Jodoh Rajawali Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 19
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Sengjin.

Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya. Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.

Ketika belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tiba-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat-cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian.

Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apa lagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu.

Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya tajam dan aneh. Hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, kedua kakinya kadang-kadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi pihak lawan.

Ada pun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.

Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Ada pun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han asli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan membayangkan kehalusan budi.

Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mukjijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.

“Sumoi, jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pukulannya yang mukjijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak mengijinkan sumoi-nya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.

“Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nonamu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan.

Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!

Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir!

Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mukjijat, biar pun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apa bila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.

Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa terpingkal pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu.

Dengan pengerahan sinkang-nya, Kian Lee lalu mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali yang marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.

“Siluman jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biar pun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Akan tetapi orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Maka seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat!

Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Goa Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu.

Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah lantas meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.

“Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona...!” Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!

“Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana...” Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya.

Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.

“Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!”

Setelah berkata demikian, Siang In lalu membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar!

Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mukjijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.

Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.

“Kenapa belum juga sampai?” terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek.

Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.

“Sssttt, kita makan dulu...,“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In.

Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari!

Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biar pun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!

Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!

“Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!” demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih.

Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.

Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka sedang berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah?

Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.

Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu membalik dan berseru dengan nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!”

Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya!

Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan kami?”

Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan dari kalian berdua.”

“Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan.

Akan tetapi Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang dan ditutup oleh senyumnya yang khas. “Aku kini hanya ingin bertanya, mengapa ada seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepadanya!”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang lain!”

Siang In tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya.

Menghadapi pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi kedua orang yang ternyata sangat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan pada waktu dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton pertempuran itu.

Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.

Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoi-nya mempergunakan ilmu pukulan mukjijat tadi. Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan sumoi-nya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.

Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah! Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kematian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nionio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka sebagai pembalasan dendam mereka.

Sejak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apa lagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu.

Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.

“Mampuslah engkau siluman jahat!” bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang mukjijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu.

Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu demikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir roboh. Sekarang wanita baju hijau itu menerjangnya demikian dahsyatnya sehingga tak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya itu.

“Dessss...!”

Tubuh Kim Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang lebih kuat dan lebih dingin dari pada Swat-lian Sin-ciang!

Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang sudah diculiknya diketahui orang, maka dia berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suheng-nya yang memang segan untuk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi!

“Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan keroyok sekalian, kau manusia tak tahu malu!”

Kian Lee hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan payungnya ke arah dadanya itu.

“Ehh, Nona… aku tidak berniat buruk...“

“Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kau lawan aku!” Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan darahnya.

“Eihhh...!” Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk...“

“Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kau kira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!”

Sejak tadi Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ahh, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini.

Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.

Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In.

“Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di antara sepasang matanya.

Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor monyet!”

Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih tersenyum itu, berkata, “Aku adalah seekor monyet...,“ agak meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir.

“Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.

“Tidak... tidak...!” Kian Lee berusaha melawan, tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!

“Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari yang baik tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”

Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu sekarang mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang... dibencinya tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, maka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri.

Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh... Suma Kian Lee... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak...”

Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini dengan sihirnya.

“Ah... kau... kau bernama Suma Kian Lee...?” katanya agak gagap.

Kian Lee menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.

“Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?”

“Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?”

Wajah Kian Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?”

Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”

Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya.

“Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”

“Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!”

“Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”

“Aku Teng Siang In.”

Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Teng Siang In...? Siang In...?” Tiba tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ahh, tahu aku sekarang! Bukankah engkau adalah murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”

Wajah itu menjadi semakin merah dan semakin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya mendesak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?”

Kian Lee menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan enci-mu yang bernama... ahhh, lupa lagi aku...”

“Mendiang Enci Siang Hwa?”

“Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan enci-mu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee memandang penuh rasa kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.”

Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba telah tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, hal ini menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biar pun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisan wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.

“Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau puji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!”

Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ahh, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”

Kembali terjadi perubahan hebat pada wajah cantik itu. Kalau tadi dia bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah, “Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu engkau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang yang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!”

Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir saja berhasil menangkap dua orang penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu.”

Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In...“

“Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja...,“ dan tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!

Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan. “Nona Siang In... mengapa kau..., apa salahku?”

“Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa sedang berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.

Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa sangat kewalahan menghadapi dara ini. “Habis, aku harus menyebutmu apakah?”

“Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci.”

“Ahh, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”

Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tak jauh dari situ. “Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”

“Bicara apa...?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar sudah mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.

“Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan tadi!”

Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.

“Ehhh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.

Kian Lee terkejut, memandang bengong. “Makan...?” tanyanya bingung.

Siang In tersenyum, manis sekali, kemudian mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“

“Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli... ahhh, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?”

Siang In mengangguk, masih tersenyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?”

“Hemmm, jangan coba mengelabui aku, In-moi (Adik In). Biar pun mungkin bisa, tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.”

“Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!”

“Aku tidak percaya,”

“Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”

Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil sedang main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan gerakan lalu terdengar dara itu berkata, “Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!”

Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!

“Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”

Kian Lee mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. “Hebat... engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini... ahh, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!”

Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?”

“Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”

Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri. “Engkau tahu? Sekarang di mana dia?”

“Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su...“

“Ehhh, guruku?” Dara itu berteriak.

“Benar, tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai...“

“Di Goa Tengkorak?”

“Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu...“

“Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?”

“Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”

“Ahh, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut sebut dan diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”

Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Goa Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.

Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah dapat, terlepas lagi! Dia belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!”

“Apa maksudmu? Siapa dia yang belum bertemu itu?”

Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab, “Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau mengingat akan nasib anak laki-laki yang mereka culik.”

“Laki-laki dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali.

Siang In mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biar pun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira.

Sebaliknya, Kian Lee ini biar pun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.

“Kakak Suma Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”

“Hahhh?” Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong.

Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik mereka, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya!

