Kisah Sepasang Rajawali Jilid 19

Cerita silat online karya kho ping hoo

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 19
"Kenapa... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!"

Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak akan mati, Nona, dan andai kata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas.”

“Hemm, kau siapakah namamu?”

“Namaku Suma Kian Lee dan... ohhh, engkau kenapa, Nona?” Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.

Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.

“Engkau pernah kulihat... ahhh, lupa lagi aku di mana...”

“Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo....” Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.

“Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi.” Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.

Ceng Ceng menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi. “Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan... biarkan aku pergi saja dari sini...”

“Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!”

Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.

“Sute, kau kenapa...?” Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya. “Ahh, kau keracunan!” Pendekar itu berseru kaget.

“Dia... dia keracunan... ketularan oleh racun di tubuhku...” Ceng Ceng berkata lemah. “Biarkan aku pergi...” Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.

“Dia telah keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan,” kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. “Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!” Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok.

Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi. Biar pun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun.

Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apa lagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.

“Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini sute-ku.”

Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng. “Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau...?”

Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suheng-nya, maka cepat dia berkata, “Nona Lu, dia ini adalah suheng-ku, Gak Bun Beng... Ehh, kenapa?” Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng bagai orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.

“Bohong! Gak Bun Beng sudah mati...!” Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.

“Suheng...” Kian Lee memandang Gak Bun Beng.

Dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sute-nya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sute-nya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.

“Yok-kwi, kalau kau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!” kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.

Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula. Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.

“Yok-kwi, bagaimana?” Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak kebingungan.

Yok-kwi menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa sekali!” katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh keheranan.

“Pukulan yang diterima oleh gadis ini pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!”

“Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?” Bun Beng membentak tak sabar.

Kakek itu memandang kepada Bun Beng. “Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekali pun. Akan tetapi mengobati seorang manusia beracun? Sungguh tidak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apa lagi sute-mu ini memiliki sinkang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati...”

“Tidak...!” Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. “Suheng, tidak mungkin membiarkan dia mati...!”

Gak Bun Beng menarik napas panjang. “Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai orang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?”

Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali. “Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!” Kemudian dia menarik napas panjang. “Di dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok Mo-li, namun sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada. Ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang keempat adalah suheng-ku, yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kau lihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri.”

“Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah...,” Kian Lee berkata penuh semangat.

“Apa...? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan, dia cepat berkata, “Ah, maaf... maaf... sungguh beruntung aku dapat memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguh pun tidak beruntung dapat melihat ayahnya.”

“Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es,” Bun Beng berkata kepada pemuda itu. “Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih.”

“Suheng, habis bagaimana lagi baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya...” Kian Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biar pun Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.

“Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suheng-mu tadi, kita manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun.”

“Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan sute-ku biarlah kukeluarkan dengan sinkang...”

“Jangan, Gak-taihiap. Engkau telah melihat sendiri betapa sute-mu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan kekuatan sinkang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa inilah yang telah membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sinkang tentu akan membuat engkau ketularan pula.” Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.

Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia kemudian meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya.

Kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng, “Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi.”

Gak Bun Beng terkejut sekali dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini. “Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian...”

Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee. “Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu.” Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk. Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak Bun Beng!

Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!

Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya, “Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona...,” nada suaranya girang dan penuh harapan. “Bagaimana rasanya tubuhmu...?”

Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan. “Saudara Suma Kian Lee... bagaimana tanganmu...?”

Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan oleh Yok-kwi.”

“Berapa lamanya aku tidur... ehh, tak sadarkan diri?”

“Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam...”

Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan sering berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.

“Dua hari dua malam...? Dan selama itu... kau terus merawat dan menjaga aku...?”

Kian Lee tersenyum. “Ahh, itu sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan. Engkau telah mendapat obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi... ah...,” Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!

“Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu... ehhh, Nona, kau... kau menangis?”

Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi! Pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi!

Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa! Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia... ah, dia telah menjadi setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang pemuda biadab.

Tiba-tiba dia teringat!

“Ah, di mana dia...?” Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang lengannya dengan halus.

“Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh... beristirahatiah dulu...”

Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!

Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.

“Gak-suheng...,” Kian Lee berkata menyambut suheng-nya.

Bun Beng tersenyum. “Ahhh, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?”

Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng. “Apakah namamu Gak Bun Beng?”

Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!

“Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah pula mendengar namaku itu?”

“Mendengar...? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super Sakti!

Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee. “Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?”

Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari. “Harap... harap kau jangan membohongi aku...,” katanya gagap. “Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu telah mati...! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!”

“Ohhh...!”

“Ahhhh...!”

Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.

“Aihh, Nona Lu, sadarlah... ingatlah... ah, harap kau istirahat dulu...” Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona ini menjadi bingung dan telah berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.

“Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua ini.” Bun Beng berkata dan sute-nya duduk kembali, memandang dengan penuh kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang yang hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.

“Nona Lu Ceng,” katanya tenang sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Engkau adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?”

Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang Gak Bun Beng dengan rasa penasaran karena mengira bahwa orang ini berani sekali memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.

“Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang dirimu.”

“Kak Syanti...? Engkau mengenalnya? Di mana dia?”

“Tentu saja aku mengenalnya. Aku menyelamatkannya dari air sungai...”

“Ah, syukurlah...”

“Dan kini pun dia telah diselamatkan dari tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari cerita Syanti Dewi, engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?”

Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya untuk membuka suara.

“Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan, bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang kau katakan sebagai ayah kandungmu?”

“Memang dia ayah kandungku! Kongkong yang bercerita kepadaku,” katanya kemudian.

“Pernahkah engkau bertemu dengan ayah kandungmu itu?”

Ceng Ceng menggeleng kepala.

“Siapakah nama kakekmu?”

“Kakek adalah Lu Kiong...”

“Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika melindungi engkau dan Syanti Dewi?” Bun Beng menyambung.

“Benar.”

“Dan nama ibumu?”

“Ibuku bernama Lu Kim Bwee...” Ceng Ceng kini terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari bangkunya.

“Lu Kim Bwee...? Di mana dia sekarang?” tanyanya penuh semangat.

“Ibuku...? Dia... dia sudah mati...” Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya. Teringat bahwa ayah bundanya sudah mati, juga kongkong-nya, dan dia sendiri tertimpa malapetaka hebat, dia merasa betapa sengsara hidupnya!

“Ahhh...!” Bun Beng berseru kembali dan duduk di atas bangkunya, menghela napas panjang. “Nona Lu, harap kau suka menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kongkong-mu itu kepadamu, tentang orang bernama Gak Bun Beng itu.”

Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, menimbulkan dugaan di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai keadaan dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya, dahulu kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu menanamkan kesetiaan dan kepahlawanan padanya.

Akan tetapi mengapa kakeknya dan ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu jauh? Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya itu hampir tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan dirinya dan kakeknya.

