudah tidak mau lagi menggunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tak bisa dibandingkan dengan kita, juga dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.”

Topeng Setan menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...”

“Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan mala petaka bagi kehidupan manusia, Paman?”

“Kenyataannya demikianlah... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu... ahhh, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.

“Eh... engkau ini...? Moi-moi... Nona Ceng...?” Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.

Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.

“Ohhh... Pangeran... Yung Hwa...” Dia tergagap.

“Aih, Nona... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ahhh, mukamu masih pucat... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...”

Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepada Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, “Dia ini... eh, siapakah dia, Nona Ceng?”

Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, “Kiranya Paduka adalah seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini.”

“Topeng Setan...? Nama yang aneh...!” Pangeran Yung Hwa kelihatan seram.

“Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?” Ceng Ceng bertanya.

Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.

“Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, dan beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau... ahhh, kasihan Kakak Milana...”

“Kenapa, Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.

“Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ahhh, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana.”

Ceng Ceng kaget bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia amat kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.

“Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.

“Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!” Wajah yang tampan itu berseri.

“Mengapa, Pangeran?”

“Ahhh, engkau tidak tahu? Ceng-moi..., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi...”

“Ahhh, jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa memandang.

“Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan ternyata benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi...!” Pangeran itu kelihatan girang bukan main.

Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu. “Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Mengapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...”

“Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...”

“Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran.”

“Ouhhh...! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?”

Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. “Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...”

Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, “Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan sekarang pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa.”

“Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!” Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan!

Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.

Topeng Setan cepat mengangkat bangun pangeran itu. “Ahhh, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran.” Suara Topeng Setan mengandung keharuan. “Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng.”

“Terima kasih... terima kasih...! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?”

“Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran.”

“Aiihhh...?” Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. “Berebutan? Apa yang diperebutkan?”

“Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!” kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum mala petaka kehidupan menimpa dirinya.

Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. “Lucu...! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kau lihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ benar akan muncul anak naga? Ha-ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui pula dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi amat gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!”

Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. “Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?”

“Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...” Pangeran itu menuding ke kanan. “Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri... tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa perlu ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kau dengarlah...”

Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada waktu itu memang sangat indah pemandangannya. Lalu terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.

Merah nyala matahari,
membakar langit senja kala,
di atas Telaga Sungari.
Air terbakar merah seperti neraka,
sebagai isyarat munculnya sang naga,
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!


Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimana pun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!

“Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”

“Sajak yang indah sekali!” Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.

“Sajakmu memang bagus, Pangeran,” kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.

“Tunggulah sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hemm... aku maklum bahwa keindahan itu tak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kau tunggu sebentar, aku takkan lama...” Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.

Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.

“Paman, mari kita pergi...” Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.

“Ehhh...?” Topeng Setan berkata bingung.

“Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tak akan berhasil mendapatkan anak naga itu... Dia... dia... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini.”

Topeng Setan hanya mengangguk tanpa membantah, lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.

“Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...,” terdengar Topeng Setan berkata.

“Dia seperti orang gila saja...,” Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.

“Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...”

“Sudahlah, Paman. Sekarang aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana.”

Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu semakin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan jika perlu menggunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu!

Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya seram-seram dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan perlahan-lahan mendayung perahunya sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya, terus meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu jaraknya tidak terlalu jauh dari perahunya.

Penumpangnya hanya satu orang. Orang tua berpakaian tosu yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.

“Tarrrrr...!”

Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.

Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak, lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, dan tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!

“Hebat...!” Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian ginkang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.

Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan ‘terbanglah’ dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Ginkang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.

Tubuh tosu yang ‘menunggang’ empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.

“Huhhhh!” Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya ‘terbang’ terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.

“Hemmm...!” Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan... perahunya ‘selulup’ ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali di depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguh pun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!

Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.

“Cluppp...!” Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap.

Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, kemudian bertanya kepada Topeng Setan, “Paman, apakah dia mati?”

Topeng Setan mendengus, “Hemm, dia sudah kembali ke perahunya.”

Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya?

Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.

“Brakkkk...!”

Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang besar kedua perahu itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.

Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut, akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.

Perahu kedua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari bilik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon.

Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Mendadak jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.

Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.

Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, telah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.

“Itu dia...! Naga sudah muncul...!”

Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu, maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik.

Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, namun belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing.

Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.

Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apa bila yang dinanti-nanti itu muncul.

Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apa lagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya ‘naga’ itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong.

Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya ‘berdiri’ dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa!

Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.

“Koaaaakkk...!” Terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali.

Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.

Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular ‘naga’ itu sedemikian hebatnya. Saat mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Sementara itu, anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan.

Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu mengambil anak ‘naga’ itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?

Betapa pun lihainya seseorang, mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja telah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apa lagi mencuri anaknya dari dalam moncong!

Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguh pun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, akibat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada belasan orang!

“Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan berkata lirih. “Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?”

Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengancam.

“Aaiiihhh...!” Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit.

Cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.