“Bersendau-gurau...?”

“Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”

Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanlah bagaimana kau bisa tahu bahwa dua orang lawanmu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”

Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jeri! Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, tetapi entah mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati.

“Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih perawan...“

“Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?”

“Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”

Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan itu. “Lalu, bagaimana selanjutnya?”

“Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi. Setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya...“

“Hemmm, jadi masakan yang sudah kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”

Siang In terkekeh. “Hi-hi-hik…” Suara kekeh yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. “Akan tetapi lezat, kan?”

Kian Lee terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata, “Lanjutkanlah ceritamu.”

“Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana. Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”

“Anak laki-laki...? Berusia lima enam tahun...? Ahhh, jangan-jangan anaknya!” Kian Lee teringat dan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi.

“Anaknya? Anak siapa, Koko?”

“Anak Ceng Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”

“Ahhh...! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak sembarangan, meski baru berusia lima tahun tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.”

“Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.

“Lee-ko, aku ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Biar pun Siang In telah mengerahkan ginkang-nya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia berteriak-teriak memanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In mampu menyusulnya. Dara itu lalu memandang kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bangga.

“Larimu seperti kijang saja cepatnya...!” katanya terengah-engah.

Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak Ceng Ceng, tidak melayani senda gurau itu dan berkata, “Mari kita cepat mengejar mereka.”

Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan!

Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang.

Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong ditewaskan dalam perang oleh Ang Tek Hoat.

Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian karena pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang sangat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nionio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nionio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau keluar lagi dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan dari pada kebahagiaan.

Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nionio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah.

Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nionio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!

Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nionio juga terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang gelang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya, dan hebatnya gelang gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.

Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.

Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nionio, setiap hari bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nionio yang melihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan pada Jenderal Kao Liang sekeluarga!

“Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus penuhi permintaanku agar aku tidak sampai melanggar sumpahku. Kita tak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suheng-nya.

Berbeda dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini memiliki watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu yang telah mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan menentang adanya kekerasan dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.

“Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kau anggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikut sertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa yang kau kehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari pihak mana pun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi nasehat kepada sumoi-nya.

Jodoh Rajawali Jilid 19


Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nionio menarik napas panjang.

“Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jenderal Kao saja kalian takkan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai anak anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”

Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, salah seorang di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir...“

Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali. “Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”

“Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir... begitulah kata orang...,“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.

“Celaka! Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekali pun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!”

Setelah mendapatkan nasehat-nasehat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan sumoi-nya, Kim Cui Yan, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoi-nya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!

“Suheng, penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”

“Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sendiri jeri terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.”

“Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.”

Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoi-nya atau kekasihnya yang amat keras ini. “Subo sendiri pernah mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?”

“Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.”

Liong Tek Hwi yang mencinta sumoi-nya terpaksa menuruti permintaan sumoi-nya dan demikianlah, mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan menentang setiap kejahatan. Semua ini memang sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tak ingin melihat sumoi-nya atau kekasihnya tersesat, maka dia mencoba untuk menarik perhatian sumoi-nya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka.

Karena inilah, meski mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian, orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau….

Akhirnya, pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik seperguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat berbahaya itu.

Kakek itu sudah memperingatkan mereka bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu!

Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang sangat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari kemudian, saat mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!

Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka lalu meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat.

Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.

“Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.

Karena orang itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.”

“Ahhh, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”

Anak itu memandang tajam, lalu balas bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”

Cui Yan tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”

Anak itu mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!” Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya?

Kim Cui Yan berkedip kepada suheng-nya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang? Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.”

“Ahhh, tidak mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja, maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.

“Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.

“He-he, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.

Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin pukulannya!

Melihat ini Cin Liong tertawa, “He-he, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka.

Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari.

Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu langsung dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir.

Akhirnya mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.

Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat.

“Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau juga sudah berjanji untuk tidak mengikut sertakan keluarga Kao, Sumoi.”

Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.

Maka, setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jeri dan menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.

Ketika mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri!

Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang kedua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang kedua beribu Nepal.

“Ahhh, Adik Tek Hwi... betapa keluarga kita telah berantakan...,“ terdengar Pangeran Nepal itu berkata dengan hati terharu.

Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi, kalau pun masih ada, maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatang kara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran!

Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk nepuk pundak adiknya dan berkata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Ehh, siapakah Nona ini, adikku?”

“Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”

Wajah Pangeran Nepal itu berseri. “Ahh! Sungguh kebetulan sekali!”

Dia mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan calon isterinya, dengan Hwee Li, yaitu puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.

“Dan anak ini?”

Tek Hwi hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon murid kami.”

“Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nionio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?”

Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang!

“Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui.

“Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka sekarang sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Marilah kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!”

Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan Cui Yan dan lari menubruk kakeknya. “Kong-kong...!” teriaknya.

Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya itu. Dia segera mengenali Cin Liong. “Ahh, Cin Liong... kau... kau!” Dia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.

“Ha-ha-ha, engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.

Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil memandang kepada kedua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, “Siapakah kalian dan mengapa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”

Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?” tanyanya.

Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan sumoi-nya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!

“Hebat...! Bukan main kalian ini...!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”

“Ahhhhh...!” Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.

“Kao-goanswe, kini engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”

Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia lalu mengelus kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.”

“Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.

Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak misannya. Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dan dia merasa menyesal sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoi-nya yang perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka yang lalu, yaitu memberontak!

Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apa lagi karena dia dan sumoi-nya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam.

Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama sumoi-nya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid dari Kim-mouw Nionio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya.

Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar benar kuat dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat dari pada kedudukan pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, sekarang kakak misannya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin di utara.....

********************

Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung. Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesempatan itu untuk bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!

Karena itu, dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)! Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat dijuluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat tokoh yang lain agar supaya dapat membantu pergerakannya.