“Kongkong adalah seorang bekas pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di Bhutan,” dia bercerita sambil menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata Kian Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh kemesraan dan kasih sayang! “Kongkong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak ada. Menurut penuturan Kongkong, ayah kandungku bernama Gak Bun Beng dan ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena merana dan berduka ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu.”

“Ahh... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee...” Bun Beng mengeluh.

Jantung Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia melanjutkan. “Mendengar penuturan Kongkong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah atas perbuatannya terhadap Ibu, tetapi... Kongkong bilang bahwa ayahku yang bernama Gak Bun Beng, murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati. Nah, begitulah cerita Kongkong kepadaku.”

“Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah sangka... akulah orang yang mereka maksudkan itu...”

Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan. Mukanya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng. “Kalau... kalau begitu... engkau... Ayaaahh...!” Ceng Ceng sudah menubruk ke depan, merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.

Gak Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus, “Nona, tenanglah Nona, dan duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku...”

“Suheng! Jadi dia... dia ini... puterimu...?” Kian Lee juga bertanya.

“Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh mendengarkan penuturan ini karena... ahhh, Tuhan saja yang Maha Tahu dan mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi ini, karena engkau pun... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepada kita bertiga. Duduklah, Nona Ceng...”

Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan. Wajahnya pucat, matanya memandang penuh kekagetan dan keraguan pada Bun Beng. “Engkau... engkau ayah kandungku, mengapa...” Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh iba terpancar dari mata pendekar itu, dan karena itu keheranannya bertambah. Tadi mendengar ayah kandungnya masih saja menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan terheran sekali.

“Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah kandungmu. Ah, aku akan bersukur kepada Tuhan andai kata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku akan merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau...”

Makin terbelalak mata Ceng Ceng. Jelas bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat yang membuyarkan semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang berwarna kehijauan.

“Ah, Nona... tabahkanlah hatimu...” Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada suheng-nya karena dia seolah-olah tak sadar apa yang dilakukannya, dia memegang tangan Ceng Ceng.

Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya dan dia menggenggam erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian Lee.

Bun Beng melihat ini semua dan hatinya tertusuk. “Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan kepadaku untuk bercerita dengan tenang.”

Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya, memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan bersinarkan terima kasih, kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang. “Hidupku memang selalu dirundung kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau benar engkau bukan ayah kandungku, setelah tadi engkau menghidupkan kembali ayah kandungku yang telah mati... engkau jelaskanlah ini semua. Demi Tuhan, kau beri penjelasan akan semua ini!” Suaranya setengah menjerit.

Bun Beng menarik napas panjang. “Aku semakin kagum kepadamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan batin yang hebat itu dengan tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan ketabahan hati Nona ini.”

Kian Lee memandang kepada suheng-nya dengan heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda kini menanti dengan penuh perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng mulai bercerita.

“Dahulu di waktu aku masih muda, belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda sesat yang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali...”

“Pemuda semacam itu harus dibunuh!” Ceng Ceng berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang memperkosa dirinya.

Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti. Lalu dia melanjutkan. “Pemuda sesat itu bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan perbuatannya yang sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba di tepi telaga, di mana terdapat sebuah pondok tempat peristirahatan seorang gagah bernama Lu Kiong...”

“Kakekku...”

“Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim Bwee...”

“Ibuku...”

“Ya, tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!”

“Ahhh...!” Ceng Ceng terheran-heran dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika mendengar bahwa pemuda sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu membantuku untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan aku pergi berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari pemuda sesat itu, ternyata orang jahat itu diam-diam memasuki pondok dan memperkosa Lu Kim Bwee.”

“Ahhhh...!” Ceng Ceng meloncat ke atas dan mengepal tinjunya, penuh kemarahan. “Katakan, siapa penjahat laknat itu?”

“Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona.” Bun Beng berkata.

Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama nasib ibunya dan dia!

“Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja melakukan hal itu dengan memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu menuntut agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab itu, aku menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama dengan wanita-wanita lain yang telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu mengeroyok aku dan aku terjatuh ke dalam jurang. Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku tidak lagi bertemu dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona. Agaknya ibumu itu, Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong, lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung sebagai akibat perbuatan pemuda sesat itu. Kemudian engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya kakekmu menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidak demikianlah kenyataannya.”

“Penjahat terkutuk!” Kian Lee memaki marah. “Siapakah manusia jahat itu, Suheng?”

“Janganlah kau memaki dia, Sute. Dia sudah meninggal dunia dan tentu dia pun telah menyesalkan semua perbuatannya. Dia itu bukan orang lain...”

“Siapa dia?” Ceng Ceng mendesak ketika melihat Bun Beng meragu. “Siapa penjahat yang memperkosa ibuku dan menjadi ayah kandungku itu?”

“Namanya adalah Wan Keng In...”

“Ya Tuhan...!” Kian Lee menjerit, mukanya pucat.

“Eh, mengapa engkau...?” Ceng Ceng terkejut melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang disembunyikan di balik kedua tangannya.

Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan mereka bertiga! Dia dapat merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee, yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri, karena Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah. Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju ke kamarnya sendiri, membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.

“Saudara Kian Lee, kau kenapakah...?” Kini Ceng Ceng memegang lengan Kian Lee dan mengguncangnya.

Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian menurunkan tangan. Ceng Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.

“Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!”

“Ehhh...?”

“Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi isteri ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan mempunyai anak Wan Keng In itu. Kau... kau maafkan aku... Wan Ceng... bahwa aku... sebagai pamanmu, telah... pernah... jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui sekarang, agak lega hatiku. Namun... tentu saja hal itu tak mungkin lagi... aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku...”

“Paman...!” Ceng Ceng menubruk dan mereka berpelukan.

Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus ini dan biar pun tahu betapa akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti Pangeran Yung Hwa. Akan tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya sendiri, andai kata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang seperti Suma Kian Lee ini? Apa lagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu adalah putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak berharga lagi!

“Paman, maafkanlah saya...!” Hatinya seperti diremas mengingat betapa tanpa sengaja dia telah menghancurkan hati pamannya yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.

“Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan sudah menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini dari pada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetaplah seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut...” Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu.

“Jangan ragu-ragu, Sioksiok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?”

Kian Lee mengangguk. “Tetapi dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok Mo-li...”

“Ban-tok Mo-li sudah mati.”

“Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Karena aku muridnya.”

“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. “Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri.”

“Tidak bisa, Sioksiok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi, biarlah... aku tidak takut menghadapi kematian... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?”

“Ceng Ceng...!”

“Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan mala petaka selalu datang menimpa diriku...”

“Ceng Ceng, jangan putus harapan,” Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan lukanya sendiri ini.