“Apa... apa yang terjadi... eiiikkkhhh...!” Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri.

Tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih keluar bergumpal dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menyabet perahu.

“Braaakkkk...!” Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu.

Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas, akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sinkang-nya dapat melindungi tulang pahanya, akan tetapi biar pun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.

“Pakai pedang pendek ini...!” Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri.

Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke arah lidah ular naga itu.

“Crattt... plaaakkk!”

Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu, tetapi gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan. Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik melengking nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari!

Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu melepaskan diri.

Akan tetapi pada saat itu induk ular naga menjadi marah sekali. Biar pun matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular dan berusaha menghindar dan berenang.

Topeng Setan yang melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya menjadi terkejut. Dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.

“Plakkk...!”

Topeng Setan mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya. Topeng Setan terbelalak.

“Auhhhh....” Mulut Topeng Setan mengeluarkan suara ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi!

Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang paling penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan dipermainkan air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya.

Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air itu hendak berenang menjauh, mendadak kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tak dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.

Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, akan tetapi cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan tak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali Topeng Setan ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah.

Tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Namun karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.

Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kaklnya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar dan bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya hendak merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan!

Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan langsung menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak lagi, apa lagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar bermuka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.

“Bukkk!” Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.

“Byuuuurrr...!”

Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul telah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam! Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.

“Keparat...!” Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.

“Brakkkk...!” Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap!

Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.

“Paman...!” Ceng Ceng menjerit sambil memeluk tubuh mandi darah itu. “Kau... kau... lenganmu...?”

“Tidak apa, Ceng Ceng... tidak apa...” Topeng Setan berkata tenang.

“Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?” Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari dalam saku bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik topengnya yang buruk.

Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, namun masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang menyelam dan menghilang.

Melihat kesibukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apa lagi karena dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tak melihatnya biar pun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.

“Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...,” terdengar Topeng Setan berkata.

“Peduli dengan ular itu...!” Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati. “Aku... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu.”

“Ahhh... jangan berkata begitu...”

Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat!

Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.

“Jangan keroyok, biarkan dia!”

Mendengar ini, Tambolon bersama dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata, “Hai, cucuku gundul... engkau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari... mari sini... berikan ular itu kepadaku...!”

Ceng Ceng yang sudah selesai membalut, kini bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu.

Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya menjadi sadar dan dengan teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah pertandingan seru di atas perahu.

Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu.

Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya.

Selagi Topeng Setan masih belum tahu apakah dia harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlempar ke dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik.

Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang ditumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga itu.

“Desssss...!”

Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan hendak menangkap anak ular naga itu. Begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan tenaga sehingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.

Anak ular lalu itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya dan dijadikan rebutan!

Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu sangat takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia lalu berteriak kepada Hong Kui, “Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu...!”

Hong Kui terkejut dan marah. “Apa? Aku tidak sudi!” Dan dengan marah dia menarik sekuatnya.

Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat dari pada bagian ekornya.

“Prattttt...!”

Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.

Melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, Topeng Setan yang setengah pingsan karena penderitaannya itu tahu bahwa gadis itu terancam bahaya sebab tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa kini keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biar pun ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.

Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng Setan mengambil keputusan nekat. Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya yang terluka hebat dengan daya kemauannya yang membaja, Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari mereka.

Dengan pengerahan tenaga yang amat menakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang pernah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, tapi dia tidak mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan.

Dengan sinkang-nya yang sudah mencapai puncak, dia dapat ‘menyimpan’ hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ceng Ceng. Dasar sinkang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air.

Di antara mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat.

Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat bayangan mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri!

Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula dirinya tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, ia mengeluarkan hawa ‘simpanan’ yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas. Wuihhh.



Ceng Ceng gelagapan, akan tetapi dadanya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi menyelinap di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya! Dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri juga, karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas!

Keharuan memenuhi hati Ceng Ceng dan saat Topeng Setan melepaskan ‘ciumannya’, dia merangkul pinggang kakek itu serta merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke pantai.

Setiap kali Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng Setan lalu ‘menciumnya’ seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya, dia membayangkan wajah... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan menarik itulah yang menciumnya, akan tetapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul!

Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan napas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan meledak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan kuat.

Sementara itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng. Ada pun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok tiang layar dihantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan perahu.

Melihat ekor ular itu yang masih berdarah itu, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah itu, bibir yang selalu merah basah dan yang sudah sangat dikenalnya dengan ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui.

Sedikit pun wanita itu tidak kelihatan merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular! Terbukalah matanya bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing dan merayunya dan dia merasa alangkah bodoh dirinya. Tetapi biar pun kenyataan ini membuat dia kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak melenyapkan rasa tertariknya. Wanita itu sudah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya!

Kalau tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, ia yakin bahwa sebetulnya tidak ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu kesenangan karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan menyenangkan hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu memasuki perutnya!