Koksu Nepal juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu berhasil dan menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun kemudian mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang membantu, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu…..

********************

Siang itu matahari sudah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah, karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka tertotok sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya.

Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, akan kuperkosa dia sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.

“Huhhh, kau tidak akan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di telinga, di bibir sehingga rasanya geli dan tidak enak sekali.

Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan seperti yang dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba tiba...

“Happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.

“Aku? Tidak berani? Apa kau gila?!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”

“Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas kekurang ajaran dan penghinaannya hari ini!”

Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar, tentu dia akan melupakan lagi ancamannya terhadap Hwee Li.

“Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.”

“Mereka juga, pasti akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Kini pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.

Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat aneh dan bukan main cepatnya.

Yang seorang bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang yang kedua amat pendek, seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.

Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini.

Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tulang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.

Orang kedua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang kedua ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuhnya merupakan kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!

Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang. Apa lagi muka si gendut pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih!

Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Siansu (Manusia Dewa Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat kepandaian mereka!

Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, sejak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan Ngo-ok, mereka lalu bertanding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka.

Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara saudara angkat sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun. Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Siansu menduduki tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).

Ada pun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toat-beng Siansu dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat keempat, yaitu disebut Su-ok (Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya masih lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bahwa Koksu Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ketiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal, juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Siansu terkenal dengan ginkang-nya yang tidak lumrah manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangannya yang amat panjang, maka dalam perkelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai dengan julukannya sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai kekejaman yang tidak lumrah manusia.

Dahulu, di waktu dia masih aktif dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekali pun. Melakukan kejahatan merupakan sesuatu ‘keharusan’ untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasehat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma.

Tentu saja orang keempat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mungkin selama hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa mengerikan itu!

Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mukjijat saja, Su-ok ini dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk campuran ‘obat’ yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini berkali kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya!

Ngo-ok Toat-beng Siansu yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia amat suka menangkapi wanita-wanita, tak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosa sambil membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai ‘tasbih’ yang terbuat dari kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya!

“Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa tawa ketika mereka tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam goa silumanmu itu tidak tinggal diam dan tak pernah melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu tertawa-tawa.

Wajah yang muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.

“Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biar pun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang kelima!”

Toat-beng Siansu tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, baik Hek-tiauw Lo-mo mau pun Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar.

Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa.

“Dukkkk!”

Tubuhnya sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu tahu tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya dari pada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi lawan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat!

Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang yang siap untuk bertanding!

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kau sempurnakan, ya?” Bagus, coba kau hadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap untuk melompat!

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu mukjijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap untuk saling gempur.

Mendadak bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu juga mengandung getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga, maka segera mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri.

“Blarrr! Blarrrrr!”

Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ.

Dua orang kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat mereka bergerak ke arah kedua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan panjang menekan pundaknya dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari tangan itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan ditekan oleh kakek jangkung!

Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak bergerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang.

“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Ha-ha-ha, di jaman ini masih ada orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan kedua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal mereka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya dapat melarikan kitab itu. Ha-ha-ha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Siansu tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia kini menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku!

“Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau enci-mu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi telah saling serang kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kalian tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang, mereka bergidik.

Mereka sudah mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan masih lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki kekejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sekali pun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil yang belum satu tahun usianya untuk ‘jamu’, dan ketika orang-orang sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan dibakarnya rumah itu. Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya hanya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam goanya, dipelihara baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak karena menjadi ‘jamunya’!

Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mampu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sama sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua orang anggota Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu dengan jantung berdebar tegang.

Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Wanita itu bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang nenek yang sudah tua!

Kabarnya, sebelum menjadi anggota nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain. Dalam perayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika dia menjadi anggota Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas untuk menjadi tokoh kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!

“Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul? Setelah berkumpul, kenapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Siapa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”

“Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cici-mu? Oho, kau boleh belajar seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek.

Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat kedua) yang bernama Kui-bin Nionio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang muncul karena undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan!

“Lihat ini!” Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.

“Cuiiiiittttt...!”

Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di-‘bor’ dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka di permukaan batu itu terdapat ukiran berbunyi ‘Ji-ok’!

Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil dia berkata nyaring. “Aha, kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!”

Akan tetapi agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia memandang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ketiga si Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?”

Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo beserta Hek-hwa Lo-kwi sebab hal itu menandakan bahwa orang itu telah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.

“Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?”

“Twa-ko...!” Tiga orang itu berseru secara berbareng.

Ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Kalau tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!

“Ha-ha-ha!” Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang diciptakannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok. Hawa beracun berupa uap hitam mengepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu.

“Hemmm...! Ngo-ok Toat-beng Siansu mendengus.

Tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang kelima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung karena sasarannya menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini bertemu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali!

Dan tiap gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat ‘memukulnya’ dari belakang, ke arah punggungnya!

Demikian pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kui-liong-pang ini terkejut bukan main ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar sekali menyerang lawan itu karena tubuh lawan itu bergerak secara aneh sekali, kadang kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlari-lari di sekelilingnya, dan kadang-kadang menerima pukulannya akan tetapi pada saat pukulan hampir mengenai tubuh, dia melejit lenyap dan tahu-tahu sudah membalas serangannya dari bawah dengan dasyat!

Hek-hwa Lo-kwi merasa penasaran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini sudah menghinanya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi ketika si pendek ini duduk di atas kepalanya, biar pun tidak ada yang tahu karena tidak mengeluarkan suara, tetapi dia tahu betul bahwa dua kali si pendek ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.

“Hehhhhh...!” Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan. Nampaklah uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek itu.

“Krok-krokkk!” Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang kuda-kuda seperti seekor katak buduk. Kedua tangannya juga mendorong ke depan.

“Dessss...!”