Tiba-tiba seorang prajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.

“Topeng Setan?” Kian Lee berseru kaget.

Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. “Dia pembantuku, Paman.”

Dari luar terdengar suaira memanggil, “Lu-bengcu...!”

“Eh, siapakah yang berteriak itu?”

“Itulah Topeng Setan, pembantuku. Sioksiok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang bengcu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku.”

Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu.

Topeng Setan sudah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. “Harap Bengcu maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Bengcu berada di sini.”

“Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah...” Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu.

“Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan),” Bun Beng membantunya sambil tersenyum.

“Dia ini supek-hu Gak Bun Beng,” Ceng Ceng melanjutkan.

Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng. “Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan Bengcu kami.” Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng Ceng, “Karena Bengcu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya.”

Ceng Ceng mengangguk. “Supek, dan Siok-hu, aku akan segera pergi bersama Topeng Setan...”

“Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu,” Gak Bun Beng berkata.

“Ceng Ceng, harap kau menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenaga untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke Pulau Es...,” kata Kian Lee.

“Tidak perlu, Supek dan Sioksiok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi... aku... aku... ahhh, aku lebih senang merantau...!” Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi.

Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee. “Harap Ji-wi jangan khawatir, saya akan mengusahakan sampai Bengcu kami sembuh kembali,” katanya perlahan, kemudian dia pergi menyusul Ceng Ceng.

Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya. “Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya.”

Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.

“Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana.” Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya mengangguk sunyi.....

********************

“Gak-taihiap, apakah engkau tidak bertemu dengan puteraku?” tanya Jenderal Kao Liang kepada Gak Bun Beng ketika Bun Beng dan Kian Lee tiba di Teng-bun disambut oleh jenderal itu sendiri.

“Puteramu, Goanswe?” Bun Beng bertanya heran karena baru sekali dia melihat putera jenderal itu, dan yang terjadi di dalam medan pertempuran, maka dia lupa lagi.

“Saudara Kok Cu dengan pasukannya telah menyerbu Koan-bun dan mereka berhasil membasmi pemberontak, Kao-goanswe. Akan tetapi dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan mengejar Ketua Pulau Neraka itu.” Kian Lee menjelaskan karena dia sudah mendengar dari Bun Beng tentang putera jenderal Itu yang mengejar Hek-tiauw Lo-mo.

“Ahhh, anak itu terlalu berbakti kepada suhu-nya, melaksanakan perintah suhu-nya sampai lupa kepada orang tua dan belum juga dapat berkumpul dengan kami.” Jenderal itu menghela napas. “Dan... apakah Ji-wi bertemu dengan Nona Lu Ceng?”

Kian Lee merasa jantungnya tertusuk, dia menunduk dan tidak berkata apa-apa. Bun Beng yang kini menjawab, “Nona itu hebat sekali, Kao-goanswe! Akan tetapi dia telah pergi bersama Topeng Setan, pembantunya, padahal dia menderita luka hebat.”

Jenderal yang hatinya penuh kegembiraan karena pemberontakan telah terbasmi dan yang selalu bersikap polos dan terbuka itu menghela napas dan berkata kepada Gak Bun Beng, “Gak-taihiap, lihat betapa seorang tua seperti aku selalu menjadi kecewa karena ulah orang-orang muda! Ataukah kekecewaanku ini terjadi karena keinginanku sendiri yang bukan-bukan sehingga tidak tercapai? Aihhh, sampai bermimpi-mimpi olehku betapa akan bahagianya kalau benar Nona Lu Ceng masih hidup dan kelak menjadi mantuku, menjadi jodoh Kok Cu...!”

Mendengar pernyataan yang terang-terangan ini, Bun Beng dan Kian Lee lalu saling pandang. Akan tetapi karena Kian Lee melihat bahwa suheng-nya tidak berkata apa-apa mengenai hubungan keluarga antara dia dan Ceng Ceng, dia pun tidak mau mengatakannya, pula karena ada rahasia yang kurang baik tentang ayah kandung gadis itu.

Betapa pun juga dia tidak dapat berdiam diri saja ketika teringat akan peristiwa aneh di Koan-bun antara Ceng Ceng dan Kok Cu, maka dia berkata, “Kao-goanswe, ketika puteramu datang memimpin pasukan menyerbu Koan-bun, dia telah bertemu dengan nona itu pula, akan tetapi, entah mengapa... Nona Lu Ceng telah menjadi marah-marah dan memukul Saudara Kok Cu sampai dua kali.”

“Eihhh...?” Kenapa?” Jenderal itu berseru kaget sekali.

“Entahlah, kami juga tidak tahu mengapa. Mungkin saja di dalam perantauan mereka sudah pernah saling bertemu,” kata Kian Lee.

“Pada saat itu Nona Lu Ceng baru saja mengalami pukulan tangan beracun yang hebat. Bisa saja terjadi bahwa dia dalam keadaan kurang sadar lalu menganggap puteramu adalah musuh dan memukulnya, Kao-goanswe.” Bun Beng cepat berkata dan jenderal itu mengangguk-angguk.

Hanya Kian Lee yang tahu bahwa suheng-nya itu sebetulnya juga merasa heran, dan ucapannya itu hanya untuk menghibur belaka sebab mereka berdua mendengar betapa Ceng Ceng memaki dan menyebut nama Kok Cu sebelum memukul, yang hanya berarti bahwa Ceng Ceng memukul dalam keadaan sadar dan telah mengenal pemuda putera jenderal yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

“Kao-goanswe, di mana adanya Enci Milana, kakakku? Dan di mana pula adikku Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi? Kami mendengar bahwa mereka berada di sini.” Kini Kian Lee bertanya, merasa heran mengapa hanya jenderal itu seorang yang menyambut dia dan suheng-nya. Bun Beng juga memandang kepada Jenderal itu dengan pandang mata penuh pertanyaan, karena sesungguhnya sejak tadi dia pun ingin sekali tahu di mana adanya Puteri Syanti Dewi dan Puteri Milana, dua orang yang selalu berada dekat sekali di lubuk hatinya.

“Mereka telah berangkat ke kota raja. Puteri Milana khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan keluarga Kaisar di istana karena perbuatan Pangeran Liong Bin Ong, dan beliau ingin cepat-cepat melaporkan kepada Kaisar tentang tertumpasnya pemberontakan dan juga agar cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bin Ong yang sebetulnya malah merupakan tokoh pertama dalam pemberontakan itu. Maka beliau segera berangkat ke kota raja, sekalian mengajak Puteri Syanti Dewi menghadap Kaisar, diikuti oleh Suma Kian Bu taihiap. Selain itu, beliau juga membawa seorang tawanan yang amat penting, yaitu Ang Tek Hoat bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong.”

“Ahhh, pemberontak lihai itu!” Kian Lee berseru.

