Jodoh Rajawali Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 25
Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, "Ayaaahhh"..!

Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat berlari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan kini terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang berdiri serta mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!

“Ayaaah...!” Kao Kok Cu berseru.

Dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlomba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!

“Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukanlah seorang pengecut, dan aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!” terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. “Selamat tinggal semua!”

Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!

Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis saat para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu.

Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan seluruh benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah perkasa, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.

Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi semakin berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, “Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko.”

Milana memandang kepada adiknya ini. “Ke mana dia?”

“Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.”

Milana mengangguk. “Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan.”

“Baik, Enci Milana.” Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia…..

********************

Oleh karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.

Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri.

Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini selalu membayangkan dan merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!

Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tiada habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini sudah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya.

Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.

Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi.

Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula dari pada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi!

Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya!

Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka. Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi.

Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apa bila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekan-tekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki.

Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari dari pada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.

Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita adalah pendendam dan pemarah? Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita harus berubah!

Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan? Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan kemarahan itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita!

Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, dan kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu pula kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini? Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian?

Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.

Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar? Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya cinta kasih itu
.

Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat.

Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari kemudian dia berhasil menyusul rombongan itu!

Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.

Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jeri melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun.

Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu kemudian bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam.

Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, tak pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu, bahkan kepadanya sekali pun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu?

Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biar pun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah itu sehingga akhirnya dia berhasil juga mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!

Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang mengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.

Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apa lagi melihat betapa musuh besarnya itu sekarang merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.

“Ahhh, Sayang... engkau sungguh manis, dan aku sungguh cinta padamu...,“ terdengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri itu.

“Hemmmmm...” Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. “Aku pun cinta padamu... Panglima... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu...?”

Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.

“Tentu saja, Manis. Tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...”

“Ihhh, aku takut...“ Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.

Mohinta memeluknya. “Tidak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, jika aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku. Hemmm... engkau manis benar malam ini...“ Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.

Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan sedang pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan!

Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.

Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...“

Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andai kata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan?

“Aku harus menentang mereka!” Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinju. “Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga dari pada panglima mudanya, bahkan lebih berharga dari pada puterinya sendiri!”

Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, barulah dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi... ahhh, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguh pun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.

Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.

Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.

“Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!” kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan.

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dirinya tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu. “Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?” bentaknya.

“Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku sedang mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?”

“Andai kata melihatnya juga, apa kau kira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!”

Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu tengah mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.

Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu kemudian meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya.

Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. “Jari Maut, engkau sungguh manusia yang sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu.”

“Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang sombong dan saat ini aku senang, maka aku akan membunuhmu.”

Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, kedua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.

“Cui-beng-kiam...!” serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.

“Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!”

Dan terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Tadinya pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong, seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu.

Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biar pun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, sekarang kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!

“Keparat, kembalikan pedangku!” bentaknya dan dia sudah langsung menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat-cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tangan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini.

Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyerang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.

Akan tetapi, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya. Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi!

Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.

Betapa pun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini.

Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh pula, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Akan tetapi pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan totokan mautnya.

“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat.

Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan kiri lawan. Tidak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.

“Brettt!”

“Brettt!”

Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.

“Dessss... ahhhh...!”

Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.

Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dengan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.

“Bocah setan!” dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan.

Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biar pun kini Cui-beng-kiam telah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian.

Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan…..

********************

Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat dari pada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali.

Anak buah kapal yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apa lagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biar pun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.

Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.

Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui lalu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi.

Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, menggunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.

Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya!

Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari. Pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.

Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh, dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!

Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang asli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.

Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.

Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!

Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.

Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat, meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!

Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!

Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biar pun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apa lagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya.

Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan terurai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat dari pada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya, berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya.

Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya melambai lambai tertiup angin kencang.

Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga saat berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindar hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua lengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena berguna untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh. Kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu.

Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.

Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan dari pada Syanti Dewi, akan tetapi tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.

“Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!” Syanti Dewi berseru gembira.

“Baik, kau larilah dulu, nanti kukejar!” jawab Ouw Yan Hui.

Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Meski dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir menyamainya!

“Bibi Maya Dewi...!” Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. “Kapan Bibi datang...?”

Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah ‘bibi Maya’ yang pernah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!

“Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat... ahhh, diakah orangnya?” Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.

“Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!” Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, “Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!”

“Ahhh...!” Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. “Tidak mungkin!” Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?

“Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.”

Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.

“Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti.”

Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan cara merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. “Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan.” Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.

Tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.

Ouw Yan Hui segera memegang lengannya. “Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya.”

Wanita itu memejamkan matanya. “Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!”

Rasa kaget sudah mereda dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Sekarang mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, “Apa... apa maksudmu...?”

Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini teramat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.

“Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi.”

“Ahhh...! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih...”

“Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang dari pada rambut orang muda?” Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. “Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!”

“Tapi... tapi...”

“Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?” tanya Ouw Yan Hui.

“Tentu... tentu saja...,” Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia tua?

“Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kau miliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!”

Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat sangat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan.

Sambil memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorang nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.

“Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi,” kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.

“Menanggalkan pakaian...?” Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.

“Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau...”

Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.

“Bukan main...” Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.

“Adikku yang manis, engkau hebat...” Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah olah tanpa cacat di depannya itu.

“Apa... apa yang harus kulakukan, Enci...?” Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.

“Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...“ Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. “Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua.”

Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biar pun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.

“Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,” kata nenek itu.

Kemudian Syanti Dewi merasa ada jari-jari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak dan menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.

“Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan...!”

Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia masih merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, “Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!”

Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.

Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah ‘pengobatan’ dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.

“Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!” kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. “Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau kelak akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!”

“Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, marilah kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan,” kata Ouw Yan Hui.

Maya Dewi mengangguk-angguk. “Benar sekali, sebaiknya jika Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia.”

“Apakah... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi...?” tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.

“Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya.”

Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, secara perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.

Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. “Kau telanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku.”

Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. “Apakah saya harus pantang makan sesuatu?”

“Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...“

“Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu.” Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.

Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apa bila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.

“Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah.”

Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapa pun juga, gerakan gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang sangat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta dan jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya. Hemmm….

Jodoh Rajawali Jilid 25


Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia!

Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan!

Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja.

Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. “Dia sungguh bodoh dan hatinya keras...,“ terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.

“Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa...! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat... shhhhh...“ Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi lalu sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.

Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.

“Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semuanya telah berhasil baik,” kata Maya Dewi.

Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan…..

“Kau minumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalaman, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah.”

Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.

“Ke manakah Bibi akan pergi?” tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.

“Aku?” Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rapi itu, seperti gigi orang muda saja. “Ahhh, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku tak akan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi.”

“Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya.”

Malam itu, seperti biasanya, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.

Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia sudah mempergunakan ginkang-nya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya.

Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, “Tek Hoattt...!” karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.

Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu birahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat, bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas ciuman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.

“Syanti..., Dewiku... kau sungguh cantik, hemmm...!”

Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggunakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!

“Aduhhh... ahh, apa yang kau lakukan ini, Dewi...?” Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi.

Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biar pun dari di dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, akan tetapi melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!

“Bibi... jangan begitu...!” Dia terengah-engah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.

“Dewiku... ke sinilah... aihhh, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kau layanilah aku, Dewi...!”

Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi semakin ngeri dan dia cepat meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.

“Dewiku... kembalilah... kembalilah kau...!” Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat, apa lagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ.

Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar, maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang, perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu.

Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat, melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya!

Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul birahinya melihat wanita lain?

Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui, yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung…..

********************

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan menggunakan perahu layar kecil itu dan marilah kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu.

Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda, kemudian meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat.

Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang prajurit, akan tetapi agaknya para prajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.

“Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan…!” Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu telah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biar pun kecil itu.

“Pangeran, kau lepaskan aku...!”

Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.

“Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal.”

Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, mencari akal. Tetapi agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.

“Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Pangeran?” tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.

“Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.”

“Tidak, aku tidak mau!” Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.

Pangeran itu menghela napas panjang. “Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kasihku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li.”

“Tidak... ahhh, aku tidak mau... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran. Kau kasihanilah aku, kau bebaskan aku, Pangeran...“ Hwee Li yang tak melihat jalan keluar itu kini menangis!

Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.

“Jangan dekati aku, jangan sentuh aku... hu-hu-hu... aku akan membunuh diri kalau kau jamah tubuhku...”

Pangeran itu nampak berduka sekali. “Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku sungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat melanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagi?”

“Tidak... hu-hu-hu... tidak, aku tidak cinta padamu...“

“Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!” Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.

“Kau... kau sungguh pengecut! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?” Hwee Li berkata sambil terisak.

“Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku selamanya akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga dari pada segalanya, dari pada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapa pun juga di dunia ini!”

“Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kau lawan aku!”

Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In, dengan cepat mulutnya berubah cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya berapi-api.

Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki ruangan.

“Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami pun telah menerima janji untuk dapat diperbolehkan pergi dengan aman...“

“Aku datang menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman.”

Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.

“Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?” bentaknya.

“Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya.”

“Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?”

Kian Lee tersenyum. “Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya? Biarkan dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi.”

“Habis kau mau apa?”

“Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia.“

“Keparat...!” Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak gerakkan kedua tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang sangat diandalkan karena memang ampuh sekali itu.

Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan mata terbelalak.

Hampir dia berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!

“Mampuslah... haaaiiiittttt!”

Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu telah menghantam dengan tangan kirinya yang dibuka, dan dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sama sekali tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.

“Dukkkk!”

Pertemuan dua tenaga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun Pangeran Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.

Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dari pada lawannya, dan tenaga sinkang-nya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya.

Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk memenangkan perebutan ini. Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal.

Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat lawan terhuyung. Melihat betapa semua serangannya tadi sudah gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda.

Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang!

Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini, dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mukjijat. Maka ia cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat. Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.

“Desssss...!”

Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seakan-akan udara di sekitar tempat itu dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh pangeran itu terlempar ke belakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!

Kian Lee juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring.

“Jangan bunuh dia...!”

Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk membebaskannya.

Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundaknya sambil berseru memanggil, “Pangeran...! Pangeran...!”

Suaranya mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan, “Engkau... engkau telah membunuhnya!”

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li sudah diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu?

“Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,” katanya sederhana sambil berdiri termangu-mangu.

Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati?

“Pangeran...!”

Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. “Engkau hebat..., hemmm..., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?”

“Aku tidak bermusuhan denganmu.”

Liong Bian Cu kini memandang kepada Hwee Li. “Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Meski pun engkau selalu menolakku, bahkan sudah beberapa kali hampir membunuhku, kini melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ahh, Hwee Li... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau memperlihatkan sayang...“

Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu kepadaku...“

Liong Bian Cu menarik napas panjang. “Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerimamu sebagai isteriku... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh...” Dia menoleh kepada Kian Lee, mengangguk kepada pemuda itu, kemudian memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.

Mereka kini berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, “Engkau... engkau hampir saja membunuhnya!”

Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan. Jelas bahwa dia susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!

“Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau... lebih senang demikian, Nona.”

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.

“Hemmm...?” Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba.

Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungi oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan-lahan dan mencari cari, namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali.

Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.

Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demikian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia mengusir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li!

Dan sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan sekarang meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk tanpa hasil.

Menjelang pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang, namun Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andai kata Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekali pun, dia tidak akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung.

Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara yang setengah liar itu, yang selama ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya?

Suma Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang jatuh cinta menderita?

Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!

Adakah itu cinta kasih kalau mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.

Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka, banyak duka dari pada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan, mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya perasaan itu bukan cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu birahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan, melalui penguasaan dan monopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri, adalah sumber dari pada semua kesenangannya.

Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan? Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun bukan!

Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan birahi mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih
.

Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran matahari.

Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.

“Hwee Li...!” Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul.

Mendengar suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.

“Hwee Li...! Tunggu dulu...!” teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan.

Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, “Mau apa engkau menghadang di depanku?”

Dibentak seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup. “Aku ingin tahu, mengapa kau marah marah kepadaku, Hwee Li?”

“Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau...!” Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas sudah memenuhi dadanya.

Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia telah memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.

“Hwee Li... Nona... harap jangan marah dahulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa sebabnya?”

Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, “Dia... betapa pun jahatnya dia... dia sungguh-sungguh mencintaku... ahhh...!” Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak.

Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.

“Dan kau... kau mencinta dia...?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.

Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, kemudian suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan, “Engkau bodoh! Engkau buta...! Dia... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh… cinta kepadaku... biar pun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya... hu-hu-huuhhh, akan tetapi... selain dia... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku... hu-hu-huuuhhh...!”

Tangisnya makin menjadi-jadi sehingga Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia amat terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta kepadanya.

“Engkau keliru, Hwee Li..., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus diragukan. Akan tetapi aku...“

“Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya...!”

“Ehhh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut.

