Kisah Sepasang Rajawali Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 22
"Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?” Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.

“Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku lalu menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku?”

“Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu.”

“Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?” Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. “Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu?” Biar pun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.

Wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. “Ihhh... lancang amat mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini di mana.”

Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. “Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan.”

Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata, “Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!”

Hwee Li mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu.”

Ceng Ceng mengangguk tak sabar. “Baik, baik, nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.

“Eh, Nona... agaknya Nona kehilangan pacar? Dari pada mencari orang yang tidak ada, aku... ehh, aku pun masih membujang.”

Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. “Apa... apa maksudmu...?”

Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona adalah seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup selalu senang dan... aughhh!” Tukang bakpao itu tidak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus!

Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang sangat panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!

Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya, “Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?”

“Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”

“Hei...?!” Topeng Setan terkejut bukan main. “Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?” Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. “Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?”

Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. “Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apa bila kami saling bertemu, apa lagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subo-nya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia kemudian membebaskan aku...”

Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”

“Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku.”

Topeng Setan menghela napas. “Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk dipergunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini sengsara...!” Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya.

Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan sekarang makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!

“Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”

Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.

“Paman, engkau selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau jelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman.”

Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, “Engkau... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...”

“Ya...? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?”

“Dia... dia telah mati...”

“Ouhhh...? Maafkan, Paman...”

“Dia mati... karena aku yang membunuhnya...”

“Aihhhh...!”

Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.

“Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya... padahal... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?”

Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. “Aku telah gila... aku telah melakukan dosa besar dan karena itu... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...”

“Aihhh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu... sampai mati olehmu, tentu dialah yang bersalah... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...”

“Cukup...! Dia baik dan suci seperti dewi... akulah yang jahat...”

Melihat keadaan Topeng Setan yang amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.

“Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang telah lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...”

“Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tidak kunjung habis...”

“Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman.”

Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.....

********************

“Aughhhh...!” Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali.

Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi kini dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.

“Bagaimana...? Pening sekalikah kepalamu...? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...”

Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apa lagi ketika perasaannya mulai makin sadar, membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!

Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!

Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali, “Aihhh... Enci Hong Kui...?”

Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, “Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku... ehh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening...?”

Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya bagaikan seorang kakak perempuan yang mencinta adiknya? Akan tetapi... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.

“Ti... tidak, Enci. Terima kasih. Ahhh, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...,” dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi mencari mereka...”

Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.

Melihat wajah Kian Bu yang berduka serta khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata, “Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami mala petaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka.”

Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu, Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya, “Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”

“Mudah saja. Mala petaka yang dapat menimpa mereka hanya ada dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke dalam air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang kedua adalah bahwa mereka jatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua mala petaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andai kata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andai kata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini.”

Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apa lagi melihat gadis itu telah kehilangan enci-nya. “Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”

Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali, “Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tidak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih dapat memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii... sungguh menggemaskan!” Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.

Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. “Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali...!”

Kian Bu memandang tajam, kini kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biar pun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, maka bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada!

Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya dari pada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita dapat merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun!

Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.

“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.

Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu semakin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.

“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan.”

Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega oleh karena kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena agaknya wanita ini menggantungkan harapannya kepadanya.

“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali.”

Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. “Engkau... engkau baik sekali...” Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu.

Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biar pun usianya baru tiga puluh tahun, tetapi telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tak diingatnya lagi.

Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat!

Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi dari padanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!

Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu birahinya. Dia bersikap hati-hati dan biar pun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!

Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau.

Andai kata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andai kata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang ‘baik-baik akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo.

Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan segenap kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.

Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya telah bergerak meloncat, lalu menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!

Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu.

Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, “Ular... ahh, Kian Bu, ada ular...!” matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.

Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.

“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...”

“Aihh... maafkan aku, Kian Bu...” Hong Kui menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi tahu... aku... aku paling takut melihat ular...”

Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali dia menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.

“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”

“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andai kata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...”

“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?”

“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya... tapi... ehhh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...” Wanita itu lalu menunduk.

Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.

“Enci Hong Kui, di antara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi.”

“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya.

“Pada suatu hari saat aku tertidur dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan... dan... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam... celanaku, di paha...”

Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.

“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian... ternyata... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan.”

Hening sejenak. Entah mengapa, saat membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang sehingga beberapa kali dia menelan ludah. “Memang... memang mengerikan...,” komentarnya pendek.

“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, jangankan anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!”

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Dan ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya sangat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”

“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...”

Hong Kui mengerling penuh celaan. “Habis ada engkau untuk apa?” katanya menegur sambil tersenyum. “Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh.”

“Baiklah...” Kian Bu kemudian duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu.

Memang siang hari itu hawanya sangat panas dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biar pun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apa lagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!

“Eiiihhh... ular... tolong... Kian Bu...!”

Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai.

Celaka, pikirnya, kalau saja tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Karena itu dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.

Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.

Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah sebab merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walau pun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!

Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan, “Ular... ular...”

Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular. “Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”

Wanita itu kembali mengeluh, lalu tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. “Ehh... ahhh... aku tadi sedang mandi... ada ular hitam menjijikkan...”

“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...”

“Dan aku...” Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, “...aku tadi sedang mandi... kutanggalkan pakaianku...”

Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui.”

“Aihhh... engkau... engkau baik sekali, Kian Bu.”

Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon mau pun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.

Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan sering kali Kian Bu termenung. Dia tidak tahu betapa Hong Kui sering kali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu birahi yang berkobar.

Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu birahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan birahinya. Apa lagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam tersenyum atau berkata-kata, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.

Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.

“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka hendak kurayakan. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?”

Wajah Kian Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura yang dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.

“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”

Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, “Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci”

“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.

“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”

Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. “Cobalah engkau terka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?”

Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua dari pada nampaknya, mengingat bahwa suheng-nya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan suci-nya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, “Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”

“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. “Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek...” Dia menarik napas panjang.

“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan... dan...” Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.

“Ya...? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”

Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka!

Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak telah membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia kemudian melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.

Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sinkang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sinkang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya.

Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.

Ketika kucing itu tak hanya menjilat, tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.

“Enci...” Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar.

Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini malah membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.

“Kian Bu... Kian Bu... kasihanilah aku...” Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, lalu memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.

“Enci... apa... apa artinya ini...?” Kian Bu gelagapan.

“Artinya... bahwa aku... aku cinta padamu, Kian Bu... kau kasihanilah aku...,” tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu.

Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu birahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu sering kali melamun dan pada waktu berhadapan sering kali melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki.

Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu birahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.

Keesokan harinya, saat mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu birahinya.

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai dari pada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu birahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.

Demikianlah, Suma Kian Bu, seorang pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu birahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu.

Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri, juga adalah seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari sering kali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.

Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.

Mendadak terdengar suara orang tertawa. “Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!”

Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Kemudian dari belakang mereka sudah muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka.

Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia dapat mengenali nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan... senjata rahasia itu meledak di udara!

“Aihhh...!” Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.

Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, “Mari kita pergi!”

Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.

“Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?” terdengar Si Petani membentak.

“Bresss!”

Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh, “Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah...!”

“Enci Hong Kui...!” Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita yang menjadi kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.

“Haiii... pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah..., berhentilah kau..., jangan berlari lagi... berhenti...!”

Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali tidak mau mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.

Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya. “Kian Bu, kekasihku... kau telah menyelamatkan aku...”

Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.

“Tempat ini sunyi dan teduh... kita lanjutkan yang tadi terganggu oleh orang...” Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.

“Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus pada waktu ruangan pesta Tambolon terbakar.”

Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.

“Dia memang bukan manusia!” katanya bersungut-sungut. “Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon.”

“Sebetulnya tidak terlalu aneh,” Kian Bu berkata. “Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khikang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sinkang, atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka...!” Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya. Dia teringat bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apa lagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.

Akan tetapi, pemuda ini terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.

Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya, dia lalu pura-pura tak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mukjijat!

Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah salah seorang putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia dapat menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cengkeramannya.

Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. “Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!”

Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dirinya sendiri memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main.

Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tidak lama kemudian mereka melihat bahwa dari arah kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta kedua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.

Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.

“Eh, kenapa kau tersenyum?”

Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. “Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita.”

Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan ginkang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.

“Hi-hik, enak di sini...!” Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.

“Hishhh... jangan di sini! Siang-siang begini... dan malu kalau kelihatan orang!” Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.

Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan kemudian hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan.

Namun kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu!

Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Alangkah tabah hati kekasihnya yang cantik ini.

Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jeri melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras, “Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!”

Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, “Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!”

Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya.

Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...”

“Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget.” Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya.

Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, kemudian kedua tangannya menegang lalu saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangannya menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sinkang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.

Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan.



Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.

Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu.

Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik di dekat telinganya, “Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?”

Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang sangat lihai, apa lagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja sudah amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton, akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!

Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.

“Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tidak jauh lagi!” Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.

“Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!” Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja.

Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa rombongan ini adalah kelompok anggota dari perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan sedang melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.

Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.

“Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,” kata yang seorang.

Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui lalu berbisik, “Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suheng-ku.”

“Hek-tiauw Lo-mo?”

“Benar, mereka bermusuhan oleh karena memperebutkan kitab curian. Justru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan.”

Kian Bu hanya mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai.

Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu.

Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun juga.

Malam itu terang bulan. Suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.

Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apa lagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menahan diri hingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.

Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri. Sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu rebah terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.

Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang juga besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.

“Ehh, kenapa berhenti?” Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.

“Ssssh...” Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.

“Wah... dia...?” bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.

“Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tidak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kau curi!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.

Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.

“Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!”

Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang sejak tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang sedang mengawal ketua mereka.

Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan penyelidikan dan pengejaran.

Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mukjijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebutkan setengah bagian kitab yang mereka butuhkan. Dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengan mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.

Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Ada pun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu sekarang berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu.

Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga andai kata mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka.

Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...”

Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, “Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya.”

“Eihhh...?”

“Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci.”

Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum, merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!

“Ehhh, lihat ada orang...!” Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri.

Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan kemudian berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.

“Dia mencuri kitab!” bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.

“Darrrrr...!” Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding dengan ramai itu cepat menengok, dan melihat kakek itu mereka terkejut sekali.

“Dia mencuri kitab itu...!” teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.

“Wah, jadi ramai sekarang...” kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.

“Hayo kita ikut nonton keramaian!” Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.

Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke mana pun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.

Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung lenyap sehingga dia menjadi bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.

Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya. Pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!

Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan!

Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apa lagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu.

Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng. Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak, “Bocah hina mundurlah!”

Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan ‘bocah hina’ tadi, maka ketika melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!

Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sinkang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!

“Aihhh...!” Dia berseru.

Tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru kini dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena mendendam dan merasa benci kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya, kini mempergunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.

“Dessss...!”

Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya lalu memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.

“Hah! Kiranya engkau belum mampus?”

Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, “Paman, bunuhlah orang ini!”

Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.

“Cuuss...! Dessss!”

Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!

Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.

Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat.

Hebat sekali sepak terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biar pun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, tetapi dia pun tak dapat mendesak mereka, apa lagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.

Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir dari pada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat pula menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab, tetapi bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir saja dia membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan ayah tiri dari Suma Kian Lee.

Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam bermain cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, ia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.

“Aku... aku mau... pergi kencing dulu...,” katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.

Sementara itu, ketika melihat betapa suheng-nya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.

Topeng Setan terkejut sekali. Cepat ia mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.

“Perempuan hina dan pengecut!” Ceng Ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li.

Wanita ini amat terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat hingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.

“Ceng Ceng mundurlah...!” Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.

Pada saat itu pula, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, sekarang meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biar pun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apa lagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suheng-nya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apa lagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu.

Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!

Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, langsung dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk.

“Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!”

Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.

“Kian Buuuu...!” Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.

“Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh...!”

Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Ada pun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.

Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.

Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng, terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.....

********************

Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa ‘terbang’ oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.

Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, kemudian menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

“Bibi Puteri Milana...!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.

“Bibi... apa yang terjadi...?” tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.

“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”

Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, akan tetapi pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.

Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!

Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. “Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”

“Ehh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”

“Hmm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku....”

Dengan singkat Milana kemudian menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biar pun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.

“Nah, karena itu aku harus pula segera pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa.”

Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

“Ahhh... Bibi...!” Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis.

Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, “Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?”

Milana menarik napas panjang. “Aku sendiri belum tahu ke mana harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya.”

Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apa lagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu.

Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa mala petaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mala petaka yang dialami oleh Puteri Milana.

Milana yang berpemandangan tajam sekali, biar pun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.

Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.

Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.

Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, “Adik Milana, tunggu dulu...!”

Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.

Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguh pun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri,” wanita itu berkata.

“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”

“Ahhh, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?”

“Lu Kim Bwee...? Aihh, engkau pasti Ang Siok Bi...!” Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu.

Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, “Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam mengikutiku?”

“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja.”

“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”

“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu... Aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...”

“Hemm, apa mu kah pemuda itu?”

“Dia itu puteraku. Ahhh, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat... bahwa dia telah membantu pemberontak akan tetapi demi perkenalan kita kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.” Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!

Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. “Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu.”

Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Boleh aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?” Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.

“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”

“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa bila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya.”

“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?”

Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini. Wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian.

Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga demikian dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?”

“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...”

“Enci Siok Bi!” Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. “Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?”

Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biar pun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, “Aku... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah... Ang Thian Pa...”

“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?”

Siok Bi mengangguk. “Dan aku mengatakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?”

Milana menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pantas kalau begitu... aihhh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng...! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”

“Tentu saja! Habis mengapa?”

“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikit pun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...”

“Ahhh...!” Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biar pun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biar pun puteranya itu tampan akan tetapi sedikit pun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!

“Apa... apa maksudmu...?”

“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”

Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang sebetulnya menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”

Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap, “Bagaimana... bagaimana aku dapat percaya ceritamu ini...? Setelah belasan tahun aku percaya demikian... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?”

“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguh pun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih anggota keluargaku sendiri dan... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...”

“Ya Tuhan...!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu...”

“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Putera mu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...”

“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng...!”

“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya.” Milana berhenti sebentar.

“Sungguh kasihan Gak-suheng... Dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, kini... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan mempergunakan namanya.”

“Ahhhh...! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. “Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani.”

Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. “Siapakah dia ini, Adik Milana?”

“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan ketiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka hebat demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”

“Ahhhh...!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap... selain beliau bukan musuh kami... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?”

“Agaknya engkau tidak mengetahui, puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja.”

“Kalau begitu aku akan mulai mencarinya sekarang juga!” Siok Bi berteriak, lalu berlari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.

Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, “Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”

Milana menarik napas panjang. “Kami semua sudah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...”

Puteri ini lalu menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu, apakah ia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.

“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?” Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

“Ke mana...? Ahhh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...”

“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...”

“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, maka akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”

Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak rombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang tajam dengan alis berkerut. “Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan pula?” Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.

Akan tetapi, ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.

“Gi-hu...!” Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.

“Syukurlah... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”

Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, “Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?”

Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Sampai mati pun tiada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”

“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan.”

“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang akan mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat.” Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”

Puteri itu mengangguk. “Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...”

“Ahh, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biar pun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, tapi dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini.”

Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, “Bibi... jangan biarkan Paman Gak merana...”

Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya kemudian membalapkan kuda itu, diiringi oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringi oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.

Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.


BERSAMBUNG KE JILID 23


Kisah Sepasang Rajawali Jilid 22

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 22
"Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?” Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.

“Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku lalu menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku?”

“Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu.”

“Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?” Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. “Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu?” Biar pun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.

Wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. “Ihhh... lancang amat mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini di mana.”

Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. “Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan.”

Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata, “Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!”

Hwee Li mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu.”

Ceng Ceng mengangguk tak sabar. “Baik, baik, nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.

“Eh, Nona... agaknya Nona kehilangan pacar? Dari pada mencari orang yang tidak ada, aku... ehh, aku pun masih membujang.”

Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. “Apa... apa maksudmu...?”

Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona adalah seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup selalu senang dan... aughhh!” Tukang bakpao itu tidak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus!

Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang sangat panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!

Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya, “Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?”

“Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”

“Hei...?!” Topeng Setan terkejut bukan main. “Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?” Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. “Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?”

Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. “Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apa bila kami saling bertemu, apa lagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subo-nya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia kemudian membebaskan aku...”

Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”

“Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku.”

Topeng Setan menghela napas. “Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk dipergunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini sengsara...!” Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya.

Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan sekarang makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!

“Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu.”

Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.

“Paman, engkau selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kau jelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman.”

Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, “Engkau... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...”

“Ya...? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?”

“Dia... dia telah mati...”

“Ouhhh...? Maafkan, Paman...”

“Dia mati... karena aku yang membunuhnya...”

“Aihhhh...!”

Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.

“Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya... padahal... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?”

Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. “Aku telah gila... aku telah melakukan dosa besar dan karena itu... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...”

“Aihhh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu... sampai mati olehmu, tentu dialah yang bersalah... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...”

“Cukup...! Dia baik dan suci seperti dewi... akulah yang jahat...”

Melihat keadaan Topeng Setan yang amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.

“Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang telah lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...”

“Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tidak kunjung habis...”

“Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman.”

Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.....

********************

“Aughhhh...!” Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali.

Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi kini dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.

“Bagaimana...? Pening sekalikah kepalamu...? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...”

Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apa lagi ketika perasaannya mulai makin sadar, membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!

Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!

Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali, “Aihhh... Enci Hong Kui...?”

Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, “Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku... ehh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening...?”

Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya bagaikan seorang kakak perempuan yang mencinta adiknya? Akan tetapi... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.

“Ti... tidak, Enci. Terima kasih. Ahhh, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...,” dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah kita pergi mencari mereka...”

Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.

Melihat wajah Kian Bu yang berduka serta khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata, “Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami mala petaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka.”

Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu, Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya, “Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”

“Mudah saja. Mala petaka yang dapat menimpa mereka hanya ada dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke dalam air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang kedua adalah bahwa mereka jatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua mala petaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andai kata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andai kata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini.”

Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apa lagi melihat gadis itu telah kehilangan enci-nya. “Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”

Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali, “Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tidak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih dapat memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii... sungguh menggemaskan!” Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.

Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. “Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali...!”

Kian Bu memandang tajam, kini kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biar pun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, maka bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada!

Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya dari pada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita dapat merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun!

Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.

“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.

Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu semakin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.

“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan.”

Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega oleh karena kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena agaknya wanita ini menggantungkan harapannya kepadanya.

“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali.”

Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. “Engkau... engkau baik sekali...” Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu.

Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biar pun usianya baru tiga puluh tahun, tetapi telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tak diingatnya lagi.

Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat!

Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi dari padanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!

Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu birahinya. Dia bersikap hati-hati dan biar pun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!

Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau.

Andai kata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andai kata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang ‘baik-baik akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo.

Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan segenap kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.

Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya telah bergerak meloncat, lalu menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!

Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu.

Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, “Ular... ahh, Kian Bu, ada ular...!” matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.

Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.

“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...”

“Aihh... maafkan aku, Kian Bu...” Hong Kui menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau belum kuberi tahu... aku... aku paling takut melihat ular...”

Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali dia menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.

“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”

“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andai kata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...”

“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?”

“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya... tapi... ehhh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...” Wanita itu lalu menunduk.

Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.

“Enci Hong Kui, di antara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi.”

“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun,” wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya.