Topeng Setan sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sampai terasa di ubun-ubun kepalanya, kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular naga juga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung. Akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.

“Cepat kau makan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng Ceng.” Topeng Setan berkata.

Ceng Ceng menoleh kepadanya. Wajahnya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat lengan kiri yang buntung itu dan mendadak Ceng Ceng memandang ular di tangannya dengan wajah beringas. “Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!” Ceng Ceng lalu melemparkan ular itu ke telaga!

“Aihhh... kau... kau gila...!” Topeng Setan berteriak kaget sekali.

Cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi Topeng Setan untuk menangkap dan membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.

“Kau harus makan daging ular ini dan minum darahnya.” dia berkata.

“Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman.”

“Kau harus!”

“Tidak...!”

“Aku akan memaksamu!”

Ceng Ceng yang pada dasarnya berhati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia meloncat bangun sambil mengepal kedua tangannya. “Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani.”

“Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng.”

Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah menahannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.

“Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kau pergunakan sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu...”

Topeng Setan mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang basah, lalu dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari darah dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.

“Cairan ini mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijikkan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu secepatnya kau minum.”

Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek, “Aku tidak mau!”

“Maaf...!” Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.

“Aaaahhhh!” Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali!

Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.

“Maaf, terpaksa aku...!” Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng.

Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia dicekoki cairan ular yang menjijikkan itu. Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki perutnya.

“Kau maafkanlah aku, Ceng Ceng...”

Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apa lagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

“Mengapa kau minta maaf?” tanyanya pendek.

“Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu.”

“Engkau memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman.”

“Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, dan mencekokkan obat itu kepadamu.”

“Sudahlah, obat sudah masuk ke perutku, mengapa diributkan lagi?”

“Dan maafkan aku... aku tadi terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu...” Topeng Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ.

Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.

Ceng Ceng merebut kayu kering itu. Dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

“Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air.”

Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk. “Kini bagaimana... perasaan tubuhmu, Ceng Ceng?”

Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat-cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya, “Rasanya enak dan hangat... dan rasa muak itu lenyap, Paman.”

“Hemm... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng.” Suara itu terdengar girang.

Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk. “Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman...!”

Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung. “Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar...”

Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak. “Kau... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?”

Topeng Setan menggelengkan kepalanya. “Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi menimpa diri kita tidak mengandung suka atau pun duka, tidak mengandung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau pun duka hanyalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapa pun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku tidak akan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikirkan? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan perasaan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka.”

Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?

“Paman, setelah segala pengorbanan besar yang kau derita karena aku, setelah segala yang kau lakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kau lakukan untukku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman.”

Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng.

“Tidak...! Tidak..., janganlah kau minta itu... Kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti... akan tetapi yang satu ini... jangan pernah kau memaksa aku menanggalkan topengku...”

“Kenapa, Paman? Antara kita... mengapa engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?”

“Aku... aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan..., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati...”

Ceng Ceng menundukkan muka, menarik napas panjang. “Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguh pun aku yakin bahwa betapa pun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apa lagi jijik dan muak, apa lagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang... kau bunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?”

Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak lagi memaksanya membuka topeng. Dia duduk kembali bersandar batang pohon, kemudian menjawab, “Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku... aku telah membunuhnya...”

“Kasihan sekali engkau, Paman...”

Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata, “Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kau pelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau... kau temui Pangeran Yung Hwa itu...”

“Eh, mengapa, Paman?” Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

“Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau telah mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia... dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi, tampan dan baik hati. Dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kau pergilah kepadanya...”

Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras. “Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku... aku tidak berharga...”

“Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, putera dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa mau pun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini. Kau kembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee...?”

“Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!”

“Ehhh...?!” Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar hal ini. “Putera Pendekar Super Sakti itu... pamanmu?”

Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta padanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia ternyata adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.

“Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa she-ku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super Sakti, dia... ayahku itu... dia amat jahat, Paman....”

Ceng Ceng kemudian menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya, betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya.

Betapa dia mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan.

Setelah mendengar semua itu, Topeng Setan lalu menarik napas panjang. “Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekali pun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau menjumpainya, Ceng Ceng...”

“Paman...! Janganlah engkau berkata demikian, Paman...!” Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.

“Eh, ehhh... Ceng Ceng, kenapa...?” Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar.

Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah. “Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apa lagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanyalah seorang yang menanti kematian...”

“Eh, apa maksudmu?”

“Paman... aku... aku telah tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada kematian. Aku telah ternoda, aku telah diperkosa orang...” Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam goa itu ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.

“Dia kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman... Dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kau kubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang kau gambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Dan setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman, sesudah itu, aku... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat ini...?”

Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, tampak seluruh urat di dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.

Ceng Ceng memandang dengan amat heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar ceritanya. Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis.

Dan akhirnya Ceng Ceng menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis. Dia melepaskan seluruh kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan penderitaan yang menimpanya.

Dengan lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tanngannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.