Akibat pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia terbanting roboh dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak yang tinggi kurus ini dengan cekatan telah meloncat bangun dan menyerang lagi kalang kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh sehingga menghadapi pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sampai mengalami luka, hanya terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga.

“Bagus, jongos maling, ilmumu lumayan juga!” katanya memuji akan tetapi juga sambil memaki.

Justeru Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang pelayan dan seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil menggereng dia menubruk ke depan, akan tetapi si pendek melejit lenyap dan main kucing-kucingan sambil tertawa-tawa.

Di pihak lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya kena digajul oleh kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelanting. Ngo-ok Toat-beng Siansu tak pernah mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang kedua tangan kakek ini bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah menyentil telinga Hek-tiauw Lo-mo, kemudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui belakangnya. Saat menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai kaki, dan dia berloncatan sehingga kepalanya mengeluarkan bunyi ‘duk-duk-duk!’ memukul tanah!

Tiba-tiba terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok dan Su-ok masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan bahwa kepandaian kalian selama ini tidak ada kemajuan sama sekali!”

Yang bicara itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut manusia, lebih patut dinamakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet besar yang memakai sepatu dan pakaian seperti manusia, akan tetapi pakaiannya amat sederhana. Mukanya adalah muka campuran antara manusia dan monyet, akan tetapi masih lebih mendekati monyet dari pada manusia, sehingga pantasnya dia dinamakan monyet yang mirip manusia.

Bahkan dari bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya kulitnya saja yang tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut manusia, pendek sampai di pundaknya dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti tangan manusia, akan tetapi kedua lengannya panjang melampaui lututnya, ciri lengan tangan monyet! Dan biar pun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus dan lemah lembut seperti suara seorang pendeta, dan pakaiannya amat sederhana!

Padahal dia adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok (Jahat Nomor Satu) bernama Su Lo Ti, nama yang berasal dari Pegunungan Himalaya, dan dia ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat sute-nya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal kekejaman, kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biar pun wajahnya menyeramkan dan bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti orang yang sabar dan memiliki watak budiman!

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan tahun, bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai itu, semua berpakaian sederhana sekali. Pakaian, cara kehidupan, dan sikap sederhana ini selalu menarik perhatian orang dan menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang.

Benarkah semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terlalu terbiasa untuk menilai segala sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu juga untuk kepentingan kesenangan diri sendiri dengan dasar-dasar lahiriah pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu keadaan rohani, keadaan batiniah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keadaan jasmaniah atau lahiriah.

Seorang pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya makan sehari sekali atau kurang dari makanan seadanya, tetapi belum tentu dia itu berjiwa sederhana!

Ada orang-orang yang tampak sederhana, namun kesederhanaannya itu digunakannya sebagai pameran, memamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia adalah orang sederhana! Kesederhanaan macam ini adalah kesederhanaan palsu, biar pun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri, memaksa tubuhnya agar melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan.

Kesederhanaan yang diakui sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura yang pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang terselubung, suatu pamrih atau keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan lahiriah yang disengaja seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia suci, baik dan sebagainya yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia berpamrih agar terpandang! Dan ‘terpandang’ ini merupakan sesuatu yang menyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia menggunakan kesederhanaan lahiriah sebagai kedok untuk mengejar kesenangan!

Ada pula orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan goa goa, berpakaian setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi semua itu pun merupakan bentuk pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun palsu adanya. Hanya sebagai cara memenuhi keinginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih sudah pasti palsu adanya, tidak wajar!

Mungkin si pertapa yang menyiksa diri dan memaksa diri sederhana itu menghendaki sesuatu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan menghendaki nama, atau menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi, bukan pula ingin memperoleh kemuliaan duniawi, tetapi menginginkan sesuatu yang dinamakannya ‘lebih tinggi’ yang pada umumnya dinamakan ‘kesempurnaan’, atau ‘kesucian’, atau ‘kebahagiaan’, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang menyenangkan!

Baik itu kesempurnaan, kebahagiaan atau lainnya, tentu digambarkan oleh pikiran sebagai sesuatu yang menyenangkan, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan dari pada yang sekarang ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah kesenangan! Baik jasmaniah, atau pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan menurut ukuran pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang susah, yang selalu mengejar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah!

Kesederhanaan, seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, kebajikan dan sebagainya, jelas tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan, berarti pemaksaan, dan sesuatu yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih, dan semua pamrih selalu berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri, apakah itu dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Kesederhanaan, seperti juga kebaikan atau kebajikan, adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa bahwa kita baik, maka itu bukanlah baik lagi namanya! Sekali kita menganggap bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan yang berselubung dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan memandang diri sendiri.

Dan untuk mengenal apa yang dinamakan cinta kasih, kebahagiaan, keindahan, keagungan alam, apa yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja dari pendapat-pendapat yang sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya teori belaka, bukan hanya harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana!

Dan kesederhanaan tak mungkin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku yang ingin senang, selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening dengan sengaja, melainkan batin yang hening dengan sendirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah mengharap, tidak pernah menginginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini yang berada dalam keadaan sederhana.

Namun sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pendapat pendapat umum yang dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempengaruhi kita, membutakan mata kita betapa palsunya semua itu. Kita menjadi buta dan hanya melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita mempergunakan hal hal lahiriah ini untuk mengelabui orang lain, yang tentu saja bersumber lagi kepada pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya, pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi
.

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu tentu saja hanya mempergunakan pakaian dan sikap sederhana untuk pamer belaka. Biar pun tidak kelihatan demikian, namun seolah olah mereka itu berkaok-kaok, “Lihat nih! Aku adalah orang sederhana, lain dari pada yang lain! Aku bukan orang biasa! Aku sederhana dan baik, suci dan sebagainya!”


