Jodoh Rajawali Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 12
Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu. Meonggg.

“Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kau sebut saja namaku seperti aku menyebut namamu.”

Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. “Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat. “Mari, Tek Hoat, mari kita datangi kakek itu!”

Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, paling sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.....

********************

Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang.

Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang sekarang telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.

Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengah hari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, “Ehh, ada orang berkelahi...!”

Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.

“Siauw Hong, jangan engkau sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan,” bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.

Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.

Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Ada pun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!

Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.

Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu hanya menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri mau pun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.

Sementara itu, pada saat Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Kedua orang itu tadinya adalah sahabat sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat. Bukan itu saja, malah dia sudah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan.

Kian Bu terkejut melihat serangan dahsyat ini. Ia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, “Awasss...!”

Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apa lagi karena mendengar seruan Kian Bu.

“Desssss...!”

Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya hebat, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!

Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.

“Reettttt...!”

Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.

Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biar pun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berbahaya.

Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi, wanita berbaju hijau itu kini menggosok gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya.

Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biar pun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.

Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biar pun pemuda itu telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.

Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bu. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap. Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.

“Plakkk!”

Biar pun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih sangat parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan kemudian rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.

Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak, “Berani kau membunuh orang?”

Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis berbaju hijau tadi. Mereka segera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini memiliki tenaga yang sangat kuat, maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.

“Tahan...! Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!” Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.

Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura. “Kiranya Taihiap yang berada di sini...” Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.

“Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia?” Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi.

Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguh pun napas yang senin kemis, dia kemudian memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.

Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar mau pun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.

Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemmm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.

“Ehhhhh...!”

Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong.

Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.

“Uhhhhh...!”

Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang laki-laki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.

“Heemmm... aneh...,“ dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. “Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia... tidak boleh aku menjamahnya... ahhh, tapi dia bisa mati... dia...“

Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia mulai membukai semua kancing, kemudian menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu.

Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkang-nya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biar pun dia sudah menenteramkan hatinya.

“Ahhh... ohhhhh... tolol kau...!”

Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. “Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau? Yang terpenting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!”

Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat ‘dada yang indah itu’ dan terus saja dada yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walau pun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda!

Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah menantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao.

Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan suheng-nya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suheng-nya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan, akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.

Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Namun, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.

Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suheng-nya dan kelima orang anak buahnya untuk turun membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau mau pun Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jeri untuk melanjutkan pertandingan itu.

Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang. “Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya.”

Kao Liang yang sudah kembali bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jeri terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apa lagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu. Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya.

Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata, “Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!”

Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, “Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?”

Wanita baju hijau itu tersenyum dingin. “Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apa lagi semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang meleraikan, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Tetapi hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu…,” sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. “Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah orang yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!”

Jenderal Kao Liang terbelalak. “Keluarga Kim...?” Dia mengingat-ingat. “Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin?”

“Tutup mulutmu!” Gadis baju hijau itu membentak marah. “Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku?” Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.

“Ahhhhh... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin?” Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. “Pantas...! Pantaslah engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan pastilah juga dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kau dengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu.”

Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh Jenderal Kao.

Tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah kekuasannya di utara.

Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia dan sekeluarganya dijatuhi hukuman mati.

“Nah, demikianlah…” Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. “Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu.”

“Orang she Kao! Kalau saja engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!” Tiba-tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang.

Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan. Kian Bu melerai dan menyuruh kedua pihak mundur.

Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. “Orang asing, apakah maksudmu?” tanyanya.

“Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoi-ku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami tetap harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!”

Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang. “Ahhh... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan?” Kao Liang berseru heran.

“Kao Liang, dalih apa pun yang kau kemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!” Gadis berbaju hijau itu berseru. “Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!”

Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.

“Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!” si pemuda asing berseru. “Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!”

Melihat kedua pihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak. “Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapa pun juga, tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!” bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar.

Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.

Kim Cu Yan menjura kepada Kian Bu. “Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap.” Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. “Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liong-suheng, mari kita pergi!”

Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ.

“Aihhh..., kekerasan..., kekerasan..., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lainnya lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan...!”

“Aduhhhhh...!”

Kian Bu beserta tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.

Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya? Apa yang terjadi? Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu? Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan hanya dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Kau mencari siapa?” Kian Bu bertanya.

“Dia... mana dia...?“ Siauw Hong bertanya.

“Kang Swi? Dia telah lari dan anehnya, dia berlari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi?” Kian Bu bertanya.

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biar pun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkang-nya dan perlahan lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi.

Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.

“Apa yang telah terjadi, Siauw Hong?” tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.

Siauw Hong menggelengkan kepala “Tidak apa-apa... tidak apa..., dia memang orang aneh...,“ jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia!

Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menjura sambil berkata, “Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?”

Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya, Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil. Mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, “Nama Taihiap ini adalah Suma...“

“Siauw Hong!” Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak jadi melanjutkan kata-katanya.

Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu.

“Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es?” bentak bekas jenderal itu.

Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.

“Keparat!” Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju dan langsung menyerang kalang-kabut!

“Ehhhh...! Lhohhh...! Bagaimana pula ini...?” Siauw Hong kebingungan dan berteriak teriak.

Tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguh pun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.

“Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang menculik keluarga Kao mau pun mencuri harta benda keluarga kalian!”

Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. “Apa pula maksudmu? Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu?”

Kian Bu menghela napas. “Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal dengan baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik? Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua?”

Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, “Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan.”

Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.

“Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan amat bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan di antara keluarga kita, apakah kalian berdua yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan?”

Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, “Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!”

“Ohhhhh...!” Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.

“Ayah...!” Kok Han mengeluh.

“Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah,” kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan air matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya?

Kao Liang menurunkan dua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air mata mengalir. “Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu,” katanya setelah dia berdiri lagi. “Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya.”

“Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako,” kata Kok Tiong.

Ayahnya mengangguk-angguk. “Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat...“

Tiba-tiba Kian Bu berkata, “Paman, jangan kalian khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!” Kian Bu bicara penuh semangat.

“Ahhh, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira...“

“Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan.”

“Betapa pun juga, kami harus menengoknya.”

“Kalau begitu, marilah, Paman.”

Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya…..

********************

Ketika mereka baru tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan, “Sute...!”

Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang yang berpakaian pengemis, yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!

“Suheng...! Kau kenapa...?” Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu.

Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. “Celaka,” katanya. “Gadis setan itulah yang melakukannya!”

Siauw Hong terkejut sekali. “Seorang gadis…? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng?” Tentu saja Siauw Hong terkejut bukan main. Suheng-nya itu, Gu Sin-kai, adalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!

Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, “Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya.”

Memang nama Kao Liang amat terkenal, apa lagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sute-nya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat. “Ahh, kiranya Kao tai-ciangkun...“

Kao Liang tersenyum. “Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang panglima, bahkan prajurit pun bukan.”

Gu Sin-kai mengangguk. “Maafkan saya, Kao-enghiong.” Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. “Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan lalu mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...“

“Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam?” tiba-tiba Kian Bu bertanya.

“Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap?” tanya Gu Sin-kai.

Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar sekali diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.

“Mari kita cepat naik ke puncak!” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.

Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain lain tiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan.

Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak mengijinkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka.

Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka.

Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.

“Ceng Ceng...!” Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya.

Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut ‘subo’ oleh Hwee Li, mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Ada pun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.

Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru. “Tahan...! Kita berada di antara teman sendiri!”

Ceng Ceng menahan gerakannya dan sekarang dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih, “Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku? Aku Suma Kian Bu...“

“Ohhhhh...!” Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. “Ahhh, kiranya Paman...,“ katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.

“Ceng Ceng...!”

Wanita itu terkejut dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula.

“Twa-so...!” Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.

“Ayah...! Adik Tiong dan Adik Han...!” Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. “Ayah di sini?” Dia cepat memberi hormat.

“Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak mencari kalian di utara.”

“Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini?”

Bekas jenderal itu menarik napas panjang. “Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu...” Dia menoleh ke arah Kian Bu. “Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi?”

“Benar, Ceng Ceng, mengapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua tadi bertempur?” Kian Bu juga bertanya.

“Ahhh, semua ini adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kau ceritakan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!” Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan sapu tangan.

Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, “Ehh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini?” Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita mau pun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar benar seperti seorang anak kecil! “Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalah pahaman ini diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?”

Hwee Li tersenyum. “Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?”

“Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu.”

“Ahhh, bagaimana dengan dia? Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa... dia terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan tetapi... para jembel ini...“

“Hwee Li!” Ceng Ceng menghardiknya.

Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. “Subo, harap Subo lihat pakaian mereka,” dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, “Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel?”

“Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!” kembali Ceng Ceng menghardik. Sering kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguh pun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subo-nya.

“Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem... ehh, oleh kakek itu.” Dia lalu menuding ke arah Gu Sin-Kai. “Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya...!” Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!

“Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya.”

“Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman,” kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya.

Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.

“Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami,” Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. “Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apa lagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya.”

Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, “Paman Kian Lee terluka parah...?” Dia bertanya.

“Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah.”

“Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku? Ahhh, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!”

Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apa lagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar.

Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, “Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biar pun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi satu.”

“Aku akan menengoknya lebih dulu!” Hwee Li sudah melangkah maju.

Melihat ini, yang lain mengalah dan menyaksikan sikap muridnya itu diam-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.

Hwee Li melangkah perlahan. Dia mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu, dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya.

Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk.

“Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li,” kata Kian Lee wajah gembira.

Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. “Kau masih mengenali aku?” Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.

“Tentu saja, apa lagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantu dia mencari jamur panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li.”

“Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi? Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan engkau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil adikmu itu! Ingin aku mengetuk kepalanya karena dia berani memukulmu seperti ini!”

Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela.

“Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Ehhh, kau dari mana saja, Hwee Li? Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan sudah dewasa.”

Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. “Benarkah kau tidak melupakan aku? Aku telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu, adikmu.”

Selama ini Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa tersinggung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li bercerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan kenesnya, mata itu bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap.

Jodoh Rajawali Jilid 12


“Subo dan Suhu sekarang mencari-carinya...“

Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. “Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama.”

“Akan tetapi siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee?” Hwee Li membantah.

Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, “Paman, siapakah yang akan mengunjungi aku?”

“Ada Panglima Kao Liang di luar...“

“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, “Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk.”

“Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih senang bicara dengan dia dari pada dengan aku?”

