Jodoh Rajawali Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 02
Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang!

Salah seorang di antara yang tak senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, yaitu putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apa lagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk ‘menjatuhkan’ saingannya yang dia tahu amat sakti itu.

Dan pada hari itu, datanglah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Pada saat mata-matanya memberi tahu tentang kemunculan seorang wanita kasar yang mengaku ‘ibunda’ dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.

Ang Siok Bi masih marah-marah saat dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya. Panglima muda itu kemudian berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap sedia untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya.”

“Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!” Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.

“Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya hal begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio.”

Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, “Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apa lagi engkau yang hanya sahabatnya.”

“Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apa bila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu sekali mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain dikarenakan adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sebenarnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apa bila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau sudah tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja.”

“Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?” Ang Siok Bi bertanya marah.

“Sri Baginda hanya memandang pada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka dari itu Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan.”

Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, “Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!”

Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi ia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!

Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biar pun cantik dan gagah, akan tetapi kasar dan tidak menghormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya!

Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, “Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?”

“Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,” jawab Ang Siok Bi.

“Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?”

Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, “Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!”

Raja makin terkejut dan makin tidak senang. “Apa maksud Nyonya?”

“Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggota luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu sudah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!”

“Cukup...! Pengawal, cepat suruh dia pergi...!” Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi.

Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.

Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.

“Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat adanya per-siapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!” Tek Hoat berkata, namun hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.

“Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapatkan keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,” Sri Baginda berkata. “Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?”

“Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,” jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.

“Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemmm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu men-jawab, “Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri kedua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba.”

“Siapakah nama Ayah kandungmu?”

Tek Hoat terkejut. Tidak disangkanya dia akan ditanya sampai begini melilit tentang keluarganya. “Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu.”

“Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?”

Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andai kata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.

“Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi.”

Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, “Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?”

Kalau saja ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Tiba-tiba dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk.

Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, “Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapa pun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.”

“Brakkk!” Raja Bhutan menggebrak meja di depannya.

“Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau sudah berjasa bagi negara ini, dan kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan ini? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana pula kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!”

Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.

“Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka pada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?”

“Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kau bawa pulang ke negerimu!”

Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. “Sri Baginda! Ini sudah sangat keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!”

Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. “Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!”

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apa bila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu.

Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Lagi pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Ia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.

“Syanti Dewi, selamat tinggal...!” Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar dari negara Bhutan pada hari itu juga.

Diam-diam dia merasa berduka sekali karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.

Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya amat perih. Kadang-kadang, jika rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.

Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya akibat terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!

“Ma (Ibu)...!” Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.

Tidak ada jawaban.

“Ibu...!” Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok.

Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu.

Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun bewarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar.

Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang telah membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih amat dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Segera dia bergidik.

“Ibuuu...! Mula-mula ia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang. “lbuuuuuu...!”

Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih amat kuat. Teringat dia akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu.

Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.

Tek Hoat memeriksa sekali lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguh pun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin itu jarum yang digores-goreskan. Dia cepat-cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir pembaringan, di mana terdapat tulisan itu.

‘Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...’

Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa?

Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang ia dapat menangis, biar pun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Sejak saat yang laknat itu ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja kalau ibunya menanggung dendam yang tidak pernah terbalas itu, dan tidak pernah dapat melupa-kan dendamnya.

Mula-mula kepada Gak Bun Beng karena menyangka orang itu adalah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya mampu bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang amat sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah menolaknya!

“Ibu... ahhh, Ibu, ampunkan anakmu... ini!” Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?

Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!

Dan ibunya yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Tetapi ke mana dia harus mencari? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.

Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa-sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya.

Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana…..

********************

Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.

Akan tetapi, betapa pun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga masih mengkhawatirkan keselamatan kedua orang puteranya yang harus menghadapi musuh sangat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.

Nelayan ini terkejut ketika melihat orang yang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan ke dalam perahunya dengan susah payah. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang lantas pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.

Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ketiga jenderal itu dapat bangun dari pembaringan dan dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan serta isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.

Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang sangat dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana!

Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orang-orang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tak pernah tahu atau tak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang-orang yang berkebudayaan, sebagai orang-orang yang beradab, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!

Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta.

Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun Pasir Go-bi! Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup lagi.

Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan prajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!

Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main.

“Kok Tiong! Kok Han...!” Dia berteriak sambil berlari ke depan.

“Ayahhhhh...!” Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari.

Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia lalu menepuk pahanya. “Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut!“

“Siapa, Ayah?” Kok Tiong dan adiknya bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh.”

“Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong.

“Hemm... si keparat kalau begitu!” Jenderal Kao Liang mulai percaya.

Sungguh pun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati pula me-lakukan perbuatan yang jahat itu. Jika hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?

“Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang sangat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian.”

“Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.

“Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.”

Maka berangkatlah ayah beserta anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka.

Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.

Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, “Kiranya kau... kau keparat, penjahat muda Suma!”

Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, salah seorang putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.

Suma Kian Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apa lagi mereka lantas menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.

“Ehh... ehh... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu.”

Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu.

Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya. Lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang yang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seakan-akan menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata, “Kao-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara.”

“Mau bicara apa lagi, keparat keji?!” Jenderal Kao membentak dan ia lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.

“Bangsat rendah!” Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.

“Mampuslah kau, setan jahat!” Kok Han membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang.

“Ahhhhh...!” Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.

Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang. “Ahhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.”

Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang kedua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti.

Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kian Lee juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan keponakannya yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.

Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir dan batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pulau Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.

Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya dapat mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.

Dia akan mencari adiknya. Membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu sudah dewasa, bukan setengah anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!

“Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau...!” Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya.

Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.

Ketika tiba di dekat Sungai Huangho, di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu.

Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara mendadak dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!

Diserang mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.

Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalah pahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini!

Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan cara sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu dalam sebuah lubang, kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!

“Hemmm...!” Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakan dirinya dan kini mengerahkan pasukannya? Jika begitu, ia harus berkeras menuntut penjelasan kenapa jenderal itu bersikap seperti itu.

Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri.

“Apa artinya ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.

Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, namun kelihatan tubuhnya kokoh kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap.”

“Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa pula kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?”

“Ho-ho, orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!”

Kian Lee mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andai kata Jenderal Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?

“Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?”

Perwira itu membelalakkan mata, agaknya terheran-heran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini. “Jenderal Kao? Siapa yang kau maksudkan.” Dia sama sekali tak pernah menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao. “Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu.”

Diam-diam Kian Lee menjadi semakin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.

“Su-ciangkun, maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tidak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau menuduh aku membunuh.”

“Ha-ha-ha! Ho-ho…! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?”

“Namaku adalah Suma Kian Lee.”

“Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!”

Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. “Su-ciangkun, aku tak merasa bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?”

“Jadi engkau hendak melawan?!” Suciangkun membentak marah.

“Aku tidak hendak melawan dan bermusuhan dengan siapa pun, Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah.”

“Bagus! Kau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras dari pada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.

“Prakkk!” Batu itu pecah berhamburan!

Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kau gertak pun aku akan menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.”

“Keparat, kau menantang?” Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.

Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memapaki dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.

“Plak! Plak! Aduhhhhh...!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketika.

“Hayo tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh.

Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali!

Melihat pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk meniup alat itu dengan keras.

Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.

“Tidak kelirukah pendengaran kami barusan tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?” Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat sambil menjura.

Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, “Benar.”

“Ahhh, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar-besaran yang sudah terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa pula yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?”

Kian Lee menggelengkan kepalanya. “Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.”

“Heh-heh, bijaksana bijaksana...” Kakek yang berambut kemerahan itu berkata seperti pada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok.

Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, maka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat. “Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami supaya setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah. Selain Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk menghadiri pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.”

Kian Lee berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Ho-nan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di rumah gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.

“Terima kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.”

Dua orang perwira tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, “Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciu-lo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan).“

“Heh-heh, julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!” Kakek berambut merah itu menyela dan membalas penghormatan Kian Lee dengan anggukan kepala acuh tak acuh.

Kian Lee tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tidak acuh.

Mereka lalu berangkat, diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah tersedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah.

Pada waktu itu, yang menjadi gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selatan Sungai Kuning itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar oleh karena banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya banyak berjasa untuk kerajaan. Timbullah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah keterlaluan.

Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan masih mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah mulai langka terjadi. Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiunkan, hatinya makin panas dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.

Memang pada waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Gubernur Kui mengadakan penyambutan besar-besaran. Sejak jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan.

Dua orang perwira tinggi yang mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Rambut Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk bertugas di dalam sebagai pengawal pribadi gubernur.

Ditinggal seorang diri, Kian Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Tadi dia diberi tahu bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya.

Kamar itu memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar ke depan, ternyata kamarnya itu menghadap taman dan dari situ tampak banyak kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu diiringi yang-kim (alat musik bersenar) dari beberapa buah kamar tamu itu, diseling suara ketawa.

Kian Lee kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya tadi, dan kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.

Akan tetapi belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir saja pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada daun pintu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah ke pintu dan dengan amat hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang wanita muda yang amat cantik, tetapi melihat wanita itu membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini biar pun kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.

“Maaf, Kongcu. Saya bertugas melayani Kongcu dan hendak mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu.”

Kian Lee merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang cantik seperti itu, sungguh pun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang membawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu menurunkan mangkok piring dan masakan-masakan ke atas meja, mengatur hidangan di atas meja dengan sikap halus namun cekatan.

“Kongcu, silakan makan dan minum!” katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.

“Terima kasih,” Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu.

Masakan-masakan itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh. Hidangan yang cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apa lagi karena perutnya memang sudah lapar.

Tetapi pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu dengan langkah-langkah gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutup daun pintu dengan perlahan, kemudian dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti!

Kian Lee menelan ludah, merasa kikuk, lalu menoleh. “Eh, kau... kau... tidak pergi?”

Wanita itu memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, senyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, “Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!” Kembali dia tersenyum.

Kian Lee mengangguk, kemudian ia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah.

“Eh, mari kau duduk dan makan bersama!” katanya.

Wanita itu kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan, kelihatan dia malu sekali. “Aih, Kongcu, mana saya berani? Silakan Kongcu makan.“

“Ahh, mengapa tidak? Tidak enak sekali makan sendiri dan kau... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama.” Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang lebih mendalam!

Tentu saja pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin merah. “Harap Kongcu tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan,” katanya halus dan suaranya mendadak menjadi demikian menggetar seolah-olah mengandung kedukaan dan kegelisahan yang besar sekali.

Kian Lee terkejut dan meletakkan mangkoknya. “Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak engkau makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?”

Sejenak sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela napas panjang dan menjura. “Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu baik sekali. Terima kasih. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggu.”

Kian Lee mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanlta itu kini mengambil sebuah alat musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudlan menyetel senar-senarnya dan duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai makan. Biar pun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui pendengarannya. Tadinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya….



Kian Lee tersenyum seorang diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal yang tak enak, kini begini enaknya. Makan masakan yang lezat-lezat, diiringi musik yang merdu! Bukan main! Dia merasa sangat dimanja. Di Pulau Es pun tidak seperti ini hidupnya. Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Milana, kakak tirinya, dia pun tidak dimanja seperti ini!

Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah ke belakangnya, ketika dia mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan amat perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh senar senar yang-kim yang berkentring. Nyanyian itu memang indah, suara lirih itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-kata dari nyanyian itu.

Tiada ayah tiada bunda
tiada sanak keluarga
badan sendiri nyaris binasa!
Apa daya si dara lemah
cintanya bertepuk tangan sebelah
mengubur diri dalam keluh-kesah!
Pendekar sakti penolong nyawa
yang disanjung dan dipuja
telah jauh meninggalkannya!


Nyanyian itu demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu kini bernyanyi sambil menangis!

Kian Lee mengakhiri makannya, meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu.

“Nona...!” dia memanggil.

Gadis itu masih terus bermain yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim.

“Nona..., hentikan permainan yang-kim itu!” Kian Lee kembali menegur.

Suara yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kim-nya dan menghampiri meja. “Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?” tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.

Kian Lee mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, dan menumpuknya di atas baki, kemudian berkata, “Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?”

Kian Lee menggeleng dan hanya memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, keponakannya atau bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal.

Nyanyian gadis pelayan itu menbangkitkan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang harus menderita sengsara karena cinta? Apakah memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa.

Daun pintu terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.

“Mengapa ditutup?” Kian Lee menegur.

“Agar tidak nampak dari luar. Kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka,” jawabnya halus dan tanpa diperintah gadis itu kemudian membuka daun jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak sebagian.

“Nona, kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri.”

Gadis itu memandang Kian Lee, lalu dia menjawab sambil menunduk, “Saya bertugas melayani Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya... saya senang di sini melayani Kongcu...”

“Hemmm... sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?”

Gadis itu mengangkat muka memandang, merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguh pun amat manis. “Tentu saja, Kongcu.”

“Nah, kalau begitu, sekarang aku ingin mengajakmu omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi nyanyianmu tadi.”

“Ehhh...?” Gadis itu memandang heran.

“Maksudku, aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam meninggalkannya.”

Gadis itu menunduk. “Kongcu... itu hanya... hanya nyanyian... dongeng...”

“Hemmm, perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi.”

“Ohhhhh...“ Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya.

Kian Lee mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata bagai mutiara yang berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak perlahan menuruni kedua pipinya.

“Nona, aku bisa menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak percaya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yang baik.”

“Ahhh... Kongcu...!” Gadis itu mengusap air matanya, dan kemudian mengangkat muka memandang. “Harap maafkan saya... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik.”

“Kalau begitu, kau katakanlah, siapa dara yang kau nyanyikan tadi?”

Gadis itu kembali menunduk. “Dia... dia... adalah saya sendiri, Kongcu.”

“Hemmm..., sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?”

“Dia... dia... adalah penolong saya...“ Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk, kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan mengangkat muka, lalu berkata, “Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga orang adik-adik saya...“ Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata kembali meloncat ke luar.

Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteramkan hatinya yang tentu saja dilanda kedukaan saat mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi dia bernyanyi “Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga”, kiranya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok jahat!

“Saya sendiri kemudian diculik oleh perampok-perampok itu, dan dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan dari pada kematian sendiri, akan tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, muncullah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada dia... ahhh, ngeri saya membayangkan.“

“Hemmm, lalu bagaimana?” Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta kepada penolangnya itu.

“Penolong saya itu tentu saja mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi perampok yang suka mengganas itu. Dan saya... oleh penolong saya itu saya lalu dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis... kemudian... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini...“

“Hemmm, dan kau lalu bekerja sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di sini?”

“Tidak, tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali... saya menjadi seorang pelayan yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri... sebagai seorang pelayan... dan saya kadang-kadang harus melayani tamu-tamu...“

“Aku mengerti, Nona. Ehh, bolehkah saya mengetahui namamu?”

“Nama saya Cui Lan, Phang Cui Lan”

“Nama yang indah sekali, Cui Lan. Tetapi mengapa... mengapa... kau tadi bernyanyi mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?”

“Kamar ini, Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya yang selalu membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia... dia pergi. Dan kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan, kalau-kalau... dia datang kembali ke sini..., akan tetapi sekarang kamar ini dibuka oleh karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu yang dipersilakan bermalam di sini....“ Suaranya gemetar.

“Siapa nama pendekar penolongmu itu?”

“Itulah yang menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu nananya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan tetapi berwarna putih seperti perak, dia... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia.”

Kian Lee meraba dahinya dan mengerutkan alisnya. “Masih muda, rambutnya putih terurai, dan lihai sekali? Hemmm... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?”

“Benar!” Dara itu berseru penuh harapan. “Apakah Kongcu sudah mengenalnya?”

“Sayang sekali belum. Apa lagi mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang saja...“

Tiba-tiba Kian Lee segera menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang sekejap menoleh ke dalam, seperti orang menjenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil, “Ehmmm...“

Wajah Kian Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu kini sudah memasuki taman, menyeberangi sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di tikungan bangunan. Kian Lee memasuki kamarnya lagi.

“Siapa dia?” tanya Kian Lee kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.

“Yang menjenguk tadi?” Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. “Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, semenjak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu.”

“Hemmmmm...“ Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis lebat itu.

Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pintu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee memandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat salah seorang di antara mereka yang dikenalnya.

Seorang wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara. Sinar matanya tajam dan kerlingnya menyambar-nyambar ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li Si Siluman Kucing, wanita yang lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka!

Wanita ini merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang penting. Mau apa wanita tokoh sesat yang amat berbahaya itu berkeliaran di sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa penting di tempat ini pikirnya.

Cepat dia masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi sesuatu yang hebat. Dia harus waspada.

“Sudahlah... Cui Lan. Sekarang lebih baik kau tinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang akan menduga jelek kepadamu.”

“Tetapi, Kongcu…. saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu,“ kata gadis itu mulai basah dengan air mata. “Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi, saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya malah akan disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus menerus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya tetap berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut...“

Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. “Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan.”

“Tidak, kalau di sini saya tentu tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu saya.“

“Hemmm, baiklah... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan.”

“Mengasolah, Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?”

“Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi karena menyanyikan lagu yang sedih itu.” Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun.

Tentu saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya Kian Lee bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur, bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan.

Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.

Selain sinar bulan yang belum terlalu tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah.

Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masing-masing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah seram-seram, kelihatannya lihai dan angkuh gerak-geriknya.

Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan yang terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apa bila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu.

Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai bercakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatar belakangi suara musik yang meriah.

Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang umurnya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang kedudukannya tertinggi, dia tidak langsung menyambut tamu sendiri, tetapi diwakili oleh pembesar-pembesar bawahannya dan ia hanya duduk sambil mengangguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak!

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung.

Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman dengan senyum di bibir dan matanya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah. Melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias oleh banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggota pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi.

Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak.

Di belakang Gubernur Hok ini berjalan para pengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Ho-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok.

Akan tetapi Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada pemuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama.

Setelah masuk di ruangan itu, tiba di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan leng-ki (bendera utusan atau wakil kaisar) dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.

“Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,” Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara.

Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pangeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng dari pada peraturan yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan dihancurkan sampai ke akar-akarnya.

Baru saja membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui siapa orangnya yang mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi itu.

Pangeran Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa, “Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?”

Tentu saja tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biar pun ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke depan.

“Hemmm, tidak ada yang mau mengaku, ya?” Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari Ho-pei dan memberi isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu.

“Baik, akan hamba tangkap dia!” Orang bermata sebelah ini mengangguk.

Tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan terbang menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Segera dia mengangkat lengan menangkis.

“Dukkkkk!” Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka terjadilah pertandingan antara Si Mata Satu melawan orang ini.

Kian Lee mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, lakl-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari Ouw-teetok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang bermuka hitam yang agaknya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara dia dan Si Mata Satu itu berjalan seru dan dahsyat.

Biar pun di situ terdapat banyak orang, bahkan banyak juga orang pandai, di antaranya terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak berlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu dapat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam.

Pertandingan makin seru, namun para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Dan kedua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini, mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan sakti, pukulan-pukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya mendatangkan angin bersuitan itu.

Bu Ok Ti mulai meloncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti.

Tok-gan Sin-ciang lalu menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian dapat melihat ini semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan terguling roboh!

Gegerlah keadaan saat Tok-gan Sin-ciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sin-ciang adalah ketika lewat di depan Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri lalu menangkis dengan tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjengkang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu sedemikian hebat tenaga sinkang-nya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat dari pada pertempuran yang tadi.

Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mauw Siauw Mo-li terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan sekarang dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biar pun Mauw Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya.

Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat indah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan menggunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang karena maklum bahwa ‘selendang’ hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan.

Sambil mengeluarkan suara aneh seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke belakang. Namun ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke arah punggungnya.

“Tranggg...!”

Untung dia cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu bukan hanya tempat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana kaisar itu.

“Penjahat pemberontak!” Komandan kedua dari pasukan Kuku Garuda yang jenggotnya lebat sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo hingga sekarang pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.

Keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan telah menerima perintah kemudian maju, disambut oleh pasukan pengawal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat.

Kian Lee juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia sangat mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan bersiap untuk menolong apa bila pangeran itu terancam bahaya.

********************

Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-diam telah mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan.

Pada suatu senja yang dingin. Musim dingin sudah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopiah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga. Hanya orang-orang yang punya keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan api di dalam perapian.

Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguh pun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa di bawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu dimekarkan untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak sesuatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dari langit biru sampai air empang teratai dalam taman yang tak bergerak sedikit pun, nampak lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu.

Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang sangat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana. Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah menggairahkan itu membayangkan kekerasan hati.

Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apa lagi setelah puteri yang tadinya dianggap sudah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia!