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 20


Jodoh Rajawali Jilid 19

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 19
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Sengjin.

Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya. Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.

Ketika belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tiba-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat-cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian.

Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apa lagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu.

Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya tajam dan aneh. Hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, kedua kakinya kadang-kadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi pihak lawan.

Ada pun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.

Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Ada pun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han asli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan membayangkan kehalusan budi.

Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mukjijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.

“Sumoi, jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pukulannya yang mukjijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak mengijinkan sumoi-nya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.

“Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nonamu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan.

Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!

Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir!

Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mukjijat, biar pun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apa bila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.

Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa terpingkal pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu.

Dengan pengerahan sinkang-nya, Kian Lee lalu mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali yang marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.

“Siluman jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biar pun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Akan tetapi orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Maka seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat!

Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Goa Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu.

Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah lantas meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.

“Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona...!” Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!

“Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana...” Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya.

Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.

“Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!”

Setelah berkata demikian, Siang In lalu membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar!

Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mukjijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.

Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.

“Kenapa belum juga sampai?” terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek.

Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.

“Sssttt, kita makan dulu...,“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In.

Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari!

Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biar pun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!

Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!

“Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!” demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih.

Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.

Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka sedang berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah?

Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.

Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu membalik dan berseru dengan nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!”

Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya!

Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan kami?”

Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan dari kalian berdua.”

“Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan.

Akan tetapi Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang dan ditutup oleh senyumnya yang khas. “Aku kini hanya ingin bertanya, mengapa ada seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepadanya!”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang lain!”

Siang In tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?”

Mendengar ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya.

Menghadapi pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi kedua orang yang ternyata sangat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan pada waktu dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton pertempuran itu.

Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.

Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoi-nya mempergunakan ilmu pukulan mukjijat tadi. Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan sumoi-nya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.

Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah! Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kematian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nionio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka sebagai pembalasan dendam mereka.

Sejak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apa lagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu.

Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.

“Mampuslah engkau siluman jahat!” bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang mukjijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu.

Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu demikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir roboh. Sekarang wanita baju hijau itu menerjangnya demikian dahsyatnya sehingga tak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya itu.

“Dessss...!”

Tubuh Kim Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang lebih kuat dan lebih dingin dari pada Swat-lian Sin-ciang!

Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang sudah diculiknya diketahui orang, maka dia berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suheng-nya yang memang segan untuk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi!

“Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan keroyok sekalian, kau manusia tak tahu malu!”

Kian Lee hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan payungnya ke arah dadanya itu.

“Ehh, Nona… aku tidak berniat buruk...“

“Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kau lawan aku!” Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan darahnya.

“Eihhh...!” Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk...“

“Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kau kira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!”

Sejak tadi Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ahh, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini.

Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.

Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In.

“Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di antara sepasang matanya.

Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor monyet!”

Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih tersenyum itu, berkata, “Aku adalah seekor monyet...,“ agak meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir.

“Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.

“Tidak... tidak...!” Kian Lee berusaha melawan, tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!

“Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari yang baik tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”

Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu sekarang mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang... dibencinya tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, maka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri.

Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh... Suma Kian Lee... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak...”

Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini dengan sihirnya.

“Ah... kau... kau bernama Suma Kian Lee...?” katanya agak gagap.

Kian Lee menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.

“Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?”

“Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?”

Wajah Kian Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?”

Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”

Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya.

“Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”

“Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!”

“Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”

“Aku Teng Siang In.”

Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Teng Siang In...? Siang In...?” Tiba tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ahh, tahu aku sekarang! Bukankah engkau adalah murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”

Wajah itu menjadi semakin merah dan semakin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya mendesak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?”

Kian Lee menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan enci-mu yang bernama... ahhh, lupa lagi aku...”

“Mendiang Enci Siang Hwa?”

“Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan enci-mu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee memandang penuh rasa kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.”

Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba telah tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, hal ini menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biar pun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisan wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.

“Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau puji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!”

Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ahh, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”

Kembali terjadi perubahan hebat pada wajah cantik itu. Kalau tadi dia bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah, “Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu engkau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang yang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!”

Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir saja berhasil menangkap dua orang penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu.”

Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In...“

“Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja...,“ dan tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!

Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan. “Nona Siang In... mengapa kau..., apa salahku?”

“Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa sedang berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.

Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa sangat kewalahan menghadapi dara ini. “Habis, aku harus menyebutmu apakah?”

“Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci.”

“Ahh, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”

Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tak jauh dari situ. “Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”

“Bicara apa...?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar sudah mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.

“Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan tadi!”

Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.

“Ehhh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.

Kian Lee terkejut, memandang bengong. “Makan...?” tanyanya bingung.

Siang In tersenyum, manis sekali, kemudian mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“

“Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli... ahhh, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?”

Siang In mengangguk, masih tersenyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?”

“Hemmm, jangan coba mengelabui aku, In-moi (Adik In). Biar pun mungkin bisa, tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.”

“Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!”

“Aku tidak percaya,”

“Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”

Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil sedang main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan gerakan lalu terdengar dara itu berkata, “Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!”

Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!

“Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”

Kian Lee mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. “Hebat... engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini... ahh, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!”

Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?”

“Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”

Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri. “Engkau tahu? Sekarang di mana dia?”

“Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su...“

“Ehhh, guruku?” Dara itu berteriak.

“Benar, tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai...“

“Di Goa Tengkorak?”

“Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu...“

“Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?”

“Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”

“Ahh, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut sebut dan diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”

Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Goa Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.

Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah dapat, terlepas lagi! Dia belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!”

“Apa maksudmu? Siapa dia yang belum bertemu itu?”

Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab, “Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau mengingat akan nasib anak laki-laki yang mereka culik.”

“Laki-laki dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali.

Siang In mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biar pun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira.

Sebaliknya, Kian Lee ini biar pun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.

“Kakak Suma Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”

“Hahhh?” Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong.

Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik mereka, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya!