Kian Lee tersenyum. “Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah lama menanti sejak tadi.”

Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!

Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya, dan kemudian mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, “Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari.”

“Ahhh, Lo-ciangkun terlalu sungkan...”

“Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...“

“Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalah pahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar semua rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami.”

Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh.”

“Terima kasih.”

Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.

Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.

“Kau... kau... Ceng Ceng...?” Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.

Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajah tampannya itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.

“Paman...!” Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang tetap duduk di atas pembaringan. “Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee.”

“Ehh... ehhh..., Ceng Ceng, bangunlah...!” Kian Lee berseru gugup. “Ha-ha-ha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, kau bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...“

Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit kemudian duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana keadaanmu? Mana suamimu dan apakah engkau sekarang telah menjadi seorang ibu yang baik?”

Ceng Ceng mengangguk-angguk kemudian bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. “Paman, keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman.”

Suma Kian Lee tersenyum. “Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong.”

“Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku.”

“Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”

Ceng Ceng hanya mengangguk.

“Hebat sekali!”

“Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang,” kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana sini, meraba sana sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.

Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri!

Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!

Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."

Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."

Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng kemudian menceritakan hasil pemeriksaannya.

"Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau sudah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu."

Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu?"

"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, sangat kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."

"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum.

Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat ia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati tetapi cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu tentang racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini, Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.

Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.

Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang malah berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.

"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya.

Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.

Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak.

"Brakkk!"

Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil?"

Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya."

Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapa pun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh rasa kekhawatiran kalau dia mengingat akan puteranya yang hilang.

Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggota keluarganya diculik orang.

"Ehhh...!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat?"

Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.

"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"

"Ahhh...!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.

"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orang-orang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."

"Ahhh... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki?"

"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Marilah kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."

Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu, oleh karena hanya kepada pendekar inilah mereka bisa menggantungkan harapan. Mereka kemudian meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.

Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang sangat keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Ada pun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Dan Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.

Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat dari Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan kedua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!

Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini kemudian memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman.

"Terima kasih... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah membantu mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."

Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."

Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada kedua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apa lagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hidup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya... ahhh, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.

Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu kemudian mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis, namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggota keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang.

Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya. Kamar-kamar itu digunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.

Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain dari pada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini?"

"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."

Kamar itu memang megah, diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biar pun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi.

"Itu adalah kumpulan gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.

Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong?" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"

Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya lalu menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.

"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki," kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan mana pun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."

Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia?"

Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.

"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong..."

"Heeei... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu.

Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.

"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati dalam keadaan sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.

"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku."

Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut. Di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu..."

"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.

Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ahh, benarkah itu, Nona? Di mana?"

"Tentu saja di tangan Sin-siauw Sengjin! Aku melihatnya beberapa bulan yang lalu."

"Benarkah itu? Sin-siauw Sengjin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Sengjin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia?"

Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kau tanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"

"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.

Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.

"Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah bersiap dan memandang marah.

"Siapa pun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.

"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"

Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subo-nya dan sejenak dua orang wanita itu saling ‘mengukur’ tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subo-nya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...," lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kau maafkan kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu?

Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!

"Paman Yu, benarkah itu... bahwa Sin-siauw Sengjin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong, jenazah muridnya she Khu, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar supaya kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."

"Ah, mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."

Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera..."

"Ahhhhh...!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.

"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak pernah mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.

"Ehhh, bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.

"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-siauw Sengjin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apa bila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."

"Koai-lojin..." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.

"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia...?" Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.

"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang asli sebenarnya? Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Sengjin? Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!

"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siauw Sengjin?" Sai-cu Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu.

Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal. Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar Kam Liong.

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin.

Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tidak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo dengan wajah seram-seram sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Sengjin yang jumlahnya lima orang.

Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan berseru, "Ayah...! Aku berada di sini!"

Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang sendiri!"

Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Sengjin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang seram-seram itu pun mundur dan berkelompok.

Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.

"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat... hebat..."

"Ayah, aku bersama Subo di sini..."

"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."

"Ahhh, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo...!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan kepada subo-nya, melainkan kepada Kian Lee!

"Hushhh! Sudah lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu? Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku..." Aneh sekali, kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar seperti mengandung isak!

"Hwee Li, kau tahu bahwa Subo-mu dan Suhu-mu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti kau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."

Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah?"

Kian Lee terkejut. Tidak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu dapat merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!

"Ehhh... ini... ini... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya jikalau engkau ikut bersama ayahmu sebab aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis itu.

Mulut itu makin cemberut. "Tapi... kita baru saja saling berjumpa... dan kau baru saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."

"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui, dan... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah?"

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang. Tidak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab, itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.

"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada orang yang membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua orang bergidik mendengan ucapan ini, apa lagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.

"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi.” Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus pergi?"

Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.

"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng.

Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama ayahnya.

"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.

"Heiii, Hwee Li, aku ikut...!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.

"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung pada benda halus hitam yang telah mengait pada kaki garuda yang baru terbang tadi. Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.

Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Sengjin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.

"Sengjin, apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini?"

Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi, "Ehhh, kakakku, Sin-siauw Sengjin, apakah yang terjadi? Lihatlah dia itu..." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu? Mengapa tidak kau bawa bersamamu? Ahhh, tentu dia sudah dewasa sekarang!"