“Paman... Paman... ahh... Paman... hu-hu-huuuhh...” Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.

“Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan kebahagiaan...”

“Paman, kau bilang tadi... kau akan meninggalkan aku... kau menyuruh aku pergi ke kota raja...”

“Sekarang tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Janganlah kau khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu.”

“Paman... uhu-hu-huuu, Paman...” Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu.

“Paman, mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa...?” Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu. “Dan mengapa dia... dia begitu jahat... dia merusak hidupku... mengapa...?”

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.

“Kita harus segera pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng.”

“Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu.” Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya.

Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali.

Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling berkaitan dan tidak akan ada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya.

Sebagai contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir mau pun batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu, akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi.

Reaksi dari kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini, maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi.

Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.

Sekali kita membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing dan menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang terjadi tidak bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguh pun kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita. Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan atau menyalahkan.

Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi ‘bukan apa-apa’, dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita! Oleh karena itu pula, dengan membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguh pun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup.

********************

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar dari istana oleh Puteri Milana, akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan atas usul jenderal yang gagah perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi lalu dikawal oleh dua losin pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu mengawal Syanti Dewi yang menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah. Berangkatlah mereka membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan yang amat jauh itu ke Bhutan.

Kepala atau komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah berusia empat puluh tahun yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal kepercayaan Jenderal Kao Liang. Dia memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid Hoa-san-pai dan juga mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat digunakan sebagai ‘jimat’ di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar puteri jelita itu.

Pengawal Can Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar puteri itu, yang dia tahu diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar, dan tentu akan menarik hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan tetapi, mengandalkan ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan mengandalkan nama Jenderal Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi, pengawal ini melakukan perjalanan dengan hati tenang sungguh pun dia selalu berhati-hati.

Dua hari kemudian, mereka berhenti di sebuah dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir di sebelah selatan dan barat kota raja Peking. Setelah melapor kepada kepala dusun setempat, kepala dusun dengan penuh kehormatan lalu memerintahkan penginapan tunggal di dusun itu untuk mengosongkan semua kamar dan memberikannya kepada rombongan ini.

Dusun ini berada di dekat hutan yang menjadi markas para kaum sesat yang dipimpin oleh Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba di dusun, seorang di antara anggota Tiat-ciang-pang yang kini telah bergabung menjadi anak buah perkumpulan kaum sesat itu, cepat lari ke markasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan pengawal lewat dan bermalam di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan seorang puteri yang menurut kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan melarikan diri dari istana Kaisar. Kabar seperti itu memang cepat sekali tersiar sehingga tidak mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah itu.

Kalau saja Ceng Ceng berada di tempat itu, tentu dia akan girang sekali mendengar berita ini. Akan tetapi pada waktu itu, Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan telah terjadi perubahan besar sekali di pusat kaum sesat daerah kota raja ini. Baru beberapa hari yang lalu, markas kaum sesat itu telah diambil-alih dan dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka!

Seperti kita ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga berusaha menangkap anak ular naga di Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa mereka gagal, naga yang terluka menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular itu lenyap setelah yang terakhir berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo membawa anak buahnya mendarat.

Mereka melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan mereka langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena Hek-tiauw Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini. Karena menduga bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan bersembunyi di sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi ternyata dia dan rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu dari pada Ceng Ceng dan Topeng Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan lukanya Topeng Setan.

Setelah tiba di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau Neraka ini dapat menguasai para kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban. Kaum sesat di tempat itu sudah terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa kakek raksasa mengerikan itu adalah Ketua Pulau Neraka, apa lagi sesudah menyaksikan kelihaian anak buahnya.

Setelah mendengar bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo lalu mengatur untuk menyambut kedatangan dua orang itu yang diharapkan masih menyimpan anak ular naga Telaga Sungari. Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw Lo-mo mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri Bhutan bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu. Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri Bhutan itu.

Dia pernah mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara angkat Puteri Bhutan yang menimbulkan kegemparan itu. Maka kini mendengar puteri itu lewat di dekat tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik ini untuk menawan Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia pergunakan sebagai sandera untuk memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga kepadanya!

Dan selain anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus memaksa Topeng Setan mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang kini telah lengkap karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam, baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah dilarikan oleh Topeng Setan, maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini berada di tangan Topeng Setan! Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun Pasir itu di tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha sekuat tenaga dan mau melakukan apa pun juga untuk menangkap dan memaksa mereka menyerahkan dua buah benda keramat itu.

Baru saja anak buah Pulau Neraka yang diutus oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk menangkap Puteri Bhutan yang hanya dikawal oleh dua losin prajurit itu, tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kucing. Lirih saja suara ini yang datangnya dari atas genteng dan yang bagi orang lain tentu akan dianggap suara kucing asli, akan tetapi kakek raksasa ini sudah hafal akan suara sumoi-nya, maka sambil tersenyum lebar dia menggerakkan tangannya seperti orang tidak sabar dan berseru, “Sudahlah, Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa mesti banyak lagak!”