“Bersendau-gurau...?”

“Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”

Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanlah bagaimana kau bisa tahu bahwa dua orang lawanmu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”

Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jeri! Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, tetapi entah mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati.

“Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih perawan...“

“Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?”

“Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”

Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan itu. “Lalu, bagaimana selanjutnya?”

“Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi. Setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya...“

“Hemmm, jadi masakan yang sudah kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”

Siang In terkekeh. “Hi-hi-hik…” Suara kekeh yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. “Akan tetapi lezat, kan?”

Kian Lee terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata, “Lanjutkanlah ceritamu.”

“Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana. Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”

“Anak laki-laki...? Berusia lima enam tahun...? Ahhh, jangan-jangan anaknya!” Kian Lee teringat dan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi.

“Anaknya? Anak siapa, Koko?”

“Anak Ceng Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”

“Ahhh...! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak sembarangan, meski baru berusia lima tahun tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.”

“Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.

“Lee-ko, aku ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Biar pun Siang In telah mengerahkan ginkang-nya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia berteriak-teriak memanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In mampu menyusulnya. Dara itu lalu memandang kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bangga.

“Larimu seperti kijang saja cepatnya...!” katanya terengah-engah.

Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak Ceng Ceng, tidak melayani senda gurau itu dan berkata, “Mari kita cepat mengejar mereka.”

Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan!

Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang.

Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong ditewaskan dalam perang oleh Ang Tek Hoat.

Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian karena pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang sangat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nionio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nionio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau keluar lagi dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan dari pada kebahagiaan.

Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nionio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah.

Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nionio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!

Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nionio juga terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang gelang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya, dan hebatnya gelang gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.

Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.

Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nionio, setiap hari bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nionio yang melihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan pada Jenderal Kao Liang sekeluarga!

“Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus penuhi permintaanku agar aku tidak sampai melanggar sumpahku. Kita tak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suheng-nya.

Berbeda dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini memiliki watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu yang telah mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan menentang adanya kekerasan dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.

“Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kau anggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikut sertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa yang kau kehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari pihak mana pun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi nasehat kepada sumoi-nya.

Jodoh Rajawali Jilid 19


Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nionio menarik napas panjang.

“Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jenderal Kao saja kalian takkan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai anak anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”

Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, salah seorang di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir...“

Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali. “Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”

“Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir... begitulah kata orang...,“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.

“Celaka! Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekali pun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!”

Setelah mendapatkan nasehat-nasehat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan sumoi-nya, Kim Cui Yan, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoi-nya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!

“Suheng, penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”

“Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sendiri jeri terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.”

“Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.”

Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoi-nya atau kekasihnya yang amat keras ini. “Subo sendiri pernah mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?”

“Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.”

Liong Tek Hwi yang mencinta sumoi-nya terpaksa menuruti permintaan sumoi-nya dan demikianlah, mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan menentang setiap kejahatan. Semua ini memang sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tak ingin melihat sumoi-nya atau kekasihnya tersesat, maka dia mencoba untuk menarik perhatian sumoi-nya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka.

Karena inilah, meski mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian, orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau….

Akhirnya, pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik seperguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat berbahaya itu.

Kakek itu sudah memperingatkan mereka bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu!

Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang sangat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari kemudian, saat mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!

Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka lalu meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat.

Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.

“Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.

Karena orang itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.”

“Ahhh, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”

Anak itu memandang tajam, lalu balas bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”

Cui Yan tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”

Anak itu mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!” Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya?

Kim Cui Yan berkedip kepada suheng-nya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang? Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.”

“Ahhh, tidak mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja, maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.

“Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.

“He-he, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.

Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin pukulannya!

Melihat ini Cin Liong tertawa, “He-he, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka.

Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari.

Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu langsung dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir.

Akhirnya mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.

Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat.

“Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau juga sudah berjanji untuk tidak mengikut sertakan keluarga Kao, Sumoi.”

Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.

Maka, setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jeri dan menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.

Ketika mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri!

Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang kedua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang kedua beribu Nepal.

“Ahhh, Adik Tek Hwi... betapa keluarga kita telah berantakan...,“ terdengar Pangeran Nepal itu berkata dengan hati terharu.

Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi, kalau pun masih ada, maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatang kara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran!

Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk nepuk pundak adiknya dan berkata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Ehh, siapakah Nona ini, adikku?”

“Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”

Wajah Pangeran Nepal itu berseri. “Ahh! Sungguh kebetulan sekali!”

Dia mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan calon isterinya, dengan Hwee Li, yaitu puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.

“Dan anak ini?”

Tek Hwi hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon murid kami.”

“Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nionio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?”

Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang!

“Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui.

“Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka sekarang sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Marilah kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!”

Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan Cui Yan dan lari menubruk kakeknya. “Kong-kong...!” teriaknya.

Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya itu. Dia segera mengenali Cin Liong. “Ahh, Cin Liong... kau... kau!” Dia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.

“Ha-ha-ha, engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.

Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil memandang kepada kedua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, “Siapakah kalian dan mengapa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”

Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?” tanyanya.

Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan sumoi-nya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!

“Hebat...! Bukan main kalian ini...!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”

“Ahhhhh...!” Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.

“Kao-goanswe, kini engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”

Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia lalu mengelus kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.”

“Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.

Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak misannya. Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dan dia merasa menyesal sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoi-nya yang perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka yang lalu, yaitu memberontak!

Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apa lagi karena dia dan sumoi-nya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam.

Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama sumoi-nya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid dari Kim-mouw Nionio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya.

Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar benar kuat dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat dari pada kedudukan pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, sekarang kakak misannya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin di utara.....

********************

Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung. Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesempatan itu untuk bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!

Karena itu, dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)! Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat dijuluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat tokoh yang lain agar supaya dapat membantu pergerakannya.

