Jodoh Rajawali Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 27
Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, bahkan sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi anehnya, setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah….

Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggota Liong-sim-pang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali.

Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. “Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng! Kurung!” teriaknya dan anak buahnya, walau pun kini merasa jeri sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng.

Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu berkelebat lantas lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun.

Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepalanya retak oleh tamparan itu, lalu secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu!

Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya.

“Suma-taihiap...!” Cui Lan berseru lirih dan berusaha keras menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke arah pemuda itu.

Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak dingin, “Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang...“

“Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoi-mu sendiri! Cui Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu,” kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan.

Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan lalu menjura kepada Kian Bu sambil berkata, “Suma-suheng, maafkan aku...“

“Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu... ehhh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?”

Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok Thian Ki, tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.

“Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau mendengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu.”

“Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap… ehhh…, Suheng, entah bagaimana saya akan dapat membalasnya,” terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya.

Baik Kim Sim Nikouw mau pun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, karenanya nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.

“Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, dan sudah selayaknya menjadi seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka dari itu aku ingin mengucapkan selamat, dan sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana.”

“Akan tetapi aku... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...”

“Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...“

“Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana..., aku... aku...“ Gadis itu memejamkan mata dan air matanya berlinang-linang.

Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. “Phang-sumoi, memang dalam hidup banyak terjadi hal-hal yang jauh dari pada yang kita harapkan. Segala sesuatu telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapa pun kita akan menjadi berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, percayalah, bukan maksudku untuk menyakiti hatimu, akan tetapi... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kau maafkanlah Suheng-mu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.

Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, “Cui Lan, apa yang sudah dikatakan suheng-mu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan bahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya…..

********************

Adakah yang lebih panas dari pada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih dari pada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta!

Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apa lagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walau pun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang sangat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh.

Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apa lagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.

Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan.

Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan kedua adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga dari pada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!

Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu menimbulkan kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tidak masuk di akal! Dia sendiri, andai kata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!

Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Walau pun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono. Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkang-nya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian…..

********************

Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung di dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya.

Panglima Jayin merupakan panglima tua yang kedua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu. Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguh pun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu dari pada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi! (baca Kisah Sepasang Rajawali)

Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apa lagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara pihak yang setia kepada raja dan agaknya, biar pun tidak kentara, terdapat pula pihak yang menentang raja secara diam-diam. Yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu terutama sekali disebabkan karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.

“Selamat malam, Panglima!”

Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja di dalam ruangan kerjanya pada malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.

“Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat, Panglima?” tanya Tek Hoat, dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.

“Eh... ohhh... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang...?” tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran.

Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela, kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya. “Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,” keluhnya.

Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, kemudian bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.

“Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin.”

Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sekarang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. “Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa penting, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.”

“Ahhh...!” Wajah panglima itu menjadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.”

“Nanti dulu, Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya, bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, barulah kau pertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja.”

“Baik, baik, lekas kau ceritakan, Taihiap!”

“Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja. Selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.” Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri.

“Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya jika aku sempat bertemu lagi dengan dia,” pikirnya.

Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidak percayaan, akan tetapi keheranan yang besar menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!

“Hemmm, kulihat engkau pun agaknya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

“Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku.”

“Ahhh, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!” seru Tek Hoat dengan girang. “Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu.”

Wajah Panglima Jayin berseri. Biar pun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apa lagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.

“Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui pihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.”

Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi senyap. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.

Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang kedua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.

“Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima itu. “Di mana beliau?”

“Beliau sudah memasuki kamar, baru saja.”

“Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.”

“Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar.” Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.

“Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.

“Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.”

“Sang Puteri Syanti Dewi...?” Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.

Tidak lama kemudian daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu kembali muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata, “Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.”

Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.

Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.

“Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?” Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan Tek Hoat.

Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat, “Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.”

Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.

“Nah, ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata.

“Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu.” Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.

Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, “Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?”

“Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.”

Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin, “Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?”

“Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini.”

Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan.

“Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.”

Betapa pun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!

“Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat.

Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.

Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, “Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta... dia putera Sangita... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?”

“Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri dapat percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”

“Hemmm, bagaimana kalau bohong?”

“Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.

“Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”

Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, “Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, kau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!”

“Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.”

“Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Memang lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dahulu sambil menunggu sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui.”

Raja tua itu menghela napas panjang. “Baiklah... baiklah, kalian atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!”

“Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat.

“Baik, nah, kau bawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah orang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.”

Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindak atas nama raja!

Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih dari lima puluh orang panglima dan perwira tinggi!

Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda, dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawa orang itu ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.

“Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berpihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda.”

“Akan tetapi... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biar pun diatur oleh puteranya sendiri!”

“Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini.”

“Aku bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang prajurit siap menerima perintah.

Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sikap setia pada negara, Jayin lalu menggunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu lalu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.

Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa hingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan pihak pemberontak, sungguh pun kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andai kata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta.

Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan.

Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.

Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan yang tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini telah menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.

Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan cukup kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.

Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk segera ‘melaksanakan’ rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.

“Bagus! Permintaannya yang pertama tentu harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya.

Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang ‘utusan’ panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk ‘mengurung’ istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biar pun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira.

‘Puteri’ Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut. Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biar pun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu.

Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para prajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.

Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat, sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah ‘diberi’ oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.

Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguh pun jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguh pun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguh pun dia telah diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.

“Mohinta, apa yang kau lakukan itu?” Suara sri baginda gemetar.

Dengan wajah beringas Mohinta berkata, “Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di telapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!”

Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. “Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!”

“Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!” bentak Mohinta.

“Apa kehendakmu?” tanya raja, juga membentak.

“Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai menantu yang akan menggantikan kedudukan Paduka di Bhutan!”

“Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan.

“Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!” bentak Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.

Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

Sementara itu, Sri baginda sudah lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. “Syanti... anakku... ahhh, anakku...!”

Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apa lagi ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, “Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja pasti akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau berani merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!”

“Ahhh... kau... kau...!”

Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.

“Syanti...! Kau gila...!” Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja.

Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak. Ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.

“Dewi...!” Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan segera diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia.

Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi ‘puteri’ itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.

Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar halaman istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.

Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari pada Mohinta sendiri!

Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar untuk mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.

“Mohinta keparat, jangan lari!” Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.

“Kepung! Bunuh!” Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.

Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.

Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia terus merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!

Biar pun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biar pun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya.

Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu. Saat pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai.

Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Ang Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya sudah cepat menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah ketiak lengan kanannya.

“Blesssss...!”

Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.

“Itu untuk ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.

“Crakkk! Crakkk!” Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku oleh karena kena disambar Cui-beng-kiam.

“Itu untuk Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak.

Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darahnya muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.

“Crakkk!” Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan kini lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi.

“Itu untuk Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam.

Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!

Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk.

Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, yang pura pura mempersilahkan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan. Setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal dengan meninggalkan banyak korban.

Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apa lagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!

Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya terus menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.

Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.

Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang kadang duduk, diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang pula, selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta.

Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan kemudian membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasehatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar, supaya tetap dirahasiakan. Para tabib ini khawatir kalau kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasehat ini, kemudian memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.

Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jeri mereka yang masih memiliki niat untuk memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.

Setelah Panglima Sangita yang sudah tua itu dipensiun dan dibebas tugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biar pun belum diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.

Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang kebudayaan, politik, ekonomi, perang halus mau pun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan.

Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian mana pun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di mana pun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing.

Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain. Demi mencapai cita cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu.

Demikianlah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.

Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya ‘perang’ di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tidak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin!

Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!

Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan pernah berhenti, baik pemberontakan halus mau pun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi dari pada si manusia sendiri.

Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, tetapi hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apa bila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!

Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidak tertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apa bila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, apa bila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin. Amin
.

Jodoh Rajawali Jilid 27


Seperti juga dengan para pendekar yang sudah membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu berhasil dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu.

Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta sudah lebih dahulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun juga telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Ada pun Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.

Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Walau pun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu.

Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka bisa mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal, kemudian mengambil jalan sendiri, sungguh pun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.

Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu.

Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andai kata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!

Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya.

Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanan saja. Pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang selalu ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.

Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya sangat menyesakkan napas itu.

“Hemmm, perang... lagi-lagi perang... pertempuran, bunuh-membunuh antara manusia!” Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isteri tercintanya untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya, dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau, mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.

Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan dapat melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana!

Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.

Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu, maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.

Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini.

Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri dari Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.

Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok!

Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena sekarang ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.

“Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.

“Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah...“

Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Siansu, si tosu yang tinggi badannya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu Nampak sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan dua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping telah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing-masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!

Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke mana pun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka.

Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dan hanya dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.

Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru, “Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”

Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nionio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti ‘hidup’ dan hendak bergerak sendiri itu.

Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Siansu yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!

Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda kuda mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.

“Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”

Empat orang itu sama sekali tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.

Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.

“Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Semua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksasa yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!

“Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai mampus!”

Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.

“Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”

“Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.

Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tak dihiraukannya. “Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan urusan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.”

“Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke semua anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!”

Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya lagi gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini?

Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata. “Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?”

“Tidak ada yang bohong! Kedua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang kedua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”

“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!

Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapa pun juga, dia mulai marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?”

Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya telah saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.

Mendadak ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok untuk memeriksa bangkai burungnya.

Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biar pun mereka bertanding tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat bukan main karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang berubah-ubah itu.

Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan menghadapi seorang lawan hebat seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biar pun dalam urutan tingkat Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.

Belasan tahun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biar pun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekali pun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biar pun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.

Kekhawatiran Twa-ok memang sangat beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu masing-masing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.

Mengerti bahwa jika dilanjutkan tentu pihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.

“Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!”

“Ha-ha-ha, Twako, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han.

Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apa lagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.

“Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”

“Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa. Jangan khawatir, Suma taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!” Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.

“Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.

“Persetan!” bentak Hek-tiauw Lo-mo. Tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!

“Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.

“Keparat sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!

Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!”

“Crakkk!”

Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu ‘pecah’ menjadi dua, kemudian muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!

“Ehhh?” Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu.

“Crakkk! Crakkk!”

Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan... dua kali dua sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman ini sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi!

“Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!”

Meski dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tidak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!”

Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.

“Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.

Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.

Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!

Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian.

Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu kembali mengejar kesenangan, sungguh pun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!


Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biar pun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepatnya. Wussssss…..

********************

Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkang-nya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu.

Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?

“Ahh, Kian Bu... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia termenung dan tenggelam dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.

Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini.

Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.

Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biar pun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.

Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa pun yang mengancamnya.

Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?

Kalau orang lain, apa lagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan merasa takut dan pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam goa, atau di mana saja!

Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.

Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biar pun ginkang-nya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara.

Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.

“Kresekkk...!” Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya.

Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga dapat melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!

“Suma-taihiap! Siluman Kecil... engkaukah itu...?”

Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Bayangan itu pun tercengang. “Ahhh... kiranya bukan...!”

Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.

“Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.

“Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?”

“Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In. “Mau apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”

Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap... dan kusangka dia yang masuk ke sini...“

“Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?”

“Ah, tidak... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan... ehhh, dari suhu..., sudahlah, aku harus cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.”

Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil ‘Suma taihiap’ tadi demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apa lagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?

“Gila kau!” Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!

Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersenda gurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan perjalanannya, sungguh pun dia sendiri tidak tahu harus ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Kedua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia belaka.

Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di depannya seperti iblis. Memang kakek ini semenjak tadi bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.

Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!

Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekali karena dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.

“Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.

Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum wanita.

Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.

“Hemmm...!” Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, tetapi menghantam ke arah pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan balasan!

Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan!

“Uuuhhh...!” Kembali Gitananda berseru kaget.

Cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah karena penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan lawan!

Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana.

Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biar pun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.

“Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?” Dia mengejek dan pendeta itu menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli.

Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!

Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andai kata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya.

Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diselingi dengan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga tendangan kaki kiri Siang In yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.

“Dukkk!”

Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.

Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas, dan kemudian dia mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan mendadak Siang In ikut pula menggigil! Maka segera tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun ini sudah dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.

“Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan!

Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadarannya, tetapi dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, seorang ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!

“Ha-ha-ha...!” Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat-cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!

“Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki ‘singa’ itu dengan bacokan pedang payungnya.

“Cusssss!”

Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi ‘ular’ dan melibat pedang payung itu.

Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iweekang.

“Krakkk! Krekkk!”

Pedang payung dan ‘ular’ itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biar pun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi Siang In.

Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya.

Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin ‘parah’ penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya.

Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!

Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!

Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke mana pun mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan.

Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh mukjijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!

Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah, Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak gerak seperti cakar-cakar setan yang hendak mencengkeram. Dan biar pun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak.

Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan agar jangan sampai dia ‘terseret’ oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.

Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.

“Ihhhhh!” Gitananda berteriak kaget.

Biar pun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.

Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.

“Haihhhhhh!” Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini.

Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang kini mematuk ke arah matanya, Siang In terkejut sekali, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.

“Heh-heh-heh, engkau tak akan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku dan menjadi tawananku untuk kuhadapkan kepada pangeran...!” kata kakek itu sambil menyeringai.

Tiba-tiba dia memekik dahsyat dan terjadilah hal yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang penglihatan yang luar biasa ini.

Siang In juga kelihatan sangat terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh semakin panjang. Kemana pun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 28


Jodoh Rajawali Jilid 27

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 27
Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, bahkan sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi anehnya, setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah….

Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggota Liong-sim-pang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali.

Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. “Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng! Kurung!” teriaknya dan anak buahnya, walau pun kini merasa jeri sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng.

Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu berkelebat lantas lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun.

Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepalanya retak oleh tamparan itu, lalu secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu!

Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya.

“Suma-taihiap...!” Cui Lan berseru lirih dan berusaha keras menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke arah pemuda itu.

Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak dingin, “Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang...“

“Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoi-mu sendiri! Cui Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu,” kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan.

Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan lalu menjura kepada Kian Bu sambil berkata, “Suma-suheng, maafkan aku...“

“Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu... ehhh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?”

Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok Thian Ki, tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.

“Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau mendengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu.”

“Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap… ehhh…, Suheng, entah bagaimana saya akan dapat membalasnya,” terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya.

Baik Kim Sim Nikouw mau pun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, karenanya nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.

“Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, dan sudah selayaknya menjadi seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka dari itu aku ingin mengucapkan selamat, dan sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana.”

“Akan tetapi aku... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...”

“Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...“

“Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana..., aku... aku...“ Gadis itu memejamkan mata dan air matanya berlinang-linang.

Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. “Phang-sumoi, memang dalam hidup banyak terjadi hal-hal yang jauh dari pada yang kita harapkan. Segala sesuatu telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapa pun kita akan menjadi berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, percayalah, bukan maksudku untuk menyakiti hatimu, akan tetapi... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kau maafkanlah Suheng-mu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.

Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, “Cui Lan, apa yang sudah dikatakan suheng-mu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan bahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya…..

********************

Adakah yang lebih panas dari pada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih dari pada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta!

Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apa lagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walau pun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang sangat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh.

Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apa lagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.

Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan.

Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan kedua adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga dari pada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!

Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu menimbulkan kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tidak masuk di akal! Dia sendiri, andai kata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!

Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Walau pun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono. Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkang-nya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian…..

********************

Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung di dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya.

Panglima Jayin merupakan panglima tua yang kedua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu. Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguh pun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu dari pada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi! (baca Kisah Sepasang Rajawali)

Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apa lagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara pihak yang setia kepada raja dan agaknya, biar pun tidak kentara, terdapat pula pihak yang menentang raja secara diam-diam. Yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu terutama sekali disebabkan karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.

“Selamat malam, Panglima!”

Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja di dalam ruangan kerjanya pada malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.

“Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat, Panglima?” tanya Tek Hoat, dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.

“Eh... ohhh... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang...?” tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran.

Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela, kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya. “Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,” keluhnya.

Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, kemudian bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.

“Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin.”

Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sekarang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. “Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa penting, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.”

“Ahhh...!” Wajah panglima itu menjadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.”

“Nanti dulu, Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya, bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, barulah kau pertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja.”

“Baik, baik, lekas kau ceritakan, Taihiap!”

“Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja. Selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.” Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri.

“Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya jika aku sempat bertemu lagi dengan dia,” pikirnya.

Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidak percayaan, akan tetapi keheranan yang besar menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!

“Hemmm, kulihat engkau pun agaknya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

“Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku.”

“Ahhh, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!” seru Tek Hoat dengan girang. “Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu.”

Wajah Panglima Jayin berseri. Biar pun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apa lagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.

“Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui pihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.”

Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi senyap. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.

Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang kedua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.

“Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima itu. “Di mana beliau?”

“Beliau sudah memasuki kamar, baru saja.”

“Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.”

“Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar.” Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.

“Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.

“Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.”

“Sang Puteri Syanti Dewi...?” Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.

Tidak lama kemudian daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu kembali muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata, “Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.”

Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.

Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.

“Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia sekarang?” Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan Tek Hoat.

Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat, “Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.”

Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.

“Nah, ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata.

“Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu.” Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.

Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, “Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?”

“Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.”

Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin, “Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?”

“Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini.”

Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan.

“Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.”

Betapa pun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!

“Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat.

Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.

Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, “Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta... dia putera Sangita... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?”

“Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri dapat percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”

“Hemmm, bagaimana kalau bohong?”

“Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.

“Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”

Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, “Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, kau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!”

“Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.”

“Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Memang lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dahulu sambil menunggu sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui.”

Raja tua itu menghela napas panjang. “Baiklah... baiklah, kalian atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!”

“Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat.

“Baik, nah, kau bawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah orang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.”

Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindak atas nama raja!

Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih dari lima puluh orang panglima dan perwira tinggi!

Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda, dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawa orang itu ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.

“Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berpihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda.”

“Akan tetapi... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biar pun diatur oleh puteranya sendiri!”

“Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini.”

“Aku bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang prajurit siap menerima perintah.

Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sikap setia pada negara, Jayin lalu menggunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu lalu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.

Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa hingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan pihak pemberontak, sungguh pun kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andai kata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta.

Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan.

Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.

Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan yang tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini telah menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.

Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan cukup kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.

Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk segera ‘melaksanakan’ rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.

“Bagus! Permintaannya yang pertama tentu harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya.

Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang ‘utusan’ panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk ‘mengurung’ istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biar pun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira.

‘Puteri’ Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut. Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biar pun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu.

Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para prajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.

Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat, sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah ‘diberi’ oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.

Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguh pun jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguh pun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguh pun dia telah diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.

“Mohinta, apa yang kau lakukan itu?” Suara sri baginda gemetar.

Dengan wajah beringas Mohinta berkata, “Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di telapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!”

Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. “Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!”

“Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!” bentak Mohinta.

“Apa kehendakmu?” tanya raja, juga membentak.

“Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai menantu yang akan menggantikan kedudukan Paduka di Bhutan!”

“Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan.

“Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!” bentak Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.

Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

Sementara itu, Sri baginda sudah lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. “Syanti... anakku... ahhh, anakku...!”

Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apa lagi ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, “Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja pasti akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau berani merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!”

“Ahhh... kau... kau...!”

Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.

“Syanti...! Kau gila...!” Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja.

Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak. Ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.

“Dewi...!” Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan segera diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia.

Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi ‘puteri’ itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.

Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar halaman istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.

Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari pada Mohinta sendiri!

Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar untuk mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.

“Mohinta keparat, jangan lari!” Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.

“Kepung! Bunuh!” Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.

Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.

Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia terus merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!

Biar pun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biar pun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya.

Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu. Saat pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai.

Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Ang Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya sudah cepat menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah ketiak lengan kanannya.

“Blesssss...!”

Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.

“Itu untuk ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.

“Crakkk! Crakkk!” Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku oleh karena kena disambar Cui-beng-kiam.

“Itu untuk Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak.

Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darahnya muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.

“Crakkk!” Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan kini lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi.

“Itu untuk Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam.

Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!

Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk.

Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, yang pura pura mempersilahkan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan. Setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal dengan meninggalkan banyak korban.

Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apa lagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!

Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya terus menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.

Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.

Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang kadang duduk, diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang pula, selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta.

Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan kemudian membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasehatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar, supaya tetap dirahasiakan. Para tabib ini khawatir kalau kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasehat ini, kemudian memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.

Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jeri mereka yang masih memiliki niat untuk memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.

Setelah Panglima Sangita yang sudah tua itu dipensiun dan dibebas tugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biar pun belum diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.

Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang kebudayaan, politik, ekonomi, perang halus mau pun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan.

Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian mana pun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di mana pun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing.

Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain. Demi mencapai cita cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu.

Demikianlah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.

Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya ‘perang’ di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tidak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin!

Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!

Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan pernah berhenti, baik pemberontakan halus mau pun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi dari pada si manusia sendiri.

Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, tetapi hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apa bila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!

Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidak tertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apa bila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, apa bila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin. Amin
.

Jodoh Rajawali Jilid 27


Seperti juga dengan para pendekar yang sudah membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu berhasil dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu.

Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta sudah lebih dahulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun juga telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri. Ada pun Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.

Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Walau pun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu.

Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka bisa mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal, kemudian mengambil jalan sendiri, sungguh pun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.

Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu.

Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andai kata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!

Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya.

Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanan saja. Pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang selalu ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.

Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya sangat menyesakkan napas itu.

“Hemmm, perang... lagi-lagi perang... pertempuran, bunuh-membunuh antara manusia!” Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isteri tercintanya untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya, dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau, mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.

Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan dapat melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana!

Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.

Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu, maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.

Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini.

Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri dari Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.

Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok!

Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena sekarang ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.

“Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.

“Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah...“

Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Siansu, si tosu yang tinggi badannya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu Nampak sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan dua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping telah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing-masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!

Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke mana pun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka.

Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dan hanya dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.

Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru, “Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”

Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nionio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti ‘hidup’ dan hendak bergerak sendiri itu.

Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Siansu yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!

Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda kuda mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.

“Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”

Empat orang itu sama sekali tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.

Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.

“Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Semua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksasa yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!

“Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai mampus!”

Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.

“Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”

“Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.

Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tak dihiraukannya. “Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan urusan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.”

“Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke semua anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!”

Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya lagi gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini?

Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata. “Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?”

“Tidak ada yang bohong! Kedua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang kedua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”

“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!

Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapa pun juga, dia mulai marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?”

Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya telah saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.

Mendadak ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok untuk memeriksa bangkai burungnya.

Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biar pun mereka bertanding tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat bukan main karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang berubah-ubah itu.

Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan menghadapi seorang lawan hebat seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biar pun dalam urutan tingkat Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.

Belasan tahun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biar pun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekali pun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biar pun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.