“Suheng...!” Dari atas genteng melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan tahu-tahu di depan kakek raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang cantik jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang tertimpa sinar lampu yang terang.

Sejenak Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoi-nya itu dengan kagum, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoi-nya lebih teliti lagi. “Ehhh, engkau sudah sembuh...!”

Lauw Hong Kui mencibirkan bibirnya yang merah basah itu kepada suheng-nya, dan sikapnya manja serta mengejek. “Suheng, setelah engkau kejam meninggalkan aku terancam bahaya maut dan darahku keracunan, apa kau kira aku tidak mampu mencari obatnya sendiri?”

“Salahmu sendiri!” Hek-tiauw Lo-mo mengomel. “Engkau mencuri ilmu dari kitabku...”

“Huh, kitab itu pun kitab curian,” Lauw Hong Kui mencela.

“Jangan kurang ajar kau! Setelah mencuri ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan, apa yang kau harapkan dariku? Hal itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi racun itu pun tidak akan membunuhmu, karena itu aku diam saja.” Hek-tiauw Lo-mo memandang lebih teliti wajah sumoi-nya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat sekali. “Sudahlah, Sumoi, sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh obat yang mencuci bersih darahmu?”

Dengan sikap angkuh dan lagak bangga Lauw Hong Kui bertolak pinggang dan berkata, “Suheng tidak berhasil di Telaga Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa Suheng gagal, bahkan hampir celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis itu!”

“Eh, eh... kau juga berada di sana?”

“Tentu saja! Dan berhasil!”

“Berhasil? Kau mau bilang bahwa anak naga itu...”

Mendadak tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar dan sumoi-nya tidak mampu lagi mengelak karena pergelangan tangannya sudah dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari tangan kakek itu lalu menotok sana-sini membuat sumoi-nya tak dapat bergerak, lalu tangannya meraba-raba dari ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati di antara dua tonjolan buah dada wanita itu.

“Hemm, kau sudah sembuh sama sekali akan tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu hawanya terasa olehku. Kau bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah obat apa yang telah menyembuhkan keracunan darahmu,” kata kakek itu dan dia membebaskan kembali sumoi-nya.

Setelah dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li memandang suheng-nya dan dengan mata berapi dia berkata penuh kemarahan, “Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku seperti tadi, aku akan membunuhmu!”

“Heh-heh, kau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melakukan itu, anak manis. Sekarang ceritakan saja obat apa yang telah menyembuhkanmu?”

“Apa lagi kalau bukan anak naga itu? Akan tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah makan seluruhnya, apa kau kira aku demikian tolol untuk muncul di depanmu? Tentu engkau akan merampas khasiatnya dengan cara makan dagingku dan minum darahku.”

“Ahhhh! Masa aku melakukan hal itu? Engkau adalah sumoi-ku.”

“Huhhh, seperti aku tidak mengenalmu saja, Suheng. Akan tetapi karena aku hanya memperoleh ekor anak naga itu dan telah kumakan habis, andai kata engkau makan dagingku dan minum seluruh darahku pun tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng, sisa anak naga itu, sebagian besarnya karena aku hanya memperoleh ekor sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar bersama Si Topeng Setan yang lihai.”

“Aku tahu... hemmm...!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah genteng.

“Suheng, jangan...!” Lauw Hong Kui mencegah, akan tetapi terlambat.

Tampak sinar berkelebat dan sebatang golok terbang yang panjangnya hanya satu kaki meluncur ke arah bayangan seorang pemuda yang berdiri di atas genteng. Akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu mengulur tangan kiri dan menangkap hui-to (golok terbang) itu pada gagangnya, lalu dia melayang turun dan melemparkan golok kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, “Lo-mo, beginikah kau menyambut tamu?”

“Hehhh!” Hek-tiauw Lo-mo mendengus. Tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to yang menyambar ke arah dadanya.

“Krekkk!” Hui-to itu patah-patah menjadi tiga potong dan semua potongannya, berikut gagangnya, menancap di atas lantai.

Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia menjadi terkejut. “Ah, kiranya engkau, keparat!” bentaknya dan dia sudah siap untuk menyerang.

“Suheng, jangan! Dia adalah sahabatku, sahabatku yang sangat baik!” Lauw Hong Kui meloncat di depan suheng-nya, menghadang dan melindungi Kian Bu.

“Lo-mo, kalau tidak melihat muka sumoi-mu dan tidak menerima undangannya, apakah kau kira aku sudi datang mengunjungimu sebagai tamu?” Kian Bu juga berkata dengan nada suara mengejek.

“Sumoi, apa artinya ini? Tahukah kau siapa pemuda ini?”

“Dia adalah Suma Kian Bu yang telah membantuku mencari anak naga.”