“Pada suatu hari saat aku tertidur dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan... dan... dapat kau bayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam... celanaku, di paha...”

Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.

“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian... ternyata... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan.”

Hening sejenak. Entah mengapa, saat membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang sehingga beberapa kali dia menelan ludah. “Memang... memang mengerikan...,” komentarnya pendek.

“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, jangankan anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!”

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Dan ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya sangat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”

“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...”

Hong Kui mengerling penuh celaan. “Habis ada engkau untuk apa?” katanya menegur sambil tersenyum. “Kau jagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh.”

“Baiklah...” Kian Bu kemudian duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu.

Memang siang hari itu hawanya sangat panas dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biar pun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apa lagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!

“Eiiihhh... ular... tolong... Kian Bu...!”

Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai.

Celaka, pikirnya, kalau saja tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Karena itu dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.

Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.

Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah sebab merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walau pun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!

Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan, “Ular... ular...”

Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular. “Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”

Wanita itu kembali mengeluh, lalu tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. “Ehh... ahhh... aku tadi sedang mandi... ada ular hitam menjijikkan...”

“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...”

“Dan aku...” Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, “...aku tadi sedang mandi... kutanggalkan pakaianku...”

Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui.”

“Aihhh... engkau... engkau baik sekali, Kian Bu.”

Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon mau pun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.

Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan sering kali Kian Bu termenung. Dia tidak tahu betapa Hong Kui sering kali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu birahi yang berkobar.

Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu birahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan birahinya. Apa lagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam tersenyum atau berkata-kata, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.

Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.

“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka hendak kurayakan. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?”

Wajah Kian Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!” Kian Bu menjura yang dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.

“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya.”

Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, “Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci”

“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.

“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”

Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. “Cobalah engkau terka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?”

Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua dari pada nampaknya, mengingat bahwa suheng-nya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan suci-nya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, “Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”

“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. “Masa kau kira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek...” Dia menarik napas panjang.

“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan... dan...” Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.

“Ya...? Mengapa tidak kau teruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua.”

Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka!

Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak telah membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia kemudian melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.

Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sinkang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sinkang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya.

Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.

Ketika kucing itu tak hanya menjilat, tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.

“Enci...” Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar.

Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini malah membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.

“Kian Bu... Kian Bu... kasihanilah aku...” Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, lalu memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.

“Enci... apa... apa artinya ini...?” Kian Bu gelagapan.

“Artinya... bahwa aku... aku cinta padamu, Kian Bu... kau kasihanilah aku...,” tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu.

Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu birahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu sering kali melamun dan pada waktu berhadapan sering kali melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki.

Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu birahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.

Keesokan harinya, saat mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu birahinya.

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai dari pada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu birahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.

Demikianlah, Suma Kian Bu, seorang pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu birahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu.

Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri, juga adalah seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari sering kali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.

Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.

Mendadak terdengar suara orang tertawa. “Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!”

Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Kemudian dari belakang mereka sudah muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka.

Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia dapat mengenali nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan... senjata rahasia itu meledak di udara!

“Aihhh...!” Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.

Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, “Mari kita pergi!”

Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.

“Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?” terdengar Si Petani membentak.

“Bresss!”

Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh, “Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah...!”

“Enci Hong Kui...!” Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita yang menjadi kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.

“Haiii... pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah..., berhentilah kau..., jangan berlari lagi... berhenti...!”

Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali tidak mau mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.

Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya. “Kian Bu, kekasihku... kau telah menyelamatkan aku...”

Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.

“Tempat ini sunyi dan teduh... kita lanjutkan yang tadi terganggu oleh orang...” Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.

“Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus pada waktu ruangan pesta Tambolon terbakar.”

Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.

“Dia memang bukan manusia!” katanya bersungut-sungut. “Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon.”

“Sebetulnya tidak terlalu aneh,” Kian Bu berkata. “Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khikang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sinkang, atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka...!” Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya. Dia teringat bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apa lagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.