Kekhawatiran Twa-ok memang sangat beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu masing-masing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.

Mengerti bahwa jika dilanjutkan tentu pihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.

“Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!”

“Ha-ha-ha, Twako, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han.

Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apa lagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.

“Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”

“Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa. Jangan khawatir, Suma taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!” Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.

“Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.

“Persetan!” bentak Hek-tiauw Lo-mo. Tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!

“Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.

“Keparat sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!

Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!”

“Crakkk!”

Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu ‘pecah’ menjadi dua, kemudian muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!

“Ehhh?” Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu.

“Crakkk! Crakkk!”

Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan... dua kali dua sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman ini sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi!

“Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!”

Meski dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tidak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!”

Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.

“Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.

Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.

Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!

Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian.

Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu kembali mengejar kesenangan, sungguh pun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!


Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biar pun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepatnya. Wussssss…..

********************

Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkang-nya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu.

Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?

“Ahh, Kian Bu... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia termenung dan tenggelam dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.

Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini.

Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.

Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biar pun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.

Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa pun yang mengancamnya.

Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?

Kalau orang lain, apa lagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan merasa takut dan pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam goa, atau di mana saja!

Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.

Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biar pun ginkang-nya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara.

Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.

“Kresekkk...!” Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya.

Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga dapat melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!

“Suma-taihiap! Siluman Kecil... engkaukah itu...?”

Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Bayangan itu pun tercengang. “Ahhh... kiranya bukan...!”

Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.

“Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.

“Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?”

“Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In. “Mau apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”

Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap... dan kusangka dia yang masuk ke sini...“

“Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?”

“Ah, tidak... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan... ehhh, dari suhu..., sudahlah, aku harus cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.”

Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil ‘Suma taihiap’ tadi demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apa lagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?

“Gila kau!” Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!

Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersenda gurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan perjalanannya, sungguh pun dia sendiri tidak tahu harus ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Kedua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia belaka.

Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di depannya seperti iblis. Memang kakek ini semenjak tadi bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.

Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!

Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekali karena dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.

“Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.

Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum wanita.

Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.

“Hemmm...!” Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, tetapi menghantam ke arah pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan balasan!

Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan!

“Uuuhhh...!” Kembali Gitananda berseru kaget.

Cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah karena penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan lawan!

Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana.

Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biar pun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.

“Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?” Dia mengejek dan pendeta itu menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli.

Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!

Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andai kata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya.

Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diselingi dengan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga tendangan kaki kiri Siang In yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.

“Dukkk!”

Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.

Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas, dan kemudian dia mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan mendadak Siang In ikut pula menggigil! Maka segera tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun ini sudah dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.

“Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan!

Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadarannya, tetapi dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, seorang ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!

“Ha-ha-ha...!” Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat-cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!

“Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki ‘singa’ itu dengan bacokan pedang payungnya.

“Cusssss!”

Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi ‘ular’ dan melibat pedang payung itu.

Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iweekang.

“Krakkk! Krekkk!”

Pedang payung dan ‘ular’ itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biar pun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi Siang In.

Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya.

Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin ‘parah’ penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya.

Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!

Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!

Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke mana pun mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan.

Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh mukjijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!

Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah, Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak gerak seperti cakar-cakar setan yang hendak mencengkeram. Dan biar pun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak.

Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan agar jangan sampai dia ‘terseret’ oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.

Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.

“Ihhhhh!” Gitananda berteriak kaget.

Biar pun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.

Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.

“Haihhhhhh!” Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini.

Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang kini mematuk ke arah matanya, Siang In terkejut sekali, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.

“Heh-heh-heh, engkau tak akan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku dan menjadi tawananku untuk kuhadapkan kepada pangeran...!” kata kakek itu sambil menyeringai.

Tiba-tiba dia memekik dahsyat dan terjadilah hal yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang penglihatan yang luar biasa ini.

Siang In juga kelihatan sangat terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh semakin panjang. Kemana pun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 28