“Dia adalah putera dari Majikan Pulau Es, goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang menjadi musuhku ini?”

“Kalau dia adalah benar putera Pendekar Super Sakti, aku malah merasa bangga dapat menjadi... ehh, sahabat baik.”

“Minggirlah, aku akan membunuhnya!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.

“Enak saja engkau bicara, Lo-mo. Dahulu waktu aku masih kecil pun engkau tak mampu membunuhku, apa lagi sekarang,” jawab Kian Bu, sedikit pun tidak menjadi takut.

“Suheng, harap jangan mengumbar keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!” Lauw Hong Kui mencela suheng-nya. “Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya tinggal kita dua saudara? Aku akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan kita akan saling gempur mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat, Suheng telah melihat sendiri betapa banyak orang-orang berilmu telah bermunculan di Telaga Sungari. Bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga kedudukan Suheng lebih kuat setelah Suci meninggal dunia?”

Hek-tiauw Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia meninggalkan Pulau Neraka karena tak betah tinggal di tempat yang amat berbahaya itu. Sumoi-nya yang pertama telah tewas dan sumoi-nya yang masih muda ini juga amat lihai, terutama sekali senjata-senjata rahasianya yang amat berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu yang boleh diandalkan, apa lagi mengingat betapa akhir-akhir ini, ketika menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam, sumoi-nya ini juga langsung turun tangan membantunya. Dia menarik napas panjang dan mengendurkan lagi kedua tangannya.

“Sudahlah, selama dia menjadi sahabatmu, aku tidak akan mengganggunya.” Dan Hek-tiauw Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut lalu memasuki kamarnya.

Kian Bu mengerutkan alisnya. “Enci, aku tidak suka tinggal di tempat suheng-mu ini.”

“Eh, Kian Bu, kenapa engkau pun meniru watak Suheng yang pemarah?” Dengan sikap manja Hong Kui menggandeng lengan pemuda itu. “Ingat, kita ke sini untuk menanti munculnya Topeng Setan dan dara liar itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak naga itu dapat terjatuh ke tangan kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja engkau menjadi tamu di rumahku...” Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui Hong akhirnya dapat mengajak Kian Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap dan mewah.

Kian Bu juga tidak membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak akan segembira itu melayani dan menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta. Dia sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya itu. Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati dan menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya.

Dia tahu bahwa di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan nafsu birahi yang mengasyikkan. Jika dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di rumah Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil keputusan untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri itu.

Ketika dia menyaksikan perebutan anak ular naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah menganjurkan kepada kekasihnya itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada Ceng Ceng yang dia tahu amat membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus dan Hong Kui hanya mendapat bagian sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh Ceng Ceng, diam-diam dia merasa girang sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak menyatakannya di depan kekasihnya.

Kemudian Hong Kui menyatakan ketidak puasan hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian ekor anak naga itu dan wanita ini menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka parah itu tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di selatan kota raja di mana gadis itu menjadi ketuanya. Mendengar bahwa Hong Kui hendak mengejar Ceng Ceng ke sana, dia sengaja menyatakan persetujuannya, tetapi diam-diam tentu saja bersiap untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah kekasihnya ini mengganggu Ceng Ceng.

Siapa kira, di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka tahulah dia bahwa Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar datang ke tempat itu. Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui untuk bermalam dan tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu, menanti kalau Ceng Ceng benar datang di tempat berbahaya itu.

Sayang bahwa kedatangan mereka agak terlambat sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang bermalam di dusun tidak jauh dari tempat itu. Kalau dia mendengarnya, tentu dia terkejut sekali dan akan turun tangan mencegahnya.

Akan tetapi di dusun di mana rombongan Puteri Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama sekali tak diduga-duga oleh Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri. Siang tadi dusun itu kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh dan rombongan ini tentu akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya karena rombongan ini dipimpin oleh Raja Tambolon!

Seperti diketahui, Raja Tambolon yang dibantu oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak buahnya yang terdiri dari orang-orang liar di daerah utara, untuk ikut memperebutkan anak naga di Telaga Sungari, akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak memperoleh hasil. Ketika melihat bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan tahu bahwa nona Lu Ceng adalah bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota raja, lalu melakukan pengejaran ke tempat itu. Dia dan para pembantunya menyamar sebagai serombongan pelancong dan karena mereka royal mengeluarkan uang, mereka tidak menarik perhatian dan kecurigaan orang lain.

Di tengah perjalanan, rombongan ini bertemu dengan lima orang wanita yang sudah mengenal Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita ini bukanlah sembarangan wanita, oleh karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina Sungai Loan) yang namanya sudah terkenal sekali di sepanjang Sungai Loan-ho. Mendengar bahwa Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih kekuasaan karena mendengar bahwa perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum sesat kini dipimpin oleh seorang wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya adalah cabang atas Sungai Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon menjadi girang dan segera mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja sama.