Hwee Li menurunkan dua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.

“Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu... ahhh, kalau jumpa, akan kubunuh dia...!”

Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!

“Ahhh...! Jadi kiranya... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung...“

“Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta...“ Kembali Hwee Li terisak.

Kian Lee jadi melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah marah kepadanya dan kepada Siang In?

“Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat...“

Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, “... tidak... tidak saling mencinta...? Tapi... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua...“

“Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?” Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.

“Karena... karena... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain... tidak semenjak subo... kau tidak boleh mencinta wanita lain...“

“Hemmm...“

“Kecuali... kecuali aku...“

“Hwee Li...!”

Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, kemudian menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.

“Hwee Li..., apakah maksudmu? Apa yang akan baru kau katakan? Mengapa engkau berpendirian demikian...?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini.

Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.

“Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu. Akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?”

Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya. “Akan tetapi... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan...“

“Sungguh bodoh engkau, Lee-koko... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau malah menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci...“

“Hwee Li...!” Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini hingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu.

Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua matanya. Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.

“Hwee Li... Moi-moi... sungguh tak kusangka..., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan... dan demikian cantik jelita, aku... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera... hampir kapok untuk jatuh cinta.”

Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu. “Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo... karena itulah aku makin kasihan padamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo...“

“Hwee Li...“ Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusanku dengan... dengan Ceng Ceng?”

Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. “Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku...“

“Ahhh... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala galanya dari pada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau...“ Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.

Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat juga menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee menguluarkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan diri!

“Kenapa, Li-moi? Kenapa... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta...?”

Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.

“Lee-koko, harap kau maafkan aku. Percayalah, tiada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan... pelukanmu. Akan tetapi... semenjak apa yang kualami... semenjak saat itu... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria mana pun juga kecuali oleh suamiku! Engkau... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau... menjadi suamiku... kau… kau maafkanlah aku, Lee-ko...“

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan sangat girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.

“Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kau alami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?”

“Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi... semenjak saat jahanam itu... pangeran dari Nepal itu... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah...“

“Ahhh...!” Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. “Kenapa, Koko...?”

“Dan kau senang?”

“Senang apa maksudmu?”

“Kau senang di... ciumnya?”

Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu. “Ehhh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.”

“Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?” Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.

“Diapakan? Aihhhhh... kau maksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapa pun selain suamiku.”

“Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!” Kian Lee mengepal tinju, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini.

“Baik sekali, dan aku pun akan senang membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!” Hwee Li berkata penuh semangat.

Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. “Ehhh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan kini engkau malah hendak membantuku membunuhnya!”

Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum. “Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.”

“Kalau begitu?”

“Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku membuat marah hatimu, maka dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.” Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.

Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.

“Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?”

“Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya.

Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang.

Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk dapat membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li.

Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia tetap yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang kedua adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat!

“Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!” Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan.

Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu, dan tiba-tiba dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.

“Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya pulang ke Pulau Es.”

“Aku ikut denganmu, Koko!”

Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan, penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.

“Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada... ibuku.” Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo!

Hwee Li tersenyum manis. “Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka.”

“Benar, Li-moi.”

“Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali bisa menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!”

Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua dari pada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya! Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!

Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta!

Cinta asmara,
Betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa,
mencengkeram seluruh raga dan jiwa,
menerbangkan manusia ke sorga,
menghempaskan manusia ke neraka!
Cinta asmara,
Terkadang suci dan mulia, penuh kelembutan indah dan mesra,
mendatangkan suka cita!
Terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina,
mendatangkan duka nestapa!

Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan kebahagiaan, juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.

Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisah-pisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.

Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekali pun! Baik cinta, mau pun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.

Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang selalu mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi bagi cinta kasih sesuai dengan ‘tempatnya’ yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat.

Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu oleh karena hatinya dikecewakan oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya!

Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, atau terhadap apa saja. Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap bisa menyenangkan lahir mau pun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Akan tetapi, begitu yang dicinta itu sudah tidak lagi mendatangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja terganti oleh perasaan benci.

Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apa bila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.

Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk mendapat kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?

Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Tetapi, mengejar ngejar kesenangan jelas akan menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa pengejaran terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan.

Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, lalu hidup sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang sebenarnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan, Apakah adanya cinta kasih?

Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang selalu mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih! Tidak mungkin
.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 26


Jodoh Rajawali Jilid 25

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 25
Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan, "Ayaaahhh"..!

Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat berlari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan kini terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang berdiri serta mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!

“Ayaaah...!” Kao Kok Cu berseru.

Dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlomba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!

“Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukanlah seorang pengecut, dan aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!” terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. “Selamat tinggal semua!”

Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!

Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis saat para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu.

Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan seluruh benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah perkasa, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.

Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi semakin berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, “Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko.”

Milana memandang kepada adiknya ini. “Ke mana dia?”

“Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.”

Milana mengangguk. “Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan.”

“Baik, Enci Milana.” Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia…..

********************

Oleh karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.

Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri.

Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini selalu membayangkan dan merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!

Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tiada habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini sudah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya.

Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.

Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi.

Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula dari pada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi!

Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya!

Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka. Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi.

Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apa bila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekan-tekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki.

Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari dari pada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.

Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita adalah pendendam dan pemarah? Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita harus berubah!

Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan? Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan kemarahan itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita!

Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, dan kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu pula kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini? Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian?

Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.

Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar? Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya cinta kasih itu
.

Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat.

Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari kemudian dia berhasil menyusul rombongan itu!

Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.

Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jeri melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun.

Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu kemudian bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam.

Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, tak pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu, bahkan kepadanya sekali pun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu?

Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biar pun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah itu sehingga akhirnya dia berhasil juga mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!

Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang mengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.

Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apa lagi melihat betapa musuh besarnya itu sekarang merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.

“Ahhh, Sayang... engkau sungguh manis, dan aku sungguh cinta padamu...,“ terdengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri itu.

“Hemmmmm...” Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. “Aku pun cinta padamu... Panglima... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu...?”

Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.

“Tentu saja, Manis. Tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...”

“Ihhh, aku takut...“ Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.

Mohinta memeluknya. “Tidak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, jika aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku. Hemmm... engkau manis benar malam ini...“ Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.

Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan sedang pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan!

Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.

Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...“

Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andai kata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan?

“Aku harus menentang mereka!” Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinju. “Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga dari pada panglima mudanya, bahkan lebih berharga dari pada puterinya sendiri!”

Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, barulah dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi... ahhh, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguh pun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.

Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.

Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.

“Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!” kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan.

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dirinya tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu. “Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?” bentaknya.

“Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku sedang mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?”

“Andai kata melihatnya juga, apa kau kira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!”

Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu tengah mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.

Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu kemudian meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya.

Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. “Jari Maut, engkau sungguh manusia yang sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu.”

“Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang sombong dan saat ini aku senang, maka aku akan membunuhmu.”

Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, kedua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.

“Cui-beng-kiam...!” serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.

“Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!”

Dan terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Tadinya pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong, seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu.

Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biar pun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, sekarang kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!

“Keparat, kembalikan pedangku!” bentaknya dan dia sudah langsung menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat-cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tangan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini.

Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyerang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.

Akan tetapi, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya. Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi!

Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.

Betapa pun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini.

Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh pula, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Akan tetapi pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan totokan mautnya.

“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat.

Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan kiri lawan. Tidak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.

“Brettt!”

“Brettt!”

Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.

“Dessss... ahhhh...!”

Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.

Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dengan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.

“Bocah setan!” dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan.

Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biar pun kini Cui-beng-kiam telah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian.

Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan…..

********************

Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat dari pada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali.

Anak buah kapal yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apa lagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biar pun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.

Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.

Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui lalu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi.

Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, menggunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.

Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya!

Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari. Pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.

Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh, dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!

Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang asli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.

Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.

Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!

Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.

Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat, meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!

Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!

Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biar pun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apa lagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya.

Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan terurai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat dari pada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya, berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya.

Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya melambai lambai tertiup angin kencang.

Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga saat berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindar hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua lengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena berguna untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh. Kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu.

Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.

Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan dari pada Syanti Dewi, akan tetapi tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.

“Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!” Syanti Dewi berseru gembira.

“Baik, kau larilah dulu, nanti kukejar!” jawab Ouw Yan Hui.

Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Meski dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir menyamainya!

“Bibi Maya Dewi...!” Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. “Kapan Bibi datang...?”

Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah ‘bibi Maya’ yang pernah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!

“Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat... ahhh, diakah orangnya?” Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.

“Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!” Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, “Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!”

“Ahhh...!” Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. “Tidak mungkin!” Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?

“Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.”

Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.

“Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti.”

Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan cara merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. “Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan.” Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.

Tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.

Ouw Yan Hui segera memegang lengannya. “Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya.”

Wanita itu memejamkan matanya. “Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!”

Rasa kaget sudah mereda dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Sekarang mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, “Apa... apa maksudmu...?”

Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini teramat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.

“Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi.”

“Ahhh...! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih...”

“Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang dari pada rambut orang muda?” Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. “Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!”

“Tapi... tapi...”

“Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?” tanya Ouw Yan Hui.

“Tentu... tentu saja...,” Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia tua?

“Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kau miliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!”

Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat sangat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan.

Sambil memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorang nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.

“Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi,” kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.

“Menanggalkan pakaian...?” Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.

“Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau...”

Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.

“Bukan main...” Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.

“Adikku yang manis, engkau hebat...” Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah olah tanpa cacat di depannya itu.

“Apa... apa yang harus kulakukan, Enci...?” Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.

“Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...“ Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. “Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua.”

Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biar pun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.

“Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,” kata nenek itu.

Kemudian Syanti Dewi merasa ada jari-jari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak dan menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.

“Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan...!”

Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia masih merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, “Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!”

Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.

Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah ‘pengobatan’ dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.

“Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!” kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. “Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau kelak akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!”

“Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, marilah kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan,” kata Ouw Yan Hui.

Maya Dewi mengangguk-angguk. “Benar sekali, sebaiknya jika Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia.”

“Apakah... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi...?” tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.

“Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya.”

Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, secara perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.

Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. “Kau telanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku.”

Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. “Apakah saya harus pantang makan sesuatu?”

“Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...“

“Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu.” Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.

Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apa bila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.

“Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah.”

Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapa pun juga, gerakan gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang sangat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta dan jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya. Hemmm….

Jodoh Rajawali Jilid 25


Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia!

Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan!

Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja.

Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. “Dia sungguh bodoh dan hatinya keras...,“ terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.

“Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa...! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat... shhhhh...“ Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi lalu sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.

Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.

“Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semuanya telah berhasil baik,” kata Maya Dewi.

Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan…..

“Kau minumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalaman, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah.”

Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.

“Ke manakah Bibi akan pergi?” tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.

“Aku?” Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rapi itu, seperti gigi orang muda saja. “Ahhh, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku tak akan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi.”

“Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya.”

Malam itu, seperti biasanya, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.

Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia sudah mempergunakan ginkang-nya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya.

Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, “Tek Hoattt...!” karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.

Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu birahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat, bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas ciuman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.

“Syanti..., Dewiku... kau sungguh cantik, hemmm...!”

Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggunakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!

“Aduhhh... ahh, apa yang kau lakukan ini, Dewi...?” Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi.

Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biar pun dari di dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, akan tetapi melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!

“Bibi... jangan begitu...!” Dia terengah-engah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.

“Dewiku... ke sinilah... aihhh, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kau layanilah aku, Dewi...!”

Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi semakin ngeri dan dia cepat meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.

“Dewiku... kembalilah... kembalilah kau...!” Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat, apa lagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ.

Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar, maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang, perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu.

Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat, melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya!

Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul birahinya melihat wanita lain?

Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui, yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung…..

********************

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan menggunakan perahu layar kecil itu dan marilah kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu.

Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda, kemudian meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat.

Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang prajurit, akan tetapi agaknya para prajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.

“Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan…!” Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu telah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biar pun kecil itu.

“Pangeran, kau lepaskan aku...!”

Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.

“Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal.”

Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, mencari akal. Tetapi agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.

“Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Pangeran?” tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.

“Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.”

“Tidak, aku tidak mau!” Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.

Pangeran itu menghela napas panjang. “Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kasihku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li.”

“Tidak... ahhh, aku tidak mau... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran. Kau kasihanilah aku, kau bebaskan aku, Pangeran...“ Hwee Li yang tak melihat jalan keluar itu kini menangis!

Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.

“Jangan dekati aku, jangan sentuh aku... hu-hu-hu... aku akan membunuh diri kalau kau jamah tubuhku...”

Pangeran itu nampak berduka sekali. “Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku sungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat melanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagi?”

“Tidak... hu-hu-hu... tidak, aku tidak cinta padamu...“

“Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!” Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.

“Kau... kau sungguh pengecut! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?” Hwee Li berkata sambil terisak.

“Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku selamanya akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga dari pada segalanya, dari pada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapa pun juga di dunia ini!”

“Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kau lawan aku!”

Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In, dengan cepat mulutnya berubah cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya berapi-api.

Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki ruangan.

“Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami pun telah menerima janji untuk dapat diperbolehkan pergi dengan aman...“

“Aku datang menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman.”

Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.

“Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?” bentaknya.

“Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya.”

“Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?”

Kian Lee tersenyum. “Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya? Biarkan dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi.”

“Habis kau mau apa?”

“Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia.“

“Keparat...!” Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak gerakkan kedua tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang sangat diandalkan karena memang ampuh sekali itu.

Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan mata terbelalak.

Hampir dia berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!

“Mampuslah... haaaiiiittttt!”

Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu telah menghantam dengan tangan kirinya yang dibuka, dan dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sama sekali tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.

“Dukkkk!”

Pertemuan dua tenaga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun Pangeran Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.

Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dari pada lawannya, dan tenaga sinkang-nya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya.

Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk memenangkan perebutan ini. Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal.

Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat lawan terhuyung. Melihat betapa semua serangannya tadi sudah gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda.

Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang!

Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini, dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mukjijat. Maka ia cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat. Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.

“Desssss...!”

Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seakan-akan udara di sekitar tempat itu dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh pangeran itu terlempar ke belakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!

Kian Lee juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring.

“Jangan bunuh dia...!”

Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk membebaskannya.

Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundaknya sambil berseru memanggil, “Pangeran...! Pangeran...!”

Suaranya mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan, “Engkau... engkau telah membunuhnya!”

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li sudah diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu?

“Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,” katanya sederhana sambil berdiri termangu-mangu.

Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati?

“Pangeran...!”

Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. “Engkau hebat..., hemmm..., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?”

“Aku tidak bermusuhan denganmu.”

Liong Bian Cu kini memandang kepada Hwee Li. “Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Meski pun engkau selalu menolakku, bahkan sudah beberapa kali hampir membunuhku, kini melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ahh, Hwee Li... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau memperlihatkan sayang...“

Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu kepadaku...“

Liong Bian Cu menarik napas panjang. “Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerimamu sebagai isteriku... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh...” Dia menoleh kepada Kian Lee, mengangguk kepada pemuda itu, kemudian memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.

Mereka kini berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, “Engkau... engkau hampir saja membunuhnya!”

Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan. Jelas bahwa dia susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!

“Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau... lebih senang demikian, Nona.”

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.

“Hemmm...?” Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba.

Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungi oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan-lahan dan mencari cari, namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali.

Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.

Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demikian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia mengusir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li!

Dan sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan sekarang meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk tanpa hasil.

Menjelang pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang, namun Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andai kata Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekali pun, dia tidak akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung.

Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara yang setengah liar itu, yang selama ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya?

Suma Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang jatuh cinta menderita?

Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!

Adakah itu cinta kasih kalau mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.

Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka, banyak duka dari pada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan, mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya perasaan itu bukan cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu birahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan, melalui penguasaan dan monopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri, adalah sumber dari pada semua kesenangannya.

Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan? Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun bukan!

Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan birahi mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih
.

Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran matahari.

Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.

“Hwee Li...!” Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul.

Mendengar suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.

“Hwee Li...! Tunggu dulu...!” teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan.

Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, “Mau apa engkau menghadang di depanku?”

Dibentak seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup. “Aku ingin tahu, mengapa kau marah marah kepadaku, Hwee Li?”

“Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau...!” Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas sudah memenuhi dadanya.

Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia telah memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.

“Hwee Li... Nona... harap jangan marah dahulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa sebabnya?”

Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, “Dia... betapa pun jahatnya dia... dia sungguh-sungguh mencintaku... ahhh...!” Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak.

Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.

“Dan kau... kau mencinta dia...?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.

Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, kemudian suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan, “Engkau bodoh! Engkau buta...! Dia... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh… cinta kepadaku... biar pun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya... hu-hu-huuhhh, akan tetapi... selain dia... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku... hu-hu-huuuhhh...!”

Tangisnya makin menjadi-jadi sehingga Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia amat terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta kepadanya.

“Engkau keliru, Hwee Li..., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus diragukan. Akan tetapi aku...“

“Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya...!”

“Ehhh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut.