Gak Bun Beng kemudian juga teringat akan tokoh muda pemberontak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan yang memiliki tenaga sinkang seperti tenaga Inti Bumi sehingga pernah mengejutkan hatinya.

“Benar,” kata Jenderal Kao Liang. “Dan dia pulalah yang berjuluk Si Jari Maut, yang telah banyak melakukan kejahatan dengan menggunakan namamu, Gak-taihiap.”

“Ahhh...!” Gak Bun Beng berseru heran.

“Heran sekali, mengapa orang sejahat itu tidak dibunuh saja dan malah dibawa ke kota raja oleh Enci Milana?” Kian Lee bertanya.

Jenderal Kao Liang menghela napas. “Kalau aku tidak salah menduga, hal itu adalah karena cinta! Cinta memang amat kuasa menimbulkan segala macam peristiwa hebat-hebat dan aneh-aneh di dalam dunia ini di antara manusia.”

“Heemmm, apa maksud kata-katamu itu, Goanswe?” Bun Beng bertanya.

“Puteri Milana, aku sendiri, dan Suma-taihiap tadinya juga berpendapat demikian dan akan membunuh saja Ang Tek Hoat itu. Akan tetapi anak angkatku itu, Puteri Syanti Dewi, adalah seorang wanita yang halus budi dan mulia. Dialah yang melarang kami membunuh Tek Hoat.”

“Ahhh...!” Gak Bun Beng terkejut dan alisnya berkerut, “Mengapa?”

“Kiranya Tek Hoat yang terluka berat dan parah itu telah menyelamatkan Syanti Dewi dari bahaya maut dan pemuda yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu ternyata telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo yang lihai dalam perlawanannya membela Syanti Dewi. Mengingat akan jasa-jasanya semua itu, bukan hanya menyelamatkan nyawa Syanti Dewi akan tetapi juga membunuh pentolan-pentolan pemberontak itu, maka Puteri Milana lalu memutuskan untuk menawan pemuda itu dan membawanya ke kota raja sebagai tawanan dalam keadaan masih terluka hebat karena pukulan-pukulan maut dari Siang Lo-mo. Apa lagi menurut Puteri Milana, beliau merasa terheran-heran melihat betapa pemuda itu pandai mainkan ilmu silat rahasia dan simpanan dari Puteri Nirahai sehingga menduga bahwa tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda itu dengan Thian-liong-pang, bekas perkumpulan yang dipimpin Puteri Nirahai.”

Gak Bun Beng mengangguk-angguk. Kini dia bisa mengerti mengapa Milana menawan pemuda itu dan dia dapat menduga pula bahwa yang dimaksudkan oleh jenderal itu tentang cinta tadi adalah perubahan yang terjadi pada diri pemuda pemberontak itu yang karena cinta sampai membalik dan melawan, bahkan membunuh Pangeran Liong Khi Ong sendiri bersama tiga orang pengawalnya yang lihai-lihai itu. Dan tidak anehlah baginya kalau Syanti Dewi mencegah pemuda itu dibunuh. Dia sudah cukup mengenal kepribadian Syanti Dewi yang penuh dengan kelembutan dan belas kasihan, juga penuh dengan perasaan ingat budi.

“Kalau begitu, aku akan segera menyusul ke kota raja, Suheng!” Kian Lee berkata. “Harap Gak-suheng suka menemani aku ke sana.”

“Hemm... aku tidak mempunyai kepentingan di kota raja, Sute.” Bun Beng menjawab karena di dalam hatinya dia sungkan, bahkan takut untuk bertemu dengan Milana dan Syanti Dewi, maklum akan kelemahan hati sendiri.

Jenderal Kao Liang memandang tajam dan berkata, suaranya biasa saja akan tetapi pandang matanya bicara banyak. “Gak-taihiap, sebelum berangkat Puteri Milana telah meninggalkan pesan kepada saya untuk menyampaikan kepada Taihiap bahwa beliau ingin membicarakan suatu hal penting dengan Taihiap setelah urusan negara selesai. Hanya itulah pesan beliau.”

“Jikalau begitu, sebaiknya kita berangkat berdua, Suheng. Apakah Suheng tidak ingin bertanya kepada Ang Tek Hoat yang ditawan itu, kenapa pula dia menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan? Lagi pula, apakah Suheng tidak ingin mengurus tentang Adik Syanti Dewi?”

Bun Beng tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa dia memenuhi permintaan Kian Lee dan setelah bermalam di Teng-bun pada keesokan harinya mereka berangkat meninggalkan Teng-bun, naik kuda pilihan yang disediakan oleh Jenderal Kao Liang untuk mereka.

********************

Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas pembaringan. Mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis. Semenjak dia dibawa dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh tabib-tabib tentara tidak menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang mendengar akan keadaan tawanan ini, lalu menyuruh pengawal membawa pemuda yang menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya.

Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah menghadap Kaisar. Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutama mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang ternyata dapat diselamatkan.

Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan berkata, “Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan.”

Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu.

Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah, apa lagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.

Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudah diangkut ke istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya. “Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?”

Milana mengangguk. “Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya.”

Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata, “Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apa lagi dia masih amat muda.”

Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biar pun dia tidak menyaksikan serdiri, tetapi dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan merasa berduka sekali karena merasa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya.

Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana.

Memang tadinya Han Wi Kong pun tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang suci murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia.

Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat dari pada nafsu birahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami!

Justru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar terlihat di depan umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan cara yang lain, sungguh pun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya.

Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya akan dapat membalas cintanya, hal ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia melainkan ingin melihat isterinya bahagia.

Maka dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul kembali dan sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun terus terang Milana telah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan.

Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan sejak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan Milana!

Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah karena melihat isterinya kehilangan kegembiraan hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan ketika Ang Tek Hoat dibawa ke istananya oleh isterinya. Dia pun dapat menerima pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apa lagi ketika isterinya menceritakan betapa pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia dari Puteri Nirahai!

“Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya.”

“Baik,” Han Wi Kong menjawab.

Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan walau pun sinkang-nya tidak sekuat isterinya atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya gangguan orang luar terhadap orang-orang yang sedang mengerahkan sinkang untuk menyembuhkan orang lain. Dia mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu.

Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, bersila sambil meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sinkang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.

Dari ambang pintu Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahagianya dia dapat disebut sebagai suami dari puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita sejati.



Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sinkang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.

Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya.

Cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk menolak sehingga kedua orang itu melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher. Milana memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti napasnya, hal ini menandakan bahwa dalam hal sinkang, adiknya itu sedikit lebih kuat dari pada dia!

“Engkau sudah sembuh sekarang,” katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat.

Pemuda ini segera bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan kepalanya terasa pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.

“Berbaringlah dulu, engkau masih lemah,” kata pula Milana.

Tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.

“Pa... paduka... adalah Puteri Milana...!” katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi terasa seperti dalam mimpi saja. “Dan kau... kau adalah seorang di antara dua pemuda perkasa itu, mata-mata pemerintah!”

Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti enci-nya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.

“Kenapa...? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?”

“Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan ketiga orang pengawalnya yang lihai untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa engkau bukanlah musuh lagi,” kata Milana.

“Enci-ku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, sama sekali masih belum terlambat untuk menghukummu!” Kian Bu menyambung.

Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya, “Di mana dia? Sang Puteri Bhutan...?” Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.

“Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar,” kata Milana.

Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata, “Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi...”

“Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah.”

Tepat pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi semangkok obat penguat dan bubur.

“Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia hanya mengangguk, menerima mangkok obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biar pun tidak berapa banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.

“Sekarang kita bicara, Ang Tek Hoat,” kata Milana setelah pengawal itu pergi. “Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu...”

“Ahhh, kiranya dia ini adik paduka? Jadi... jadi putera Pendekar Super Sakti?” Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti yang pernah diceritakan oleh ibunya.

“Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau mengenal kami?”

“Dari ibu, akan tetapi sudahlah... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak membunuh saya, malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami...”

Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang yang dianggapnya gagah dan budiman!

“Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukan orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kau sebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk membalas jasamu membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya.”

Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu. Biar pun usianya lebih tua, namun kecantikannya mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, terutama sepasang mata yang bening dan tajam itu. Kemudian dia menjawab, “Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya jawab,” katanya singkat.

“Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik,” pikir Milana. “Pertanyaanku yang pertama adalah sama dengan pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?”

Tek Hoat sendiri sudah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab sejujurnya, “Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo.”

“Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!” Milana berseru.

“Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya.”

Milana mengangguk-angguk. Dia merasa heran sekali, mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.

“Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi.”
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan kedua.

“Sekarang pertanyaanku yang kedua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Kenapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?”

Karena diingatkan kepada musuh besarnya, kini dengan suara ketus dia menjawab, “Memang semua perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati.”

“Ah keparat bermulut lancang!” Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.

“Jangan terburu nafsu, Bu-te!”

Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah marah sekali. “Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suheng-ku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar tentu sudah kuhancurkan mulutmu!”

Ang Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong. “Apa katamu? Dia... dia... masih hidup...?” Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?

“Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan perjalanan bernama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi.”

Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah. “Aihhh... dia...? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau begitu...” Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama?

Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!

“Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?” Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh selidik.

“Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu,” jawabnya.

“Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?” tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!

“Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya...”

“Ahhh...! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?”

Tek Hoat menggeleng kepalanya. “Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar saya itu, kecuali... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu... saya tidak akan dapat melawan...”

“Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

“Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap,” kata Han Wi Kong.

Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.

“Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Kedua, dia memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan juga ketiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, jika engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit.”

Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya, seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.

Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yang angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun, kini sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa seperti tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada ‘orang-orang bersih’ seperti mereka itu.

Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, “Saya Ang Tek Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana.” Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.

Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan dibiarkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.

“Enci Milana, betapa pun juga, aku masih tetap menganggap dia itu seorang yang berbahaya...” Suma Kian Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap enci-nya yang demikian lunak terhadap pemuda jahat itu.

Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya. “Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya... dahulu... Ahhh, biarkanlah aku mengaso dulu sambil mengingat-ingat...” Dia lalu pergi memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.

Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga sinkang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.....

********************

“Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimana pun juga, saya akan menanggung semua akibatnya karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi hati saya.”

Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.

“Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati dikuasai kemarahan.”

“Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!”

Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak menjadi marah mendengar tuduhan yang hebat ini. “Syanti Dewi, aku yakin bahwa orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu tanpa alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan rahasia.”

“Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi menikah dengan pria lain lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria yang sampai sekarang masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan yang tidak ada keduanya di dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!” Syanti Dewi mengeluarkan kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di hatinya, matanya berapi-api dan mukanya kemerahan. “Bibi Milana sungguh kejam sekali! Nah, puaslah sudah hatiku mengeluarkan umpatan yang sudah lama terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku, silakan!”

Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia memandang Syanti Dewi dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andai kata yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan tangan untuk melakukan pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi!

“Bibi pasti marah, akan tetapi aku tidak menyesal mengeluarkan semua ucapanku tadi, sebab aku menuntut agar Bibi Milana suka mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang kujunjung tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak.”

“Syanti Dewi...,” suara Milana gemetar dan serak, seperti bisikan. “Siapa... siapa yang kau maksudkan dengan pria itu...?” Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil.

“Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng? Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan tetapi Bibi telah begitu tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiarkan dia merana sepanjang hidupnya.”

“Oohhh...” Tubuh Milana menjadi lemas, dia memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas kursinya. Kemudian dia membuka lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air mata. “Syanti Dewi... dari manakah... engkau mengetahui semua tentang kami...?”

“Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku.”

“Ahhh...? Tidak mungkin...!” Milana meloncat ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari tangannya yang kecil lembut halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi menggigit bibir menahan sakit. “Kau... kau mencintanya!”

Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti Dewi juga bangkit berdiri dan berkata dengan gagah, “Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta Gak Bun Beng sampai aku mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta kasihnya hanya untukmu, Bibi Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap pria yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap ayah atau seorang murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya yang akan dicintanya sampai dia mati, dan dia bahkan berbahagia di dalam kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya engkau, Bibi Milana!” Dan tanpa dia sadari lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Puteri Bhutan itu.

“Ouhhhhh...” Milana terisak, menggigit bibirnya, memejamkan mata menahan kepedihan hati yang bagai ditusuk-tusuk rasanya. “Aihhh... Syanti Dewi... kau tidak tahu... kau tidak tahu... betapa selama belasan tahun aku hidup dengan hati remuk-redam... betapa aku hidup sangat sengsara dan amat merana... yang mungkin tidak kalah pahitnya dengan penderitaannya...” Wanita cantik itu sekarang menundukkan wajah dan memejamkan mata, menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir semua kepedihan yang teramat menghimpitnya.

Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di depan Milana, memeluk pinggang puteri itu.

“Syanti...!” Milana tidak dapat menahan keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri Bhutan itu sambil menangis sesenggukan.

Betapa belasan tahun ini ia menahan kesengsaraannya, tak pernah dikeluarkan hingga sekarang bagaikan air bah memecah bendungannya, air matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri Bhutan ini mengejap-ngejapkan mata menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah lembut dia mengeluarkan sapu tangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri Milana seperti orang dewasa menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis.

Sejenak dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya, kemarahannya telah berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta kembali ke asalnya, seorang wanita yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya.