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu.

Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, muncullah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan.

Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya.

Demikianlah, Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi.

Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi, berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biar pun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung. Tentu saja raja dan ratu merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.

“Syanti Dewi, ingatlah bahwa kau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?” berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.

“Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?” berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan.

“Tentu dia malu!” kata Sri Baginda Raja. “Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.”

“Tidak, Ayah... tidak...“ Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. “Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!”

“Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!” Sri Baginda berkata marah.

“Aku tahu, aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?”

Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mencari kekasihnya, tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapa pun juga memasuki istana puteri. Apa lagi manusia, seekor kucing pun tak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.

Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya.

“Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan,” demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya. “Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu.”

“Ayah...!” Syanti Dewi hanya dapat menangis.

Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani memaksa, apa lagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa kedukaan tak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti. Betapa dia tidak akan bersabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang yang kedudukannya paling tinggi di kerajaan itu?

Demikianlah, sampai empat tahun lamanya semenjak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!

Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orang-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat penjagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap.

“Sssttttt, lihat dia itu...!” Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang.

Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan sebagai tanda kekaguman jika mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Oleh karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang sedang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang. Kepala mereka menjeguk ke luar dan dengan terbelalak mata mereka memandang menembus kesuraman senja.

“Waduh cantiknya...!” kata seorang.

“Bukan main! Manis sekali...!”

“Tubuhnya... amboiiiii...!”

“Mati aku... lenggangnya...“

“Wah, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!” Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.

“Dan tidak hujan tidak panas dia memakai payung!”

“Wah, wah... sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?”

“Cantik jelita, malam-malam tidak hujan pakai payung, sedingin ini berpakaian tipis pula tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !”

“Hihhh...!”

Semua orang mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka, yaitu seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang tegang hatinya!

“Hemmm, mencurigakan. Anak-anak, siap!” Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.

Tak salah penjaga yang sambat mata melihat lenggang itu. Memang bukan main! Bagai harimau lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!

Wanita itu kini makin dekat, dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian tipis dari kain sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu penuh daya pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak perasaan yang menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat masak.

Seorang dara yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya, namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa kata.

Kalau saja para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak ada hujan, tiada panas memakai payung, ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri merupakan hal yang langka.

Kalau dara ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para prajurit penjaga yang terlatih dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan seenak-enaknya saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.

Akan tetapi, para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apa lagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka.

Si komandan gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. “Ehmmm, berhenti dulu, Nona!” katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan gerakan menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.

Wajah di bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang bergerak-gerak itu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceleguk bunyinya. Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah anggur masak yang segar.

Dengan bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari timur itu menjawab, “Mengapa aku harus berhenti? Bukankah ini merupakan jalan umum?” Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk.

Komandan gendut itu kembali menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari rambut yang hitam subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil. “Memang jalan umum, tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.”

Senyum manis itu melebar dan menjadi makin manis. “Ehh, apakah kau anggap aku mencurigakan?”

“Engkau seorang wanita muda berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan... ehhh, Nona... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita mengobrol heh-heh...” Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.

Dara itu tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguh pun pandang matanya tetap tersenyum dan dia lalu berkata, “Aihhh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat.” Dia membujuk.

Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut merasa mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu pun luput.

“Ehemmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih dapat membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!”

“Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!”' terdengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu.

Tak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya, namun mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu.

Kembali dara jelita itu menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong. “Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kulihat engkau gendut bundar mirip katak!” Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan. “Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?” Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.

“Katak...?”

“Katak gendut...?”

“Katak...!

“Heiiiii! Ada katak...!”

“Dari mana datangnya katak raksasa ini?”

“Wah, jangan diserang! Lihat celananya... ehh, dia...!”

Semua penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksasa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah berkedip.

Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya tadi terdapat seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!

“Heiii...!” seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan lalu berseru ketika melihat gadis itu.

Semua orang juga menengok. Dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!

“Hei, tunggu dulu...!” Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat.

“Tangkap...!”

“Dia tentu siluman...!”

Lima belas orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi katak raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini berlari mengejar dengan senjata di tangan.

Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas pundaknya. Kini payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Kalian ini sebetulnya mau apa sih?”

Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis menahan kaki mereka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semua menahan napas, mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau gila.

Mereka adalah prajurit-prajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan seram kalau melihat wajah wanita itu?

Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, bagai bidadari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu ‘polos’, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata, hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka polos seperti itu!

“Hihhhhh... hu-hu-huuhhhhh...“ Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu.

Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apa lagi ketika mereka melihat ‘katak raksasa’ tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca!

Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, lalu tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.

“Hi-hik, orang-orang tolol...!” bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan ‘kedok’ atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.

Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, “Ehh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!” Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.

“Tapi... tapi... dia... siluman”

“Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita pasti celaka!” Si komandan membentak dan para anak buahnya sadar.

Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.

“Kejar...!”

“Tangkaaapppp...!”

Berserabutan mereka berlari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.

“Siluman...!” Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.

“Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!” Si komandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana...


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 03


Jodoh Rajawali Jilid 02

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 02
Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya dengan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabarnya seorang petualang!

Salah seorang di antara yang tak senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, yaitu putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apa lagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk ‘menjatuhkan’ saingannya yang dia tahu amat sakti itu.

Dan pada hari itu, datanglah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Pada saat mata-matanya memberi tahu tentang kemunculan seorang wanita kasar yang mengaku ‘ibunda’ dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.

Ang Siok Bi masih marah-marah saat dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya. Panglima muda itu kemudian berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap sedia untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya.”

“Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!” Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.

“Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya hal begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio.”

Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, “Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apa lagi engkau yang hanya sahabatnya.”

“Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apa bila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu sekali mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain dikarenakan adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sebenarnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apa bila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau sudah tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja.”

“Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?” Ang Siok Bi bertanya marah.

“Sri Baginda hanya memandang pada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka dari itu Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan.”

Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, “Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!”

Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi ia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!

Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biar pun cantik dan gagah, akan tetapi kasar dan tidak menghormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya!

Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, “Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?”

“Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho,” jawab Ang Siok Bi.

“Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?”

Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, “Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!”

Raja makin terkejut dan makin tidak senang. “Apa maksud Nyonya?”

“Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggota luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu sudah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!”

“Cukup...! Pengawal, cepat suruh dia pergi...!” Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi.

Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.

Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.

“Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat adanya per-siapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!” Tek Hoat berkata, namun hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.

“Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapatkan keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,” Sri Baginda berkata. “Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?”

“Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,” jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.

“Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemmm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu men-jawab, “Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri kedua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba.”

“Siapakah nama Ayah kandungmu?”

Tek Hoat terkejut. Tidak disangkanya dia akan ditanya sampai begini melilit tentang keluarganya. “Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu.”

“Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?”

Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andai kata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.

“Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi.”

Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, “Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?”

Kalau saja ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Tiba-tiba dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk.

Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, “Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapa pun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.”

“Brakkk!” Raja Bhutan menggebrak meja di depannya.

“Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau sudah berjasa bagi negara ini, dan kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan ini? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana pula kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!”

Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.

“Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka pada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?”

“Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kau bawa pulang ke negerimu!”

Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. “Sri Baginda! Ini sudah sangat keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!”

Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. “Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!”

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apa bila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu.

Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Lagi pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Ia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.

“Syanti Dewi, selamat tinggal...!” Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar dari negara Bhutan pada hari itu juga.

Diam-diam dia merasa berduka sekali karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.

Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya amat perih. Kadang-kadang, jika rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.

Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya akibat terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!

“Ma (Ibu)...!” Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.

Tidak ada jawaban.

“Ibu...!” Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok.

Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu.

Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun bewarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar.

Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang telah membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih amat dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Segera dia bergidik.

“Ibuuu...! Mula-mula ia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang. “lbuuuuuu...!”

Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih amat kuat. Teringat dia akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu.

Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.

Tek Hoat memeriksa sekali lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguh pun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin itu jarum yang digores-goreskan. Dia cepat-cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir pembaringan, di mana terdapat tulisan itu.

‘Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...’

Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa?

Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang ia dapat menangis, biar pun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Sejak saat yang laknat itu ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja kalau ibunya menanggung dendam yang tidak pernah terbalas itu, dan tidak pernah dapat melupa-kan dendamnya.

Mula-mula kepada Gak Bun Beng karena menyangka orang itu adalah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya mampu bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang amat sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah menolaknya!

“Ibu... ahhh, Ibu, ampunkan anakmu... ini!” Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?

Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!

Dan ibunya yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Tetapi ke mana dia harus mencari? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.

Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa-sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya.

Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana…..

********************

Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas.

Akan tetapi, betapa pun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga masih mengkhawatirkan keselamatan kedua orang puteranya yang harus menghadapi musuh sangat lihai itu. Dalam keadaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hendak berangkat mencari ikan.

Nelayan ini terkejut ketika melihat orang yang hanyut, maka cepat-cepat dia menolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan ke dalam perahunya dengan susah payah. Begitu tubuhnya terguling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang lantas pingsan. Nelayan itu cepat mendayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho.

Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sadar. Nelayan itu bersama isterinya merawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ketiga jenderal itu dapat bangun dari pembaringan dan dia menghaturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan serta isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangunkan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu.

Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, seorang panglima perang Kerajaan Ceng yang sangat dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan makanan sehari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dulu saja, makanan nelayan ini masih lebih sederhana!

Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orang-orang kota, hidup berlebih-lebihan, sedangkan mereka itu sama sekali tak pernah tahu atau tak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang-orang yang berkebudayaan, sebagai orang-orang yang beradab, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, termasuk dia dahulu!

Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta.

Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun Pasir Go-bi! Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluarganya dan dia harus pergi ke sana karena untuk menyelidiki seorang diri, jenderal tua ini tidak sanggup lagi.

Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum tahun lalu, sebagai seorang panglima besar, dia dapat mengerahkan laksaan prajurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia lakukan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya!

Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki berjalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main.

“Kok Tiong! Kok Han...!” Dia berteriak sambil berlari ke depan.

“Ayahhhhh...!” Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari.

Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka bertiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan pengalaman mereka. Ketika Jenderal Kao mendengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu menyatakan kepada dua orang wanita Garuda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia lalu menepuk pahanya. “Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut!“

“Siapa, Ayah?” Kok Tiong dan adiknya bertanya.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat menjadi Panglima Bhutan dan menikah dengan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh.”

“Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong.

“Hemm... si keparat kalau begitu!” Jenderal Kao Liang mulai percaya.

Sungguh pun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati pula me-lakukan perbuatan yang jahat itu. Jika hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau memang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja?

“Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang sangat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian.”

“Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng.

“Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.”

Maka berangkatlah ayah beserta anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang mereka lalui selama ini karena selain hendak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu menuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka.

Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa tentu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kembali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah kuburan raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali.

Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka terkejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mereka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambilnya dari pinggir jalan dekat tempat pertempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, “Kiranya kau... kau keparat, penjahat muda Suma!”

Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, salah seorang putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerangnya.

Suma Kian Lee terkejut dan terheran-heran bukan main. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apa lagi mereka lantas menyerangnya dengan penuh kemarahan itu.

“Ehh... ehh... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat mengelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu.”

Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa yakin bahwa pemuda inilah yang telah melakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara berbareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu.

Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya. Lenyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang yang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pedang yang diinjaknya itu seakan-akan menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga batang pedang itu dan berkata, “Kao-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara.”

“Mau bicara apa lagi, keparat keji?!” Jenderal Kao membentak dan ia lalu menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram.

“Bangsat rendah!” Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya.

“Mampuslah kau, setan jahat!” Kok Han membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang.

“Ahhhhh...!” Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah menghindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri.

Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang. “Ahhh, betapa saktinya dia! Jelas bahwa kekuatan kita tak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma mengejar dia, lebih baik kita melanjutkan perjalanan mencari Kok Cu.”

Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Suma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinarnya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan sabar, namun dia selalu bersikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang kedua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti.

Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengerikan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kian Lee juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, mengalami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih keponakannya sendiri karena Ceng Ceng adalah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, seperti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Tentu saja tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan keponakannya yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu adalah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya.

Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir dan batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, memperdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adiknya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pulau Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seperti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal.

Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya dapat mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia.

Dia akan mencari adiknya. Membayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri. Kini adiknya itu pun tentu sudah dewasa, bukan setengah anak-anak seperti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk!

“Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau...!” Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya.

Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu.

Ketika tiba di dekat Sungai Huangho, di celah tebing itu dia melihat banyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu turun tangan menggali lubang besar dan menanam semua mayat itu.

Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika secara mendadak dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!

Diserang mati-matian dengan maki-makian dan agaknya dia dituduh melakukan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluarga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng menjadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir.

Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk membunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalah pahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan perbuatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini!

Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan cara sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu dalam sebuah lubang, kemudian menimbuninya dengan tanah sampai merupakan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan belakang diapit-apit tebing tinggi itu!

“Hemmm...!” Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakan dirinya dan kini mengerahkan pasukannya? Jika begitu, ia harus berkeras menuntut penjelasan kenapa jenderal itu bersikap seperti itu.

Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri.

“Apa artinya ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul.

Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, namun kelihatan tubuhnya kokoh kekar penuh dengan tenaga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kau masih menanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap.”

“Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa pula kesalahanku maka engkau memimpin pasukan hendak menangkap aku?”

“Ho-ho, orang muda yang pandai bicara! Sudah jelas engkau membunuh banyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!”

Kian Lee mendengar ini dengan perasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andai kata Jenderal Kao Liang menuduhnya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta menyerang tanpa bertanya lebih dulu?

“Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?”

Perwira itu membelalakkan mata, agaknya terheran-heran mendengar ucapan dalam pertanyaan ini. “Jenderal Kao? Siapa yang kau maksudkan.” Dia sama sekali tak pernah menduga bahwa yang dimaksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pemuda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao. “Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas menjaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu.”