Koksu Nepal juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu berhasil dan menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun kemudian mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang membantu, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu…..

********************

Siang itu matahari sudah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah, karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka tertotok sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya.

Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, akan kuperkosa dia sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.

“Huhhh, kau tidak akan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di telinga, di bibir sehingga rasanya geli dan tidak enak sekali.

Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan seperti yang dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba tiba...

“Happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.

“Aku? Tidak berani? Apa kau gila?!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”

“Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas kekurang ajaran dan penghinaannya hari ini!”

Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar, tentu dia akan melupakan lagi ancamannya terhadap Hwee Li.

“Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.”

“Mereka juga, pasti akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Kini pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.

Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat aneh dan bukan main cepatnya.

Yang seorang bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang yang kedua amat pendek, seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.

Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini.

Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tulang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.

Orang kedua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang kedua ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuhnya merupakan kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!

Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang. Apa lagi muka si gendut pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih!

Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Siansu (Manusia Dewa Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat kepandaian mereka!

Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, sejak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan Ngo-ok, mereka lalu bertanding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka.

Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara saudara angkat sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun. Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Siansu menduduki tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).

Ada pun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toat-beng Siansu dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat keempat, yaitu disebut Su-ok (Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya masih lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bahwa Koksu Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ketiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal, juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Siansu terkenal dengan ginkang-nya yang tidak lumrah manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangannya yang amat panjang, maka dalam perkelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai dengan julukannya sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai kekejaman yang tidak lumrah manusia.

Dahulu, di waktu dia masih aktif dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekali pun. Melakukan kejahatan merupakan sesuatu ‘keharusan’ untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasehat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma.

Tentu saja orang keempat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mungkin selama hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa mengerikan itu!

Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mukjijat saja, Su-ok ini dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk campuran ‘obat’ yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini berkali kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya!

Ngo-ok Toat-beng Siansu yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia amat suka menangkapi wanita-wanita, tak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosa sambil membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai ‘tasbih’ yang terbuat dari kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya!

“Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa tawa ketika mereka tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam goa silumanmu itu tidak tinggal diam dan tak pernah melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu tertawa-tawa.

Wajah yang muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.

“Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biar pun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang kelima!”

Toat-beng Siansu tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, baik Hek-tiauw Lo-mo mau pun Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar.

Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa.

“Dukkkk!”

Tubuhnya sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu tahu tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya dari pada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi lawan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat!

Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang yang siap untuk bertanding!

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kau sempurnakan, ya?” Bagus, coba kau hadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap untuk melompat!

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu mukjijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap untuk saling gempur.

Mendadak bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu juga mengandung getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga, maka segera mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri.

“Blarrr! Blarrrrr!”

Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ.

Dua orang kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat mereka bergerak ke arah kedua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan panjang menekan pundaknya dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari tangan itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan ditekan oleh kakek jangkung!

Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak bergerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang.

“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Ha-ha-ha, di jaman ini masih ada orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan kedua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal mereka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya dapat melarikan kitab itu. Ha-ha-ha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Siansu tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia kini menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku!

“Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau enci-mu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi telah saling serang kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kalian tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang, mereka bergidik.

Mereka sudah mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan masih lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki kekejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sekali pun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil yang belum satu tahun usianya untuk ‘jamu’, dan ketika orang-orang sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan dibakarnya rumah itu. Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya hanya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam goanya, dipelihara baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak karena menjadi ‘jamunya’!

Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mampu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sama sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua orang anggota Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu dengan jantung berdebar tegang.

Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Wanita itu bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang nenek yang sudah tua!

Kabarnya, sebelum menjadi anggota nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain. Dalam perayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika dia menjadi anggota Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas untuk menjadi tokoh kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!

“Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul? Setelah berkumpul, kenapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Siapa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”

“Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cici-mu? Oho, kau boleh belajar seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek.

Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat kedua) yang bernama Kui-bin Nionio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang muncul karena undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan!

“Lihat ini!” Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.

“Cuiiiiittttt...!”

Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di-‘bor’ dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka di permukaan batu itu terdapat ukiran berbunyi ‘Ji-ok’!

Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil dia berkata nyaring. “Aha, kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!”

Akan tetapi agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia memandang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ketiga si Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?”

Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo beserta Hek-hwa Lo-kwi sebab hal itu menandakan bahwa orang itu telah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.

“Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?”

“Twa-ko...!” Tiga orang itu berseru secara berbareng.

Ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Kalau tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!

“Ha-ha-ha!” Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang diciptakannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok. Hawa beracun berupa uap hitam mengepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu.

“Hemmm...! Ngo-ok Toat-beng Siansu mendengus.

Tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang kelima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung karena sasarannya menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini bertemu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali!

Dan tiap gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat ‘memukulnya’ dari belakang, ke arah punggungnya!

Demikian pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kui-liong-pang ini terkejut bukan main ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar sekali menyerang lawan itu karena tubuh lawan itu bergerak secara aneh sekali, kadang kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlari-lari di sekelilingnya, dan kadang-kadang menerima pukulannya akan tetapi pada saat pukulan hampir mengenai tubuh, dia melejit lenyap dan tahu-tahu sudah membalas serangannya dari bawah dengan dasyat!

Hek-hwa Lo-kwi merasa penasaran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini sudah menghinanya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi ketika si pendek ini duduk di atas kepalanya, biar pun tidak ada yang tahu karena tidak mengeluarkan suara, tetapi dia tahu betul bahwa dua kali si pendek ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.

“Hehhhhh...!” Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan. Nampaklah uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek itu.

“Krok-krokkk!” Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang kuda-kuda seperti seekor katak buduk. Kedua tangannya juga mendorong ke depan.

“Dessss...!”