Biar pun pihaknya sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam keadaan seperti itu, di mana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai. Dia menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga.

Demikianlah, rombongan yang kini bertambah dengan lima orang wanita itu memasuki dusun, beberapa jam lebih dulu dari pada kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan sekali, satu-satunya rumah penginapan yang diminta atau diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala dusun karena rumah penginapan itu harus diberikan kepada rombongan Puteri Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan Tambolon ini!

Tentu saja raja liar Rambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa rumah penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari kota raja yang mengawal Puteri Bhutan, dia cepat memberi isyarat kepada para pembantunya agar supaya mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun!

Akan tetapi Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apa lagi karena memang puteri itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal karena Sang Puteri dapat melarikan diri.

Tambolon tidak akan dapat menjadi raja dari para suku bangsa liar kalau saja dia tidak pandai dan cerdik. Dia bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan badan dan ilmu kepandaian silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang dapat bersikap cerdik dan hati-hati.

Dia maklum bahwa biar pun kekuatan rombongannya sudah lebih dari cukup untuk menyergap dan merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia tidak mau melakukan hal itu, mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari kota raja dan kalau dia menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar oleh kota raja, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang pandai untuk menangkap atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri kalau harus menghadapi bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia tahu banyak membantu pemerintah.

Oleh karena itu, dia lalu minta bantuan gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu untuk menawan Syanti Dewi secara halus. Nenek itu terkekeh girang. Durganini sudah terlalu tua dan sudah pikun, biar pun dia lihai sekali, baik ilmu silat mau pun tenaga saktinya, terutama sekali ilmu sihirnya. Namun karena sudah terlalu pikun, Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja sendiri saja, karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan.

Oleh karena itu, dia minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang dipimpin oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini berusia rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan kekasaran sungguh pun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak cantik juga dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang menikah. Lima orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka mengantar Durganini yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang telah mereka tinggalkan tadi.

Sementara itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah di atas pembaringan di dalam kamar rumah penginapan itu merasa gelisah hatinya. Biar pun ada dua puluh empat orang pengawal anak buah dan kepercayaan ayah angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada saat itu menjaga dan mengawalnya, namun hatinya merasa tidak enak. Dia mengingat akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bhutan dan merasa betapa lebih senang dan merasa lebih aman ketika dia melakukan perjalanan bersama adik angkatnya, Lu Ceng atau Candra Dewi.

Entah bagaimana, dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan. Dia merasa kehilangan karena di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan banyak orang jahat dan musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang yang amat baik kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Lu Ceng adik angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng laki-laki yang pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus dan sopan gerak-geriknya.

Puteri Milana yang demikian gagah perkasa dan bernasib menyedihkan. Kemudian Ang Tek Hoat, pemuda yang takkan dapat dia lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah mengorbankan diri sendiri untuk menolongnya, pemuda yang oleh semua orang dianggap jahat dan menjadi pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah berjasa membunuh pangeran pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita Puteri Milana ibu pemuda itu, ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es!

Dia membayangkan sinar mata sayu dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda itu. Teringat akan ini, Syanti Dewi menarik napas panjang. Betapa banyaknya kedukaan di dunia ini bagi manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana karena cinta kasihnya dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu merana. Dan Kian Bu patah hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia suka kepada pemuda ini seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik karena pemuda perkasa itu masih amat muda.

Renungan-renungan ini membuat Puteri Syanti Dewi merasa gelisah. Bagaimana mungkin dia dapat melupakan semua orang itu dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi lain sama sekali dan dia harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan mulai hidup baru di Bhutan? Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh ayahnya demi negara? Dia merasa ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan keindahan alam luas, kenikmatan kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan seperti menghadapi sebuah penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia, sebagai seorang wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas berupa istana megah itu sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara!

Syanti Dewi makin gelisah dan akhirnya dia turun dari pembaringan, membuka pintu samping dan berkata kepada pengawal yang berjaga di luar pintu bahwa dia ingin berjalan-jalan ke dalam taman bunga kecil di samping rumah penginapan itu. Pengawal itu mengangguk dan menjaga serta mengawasi dari jauh. Taman itu menembus ke samping rumah dan depan rumah penginapan itu telah terjaga oleh lima orang temannya. Puteri itu selalu dalam pengawasan dan tidak akan ada sesuatu dapat menimpanya.

Angin malam semilir lembut mengusap wajah Syanti Dewi, mengusir kegelisahannya yang tadi terselimut oleh kenangan yang mendatangkan rasa gelisah di hati. Kewaspadaan membuat dara ini dapat melihat dan mendengar dengan jelas keadaan di sekelilingnya dan telinganya menangkap suara tidak wajar yang arahnya datang dari depan. Dia lalu melangkah perlahan menuju ke depan sehingga akhirnya dia dapat menyelinap di belakang serumpun pohon kembang dan mengintai keluar.