Diam-diam Kian Lee menjadi semakin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditangkap karena semata-mata kelihatan mengubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka.

“Su-ciangkun, maafkan aku, akan tetapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tidak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau menuduh aku membunuh.”

“Ha-ha-ha! Ho-ho…! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau mengubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?”

“Namaku adalah Suma Kian Lee.”

“Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!”

Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. “Su-ciangkun, aku tak merasa bersalah bagaimana mungkin aku harus menyerah?”

“Jadi engkau hendak melawan?!” Suciangkun membentak marah.

“Aku tidak hendak melawan dan bermusuhan dengan siapa pun, Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah.”

“Bagus! Kau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras dari pada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu.

“Prakkk!” Batu itu pecah berhamburan!

Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kau gertak pun aku akan menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.”

“Keparat, kau menantang?” Su-ciangkun lalu menerjang ke depan, kedua tangannya menyerang dari kanan kiri sambil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar.

Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memapaki dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu.

“Plak! Plak! Aduhhhhh...!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketika.

“Hayo tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh.

Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa melukai berat, kemudian dia meloncat, tubuhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak merayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali!

Melihat pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang terjal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk meniup alat itu dengan keras.

Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan merayap terus sampai dia tiba di atas tebing. Akan tetapi baru saja dia melompat beberapa langkah, tiba-tiba di depannya berdiri seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang menetes-netes. Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat.

“Tidak kelirukah pendengaran kami barusan tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?” Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat sambil menjura.

Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, “Benar.”

“Ahhh, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar-besaran yang sudah terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa pula yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?”

Kian Lee menggelengkan kepalanya. “Saya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.”

“Heh-heh, bijaksana bijaksana...” Kakek yang berambut kemerahan itu berkata seperti pada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok.

Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, maka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat. “Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami supaya setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah. Selain Paduka Gubernur hendak berkenalan dengan orang-orang handal, juga untuk menghadiri pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.”

Kian Lee berpikir cepat. Dia menghadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan undangan Gubernur Ho-nan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di rumah gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat mendengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu.

“Terima kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.”

Dua orang perwira tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara mereka segera memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, “Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal kepercayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciu-lo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan).“

“Heh-heh, julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!” Kakek berambut merah itu menyela dan membalas penghormatan Kian Lee dengan anggukan kepala acuh tak acuh.

Kian Lee tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah kenyang akan pengalaman bertemu dengan orang-orang sakti di dunia kang-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tidak acuh.

Mereka lalu berangkat, diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah tersedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah.

Pada waktu itu, yang menjadi gubernur di Ho-nan, propinsi di sebelah selatan Sungai Kuning itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar oleh karena banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya banyak berjasa untuk kerajaan. Timbullah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah keterlaluan.

Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan masih mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah mulai langka terjadi. Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiunkan, hatinya makin panas dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu.

Memang pada waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Gubernur Kui mengadakan penyambutan besar-besaran. Sejak jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan.

Dua orang perwira tinggi yang mewakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Rambut Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk bertugas di dalam sebagai pengawal pribadi gubernur.

Ditinggal seorang diri, Kian Lee memeriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Tadi dia diberi tahu bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia dipersilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya.

Kamar itu memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ketika Kian Lee ke luar ke depan, ternyata kamarnya itu menghadap taman dan dari situ tampak banyak kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu diiringi yang-kim (alat musik bersenar) dari beberapa buah kamar tamu itu, diseling suara ketawa.

Kian Lee kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwa-peristiwa aneh yang dialaminya tadi, dan kalau mungkin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih mempunyai waktu setengah hari untuk mengaso.

Akan tetapi belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir saja pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada daun pintu kamar itu. Dia cepat bangkit duduk lalu melangkah ke pintu dan dengan amat hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang wanita muda yang amat cantik, tetapi melihat wanita itu membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini biar pun kelihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan.

“Maaf, Kongcu. Saya bertugas melayani Kongcu dan hendak mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu.”

Kian Lee merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang cantik seperti itu, sungguh pun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang membawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu menurunkan mangkok piring dan masakan-masakan ke atas meja, mengatur hidangan di atas meja dengan sikap halus namun cekatan.

“Kongcu, silakan makan dan minum!” katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik.

“Terima kasih,” Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bundar kecil itu.

Masakan-masakan itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh. Hidangan yang cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apa lagi karena perutnya memang sudah lapar.

Tetapi pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu dengan langkah-langkah gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutup daun pintu dengan perlahan, kemudian dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti!

Kian Lee menelan ludah, merasa kikuk, lalu menoleh. “Eh, kau... kau... tidak pergi?”

Wanita itu memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, senyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, “Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!” Kembali dia tersenyum.

Kian Lee mengangguk, kemudian ia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah.

“Eh, mari kau duduk dan makan bersama!” katanya.

Wanita itu kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan, kelihatan dia malu sekali. “Aih, Kongcu, mana saya berani? Silakan Kongcu makan.“

“Ahh, mengapa tidak? Tidak enak sekali makan sendiri dan kau... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama.” Kian Lee yang masih belum banyak pengalaman sehingga dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang lebih mendalam!

Tentu saja pelayan itu menjadi malu sekali dan mukanya makin merah. “Harap Kongcu tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan,” katanya halus dan suaranya mendadak menjadi demikian menggetar seolah-olah mengandung kedukaan dan kegelisahan yang besar sekali.

Kian Lee terkejut dan meletakkan mangkoknya. “Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak engkau makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?”

Sejenak sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela napas panjang dan menjura. “Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu baik sekali. Terima kasih. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggu.”

Kian Lee mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanlta itu kini mengambil sebuah alat musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudlan menyetel senar-senarnya dan duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai makan. Biar pun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui pendengarannya. Tadinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya….



Kian Lee tersenyum seorang diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal yang tak enak, kini begini enaknya. Makan masakan yang lezat-lezat, diiringi musik yang merdu! Bukan main! Dia merasa sangat dimanja. Di Pulau Es pun tidak seperti ini hidupnya. Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Milana, kakak tirinya, dia pun tidak dimanja seperti ini!

Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah ke belakangnya, ketika dia mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan amat perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyian yang diiringi oleh senar senar yang-kim yang berkentring. Nyanyian itu memang indah, suara lirih itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-kata dari nyanyian itu.

Tiada ayah tiada bunda
tiada sanak keluarga
badan sendiri nyaris binasa!
Apa daya si dara lemah
cintanya bertepuk tangan sebelah
mengubur diri dalam keluh-kesah!
Pendekar sakti penolong nyawa
yang disanjung dan dipuja
telah jauh meninggalkannya!


Nyanyian itu demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan sehingga Kian Lee tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hatinya ketika dia melihat gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu kini bernyanyi sambil menangis!

Kian Lee mengakhiri makannya, meneguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu.

“Nona...!” dia memanggil.

Gadis itu masih terus bermain yang-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim.

“Nona..., hentikan permainan yang-kim itu!” Kian Lee kembali menegur.