“Bibi Milana,” suara Syanti Dewi kini penuh kesungguhan, penuh kedewasaan, dan juga penuh teguran. “Bibi Milana, mengapa Bibi telah bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta Paman Gak Bun Beng, sejak dahulu sampai saat ini, tetapi mengapa Bibi memaksa diri menikah dengan pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?”

Milana sudah dapat menekan perasaannya. Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar, sedikit banyak melegakan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu duduk berdampingan di pinggir pembaringannya.

“Engkau anak yang baik, pertanyaanmu sungguh tidak tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanita-wanita yang tidak kebetulan menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi perintah junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja Bhutan yang menjadi ayahmu? Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!”

“Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi dengan keadaan Bibi! Andai kata saya seperti Bibi, sudah mempunyai seorang kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak suka dikawinkan dengan orang yang belum pernah saya lihat, akan tetapi demi kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara karena ayah menyerahkan saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi yang telah mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu bodoh?”

Demikianlah, percakapannya dengan Puteri Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri Milana rebah seorang diri di atas pembaringannya dalam kamarnya yang tertutup, mengenangkan semua percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya betapa dia telah berbuat kesalahan besar terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi Kaisar atau kerajaan, dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan hidupnya sendiri!

Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu dan semakin diingat, semakin menyesallah dia karena sejak dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih kepadanya, sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang terakhir sekali, dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia bahkan telah bersekutu dengan wanita-wanita lain yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng untuk membunuh pria itu!

Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana. Kemudian barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa, mulia, karena si jahat itu bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In!

“Aihhhh... Wan Keng In, benar dia...!” Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya, memandang terbelalak ke arah pintu kamarnya.

Ketika mengenangkan masa lalu dan terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang Tek Hoat! Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In!

Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua bercakap-cakap itu dengan muka berubah agak pucat. “Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek Hoat itu adalah putera Wan Keng In!”

Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh enci-nya itu. Wan Keng In adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah lama meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga menyeleweng.

“Bagaimana kau bisa tahu, Enci?”

“Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia dan suruh dia kembali, aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng.”

Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa pemuda itu telah keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul dan mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan, namun hasilnya sia-sia dan terpaksa dia kembali kepada enci-nya dengan tangan hampa.

Milana merasa menyesal sekali. “Di dalam kamar tadi barulah aku teringat. Memang tadinya aku sudah merasa mengenal wajah Tek Hoat, hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In, kakakmu Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang dahulu diperkosa oleh Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh, tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka saling bertemu!”

“Sebaiknya aku segera kembali ke Teng-bun atau Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberi tahukan hal Tek Hoat itu kepadanya agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!” kata Kian Bu.

“Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat menghadapi pemuda itu, apa lagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya dan perlu mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya kakakmu, Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?”

Hanya Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan ‘yang lain-lain’ oleh isterinya itu, bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan kedatangannya.

Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana itu! Han Wi Kong dan Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya berubah merah sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara apa-apa kecuali menyapa.

“Gak-suheng!”

“Sumoi...!”

Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah sekali. “Gak-taihiap, sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!”

Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana ternyata telah menikah dengan seorang pria yang tidak mengecewakan. “Terima kasih, Han-ciangkun, dan karena saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap (pendekar besar).”

Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang sederhana sekali ini. “Kalau begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan lagi menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak).”

“Baiklah, Han-laote (Adik Han).”

Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahan-lahan berkurang. Han Wi Kong lalu menjamu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun Beng makan minum menghadapi meja bundar. Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan urusan penting dan setelah mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu, barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih penting menyangkut diri mereka.

“Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak bersemangat?” Kian Bu bertanya dan Milana juga memandang adik ini dengan penuh perhatian.

“Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik Kian Lee,” dia juga berkata.

“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab Kian Lee.

“Jangan-jangan karena kakimu yang terluka dahulu itu, Lee-ko? Tapi sekarang sudah sembuh sama sekali, bukan?”

“Sudah, Bu-te,” Kian Lee menjawab singkat.

Saat adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka sehingga mereka terpisah, Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga sembuh dengan mudah.

“Heran..., heran...!” Kian Bu berkata sambil tertawa. “Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!”

Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya, tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaannya ditujukan kepada Han Wi Kong, “Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat. Apakah benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?”

“Ahhh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang hebat sekali dengan pemuda itu!” Milana berkata. “Dia... dia... itu... putera Wan Keng In...!”

“Ehh...?!” Bun Beng demikian kagetnya sehingga dia bangkit berdiri, lalu kembali duduk. Sementara itu Milana sudah teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

“Bu-sute, apakah yang terjadi?” tanya Bun Beng, menoleh kepada Kian Bu.

“Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan dia tidak melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati, maka setelah mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu dan ingin membalas dendam kematian ayahnya.”

“Hemm..., sungguh aneh...” Bun Beng berkata.

“Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan wajah Keng In...”

“Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau bukan anak Ang Siok Bi?” Milana berkata.

Ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu pandang dan Milana menunduk, karena menyebut nama Siok Bi sama dengan menggali kenangan lama yang membuat Milana merasa berdosa sekali.

Bun Beng mengangguk-angguk. “Hemm, sekarang aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku...”

“Enci Milana khawatir sekali kalau sampai terjadi sesuatu yang hebat apa bila Suheng bertemu dengan dia,” kata pula Kian Bu.

“Aku dapat mengatasinya. Ahhh, sungguh kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan...” Bun Beng menghela napas panjang.

“Gak-suheng, apa pula maksudmu?” Milana bertanya, karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terkandung dalam ucapan pendekar itu.

Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya, “Sumoi tentu masih ingat kepada Lu Kim Bwee, bukan?”

Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana karena tak disangka-sangkanya, padahal dia selalu membayangkan dua orang wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama dia mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini. Milana menelan ludah, memandang kepada Bun Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk.

“Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah Lu Ceng.”

“Ooohhh...!”

“Aihhhh...!” Kian Bu terbelalak dan menoleh kepada Kian Lee.

Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam mulutnya lagi, tak berani mengeluarkan suara. Maklumlah dia sekarang mengapa Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu telah mencuri hati kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka sendiri, yang berarti pula bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri.

Keadaan lalu menjadi sunyi karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong yang pernah mendengar cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng In, memecahkan kesunyian itu sambil berkata, “Kiranya dua orang yang menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan Adik Kian Lee sendiri.”

Kian Lee mengangguk sunyi dan semua orang masih tenggelam ke dalam keanehan yang luar biasa ini, peristiwa yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Milana tidak menyangka bahwa peristiwa ketika dia muda dahulu, yang dilakukan oleh Wan Keng In, ternyata berekor demikian panjang sehingga biar pun pelakunya telah tewas, ternyata akibat kelakuannya masih terus menjadi riwayat! Dan celakanya, kalau dulu Wan Keng In melakukan perbuatan yang mencelakakan diri Gak Bun Beng, sekarang keturunannya juga melakukan hal yang sama, sungguh pun apa yang dilakukan oleh Tek Hoat adalah karena pemuda itu mengira bahwa Gak Bun Beng sudah mati dan menjadi pembunuh ayahnya.