Akibat pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia terbanting roboh dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak yang tinggi kurus ini dengan cekatan telah meloncat bangun dan menyerang lagi kalang kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh sehingga menghadapi pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sampai mengalami luka, hanya terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga.

“Bagus, jongos maling, ilmumu lumayan juga!” katanya memuji akan tetapi juga sambil memaki.

Justeru Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang pelayan dan seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil menggereng dia menubruk ke depan, akan tetapi si pendek melejit lenyap dan main kucing-kucingan sambil tertawa-tawa.

Di pihak lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya kena digajul oleh kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelanting. Ngo-ok Toat-beng Siansu tak pernah mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang kedua tangan kakek ini bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah menyentil telinga Hek-tiauw Lo-mo, kemudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui belakangnya. Saat menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai kaki, dan dia berloncatan sehingga kepalanya mengeluarkan bunyi ‘duk-duk-duk!’ memukul tanah!

Tiba-tiba terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok dan Su-ok masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan bahwa kepandaian kalian selama ini tidak ada kemajuan sama sekali!”

Yang bicara itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut manusia, lebih patut dinamakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet besar yang memakai sepatu dan pakaian seperti manusia, akan tetapi pakaiannya amat sederhana. Mukanya adalah muka campuran antara manusia dan monyet, akan tetapi masih lebih mendekati monyet dari pada manusia, sehingga pantasnya dia dinamakan monyet yang mirip manusia.

Bahkan dari bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya kulitnya saja yang tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut manusia, pendek sampai di pundaknya dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti tangan manusia, akan tetapi kedua lengannya panjang melampaui lututnya, ciri lengan tangan monyet! Dan biar pun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus dan lemah lembut seperti suara seorang pendeta, dan pakaiannya amat sederhana!

Padahal dia adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok (Jahat Nomor Satu) bernama Su Lo Ti, nama yang berasal dari Pegunungan Himalaya, dan dia ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat sute-nya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal kekejaman, kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biar pun wajahnya menyeramkan dan bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti orang yang sabar dan memiliki watak budiman!

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan tahun, bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai itu, semua berpakaian sederhana sekali. Pakaian, cara kehidupan, dan sikap sederhana ini selalu menarik perhatian orang dan menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang.

Benarkah semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terlalu terbiasa untuk menilai segala sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu juga untuk kepentingan kesenangan diri sendiri dengan dasar-dasar lahiriah pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu keadaan rohani, keadaan batiniah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keadaan jasmaniah atau lahiriah.

Seorang pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya makan sehari sekali atau kurang dari makanan seadanya, tetapi belum tentu dia itu berjiwa sederhana!

Ada orang-orang yang tampak sederhana, namun kesederhanaannya itu digunakannya sebagai pameran, memamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia adalah orang sederhana! Kesederhanaan macam ini adalah kesederhanaan palsu, biar pun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri, memaksa tubuhnya agar melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan.

Kesederhanaan yang diakui sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura yang pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang terselubung, suatu pamrih atau keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan lahiriah yang disengaja seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia suci, baik dan sebagainya yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia berpamrih agar terpandang! Dan ‘terpandang’ ini merupakan sesuatu yang menyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia menggunakan kesederhanaan lahiriah sebagai kedok untuk mengejar kesenangan!

Ada pula orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan goa goa, berpakaian setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi semua itu pun merupakan bentuk pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun palsu adanya. Hanya sebagai cara memenuhi keinginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih sudah pasti palsu adanya, tidak wajar!

Mungkin si pertapa yang menyiksa diri dan memaksa diri sederhana itu menghendaki sesuatu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan menghendaki nama, atau menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi, bukan pula ingin memperoleh kemuliaan duniawi, tetapi menginginkan sesuatu yang dinamakannya ‘lebih tinggi’ yang pada umumnya dinamakan ‘kesempurnaan’, atau ‘kesucian’, atau ‘kebahagiaan’, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang menyenangkan!

Baik itu kesempurnaan, kebahagiaan atau lainnya, tentu digambarkan oleh pikiran sebagai sesuatu yang menyenangkan, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan dari pada yang sekarang ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah kesenangan! Baik jasmaniah, atau pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan menurut ukuran pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang susah, yang selalu mengejar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah!

Kesederhanaan, seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, kebajikan dan sebagainya, jelas tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan, berarti pemaksaan, dan sesuatu yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih, dan semua pamrih selalu berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri, apakah itu dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Kesederhanaan, seperti juga kebaikan atau kebajikan, adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa bahwa kita baik, maka itu bukanlah baik lagi namanya! Sekali kita menganggap bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan yang berselubung dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan memandang diri sendiri.

Dan untuk mengenal apa yang dinamakan cinta kasih, kebahagiaan, keindahan, keagungan alam, apa yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja dari pendapat-pendapat yang sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya teori belaka, bukan hanya harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana!

Dan kesederhanaan tak mungkin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku yang ingin senang, selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening dengan sengaja, melainkan batin yang hening dengan sendirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah mengharap, tidak pernah menginginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini yang berada dalam keadaan sederhana.

Namun sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pendapat pendapat umum yang dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempengaruhi kita, membutakan mata kita betapa palsunya semua itu. Kita menjadi buta dan hanya melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita mempergunakan hal hal lahiriah ini untuk mengelabui orang lain, yang tentu saja bersumber lagi kepada pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya, pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi
.

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu tentu saja hanya mempergunakan pakaian dan sikap sederhana untuk pamer belaka. Biar pun tidak kelihatan demikian, namun seolah olah mereka itu berkaok-kaok, “Lihat nih! Aku adalah orang sederhana, lain dari pada yang lain! Aku bukan orang biasa! Aku sederhana dan baik, suci dan sebagainya!”


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 20