Suara yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat mengusap pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kim-nya dan menghampiri meja. “Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?” tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan.

Kian Lee mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, dan menumpuknya di atas baki, kemudian berkata, “Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya kembali. Apakah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?”

Kian Lee menggeleng dan hanya memandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih terngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan kekasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, keponakannya atau bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal.

Nyanyian gadis pelayan itu menbangkitkan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang harus menderita sengsara karena cinta? Apakah memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa.

Daun pintu terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu.

“Mengapa ditutup?” Kian Lee menegur.

“Agar tidak nampak dari luar. Kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka,” jawabnya halus dan tanpa diperintah gadis itu kemudian membuka daun jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak sebagian.

“Nona, kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri.”

Gadis itu memandang Kian Lee, lalu dia menjawab sambil menunduk, “Saya bertugas melayani Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya... saya senang di sini melayani Kongcu...”

“Hemmm... sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?”

Gadis itu mengangkat muka memandang, merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguh pun amat manis. “Tentu saja, Kongcu.”

“Nah, kalau begitu, sekarang aku ingin mengajakmu omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi nyanyianmu tadi.”

“Ehhh...?” Gadis itu memandang heran.

“Maksudku, aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam meninggalkannya.”

Gadis itu menunduk. “Kongcu... itu hanya... hanya nyanyian... dongeng...”

“Hemmm, perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi.”

“Ohhhhh...“ Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya.

Kian Lee mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata bagai mutiara yang berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak perlahan menuruni kedua pipinya.

“Nona, aku bisa menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak percaya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yang baik.”

“Ahhh... Kongcu...!” Gadis itu mengusap air matanya, dan kemudian mengangkat muka memandang. “Harap maafkan saya... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik.”

“Kalau begitu, kau katakanlah, siapa dara yang kau nyanyikan tadi?”

Gadis itu kembali menunduk. “Dia... dia... adalah saya sendiri, Kongcu.”

“Hemmm..., sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?”

“Dia... dia... adalah penolong saya...“ Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk, kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan mengangkat muka, lalu berkata, “Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga orang adik-adik saya...“ Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata kembali meloncat ke luar.

Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteramkan hatinya yang tentu saja dilanda kedukaan saat mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi dia bernyanyi “Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga”, kiranya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok jahat!

“Saya sendiri kemudian diculik oleh perampok-perampok itu, dan dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan dari pada kematian sendiri, akan tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, muncullah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada dia... ahhh, ngeri saya membayangkan.“

“Hemmm, lalu bagaimana?” Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta kepada penolangnya itu.

“Penolong saya itu tentu saja mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi perampok yang suka mengganas itu. Dan saya... oleh penolong saya itu saya lalu dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis... kemudian... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini...“

“Hemmm, dan kau lalu bekerja sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di sini?”

“Tidak, tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali... saya menjadi seorang pelayan yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri... sebagai seorang pelayan... dan saya kadang-kadang harus melayani tamu-tamu...“

“Aku mengerti, Nona. Ehh, bolehkah saya mengetahui namamu?”

“Nama saya Cui Lan, Phang Cui Lan”

“Nama yang indah sekali, Cui Lan. Tetapi mengapa... mengapa... kau tadi bernyanyi mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?”

“Kamar ini, Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya yang selalu membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia... dia pergi. Dan kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan, kalau-kalau... dia datang kembali ke sini..., akan tetapi sekarang kamar ini dibuka oleh karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu yang dipersilakan bermalam di sini....“ Suaranya gemetar.

“Siapa nama pendekar penolongmu itu?”

“Itulah yang menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu nananya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan tetapi berwarna putih seperti perak, dia... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia.”

Kian Lee meraba dahinya dan mengerutkan alisnya. “Masih muda, rambutnya putih terurai, dan lihai sekali? Hemmm... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?”

“Benar!” Dara itu berseru penuh harapan. “Apakah Kongcu sudah mengenalnya?”

“Sayang sekali belum. Apa lagi mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang saja...“

Tiba-tiba Kian Lee segera menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang sekejap menoleh ke dalam, seperti orang menjenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil, “Ehmmm...“

Wajah Kian Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu kini sudah memasuki taman, menyeberangi sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di tikungan bangunan. Kian Lee memasuki kamarnya lagi.

“Siapa dia?” tanya Kian Lee kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.

“Yang menjenguk tadi?” Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. “Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, semenjak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu.”

“Hemmmmm...“ Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis lebat itu.

Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pintu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee memandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat salah seorang di antara mereka yang dikenalnya.

Seorang wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara. Sinar matanya tajam dan kerlingnya menyambar-nyambar ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li Si Siluman Kucing, wanita yang lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka!

Wanita ini merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang penting. Mau apa wanita tokoh sesat yang amat berbahaya itu berkeliaran di sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa penting di tempat ini pikirnya.

Cepat dia masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi sesuatu yang hebat. Dia harus waspada.

“Sudahlah... Cui Lan. Sekarang lebih baik kau tinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang akan menduga jelek kepadamu.”

“Tetapi, Kongcu…. saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu,“ kata gadis itu mulai basah dengan air mata. “Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi, saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya malah akan disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus menerus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya tetap berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut...“

Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. “Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan.”

“Tidak, kalau di sini saya tentu tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu saya.“

“Hemmm, baiklah... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan.”

“Mengasolah, Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?”

“Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi karena menyanyikan lagu yang sedih itu.” Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun.

Tentu saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya Kian Lee bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur, bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan.

Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.

Selain sinar bulan yang belum terlalu tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah.

Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masing-masing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah seram-seram, kelihatannya lihai dan angkuh gerak-geriknya.

Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan yang terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apa bila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu.

Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai bercakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatar belakangi suara musik yang meriah.

Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang umurnya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang kedudukannya tertinggi, dia tidak langsung menyambut tamu sendiri, tetapi diwakili oleh pembesar-pembesar bawahannya dan ia hanya duduk sambil mengangguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak!

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung.

Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman dengan senyum di bibir dan matanya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah. Melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias oleh banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggota pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi.

Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak.

Di belakang Gubernur Hok ini berjalan para pengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Ho-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok.

Akan tetapi Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada pemuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama.

Setelah masuk di ruangan itu, tiba di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan leng-ki (bendera utusan atau wakil kaisar) dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.

“Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,” Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara.

Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pangeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng dari pada peraturan yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan dihancurkan sampai ke akar-akarnya.

Baru saja membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui siapa orangnya yang mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi itu.

Pangeran Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa, “Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?”

Tentu saja tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biar pun ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke depan.

“Hemmm, tidak ada yang mau mengaku, ya?” Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari Ho-pei dan memberi isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu.

“Baik, akan hamba tangkap dia!” Orang bermata sebelah ini mengangguk.

Tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan terbang menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Segera dia mengangkat lengan menangkis.

“Dukkkkk!” Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka terjadilah pertandingan antara Si Mata Satu melawan orang ini.