Sin-siauw Sengjin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air matanya.

"Kai-ong adikku yang baik... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang...," akhirnya kakek tua renta itu berkata.

Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. "Apa... apa maksudmu... Twako?"

"Cucumu... cucumu itu... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang... sampai sekarang..."

"Ahhh...!" bagai tersengat Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sin-siauw Sengjin.

"Sengjin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dahulu dan kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Sengjin, diajak naik ke puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu.

Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Sengjin, Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Sengjin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu adiknya itu menyembunyikan diri agar supaya jangan terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.

Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Sengjin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri..."

Sin-siauw Sengjin memandang dengan kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...," katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.

"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."

"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kau ketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu..." Dia berhenti sebentar.

"Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ahh, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andai kata aku sudah berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat..."

Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata, "Kongcu... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan... leluhurmu..." suaranya seperti tercekik keharuan.

Siauw Hong balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.

Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Sengjin, "Twako, di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."

Sin-siauw Sengjin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk angguk. "Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini kubuka saja di depan orang-orang gagah."

Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri!

Dengan perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa adiknya, Kian Bu tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak terhadap Sin-siauw Sengjin, dan memang benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari Menteri Kam Liong di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama orang orang itu adalah Sin-siauw Sengjin!

Dia merasa tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini dikalahkannya akan merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok antara mereka. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini karena kalau terjadi demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang begitu baik. Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.

Sin-siauw Sengjin mulai dengan penuturannya…..

Kakek besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong, menyelamatkan pusaka-pusaka Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya she Khu, menguburkan mereka di tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia memperdalam ilmu-ilmunya dari kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia menjadi seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan dicari dan diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat rahasia, dan dia telah membuat beberapa buah suling dan kipas palsu, juga kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang asli, lalu menyimpan pusaka-pusaka palsu itu di beberapa tempat.

Hal ini dilakukannya untuk menjaga keamanan yang asli dan memang dugaannya tidak meleset karena banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa pusaka palsu itu sempat dirampas orang. Akan tetapi pusaka yang asli tetap di dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia, dan hanya diketahui oleh dia sendiri dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh dan tak diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa Gu Toan mempunyai seorang anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu.

Dan akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan seorang di antara mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka Suling Emas yang aslinya selamat bersama anaknya yang juga menyembunyikan diri, bahkan tidak berani mengaku she Gu!

Mendengar penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya yang dulu bernama Lulu, ternyata telah ‘mewarisi’ kitab-kitab Suling Emas yang palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari kuburan keluarga Suling Emas seperti yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini diserang orang yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan agaknya hal itu disengaja Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang memperebutkan pusaka itu ke arah lain.

Dan juga ibu tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu Toan, hanya menerima suling yang palsu saja, biar pun benar-benar terbuat dari emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, ternyata telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong itu!

"Betapa berat tugas nenek moyang kami..." Sin-siauw Sengjin kemudian melanjutkan penuturannya dan kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya karena kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami she Gu agar jangan dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa, mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu..." Kembali dia kelihatan lelah sekali dan menarik napas panjang. "Itu masih belum berapa sukar. Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan keturunan dari Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang anak laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat mengembalikan pusaka kepadanya."

Kian Lee yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan itu, mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil menundukkan kepalanya, hanya mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek Sin-siauw Sengjin atau kepada gurunya, Sai-cu Kai-ong.

"Sungguh amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika ternyata bahwa keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat! Kami tak boleh memaksa, dan kami harus meneliti bakat mereka tanpa membuka rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini, keluarga she Kam hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami sebagai keturunan she Gu yang melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh lain orang, kecuali oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang, seorang sahabat baik dari keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu berhenti sebentar, kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih terus mendengarkan sambil menundukkan mukanya.

"Kam-kongcu, bolehkah saya melanjutkan?" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap hormat.

Semua orang terkejut mendengar ini. Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah menjadi ‘rekannya’ ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam, keturunan dari pendekar sakti Suling Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.

"Budi keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan sedalam lautan, demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Locianpwe dan Suhu saja." Setelah memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak.

Kini Kian Lee dapat melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam kesederhanaannya. Maka dia merasa kagum sekali.

Sin-siauw Sengjin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat, "Setelah menanti sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya dapat menemukan bakat itu di dalam diri Kam Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena saya sendiri masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan meluaskan pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat tinggi, saya mempercayakannya kepada sahabat saya yang telah saya percaya penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kam-kongcu, sekarang hendak saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kau lanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu…"

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang, kemudian memandang muridnya. "Siauw Hong, betapa pun juga engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia kepada keluargamu sehingga dahulu timbul akal mereka untuk menyerahkan engkau kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang selalu menyelidiki pusaka Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa engkau keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan kepadaku untuk menjadi muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu Hwi yang kutitipkan kepada Sin-siauw Sengjin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit, engkau hidup sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan tentang tali perjodohan itu agar hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga." Kakek berpakaian sederhana itu menarik napas panjang.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 13


Jodoh Rajawali Jilid 12

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 12
Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu. Meonggg.

“Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kau sebut saja namaku seperti aku menyebut namamu.”

Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. “Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat. “Mari, Tek Hoat, mari kita datangi kakek itu!”

Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, paling sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.....

********************

Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang.

Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang sekarang telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.

Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengah hari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, “Ehh, ada orang berkelahi...!”

Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.

“Siauw Hong, jangan engkau sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan,” bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.

Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.

Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Ada pun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!

Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.

Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu hanya menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri mau pun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.

Sementara itu, pada saat Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Kedua orang itu tadinya adalah sahabat sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat. Bukan itu saja, malah dia sudah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan.

Kian Bu terkejut melihat serangan dahsyat ini. Ia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, “Awasss...!”

Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apa lagi karena mendengar seruan Kian Bu.

“Desssss...!”

Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya hebat, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!

Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.

“Reettttt...!”

Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.

Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biar pun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berbahaya.

Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi, wanita berbaju hijau itu kini menggosok gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya.

Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biar pun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.

Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biar pun pemuda itu telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.

Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bu. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap. Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.

“Plakkk!”

Biar pun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih sangat parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan kemudian rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.

Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak, “Berani kau membunuh orang?”

Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis berbaju hijau tadi. Mereka segera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini memiliki tenaga yang sangat kuat, maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.

“Tahan...! Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!” Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.

Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura. “Kiranya Taihiap yang berada di sini...” Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.

“Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia?” Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi.

Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguh pun napas yang senin kemis, dia kemudian memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.

Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar mau pun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.

Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemmm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.

“Ehhhhh...!”

Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong.

Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.

“Uhhhhh...!”

Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang laki-laki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.

“Heemmm... aneh...,“ dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. “Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia... tidak boleh aku menjamahnya... ahhh, tapi dia bisa mati... dia...“

Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia mulai membukai semua kancing, kemudian menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu.

Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkang-nya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biar pun dia sudah menenteramkan hatinya.

“Ahhh... ohhhhh... tolol kau...!”

Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. “Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau? Yang terpenting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!”

Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat ‘dada yang indah itu’ dan terus saja dada yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walau pun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda!

Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah menantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao.

Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan suheng-nya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suheng-nya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan, akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.

Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Namun, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.

Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suheng-nya dan kelima orang anak buahnya untuk turun membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau mau pun Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jeri untuk melanjutkan pertandingan itu.

Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang. “Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya.”

Kao Liang yang sudah kembali bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jeri terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apa lagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu. Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya.

Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata, “Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!”

Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, “Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?”

Wanita baju hijau itu tersenyum dingin. “Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apa lagi semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang meleraikan, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Tetapi hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu…,” sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. “Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah orang yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!”

Jenderal Kao Liang terbelalak. “Keluarga Kim...?” Dia mengingat-ingat. “Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin?”

“Tutup mulutmu!” Gadis baju hijau itu membentak marah. “Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku?” Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.

“Ahhhhh... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin?” Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. “Pantas...! Pantaslah engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan pastilah juga dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kau dengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu.”

Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh Jenderal Kao.

Tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah kekuasannya di utara.

Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia dan sekeluarganya dijatuhi hukuman mati.

“Nah, demikianlah…” Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. “Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu.”

“Orang she Kao! Kalau saja engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!” Tiba-tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang.

Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan. Kian Bu melerai dan menyuruh kedua pihak mundur.

Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. “Orang asing, apakah maksudmu?” tanyanya.

“Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoi-ku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami tetap harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!”

Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang. “Ahhh... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan?” Kao Liang berseru heran.

“Kao Liang, dalih apa pun yang kau kemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!” Gadis berbaju hijau itu berseru. “Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!”

Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.

“Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!” si pemuda asing berseru. “Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!”

Melihat kedua pihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak. “Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapa pun juga, tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!” bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar.

Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.

Kim Cu Yan menjura kepada Kian Bu. “Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap.” Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. “Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liong-suheng, mari kita pergi!”

Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ.

“Aihhh..., kekerasan..., kekerasan..., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lainnya lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan...!”

“Aduhhhhh...!”

Kian Bu beserta tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.

Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya? Apa yang terjadi? Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu? Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan hanya dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Kau mencari siapa?” Kian Bu bertanya.

“Dia... mana dia...?“ Siauw Hong bertanya.

“Kang Swi? Dia telah lari dan anehnya, dia berlari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi?” Kian Bu bertanya.

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biar pun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkang-nya dan perlahan lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi.

Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.

“Apa yang telah terjadi, Siauw Hong?” tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.

Siauw Hong menggelengkan kepala “Tidak apa-apa... tidak apa..., dia memang orang aneh...,“ jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia!

Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menjura sambil berkata, “Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?”

Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya, Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil. Mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, “Nama Taihiap ini adalah Suma...“

“Siauw Hong!” Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak jadi melanjutkan kata-katanya.

Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu.

“Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es?” bentak bekas jenderal itu.

Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.

“Keparat!” Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju dan langsung menyerang kalang-kabut!

“Ehhhh...! Lhohhh...! Bagaimana pula ini...?” Siauw Hong kebingungan dan berteriak teriak.

Tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguh pun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.

“Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang menculik keluarga Kao mau pun mencuri harta benda keluarga kalian!”

Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. “Apa pula maksudmu? Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu?”

Kian Bu menghela napas. “Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal dengan baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik? Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua?”

Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, “Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan.”

Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.

“Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan amat bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan di antara keluarga kita, apakah kalian berdua yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan?”

Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, “Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!”

“Ohhhhh...!” Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.

“Ayah...!” Kok Han mengeluh.

“Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah,” kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan air matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya?

Kao Liang menurunkan dua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air mata mengalir. “Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu,” katanya setelah dia berdiri lagi. “Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya.”

“Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako,” kata Kok Tiong.

Ayahnya mengangguk-angguk. “Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat...“

Tiba-tiba Kian Bu berkata, “Paman, jangan kalian khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!” Kian Bu bicara penuh semangat.

“Ahhh, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira...“

“Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan.”

“Betapa pun juga, kami harus menengoknya.”

“Kalau begitu, marilah, Paman.”

Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya…..

********************

Ketika mereka baru tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan, “Sute...!”

Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang yang berpakaian pengemis, yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!

“Suheng...! Kau kenapa...?” Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu.

Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. “Celaka,” katanya. “Gadis setan itulah yang melakukannya!”

Siauw Hong terkejut sekali. “Seorang gadis…? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng?” Tentu saja Siauw Hong terkejut bukan main. Suheng-nya itu, Gu Sin-kai, adalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!

Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, “Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya.”

Memang nama Kao Liang amat terkenal, apa lagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sute-nya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat. “Ahh, kiranya Kao tai-ciangkun...“

Kao Liang tersenyum. “Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang panglima, bahkan prajurit pun bukan.”

Gu Sin-kai mengangguk. “Maafkan saya, Kao-enghiong.” Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. “Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan lalu mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...“

“Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam?” tiba-tiba Kian Bu bertanya.

“Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap?” tanya Gu Sin-kai.

Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar sekali diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.

“Mari kita cepat naik ke puncak!” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.

Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain lain tiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan.

Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak mengijinkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka.

Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka.

Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.

“Ceng Ceng...!” Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya.

Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut ‘subo’ oleh Hwee Li, mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Ada pun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.

Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru. “Tahan...! Kita berada di antara teman sendiri!”

Ceng Ceng menahan gerakannya dan sekarang dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih, “Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku? Aku Suma Kian Bu...“

“Ohhhhh...!” Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. “Ahhh, kiranya Paman...,“ katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.

“Ceng Ceng...!”

Wanita itu terkejut dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula.

“Twa-so...!” Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.

“Ayah...! Adik Tiong dan Adik Han...!” Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. “Ayah di sini?” Dia cepat memberi hormat.

“Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak mencari kalian di utara.”

“Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini?”

Bekas jenderal itu menarik napas panjang. “Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu...” Dia menoleh ke arah Kian Bu. “Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi?”

“Benar, Ceng Ceng, mengapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua tadi bertempur?” Kian Bu juga bertanya.

“Ahhh, semua ini adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kau ceritakan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!” Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan sapu tangan.

Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, “Ehh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini?” Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita mau pun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar benar seperti seorang anak kecil! “Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalah pahaman ini diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?”

Hwee Li tersenyum. “Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?”

“Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu.”

“Ahhh, bagaimana dengan dia? Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa... dia terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan tetapi... para jembel ini...“

“Hwee Li!” Ceng Ceng menghardiknya.

Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. “Subo, harap Subo lihat pakaian mereka,” dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, “Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel?”

“Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!” kembali Ceng Ceng menghardik. Sering kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguh pun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subo-nya.

“Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem... ehh, oleh kakek itu.” Dia lalu menuding ke arah Gu Sin-Kai. “Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya...!” Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!

“Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya.”

“Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman,” kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya.

Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.

“Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami,” Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. “Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apa lagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya.”

Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, “Paman Kian Lee terluka parah...?” Dia bertanya.

“Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah.”

“Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku? Ahhh, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!”

Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apa lagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar.

Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, “Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biar pun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi satu.”

“Aku akan menengoknya lebih dulu!” Hwee Li sudah melangkah maju.

Melihat ini, yang lain mengalah dan menyaksikan sikap muridnya itu diam-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.

Hwee Li melangkah perlahan. Dia mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu, dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya.

Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk.

“Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li,” kata Kian Lee wajah gembira.

Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. “Kau masih mengenali aku?” Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.

“Tentu saja, apa lagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantu dia mencari jamur panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li.”

“Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi? Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan engkau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil adikmu itu! Ingin aku mengetuk kepalanya karena dia berani memukulmu seperti ini!”

Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela.

“Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Ehhh, kau dari mana saja, Hwee Li? Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan sudah dewasa.”

Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. “Benarkah kau tidak melupakan aku? Aku telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu, adikmu.”

Selama ini Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa tersinggung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li bercerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan kenesnya, mata itu bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap.

Jodoh Rajawali Jilid 12


“Subo dan Suhu sekarang mencari-carinya...“

Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. “Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama.”

“Akan tetapi siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee?” Hwee Li membantah.

Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, “Paman, siapakah yang akan mengunjungi aku?”

“Ada Panglima Kao Liang di luar...“

“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, “Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk.”

“Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih senang bicara dengan dia dari pada dengan aku?”