Akan tetapi, pemuda ini terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.

Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya, dia lalu pura-pura tak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mukjijat!

Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah salah seorang putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia dapat menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cengkeramannya.

Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. “Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!”

Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dirinya sendiri memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main.

Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tidak lama kemudian mereka melihat bahwa dari arah kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta kedua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.

Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.

“Eh, kenapa kau tersenyum?”

Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. “Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita.”

Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan ginkang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.

“Hi-hik, enak di sini...!” Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.

“Hishhh... jangan di sini! Siang-siang begini... dan malu kalau kelihatan orang!” Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.

Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan kemudian hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan.

Namun kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu!

Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Alangkah tabah hati kekasihnya yang cantik ini.

Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jeri melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras, “Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!”

Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, “Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!”

Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya.

Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...”

“Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget.” Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya.

Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, kemudian kedua tangannya menegang lalu saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangannya menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sinkang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.

Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan.



Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.

Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu.

Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik di dekat telinganya, “Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?”

Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang sangat lihai, apa lagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja sudah amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton, akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!

Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.

“Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tidak jauh lagi!” Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.

“Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!” Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja.

Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa rombongan ini adalah kelompok anggota dari perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan sedang melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.

Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.

“Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,” kata yang seorang.

Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui lalu berbisik, “Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suheng-ku.”

“Hek-tiauw Lo-mo?”

“Benar, mereka bermusuhan oleh karena memperebutkan kitab curian. Justru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan.”

Kian Bu hanya mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai.

Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu.

Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun juga.

Malam itu terang bulan. Suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.

Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apa lagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sinkang-nya untuk menahan diri hingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.

Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri. Sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu rebah terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.

Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang juga besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.

“Ehh, kenapa berhenti?” Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.

“Ssssh...” Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.

“Wah... dia...?” bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.

“Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tidak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kau curi!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.

Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.

“Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!”

Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang sejak tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang sedang mengawal ketua mereka.

Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan penyelidikan dan pengejaran.

Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mukjijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebutkan setengah bagian kitab yang mereka butuhkan. Dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengan mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.

Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Ada pun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu sekarang berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu.

Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga andai kata mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka.

Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...”

Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, “Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya.”

“Eihhh...?”

“Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci.”

Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum, merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!

“Ehhh, lihat ada orang...!” Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri.

Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan kemudian berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.

“Dia mencuri kitab!” bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.

“Darrrrr...!” Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding dengan ramai itu cepat menengok, dan melihat kakek itu mereka terkejut sekali.

“Dia mencuri kitab itu...!” teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.

“Wah, jadi ramai sekarang...” kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.

“Hayo kita ikut nonton keramaian!” Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.

Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke mana pun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.

Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung lenyap sehingga dia menjadi bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.

Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya. Pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!

Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan!

Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apa lagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu.

Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng. Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak, “Bocah hina mundurlah!”

Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan ‘bocah hina’ tadi, maka ketika melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!

Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sinkang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!

“Aihhh...!” Dia berseru.

Tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru kini dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena mendendam dan merasa benci kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya, kini mempergunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.

“Dessss...!”

Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya lalu memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.

“Hah! Kiranya engkau belum mampus?”

Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, “Paman, bunuhlah orang ini!”

Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.

“Cuuss...! Dessss!”

Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!

Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.

Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat.

Hebat sekali sepak terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biar pun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, tetapi dia pun tak dapat mendesak mereka, apa lagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.

Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir dari pada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat pula menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab, tetapi bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir saja dia membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan ayah tiri dari Suma Kian Lee.

Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam bermain cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, ia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.

“Aku... aku mau... pergi kencing dulu...,” katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.

Sementara itu, ketika melihat betapa suheng-nya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.

Topeng Setan terkejut sekali. Cepat ia mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.

“Perempuan hina dan pengecut!” Ceng Ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li.

Wanita ini amat terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat hingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.

“Ceng Ceng mundurlah...!” Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.

Pada saat itu pula, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, sekarang meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biar pun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apa lagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suheng-nya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apa lagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu.

Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!

Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, langsung dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk.

“Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!”

Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.

“Kian Buuuu...!” Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.

“Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh...!”

Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Ada pun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.

Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.

Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat-cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng, terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.....

********************

Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa ‘terbang’ oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.

Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, kemudian menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

“Bibi Puteri Milana...!” tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.

“Bibi... apa yang terjadi...?” tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.

“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga.”

Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, akan tetapi pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.

Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!

Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. “Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”

“Ehh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?”

“Hmm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku....”

Dengan singkat Milana kemudian menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biar pun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.

“Nah, karena itu aku harus pula segera pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa.”

Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

“Ahhh... Bibi...!” Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis.

Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, “Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?”

Milana menarik napas panjang. “Aku sendiri belum tahu ke mana harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya.”

Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apa lagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu.

Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa mala petaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mala petaka yang dialami oleh Puteri Milana.

Milana yang berpemandangan tajam sekali, biar pun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.

Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.

Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.

Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, “Adik Milana, tunggu dulu...!”

Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.

Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguh pun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri,” wanita itu berkata.

“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?”

“Ahhh, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?”

“Lu Kim Bwee...? Aihh, engkau pasti Ang Siok Bi...!” Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu.

Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, “Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam mengikutiku?”

“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja.”

“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?”

“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu... Aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...”

“Hemm, apa mu kah pemuda itu?”

“Dia itu puteraku. Ahhh, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat... bahwa dia telah membantu pemberontak akan tetapi demi perkenalan kita kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.” Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!

Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. “Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu.”

Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Boleh aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?” Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.

“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?”

“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa bila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya.”

“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?”

Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini. Wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian.

Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sudah kuduga demikian dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?”

“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...”

“Enci Siok Bi!” Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. “Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?”

Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biar pun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, “Aku... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah... Ang Thian Pa...”

“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?”

Siok Bi mengangguk. “Dan aku mengatakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?”

Milana menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pantas kalau begitu... aihhh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng...! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”

“Tentu saja! Habis mengapa?”

“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikit pun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...”

“Ahhh...!” Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biar pun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biar pun puteranya itu tampan akan tetapi sedikit pun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!

“Apa... apa maksudmu...?”

“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”

Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang sebetulnya menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”

Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap, “Bagaimana... bagaimana aku dapat percaya ceritamu ini...? Setelah belasan tahun aku percaya demikian... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?”

“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguh pun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih anggota keluargaku sendiri dan... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...”

“Ya Tuhan...!” Siok Bi mengeluh panjang. “Dan di mana keparat itu...”

“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Putera mu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...”

“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng...!”

“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya.” Milana berhenti sebentar.

“Sungguh kasihan Gak-suheng... Dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, kini... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan mempergunakan namanya.”

“Ahhhh...! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. “Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani.”

Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. “Siapakah dia ini, Adik Milana?”

“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan ketiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka hebat demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”

“Ahhhh...!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap... selain beliau bukan musuh kami... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?”

“Agaknya engkau tidak mengetahui, puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja.”

“Kalau begitu aku akan mulai mencarinya sekarang juga!” Siok Bi berteriak, lalu berlari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.

Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, “Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”

Milana menarik napas panjang. “Kami semua sudah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...”

Puteri ini lalu menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu, apakah ia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.

“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?” Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

“Ke mana...? Ahhh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...”

“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...”

“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, maka akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat.”

Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak rombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang tajam dengan alis berkerut. “Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan pula?” Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.

Akan tetapi, ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.

“Gi-hu...!” Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.

“Syukurlah... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!”

Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, “Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?”

Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Sampai mati pun tiada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berduka cita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”

“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan.”

“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang akan mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat.” Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”

Puteri itu mengangguk. “Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...”

“Ahh, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biar pun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, tapi dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kau pakailah kudaku ini.”

Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, “Bibi... jangan biarkan Paman Gak merana...”

Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya kemudian membalapkan kuda itu, diiringi oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringi oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.

Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.


BERSAMBUNG KE JILID 23