Kian Lee mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, lakl-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari Ouw-teetok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang bermuka hitam yang agaknya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara dia dan Si Mata Satu itu berjalan seru dan dahsyat.

Biar pun di situ terdapat banyak orang, bahkan banyak juga orang pandai, di antaranya terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak berlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu dapat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam.

Pertandingan makin seru, namun para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Dan kedua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini, mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan sakti, pukulan-pukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya mendatangkan angin bersuitan itu.

Bu Ok Ti mulai meloncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti.

Tok-gan Sin-ciang lalu menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian dapat melihat ini semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan terguling roboh!

Gegerlah keadaan saat Tok-gan Sin-ciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sin-ciang adalah ketika lewat di depan Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri lalu menangkis dengan tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjengkang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu sedemikian hebat tenaga sinkang-nya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat dari pada pertempuran yang tadi.

Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mauw Siauw Mo-li terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan sekarang dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biar pun Mauw Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya.

Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat indah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan menggunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang karena maklum bahwa ‘selendang’ hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan.

Sambil mengeluarkan suara aneh seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke belakang. Namun ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke arah punggungnya.

“Tranggg...!”

Untung dia cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu bukan hanya tempat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana kaisar itu.

“Penjahat pemberontak!” Komandan kedua dari pasukan Kuku Garuda yang jenggotnya lebat sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo hingga sekarang pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.

Keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan telah menerima perintah kemudian maju, disambut oleh pasukan pengawal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat.

Kian Lee juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia sangat mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan bersiap untuk menolong apa bila pangeran itu terancam bahaya.

********************

Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-diam telah mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan.

Pada suatu senja yang dingin. Musim dingin sudah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopiah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga. Hanya orang-orang yang punya keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan api di dalam perapian.

Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguh pun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa di bawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu dimekarkan untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak sesuatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dari langit biru sampai air empang teratai dalam taman yang tak bergerak sedikit pun, nampak lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu.

Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang sangat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana. Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah menggairahkan itu membayangkan kekerasan hati.

Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apa lagi setelah puteri yang tadinya dianggap sudah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia!

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu.

Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, muncullah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan.

Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya.

Demikianlah, Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi.

Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi, berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biar pun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung. Tentu saja raja dan ratu merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.

“Syanti Dewi, ingatlah bahwa kau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?” berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.

“Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?” berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan.

“Tentu dia malu!” kata Sri Baginda Raja. “Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.”

“Tidak, Ayah... tidak...“ Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. “Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!”

“Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!” Sri Baginda berkata marah.

“Aku tahu, aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?”

Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mencari kekasihnya, tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapa pun juga memasuki istana puteri. Apa lagi manusia, seekor kucing pun tak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.

Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya.

“Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan,” demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya. “Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu.”

“Ayah...!” Syanti Dewi hanya dapat menangis.

Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani memaksa, apa lagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa kedukaan tak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti. Betapa dia tidak akan bersabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang yang kedudukannya paling tinggi di kerajaan itu?

Demikianlah, sampai empat tahun lamanya semenjak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!

Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orang-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat penjagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap.

“Sssttttt, lihat dia itu...!” Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang.

Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan sebagai tanda kekaguman jika mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Oleh karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang sedang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang. Kepala mereka menjeguk ke luar dan dengan terbelalak mata mereka memandang menembus kesuraman senja.

“Waduh cantiknya...!” kata seorang.

“Bukan main! Manis sekali...!”

“Tubuhnya... amboiiiii...!”

“Mati aku... lenggangnya...“

“Wah, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!” Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.

“Dan tidak hujan tidak panas dia memakai payung!”

“Wah, wah... sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?”

“Cantik jelita, malam-malam tidak hujan pakai payung, sedingin ini berpakaian tipis pula tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !”

“Hihhh...!”

Semua orang mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka, yaitu seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang tegang hatinya!

“Hemmm, mencurigakan. Anak-anak, siap!” Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.

Tak salah penjaga yang sambat mata melihat lenggang itu. Memang bukan main! Bagai harimau lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!

Wanita itu kini makin dekat, dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian tipis dari kain sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu penuh daya pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak perasaan yang menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat masak.

Seorang dara yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya, namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa kata.

Kalau saja para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak ada hujan, tiada panas memakai payung, ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri merupakan hal yang langka.

Kalau dara ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para prajurit penjaga yang terlatih dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan seenak-enaknya saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.

Akan tetapi, para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apa lagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka.

Si komandan gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. “Ehmmm, berhenti dulu, Nona!” katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan gerakan menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.

Wajah di bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang bergerak-gerak itu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceleguk bunyinya. Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah anggur masak yang segar.

Dengan bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari timur itu menjawab, “Mengapa aku harus berhenti? Bukankah ini merupakan jalan umum?” Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk.

Komandan gendut itu kembali menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari rambut yang hitam subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil. “Memang jalan umum, tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.”

Senyum manis itu melebar dan menjadi makin manis. “Ehh, apakah kau anggap aku mencurigakan?”

“Engkau seorang wanita muda berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan... ehhh, Nona... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita mengobrol heh-heh...” Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.

Dara itu tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguh pun pandang matanya tetap tersenyum dan dia lalu berkata, “Aihhh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat.” Dia membujuk.

Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut merasa mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu pun luput.

“Ehemmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih dapat membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!”

“Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!”' terdengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu.

Tak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya, namun mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu.

Kembali dara jelita itu menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong. “Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kulihat engkau gendut bundar mirip katak!” Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan. “Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?” Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.

“Katak...?”

“Katak gendut...?”

“Katak...!

“Heiiiii! Ada katak...!”

“Dari mana datangnya katak raksasa ini?”

“Wah, jangan diserang! Lihat celananya... ehh, dia...!”

Semua penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksasa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah berkedip.

Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya tadi terdapat seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!

“Heiii...!” seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan lalu berseru ketika melihat gadis itu.

Semua orang juga menengok. Dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!

“Hei, tunggu dulu...!” Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat.

“Tangkap...!”

“Dia tentu siluman...!”

Lima belas orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi katak raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini berlari mengejar dengan senjata di tangan.

Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas pundaknya. Kini payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Kalian ini sebetulnya mau apa sih?”

Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis menahan kaki mereka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semua menahan napas, mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau gila.

Mereka adalah prajurit-prajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan seram kalau melihat wajah wanita itu?

Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, bagai bidadari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu ‘polos’, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata, hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka polos seperti itu!

“Hihhhhh... hu-hu-huuhhhhh...“ Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu.

Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apa lagi ketika mereka melihat ‘katak raksasa’ tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca!

Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, lalu tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.

“Hi-hik, orang-orang tolol...!” bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan ‘kedok’ atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.

Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, “Ehh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!” Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.

“Tapi... tapi... dia... siluman”

“Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita pasti celaka!” Si komandan membentak dan para anak buahnya sadar.

Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.

“Kejar...!”

“Tangkaaapppp...!”

Berserabutan mereka berlari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.

“Siluman...!” Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.

“Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!” Si komandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana...


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 03