Selagi mereka semua termenung, tiba-tiba datang penjaga pintu yang melaporkan bahwa ada utusan dari Kaisar datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Puteri Milana terkejut dan cepat menyambut. Kiranya yang datang adalah Perdana Menteri Su sendiri, yang tentu saja cepat disambutnya dengan penuh hormat. Han Wi Kong, Gak Bun Beng, dan kedua orang saudara Suma ikut menyambut, dan karena perdana menteri datang sebagai utusan Kaisar yang berarti wakil Kaisar sendiri, Milana dan yang lain-lain menyambut dan berlutut.

Perdana Menteri Su mengenal semua yang hadir. Dia sudah mendengar akan kedua orang adik Puteri Milana, putera-putera dari Pendekar Super Sakti, dan dia dahulu sudah pernah bertemu dengan Gak Bun Beng. Maka cepat dia menggerakkan tangan minta kepada mereka semua untuk bangkit berdiri.

“Harap Cu-wi bangkit kembali dan penghormatan Cu-wi terhadap Sri Baginda telah saya terima. Sekarang kita bicara sebagai sahabat dan biarlah pesan Sri Baginda akan saya bicarakan di atas cawan-cawan arak saja oleh karena keputusan beliau ini perlu kita pertimbangkan bersama.”

Puteri Milana dan yang lain-lain segera bangkit berdiri dan mempersilakan tamu agung itu ke ruangan tamu, di mana mereka menjamu Perdana Menteri Su dengan hormat dan ramah.

Perdana Menteri Su yang sudah tua dan setia itu menghela napas panjang dan berkata, “Aihhh... betapa girang dapat bertemu dengan orang-orang gagah seperti Cu-wi, dan betapa kecewa hati membawa berita yang amat tidak menyenangkan. Puteri Milana, Sri Baginda Kaisar menitah saya untuk menyampaikan keputusan beliau tentang Pangeran Liong Bin Ong dan Puteri Syanti Dewi.”

“Bagaimana dengan Paman Pangeran Liong Bin Ong?” Puteri Milana bertanya.

“Sri Baginda menyatakan bahwa menurut penyelidikan beliau, Pangeran Liong Bin Ong tidak bersalah apa-apa, dan pemberontakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mendiang Pangeran Liong Khi Ong...”

“Ahhh...!” Puteri Milana berseru, mukanya merah dan kelihatan penasaran sekali.

“Puteri Milana, demikianlah keputusan Sri Baginda,” Perdana Menteri Su berkata kereng dan memandang wajah puteri itu penuh arti.

Sang Puteri mengangguk dan membungkuk, tidak berani berkata apa-apa lagi sungguh pun dia maklum bahwa keputusan ini bukan hanya membuat dia penasaran, bahkan terutama sekali membuat perdana menteri itu menjadi kecewa dan khawatir. Mereka berdua tahu belaka bahwa Liong Khi Ong hanya merupakan orang kedua, hanyalah pembantu dari Pangeran Liong Bin Ong yang sebenarnya menjadi dalang pertama dari pemberontakan itu!

“Ada pun tentang diri Puteri Bhutan itu, Puteri Syanti Dewi yang tadinya akan menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong, menurut keputusan Sri Baginda akan dinikahkan dengan Pangeran Yung Hwa!”

“Heiiiihh...!” Kian Bu berteriak sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.

“Bu-te, duduklah! Ini perintah Sri Baginda Kaisar!” Puteri Milana membentak adiknya, akan tetapi matanya memandang adiknya dengan penuh duka karena puteri ini maklum bahwa adiknya itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.

“... ya... ya, Enci Milana...” Kian Bu duduk kembali dan menundukkan mukanya yang berubah menjadi pucat.

“Betapa pun juga, keputusan kedua ini adalah cukup adil dan tepat,” Perdana Menteri Su berkata sambil mengelus jenggotnya. “Memang tadinya Pangeran Yung Hwa yang ingin berjodoh dengan Puteri Bhutan, hanya dia terdesak dan kalah oleh mendiang Pangeran Liong Khi Ong. Ikatan jodoh ini berarti akan memperkuat tali hubungan antara Kerajaan Ceng dengan Kerajaan Bhutan.”

Milana tidak menjawab karena dia maklum bahwa perdana menteri itu tidak tahu akan rahasia hati Kian Bu. Dia hanya mengangguk saja. Tidak lama kemudian, Perdana Menteri Su berpamit dan setelah dia pergi, barulah Milana meremas cawan araknya sampai perak itu menjadi satu gumpalan!

“Sungguh celaka sekali! Pangeran Liong Bin Ong si pemberontak besar itu dibebaskan! Tentu dia akan membuat huru-hara lagi! Ahh, mengapa Sri Baginda tidak dapat melihat kenyataan?”

Milana melirik ke arah Kian Bu yang masih menundukkan mukanya dan tiba-tiba dia bangkit berdiri. “Dan Syanti Dewi... ah, sungguh membikin orang penasaran...!” Milana mengerutkan alisnya, sejenak bertukar pandang dengan Gak Bun Beng, lalu dia minta maaf kepada Bun Beng dan meninggalkan ruangan itu memasuki kamarnya.

Kian Bu bangkit berdiri pula, tanpa berkata apa-apa dia pun lalu setengah lari menuju ke kamarnya, diikuti oleh Kian Lee yang kini memandang adiknya itu dengan wajah penuh kecemasan.

Tinggallah Han Wi Kong duduk berhadapan dengan Gak Bun Beng. Keduanya bengong dan termenung.

“Hemmm..., banyak sekali peristiwa terjadi dalam kehidupan manusia yang berlawanan dengan apa yang dikehendakinya, bukan, Gak-twako?”

“Ehhh...?” Bun Beng yang lagi melamun sambil tak sadar mengambil cawan yang telah menjadi gumpalan perak karena dicengkeram oleh Milana tadi, membolak-balik benda itu di tangannya, terkejut mendengar ucapan itu, lalu mengangkat muka memandang. “Agaknya begitulah hidup...”

“Mengapa harus begitu, Twako?” Han Wi Kong mendesak.

“Yah, manusia tidak akan dapat melawan nasib...” Bun Beng menarik napas panjang.

“Hemmm..., begitukah? Atau bukan sebaliknya bahwa nasib berada di tangan manusia sendiri? Orang yang menyerah kepada nasib adalah orang lemah, dan orang-orang lemah memang sudah sepatutnya hidup menderita, Twako! Hanya orang yang berani menentang dan menghadapi keadaan dan peristiwa dengan tabah, merubah nasibnya sendiri dan terbebas dari penderitaan kelemahannya!”

Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan, kemudian bertanya, “Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah...”

“Mengapa tidak mungkin? Tergantung dari si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!”

Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia ‘menerima nasib’, karena dia lebih condong menangisi nasibnya dari pada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami ‘nasib’ yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan ‘nasib’ itu!

“Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang sute-ku itu.”

Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sute-nya dan melihat mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu. Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sute-nya ini juga ‘patah hati’ karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang sama!

Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu. “Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?”

Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan memandang kepada suheng-nya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.

“Apa maksudmu, Suheng?”

“Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan pastilah akan bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di sini engkau termenung menangisi nasib!”

“Aihh, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biar pun beliau itu kakek besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!” Kian Bu berkata.

“Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau pun sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau...”

“Bagaimana, Suheng?” Kian Bu bertanya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih ‘hijau’ dan tentu saja dia memandang suheng-nya ini sebagai seorang pria yang sudah ‘berpengalaman’ yang patut ditiru.

“Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!”

Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suheng-nya. “Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasehatmu itu sekarang juga!” Kian Bu lalu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.

“Ahh, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasehatmu itu,” Kian Lee berkata, khawatir. “Jangan-jangan akan timbul keributan.”

“Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia.” Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia teringat akan urusannya sendiri dengan Milana.

Dia bisa memberi nasehat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tak berani menghadapi kenyataan bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya dikarenakan dia merasa rendah diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana!

Setelah berkata demikian Bun Beng lalu meninggalkan Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tak jauh dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah. Bayangan Milana terus mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan batinnya akan bobol. Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusan apa-apa lagi.

Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sute-nya itu. Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah putera Wan Keng In yang kembali mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu. Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk melihat bagaimana jadinya dengan sute-nya itu.

Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali. Bun Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman, tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam ikan emas yang lebar dan indah. Airnya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu nampak nyata, beriring-iringan dengan warna sisik mereka yang keemasan dan berkilauan tertimpa sinar kemerahan matahari senja.

Bun Beng duduk di atas bangku batu di dekat kolam. Air yang memancar keluar dari pinggir kolam membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.

“Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku,” diam-diam Bun Beng mengeluh. “Kehadiranku hanya akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan miskin...” Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang-orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.

“Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia...”

“Huh, tolol!” bentaknya sendiri kepada diri sendiri. “Habis kau mau apa?”

“Gak-suheng...”

Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Bahkan sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia membalikkan tubuh dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!

“Sumoi..., mafkan aku... aku memasuki tamanmu tanpa permisi...,” dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat puteri yang berdiri tegak dan agung itu ternyata telah mencucurkan air mata! Satu demi satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara di sepanjang kedua pipinya.

“Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah membuat hancur hidupmu..., aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng...”

Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak... tidak demikian... Sumoi. Apa yang kau ucapkan ini...?”

“Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku sudah tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau juga mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan Han Wi Kong?” Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng.

Pendekar itu menguatkan hatinya dan memaksa tersenyum. “Sumoi... Sumoi! Milana... mengapa engkau bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan aku... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku... sebaiknya pergi saja...”

“Gak-suheng...!” Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan mendadak Milana terisak lalu memeluk pinggang Bun Beng. “Suheng... ah, Suheng... aku melihat betapa jahatnya aku... betapa hancurnya hidupmu karena aku... ampunkan aku, Suheng.”

Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.

“Tidak... tidak boleh begini...! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!”

Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata. “Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?”

“Aku? Mencinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu... akan terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat... Sumoi...”

“Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana pun engkau membawaku! Aku... aku... ahhh..., engkau tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau saja tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng...”

“Ahhh...?” Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, dia merasa seperti disambar petir. “Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!”

“Tidak... tidak... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi... aku... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah seorang...”

“Aihhh, Sumoi, kini engkau menghancurkan hatiku!” Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya terasa sakit. “Kalau begitu... sia-sia belaka semua pengorbananku... sia-sia belaka aku menyiksa diri... Sumoi, mengapa begitu?”

Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.

“Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau... kalau engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu.”

“Milana!” Bun Beng setengah membentak, “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Tak malukah engkau? Kau kira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap suamimu yang baik?”

Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya. “Dia seorang yang berbudi mulia... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat mencintanya. Tahukah kau, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu... dia telah memberi restunya... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku...”

“Tidak...!” Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. “Tidak...! Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh lagi aku menyentuhmu, tidak boleh sama sekali...! Duhai Milana... Sumoi... jangan... jangan kita lakukan itu... lebih baik aku mati dari pada melakukan perbuatan terkutuk itu!” Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.

“Suheng...!” Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.

“Gak-suheng...!” Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam!

Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Han Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.....

********************

Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu ruangan.

Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata, “Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi Milana...”

“Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti...?”

Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.

“Lalu bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?”

“Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kau tolonglah, suruh Bibi Milana menolongku... aku tidak suka dengan pernikahan itu!”

“Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kau samakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dulu suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong...”

“Aku tak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko... kau sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana... tolonglah aku... atau... tolong kau cari Paman Gak Bun Beng. Dia adalah satu-satunya orang yang kugantungi harapanku.”

“Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti... aku... aku...” Kian Bu yang biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.

“Ada apa, Koko? Bagaimana?” Puteri Syanti Dewi memandang lekat dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.

“Adik Syanti... hemm... ehhh, aku... aku bersedia untuk menolongmu... untuk mengajak kau lari dari sini...”

“Bu-koko...! Terima kasih...! Ahhh, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suheng-mu, Paman Gak Bun Beng!” Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan pemuda itu penuh harapan.

Kian Bu juga lalu bangkit berdiri. “Aku... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena... aku... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita dahulu pertama bertemu... dan kalau kau lebih memilih aku dari pada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari...”

“Ahhhh...!” Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan seorang puteri raja.

“Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat... ahh, amat baik dan hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh dunia, adik dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang tak akan berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku... ahhh, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik... menghadapi mala petaka itu seorang diri saja, tanpa pertolonganmu.”

Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasehat suheng-nya, kini menjadi pucat sekali.

“Kau... kau tidak... tidak cinta padaku, Adik Syanti?” tanyanya dengan suara serak.

Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba. “Maafkan aku.”

“Kalau begitu engkau... engkau tentu sudah mencinta lain orang...?”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suheng-mu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku.”

Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah, “Biar pun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini.”

“Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biarlah Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal...”

“Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong...”

“Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku...” Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal. “Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,” katanya penuh wibawa.

Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang karena merasa kasihan. Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempesonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya. Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya seperti yang disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suheng-nya, Gak Bun Beng! Si Tua.


BERSAMBUNG KE JILID 20


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.