Hwee Li menurunkan dua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.

“Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu... ahhh, kalau jumpa, akan kubunuh dia...!”

Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!

“Ahhh...! Jadi kiranya... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung...“

“Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta...“ Kembali Hwee Li terisak.

Kian Lee jadi melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah marah kepadanya dan kepada Siang In?

“Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat...“

Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, “... tidak... tidak saling mencinta...? Tapi... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua...“

“Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?” Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.

“Karena... karena... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain... tidak semenjak subo... kau tidak boleh mencinta wanita lain...“

“Hemmm...“

“Kecuali... kecuali aku...“

“Hwee Li...!”

Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, kemudian menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.

“Hwee Li..., apakah maksudmu? Apa yang akan baru kau katakan? Mengapa engkau berpendirian demikian...?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini.

Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.

“Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu. Akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?”

Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya. “Akan tetapi... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan...“

“Sungguh bodoh engkau, Lee-koko... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau malah menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci...“

“Hwee Li...!” Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini hingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu.

Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua matanya. Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.

“Hwee Li... Moi-moi... sungguh tak kusangka..., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan... dan demikian cantik jelita, aku... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera... hampir kapok untuk jatuh cinta.”

Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu. “Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo... karena itulah aku makin kasihan padamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo...“

“Hwee Li...“ Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusanku dengan... dengan Ceng Ceng?”

Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. “Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku...“

“Ahhh... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala galanya dari pada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau...“ Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.

Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat juga menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee menguluarkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan diri!

“Kenapa, Li-moi? Kenapa... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta...?”

Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.

“Lee-koko, harap kau maafkan aku. Percayalah, tiada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan... pelukanmu. Akan tetapi... semenjak apa yang kualami... semenjak saat itu... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria mana pun juga kecuali oleh suamiku! Engkau... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau... menjadi suamiku... kau… kau maafkanlah aku, Lee-ko...“

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan sangat girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.

“Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kau alami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?”

“Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi... semenjak saat jahanam itu... pangeran dari Nepal itu... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah...“

“Ahhh...!” Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. “Kenapa, Koko...?”

“Dan kau senang?”

“Senang apa maksudmu?”

“Kau senang di... ciumnya?”

Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu. “Ehhh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.”

“Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?” Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.

“Diapakan? Aihhhhh... kau maksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapa pun selain suamiku.”

“Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!” Kian Lee mengepal tinju, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini.

“Baik sekali, dan aku pun akan senang membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!” Hwee Li berkata penuh semangat.

Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. “Ehhh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan kini engkau malah hendak membantuku membunuhnya!”

Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum. “Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.”

“Kalau begitu?”

“Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku membuat marah hatimu, maka dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.” Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.

Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.

“Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?”

“Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya.

Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang.

Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk dapat membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li.

Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia tetap yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang kedua adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat!

“Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!” Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan.

Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu, dan tiba-tiba dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.

“Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya pulang ke Pulau Es.”

“Aku ikut denganmu, Koko!”

Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan, penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.

“Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada... ibuku.” Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo!

Hwee Li tersenyum manis. “Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka.”

“Benar, Li-moi.”

“Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali bisa menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!”

Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua dari pada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya! Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!

Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta!

Cinta asmara,
Betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa,
mencengkeram seluruh raga dan jiwa,
menerbangkan manusia ke sorga,
menghempaskan manusia ke neraka!
Cinta asmara,
Terkadang suci dan mulia, penuh kelembutan indah dan mesra,
mendatangkan suka cita!
Terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina,
mendatangkan duka nestapa!

Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan kebahagiaan, juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.

Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisah-pisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.

Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekali pun! Baik cinta, mau pun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.

Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang selalu mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi bagi cinta kasih sesuai dengan ‘tempatnya’ yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat.

Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu oleh karena hatinya dikecewakan oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya!

Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, atau terhadap apa saja. Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap bisa menyenangkan lahir mau pun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Akan tetapi, begitu yang dicinta itu sudah tidak lagi mendatangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja terganti oleh perasaan benci.

Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apa bila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.

Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk mendapat kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?

Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Tetapi, mengejar ngejar kesenangan jelas akan menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa pengejaran terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan.

Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, lalu hidup sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang sebenarnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan, Apakah adanya cinta kasih?

Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang selalu mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih! Tidak mungkin
.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 26