Kian Lee tersenyum. “Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah lama menanti sejak tadi.”

Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!

Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya, dan kemudian mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, “Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari.”

“Ahhh, Lo-ciangkun terlalu sungkan...”

“Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...“

“Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalah pahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar semua rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami.”

Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh.”

“Terima kasih.”

Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.

Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.

“Kau... kau... Ceng Ceng...?” Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.

Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajah tampannya itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.

“Paman...!” Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang tetap duduk di atas pembaringan. “Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee.”

“Ehh... ehhh..., Ceng Ceng, bangunlah...!” Kian Lee berseru gugup. “Ha-ha-ha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, kau bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...“

Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit kemudian duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana keadaanmu? Mana suamimu dan apakah engkau sekarang telah menjadi seorang ibu yang baik?”

Ceng Ceng mengangguk-angguk kemudian bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. “Paman, keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman.”

Suma Kian Lee tersenyum. “Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong.”

“Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku.”

“Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”

Ceng Ceng hanya mengangguk.

“Hebat sekali!”

“Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang,” kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana sini, meraba sana sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.

Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri!

Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!

Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."

Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."

Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng kemudian menceritakan hasil pemeriksaannya.

"Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau sudah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu."

Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu?"

"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, sangat kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."

"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum.

Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat ia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati tetapi cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu tentang racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini, Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.

Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.

Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang malah berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.

"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya.

Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.

Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak.

"Brakkk!"

Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil?"

Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya."

Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapa pun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh rasa kekhawatiran kalau dia mengingat akan puteranya yang hilang.

Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggota keluarganya diculik orang.

"Ehhh...!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat?"

Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.

"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"

"Ahhh...!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.

"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orang-orang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."

"Ahhh... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki?"

"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Marilah kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."

Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu, oleh karena hanya kepada pendekar inilah mereka bisa menggantungkan harapan. Mereka kemudian meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.

Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang sangat keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Ada pun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Dan Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.

Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat dari Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan kedua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!

Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini kemudian memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman.

"Terima kasih... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah membantu mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."

Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."

Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada kedua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apa lagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hidup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya... ahhh, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.

Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu kemudian mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis, namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggota keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang.

Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya. Kamar-kamar itu digunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.

Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain dari pada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini?"

"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."

Kamar itu memang megah, diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biar pun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi.

"Itu adalah kumpulan gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.

Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong?" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"

Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya lalu menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.

"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki," kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan mana pun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."

Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia?"

Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.

"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong..."

"Heeei... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu.

Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.

"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati dalam keadaan sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.

"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku."

Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut. Di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu..."

"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.

Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ahh, benarkah itu, Nona? Di mana?"

"Tentu saja di tangan Sin-siauw Sengjin! Aku melihatnya beberapa bulan yang lalu."

"Benarkah itu? Sin-siauw Sengjin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Sengjin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia?"

Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kau tanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"

"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.

Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.

"Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah bersiap dan memandang marah.

"Siapa pun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.

"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"

Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subo-nya dan sejenak dua orang wanita itu saling ‘mengukur’ tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subo-nya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...," lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kau maafkan kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu?

Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!

"Paman Yu, benarkah itu... bahwa Sin-siauw Sengjin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong, jenazah muridnya she Khu, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar supaya kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."

"Ah, mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."

Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera..."

"Ahhhhh...!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.

"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak pernah mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.

"Ehhh, bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.

"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-siauw Sengjin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apa bila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."

"Koai-lojin..." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.

"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia...?" Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.

"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang asli sebenarnya? Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Sengjin? Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!

"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siauw Sengjin?" Sai-cu Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu.

Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal. Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar Kam Liong.

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin.

Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tidak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo dengan wajah seram-seram sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Sengjin yang jumlahnya lima orang.

Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan berseru, "Ayah...! Aku berada di sini!"

Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang sendiri!"

Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Sengjin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang seram-seram itu pun mundur dan berkelompok.

Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.

"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat... hebat..."

"Ayah, aku bersama Subo di sini..."

"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."

"Ahhh, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo...!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan kepada subo-nya, melainkan kepada Kian Lee!

"Hushhh! Sudah lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu? Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku..." Aneh sekali, kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar seperti mengandung isak!

"Hwee Li, kau tahu bahwa Subo-mu dan Suhu-mu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti kau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."

Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah?"

Kian Lee terkejut. Tidak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu dapat merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!

"Ehhh... ini... ini... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya jikalau engkau ikut bersama ayahmu sebab aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis itu.

Mulut itu makin cemberut. "Tapi... kita baru saja saling berjumpa... dan kau baru saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."

"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui, dan... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah?"

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang. Tidak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab, itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.

"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada orang yang membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua orang bergidik mendengan ucapan ini, apa lagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.

"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi.” Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus pergi?"

Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.

"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng.

Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama ayahnya.

"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.

"Heiii, Hwee Li, aku ikut...!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.

"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung pada benda halus hitam yang telah mengait pada kaki garuda yang baru terbang tadi. Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.

Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Sengjin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.

"Sengjin, apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini?"

Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi, "Ehhh, kakakku, Sin-siauw Sengjin, apakah yang terjadi? Lihatlah dia itu..." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu? Mengapa tidak kau bawa bersamamu? Ahhh, tentu dia sudah dewasa sekarang!"