Dia terheran-heran melihat lima orang pengawalnya itu semua berlutut di depan seorang nenek tua renta berpakaian hitam yang datang bersama lima orang wanita setengah tua yang sikapnya galak. Lebih lagi heran dan kagetnya ketika dia melihat berturut-turut semua pengawalnya yang keseluruhannya berjumlah dua losin orang itu berdatangan dan terdengar nenek itu berkata, suaranya agak pelo karena mulutnya sudah tidak bergigi lagi, nadanya tinggi dan mendesis setengah berbisik, akan tetapi terdengar jelas memasuki telinga bahkan sampai menyusup ke dalam jantung.

“Aku adalah permaisuri, kalian para pengawal tidak cepat berlutut memberi hormat? Aku adalah Thaihouw yang sengaja datang untuk memeriksa apakah kalian benar-benar baik dalam pengawalanmu terhadap Puteri Bhutan.” Nenek berkulit hitam berpakaian hitam itu berkata.

Syanti Dewi sendiri belum pernah bertemu atau melihat permaisuri Kaisar, karena ketika dia dihadapkan Kaisar, dia sama sekali sebagai seorang puteri bangsawan yang tahu akan tata susila tidak berani mengangkat muka dan meliarkan pandang mata, maka sekarang pun dia tidak akan mengenal permaisuri.

Akan tetapi, betapa pun juga, sampai mati dia tidak akan mau percaya bahwa nenek tua renta yang berwajah bengis menyeramkan, yang berpakaian hitam berkulit hitam dan lebih menyerupai iblis betina dari pada manusia ini adalah permaisuri Kaisar dengan lima orang pengawalnya! Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah ketika dia melihat Can Siok, komandan pasukan pengawalnya yang baru datang berlari keluar, menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu dan berseru hormat, “Thaihouw...!” Juga semua pengawal kini telah berlutut di depan nenek itu!

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang puteri Bhutan. Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan di antara Pegunungan Himalaya dan di sana banyak terdapat pertapa-pertapa dan ahli-ahli ilmu kebatinan termasuk ahli-ahli sihir. Maka puteri ini tidak asing dengan segala peristiwa yang tidak wajar dan berbau ilmu sihir. Begitu dia menyaksikan keadaan di depan rumah penginapan itu, di mana dua losin orang pengawalnya berlutut di depan seorang nenek hitam dan menganggap nenek itu permaisuri, dia sudah dapat menduga bahwa tentu ada permainan sihir di sini.

“Heh-heh-heh, bagus sekali para pengawal yang setia!” Nenek hitam itu terdengar berkata, suaranya berbisik mendesis seperti suara ular.

“Sekarang lekas kau ambil Puteri Bhutan itu, Kaisar menghendaki agar dia ikut dengan aku sekarang juga.”

Begitu mendengar kata-kata ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa nenek iblis itu sengaja datang hendak menangkapnya secara halus, menggunakan ilmu sihir. Maka dia cepat pergi meninggalkan tempat persembunyiannya itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan kembang di dalam taman, lalu dengan jantung berdebar dia menggunakan kepandaiannya untuk meloncati pagar taman yang tidak begitu tinggi. Dia kemudian lari menyelinap di antara rumah-rumah penghuni dusun itu. Karena tidak mengenal jalan, dia tidak berani lari di tempat terbuka, dan dia hanya bersembunyi di balik-balik rumah, dan berpindah ke tempat lain kalau mendengar suara orang-orang mencarinya di tempat yang berdekatan.

Di sudut dusun itu, Syanti Dewi melihat ada sebuah rumah rusak yang kosong, maka dimasukinya rumah kosong ini dan dia bersembunyi di situ, mengintai dari balik pintu rumah yang terbuka karena daun pintunya tinggal sebelah. Jantungnya berdebar dan kakinya menggigil. Dia tidak lagi berani keluar dari rumah rusak itu karena takut terlihat orang dan tertangkap.

Pagi cepat datang dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Syanti Dewi masih berdiri mengintai di balik daun pintu yang tinggal sebelah. Dusun itu masih sunyi dan Syanti Dewi ingin minta tolong penduduk dusun kalau dia melihat mereka keluar. Di antara orang banyak, tentu nenek iblis itu tidak berani berlagak, pikirnya.

Tetapi tiba-tiba dia menahan napas melihat munculnya seorang wanita, yaitu seorang di antara lima wanita pengawal nenek itu malam tadi, dan wanita ini datang menuju ke rumah rusak itu diikuti oleh lima orang pengawalnya sendiri yang kini agaknya sudah menjadi kaki tangan mereka! Syanti Dewi maklum bahwa para prajurit pengawalnya itu berada di bawah pengaruh sihir nenek itu, maka dari mereka jelas dia tidak dapat mengharapkan perlindungan lagi.


BERSAMBUNG KE JILID 24