Sin-siauw Sengjin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air matanya.

"Kai-ong adikku yang baik... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang...," akhirnya kakek tua renta itu berkata.

Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. "Apa... apa maksudmu... Twako?"

"Cucumu... cucumu itu... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang... sampai sekarang..."

"Ahhh...!" bagai tersengat Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sin-siauw Sengjin.

"Sengjin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dahulu dan kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Sengjin, diajak naik ke puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu.

Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Sengjin, Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Sengjin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu adiknya itu menyembunyikan diri agar supaya jangan terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.

Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Sengjin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri..."

Sin-siauw Sengjin memandang dengan kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...," katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.

"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."

"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kau ketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu..." Dia berhenti sebentar.

"Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ahh, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andai kata aku sudah berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat..."

Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata, "Kongcu... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan... leluhurmu..." suaranya seperti tercekik keharuan.

Siauw Hong balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.

Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Sengjin, "Twako, di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."

Sin-siauw Sengjin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk angguk. "Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini kubuka saja di depan orang-orang gagah."

Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri!

Dengan perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa adiknya, Kian Bu tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak terhadap Sin-siauw Sengjin, dan memang benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari Menteri Kam Liong di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama orang orang itu adalah Sin-siauw Sengjin!

Dia merasa tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini dikalahkannya akan merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok antara mereka. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini karena kalau terjadi demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang begitu baik. Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.

Sin-siauw Sengjin mulai dengan penuturannya…..

Kakek besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong, menyelamatkan pusaka-pusaka Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya she Khu, menguburkan mereka di tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia memperdalam ilmu-ilmunya dari kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia menjadi seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan dicari dan diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat rahasia, dan dia telah membuat beberapa buah suling dan kipas palsu, juga kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang asli, lalu menyimpan pusaka-pusaka palsu itu di beberapa tempat.

Hal ini dilakukannya untuk menjaga keamanan yang asli dan memang dugaannya tidak meleset karena banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa pusaka palsu itu sempat dirampas orang. Akan tetapi pusaka yang asli tetap di dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia, dan hanya diketahui oleh dia sendiri dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh dan tak diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa Gu Toan mempunyai seorang anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu.

Dan akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan seorang di antara mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka Suling Emas yang aslinya selamat bersama anaknya yang juga menyembunyikan diri, bahkan tidak berani mengaku she Gu!

Mendengar penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya yang dulu bernama Lulu, ternyata telah ‘mewarisi’ kitab-kitab Suling Emas yang palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari kuburan keluarga Suling Emas seperti yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini diserang orang yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan agaknya hal itu disengaja Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang memperebutkan pusaka itu ke arah lain.

Dan juga ibu tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu Toan, hanya menerima suling yang palsu saja, biar pun benar-benar terbuat dari emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, ternyata telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong itu!

"Betapa berat tugas nenek moyang kami..." Sin-siauw Sengjin kemudian melanjutkan penuturannya dan kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya karena kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami she Gu agar jangan dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa, mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu..." Kembali dia kelihatan lelah sekali dan menarik napas panjang. "Itu masih belum berapa sukar. Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan keturunan dari Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang anak laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat mengembalikan pusaka kepadanya."

Kian Lee yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan itu, mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil menundukkan kepalanya, hanya mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek Sin-siauw Sengjin atau kepada gurunya, Sai-cu Kai-ong.

"Sungguh amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika ternyata bahwa keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat! Kami tak boleh memaksa, dan kami harus meneliti bakat mereka tanpa membuka rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini, keluarga she Kam hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami sebagai keturunan she Gu yang melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh lain orang, kecuali oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang, seorang sahabat baik dari keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu berhenti sebentar, kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih terus mendengarkan sambil menundukkan mukanya.

"Kam-kongcu, bolehkah saya melanjutkan?" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap hormat.

Semua orang terkejut mendengar ini. Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah menjadi ‘rekannya’ ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam, keturunan dari pendekar sakti Suling Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.

"Budi keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan sedalam lautan, demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Locianpwe dan Suhu saja." Setelah memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak.

Kini Kian Lee dapat melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam kesederhanaannya. Maka dia merasa kagum sekali.

Sin-siauw Sengjin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat, "Setelah menanti sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya dapat menemukan bakat itu di dalam diri Kam Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena saya sendiri masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan meluaskan pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat tinggi, saya mempercayakannya kepada sahabat saya yang telah saya percaya penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kam-kongcu, sekarang hendak saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kau lanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu…"

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang, kemudian memandang muridnya. "Siauw Hong, betapa pun juga engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia kepada keluargamu sehingga dahulu timbul akal mereka untuk menyerahkan engkau kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang selalu menyelidiki pusaka Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa engkau keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan kepadaku untuk menjadi muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu Hwi yang kutitipkan kepada Sin-siauw Sengjin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit, engkau hidup sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan tentang tali perjodohan itu agar hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga." Kakek berpakaian sederhana itu menarik napas panjang.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 13